Rabu, 08 Januari 2025

Sejarah text alquran 13








 itorial bukan milik kelompok ini dan ke￾lompok itu, yang dalam proses mendapatkannya memaksa jutaan penduduk

asli menanggung keberadaan yang mengenaskan sebagai pengungsi. Saat itu,

segala upaya sekularisasi agama Kristen dan Yahudi guna mengubah mereka

menjadi lambangJambang yang diambil dari luar dalam kehidupan sehari-hari,

telah mengalami sedikit kemajuan. Akan tetapi, keinginan hendak melenyap￾kan Tuhan, agama, dan sejarah dari jirva kaum Muslimin hanya membuahkan

tantangan yang lebih besar: bahkan ketika proses sekularisasi mulai menapak

jalan masuk, kaum Muslimin tidak dapat menoleransi pihak Israel. Ke￾berhasilan dalam bidang ini, sekarang ditujukan untuk membuktikan bahwa

seluruh referensi mengenai orang-orang Yahudi atau Palestina yang ada dalam

teks-teks Islam adalah palsu,s7 sekaligus mengikuti jejak Perjanjian Barus8dalam menyikat bersih semua ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur'dn yang

d i li hat seb agai anti - S emit.

Sepanjang kaum Muslimin berpegang teguh dengan Al-Qur'dn sebagai

Kalam Allah yang tak mungkin diubah, isu pembersihan tetap di luar jangkau￾an mereka; dalam hal ini Wansbrough memperagakan "bukti" bahwa Al￾Qur'dn yang ada sekarang ini bukan lagi semata-mata"karyatulis Mu[rammad",

tetapi karya banyak komunitas yang terpencar-pencar di seluruh dunia Islam

yang membangun teks itu sekitar dua ratus tahun lebih.se Mengutip Humphreys:

Wansbrough berharap bisa menetapkan dua poin utama:

- Kitab suci Islam - bukan hanya hadith, bahkan Al-Qur'5n itu sendiri -

dihasilkan oleh sebab kontroversi mazhab yang memakan waktu lebih

dari dua abad, yang kemudian secara fiktif ditarik pada satu titik asal

penciptaan oleh bangsa Arab.

- Doktrin ajaran Islam secara umum, bahkan ketokohan Muhammad, di￾bentuk atas prototype kependetaan Yahudi.60

Untuk hal in, dapat kita tambahkan tentang karya kontemporer Yehude

Nevo dan J. Koren yang menerapkan pendekatan revisionis dalam studi Islam

dengan hasil-hasil yang mengejutkan. Ketika menerangkan survey arkeologi

Jordan dan Semenanjung Arabia, mereka mengatakan bahwa walaupun pe￾ninggalan-peninggalan peradaban Hellenistik, Nabatean, Romawi dan Bizantin

telah ditemukan, tidak ada indikasi bahwa budaya Arab setempat pada abad ke-

6 dan awal abad ke-7 Masehi telah terwujud.

Secara khusus, wilayah penyembahan berhala Jahiliah pada abad ke

enam dan ke tujuh, dan tempat-tempat suci orang-orang musyrik sebagai￾mana dijelaskan oleh sumber-sumber Islam tidak ditemui di Hijaz

[bagian barat Arab] dan di tempat-tempat lain yang diteliti....Lagi pula,

hasil penemuan arkeologi mengungkap bahwa tidak ada bekas-bekas

kependudukan Yahudi di Madinah, Khaybar atau Wadi al-Quna. Duapoin itu berlainan sekali dengan keterangan sumber-sumber literatur

Islam mengenai komposisi demografi Hijaz sebelum Islam.6r

Koren dan Nevo juga beranggapan bahwa, sebaliknya, bukti yang melim￾pah tentang penyembahan berhala terdapat di Najaf Tengah (sebelah utara

Palestina), satu wilayah yang tidak disebut dalam sumber-sumber Islam. Peng￾galian tempat-tempat suci menunjukkan bahwa penyembahan berhala masih

ada dijalankan sehingga awal kekuasaan pemerintahan Abbasiyah (pertengah￾an abad ke delapan Masehi), yang di beberapa wilayah Najaf masih memper￾tahankan identitas keberhalaan pada permulaan 150 tahun zaman keislaman.

Tempat-tempat suci tersebut dan juga topografi yang terdapat di sekelilingnya,

betul-betul sifatnya analogi (mereka menuduh) berlandaskan penjelasan

penyembahan berhala di Hijaz seperti dikutip oleh sumber-sumber Muslim.

Jadi bukti arkeologi menunjukkan bahwa tempat-tempat suci berhala

seperti ditegaskan dalam sumber-sumber umat Islam tidak terdapat pada

masa jahiliah di Hijaz, melainkan tempat-tempat suci yang benar-benar

menyerupainya terdapat di Najaf Tengah seketika setelah dinasti

Abbasiyah berkuasa. Hal ini, pada gilirannya, menunjukkan bahwa

semua ceita mengenai agama Jahiliah di Hijaz dapat diproyeksikan

kembali dengan baik tentang satu keberhalaan yang sebenamya dapat

dilacak dari periode kemudian dan dari wilayah lain.6z

Jika kita terima pernyataan Koren dan Nevo, bahwa tidak terdapat bukti

permukiman Yahudi di Hijaz di zaman Nabi Muhammad saw, hasil yang logis

adalah menafikan semua ayat-ayat Al-Qur'dn mengenai Yahudi, karena hal itu

tidak mungkin "dikarang" oleh Muhammad. Jadi masyarakat Islam, katanya,

telah menambah pada masa berikutnya yang kemudian disebut sebagai Al￾Qur'dn; mengembalikan Kitab itu kepada bentuk 'aslinya' (yang menurut

mereka merupakan tulisan Muhammad) memerlukan penghapusan secara tepat

terhadap pemalsuan dan ayat-ayat yang bersifat anti-Semit. Dan, jika kita

percaya bahwa keberhalaan pra-jahiliah seperti ditegaskan dalam Al-Qur'dn

dan Sunnah sebagai proyeksi ke belakang yang bersifat fiktiftentang budaya

yang berkembang di sebelah utara Palestina, maka dengan memperluas figure

Muhammad semakin dipertanyakan. Memproyeksikan kembali, barangkali,

dapat dihubungkan dengan peninggalan-peninggalan kuno tentang keberadaan

pendeta Yahudi di Palestina, yang menjadikan ulasan Koren dan Nevo persis

sama dengan teori Wansbrough. Dengan cara demikian, kaum Muslimin jadi

berutang terhadap jasa baik agama Yahudi karena menyajikan dasar-dasar yang

fiktif bagi identitas dan sejarah asal-usul mereka yang, pada gilirannya, juga

berfungsi sebagai motivasi seterusnya dalam memusnahkan ayat-ayat Al￾Qur'an yang mencaci maki perilaku orang-orang Yahudi.

5. Kesimpulan

Kebanyakan negara-negara Islam di sekitar Israel telah diperingatkan

akan pentingnya mengubah kurikulum sekolah guna melenyapkan beberapa

poin yang dapat meredam rasa benci terhadap orang-orang Yahudi.63 Namun,

Al-Qur'dn tetap menjadi kendala tujuan ini: sebuah kita suci yang selalu

menegaskan mental kepala batu dan tabiat pelanggaran orang-orang Yahudi, di

mana ayat-ayat mengenai mereka membasahi bibir anak-anak sekolah, bacaan

sewaktu shalat berjamaah di masjid-masjid, rasa kesal orang-orang Islam se￾waktu membaca Muglraf di waktu malam mengenai perilaku buruk yang hampir

menjamah semua aspek kehidupan. Oleh sebab itu, memahami motivasi yang

mendorong melakukan kajian Al-Qur'6n dewasa dianggap suatu kemestian,

dengan harapan hasil kajian itu, dapat menyelamatkan para pembaca untuk

tidak terperangkap secara tidak sadar.

Kajian Strugnell dan Delitzsch mengenai tema-tema Yahudi, sudah

dianggap banci karena tuduhan-tuduhan anti-semitisme. Israel Antiquity

Department mempertimbangkan kualifikasi itu berdasarkan visi yang sesuai

dengan ideologinya. Namun sebaliknya, setiap orang Kristen, Yahudi, dan

Ateis yang terlibat dalam penipuan disengaja serta merendahkan berbagai ke￾tentuan, keindahan, sejarah, dan masa depan prospek Islam diizinkan menyebut

dirinya seorang syekh, agar kaum Muslimin percaya akan kejujuran dan mau

menerima penemuan-penemuannya. Pendapat ini tentunya tidak dapat diberi

pembelaan. Mengapa penolakan akademis yang mereka lakukan terhadap

orang-orang yang anti-Semitff tidak dapat diterapkan terhadap mereka yang

merusak Islam dengan agenda terselubung? Mengapa ilmuwan non-Muslim

harus dianggap sebagai pemegang otoritas guna mengesktradisi ilmuwan

Muslim yang mengamalkan ajaran agama mereka? Mengapa para tokoh gereja

seperti Mingana, Guillaume, Watt, Anderson, Lammanse, dan masih banyak

lagi yang tidak mengharap sesuatu kecuali ingin melihat agama mereka mampu

menutupi sinar Islam yang harus dijadikan standar penelitian yang katanya

"tidak memihak"? Apa perlunya menganggap Muir sebagai pemegang otoritas

dalam sirah Nabi Muhammad, sementara ia menganggap Al-Qur'dn sebagai

"musuh Peradaban, Kebebasan, dan Kebenaran yang tak kenal kompromi di

mana Dunia belum mengetahuiny a?"

Siapa saja yang hendak menulis perihal Islam, hendaknya terlebih dahulu

dia menarik sebuah keputusan percaya bahwa Muhammad adalah seorang

Nabi. Para ilmuwan yang mengakui bahwa beliau benar-benar seorang Rasul

dan yang paling mulia di antara para nabi, mereka bakal menikmati kepustaka￾an l.radith yang mengagumkan dan wahyu ketuhanan yang dapat dijadikan

sebagai sumber inspirasi. Secara pasti mereka akan menemukan banyak ke￾samaan, bahkan sepenuhnya cocok dengan berbagai masalah yang sangat men￾dasar. Adapun perbedaan-perbedaan kecil yang muncul karena perubahan

keadaan, hal ini dapat dianggap sebagai suatu yang alami dan kemanusiaan.

Bagi mereka yang menolak pandangan ini, akibatnya mereka melihatnya

(Muhammad) sebagai penipu majnun atau pendusta yang mengaku-ngaku jadi

nabi. Hal ini merupakan refleksi sikap yang diambil oleh semua ilmuwan non￾Muslim, di mana upaya yang mereka lakukan perlu dipilah-pilah:jika mereka

tidak mau membuktikan ketidakjujuran Mul.rammad atau kesalahan Al-Qur'6n,

apakah yang menjadi penghalang bagi mereka untuk menerima Islam?

Dalam urusan keislaman, penelitian dunia Barat telah mengalami ke￾majuan dari sekadar subjektivitas kepada pemunculan dogma anti ajaran Islam.

Pandangan ini berasal dari peristiwa masa lalu: persaingan agama yang sengit,

abad-abad Perang Salib, penjajahan tanah air kaum Muslimin, dan kebanggaan

penjajahan yang berubah menjadi penghinaan terang-terangan terhadap adat

istiadat, kepercayaan, dan sejarah kaum Muslimin. Untuk hal ini, kita dapat

menambahkan motif-motif baru juga: penanaman paham sekuler untuk me￾nopang asimilasi Yahudi secara global dan menjamin kesatuan tanah Israel.

Sejalan dengan garis keturunan nenek moyang, usaha-usaha mereka akan terus

berjalan, melalui penyerangan terhadap Al-Qur'6n dan menudingnya sebagai

hasil karya masyarakat, seperti leluhur mereka membuat istilah yang men￾cerahkan 'Muhammadans' di mana seolah-olah kaum Muslimin sujud di depan

berhala emas yang diberi nama demikian.

Kata-kata mutiara Ibn Sirin (w. 110 H.) dirasa lebih diperlukan saat ini

ketimbang waktu sebelumnya:

Ilmu ini [mengenai agama] menjelma atau merupakan keimanan, dari itu,

berhati-hatilah dari siapa anda belajar ilmu itu.


Ini berarti bahwa segala masalah yang berkaitan dengan Islam-baik Al￾Qur'6n, tafsir, [radith, fiqih, sejarah,...dll.-hendaknya hanya tulisan kaum

Muslimin yang komitmen terhadap ajaran agamanya yang layak diperhatikan.

Hal ini, akan diterima maupun tidak, tergantung pada jasa dan kebaikan

mereka.2 Tetapi untuk para individu yang jelas berasal dari luar komunitas

Muslim, motif mereka terselubung di balik sikap dusta yang dipoles dengan

istilah kejujuran, di mana kita hanya dapat melayani mereka dengan sikap

antipati. Kita tidak boleh menganggap mereka sebagai syekfi Islam,3 dan kita

tidak dapat menerima anggapan mereka tentang gelar itu.

Dalam liputan pers tentang tuduhan Presiden Clinton beberapa tahun

yang lalu, saya tidak pernah mendengar seorang pemain tenis ataupun peng￾kritik dunia seni (teater) yang diminta keterangan tentang pendapat hukum

terhadap masalah tersebut, kendati naskah Undang-undang Dasar Amerika

Serikat mudah didapat bagi semua yang berminat baca. Diskusi tentang hukum

tentunya hanya terbatas di kalangan pakar bidang tersebut, guru besar undang￾undang, dan lain-lain. Para guru besar dari tempat lain tidak dibenarkan ber￾partisipasi, karena hal itu merupakan penentuan nasib masa depan internal

negara Amerika Serikat. Malangnya, hal ini tidak seperti perlakuan mereka

terhadap Islam. Bolehkah seorang komentator film-setelah membaca Undang￾undang Dasar dan mendengar ucapan para pengacara dalam liputan surat

kabar-memiliki pandangan hukum setaraf dengan pandangan para ilmuwan?

Tidak, namun ada orang di luar bidang akademik tertentu, seperti Toby Lester,

menyuarakan pendapat dalam berbagai tulisan yang kemudian dielu-elukan

menempati kedudukan yang sederajat dengan para ilmuwan. Adakah seorang

guru besar hukum kebangsaan Jerman memiliki pengaruh untuk muncul di

layar TV dan memberi instruksi pada orang-orang Amerika bagaimana men-

jalankan sistem perundang-undangan? Tidak, namun para ilmuwan Barat

malah merasa berkewajiban menekan kaum Muslimin bagaimana menafsirkan

agama mereka.

Allah akan tetap agung, baik kita hidup di abad pertama, dua puluh satu,

atau di abad akhir zaman, siapa yang berniat untuk menjatuhkan-Nya, walau

merasa yakin dapat melakukan, hanya akan memusnahkan diri sendiri tanpa

dapat menyentuh satu serat rambut dari Keagungan-Nya. Tidak ada satu orang

pun yang boleh dipaksa untuk memercayai kesucian Al-Qur'6n; manusia harus

menentukan jalan sendiri karena mereka yang bakal menanggung risiko apa

yang mereka lakukan di kemudian hari. Namun dalam hidup ini, tak dibenarkan

orang luar menyeru kaum Muslimin dan membuat ketentuan hukum mengenai

agama mereka. Hanya para ilmuwan Muslim yang pendapatrrya pantas

didengar. Jika hal ini tidak dianggap penting saat ini, maka komunitas Muslim

harus siap menerima caci-maki di masa depan.

Kita hidup dizaman yang serbakritis, dan kemungkinan zaman serbasulit

akan terus melaju: hanya Allah Yang Mahatahu. Satu atau dua dasawarsa yang

lalu, kecenderungan ilmuwan Barat memaksa kaum Muslimin melenyapkan

semua ayat-ayat Al-Qur'dn mengenai orang-orang Yahudi, boleh jadi dirasa￾kan melompat terlalu jauh oleh kalangan tertentu, akan tetapi realitas yang ada

sekarang, kita sedang dikepung oleh badai angin ribut yang mengerikan. Apa

yang dilakukan para ilmuwan Barat, secara teori, pemerintah mereka me￾lakukan pencarian yang tak kenal menyerah di mana jerih payah mereka

membuahkan hasil dalam bentuk nyata di sekeliling kita. Campur tangan pihak

Barat dalam mendesain kurikulum Islam; pemaksaan sistem auditing pem￾bubaran fiembaga-lembaga Islam]; suatu anjuran secara terang-terangan minta

agar menggusur ayat-ayat Al-Qur'dn tentang seruan jihad atau semua yang

membuat panas telinga orang-orang Yahudi dan Kristen; pengusiran tokoh￾tokoh gurem yang berbau kearaban (tidak perlu saya sebut di sini, karena tidak

layak dipublikasikan); menuduh Islam dengan sebutan yang tak ada satu

makhluk Muslim mengatakan sebelumnya; adanya "pakar terorisme" yang

muncul dalam media internasional untuk mengumumkan keputusan mereka

mengenai teks-teks Islam; pemerintah sekuler Turki dilihat sebagai kelompok

ideal yang perlu dicontoh, sementara pemerintah yang konservatif diproyeksi￾kan sebagai ancaman yang akan mendekati kenyataan. Dalam semua tataran,

kini Al-Qur'dn sedang mendapat serangan yang tak pernah terlintas di benak

pikiran kita sebelumnya.

Apa yang bakal terjadi selanjutnya merupakan misteri dalam genggaman

Allah, namun sekurang-kurangnya yang perlu kita lakukan adalah memahami

prinsip-prinsip agama kita yang tidak mungkin dapat diubah oleh peredaran

zaman. Di atas segalanya, kita harus menjadikan Al-Qur'an sebagai referensikita. Bagian teks mana pun yang mungkin berlainan dengan Mughaf yang ada,

terserah apa yang hendak mereka sebutkan, adalah bukan dan tidak akan

menjadi bagian dari Al-Qur'6n. Demikian halnya, segala upaya dari pihak non￾Muslim yang ingin mencekoki pikiran tentang dasar-dasar ajaran dan

legitimasi agamakita, mesti kita tolak tanpa harus berpikir panjang. Bagaimana

pun keadaan suhu politik, pandangan kaum Muslimin terhadap Kitab Suci ini

mesti tetap tak akan tergoyahkan: ia adalah Kalam Allah, yang konstan, ter￾pelihara dari kesalahan, tak mungkin dapat diubah, dan mukjizat yang tak

mungkin direkayasa.

Tamim ad-Ddri meriwayatkan bahwa saya mendengar Nabi bersabda,

"[Agama ini] akan sampai pada apa yang dapat dicapai oleh siang dan

malam, dan Ailah tidak akan meninggalkan sebuah rumah apa pun, baik

ituterbuat dari tanah ataubuluhewan [yaitu di kota atau di desa] sehingga

AIIah memasukkan agama ini ke dalamnya, baik melalui kebesaran

orung-orung yang mulia ataupun melalui ketendahan orang yang di￾pandang rendah. Begitulah, Allah akan memberi karunia terhadap Islam,

dan Allah akan merendahkannya disebabkan kekufuran."a

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut

(ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyem￾pumakan cahaya-Nya, walaupun orung-orung kafir tidak menyukai.

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk Al￾Qur'an dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala

agama, walaupun orung-orang musyrik tidak menyukai.s