mu ialah masuk Islam atau membayar jizyah". *
Mereka berkata: "Kami tak mau masuk Islam dan tak mau
membayar jizyah, sebab mati yaitu lebih baik daripada membayar
jizyah." Amir menjawab bahwa dalam keadaan demikian ia cuci tangan,
dan sambil berkata demikian ia meninggalkan benteng itu. Ia terlihat
oleh Muhammad bin Masiama, panglima pasukan Muslim, yang bertanya
siapa dia. sesudah diketahui asal-usuinya, dikatakan kepadanya bahwa ia
boleh pergi dengan aman dan Muhammad bin Masiama sendiri berdoa
keras:
"Ya Allah , berilah hamba selalu kekuatan untuk menutupi
kesalahan-kesalahan orang-orang yang sopan."
Apa yang dimaksud olehnya ialah bahwa orang Yahudi ini telah
menunjukkan penyesalan terhadap perbuatan kaumnya. Maka telah
menjadi kewajiban kaum Muslimin memaafkan orang-orang semacam
itu. Dengan mengizinkan berlalu ia telah berbuat suatu kebaikan dan
mendoa agar Allah senantiasa memberinya suatu kesempatan
mengerjakan amal baik serupa itu berulang-ulang. saat Rasulullah
s.a.w. mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Muhammad bin
Masiama, yaitu melepaskan seorang pemimpin Yahudi itu, beliau tak
memarahinya. Bahkan sebaliknya, beliau membenarkan tindakannya itu.
Kesediaan berdamai dan menerima keputusan Rasulullah s.a.w.
telah diungkapkan hanya oleh orang-orang Yahudi secara perseorangan.
Sebagai kaum, mereka tetap bersikepala batu dan tetap menolak
keputusan Rasulullah s.a.w., dan daripada menerima keputusan
Rasulullah s.a.w., mereka malah meminta keputusan Sa'd bin Mu'adz
(Bukhari, Tabari & Khamis). Rasulullah s.a.w. meluluskan tuntutan
mereka dan memanggil Sa'd bin Mu'adz, yang sedang berbaring sebab
luka-luka, untuk datang dan memberi keputusan atas pelanggaran
* Jizyah = Upeti (red.)
perjanjian. Segera sesudah keputusan Rasulullah s.a.w. diumumkan,
orang-orang dari suku Aus, yang telah lama bersekutu dengan Banu
Quraiza, berlari menemui Sa'd dan mendesak supaya Sa'd menjatuhkan
keputusan yang ringan terhadap Banu Quraiza. Suku Khazraj, kata
mereka, senantiasa berusaha menyelamatkan orang-orang Yahudi yang
bersekutu dengan mereka. Terpulang kepada Sa'd untuk menyelamatkan
kaum Yahudi yang bersekutu dengan sukunya. Sa'd pergi dengan
menunggang kudanya kepada Banu Quraiza. Orang-orang dari sukunya
berlari-lari di kanan-kirinya sambil mendesak untuk tidak menjatuhkan
hukuman berat kepada Banu Quraiza. Sa'd hanya mengatakan, sebagai
jawabannya, bahwa orang yang diserahi tugas mengadili itu memikul
beban amanat. Ia harus menjaga amanat itu dengan jujur dan setia. "Oleh
sebab itu, aku akan menjatuhkan keputusan dengan mempertimbangkan
segala sesuatu dan tanpa takut atau berat sebelah," katanya. saat Sa'd
sampai ke benteng Yahudi itu, dlihatnya Banu Quraiza berderet-deret di
hadapan benteng, menunggu kedatangannya. Di sisi lain berkumpul
kaum Muslimin. saat Sa'd telah mendekat kepada mereka, ia bertanya,
"Maukah kamu sekalian menerima keputusanku?" Mereka menjawab
"Ya, mau."
Keputusan Sa'd Sejalan Dengan Bible
Sambil menoleh kepada Banu Quraiza ia mengajukan
pertanyaan yang sama, dan mereka pun setuju. Maka dengan rasa malu
ia menunjuk ke tempat Rasulullah s.a.w. duduk dan bertanya kalau
orang-orang di sebelah situ pun bersedia tunduk kepada keputusannya.
Mendengar pertanyaan itu Rasulullah s.a.w. menjawab, "Setuju" (Tabari
dan Hisyam). Kemudian Sa'd menjatuhkan keputusannya sesuai dengan
perintah Bible sebagai berikut:
Apabila engkau mendekati suatu kota untuk berperang melawannya,
naka haruslah engkau menawarkan perdamaian kepadanya. Apabila kota
menerima tawaran perdamaian itu dan dibukanya pintu gerbang bagimu,
maka haruslah semua orang yang ada di situ melakukan pekerjaan
rodi bagimu dan menjadi hamba kepadamu. namun apabila kota itu tidak
mau berdamai dengan engkau, melainkan mengadakan pertempuran
melawan engkau, maka haruslah engkau mengepungnya; dan sesudah
Allah , Allahmu, menyerahkannya ke dalam tanganmu, maka haruslah
engkau membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki dengan mata
pedang. Hanya perempuan, anak-anak, hewan dan segala yang ada di
kota itu, yakni seluruh jarahan itu, boleh kau rampas bagi dirimu sendiri
dan jarahan dari musuhmu ini, yang diberikan kepadamu oleh Allah ,
Allahmu, boleh kaupergunakan. Demikianlah harus kau lakukan terhadap
segala kota yang sangat jauh letaknya dari tempatmu, yang tidak
termasuk kota-kota bangsa-bangsa di sini. namun dari kota-kota bangsa-
bangsa itu, yang diberikan Allah , Allahmu, kepadamu menjadi milik
pusakamu, janganlah kau biarkan hidup apapun yang bernafas,
melainkan kau tumpas sama sekali, yakni orang Het, orang Amori, orang
Kanaan, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus, seperti yang
diperintahkan kepadamu oleh Allah , Allahmu, supaya mereka jangan
mengajar kamu berbuat sesuai dengan segala kekejian, yang dilakukan
mereka bagi allah mereka, sehingga kamu berbuat dosa kepada Allah ,
Allahmu. (Ulangan 20:10-18).
Menurut ajaran Bible, jika kaum Yahudi menang dan Rasulullah
s.a.w. kalah, maka semua orang Muslim - Iaki-laki, perempuan dan anak-
anak - akan dihukum mati. Kami mengetahui dari sejarah bahwa
memang itulah kemauan kaum Yahudi. Sekurang-kurangnya kaum
Yahudi akan membunuh semua pria, menjadikan wanita dan anak-anak
sebagai budak dan merampas segala milik kaum Muslimin, semua
perlakuan itu ditetapkan dalam Ulangan terhadap tiap-tiap bangsa musuh
yang hidup di bagian dunia yang jauh. Sa'd bersahabat dengan Banu
Quraiza. Sukunya bersekutu dengan suku mereka. saat diketahuinya
bahwa kaum Yahudi menolak keputusan Rasulullah s.a.w. dan
sebab nya menolak hukuman lebih ringan yang telah ditetapkan terhadap
pelanggaran serupa itu dalam agama Islam, ia mengambil keputusan
menjatuhkan hukuman kepada kaum Yahudi yang telah ditetapkan oleh
Nabi Musa a.s. Tanggung jawab terhadap keputusan itu tidak terletak di
bahu Rasulullah s.a.w. atau kaum Muslimin, melainkan pada Nabi Musa
a.s. dengan ajarannya dan pada kaum Yahudi sendiri yang telah
memperlakukan kaum Muslimin begitu kejam. Kepada mereka
ditawarkan keputusan yang mengandung unsur kasih. namun daripada
mau menerimanya, mereka bersikeras meminta keputusan Sa'd. Sa'd
menetapkan menghukum kaum Yahudi sesuai dengan hukum syariat
Nabi Musa a.s.. Namun demikian, kaum Kristen sampai hari ini terus
mencela Rasulullah s.a.w. dan mengatakan bahwa beliau sangat kejam
terhadap kaum Yahudi tersebut. Andai kata benar beliau kejam terhadap
kaum Yahudi itu, mengapa beliau tidak berlaku kejam terhadap kaum-
kaum lain atau pada peristiwa-peristiwa lainnya? Banyak sekali
kejadian-kejadian, saat musuh Rasulullah s.a.w. menyerahkan nasibnya
kepada kemurahan hati beliau, dan tak pernah permohonan
pengampunan mereka meleset. Pada peristiwa ini musuh bersikeras
supaya orang lain selain Rasulullah s.a.w. menjatuhkan keputusannya.
Orang pilihan mereka sendiri yang bertindak sebagai wasit antara
mereka dan kaum Muslimin, bertanya kepada Rasulullah s.a.w. dan
kaum Yahudi di muka umum, apakah mereka semua mau menerima
keputusannya. Baru sesudah semua pihak menyetujuinya, ia mulai
mengumumkan keputusannya. Dan apakah keputusannya? Tak lain dan
tak bukan kecuali mengikuti hukum syariat Nabi Musa a.s. terhadap
pelanggaran kaum Yahudi. Mengapa mereka pada waktu itu tidak
menerimanya? Bukankah mereka menyebut diri mereka termasuk di
antara para pengikut Nabi Musa a.s.? Jika ada sesuatu kekejaman
dilakukan, maka hal itu dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap
orang-orang Yahudi sendiri. Kaum Yahudi menolak menerima
keputusan Rasulullah s.a.w., dan alih-alihnya, telah mendatangkan
tuntutan hukum agama mereka sendiri terhadap pelanggaran mereka.
Jika suatu kekejaman telah dijalankan, maka kekejaman itu telah
dilakukan oleh Nabi Musa a.s. yang telah menetapkan hukuman itu
terhadap musuh yang ditundukkan dan mencantumkan hukuman itu
dalam kitabnya atas Perintah Allah . Penulis-penulis Kristen selayaknya
tidak menghamburkan kemarahan kepada Rasulullah s.a.w.. Mereka
harus mengutuk Nabi Musa a.s. yang telah menetapkan hukuman kejam
itu atau mengutuk Allah Nabi Musa a.s. yang memerintahkan beliau
berbuat demikian.
Perang Parit telah usai. Rasulullah s.a.w. menyatakan bahwa
sejak hari itu ke depan, kaum Musyrikin tidak akan menyerang lagi kaum
Muslimin; malahan sebaliknya, kaum Muslimin mulai hari itu akan
menyerang kaum Musyrikin. Kartu telah terbalik. Kaum Muslimin mulai
menjadi penyerang terhadap suku-suku dan golongan-golongan yang
sebegitu jauh dengan tak beralasan menyerang dan mengganggu mereka.
Apa yang dikatakan Rasulullah s.a.w. itu bukan gertak sambal. Dalam
Perang Khandak, persekutuan Arab sedikit pun tidak menderita kerugian
besar. Mereka hanya kehilangan beberapa orang. Dalam masa kurang
dari satu tahun mereka dapat datang kembali dan menyerang Medinah
111
dengan persiapan yang lebih baik lagi. Alih-alih suatu pasukan yang
terdiri atas dua puluh ribu prajurit, mereka dapat menyusun serangan
baru dengan pasukan yang terdiri atas empat puluh, atau bahkan lima
puluh ribu prajurit. Suatu angkatan perang sebesar seratus atau seratus
lima puluh prajurit bukan di luar jangkauan kemampuan mereka. namun ,
sekarang dalam masa dua puluh satu tahun, musuh Islam telah banting-
tulang berusaha melenyapkan Islam dan kaum Muslimin. Kegagalan
rencana-rencana mereka secara terus-menerus telah menggoyahkan
kepercayaan kepada diri mereka sendiri. Mereka mulai khawatir dan
was-was, kalau-kalau apa yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. itu
benar, dan bahwa berhala-berhala dan dewa-dewa mereka itu palsu, dan
bahwa Sang Maha Pencipta yaitu Allah Yang Maha Ghaib, yang
diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. itu. Kekhawatiran bahwa Rasulullah
s.a.w. itu benar dan mereka salah mulai merasuk dan meresap ke dalam
diri mereka. Kendati demikian, tanda-tanda kekhawatiran itu tak nampak
dari luar. Pada lahirnya, kaum Musyrikin nampaknya tetap seperti biasa.
Mereka pergi kepada berhala-berhala mereka dan mendoa kepada
berhala-berhala seperti sediakala. namun , semangatnya telah remuk
redam. Pada lahirnya mereka menjalani kehidupan musyrik dan kafir; di
dalam batin mereka tampak menggemakan semboyan Islam - Laailaha
illallah, tidak ada Allah kecuali Allah.
Seusai Perang Khandak Rasulullah s.a.w., seperti telah kami
katakan, mengumumkan bahwa dari saat itu ke depan orang-orang kafir
tidak akan menyerang kaum Muslimin lagi; namun sebaliknya, kaum
Muslimin akan menyerang kaum kufar. Kesabaran kaum Muslimin telah
sampai pada batasnya. Muslim telah berubah (Bukhari, Kitab al-
Maghazi).
Adakah Rasulullah Berusaha Meneruskan Perang?
Dalam pertempuran yang sampai saat itu telah berlangsung,
kaum Muslimin harus tinggal di Medinah atau pergi keluar agak jauh
sedikit untuk menghadapi agresi kaum kufar. Kaum Muslimin tidak
mengawali pertempuran-pertempuran itu, dan tidak nampak punya
112
keinginan meneruskannya. Permusuhan biasanya hanya dapat berakhir
dengan dua jalan - suatu persetujuan damai atau satu pihak tunduk
terhadap pihak yang lain. Dalam pertempuran-pertempuran antara kaum
Muslimin dan kaum kufar, sejauh itu tidak nampak akan ada damai atau
satu pihak bersedia menyerah. Memang benar, ada masa-masa istirahat
bertempur, akan namun tak seorang pun dapat mengatakan bahwa perang
antara kaum Muslimin dan kaum kufar itu telah berakhir. Menurut
undang-undang yang sudah berlaku, kaum Muslimin dapat menyerang
suku-suku musuh dan memaksa mereka menyerah. namun kaum
Muslimin tak berbuat demikian. Jika musuh menghentikan perkelahian,
kaum Muslimin juga berhenti. Mereka berhenti, sebab mereka
menyangka ada kemungkinan untuk perundingan damai. namun saat
telah terbukti tidak ada perundingan damai dikehendaki oleh kaum kufar
begitu pula tidak ada kecenderungan dari pihak mereka untuk menyerah,
maka Rasulullah s.a.w. memandang bahwa saatnya telah tiba untuk
mengakhiri peperangan, baik dengan jalan damai atau dengan salah satu
pihak menyerah kalah terhadap pihak lain. Perang harus dihentikan
seandainya akan diadakan perdamaian. Oleh sebab itu seusai Perang
Khandak, Rasulullah s.a.w. agaknya telah mengambil keputusan untuk
menetapkan salah satu di antara dua: damai atau menyerah. Bahwa kaum
Muslimin akan menyerah kepada kaum kufar tak pernah terpikirkan.
Kemenangan Islam terhadap penganiayanya telah dijanjikan oleh Allah .
Pernyataan-pernyataan mengenai janji kemenangan itu telah
dikemukakan oleh Rasulullah s.a.w. saat beliau masih tinggal di
Mekkah. Dapatkah kaum Muslimin menuntut damai? Langkah menuju
perdamaian dapat diawali oleh pihak yang kuat atau pihak yang lemah.
Jika pihak lemah meminta damai, ia harus menyerahkan, untuk
sementara atau untuk selama-lamanya, sebagian daerahnya atau sebagian
penghasilannya; atau, terpaksa menerima syarat-syarat lainnya yang
diajukan oleh musuh. Jika pihak yang kuat menawarkan perdamaian, hal
itu dapat diartikan bahwa pihak yang kuat tidak menghendaki
kehancuran total pada pihak yang lemah, namun bersedia membiarkannya
merdeka secara penuh atau sebagian sebagai imbalan atas syarat-syarat
tertentu. Dalam pertempuran-pertempuran yang sebegitu jauh telah
terjadi di antara kaum Muslimin dan kaum kufar, yang disebut
belakangan menderita kekalahan demi kekalahan. Walaupun demikian
kekuatan mereka belum patah. Mereka hanya gagal dalam usaha
membinasakan kaum Muslimin. Kegagalan menghancurkan yang lain
belum berarti kekalahan.
Artinya hanya, agresi mereka belum berhasil; serangan-serangan
yang telah gagal dapat diulang. Maka kaum Mekkah belum terkalahkan;
hanya serangan mereka terhadap kaum Muslimin telah gagal. Dalam
istilah militer, kaum Muslimin jelas merupakan pihak yang lemah.
Memang benar, pertahanan mereka masih tetap utuh, namun mereka
merupakan minoritas yang buruk keadaannya dan merupakan minoritas
yang, walaupun mampu bertahan terhadap agresi mayoritas, tidak
sanggup menjadi pihak penyerang. Oleh sebab itu, kaum Muslimin
belum menegakkan kemerdekaan. Jika mereka meminta damai, maka hal
itu berarti bahwa pertahanan mereka telah patah dan bahwa mereka
sekarang bersedia menerima syarat dan tuntutan kaum kufar. Suatu
tawaran damai dari pihak mereka sangat berbahaya bagi Islam. Hal itu
berarti bunuh diri. Hal itu akan mendatangkan kehidupan baru kepada
musuh yang telah patah semangat akibat kekalahan yang berturut-turut.
Suatu rasa kalah akan terdesak oleh harapan dan ambisi baru. Kaum
kufar pasti beranggapan bahwa meskipun kaum Muslimin telah
menyelamatkan Medinah, mereka pada akhirnya masih tetap pesimis
tentang kemenangannya atas kaum kufar. Maka suatu usul perdamaian
tak mungkin diajukan oleh kaum Muslimin. Usul semacam itu dapat
diajukan oleh pihak kaum Mekkah atau oleh pihak ketiga. Dalam
sengketa yang telah timbul, Medinah menjadi dihadapkan kepada
seluruh Arabia. Jadi, hanya kaum kufar yang dapat mengajak damai
kepada kaum Muslimin dan untuk itu tak nampak tanda-tandanya.
Dengan demikian perang antara kaum Muslimin dan kaum Arab boleh
jadi akan berlarut-larut. Kaum Muslimin tidak dapat mengusulkan
perdamaian dan kaum Arab tidak mau juga. Oleh sebab itu, perang
saudara di Arabia nampaknya tak akan ada habis-habisnya, sekurang-
kurangnya tidak sampai abad yang berikutnya.
Hanya ada satu jalan bagi kaum Muslimin jika mereka hendak
mengakhiri perselisihan. Mereka tidak bersedia menyerahkan kata hati
mereka kepada bangsa Arab, yaitu, melepaskan hak mereka untuk
menyatakan, mengamalkan, dan mentablighkan apa yang mereka sukai;
dan tidak ada langkah menuju perdamaian dari pihak kaum kufar. Oleh
sebab itu, mereka itulah sekarang yang berkewajiban memaksa kaum
Arab menyerah atau menerima perdamaian. Rasulullah s.a.w. mengambil
keputusan untuk berbuat hal seperti itu.
Adakah peperangan yang dicari Rasulullah s.a.w.? Bukan, bukan
peperangan melainkan perdamaianlah yang diusahakan untuk
diwujudkan oleh beliau. Jika beliau pada saat itu tinggal diam, Arabia
akan tetap dicengkeram oleh perang saudara. Maka langkah yang beliau
ambil yaitu satu-satunya jalan untuk perdamaian. Dalam sejarah
ada beberapa peperangan yang berlangsung lama. Beberapa di
antaranya berjalan sampai seratus tahun, lainnya berlangsung tiga puluh
tahun lebih. Perang-perang yang memakan waktu lama itu akibat dari
tidak adanya tindakan yang menentukan dari masing-masing pihak.
Tindakan yang memastikan itu seperti yang telah kami katakan di atas
hanya berupa satu dari dua bentuk - menyerah mutlak atau perdamaian
atas dasar perundingan.
Dapatkah Rasulullah s.a.w. tinggal diam dan pasif? Dapatkah
beliau dan pasukan Musliminnya yang kecil itu mengundurkan diri ke
belakang tembok kota Medinah dan membiarkan segala sesuatu terjadi
dengan sendirinya? Itu tak mungkin! Kaum kufar telah memulai agresi.
Membiarkan segala sesuatu berjalan sendiri tidak merupakan akhir
peperangan, bahkan sebaliknya; ialah, perang yang berkesinambungan.
Hal itu akan berarti bahwa kaum kufar dapat menyerang Medinah kapan
mereka suka. Mereka dapat menghentikannya jika mereka menghendaki
dan menyerang lagi kapan mereka mau. Suatu masa jeda dalam
peperangan tidak berarti berakhirnya suatu perang. Itu hanya berarti
muslihat belaka.
Ajaran Yudaisme Dan Kristen Mengenai Perang
namun masalah yang sekarang timbul ialah, apakah dapat
dibenarkan berperang untuk agama? Oleh sebab itu marilah kita tinjau
masalah ini. Ajaran agama mengenai masalah peperangan mengambil
berbagai-bagai corak. Ajaran Perjanjian Lama telah kami bentangkan di
atas. Nabi Musa a.s. diperintahkan memasuki negeri Kanaan dengan
kekuatan senjata untuk mengalahkan penduduknya dan menempatkan
kaumnya sendiri di situ (Ulangan 20: 10-18). Walaupun ada ajaran ini
dalam kitab suci Nabi Musa a.s. dan meskipun pelajaran itu dikuatkan
oleh contoh nyata dari Nabi Yusak, Daud a.s. dan lain-lain, kaum Yahudi
dan kaum Kristen tetap menghormati nabi-nabi mereka dan memandang
kitab-kitab mereka sebagai kitab dari Allah . Pada akhir masa syariat
Nabi Musa a.s., kita jumpai Isa Al-Masih a.s. yang mengajarkan:
namun Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang
berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi
kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu (Matius 5:39).
Kaum Kristen sering mengemukakan ajaran Isa a.s. ini dan
menjadikannya bukti bahwa Isa a.s. menentang peperangan. namun ,
dalam Perjanjian Baru kita dapati ayat-ayat yang mengandung ajaran
yang sama sekali berlawanan. Umpamanya, ada ayat yang berbunyi:
Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa
damai diatas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan
pedang (Matius 10:34).
Dan ayat lain mengatakan:
Katanya kepada mereka: "namun sekarang ini, siapa yang memiliki
pundi-pundi, hendaklah ia membawanya, demikian juga yang
memiliki bekal; dan siapa yang tidak memiliki nya hendaklah ia
menjual jubahnya dan membeli pedang" (Lukas 22:36).
Dari ketiga ayat itu, dua ayat terakhir bertolak belakang dengan
yang pertama. Jika Nabi Isa a.s. datang untuk peperangan, mengapa
beliau mengajarkan tentang memberikan pipi lainnya? Tampaknya kita
harus mengakui adanya pertentangan-pertentangan dalam Perjanjian
Baru, atau kita harus menerangkan salah satu dari ajaran yang
bertentangan itu dengan cara yang tepat. Kami tidak akan
mempersoalkannya di sini, apakah menyerahkan pipi yang sebelah lagi
itu selalu dapat dipraktekkan? Kami hanya ingin menegaskan bahwa
sepanjang sejarahnya tak pernah kaum Kristen ragu-ragu untuk
mengadakan peperangan. saat kaum Kristen pertama kali menguasai
Roma, mereka terjun dalam peperangan sebagai pihak bertahan maupun
pihak penyerang. Mereka merupakan kekuasaan-kekuasaan yang
berpengaruh di dunia dewasa ini, dan mereka terus-menerus ikut dalam
perang, baik secara mempertahankan diri atau pun secara agresi. Hanya
pihak yang menang sekarang dikeramatkan oleh dunia Kristen, yang
selebihnya, kemenangan mereka dikatakan sebagai kemenangan
peradaban Kristen. Kebudayaan Kristen menjadi berarti apa saja yang
berpengaruh dan sukses. Jika dua kekuatan Kristen berperang, masing-
masing mengakui dirinya sebagai pemelihara dan pelindung cita-cita
Kristen. Kekuatan yang menang dikeramatkan sebagai kekuatan Kristen
yang benar. namun , memang benar bahwa sejak zaman Nabi Isa sampai
zaman kita sekarang, Kristen telah terlibat - dan gejala-gejala
menunjukkan akan terus terlibat - dalam peperangan. Oleh sebab itu,
menurut keputusan umat Kristen pada prakteknya ialah, peperangan itu
ajaran Perjanjian Baru yang sebenarnya, dan bahwa memberikan pipi
yang sebelah lagi merupakan ajaran penyesuaian diri dengan situasi dan
kondisi sebab terpaksa oleh ketidakberdayaan umat Kristen di masa
permulaan, atau bahwa ajaran itu hanya dimaksudkan untuk perorangan-
perorangan, tidak untuk negara-negara dan bangsa-bangsa.
Kedua, bahkan umpamanya, kita menerima bahwa Nabi Isa
mengajarkan damai, dan bukan perang, maka hal itu tidak berarti bahwa
mereka yang tidak beramal sesuai dengan ajaran itu tidak suci dan tidak
dimuliakan. Sebab, agama Kristen senantiasa memuliakan tokoh-tokoh
perang seperti Nabi Musa a.s., Yusak a.s., dan Daud a.s.. Malah bukan
itu saja, Gereja sendiri mengkeramatkan pendekar-pendekar bangsa yang
menderita dalam peperangan. Mereka dinyatakan orang-orang suci oleh
Paus.
Al-Qur’an Tentang Perang Dan Damai
Ajaran Islam lain dari ajaran kedua agama itu. Ajarannya ada di
antara kedua ajaran itu. Islam tidak mengajarkan agresi seperti halnya
ajaran Nabi Musa a.s.. Pula, Islam tidak seperti agama Kristen dewasa
ini (yang mungkin telah rusak) mengajarkan hal-hal yang bertentangan
satu sama lain. Islam tidak mengajarkan menyerahkan pipi sebelah lagi
dan di samping itu menyuruh menjual pakaian kita untuk membeli
pedang. Ajaran Islam sesuai dengan fitrat manusia dan memelihara
perdamaian dengan satu-satunya cara yang mungkin dilakukan. Islam
melarang agresi, namun mengajarkan kepada kita untuk berperang.
Seandainya berperang tidak ditempuh maka akan membahayakan
keamanan dan menggalakkan peperangan. Jika mengabaikan peperangan
berarti lenyapnya kebebasan beragama dan usaha mencari kebenaran,
maka telah menjadi suatu kewajiban bagi kita untuk berperang. Itulah
ajaran yang di atas landasan ajaran itu akhirnya perdamaian dapat dibina,
dan inilah ajaran yang di atasnya Rasulullah s.a.w. meletakkan dasar
siasat dan amal beliau. Rasulullah s.a.w. menderita terus-menerus di
Mekkah, namun tidak melawan agresi yang beliau sendiri menjadi
sasaran, padahal beliau tidak bersalah. saat beliau berhijrah ke
Medinah, musuh bertekad membinasakan Islam; maka beliau terpaksa
menghadapi musuh dalam membela kebenaran dan kebebasan beragama.
Di bawah ini kami kutip ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung
masalah perang.
(1) Di dalam 22:40-42 kita jumpai:
“Telah diizinkan bagi mereka yang telah diperangi, disebabkan
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong
mereka. Orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa
hak, hanya sebab mereka berkata, "Allah kami ialah Allah”. Dan
sekiranya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh
sebagian yang lain, maka akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja
Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta masjid-masjid yang
banyak disebut nama Allah di dalammya. Dan pasti Allah akan
menolong siapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa,
Maha Perkasa. Orang-orang yang, jika Kami teguhkan mereka di bumi,
mereka mendirikan shalat dan membayar zakat dan menyuruh berbuat
kebaikan dan melarang dari keburukan. Dan kepada Allah kembali segala
urusan”.
Ayat-ayat itu bermaksud mengatakan bahwa izin berperang telah
diberikan kepada pihak yang menjadi korban agresi. Allah kuasa
menolong para korban - mereka yang telah diusir dari rumah-rumah
mereka sebab kepercayaan yang dianut mereka. Izin itu bijaksana,
sebab, jika Allah tidak mencegah si kejam dengan memberi pertolongan
kepada orang-orang yang bertakwa, maka tak akan ada kebebasan
menganut agama dan ibadah di dunia. Allah harus menolong mereka
yang menegakkan kemerdekaan dan ibadah. Oleh sebab itu terang
diizinkan jika suatu kaum telah lama menderita dari agresi yang buas -
jika si agresor tak punya alasan untuk agresi dan berusaha merintangi
agama yang dianut oleh si korban. Kewajiban si korban ialah, jika dan
bilamana ia meraih kekuasaan, menegakkan kebebasan beragama dan
melindungi semua agama dan semua tempat keagamaan. Kekuasaannya
harus dipergunakan bukan untuk kebesarannya sendiri, melainkan untuk
mengurus si miskin, kemajuan negara, dan meningkatkan keamanan
khalayak umum. Ajaran itu sempurna, jelas dan tegas. Ajaran itu
mengumumkan kenyataan bahwa kaum Muslimin di masa permulaan itu
telah mengadakan peperangan, sebab mereka terpaksa. Peperangan
agresi dilarang oleh Islam. Kepada kaum Muslimin dijanjikan kekuasaan
politik, namun diperingatkan bahwa kekuasaan itu tidak boleh
dipergunakan untuk kebesaran dan keagungan sendiri, namun untuk
memperbaiki nasib si miskin dan memelihara keamanan dan kemajuan.
(2) Dalam 2:191-194 kita jumpai:
“Dan perangilah di jalan Allah, orang-orang yang memerangimu,
namun jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
mencintai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di
mana pun mereka kamu dapati, dan usirlah mereka dari tempat mereka
telah mengusirmu, dan fitnah itu lebih buruk dari pada pembunuhan.
Dan, janganlah kamu memerangi mereka di dekat Masjidilharam
sebelum mereka memerangimu di sana. namun , jika mereka
memerangimu, maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-
orang kafir. namun jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan perangilah mereka sehingga
tak ada fitnah lagi, dan agama itu hanya untuk Allah. namun , jika mereka
berhenti, maka tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang
aniaya”.
Perang harus sebab Allah, bukan demi kepentingan sendiri atau
akibat keberangan atau demi kebesaran sendiri, dan bahkan harus bebas
dari pelanggaran-pelanggaran, sebab pelanggaran-pelanggaran itu tidak
diridhai Allah . Perang hanya pada pihak-pihak yang saling bermusuhan.
Serangan atas perseorangan terlarang. Agresi terhadap agama harus
119
dihadapi dengan perlawanan aktif, sebab agresi semacam itu lebih buruk
dari pertumpahan darah. Kaum Muslimin dilarang berperang dekat
Masjidil Haram, kecuali jika serangan itu dimulai oleh musuh. Perang
dekat Masjidil Haram mengganggu hak umum untuk naik Haji. namun
jika musuh menyerang, kaum Muslimin bebas membalas, hal itu
merupakan pembalasan yang tepat terhadap agresi. namun jika musuh
berhenti, maka kaum Muslimin juga harus berhenti dan memaafkan serta
melupakan hal-hal yang lampau. Perang terpaksa diteruskan selama ada
serangan dan aniaya sebab agama serta selama kebebasan beragama
belum terjamin. Agama itu untuk Allah . Penggunaan kekerasaan atau
tekanan dalam urusan agama yaitu salah. Jika orang-orang kafir
berhenti dan menjamin kebebasan beragama, kaum Muslimin harus
berhenti memerangi kaum kufar. Senjata harus ditujukan kepada mereka
yang melanggar. Jika pelanggaran-pelanggaran berhenti, perang pun
harus dihentikan pula.
Jadi, kita dapat mengatakan bahwa secara kategoris ayat-ayat itu
mengajarkan peraturan-peraturan berikut:
1. Perang boleh ditempuh hanya semata-mata untuk Allah dan bukan
untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kebesaran sendiri atau untuk
kemajuan kepentingan-kepentingan lain apa pun.
2. Kita berperang hanya melawan siapa yang menyerang kita lebih
dahulu.
3. Kita memerangi hanya kepada pihak yang memerangi kita. Kita
tidak boleh berperang dengan mereka yang tidak terlibat dalam
peperangan.
4. Bahkan sesudah musuh telah memulai lebih dahulu menyerang, tetap
menjadi kewajiban kita untuk berperang dalam batas-batas norma.
Memperluas peperangan, baik secara teritorial atau mengenai
pemakaian senjata, yaitu tidak benar.
5. Kita boleh memerangi hanya angkatan perang yang digerakkan oleh
musuh untuk berperang di pihak mereka. Kita tidak boleh
memerangi orang-orang yang lainnya di pihak musuh.
6. Dalam peperangan, kekebalan harus diberikan kepada segala upacara
dan ibadah keagamaan. Jika musuh membiarkan aman tempat-
120
tempat upacara keagamaan diadakan, maka kaum Muslimin juga
harus berhenti berperang di tempat-tempat seperti itu.
7. Jika musuh memakai tempat peribadatan sebagai pangkalan untuk
melakukan serangan, maka kaum Muslimin diperkenankan
membalas serangan itu. Jika kaum Muslimin berbuat demikian, tidak
akan dipersalahkan. Tidak diizinkan berperang bahkan di dekat
tempat-tempat keagamaan. Serangan terhadap tempat-tempat agama
dan membinasakannya atau memberi kemudaratan dalam bentuk apa
pun terhadapnya sama sekali dilarang. Suatu tempat keagamaan yang
dipergunakan sebagai pangkalan operasi-operasi boleh mendapat
balasan. Pertanggung-jawaban terhadap kerusakan yang ditimpakan
kepada tempat itu kemudian dilimpahkan kepada musuh, tidak
kepada kaum Muslimin.
8. Jika musuh mengetahui bahaya dan kekeliruan penyalahgunaan
tempat keagamaan sebagai pangkalnya lalu memindahkan medan
pertempuran, maka kaum Muslimin harus mengadakan penyesuaian
terhadap perubahan itu. Kenyataan bahwa musuh memulai serangan
dari suatu tempat keagamaan, ini tidak boleh dipakai sebagai alasan
untuk menyerang tempat itu. Sebagai penghormatan, kaum Muslimin
harus mengalihkan medan pertempuran segera sesudah musuh
berbuat serupa.
9. Peperangan dilangsungkan hanya selama gangguan terhadap agama
dan kemerdekaan beragama masih berjalan. Jika agama telah bebas,
dan gangguan kepada agama tidak diperkenankan lagi serta musuh
menyatakan dan mulai bertindak sesuai dengan itu, maka tidak boleh
ada peperangan lagi, walaupun musuh yang memulai peperangan.
(3) Dalam 8:39-41 kita dapatkan:
“Katakanlah kepada orang-orang yang ingkar, "Jika mereka berhenti
dari apa-apa yang telah lampau, mereka akan diampuni; dan jika mereka
kembali kepada perbuatan salah, maka sesungguhnya telah berlaku
sunnah Allah terhadap orang-orang terdahulu. Dan, perangilah mereka
itu, sehingga tak ada lagi fitnah dan supaya agama menjadi seutuhnya
bagi Allah. namun , jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa-apa yang mereka kerjakan. Dan, jika mereka berpaling
maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah yaitu Pelindung kamu,
sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong!"
121
Berarti bahwa peperangan telah dipaksakan terhadap kaum
Muslimin. namun , jika musuh berhenti maka menjadi kewajiban kaum
Muslimin juga untuk berhenti dan memaafkan apa yang sudah. namun ,
jika musuh tak mau berhenti dan menyerang kaum Muslimin terus-
menerus, maka hendaknya mereka ingat akan nasib musuh-musuh para
nabi sebelumnya. Kaum Muslimin harus berperang selama penindasan
bersifat agamawi terus berlaku, dan selama agama itu bukan untuk
Allah dan gangguan dalam urusan agama belum lenyap. Jika agresor
berhenti beraksi, maka kaum Muslimin juga harus berhenti. Mereka tidak
boleh meneruskan peperangan, sebab musuh menganut agama yang
palsu. Nilai kepercayaan-kepercayaan dan perbuatan-perbuatan diketahui
oleh Allah dan Dia akan memberi ganjaran kepada mereka, menurut
kehendak-Nya. Kaum Muslimin tidak berhak mencampuri urusan agama
kaum lain, walau agama itu nampak kepada mereka palsu. Jika sesudah
ajakan untuk berdamai musuh tetap meneruskan peperangan, maka kaum
Muslimin hendaknya yakin akan kemenangan walaupun jumlah mereka
kecil. Sebab, Allah akan membantu mereka dan siapakah lebih baik
dalam memberikan bantuan kecuali Allah ?
Ayat-ayat ini diwahyukan bertalian dengan Perang Badar.
Perang ini merupakan perang pertama antara kaum Muslimin dengan
kaum kufar. Dalam peperangan itu kaum Muslimin menjadi sasaran
agresi yang tidak beralasan. Musuh telah berniat mengganggu keamanan
Medinah dan daerah sekitarnya. Walaupun demikian, kemenangan ada di
pihak kaum Muslimin dan para gembong utama musuh telah terbunuh.
Pembalasan terhadap agresi tak beralasan itu nampaknya wajar, adil, dan
perlu. Namun demikian kaum Muslim diharuskan menghentikan perang
segera sesudah musuh menghentikannya. Apa yang dituntut dari musuh
untuk menyetujuinya tak lain hanya kebebasan beragama dan beribadah.
(4) Dalam 8:62-63 kita dapatkan:
“Dan, jika mereka condong kepada perdamaian, maka condong
pulalah engkau kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya, Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Dan,
jika mereka berkeinginan menipu engkau, maka sesungguhnya Allah
cukup bagi engkau; Dia-lah yang telah menguatkan engkau dengan
pertolongan-Nya dan dengan orang-orang mukmin”.
Berarti bahwa, jika selama pertempuran berlangsung kaum kufar
juga cenderung kepada perdamaian, kaum Muslimin harus segera
menerima dan mengadakan perdamaian. Kaum Muslimin harus berbuat
demikian juga, walaupun harus menghadapi risiko kena tipu. Mereka
hendaknya bertawakal kepada Allah . Penipuan tak akan berhasil
terhadap kaum Muslimin yang benar-benar mengandalkan pertolongan
dari Allah . Kemenangan-kemenangan mereka bukanlah berkat mereka
sendiri, namun yaitu berkat Allah . Dalam saat-saat paling suram dan
sukar, Allah beserta Rasulullah s.a.w. dan para Sahabatnya. Demikian
pula Dia akan tetap beserta mereka saat berlaku penipuan. Tawaran
damai harus diterima. Ajakan itu tidak boleh ditolak atas alasan bahwa
hal itu mungkin hanya tipu-muslihat musuh yang mencari kesempatan
untuk mengadakan serangan baru.
Tekanan yang diletakkan pada perdamaian dalam ayat-ayat itu
bukan tanpa makna. Hal itu merupakan pengantar menuju perdamaian
yang ditandatangani Rasulullah s.a.w. di Hudaibiya. Rasulullah s.a.w.
mendapat peringatan bahwa akan datang suatu saat musuh akan
mengusulkan damai. Tawaran demikian tidak boleh ditolak atas
pertimbangan bahwa musuh yaitu pihak agresor dan telah melakukan
pelanggaran-pelanggaran, atau bahwa ia tak dapat dipercaya. Jalan lurus
yang ditanamkan oleh Islam menuntut dari orang Muslim untuk
menerima tawaran damai. Keshalehan dan siasat menjadikan penerimaan
tawaran itu suatu perkara yang diharapkan.
(5) Dalam 4:95 kita jumpai:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi berjihad di jalan
Allah, maka selidikilah sebaik-baiknya dan janganlah kamu mengatakan
kepada orang yang memberi salam kepadamu, "Engkau bukan mukmin."
Berarti bahwa, jika kaum Muslimin berangkat untuk berperang,
mereka harus yakin bahwa kepada musuh telah diterangkan bahwa
peperangan yang dilancarkannya itu tidak beralasan dan musuh tetap
menghendakinya juga. Walaupun demikian, jika usul damai diterima dari
perseorangan atau dari sebuah grup, kaum Muslimin hendaknya tidak
menolaknya dengan alasan bahwa hal itu tidak didasarkan atas kejujuran.
Jika kaum Muslimin menolak tawaran damai, maka mereka tidak
berperang untuk Allah melainkan demi kemegahan diri sendiri dan demi
keuntungan duniawi. Sebagaimana halnya agama itu datang dari Allah ,
demikian pula halnya kemegahan dan keuntungan duniawi pun datang
dari Dia. Pembunuhan jangan menjadi tujuan. Yang hendak kita bunuh,
mungkin esok lusa akan mendapat petunjuk. Dapatkah kaum Muslimin
menjadi Muslimin jika mereka tidak diselamatkan? Kaum Muslimin
harus menjauhkan diri dari pembunuhan, sebab jiwa-jiwa yang terlepas
dari hukuman adakalanya berubah menjadi jiwa-jiwa yang mendapat
petunjuk. Allah mengetahui benar apa yang diperbuat orang-orang, dan
untuk tujuan apa serta dengan niat apa mereka berbuat.
Ayat itu mengajarkan bahwa sekalipun peperangan telah
dimulai, tetap menjadi kewajiban orang-orang Muslim untuk meyakinkan
diri bahwa musuh benar-benar cenderung kepada agresi. Seringkali
terjadi bahwa bukan agresi yang dimaksudkan, namun musuh mulai
mengadakan persiapan perang sebab perasaan gelisah dan takut.
Kecuali, jika kaum Muslimin mendapat keyakinan bahwa serangan
agresi telah direncanakan oleh musuh, mereka tidak boleh berperang.
Jika kemudian ternyata, atau, jika musuh menyatakan bahwa persiapan-
persiapannya semata-mata untuk bela diri, kaum Muslimin wajib
menerima pernyataan itu dan menjauhkan diri dari perang. Mereka tidak
boleh membuktikan bahwa persiapan-persiapan musuh menunjukkan
tidak lain kecuali agresi: mungkin tujuannya agresi namun niatnya telah
berubah. Bukankah niat dan motif itu senantiasa berubah? Tidakkah
orang-orang yang tadinya musuh-musuh Islam menjadi sahabat-sahabat?
(6) Tentang sakralnya perjanjian-perjanjian, Al-Qur’an dengan
jelas mengatakan:
“Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan
perjanjian, kemudian mereka tidak melanggar janji dengan kamu sedikit
pun dan tidak pula membantu seseorang melawan kamu. Maka,
penuhilah kepada mereka perjanjian mereka sampai batas waktunya.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa”. (9:4).
Orang-orang musyrik yang masuk ke dalam ikatan perjanjian
dengan kaum Muslimin dan berpegang pada perjanjian itu lalu tidak
membantu musuh melawan kaum Muslimin, harus mendapatkan
perlakuan yang setimpal dari kaum Muslimin. Ketakwaan menuntut agar
kaum Muslimin menyempurnakan peran mereka dalam perjanjian itu
menurut makna yang tersirat di dalamnya.
(7) Mengenai musuh yang berperang dengan kaum Muslimin
yang ingin menyelidiki ajaran Islam, Al-Qur’an memerintahkan:
“Dan, jika salah seorang di antara orang-orang musyrik meminta
perlindungan kepada engkau, berilah dia perlindungan sehingga dia dapat
mendengar firman Allah; kemudian sampaikanlah dia ke tempatnya yang
aman. Hal itu sebab mereka kaum yang tidak mengetahui” (9:6).
Berarti bahwa, jika ada dari antara mereka yang berperang
dengan kaum Muslimin meminta perlindungan kepada kaum Muslimin
untuk mempelajari Islam dan merenungkan ajarannya, mereka harus
diberi perlindungan oleh kaum Muslimin selama waktu yang diperlukan
untuk maksud itu.
(8) Tentang tawanan perang Al-Qur’an mengajarkan:
“Tidak layak bagi seorang Nabi bahwa ia memiliki tawanan
sebelum ia menumpahkan darah di waktu perang di bumi. Kamu
menginginkan harta dunia, padahal Allah menghendaki akhirat bagimu;
dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana (8:68).
Berarti bahwa tidak layak bagi seorang nabi membuat musuhnya
jadi tawanan-tawanan, kecuali sebagai akibat perang yang membawa
banyak pertumpahan darah. Cara kebiasaan menawan (menyandera)
suku-suku musuh tanpa perang dan pertumpahan darah yang berlaku
sampai - dan bahkan sesudah - Islam lahir, diharamkan dalam ayat ini.
Yang boleh dijadikan tawanan-tawanan ialah prajurit-prajurit dan sesudah
pertempuran usai.
(9) Peraturan membebaskan tawanan-tawanan juga ditetapkan.
Kita jumpai demikian:
“Dan apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang ingkar, maka
pukullah leher-leher mereka; hingga apabila kamu telah mengalahkan
mereka, maka perkuatlah belenggu mereka, kemudian sesudah itu
melepaskan mereka sebagai suatu kebaikan atau dengan tebusan hingga
perang meletakkan senjatanya. Demikianlah berlaku segala peraturan
menurut keadaan. Dan andaikata Allah menghendaki, tentu Dia
mengambil balasan dari mereka, namun supaya Dia menguji sebagian dari
kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang terbunuh di
jalan Allah, Dia sekali-kali tidak menyia-nyiakan amal-amal mereka”
(47:5).
Amal terbaik, menurut Islam, ialah membebaskan tawanan-
tawanan tanpa meminta uang tebusan. sebab hal itu tidak selamanya
mungkin, maka pembebasan dengan uang tebusan pun dibolehkan.
(10) Ada ikhtiar untuk tawanan-tawanan perang yang tak mampu
membayar bagi mereka sendiri dan yang tidak memiliki seorang pun
dapat atau mau membayar tebusan kemerdekaan mereka. Seringkali,
sanak-saudara mampu membayar, namun tidak mau, sebab mereka lebih
menyukai kalau keluarga mereka itu tetap menjadi tawanan - mungkin
dengan tujuan menyalahgunakan harta-bendanya pada waktu mereka itu
tidak ada.
Ikhtiar itu tercantum dalam Al-Qur’an (24:34):
“…Dan orang-orang yang menghendaki surat pembebasan budak,
dari apa yang dimiliki oleh tangan kananmu, maka tuliskanlah bagi
mereka, jika kamu mengetahui suatu kebaikan dalam diri mereka; dan
berikanlah kepada mereka dari harta Allah, yang telah Dia berikan
kepadamu…”.
Artinya, mereka yang tak layak dibebaskan tanpa uang tebusan
namun tak punya seorang pun yang dapat memperolehnya dengan
menandatangani suatu ikrar bahwa jika diperkenankan bekerja dan
mendapat penghasilan, mereka akan membayar uang tebusan mereka.
namun , mereka hanya diperkenankan berbuat demikian jika kesanggupan
mereka bekerja dan berpenghasilan itu cukup meyakinkan. Jika
kesanggupan mereka telah terbukti, mereka harus mendapat bantuan
keuangan dari kaum Muslimin dalam upaya mereka bekerja untuk
mendapatkan penghasilan. Orang-orang Muslim yang mampu dan mau
berbuat amal itu hendaklah membayar; atau patungan dapat
diselenggarakan untuk membuat orang-orang malang itu berdiri di atas
kaki mereka sendiri.
Ayat-ayat Al-Quran yang kami kutip di atas mengandung ajaran-
ajaran Islam mengenai masalah perang dan damai. Ayat-ayat itu
mengatakan kepada kita dalam keadaan bagaimana, menurut Islam, ada
hak untuk berperang dan batas-batas apa yang harus diperhatikan oleh
kaum Muslimin jika mereka berperang.
Peraturan-Peraturan Rasulullah Tentang
Peperangan
namun , ajaran Islam tidak hanya terbatas pada hukum-hukum
yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ajaran Islam mencakup juga
peraturan-peraturan dan teladan yang diperagakan oleh Rasulullah s.a.w.,
atau apa yang diajarkan oleh beliau dalam keadaan-keadaan yang pasti
merupakan bagian yang penting dalam ajaran Islam. Di sini kami
tambahkan beberapa hadits mengenai masalah perang dan damai.
1. Kaum Muslimin sama sekali dilarang mencacati mayat (Muslim).
2. Kaum Muslimin dilarang tipu-menipu (Muslim).
3. Anak-anak tidak boleh dibunuh, begitu pula wanita (Muslim).
4. Pendeta-pendeta dan pejabat-pejabat tugas keagamaan serta pemimpin-
pemimpin keagamaan tidak boleh dicampurtangani (Tahawi).
5. Orang-orang tua dan lemah serta wanita-wanita dan anak-anak tidak boleh
dibunuh. Kemungkinan damai senantiasa harus diperhatikan (Abu Daud).
6. Jika kaum Muslimin masuk di daerah musuh, mereka tidak boleh berbuat
sewenang-wenang terhadap khalayak penduduk. Mereka tidak boleh
mengizinkan perlakuan tidak baik terhadap rakyat jelata (Muslim).
7. Bala tentara Muslim tidak diperkenankan berkemah di suatu tempat yang
bisa menyebabkan timbulnya rasa gelisah pada khalayak umum. Apabila
bala tentara itu bergerak, hendaknya berhati-hati agar jangan membendung
jalan, begitu pula jangan menyebabkan adanya keresahan pada pemakai-
pemakai jalan lainnya.
8. Mencacati muka orang tidak diperkenankan (Bukhari dan Muslim).
9. Kerusakan dan kerugian yang ditimpakan kepada musuh harus ditekan
sampai sekecil-kecilnya (Abu Daud).
10. Jika tawanan-tawanan perang ada dalam penjagaan, keluarga-keluarga
dekat harus ditempatkan bersama-sama (Abu Daud).
11. Tawanan-tawanan hendaknya hidup nyaman, kaum Muslimin harus lebih
memperhatikan kenyamanan tawanan-tawanan mereka dari pada
kenyamanan mereka sendiri (Tirmidhi).
12. Duta-duta atau delegasi-delegasi dari negeri-negeri lain harus dihormati.
Kesalahan-kesalahan atau kekurangan tata krama mereka harus ditenggang
(Abu Daud, Kitab AI-Jihad).
13. Jika orang-orang Muslim berdosa memperlakukan dengan cara buruk
seorang tawanan perang, penebusannya ialah harus membebaskan tawanan
itu tanpa memungut uang tebusan.
14. Jika seorang Muslim menjamin hidup seorang tawanan perang, maka
tawanan itu harus diberi makan dan pakaian yang sama seperti orang
Muslim itu sendiri (Bukhari).
Rasulullah s.a.w. begitu mementingkan peraturan-peraturan itu
untuk ditaati oleh angkatan perang yang sedang bertempur sehingga
beliau menyatakan bahwa barangsiapa yang tidak mengindahkan
peraturan itu, ia bukan berperang untuk Allah , melainkan untuk
kepentingan sendiri (Abu Daud).
Abu Bakar r.a., Khalifah Pertama Islam, menambah peraturan-
peraturan Rasulullah s.a.w. tersebut dengan beberapa peraturan dari
pihak beliau sendiri. Salah satu dari peraturan-peraturan yang
ditambahkan itu juga merupakan bagian dari ajaran Islam:
(i) Bangunan-bangunan umum dan pohon-pohon buah (dan
tanaman-tanaman pangan) tidak boleh dibinasakan (Mu'atta).
Dari hadits-hadits Rasulullah s.a.w. dan perintah-perintah
Khalifah Pertama Islam itu jelas bahwa Islam telah menetapkan langkah-
langkah yang bertujuan untuk mencegah atau menghentikan peperangan
atau mengurangi dampak buruk perang. Seperti telah kami katakan
sebelum ini, prinsip-prinsip yang diajarkan Islam bukan saja merupakan
peraturan-peraturan yang suci; prinsip-prinsip itu telah dilukiskan dalam
sunnah Rasulullah s.a.w. sendiri dan Khalifah-Khalifah Islam dari zaman
permulaan. Seperti diketahui oleh seluruh dunia, Rasulullah s.a.w. bukan
hanya mengajarkan prinsip-prinsip ini; beliau sendiri mengamalkan
prinsip-prinsip ini dan menganjurkan supaya mentaati prinsip-prinsip ini.
Memperhatikan zaman kita sendiri, kita terpaksa mengatakan bahwa
tidak ada ajaran lain agaknya yang sanggup memecahkan persoalan
perang dan damai. Ajaran Nabi Musa a.s. jauh dari konsepsi kita
mengenai keadilan dan kejujuran. Pula, tidak mungkin dewasa ini kita
dapat bertindak atas dasar ajaran itu. Ajaran Nabi Isa AI-Masih a.s. tidak
dapat dipraktekkan dan selamanya tidak akan pernah dapat dipraktekkan.
Tidak pernah ada dalam sejarah umat Kristen mereka berusaha
mempraktekkan ajaran itu. Hanya ajaran Islam yang dapat dipraktekkan,
suatu ajaran yang telah dan selalu diajarkan serta diamalkan oleh tokoh-
tokohnya, dan dengan mengamalkannya dapat mewujudkan serta
memelihara perdamaian di dunia.
Di zaman kita ini, Gandhi rupa-rupanya mengajarkan bahwa
sekalipun bila kita dipaksa berperang, kita tidak boleh berperang. Kita
tidak boleh berkelahi. namun ajaran ini belum pernah dipraktekkan di
masa mana pun dalam sejarah dunia; belum pernah diuji atau dicoba.
Oleh sebab itu, tidak mungkin dapat kita katakan bahwa bagaimana
nilainya pelajaran ini dalam urusan peperangan dan perdamaian* .
Gandhi telah berusia cukup panjang menyaksikan Kongres India
mencapai kemerdekaan politik. Walaupun demikian Pemerintah Kongres
belum juga membubarkan angkatan perangnya maupun angkatan-
angkatan bersenjata lainnya dari India. Pemerintah hanya merencanakan
urusan Indianisasi-nya. Direncanakannya juga untuk mengangkat
kembali opsir-opsir India yang membentuk diri menjadi Angkatan
* Kitab ini ditulis saat India baru memperoleh kemerdekaan. Memang pada
waktu itu belum timbul suatu situasi untuk menguji ajaran Gandhi. namun
sesudah itu dunia telah berkali-kali menyaksikan bahwa India tidak pernah
segan-segan memulai peperangan agresi bila ada kesempatan untuk berbuat
(Red).
Bersenjata Nasional India (dan yang dipecat oleh para pembesar Inggris)
di masa penjarahan Jepang ke Burma dan India pada tahap-tahap terakhir
Perang Dunia yang lalu. Gandhi sendiri, dalam beberapa peristiwa, telah
memperdengarkan suaranya membela kejahatan-kejahatan dan
kekerasan, dan meminta dengan keras untuk membebaskan mereka yang
melakukan kejahatan-kejahatan demikian. Hal itu sedikitnya
memperlihatkan bahwa pelajaran Gandhi tidak dapat dipraktekkan dan,
bahwa Gandhi serta semua pengikutnya juga mengetahui hal itu. Tidak
ada contoh amal telah dikemukakan untuk membuktikan kepada dunia,
bagaimana politik non-violence (anti kekerasan) dapat diterapkan jika
perkelahian bersenjata timbul antara bangsa dengan bangsa, dan negara
dengan negara, atau bagaimana politik non-violence dapat mencegah
atau menghentikan perang. Mengajarkan suatu cara menghentikan
peperangan, namun tak pernah mampu mengemukakan gambaran
mengenai pengamalan cara itu, menunjukkan bahwa cara itu tak dapat
dipraktekkan. Oleh sebab itu, agaknya pengalaman dan kebijaksanaan
manusia mengacu hanya kepada satu cara pencegahan atau penghentian
perang; dan cara itu telah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah s.a.w.
Serangan-Serangan Sporadis (Terpencar-Pencar)
Dari Kaum Kufar
Persekutuan Arab kembali dari pertempuran Khandak - kalah
dan putus asa, namun jauh dari menyadari bahwa kekuatan mereka untuk
mengganggu kaum Muslimin telah berakhir. Walaupun kalah, mereka
mengetahui bahwa mereka masih merupakan mayoritas yang berkuasa.
Mereka dengan mudah dapat berlaku semena-mena terhadap orang-
orang Muslim secara perseorangan, memukul dan bahkan membunuh
mereka.
Dengan serangan-serangan terhadap perorangan-perorangan itu,
mereka mengharapkan dapat melenyapkan rasa kalah itu. Maka tidak
lama sesudah perang itu mereka mulai menyerang orang-orang Muslim
di daerah sekitar Medinah. Beberapa orang dari suku Fazarah
berkendaraan unta menyerang kaum Muslimin dekat Medinah. Mereka
membawa lari unta-unta yang ada di daerah itu, menawan seorang
wanita dan meloloskan diri dengan membawa rampasan mereka. Wanita
itu dapat melarikan diri dengan selamat, namun rombongan Fazarah itu
berhasil mencuri sejumlah hewan. Sebulan kemudian, serombongan dari
suku Ghatafa dari Utara menyerang kaum Muslimin dalam usaha
merampas unta-unta mereka. Rasulullah s.a.w. mengutus Muhammad
bin Masiama dengan sepuluh Sahabat berkuda untuk upaya
penyelidikan, dan untuk menjaga ternak-ternak kaum Muslimin. namun ,
musuh telah menghadang rombongan kaum Muslimin itu, menyerang
mereka secara kejam dan meninggalkan mereka tergeletak dalam
keadaan tak bernyawa. namun Muhammad bin Masiama hanya jatuh
pingsan. sesudah siuman kembali, dikerahkan segala kekuatannya dan
pulang ke Medinah untuk memberi laporan. Beberapa hari kemudian,
suatu perutusan Rasulullah s.a.w. dalam perjalanan ke ibu kota Romawi
telah diserang dan dirampok oleh orang-orang dari suku Judham.
Sebulan kemudian Banu Fazarah menyerang kafilah Muslim yang
melarikan diri dengan mangsanya. Mungkin serangan-serangan itu
dilancarkan bukan oleh rasa permusuhan agamawi. Banu Fazarah itu
suku penyamun yang hidup dari rampokan dan pembantaian. Kaum
Yahudi Khaibar, faktor utama dalam Perang Khandak, juga bertekad
penuh untuk mengadakan pembalasan atas kekalahan berat yang diderita
mereka dalam perang itu. Mereka pergi dari pemukiman ke pemukiman
suku-suku dan menjumpai para pembesar negeri di perbatasan Romawi
untuk menghasut mereka. Maka pemimpin-pemimpin Arab, yang tidak
mampu mengadakan serangan secara terang-terangan terhadap Medinah,
main kongkalikong dengan kaum Yahudi untuk menjadikan kehidupan
kaum Muslimin tidak mungkin dapat dipertahankan. Walaupun demikian
keadaannya, Rasulullah s.a.w. masih belum mengambil keputusan untuk
mengadakan peperangan yang memastikan. Beliau masih menyangka
bahwa para pemimpin Arab mungkin akan menawarkan perdamaian dan
perang saudara dapat berakhir.
Rasulullah Berangkat Ke Mekkah Dengan Seribu
Lima Ratus Sahabat
Di dalam masa itu Rasulullah s.a.w. melihat sebuah kasyaf yang
dalam Al-Qur’an disinggung demikian:
“Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan kepada Rasul-Nya
rukya dengan benar, kamu pasti akan masuk Masjidil Haram jika Allah
menghendaki dengan aman, dengan mencukur habis rambut kepalamu
atau memotong pendek tanpa merasa takut. namun Dia mengetahui apa
yang kamu tidak ketahui, Dia sebenarnya telah menetapkan bagimu
selain itu satu kemenangan yang dekat” (48:28).
Berarti bahwa Allah telah menetapkan untuk mengizinkan
kaum Muslimin memasuki daerah sekitar Ka'bah dengan aman, dengan
kepala dicukur dan rambut dipangkas serta tanpa rasa takut. namun kaum
Muslimin tidak tahu pasti, bagaimana Allah akan memungkinkan hal itu
terjadi. Lagi pula, sebelum kaum Muslimin menjalankan ibadah Haji
dengan aman, mereka meraih kemenangan lain, suatu pendahuluan bagi
kemenangan yang dijanjikan dalam kasyaf.
Dalam kasyaf tersebut Allah memberikan kabar ghaib mengenai
kemenangan kaum Muslimin, pada akhirnya gerakan masuk ke Mekkah
dengan aman dan damai, dan perebutan Mekkah tanpa penggunaan
senjata. namun Rasulullah s.a.w. memahami bahwa kaum Muslimin telah
diperintahkan oleh Allah untuk segera mencoba menjalankan thawaf di
Ka'bah. Kekeliruan Rasulullah s.a.w. dalam menafsirkan kasyaf akan
menjadi peristiwa kemenangan "yang dekat" seperti dijanjikan dalam
kasyaf itu. Maka dalam kekeliruan, Rasulullah s.a.w. merencanakan
perjalanan ke Ka'bah. Beliau mengumumkan kasyaf tersebut, dengan
penafsirannya, kepada kaum Muslimin lalu meminta supaya mereka
mengadakan persiapan.
"Kamu akan berangkat," sabda beliau, "hanya untuk
menjalankan thawaf di Ka'bah. Oleh sebab itu tidak boleh melakukan
unjuk rasa terhadap musuh."
Akhir Februari 628, seribu lima ratus orang* peziarah dipimpin
oleh Rasulullah s.a.w., berangkat ke Mekkah; suatu pengawal berkuda
* Dalam ziarah yang direncanakan setahun sesudah Perang Khandak ini hanya
seribu lima ratus orang menyertai Rasulullah s.a.w.. Jumlah prajurit-prajurit
terdiri atas dua puluh orang berjalan di muka, dengan jarak agak jauh,
untuk memberi kabar kepada kaum Muslimin jika musuh memperliatkan
tanda-tanda akan menyerang
Kaum Mekkah segera menerima laporan mengenai kafilah itu.
Tradisi telah menetapkan bahwa thawaf di Ka'bah sebagai hak universal.
Tradisi itu tidak dapat mengucilkan kaum Muslimin. Mereka telah
mengumumkan dengan kata-kata yang tegas bahwa tujuan perjalanan
mereka hanya untuk thawaf di Ka'bah, bukan untuk tujuan lain.
Rasulullah s.a.w. telah melarang segala macam unjuk rasa. Tidak boleh
ada perbantahan-perbantahan, mengadakan tuntutan- tuntutan, dan
pernyataan-pernyataan. Walaupun demikian, kaum Mekkah mulai
mengadakan persiapan-persiapan seperti akan ada bentrokan senjata.
Mereka mengadakan pertahanan di semua jurusan, menyerukan
permintaan bantuan kepada suku-suku di sekitar dan agaknya bertekad
untuk bertempur. saat Rasulullah s.a.w. sampai ke dekat Mekkah,
beliau mendapat laporan bahwa kaum Quraisy siap untuk berkelahi.
Mereka mengenakan baju kulit harimau, membawa istri dan anak-anak
mereka, dan telah bersumpah dengan khidmat. Tak lama kemudian,
sepasukan orang-orang Mekkah berderap di muka angkatan perang
menghadapi kaum Muslimin. Kaum Muslimin sekarang tak dapat
bergerak maju kecuali dengan pedang terhunus. namun , Rasulullah s.a.w.
telah betekad untuk tidak berbuat semacam itu. Beliau memakai seorang
penunjuk jalan untuk membawa kafilah-kafilah Muslim itu ke jalan lain
melalui padang pasir. Di bawah pimpinan penunjuk jalan itu Rasulullah
s.a.w. dan para Sahabat tiba di Hudaibiya, suatu tempat yang sangat
dekat Mekkah. Unta Rasulullah s.a.w. berhenti dan mogok, tidak mau
maju lagi.
Muslim dalam Perang Khandak mungkin kurang, namun tentu tak lebih dari
jumlah itu. Maka para ahli sejarah yang menetapkan jumlah prajurit-prajurit
Muslim dalam Perang Khandak ada tiga ribu itu salah. Jumlah itu layaknya
ditetapkan seribu dua ratus orang.
"Binatang ini agaknya lelah, ya Rasulullah. Lebih baik anda
menaiki tunggangan lain," kata seorang Sahabat.
"Tidak, tidak," sabda Rasulullah s.a.w. "binatang ini tidak lelah.
Agaknya malah Allah menghendaki supaya kita berhenti di sini dan
tidak meneruskan perjalanan. Maka aku usulkan untuk berkemah di sini
dan menanyakan kepada kaum Mekkah, apakah mereka mau
mengizinkan kita menunaikan ibadah Haji. Aku bersedia menerima tiap
syarat yang ingin mereka tetapkan" (Halbiyya, Jilid 2, hlm. 13).
Balatentara Mekkah pada saat itu tidak ada di Mekkah, sebab
telah berangkat keluar agak jauh untuk menghadapi kaum Muslim di
jalan utama ke Medinah. Jika Rasulullah s.a.w menghendaki, beliau
dapat membawa pasukan beliau sejumlah seribu lima ratus prajurit itu ke
Mekkah dan menduduki kota itu tanpa perlawanan. namun , beliau berniat
untuk berusaha hanya melakukan thawaf di Ka'bah dan itu pun jika kaum
Mekkah mengizinkannya. Beliau hanya akan melawan dan bertempur
dengan kaum Mekkah jika kaum Mekkah memutuskan untuk menyerang
lebih dahulu. Itulah sebabnya mengapa beliau meninggalkan jalan utama
dan berkemah di Hudaibiya. Segera kabar itu sampai kepada panglima
Mekkah yang memerintahkan kepada anak buahnya untuk
mengundurkan diri dan mengambil kedudukan dekat Mekkah. Kemudian
kaum Mekkah mengutus seorang pemimpin, Budail namanya, untuk
berunding dengan Rasulullah s.a.w.. Rasulullah s.a.w. menerangkan
kepada Budail bahwa beliau dan kaum Muslimin hanya ingin melakukan
thawaf di Ka'bah; namun , jika kaum Mekkah menghendaki perang kaum
Muslimin pun sudah siap. Maka Urwa, menantu Abu Sufyan, pemimpin
Mekkah, menjumpai Rasulullah s.a w.. Ia bersikap sangat kurang ajar. Ia
menyebut kaum Muslimin gelandangan-gelandangan dan sampah-
sampah masyarakat, dan mengatakan bahwa kaum Mekkah tidak akan
mengizinkan kaum Muslimin memasuki Mekkah. Makin banyak kaum
Mekkah datang untuk mengadakan pembicaraan dan kata terakhir
mereka ialah bahwa sedikitnya pada tahun itu mereka tidak akan
mengizinkan kaum Muslimin melakukan thawaf sekalipun. Kaum
Mekkah akan terhina jika mereka mengizinkan thawaf pada tahun itu.
Tahun berikutnya boleh mereka melaksanakannya.
Beberapa suku yang bersekutu dengan kaum Mekkah
menganjurkan dengan sangat kepada para pemimpin Mekkah supaya
mengizinkan kaum Muslimin berthawaf. Pada pokoknya, yang mereka
hendaki hanya hak berthawaf. Mengapa hal ini pun akan mereka
rintangi? namun , kaum Mekkah tetap bersikepala batu. sebab itu para
pemimpin suku itu berkata bahwa kaum Mekkah tidak menghendaki
perdamaian dan mengancam akan memisahkan diri dari mereka. sebab
takutnya, kaum Mekkah dibujuk mengadakan persetujuan dengan kaum
Muslimin. Segera sesudah Rasulullah s.a.w. mendapat kabar mengenai hal
itu, beliau mengutus Utsman (yang kemudian menjadi Khalifah ketiga)
kepada kaum Mekkah. Utsman memiliki banyak sanak-saudara di
Mekkah. Mereka datang dan mengerumuninya serta menawarkan
kepadanya untuk berthawaf. Rasulullah s.a.w. melakukannya sampai
tahun berikutnya.
"namun ," kata Utsman, "aku tidak mau berthawaf kecuali beserta
majikanku." Pembicaraan Utsman dengan para pemimpin Mekkah jadi
berlarut-larut. Desas-desus disebarkan bahwa Utsman telah mati
terbunuh. Berita itu sampai kepada Rasulullah s.a.w.. sebab itu
Rasulullah s.a.w. mengumpulkan para Sahabat dan bersabda, "Jiwa
seorang utusan dipandang suci oleh segala bangsa. Aku telah mendengar
bahwa kaum Mekkah telah membunuh Utsman. Jika hal itu benar, kita
harus masuk ke Mekkah, apa pun akibatnya."
Niat Rasulullah s.a.w. yang sedianya masuk ke Mekkah dengan
damai harus diubah sebab keadaan berubah. Rasulullah s.a.w.
meneruskan, "Mereka yang berjanji dengan khidmat bahwa jika harus
terus maju, mereka tidak akan kembali kecuali sebagai pemenang;
baiklah tampil ke muka dan bersumpah di tanganku." Sesaat saat
Rasulullah selesai bersabda, para Sahabat yang seribu lima ratus itu
bangkit semua dan lompat-melompati kawan, berebut menyambut tangan
Rasulullah s.a.w. dan mengangkat sumpah. Sumpah itu memiliki
kepentingan istimewa dalam sejarah Islam di zaman awal.
Sumpah itu disebut "Sumpah Pohon". saat sumpah diambil,
Rasulullah s.a.w. sedang duduk di bawah sebuah pohon. Tiap-tiap orang
yang mengangkat sumpah pada waktu itu tetap merasa bangga sampai
akhir hidupnya. Dari jumlah seribu lima ratus yang hadir pada peristiwa
itu, tak seorang pun yang tertinggal. Mereka semua berjanji bahwa jika
utusan Muslimin itu dibunuh, mereka tidak akan pulang. Baik mereka
akan menduduki Mekkah sebelum senja, atau semuanya akan mati dalam
pertempuran. Angkat sumpah belum lagi selesai, maka Utsman kembali.
Ia melaporkan bahwa kaum Mekkah tidak men