n Rasulullah Saw, dan salah satu orang
yang melakukan sedekah saat itu yaitu Abdurrahman bin Auf. Ia
bersedekah dengan 200 awqiyah dari emas. Umar bin Khattab lalu berkata
kepada Nabi Saw: “Menurutku, Abdurrahman bin Auf telah berbuat dosa,
sebab ia tidak menyisakan apapun untuk keluarganya…” Rasulullah Saw
lalu bertanya kepada Abdurrahman bin Auf: “Apakah engkau telah
menyisakan harta untuk keluargamu, ya Abdurrahman?”
Ia menjawab: “Ya. Aku telah sisakan untuk mereka lebih dari apa yang
telah aku infaqkan dan lebih baik.”
Rasul bertanya: “Berapa?” Ia menjawab: “Sebanyak apa yang telah
Allah dan Rasul-Nya janjikan dari rizqi, kebaikan dan balasan.”
Pasukan ini lalu berangkat ke Tabuk… Di sana Allah Swt memberikan
Abdurrahman bin Auf kemuliaan yang belum pernah diterima oleh
muslimin lainnya. Waktu shalat sudah tiba, sedang Rasulullah Saw tidak
ada. Maka Abdurrahman bin Auf menjadi imam bagi kaum muslimin saat
itu. Hampir saja mereka menyelesaikan raka’at pertama, maka Rasulullah
Saw menyusul mereka dalam jamaah. Beliau mengikuti shalat
Abdurrahman bin Auf dan berada dibelakangnya…
Apakah ada kemuliaan yang melebihi seseorang yang menjadi imam
bagi pemimpin seluruh makhluk sekaligus pemimpin para Nabi, yaitu
Muhammad bin Abdullah?!!
sesudah Rasulullah Saw kembali ke pangkuan Tuhannya, Abdurrahman
bin Auf mencukupi segala kebutuhan Ummahatul Mukminin (para istri
Rasulullah Saw)… Ia berangkat bersama mereka bila mereka bepergian.
Berhaji, jika mereka melaksanakan haji. Ia membuat pada sekudup84
mereka kain hijau untuk berteduh yang biasa dipakai oleh orang-orang
tertentu. Ia akan menemani mereka berhenti di tempat yang mereka sukai.
84
Sekudup yaitu sebuah tempat yang memiliki kubah dan diletakkan di atas punggung unta,
dikhususkan bagi wanita.
Itulah kisah hidup Abdurrahman bin Auf dan kepercayaan para
Ummahatul Mukminin kepadanya yang dapat ia banggakan.
Kebaikan Abdurrahman terhadap kaum muslimin dan Ummahatul
Mukminin bahkan membuatnya menjual tanah miliknya seharga 1000
dinar. Ia bagikan semua uang itu kepada Bani Zuhra, orang-orang faqir
dari golongan Muhajirin, dan para istri Nabi Saw. Saat ia mengirimkan
bagian harta ini untuk Ummul Mukminin Aisyah ra. Aisyah bertanya:
“Siapakah yang mengirimkan harta ini?” Ada yang mengatakan kepadanya:
“Abdurrahman bin Auf.” lalu Aisyah berkata: Rasulullah Saw pernah
bersabda: “Tidak ada orang yang bersimpati kepada kalian sesudah aku mati
kecuali mereka orang-orang yang sabar.”
Do’a Nabi Saw dikabulkan sehingga Abdurrahman bin Auf
mendapatkan keberkahan pada hartanya. Perdagangan Abdurrahman bin
Auf terus berkembang dan bertambah. Kafilah miliknya terus-menerus
pergi dan kembali ke Madinah dengan membawa gandum, tepung, minyak,
pakaian, bejana, minyak wangi dan semua kebutuhan masyarakat
Madinah.
Suatu hari datanglah kafilah Abdurrahman bin Auf ke Madinah yang
terdiri dari 700 kendaraan. Ya, 700 kendaraan yang membawa makanan,
barang-barang yang dibutuhkan oleh penduduk Madinah.
Begitu kafilah ini memasuki Madinah, maka bumi terasa bergoyang dan
terdengar sorak-sorai manusia. Aisyah ra bertanya: “Ada apa ramai-ramai
begini?” Ada orang yang menjawabnya: “Ini yaitu kafilah Abdurrahman
bin Auf… 700 unta yang membawa, gandum, tepung dan makanan.”
Aisyah ra berkata: “Semoga Allah memberkahi harta yang telah ia
berikan di dunia demi ganjaran akhirat yang lebih besar.”
Sebelum unta-unta ini berhenti. Kabar ini telah sampai
kepada Abdurrahman bin Auf. Begitu telinganya mendengar apa yang
dikatakan Ummul Mukminin Aisyah, Abdurrahman segera menemui
Aisyah dan berkata: “Saksikanlah olehmu wahai Ummul Mukminin, bahwa
kafilah ini dengan seluruh isi dan petugasnya aku berikan di jalan Allah.”
Do’a Rasulullah Saw kepada Abdurrahman bin Auf agar Allah berkenan
memberkahi dirinya selagi hidup terus saja berlangsung, sehingga ia
menjadi sahabat Rasul Saw yang paling kaya dan yang paling banyak
memiliki harta… akan tetapi Abdurrahman bin Auf menjadikan seluruh
harta tadi demi mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Ia senantiasa
berinfaq dengan kedua tangannya baik yang kanan maupun kiri, dengan
sembunyi ataupun terang-terangan… sebagaimana ia pernah bersedekah
dengan 40 ribu dirham perak, lalu ia bersedekah lagi dengan 40 ribu
dinar emas. lalu ia bersedekah lagi dengan 100 auqiyah emas. Ia
juga membawa para mujahidin dengan 500 kuda yang ia berikan.
lalu ia membekali 1500 mujahidin lainnya dengan kendaraan.
Saat Abdurrahman bin Auf menjelang wafat, ia membebaskan banyak
sekali budak-budaknya.
Ia berpesan untuk memberikan 400 dinar emas kepada Ahlu Badr yang
masih hidup. Maka mereka pun mengambil pemberian Abdurrahman ini
dan jumlah mereka saat itu mencapai 100 orang.
Ia juga berpesan untuk memberikan setiap Ummul Mukminin harta
yang banyak; sehingga Ummul Mukminin Aisyah ra seringkali berdo’a
untuk Abdurrahman yang berbunyi: “Semoga Allah Swt memberikannya
minuman dari air salsabil.”
lalu ia meninggalkan untuk ahli warisnya harta yang barangkali
tidak bisa terhitung lagi… sebab ia mewariskan 1000 unta, 100 kuda dan
3000 domba. Istrinya berjumlah 4 orang sehingga mereka mendapatkan
seperempat dari seperdelapan85 yang masing-masing mereka mendapatkan
80 ribu.
Ia meninggalkan emas dan perak yang bertumpuk-tumpuk dan
dibagikan kepada seluruh ahli warisnya dengan cara memukulkannya
dengan kapak sehingga tangan orang-orang yang memotongnya kelelahan.
Semua itu terjadi sebab do’a Rasulullah Saw agar Allah berkenan
memberkahi harta Abdurrahman bin Auf.
Akan tetapi harta yang ia miliki tidak membuat dirinya tergoda bahkan
tidak membuatnya berubah. Sehingga kebanyakan orang jika melihat
Abdurrahman bin Auf sedang bersama para budaknya, mereka tidak dapat
membedakan mana Abdurrahman dan mana para budaknya.
Suatu saat ia sedang mendapatkan makanan -padahal saat itu ia sedang
berpuasa- ia lalu melihat orang yang membawakan makanan tadi sambil
berkata: “Mus’ab bin Umair –yang lebih baik dariku- terbunuh, kami
mendapatinya tidak memiliki apa-apa selain kain kafan yang menutupi
85
Pent. Tirkah (harta warisan untuk istri bila terdapat anak yaitu seperdelapan. sebab istri
beliau berjumlah 4 orang, maka masing-masing mendapatkan seperempat dari seperdelapan bagian
mereka dari harta waris.)
kepalanya namun kakinya terlihat. Jika kedua kakinya ditutup, maka
kepalanya akan muncul. Lalu Allah Swt membentangkan dunia kepadaku
sehingga seperti ini. Aku khawatir bila pahalaku sudah didahulukan
(diberikan di dunia).” lalu ia menangis dengan tersedu-sedu
sehingga makanan ini basi.
Beruntung sekali Abdurrahman bin Auf… Sebab Rasulullah Saw telah
menjaminnya masuk ke dalam surga. Pembawa jenazahnya hingga ke
peristirahatan terakhir yaitu paman Rasul Saw yang bernama Sa’d bin Abi
Waqash. Dzu Nuraini Ustman Bin Affan juga turut mensholatkan
jenazahnya. Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib turut mengiringi
jenazahnya sambil berkata: “Pergilah! Engkau telah menemukan
kebenarannya dan engkau telah meninggalkan tipu dayanya. Semoga Allah
merahmatimu!”
Ja’far bin Abi Thalib
“Aku Melihat Ja’far di Surga. Ia memiliki 2 Sayap yang Berlumuran
Darah dan Bulu yang Diberi Warna.” (Hadits Al Syarif)
Di Bani Manaf86 ada 5 orang yang amat mirip dengan Rasulullah Saw
sehingga orang yang lemah pandangannya sering keliru membedakan
Rasul Saw dengan mereka.
Tidak dipungkiri bahwa Anda ingin mengetahui siapa saja kelima orang
ini yang begitu mirip dengan Nabi Saw.
Maka marilah kita berkenalan dengan mereka semua.
Mereka yaitu : Abu Sufyan bin Al Harits bin Abdul Muthalib, Beliau ini
yaitu sepupu Rasulullah Saw dan saudara sesusuan dengan Nabi Saw.
lalu Futsam bin Al Abbas bin Abdul Muthalib, dan dia juga
merupakan sepupu Nabi Saw. Al Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim
kakeknya Imam Syafi’I ra. Al Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw dan ia
merupakan orang yang paling mirip dengan Nabi Saw dibandingkan
dengan yang lain. Dan Ja’far bin Abu Thalib, dia yaitu saudara Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Kami akan memaparkan sebuah episode dari kisah hidup Ja’far bin Abi
Thalib ra…
Abu Thalib -meski dia yaitu orang yang terpandang di kalangan
bangsa Quraisy, dan memiliki posisi penting di kaumnya- namun ia yaitu
orang yang amat sulit hidupnya dan banyak anggota keluarganya.
Kondisi ini semakin bertambah sulit dengan datangnya tahun
paceklik yang terjadi pada bangsa Quraisy sehingga membuat semua
panenan menjadi gagal dan hewan-hewan ternakpun tidak dapat
mengeluarkan susu. Ini semua membuat manusia hanya mampu
mengkonsumsi tulang-tulang basah saja.
Di kalangan Bani Hasyim –saat itu- tidak ada orang yang berkeluasan
kecuali Muhammad bin Abdullah dan pamannya Al Abbas.
Muhammad lalu berkata kepada Abbas: “Wahai paman, saudaramu
Abu Thalib banyak sekali keluarganya. Engkau tahu sendiri bahwa banyak
86
Abdi Manaf yaitu nenek moyang Rasulullah saw. dan keteurunannya yaitu kabilah yang
paling dekat dengan Nabi Saw.
manusia yang berkesusahan sebab kemarau yang panjang serta wabah
kelaparan. Marilah kita ke rumahnya untuk menanggung sebagian
keluarganya. Aku akan menanggung seorang anaknya dan engkaupun
menanggung seorang lagi dari anaknya, sehingga keduanya kita cukupi
kebutuhannya.”
Abbas berkata: “Engkau telah mengajak kepada hal kebaikan dan
engkau menyeru kepada kebajikan.”
lalu keduanya berangkat dan bertemu dengan Abu Thalib.
Keduanya berkata: “Kami datang berniat untuk meringankan beban
keluargamu sehingga kesulitan dan penderitaan ini sirna dari diri
manusia.” Abu Thalib berkata: “Kalian boleh untuk mengambil siapa saja,
selain Aqil.”
Maka Muhammad mengajak Ali dan menjadikan keluarganya.
Sedangkan Abbas mengajak Ja’far dan menjadikannya sebagai keluarga.
Ali terus tinggal bersama Muhammad hingga saat Allah Swt
mengutusnya sebagai seorang Nabi yang membawa agama petunjuk dan
kebenaran. Dialah yang menjadi orang pertama yang memeluk Islam dari
kalangan pemuda.
Ja’far pun terus tinggal dengan pamannya sehingga ia tumbuh dewasa,
masuk Islam dan berkecukupan bersamanya.
Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya Asma binti Umais bergabung
dengan rombongan ‘cahaya’ sejak perjalanan pertama.
Keduanya masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar As Shiddiq ra sebelum
Rasulullah Saw masuk ke Darul Al Arqam.87
Pemuda AlHasyimi ini bersama istrinya merasakan siksaan bangsa
Quraisy sebagaimana yang dirasakan oleh muslimin yang lain. Keduanya
mampu bersabar atas siksaan ini sebab keduanya menyadari bahwa jalan
menuju surga dipenuhi dengan duri dan sarat dengan hal yang
menyakitkan. Akan tetapi yang membuat mereka jengkel sebagaimana yang
dirasakan oleh sahabat mereka dari kaum muslimin yaitu bahwa bangsa
Quraisy menghalangi mereka untuk melakukan ibadah dan menghalangi
mereka untuk merasakan lezatnya ibadah. Bangsa Quraisy bahkan
senantiasa mengawasi setiap hembusan nafas mereka.
Pada saat itulah Ja’far bin Abi Thalib meminta izin kepada Rasulullah
saw untuk berhijrah bersama istri dan beberapa orang sahabat lainnya ke
negeri Habasyah. Rasul pun mengizinkan dengan hati yang sedih.
87
Darul Arqam yaitu sebuah rumah di Mekkah yang dikenal dengan Darus Salam. Rumah ini
milik Al Arqam bin Abdu Manaf Al Makhzumy. Dalam rumah ini Rasulullah Saw mengajak
manusia untuk memeluk agama Islam. Sudah sering disebut kisah Darul Arqam ini sebelumnya
Yang membuat Rasul bersedih atas para sahabatnya yang suci dan baik
itu yaitu sebab mereka akan meninggalkan kampung mereka. Mereka
bersedia meninggalkan tempat di mana mereka bermain di waktu kecil,
tanah air dimana mereka tumbuh menjadi remaja. Mereka tinggalkan
kampungnya tanpa kesalahan yang mereka perbuat kecuali bahwa mereka
mengatakan bahwa: “Tuhan kami yaitu Allah!”
Akan tetapi Beliau tidak memiliki daya dan kekuatan untuk menolak
siksaan bangsa Quraisy.
Berangkatlah rombongan kaum muhajirin pertama ke Habasyah dan
salah satu dari mereka yaitu Ja’far bin Abi Thalib. Mereka tinggal di sana
dengan jaminan keamanan An Najasy yang merupakan pemimpin
Habasyah yang dikenal adil dan shaleh.
Akhirnya, pertama kali mereka mendapatkan rasa aman –sejak mereka
masuk Islam- dan mereka merasakan nikmatnya ibadah tanpa ada yang
mengganggu kenikmatan ibadah mereka, ataupun yang mengacaukannya.
Akan tetapi begitu suku Quraisy mengetahui keberangkatan
rombongan muslimin ini menuju Habasyah untuk mendapatkan
perlindungan raja Habasyah demi ketenangan beribadah mereka dan
keamanan akidah, mereka pun berencana untuk membunuh rombongan
muslimin ini atau menggiring mereka masuk ke dalam sebuah penjara
besar.
Sekarang, kita akan mempersilahkan Ummu Salamah88 ra untuk
menceritakan kisah yang ia dengar dan saksikan.
Ummu Salamah berkata: “Begitu kami tiba di negeri Habasyah, kami
menemukan perlindungan yang amat baik bagi diri kami sehingga kami
merasa aman dalam menjalankan agama. Kami dapat beribadah kepada
Allah tanpa ada siksaan atau ucapan yang menyakitkan kami. Begitu
Quraisy mendengar kabar ini, mereka segera mengirimkan dua orang yang
paling gagah diantara mereka kepada An Najasy. Keduanya yaitu : Amr
bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berdua dibekali hadiah yang
akan diberikan kepada An Najasy dan para pemuka agama di sana. Hadiah
ini yaitu barang-barang yang disukai oleh penduduk Habasyah dari
negeri Hijaz. Suku Quraisy juga berpesan kepada kedua utusan ini agar
memberikan hadiah kepada para pemuka agama terlebih dahulu sebelum
mereka menghadap An Najasy untuk membicarakan urusan kami.”
88
Ummu Salamah: Lihat dalam kitab Shuwar min Hayatis Shahabiyat karya penulis.
Begitu keduanya tiba di Habasyah maka mereka menemui para pemuka
agama dan memberikan kepada masing-masing pemuka agama hadiah.
Tidak ada seorang pun dari para pemuka agama tadi yang tidak
mendapatkan hadiah dari keduanya. Kedua utusan ini berkata kepada
pemuka agama:
“Ada beberapa budak bodoh kami yang berlindung di negara raja.
Mereka telah keluar dari agama bapak dan kakek moyang mereka dan
keluar dari kaumnya. Jika kami berbicara kepada raja kalian tentang para
budak ini, maka beritahukanlah raja kalian untuk menyerahkan budak-
budak ini kepada kami tanpa perlu menanyakan agama mereka. sebab
para pemimpin suku mereka amat mengerti tentang kondisi para budak ini
dan paham apa yang sedang mereka anut.” Para pemuka agama tadi pun
mengatakan: “Ya.”
Ummu Salamah berkata: “Tidak ada yang lebih kami benci dari Amr
dan sahabatnya dibandingkan saat An Najasy memanggil salah seorang dari
kami untuk mendengarkan pembicaraannya.
lalu keduanya menghadap An Najasy dan memberikan hadiah
kepadanya. An Najasy amat senang dengan hadiah itu. Keduanya lalu
berbincang dengan An Najasy seraya mengatakan:
“Wahai raja, di negeri telah berlindung beberapa budak-budak negeri
kami yang amat nakal. Mereka datang ke sini membawa agama yang tidak
kami ketahui sebagaimana engkau tidak mengetahuinya. Mereka
meninggalkan agama kami namun tidak masuk ke dalam agamamu…
Kami di utus untuk menghadapmu oleh orang tua mereka, paman mereka,
keluarga mereka agar engkau berkenan memulangkan budak-budak ini
kepada mereka, dan mereka yaitu manusia yang paling tahu akan fitnah
yang telah dibuat oleh budak-budak ini.”
An Najasy lalu melihat ke arah para pemuka agama, dan para pemuka
agama itu mengatakan: “Keduanya benar, wahai raja! Kaum mereka lebih
tahu dan paham akan apa yang telahg di perbuat oleh para budak ini.
Maka kembalikanlah para budak ini kepada mereka biar mereka sendiri
yang memutuskannya!” Lalu murkalah sang raja dengan ucapan para
pemuka agama ini, ia berkata kepada mereka: “Tidak, demi Allah. Aku
tidak akan menyerahkan mereka kepada siapapun sehingga aku memanggil
mereka semua, dan menanyakan kepada mereka apa yang dituduhkan
kepada mereka. Jika mereka benar, seperti apa yang dikatakan oleh kedua
orang ini, maka aku akan menyerahkannya. Jika mereka tidak demikian,
maka aku akan memberi perlindungan bagi mereka dengan sebaik-
baiknya.
Ummu Salamah mengisahkan: “lalu An Najasy mengutus
seseorang untuk memanggil kami dan menghadapnya. Lalu kami
berkumpul sebentar sebelum berangkat menghadapnya. Sebagian dari kami
ada yang berkata: “Raja akan menanyakan agama kalian, maka katakanlah
terus terang apa yang kalian anut. Biarkan yang menjadi juru bicaranya
yaitu Ja’far bin Abi Thalib, dan jangan ada yang bicara selainnya.”
Ummu Salamah mengisahkan: “lalu kami berangkat untuk
menghadap An Najasy dan kami dapati bahwa ia juga telah mengundang
para pemuka agama. Mereka semua duduk di samping kanan dan kiri An
Najasy. Mereka semua mengenakan Tayalisah89 dan menghiasi kepala
mereka dengan peci. Mereka pun tak lupa membuka kitab dihadapan
mereka. Kami juga melihat ada Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah
di dekat raja.”
Begitu kami sudah ada di majlis, An Najasy melihat ke arah kami dan
bertanya: “Apakah agama yang baru kalian anut sehingga kalian
meninggalkan agama kaum kalian juga tidak membuat kalian masuk ke
dalam agamaku, juga tidak masuk suatu agama pun yang diketahui
manusia?”
Lalu majulah beberapa langkah ke arah An Najasy, seseorang yang
bernama Ja’far bin Abi Thalib yang berkata: “Wahai raja, Kami dulunya
yaitu kaum jahiliah yang menyembah berhala dan memakan bangkai.
Kami melakukan perbuatan keji dan memutuskan tali silaturahmi. Kami
yaitu kaum yang suka mengganggu tetangga. Yang kuat diantara kami
akan memangsa mereka yang lemah. Kami hidup terus-menerus seperti itu
sehingga Allah Swt mengutus seorang Rasul kepada kami yang kami kenal
nasab, kejujuran, amanah dan harga dirinya…
Ia mengajak kami untuk kembali ke jalan Allah; agar kami mau
mengesakan dan menyembah-Nya dan meninggalkan apa yang pernah
kami dan kakek moyang kami sembah selain Allah dari bebatuan dan
berhala…
Rasul ini memerintahkan kami untuk berkata jujur dan menunaikan
amanat. Ia juga menyuruh kami untuk menghubungkan silaturahmu dan
bertetangga dengan baik. Menolak diri dari perbuatan haram dan
pertumpahan darah. Ia juga melarang kami untuk mengerjakan perbuatan
keji dan ucapan dosa. Memakan harta anak yatim dan menuduh wanita
yang terhormat.
Rasul tadi memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allah Swt dan
agar kami tidak melakukan kemusyrikan terhadap-Nya. Kami juga
diperintahkan untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan berpuasa
Ramadhan… kami meyakininya dan kami beriman kepadanya. Kami
mengikuti Rasul tadi dengan apa yang diwahyukan kepadanya dari sisi
Allah. Maka kami menjalankan apa yang halal, dan kami menolak apa yang
haram.
89
Kain hijau yang dikenakan oleh para pemuka agama
Maka tidak ada lain yang dilakukan oleh kaum kami sendiri kecuali
melakukan penyiksaan terhadap kami. Mereka menyiksa kami dengan
begitu sadis agar mereka dapat menguji kesetiaan kami kepada agama ini
dan mengembalikan kami kepada penyembahan berhala.
Saat mereka semakin aniaya dan menindas kami. Mereka juga
mempersempit ruang gerak kami. Mereka juga menghalangi kami untuk
melakukan ibadah agama ini. Maka kamipun keluar dari tanah air menuju
negeri mu, dan kami berharap perlindunganmu serta tidak akan dianiaya
di bawah kekuasaanmu.”
Ummu Salamah berkata: “An Najasy melihat Ja’far bin Abi Thalib dan
bertanya: “Apakah ada yang kalian bawa dari apa yang disampaikan oleh
Nabi kalian dari sisi Allah?” Ja’far menjawab: “Ya.” An Najasy berkata:
“Bacakanlah kepadaku!” Maka Ja’far pun membacakan:
“Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad. (Yang dibacakan ini yaitu ) penjelasan
tetang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya zakariya. yaitu
tatkala ia berdo'a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia
berkata:"Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan
kepalalu telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam
berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku…” (QS. Mayram [19] :1-4)
sehingga Ja’far membaca hingga bagian tertentu dari surat ini .
Ummu Salamah berkisah: “Maka menangislah An Najasy sehingga
janggutnya basah oleh air mata. Dan para pemuka agama juga menangis
sehingga kitab-kitab mereka pun basah dibuatnya. Mereka semua
menangis begitu mendengarkan Kalamullah ini.
Pada saat itulah An Najasy berkata kepada kami: “Apa yang dibawa oleh
Nabi kalian dan apa yang telah dibawa oleh Isa yaitu berasal dari sumber
cahaya yang sama!” lalu An Najasy menoleh ke arah Amr dan
sahabatnya lalu berkata kepada mereka berdua: “Pergilah kalian berdua!
Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua
untuk selamanya!”
Ummu Salamah berkata: “Begitu kami keluar dari ruangan An Najasy,
Amr bin Ash berkata kepada sahabatnya dengan mengancam kami:
“DemiAllah, aku akan datang kepada Raja esok hari. Aku akan
menceritakan kepadanya tentang mereka yang dapat menimbulkan
kebencian raja kepada mereka. Aku akan membuat raja membabat mereka
dari akarnya!”
Maka berkatalah Abdullah bin Abi Rabi’ah kepadanya: “Jangan kau
lakukan itu, wahai Amr! Mereka semua berasal dari keluarga kita,
meskipun mereka saat ini telah meninggalkan kita!”
Amr menjawab: “Tidak usah ikut campur! Demi Allah, aku akan
menceritakan kepada raja apa yang dapat membuat mereka semua resah.
Demi Allah, aku akan menceritakannya kepada raja bahwa mereka
menganggap bahwa Isa bin Maryam yaitu seorang hamba!!!”
Keesokan harinya, datanglah Amr menghadap Raja An Najasy dan
berkata kepadanya: “Wahai raja, orang-orang yang engkau beri
perlindungan itu mengatakan suatu perkataan keji tentang Isa bin Maryam.
Kalau tidak percaya, panggilah mereka dan tanyakan sendiri apa yang
mereka katakan terhadap Isa bin Maryam!”
Ummu Salamah berkata: “Begitu kami mengetahui hal ini, kami merasa
amat khawatir dan kami belum pernah merasakan hal seperti ini
sebelumnya… Sebagian kami berkata: “Apa yang kalian katakan tentang
Isa bin Maryam jika raja menanyakannya?” Kami pun menjawab: “Demi
Allah, kami tidak akan menjawab kecuali seperti apa yang telah Allah
firmankan. Kami tidak akan keluar dari perintah-Nya meski hanya seujung
jari sebagaimana yang telah disampaikan oleh Nabi kita. Meski apapun
yang menjadi konsekuensinya!”
lalu kami sepakat bahwa yang akan menjadi juru bicaranya
yaitu Ja’far bin Abi Thalib.
Begitu An Najasy memanggil, maka kami pun datang menghadapnya,
lalu kami melihat adanya beberapa orang pemuka agama dengan pakaian
seperti yang telah kami lihat sebelumnya.
Kami juga melihat Amr bin Ash dan sahabatnya berada di dekat raja.
Begitu kami tiba di hadapannya, An Najasy bertanya: “Apa yang kalian
katakan tentang Isa bin Maryam?” Ja’far bin Abi Thalib mengatakan: “Kami
mengatakan tentang Isa bin Maryam sebagaimana yang disampaikan
kepada Nabi kami!”
An Najasy bertanya: “Apa pendapat Nabi kalian tentang Isa bin
Maryam?”
Ja’far pun menjawab: “Nabi berkata tentang Isa bahwa dia yaitu
hamba Allah sekaligus Rasul-Nya. Ia juga ruh dan kalimat Allah yang
diberikan pada diri Maryam yang suci dan perawan.”
Begitu An Najasy mendengar ucapan Ja’far ia langsung memukul tanah
dengan tangannya dan berkata: “Demi Allah, Isa bin Maryam tidak keluar
dari apa yang diceritakan oleh Nabi kalian meski seujung rambut!”
Maka para pemuka agama menghembuskan nafas keras dari hidung
mereka pertanda tidak setuju begitu mereka mendengar ucapan An Najasy.
An Najasy berkata: “Meski kalian menghembuskan nafas dengan
kesal!” lalu An Najasy menoleh dan berkata: “Keluarlah, kalian
semua aman! Siapa yang mencaci kalian akan terkena denda. Siapa yang
menyerang kalian akan dihukum! Demi Allah aku tidak lebih menyukai
apabila aku mendapatkan segunung emas dibandingkan salah seorang dari
kalian diganggu!
lalu An Najasy melihat ke arah Amr dan sahabatnya sambil
berkata: “Kembalikan hadiah kedua orang ini, aku tidak
membutuhkannya!”
Ummu Salamah berkata: “Maka keluarlah Amr dan sahabatnya dengan
putus asa dan merasa kesal… sedangkan kami terus tinggal di wilayah An
Najasy di wilayah yang paling baik dan perlindungan yang paling mulia.”
Ja’far bersama istrinya menghabiskan 10 tahun dalam perlindungan
keamanan An Najasy.
Pada tahun 7 H, mereka berdua meninggalkan negeri Habasyah
bersama rombongan kaum muslimin lainnya untuk berhijrah ke Yatsrib.
Saat mereka tiba di sana, Rasulullah Saw baru saja kembali dari Khaibar90,
sesudah Allah menaklukan daerah ini untuk Beliau.
Begitu berjumpa Ja’far, Rasulullah Saw amat bergembira dan bersabda:
“Aku tidak mengerti, mengapa aku begitu gembira. Apakah sebab Khaibar
telah ditaklukan atau sebab datangnya Ja’far?”
Kaum muslimin semuanya, apalagi mereka yang faqir tidak mau kalah
gembiranya dari Rasulullah Saw dengan kedatangan Ja’far. Ja’far begitu
peduli dan sayang terhadap kaum fakir. Sehingga ia dijuluki dengan Abul
Masakin (Ayahnya orang-orang miskin).
Abu Hurairah menceritakan tentang pribadi Ja’far dengan ucapannya:
“Ja’far yaitu orang yang paling baik kepada kami –orang miskin-. Ia
sering mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan dengan apa
yang ada di rumahnya. Sehingga bila semua makanan di rumahnya telah
habis, maka ia akan memberikan kami bejana tempat minyak yang sama
sekali sudah kosong. Bejana ini lalu kami belah dan kami jilati apa
yang menempel dan tersisa di dalamnya.”
90
Khaibar yaitu benteng-benteng Yahudi yang berhasil ditaklukan oleh Rasulullah Saw pada
tahun 7 H. Rasul Saw dalam perang ini mendapatkan banyak sekali ghaniman (harta rampasan perang)
Ja’far tidak tinggal lama di Madinah. Pada tahun 8 hirjriyah, Rasul Saw
mempersiapkan pasukan untuk menghadapi pasukan Romawi yang berada
di negeri Syam. Rasul menunjuk Zaid bin Haritsah untuk memimpin
pasukan ini. Rasul berpesan: “Jika Zaid terbunuh atau tewas maka yang
menjadi amir dalam pasukan ini yaitu Ja’far bin Abi Thalib. Jika Ja’far
terbunuh atau tewas maka yang akan menjadi amirnya yaitu Abdullah
bin Rawahah. Jika Abdullah bin Rawahah terbunuh atau tewas maka
pasukan muslimin dipersilahkan menunjuk amir bagi mereka!”
Saat pasukan muslimin tiba di Mu’tah, yaitu sebuah desa yang terletak
di pinggir negeri Syam di daerah Yordania, mereka mendapati bahwa
pasukan Romawi telah menyiapkan 100 ribu prajurit yang didukung oleh
100 ribu lainnya dari penganut Nashrani bangsa Arab dari kabilah Lakhm,
Judzam, Qudha’ah dan lain-lain.
Pasukan muslimin saat itu hanya berjumlah 3000 prajurit.
Begitu kedua pasukan sudah bertemu dan peperangan berlangsung
dengan sengit sehingga Zaid bin Haritsah tersungkur jatuh dan tewas
hingga tak tertolong.
Serta-merta Ja’far melompat dari punggung kudanya yang berwarna
pirang. lalu Ja’far menebas kaki-kaki kuda tadi dengan pedangnya
sendiri agar pihak musuh tidak menggunakannya lagi.
Ia lalu mengambil panji dan merangsek masuk ke barisan musuh
sambil bersenandung:
Alangkah dekatnya surga
Ia amat indah dan sejuk airnya
Romawi, bangsa Romawi sudah tiba adzab baginya
Sebab ia yaitu bangsa yang kafir dan jauh dari agama leluhurnya
Jika aku berjumpa dengan mereka, maka aku pasti akan menebasnya
Dia terus merangsek masuk ke barisan musuh dengan pedang terhunus
sehingga ia mendapat sebuah sabetan pedang yang memutuskan tangan
kanannya. Lalu ia mempertahankan panji dengan tangan kirinya. Tidak
berlangsung lama, tangan kirinya pun putus disabet musuh. Lalu ia
mempertahankan panji ini dengan dada dan kedua lengan atasnya.
Tidak berlangsung lama, maka akhirnya ia terkena sabetan yang ketiga
sehingga tubuhnya terbelah dua. Maka panji lalu direbut oleh
Abdullah bin rawahah. Ia pun terus berjuang sehingga ia menyusul kedua
sahabatnya.
Rasulullah mendengar berita gugurnya ketiga panglima perang Beliau.
Maka Rasul langsung amat bersedih begitu mendengarnya, lalu ia
berangkat menuju rumah sepepupunya Ja’far bin Abi Thalib. Beliau
mendapati istrinya Asma binti Umais yang bersiap-siap menyambut
suaminya yang sudah tiada.
Asma telah menumbukkan gandum, memandikan anak, memakaikan
wewangian kepada mereka lalu memakaikan mereka baju.
Asma berkata: “Saat Rasul Saw datang ke rumah kami, aku melihat ada
raut kesedihan yang menyelimuti wajahnya yang mulia. Maka aku mulai
merasa khawatir, namun aku tidak mau bertanya kepada Beliau tentang
ja’far sebab aku takut mendengar berita yang menyedihkan.”
Rasul lalu memberikan salam dan berkata: “Bawa kesini, anak-anak
Ja’far!” Maka akupun memanggilkan mereka.
Maka anak-anakku berlarian ke arah Rasul dengan gembira. Mereka
berebutan untuk dapat berada di pangkuan Rasulullah Saw.
Rasul Saw merangkul mereka dan menciuminya. Mata Beliau penuh
dengan air mata.
Aku bertanya: “Ya Rasulullah, demi ibu dan bapakku, apa yang
membuatmu menangis?! Apakah engkau telah menerima kabar tentang
Ja’far dan kedua sahabatnya?” Beliau menjawab: “Ya, mereka semua sudah
menjadi syahid pada hari ini.”
Pada saat itu, sirnalah senyum dari wajah anak-anak Ja’far yang masih
kecil saat mereka mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka
diam tak bergeming seolah di kepala mereka sedang bersarang seekor
burung.
Sedangkan Rasulullah Saw pergi ke luar sambil mengusap air matanya
sambil berdo’a: “Ya Allah, gantikan Ja’far bagi anak-anaknya. Ya Allah,
gantikan Ja’far bagi keluarganya.”
lalu Rasul bersabda: “Aku melihat Ja’far di surga. Ia memiliki 2
sayap yang berlumuran darah dan bulu-bulunya diberi warna.”
Abu Sufyan bin Al Harits
“Abu Sufyan bin Al Harits yaitu Pemimpin Para Pemuda di Surga”
(Muhammad Rasulullah)
Jarang sekali 2 orang ini berhubungan dan berkomunikasi sebagaimana
Muhammad bin Abdullah Saw dengan Abu Sufyan bin Al Harits…
Abu Sufyan yaitu orang yang sebaya dengan Rasul Saw. Ia lahir tidak
jauh berselang dengan kelahiran Nabi Saw. Dan ia juga tumbuh di
keluarga yang sama.
Dia yaitu sepupu dekat Nabi Saw. Ayahnya bernama Al Harits,
sedangkan Abdullah, ayah Nabi Saw yaitu saudara kandung dari Al Harits
dari keturunan Abdul Muthalib.
Abu Sufyan juga merupakan saudara sesusuan Nabi Saw, sebab sama-
sama disusui oleh Sayyidah Halimah As Sa’diyah.
Lebih dari itu, dia yaitu sahabat kental Nabi yang amat mirip dengan
Beliau.
Apakah Anda pernah mendapatkan kerabat yang lebih akrab dibandingkan
Muhammad bin Abdullah dengan Abu Sufyan bin Al Harits?
Oleh sebab nya, banyak orang mengira bahwa Abu Sufyan lebih pantas
untuk menjadi orang yang pertama menyambut seruan Rasulullah Saw dan
menjadi orang pertama yang mengikuti jejak langkah Beliau. Akan tetapi,
hal yang terjadi sebenarnya berbeda dari kebanyakan dugaan orang.
sebab pada saat Rasulullah Saw melakukan dakwahnya secara terang-
terangan dan memberi peringatan kepada keluarga besarnya, maka
timbulah api kebencian di hati Abu Sufyan terhadap Rasulullah Saw.
Maka berubahlah persahabatn menjadi permusuhan. Hubungan
keluarga menjadi terputus. Dan persaudaraan menjadi penolakan dan
berpalingan.
Pada saat Rasulullah Saw melakukan dakwah secara terang-terangan,
Abu Sufyan saat itu yaitu seorang penunggang kuda terkenal di kalangan
bangsa Quraisy, dan ia juga merupakan salah seorang penyair Quraisy
yang ternama. Oleh sebab nya, pedang dan lisannya ia jadikan senjata
untuk menyerang Rasulullah Saw dan dakwahnya. Ia juga menggunakan
segala kemampuannya untuk melakukan penindasan kepada Rasulullah
Saw dan kaum muslimin.
Tidak ada peperangan yang dilakukan oleh bangsa Quraisy terhadap
Nabi Saw kecuali, Abu Sufyan yang menjadi penyulutnya. Tidak ada
penyiksaan yang dilakukan terhadap kaum muslimin kecuali, Abu Sufyan
memiliki peran penting dalam hal ini .
Abu Sufyan telah menggunakan kemampuan syairnya. Lewat lisannya
ia menghina Rasulullah Saw. Ia mengatakan tentang diri Nabi Saw sebuah
ucapan yang amat keji dan menyakitkan.
Permusuhan Abu Sufyan kepada Nabi Saw berlangsung lama hingga
mencapai 20 tahun lamanya. Selama masa itu, ia tidak pernah ketinggalan
dalam melakukan makar terhadap Rasulullah Saw, dan ia juga tidak pernah
ketinggalan dalam melakukan kejahatan terhadap kaum muslimin, dan ia
bangga dengan perbuatan dosa yang ia lakukan.
Sebelum terjadinya penaklukan kota Mekkah, Abu Sufyan menerima
surat dari Rasulullah Saw agar ia mau masuk Islam. Kisah masuknya Abu
Sufyan ke dalam Islam merupakan sebuah kisah menarik yang sering
terdapat dalam kitab-kitab sirah dan buku-buku sejarah.
Kita akan mempersilahkan Abu Sufyan untuk menceritakan hal ini
sendiri, sebab perasaan yang dimilikinya lebih dapat menjiwai. Dan ia
lebih kompeten dalam menuturkannya.
Abu Sufyan berkata: “Saat Islam sudah berjaya dan mantap, dan banyak
kabar berita yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw sedang menuju
Mekkah untuk menaklukkannya. Maka aku merasa bumi menjadi sempit
bagi diriku. Aku bertanya dalam diri: Hendak kemana aku pergi?! Dan
siapa yang akan menemani?! Kepada siapa aku akan berlindung?!
Lalu aku mendatangi istri dan anak-anakku. Aku katakan kepada
mereka: “Bersiaplah kalian untuk pergi dari Mekkah sebab Muhammad
sebentar lagi akan tiba. Aku pasti akan terbunuh jika kaum muslimin
menjumpaiku.”
Keluargaku berkata: “Sudah saatnya engkau menyadari bahwa bangsa
Arab dan Ajam sudah tunduk kepada Muhammad Saw dan memeluk
agamanya. Sedangkan engkau masih saja berkeras untuk terus
memusuhinya padahal engkau yaitu orang yang paling layak untuk
mendukung serta menolongnya?!”
Mereka terus-menerus membujukku untuk mau memeluk agama
Muhammad sehingga Allah Swt berkenan untuk melapangkan dadaku agar
dapat menerima Islam.
Sejurus lalu aku berkata kepada budakku yang bernama
Madzkur untuk mempersiapkan unta serta kuda. Aku ajak anakku yang
bernama Ja’far untuk turut serta. Lalu kami menuju ke arah daerah Abwa
yaitu sebuah tempat yang terletak antara Mekkah dan Madinah. Ada orang
yang menyampaikan kepadaku bahwa Muhammad sedang bermukim di
sanan.
Saat aku sudah hampir tiba di Abwa, maka aku menyamar agar tidak
ada orang yang mengenaliku lalu membunuhku sebelum aku menjumpai
Nabi Saw dan menyatakan keislamanku dihadapannya.
Aku lalu berjalan kaki kira-kira satu mil sedangkan rombongan kaum
muslimin berjalan bergerombolan menuju Makkah. Aku menyisih dari
jalan mereka sebab khawatir ada yang salah seorang sahabat Muhammad
yang mengenaliku.
Dalam kondisi ini , lalu aku melihat Rasulullah Saw dalam
tunggangannya. Maka aku mencegatnya dan aku berdiri di hadapannya.
Aku pun membuka tutup wajahku. Begitu kedua matanya melihatku dan
mengenaliku, lalu Rasulullah Saw berpaling menuju sisi lain jalan. Aku pun
mengejarnya ke tempat ia berada. Lagi-lagi Rasulullah Saw berpaling ke sisi
jala lain dan akupun mengejarnya lagi. Ia melakukan hal itu berkali-kali.
Tadinya aku tidak ragu –saat aku menghadap Rasulullah- bahwa Beliau
dan para sahabatnya akan bergembira dengan keislamanku.
Akan tetapi kaum muslimin saat melihat Rasulullah Saw yang berpaling
dari diriku mereka juga ikut berpaling:
Abu Bakar menjumpaiku, ia juga berpaling dariku. Aku lalu melihat
Umar bin Khattab dengan tatapan memelas agar hatinya luluh, namun ia
juga lebih keras lagi berpalingnya ketimbang Abu Bakar…
Bahkan ada seorang dari suku Anshar yang mencomoohku dan berkata:
“Wahai musuh Allah, engkau yaitu orang yang pernah menyiksa
Muhammad dan para sahabatnya. Engkau sudah memusuhi Nabi dari
timur hingga barat dunia…
Orang Anshar tadi terus menerus mencercaku dan melakukannya
dengan suara keras sehingga kaum muslimin memandangku dengan sinis,
dan senang dengan apa yang aku rasakan.
Pada saat itu, lalu aku mendapati pamanku Abbas, dan aku berlindung
kepadanya. Aku berkata: “Wahai paman, aku tadinya berharap bahwa
Rasulullah Saw akan senang dengan keislamanku sebab aku yaitu
kerabatnya dan sebab aku orang terkemuka di kaumku. Engkau sudah
tahu apa sikap Beliau terhadapku. Tolonglah, engkau berbicara kepada
Beliau, agar Beliau ridha kepadaku!”
Lalu pamanku berkata: “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan berbicara
kepadanya tentangmu meski satu kata sesudah aku melihat Beliau telah
berpaling dari dirimu, kecuali bila ada kesempatan untuk melakukannya
maka aku akan menghadap Beliau Saw.”
Aku lalu bertanya: “Wahai paman, lalu kepada siapa engkau hendak
menyerahkanku?!”
Beliau menjawab: “Aku tidak bisa memberikan apa-apa untukmu selain
apa yang telah kau baru saja dengar!”
Aku serta-merta menjadi panik dan sedih. Tidak lama sesudah itu, aku
melihat sepupuku Ali bin Abi Thalib dan akupun mengadukan
permasalahanku kepadanya. Iapun mengatakan hal yang sama
sebagaimana yang telah dikatakan pamanku Abbas.
Pada saat itu, aku kembali kepada pamanku Abbas dan berkata: “Wahai
paman, jika engkau tidak mampu untuk membujuk Rasulullah Saw untuk
diriku, maka dapatkan engkau menghentikan orang yang terus-menerus
mencerca dan menghinaku serta mengajak orang untuk melakukan hal
yang sama!” Abbas berkata: “Tunjukkan ciri-cirinya!” Aku pun
menunjukkannya. Abbas berkata: “Dia yaitu Nu’aiman bin Al Harits An
Najari.” Ia pun menemui Nu’aiman dan berkata: “Wahai Nu’aiman, Abu
Sufyan yaitu sepupu Rasulullah Saw dan keponakanku. Meskipun hari ini
Rasulullah Saw benci terhadapnya, namun Beliau suatu hari akan ridha
kepadanya. Maka hentikanlah cacianmu terhadapnya!”
Abbas terus membujuknya sehingga Nu’aiman rela untuk
menghentikan caciannya kepadaku. Dan akhirnya ia berkata: “ sesudah ini,
aku tidak akan menyerangnya lagi.”
Begitu Rasulullah Saw singgah di Juhfah91, aku pun duduk di depan
pintu rumahnya. Aku disertai putraku Ja’far yangberdiri. Saat Beliau
melihatku –ketika Beliau keluar dari rumah- Beliau memalingkan
wajahnya dariku. Namun aku tidak berputus asa untuk membuat Beliau
ridha kepadaku. Aku berusaha agar dapat bisa duduk di depan pintu
rumahnya di setiap tempat dimana Beliau singgah. Dan aku menyuruh
Ja’far berdiri di sampingku. Setiap kali Rasulullah Saw melihatku, ia
langsung berpaling dariku.
91
Juhfah yaitu sebuah tempat yang terletak di sepanjang jalan antara Madinah dan Mekkah.
Jaraknya dari Mekkah yaitu 4 marhalah.
Aku terus menerus melakukan hal itu dalam masa yang lama. Begitu
aku sudah tidak sanggup lagi, aku berkata kepada istriku: “Demi Allah
Rasulullah Saw akan ridha kepada ku, atau aku akan mengajak anakku ini
untuk berjalan di muka bumi sehingga kami mati kelaparan atau kehausan.
Saat hal itu terdengar oleh Rasulullah Saw pasti ia akan kasihan
kepadaku…” Saat Rasulullah Saw keluar dari kubahnya, Beliau
memandangku dengan pandangan yang lebih lembut dari sebelumnya, aku
berharap Beliau akan tersenyum.
lalu Rasulullah Saw masuk ke Mekkah dan aku berada dalam
rombongannya. Beliau lalu menuju Masjidil Haram, dan aku pun
berlari di hadapannya agar tidak tertinggal.
Pada peristiwa Hunainin, bangsa Arab berkumpul dengan jumlah
pasukan yang amat besar untuk memerangi Rasulullah Saw dan belum
pernah mereka sedemikian banyaknya. Mereka mempersiapkan
persenjataan yang belum pernah selengkap saat itu. Mereka bertekad untuk
mengalahkan Islam dan kaum muslimin.
Rasulullah Saw lalu berangkat dengan serombongan para sahabatnya,
dan akupun ikut serta dalam rombongan itu. Saat aku melihat pasukan
musyrikin yang sedemikian banyaknya, aku berkata: “Demi Allah, aku akan
menebus segala kesalahanku dalam memusuhi Rasulullah Saw, dan Beliau
pasti akan melihat perjuanganku yang akan membuat Allah dan Beliau
ridha.”
Saat kedua pasukan bertemu, kaum musyrikin sepertinya unggul
terhadap pasukan muslimin. Maka merasuklah rasa khawatir dan putus asa
pada pasukan muslimin. Banyak orang yang berpisah dari komando
Rasulullah Saw. Hampir saja kami mengalami kekalahan telak.
Lalu tiba-tiba Rasulullah Saw tetap tegar di tengah medan laga di atas
bighalnya seolah gunung kokoh. Dengan pedang di tangan, ia
mempertahankan dirinya dan orang yang ada di sekelilingnya seperti singa
yang menerkam.
Pada saat itu, aku melompat dari kudaku. Aku pecahkan sarung pedang
dan Allah Swt mengetahui bahwa aku rela mati demi Rasulullah Saw.
Pamanku Abbas menarik tali bighal Nabi Saw dan berdiri di sampingnya.
Dan aku berdiri di sisi sebelahnya. Di tangan kananku terdapat pedang
untuk melindungi Rasulullah Saw. Sedangkan tangan kiriku memegang
hewan tunggangan Beliau.
Saat Nabi Saw melihat kegigihan perjuanganku, Beliau bertanya kepada
pamanku Abbas: “Siapakah ini?” Abbas menjawab: “Dia yaitu saudaramu
dan sepupumu, Abu Sufyan bin Al Harits. Ridhailah dirinya, ya Rasulullah!”
Rasul bersabda: “Aku telah ridha kepadanya. Dan Allah telah mengampuni
permusuhan yang telah ia lakukan kepadaku!”
Maka hati ku langsung gembira mendengar Rasulullah Saw telah ridha
kepadaku. Aku mencium kakinya yang berada di atas tunggangan.
lalu ia menoleh ke arahku sambil bersabda: “Wahai saudaraku,
majulah dan bunuhlah!”
Ucapan Rasulullah Saw mengobarkan semangatku. Maka aku
menyerang kaum musyrikin yang menggoncangkan posisi mereka. Kamu
muslimin lalu mengikutiku menyerang mereka sehingga kami
mampu mengusir mereka kira-kira sejauh 1 farsakh92. Dan kami mampu
membuat mereka kocar-kacir.
Sejak peristiwa Hunainin, Abu Sufyan merasakan indahnya keridhaan
Rasulullah Saw dan ia bahagia dengan persahabatan Beliau. Namun Abu
Sufyan tidak pernah mengangkat pandangannya dihadapan Beliau, dan
tidak pernah pandangannya tertuju pada wajah Beliau sebab merasa malu
dengan masa lalunya.
Abu Sufyan selalu menyesali masa-masa kelam yang ia gunakan pada
masa jahiliah sebab telah terhalang dari cahaya Allah, terhalang dari
kitab-Nya. Oleh sebab nya, ia senantiasa menghabiskan waktu siang dan
malamnya bersama Al Qur’an, mempelajari hukum-hukumnya dan
menyerap segala nasehat yang ada di dalamnya.
Dia benar-benar telah meninggalkan dunia dan menghadap Allah Swt
dengan seluruh anggota badannya. Sehingga pada suatu kesempatan
Rasulullah Saw melihat Abu Sufyan masuk ke dalam masjid. Rasulullah Saw
lalu bertanya kepada Aisyah ra: “Tahukah kamu siapakah orang itu, ya
Aisyah?” Aisyah menjawab: “Tidak tahu, ya Rasulullah!” Rasul bersabda:
“Dia yaitu sepupuku, Abu Sufyan bin Al Harits. Perhatikanlah, dia yaitu
orang yang pertama masuk ke dalam masjid dan dialah orang yang
terakhir keluar. Pandangannya tidak akan berpaling dari gerak langkah
sendalnya.”
Saat Rasulullah Saw kembali ke pangkuan Tuhannya. Abu Sufyan
bersedih atas kematian Beliau seperti seorang ibu yang menangisi anak
tunggalnya yang meninggal. Ia menangisi Rasulullah seperti seorang yang
ditinggal mati oleh kekasihnya. Abu Sufyan membuat sebuah kasidah yang
menggambarkan kesedihan dan kenestapaan. Ia berkata:
Tak dapat aku tidur, dan malam terasa panjang bagiku… Malam
musibah bagi saudaraku begitu panjang
92
1 farsakh = 3 mil. 1 mil = 1000 hasta. 1 hasta = 4 depa
Aku bahagia sebab derita ku tidak terlalu panjang… Sepanjang
musibah yang dirasakan oleh kaum muslimun
Musibah terasa berat bagi kami… Apalagi di saat Rasul diambil ruhnya
sebab musibah ini… Semua sisi bumi terasa sempit
Kami kehilangan wahyu dan orang yang senantiasa dihampiri oleh
Jibril
Dan itulah yang lebih pantang menjadi perjalanan jiwa manusia
Dialah seorang Nabi yang telah melenyapkan keraguan diri kamu…
dengan apa yang diwahyukan kepadanya dan dengan apa yang ia sabdakan
IA telah memberi kami petunjuk dan kami tidak khawatir tersesat…
sebab Rasul menjadi petunjuk bagi kami
Berpisahlah jika engkau ragu dan itu merupakan kekuarangan… Jika
kau tak ragu maka inilah jalan sebenarnya
Maka kubur bapakmu yaitu pemuka semua kubur… dan di dalamnya
terdapat panghulu manusia yaitu Rasul
Pada masa kekhalifahan Umar Al Faruq, Abu Sufyan merasakan ajalnya
telah tiba lalu ia menggali kubur dengan tangannya sendiri.
Tiga hari sesudah itu, maka datanglah kematian untuk menjemputnya,
seolah seperti sebuah agenda yang telah dijanjikan. Ia lalu menatap
istri, anak dan seluruh keluarganya lalu berkata: “Janganlah kalian
menangisiku. Demi Allah, aku tidak pernah berhubungan lagi dengan
kesalahan sejak aku masuk Islam.
lalu pergilah ruhnya yang suci. Umar Al Faruq melakukan shalat
untuknya dan bersedih sebab kepergiannya. Dan ini dirasakan oleh para
sahabat yang mulia. Mereka semua menganggap kematian Abu Sufyan
merupakan sebuah musibah yang terjadi bagi Islam dan muslimin.
Sa’d bin Abi Waqash
“Panah Mereka, ya Sa’d… Panah Mereka…, Demi Ayah dan Ibumu!”
(Muhammad Rasulullah Memberi Semangat kepada Saat pada
Perang Uhud)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertam