Tampilkan postingan dengan label ayub 33. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 33. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 33


d alam hati nuraninya akan kebodohan dirinya 

sendiri dalam berbicara tidak pantas kepada-Nya.  

1. Ia mengakui bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu. 

Adakah yang terlalu sulit bagi Dia yang menciptakan behemot 

dan lewiatan, dan mengatur keduanya dengan sesuka hati-

Nya? Ayub sudah mengetahui hal ini sebelumnya, dan telah 

menjelaskan dengan sangat baik mengenai hal itu, namun kini 

ia mengetahuinya melalui pengalaman. Satu kali Allah ber-

firman, dan ia telah mendengarnya dua kali, bahwa kuasa dari 

Allah asalnya. sebab  itu, sungguh gila dan lancang untuk 

melawan Allah. “Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, 

dan sebab  itu juga Engkau sanggup untuk mengangkatku 

keluar dari keadaan yang rendah ini, yang sering kali dengan 

bodohnya aku anggap tidak mungkin. Sekarang aku percaya, 

bahwa Engkau sanggup melakukannya.” 

2. Bahwa tidak ada rencana-Mu yang gagal (KJV: tidak ada pikiran 

yang tersembunyi dari pada-Nya), yaitu, 

(1) Tidak ada pikiran yang dapat kita sembunyikan dari pada-

Nya. Tidak ada keluhan, ketidakpuasan, maupun ketidak-

percayaan dalam pikiran kita yang tidak Allah saksikan 

setiap waktu. yaitu  sia-sia untuk  melawan Allah, sebab 

tidak ada rencana dan rancangan kita yang dapat kita sem-

bunyikan daripada Allah, dan apabila Ia mengetahuinya, 

maka Ia dapat mengalahkannya.

(2) Tidak ada rencana-Nya yang tidak dapat terlaksana. TU-

HAN melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Ayub telah ber-

kata-kata dengan marah tentang hal ini, mengeluhkannya 

(23:13). Apa yang dikehendaki-Nya dilaksanakan-Nya juga. 

Sekarang ia berkata-kata dengan senang dan yakin, bahwa 

tidak ada rencana-Mu yang gagal. Apabila rancangan-ran-

cangan Allah atas kita yaitu  rancangan-rancangan yang 

baik, untuk memberikan kepada kita hari depan yang penuh 

harapan, maka Ia tidak bisa digagalkan dari mencapai 

tujuan-tujuan-Nya yang baik, betapa pun besar kesulitan 

yang kelihatannya merintangi. 

 II. Ayub mengakui bahwa dirinya bersalah atas tuduhan-tuduhan 

yang diberikan Allah kepadanya pada awal perkataannya (ay. 3). 

“Tuhan, kata pertama yang Engkau katakan yaitu , Siapakah dia 

yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Tidak diperlu-

kan lagi. Perkataan itu telah menginsafkanku. Aku mengakui aku-

lah dia yang telah demikian bodoh. Kata itu telah sampai ke hati 

nuraniku, dan menyatakan dosaku di hadapanku. Hal itu terlalu 

jelas untuk disangkal, terlalu buruk untuk diampuni. Aku telah 

menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan. Aku telah dengan 

bodohnya mengabaikan keputusan-keputusan dan rancangan-ran-

cangan Allah yang membuatku menderita, sehingga aku berbantah 

dengan Allah, dan terlalu bersikeras untuk membenarkan diri 

sendiri: Itulah sebabnya, tanpa pengertian,” yaitu, “Aku telah men-

jatuhkan penghakiman atas dispensasi Penyelenggaraan Allah, 

tanpa pengetahuan yang benar akan alasan-alasanya.” Di sini,  

1. Ia mengakui bahwa dirinya tidak tahu apa-apa akan putusan 

hikmat ilahi, dan kita semua pun demikian. Penilaian Allah 

sangat dalam, sehingga kita tidak dapat menyelaminya, apa-

lagi untuk memahami asalnya. Kita melihat perbuatan-per-

buatan Allah, namun kita tidak mengetahui mengapa Ia mela-

kukannya, apa yang menjadi tujuan-Nya, atau apa yang akan 

terjadi kemudian. Hal-hal ini terlalu besar bagi kita, melam-

paui apa yang dapat kita lihat, melampaui jangkauan kita 

untuk dapat kita ubah, dan melampaui wilayah kekuasaan 

kita untuk dapat kita hakimi. Hal-hal itu tidak kita mengerti, 

melampaui kemampuan kita untuk menghakiminya. Alasan 

mengapa kita berbantah dengan Penyelenggaraan Allah yaitu  

sebab  kita tidak memahaminya. sebab  itu, kita harus puas 

saja di dalam ketidakmengertian akan hal itu, sampai misteri 

Allah usai.  

2. Ayub mengakui bahwa dirinya tidak bijak dan gegabah dalam 

memperkatakan apa yang tidak ia mengerti dan mendakwa hal 

yang tidak dapat ia adili. Jikalau seseorang memberi jawab 

sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya. Kita 

menyatakan kesalahan diri sendiri, dan perkara yang kita pu-

tuskan, sebab  kita bukanlah hakim yang cakap untuk meng-

adilinya. 

III. Ayub tidak akan menjawab, namun ia akan memohon belas kasih-

an kepada yang mendakwa dirinya, sebagaimana yang telah ia 

katakan (9:15). “Firmanmu: Dengarlah, maka Akulah yang akan 

berfirman (ay. 4, KJV: bahwa Ayub yang berbicara, bukan Allah 

seperti dalam terjemahan LAI). Aku tidak berbicara sebagai peng-

gugat maupun pembela (13:22), namun sebagai pemohon yang 

rendah hati, bukan sebagai seorang yang akan mengajar dan 

mengatur-atur, namun  sebagai seorang yang ingin belajar dan ingin 

diatur. Tuhan, jangan lagi berikan aku pertanyaan-pertanyaan 

yang sulit, sebab aku tidak mampu menjawab satu pun dari 

ribuan pertanyaan yang Engkau berikan. Sebaliknya, izinkan aku 

untuk meminta pengajaran dari pada-Mu, dan jangan menolak 

aku, jangan mencela aku dengan kebodohan dan kesombongan-

ku,” (Yak. 1:5). Ia kini dibawa kepada doa yang diajarkan Elihu 

kepadanya, apa yang tidak kumengerti, ajarkanlah kepadaku. 

IV. Ia menempatkan dirinya sebagai seorang petobat, dan di sini ia 

ada di jalan yang benar. Dalam pertobatan sejati tidak hanya ada 

keinsafan akan dosa, namun  juga ada penyesalan dan dukacita 

kudus terhadap dosa, dukacita menurut kehendak Allah (2Kor. 

7:9). Seperti itulah Ayub berdukacita atas dosa-dosanya. 

1. Pandangan Ayub tertuju kepada Allah di dalam pertobatannya, 

dengan pemikiran yang luhur akan Dia, dan menyadari (ay. 5): 

“Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, 

sering kali dari guru-guruku saat  aku masih muda, dari 

teman-temanku pada masa lanjutku. Aku telah mengetahui 

beberapa hal tentang kebesaran-Mu, kuasa-Mu, dan kekua-

saan-Mu yang berdaulat. Namun apa yang telah aku dengar 

tidak membawaku untuk menundukkan diriku kepada-Mu se-

bagaimana mestinya. Semua pengetahuan yang aku miliki ha-

nya sebatas di bibir saja, tidak ada pengaruhnya terhadap akal 

budiku. namun  sekarang dengan pewahyuan langsung Engkau 

telah menyatakan dirimu kepadaku di dalam kemegahan-Mu 

yang mulia. Sekarang mataku sendiri memandang Engkau. 

Sekarang aku merasakan kuasa dari kebenaran-kebenaran 

yang sebelumnya hanya sebatas pengetahuan saja, dan sebab  

itu kini aku bertobat, dan mencabut kembali apa yang telah 

aku katakan di dalam kebodohanku.” Perhatikan, 

(1) yaitu  suatu belas kasihan yang besar untuk mendapat-

kan pengajaran yang baik, dan mengetahui tentang Allah 

melalui segala petunjuk dari firman dan para hamba-Nya. 

Iman timbul dari pendengaran, dan paling mungkin timbul 

saat  kita mendengar dengan penuh perhatian dan dengan 

telinga yang mendengar. 

(2) saat  pengertian kita dicerahkan oleh Roh anugerah, 

maka pengetahuan kita akan hal-hal ilahi akan jauh me-

lampaui apa yang semula kita miliki, sebagaimana peng-

lihatan mata melampaui kabar dan cerita dari mulut ke 

mulut. Allah menyatakan Anak-Nya kepada kita melalui 

pengajaran-pengajaran manusia, namun melalui pengajar-

an-pengajaran Roh-Nya Ia menyatakan Anak-Nya di dalam 

kita (Gal. 1:16), dan dengan demikian mengubah kita men-

jadi serupa dengan gambar-Nya (2Kor. 3:18).  

(3) Allah berkenan untuk terkadang menyatakan dirinya sepe-

nuh-penuhnya kepada umat-Nya melalui teguran firman-

Nya dan tindakan penyelenggaraan-Nya. “Sekarang setelah 

aku menderita, setelah aku diberitahukan akan kesalahan-

kesalahanku, sekarang mataku sendiri memandang Eng-

kau”. Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat. Berbaha-

gialah orang yang Kauhajar, dan yang Kauajari. 

2. Ayub memandang dirinya di dalam penyesalannya, menyalah-

kan dirinya, dan dengan demikian menyatakan dukacitanya 

atas dosa-dosanya (ay. 6): Oleh sebab itu aku mencabut perka-

taanku, dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu. 

Perhatikan, 

(1) yaitu  penting bagi kita untuk merendahkan diri dalam-

dalam atas dosa-dosa yang kita sadari, dan tidak sekadar 

berhenti pada sikap ketidaksenangan yang dangkal terha-

dap diri kita atas dosa-dosa tersebut. Bahkan orang baik 

sekalipun, yang tidak melakukan kejahatan-kejahatan yang 

menjijikkan untuk disesali, harus berduka sedalam-dalam-

nya di dalam jiwanya saat  hatinya hancur akibat kesom-

bongan, hawa nafsu, kesesatan, dan ketidakpuasan, dan 

perkataan-perkataan mereka yang gegabah. Hal-hal ini se-

harusnya menusuk hati kita dan membuat hati kita pahit. 

Sampai musuh sungguh-sungguh ditaklukkan, kedamaian 

tidaklah datang. 

(2) Ungkapan lahiriah dari dukacita yang saleh patut diper-

lihatkan para petobat. Ayub menyesal dalam debu dan abu. 

Hal ini apabila dilakukan tanpa perubahan di dalam batin 

yang sungguh-sungguh yaitu  penghinaan kepada Allah. 

Namun saat  hal ini keluar dari penyesalan jiwa yang 

tulus, dengan ungkapan ini orang berdosa memberikan ke-

muliaan kepada Allah, mengambil cela bagi dirinya sendiri, 

dan dapat menjadi alat untuk membawa orang-orang lain 

kepada pertobatan. Penderitaan Ayub telah membawanya 

kepada debu (2:8, ia duduk di tengah-tengah abu), namun 

sekarang dosa-dosanya membawanya ke sana. Orang-orang 

yang sungguh-sungguh menyesal berkabung atas dosa-dosa 

mereka dengan sepenuh hati sebagaimana mereka meratapi 

penderitaan-penderitaan jasmani. Mereka merasa pahit, se-

bab mereka dibuat melihat kejahatan yang ada dalam dosa-

dosa mereka melebihi yang ada dalam kesusahan-kesusah-

an mereka.  

(3) Kebencian terhadap diri sendiri merupakan kawan dari 

pertobatan sejati (Yeh. 6:9), mereka sendiri akan mual meli-

hat kejahatan yang mereka lakukan. Kita harus tidak hanya 

marah kepada diri kita atas kesalahan dan kerusakan yang 

diakibatkan dosa pada jiwa kita sendiri, melainkan juga 

harus membenci diri kita sendiri, sebab dengan dosa kita 

membuat diri kita menjijikkan bagi Allah yang murni dan 

kudus, yang tidak tahan melihat dosa. Apabila dosa sung-

guh-sungguh merupakan kekejian bagi kita, maka demi-

kianlah seharusnya dengan dosa dalam diri kita sendiri. 

Semakin dekat dosa dengan diri kita, semakin menjijikkan 

dosa itu. 

(4) Semakin kita melihat kemuliaan dan keagungan Allah, dan 

semakin kita melihat kotor dan jijiknya dosa dan diri kita 

akibat dosa, maka semakin kita akan merendahkan diri 

dan membenci diri kita sebab nya, “Sekarang mataku sen-

diri melihat betapa agungnya Allah yang telah aku hina, ke-

cemerlangan keagungan yang telah aku ludahi oleh dosa 

yang dengan sengaja aku perbuat, kelembutan dari belas 

kasihan yang telah aku tolak dengan hina. Sekarang aku 

telah melihat betapa benar dan kudusnya Allah yang telah 

aku bangkitkan amarah-Nya. Oleh sebab itu aku membenci 

diriku sendiri. Celakalah aku! aku binasa,” (Yes. 6:5). Allah 

menantang Ayub untuk mengamat-amati setiap orang yang 

congkak dan menundukkan mereka. “Aku tidak bisa,” kata 

Ayub, “mengaku-ngaku mampu melakukannya. Aku jera, 

kesombongan hatiku kena batunya, direndahkan dan kena 

hina.” Mari kita menyerahkan kepada Allah untuk meng-

atur isi dunia, sedangkan kewajiban kita yaitu  dengan 

kekuatan anugerah-Nya mengatur diri dan hati kita. 

Ayub Dibenarkan oleh Allah  

(42:7-9) 

7 Setelah TUHAN mengucapkan firman itu kepada Ayub, maka firman TUHAN 

kepada Elifas, orang Téman: “Murka-Ku menyala terhadap engkau dan ter-

hadap kedua sahabatmu, sebab  kamu tidak berkata benar tentang Aku se-

perti hamba-Ku Ayub. 8 Oleh sebab itu, ambillah tujuh ekor lembu jantan 

dan tujuh ekor domba jantan dan pergilah kepada hamba-Ku Ayub, lalu per-

sembahkanlah semuanya itu sebagai korban bakaran untuk dirimu, dan 

baiklah hamba-Ku Ayub meminta doa untuk kamu, sebab  hanya perminta-

annyalah yang akan Kuterima, supaya Aku tidak melakukan aniaya terhadap 

kamu, sebab kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku 

Ayub.” 9 Maka pergilah Elifas, orang Téman, Bildad, orang Suah, dan Zofar, 

orang Naama, lalu mereka melakukan seperti apa yang difirmankan TUHAN 

kepada mereka. Dan TUHAN menerima permintaan Ayub. 

Sebelumnya Ayub banyak mengeluh mengenai celaan teman-teman-

nya dan perlakuan keras mereka kepadanya, dan ia berseru kepada 

Allah memohon menjadi hakim antara dirinya dan mereka. Ia tidak

percaya penghakiman akan datang segera. saat  Allah bertanya 

jawab dengan Ayub dari dalam badai, orang tentu akan berpikir bah-

wa hanya Ayub yang salah, dan bahwa perkara akan dijatuhkan un-

tuk melawan dia. Namun di sini, secara mengejutkan, kita mendapati 

bahwa yang terjadi yaitu  sebaliknya, dan keputusan yang dijatuh-

kan justru menguntungkan Ayub. Oleh sebab itu, janganlah meng-

hakimi sebelum waktunya. Mereka yang sungguh-sungguh benar di 

hadapan Allah mungkin saja kebenarannya tertutup mendung dan 

terhalang oleh penderitaan-penderitaan yang besar dan tidak biasa, 

oleh celaan-celaan keras orang, oleh kelemahan-kelemahan dan hawa 

nafsu bodoh mereka sendiri, oleh teguran tajam firman Tuhan dan 

hati nurani, dan kesesakan dalam roh mereka sendiri akibat kengeri-

an yang datang dari Allah. Namun demikian, pada waktunya, awan-

awan yang menyelubungi akan berlalu, dan Allah akan memunculkan 

kebenaran mereka seperti terang, dan hak mereka seperti siang (Mzm. 

37:6). Ia membersihkan kebenaran Ayub di sini, sebab Ayub seorang 

yang jujur, memegang dengan teguh dan tidak melepaskan kejujur-

annya. Di sini kita temukan, 

I.  Penghakiman dijatuhkan kepada ketiga sahabat Ayub, atas per-

bantahan di antara mereka dan Ayub. Elihu tidak dikecam di sini, 

sebab ia membedakan dirinya dari yang lain dalam menangani per-

selisihan itu, dan tidak berpihak, melainkan menjadi penengah. 

Penengah akan mendapatkan pujian Allah, baik hal itu dipuji oleh 

manusia maupun tidak. Dalam penghakiman di sini Ayub dipuji, 

sedangkan ketiga temannya dipermalukan. saat  kita menguji 

perkataan-perkataan kedua belah pihak, kita tidak dapat mem-

bedakan, sehingga tidak dapat menentukan siapa yang benar. 

Kita pikir ada kebenaran di kedua belah pihak, namun kita tidak 

dapat memilih di antara mereka. Kita juga tidak boleh, demi apa 

pun, mengambil keputusan yang pasti atas perkara ini, atau kita 

akan mengambil keputusan yang salah. Akan namun , syukurlah 

bahwa penghakiman yaitu  milik Tuhan, dan kita yakin bahwa 

penghakiman-Nya sesuai dengan kebenaran. Kepada penghakim-

an Allah kita akan berserah, dan kita akan tunduk kepadanya. 

Sekarang, dalam penghakiman di sini dicatat bahwa, 

1. Ayub sangat dipuji dan keluar sebagai orang yang terhormat. 

Ia hanya seorang melawan tiga orang, seorang pengemis me-

lawan tiga raja, namun, dengan Allah di sisinya, ia tidak perlu 

takut akan hasilnya, meskipun ribuan orang melawan dirinya. 

Perhatikan di sini, 

(1) saat  Allah tampil baginya: Setelah TUHAN mengucapkan 

firman itu kepada Ayub (ay. 7). Setelah Ia menginsafkan 

dan merendahkannya, dan membawanya kepada pertobat-

an atas perkataannya yang keliru, barulah Ia mengakui 

Ayub atas perkataannya yang tepat, menghiburnya, dan 

memberikan kehormatan kepadanya. Sebab, kita tidak siap 

menerima pujian dari Allah sampai kita menghakimi dan 

menyalahkan diri kita sendiri. Namun setelah itu barulah 

Ia membela perkara Ayub, sebab Dialah yang telah mener-

kam dan yang akan menyembuhkan kita, yang telah memu-

kul dan yang akan membalut kita. Sang Penghibur akan 

menginsafkan (Yoh. 16:8). Perhatikan bagaimana kita akan 

mendapatkan penerimaan ilahi. Kita harus pertama-tama 

direndahkan di bawah teguran ilahi. Setelah Allah,  melalui 

firman-Nya, mendatangkan dukacita, Ia kembali dan me-

nunjukkan belas kasihan, sesuai dengan kelimpahan kemu-

rahan-Nya. Sebab bukan untuk selama-lamanya Ia hendak 

berbantah, melainkan hanya sebentar saja, dan menahan 

angin-Nya yang keras di waktu angin timur. Kini setelah 

Ayub merendahkan dirinya, maka Allah mengangkatnya. 

Orang yang sungguh-sungguh bertobat akan menerima 

kemurahan Allah, dan kesalahan yang telah mereka ucap-

kan dan perbuat tidak lagi diungkit terhadap mereka. Allah 

berkenan kepada kita saat  kita membenci diri sebab  dosa. 

(2) Bagaimana Allah tampil bagi Ayub. Sudah pasti bahwa se-

mua pelanggaran Ayub diampuni, sebab jika ia ditinggikan, 

seperti yang terjadi di sini, maka tidak diragukan lagi ia 

dibenarkan. Ayub beberapa kali menyatakan dengan penuh 

keyakinan bahwa Allah akan membenarkannya pada akhir-

nya, dan memang ia tidak dipermalukan atas pengharap-

annya itu. 

[1] Allah memanggilnya hamba-Ku Ayub berkali-kali, seba-

nyak empat kali dalam dua ayat. Ia sepertinya senang 

memanggil Ayub demikian, sebagaimana sebelum semua 

kesusahannya (1:8), “Apakah engkau memperhatikan 

hamba-Ku Ayub? Meskipun miskin dan dihina, dia tetap 

hamba-Ku, dan sama kusayangi seperti saat  dia da-

lam kemakmuran. Meskipun ia memiliki kesalahan-ke-

salahan, dan takluk pada nafsu amarah seperti orang 

lain, meskipun ia telah berselisih denganku, hendak 

meniadakan pengadilan-Ku, dan telah berkata-kata tan-

pa pengetahuan, namun ia telah menyadari kesalah-

annya dan mencabutnya kembali, dan dengan demikian 

ia tetaplah hamba-Ku Ayub.” Apabila kita berpegang 

teguh pada ketulusan dan kesetiaan sebagai hamba 

Allah, seperti Ayub, maka meskipun kita untuk semen-

tara waktu akan kehilangan penghargaan dan peng-

hiburan dari Allah, semuanya akan dipulihkan pada 

akhirnya, sama seperti Ayub. Iblis telah berusaha untuk 

membuktikan bahwa Ayub yaitu  seorang yang muna-

fik, dan ketiga sahabatnya telah mengecam dia sebagai 

orang fasik, namun Allah akan mengakui orang-orang 

yang Ia terima, dan tidak akan membiarkan mereka di-

kalahkan oleh kejahatan neraka atau dunia. Jika Allah 

berkata, Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang 

baik dan setia, maka apa pun perkataan orang lain, 

tidak ada pengaruhnya.  

[2] Allah mengakui bahwa Ayub telah berkata benar ten-

tang diri-Nya, melampaui apa yang telah dikatakan 

lawan-lawan debatnya. Ayub telah memberikan pernya-

taan yang jauh lebih baik dan benar tentang Penyeleng-

garaan ilahi dibanding mereka. Mereka telah bersalah 

kepada Allah dengan menjadikan kemakmuran sebagai 

tanda umat yang sejati dan penderitaan sebagai tanda 

yang pasti akan murka Allah. namun  Ayub telah berbuat 

benar bagi Allah dengan mempertahankan kepercayaan-

nya, bahwa kasih dan kebencian Allah dinilai berdasar-

kan apa yang ada di dalam diri manusia, bukan apa 

yang ada di hadapan mereka (Pkh. 9:1). Perhatikan,  

Pertama-tama, orang-orang yang paling berlaku adil 

kepada Allah dan penyelenggaraan-Nya yaitu  yang me-

mandang upah dan hukuman di dunia yang lain lebih 

daripada upah dan hukuman di dunia ini, dan dengan 

pandangan inilah mereka mengatasi berbagai kesukar-

an hidup sekarang ini. Ayub mengacu kepada peng-

hakiman dan keadaan yang akan datang melebihi yang 

dilakukan sahabat-sahabatnya, dan dengan demikian 

berbicara tentang Allah dengan benar, melebihi saha-

bat-sahabatnya.  

Kedua, meskipun Ayub telah mengatakan beberapa 

hal yang keliru, bahkan tentang Allah, yang telah ia ka-

takan dengan lancangnya, namun ia dipuji untuk hal-

hal yang ia katakan dengan benar. Kita tidak boleh ha-

nya tidak menolak hal yang benar dan baik, namun 

juga tidak boleh mengingkari pujian yang layak didapat-

kan atas hal-hal itu, meskipun kelihatan di dalamnya 

campuran kerapuhan dan kelemahan manusia.  

Ketiga, Ayub benar dan sahabat-sahabatnya salah, 

namun ia yang menderita sedangkan mereka hidup 

dengan nyaman. Dan ini merupakan sebuah bukti yang 

nyata bahwa kita tidak dapat menghakimi seseorang 

dan pandangannya melalui apa yang kelihatan di wajah 

atau pundi-pundinya. Hanya Allah yang melihat hati 

manusia yang dapat menilai dengan sempurna. 

[3] Ia akan berkata-kata bagi Ayub, bahwa terlepas dari se-

gala kesalahan yang diperbuat sahabat-sahabatnya ke-

padanya, ia yaitu  seorang yang sangat baik, dan ber-

jiwa rendah hati, lembut dan pemaaf, sehingga ia akan 

dengan senang hati berdoa bagi mereka, dan menggu-

nakan kepentingannya di sorga atas nama mereka: 

“Hamba-Ku Ayub akan meminta doa untuk kamu. Aku 

tahu ia akan melakukannya. Aku telah mengampuninya 

dan ia telah mendapat kelegaan dari pengampunan, 

maka ia akan mengampuni kamu.” 

[4] Ia mengangkat Ayub sebagai imam bagi jemaat ini, dan 

berjanji untuk menerimanya dan pengantaraannya bagi 

sahabat-sahabatnya. “Ambillah persembahanmu kepada 

hamba-Ku Ayub, sebab  hanya permintaannyalah yang 

akan Kuterima.” Mereka yang Allah sucikan dari dosa-

dosanya akan ia jadikan raja dan imam bagi-Nya. Se-

orang petobat yang sejati tidak hanya akan diterima un-

tuk memohon bagi diri mereka sendiri, namun juga akan 

diterima sebagai pendoa syafaat bagi orang lain. Suatu 

kehormatan besar yang Allah berikan kepada Ayub, de-

ngan mengangkatnya untuk mempersembahkan korban 

bagi sahabat-sahabatnya, sebagaimana dahulu ia laku-

kan bagi anak-anaknya sendiri (1:5). Dan ini sungguh 

menjadi suatu pertanda yang membahagiakan bahwa 

kemakmurannya akan dipulihkan, dan juga sebuah lang-

kah yang baik bahwa ia dikembalikan kepada jabatannya 

sebagai imam. Dengan demikian ia menjadi perlambang 

Kristus, yang melalui-Nya saja kita dan persembahan 

rohani kita berkenan kepada Allah (1Ptr. 2:5). “Pergilah 

kepada hamba-Ku Ayub, kepada hamba-Ku Yesus” 

(yang dari-Nya untuk suatu waktu Ia menyembunyikan 

wajah-Nya), “berikan korban persembahanmu kepada-

nya, dan jadikan Dia Pembelamu, sebab Ia akan Aku 

terima, namun di luar Dia, engkau harus bersiap untuk 

diadili sesuai dengan kebodohanmu.” Dan sebagaimana 

Ayub berdoa dan mempersembahkan korban bagi mere-

ka yang telah mendukakan dan melukai jiwanya, demi-

kian juga Kristus berdoa dan mati bagi orang-orang yang 

menganiaya Dia, dan untuk selama-lamanya hidup dan 

berdoa untuk pemberontak-pemberontak. 

2.  Sahabat-sahabat Ayub sangat dipermalukan dan dicela. Me-

reka yaitu  orang-orang baik dan merupakan milik kepunya-

an Allah, dan oleh sebab  itu Ia tidak akan membiarkan me-

reka terus berbaring di dalam kesalahan mereka lebih dari 

Ayub. sebab  itu, setelah merendahkan Ayub melalui perkata-

an dari dalam badai, Ia mengambil langkah lain untuk meren-

dahkan mereka. Ayub, yang paling dikasihi-Nya, ditegur per-

tama-tama, baru setelah itu giliran yang lainnya. saat  mere-

ka mendengar Allah berbicara kepada Ayub, mereka mungkin 

memuji-muji diri bahwa mereka benar dan Ayub bersalah. 

Namun Allah segera memberi mereka perintah dan memberi-

tahu mereka bahwa yang terjadi yaitu  hal yang sebaliknya. 

Dalam kebanyakan perselisihan dan pertentangan, ada kesa-

lahan pada kedua belah pihak, baik dalam penyebabnya mau-

pun dalam penanganannya, jika tidak dalam keduanya. Dan 

sebab nya memang tepat kalau kedua belah pihak harus di-

beritahukan tentang hal itu dan diperlihatkan akan kesalahan 

mereka. Allah menyampaikan hal ini kepada Elifas, tidak ha-

nya sebagai yang tertua, namun juga sebagai pemimpin dalam 

serangan yang dilakukan terhadap Ayub. Sekarang, 

(1)  Allah memberitahukan kepada mereka dengan jelas, bahwa 

kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku 

Ayub. Yaitu, mereka telah mengecam dan menuduh Ayub 

dengan dugaan yang salah, telah memfitnah bahwa Allah 

menentang Ayub sebagai seorang musuh, padahal se-

sungguhnya Ia hanya mengujinya sebagai seorang kawan. 

Tuduhan  mereka itu tidak benar. Orang tidak berkata be-

nar tentang Allah, jika mereka menggambarkan bahwa gan-

jaran Allah seperti bapa kepada anaknya yaitu  hukuman 

penghakiman-Nya terhadap mereka, dan bahwa Ia menca-

but perkenanan-Nya atas mereka. Perhatikan, sangatlah 

berbahaya untuk menghakimi dengan keras keadaan ro-

hani dan hidup kekal orang lain, sebab dengan melakukan-

nya kita mungkin saja mengutuk orang yang diterima 

Allah, suatu hal yang sangat membuat Allah marah. Ini 

sama saja dengan menyakiti orang-orang kecil milik-Nya, 

dan Ia memandangnya sebagai kesalahan yang diperbuat 

terhadap diri-Nya sendiri.  

(2) Allah meyakinkan Elifas dan sahabat-sahabat Ayub itu, 

bahwa Ia marah kepada mereka: Murka-Ku menyala terha-

dap engkau dan terhadap kedua sahabatmu. Allah sangat 

marah kepada mereka yang memandang rendah dan men-

cela saudara-saudara mereka, yang bermegah atas mereka, 

dan menjatuhkan penghakiman yang keras kepada mereka, 

baik sebab  malapetaka yang mereka alami maupun kare-

na kelemahan mereka. Meskipun mereka yaitu  orang-

orang yang bijak dan baik, namun, mereka berkata-kata 

dengan keliru, Allah marah kepada mereka dan memberi-

tahu mereka bahwa Ia benar-benar marah. 

(3) Ia menuntut dari mereka suatu korban persembahan, un-

tuk menebus perkataan mereka yang keliru. Mereka ma-

sing-masing harus membawa tujuh ekor lembu jantan dan 

tujuh ekor domba jantan, untuk dipersembahkan kepada 

Allah sebagai korban bakaran. Sebab tampaknya, sebelum 

hukum Musa, semua persembahan, bahkan untuk penda-

maian, dibakar sampai habis, dan sebab  itulah disebut 

korban bakaran. Mereka pikir mereka telah berkata dengan 

luar biasa hebatnya, dan bahwa Allah telah berutang budi 

kepada mereka sebab  telah membela perkara-Nya dan 

berutang hadiah kepada mereka atas hal itu. Namun seba-

liknya, mereka diberitahu, bahwa Ia marah kepada mereka, 

menuntut dari mereka suatu korban persembahan, dan 

mengancam, bahwa apabila mereka tidak melakukannya, 

maka Ia akan berurusan dengan mereka atas kebodohan 

mereka. Allah sering kali marah dengan hal yang kita bang-

gakan dan memandang salah hal yang kita pikir sudah kita 

lakukan dengan baik. 

(4) Ia memerintahkan mereka untuk pergi kepada hamba-Nya 

Ayub, dan memohon kepadanya untuk mempersembahkan 

korban mereka, dan berdoa untuk mereka, atau mereka 

tidak akan diterima. Melalui hal ini Allah bermaksud, 

[1] Untuk menghina dan merendahkan mereka. Mereka pi-

kir mereka yaitu  kesayangan sorga dan Ayub tidak 

memiliki kepentingan di sana. Namun Allah membuat 

mereka mengerti bahwa Ayub lebih disayangi di sorga 

dibandingkan mereka, dan lebih diterima Allah diban-

dingkan mereka. Saatnya akan tiba saat  mereka yang 

memandang rendah dan mencela umat Allah akan me-

mohon-memohon bantuan umat-Nya itu, dan diberita-

hukan bahwa Allah mengasihi umat-Nya (Why. 3:9). 

Gadis-gadis yang bodoh akan mengemis meminta mi-

nyak gadis-gadis yang bijaksana. 

[2] Mengharuskan mereka untuk berdamai dengan Ayub 

sebagai syarat untuk berdamai dengan Allah. Jika ada 

sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap eng-

kau (seperti Ayub memiliki masalah besar dengan mere-

ka), pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu 

kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. 

Penebusan harus pertama-tama dilakukan atas kesa-

lahan yang dilakukan, sesuai dengan syaratnya, sebe-

lum kita berharap mendapat pengampunan dosa dari 

Allah. Lihat bagaimana Allah mendukung penuh per-

kara Ayub dan terlibat di dalamnya. Allah tidak akan 

mau berdamai dengan mereka yang telah menghina 

Ayub sampai mereka pertama-tama memohon pengam-

punan darinya dan berdamai dengan mereka. Ayub dan 

sahabat-sahabatnya berbeda pendapat dalam banyak 

hal, dan saling menyindir dengan tajamnya, namun  seka-

rang mereka hendak diperdamaikan kembali. Untuk itu, 

mereka tidak perlu memperdebatkan masalah ini lagi 

dan mencoba melakukan hal itu lagi (yang mungkin 

tidak akan ada habisnya), namun harus bersatu di da-

lam persembahan dan doa, dan hal itu akan memperda-

maikan mereka. Mereka harus bergabung dalam kasih 

dan ibadah saat  mereka beradu perasaan. Mereka 

yang berbeda pendapat dalam hal-hal yang kecil tetap-

lah satu di dalam Kristus Sang Korban yang Agung, dan 

berkumpul di hadapan takhta anugerah yang sama, 

dan sebab  itu harus saling mengasihi dan memaafkan 

satu dengan yang lainnya. Sekali lagi perhatikan, saat  

Allah marah kepada sahabat-sahabat Ayub, Ia juga mem-

berikan mereka suatu jalan untuk berdamai dengan diri-

Nya. Pertentangan kita dengan Allah selalu berawal dari 

pihak kita, namun pendamaian selalu dimulai dari pihak 

Allah. 

II.  Persetujuan sahabat-sahabat Ayub akan penghakiman itu (ay. 

9). Mereka yaitu  orang-orang yang baik, sehingga segera 

setelah mereka memahami pikiran Allah, mereka melakukan 

seperti apa yang Ia perintahkan. Mereka melakukannya de-

ngan segera dan tidak membantah, meskipun mungkin me-

reka merasa malu memohon kepada Ayub yang telah mereka 

cela itu. Perhatikan, mereka yang hendak diperdamaikan de-

ngan Allah harus memakai  sarana dan cara untuk ber-

damai yang telah ditentukan dengan berhati-hati. Pendamaian 

dengan Allah hanya dapat ditempuh melalui cara dan syarat 

yang telah Ia tentukan. Jalan dan cara-Nya itu tidak akan 

menjadi terlalu sulit bagi mereka yang memahami bagaimana 

menghargai hak istimewa untuk diperdamaikan dengan-Nya. 

Mereka akan dengan senang hati melakukannya, bagaimana-

pun merendahkannya caranya. Sahabat-sahabat Ayub semua-

nya bersama-sama telah bergabung menuduh Ayub, dan seka-

rang mereka semua bersama-sama bergabung untuk memohon 

pengampunannya. Orang-orang yang telah berdosa bersama-

sama harus bertobat bersama-sama. Orang-orang yang memo

hon kepada Allah, seperti yang dilakukan Ayub dan sahabat-

sahabatnya harus menetapkan diri untuk berpegang pada 

keputusan-Nya, baik hal itu menyenangkan atau tidak menye-

nangkan bagi mereka. Orang-orang yang dengan berhati-hati 

mematuhi perintah-perintah Allah tidak perlu meragukan 

kebaikan-Nya: TUHAN menerima permintaan Ayub, dan saha-

bat-sahabatnya sebagai jawaban atas doa Ayub. Tidak dikata-

kan bahwa Ia menerima mereka (meskipun hal itu tersirat), te-

tapi Ia menerima Ayub bagi mereka. Demikianlah Ia menerima 

kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya (Ef. 1:6, Mat. 3:17). Ayub 

tidak menghina sahabat-sahabatnya atas kesaksian yang Allah 

berikan tentang dia. Ia juga tidak menghina mereka sebab  

mereka harus tunduk terhadapnya. Sebagaimana Allah dengan 

penuh kemurahan berdamai dengan dirinya, demikian juga 

Ayub dengan mudah berdamai dengan mereka, dan kemudian 

Allah menerima dirinya. Inilah yang seharusnya menjadi tu-

juan kita di dalam semua doa dan ibadah kita, yaitu untuk 

diterima oleh Tuhan. Inilah yang harus menjadi keinginan kita 

yang tertinggi, yaitu bukan untuk mendapatkan pujian manu-

sia, melainkan untuk menyenangkan Allah.  

Hati Kemakmuran Ayub Diperbarui; Kematian Ayub  

(42:10-17) 

10 Lalu TUHAN memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk 

sahabat-sahabatnya, dan TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat 

dari segala kepunyaannya dahulu. 11 Kemudian datanglah kepadanya semua 

saudaranya laki-laki dan perempuan dan semua kenalannya yang lama, dan 

makan bersama-sama dengan dia di rumahnya. Mereka menyatakan turut 

berdukacita dan menghibur dia oleh sebab  segala malapetaka yang telah di-

timpakan TUHAN kepadanya, dan mereka masing-masing memberi dia uang 

satu kesita dan sebuah cincin emas. 12 TUHAN memberkati Ayub dalam hidu 

pnya yang selanjutnya lebih dari pada dalam hidupnya yang dahulu; ia 

mendapat empat belas ribu ekor kambing domba, dan enam ribu unta, seribu 

pasang lembu, dan seribu ekor keledai betina. 13 Ia juga mendapat tujuh 

orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan; 14 dan anak perempuan 

yang pertama diberinya nama Yemima, yang kedua Kezia dan yang ketiga 

Kerenhapukh. 15 Di seluruh negeri tidak terdapat perempuan yang secantik 

anak-anak Ayub, dan mereka diberi ayahnya milik pusaka di tengah-tengah 

saudara-saudaranya laki-laki. 16 Sesudah itu Ayub masih hidup seratus empat 

puluh tahun lamanya; ia melihat anak-anaknya dan cucu-cucunya sampai 

keturunan yang keempat. 17 Maka matilah Ayub, tua dan lanjut umur. 

Kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub (kata Sang Rasul, 

Yak. 5:11) dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan, 

yaitu, akhir yang diberikan Tuhan pada penderitaan Ayub. Pada awal 

kitab ini kita menyaksikan ketekunan Ayub di dalam penderitaannya, 

sebagai teladan. Pada bagian ini, sebagai penutup, untuk mendorong 

kita untuk meneladani Ayub, kita menemukan akhir yang menyenang-

kan dari penderitaannya dan hidupnya yang makmur yang dipulihkan 

setelahnya. Hal ini meneguhkan kepada kita bahwa berbahagialah 

orang yang bertekun. Mungkin juga, kemakmuran luar biasa yang 

dikaruniakan kepada Ayub setelah penderitaannya dimaksudkan 

sebagai perlambang dan gambaran kemuliaan dan sukacita sorgawi 

yang akan datang bagi kita orang-orang Kristen yang saat ini berada 

di dalam penderitaan. Penderitaan sekarang ini sedang mengerjakan 

kemuliaan dan sukacita sorgawi bagi kita, yang akan terjadi pada 

akhirnya. Kemuliaan dan sukacita ini akan terasa lebih dari dua kali 

lipat kebahagiaan dan kepuasaannya dari yang saat ini kita nikmati, 

sebagaimana kemakmuran Ayub yang kedua melebihi yang sebelum-

nya, padahal sebelumnya Ia yaitu  orang yang paling kaya di Timur. 

Barang siapa yang dengan benar bertahan dalam pencobaan, saat  

ia diuji, akan menerima mahkota kehidupan (Yak. 1:12), seperti Ayub, 

saat  sesudah tahan uji, menerima semua kekayaan, dan kehormat-

an, dan penghiburan, yang kita temui catatannya pada bagian ini. 

I. Allah kembali kepada Ayub dalam kemurahan. Pikiran Allah me-

ngenai Ayub yaitu  rancangan damai sejahtera dan bukan ran-

cangan kecelakaan, untuk memberikan hari depan yang penuh ha-

rapan, bahkan yang tidak terduga (Yer. 29:11). Kesusahan Ayub 

dimulai dengan maksud jahat iblis, yang ditahan Allah. Pemu-

lihannya dimulai dengan belas kasihan Allah, yang tidak dapat 

dilawan Iblis. Keluhan terbesar Ayub, yang menjadi keluhan yang 

paling memilukan di antara semua keluhannya, yang paling ia 

tekankan, yaitu  bahwa Allah tampil melawan dia. Namun seka-

rang Allah dengan jelas menampakkan diri baginya, dan berjaga-

jaga atas mereka untuk membangun dan menanam, sebagaimana 

yang telah Ia lakukan (setidaknya dalam pemahamannya) berjaga-

jaga atas mereka untuk mencabut dan meruntuhkan (Yer. 31:28). 

Hal ini segera memberi wajah baru pada perkara Ayub, dan segala 

sesuatu sekarang kelihatan sama menyenangkan dan menjanji-

kannya seperti sebelumnya kelihatan suram dan menakutkan.  

1. Allah memulihkan keadaan Ayub, yaitu, Ia memulihkan semua 

keluhannya dan mengangkat semua penyebab keluhannya. Ia 

melepaskan Ayub dari ikatan Iblis saat ini, yang untuk semen-

tara waktu mengikatnya, dan membebaskannya dari tangan-

tangan kejam yang mencengkeramnya. Kita dapat menduga 

sekarang semua penyakit dan boroknya telah disembuhkan de-

ngan tiba-tiba sepenuhnya bagaikan mujizat. Tubuhnya meng-

alami kesegaran seorang pemuda, ia seperti pada masa muda-

nya. Terlebih lagi, ia merasakan perubahan besar dalam pikir-

annya. Pikirannya menjadi tenang dan ringan, dan kekacauan 

sudah berakhir, segala pikirannya yang gelisah telah dilenyap-

kan, ketakutannya dibungkam, dan penghiburan Allah seka-

rang menjadi kesukaan jiwanya sebagaimana kengerian-Nya 

menjadi beban baginya sebelumnya. Air pasang kini berbalik, 

dan segala kesusahannya surut secepat datangnya, tepat 

setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, berdoa 

untuk korban yang ia persembahkan bagi mereka. Belas ka-

sihan Allah tidak kembali saat  ia berbantah dengan sahabat-

sahabatnya, tidak, tidak meskipun ia benar, namun saat  ia 

berdoa untuk mereka. Sebab Allah lebih senang dan menyukai 

ibadah kita yang hangat dibanding perbantahan yang hangat. 

saat  Ayub menuntaskan pertobatannya dengan mengampuni 

orang lain, maka Allah menyelesaikan pengampunannya de-

ngan memulihkan keadaannya. Perhatikan, kita sebenarnya 

sedang menolong diri kita saat  berdoa bagi sahabat-sahabat 

kita, apabila kita berdoa dengan cara yang benar, sebab  di 

dalam doa-doa tersebut tidak hanya ada iman, namun juga 

kasih. Kristus telah mengajarkan kita untuk berdoa bersama 

dan bagi orang lain dengan mengajar kita berdoa, Bapa kami. 

Di dalam memohonkan belas kasihan bagi orang lain, kita bisa 

mendapat belas kasihan bagi diri kita. Tuhan kita Yesus 

ditinggikan dan berkuasa di sana, di mana Ia hidup senantiasa 

untuk menjadi Pengantara (KJV: hidup sementara untuk menjadi 

Pengantara). Beberapa penafsir memahami pemulihan keadaan 

Ayub sebagai ganti rugi yang dibayarkan orang-orang Sabean 

dan Kasdim atas ternak yang telah mereka ambil darinya, di 

mana Allah dengan luar biasa mendorong mereka untuk mela-

kukannya, dan dengan ini Ayub memulai dunia lagi. Mungkin 

memang begitu, sebab  harta benda ditelan para penjarah, na-

mun mereka dipaksa untuk mengeluarkannya lagi dari dalam 

perutnya (20:15). namun  saya lebih memilih memahami hal ini 

secara umum sebagai suatu perubahan keadaan. 

2. Allah melipatgandakan harta Ayub. TUHAN memberikan kepa-

da Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu. 

Mungkin saja pada awalnya Ia melakukannya, dengan cara 

tertentu, menyatakan kepadanya bahwa yaitu  tujuan-Nya 

yang mulia, sedikit demi sedikit, pada waktunya untuk mem-

bawanya ke tingkat kemakmuran yang sedemikian tinggi se-

hingga ia memiliki dua kali lipat dari apa yang ia miliki sebe-

lumnya. Hal ini dimaksudkan untuk membesarkan harapan-

nya dan mendorong ketekunannya, sehingga tampak bahwa 

peningkatan yang luar biasa ini merupakan tanda khusus 

akan perkenanan Allah. Dan hal itu dapat dianggap sebagai:  

(1) Penggantian atas kerugiannya. Ayub telah menderita bagi 

kemuliaan Allah, sehingga Allah kemudian mengembalikan 

kepadanya dengan keuntungan, dan memberikan kepada-

nya lebih dari bunga atas bunga. Allah akan memastikan 

bahwa tidak ada orang yang akan menanggung rugi sebab  

diri-Nya. 

(2) Upah atas ketekunan dan kepercayaannya kepada Allah, 

yang, meskipun ada banyak kelemahan, tidak ia buang, 

namun ia pegang teguh, dan sebab  itulah ada upah besar 

yang menantinya (Ibr. 10:35). Sahabat-sahabat Ayub telah 

sering menghina Ayub sebab  hal ini, kalau engkau bersih 

dan jujur, maka tentu Ia akan bangkit demi engkau (8:6). 

namun  Ia tidak bangkit demi engkau, dan sebab  itu eng-

kau pasti orang yang tidak lurus hati. “Pernyataanmu tidak 

benar, dan Aku bahkan akan menunjukkan betapa tulus-

nya hati hamba-Ku Ayub. Hidupnya yang selanjutnya akan 

bertambah-tambah berkali lipat, dan dengan begitu akan 

jelas, bahwa bukan sebab  ketidakjujuran maka ia men-

derita kehilangan segala sesuatu.” Sekarang Ayub memiliki 

alasan untuk memuji Allah sebab  mengambil segala se-

suatu darinya (sebagaimana yang ia lakukan, 1:21), sebab  

Ia mengembalikannya dengan sangat baik. 

II.  Semua kenalannya yang lama, tetangga, dan kerabatnya sangat 

baik kepadanya (ay. 11). Sebelumnya mereka meninggalkan diri-

nya, dan hal ini bukan yang paling berat dalam kesengsaraannya. 

Dengan pahit ia mengeluh tentang sikap jahat mereka (19:13). 

Namun sekarang mereka semua mengunjunginya dengan berba-

gai ungkapan kasih dan penghormatan.  

1. Mereka menghormatinya, dengan datang makan bersama-sama 

dengan dia seperti sebelumnya, dan (dapat kita duga) masing-

masing datang dengan membawa jamuannya sehingga ia dapat 

menjamu mereka tanpa harus membayar.  

2. Mereka bersimpati kepada Ayub dan menunjukkan perhatian 

mereka, layaknya saudara. Mereka menyatakan turut ber-

dukacita saat  membicarakan kemalangan penderitaannya, 

dan menghibur dia saat  mereka memperhatikan Allah kem-

bali kepadanya dengan penuh belas kasih. Mereka menangis 

atas dukacitanya, dan bersukaria atas sukacitanya, dan ter-

bukti bukan menjadi penghibur sialan seperti ketiga sahabat-

nya, yang pada awalnya begitu lancang dan berkata-kata pe-

das saat  mengunjunginya. Orang-orang ini bukanlah orang-

orang yang hebat, terpelajar dan fasih seperti ketiga sahabat 

Ayub itu, namun mereka terbukti lebih cakap dan baik hati 

dalam menghibur Ayub. Allah terkadang memilih yang bodoh 

dan lemah dari dunia baik untuk menginsafkan maupun 

untuk menghibur.   

3. Mereka mengumpulkan harta mereka untuk mengganti kerugi-

an Ayub dan menolongnya untuk memulai kembali. Tidak cu-

kup bagi mereka untuk hanya berkata, kenakanlah kain panas 

dan makanlah sampai kenyang, namun juga memberikan ke-

padanya hal-hal yang berguna baginya (Yak. 2:16). Masing-

masing memberi dia uang satu kesita (beberapa mungkin lebih, 

mungkin kurang, sesuai dengan kemampuan mereka) dan 

sebuah cincin emas (perhiasan yang sangat umum dikenakan 

orang-orang di timur), yang sama bergunanya seperti uang 

bagi Ayub: ini yaitu  kelebihan yang dapat mereka berikan, 

dan aturannya yaitu , bahwa kelimpahan kita harus mencu-

kupi kekurangan saudara-saudara kita. Namun mengapa ke-

rabat Ayub sekarang, akhirnya, menunjukkan kebaikan ini 

kepadanya? 

(1) Allah meletakkan hal ini di dalam hati mereka untuk mela-

kukannya, dan setiap ciptaan akan berbuat kepada kita 

sesuai dengan apa yang Allah maksudkan bagi dia dengan 

keberadaannya. Ayub mengakui Allah atas sikap mereka 

yang menjauh darinya, dan sekarang Allah memberi upah 

kepadanya dengan membawa mereka kembali kepadanya.  

(2) Mungkin beberapa orang di antara mereka dahulu menarik 

diri dari Ayub sebab  mereka berpikir bahwa ia seorang 

munafik, namun kini setelah kebenarannya telah dinyata-

kan, mereka kembali kepadanya dan bersekutu dengannya 

lagi. saat  Allah akrab dengan Ayub, mereka juga mau 

akrab dengannya (Mzm. 119:74, 79). Sebagian yang lainnya 

mungkin menarik diri sebab  Ayub sangat miskin, sakit, dan 

menyedihkan untuk dipandang, namun setelah ia mulai 

dipulihkan, mereka bersedia untuk memperbarui hubungan 

mereka dengannya. Teman-teman yang seperti burung la-

yang-layang, yang pergi saat  musim dingin, akan kembali 

saat  musim semi, meskipun persahabatan mereka tidak 

terlalu berarti. 

(3) Mungkin teguran Allah terhadap Elifas dan kedua sahabat 

Ayub yang lain atas perlakuan keras mereka kepada Ayub 

menyadarkan kawan-kawan Ayub yang lain untuk kembali 

kepada kewajiban mereka. Teguran kepada orang lain ha-

rus kita perhatikan sebagai peringatan dan pengajaran bagi 

kita. 

4.  Ayub meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan mereka ber-

bondong-bondong datang kepadanya, tersentuh oleh kebaik-

annya, dan setiap orang ingin didoakan olehnya. Semakin sering 

kita berdoa untuk sahabat-sahabat dan kerabat kita, semakin 

besar penghiburan yang akan kita dapatkan di dalam mereka. 

III.  Kekayaan Ayub bertambah dengan anehnya, dengan berkat Allah 

atas hal-hal kecil yang diberikan sahabat-sahabatnya. Dengan 

bersyukur ia menerima kebaikan mereka, dan tidak merasa hina 

mendapat harta kembali melalui sumbangan. Namun di sisi lain 

ia tidak memaksa teman-temannya untuk menggalang dana bagi-

nya. Dia menjauhkan dirinya dari pada hal itu (6:22), Pernahkah 

aku berkata: Berilah aku sesuatu, atau: Berilah aku uang suap dari 

hartamu? Namun ia menerima apa yang mereka bawa dengan 

penuh syukur, dan tidak mencela mereka atas perlakuan mereka 

yang keras sebelumnya, juga tidak bertanya mengapa mereka 

tidak melakukan kebaikan ini lebih awal. Ia tidak tamak atau 

mengeluh sehingga meminta sumbangan mereka, namun  juga tidak 

sombong atau bertabiat buruk hingga menolaknya saat  mereka 

memberikannya. Dan sebab  sikapnya yang baik ini, Allah mem-

berikan kepadanya apa yang jauh lebih baik lagi daripada uang 

dan cincin mereka, yaitu berkat-Nya (ay. 12). Sekarang Tuhan 

menghiburnya sesuai dengan hari-hari ia menderita, dan member-

kati Ayub dalam hidupnya yang selanjutnya lebih dari pada dalam 

hidupnya yang dahulu. Perhatikan, 

1.  Berkat TUHANlah yang menjadikan kaya. Ia-lah yang memberi 

kita kekuatan untuk mendapat kekayaan dan memberi keber-

hasilan dalam usaha yang jujur. Oleh sebab itu, mereka yang 

ingin berkembang harus memandang kepada berkat Allah, dan 

tidak mengarahkan pandangan kepada yang lainnya, jangan, 

jangan kepada matahari yang hangat sekalipun. Dan, mereka 

yang telah berkembang tidak boleh memberi persembahan ke-

pada upayanya sendiri, melainkan mengakui kewajiban mere-

ka kepada Allah atas berkat-berkat-Nya. 

2.  Berkat Tuhan dapat membuat sangat kaya dan terkadang mem-

buat orang-orang yang baik menjadi kaya. Orang yang menjadi 

kaya dengan bekerja, berpikir bahwa mereka dapat dengan mu-

dah menjadi sangat kaya dengan menabung. Namun, sebagai-

mana orang yang memiliki sedikit harus bergantung kepada 

Allah untuk menjadikannya banyak, demikian juga orang yang 

memiliki banyak harus bergantung kepada Allah untuk mem-

buatnya bertambah dan melipatgandakannya. Jika tidak, kamu 

menabur banyak, namun  membawa pulang hasil sedikit (Hag. 1:6). 

3. Hari-hari terakhir seorang yang saleh terkadang merupakan 

hari-hari yang terbaik, pekerjaan-pekerjaan terakhirnya meru-

pakan yang terbaik, penghiburan-penghiburan terakhirnya me-

rupakan yang terbaik. Sebab perjalanan mereka seperti sinar 

mentari pagi yang bersinar semakin gemilang hingga puncak 

siang hari. Mengenai orang fasik dikatakan, akhirnya keadaan 

orang itu lebih buruk dari pada keadaannya semula (Luk. 

11:26), namun orang benar, akhirnya yaitu  damai. Terka-

dang semakin dekat, semakin jelaslah penglihatan. Mengenai 

kemakmuran lahiriah, Allah terkadang berkenan untuk mem-

buat akhir dari seorang yang baik menjadi lebih nyaman dari-

pada bagian mulanya. Dan anehnya, hal ini terjadi sampai me-

lampaui harapan daripada umatnya yang menderita, yang ber-

pikir mereka tidak akan pernah memiliki hari-hari hidup yang 

lebih baik. Jadi janganlah kita  berputus asa di tengah-tengah 

keadaan yang sukar sekalipun. Kita tidak tahu hal baik apa 

yang disimpan bagi kita pada hidup yang selanjutnya, Non, si 

male nunc, et olim sic erit – keadaan kita bisa baik-baik saja, 

meskipun sekarang tidak demikian. Ayub, di dalam penderi-

taannya, berharap untuk menjadi seperti dalam bulan-bulan 

yang silam, kaya seperti dahulu, dan ia sungguh putus asa da-

lam berharap. Namun Allah sering kali terbukti lebih baik ke-

pada kita daripada ketakutan-ketakutan kita, bahkan, dari-

pada keinginan-keinginan kita sendiri, terbukti dari harta 

Ayub dilipatgandakan oleh-Nya. Jumlah ternak Ayub, kambing 

domba dan unta, lembu dan keledai betina, dua kali lipat dari 

yang sebelumnya (1:3). Hal ini menjadi contoh yang luar biasa 

mengenai luasnya penyelenggaraan ilahi bahkan sampai pada 

hal-hal yang kelihatannya sepele, bahkan termasuk jumlah 

ternak seseorang. Penyelenggaraan-Nya juga selalu selaras 

dari satu tindakan ke tindakan lainnya. Sebab, demikianlah 

firman Tuhan yang melakukan semuanya ini, yang telah diketa-

hui dari sejak semula. Harta kepunyaan Ayub lainnya, tidak di-

ragukan lagi, bertambah jumlahnya seperti halnya ternak, 

tanah, uang, hamba, dll. Sehingga, apabila sebelumnya ia ada-

lah orang yang terkaya dari semua orang di sebelah timur, 

maka sekarang bagaimana pula jadinya Ayub? 

IV. Keluarganya dibangun kembali, dan ia mendapat kesukaan besar 

dalam anak-anaknya (ay. 13-15). Bagian akhir dari penderitaannya 

yang tercatat (ps. 1), dan bagian yang paling memilukan yaitu  ke-

matian semua anaknya sekaligus. Sahabat-sahabatnya mencelanya 

melalui hal-hal tersebut (8:4), namun Allah memulihkan keadaan 

itu seturut dengan berjalannya waktu, baik dengan istri yang sama, 

atau dengan istri yang lain, seandainya istrinya sudah meninggal.  

1. Jumlah anak-anaknya sama dengan sebelumnya, tujuh orang 

anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan. Beberapa penaf-

sir memberikan penjelasan mengapa jumlah anak-anaknya 

tidak dilipatgandakan seperti ternak miliknya, sebab anak-

anaknya yang sudah mati tidaklah hilang, melainkan pergi 

mendahului ke dunia yang lebih baik. Sehingga, jika ia diberi-

kan anak dengan jumlah yang sama, maka jumlah anak-anak-

nya tetap terhitung sebagai dua kali lipat, sebab ia mempunyai 

dua kelompok anak-anak atau (dapat saya katakan) mahanaim 

– dua kaum, satu di sorga, yang lainnya di bumi, dan di dalam 

keduanya ia kaya. 

2. Nama-nama anak perempuan Ayub dicatatkan di sini (ay. 14), 

sebab  arti nama mereka sengaja dipilih untuk mengingat 

kebaikan Allah yang luar biasa kepadanya dengan perubahan 

keadaannya yang mengejutkan. Ia memberi nama anak perem-

puan yang pertama Yemima – Hari itu (yang mungkin merupa-

kan asal nama Diana), oleh sebab  kemakmurannya bersinar 

setelah berlalunya malam gelap yang penuh penderitaan. Yang 

kedua, Kezia, rempah yang sangat harum, sebab (menurut 

Uskup Patrick) Allah telah menyembuhkan boroknya, yang ber-

bau busuk. Yang ketiga, Kerenhapukh (yaitu Dipulihkan berlim-

pah atau Lebih cantik, sebab (menurut Uskup Patrick) Allah 

telah menghapus air mata yang membuat mukanya merah 

(16:16). Mengenai anak-anak perempuan ini kita diberitahukan, 

(1) Bahwa Allah memberikan mereka kecantikan yang luar 

biasa, tidak terdapat perempuan yang secantik anak-anak 

Ayub (ay. 15). Dalam Perjanjian Lama kita sering menemu-

kan perempuan dipuji sebab  kecantikan mereka, misalnya 

Sara, Ribka, dan banyak lainnya. Namun kita tidak pernah 

menemukan ada perempuan di dalam Perjanjian Baru yang 

dicatatkan mengenai kecantikannya. Tidak, bahkan pera-

wan Maria pun tidak, sebab yaitu  keindahan kekudus-

anlah yang lebih ditonjolkan oleh Injil. 

(2) Bahwa ayah mereka (Allah memampukan Ayub untuk me-

lakukan hal itu) menyediakan mereka kekayaan yang luar 

biasa: mereka diberi ayahnya milik pusaka di tengah-tengah 

saudara-saudaranya laki-laki, dan tidak mengabaikan me-

reka dengan memberi bagian yang kecil, sebagaimana yang 

dilakukan kebanyakan orang. Besar kemungkinan bahwa 

mereka memiliki kelebihan masing-masing yang luar biasa, 

yang diperhatikan Ayub sehingga ia memberikan karunia 

yang luar biasa bagi mereka. Mungkin mereka melampaui 

saudara-saudara mereka yang laki-laki dalam hal kebijak-

sanaan dan kesalehan, sehingga supaya mereka dapat terus 

ada dalam keluarga Ayub, tetap tinggal dan menjadi berkat 

bagi keluarganya, ia menjadikan mereka pewaris bersama 

saudara-saudara laki-laki mereka.  

V.  Ayub berumur panjang. Kita tidak diberitahukan mengenai usia 

Ayub saat  segala penderitaannya muncul, namun di sini kita 

diberitahukan bahwa Ayub hidup sampai usai 140 tahun. Sebagi-

an penafsir menduga Ayub berusia 70 tahun saat  ia mengalami 

penderitaan, sehingga usianya juga dibuat dua kali lipat, sama 

seperti harta kepunyaannya yang lain. 

1. Ia hidup untuk menikmati banyak kenyamanan hidup ini, se-

bab ia melihat anak-anaknya dan cucu-cucunya sampai ketu-

runan yang keempat (ay. 16). Meskipun jumlah anak-anaknya 

tidak bertambah dua kali lipat, namun di dalam anak-anak 

dari anak-anaknya (dan mereka yaitu  mahkota orang-orang 

tua), jumlah mereka lebih dari dua kali lipat. Sebagaimana 

Allah memberikan kepada Adam anak yang lain sebagai ganti 

anak yang telah dibunuh (Kej. 4:25), demikianlah Ia perbuat 

kepada Ayub beserta kelebihannya. Allah memiliki cara untuk 

menggantikan yang telah hilang dan memulihkan dukacita 

mereka yang dikatakan tidak mempunyai anak, seperti Ayub 

saat  ia sudah menguburkan semua anak-anaknya. 

2. Ia hidup sampai puas, sebab ia mati saat  usianya genap, puas 

hidup di dunia ini, sehingga bersedia meninggalkannya. Bukan 

dengan kesal hati, seperti pada hari-hari penderitaannya, me-

lainkan dengan hati yang saleh, sehingga dengan demikian, 

sebagaimana Elifas telah menyuruhnya untuk berharap, ia 

dalam usia tinggi turun ke dalam kubur, seperti berkas gandum 

dibawa masuk pada waktunya.