Tampilkan postingan dengan label sain Alquran 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sain Alquran 1. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 November 2024

sain alquran 1



 Al-Quran–sebagaimana didefinisi￾kan para ulama uṣūl–adalah firman 

Allah sebagai mukjizat yang diurunkan 

kepada Nabi Muhammad saw. melalui 

malaikat Jibril, dituliskan dalam mushaf 

dimulai dari surat al-Fātiḥah dan di￾akhiri dengan surat al-Nās.1 Dengan 

tegas dinyatakan dalam al-Quran bahwa 

fungsinya yang utama adalah sebagai 

petunjuk bagi manusia dan memberi 

keterangan-keterangan serta sebagai 

pembeda antara hak dan batil (QS. al￾Baqarah [2]: 185). 

Tidak diragukan lagi al-Quran

tidak hanya mengandung keterangan 

tentang hukum, sosial dan moral,

melainkan juga berisi banyak ayat yang 

berkaitan dengan hakekat ilmu pengeta￾huan, dan bagaimana mem-perolehnya

serta bagaimana meman-faatkan ilmu 

pengetahuan tersebut untuk kemas￾lahatan manusia di dunia ini. Al-Quran 

menegaskan bahwa ilmu Allah itu tak 

terbatas (infinif dan ab-solut) yang 

digambarkan dalam al-Qur-an sebagai 

berikut: 

Katakanlah: “Sekiranya lautan men￾jadi tinta untuk (menulis) kalimat￾kalimat Tuhanku, sungguh habislah 

lautan itu sebelum habis (ditulis) 

kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun 

Kami datangkan tam-bahan sebanyak 

itu (pula).” (QS. Al-Kahfi [18]: 109).

Dan seandainya pohon-pohon di bumi 

menjadi pena dan laut (menjadi tinta), 

ditambahkan kepadanya tujuh laut 

(lagi) sesudah (kering)nya, niscaya 

tidak akan habis-habisnya (ditulis-

kan) kalimat Allah. Sesungguhnya 

Allah Maha Perkasa lagi Maha 

Bijaksana. (QS. Luqman [31]: 27).

Yang dimaksud dengan kalimat 

Allah dalam ayat tersebut adalah ilmu￾Nya dan hikmahnya. Betapa luas dan 

tak terhingga kandungan ilmu penge￾tahuan dalam kalam Allah al-Quran. Al￾Quran tidak hanya sebagai sumber ilmu

teologi, fikih dan muamalah. Akan tetapi

al-Quran adalah sebagai kitab kumpul￾an ilmu pengetahuan dan al-Quran telah 

lama menjadi pedoman pada universi￾tas al-Azhar Mesir dan universitas￾universitas Islam di seluruh dunia me￾megang peranan penting sebagai dasar 

seluruh kurikulum dan pengajaran.2

Demikian al-Quran agar menjadi obyek 

pemikiran bagi manusia ayat demi ayat 

untuk menggali ilmu pengetahuan dan 

hikmahnya. Sebagaimana firman Allah 

swt: Ini adalah sebuah kitab yang Kami 

turunkan kepadamu penuh dengan 

berkah supaya mereka memperhatikan 

ayat-ayatNya dan supaya mendapat 

pelajaran orang-orang yang mempunyai 

pikiran. (QS. Ṣād [38]: 29). Dengan 

demikian, al-Quran sangat mendorong 

manusia agar memperhatikan dan me￾mikirkan alam semesta agar mengetahui 

rahasia dan hikmah serta tujuan di￾ciptakan alam semesta ini (QS. al-A‘rāf 

[7]: 185). 

Tulisan ini lebih lanjut akan 

mengkaji konsep ilmu dalam al-Quran,

ditinjau dari sudut pandang filsafat. 

Kerangka yang dipakai untuk 

menganalisis tema ini adalah kerangka 

pemikiran filsafat. Dalam paradigma

filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi 

dalam tiga dimensi; pertama, dimensi 

epistemologis, yakni kajian filsafat dari 

aspek bagaimana cara memperoleh ilmu 

pengetahuan. Bagian filsafat ini disebut 

teori ilmu pengetahuan, yaitu meto￾dologi untuk mendapatkan ilmu penge￾tahuan, atau cara mendapatkan pengeta￾huan yang benar; kedua, dimensi 

ontologis, yakni cabang filsafat yang 

membahas tentang objek kajian ilmu 

pengetahuan, atau hakikat segala yang 

menjadi kajian ilmu; dan ketiga, dimensi 

aksiologis, yakni cabang filsafat yang 

membahas tentang tujuan dan nilai guna 

serta nilai manfaat ilmu pengetahuan. 

Bagian filsafat ini lebih dikenal dengan 

teori nilai.

3 Dan bagaimana peranan￾nya dalam membangun sains Islam di 

perguruan tinggi Islam khususnya dan 

di dunia Islam pada ummnya. 

B. Epistemologi Al-Quran

Dalam uraian ini, epistemologi al￾Quran dibagi ke dalam tiga pokok 

pembahasan yang penting. Pertama

dimentasi epistimologi ilmu pengeta￾huan menurut al-Quran yakni suatu 

kajian filsafat dari aspek bagaimana 

metode memperoleh ilmu pengetahuan. 

Dalam kajian filsafat disebut teori ilmu 

pengetahuan yaitu metodologi untuk 

memperoleh ilmu pengetahuan menu￾rut al-Quran. Kedua dimensi ontologi 

yakni bidang filsafat yang membahas 

obyek ilmu pengetahu-an atau hakekat 

segala hal yang menjadi obyek kajian

ilmu pengetahuan. Ketiga dimensi tujuan dan nilai guna serta mamafaat dari 

pada ilmu pengetahuan.

4

Al-Quran telah menyampaikan 

pesan-pesan tentang ilmu pengetahuan 

dengan menggunakan term-term yang 

bervariasi yaitu dengan kata العلم (ilmu 

pengetahuan) berjumlah 844 kata de￾ngan macam bentuk kata secara 

يعلم - علما –العالم معلوم semantik misalnya

 dan kata deviriasi العالمين العلماء علم-

lainnya seperti “الحكمة” (kebenaran ) 

dan المعرفة (ilmu pengetahuan). Untuk 

lebih jelasnya term-term tersebut akan 

diuraikan berikut ini : 

Pertama kata Al-‘Ilm ( العلم)

Al-Quran menyampaikan kata 

ilmu yang memiliki beberapa makna 

yang berbeda karena perbedaan kon￾teks ayat namun makna subtansinya 

sama. Ilmu berarti mengetahui sesuatu, 

ada dua makna yaitu mengetahui zat 

sesuatu dan mengetahui sifat sesuatu. 

Dalam bahasa Arab kata ‘alima di￾sandarkan kepada satu obyek (maf’ūl) 

dan yang kedua kepada dua obyek 

(maf’ūlain). Ilmu ada dua macam yaitu 

pertama pengetahuan teoritis (naẓari),

yaitu pengetahuan tentang sesuatu 

misalnya pengetahuai tentang adanya 

alam. Kedua pengetahuan praksis, yaitu 

pengetahuan itu tidak sempurna kecuali 

setelah mengaplikasikannya, misalnya 

pengetahuan tentang ibadah.5

Di samping makna tersebut kata 

ilmu dari sisi lain ada dua macam ilmu 

yaitu ilmu samā’i (wahyu) atau naqli, 

yakni ilmu pengetahuan yang diperoleh 

secara langsung dari Allah seperti wah￾yu dan ilham. Kata ilmu berasal dari

kata i’lam yang berarti pemberitahuan 

dan ilmu aqli (penalaran ) yaitu ilmu 

pengetahuan yang diperoleh melalui 

proses pembelajaran secara berulang￾ulang sehingga tertanam dalam akal dan 

jiwa. Kata ilmu ini beasal dari kata 

ta’allum yang berarti pembelajaran.6

Dengan demikian ilmu pengetahuan 

menurut al-Quran ada dua macam yaitu 

ilmu pengetahuan yang diperoleh se￾cara langsung dari Allah melalui wahyu 

dan ilham dan ilmu pengetahuan yang 

diperoleh melalui proses pembelajaran. 

Meskipun demikian kedua-duanya ber￾asal dari Yang Maha Mengetahui, Allah 

swt. Karena ilmu merupakan sifat Allah 

yang utama yang memilki ta’alluq atas 

sesuutu yang maujud sedangkan ilmu 

pengetahuan juga obyeknya segala 

sesautu yang maujud.

Berikut ini di antara ayat-ayat 

tentang ilmu pengetahuan dalam al￾Quran:

Dan siapkanlah untuk menghadapi 

mereka kekuatan apa saja yang kamu 

sanggupi dan dari kuda-kuda yang 

ditambat untuk berperang (yang 

dengan persiapan itu) kamu meng￾gentarkan musuh Allah dan musuhmu 

dan orang orang selain mereka yang 

kamu tidak mengeta-huinya; sedang 

Allah mengetahuinya. Apa saja yang 

kamu nafkah-kan pada jalan Allah 

niscaya akan dibalasi dengan cukup 

ke-padamu dan kamu tidak akan 

dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfāl 

[8]: 60).

(Ingatlah), hari di waktu Allah me￾ngumpulkan Para Rasul lalu Allah 

bertanya (kepada mereka): "Apa

jawaban kaummu terhadap (seru￾an)mu?". Para Rasul menjawab

Tidak ada pengetahuan Kami (ten￾tang itu); sesungguhnya Engkaulah 

yang mengetahui per-kara yang

ghaib" (QS. al-Mā’idah [5]: 109).

Sesungguhnya Allah telah memberi 

karunia kepada orang-orang yang 

beriman ketika Allah mengutus 

diantara seorang Rasul dari golongan 

mereka sendiri, yang membacakan 

kepada mereka ayat-ayat Allah, 

membersihkan (jiwa) mereka, dan 

mengajarkan kepada mereka Al kitab 

dan al-Ḥikmah. dan Sesungguhnya 

sebelum (ke-datangan Nabi) itu, 

mereka adalah benar-benar dalam 

kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran 

[3]: 164).

Bacalah dengan (menyebut) nama 

Tuhanmu yang menciptakan; Dia 

telah menciptakan manusia dari 

segumpal darah. Bacalah, dan 

Tuhanmulah yang Maha pemurah, 

yang mengajar (manusia) dengan 

perantaran kalam, dan meng-ajarkan 

suatu yang belum di-ketahuinya (QS. 

al-‘Alaq [96]: 1-5).

Kedua kata Ḥikmah (الحكمة)

Al-Quran dalam beberapa ayatnya

menggunakan kata ḥikmah, yang 

“حكم ـ يحكم ـ حكما” berasal dari kata jadian

artinya “kokoh, mengikat”, dan arti 

mufradatnya adalah memperoleh suatu 

kebenaran dengan ilmu dan akal. Al-

Ḥikmah dari sisi Allah sebagai Al- Ḥākim

artinya Allah mengetahuai segala 

sesuatu dan menciptakannya dengan 

sangat kokoh, sedangkan dari sisi

manusia ḥikmah artinya “manusia 

mengetahui segala yang maujud dan 

dapat melakukannya kebajikan.”

7 Demi￾kian makna ini sebagaimana Allah telah

memberikan ḥikmah kepada Luqman 

dalam firman-Nya:

Dan sesungguhya telah Kami berikan 

ḥikmah kepada Luqman, yaitu: 

"Bersyukurlah kepada Allah; dan 

barangsiapa yang bersyukur (kepada 

Allah), maka sesungguh-nya ia 

bersyukur untuk dirinya sendiri; dan 

barangsiapa yang tidak bersyukur, 

maka sesungguh-nya Allah Maha Kaya 

lagi Maha Terpuji". (QS. Luqman [31]: 

12).

Sebagai kata jadian dari ḥikmah

adalah al-ḥukmu dan al-ḥakīm, makna 

al-ḥukmu lebih umum daripada ḥukmun

karena setiap ḥikmah ada hukum dan 

tidak setiap hukum ada ḥikmah. Karena

hukum adalah memutuskan sesuatu atas 

sesuatu yang lain. Namun kadang kata 

ḥukmun berarti hikmah. Sebagaimana 

firman Allah:

Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka 

sesorang Rasul dari ka-langan 

mereka, yang akan membacakan 

kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan 

mengajarkan kepada mereka al-Kitāb

(al-Quran) dan al-Ḥikmah (al-Sunnah) 

serta mensucikan mereka. Sesung￾guhnya Engkaulah yang Maha Kuasa 

lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah 

[2]: 129).

Dalam ayat tersebut kata ḥikmah 

berarti sunnah. Dengan demikian, Nabi 

Muhammad saw menerima al-Kitāb

yakni al-Quran dan al-Ḥikmah yakni 

sunnah Nabi. Keduanya merupakan 

pengetahuan yang langsung dari Allah, 

demikian juga para rasul sebelumnya.

Di tempat yang lainnya, al-Ḥikmah

adakalanya disebut karena menerangi 

jalan dihadapan orang-orang beriman, 

dan adakalanya disebut al-furqān

karena ḥikmah dapat membedakan an￾tara hak dan batil antara baik dan buruk 

dan antara benar dan salah. Ini dapat 

disimak dari ayat berikut:

Hai orang-orang yang beriman (ke￾pada para rasul), bertakwalah kepada 

Allah dan berimanlah kepada Rasul￾Nya, niscaya Allah memberikan 

rahmat-Nya kepada-mu dua bagian, 

dan menjadikan untukmu cahaya 

yang dengan cahaya itu kamu dapat 

berjalan dan Dia mengampuni kamu. 

dan Allah Maha Pengampun lagi Maha 

Penyayang. (QS. al-Ḥadīd [57]: 

Ketiga kata al-Ma’rifah ( المعرفة )

عرف يعرف عرفا معرفة Berasal dari

 berarti mengeahui atau mengenal 

,ma’rifah atau irfan berarti mengetahui 

sesuatu dengan berfikir atau tadabbur 

terhadap dampaknya misalnya berfikir 

tentang ke mahakuasaan Allah melalui 

ciptaan-Nya. Al-Ma’rifah lebih khusus 

daripada ilmu kebalikannya adalah ing￾kar sedang ilmu (tahu) kebalikannya 

jahlu (bodoh). Dikatakan “ia ma’rifat 

kepada Allah” tidak dikatakan “ia 

mengetahui Allah”. Manusia ma’rifat 

kepada Allah dengan men-tadabbur 

ciptaan-Nya atau firman-Nya akan 

tetapi tidak mengetahui zat-Nya. 8

Menurut para filosof (filsuf)

ma’rifat adalah hasil dari interaksi hu￾bungan antara zat yang dima’rifati 

dengan dengan obyeknya, berbeda de￾ngan ilmu sekiranya ma’rifat terjadi 

pada satu waktu adanya hubungan 

yang kuat antara keduanya. Ilmu 

pengetahuan dengan ma’rifat adalah 

ilmu pengetahuan tanpa perantara 

antara zat dan obyeknya seperti ilham

atau ‘irfān (pengetahuan yang langsung 

dari Allah).9

Al-Quran tidak menyebutkan 

secara eksplisit kata ma’rifat tetapi 

menyebutkan kata kerjanya (fi‘il) 

sebagaimana dalam ayat berikut: 

Dan setelah datang kepada mere-ka 

al-Quran dari Allah yang membenar￾kan apa yang ada pada mereka, 

padahal sebelumnya mereka biasa 

memohon (keda-tangan Nabi) untuk 

men-dapat kemenangan atas orang￾orang ka-fir, maka setelah datang 

kepada mereka apa yang telah mereka 

ketahui, mereka lalu ingkar kepada￾nya. Maka laknat Allah-lah atas orang￾orang yang ingkar itu. (QS. al-Baqarah 

[2]: 89).

Dan saudara-saudara Yusuf da-tang 

(ke Mesir) lalu mereka masuk ke 

(tempat)nya. Maka Yusuf me-ngenal 

mereka, sedang mereka tidak kenal 

(lagi) kepadanya (QS. Yūsuf [12]: 

58).10

Hai anakku, dirikanlah salat dan 

suruhlah (manusia) mengerjakan 

yang baik dan cegahlah (mereka) dari 

perbuatan yang mungkar dan 

bersabarlah terhadap apa yang 

menimpa kamu. Sesungguhnya yang 

demikian itu Termasuk hal-hal yang 

diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman 

[31]: 17).

Dari uraian tersebut di atas dapat 

diambil kesimpulan bahwa ilmu penge￾tahuan dalam perspektif disebutkan 

dalam tiga term yaitu: ‘ilm, ḥikmah, dan ma’rifah. Ketiga macam term tersebut 

menurut konteksnya menunjukkan tiga 

macam model ilmu pengetahuan; 

pertama, ḥikmah adalah ilmu penge￾tahuan yang langsung Allah anugerah￾kan kepada hamba pilihan-Nya seperti 

para nabi dan rasul serta orang-orang 

saleh yang mendapat ilham dari Allah.

Kedua, ma’rifah adalah ilmu pengeta￾huan yang diperoleh melalui tadabbur 

dan tafakkur terhadap aya-ayat ciptaan 

Allah dan firman-Nya. Ketiga, ‘ilm

adalah ilmu pengetahuan yang di￾peroleh melalui proses pembelajaran 

atau ilmu pengetahuan kasb (hasil 

usaha). Ketiga macam ilmu pengetahuan 

tersebut pada hakekatnya adalah suatu 

kesatuan karena berasal dari Allah.

Inilah yang merupakan faktor ontologi 

ilmu pengetahuan menurut al-Quran. 

Selanjutnya akan di uraikan faktor 

metodologi memperoleh ilmu pengeta￾huan.

C. Metode Memperoleh Ilmu Penge-

 tahuan

Setiap manusia yang dilahirkan ke 

dunia ini, Allah telah memberikan 

potensi dalam diri manusia untuk dapat 

memperoleh ilmu pengetahuan. Walau￾pun secara sunnatullah ketika lahir 

manusia tidak mengetahui apa-apa, 

namun kemudian Allah memberinya 

indera pendengaran, penglihatan dan 

akal. Dengan anugerah Allah ini 

manusia berpotensi memiliki dan 

mengembang-kan ilmu pengetahuan 

apabila ia dapat mengaktualisasikan 

anugerah Allah tersebut. Ini dijelaskan 

oleh Allah dalam ayat-ayat-Nya di 

bawah ini: 

dan Allah mengeluarkan kamu dari 

perut ibumu dalam keadaan tidak 

mengetahui sesuatu pun, dan Dia

memberi kamu pendengaran, peng￾lihatan dan hati, agar kamu ber￾syukur. (QS. al-Naḥl [16]: 78).

Dari sini pentingnya peran 

pendidikan dan pengajaran bagi setiap 

anak yang dilahirkan untuk me￾ngembangkan potensi asal yang di￾milikinya. Allah telah memberikan akal 

kepada manusia sebagaimana memberi￾kan untuk membedakan antara yang 

baik dan yang buruk. Karenanya, 

pendidikan berperan untuk mengarah￾kan manusia ke jalan yang baik dan 

benar dan mengembangkan ilmu pe￾ngetahuannya.11

Al-Quran al-Karim telah memberi￾kan petunjuk untuk memperoleh ilmu 

pengetahuan dengan metode ilmiah 

dan praktis, bukan berdasarkan teori 

perdebatan dan berdasarkan asumsi 

yang bertentangan dengan akal sehat. 

Metode praksis memperoleh ilmu 

pengetahuan berdasarkan kepada dua 

metode. Pertama, metode simā’i, yakni 

kita mengambil manfaat hasil penelitian 

orang lain baik mereka para peneliti 

dahulu atau mereka semasa dengan 

kita yang kemudian memanfaatkan 

hasil penelitian mereka. Metode ini 

tersyirat dalam firman Allah:

Sesungguhnya pada yang demikian itu 

benar-benar terdapat peringat-an 

bagi orang-orang yang mempu-nyai 

akal atau yang me-nggunakan 

pendengarannya, se-dang Dia 

menyaksikan-nya. (QS. Qāf [50]: 37).

Dengan landasan ini hendaknya 

setiap generasi mengajarkan kepada 

generasi berikutnya ilmu pengetahuan 

yang mereka peroleh dari generasi 

sebelumnya atau hendaknya orang-

orang berilmu mengajarkan kepada 

yang tidak berilmu, dengan demikian 

terdapat kemajuan ilmu pengetahuan 

ke jalan peningkatan dan kesempurna￾an. Karena itu, tidak ada jaminan 

kemajuan ilmu pengetahuan jika tidak 

menekankan beberapa hal sebagai 

berikut:12

Pertama, hendaknya orang 

berilmu tidak menutupi ilmu penge￾tahuan yang telah diperolehnya. Karena 

ilmu pengetahuan ini bukan miliknya 

sendiri karena ilmu pengetahuan itu 

adalah petunjuk dan anugerah Allah. 

Hadis Nabi menegaskan bahwa orang 

berilmu apabila ditanya tentang ilmunya 

kemudian ia menutupi maka ia diancam 

siksaan belenggu dalam neraka pada 

hari kiamat, dan Allahpun sesungguhnya 

sudah mengintakan hal ini.

Sesungguhnya orang-orang yang 

menyembunyikan apa yang telah 

Kami turunkan berupa kete-rangan￾keterangan (yang jelas) dan petunjuk, 

setelah Kami menerangkannya 

kepada manusia dalam al-Kitāb, 

mereka itu dilaknati Allah dan 

dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) 

yang dapat melaknati, kecuali mereka 

yang telah taubat dan mengadakan 

perbaikan dan menerangkan (ke￾benaran), Maka terhadap mereka 

Itulah aku menerima taubatnya dan 

Akulah yang Maha menerima taubat 

lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqarah

[2]: 160).

Kedua, ilmu pengetahuan adalah 

amanah maka hendaknya menyampai￾kan ilmu pengetahuan dengan jelas 

tidak terkontaminasi dan tidak meng-

ubah dan tidak mengurangi, sebagai￾mana firman Allah:

Dan janganlah kamu campur adukkan 

yang hak dengan yang batil dan 

janganlah kamu sembu-nyikan yang 

hak itu, sedang kamu mengetahui.

(QS. al-Baqarah [2]: 42).

Ketiga, ilmu pengetahuan adalah 

milik kemanusiaan secara kolektif. Allah 

tidak mengutus beberapa rasul kecuali

mereka mengajarkan dan membimbing 

umat baik dengan wahyu yang di￾terimanya maupun dengan keteladanan 

yang baik, mereka tidak menuntut upah 

karena menentukan syarat upah dalam 

pengajaran adalah bertentangan de￾ngan prinsip Islam sebagaimana firman 

Allah:

Ikutilah orang yang tiada minta balas￾an kepadamu; dan mereka adalah 

orang-orang yang men-dapat 

petunjuk. (QS. Yā Sīn [36]: 21).

Keempat, tidak menyia-nyiakan 

waktu untuk berdebat baik dari pihak 

pengajar maupun para peserta didik, 

sebagaimana firman Allah:

Dan jika mereka membantah kamu, 

maka katakanlah: "Allah lebih menge￾tahui tentang apa yang kamu kerja￾kan". (QS. al-Ḥajj [22]: 68).

Kelima, menerima suatu kebenar￾an yang didasarkan pada argumen yang 

kuat. Al-Quran mencela orang-orang 

yang menolak kebenaran tanpa alasan, 

sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya Setiap kali aku 

menyeru mereka (kepada iman) agar 

Engkau mengampuni mereka, mereka 

me-masukkan anak jari mereka ke 

dalam telinganya dan menutupkan 

bajunya (kemukanya) dan mereka 

tetap (mengingkari) dan menyo￾o￾mbongkan diri dengan sangat. (QS. 

Nūḥ [71]: 7).

Keenam, menerima sesuatu yang 

bermanfaat dan meninggalkan pemba￾hasan yang berkepanjangan tanpa dasar 

yang kuat. 

Dan orang-orang yang menjauh-kan 

diri dari (perbuatan dan perkataan) 

yang tiada berguna. (QS. al-Mu’minūn 

[23]: 3).

Ketujuh, menyeleksi ilmu penge￾tahuan yang membawa kemaslahatan 

bagi peradaban manusia.

Dan orang-orang yang menjauhi 

Ṭaghūt (yaitu) tidak menyembah-nya

dan kembali kepada Allah, bagi 

mereka berita gembira; sebab itu 

sampaikanlah berita itu kepada 

hamba-hamba-Ku, yang men￾dengarkan perkataan lalu mengi-kuti 

apa yang paling baik di antaranya. 

Mereka itulah orang-orang yang telah 

diberi Allah petunjuk dan mereka 

itulah orang-orang yang mempunyai 

akal. (QS. al-Zumar [39]: 17-18).

Kedelapan, teliti dan cermat dalam 

menerima ilmu pengetahuan yang 

sampai kepada kita, dan keharusan 

bertanya kepada orang-orang berilmu 

apabila tidak mengetahuinya.

Kami tiada mengutus rasul-rasul 

sebelum kamu (Muhammad),

melainkan beberapa orang laki-laki 

yang Kami beri wahyu kepada 

mereka, maka tanyakanlah olehmu 

kepada orang-orang yang berilmu, 

jika kamu tidak mengetahui. (QS. al￾Anbiyā [21]: 7).

Kedua, metode tajribī. Melakukan 

penelitian dan eksperimen yang di￾dasarkan kepada pemikiran yang logis. al-Quran telah memberikan petunjuk 

bagaimana melakukan pemikiran 

dengan dasar-dasar sebagai berikut: 

1) Hendaknya kita membebaskan 

pikiran dari asumsi-asumsi dan 

tradisi yang membelunggu pikiran 

kita dari para nenek moyang dan 

lingkungan di mana kita hidup sejak 

masa kanak-kanak. Dengan demikian 

kita dapat berpikir dengan bebas. Dan 

hendaknya meragukan sesuatu infor￾masi yang datang sebelum melaku￾kan klarifikasi sampai kita meyakini 

kebenarannya.

2) Hendaknya kita menggunakan indera 

dan akal sekaligus dalam melakukan 

penelitian baik bersifat empirik 

maupun non-empirik. Karena ke￾duanya saling melengkapi. Keduanya 

tidak dapat dipisahkan atau berbeda 

dengan para filosuf aliran empi￾risme dan rasioalisme yang membe￾dakan antara indera dan akal. Ini 

merujuk firman Allah:

Sesungguhnya Kami jadikan untuk 

(isi neraka Jahannam) kebanyakan 

dari jin dan manusia, mereka 

mempunyai hati, tetapi tidak 

dipergunakannya untuk memahami 

(ayat-ayat Allah) dan mereka 

mempunyai mata (tetapi) tidak 

dipergunakannya untuk melihat 

(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan 

mereka mempunyai telinga (tetapi) 

tidak diperguna-kannya untuk 

mendengar (ayat-ayat Allah). Me￾reka itu sebagai binatang ternak, 

bahkan mereka lebih sesat lagi. 

Mereka itulah orang-orang yang 

lalai. (QS. al-A‘rāf [7]: 179).

3) Allah mengingatkan kepada 

manusia bahwa dalam diri manusia 

terdapat anugerah Allah yang rahasia 

selain indera dan akal anugerah ini 

disebut al-Ḥikmah, yaitu sebagai￾mana diungkapkan oleh ahli sufi de￾ngan ‘hati nurani’ dan oleh para 

filosuf disebut al-hadas (indera 

keenam), yakni kemampuan menge￾tahui sesuatu yang tidak terjangkau 

oleh indera dan akal secara bersama￾sama apa dibalik yang diketahui dan 

apa dibalik kenyataan yang dapat 

diindera. Allah telah memberikan 

anugerah ini kepada hamba-hamba￾Nya yang dikehendaki.13 Allah 

berfirman:

Allah menganugerahkan al-Ḥikmah

(kepahaman yang dalam tentang al￾Qurandan al-Sunnah) kepada siapa 

yang dikehendaki-Nya; dan barang￾siapa yang dianugerahi hikmah, ia 

benar-benar telah dianugerahi 

karunia yang banyak; dan hanya 

orang-orang yang berakallah yang 

dapat mengambil pelajaran (dari 

firman Allah). (QS. al-Baqarah [2]: 

269).

Sesungguhnya telah Kami beri-kan 

hikmah kepada Luqman, yaitu: 

"Bersyukurlah kepada Allah, dan 

barangsiapa yang bersyukur 

(kepada Allah), maka sesungguhnya 

ia bersyukur untuk dirinya sendiri; 

dan barangsiapa yang tidak bersyu￾kur, maka sesungguhnya Allah Maha 

Kaya lagi Maha Terpuji". (QS. 

Luqman [31]: 12).

Demikianlah metode memper￾oleh ilmu pengetahuan dan tahapan￾nya yang dideskripsikan al-Quran

dalam ayat–ayatnya dengan jelas be￾berapa abad sebelum para filosof mene￾mukannya. Al-Quran menegaskan bah￾wa metode memperoleh ilmu penge-

tahuan dengan mengaktualisasikan anu￾gerah Allah kepada manusia berupa 

indera dan akal. Di samping yang itu 

ada anugerah Allah yang amat isti￾mewa yaitu anugrah hikmah atau 

cahaya ilahi atau ‘irfān yang Allah 

berikan kepada hamba-Nya yang 

dikehendaki.

D. Membangun sains islam 

Ilmu pengetahuan Islam (Islamic 

science) hendaknya dibangun di atas 

fondasi pemikiran theolologis atas 

dasar kesatuan ilmu pengetahuan bah￾wa ilmu pengetahuan berkembang di

atas dasar dua ayat, yaitu ayat al￾Matluwah (al-Quran) dan ayat al-Majlu￾wah (alam semesta). Kedua ayat itu 

adalah kalam Allah yang saling ber￾kaitan satu dengan lainnya dan me￾rupakan sumber ilmu pengeahuan yang 

tak terbatas. Apabila tidak demikian 

maka tidak akan terjadi paradigma 

kesatuan ilmu pengetahuan dalam Is￾lam dan selamanya akan terjadi dikho￾tomi ilmu pengetahuan antara ilmu pe￾ngetahuan agama yang ber-dasarkan al￾Quran dan al-Sunnah dan ilmu pengeta￾huan umum yang berdasarkan pada 

hasil kerja empirik intelektual para 

ilmuwan setelah melakukan obsevasi, 

penelitian, eksperimen terhadap feno￾mena alam semesta. Padahal keduanya 

baik ilmu pengetahuan agama atau ilmu 

pengetahuan empirik bersumber dari 

kalām Allah, yaitu ayat al-Matluwah 

dan ayat al-Majluwah.

Al-Quran menekankan pentingnya

ilmu pengetahuan bagi siapa pun. Ia 

merupakan bagian dari milik manusia 

secara kolektf. Dibedakannya Adam 

dengan para malaikat dan diperintah￾kannya mereka bersujud kepadanya 

tidak lain karena Adam mempuyai kele￾bihan dan kemampuan belajar dan 

memperoleh ilmu pengetahuan yang 

diajarkan kepadanya. Maka dengan ilmu 

pengetahuan Adam lebih tinggi dan 

lebih mulia daripada para malaikat dan 

jadi khalifah di muka bumi ini. Hal ini 

mengandung makna bahwa Allah 

memberikan apresiasi dan derajat yang 

tinggi terhadap para ilmuwan. 

Al-Quran memberikan sebutan 

atau gelar “اوتواااعلم” (berilmu penge￾tahuan), ء العلما (para ilmuwan ), بصارا

االوليا (orang memiliki mata hati atau 

nurani), اللباب اولي (berakal) dan lain 

lain. Ini menegaskan kedudukan dan 

penghargaan Allah bagi mereka yang 

memiliki ilmu pengetahuan dan meng￾abdikan ilmunya untuk agama, nusa dan 

bangsanya. Di antra ayat-ayat al-Quran 

tentang kedudukan para ilmuwan se￾bagai berikut: 

Hai orang-orang yang beriman apabila 

dikatakan kepadamu: "Berlapang￾lapanglah dalam maj-lis", maka 

lapangkanlah niscaya Allah akan 

memberi kelapangan untukmu. Dan 

apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", 

maka berdiri-lah, niscaya Allah akan 

meninggi-kan orang-orang yang 

beriman di antaramu dan orang-orang 

yang diberi ilmu pengetahuan 

beberapa derajat. Dan Allah Maha 

menge-tahui apa yang kamu kerjakan.

(QS. al-Mujādilah [58]: 11).

Dan demikian (pula) di antara 

manusia, binatang-binatang melata 

dan binatang-binatang ternak ada 

yang bermacam-macam warnanya 

(dan jenisnya). Sesungguhnya yang 

takut kepada Allah diantara hamba￾hamba-Nya, hanyalah ula-ma. 

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa 

lagi Maha Pengampun. (QS. Fāṭir [35]: 

28).

Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al￾Quran) kepada kamu, di antara 

(isi)nya ada ayat-ayat yang muḥ-

kamāt, itulah pokok-pokok isi al￾Quran dan yang lain (ayat-ayat) 

mutasyābihāt. Adapun orang-orang 

yang dalam hatinya condong kepada 

kesesatan, maka mereka mengikuti 

sebahagian ayat-ayat yang 

mutasyābihāt daripadanya untuk me￾nimbulkan fitnah untuk mencari-cari 

ta'wilnya, padahal tidak ada yang 

mengetahui ta'wil-nya melainkan 

Allah. Dan orang-orang yang 

mendalam ilmunya berkata: "Kami 

beriman kepada ayat-ayat yang 

mutasyābihāt, semuanya itu dari sisi 

Tuhan kami." dan tidak dapat 

mengambil pelajaran (daripadanya) 

melain-kan orang-orang yang berakal.

(QS. Ali Imran [3]: 7).

Ayat yang muḥkamāt ialah ayat￾ayat yang terang dan tegas maksudnya, 

dapat dipahami dengan mudah. Ter￾masuk dalam pengertian ayat-ayat 

mutasyābihāt adalah ayat-ayat yang 

mengandung beberapa pengertian dan 

tidak dapat ditentukan arti mana yang 

dimaksud kecuali sesudah diselidiki 

secara mendalam; atau ayat-ayat yang 

pengertiannya hanya Allah yang menge￾tahui seperti ayat-ayat yang berhubu￾ngan dengan yang ghaib-ghaib misalnya 

ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, 

surga, neraka dan lain-lain.

Sesungguhnya telah ada tanda bagi 

kamu pada dua golongan yang telah 

bertemu (bertempur). Sego-longan 

berperang di jalan Allah dan 

(segolongan) yang lain kafir yang 

dengan mata kepala melihat (seakan￾akan) orang-orang muslimin dua kali 

jumlah mereka. Allah menguatkan 

dengan bantuan-Nya siapa yang 

dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada 

yang demikian itu terdapat pelajaran 

bagi orang-orang yang mempunyai 

mata hati. (QS. Ali Imran [3]: 137).

Makanlah dan gembalakanlah bina￾tang-binatangmu. Sesungguhnya pada 

yang demikian itu, terda-pat tanda￾tanda kekuasaan Allah bagi orang￾orang yang berakal. (QS. Ṭā Hā [20]: 

54).

Itulah beberapa ayat al-Quran 

yang menunjukkan betapa tinggi kedu￾dukan orang-orang berilmu atau para 

ilmuwan dan kenyataannya al-Quran 

itu merupakan kitab ilmu pengetahuan 

juga. 

Apabila kita memperhatikan ayat￾ayat al-Quran yang berkaitan dengan 

ilmu pengetahuan dan ditambahkan de￾ngan keterangan-keterangan dari hadis 

Nabi, maka kita merasakan bahwa se￾olah-olah tujuan hidup kita yang utama 

adalah menambah ilmu penge-tahuan.14

Dengan demikian, membangun sains 

Islam hendaknya berlandaskan kepada 

al-Quran sebagai pa-radigma kesatuan 

ilmu pengetahuan. Sebab, al-Quran 

sebagai firman Allah (kalām Allāh) se￾bagai sifat utama Allah, sebagai sum￾ber segala ilmu pengetahuan manusia

dan ayat al-Majluwah, yakni alam 

semesta yang merupakan ciptaan Allah 

dan sumber ilmu pengetahuan. Oleh 

karena itu, ilmu pengetahuan sebagai 

sarana mengenal Allah dan ketakwaan 

kepada-Nya. Dengan kata lain, semakin 

bertambah ilmu pengetahuan maka 

akan semakin beriman dan bertakwa 

kepada Allah

Materi ilmu pengetahuan yang di￾perintahkan al-Quran untuk dicari dan 

pelajari mencakup seluruh alam dan 

seluruh kehidupan. Hal itu pertama kali 

untuk mengenal dan beriman kepada 

Allah (tauhid), kemudian yang kedua 

untuk mengetahui dan menggali harta 

kekayaan alam semesta dan mengguna￾kannya sebagai sarana untuk mencapai 

kebaikan dan kesejahteraan umat manu￾sia. Tidak ada sesuatu apa pun yang ada 

di dunia ini yang tidak diperintahkan 

oleh al-Quran untuk dipelajari dan 

dipikirkan baik segi material maupun 

spiritual.

Dengan mempelajari dan mema￾hami al-Quran secara mendalam kita 

akan mengetahui betapa al-Quran mene￾kankan pentingnya mempelajari agama

(dīn), sejarah, dan peninggalan umat 

terdahulu, ilmu falak, geografi, psiko￾logi, ilmu kedokteran, ilmu per-tanian,

ilmu biologi, ilmu matematika, ilmu 

sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu bahasa 

arab dan sastraya, dan lain-lain. Yang 

dapat menjamin kehidupan dan kese￾jahteraan ummat manusia serta meni￾nggikan derajatnya.

Al-Quran sering memerintahkan 

kepada kita agar memperhatikan dan 

mengamati fenomena yang terjadi di 

alam semesta ini, awan mengakibatkan 

turun hujan, hujan menumbuhkan tum￾buh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan atau 

tanaman memberi makan kepada bina￾tang dan manusia, dan manusia meman￾faatkan berbagai macam ciptaan Allah 

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Oleh karena itu, ia harus dan wajib 

mengetahui hubungan semua itu kepa￾da Allah Yang Maha Menciptakan dan 

memelihara alam semesta ini.

Al-Quran juga memerintahkan ke￾pada supaya melakukan ekspedisi, me￾nyelidiki dan memperhatikan serta 

memikirkan segala ciptaan Allah. Al￾Quran tidak meletakan batas dan apalagi 

penghalang bagi ilmu pengetahuan. 

Meskipun al-Quran bukan kitab ilmu 

pengetahuan alam atau ilmu pengeta￾huan sosial melainkan kitab petunjuk 

(guide book), namun al-Quran meme￾rintahkan kepada kita untuk mempe￾lajari segala macam ilmu pengetahuan.

Adapun ayat-ayat yang memberi￾kan isyarat terhadap berbagai macam 

ilmu pengetahuan: (1) ilmu agama (QS. 

al-Taubah [9]: 122), (2) ilmu psikologi 

(QS. Fuṣṣilat [41]: 53), (3) ilmu sejarah 

dan arkeologi (QS. Muḥammad [47]: 10), 

(4) biologi, pertanian, dan embriologi 

(QS. al-Ḥajj [22]: 5), (5) ilmu botani dan 

kelautan (QS. Fāṭir [35]: 12), (6) ilmu 

astronomi (QS. Yā Sīn [36]: 37-40), (7) 

ilmu matematika dan eksakta (QS. al￾Jinn [72]: 28), (8) ilmu fisika dan kimia 

(QS. al-Ḥadīd [57]: 25), (9) ilmu geografi 

(QS. al-Żāriyat [51]: 20-21), (10) ilmu 

geologi QS. Fāṭir [35]: 27), dan (11) 

kosmologi dan antropologi (QS. al-Naḥl 

[16]: 3-17). Masih banyak ayat yang 

memberikan isyarat terhadap ilmu 

pengetahuan. Ini menunjukkan dan 

sekaligus mendorong kita untuk 

menggali isyarat ilmu pengetahuan 

dalam al-Quran tersebut untuk 

melakukan penelitian demi kemanusia￾an dan peradaban, dan tentunya 

semakin dekat kepada Allah, Sang 

Pemilik Ilmu Pengetahuan.

E. Kesimpulan 

Epistimologi al-Quran sebagai 

sumber ilmu pngetahuan yang 

berlandasan bahwa Allah telah menu￾runkan dua ayat yaitu ayat Matluwah

(al-Quran) dan ayat al-Majluwah (alam 

semesta) dengan segala fenomenanya.

Keduanya merupakan sumber infor￾masi dan sarana observasi dan eksperi￾men ilmu pengetahuan. Keduanya 

adalah kalām Allah yang tidak terbatas. 

Karena itu, epistemologi al-Quran dari 

aspek ontologi, metodo-logi dan aksio￾logi menunjukkan kesatuan ilmu penge￾tahuan. Dengan demikian tidak ada lagi 

dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu 

pengetahuan umum. 

Kesatuan ilmu pengetahuan yang 

berlandaskan kepada ayat tersebut 

pada akhirya akan menciptakan ilmu 

pengetahuan yang berlandaskan 

keesaan Allah (tauhid). Oleh karena 

itu, ilmu pengetahuan hendaknya di￾jadikan sarana mengenal Allah dan me￾ningkatkan keimanaan dan ketakwaan

ke-pada-Nya. Apabila sudah demikian, 

maka ilmu pengetahuan akan mewu￾judkan kemudahan, kebaikan dan ke￾sejahteraan umat manusia di muka ini.

Kesatuan ilmu pengetahuan dalam

Islam tidak akan dapat dibangun kecuali 

dengan landasan pada ayat al- Matluwah 

dan ayat al-Majluwah sehingga apa pun 

disiplin ilmu hendaknya dilandasi oleh 

epistemologi al-Quran dalam aspek 

ontologi, metodologi dan aksiologinya. 

Jika tidak demikan akan melahirkan 

ilmu pengetahuan sekuler bahkan 

sampai atheis, ilmu pengeta-huan yang 

tidak bertuhan yang akan membawa 

kerusakan dan kebinasaan umat 

manusia di muka bumi ini.