Tampilkan postingan dengan label sahabat nabi muhammad 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sahabat nabi muhammad 9. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Desember 2024

sahabat nabi muhammad 9

 


n Rasulullah Saw, dan salah satu orang 

yang melakukan sedekah saat itu yaitu  Abdurrahman bin Auf. Ia 

bersedekah dengan 200 awqiyah dari emas. Umar bin Khattab lalu berkata 

kepada Nabi Saw: “Menurutku, Abdurrahman bin Auf telah berbuat dosa, 

sebab ia tidak menyisakan apapun untuk keluarganya…” Rasulullah Saw 

lalu bertanya kepada Abdurrahman bin Auf: “Apakah engkau telah 

menyisakan harta untuk keluargamu, ya Abdurrahman?” 

Ia menjawab: “Ya. Aku telah sisakan untuk mereka lebih dari apa yang 

telah aku infaqkan dan lebih baik.” 

Rasul bertanya: “Berapa?” Ia menjawab: “Sebanyak apa yang telah 

Allah dan Rasul-Nya janjikan dari rizqi, kebaikan dan balasan.” 

  

Pasukan ini lalu berangkat ke Tabuk… Di sana Allah Swt memberikan 

Abdurrahman bin Auf kemuliaan yang belum pernah diterima oleh 

muslimin lainnya. Waktu shalat sudah tiba, sedang Rasulullah Saw tidak 

ada. Maka Abdurrahman bin Auf menjadi imam bagi kaum muslimin saat 

itu. Hampir saja mereka menyelesaikan raka’at pertama, maka Rasulullah 

Saw menyusul mereka dalam jamaah. Beliau mengikuti shalat 

Abdurrahman bin Auf dan berada dibelakangnya… 

Apakah ada kemuliaan yang melebihi seseorang yang menjadi imam 

bagi pemimpin seluruh makhluk sekaligus pemimpin para Nabi, yaitu 

Muhammad bin Abdullah?!! 

  

 sesudah  Rasulullah Saw kembali ke pangkuan Tuhannya, Abdurrahman 

bin Auf mencukupi segala kebutuhan Ummahatul Mukminin (para istri 

Rasulullah Saw)… Ia berangkat bersama mereka bila mereka bepergian. 

Berhaji, jika mereka melaksanakan haji. Ia membuat pada sekudup84 

mereka kain hijau untuk berteduh yang biasa dipakai oleh orang-orang 

tertentu. Ia akan menemani mereka berhenti di tempat yang mereka sukai. 

                                                     

84

 Sekudup yaitu  sebuah tempat yang memiliki kubah dan diletakkan di atas punggung unta, 

dikhususkan bagi wanita. 

Itulah kisah hidup Abdurrahman bin Auf dan kepercayaan para 

Ummahatul Mukminin kepadanya yang dapat ia banggakan. 

  

Kebaikan Abdurrahman terhadap kaum muslimin dan Ummahatul 

Mukminin bahkan membuatnya menjual tanah miliknya seharga 1000 

dinar. Ia bagikan semua uang itu kepada Bani Zuhra, orang-orang faqir 

dari golongan Muhajirin, dan para istri Nabi Saw. Saat ia mengirimkan 

bagian harta ini  untuk Ummul Mukminin Aisyah ra. Aisyah bertanya: 

“Siapakah yang mengirimkan harta ini?” Ada yang mengatakan kepadanya: 

“Abdurrahman bin Auf.” lalu  Aisyah berkata: Rasulullah Saw pernah 

bersabda: “Tidak ada orang yang bersimpati kepada kalian  sesudah  aku mati 

kecuali mereka orang-orang yang sabar.” 

  

Do’a Nabi Saw dikabulkan sehingga Abdurrahman bin Auf 

mendapatkan keberkahan pada hartanya. Perdagangan Abdurrahman bin 

Auf terus berkembang dan bertambah. Kafilah miliknya terus-menerus 

pergi dan kembali ke Madinah dengan membawa gandum, tepung, minyak, 

pakaian, bejana, minyak wangi dan semua kebutuhan masyarakat 

Madinah. 

  

Suatu hari datanglah kafilah Abdurrahman bin Auf ke Madinah yang 

terdiri dari 700 kendaraan. Ya, 700 kendaraan yang membawa makanan, 

barang-barang yang dibutuhkan oleh penduduk Madinah. 

Begitu kafilah ini memasuki Madinah, maka bumi terasa bergoyang dan 

terdengar sorak-sorai manusia. Aisyah ra bertanya: “Ada apa ramai-ramai 

begini?” Ada orang yang menjawabnya: “Ini yaitu  kafilah Abdurrahman 

bin Auf… 700 unta yang membawa, gandum, tepung dan makanan.” 

Aisyah ra berkata: “Semoga Allah memberkahi harta yang telah ia 

berikan di dunia demi ganjaran akhirat yang lebih besar.” 

  

Sebelum unta-unta ini  berhenti. Kabar ini  telah sampai 

kepada Abdurrahman bin Auf. Begitu telinganya mendengar apa yang 

dikatakan Ummul Mukminin Aisyah, Abdurrahman segera menemui 

Aisyah dan berkata: “Saksikanlah olehmu wahai Ummul Mukminin, bahwa 

kafilah ini dengan seluruh isi dan petugasnya aku berikan di jalan Allah.” 

  

Do’a Rasulullah Saw kepada Abdurrahman bin Auf agar Allah berkenan 

memberkahi dirinya selagi hidup terus saja berlangsung, sehingga ia 

menjadi sahabat Rasul Saw yang paling kaya dan yang paling banyak 

memiliki harta… akan tetapi Abdurrahman bin Auf menjadikan seluruh 

harta tadi demi mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Ia senantiasa 

berinfaq dengan kedua tangannya baik yang kanan maupun kiri, dengan 

sembunyi ataupun terang-terangan… sebagaimana ia pernah bersedekah 

dengan 40 ribu dirham perak, lalu  ia bersedekah lagi dengan 40 ribu 

dinar emas. lalu  ia bersedekah lagi dengan 100 auqiyah emas. Ia 

juga membawa para mujahidin dengan 500 kuda yang ia berikan. 

lalu  ia membekali 1500 mujahidin lainnya dengan kendaraan. 

Saat Abdurrahman bin Auf menjelang wafat, ia membebaskan banyak 

sekali budak-budaknya. 

Ia berpesan untuk memberikan 400 dinar emas kepada Ahlu Badr yang 

masih hidup. Maka mereka pun mengambil pemberian Abdurrahman ini 

dan jumlah mereka saat itu mencapai 100 orang. 

Ia juga berpesan untuk memberikan setiap Ummul Mukminin harta 

yang banyak; sehingga Ummul Mukminin Aisyah ra seringkali berdo’a 

untuk Abdurrahman yang berbunyi: “Semoga Allah Swt memberikannya 

minuman dari air salsabil.” 

lalu  ia meninggalkan untuk ahli warisnya harta yang barangkali 

tidak bisa terhitung lagi… sebab  ia mewariskan 1000 unta, 100 kuda dan 

3000 domba. Istrinya berjumlah 4 orang sehingga mereka mendapatkan 

seperempat dari seperdelapan85 yang masing-masing mereka mendapatkan 

80 ribu. 

Ia meninggalkan emas dan perak yang bertumpuk-tumpuk dan 

dibagikan kepada seluruh ahli warisnya dengan cara memukulkannya 

dengan kapak sehingga tangan orang-orang yang memotongnya kelelahan. 

Semua itu terjadi sebab  do’a Rasulullah Saw agar Allah berkenan 

memberkahi harta Abdurrahman bin Auf. 

  

Akan tetapi harta yang ia miliki tidak membuat dirinya tergoda bahkan 

tidak membuatnya berubah. Sehingga kebanyakan orang jika melihat 

Abdurrahman bin Auf sedang bersama para budaknya, mereka tidak dapat 

membedakan mana Abdurrahman dan mana para budaknya. 

Suatu saat ia sedang mendapatkan makanan -padahal saat itu ia sedang 

berpuasa- ia lalu melihat orang yang membawakan makanan tadi sambil 

berkata: “Mus’ab bin Umair –yang lebih baik dariku- terbunuh, kami 

mendapatinya tidak memiliki apa-apa selain kain kafan yang menutupi 

                                                     

85

 Pent. Tirkah (harta warisan untuk istri bila terdapat anak yaitu  seperdelapan. sebab  istri 

beliau berjumlah 4 orang, maka masing-masing mendapatkan seperempat dari seperdelapan bagian 

mereka dari harta waris.) 

kepalanya namun kakinya terlihat. Jika kedua kakinya ditutup, maka 

kepalanya akan muncul. Lalu Allah Swt membentangkan dunia kepadaku 

sehingga seperti ini. Aku khawatir bila pahalaku sudah didahulukan 

(diberikan di dunia).” lalu  ia menangis dengan tersedu-sedu 

sehingga makanan ini  basi. 

  

Beruntung sekali Abdurrahman bin Auf… Sebab Rasulullah Saw telah 

menjaminnya masuk ke dalam surga. Pembawa jenazahnya hingga ke 

peristirahatan terakhir yaitu  paman Rasul Saw yang bernama Sa’d bin Abi 

Waqash. Dzu Nuraini Ustman Bin Affan juga turut mensholatkan 

jenazahnya. Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib turut mengiringi 

jenazahnya sambil berkata: “Pergilah! Engkau telah menemukan 

kebenarannya dan engkau telah meninggalkan tipu dayanya. Semoga Allah 

merahmatimu!” 


Ja’far bin Abi Thalib 

“Aku Melihat Ja’far di Surga. Ia memiliki 2 Sayap yang Berlumuran 

Darah dan Bulu yang Diberi Warna.” (Hadits Al Syarif) 

 

Di Bani Manaf86 ada 5 orang yang amat mirip dengan Rasulullah Saw 

sehingga orang yang lemah pandangannya sering keliru membedakan 

Rasul Saw dengan mereka. 

Tidak dipungkiri bahwa Anda ingin mengetahui siapa saja kelima orang 

ini  yang begitu mirip dengan Nabi Saw. 

Maka marilah kita berkenalan dengan mereka semua.  

Mereka yaitu : Abu Sufyan bin Al Harits bin Abdul Muthalib, Beliau ini 

yaitu  sepupu Rasulullah Saw dan saudara sesusuan dengan Nabi Saw. 

lalu  Futsam bin Al Abbas bin Abdul Muthalib, dan dia juga 

merupakan sepupu Nabi Saw. Al Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim 

kakeknya Imam Syafi’I ra. Al Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw dan ia 

merupakan orang yang paling mirip dengan Nabi Saw dibandingkan 

dengan yang lain. Dan Ja’far bin Abu Thalib, dia yaitu  saudara Amirul 

Mukminin Ali bin Abi Thalib. 

Kami akan memaparkan sebuah episode dari kisah hidup Ja’far bin Abi 

Thalib ra… 

  

Abu Thalib -meski dia yaitu  orang yang terpandang di kalangan 

bangsa Quraisy, dan memiliki posisi penting di kaumnya- namun ia yaitu  

orang yang amat sulit hidupnya dan banyak anggota keluarganya. 

Kondisi ini  semakin bertambah sulit dengan datangnya tahun 

paceklik yang terjadi pada bangsa Quraisy sehingga membuat semua 

panenan menjadi gagal dan hewan-hewan ternakpun tidak dapat 

mengeluarkan susu. Ini semua membuat manusia hanya mampu 

mengkonsumsi tulang-tulang basah saja. 

Di kalangan Bani Hasyim –saat itu- tidak ada orang yang berkeluasan 

kecuali Muhammad bin Abdullah dan pamannya Al Abbas. 

Muhammad lalu berkata kepada Abbas: “Wahai paman, saudaramu 

Abu Thalib banyak sekali keluarganya. Engkau tahu sendiri bahwa banyak 

                                                     

86

 Abdi Manaf yaitu  nenek moyang Rasulullah saw. dan keteurunannya yaitu  kabilah yang 

paling dekat dengan Nabi Saw. 

  

manusia yang berkesusahan sebab  kemarau yang panjang serta wabah 

kelaparan. Marilah kita ke rumahnya untuk menanggung sebagian 

keluarganya. Aku akan menanggung seorang anaknya dan engkaupun 

menanggung seorang lagi dari anaknya, sehingga keduanya kita cukupi 

kebutuhannya.” 

Abbas berkata: “Engkau telah mengajak kepada hal kebaikan dan 

engkau menyeru kepada kebajikan.” 

lalu  keduanya berangkat dan bertemu dengan Abu Thalib. 

Keduanya berkata: “Kami datang berniat untuk meringankan beban 

keluargamu sehingga kesulitan dan penderitaan ini sirna dari diri 

manusia.” Abu Thalib berkata: “Kalian boleh untuk mengambil siapa saja, 

selain Aqil.”  

Maka Muhammad mengajak Ali dan menjadikan keluarganya. 

Sedangkan Abbas mengajak Ja’far dan menjadikannya sebagai keluarga. 

Ali terus tinggal bersama Muhammad hingga saat Allah Swt 

mengutusnya sebagai seorang Nabi yang membawa agama petunjuk dan 

kebenaran. Dialah yang menjadi orang pertama yang memeluk Islam dari 

kalangan pemuda. 

Ja’far pun terus tinggal dengan pamannya sehingga ia tumbuh dewasa, 

masuk Islam dan berkecukupan bersamanya. 

  

Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya Asma binti Umais bergabung 

dengan rombongan ‘cahaya’ sejak perjalanan pertama.  

Keduanya masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar As Shiddiq ra sebelum 

Rasulullah Saw masuk ke Darul Al Arqam.87 

Pemuda AlHasyimi ini bersama istrinya merasakan siksaan bangsa 

Quraisy sebagaimana yang dirasakan oleh muslimin yang lain. Keduanya 

mampu bersabar atas siksaan ini sebab  keduanya menyadari bahwa jalan 

menuju surga dipenuhi dengan duri dan sarat dengan hal yang 

menyakitkan. Akan tetapi yang membuat mereka jengkel sebagaimana yang 

dirasakan oleh sahabat mereka dari kaum muslimin yaitu  bahwa bangsa 

Quraisy menghalangi mereka untuk melakukan ibadah dan menghalangi 

mereka untuk merasakan lezatnya ibadah. Bangsa Quraisy bahkan 

senantiasa mengawasi setiap hembusan nafas mereka. 

Pada saat itulah Ja’far bin Abi Thalib meminta izin kepada Rasulullah 

saw untuk berhijrah bersama istri dan beberapa orang sahabat lainnya ke 

negeri Habasyah. Rasul pun mengizinkan dengan hati yang sedih. 

                                                     

87

 Darul Arqam yaitu  sebuah rumah di Mekkah yang dikenal dengan Darus Salam. Rumah ini 

milik Al Arqam bin Abdu Manaf Al Makhzumy. Dalam rumah ini  Rasulullah Saw mengajak 

manusia untuk memeluk agama Islam. Sudah sering disebut kisah Darul Arqam ini sebelumnya 

Yang membuat Rasul bersedih atas para sahabatnya yang suci dan baik 

itu yaitu  sebab  mereka akan meninggalkan kampung mereka. Mereka 

bersedia meninggalkan tempat di mana mereka bermain di waktu kecil, 

tanah air dimana mereka tumbuh menjadi remaja. Mereka tinggalkan 

kampungnya tanpa kesalahan yang mereka perbuat kecuali bahwa mereka 

mengatakan bahwa: “Tuhan kami yaitu  Allah!” 

Akan tetapi Beliau tidak memiliki daya dan kekuatan untuk menolak 

siksaan bangsa Quraisy. 

  

Berangkatlah rombongan kaum muhajirin pertama ke Habasyah dan 

salah satu dari mereka yaitu  Ja’far bin Abi Thalib. Mereka tinggal di sana 

dengan jaminan keamanan An Najasy yang merupakan pemimpin 

Habasyah yang dikenal adil dan shaleh. 

Akhirnya, pertama kali mereka mendapatkan rasa aman –sejak mereka 

masuk Islam- dan mereka merasakan nikmatnya ibadah tanpa ada yang 

mengganggu kenikmatan ibadah mereka, ataupun yang mengacaukannya. 

Akan tetapi begitu suku Quraisy mengetahui keberangkatan 

rombongan muslimin ini menuju Habasyah untuk mendapatkan 

perlindungan raja Habasyah demi ketenangan beribadah mereka dan 

keamanan akidah, mereka pun berencana untuk membunuh rombongan 

muslimin ini atau menggiring mereka masuk ke dalam sebuah penjara 

besar. 

Sekarang, kita akan mempersilahkan Ummu Salamah88 ra untuk 

menceritakan kisah yang ia dengar dan saksikan. 

  

Ummu Salamah berkata: “Begitu kami tiba di negeri Habasyah, kami 

menemukan perlindungan yang amat baik bagi diri kami sehingga kami 

merasa aman dalam menjalankan agama. Kami dapat beribadah kepada 

Allah tanpa ada siksaan atau ucapan yang menyakitkan kami. Begitu 

Quraisy mendengar kabar ini, mereka segera mengirimkan dua orang yang 

paling gagah diantara mereka kepada An Najasy. Keduanya yaitu : Amr 

bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berdua dibekali hadiah yang 

akan diberikan kepada An Najasy dan para pemuka agama di sana. Hadiah 

ini  yaitu  barang-barang yang disukai oleh penduduk Habasyah dari 

negeri Hijaz. Suku Quraisy juga berpesan kepada kedua utusan ini agar 

memberikan hadiah kepada para pemuka agama terlebih dahulu sebelum 

mereka menghadap An Najasy untuk membicarakan urusan kami.” 

  

                                                     

88

 Ummu Salamah: Lihat dalam kitab Shuwar min Hayatis Shahabiyat karya penulis. 

Begitu keduanya tiba di Habasyah maka mereka menemui para pemuka 

agama dan memberikan kepada masing-masing pemuka agama hadiah. 

Tidak ada seorang pun dari para pemuka agama tadi yang tidak 

mendapatkan hadiah dari keduanya. Kedua utusan ini  berkata kepada 

pemuka agama: 

“Ada beberapa budak bodoh kami yang berlindung di negara raja. 

Mereka telah keluar dari agama bapak dan kakek moyang mereka dan 

keluar dari kaumnya. Jika kami berbicara kepada raja kalian tentang para 

budak ini, maka beritahukanlah raja kalian untuk menyerahkan budak-

budak ini kepada kami tanpa perlu menanyakan agama mereka. sebab  

para pemimpin suku mereka amat mengerti tentang kondisi para budak ini 

dan paham apa yang sedang mereka anut.” Para pemuka agama tadi pun 

mengatakan: “Ya.” 

Ummu Salamah berkata: “Tidak ada yang lebih kami benci dari Amr 

dan sahabatnya dibandingkan  saat An Najasy memanggil salah seorang dari 

kami untuk mendengarkan pembicaraannya. 

  

lalu  keduanya menghadap An Najasy dan memberikan hadiah 

kepadanya. An Najasy amat senang dengan hadiah itu. Keduanya lalu 

berbincang dengan An Najasy seraya mengatakan: 

“Wahai raja, di negeri telah berlindung beberapa budak-budak negeri 

kami yang amat nakal. Mereka datang ke sini membawa agama yang tidak 

kami ketahui sebagaimana engkau tidak mengetahuinya. Mereka 

meninggalkan agama kami namun tidak masuk ke dalam agamamu… 

Kami di utus untuk menghadapmu oleh orang tua mereka, paman mereka, 

keluarga mereka agar engkau berkenan memulangkan budak-budak ini 

kepada mereka, dan mereka yaitu  manusia yang paling tahu akan fitnah 

yang telah dibuat oleh budak-budak ini.” 

An Najasy lalu melihat ke arah para pemuka agama, dan para pemuka 

agama itu mengatakan: “Keduanya benar, wahai raja! Kaum mereka lebih 

tahu dan paham akan apa yang telahg di perbuat oleh para budak ini. 

Maka kembalikanlah para budak ini kepada mereka biar mereka sendiri 

yang memutuskannya!” Lalu murkalah sang raja dengan ucapan para 

pemuka agama ini, ia berkata kepada mereka: “Tidak, demi Allah. Aku 

tidak akan menyerahkan mereka kepada siapapun sehingga aku memanggil 

mereka semua, dan menanyakan kepada mereka apa yang dituduhkan 

kepada mereka. Jika mereka benar, seperti apa yang dikatakan oleh kedua 

orang ini, maka aku akan menyerahkannya. Jika mereka tidak demikian, 

maka aku akan memberi perlindungan bagi mereka dengan sebaik-

baiknya. 

  

Ummu Salamah mengisahkan: “lalu  An Najasy mengutus 

seseorang untuk memanggil kami dan menghadapnya. Lalu kami 

berkumpul sebentar sebelum berangkat menghadapnya. Sebagian dari kami 

ada yang berkata: “Raja akan menanyakan agama kalian, maka katakanlah 

terus terang apa yang kalian anut. Biarkan yang menjadi juru bicaranya 

yaitu  Ja’far bin Abi Thalib, dan jangan ada yang bicara selainnya.” 

Ummu Salamah mengisahkan: “lalu  kami berangkat untuk 

menghadap An Najasy dan kami dapati bahwa ia juga telah mengundang 

para pemuka agama. Mereka semua duduk di samping kanan dan kiri An 

Najasy. Mereka semua mengenakan Tayalisah89 dan menghiasi kepala 

mereka dengan peci. Mereka pun tak lupa membuka kitab dihadapan 

mereka. Kami juga melihat ada Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah 

di dekat raja.” 

Begitu kami sudah ada di majlis, An Najasy melihat ke arah kami dan 

bertanya: “Apakah agama yang baru kalian anut sehingga kalian 

meninggalkan agama kaum kalian juga tidak membuat kalian masuk ke 

dalam agamaku, juga tidak masuk suatu agama pun yang diketahui 

manusia?” 

Lalu majulah beberapa langkah ke arah An Najasy, seseorang yang 

bernama Ja’far bin Abi Thalib yang berkata: “Wahai raja, Kami dulunya 

yaitu  kaum jahiliah yang menyembah berhala dan memakan bangkai. 

Kami melakukan perbuatan keji dan memutuskan tali silaturahmi. Kami 

yaitu  kaum yang suka mengganggu tetangga. Yang kuat diantara kami 

akan memangsa mereka yang lemah. Kami hidup terus-menerus seperti itu 

sehingga Allah Swt mengutus seorang Rasul kepada kami yang kami kenal 

nasab, kejujuran, amanah dan harga dirinya… 

Ia mengajak kami untuk kembali ke jalan Allah; agar kami mau 

mengesakan dan menyembah-Nya dan meninggalkan apa yang pernah 

kami dan kakek moyang kami sembah selain Allah dari bebatuan dan 

berhala… 

Rasul ini memerintahkan kami untuk berkata jujur dan menunaikan 

amanat. Ia juga menyuruh kami untuk menghubungkan silaturahmu dan 

bertetangga dengan baik. Menolak diri dari perbuatan haram dan 

pertumpahan darah. Ia juga melarang kami untuk mengerjakan perbuatan 

keji dan ucapan dosa. Memakan harta anak yatim dan menuduh wanita 

yang terhormat. 

Rasul tadi memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allah Swt dan 

agar kami tidak melakukan kemusyrikan terhadap-Nya. Kami juga 

diperintahkan untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan berpuasa 

Ramadhan… kami meyakininya dan kami beriman kepadanya. Kami 

mengikuti Rasul tadi dengan apa yang diwahyukan kepadanya dari sisi 

Allah. Maka kami menjalankan apa yang halal, dan kami menolak apa yang 

haram. 

                                                     

89

 Kain hijau yang dikenakan oleh para pemuka agama 

Maka tidak ada lain yang dilakukan oleh kaum kami sendiri kecuali 

melakukan penyiksaan terhadap kami. Mereka menyiksa kami dengan 

begitu sadis agar mereka dapat menguji kesetiaan kami kepada agama ini 

dan mengembalikan kami kepada penyembahan berhala. 

Saat mereka semakin aniaya dan menindas kami. Mereka juga 

mempersempit ruang gerak kami. Mereka juga menghalangi kami untuk 

melakukan ibadah agama ini. Maka kamipun keluar dari tanah air menuju 

negeri mu, dan kami berharap perlindunganmu serta tidak akan dianiaya 

di bawah kekuasaanmu.” 

  

Ummu Salamah berkata: “An Najasy melihat Ja’far bin Abi Thalib dan 

bertanya: “Apakah ada yang kalian bawa dari apa yang disampaikan oleh 

Nabi kalian dari sisi Allah?” Ja’far menjawab: “Ya.” An Najasy berkata: 

“Bacakanlah kepadaku!” Maka Ja’far pun membacakan:  


“Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad. (Yang dibacakan ini yaitu ) penjelasan 

tetang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya zakariya. yaitu 

tatkala ia berdo'a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia 

berkata:"Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan 

kepalalu telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam 

berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku…” (QS. Mayram [19] :1-4)  

sehingga Ja’far membaca hingga bagian tertentu dari surat ini . 

Ummu Salamah berkisah: “Maka menangislah An Najasy sehingga 

janggutnya basah oleh air mata. Dan para pemuka agama juga menangis 

sehingga kitab-kitab mereka pun basah dibuatnya. Mereka semua 

menangis begitu mendengarkan Kalamullah ini. 

Pada saat itulah An Najasy berkata kepada kami: “Apa yang dibawa oleh 

Nabi kalian dan apa yang telah dibawa oleh Isa yaitu  berasal dari sumber 

cahaya yang sama!” lalu  An Najasy menoleh ke arah Amr dan 

sahabatnya lalu berkata kepada mereka berdua: “Pergilah kalian berdua! 

Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua 

untuk selamanya!” 

  

Ummu Salamah berkata: “Begitu kami keluar dari ruangan An Najasy, 

Amr bin Ash berkata kepada sahabatnya dengan mengancam kami: 

“DemiAllah, aku akan datang kepada Raja esok hari. Aku akan 

menceritakan kepadanya tentang mereka yang dapat menimbulkan 

kebencian raja kepada mereka. Aku akan membuat raja membabat mereka 

dari akarnya!” 

Maka berkatalah Abdullah bin Abi Rabi’ah kepadanya: “Jangan kau 

lakukan itu, wahai Amr! Mereka semua berasal dari keluarga kita, 

meskipun mereka saat ini telah meninggalkan kita!” 

Amr menjawab: “Tidak usah ikut campur! Demi Allah, aku akan 

menceritakan kepada raja apa yang dapat membuat mereka semua resah. 

Demi Allah, aku akan menceritakannya kepada raja bahwa mereka 

menganggap bahwa Isa bin Maryam yaitu  seorang hamba!!!” 

  

Keesokan harinya, datanglah Amr menghadap Raja An Najasy dan 

berkata kepadanya: “Wahai raja, orang-orang yang engkau beri 

perlindungan itu mengatakan suatu perkataan keji tentang Isa bin Maryam. 

Kalau tidak percaya, panggilah mereka dan tanyakan sendiri apa yang 

mereka katakan terhadap Isa bin Maryam!” 

Ummu Salamah berkata: “Begitu kami mengetahui hal ini, kami merasa 

amat khawatir dan kami belum pernah merasakan hal seperti ini 

sebelumnya… Sebagian kami berkata: “Apa yang kalian katakan tentang 

Isa bin Maryam jika raja menanyakannya?” Kami pun menjawab: “Demi 

Allah, kami tidak akan menjawab kecuali seperti apa yang telah Allah 

firmankan. Kami tidak akan keluar dari perintah-Nya meski hanya seujung 

jari sebagaimana yang telah disampaikan oleh Nabi kita. Meski apapun 

yang menjadi konsekuensinya!” 

lalu  kami sepakat bahwa yang akan menjadi juru bicaranya 

yaitu  Ja’far bin Abi Thalib. 

Begitu An Najasy memanggil, maka kami pun datang menghadapnya, 

lalu kami melihat adanya beberapa orang pemuka agama dengan pakaian 

seperti yang telah kami lihat sebelumnya. 

Kami juga melihat Amr bin Ash dan sahabatnya berada di dekat raja. 

Begitu kami tiba di hadapannya, An Najasy bertanya: “Apa yang kalian 

katakan tentang Isa bin Maryam?” Ja’far bin Abi Thalib mengatakan: “Kami 

mengatakan tentang Isa bin Maryam sebagaimana yang disampaikan 

kepada Nabi kami!” 

An Najasy bertanya: “Apa pendapat Nabi kalian tentang Isa bin 

Maryam?” 

Ja’far pun menjawab: “Nabi berkata tentang Isa bahwa dia yaitu  

hamba Allah sekaligus Rasul-Nya. Ia juga ruh dan kalimat Allah yang 

diberikan pada diri Maryam yang suci dan perawan.” 

Begitu An Najasy mendengar ucapan Ja’far ia langsung memukul tanah 

dengan tangannya dan berkata: “Demi Allah, Isa bin Maryam tidak keluar 

dari apa yang diceritakan oleh Nabi kalian meski seujung rambut!” 

Maka para pemuka agama menghembuskan nafas keras dari hidung 

mereka pertanda tidak setuju begitu mereka mendengar ucapan An Najasy. 

An Najasy berkata: “Meski kalian menghembuskan nafas dengan 

kesal!” lalu  An Najasy menoleh dan berkata: “Keluarlah, kalian 

semua aman! Siapa yang mencaci kalian akan terkena denda. Siapa yang 

menyerang kalian akan dihukum! Demi Allah aku tidak lebih menyukai 

apabila aku mendapatkan segunung emas dibandingkan  salah seorang dari 

kalian diganggu! 

lalu  An Najasy melihat ke arah Amr dan sahabatnya sambil 

berkata: “Kembalikan hadiah kedua orang ini, aku tidak 

membutuhkannya!” 

Ummu Salamah berkata: “Maka keluarlah Amr dan sahabatnya dengan 

putus asa dan merasa kesal… sedangkan kami terus tinggal di wilayah An 

Najasy di wilayah yang paling baik dan perlindungan yang paling mulia.” 

  

Ja’far bersama istrinya menghabiskan 10 tahun dalam perlindungan 

keamanan An Najasy. 

Pada tahun 7 H, mereka berdua meninggalkan negeri Habasyah 

bersama rombongan kaum muslimin lainnya untuk berhijrah ke Yatsrib. 

Saat mereka tiba di sana, Rasulullah Saw baru saja kembali dari Khaibar90, 

 sesudah  Allah menaklukan daerah ini  untuk Beliau.  

Begitu berjumpa Ja’far, Rasulullah Saw amat bergembira dan bersabda: 

“Aku tidak mengerti, mengapa aku begitu gembira. Apakah sebab  Khaibar 

telah ditaklukan atau sebab  datangnya Ja’far?” 

Kaum muslimin semuanya, apalagi mereka yang faqir tidak mau kalah 

gembiranya dari Rasulullah Saw dengan kedatangan Ja’far. Ja’far begitu 

peduli dan sayang terhadap kaum fakir. Sehingga ia dijuluki dengan Abul 

Masakin (Ayahnya orang-orang miskin). 

Abu Hurairah menceritakan tentang pribadi Ja’far dengan ucapannya: 

“Ja’far yaitu  orang yang paling baik kepada kami –orang miskin-. Ia 

sering mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan dengan apa 

yang ada di rumahnya. Sehingga bila semua makanan di rumahnya telah 

habis, maka ia akan memberikan kami bejana tempat minyak yang sama 

sekali sudah kosong. Bejana ini  lalu kami belah dan kami jilati apa 

yang menempel dan tersisa di dalamnya.” 

                                                     

90

 Khaibar yaitu  benteng-benteng Yahudi yang berhasil ditaklukan oleh Rasulullah Saw pada 

tahun 7 H. Rasul Saw dalam perang ini mendapatkan banyak sekali ghaniman (harta rampasan perang) 

  

Ja’far tidak tinggal lama di Madinah. Pada tahun 8 hirjriyah, Rasul Saw 

mempersiapkan pasukan untuk menghadapi pasukan Romawi yang berada 

di negeri Syam. Rasul menunjuk Zaid bin Haritsah untuk memimpin 

pasukan ini. Rasul berpesan: “Jika Zaid terbunuh atau tewas maka yang 

menjadi amir dalam pasukan ini yaitu  Ja’far bin Abi Thalib. Jika Ja’far 

terbunuh atau tewas maka yang akan menjadi amirnya yaitu  Abdullah 

bin Rawahah. Jika Abdullah bin Rawahah terbunuh atau tewas maka 

pasukan muslimin dipersilahkan menunjuk amir bagi mereka!” 

Saat pasukan muslimin tiba di Mu’tah, yaitu sebuah desa yang terletak 

di pinggir negeri Syam di daerah Yordania, mereka mendapati bahwa 

pasukan Romawi telah menyiapkan 100 ribu prajurit yang didukung oleh 

100 ribu lainnya dari penganut Nashrani bangsa Arab dari kabilah Lakhm, 

Judzam, Qudha’ah dan lain-lain. 

Pasukan muslimin saat itu hanya berjumlah 3000 prajurit. 

Begitu kedua pasukan sudah bertemu dan peperangan berlangsung 

dengan sengit sehingga Zaid bin Haritsah tersungkur jatuh dan tewas 

hingga tak tertolong.  

Serta-merta Ja’far melompat dari punggung kudanya yang berwarna 

pirang. lalu  Ja’far menebas kaki-kaki kuda tadi dengan pedangnya 

sendiri agar pihak musuh tidak menggunakannya lagi. 

Ia lalu mengambil panji dan merangsek masuk ke barisan musuh 

sambil bersenandung: 

Alangkah dekatnya surga 

Ia amat indah dan sejuk airnya 

Romawi, bangsa Romawi sudah tiba adzab baginya 

Sebab ia yaitu  bangsa yang kafir dan jauh dari agama leluhurnya 

Jika aku berjumpa dengan mereka, maka aku pasti akan menebasnya 

Dia terus merangsek masuk ke barisan musuh dengan pedang terhunus 

sehingga ia mendapat sebuah sabetan pedang yang memutuskan tangan 

kanannya. Lalu ia mempertahankan panji dengan tangan kirinya. Tidak 

berlangsung lama, tangan kirinya pun putus disabet musuh. Lalu ia 

mempertahankan panji ini  dengan dada dan kedua lengan atasnya. 

Tidak berlangsung lama, maka akhirnya ia terkena sabetan yang ketiga 

sehingga tubuhnya terbelah dua. Maka panji lalu  direbut oleh 

Abdullah bin rawahah. Ia pun terus berjuang sehingga ia menyusul kedua 

sahabatnya. 

  

Rasulullah mendengar berita gugurnya ketiga panglima perang Beliau. 

Maka Rasul langsung amat bersedih begitu mendengarnya, lalu ia 

berangkat menuju rumah sepepupunya Ja’far bin Abi Thalib. Beliau 

mendapati istrinya Asma binti Umais yang bersiap-siap menyambut 

suaminya yang sudah tiada. 

Asma telah menumbukkan gandum, memandikan anak, memakaikan 

wewangian kepada mereka lalu  memakaikan mereka baju. 

  

Asma berkata: “Saat Rasul Saw datang ke rumah kami, aku melihat ada 

raut kesedihan yang menyelimuti wajahnya yang mulia. Maka aku mulai 

merasa khawatir, namun aku tidak mau bertanya kepada Beliau tentang 

ja’far sebab  aku takut mendengar berita yang menyedihkan.” 

Rasul lalu memberikan salam dan berkata: “Bawa kesini, anak-anak 

Ja’far!” Maka akupun memanggilkan mereka. 

Maka anak-anakku berlarian ke arah Rasul dengan gembira. Mereka 

berebutan untuk dapat berada di pangkuan Rasulullah Saw. 

Rasul Saw merangkul mereka dan menciuminya. Mata Beliau penuh 

dengan air mata. 

Aku bertanya: “Ya Rasulullah, demi ibu dan bapakku, apa yang 

membuatmu menangis?! Apakah engkau telah menerima kabar tentang 

Ja’far dan kedua sahabatnya?” Beliau menjawab: “Ya, mereka semua sudah 

menjadi syahid pada hari ini.” 

Pada saat itu, sirnalah senyum dari wajah anak-anak Ja’far yang masih 

kecil saat mereka mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka 

diam tak bergeming seolah di kepala mereka sedang bersarang seekor 

burung. 

Sedangkan Rasulullah Saw pergi ke luar sambil mengusap air matanya 

sambil berdo’a: “Ya Allah, gantikan Ja’far bagi anak-anaknya. Ya Allah, 

gantikan Ja’far bagi keluarganya.” 

lalu  Rasul bersabda: “Aku melihat Ja’far di surga. Ia memiliki 2 

sayap yang berlumuran darah dan bulu-bulunya diberi warna.” 


Abu Sufyan bin Al Harits 

“Abu Sufyan bin Al Harits yaitu  Pemimpin Para Pemuda di Surga” 

(Muhammad Rasulullah) 

 

Jarang sekali 2 orang ini berhubungan dan berkomunikasi sebagaimana 

Muhammad bin Abdullah Saw dengan Abu Sufyan bin Al Harits… 

Abu Sufyan yaitu  orang yang sebaya dengan Rasul Saw. Ia lahir tidak 

jauh berselang dengan kelahiran Nabi Saw. Dan ia juga tumbuh di 

keluarga yang sama.  

Dia yaitu  sepupu dekat Nabi Saw. Ayahnya bernama Al Harits, 

sedangkan Abdullah, ayah Nabi Saw yaitu  saudara kandung dari Al Harits 

dari keturunan Abdul Muthalib. 

Abu Sufyan juga merupakan saudara sesusuan Nabi Saw, sebab  sama-

sama disusui oleh Sayyidah Halimah As Sa’diyah. 

Lebih dari itu, dia yaitu  sahabat kental Nabi yang amat mirip dengan 

Beliau. 

  

Apakah Anda pernah mendapatkan kerabat yang lebih akrab dibandingkan  

Muhammad bin Abdullah dengan Abu Sufyan bin Al Harits? 

Oleh sebab nya, banyak orang mengira bahwa Abu Sufyan lebih pantas 

untuk menjadi orang yang pertama menyambut seruan Rasulullah Saw dan 

menjadi orang pertama yang mengikuti jejak langkah Beliau. Akan tetapi, 

hal yang terjadi sebenarnya berbeda dari kebanyakan dugaan orang. 

sebab  pada saat Rasulullah Saw melakukan dakwahnya secara terang-

terangan dan memberi peringatan kepada keluarga besarnya, maka 

timbulah api kebencian di hati Abu Sufyan terhadap Rasulullah Saw. 

Maka berubahlah persahabatn menjadi permusuhan. Hubungan 

keluarga menjadi terputus. Dan persaudaraan menjadi penolakan dan 

berpalingan. 

  

Pada saat Rasulullah Saw melakukan dakwah secara terang-terangan, 

Abu Sufyan saat itu yaitu  seorang penunggang kuda terkenal di kalangan 

bangsa Quraisy, dan ia juga merupakan salah seorang penyair Quraisy 

yang ternama. Oleh sebab nya, pedang dan lisannya ia jadikan senjata 

  

untuk menyerang Rasulullah Saw dan dakwahnya. Ia juga menggunakan 

segala kemampuannya untuk melakukan penindasan kepada Rasulullah 

Saw dan kaum muslimin. 

Tidak ada peperangan yang dilakukan oleh bangsa Quraisy terhadap 

Nabi Saw kecuali, Abu Sufyan yang menjadi penyulutnya. Tidak ada 

penyiksaan yang dilakukan terhadap kaum muslimin kecuali, Abu Sufyan 

memiliki peran penting dalam hal ini . 

  

Abu Sufyan telah menggunakan kemampuan syairnya. Lewat lisannya 

ia menghina Rasulullah Saw. Ia mengatakan tentang diri Nabi Saw sebuah 

ucapan yang amat keji dan menyakitkan. 

  

Permusuhan Abu Sufyan kepada Nabi Saw berlangsung lama hingga 

mencapai 20 tahun lamanya. Selama masa itu, ia tidak pernah ketinggalan 

dalam melakukan makar terhadap Rasulullah Saw, dan ia juga tidak pernah 

ketinggalan dalam melakukan kejahatan terhadap kaum muslimin, dan ia 

bangga dengan perbuatan dosa yang ia lakukan. 

  

Sebelum terjadinya penaklukan kota Mekkah, Abu Sufyan menerima 

surat dari Rasulullah Saw agar ia mau masuk Islam. Kisah masuknya Abu 

Sufyan ke dalam Islam merupakan sebuah kisah menarik yang sering 

terdapat dalam kitab-kitab sirah dan buku-buku sejarah. 

Kita akan mempersilahkan Abu Sufyan untuk menceritakan hal ini 

sendiri, sebab  perasaan yang dimilikinya lebih dapat menjiwai. Dan ia 

lebih kompeten dalam menuturkannya. 

Abu Sufyan berkata: “Saat Islam sudah berjaya dan mantap, dan banyak 

kabar berita yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw sedang menuju 

Mekkah untuk menaklukkannya. Maka aku merasa bumi menjadi sempit 

bagi diriku. Aku bertanya dalam diri: Hendak kemana aku pergi?! Dan 

siapa yang akan menemani?! Kepada siapa aku akan berlindung?! 

Lalu aku mendatangi istri dan anak-anakku. Aku katakan kepada 

mereka: “Bersiaplah kalian untuk pergi dari Mekkah sebab  Muhammad 

sebentar lagi akan tiba. Aku pasti akan terbunuh jika kaum muslimin 

menjumpaiku.” 

Keluargaku berkata: “Sudah saatnya engkau menyadari bahwa bangsa 

Arab dan Ajam sudah tunduk kepada Muhammad Saw dan memeluk 

agamanya. Sedangkan engkau masih saja berkeras untuk terus 

memusuhinya padahal engkau yaitu  orang yang paling layak untuk 

mendukung serta menolongnya?!” 

Mereka terus-menerus membujukku untuk mau memeluk agama 

Muhammad sehingga Allah Swt berkenan untuk melapangkan dadaku agar 

dapat menerima Islam. 

  

Sejurus lalu  aku berkata kepada budakku yang bernama 

Madzkur untuk mempersiapkan unta serta kuda. Aku ajak anakku yang 

bernama Ja’far untuk turut serta. Lalu kami menuju ke arah daerah Abwa 

yaitu sebuah tempat yang terletak antara Mekkah dan Madinah. Ada orang 

yang menyampaikan kepadaku bahwa Muhammad sedang bermukim di 

sanan. 

Saat aku sudah hampir tiba di Abwa, maka aku menyamar agar tidak 

ada orang yang mengenaliku lalu membunuhku sebelum aku menjumpai 

Nabi Saw dan menyatakan keislamanku dihadapannya. 

Aku lalu berjalan kaki kira-kira satu mil sedangkan rombongan kaum 

muslimin berjalan bergerombolan menuju Makkah. Aku menyisih dari 

jalan mereka sebab  khawatir ada yang salah seorang sahabat Muhammad 

yang mengenaliku. 

  

Dalam kondisi ini , lalu aku melihat Rasulullah Saw dalam 

tunggangannya. Maka aku mencegatnya dan aku berdiri di hadapannya. 

Aku pun membuka tutup wajahku. Begitu kedua matanya melihatku dan 

mengenaliku, lalu Rasulullah Saw berpaling menuju sisi lain jalan. Aku pun 

mengejarnya ke tempat ia berada. Lagi-lagi Rasulullah Saw berpaling ke sisi 

jala lain dan akupun mengejarnya lagi. Ia melakukan hal itu berkali-kali. 

  

Tadinya aku tidak ragu –saat aku menghadap Rasulullah- bahwa Beliau 

dan para sahabatnya akan bergembira dengan keislamanku. 

Akan tetapi kaum muslimin saat melihat Rasulullah Saw yang berpaling 

dari diriku mereka juga ikut berpaling: 

Abu Bakar menjumpaiku, ia juga berpaling dariku. Aku lalu melihat 

Umar bin Khattab dengan tatapan memelas agar hatinya luluh, namun ia 

juga lebih keras lagi berpalingnya ketimbang Abu Bakar… 

Bahkan ada seorang dari suku Anshar yang mencomoohku dan berkata: 

“Wahai musuh Allah, engkau yaitu  orang yang pernah menyiksa 

Muhammad dan para sahabatnya. Engkau sudah memusuhi Nabi dari 

timur hingga barat dunia… 

Orang Anshar tadi terus menerus mencercaku dan melakukannya 

dengan suara keras sehingga kaum muslimin memandangku dengan sinis, 

dan senang dengan apa yang aku rasakan. 

Pada saat itu, lalu aku mendapati pamanku Abbas, dan aku berlindung 

kepadanya. Aku berkata: “Wahai paman, aku tadinya berharap bahwa 

Rasulullah Saw akan senang dengan keislamanku sebab  aku yaitu  

kerabatnya dan sebab  aku orang terkemuka di kaumku. Engkau sudah 

tahu apa sikap Beliau terhadapku. Tolonglah, engkau berbicara kepada  

Beliau, agar Beliau ridha kepadaku!” 

Lalu pamanku berkata: “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan berbicara 

kepadanya tentangmu meski satu kata  sesudah  aku melihat Beliau telah 

berpaling dari dirimu, kecuali bila ada kesempatan untuk melakukannya 

maka aku akan menghadap Beliau Saw.” 

Aku lalu bertanya: “Wahai paman, lalu kepada siapa engkau hendak 

menyerahkanku?!” 

Beliau menjawab: “Aku tidak bisa memberikan apa-apa untukmu selain 

apa yang telah kau baru saja dengar!” 

Aku serta-merta menjadi panik dan sedih. Tidak lama  sesudah  itu, aku 

melihat sepupuku Ali bin Abi Thalib dan akupun mengadukan 

permasalahanku kepadanya. Iapun mengatakan hal yang sama 

sebagaimana yang telah dikatakan pamanku Abbas. 

Pada saat itu, aku kembali kepada pamanku Abbas dan berkata: “Wahai 

paman, jika engkau tidak mampu untuk membujuk Rasulullah Saw untuk 

diriku, maka dapatkan engkau menghentikan orang yang terus-menerus 

mencerca dan menghinaku serta mengajak orang untuk melakukan hal 

yang sama!” Abbas berkata: “Tunjukkan ciri-cirinya!” Aku pun 

menunjukkannya. Abbas berkata: “Dia yaitu  Nu’aiman bin Al Harits An 

Najari.” Ia pun menemui Nu’aiman dan berkata: “Wahai Nu’aiman, Abu 

Sufyan yaitu  sepupu Rasulullah Saw dan keponakanku. Meskipun hari ini 

Rasulullah Saw benci terhadapnya, namun Beliau suatu hari akan ridha 

kepadanya. Maka hentikanlah cacianmu terhadapnya!” 

Abbas terus membujuknya sehingga Nu’aiman rela untuk 

menghentikan caciannya kepadaku. Dan akhirnya ia berkata: “ sesudah  ini, 

aku tidak akan menyerangnya lagi.” 

  

Begitu Rasulullah Saw singgah di Juhfah91, aku pun duduk di depan 

pintu rumahnya. Aku disertai putraku Ja’far yangberdiri. Saat Beliau 

melihatku –ketika Beliau keluar dari rumah- Beliau memalingkan 

wajahnya dariku. Namun aku tidak berputus asa untuk membuat Beliau 

ridha kepadaku. Aku berusaha agar dapat bisa duduk di depan pintu 

rumahnya di setiap tempat dimana Beliau singgah. Dan aku menyuruh 

Ja’far berdiri di sampingku. Setiap kali Rasulullah Saw melihatku, ia 

langsung berpaling dariku. 

                                                     

91

 Juhfah yaitu  sebuah tempat yang terletak di sepanjang jalan antara Madinah dan Mekkah. 

Jaraknya dari Mekkah yaitu  4 marhalah. 

Aku terus menerus melakukan hal itu dalam masa yang lama. Begitu 

aku sudah tidak sanggup lagi, aku berkata kepada istriku: “Demi Allah 

Rasulullah Saw akan ridha kepada ku, atau aku akan mengajak anakku ini 

untuk berjalan di muka bumi sehingga kami mati kelaparan atau kehausan. 

Saat hal itu terdengar oleh Rasulullah Saw pasti ia akan kasihan 

kepadaku…” Saat Rasulullah Saw keluar dari kubahnya, Beliau 

memandangku dengan pandangan yang lebih lembut dari sebelumnya, aku 

berharap Beliau akan tersenyum. 

  

lalu  Rasulullah Saw masuk ke Mekkah dan aku berada dalam 

rombongannya. Beliau lalu  menuju Masjidil Haram, dan aku pun 

berlari di hadapannya agar tidak tertinggal. 

Pada peristiwa Hunainin, bangsa Arab berkumpul dengan jumlah 

pasukan yang amat besar untuk memerangi Rasulullah Saw  dan belum 

pernah mereka sedemikian banyaknya. Mereka mempersiapkan 

persenjataan yang belum pernah selengkap saat itu. Mereka bertekad untuk 

mengalahkan Islam dan kaum muslimin. 

Rasulullah Saw lalu berangkat dengan serombongan para sahabatnya, 

dan akupun ikut serta dalam rombongan itu.  Saat aku melihat pasukan 

musyrikin yang sedemikian banyaknya, aku berkata: “Demi Allah, aku akan 

menebus segala kesalahanku dalam memusuhi Rasulullah Saw, dan Beliau 

pasti akan melihat perjuanganku yang akan membuat Allah dan Beliau 

ridha.” 

Saat kedua pasukan bertemu, kaum musyrikin sepertinya unggul 

terhadap pasukan muslimin. Maka merasuklah rasa khawatir dan putus asa 

pada pasukan muslimin. Banyak orang yang berpisah dari komando 

Rasulullah Saw. Hampir saja kami mengalami kekalahan telak. 

Lalu tiba-tiba Rasulullah Saw tetap tegar di tengah medan laga di atas 

bighalnya seolah gunung kokoh. Dengan pedang di tangan, ia 

mempertahankan dirinya dan orang yang ada di sekelilingnya seperti singa 

yang menerkam. 

Pada saat itu, aku melompat dari kudaku. Aku pecahkan sarung pedang 

dan Allah Swt mengetahui bahwa aku rela mati demi Rasulullah Saw. 

Pamanku Abbas menarik tali bighal Nabi Saw dan berdiri di sampingnya. 

Dan aku berdiri di sisi sebelahnya. Di tangan kananku terdapat pedang 

untuk melindungi Rasulullah Saw. Sedangkan tangan kiriku memegang 

hewan tunggangan Beliau. 

Saat Nabi Saw melihat kegigihan perjuanganku, Beliau bertanya kepada 

pamanku Abbas: “Siapakah ini?” Abbas menjawab: “Dia yaitu  saudaramu 

dan sepupumu, Abu Sufyan bin Al Harits. Ridhailah dirinya, ya Rasulullah!” 

Rasul bersabda: “Aku telah ridha kepadanya. Dan Allah telah mengampuni 

permusuhan yang telah ia lakukan kepadaku!” 

Maka hati ku langsung gembira mendengar Rasulullah Saw telah ridha 

kepadaku. Aku mencium kakinya yang berada di atas tunggangan. 

lalu  ia menoleh ke arahku sambil bersabda: “Wahai saudaraku, 

majulah dan bunuhlah!” 

Ucapan Rasulullah Saw mengobarkan semangatku. Maka aku 

menyerang kaum musyrikin yang menggoncangkan posisi mereka. Kamu 

muslimin lalu  mengikutiku menyerang mereka sehingga kami 

mampu mengusir mereka kira-kira sejauh 1 farsakh92. Dan kami mampu 

membuat mereka kocar-kacir. 

  

Sejak peristiwa Hunainin, Abu Sufyan merasakan indahnya keridhaan 

Rasulullah Saw dan ia bahagia dengan persahabatan Beliau. Namun Abu 

Sufyan tidak pernah mengangkat pandangannya dihadapan Beliau, dan 

tidak pernah pandangannya tertuju pada wajah Beliau sebab  merasa malu 

dengan masa lalunya. 

  

Abu Sufyan selalu menyesali masa-masa kelam yang ia gunakan pada 

masa jahiliah sebab  telah terhalang dari cahaya Allah, terhalang dari 

kitab-Nya. Oleh sebab nya, ia senantiasa menghabiskan waktu siang dan 

malamnya bersama Al Qur’an, mempelajari hukum-hukumnya dan 

menyerap segala nasehat yang ada di dalamnya. 

Dia benar-benar telah meninggalkan dunia dan menghadap Allah Swt 

dengan seluruh anggota badannya. Sehingga pada suatu kesempatan 

Rasulullah Saw melihat Abu Sufyan masuk ke dalam masjid. Rasulullah Saw 

lalu bertanya kepada Aisyah ra: “Tahukah kamu siapakah orang itu, ya 

Aisyah?” Aisyah menjawab: “Tidak tahu, ya Rasulullah!” Rasul bersabda: 

“Dia yaitu  sepupuku, Abu Sufyan bin Al Harits. Perhatikanlah, dia yaitu  

orang yang pertama masuk ke dalam masjid dan dialah orang yang 

terakhir keluar. Pandangannya tidak akan berpaling dari gerak langkah 

sendalnya.” 

  

Saat Rasulullah Saw kembali ke pangkuan Tuhannya. Abu Sufyan 

bersedih atas kematian Beliau seperti seorang ibu yang menangisi anak 

tunggalnya yang meninggal. Ia menangisi Rasulullah seperti seorang yang 

ditinggal mati oleh kekasihnya. Abu Sufyan membuat sebuah kasidah yang 

menggambarkan kesedihan dan kenestapaan. Ia berkata:  

Tak dapat aku tidur, dan malam terasa panjang bagiku… Malam 

musibah bagi saudaraku begitu panjang 

                                                     

92

 1 farsakh = 3 mil. 1 mil = 1000 hasta. 1 hasta = 4 depa 

Aku bahagia sebab  derita ku tidak terlalu panjang… Sepanjang 

musibah yang dirasakan oleh kaum muslimun 

Musibah terasa berat bagi kami… Apalagi di saat Rasul diambil ruhnya 

sebab  musibah ini… Semua sisi bumi terasa  sempit 

Kami kehilangan wahyu dan orang yang senantiasa dihampiri oleh 

Jibril 

Dan itulah yang lebih pantang menjadi perjalanan jiwa manusia 

Dialah seorang Nabi yang telah melenyapkan keraguan diri kamu… 

dengan apa yang diwahyukan kepadanya dan dengan apa yang ia sabdakan 

IA telah memberi kami petunjuk dan kami tidak khawatir tersesat… 

sebab Rasul menjadi petunjuk bagi kami 

Berpisahlah jika engkau ragu dan itu merupakan kekuarangan… Jika 

kau tak ragu maka inilah jalan sebenarnya 

Maka kubur bapakmu yaitu  pemuka semua kubur… dan di dalamnya 

terdapat panghulu manusia yaitu Rasul 

  

Pada masa kekhalifahan Umar Al Faruq, Abu Sufyan merasakan ajalnya 

telah tiba lalu ia menggali kubur dengan tangannya sendiri. 

Tiga hari  sesudah  itu, maka datanglah kematian untuk menjemputnya, 

seolah seperti sebuah agenda yang telah dijanjikan. Ia lalu  menatap 

istri, anak dan seluruh keluarganya lalu berkata: “Janganlah kalian 

menangisiku. Demi Allah, aku tidak pernah berhubungan lagi dengan 

kesalahan sejak aku masuk Islam. 

lalu  pergilah ruhnya yang suci. Umar Al Faruq melakukan shalat 

untuknya dan bersedih sebab  kepergiannya. Dan ini dirasakan oleh para 

sahabat yang mulia. Mereka semua menganggap kematian Abu Sufyan 

merupakan sebuah musibah yang terjadi bagi Islam dan muslimin. 


Sa’d bin Abi Waqash 

“Panah Mereka, ya Sa’d… Panah Mereka…, Demi Ayah dan Ibumu!” 

(Muhammad Rasulullah Memberi Semangat kepada Saat pada 

Perang Uhud) 

 

 “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua 

orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan 

lemah yang bertam