Tampilkan postingan dengan label ayub 29. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 29. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 29

 


ah dewan penasihat untuk menasihati diri-

nya, namun  Raja atas segala raja tidak perlu memiliki pena-

sihat. Juga tidak ada seorang pun yang pantas untuk 

mengarahkan tindakan kita seperti Dia. Tak seorang pun 

mengajar dengan otoritas yang sedemikian besar dan bukti 

yang meyakinkan, dengan kerendahan hati dan belas ka-

sihan serta dengan kuasa dan keberhasilan yang sedemi-

kian hebat seperti Allah. Ia mengajar melalui Alkitab, dan 

itulah kitab yang terbaik, mengajar melalui Anak-Nya, dan 

Ia-lah Guru yang terbaik.  

(3) Bahwa Ia selalu benar di dalam segala tindakannya tanpa 

kecuali: siapa berani berkata: Engkau telah berbuat curang? 

Tidak ada, siapa berani berkata demikian? Banyak yang 

melakukan kejahatan, dan mereka yang memberitahunya 

untuk melakukan demikian dalam kebinasaan mereka, te-

tapi siapakah yang berani berkata? Siapakah yang punya 

alasan untuk berkata Ia curang? Siapa yang dapat berkata 

dan membuktikannya? Pernyataan ini benar dan tidak di-

ragukan lagi, tanpa batasan, bahwa Raja segala raja tidak 

dapat berbuat salah. 

Tutur Kata Elihu  

(36:24-33) 

24 Ingatlah, bahwa engkau harus menjunjung tinggi perbuatan-Nya, yang se-

lalu dinyanyikan oleh manusia. 25 Semua orang melihatnya, manusia me-

mandangnya dari jauh. 26 Sesungguhnya, Allah itu besar, tidak tercapai oleh 

pengetahuan kita, jumlah tahun-Nya tidak dapat diselidiki. 27 Ia menarik ke 

atas titik-titik air, dan memekatkan kabut menjadi hujan, 28 yang dicurahkan 

oleh mendung, dan disiramkan ke atas banyak manusia. 29 Siapa mengerti 

berkembangnya awan, dan bunyi gemuruh di tempat kediaman-Nya? 30 Se-

sungguhnya, Ia mengembangkan terang-Nya di sekeliling-Nya, dan menu-

dungi dasar laut. 31 sebab  dengan semuanya itu Ia mengadili bangsa-bangsa, 

dan juga memberi makan dengan berlimpah-limpah. 32 Kedua tangan-Nya di-

selubungi-Nya dengan kilat petir dan menyuruhnya menyambar sasaran.

33 Pekik perang-Nya memberitakan kedatangan-Nya, kalau dengan murka Ia 

berjuang melawan kecurangan. 

Elihu di sini sedang berusaha untuk meyakinkan Ayub dengan pemi-

kiran yang agung dan luhur tentang Allah dan dengan demikian 

membujuknya untuk berserah diri kepada penyelenggaraan-Nya de-

ngan hati gembira.  

I. Elihu menggambarkan karya Allah, secara umum, sebagai ter-

masyhur dan mencengangkan (ay. 24). Seluruh pekerjaan-Nya 

juga demikian. Yang dilakukan Allah tidak ada yang buruk. Inilah 

alasannya mengapa kita seharusnya menyetujui semua cara kerja 

penyelenggaraan-Nya atas kita secara khusus. Semua pekerjaan-

Nya yang kelihatan, atas alam semesta, dan yang menyangkut 

dunia secara umum, sedemikian kita kagumi dan puji. Di  dalam-

nya kita melihat hikmat, kuasa, dan kebaikan Sang Pencipta. Jadi 

akankah kita kemudian mendapati kesalahan dalam tindakan-

Nya mengenai kita dan pertimbangan kehendak-Nya mengenai 

urusan kita? Kita di sini dipanggil untuk memperhatikan pekerja-

an Allah (Pkh. 7:13).  

1. Semuanya terpampang jelas di depan mata kita, tidak ada 

yang lebih terang dari itu: semua orang melihatnya. Setiap 

orang yang hanya memiliki sebelah mata saja masih dapat 

melihatnya dari jauh. Lihat saja ke arah mana kita mau, kita 

akan melihat karya hikmat dan kuasa Allah. Kita melihat hal 

itu dilakukan dan hal ini sedang dilakukan, dan tidak ada 

yang dapat kita katakan selain: Ini yaitu  pekerjaan Allah, jari 

tangan Allah. Hal itu terjadi dari pihak Tuhan. Setiap orang 

dapat melihat, dari jauh, langit dan semua benda penerang-

nya, bumi dan semua isinya, sebagai pekerjaan Yang Maha-

kuasa. Jauh lebih lagi saat  kita melihat semuanya dari 

dekat. Lihatlah karya yang terkecil dari alam melalui sebuah 

mikroskop. Tidakkah mereka tampak mengherankan? Kuasa 

abadi dan keallahan dari Sang Pencipta dapat nampak kepada 

pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan (Rm. 1:20). Se-

tiap orang, bahkan orang-orang yang tidak mendapat manfaat 

dari penyataan ilahi dapat melihat hal ini. Sebab tidak ada 

berita dan tidak ada kata dari suara pengkhotbah alam yang 

terus-menerus bersuara ini yang tidak didengar (Mzm. 19:4).  

2. Pekerjaan-Nya seharusnya menakjubkan bagi mata kita. Kein-

dahan dan keunggulan karya Allah, dan keselarasan dari se-

mua bagiannya, yaitu  hal yang harus kita ingat untuk mem-

besarkan dan meninggikan setinggi-tingginya, tidak hanya 

untuk membenarkannya sebagai benar dan baik, yang tidak 

dapat dicela, melainkan juga untuk membesarkannya sebagai 

bijaksana dan mulia, yang tidak dapat diciptakan atau dihasil-

kan oleh makhluk ciptaan mana pun. Manusia dapat melihat 

pekerjaan-Nya dan sanggup memahami ada tangan-Nya di 

dalamnya, yang tidak dapat dilihat oleh binatang, dan sebab  

itu manusia selayaknya harus memuji semua pekerjaan-Nya 

dan memberi-Nya kemuliaan.  

II. Elihu menyatakan Allah, pencipta segala yang kita lihat, sebagai 

yang tak terbatas dan tak terselami (ay. 26). Aliran keberadaan, 

kuasa, dan kesempurnaan seharusnya memimpin kita kepada 

sumbernya. Allah itu besar, sedemikian tak terbatas, agung dalam 

kuasa, sebab Ia Mahakuasa dan berdiri sendiri, agung dalam 

kekayaan, sebab Ia Swamencukupi dan Maha mencukupi. Allah 

itu agung dalam diri-Nya sendiri, agung dalam semua karya-Nya. 

Ia agung, dan sebab  itu harus dipuji setinggi-tingginya. Ia begitu 

agung, sehingga kita tidak dapat mengenal-Nya. Kita tahu bahwa 

Ia ada, namun  tidak tahu apa Dia. Kita tahu apa yang bukan Dia, 

namun  bukan apa Dia. Kita tahu hanya sebagian, namun  tidak sem-

purna. Hal ini dinyatakan di sini sebagai suatu alasan mengapa 

kita tidak boleh membantah tindakan-Nya, atau mencari kesalah-

an pada apa yang diperbuat-Nya, sebab hal itu sama seperti 

mengatakan jahat hal-hal yang tidak kita mengerti dan menjawab 

sesuatu sebelum kita mendengarnya. Kita tidak tahu lama dari 

keberadaan-Nya, sebab Ia tak terbatas. Jumlah tahun-Nya tidak 

dapat diselidiki, sebab Ia kekal. Tidak ada jumlah tahun keber-

adaan-Nya. Ia yaitu  suatu Wujud tanpa permulaan, tanpa peng-

ganti, dan tanpa akhir. Ia sudah ada sejak dahulu kala, dan akan 

tetap ada, dan selamanya sama, sang agung AKULAH AKU. Ini 

alasan yang baik mengapa kita tidak boleh mengatur Dia, atau 

berbantah dengan Dia, sebab, sebagaimana diri-Nya, demikian 

pula cara kerja-Nya, sangat jauh dari jangkauan kita.  

III. Elihu memberi beberapa contoh tentang hikmat, kuasa, dan ke-

kuasaan Allah yang berdaulat, di dalam pekerjaan alam semesta 

dan dispensasi-dispensasi atas penyelenggaraan umum, yang di-

mulai dalam pasal ini dengan awan dan hujan yang berasal dari 

awan. Kita tidak perlu kritis dalam memeriksa perkataan atau 

filosofi dari percakapan luhur ini. Tujuan umumnya yaitu  untuk 

menunjukkan bahwa Allah sungguh Mahabesar tak terbatas, dan 

TUHAN atas segalanya, penyebab pertama dan pengatur tertinggi 

dari semua makhluk ciptaan, dan memiliki segala kuasa di Sorga 

dan di bumi.  Kepada Dia kita, dengan segala kerendahan hati dan 

hormat, harus menyembah, memuji, dan memberi hormat. Sangat-

lah kurang ajar bagi kita untuk mengatur Dia tentang aturan dan 

cara penyelenggaraan-Nya yang khusus kepada anak-anak manu-

sia. Tidak juga tidak boleh berharap dari Dia suatu pertanggung-

jawaban, padahal cara kerja dari penyelenggaraan umum-Nya ten-

tang benda-benda langit saja sudah begitu beragam dan begitu mis-

terius dan tak dapat kita mengerti. Sebelumnya Elihu, untuk me-

mengaruhi Ayub dengan keagungan dan kedaulatan Allah, meng-

arahkan dia (35:5) untuk melihat kepada awan. Dalam ayat-ayat ini 

Elihu menunjukkan kepada kita apa yang dapat kita lihat di dalam 

awan akan memimpin kita untuk mempertimbangkan kesempurna-

an yang mulia dari Penciptanya. Pertimbangkanlah awan, 

1. Sebagai mata air bagi dunia bawah ini, sumber dan perbenda-

haraan dari kelembabannya dan sungai besar yang melaluinya 

air mengalir. Awan ini suatu persediaan yang sangat perlu, se-

bab jika ia berhenti, sangat berbahaya bagi dunia bawah ini, se-

perti darah yang berhenti mengalir dalam tubuh manusia. Amat 

berharga untuk mengamati di dalam kejadian yang umum ini,  

(1) Bahwa awan di atas memurnikan bumi di bawah. Jika 

langit menjadi tembaga, maka bumi menjadi besi. sebab  

itu janji kelimpahan berlaku, Aku akan mendengarkan la-

ngit, dan langit akan mendengarkan bumi. Hal ini menyata-

kan kepada kita bahwa setiap pemberian yang baik berasal 

dari atas, dari Dia Bapa segala terang dan Bapa dari hujan, 

dan hal ini mendorong kita untuk mengarahkan doa-doa 

kita kepada-Nya dan memandang ke atas.  

(2) Bahwa air itu dikatakan disiramkan ke atas banyak manu-

sia (ay. 28). Sebab, kendati memang Allah yang memberi 

hujan ke atas tanah di mana tidak ada orang (38:26, Mzm. 

104:11), namun perhatian yang khusus ditujukan kepada 

manusia, yang untuk kegunaannya semua makhluk cipta-

an yang lebih rendah dijadikan berguna dan yang darinya 

balasan pujian dikehendaki. Di antara manusia, Ia menu-

runkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak 

benar (Mat. 5:45).  

(3) Air itu dikatakan disiramkan dalam tetesan kecil, bukan 

dalam semburan, saat  tingkap-tingkap langit terbuka (Kej. 

7:11). Allah mengairi bumi yang dengannya Dia pernah me-

nenggelamkannya, hanya dengan memberikannya dengan 

cara lain, untuk memberi tahu kita betapa besar kita ber-

gantung pada belas kasihan-Nya, dan betapa baiknya Ia, 

dalam memberi hujan dengan tetesan kecil, sehingga man-

faatnya dapat lebih jauh dan lebih merata terbagi, seperti 

melalui air hujan buatan di dalam pot.  

(4) Kendati kadang-kadang hujan turun dalam tetesan yang 

sangat kecil, namun, di waktu lain, hujan tercurah sangat 

lebat, dan perbedaan ini antara curahan yang satu dan 

yang lain harus diakui sebagai tindakan Penyelenggaraan 

ilahi yang memerintahkannya demikian.  

(5) Kendati hujan turun dalam tetesan, namun disiramkan ke 

atas manusia secara berlimpah (ay. 28), dan sebab nya 

disebut: Batang air Allah penuh air (Mzm. 65:10). 

(6) Awan mencurahkan berdasarkan titik-titik air yang ditarik-

nya ke atas (ay. 27). Sama seperti langit terhadap bumi, 

namun  bumi tidaklah demikian dalam mengembalikannya.  

(7) Curahan awan kadang-kadang menjadi suatu kengerian 

yang hebat, dan di waktu lain suatu kebaikan yang besar, 

bagi bumi (ay. 31). Pada waktu Allah berkenan, dengan se-

muanya itu Ia mengadili bangsa-bangsa yang Ia murkai. 

Badai, prahara, dan hujan yang berkepanjangan, menghan-

curkan hasil bumi dan menyebabkan banjir, yang berasal 

dari awan. Namun, sebaliknya juga, dari awan, biasanya Ia 

memberi makanan dengan berlimpah. Awan menjatuhkan 

kesuburan ke atas padang rumput yang berpakaian ka-

wanan kambing domba, dan lembah-lembah berselimutkan 

gandum (Mzm. 65:12-14).  

(8) Kadang-kadang mendekatnya hujan dicatat juga (ay. 33). Pe-

kik perang-Nya memberitakan kedatangan-Nya (KJV: bunyi 

bising menandai datangnya hujan). sebab  itu, kita mem-

baca (1Raj. 18:41) tentang bunyi derau hujan atau suatu ge-

muruh bunyi hujan, sebelum ia tercurah. Suatu pertanda 

sambutan yang baik. Seperti bunyi gemuruh, demikian pula 

wajah langit memperlihatkan kedatangan hujan (Luk. 12:56). 

Ternak juga, melalui naluri yang ajaib, memahami suatu 

perubahan cuaca yang akan terjadi, dan mencari perlin-

dungan, mempermalukan manusia, yang tidak mau melihat 

yang jahat bakal terjadi supaya menyembunyikan diri.  

2. Seperti bayang-bayang bagi dunia atas (ay. 29): Siapa mengerti 

berkembangnya awan, dan bunyi gemuruh di tempat kediaman-

Nya? Awan itu terbentang di atas bumi seperti sebuah tirai atau 

kanopi. Bagaimana dapat terjadi demikian, bagaimana terben-

tang, dan bagaimana bisa tenang, kita tidak dapat mengerti, 

kendati kita melihatnya setiap hari. Lantas akankah kita ber-

lagak dapat memahami alasan dan cara Allah mengadili anak-

anak manusia, yang sifat dan kasusnya beragam, sementara 

kita tidak mampu menjelaskan penyebaran awan yang menyelu-

bungi kilat petir? (ay. 32). Itulah awan yang akan datang (36:32; 

26:9). Dan tentang hal ini kita mengerti bahwa dengan penem-

patan awan di antara kita dan matahari, kita,  

(1) Kadang-kadang diuntungkan. Sebab awan berfungsi seperti 

sebuah payung untuk melindungi kita dari terik panas 

matahari, yang jika tidak pasti akan menimpa kita. Kabut 

embun di panas musim menuai dibicarakan sebagai kese-

garan besar (Yes. 18:4).  

(2) Kadang-kadang awan memarahi kita. Sebab mereka meng-

gelapkan bumi di siang hari dan menutupi cahaya mata-

hari. Dosa dibandingkan dengan awan (Yes. 44:22), sebab  

dosa menyelinap di antara kita dan cahaya wajah Allah dan 

menghalangi cahaya-Nya itu. Namun, kendati awan meng-

gelapkan matahari untuk sesaat, dan mencurahkan hujan, 

namun (post nubila Phoebus – matahari bersinar setelah 

hujan). Sesudah Allah melelahkan awan, Ia mengembang-

kan terang-Nya di sekelilingnya (ay. 30). Ada pagi yang tak 

berawan sesudah hujan (2Sam. 23:4). Sinar matahari mele-

sat maju dan menjangkau menutupi bahkan dasar laut, dari 

sana mengembuskan persediaan uap baru, dan dengan 

demikian meningkatkan ketebalan awan (ay. 30). Dalam 

kesemuanya ini, kita harus ingat untuk mengagungkan 

pekerjaan Allah.  

PASAL 37  

ada pasal ini, Elihu melanjutkan puji-pujiannya atas kekuasaan 

Allah yang dahsyat dalam benda-benda langit dan segala perubah-

an musim. Jika dalam hal perubahan musim itu kita bisa tunduk 

kepada Allah, menerima cuaca sebagaimana adanya, dan memanfaat-

kannya sebaik mungkin, bukankah seharusnya kita juga bersikap 

serupa dalam segala perubahan yang menimpa keadaan kita? Elihu 

melihat adanya tangan Allah,  

I. Dalam guntur dan kilat (ay. 1-5). 

II. Dalam es dan salju, hujan dan taufan (ay. 6-13). 

III. Dia memperhadapkannya kepada Ayub serta menantangnya 

untuk menjelaskan berbagai fenomena alam tersebut, sehing-

ga saat  Ayub mengakui ketidaktahuannya, dia akan sadar 

bahwa dirinya tidak punya hak dan tidak punya kemampuan 

menilai cara penyelenggaraan ilahi (ay. 14-22). Selanjutnya,  

IV. Dengan prinsip tersebut, Elihu menyimpulkan bahwa Allah 

itu besar dan patut ditakuti (ay. 23-24). 

Tutur Kata Elihu 

(37:1-5) 

1 Sungguh, oleh sebab  itu hatiku berdebar-debar dan melonjak dari tempat-

nya. 2 Dengar, dengarlah gegap gempita suara-Nya, guruh yang keluar dari 

dalam mulut-Nya. 3 Ia melepaskannya ke seluruh kolong langit, dan juga 

kilat petir-Nya ke ujung-ujung bumi. 4 Kemudian suara-Nya menderu, Ia 

mengguntur dengan suara-Nya yang megah; Ia tidak menahan kilat petir, bila 

suara-Nya kedengaran. 5 Allah mengguntur dengan suara-Nya yang menga-

gumkan; Ia melakukan perbuatan-perbuatan besar yang tidak tercapai oleh 

pengetahuan kita; 


Guntur dan kilat, yang biasanya muncul bersamaan, merupakan 

petunjuk nyata dari kemuliaan, keagungan, kuasa, dan kedahsyatan 

Allah yang Perkasa. Yang satu bisa didengar telinga, dan yang lain-

nya bisa dilihat mata. Dalam kedua hal itu, Allah tidak membiarkan 

diri-Nya tanpa saksi akan kebesaran-Nya, sama seperti dalam hujan 

dari langit dan musim-musim subur, Ia tidak membiarkan diri-Nya 

tanpa saksi akan kebaikan-Nya (Kis.14:17), bahkan yang paling 

bodoh dan tak berakal pun dapat melihatnya. Sekalipun peristiwa-

peristiwa alam memiliki penyebab alamiah dan akibatnya yang ber-

manfaat, yang dikaji oleh para ilmuwan, namun  di atas segalanya, 

semuanya itu terutama dirancang oleh Sang Pencipta untuk menyen-

tak dan membangunkan umat manusia yang tertidur, agar mereka 

memikirkan adanya Allah di atas sana. Mata dan telinga merupakan 

dua alat indra untuk belajar, dan oleh sebab  itu, konon katanya 

belum pernah diketahui ada orang yang terlahir buta dan tuli sekali-

gus, meskipun hal itu bisa saja terjadi. Melalui firman Allah, peng-

ajaran ilahi disalurkan ke dalam pikiran melalui telinga, dan lewat 

karya-Nya melalui mata. Namun, sebab  penglihatan dan suara yang 

sudah menjadi hal biasa itu tidak berpengaruh terhadap manusia 

sebagaimana mestinya, adakalanya Allah mengejutkan mereka 

melalui mata dengan kilat dan melalui telinga dengan bunyi guntur. 

Kemungkinan, pada waktu Elihu berbicara memang sedang ada 

guntur dan kilat, sebab Elihu menjabarkan peristiwa alam tersebut 

dengan keterangan waktu “saat ini.” Apalagi, tidak lama setelah itu 

Allah datang berfirman (38:1), seperti yang terjadi di gunung Sinai, 

guntur dan kilat menjadi pendahulu untuk menarik perhatian dan 

menimbulkan kegentaran. Dalam ayat-ayat di atas, perhatikanlah, 

1. Betapa Elihu sendiri takjub oleh kehadiran kemuliaan Allah 

dalam guntur dan kilat, dan dia ingin supaya Ayub juga kagum 

(ay. 1-2). Kata Elihu, “Sungguh, oleh sebab  itu hatiku berdebar-

debar. Walaupun sudah sering aku mendengar dan melihatnya, 

namun  masih juga dibuatnya aku gentar, setiap sendiku gemetar, 

dan jantungku berdegup seolah melonjak dari tempatnya.” Guntur 

dan kilat memang mengerikan bagi orang fasik. Kaisar Caligula 

misalnya, ia biasa lari ke sudut atau ke bawah ranjang sebab  

ketakutan terhadapnya. Menurut peribahasa, orang yang sangat 

terperanjat biasa disebut dengan istilah: bagai tersambar petir. 

Bahkan orang-orang saleh pun menganggap kilat dan guntur sa-

ngat menakutkan. Dan yang paling menggentarkan orang yaitu 

 kecelakaan yang kerap timbul akibat guntur, banyak orang telah 

terbunuh olehnya. Sodom dan Gomora menjadi reruntuhan kare-

na kilat dan guntur. Itulah tanda nyata yang menunjukkan apa 

yang Allah dapat lakukan terhadap dunia yang berdosa ini, dan 

pada akhirnya Dia pasti melakukannya dengan api yang telah 

disediakan-Nya. Seperti Elihu, hati kita juga harus gemetar kare-

na takut akan penghakiman Allah (Mzm. 119:120). Elihu juga me-

nyuruh Ayub memperhatikannya (ay. 2). “Dengar, dengarlah 

gegap gempita suara-Nya” (KJV: Dengarlah baik-baik). Barangkali 

saat itu suara guntur masih jauh sehingga tidak dapat terdengar 

tanpa menyimak baik-baik, atau kalaupun suaranya terdengar 

dan kita tidak tahan mendengarnya, kita harus menangkap dan 

memahami pengajaran yang Allah berikan melaluinya. Kita perlu 

mendengar dengan sungguh-sungguh dan menaruh perhatian 

penuh. Guntur juga disebut suara TUHAN (Mzm. 29:3-9), sebab 

melalui guntur Allah berbicara kepada anak-anak manusia su-

paya mereka gemetar di hadapan-Nya. Juga, untuk mengingatkan 

kita kepada firman dahsyat yang menjadikan dunia pada mula-

nya, yang disebut guntur (Mzm. 104:7), “Terhadap hardik-Mu air 

itu melarikan diri, lari kebingungan terhadap suara guntur-Mu,” 

yakni saat  Allah bersabda, “Hendaklah segala air yang di bawah 

langit berkumpul pada satu tempat.” Demikianlah orang yang 

tergerak oleh kebesaran Allah seharusnya berusaha memengaruhi 

orang lain juga. 

2. Cara Elihu menjelaskan kilat dan guntur.  

(1) Asal-usul mereka, bukan penyebab kedua, melainkan penye-

bab pertama. Allah-lah yang melepaskan guntur dan kilat ada-

lah milik-Nya (ay. 3). Pembentukan dan gerakan mereka bu-

kan disebabkan oleh kebetulan, namun  oleh rencana hikmat 

Allah, dalam pengarahan dan kedaulatan penyelenggaraan-

Nya, sekalipun bagi kita tampaknya seperti kebetulan dan 

tidak dapat dikendalikan.  

(2) Jangkauan kilat dan guntur. Dentuman guntur bergulung ke 

seluruh kolong langit, terdengar baik dari jauh maupun dekat. 

Demikian pula kilat petir ditembakkan ke ujung-ujung bumi. 

Mereka datang dari salah satu ujung langit dan memancar 

sampai ke ujung yang lain (Luk. 17:24). Meskipun tidak men-

jangkau semua tempat sekaligus, namun mereka dapat men-

capai jarak yang sangat jauh dalam sekejap, dan tiada tempat 

yang belum pernah mengalami tanda langit tersebut.  

(3) Urutan kilat dan guntur. Pertama-tama kilat dilepaskan, ke-

mudian suaranya menderu (ay. 4). Percikan api dan suara yang 

ditimbulkannya dalam awan berair sebetulnya muncul bersa-

maan, namun  sebab  gerakan cahaya jauh lebih cepat daripada 

gelombang suara, maka kita melihat kilat lebih dahulu, baru 

mendengar bunyi guntur belakangan, sama seperti kita meli-

hat tembakan senjata di kejauhan, baru kemudian mendengar 

bunyinya. Dalam ayat ini, guntur disebut sebagai suara ke-

agungan Allah, sebab melaluinya, Dia mengumandangkan ke-

kuasaan dan kebesaran-Nya yang melampaui segala sesuatu. 

Ia memperdengarkan suara-Nya, suara-Nya yang dahsyat! 

(Mzm. 68:34). 

(4) Keganasan kilat guntur. Ia tidak menahan kilat petir, yaitu, Dia 

tidak perlu menghentikan atau mengekang mereka supaya 

jangan kacau atau lepas dari kendali-Nya, namun  dibiarkan-

Nya mereka bergerak. Kata-Nya kepada mereka, Pergi!, maka 

ia pergi ... Datang!, maka ia datang, ataupun … Kerjakanlah 

ini!, maka ia mengerjakannya. Dia tidak menahan hujan dan 

badai yang biasanya datang setelah guntur (Elihu telah mem-

bicarakannya dalam 36:27-28), namun  dicurahkan-Nya mereka 

ke atas bumi bila suara-Nya kedengaran. Hujan badai sangat-

lah deras, dan untuk itu Ia membuat kilat mengikuti hujan 

(Mzm. 135:7). 

(5) Kesimpulan Elihu berdasarkan semuanya itu (ay. 5). Jika 

Allah mengguntur dengan suara-Nya yang begitu mengagum-

kan, berarti karya-karya-Nya yang lain pun demikian besarnya 

dan kita tidak mampu memahaminya. Berdasarkan satu con-

toh ini saja kita dapat mengambil kesimpulan untuk semua 

hal lainnya, bahwa dalam dispensasi penyelenggaraan-Nya, 

ada hal-hal yang terlampau besar dan kuat untuk kita tentang 

atau lawan, juga terlalu tinggi dan terlalu dalam untuk ditu-

duh atau dibantah manusia. 

  

  

Tutur Kata Elihu 

(37:6-13) 

6 sebab  kepada salju Ia berfirman: Jatuhlah ke bumi, dan kepada hujan 

lebat dan hujan deras: Jadilah deras! 7 Tangan setiap manusia diikat-Nya 

dengan dibubuhi meterai, agar semua orang mengetahui perbuatan-Nya.  

8 Maka binatang liar masuk ke dalam tempat persembunyiannya dan tinggal 

dalam sarangnya. 9 Taufan keluar dari dalam perbendaharaan, dan hawa 

dingin dari sebelah utara. 10 Oleh nafas Allah terjadilah es, dan permukaan 

air yang luas membeku. 11 Awanpun dimuati-Nya dengan air, dan awan me-

mencarkan kilat-Nya, 12 lalu kilat-Nya menyambar-nyambar ke seluruh 

penjuru menurut pimpinan-Nya untuk melakukan di permukaan bumi segala 

yang diperintahkan-Nya. 13 Ia membuatnya mencapai tujuannya, baik untuk 

menjadi pentung bagi isi bumi-Nya maupun untuk menyatakan kasih setia. 

Perubahan dan keganasan cuaca, basah atau kering, panas atau 

dingin, kerap menjadi bahan percakapan dan pengamatan kita se-

hari-hari. Namun, alangkah jarangnya kita memikirkan dan mem-

bicarakan cuaca seperti Elihu, yakni dengan penuh penghormatan 

dan kekaguman terhadap Allah yang mengatur semuanya itu, yang 

menyatakan kuasa-Nya dan melaksanakan penyelenggaraan-Nya le-

wat musim dan cuaca! Kita harus menyadari kemuliaan Allah, bukan 

hanya dalam guntur dan kilat, namun  juga dalam perubahan cuaca 

biasa, yang tidak terlalu mengerikan, tanpa suara gegap gempita. 

Misalnya, 

I. Salju dan hujan (ay. 6). Guntur dan kilat biasanya terjadi pada 

musim panas, namun  di sini, Elihu memperhatikan cuaca pada 

musim dingin. Kepada salju Ia berfirman: Jatuhlah ke bumi. Allah 

yang mengirimnya, Dia memerintahkan dan mengatur ke mana 

salju harus jatuh dan berapa lama ia harus terhampar di muka 

bumi. Dia berfirman, maka terjadilah, sama seperti dalam pencip-

taan dunia, “Jadilah terang,” demikian pula dalam karya penye-

lenggaraan dunia sehari-hari, “Salju ... jatuhlah ke bumi.” Bagi 

Allah, berbicara dan bertindak bukan dua hal yang berbeda, tidak 

seperti bagi manusia. Saat Dia berfirman, hujan gerimis (KJV) 

bertetesan dan hujan lebat mengguyur seturut kehendak-Nya. 

Septuaginta menerjemahkannya hujan musim dingin, sebab di 

negara-negara tertentu, setelah musim dingin lewat, hujan pun 

berhenti dan berlalu (Kid. 2:11). Dalam bahasa Ibrani, hujan 

gerimis dan hujan deras dibedakan dengan istilah “tetesan hujan” 

dan “hujan-hujan, banyak tetesan tercurah sekaligus. Namun, 

semuanya berasal dari kekuatan-Nya: kuasa Allah ada dalam 

gerimis rintik-rintik yang meresap ke tanah maupun dalam hujan 

lebat yang menghantam atap rumah dan menyapu segala sesuatu 

di hadapannya. Perhatikanlah, setiap hujan yang turun harus 

diakui sebagai penyelenggaraan Allah, baik oleh para petani di 

ladang maupun orang-orang yang dalam perjalanan, entah hujan 

itu mendatangkan kebaikan atau kerugian. Menentang pekerjaan 

Allah dalam cuaca yaitu  perbuatan bodoh dan berdosa. Jika Dia 

mengirim salju atau hujan, apakah kita bisa menahannya? Atau 

haruskah kita marah sebab nya? Sama bodohnya bila kita mem-

protes apa pun yang ditentukan oleh Allah Sang Penyelenggara 

bagi diri kita. Dampak dari hebatnya cuaca musim dingin mem-

buat manusia dan hewan-hewan harus bersembunyi, sebab tidak 

nyaman dan berbahaya bagi mereka untuk bepergian. 

1. Manusia beristirahat di rumah-rumah mereka dari pekerjaan 

di ladang, dan tinggal di balik pintu (ay. 7): Tangan setiap ma-

nusia diikat-Nya. Di tengah es dan salju, saat  cuaca mem-

beku, para petani tidak dapat meneruskan pekerjaan mereka, 

demikian juga pedagang maupun orang yang bepergian. Bajak 

disimpan, kegiatan pengiriman dihentikan, tiada yang dikerja-

kan dan tiada yang didapat, agar semua orang mengetahui per-

buatan-Nya saat  mereka dipisahkan dari pekerjaannya ma-

sing-masing, sehingga mereka merenungkan karya Allah itu 

dan mempermuliakan Dia. Dengan merenungkan pekerjaan 

tangan-Nya dalam cuaca yang mengikat tangan manusia itu, 

mereka akan dibuat bersukacita atas perbuatan besar dan 

mengagumkan lainnya dari Allah. Perhatikanlah, saat  de-

ngan suatu alasan kita diistirahatkan untuk melanjutkan pe-

kerjaan duniawi kita, dan berhenti darinya, kita harus me-

makai waktu untuk meningkatkan iman dan ibadah kita dan 

berusaha mengenal perbuatan-perbuatan Allah dan memuji 

Dia sebab  karya-Nya itu, dan bukannya bermalas-malasan 

dan bersantai. Tatkala tangan kita diikat, hati kita seharusnya 

dibuka, supaya semakin sedikit waktu untuk melakukan pe-

kerjaan dunia, semakin banyak waktu seharusnya untuk 

membaca Alkitab dan berdoa. 

2. Binatang liar pun masuk ke dalam tempat persembunyiannya 

dan tinggal dalam sarangnya (ay. 8). Sebagai binatang liar, me-

reka harus mencari tempat persembunyian sendiri dengan na-

lurinya, sedangkan binatang peliharaan yang melayani manu-

sia, dikandangkan dan dijaga oleh pemiliknya (Lih. Kel. 9:20). 

Keledai tidak punya sarang, namun  kandang yang disediakan 

tuannya, tidak hanya untuk mendapat keamanan dan keha-

ngatan, namun  juga diberi makan. Alam menggerakkan seluruh 

makhluk untuk berlindung dari badai. Jadi, masakan manusia 

tidak disediakan bahtera? 

II. Angin, yang bertiup dari segala penjuru yang berbeda serta meng-

hasilkan dampak yang berbeda pula (ay. 9): Taufan keluar dari 

dalam perbendaharaan (atau dari tempat tersembunyi). Ia bergerak 

mengitari bumi, dan sulit ditentukan dari mana titik asalnya, 

namun  ia datang dari tempat perbendaharaan yang tersembunyi. 

Saya tidak terlalu sependapat dengan terjemahan KJV yang me-

ngatakan dari selatan (KJV: Dari selatan datanglah angin badai), 

sebab dalam ayat 17 dikatakan bahwa angin selatan itu panas. 

Namun, pada saat itu, mungkin Elihu melihat awan badai datang 

dari selatan dan bergerak ke arah mereka, yang dari situ Tuhan 

kemudian berbicara tidak lama setelah itu (38:1). Atau, jika angin 

topan yang membawa hujan datang dari selatan, maka angin yang 

dingin dan kering berembus dari utara untuk menghamburkan 

uap air dan menjernihkan udara. 

III. Es (ay. 10). Lihatlah asal-usul dan penyebabnya: Oleh nafas Allah, 

yaitu firman dari kuasa-Nya dan perintah kehendak-Nya. Atau se-

bagian penafsir memaknai bahwa angin yaitu  napas Allah, sama 

halnya seperti guntur yaitu  suara-Nya. Es disebabkan oleh 

angin dingin membekukan yang bertiup dari utara. Lihatlah dam-

paknya: permukaan air yang luas membeku. Yaitu, air yang me-

nyebar jauh dan mengalir bebas, kini dipadatkan, dibekukan, 

ditahan, ditautkan dalam ikatan-ikatan yang mengkristal. Inilah 

salah satu contoh kuasa Allah yang rasanya hampir sama seperti 

mujizat seandainya tidak sering disaksikan. 

IV. Awan-awan, tempat terbentuknya segala tetesan air yang telah dibi-

carakan Elihu sebelumnya (36:28). Ada tiga jenis awan yang ia ba-

has: 

1. Awan yang hitam, padat, dan pekat, sarat dengan air. Awan-

pun dimuati-Nya dengan air (ay. 11), artinya mereka penuh dan 

tumpat dengan air sehingga kemudian mengembun, meleleh 

menjadi hujan, menumpahkan air hingga kering dan tidak 

dapat mencurahkannya lagi. Lihatlah, betapa makhluk dan 

benda-benda ciptaan bekerja keras untuk melayani manusia, 

bahkan ciptaan yang berada di atas kita. Awan menyirami 

bumi hingga penat. Mereka menghabiskan dirinya dan diman-

faatkan untuk kepentingan kita. Jadi, betapa memalukan dan 

terkutuknya bila kita tidak banyak berbuat kebaikan di tempat 

kita masing-masing, padahal kebaikan itu pun akan mengun-

tungkan kita juga, sebab siapa memberi minum, ia sendiri akan 

diberi minum. 

2. Awan cerah dan tipis, tanpa muatan air. Awan seperti ini di-

hamburkan Allah. Mereka terpencar-pencar dan tidak mengem-

bun menjadi hujan. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada mere-

ka. Pada malam hari, saat  langit kemerahan, awan tipis itu 

tersebar dan menjadi pertanda hari cerah (Mat. 16:2). 

3. Awan-awan bergerak. Tidak seperti awan pekat yang melebur 

menjadi hujan setempat, awan jenis ini terbawa angin dari 

satu tempat ke tempat lain, menurunkan gerimis sepanjang 

pergerakannya. Mereka bergerak ke seluruh penjuru menurut 

pimpinan-Nya (ay. 12, KJV mengatakan “awan,” bukan “kilat”). 

Pada umumnya, orang beranggapan bahwa hujan ditentukan 

oleh planet-planet, suatu pandangan yang keliru baik secara 

keilahian maupun secara filosofis. Sesungguhnya hujan diatur 

dan dikendalikan oleh rencana Allah yang meliputi segala 

sesuatu yang tampaknya biasa-biasa dan tidak berarti sekali-

pun, untuk melakukan di permukaan bumi segala yang diperin-

tahkan-Nya. Angin badai dan awan-awan yang terseret oleh-

nya, semua itu menggenapi firman Allah. Dengan cara itulah 

Dia menurunkan hujan ke atas kota yang satu dan tidak me-

nurunkan hujan ke atas kota yang lain (Am. 4:7-8). Demikian-

lah kehendak-Nya terjadi di permukaan bumi, yakni di antara 

anak-anak manusia yang diperhatikan oleh Allah dalam segala 

peristiwa tersebut, yang dibuat-Nya mendiami seluruh muka 

bumi (Kis. 17:26). Makhluk ciptaan yang lebih rendah tidak 

mampu melakukan perbuatan moral, maka mereka tidak mene-

rima upah maupun hukuman. Namun, di antara anak-anak 

manusia, Allah menurunkan hujan, baik sebagai teguran bagi 

negeri-Nya maupun untuk menyatakan kasih setia-Nya (ay. 13).


(1) Adakalanya hujan turun sebagai penghukuman. Hujan men-

jadi bencana bagi negeri yang berdosa. Dahulu hujan pernah 

dipakai sebagai alat untuk membinasakan seluruh bumi, 

demikianlah sekarang pun kerap dipakai menjadi teguran 

atau disiplin terhadap sejumlah bagian bumi, dengan meng-

halangi kesuburan dan panen, menimbulkan banjir, dan 

merusak hasil tanam. Sebagian orang beranggapan bahwa 

ada bangsa-bangsa yang menerima hukuman berupa hujan 

yang terlalu banyak, bukan kekeringan. 

(2) Pada lain waktu, hujan merupakan berkat bagi isi bumi-

Nya supaya subur, dan selain sebagai kebutuhan yang me-

mang perlu, Dia memberikannya untuk menyatakan kasih 

setia, guna memperkaya dan membuatnya semakin subur. 

Lihatlah betapa kita sangat bergantung kepada Allah, se-

bab satu hal yang sama bisa menjadi penghukuman atau 

kemurahan besar tergantung ukuran pemberiannya, dan 

tanpa Allah tidak mungkin ada hujan maupun hari cerah.  

Tutur Kata Elihu 

(37:14-20) 

14 Berilah telinga kepada semuanya itu, hai Ayub, diamlah, dan perhatikan-

lah keajaiban-keajaiban Allah. 15 Tahukah engkau, bagaimana Allah memberi 

tugas kepadanya, dan menyinarkan cahaya dari awan-Nya? 16 Tahukah eng-

kau tentang melayangnya awan-awan, tentang keajaiban-keajaiban dari Yang 

Mahatahu, 17 hai engkau, yang pakaiannya menjadi panas, jika bumi terdiam 

sebab  panasnya angin selatan? 18 Dapatkah engkau seperti Dia menyusun 

awan menjadi cakrawala, keras seperti cermin tuangan? 19 Beritahukanlah 

kepada kami apa yang harus kami katakan kepada-Nya: tak ada yang dapat 

kami paparkan oleh sebab  kegelapan. 20 Apakah akan diberitahukan kepada-

Nya, bahwa aku akan bicara? Pernahkah orang berkata, bahwa ia ingin 

dibinasakan? 

Dalam ayat-ayat di atas Elihu berbicara langsung kepada Ayub agar 

memperhatikan apa yang telah dia ucapkan sejauh ini. Ia meminta 

Ayub untuk menyimak semua penuturannya (ay. 14) dan diam seje-

nak, Diamlah, dan perhatikanlah keajaiban-keajaiban Allah. Apa yang 

kita dengar kemungkinan besar tidak akan bermanfaat bila kita tidak 

memikirkannya. Dan kita biasanya tidak akan memikirkan sesuatu 

dengan saksama, bila kita tidak diam dan menata hati untuk ber-

pikir. sebab  ajaibnya, perbuatan-perbuatan Allah layak dan perlu 

direnungkan, dan perenungan yang benar tentang semuanya itu 

akan membantu kita bersedia menerima seluruh bentuk penyeleng-

garaan-Nya. Untuk merendahkan hati Ayub, Elihu menunjukkan ke-

padanya bahwa, 

I. Ayub tidak tahu dengan mendalam tentang asal muasal peristiwa 

alam. Ia tidak dapat melihat kemunculannya maupun memper-

kirakan dampaknya (ay. 15-17). “Tahukah engkau ini dan tahu-

kah engkau tentang keajaiban-keajaiban dari Yang Mahatahu?” 

Ayat ini mengajarkan kita bahwa, 

1. Pengetahuan Allah itu sempurna. Inilah salah satu kesempur-

naan Allah yang termulia, yaitu Dia tahu segala sesuatu de-

ngan sempurna. Dia Mahatahu. Pengetahuan-Nya murni dari 

diri-Nya sendiri: Dia memiliki penglihatan dan bukan berdasar-

kan laporan. Pengetahuan-Nya mendalam dan menyeluruh. 

Dia mengetahui hakikat yang sejati, bukan tampilan luar saja. 

Dia mengetahui seutuhnya, bukan sebagian saja. Tidak ada 

yang jauh bagi pengetahuan-Nya, semuanya dekat, tidak ada 

masa depan, semuanya sekarang ini, tidak ada yang tersem-

bunyi, semuanya terbuka di hadapan-Nya. Kita harus meng-

akui hal ini dalam seluruh pekerjaan-Nya yang ajaib. Di tengah 

perbuatan-perbuatan ajaib yang tidak kita pahami artinya, cu-

kuplah bagi kita untuk mengetahui bahwa semua itu dikerjakan 

oleh Dia yang Mahatahu, yang tahu apa yang dikerjakan-Nya. 

2. Pengetahuan manusia tidaklah sempurna. Para filsuf terbesar 

pun tidak tahu banyak tentang kuasa-kuasa dan karya-karya 

alam. Manusia merupakan paradoks bagi dirinya sendiri, dan 

segala sesuatu tentang diri kita yaitu  misteri. Daya tarik 

bumi dan kesatuan bagian-bagian benda sangat pasti, namun  

tidak dapat dijelaskan. Sungguh baik bila kita menyadari ke-

tidaktahuan kita. Sebagian orang memang mengakui ketidak-

tahuan mereka, sedangkan yang tidak mau mengakuinya sama 

dengan membohongi diri sendiri. Dari kenyataan tersebut, kita 

semua harus menyimpulkan betapa kita tidak mampu menilai 

pikiran ilahi, mengingat sedikit sekali pemahaman kita menge-

nai cara kerja ilahi. 

(1) Kita tidak tahu apa yang sudah dan akan Allah perintah-

kan mengenai awan-awan (ay. 15). Namun kita yakin, se-

muanya dilakukan dengan ketetapan dan rencana, namun  

ketetapan apa dan rencana yang bagaimana, dan kapan 

rencana itu ditentukan, kita tidak tahu. Allah sering kali 

menyinarkan cahaya dari awan-Nya, berupa pelangi (menu-

rut sebagian penafsir), dan berupa kilat (demikian kata yang 

lain). Namun, bisakah kita melihat atau mengetahui kapan 

Dia akan mengerjakannya? Jika kita meramalkan perubah-

an cuaca beberapa jam sebelum terjadi dengan perkiraan 

kasar, atau saat  penyebab kedua telah mulai menampak-

kan tanda-tanda cuaca, namun semuanya itu tidak menun-

jukkan kepada kita apa tujuan Allah dalam perubahan ter-

sebut! 

(2) Kita tidak tahu bagaimana awan-awan diseimbangkan di 

udara, bagaimana melayangnya awan-awan, yang merupa-

kan salah satu keajaiban Allah. Awan itu begitu seimbang, 

begitu menyebar hingga tidak pernah merugikan kita da-

lam mendapatkan manfaat cahaya matahari, (bahkan hari 

berawan pun tetap terang), begitu seimbang hingga tidak 

jatuh sekaligus atau tumpah menjadi air terjun maupun 

semburan topan badai. Pelangi yaitu  tanda perkenanan 

Allah dalam menyeimbangkan awan-awan guna menjaga 

agar dunia jangan sampai ditutupi olehnya. Bahkan, begitu 

seimbangnya awan itu hingga mereka menurunkan hujan 

secara merata ke atas bumi, supaya setiap tempat menda-

pat jatahnya secara bergiliran. 

(3) Kita tidak tahu bagaimana cuaca yang nyaman datang ke-

tika musim dingin telah lewat (ay. 17).  

[1] Bagaimana udara menjadi hangat setelah sebelumnya 

dingin. Kita tahu bahwa pakaian kita menjadi hangat 

pada tubuh, artinya kita dihangatkan dalam balutan 

pakaian oleh sebab  kehangatan udara yang kita hirup. 

Tanpa berkat Allah, kita berpakaian namun  badan kita 

tidak akan menjadi hangat (Hag. 1:6). sebab  perintah-

Nyalah pakaian kita menghangatkan kita, sebab dalam 

rendahnya suhu musim dingin, pakaian itu tidak akan 

dapat membuat kita tetap hangat.  

[2] Bagaimana cuaca menjadi tenang setelah badai. Dia 

membuat bumi terdiam sebab  panasnya angin selatan, 

saat  musim semi datang. Milik-Nyalah angin utara yang 

keras dan dingin, milik-Nya pula angin selatan yang 

hangat dan menenangkan. Roh Kudus dapat diibaratkan 

keduanya, sebab Dia menginsafkan sekaligus menghibur 

(Kid. 4:16). 

II. Ayub sama sekali tidak turut serta dalam penciptaan dunia yang 

mula-mula (ay. 18), “Dapatkah engkau seperti Dia menyusun awan 

menjadi cakrawala? Janganlah berlagak bahwa engkau telah 

membuatnya bersama Dia, apalagi menjadikannya tanpa Dia. 

Sebab Allah sama sekali tidak memerlukan bantuan baik dalam 

merancang maupun melaksanakannya.” Terciptanya langit yang 

akbar dan luas (Kej. 1:6-8), yang terlihat sampai hari ini merupa-

kan contoh keagungan kuasa ilahi, mengingat bahwa, 

1. Meskipun berbahan cair, cakrawala itu padat. Ia keras seperti 

cermin tuangan dan terkenal sebab  tegak kokoh. Ia tetap 

sama sejak dulu hingga sekarang dan tidak mengalami keme-

rosotan, dan penataan langit pun tidak akan berubah hingga 

masanya berakhir. 

2. Meskipun luas, cakrawala itu cerah dan jernih, seperti cermin 

tuangan, halus dan mengkilap, tanpa cacat atau retak secuil-

pun. Dalam cakrawala, sama seperti dalam cermin, kita bisa 

melihat kemuliaan Allah, dan hikmat pekerjaan tangan-Nya 

(Mzm. 19:2). Tatkala memandang ke langit di atas sana, ingat-

lah bahwa itu yaitu  cermin, bukan untuk menunjukkan 

wajah kita sendiri, namun  untuk mencerminkan kemurnian, ke-

hormatan, dan kecemerlangan dunia atas dan penghuninya 

yang mulia. 

III. Ayub maupun yang lainnya tidak mampu membicarakan keagung-

an Allah setara dengan kenyataannya (ay. 19-20). 

1. Elihu menantang Ayub untuk memimpin mereka membahas 

masalah itu, jika dia berani melakukannya. Perkataan Elihu 

bernada sindiran, “Beritahukanlah kepada kami jika engkau 

bisa, apa yang harus kami katakan kepada-Nya (ay. 19). Eng-

kau berdebat dengan Allah dan menyuruh kami berbantah 

dengan-Nya demi engkau, coba ajari kami apa yang harus 

kami ucapkan. Apakah engkau bisa melihat ke dalam jurang 

lebih jauh daripada kami? Jika engkau dapat, ceritakanlah 

apa yang engkau tahu, berikanlah kami pengajaran.” 

2. Elihu mengakui ketidakmampuannya dalam berbicara kepada 

Allah maupun berkata-kata tentang-Nya. Tak ada yang dapat 

kami paparkan oleh sebab  kegelapan. Perhatikanlah, manusia 

yang paling cerdas sekalipun tidak tahu apa-apa mengenai 

kesempurnaan hakikat ilahi yang mulia dan penataan peme-

rintahan ilahi. Barang siapa yang mendapat anugerah untuk 

mengenal banyak tentang Allah sesungguhnya hanya tahu 

sedikit sekali, bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan 

dengan apa yang harus diketahui, dan yang akan diketahui 

kelak, saat  yang sempurna datang dan selubung dikoyak-

kan. Saat berbicara tentang Allah, kita akan berkata-kata 

dengan kebingungan dan ketidakpastian, lalu kehilangan akal, 

bukan sebab  kehabisan bahan, namun  kehabisan kata-kata. 

Sama seperti kita harus senantiasa mengawali dengan takut 

dan gentar agar jangan sampai salah ucap (De Deo etiam vera 

dicere periculosum est – Saat memastikan sesuatu yang sudah 

benar tentang Allah pun kita berisiko keliru), demikan pula kita 

harus mengakhiri dengan segan dan malu sebab  perkataan 

kita tidak cukup baik. Elihu sendiri telah berbicara dengan 

amat baik bagi Allah, namun ia sama sekali tidak mengharap-

kan imbalan, atau menganggap Allah berutang kepadanya, 

atau merasa layak menjadi penasihat-Nya. 

(1) Elihu bahkan malu sebab  ucapannya, bukan sebab  isi-

nya, namun  pengelolaan kata-katanya, “Apakah akan diberi-

tahukan kepada-Nya, bahwa aku akan bicara? (ay. 20). 

Haruskah disampaikan kepada-Nya sebagai suatu jasa 

yang layak Ia ketahui? Sama sekali tidak. Janganlah ber-

kata seperti itu.” Sebab Elihu takut kalau-kalau pembicara-

an tentang keajaiban Allah menjadi rusak sebab  cara pe-

nyampaiannya, ibarat wajah yang rupawan menjadi tampak 

buruk sebab  pelukis yang kurang ahli. Ia merasa tuturan-

nya jauh dari baik hingga berhak mendapat balas jasa, ma-

lah ia justru perlu mohon diampuni. Setelah melakukan 

segalanya semampu kita bagi Allah, kita harus mengakui 

bahwa kita hanyalah hamba-hamba yang tidak layak, dan 

tidak ada yang bisa kita banggakan. Elihu takut berbicara 

lebih banyak lagi, “Jika seorang manusia berkata-kata, jika 

dia berusaha membela Allah, apalagi menentang-Nya, ten-

tulah ia akan dibinasakan (ay. 20, KJV). Apabila ia berbicara 

dengan lancang, murka Allah akan segera menelannya. Se-

kalipun berbicara dengan baik pun, ia akan tersesat dalam 

misteri ilahi dan dikuasai oleh silau oleh cahaya-Nya. Keka-

guman akan membutakan dan membisukan dia. 

Tutur Kata Elihu 

(37:21-24) 

21 Sesaat  terang tidak terlihat, sebab  digelapkan mendung; lalu angin ber-

embus, maka bersihlah cuaca. 22 Dari sebelah utara muncul sinar keemasan; 

Allah diliputi oleh keagungan yang dahsyat. 23 Yang Mahakuasa, yang tidak 

dapat kita pahami, besar kekuasaan dan keadilan-Nya; walaupun kaya akan 

kebenaran Ia tidak menindasnya. 24 Itulah sebabnya Ia ditakuti orang; setiap 

orang yang menganggap dirinya mempunyai hikmat, tidak dihiraukan-Nya.” 

Elihu mengakhiri tutur katanya dengan serangkaian ucapan singkat 

namun dahsyat mengenai kemuliaan Allah yang mengesankan bagi-

nya. Ia ingin membuat orang lain juga terkesan akan kemuliaan itu 

dengan kekaguman yang kudus. Elihu berbicara secara ringkas dan 

tergesa-gesa, sebab kemungkinan ia sudah merasakan bahwa Allah 

sebentar lagi akan mengambil alih perkara tersebut. 

1. Ia melihat bahwa Allah, yang telah memutuskan untuk diam dalam 

kekelaman (2Taw. 6:1; Mzm. 18:12), sedang berada di atas kereta-

Nya yang dahsyat itu dan bergerak ke arah mereka, seolah Dia 

sedang menyiapkan takhta penghakiman-Nya, yang dikelilingi 

oleh awan dan kekelaman (Mzm. 97:2, 9). Elihu telah melihat 

awan datang dari selatan dengan angin puting beliung di pusat-

nya. Kini awan itu menggantung di atas mereka, begitu pekat dan 

gelapnya hingga mereka tidak dapat melihat terang sebab  dige-

lapkan mendung. Cahaya matahari sekarang tertutup. Hal itu 

mengingatkannya pada kegelapan yang membuatnya tidak mam-

pu berkata-kata (ay. 19), dan takut untuk terus berbicara (ay. 20). 

Itulah ketakutan yang dirasakan para murid Yesus saat  mereka 

masuk ke dalam awan itu (Luk. 9:34). Akan namun , Elihu melihat 

bahwa langit jernih di arah utara, hal itu memberinya pengharap-

an bahwa awan-awan itu tidak berkumpul untuk mendatangkan 

banjir. Awan tidak menutupi mereka, hanya mengelilingi. Ia ber-

harap angin akan berembus, maka bersihlah cuaca, seperti angin 

yang dahulu pernah bertiup di muka bumi untuk mengeringkan-

nya dari air bah pada zaman Nuh (Kej. 8:1) sebagai wujud perke-

nanan Allah. Lalu dari sebelah utara muncul sinar keemasan (ay. 

22) dan semuanya akan baik-baik saja. Tidak untuk selamanya 

Allah murka dan tidak seterusnya Ia berbantah. 

2. Elihu buru-buru mengakhiri ucapannya, sebab Allah hendak ber-

bicara. Oleh sebab itu ia menyampaikan pesannya secara singkat 

dan padat sebagai rangkuman dari semua yang telah dibicarakan. 

Bila diperhatikan dengan sungguh, perkataannya itu bukan hanya 

menegaskan seluruh pesan yang telah diucapkannya, namun  juga 

membuka jalan bagi apa yang ingin Allah katakan. Elihu meng-

amati bahwa,  

(1) Allah diliputi oleh keagungan yang dahsyat. Dialah Allah yang 

mulia dan kesempurnaan-Nya tidak terhingga sehingga pasti 

mendatangkan ketakjuban kepada semua yang ada di hadap-

an-Nya dan kengerian kepada semua lawan-Nya. Allah diliputi 

oleh puji-pujian yang dahsyat (menurut sejumlah tafsiran), se-

bab Dia menakutkan sebab  perbuatan-Nya yang masyhur 

(Kel. 15:11).  

(2) Yang Mahakuasa, tidak dapat kita pahami sekalipun kita mem-

percakapkan-Nya. Pemahaman kita yang terbatas tidak mam-

pu mengerti kesempurnaan-Nya yang tiada terbatas (ay. 23). 

Bisakah kita menampung lautan dalam cangkang telur? Kita 

tidak sanggup menelusuri langkah-langkah Tuhan dalam pe-

nyelenggaraan-Nya. Melalui laut jalan-Mu (Mzm. 77:20).  

(3) Besar kekuasaan-Nya. sebab  kebesaran kuasa-Nya itulah Dia 

dapat melakukan apa pun seturut kehendak-Nya baik di langit 

maupun di bumi. Luasnya semesta dan dahsyatnya kekuatan 

Allah yaitu  bukti kebesaran-Nya. Tiada ciptaan yang mempu-

nyai lengan sepanjang dan sekuat Dia.  

(4) Agunglah Ia pula dalam hikmat dan kebenaran. Dia kaya akan 

kebenaran dan penghakiman. Seandainya Dia tidak adil, ke-

kuasaan-Nya pun tidak akan dahsyat. Kita boleh yakin bahwa 

Dia yang sanggup melakukan segala sesuatu pasti mengerja-

kannya demi kebaikan yang terbaik, sebab Ia bijak tidak ter-

batas. Dia tidak akan berbuat salah dalam hal apa pun, sebab 

Ia adil tidak terbatas. Saat Dia melaksanakan penghakiman 

atas orang berdosa, hukuman-Nya itu sarat dengan keadilan, 

sehingga Dia tidak membebankan lebih daripada yang sepatut-

nya.  

(5) Ia tidak menindasnya, yaitu, Tuhan tidak akan menindas de-

ngan rela hati. Dia tidak senang mendukakan anak-anak ma-

nusia, apalagi anak-anak-Nya sendiri. Dia tidak akan menim-

pakan penderitaan, kecuali ada penyebab dan bila memang 

diperlukan. Lagi pula Dia tidak akan membebani kita terlalu 

berat dengan penderitaan, sebab  Dia memperhitungkan ke-

kuatan kita. Versi terjemahan lain menuliskan ayat 23 demi-

kian: “Yang Mahakuasa, yang tidak dapat kita pahami, besar 

kekuasaan-Nya, namun  Dia tidak akan menindas dengan peng-

hakiman, dan pada-Nya berlimpah keadilan. Dia tidak akan 

menuding kesalahan kita dengan berat.”  

(6) Dia tidak menghargai cercaan orang yang merasa dirinya bijak, 

mereka tidak dihiraukan-Nya (ay. 24). Dia tidak akan meng-

ubah rancangan-Nya hanya sebab  mereka, dan orang-orang 

itu pun tidak akan mampu membuat Dia bekerja seturut ke-

mauan mereka. Allah memperhitungkan doa orang yang ren-

dah hati, namun  mengabaikan kepintaran orang-orang culas. 

Yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manu-

sia (1Kor. 1:25).  

(7) Berdasarkan semuanya itu, kesimpulannya jelas, bahwa Allah 

itu Mahabesar, sehingga Dia patut ditakuti. Bahkan, sebab  

Dia murah hati dan tidak akan menindas, itulah sebabnya Ia 

ditakuti orang. Pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau 

ditakuti orang (Mzm. 130:4). Takut akan Allah merupakan ke-

wajiban dan kepentingan semua manusia. Manusia pasti takut 

kepada-Nya (menurut versi terjemahan lain), cepat atau lam-

bat mereka pasti akan takut akan Dia. Barang siapa tidak mau 

takut akan Tuhan dan kebaikan-Nya akan gemetar selama-

lamanya di bawah curahan cawan murka-Nya.  

PASAL 38  

alam kebanyakan perdebatan, hal yang dipertengkarkan yaitu  

siapa yang akan membuat keputusan terakhir. Dalam percek-

cokan ini, sahabat-sahabat Ayub dengan lesu menyerahkannya ke-

pada Ayub, kemudian dari dia kepada Elihu. Namun, sesudah semua 

perdebatan dewan yang berlangsung di persidangan, hakim pengadil-

anlah yang harus membuat keputusan terakhir. Demikianlah yang 

dilakukan Allah di sini, dan begitu juga dalam setiap percekcokan, 

sebab setiap penghakiman manusia berasal dari Dia. Dengan hu-

kuman-Nya yang menentukan, setiap orang akan tegak atau jatuh, 

dan setiap perkara akan menang atau kalah. Ayub sudah sering naik 

banding kepada Allah, dan mengatakan dengan berani bagaimana ia 

akan mengajukan perkaranya di hadapan Dia. Bagaikan raja ia hen-

dak datang mendekat kepada-Nya. Namun, saat  Allah mengambil 

takhta pengadilan, Ayub tidak mampu berkata apa-apa untuk mem-

bela diri selain berdiam diri di hadapan-Nya. Sungguh tidak mudah 

untuk menentang Yang Mahakuasa sebagaimana yang dibayangkan 

orang. Sahabat-sahabat Ayub pun beberapa kali mengajukan perkara 

kepada Allah: “Mudah-mudahan Allah sendiri berfirman!” (11:5). Seka-

rang Allah akhirnya benar-benar berfirman, saat  amarah Ayub 

sedikit diredakan dan ditahan melalui anjuran Elihu yang jelas dan 

kuat, sehingga ia dipersiapkan untuk mendengar apa yang hendak 

dikatakan Allah. Sudah merupakan tugas para hamba Allah untuk 

mempersiapkan jalan bagi TUHAN. Yang dirancang Allah yang agung 

dalam percakapan ini yaitu  untuk merendahkan hati Ayub, dan 

membuat dia bertobat serta menarik semua ucapannya yang penuh 

kemarahan dan tidak pantas menyangkut tindakan pemeliharaan 

Allah terhadap dirinya. Ia melakukan ini dengan mengajak Ayub 

membandingkan kekekalan Allah dengan masa hidupnya sendiri, 

kemahatahuan-Nya dengan kebodohan Ayub sendiri, serta kemaha-

kuasaan-Nya dengan kelemahannya sendiri. 

I.   Allah mengawali dengan tantangan untuk menyadarkan 

Ayub dan tuntutan secara umum (ay. 2-3). 

II.  Allah melanjutkan dengan berbagai contoh dan bukti nyata 

mengenai ketidakmampuan Ayub untuk bertengkar dengan 

Allah, sebab  kebodohan dan kelemahannya, sebab, 

1. Ayub tidak tahu apa pun tentang penciptaan bumi (ay. 4-7). 

2. Ia tidak tahu apa pun tentang pembendungan laut (ay. 8-11). 

3. Tidak tahu apa pun tentang cahaya fajar (ay. 12-15). 

4. Tidak tahu apa pun tentang ceruk gelap lautan dan bumi 

(ay. 16-21). 

5. Tidak tahu apa pun tentang sumber air di awan-awan (ay. 

22-27), ataupun rancangan-rancangan tersembunyi yang 

menggerakkan semua itu. 

6. Ayub tidak mampu berbuat apa pun untuk membuat hu-

jan, atau salju, atau kilat (ay. 28-30, 34-35, 37-38), tidak 

tahu sedikit pun tentang pergerakan bintang-bintang ter-

masuk pengaruhnya (ay. 31-33), tentang menaruh hikmat 

di dalam batin orang manusia (ay. 36, TL). Yang terakhir, 

A