Selasa, 03 Desember 2024

teori semesta muslim 3


 m berdasarkan dua 

sumber terpenting Islam yaitu; al-Qur’an dan al-Hadits, kedua, melalui pemikiran 

spekulatif mereka sendiri, berdasarkan kekuatan reflektif dan metode pencarian 

rasional mereka, termasuk unsur-unsur logika yang diambil filsafat Yunani. 

Madzhab Asy’ariyah berpendapat bahwa alam semesta yaitu  hadîts (baharu). 

Alam menurut mereka, tidak dijadikan dari asyyā’, a’yān, jawāhir, wa a'rād96 

(sesuatu, hakikat, jawhar dan ‘aradh), namun  Allah menjadikannya dari nihil menjadi 

ada (al-ījad min al-‘adam, creato ex nihilo) dengan kodrat dan iradatNya.  

Alam, didefinisikan sebagai segala sesuatu selain Tuhan, terdiri dari dua unsur 

yang berbedam yaitu atom dan aksiden (‘aradh).  Atom yaitu  lokus yang memberi 

substansi pada aksiden. Sedangkan aksiden tidak dapat eksis dalam aksiden lain namun  

hanya dalam atom atau benda yang tersusun atas atom-atom. Sebaliknya sebuah 

benda tidak dapat dilepaskan dari aksiden-aksiden, positif atau negatif, seperti warna, 

bau, hiidup pengetahuan, atau lawan-lawannya. 

Karakteristik utama atom-atom Asy’ariyah: pertama, tidak memiliki ukuran atau 

besar (kam), dan homogen. Dengan kata lain, atom-atom itu yaitu  entitas tanpa 

panjang atau lebar, namun  terpadu membentuk benda yang memiliki dimensi. Atom-

atom tidak memiliki ukuran sebab  keluasan merupakan sifat ruang fisik, melibatkan 

gagasan tentang batas atau permukaan. Kedua, jumlahnya sudah tertentu atau 

berhingga, berlawanan dengan semua madzhab atomis Yunani yang percaya bahwa 

atom-atom berjumlah tak berhingga, Asy’ariyah menolak ketakberhinggaan atom 

berdasarkan ayat al-Qur’an: “Dan Dia menghitung segala sesuatu dengan angka” 

(QS. Al-Jinn [72]: 28).   


Ketiga, bahwa atom dapat lenyap secara fitrah. Asy’ariyah berpendapat bahwa 

atom tidak dapat bertahan untuk dua saat. Pada setiap momen waktu atom itu 

mewujud dan melewati eksistensi. Durasi setiap atom (baqa’) yaitu  sekejap. 

Ketidakmampuan atom-atom dan aksiden-aksiden untuk bertahan lama merupakan 

konsekuensi langsung dari keyakinan teologis mereka bahwa Tuhan terlibat secara 

langsung bukan hanya dalam mewujudnya sesuatu, namun  juga dalam kehadiran 

mereka dalam bentuk wujud dari satu saat ke saat lain.    

 

4. Perspektif Filsafat  

Dalam sub bab kosmologi perspektif filsafat, setiap tradisi terkait dengan 

kosmos ada beberapa perbedaan dalam pendefinisian, paradigmaa, dan makna baik 

dalam tradisi filsafat Yunani atau timur atau pun Islam.  

a) Filsafat Yunani    

Thales (624-546 SM)97 yaitu  seorang filsuf yang mengawali sejarah filsafat 

Barat pada abad ke-6 SM.98 Pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat 

pertama dan disebut sebagai bapak filsafat.99 sebab  mencoba menjelaskan dunia dan 

gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio 

manusia.100Thales tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis mengenai pemikiran 

filsafatnya.101 Pemikiran Thales terutama didapatkan melalui tulisan Aristoteles 

tentang dirinya. Aristoteles mengatakan bahwa Thales yaitu  orang yang pertama 

kali memikirkan tentang asal mula terjadinya alam semesta,102 oleh sebab  itu Thales 

dianggap sebagai perintis filsafat alam (natural philosophy).103     

Thales menyatakan bahwa air yaitu  prinsip dasar segala sesuatu.104 Air menjadi 

pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta.105 Berkat 

kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab diluar dirinya, air 

mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat mantap dan tak terbinasakan.106 Menurut 

Thales air sebagai sumber kehidupan. Argumen Thales terhadap pandangan tersebut 

 


yaitu  bagaimana bahan makanan semua mahluk hidup mengandung air dan 

bagaimana semua mahluk hidup juga memerlukan air untuk hidup.107 Selain itu, air 

yaitu  Dzat yang dapat berubah-ubah bentuk (padat, cair dan gas) tanpa menjadi 

berkurang.108 Ia juga mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak di atas air. 

Bumi dipandang sebagai bahan yang satu kali keluar dari air109 dan kemudian 

terapung-apung diatasnya.  

Dalam sejarah filsafat Yunani tercatat Phytagoras (570-497 SM)110 merupakan 

Tokoh pertama yang memakai istilah “kosmos” sebagai terminologi filsafat.111 Ia 

merupakan orang pertama kali mengembangkan bahwa gagasan alam semesta 

mengikut hukum-hukum alam yang bersifat kuantitatif. Phytagoras menyatakan 

bahwa benda-benda langit, yaitu Matahari, bumi, bulan, terletak pada bola-bola 

konsentris (sepusat) yang berputar mengelilingi sumber api sebagai pusat alam 

semesta (api pusat). Menurut Phytagoras, keteraturan alam semesta mirip dengan 

keteraturan tangga nada pada dawai lira. Ia mengemukakan bahwa, semua benda 

langit dalam pergerakannya mendengungkan nada-nada yang hanya didengarkan 

oleh orang-orang tertentu saja. Jadi keteraturan merupakan prinsip utama yang 

mendasari konsep alam semesta phytagoras.  

Socrates (469-399 SM) yaitu  filsuf dengan coraknya sendiri. Berbeda dengan 

para filsuf sebelumnya yang membahas tentang dunia alamiah, Socrates fokus dalam 

moralitas individu, mempertanyakan apa yang membuat kehidupan menjadi baik, dan 

membahas pertanyaan sosial dan politik.112 Dia dijadikan tonggak periodisasi filsafat 

sebab  dia “memindahkan filsafat dan langit ke bumi”; dan persoalan alam ke 

masalah manusia.  Semasa hidupnya, Socrates tidak pernah meninggalkan karya 

tulisan apapun sehingga sumber utama mengenai pemikiran Socrates berasal dari 

tulisan para muridnya.113  

Aristoteles (384-322 SM) yaitu  murid Plato. Tidak hanya menulis filsafat, ia 

juga menulis banyak bidang seperti; fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, 

etnis, pemerintahan, biologi dan zoologi.114 Kosmologi Aristoteles sendiri dapat 

dikatakan bsebagai kosmologi pertama yang sistematis, melampaui kosmologi-

 


kosmologi lain pada masanya. Sistem kosmologi Aristoteles dituangkan dalam dalam 

buku De Caelo (On Heaven). Aristoteles juga dipandang sebagai orang yang memulai 

titik balik dalam ilmu pengetahuan Barat untuk melakukan pengamatan empiris. Ia 

membagi kosmos menjadi dua bola langit yakni lingkaran bola langit dalam (sublunar 

– di bawah bulan). Di dalam lingkaran bola langit dalam, bumi yaitu  pusatnya dan 

batas terluarnya yaitu  bulan dengan dikelilingi air, udara, dan api.115 Di luar bulan 

ada benda-benda langit yang bergerak melingkar. Kawasan sublunar inilah kawasan 

yang mengalami hukum-hukum fisika Aristoteles sedangkan kawasan di luar bulan 

(sublunar) tidak mengalami hal itu sehingga yang membentuknya pun yaitu  hal-hal 

yang berbeda dengan pembentuk (elemen-elemen) dari dunia sublunar.116  

Alam semesta tidak tanpa batas. Batas terluarnya yaitu  lingkaran orbit bintang-

bintang. Namun bintang-bintang sendiri tidak bergerak. Ia diam disitu. Aristoteles 

juga mengamati gerhana bulan dan matahari, dari sana ia menyimpulkan bahwa bumi 

ini berbentuk bulat.117    

 

b) Filsafat Timur  

Ajaran Taoisme mengenai kosmos dipahami sebagai keutuhan yang tergambar 

dengan simbol lingkaran. Proses penciptaan alam diawali dengan kekekalan yaitu 

“Tao”. Tao ialah jalan menuju kebenaran, maka daripadanya terpancar alam semesta 

dan segala yang ada. Konsep ini menganggap Tuhan berada pada segala yang ada 

yaitu mahluk. Semua yang ada di dunia ini terdiri dari dua entiti yang berlawanan 

yaitu Yin dan Yang. Yang biasa dipahami sebagai prinsip eksistensi yang bersifat aktif 

dan represif.118 Yin mewakili alam bumi yaitu alam fisikal dan material sedangkan 

Yang mewakili alam langit atau alam spiritual. Yin yaitu  negatif, pasif dan terdedah 

kepada kemusnahan sedangkan sedangkan Yang yaitu  positif, aktif dan konstruktif. 

Peranan Yin dan Yang yaitu  untuk memasktikan kedua-duanya seimbang dan 

harmoni. Yin dianggap wanita dan Yang berwatak lelaki, maka daripadanya terlahir 

teori berpasang-pasangan.119 

Meskipun Yin dan Yang berlawanan dalam ciri-cirinya, mereka yaitu  bersatu. 

Tao menimbulkan Yang melalui gerakan, dan gerakan itu menjadi terang ketika 

aktivitasnya mencapai puncak. Tao menimbulkan Yin melalui ketenangan. 

Demikianlah, pertukaran gerakan dan ketenangan menyusun Yin dan Yang. Kekuatan 

yang berlawanan ini selalu mengandung unsur masing-masing, dalam titik terang 

Yang selalu terdapat gelap Yin, demikian sebaliknya sehingga keduanya bergantung 

 


satu sama lain. Dari penyatuan Yin dan Yang muncul lima unsur: tanah, air, api, kayu 

dan logam.120 

Salah satu dokumen suci Hindu yaitu Rg Veda121 berisi dua pandangan dasar 

tentang penciptaan alam semesta: yang pertama yaitu  bipartit yang terdiri dari langit 

(sky) dan bumi (earth); perkawinan keduanya (parent of the word) maka terciptalah 

alam yang diilustrasikan seperti halnya dua mangkuk yang menyatu. Pandangan yang 

kedua yaitu tripartite yang terdiri dari bumi, atmosfer, dan surga, yang dikenal 

dengan istilah three vyakriti.  Kirfel berpikir bahwa yang pertama yaitu  yang lebih 

awal, dan dia mungkin benar; tentu saja itu yaitu  tripartisi yang menjadi popular di 

kalangan kosmolog kemudian. Kedua pandangan di atas yakni bipartite dan tripartite 

kadang berjumlah dua langit dan bumi, kadang berjumlah tiga, bumi, atmosfer, dan 

langit, dikatakan masing-masing terdiri dari tiga strata, sehingga totalnya enam atau 

sembilan.122 

Rg Veda terdapat dua Sukta (himne) yang menguraikan mengenai penciptaan 

jagat raya yang disebut Nasadiyasukta123 dan Purusasukta.124 Dalam Nasadiyasukta, 

pada sukta pertama menjelaskan bahwa pada mulanya kosong atau tidak ada material 

apa pun. Sukta kedua menjelaskan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang bernapas 

dengan kekuatan-Nya sendiri. Sedangkan Purusasukta yaitu Sukta yang menjelaskan 

kondisi sebelum penciptaan dan pengejawantahan-Nya. Menurut Purusasukta, Tuhan 

Yang Maha Esa sendiri yang mengorbankan diri-Nya untuk menciptakan jagat raya 

ini, yang penampakkan-Nya di alam semesta dalam wujud materi hanya seperempat 

bagian sedang tiga perempat lainnya tidak terjangkau umat manusia. 

Dalam nyanyian rohani (RV, X, 129) terdapat satu gagasan yang menjadi umum 

dalam literatur Veda yang kemudian yaitu  bahwa dunia entah bagaimana memulai 

dengan kuman api emas yang muncul di dalam api.125 Nyanyian kosmogonik lainnya 

yaitu  Puru sasukta (RV, X, 90), Nyanyian Manusia Kosmik, Purusa. Dalam 

nyanyian pujian ini para dewa mengorbankan seekor raksasa untuk menciptakan alam 

semesta fisik. Dari pusarnya dihasilkan udara; dari kepalanya langit berevolusi; dari 

kakinya bumi, dari telinganya perempat: dengan demikian mereka membentuk 

 


dunia.126 Empat perkebunan masyarakat, brahmana, dan lain-lain, masing-masing 

dihasilkan dari mulut, lengan, paha, dan kakinya. 

Selanjutnya dalam kitab Purana127 terdapat Saga atau proses penciptaan yang 

pertama.  Teori penciptaan alam semesta (Saga) dikenal dengan Sembilan ciptaan 

Sang Hyang Brahma yang dapat diringkas menjadi ciptaan Prakrita (pertama) dan 

ciptaan Vaikrita (kedua). Ciptaan Prakrita terdiri dari: Mahat (ciptaan kesadaran 

yang tinggi), Tanmatra (ciptaan unsur materi), Vikarika (ciptaan evolusi yakni 

penciptaan organ indriya). Sedangkan Ciptaan Vaikrita terdiri dari: Muhkyasarga 

(ciptaan yang tidak bergerak), Tiryaksrota (ciptaan makhluk rendahan dan binatang), 

Urdhvasrota (ciptaan berupa dewa-dewa dan makhluk sorga), Arvaksrota (ciptaan 

umat manusia), Anugrahasarga (kasih sayang devata), Kaumarsarga (penciptaan 

putra-putra yang lahir dari pikiran). 

Menurut Samkhya (aliran filsafat klasik) semua materi, yang mencakup semua 

fenomena mental, tentu saja, kecuali jiwa, berevolusi dari keadaan yang tidak 

berbeda, disebut avyaktam; bahwa ada lima unsur material: eter, udara, api, air, dan 

bumi, yang muncul pertama kali dalam bentuknya yang paling halus, kemudian 

dalam bentuknya yang paling kasar; dan bahwa di sepanjang semua ini ada tiga 

prinsip, yang terjalin seperti untaian tali128. Tiga prinsip, yang kembali ke Upanisads 

dan memainkan peran besar dalam Bhagavad Gita, yaitu  sattva (kebaikan atau 

keberadaan), raja (hasrat, energi, dan aktivitas), dan tamas (kegelapan yang juga 

merupakan bebdan dan kelembaman).  

‘Ketika malam dunia berakhir, Brahma bangun dan dunia keluar darinya. Mula-

mula muncullah dari dirinya makhluk agung (mahad bhutam- netral), yang masih 

dianggap sebagai tidak berdiferensiasi (avyaktam). Dari makhluk agung muncul 

pikiran (manas), yang sudah menjadi milik ranah dibedakan (vxyaktam). Pikiran 

inilah yang kemudian menjadi asal usul unsur-unusr itu. Dari situ muncul eter, dari 

angin eter, dari api angin, dari air api dan dari tanah air. Masing-masing elemen ini 

memiliki sifat karakteristiknya sendiri: eter memiliki suara, angina terasa, visibilitas 

api, rasa air dan bau bumi. namun  mereka tidak memiliki sifat-sifat ini sendirian. 

Angin dan rasa memiliki suara, air serta rasa memiliki visibilitas, raasa dan suara, dan 

bumi serta bau memiliki sifat-sifat lainnya. Ini menyimpulkan penciptaan esensi yang 

mendasari di mana semua hal dibentuk, dan penciptaan makhluk hidup dan dunia 

dimulai. Pertama kali muncul dewa pencipta Brahma, alias Prajapati. Dia 

menciptakan para dewa, para ayah, dan umat manusia; juga dunia dengan semua yang 

 


memenuhi mereka. Akhirnya dia menciptakan Veda dan pengorbanan, tatanan 

masyarakat, dan tatanan kehidupan’.  

 

c) Filsafat Islam   

Para filsuf muslim disibukkan oleh pertanyaan tentang hubungan Tuhan dan 

alam, bagaimana Tuhan menciptakan alam?, apakah alam memiliki permulaan atau 

muncul sebab  Tuhan ingin menciptakan alam? Kenapa Tuhan menciptakan alam?, 

kapan Tuhan menciptkana alam?, materi apa yang Tuhan gunakan untuk menciptakan 

alam?.130 Oleh sebab  itu ada beberapa teori penciptaan, diantaranya: 

Teori emanasi yang diilhami oleh Neoplatonisme131 sebagai terus-menerus tanpa 

awal dan tanpa akhir, memberikan gambaran keniscayaan keterikatan segala sesuatu 

terhadap jajaran realitas yang lebih tinggi (the higher levels of reality), menyatukan 

(determined) pada jajaran yang dibawahnya dalam pola yang lebih logis dan 

rasional.Teori ini juga bisa melacak tanda penciptaan (productism) dan penciptaan 

ulang (reproductism) pada sumber yang tunggal dan menjelaskan struktur rasional 

dibalik penciptaan alam semseta.132 Ada beberapa filsuf muslim yang mengadopsi 

teori emanasi-neoplatonisme, diantaranya yaitu  filsuf al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu 

Sina yang ketiganya menjadi teori emanasi sebagai basis kosmologi. Begitu juga 

dengan Filsuf Illuminatif (Suhrawardi) juga terilhami oleh teori Neoplatonisme 

dengan menggunakan Simbol Cahaya dalam basis kosmologi. 

Emanasi al-Kindi,133 yaitu  Tuhan saja sebagai pencipta dan Dia mencipta dari 

ketiadaan (exnihilo). Prinsip penciptaan al-Kindi bukan seperti teori emanasi 

Aristoteles namun  mengadopsi teori Platonius yang mengatakan bahwa yang Maha 

Satu yaitu  sumber dari segala yang ada dalam alam semesta. Dalam emanasi 

 


Platonius tidak ada akal ke-10. Dunia yaitu  emanasi Tuhan, seperti cahaya yang 

memancar dari matahari (The Universe is an Emanation From God, The World 

Emanation from God as light Emanation from sun).134Alam semesta bukan emanasi 

langsung dari Tuhan melalui agen-agen spiritual yang bertingkat-tingkat dari tingkat 

tertinggi hingga terendah, antara malaikat terendah dan alam materil terdapat 

perantara-perantara (between world and sun).135Dalam penjelasan lain, teori emanasi 

al-Kindi (al-fayd al-wahdah) dari True First One, satu yang sejati yaitu  menuju 

eksistensi seluruh objek indera (mahsus), terhadap doktrin ini yaitu  bentuk yang 

belum sempurna dan tidak ada hierarki-hierarki yang disebutkan.136 

Al-Kindi mengharmoniskan jutaan akal dan wahyu, mengaitkan akal Ilahi dan 

akal Tuhan melalui Ruh alaminya atau akal aktif. Akal aktif ini yaitu  pancaran dari 

Allah, hal ini mengikuti pemikiran Platonisme/Neoplatonisme dan menjelaskan 

terciptanya alam dengan teori emanasi atau teori Assudur (Teori Kemunculan). Dan 

perbuatan Allah tampak di alam melalui perantara-perantara yang lebih atau 

mempengaruhi yang dibawah. Dan masing-masing perantara saling bersambung 

dengan ketersambungan sebab akibat muncul Allah yang Esa, yaitu akal yang satu 

(al-aql al-wahid) atau akal universal (al-aql al-kulli) dan dari akal kulli muncul jiwa 

universal, dan dari jiwa universal muncullah planet-planet, bintang-bintang, bumi, 

manusia dan alam materi.

Bagi Al-Kindi, satu-satunya sebab yang sejati yaitu  Tuhan yang menciptakan 

dunia ex nihilo (dari tiada); semua sebab lainnya disebut demikian hanya secara metaforis (bi 

al-majaz). Sebab sejati ini, atau sebab pertama, juga disebut sebab tertinggi (ba’idah), sebagai 

lawan dari sebab terdekat (qaribah). Dunia langit, dari bulan hingga bola langit terjauh (yaitu, 

bola bintang-bintang tetap), sama sekali tidak memiliki atau kosong dari kualitas-kualitas 

primer (panas, dingin, basah, dan kering) dan juga terhindar dari penciptaan dan kerusakan 

yang hanya ditemukan di dunia sublunar (bawah-bulan) yang tersusun dari empat unsur (api, 

udara, air dan tanah). Semua perubahan yang terjadi di alam dunia disebabkan oleh gerak 

benda-benda langit, kecepatan dan jaraknya, persesuaian dan pertentangannya. Ini tampak 

jelas khususnya dalam kasus matahari yang bahkan mempengaruhi kondisi fisik mahluk hidup 

di daerah tropis. Namun, ini semua terjadi hanya atas kehendak pencipta. Ada hubungan erat 

antara keempat kualitas primer, keempat unsur, dan keempat musim. Bulan dan planet-palnet 

disamping bintang-bintang dan rasi-rasi yang lebih besar, meski pengaruh mereka kurang 

terasa, juga memainkan peran penting dalam keberagaman dan variasi musim yang dapat 

diamati antara satu tahun dan tahun lainnya. Dengan demikian, bintang-bintang atau bola 

langit (falak) yaitu  sebab dari semua yang terjadi dan berlangsung di dunia bawah-bulan. 

akan namun  Al-Kindi menyatakan dengan tegas bahwa semua ini terjad disebabkan oleh 

kehendak Tuhan, yang telah mengatur dan menyusunnya demikian. 

 

Doktrin emanasi dalam Teologi Neoplatonik al-Farabi138 mempunyai problem 

dasar sejauh menyangkut fikiran kehendak Tuhan. Apakah yang berbuat akal? Perlu 

dilacak Teori Ontologi Neoplatonik, yakni konsep emanasi itu sendiri yang 

menjelaskan neoplatonisme Farabian. Virtous City “al-Madinah al-Fadhilah” diakui 

sebagai master piece “Magnum Opus”. 139 Pembahasan mengenai Teori Politik dan 

Sosiologi ala Plato yang tampak dalam bagian-bagian volume ini seluruhnya 

didominasi oleh bahasa mengenai Neoplatonisme. Al-Farabi memulai pembahasan 

mengenai doktrin emanasinya pada Bab VII dengan judul “Al-Qawl fi Kayfiyyat 

Sudur Jami’ al-Mawjudat ‘anhu.”140 Tidak menggunakan istilah “Fayd” tapi 

menggunakan istilah “Sudur” pada bagian ini al-Farabi mendefinisikan Tuhan 

dengan istilah “Al-awwal” The first sebagai sumber semua wujud. Semua wujud yang 

lain berasal darinya, dan inilah yang biasa dipahami sebagai Teori Emanasi 

Neoplatonik. Emanasi wujud ini tidak menambah apapun secara absolut pada Allah 

atau kesempurnaannya, sebab  dia yaitu  kesempurnaan total itu sendiri. Dia hadir 

untuk diriNya bukan untuk eksistensi yang lain. Bagian selanjutnya tentang hierarki 

wujud yang beremanasi dari “The First” dan unsur-unsur pokok dari hierarki 

emanasi.141  

Tuhan bagi al-Farabi selalu diposisi yang pertama, ia menyebut emanasi yang 

pertama selain Tuhan sebagai “The Second” Wujud yang kedua yaitu  akal yang 

pertama. yaitu  substansi immaterial yang mampu memahami yakni esensi akal 

yang kedua dan Tuhan sendiri. Akal pertama hanya satu dalam hierarki kompleksnya 

al-Farabi yang tidak secara langsung berhubungan langit atau bintang (dunia 

kawakib). Struktur penciptaan secara emanasi menurut al-Farabi bisa dijelaskan 

sebagai berikut:  

Allah Yang Maha Esa memikirkan (ta’aqqul) Dzat-Nya, yang merupakan daya, 

dan daya ta’aqqul Allah itu menciptakan Akal Pertama. Obyek ta’aqqul Allah Yang 

Maha Esa (ahad) mesti satu pula, yang setara Maha Sempurna dan Esa denganNya, 

yakni Dzat-Nya. Hal ini sejalan dengan prinsip ciptaan emanasi: dari Yang Satu (Esa) 

hanya terciptanya satu pula (al-wahid la yasdur’anhu illa wahid). Sebagai Allah 

Yang Maha Esa, Akal Pertama juga satu dalam bilangan, namun  di dalamnya 

terkandung arti banyak Akal Pertama yaitu  al-wujud pertama, lalu Akal Pertama 

memunyai dua obyek pemikiran (ta’aqqul), yakni Allah dan dirinya sendiri. 

Akal Pertama ber-ta’aqqul tentang Allah, yang juga merupakan qudrah, 

mewujudkan Akal Kedua dan ber-ta’aqqul tentang dirinya mewujudkan Langit 

Pertama. Akal Kedua ber-ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal Ketiga dan ber-

ta’aqqul tentang dirinya mewujudkan Bintang-Bintang. Akal Ketiga ber-ta’aqqul 

tentang Allah mewujudkan Akal Keempat dan ber-ta’qqul tentang dirinya 

mewujudkan Saturnus. Akal Keempat ber-ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal 

 

 

Kelima dan ber-ta’qqul tentang dirinya mewujudkan Jupiter. Akal Kelima ber-

ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal Keenam dan ber-ta’qqul tentang dirinya 

mewujudkan Mars. Akal Keenam ber-ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal 

Ketujuh dan ber-ta’qqul tentang dirinya mewujudkan Matahari. Akal Ketujuh ber-

ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal Kedelapan dan ber-ta’qqul tentang dirinya 

mewujudkan Venus. Akal Kedelapan ber-ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal 

Kesembilan dan ber-ta’qqul tentang dirinya mewujudkan Merkuri. Akal Kesembilan 

ber-ta’aqqul tentang Allah mewujudkan Akal Kesepuluh dan ber-ta’qqul tentang 

dirinya mewujudkan Bulan. Akal Kesepuluh terhenti proses penciptaan emanasi, 

sebab  daya akan ciptaan Allah ini sudah melemah untuk mewujudkan akal yang 

sejenisnya dan ber-ta’aqqul tentang dirinya mewujudkan Bumi, roh-roh, dan Materi 

Pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah.142 

Masing-masing akal yang berjumlah sepuluh itu mengatur satu planet. Akal-akal 

ini yaitu  simbol dari pada malaikat yang mendapatkan tugas tambahan dari Allah 

dan Akal Kesepuluh, yang juga dinamakan Akal Fa’al disebut dengan Malaikat Jibril 

yang sebagai tugas tambahannya ialah mengatur Bumi.143  

Falsafah menurutnya, yaitu  mengetahui/pengetahuan terhadap “Maujudat” apa 

yang ada sebagaimana adanya atau wujud sebagai wujud (bukan wujud sebagai 

partikular). Yaitu ilmu yang mencakup semua bentuk yang terkandung dalam kawn/ 

semesta alam/ilmu yang memberi gambaran terhadap manusia tentang alam semesta. 

Wujud baginya ada dua macam: Wujud wajib dan Wujud mungkin. 

Seperti al-Farabi, Ibnu Sina (980-1037 M) membangun kosmologi dan skema 

emanasi yang komplek mengenai penciptaan dari ketiadaan (creation ex nihilo) dan 

menjelaskan fenomena yang bisa diamati secara indera dari dunia. Berbeda dari al-

Farabi, Ibnu Sina memberikan peran signifikan pada figur “malaikat” dalam 

hierarkinya, merepresentasikan satu aspek elaborasi sistematik yang luar biasa dari 

doktrin al-Farabi.144 Kosmologi dan ontologi Ibnu Sina dipengaruhi oleh Angeologi 

dalam tingkat tertentu.145Alam dipandang sebagi produk yang abadi atau emanasi dari 

yang satu. Walaupun tidak bermula dari kesengajaan yang satu (‘Ala sabil qasd 

minhu) namun memiliki izin yang penuh dari yang satu.146 Konsep ini dipengaruhi 

Neoplatonisme klasik. Dimana menurut teori ini alam semesta yang terdiri dari 

 


banyak entitas bersumber dari Yang Transenden yang bersifat kesatuan. Penciptaan 

emanasi terjadi melalui medium hierarki Dzat immaterial.147 Rangkaian wujud 

emanasi Ibn Sina yang membuat semua wujud memungkinkan kemunculan yang 

banyak dari yang Satu tanpa melanggar /merusak sistem kesatuan dari yang satu.148 

Dari yang satu atau wajib al-wujud beremanasi satu wujud First Intellect.149 Sifat 

first intellect satu dan tak terbagi seperti juga wajibul wujud dan muncul dari 

kontemplasi dan esensinya sendiri.150 sebab nya, first intellect hasil dari inteleksi 

Ilahi murni, dan kontemplasi dirinya menjadi motor penggerak dari ciptaan.151 namun  

pluralitas dan keberagaman yang tampak di alam semesta berasal dari first intellect 

bukan dari Tuhan.152 Tuhan bukan kontingen, sebab nya tak bisa menciptakan 

keberagaman: yang bisa yaitu  first intellect.153 Sistematika emanasi Ibnu Sina bisa 

dijelaskan sebagai berikut: Ibnu Sina menetapkan tiga obyek pemikiran (ta’aqqul), 

yakni Allah sebagai wajib al-wujud liDzatihi memnculkan wajib al-wujud lighyrihi 

dan dirinya sebagai mumkin al-wujud. Dari pemikiran (ta’aqqul) tentang Allah 

sebagai wajib al-wujud liDzatihi timbul akal-akal, dari pemikiran (ta’aqqul) tentang 

dirinya sebagai wajib al-wujud lighyrihi timbal jiwa-jiwa yang berfungsi sebagai 

penggerak planet-planet, dan dari pemikiran (ta’aqqul) tentang dirinya sebagai 

mumkin al-wujud timbul planet-planet.  

Baik al-Farabi maupun Ibnu Sina keduanya memiliki prinsip struktur dan  sistim 

emanasi yang sama termasuk obyek ta’aqqul Allah yang Esa (al-wahidah la yasdur 

anhu illa wahid, dari yang satu hanya muncul satu), mereka berbeda dalam 

menetapkan obyek pemikiran akal-akal, bagi al-Farabi akal-akal mempunya dua 

obyek pemikiran (ta'aqqul) yakni Allah dan dirinya, sementara Ibnu Sina menetapkan 

tiga obyek pemikran (ta’aqqul). Penciptaan emanasi Ibnu Sina menghasilkan sepuluh 

akal dan Sembilan planet serta satu bumi. Sembilan akal mengurusi Sembilan planet 

dan Akal Kesepuluh mengurusi bumi. Berbeda dengan al-Farabi, bagi Ibnu Sina 

amsing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet. sebab  akal (imateri) 

tidak bisa langsung menggerakan planet yang bersifat materi.

Syekh al-Isyraq (Suhrawardi), secara literal dikenal sebagai Master of 

Illumination.155 Berbeda dengan filsafat peripatetik Islam yang lebih menekankan 

aspek rasio, aliran Illumination justru memberikan porsi lebih besar pada peran 

intuitif (irfani) sebagai pendamping dari penalaran rasional melihat alam semesta. 

Pemikiran isyraqiyyah menyebutkan bahwa malaikat yaitu  sebagai cahaya (exist it 

self). Pemikiran Suhrawardi dipengaruhi (driven by) oleh dinamisme internal. 

Starting point mengenai pemikiran ini, secara logis yaitu  Tuhan sendiri, sebab  Dia 

yaitu  asal dari semua wujud cahaya (Nur al-Anwar) dan berakar pada cahaya yang 

secara ontologi bukan sebagai simbol. Hierarki cahaya Suhrawardi punya sejumlah 

kesamaan dengan hierarki ontologisnya Neoplatonik, contohnya; hierarki dan 

dunianya yaitu  juga merupakan dari emanasi eternal (terus-menerus).   

Bagi Suhrawardi al-Maqtul, merupakan konsekuensi logis dari keabadian, dari 

Sang Agen Ilahi yang ciri keabadiannya yaitu  jaminan pada keabadian alam.156 

Entitas-entitas dalam hierarki mistik juga tersambung ke Angelologi dan Cosmologi. 

Perbedaan pokok prinsip bahwa seluruh sistem Suhrawardi dilihat melalui Isyraqi 

filter, yakni ketika ada identifikasi radikal dari emanasi, intelek, dan cahaya.157    

Entitas pertama yang memancar dinamakan (Nur al-Anwar) “First Intellect” dan 

“First Light” (Cahayanya segala cahaya) yang memberikan penyinaran pada hierarki 

dibawahnya. Dalam corpus Suhrawardian yang bertumpu pada Angelologi Mazdean 

sebagai penggambaran hierarki malaikat.158 Dalam istilah dua tatanan, longitudinal 

atau panjang/tinggi (thuli) dan latitudinal atau lebar (‘ardhi); Bahman159 yaitu  

malaikat tertinggi dan cahaya yang paling dekat (al-Nur al-aqrab) atau cahaya 

terbesar (Great Light, al-Nur al-A’dzom).160 Tatanan latitudinal, para malaikat 

 

memunculkan tatanan malaikat perantara yang bertindak sebagai pengawas dan 

menguasai spesies-spesies secara langsung.    

Dengan simbolisme cahaya menggambarkan masalah ontologis untuk 

memaparkan struktur kosmologis. Sebagai contoh wujud niscaya (wajib al-Wujud) 

peripatetic disebut: cahaya di segala cahaya (nur al-Anwar), intelek-intelek terpisah 

disebut cahaya-cahaya abstrak (anwar mujarradah),161 dimana cahaya yang 

dibawahnya didominasi oleh cahaya yang lebih tinggi dan yang lebih awal 

merindukan ke yang dibawahnya. Seluruh eksistensi diatur seperti ini hanya Tuhan 

yang mendominasi dan tak merindukan apa-apa kecuali mencintai diri-Nya sendiri.

   

5. Perspektif Tasawuf  

Pemikiran al-Ghazali (450 H/1058M – 505 H/1111M) tentang alam bermula dari 

kritikannya terhadap pemikiran para filsuf sebelumnya, yang menyatakan bahwa 

alam yaitu  kadim, dan ada bersama Tuhan. Sebab inilah al-Ghazali mengkritik dan 

menyatakan bahwa alam tidak kadim melainkan baru. Ia menyatakan bahwa Tuhan 

mempunyai kehendak untuk menetapkan keberadaan alam.163 sebab  kehendak 

Tuhan bersifat azali, maka alam muncul sebagaimana adanya, dengan sifat 

kebaharuannya.164 sebab  Tuhan dan kehendaknya telah ada sebelum adanya alam.    

Menurut Imam al-Ghazali, alam semesta ini diciptakan oleh Yang Maha 

Pencipta yaitu Allah swt.165 Dengan demikian, Tuhan dan alam semesta berbeda 

dalam kedudukan dan sifatnya. Sebagai Pencipta, Tuhan  bersifat  Qadim,  sedangkan 

alam  semesta,  sebagai  ciptaan bersifat hudus.Tuhan, yaitu  sebab bagi wujud yang 

baru. Sementara  wujud  yang  baru  selalu membutuhkan  kepada  sebab yang 

menjadikannya.166   

Tuhan menciptakan alam dari ketiadaan. Adanya ketiadaan sebelum penciptaan 

alam bukanlah sesuatu yang mustahil. Dalam hal ini, kehendak Tuhan tidak 

dianalogikan dengan kehendak manusia dari tidak mau (mencipta alam) berubah mau 

(mencipta alam).167 Menurut al-Ghazali setiap hal yang ada di alam fisik yaitu  

 


simbol atau lambang dari sesuatu yang ada di alam yang lebih tinggi, arketip 

samawinya. Dan ini merupakan pandangaan simbolis dari pengetahuan spiritual.168 

Dalam ontologi al-Ghazali, Tuhan dikenal melalui dunia dan dunia diciptakan untuk 

itu.169 al-Ghazali membuat perumpamaan Tuhan sebagai ‘Cahaya’ dan dunia yaitu  

bias-Nya. 

Menurut pandangan Abdul Qadir al-Jailani (1078 M-1166 M), tujuan penciptaan 

alam yaitu  menyingkap khazanah yang tersembunyi dengan merujuk pada Hadis 

Qudsi, “Pada awalnya, Aku yaitu  khazanah tersembunyi, lalu Aku ingin diketahui. 

Maka, Aku menciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku,” yakni agar mereka 

mengenal sifat-sifat-Ku di dunia.170 Sebagaimana Dzat Allah yang wajibul wujud, 

Maha Qadim yang Azali, Kekal, dan Abadi. Maka sifat-sifat Allah yang merupakan 

cahaya dan tajalli-Nya yang selalu bersama dengan Dzat-Nya. 

Menurut Abdul Qadir al-Jailani alam semesta merupakan objek penglihatan 

manusia melalui fuad dari pantulan cahaya jamalullah. Maka baginya siapa yang 

melihat sifat-sifat Allah di dunia dia akan melihat Dzat Allah di akhirat. Hal ini 

merujuk pada ungkapan Umar ibn al-Khatthab r.a, “Kalbuku melihar Rabb-ku dengan 

cahaya Rabb-ku.” Sayyidina Ali ibn Abi Thalib r.a juga berkata, “Aku tidak 

menyembah Tuhan yang tidak aku lihat(dengan basirahku).”171 

Abdul Qadir al-Jailani, seperti halnya juga al-Ghazali menggunakan 

perumpaman cahaya sebagai simbol realitas dengan merujuk ayat, 

 يّرّد بكوك اهّناك ةجاجزّلا ۗ ةجاجز يف حابصملا حۗابصم اهيف ةوكشمك هرون لثم ۗ ضرلااو تومسّلا رون الله

 الله دهي رۗون ىلع رون رۗان هسسمت مل ولو ءيضي اهتيز داكي ةّيبرغلاو ةّيقرشلا ةنوتيز ةكربم ةرجش نم دقوي

 ميلع ئيش لّكب اللهو سۗاّنلل لاثملاا الله برضيو ءۗآشّي نم هرونل 

 

mempelajari sains yaitu  fardu kifayah bagi umat Islam. Al-Ghazali telah mengingatkan 

dalam Tahafut al-Falasifah, supaya mengkaji sains. sebab  itu, beberapa peneliti jujur dan 

kritis justru melihat positif upaya al-Ghazali. Bahkan sebagian mereka memasukkan al-

Ghazali di antara para pionir sains modern. Demikian seperti diungkap oleh Dr. Mustafa Abu 

Sway, pakar al-Ghazali diISTAC. Lihat dalam Prof. Dr. Cemil Akdogan, “Asal Usul Sains 

Modern dan Kontribusi Muslim”, dalam ISLAMIA, Thn. I, No. 4, Januari-Maret 2005, 95. 

Lihat juga Syamsuddin Arif, “Sains di Dunia Islam”, ISLAMIA, (Thn. I, No. 6, Juli-

September 2005), 93-94. Hal ini bisa dibuktikan dengan kenyataan bahwa setelah wafatnya 

al-Ghazali (w. 1111), sains tetap berkembang sampai abad ke-16. Observatorium Maragha 

misalnya, dibangun tahun 1259 hingga tahun 1304. Di Samarkand, observatorium juga 

dibangun tahun 1420. 


“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, 

seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu 

di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang 

dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang 

tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir 

menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahay (berlapis-lapis, Allah 

memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah 

membuat perumpaan-perumpaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala 

sesuatu”. (QS. An-Nur[24]: 35)172 

Para sufi berpendapat, termasuk Abdul Qadir al-Jailani, bahwa misykah yaitu  

kalbu orang mukmin  dan yang dimaksud pelita yaitu  sirri al-fuad yakni Roh 

Sulthani, yang dimaksud kaca yaitu  fuad. Allah menyifati fuad dengan berkilauan 

(durriy) sebab  cahayanya yang sangat kuat173. Maka Allah menjelaskan sumber 

cahayanya (al-ma’adin), “yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang 

diberkahi,” pohon yang dimaksud yaitu  pohon talqin174. 

Allah ber-tajalli dengan rupa di dalam cermin ruh tanpa ada perantara antara 

yang ber-tajalli dan yang melihat tajalli. Rupa yaitu  yang terlihat dalam cermin 

bukan cermin dan bukan yang bercermin sebab  Allah suci dan terbebas dari memiliki 

rupa, memiliki materi dan fisik. Dan cara melihat Tuhan seperti ini terjadi di alam 

sifat bukan di alam Dzat. Sebab di alam Dzat semua perantara musnah dan tidak ada; 

yang ada hanya Allah. Seperti halnya sabda Nabi saw., “Aku mengenal Rabb-ku 

dengan Rabb-ku,” yakni, “dengan cahaya Rabb-ku,” Adapun Manusia sejati yaitu 

mahramnya cahaya Allah. Hal ini merujuk pada Hadis Qudsi, “Manusia yaitu  siri-

Ku dan Aku adaah siirnya manusia.” Rasulullah saw. bersabda, “Aku (Muhammad) 

dari Allah dan orang-orang mukmin dariku.” Allah juga berfirman dalam Hadits 

Qudsi, “Aku ciptakan Muhammad dari wajah-Ku.” Adapun yang dimaksud dengan 

“wajah Allah” yaitu  Dzat suci yang ber-tajalli dengan sifat rahman dan rahim. 

Sebagaimana firman Allah dalam Hadis Qudsi, “Sesungguhnya rahmat-Ku 

mendahului murka-Ku.” Allah berkata kepada Rasul-Nya dalam ayat “Sesunggunya 

Aku mengutus engkau sebagai rahmat bagi semua alam.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107). 

Allah juga berfirman dalam ayat “Telah datang kepada kamu sekalian cahaya (yakni 

Nabi Muhammad saw) dan kitab yang menjelaskan (al-Qur’an).” (QS. Al-Ma’idah 

[5]: 15). Dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman, “Jika bukan sebab mu, jika bukan 

sebab mu (Muhammad Saw), maka aku tidak akan menciptakan alam semesta”175.  

Menurut Jalaludin Rumi (1207 M-1273 M), penciptaan dunia maupun bentuk-

bentuk terbatas yang ada di dalamnya merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan dan 

perbuatan Tuhan yaitu  pengejawantahan dari sifat-sifat-Nya. Seperti halnya Abdul 

Qadir al-Jailani, Rumi juga merujuk pada Hadits Qudsi: “Aku yaitu  Perbendaharaan 

Yang Tersembunyi, Aku ingin dikenal. sebab nya Kuciptakan dunia, supaya Aku 

dikenal.” Tujuan penciptaan, dengan demikian, untuk “menjadikan jelas” (izhhar) 

sifat dan nama-nama Tuhan.176 Selanjutnya, dalam Masnawi 29, Rumi menjelaskan 

bahwa firman Tuhan: “Hanya sebab  Aku ingin menampakkan Perbendaharaan-Ku, 

sehingga Kujadikan kalian mampu memahami Perbendaharaan itu. Hanya sebab  

Aku ingin menunjukkan Kesucian dan Luthf Lautan ini, maka Kutunjukkan 

pemahaman yang tinggi dan pertumbuhan melalui ikan Luthf dan ciptaan Lautan. 

sebab nya, mereka memiliki ketundukan dan mengikuti petunjuk-petunjuk. Apakah 

manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah 

beriman,” dan tidak akan diuji? Beratus-ratus ribu ular mengaku dirinya sebagai ikan. 

Bentuk-bentuk mereka yaitu  ikan, namun makna mereka yaitu  ular.”177 

Dunia diciptakan untuk mengejawantahkan, supaya Perbendaharaan 

Kebijaksanaan tak tersembunyi. Bagi Rumi, dunia tercipta disebabkan sebab  Cinta-

Nya kepada Muhammad sebagaimana Hadis Qudsi: “Jika bukan sebab  Engkau, 

tidak akan Kuciptakan surga.” Semua perbuatan dan gerak berasal dari Cinta, Cinta 

Tuhan mengejawantahkan Perbendaharaan Yang Tersembunyi melalui diri para Nabi 

dan orang-orang suci menjadi motivasi bagi penciptaan alam semesta. Bentuk-bentuk 

dunia tiada lain yaitu  pantulan-pantulan keunikan Realitas-Nya. Seperti halnya syair 

berikut ini: 

“Makhluk-makhluk bergerak sebab  Cinta, Cinta oleh Keabadiaan tanpa permulaan: 

angin menari-menari sebab  semesta, pohon-pohon disebabkan oleh angin” (Diwan 

5001) 

Tuhan berkata pada Cinta, “Jika bukan sebab  keindahanmu untuk apa Aku mesti 

menatap pada cermin eksistensi?” (Diwan 26108) 

Dunia bagaikan sebuah cermin yang memantulkan kesempurnaan Cinta. Oh Kawan! 

Siapakah yang pernah melihat bagian lebih besar dari keseluruhan? (Diwan 25248) 

Cinta yaitu  inti, dunia yaitu  kulit, Cinta yaitu  manisan, dunia yaitu  panci. 

(Diwan 22225).178 

Cinta yaitu  keseluruhan ajaran Rumi, baginya cinta yaitu  stimulus dibalik 

gerakan bola dan bahkan sebagai penyebab eksistensi alam semesta. Bagi Rumi, 

dunia mengapung seperti bintik busa di lautan Cinta. Di mana partikel alam semesta 

saling mencari seperti pencinta mencari kekasih. Dunia akan sedingin es tanpa adanya 

Cinta. Kekuatan Cinta mengangkat materi anorganik menjadi tanaman dan dari 

 


kehidupan vegetatif menjadi hewan dan kemudian menjadi kehidupan spiritual 

seperti roh suci. Dan semua hal menjadi sempurna laksana kualitas Ilahi, yaitu 

Kehidupan, Pengetahuan, Keindahan, Kebijaksanaan, dan semua berasal dari 

Cinta.179  

Kosmologi dalam perspektif tasawuf menunjukkan bahwa kosmologi sufi tidak 

sekedar bicara alam secara fisik (kosmogeni) namun  alam merupakan media dan 

simbol keberadaan Sang Pencipta. Meskipun narasi yang dibangun antara al-Ghazali, 

Abdul Qadir al-Jailani dan Jalaludin Rumi berbeda. Namun, dapat diambil 

kesimpulan bahwa dunia tercipta sebab  Iradah dan Cinta-Nya. 

  

C. Paradigma  Kesadaran Kosmik  

Inti dari sub bab paradigma kesadaran kosmik merupakan uraian yang terkait 

dengan kosmos sebagai simbol yang melahirkan kesadaran manusia terhadap makna 

dibalik keberadaan alam. Seperti halnya pepatah Arab yang mengatakan bahwa 

“manusia merupakan simbol dari sebuah keberadaan (al-insanu ramz al-wujudi).” 

Hal ini bermakna bahwa keberadaan semesta merupakan objek pengetahuan yang 

hanya dipahami oleh manusia sebagai subjek.180 

 

1. Konsep Simbol dan Bahasa Kosmik  

Simbol atau tanda dimaknai sebagai sebuah konsep pengetahuan – keberadaan 

dan sesuatu yang mengandung teori.181 Dalam teori semiotika Ferdinand De 

Saussure, simbol atau tanda merupakan pintu yang menghubungkan satu ruang 

dengan ruang yang lain. 182 Jika dikaitkan dengan kosmos berarti kosmos yaitu  

sebuah tanda atau sebuah pintu yang menghubungkan kepada ruang adi kosmos. Jika 

kosmos dipahami sebagai tanda atau language maka kosmos yaitu  fakta yang 

merupakan sistem tanda yang terstruktur untuk mengekspresikan serta 

menyampaikan gagasan atau ide. Maka kosmos dalam hal ini bisa dipahami sebagai 

penyampai pesan.

 

Menurut Edwin Smith simbol diartikan dalam hubungan dengan sesuatu yang 

lain yang disebut objek atau referensi, serta menggambarkan makna untuk memahami 

suatu referensi atau objek sebagian atau keseluruhan atau berfungsi untuk mengingat 

kembali suatu referensi atau objek yang hilang. Simbolisme yaitu  suatu bentuk 

komunikasi yang ekspresif, mengandung suatu pesan atau informasi yang tidak dapat 

dikatakan secara langsung. Selanjutnya menurut John H.M. Beattie, simbol 

berimplikasi pada makna yang tidak berasal dari konteks pengalaman sebab  simbol 

merujuk realitas yang lain atau diluar konteks pengalaman.184 Adapun fungsi simbol 

yaitu  fungsi bahasa yang menurut Victor W. Turner simbol harus melibatkan 

mekanisme proyeksi alam bawah sadar dan juga sebagian diatur oleh pemikiran 

konseptual alam sadar.185  Selanjutnya, menurut Ferdinand de Saussure, sistem tanda 

dan makna lebih menekankan peranannya pada aspek bahasa dibanding sistem lain 

seperti tulisan, agam, adat istiadat, dll.186 

Makna simbol dapat dicapai sepenuhnya jika dilihat sebagai bagian dari suatu 

sitem kompleks dari ide-ide yang saling berhubungan, oleh sebab  itu menurut Turner 

simbol dapat menjadi multivalent (menyatakan motivasi yang berbeda) dan 

multivokal (memiliki ideologi dan kognitif yang berbeda).187 Eliade mengakui bahwa 

semua kegiatan manusia melibatkan simbolisme bahkan simbol yaitu  cara khusus 

untuk mengenal hal-hal religius. Oleh sebab  manusia yaitu  mahluk fana dan 

terbatas maka manusia tidak memiliki akses terhadap hal-hal yang sakral dan 

transenden. sebab  pengetahuan manusia bukan berasal dari produk akal rasionalnya 

namun  yang sakral dan transenden menyatakan diri kepada manusia melalui wahyu. 

Yakni pernyataan diri yang kudus (hierophani) atau pernyataan diri yang Maha 

Kuasa (kratophani).188  

Menurut Eliade transendensi Tuhan dinyatakan secara langsung dalam sifat-sifat 

langit yang memiliki sifat ketakberhinggaan, keabadian, yang tidak dapat didekati 

oleh kekuatan kretaif.189 Menurut Eliade manusia bukan saja mahluk rasional namun  

juga homosimbolikus. Baginya pemikiran simbolik yaitu  suatu sistem yang koheren 

atau saling berhubungan190. Setiap simbol memiliki unsur metafisika dan logika. 

 


Konsep metafisika tidak selalu dirumuskan dalam bahasa teoritis namun  melalui 

simbol, ritual dan mitos. Bagi Eliade simbolisme dapat dirumuskan secara sitematis 

dan mengikuti struktur logika rasional. Eliade membedakan antara konsep dan 

simbol. Konsep merupakan tindakan khusus dari intelegensia manusia, sedangkan 

simbol yaitu  tindakan dari keseluruhan manusia, sebab  simbol terkait dengan hal-

hal yang bersifat religius yang melibatkan totalitas manusia yang bukan usaha intelek 

atau imajinasi. Eliade menekankan nilai eksistensial simbolisme yang mengarahkan 

pada suatu realitas atau suatu situasi dimana eksistensi manusia terlibat didalamnya. 

Simbol berfungsi menyatakan yang Kudus atau realitas kosmologis yang 

menimbulkan kesadaran manusia terhadap yang kudus.191  

Menurut Paul Tillich, fungsi terpenting dari simbol yaitu  untuk menyatakan 

sesuatu yang melampaui dirinya sendiri, dengan kekuatan sesuatu yang ia tunjuk dan 

membukakan tingkatan realitas yang biasanya tertutup, serta membukakan realitas 

jiwa manusia yang baisanya tidak menyadarinya.192    

Makna simbolisme yang terkait dengan perjalanan spiritualitas merujuk pada 

sebuah entitas sensible yang memunculkan kesadaran dari derajat fisik kepada derajat 

yang supra fisikal. Seperti halnya yang dijelaskan oleh A. Snodgrass193; 

“The symbol is the immanent expressionof the Divine. Through participation in both 

the sensible and the metaphysical orders of ontological Existence the symbol acts as 

the vehicle by wich the human may be lead back to the Divine. The symbol operates 

through the relationship of the intelligence and the intellect. The unfolding or 

unveiling of Reality through a progression of symbolic initiations acts like so many 

rungs pf ladder leading “upwards” to the Divine. In this way the symbol is anagogic: 

from the Grekk anago (“to lead up to”), as in leading the understanding to a 

metaphysical meaning”. 

Simbol yaitu  ekspresi imanen Sang Maha Realitas yang berfungsi menyadarkan 

manusia pada derajat eksistensi yang di atas. Kesadaran manusia akan muncul ketika 

simbol terhubung dengan intelek. Realitas akan tersingkap melalui sebuah inisiasi 

simbolis sebagai sebuah tangga ‘anagogic’. Anagogical symbol merupakan sebuah 

kesadaran yang mengarah ke atas sebagai kesadaran metafisis. 

Bagi Eliade sifat multivalent sebuah simbol berarti mengandung berbagai makna 

dan mengekspresikan makna-makna tersebut pada masa yang sama yang berasal dari 

diversity in unity (keberagaman dalam ketunggalan) yang merupakan metafisis 

sebuah simbol.194 Seperti halnya pernyataan Rene Guenon: 

 

“… every real symbol bears its multiple meanings within itself, and is so from its 

very origin; for it is not constituted as such in virtue of human convention but in virtue 

of the law of correspondence which links all the worlds together” 195 

Setiap simbol yang benar mengandung beragam makna di dalam dirinya dan berasal 

dari asalnya sendiri. Dia bukan produk dari fikiran manusia atau kesepakatan 

konvensional manusia namun  makna itu terkandung dalam sebuah simbol sebab  

adanya law correspondent yang menghubungkan antara segala keberadaan.  

Selanjutnya Rene Guenon menyatakan lagi: 

“If some see these meanings while others do not, or see them only partially, they are 

nonetheless really there; it is the “intellectual horizon” of each person that makes all 

the difference. Symbolism is an exact science and not a daydream in which individual 

fantasies can have a free run” 196 

Jika seseorang melihat makna-makna tersebut sementara orang lain tidak 

mempresepsinya atau mereka hanya melihat sebagian saja tidak berarti bahwa 

makna-makna itu yaitu  hasil ciptaan manusia. Dan bahkan hanya menunjukkan 

bahwa ufuk kesadaran manusia tidak menangkap semua makna yang terkandung 

dalam simbol dan ufuk kesadaran inilah yang menunjukkan segala perbedaan. 

Simbolisme yaitu  sebuah ilmu yang pasti dan sama sekali bukan sebuah fantasia tau 

rekayasa manusia. 

Ufuk kesadaran atau intelektual horizon bisa dimaknai sebagai keterbatasan 

manusia. Sifat multivalent akan menghalangi terjadinya reduksi terhadap simbol 

seperti pernyataan Eliade sebagai berikut; Jika kita berpegang hanya pada satu makna 

dan menganggap makna itu sebagai makna yang fundamental yang pertama atau yang 

asli, maka resikonya yaitu  tidak memahami pesan sebenarnya dari simbol.  197 

Selanjutnya Snodgrass menekankan bahwa; sebuah penafsiran akan benar-benar 

melaksanakan keadilan terhadap dimensi horizontal dan vertikal sebuah simbol, 

ketika membiarkan maknanya terbuka dan tidak membatasi dalam konfigurasi 

terbatas atau sebuah hipotesis yang tertutup. Pada saat kita membandingkan dua 

ekspresi dari sebuah simbol hal ini tidak dilakukan untuk mereduksi simbol pada satu 

makna namun  untuk menemukan berbagai makna dalam sebuah struktur tunggal. Yang 

berarti agar lebih memahami pesan dari simbol.198  

Untuk memperkaya makna atau “enrichment of meaning” dengan cara melihat 

ke dalam (inward looking) dan “menyatukan” (unifying). Seperti halnya dijelaskan di 

atas bahwa dengan melihat beberapa simbol kita akan menemukan beberapa makna. 

Dan akan menemukan hubungan antara simbol-simbol yang disebut oleh Snodgrass 

sebagai the network of homologus symbols yang berfungsi untuk menyingkap 

prinsip-prinsip esensial “unity in diversity”. Antara simbol-simbol saling menguatkan 

dan berperan sebagai “reinforcements”.199  

Derajat keragaman horizontal sebuah simbol mengekspresikan kesamaannya 

pada tahap Keberadaan dimana simbol itu berada.200  Hal ini diperkuat oleh Snodgrass 

bahwa simbol memiliki banyak makna dalam tahap horizontalnya. Setiap simbol 

akan membentuk bagian dari sebuah skema referensi yang saling terhubung ia 

membentuk bagian dari pola yang sangat terkait antara yang satu dengan yang lain, 

seperti halnya sebuah sarang laba-laba yang penuh dengan makna-makna. Kita akan 

menemukan makna yang lebih dalam dengan mempelajari jaringan yang terbentuk 

dari kesamaan simbolisnya. Pola yang tampil dari penjajaran simbol-simbol 

mempunyai akar yang sama yang tidak akan mengakhiri atau membatasi signifikansi 

simbol yang puncaknya melalui kata-kata. namun  pola ini akan memperkuat 

keintiman dengan menunjukkan adanya sebuah keterpaduan logis dan integritas yang 

menunjukkan bahwa keintiman Sang Prinsip Yang Maha Meyakinkan.201 Kesamaan 

dan hubungan antar makna-makna sebuah simbol secara vertikal akan membimbing 

intelek ke atas. Aspek ini diistilahkan sebagai anagogical. Derajat vertikal ini akan 

membawa masuk ke dalam wilayah metafisis dan semakin ia masuk ia akan semakin 

meluas dan semakin tak terbatas.202   

Penjelasan di atas bahwa simbol yaitu  multivalent yang secara horizontal dan 

vertikal mempunyai peran yang berbeda. Aspek horizontalnya saling terkait dan 

menguatkan (reinforcement) sementara aspek vertikalnya akan meningkatkan dan 

memperdalam. Yang berarti kesadaran terhadap simbol akan semakin meluas dan 

mendalam. Dalam perspektif tradisional alam yaitu  simbol kepada hakikat-hakikat 

yang Supranatural yang berarti simbolis alam yang esensial dan efektif merupakan 

representasi simbolis dari Sang Maha Realitas. Simbol yaitu  bayangan atau refleksi 

dari Realitas yang lebih tinggi.203    

 

2. Kosmos dan Simbol Kesadaran  

Teori yang digagas oleh Richard Maurice Bucke204, bahwa kesadaran kosmik 

(Cosmic Consciousness) mendefinisikan kosmos bukanlah benda-benda mati, 

manusia memiliki jiwa yang kekal alam diciptakan agar segala sesuatu menjadi baik, 

setiap orang merasa bahagia dan cinta merupakan prinsip dasar dari jagat raya. Bucke 

meyakini tumbuh dalam kesadaran merupakan bagian dari evolusi manusia. Bucke 

membagi tiga fase kesadaran; yakni kesadaran sederhana (simple conciousness), 

kesadaran diri (self consciousness), dan kesadaran kosmik (cosmic consciousness) 

sebagai highest consciousness dalam diri manusia. Bucke mendefinisikan kesadaran 

kosmik sebagai suatu kesadaran yang tajam tentang hidup dan keteraturan alam 

semesta sejati, di mana seseorang merasakan kesatuan dengan Tuhan atau energi 

semesta. Kesadaran intelektual ini atau pemahaman tentang kebenaran menimbulkan 

kebahagiaan yang luar biasa sebab  melihat bahwa hakikat alam semesta yaitu  

cinta.205 

PD Ouspensky membuat kesimpulan atas gagasan cosmic consciousness 

Maucice Bucke bahwa kesadaran kosmik pada dasarnya y