m berdasarkan dua
sumber terpenting Islam yaitu; al-Qur’an dan al-Hadits, kedua, melalui pemikiran
spekulatif mereka sendiri, berdasarkan kekuatan reflektif dan metode pencarian
rasional mereka, termasuk unsur-unsur logika yang diambil filsafat Yunani.
Madzhab Asy’ariyah berpendapat bahwa alam semesta yaitu hadîts (baharu).
Alam menurut mereka, tidak dijadikan dari asyyā’, a’yān, jawāhir, wa a'rād96
(sesuatu, hakikat, jawhar dan ‘aradh), namun Allah menjadikannya dari nihil menjadi
ada (al-ījad min al-‘adam, creato ex nihilo) dengan kodrat dan iradatNya.
Alam, didefinisikan sebagai segala sesuatu selain Tuhan, terdiri dari dua unsur
yang berbedam yaitu atom dan aksiden (‘aradh). Atom yaitu lokus yang memberi
substansi pada aksiden. Sedangkan aksiden tidak dapat eksis dalam aksiden lain namun
hanya dalam atom atau benda yang tersusun atas atom-atom. Sebaliknya sebuah
benda tidak dapat dilepaskan dari aksiden-aksiden, positif atau negatif, seperti warna,
bau, hiidup pengetahuan, atau lawan-lawannya.
Karakteristik utama atom-atom Asy’ariyah: pertama, tidak memiliki ukuran atau
besar (kam), dan homogen. Dengan kata lain, atom-atom itu yaitu entitas tanpa
panjang atau lebar, namun terpadu membentuk benda yang memiliki dimensi. Atom-
atom tidak memiliki ukuran sebab keluasan merupakan sifat ruang fisik, melibatkan
gagasan tentang batas atau permukaan. Kedua, jumlahnya sudah tertentu atau
berhingga, berlawanan dengan semua madzhab atomis Yunani yang percaya bahwa
atom-atom berjumlah tak berhingga, Asy’ariyah menolak ketakberhinggaan atom
berdasarkan ayat al-Qur’an: “Dan Dia menghitung segala sesuatu dengan angka”
(QS. Al-Jinn [72]: 28).
Ketiga, bahwa atom dapat lenyap secara fitrah. Asy’ariyah berpendapat bahwa
atom tidak dapat bertahan untuk dua saat. Pada setiap momen waktu atom itu
mewujud dan melewati eksistensi. Durasi setiap atom (baqa’) yaitu sekejap.
Ketidakmampuan atom-atom dan aksiden-aksiden untuk bertahan lama merupakan
konsekuensi langsung dari keyakinan teologis mereka bahwa Tuhan terlibat secara
langsung bukan hanya dalam mewujudnya sesuatu, namun juga dalam kehadiran
mereka dalam bentuk wujud dari satu saat ke saat lain.
4. Perspektif Filsafat
Dalam sub bab kosmologi perspektif filsafat, setiap tradisi terkait dengan
kosmos ada beberapa perbedaan dalam pendefinisian, paradigmaa, dan makna baik
dalam tradisi filsafat Yunani atau timur atau pun Islam.
a) Filsafat Yunani
Thales (624-546 SM)97 yaitu seorang filsuf yang mengawali sejarah filsafat
Barat pada abad ke-6 SM.98 Pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat
pertama dan disebut sebagai bapak filsafat.99 sebab mencoba menjelaskan dunia dan
gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio
manusia.100Thales tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis mengenai pemikiran
filsafatnya.101 Pemikiran Thales terutama didapatkan melalui tulisan Aristoteles
tentang dirinya. Aristoteles mengatakan bahwa Thales yaitu orang yang pertama
kali memikirkan tentang asal mula terjadinya alam semesta,102 oleh sebab itu Thales
dianggap sebagai perintis filsafat alam (natural philosophy).103
Thales menyatakan bahwa air yaitu prinsip dasar segala sesuatu.104 Air menjadi
pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta.105 Berkat
kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab diluar dirinya, air
mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat mantap dan tak terbinasakan.106 Menurut
Thales air sebagai sumber kehidupan. Argumen Thales terhadap pandangan tersebut
yaitu bagaimana bahan makanan semua mahluk hidup mengandung air dan
bagaimana semua mahluk hidup juga memerlukan air untuk hidup.107 Selain itu, air
yaitu Dzat yang dapat berubah-ubah bentuk (padat, cair dan gas) tanpa menjadi
berkurang.108 Ia juga mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak di atas air.
Bumi dipandang sebagai bahan yang satu kali keluar dari air109 dan kemudian
terapung-apung diatasnya.
Dalam sejarah filsafat Yunani tercatat Phytagoras (570-497 SM)110 merupakan
Tokoh pertama yang memakai istilah “kosmos” sebagai terminologi filsafat.111 Ia
merupakan orang pertama kali mengembangkan bahwa gagasan alam semesta
mengikut hukum-hukum alam yang bersifat kuantitatif. Phytagoras menyatakan
bahwa benda-benda langit, yaitu Matahari, bumi, bulan, terletak pada bola-bola
konsentris (sepusat) yang berputar mengelilingi sumber api sebagai pusat alam
semesta (api pusat). Menurut Phytagoras, keteraturan alam semesta mirip dengan
keteraturan tangga nada pada dawai lira. Ia mengemukakan bahwa, semua benda
langit dalam pergerakannya mendengungkan nada-nada yang hanya didengarkan
oleh orang-orang tertentu saja. Jadi keteraturan merupakan prinsip utama yang
mendasari konsep alam semesta phytagoras.
Socrates (469-399 SM) yaitu filsuf dengan coraknya sendiri. Berbeda dengan
para filsuf sebelumnya yang membahas tentang dunia alamiah, Socrates fokus dalam
moralitas individu, mempertanyakan apa yang membuat kehidupan menjadi baik, dan
membahas pertanyaan sosial dan politik.112 Dia dijadikan tonggak periodisasi filsafat
sebab dia “memindahkan filsafat dan langit ke bumi”; dan persoalan alam ke
masalah manusia. Semasa hidupnya, Socrates tidak pernah meninggalkan karya
tulisan apapun sehingga sumber utama mengenai pemikiran Socrates berasal dari
tulisan para muridnya.113
Aristoteles (384-322 SM) yaitu murid Plato. Tidak hanya menulis filsafat, ia
juga menulis banyak bidang seperti; fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik,
etnis, pemerintahan, biologi dan zoologi.114 Kosmologi Aristoteles sendiri dapat
dikatakan bsebagai kosmologi pertama yang sistematis, melampaui kosmologi-
kosmologi lain pada masanya. Sistem kosmologi Aristoteles dituangkan dalam dalam
buku De Caelo (On Heaven). Aristoteles juga dipandang sebagai orang yang memulai
titik balik dalam ilmu pengetahuan Barat untuk melakukan pengamatan empiris. Ia
membagi kosmos menjadi dua bola langit yakni lingkaran bola langit dalam (sublunar
– di bawah bulan). Di dalam lingkaran bola langit dalam, bumi yaitu pusatnya dan
batas terluarnya yaitu bulan dengan dikelilingi air, udara, dan api.115 Di luar bulan
ada benda-benda langit yang bergerak melingkar. Kawasan sublunar inilah kawasan
yang mengalami hukum-hukum fisika Aristoteles sedangkan kawasan di luar bulan
(sublunar) tidak mengalami hal itu sehingga yang membentuknya pun yaitu hal-hal
yang berbeda dengan pembentuk (elemen-elemen) dari dunia sublunar.116
Alam semesta tidak tanpa batas. Batas terluarnya yaitu lingkaran orbit bintang-
bintang. Namun bintang-bintang sendiri tidak bergerak. Ia diam disitu. Aristoteles
juga mengamati gerhana bulan dan matahari, dari sana ia menyimpulkan bahwa bumi
ini berbentuk bulat.117
b) Filsafat Timur
Ajaran Taoisme mengenai kosmos dipahami sebagai keutuhan yang tergambar
dengan simbol lingkaran. Proses penciptaan alam diawali dengan kekekalan yaitu
“Tao”. Tao ialah jalan menuju kebenaran, maka daripadanya terpancar alam semesta
dan segala yang ada. Konsep ini menganggap Tuhan berada pada segala yang ada
yaitu mahluk. Semua yang ada di dunia ini terdiri dari dua entiti yang berlawanan
yaitu Yin dan Yang. Yang biasa dipahami sebagai prinsip eksistensi yang bersifat aktif
dan represif.118 Yin mewakili alam bumi yaitu alam fisikal dan material sedangkan
Yang mewakili alam langit atau alam spiritual. Yin yaitu negatif, pasif dan terdedah
kepada kemusnahan sedangkan sedangkan Yang yaitu positif, aktif dan konstruktif.
Peranan Yin dan Yang yaitu untuk memasktikan kedua-duanya seimbang dan
harmoni. Yin dianggap wanita dan Yang berwatak lelaki, maka daripadanya terlahir
teori berpasang-pasangan.119
Meskipun Yin dan Yang berlawanan dalam ciri-cirinya, mereka yaitu bersatu.
Tao menimbulkan Yang melalui gerakan, dan gerakan itu menjadi terang ketika
aktivitasnya mencapai puncak. Tao menimbulkan Yin melalui ketenangan.
Demikianlah, pertukaran gerakan dan ketenangan menyusun Yin dan Yang. Kekuatan
yang berlawanan ini selalu mengandung unsur masing-masing, dalam titik terang
Yang selalu terdapat gelap Yin, demikian sebaliknya sehingga keduanya bergantung
satu sama lain. Dari penyatuan Yin dan Yang muncul lima unsur: tanah, air, api, kayu
dan logam.120
Salah satu dokumen suci Hindu yaitu Rg Veda121 berisi dua pandangan dasar
tentang penciptaan alam semesta: yang pertama yaitu bipartit yang terdiri dari langit
(sky) dan bumi (earth); perkawinan keduanya (parent of the word) maka terciptalah
alam yang diilustrasikan seperti halnya dua mangkuk yang menyatu. Pandangan yang
kedua yaitu tripartite yang terdiri dari bumi, atmosfer, dan surga, yang dikenal
dengan istilah three vyakriti. Kirfel berpikir bahwa yang pertama yaitu yang lebih
awal, dan dia mungkin benar; tentu saja itu yaitu tripartisi yang menjadi popular di
kalangan kosmolog kemudian. Kedua pandangan di atas yakni bipartite dan tripartite
kadang berjumlah dua langit dan bumi, kadang berjumlah tiga, bumi, atmosfer, dan
langit, dikatakan masing-masing terdiri dari tiga strata, sehingga totalnya enam atau
sembilan.122
Rg Veda terdapat dua Sukta (himne) yang menguraikan mengenai penciptaan
jagat raya yang disebut Nasadiyasukta123 dan Purusasukta.124 Dalam Nasadiyasukta,
pada sukta pertama menjelaskan bahwa pada mulanya kosong atau tidak ada material
apa pun. Sukta kedua menjelaskan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang bernapas
dengan kekuatan-Nya sendiri. Sedangkan Purusasukta yaitu Sukta yang menjelaskan
kondisi sebelum penciptaan dan pengejawantahan-Nya. Menurut Purusasukta, Tuhan
Yang Maha Esa sendiri yang mengorbankan diri-Nya untuk menciptakan jagat raya
ini, yang penampakkan-Nya di alam semesta dalam wujud materi hanya seperempat
bagian sedang tiga perempat lainnya tidak terjangkau umat manusia.
Dalam nyanyian rohani (RV, X, 129) terdapat satu gagasan yang menjadi umum
dalam literatur Veda yang kemudian yaitu bahwa dunia entah bagaimana memulai
dengan kuman api emas yang muncul di dalam api.125 Nyanyian kosmogonik lainnya
yaitu Puru sasukta (RV, X, 90), Nyanyian Manusia Kosmik, Purusa. Dalam
nyanyian pujian ini para dewa mengorbankan seekor raksasa untuk menciptakan alam
semesta fisik. Dari pusarnya dihasilkan udara; dari kepalanya langit berevolusi; dari
kakinya bumi, dari telinganya perempat: dengan demikian mereka membentuk
dunia.126 Empat perkebunan masyarakat, brahmana, dan lain-lain, masing-masing
dihasilkan dari mulut, lengan, paha, dan kakinya.
Selanjutnya dalam kitab Purana127 terdapat Saga atau proses penciptaan yang
pertama. Teori penciptaan alam semesta (Saga) dikenal dengan Sembilan ciptaan
Sang Hyang Brahma yang dapat diringkas menjadi ciptaan Prakrita (pertama) dan
ciptaan Vaikrita (kedua). Ciptaan Prakrita terdiri dari: Mahat (ciptaan kesadaran
yang tinggi), Tanmatra (ciptaan unsur materi), Vikarika (ciptaan evolusi yakni
penciptaan organ indriya). Sedangkan Ciptaan Vaikrita terdiri dari: Muhkyasarga
(ciptaan yang tidak bergerak), Tiryaksrota (ciptaan makhluk rendahan dan binatang),
Urdhvasrota (ciptaan berupa dewa-dewa dan makhluk sorga), Arvaksrota (ciptaan
umat manusia), Anugrahasarga (kasih sayang devata), Kaumarsarga (penciptaan
putra-putra yang lahir dari pikiran).
Menurut Samkhya (aliran filsafat klasik) semua materi, yang mencakup semua
fenomena mental, tentu saja, kecuali jiwa, berevolusi dari keadaan yang tidak
berbeda, disebut avyaktam; bahwa ada lima unsur material: eter, udara, api, air, dan
bumi, yang muncul pertama kali dalam bentuknya yang paling halus, kemudian
dalam bentuknya yang paling kasar; dan bahwa di sepanjang semua ini ada tiga
prinsip, yang terjalin seperti untaian tali128. Tiga prinsip, yang kembali ke Upanisads
dan memainkan peran besar dalam Bhagavad Gita, yaitu sattva (kebaikan atau
keberadaan), raja (hasrat, energi, dan aktivitas), dan tamas (kegelapan yang juga
merupakan bebdan dan kelembaman).
‘Ketika malam dunia berakhir, Brahma bangun dan dunia keluar darinya. Mula-
mula muncullah dari dirinya makhluk agung (mahad bhutam- netral), yang masih
dianggap sebagai tidak berdiferensiasi (avyaktam). Dari makhluk agung muncul
pikiran (manas), yang sudah menjadi milik ranah dibedakan (vxyaktam). Pikiran
inilah yang kemudian menjadi asal usul unsur-unusr itu. Dari situ muncul eter, dari
angin eter, dari api angin, dari air api dan dari tanah air. Masing-masing elemen ini
memiliki sifat karakteristiknya sendiri: eter memiliki suara, angina terasa, visibilitas
api, rasa air dan bau bumi. namun mereka tidak memiliki sifat-sifat ini sendirian.
Angin dan rasa memiliki suara, air serta rasa memiliki visibilitas, raasa dan suara, dan
bumi serta bau memiliki sifat-sifat lainnya. Ini menyimpulkan penciptaan esensi yang
mendasari di mana semua hal dibentuk, dan penciptaan makhluk hidup dan dunia
dimulai. Pertama kali muncul dewa pencipta Brahma, alias Prajapati. Dia
menciptakan para dewa, para ayah, dan umat manusia; juga dunia dengan semua yang
memenuhi mereka. Akhirnya dia menciptakan Veda dan pengorbanan, tatanan
masyarakat, dan tatanan kehidupan’.
c) Filsafat Islam
Para filsuf muslim disibukkan oleh pertanyaan tentang hubungan Tuhan dan
alam, bagaimana Tuhan menciptakan alam?, apakah alam memiliki permulaan atau
muncul sebab Tuhan ingin menciptakan alam? Kenapa Tuhan menciptakan alam?,
kapan Tuhan menciptkana alam?, materi apa yang Tuhan gunakan untuk menciptakan
alam?.130 Oleh sebab itu ada beberapa teori penciptaan, diantaranya:
Teori emanasi yang diilhami oleh Neoplatonisme131 sebagai terus-menerus tanpa
awal dan tanpa akhir, memberikan gambaran keniscayaan keterikatan segala sesuatu
terhadap jajaran realitas yang lebih tinggi (the higher levels of reality), menyatukan
(determined) pada jajaran yang dibawahnya dalam pola yang lebih logis dan
rasional.Teori ini juga bisa melacak tanda penciptaan (productism) dan penciptaan
ulang (reproductism) pada sumber yang tunggal dan menjelaskan struktur rasional
dibalik penciptaan alam semseta.132 Ada beberapa filsuf muslim yang mengadopsi
teori emanasi-neoplatonisme, diantaranya yaitu filsuf al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu
Sina yang ketiganya menjadi teori emanasi sebagai basis kosmologi. Begitu juga
dengan Filsuf Illuminatif (Suhrawardi) juga terilhami oleh teori Neoplatonisme
dengan menggunakan Simbol Cahaya dalam basis kosmologi.
Emanasi al-Kindi,133 yaitu Tuhan saja sebagai pencipta dan Dia mencipta dari
ketiadaan (exnihilo). Prinsip penciptaan al-Kindi bukan seperti teori emanasi
Aristoteles namun mengadopsi teori Platonius yang mengatakan bahwa yang Maha
Satu yaitu sumber dari segala yang ada dalam alam semesta. Dalam emanasi
Platonius tidak ada akal ke-10. Dunia yaitu emanasi Tuhan, seperti cahaya yang
memancar dari matahari (The Universe is an Emanation From God, The World
Emanation from God as light Emanation from sun).134Alam semesta bukan emanasi
langsung dari Tuhan melalui agen-agen spiritual yang bertingkat-tingkat dari tingkat
tertinggi hingga terendah, antara malaikat terendah dan alam materil terdapat
perantara-perantara (between world and sun).135Dalam penjelasan lain, teori emanasi
al-Kindi (al-fayd al-wahdah) dari True First One, satu yang sejati yaitu menuju
eksistensi seluruh objek indera (mahsus), terhadap doktrin ini yaitu bentuk yang
belum sempurna dan tidak ada hierarki-hierarki yang disebutkan.136
Al-Kindi mengharmoniskan jutaan akal dan wahyu, mengaitkan akal Ilahi dan
akal Tuhan melalui Ruh alaminya atau akal aktif. Akal aktif ini yaitu pancaran dari
Allah, hal ini mengikuti pemikiran Platonisme/Neoplatonisme dan menjelaskan
terciptanya alam dengan teori emanasi atau teori Assudur (Teori Kemunculan). Dan
perbuatan Allah tampak di alam melalui perantara-perantara yang lebih atau
mempengaruhi yang dibawah. Dan masing-masing perantara saling bersambung
dengan ketersambungan sebab akibat muncul Allah yang Esa, yaitu akal yang satu
(al-aql al-wahid) atau akal universal (al-aql al-kulli) dan dari akal kulli muncul jiwa
universal, dan dari jiwa universal muncullah planet-planet, bintang-bintang, bumi,
manusia dan alam materi.
Bagi Al-Kindi, satu-satunya sebab yang sejati yaitu Tuhan yang menciptakan
dunia ex nihilo (dari tiada); semua sebab lainnya disebut demikian hanya secara metaforis (bi
al-majaz). Sebab sejati ini, atau sebab pertama, juga disebut sebab tertinggi (ba’idah), sebagai
lawan dari sebab terdekat (qaribah). Dunia langit, dari bulan hingga bola langit terjauh (yaitu,
bola bintang-bintang tetap), sama sekali tidak memiliki atau kosong dari kualitas-kualitas
primer (panas, dingin, basah, dan kering) dan juga terhindar dari penciptaan dan kerusakan
yang hanya ditemukan di dunia sublunar (bawah-bulan) yang tersusun dari empat unsur (api,
udara, air dan tanah). Semua perubahan yang terjadi di alam dunia disebabkan oleh gerak
benda-benda langit, kecepatan dan jaraknya, persesuaian dan pertentangannya. Ini tampak
jelas khususnya dalam kasus matahari yang bahkan mempengaruhi kondisi fisik mahluk hidup
di daerah tropis. Namun, ini semua terjadi hanya atas kehendak pencipta. Ada hubungan erat
antara keempat kualitas primer, keempat unsur, dan keempat musim. Bulan dan planet-palnet
disamping bintang-bintang dan rasi-rasi yang lebih besar, meski pengaruh mereka kurang
terasa, juga memainkan peran penting dalam keberagaman dan variasi musim yang dapat
diamati antara satu tahun dan tahun lainnya. Dengan demikian, bintang-bintang atau bola
langit (falak) yaitu sebab dari semua yang terjadi dan berlangsung di dunia bawah-bulan.
akan namun Al-Kindi menyatakan dengan tegas bahwa semua ini terjad disebabkan oleh
kehendak Tuhan, yang telah mengatur dan menyusunnya demikian.
Doktrin emanasi dalam Teologi Neoplatonik al-Farabi138 mempunyai problem
dasar sejauh menyangkut fikiran kehendak Tuhan. Apakah yang berbuat akal? Perlu
dilacak Teori Ontologi Neoplatonik, yakni konsep emanasi itu sendiri yang
menjelaskan neoplatonisme Farabian. Virtous City “al-Madinah al-Fadhilah” diakui
sebagai master piece “Magnum Opus”. 139 Pembahasan mengenai Teori Politik dan
Sosiologi ala Plato yang tampak dalam bagian-bagian volume ini seluruhnya
didominasi oleh bahasa mengenai Neoplatonisme. Al-Farabi memulai pembahasan
mengenai doktrin emanasinya pada Bab VII dengan judul “Al-Qawl fi Kayfiyyat
Sudur Jami’ al-Mawjudat ‘anhu.”140 Tidak menggunakan istilah “Fayd” tapi
menggunakan istilah “Sudur” pada bagian ini al-Farabi mendefinisikan Tuhan
dengan istilah “Al-awwal” The first sebagai sumber semua wujud. Semua wujud yang
lain berasal darinya, dan inilah yang biasa dipahami sebagai Teori Emanasi
Neoplatonik. Emanasi wujud ini tidak menambah apapun secara absolut pada Allah
atau kesempurnaannya, sebab dia yaitu kesempurnaan total itu sendiri. Dia hadir
untuk diriNya bukan untuk eksistensi yang lain. Bagian selanjutnya tentang hierarki
wujud yang beremanasi dari “The First” dan unsur-unsur pokok dari hierarki
emanasi.141
Tuhan bagi al-Farabi selalu diposisi yang pertama, ia menyebut emanasi yang
pertama selain Tuhan sebagai “The Second” Wujud yang kedua yaitu akal yang
pertama. yaitu substansi immaterial yang mampu memahami yakni esensi akal
yang kedua dan Tuhan sendiri. Akal pertama hanya satu dalam hierarki kompleksnya
al-Farabi yang tidak secara langsung berhubungan langit atau bintang (dunia
kawakib). Struktur penciptaan secara emanasi menurut al-Farabi bisa dijelaskan
sebagai berikut:
Allah Yang Maha Esa memikirkan (ta’aqqul) Dzat-Nya, yang merupakan daya,
dan daya ta’aqqul Allah itu menciptakan Akal Pertama. Obyek ta’aqqul Allah Yang
Maha Esa (ahad) mesti satu pula, yang setara Maha Sempurna dan Esa denganNya,
yakni Dzat-Nya. Hal ini sejalan dengan prinsip ciptaan emanasi: dari Yang Satu (Esa)
hanya terciptanya satu pula (al-wahid la yasdur’anhu illa wahid). Sebagai Allah
Yang Maha Esa, Akal Pertama juga satu dalam bilangan, namun di dalamnya
terkandung arti banyak Akal Pertama yaitu al-wujud pertama, lalu Akal Pertama
memunyai dua obyek pemikiran (ta’aqqul), yakni Allah dan dirinya sendiri.
Akal Pertama ber-ta’aqqul tentang Allah, yang juga merupakan qudrah,
mewujudkan Akal Kedua dan ber-ta’aqqul tentang dirinya mewujudkan Langit
Pertama. Akal Kedua ber-ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal Ketiga dan ber-
ta’aqqul tentang dirinya mewujudkan Bintang-Bintang. Akal Ketiga ber-ta’aqqul
tentang Allah mewujudkan Akal Keempat dan ber-ta’qqul tentang dirinya
mewujudkan Saturnus. Akal Keempat ber-ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal
Kelima dan ber-ta’qqul tentang dirinya mewujudkan Jupiter. Akal Kelima ber-
ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal Keenam dan ber-ta’qqul tentang dirinya
mewujudkan Mars. Akal Keenam ber-ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal
Ketujuh dan ber-ta’qqul tentang dirinya mewujudkan Matahari. Akal Ketujuh ber-
ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal Kedelapan dan ber-ta’qqul tentang dirinya
mewujudkan Venus. Akal Kedelapan ber-ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal
Kesembilan dan ber-ta’qqul tentang dirinya mewujudkan Merkuri. Akal Kesembilan
ber-ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal Kesepuluh dan ber-ta’qqul tentang
dirinya mewujudkan Bulan. Akal Kesepuluh terhenti proses penciptaan emanasi,
sebab daya akan ciptaan Allah ini sudah melemah untuk mewujudkan akal yang
sejenisnya dan ber-ta’aqqul tentang dirinya mewujudkan Bumi, roh-roh, dan Materi
Pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah.142
Masing-masing akal yang berjumlah sepuluh itu mengatur satu planet. Akal-akal
ini yaitu simbol dari pada malaikat yang mendapatkan tugas tambahan dari Allah
dan Akal Kesepuluh, yang juga dinamakan Akal Fa’al disebut dengan Malaikat Jibril
yang sebagai tugas tambahannya ialah mengatur Bumi.143
Falsafah menurutnya, yaitu mengetahui/pengetahuan terhadap “Maujudat” apa
yang ada sebagaimana adanya atau wujud sebagai wujud (bukan wujud sebagai
partikular). Yaitu ilmu yang mencakup semua bentuk yang terkandung dalam kawn/
semesta alam/ilmu yang memberi gambaran terhadap manusia tentang alam semesta.
Wujud baginya ada dua macam: Wujud wajib dan Wujud mungkin.
Seperti al-Farabi, Ibnu Sina (980-1037 M) membangun kosmologi dan skema
emanasi yang komplek mengenai penciptaan dari ketiadaan (creation ex nihilo) dan
menjelaskan fenomena yang bisa diamati secara indera dari dunia. Berbeda dari al-
Farabi, Ibnu Sina memberikan peran signifikan pada figur “malaikat” dalam
hierarkinya, merepresentasikan satu aspek elaborasi sistematik yang luar biasa dari
doktrin al-Farabi.144 Kosmologi dan ontologi Ibnu Sina dipengaruhi oleh Angeologi
dalam tingkat tertentu.145Alam dipandang sebagi produk yang abadi atau emanasi dari
yang satu. Walaupun tidak bermula dari kesengajaan yang satu (‘Ala sabil qasd
minhu) namun memiliki izin yang penuh dari yang satu.146 Konsep ini dipengaruhi
Neoplatonisme klasik. Dimana menurut teori ini alam semesta yang terdiri dari
banyak entitas bersumber dari Yang Transenden yang bersifat kesatuan. Penciptaan
emanasi terjadi melalui medium hierarki Dzat immaterial.147 Rangkaian wujud
emanasi Ibn Sina yang membuat semua wujud memungkinkan kemunculan yang
banyak dari yang Satu tanpa melanggar /merusak sistem kesatuan dari yang satu.148
Dari yang satu atau wajib al-wujud beremanasi satu wujud First Intellect.149 Sifat
first intellect satu dan tak terbagi seperti juga wajibul wujud dan muncul dari
kontemplasi dan esensinya sendiri.150 sebab nya, first intellect hasil dari inteleksi
Ilahi murni, dan kontemplasi dirinya menjadi motor penggerak dari ciptaan.151 namun
pluralitas dan keberagaman yang tampak di alam semesta berasal dari first intellect
bukan dari Tuhan.152 Tuhan bukan kontingen, sebab nya tak bisa menciptakan
keberagaman: yang bisa yaitu first intellect.153 Sistematika emanasi Ibnu Sina bisa
dijelaskan sebagai berikut: Ibnu Sina menetapkan tiga obyek pemikiran (ta’aqqul),
yakni Allah sebagai wajib al-wujud liDzatihi memnculkan wajib al-wujud lighyrihi
dan dirinya sebagai mumkin al-wujud. Dari pemikiran (ta’aqqul) tentang Allah
sebagai wajib al-wujud liDzatihi timbul akal-akal, dari pemikiran (ta’aqqul) tentang
dirinya sebagai wajib al-wujud lighyrihi timbal jiwa-jiwa yang berfungsi sebagai
penggerak planet-planet, dan dari pemikiran (ta’aqqul) tentang dirinya sebagai
mumkin al-wujud timbul planet-planet.
Baik al-Farabi maupun Ibnu Sina keduanya memiliki prinsip struktur dan sistim
emanasi yang sama termasuk obyek ta’aqqul Allah yang Esa (al-wahidah la yasdur
anhu illa wahid, dari yang satu hanya muncul satu), mereka berbeda dalam
menetapkan obyek pemikiran akal-akal, bagi al-Farabi akal-akal mempunya dua
obyek pemikiran (ta'aqqul) yakni Allah dan dirinya, sementara Ibnu Sina menetapkan
tiga obyek pemikran (ta’aqqul). Penciptaan emanasi Ibnu Sina menghasilkan sepuluh
akal dan Sembilan planet serta satu bumi. Sembilan akal mengurusi Sembilan planet
dan Akal Kesepuluh mengurusi bumi. Berbeda dengan al-Farabi, bagi Ibnu Sina
amsing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet. sebab akal (imateri)
tidak bisa langsung menggerakan planet yang bersifat materi.
Syekh al-Isyraq (Suhrawardi), secara literal dikenal sebagai Master of
Illumination.155 Berbeda dengan filsafat peripatetik Islam yang lebih menekankan
aspek rasio, aliran Illumination justru memberikan porsi lebih besar pada peran
intuitif (irfani) sebagai pendamping dari penalaran rasional melihat alam semesta.
Pemikiran isyraqiyyah menyebutkan bahwa malaikat yaitu sebagai cahaya (exist it
self). Pemikiran Suhrawardi dipengaruhi (driven by) oleh dinamisme internal.
Starting point mengenai pemikiran ini, secara logis yaitu Tuhan sendiri, sebab Dia
yaitu asal dari semua wujud cahaya (Nur al-Anwar) dan berakar pada cahaya yang
secara ontologi bukan sebagai simbol. Hierarki cahaya Suhrawardi punya sejumlah
kesamaan dengan hierarki ontologisnya Neoplatonik, contohnya; hierarki dan
dunianya yaitu juga merupakan dari emanasi eternal (terus-menerus).
Bagi Suhrawardi al-Maqtul, merupakan konsekuensi logis dari keabadian, dari
Sang Agen Ilahi yang ciri keabadiannya yaitu jaminan pada keabadian alam.156
Entitas-entitas dalam hierarki mistik juga tersambung ke Angelologi dan Cosmologi.
Perbedaan pokok prinsip bahwa seluruh sistem Suhrawardi dilihat melalui Isyraqi
filter, yakni ketika ada identifikasi radikal dari emanasi, intelek, dan cahaya.157
Entitas pertama yang memancar dinamakan (Nur al-Anwar) “First Intellect” dan
“First Light” (Cahayanya segala cahaya) yang memberikan penyinaran pada hierarki
dibawahnya. Dalam corpus Suhrawardian yang bertumpu pada Angelologi Mazdean
sebagai penggambaran hierarki malaikat.158 Dalam istilah dua tatanan, longitudinal
atau panjang/tinggi (thuli) dan latitudinal atau lebar (‘ardhi); Bahman159 yaitu
malaikat tertinggi dan cahaya yang paling dekat (al-Nur al-aqrab) atau cahaya
terbesar (Great Light, al-Nur al-A’dzom).160 Tatanan latitudinal, para malaikat
memunculkan tatanan malaikat perantara yang bertindak sebagai pengawas dan
menguasai spesies-spesies secara langsung.
Dengan simbolisme cahaya menggambarkan masalah ontologis untuk
memaparkan struktur kosmologis. Sebagai contoh wujud niscaya (wajib al-Wujud)
peripatetic disebut: cahaya di segala cahaya (nur al-Anwar), intelek-intelek terpisah
disebut cahaya-cahaya abstrak (anwar mujarradah),161 dimana cahaya yang
dibawahnya didominasi oleh cahaya yang lebih tinggi dan yang lebih awal
merindukan ke yang dibawahnya. Seluruh eksistensi diatur seperti ini hanya Tuhan
yang mendominasi dan tak merindukan apa-apa kecuali mencintai diri-Nya sendiri.
5. Perspektif Tasawuf
Pemikiran al-Ghazali (450 H/1058M – 505 H/1111M) tentang alam bermula dari
kritikannya terhadap pemikiran para filsuf sebelumnya, yang menyatakan bahwa
alam yaitu kadim, dan ada bersama Tuhan. Sebab inilah al-Ghazali mengkritik dan
menyatakan bahwa alam tidak kadim melainkan baru. Ia menyatakan bahwa Tuhan
mempunyai kehendak untuk menetapkan keberadaan alam.163 sebab kehendak
Tuhan bersifat azali, maka alam muncul sebagaimana adanya, dengan sifat
kebaharuannya.164 sebab Tuhan dan kehendaknya telah ada sebelum adanya alam.
Menurut Imam al-Ghazali, alam semesta ini diciptakan oleh Yang Maha
Pencipta yaitu Allah swt.165 Dengan demikian, Tuhan dan alam semesta berbeda
dalam kedudukan dan sifatnya. Sebagai Pencipta, Tuhan bersifat Qadim, sedangkan
alam semesta, sebagai ciptaan bersifat hudus.Tuhan, yaitu sebab bagi wujud yang
baru. Sementara wujud yang baru selalu membutuhkan kepada sebab yang
menjadikannya.166
Tuhan menciptakan alam dari ketiadaan. Adanya ketiadaan sebelum penciptaan
alam bukanlah sesuatu yang mustahil. Dalam hal ini, kehendak Tuhan tidak
dianalogikan dengan kehendak manusia dari tidak mau (mencipta alam) berubah mau
(mencipta alam).167 Menurut al-Ghazali setiap hal yang ada di alam fisik yaitu
simbol atau lambang dari sesuatu yang ada di alam yang lebih tinggi, arketip
samawinya. Dan ini merupakan pandangaan simbolis dari pengetahuan spiritual.168
Dalam ontologi al-Ghazali, Tuhan dikenal melalui dunia dan dunia diciptakan untuk
itu.169 al-Ghazali membuat perumpamaan Tuhan sebagai ‘Cahaya’ dan dunia yaitu
bias-Nya.
Menurut pandangan Abdul Qadir al-Jailani (1078 M-1166 M), tujuan penciptaan
alam yaitu menyingkap khazanah yang tersembunyi dengan merujuk pada Hadis
Qudsi, “Pada awalnya, Aku yaitu khazanah tersembunyi, lalu Aku ingin diketahui.
Maka, Aku menciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku,” yakni agar mereka
mengenal sifat-sifat-Ku di dunia.170 Sebagaimana Dzat Allah yang wajibul wujud,
Maha Qadim yang Azali, Kekal, dan Abadi. Maka sifat-sifat Allah yang merupakan
cahaya dan tajalli-Nya yang selalu bersama dengan Dzat-Nya.
Menurut Abdul Qadir al-Jailani alam semesta merupakan objek penglihatan
manusia melalui fuad dari pantulan cahaya jamalullah. Maka baginya siapa yang
melihat sifat-sifat Allah di dunia dia akan melihat Dzat Allah di akhirat. Hal ini
merujuk pada ungkapan Umar ibn al-Khatthab r.a, “Kalbuku melihar Rabb-ku dengan
cahaya Rabb-ku.” Sayyidina Ali ibn Abi Thalib r.a juga berkata, “Aku tidak
menyembah Tuhan yang tidak aku lihat(dengan basirahku).”171
Abdul Qadir al-Jailani, seperti halnya juga al-Ghazali menggunakan
perumpaman cahaya sebagai simbol realitas dengan merujuk ayat,
يّرّد بكوك اهّناك ةجاجزّلا ۗ ةجاجز يف حابصملا حۗابصم اهيف ةوكشمك هرون لثم ۗ ضرلااو تومسّلا رون الله
الله دهي رۗون ىلع رون رۗان هسسمت مل ولو ءيضي اهتيز داكي ةّيبرغلاو ةّيقرشلا ةنوتيز ةكربم ةرجش نم دقوي
ميلع ئيش لّكب اللهو سۗاّنلل لاثملاا الله برضيو ءۗآشّي نم هرونل
mempelajari sains yaitu fardu kifayah bagi umat Islam. Al-Ghazali telah mengingatkan
dalam Tahafut al-Falasifah, supaya mengkaji sains. sebab itu, beberapa peneliti jujur dan
kritis justru melihat positif upaya al-Ghazali. Bahkan sebagian mereka memasukkan al-
Ghazali di antara para pionir sains modern. Demikian seperti diungkap oleh Dr. Mustafa Abu
Sway, pakar al-Ghazali diISTAC. Lihat dalam Prof. Dr. Cemil Akdogan, “Asal Usul Sains
Modern dan Kontribusi Muslim”, dalam ISLAMIA, Thn. I, No. 4, Januari-Maret 2005, 95.
Lihat juga Syamsuddin Arif, “Sains di Dunia Islam”, ISLAMIA, (Thn. I, No. 6, Juli-
September 2005), 93-94. Hal ini bisa dibuktikan dengan kenyataan bahwa setelah wafatnya
al-Ghazali (w. 1111), sains tetap berkembang sampai abad ke-16. Observatorium Maragha
misalnya, dibangun tahun 1259 hingga tahun 1304. Di Samarkand, observatorium juga
dibangun tahun 1420.
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya,
seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu
di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahay (berlapis-lapis, Allah
memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah
membuat perumpaan-perumpaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu”. (QS. An-Nur[24]: 35)172
Para sufi berpendapat, termasuk Abdul Qadir al-Jailani, bahwa misykah yaitu
kalbu orang mukmin dan yang dimaksud pelita yaitu sirri al-fuad yakni Roh
Sulthani, yang dimaksud kaca yaitu fuad. Allah menyifati fuad dengan berkilauan
(durriy) sebab cahayanya yang sangat kuat173. Maka Allah menjelaskan sumber
cahayanya (al-ma’adin), “yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
diberkahi,” pohon yang dimaksud yaitu pohon talqin174.
Allah ber-tajalli dengan rupa di dalam cermin ruh tanpa ada perantara antara
yang ber-tajalli dan yang melihat tajalli. Rupa yaitu yang terlihat dalam cermin
bukan cermin dan bukan yang bercermin sebab Allah suci dan terbebas dari memiliki
rupa, memiliki materi dan fisik. Dan cara melihat Tuhan seperti ini terjadi di alam
sifat bukan di alam Dzat. Sebab di alam Dzat semua perantara musnah dan tidak ada;
yang ada hanya Allah. Seperti halnya sabda Nabi saw., “Aku mengenal Rabb-ku
dengan Rabb-ku,” yakni, “dengan cahaya Rabb-ku,” Adapun Manusia sejati yaitu
mahramnya cahaya Allah. Hal ini merujuk pada Hadis Qudsi, “Manusia yaitu siri-
Ku dan Aku adaah siirnya manusia.” Rasulullah saw. bersabda, “Aku (Muhammad)
dari Allah dan orang-orang mukmin dariku.” Allah juga berfirman dalam Hadits
Qudsi, “Aku ciptakan Muhammad dari wajah-Ku.” Adapun yang dimaksud dengan
“wajah Allah” yaitu Dzat suci yang ber-tajalli dengan sifat rahman dan rahim.
Sebagaimana firman Allah dalam Hadis Qudsi, “Sesungguhnya rahmat-Ku
mendahului murka-Ku.” Allah berkata kepada Rasul-Nya dalam ayat “Sesunggunya
Aku mengutus engkau sebagai rahmat bagi semua alam.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107).
Allah juga berfirman dalam ayat “Telah datang kepada kamu sekalian cahaya (yakni
Nabi Muhammad saw) dan kitab yang menjelaskan (al-Qur’an).” (QS. Al-Ma’idah
[5]: 15). Dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman, “Jika bukan sebab mu, jika bukan
sebab mu (Muhammad Saw), maka aku tidak akan menciptakan alam semesta”175.
Menurut Jalaludin Rumi (1207 M-1273 M), penciptaan dunia maupun bentuk-
bentuk terbatas yang ada di dalamnya merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan dan
perbuatan Tuhan yaitu pengejawantahan dari sifat-sifat-Nya. Seperti halnya Abdul
Qadir al-Jailani, Rumi juga merujuk pada Hadits Qudsi: “Aku yaitu Perbendaharaan
Yang Tersembunyi, Aku ingin dikenal. sebab nya Kuciptakan dunia, supaya Aku
dikenal.” Tujuan penciptaan, dengan demikian, untuk “menjadikan jelas” (izhhar)
sifat dan nama-nama Tuhan.176 Selanjutnya, dalam Masnawi 29, Rumi menjelaskan
bahwa firman Tuhan: “Hanya sebab Aku ingin menampakkan Perbendaharaan-Ku,
sehingga Kujadikan kalian mampu memahami Perbendaharaan itu. Hanya sebab
Aku ingin menunjukkan Kesucian dan Luthf Lautan ini, maka Kutunjukkan
pemahaman yang tinggi dan pertumbuhan melalui ikan Luthf dan ciptaan Lautan.
sebab nya, mereka memiliki ketundukan dan mengikuti petunjuk-petunjuk. Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah
beriman,” dan tidak akan diuji? Beratus-ratus ribu ular mengaku dirinya sebagai ikan.
Bentuk-bentuk mereka yaitu ikan, namun makna mereka yaitu ular.”177
Dunia diciptakan untuk mengejawantahkan, supaya Perbendaharaan
Kebijaksanaan tak tersembunyi. Bagi Rumi, dunia tercipta disebabkan sebab Cinta-
Nya kepada Muhammad sebagaimana Hadis Qudsi: “Jika bukan sebab Engkau,
tidak akan Kuciptakan surga.” Semua perbuatan dan gerak berasal dari Cinta, Cinta
Tuhan mengejawantahkan Perbendaharaan Yang Tersembunyi melalui diri para Nabi
dan orang-orang suci menjadi motivasi bagi penciptaan alam semesta. Bentuk-bentuk
dunia tiada lain yaitu pantulan-pantulan keunikan Realitas-Nya. Seperti halnya syair
berikut ini:
“Makhluk-makhluk bergerak sebab Cinta, Cinta oleh Keabadiaan tanpa permulaan:
angin menari-menari sebab semesta, pohon-pohon disebabkan oleh angin” (Diwan
5001)
Tuhan berkata pada Cinta, “Jika bukan sebab keindahanmu untuk apa Aku mesti
menatap pada cermin eksistensi?” (Diwan 26108)
Dunia bagaikan sebuah cermin yang memantulkan kesempurnaan Cinta. Oh Kawan!
Siapakah yang pernah melihat bagian lebih besar dari keseluruhan? (Diwan 25248)
Cinta yaitu inti, dunia yaitu kulit, Cinta yaitu manisan, dunia yaitu panci.
(Diwan 22225).178
Cinta yaitu keseluruhan ajaran Rumi, baginya cinta yaitu stimulus dibalik
gerakan bola dan bahkan sebagai penyebab eksistensi alam semesta. Bagi Rumi,
dunia mengapung seperti bintik busa di lautan Cinta. Di mana partikel alam semesta
saling mencari seperti pencinta mencari kekasih. Dunia akan sedingin es tanpa adanya
Cinta. Kekuatan Cinta mengangkat materi anorganik menjadi tanaman dan dari
kehidupan vegetatif menjadi hewan dan kemudian menjadi kehidupan spiritual
seperti roh suci. Dan semua hal menjadi sempurna laksana kualitas Ilahi, yaitu
Kehidupan, Pengetahuan, Keindahan, Kebijaksanaan, dan semua berasal dari
Cinta.179
Kosmologi dalam perspektif tasawuf menunjukkan bahwa kosmologi sufi tidak
sekedar bicara alam secara fisik (kosmogeni) namun alam merupakan media dan
simbol keberadaan Sang Pencipta. Meskipun narasi yang dibangun antara al-Ghazali,
Abdul Qadir al-Jailani dan Jalaludin Rumi berbeda. Namun, dapat diambil
kesimpulan bahwa dunia tercipta sebab Iradah dan Cinta-Nya.
C. Paradigma Kesadaran Kosmik
Inti dari sub bab paradigma kesadaran kosmik merupakan uraian yang terkait
dengan kosmos sebagai simbol yang melahirkan kesadaran manusia terhadap makna
dibalik keberadaan alam. Seperti halnya pepatah Arab yang mengatakan bahwa
“manusia merupakan simbol dari sebuah keberadaan (al-insanu ramz al-wujudi).”
Hal ini bermakna bahwa keberadaan semesta merupakan objek pengetahuan yang
hanya dipahami oleh manusia sebagai subjek.180
1. Konsep Simbol dan Bahasa Kosmik
Simbol atau tanda dimaknai sebagai sebuah konsep pengetahuan – keberadaan
dan sesuatu yang mengandung teori.181 Dalam teori semiotika Ferdinand De
Saussure, simbol atau tanda merupakan pintu yang menghubungkan satu ruang
dengan ruang yang lain. 182 Jika dikaitkan dengan kosmos berarti kosmos yaitu
sebuah tanda atau sebuah pintu yang menghubungkan kepada ruang adi kosmos. Jika
kosmos dipahami sebagai tanda atau language maka kosmos yaitu fakta yang
merupakan sistem tanda yang terstruktur untuk mengekspresikan serta
menyampaikan gagasan atau ide. Maka kosmos dalam hal ini bisa dipahami sebagai
penyampai pesan.
Menurut Edwin Smith simbol diartikan dalam hubungan dengan sesuatu yang
lain yang disebut objek atau referensi, serta menggambarkan makna untuk memahami
suatu referensi atau objek sebagian atau keseluruhan atau berfungsi untuk mengingat
kembali suatu referensi atau objek yang hilang. Simbolisme yaitu suatu bentuk
komunikasi yang ekspresif, mengandung suatu pesan atau informasi yang tidak dapat
dikatakan secara langsung. Selanjutnya menurut John H.M. Beattie, simbol
berimplikasi pada makna yang tidak berasal dari konteks pengalaman sebab simbol
merujuk realitas yang lain atau diluar konteks pengalaman.184 Adapun fungsi simbol
yaitu fungsi bahasa yang menurut Victor W. Turner simbol harus melibatkan
mekanisme proyeksi alam bawah sadar dan juga sebagian diatur oleh pemikiran
konseptual alam sadar.185 Selanjutnya, menurut Ferdinand de Saussure, sistem tanda
dan makna lebih menekankan peranannya pada aspek bahasa dibanding sistem lain
seperti tulisan, agam, adat istiadat, dll.186
Makna simbol dapat dicapai sepenuhnya jika dilihat sebagai bagian dari suatu
sitem kompleks dari ide-ide yang saling berhubungan, oleh sebab itu menurut Turner
simbol dapat menjadi multivalent (menyatakan motivasi yang berbeda) dan
multivokal (memiliki ideologi dan kognitif yang berbeda).187 Eliade mengakui bahwa
semua kegiatan manusia melibatkan simbolisme bahkan simbol yaitu cara khusus
untuk mengenal hal-hal religius. Oleh sebab manusia yaitu mahluk fana dan
terbatas maka manusia tidak memiliki akses terhadap hal-hal yang sakral dan
transenden. sebab pengetahuan manusia bukan berasal dari produk akal rasionalnya
namun yang sakral dan transenden menyatakan diri kepada manusia melalui wahyu.
Yakni pernyataan diri yang kudus (hierophani) atau pernyataan diri yang Maha
Kuasa (kratophani).188
Menurut Eliade transendensi Tuhan dinyatakan secara langsung dalam sifat-sifat
langit yang memiliki sifat ketakberhinggaan, keabadian, yang tidak dapat didekati
oleh kekuatan kretaif.189 Menurut Eliade manusia bukan saja mahluk rasional namun
juga homosimbolikus. Baginya pemikiran simbolik yaitu suatu sistem yang koheren
atau saling berhubungan190. Setiap simbol memiliki unsur metafisika dan logika.
Konsep metafisika tidak selalu dirumuskan dalam bahasa teoritis namun melalui
simbol, ritual dan mitos. Bagi Eliade simbolisme dapat dirumuskan secara sitematis
dan mengikuti struktur logika rasional. Eliade membedakan antara konsep dan
simbol. Konsep merupakan tindakan khusus dari intelegensia manusia, sedangkan
simbol yaitu tindakan dari keseluruhan manusia, sebab simbol terkait dengan hal-
hal yang bersifat religius yang melibatkan totalitas manusia yang bukan usaha intelek
atau imajinasi. Eliade menekankan nilai eksistensial simbolisme yang mengarahkan
pada suatu realitas atau suatu situasi dimana eksistensi manusia terlibat didalamnya.
Simbol berfungsi menyatakan yang Kudus atau realitas kosmologis yang
menimbulkan kesadaran manusia terhadap yang kudus.191
Menurut Paul Tillich, fungsi terpenting dari simbol yaitu untuk menyatakan
sesuatu yang melampaui dirinya sendiri, dengan kekuatan sesuatu yang ia tunjuk dan
membukakan tingkatan realitas yang biasanya tertutup, serta membukakan realitas
jiwa manusia yang baisanya tidak menyadarinya.192
Makna simbolisme yang terkait dengan perjalanan spiritualitas merujuk pada
sebuah entitas sensible yang memunculkan kesadaran dari derajat fisik kepada derajat
yang supra fisikal. Seperti halnya yang dijelaskan oleh A. Snodgrass193;
“The symbol is the immanent expressionof the Divine. Through participation in both
the sensible and the metaphysical orders of ontological Existence the symbol acts as
the vehicle by wich the human may be lead back to the Divine. The symbol operates
through the relationship of the intelligence and the intellect. The unfolding or
unveiling of Reality through a progression of symbolic initiations acts like so many
rungs pf ladder leading “upwards” to the Divine. In this way the symbol is anagogic:
from the Grekk anago (“to lead up to”), as in leading the understanding to a
metaphysical meaning”.
Simbol yaitu ekspresi imanen Sang Maha Realitas yang berfungsi menyadarkan
manusia pada derajat eksistensi yang di atas. Kesadaran manusia akan muncul ketika
simbol terhubung dengan intelek. Realitas akan tersingkap melalui sebuah inisiasi
simbolis sebagai sebuah tangga ‘anagogic’. Anagogical symbol merupakan sebuah
kesadaran yang mengarah ke atas sebagai kesadaran metafisis.
Bagi Eliade sifat multivalent sebuah simbol berarti mengandung berbagai makna
dan mengekspresikan makna-makna tersebut pada masa yang sama yang berasal dari
diversity in unity (keberagaman dalam ketunggalan) yang merupakan metafisis
sebuah simbol.194 Seperti halnya pernyataan Rene Guenon:
“… every real symbol bears its multiple meanings within itself, and is so from its
very origin; for it is not constituted as such in virtue of human convention but in virtue
of the law of correspondence which links all the worlds together” 195
Setiap simbol yang benar mengandung beragam makna di dalam dirinya dan berasal
dari asalnya sendiri. Dia bukan produk dari fikiran manusia atau kesepakatan
konvensional manusia namun makna itu terkandung dalam sebuah simbol sebab
adanya law correspondent yang menghubungkan antara segala keberadaan.
Selanjutnya Rene Guenon menyatakan lagi:
“If some see these meanings while others do not, or see them only partially, they are
nonetheless really there; it is the “intellectual horizon” of each person that makes all
the difference. Symbolism is an exact science and not a daydream in which individual
fantasies can have a free run” 196
Jika seseorang melihat makna-makna tersebut sementara orang lain tidak
mempresepsinya atau mereka hanya melihat sebagian saja tidak berarti bahwa
makna-makna itu yaitu hasil ciptaan manusia. Dan bahkan hanya menunjukkan
bahwa ufuk kesadaran manusia tidak menangkap semua makna yang terkandung
dalam simbol dan ufuk kesadaran inilah yang menunjukkan segala perbedaan.
Simbolisme yaitu sebuah ilmu yang pasti dan sama sekali bukan sebuah fantasia tau
rekayasa manusia.
Ufuk kesadaran atau intelektual horizon bisa dimaknai sebagai keterbatasan
manusia. Sifat multivalent akan menghalangi terjadinya reduksi terhadap simbol
seperti pernyataan Eliade sebagai berikut; Jika kita berpegang hanya pada satu makna
dan menganggap makna itu sebagai makna yang fundamental yang pertama atau yang
asli, maka resikonya yaitu tidak memahami pesan sebenarnya dari simbol. 197
Selanjutnya Snodgrass menekankan bahwa; sebuah penafsiran akan benar-benar
melaksanakan keadilan terhadap dimensi horizontal dan vertikal sebuah simbol,
ketika membiarkan maknanya terbuka dan tidak membatasi dalam konfigurasi
terbatas atau sebuah hipotesis yang tertutup. Pada saat kita membandingkan dua
ekspresi dari sebuah simbol hal ini tidak dilakukan untuk mereduksi simbol pada satu
makna namun untuk menemukan berbagai makna dalam sebuah struktur tunggal. Yang
berarti agar lebih memahami pesan dari simbol.198
Untuk memperkaya makna atau “enrichment of meaning” dengan cara melihat
ke dalam (inward looking) dan “menyatukan” (unifying). Seperti halnya dijelaskan di
atas bahwa dengan melihat beberapa simbol kita akan menemukan beberapa makna.
Dan akan menemukan hubungan antara simbol-simbol yang disebut oleh Snodgrass
sebagai the network of homologus symbols yang berfungsi untuk menyingkap
prinsip-prinsip esensial “unity in diversity”. Antara simbol-simbol saling menguatkan
dan berperan sebagai “reinforcements”.199
Derajat keragaman horizontal sebuah simbol mengekspresikan kesamaannya
pada tahap Keberadaan dimana simbol itu berada.200 Hal ini diperkuat oleh Snodgrass
bahwa simbol memiliki banyak makna dalam tahap horizontalnya. Setiap simbol
akan membentuk bagian dari sebuah skema referensi yang saling terhubung ia
membentuk bagian dari pola yang sangat terkait antara yang satu dengan yang lain,
seperti halnya sebuah sarang laba-laba yang penuh dengan makna-makna. Kita akan
menemukan makna yang lebih dalam dengan mempelajari jaringan yang terbentuk
dari kesamaan simbolisnya. Pola yang tampil dari penjajaran simbol-simbol
mempunyai akar yang sama yang tidak akan mengakhiri atau membatasi signifikansi
simbol yang puncaknya melalui kata-kata. namun pola ini akan memperkuat
keintiman dengan menunjukkan adanya sebuah keterpaduan logis dan integritas yang
menunjukkan bahwa keintiman Sang Prinsip Yang Maha Meyakinkan.201 Kesamaan
dan hubungan antar makna-makna sebuah simbol secara vertikal akan membimbing
intelek ke atas. Aspek ini diistilahkan sebagai anagogical. Derajat vertikal ini akan
membawa masuk ke dalam wilayah metafisis dan semakin ia masuk ia akan semakin
meluas dan semakin tak terbatas.202
Penjelasan di atas bahwa simbol yaitu multivalent yang secara horizontal dan
vertikal mempunyai peran yang berbeda. Aspek horizontalnya saling terkait dan
menguatkan (reinforcement) sementara aspek vertikalnya akan meningkatkan dan
memperdalam. Yang berarti kesadaran terhadap simbol akan semakin meluas dan
mendalam. Dalam perspektif tradisional alam yaitu simbol kepada hakikat-hakikat
yang Supranatural yang berarti simbolis alam yang esensial dan efektif merupakan
representasi simbolis dari Sang Maha Realitas. Simbol yaitu bayangan atau refleksi
dari Realitas yang lebih tinggi.203
2. Kosmos dan Simbol Kesadaran
Teori yang digagas oleh Richard Maurice Bucke204, bahwa kesadaran kosmik
(Cosmic Consciousness) mendefinisikan kosmos bukanlah benda-benda mati,
manusia memiliki jiwa yang kekal alam diciptakan agar segala sesuatu menjadi baik,
setiap orang merasa bahagia dan cinta merupakan prinsip dasar dari jagat raya. Bucke
meyakini tumbuh dalam kesadaran merupakan bagian dari evolusi manusia. Bucke
membagi tiga fase kesadaran; yakni kesadaran sederhana (simple conciousness),
kesadaran diri (self consciousness), dan kesadaran kosmik (cosmic consciousness)
sebagai highest consciousness dalam diri manusia. Bucke mendefinisikan kesadaran
kosmik sebagai suatu kesadaran yang tajam tentang hidup dan keteraturan alam
semesta sejati, di mana seseorang merasakan kesatuan dengan Tuhan atau energi
semesta. Kesadaran intelektual ini atau pemahaman tentang kebenaran menimbulkan
kebahagiaan yang luar biasa sebab melihat bahwa hakikat alam semesta yaitu
cinta.205
PD Ouspensky membuat kesimpulan atas gagasan cosmic consciousness
Maucice Bucke bahwa kesadaran kosmik pada dasarnya y