Tampilkan postingan dengan label halal haram menurut islam 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label halal haram menurut islam 6. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Januari 2025

halal haram menurut islam 6


 ) Berasal dari perak. (4) Untuk satu kebutuhan. Dalilnya riwayat

yang terbukti shahih dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas bahwa mang￾kuk Nabi ffi pecah. Lantas beliau mengambil rantai dari perak untuk

mengaitkan pecahan tersebut.173)Maka hadits ini membatasi keumuman

larangan yang telah disebutkan.

Bila ditanyakan, dari mana kalian mengambil syarat 'sedikit'?

Jawabnya, inilah yang umum pada mangkuk. Yakni bentuknya yang ke￾cil. Dan, biasanya, bila pecah mangkuk tak membutuhkan pengait yang

banyak. Sementara asal hukum penggunaan emas dan perak sebagai wa￾dah adalah haram, maka kita membatasinya dengan yang umum terjadi

saja.

Jika ditanyakary kalian mengatakan'harus berupa talipita', yakni

sesuatu untuk menambal wadah. Tapi seandainya seseorang menempel￾kan perak pada corong ketel, mengapa tidak boleh? Dl1awab, sebab ini

bukan untuk satu kebutuhan dan bukan berupa pengikaf melainkan

penambahan dan aksesori saja sehingga tidak boleh.

Jika ditanyakary mengapa kalian mensyaratkannya berasal dari

perak? Kenapa kalian tidak menyamakan emas dengan perak? Kami

katakan, redaksi hadits (nash) hanya menyebutkan perak. Kemudian

emas itu lebih mahal dan lebih keras pengharamannya. Karenanya, da￾lam masalah pakaian, laki-laki diharamkan mengenakan cincin emas

dan dibolehkan memakai cincin perak. Ini mengindikasikan, perak

lebih ringan larangannya. Bahkan dalam bab pakaian, Syaikhul Islam,mengatakan, "Hukum asal perak adalah boleh dan halal bagi laki-laki,

kecuali dalam sesuatu yang ada dalil pengharamafi:rya."lTa)

Selain itu, seandainya emas boleh tentu Nabi $ menggunakannya

untuk menambal pecahan. Sebab emas lebih tahan karat, berbeda de￾ngan perak. Karenanya, ketika seorang sahabat membuat hidung dari

perak -dikarenakan hidungnya putus dalam satu peperangan, yakni

perang Kulab, di masa jahiliyah- hidung buatan ini membusuk. Maka

Nabi ffi memerintahkannya membuat hidung dari emas175) karena tidak

bisa membusuk.

Pengambilan syarat 'untuk suatu keperluan' dari hadits di atas,

bahwa Nabi M tidak menggunakan rantai perak itu kecuali karena satu

keperluan, yakni menyatukan bagian yang pecah.

Ungkapan penulis,'Untuk satu keperluan,' menurut ulama, makna

keperluan adalah berkaitan dengan suatu tujuan dalam Penggunaan￾nya selain sebagai hiasan. Artinya, tidak menjadikannya sebagai akse￾sori. Syaikhul Islam berkata, "Maknanya bukanlah tidak mendapatkan

sesuatu untuk menambal pecahan selain perak. Sebab ini tidak disebut

keperluan, melainkan darurat. Dan situasi darurat itu membolehkan

penggunaan emas dan perak, baik murni maupun bercampur dengan

yang lain. Andai seseorang terpaksa minum pada wadah emas, ia boleh

melakukannya. Karena ini situasi darurat."

Ungkapan penulis, "Dan makruh langsung menyentuhnya tanpa

suatu keperluan," yakni, makruh hukumnya langsung menyentuh pita

pengait dari perak yang sedikit itu. Maksud langsung menyentuhnya

adalah bila seseorang ingin minum dari wadah yang telah dikait de￾ngan pita perak ini ia minum dari sisi perak, sehingga ia menyentuhnya

dengan kedua bibir. Perbuatan ini halal. Sebab makruh menurut istilah

ahli fikih adalah sesuatu yang dilarang tidak dalam konteks harus di￾tinggalkan. Hukumnya, orang yang meninggalkan karena mengapli￾kasikan larangan ini mendapat pahala, sedang yang melakukan tidak

terancam sangsi. Berbeda dengan haram, pelakunya berhak mendapat

siksa.Ini menurut istilah para ahli fikih.

Sedang dalam Al-Quran dan As-Sunnah, kata makruh berarti ses￾uatu yang diharamkan. Karenanya, manakala Allah telah menyebutkan

satu demi satu hal-hal yang diharamkan dalam surat Al-Isra', selanjutnya

Dia berfirman, "Senlua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Rabbrnu." (Al￾Isra' [17] : 38). Dan Nabi g; bersabda, "Sesunggtrhnyn Allah mentbenci tign

hal untuk kalian; desas dews, bnnyak bertanyn dan membuang-bunng hnrta.'t17t')

Makruh adalah hukum syar'i yang tidak bisa ditetapkan kecuali

dengan dalil. Siapa yang menetapkannya tanpa dalil kita tolak ucapan￾nya, sebagaimana kalau ia menetapkan keharaman tanpa dalil kita juga

menolaknya.

Berpijak pada kaidah ini, mari kita menyimak perkataan Syaikh

Utsaimin. Ia mengatakan, "Makruh langsung menyentuhnya tanpa sua￾tu keperluan." Maka jika ada keperluan minum dari sisi perak itu, con￾tohnya air tumpahbila tidak diminum dari arah ini, atau wadah diletak￾kan di atas api dan sisi yang tidak ada pita pengait perak tersebut panas

sehingga tak mungkin minum dari sisi ini, dan hanya bisa minum dari

arah yang ada pita pengait peraknya. Maka kondisi ini disebut perlu',

ia boleh minum dari arah tambalan perak itu dan tidak dibenci. Jika ti￾dak dalam kondisi perlu, perkataan pengarang secara tegas menyatakan

'dibenci menyentuhnya secara langsung'.

Yang benar, tindakan itu tidak dimakruhkan dan ia boleh menyen￾tuhnya secara langsung. Sebab status makruh merupakan hukum syar'i

yang untuk menetapkannya memerlukan dalil syar'i. Selama penger￾tian hadits Anas di depan menunjukkan kebolehan, apa gerangan yang

membuat sentuhan langsung itu dimakruhkan? Adakah riwayat yang

mengungkapkan bahwa Nabi S menghindari sisi mangkuk yang ada

peraknya ini? Jawabnya, tidak. Jadi yang benar, perbuatan itu tidak ma￾kruh. Sebab penambalan ini mubah (dibolehkan), dan menyentuh se￾suatu yang mubah itu hukumnya mubah juga.'ztt

Yang menjadi pertanyaan, bolehkah makan dan minum dalam

wadah dari perak? Jawabannya, telah diriwayatkan nash pengharaman

makan dan minum dalam wadah perak. Maka seseorang tidak bolehmembuat sendok perak untuk dipakai alat makan. Ini di antara lara￾ngan yang sama-sama berlaku pada kaum wanita dan laki-laki terkait

pengharaman emas dan Perak'178)


LnnnNcAN KENCING oI AInYANG

MTNccENANG

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi S bahwa bersabda :

to t, 'i. o! t t o J t 1

y,ry"i +4 r +l' ;trlt ,L:Jt € ir;i jJ; !

"longontrf, ,oloh ,rorrrg di antara 

^rro, 

kencing dalam air tenang

yang tidak mengalir, kemudian ia mandi dari air itu."

Syariat Islam memiliki perhatian besar terhadap kesucian dan

langkah antisipasi berbagai penyebab bahaya. Dalam hadits ini Abu

Hurairah mengabarkan bahwa Nabi M melarang keras kencing dalam

air tenang yang tidak mengalir. Sebab akan menyebabkan air tercemari

najis dan berbagal bakteri yang terkadang ada dalam air kencing, se￾hingga membahayakan setiap orang yang menggunakan air ini. Bahkan

boleh jadi, orang yang kencing ini menggunakannya sendiri untuk man￾di. Bagaimana ia kencing pada air yang akan menjadi alat bersucinya?

Selain itu, Nabi M juga melarang orang yang junub mandi di air yang

menggenang, karena dapat mencemari air dengan kotoran dan bekas

junubnya.

Pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini :

1. Larangan kencing di air tenang yang tidak mengalir. Larangan ini

bermakna mengharamkan jika air itu dimanfaatkan masyarakat

untuk kebutuhan sehari-hari. Bila tidak, maka berarti makruh (di￾benci). Hukum buang air besar di air ini, seperti buang air kecil.

Bahkan lebih dilarang lagi.

2. Boleh kencing di air yang mengalir, sebab air kencing akan men￾galir bersama air dan tidak menetap. Akan tetapi bila ada sese￾orang di bawah menggunakan air itu, janganlah kencing di air itu

karena dapat mengotorinya.

3. Larangan mandi junub dalam air yang tergenang. Larangan ini

berarti haram jika pe

nakan manusia. Bila t

rbuatan itu mencemari air yang akan digu￾idak, maka berarti makruh.4.

5.

Boleh mandi junub pada air yang mengalir.

Kesempurnaan syariat Islam, yang terwujud dalam perhatian be￾sarnya terhadap kesucian dan langkah antisipasi dari berbagai pe￾nyebab bahaya.

sebagai catatan, secara eksplisit hadits ini menunjukkan tak ada

perbedaan antara air yang banyak dan sedikit. Tapi larangan kencing

dan mandi junub di air yang sedikit lebih keras, karena air ini relatif

lebih mudah terkotori dan tercemari. sedang air yang sangat melimpah

dan tidak mungkin terpengaruh oleh air kencing atau tercemari oleh

mandi junub, seperti air laut, tidak masuk dalam larangan ini. Sedang￾kan air yang tergenang selama waktu tertentu, contohnya air kolam di

kebun-kebun, jika dapat terpengaruh oleh air kencing atau tercemari

mandi junub lantaran volumenya yang sedikit atau lama tak kemasu￾kan air baru, maka termasuk dalam larangan ini. Bila tidak seperti itu,

tak ada indikasi konkret masuk dalam larangan. Wallahu A'lam'l7e)SIrcSN BAGI OnRNG YANG TIoRrc

MTIINoUNGI DIRI Dnru AIn KENCINGNYA

iriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi s melewati dua

makam, beliau bersabda, "Sesungguhnya keduanya sedang

diadzab. Tidaklah keduanyn diadzab disebabkan perkara yang

(tampak) besar. Adapun salah satunya tidnk bersuci ketika buang air kecil, se￾dangkan orang y ang kedua ndalah dahuluny a berj alan dengan melakukan nami￾mah (adu domba)" Kemudian beliau mengambil sebuah pelepah kurma

yang masih basah, lalu beliau membelahnya menjadi dua bagian, lalu

beliau menancapkan pada masing-masing kuburan tersebut sebatang.

Mereka (yaitu para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa eng￾kau melakukan hal itu?" Beliau menjawab, "Semoga adzab kubur itu diri￾ngankan atas keduanya selama kedua batang tersebut belum kering."not

Sabda beliau, "Disebabkan perkara yang (tampak) besar," yakni kedua￾nya tidak disiksa karena hal yang sulit bagi keduanya untuk meninggal￾kannya. Huruf fi menunjukkan arti sebab. Sabda beliau, "Tidak melin￾dungi diri," yakni tidak berhati-hati supaya tidak terkena air kencing dan

tidak menuntaskannya. Sabda beliau, "Dnri air kencing," huruf alif lam

untuk menunjukkan sesuatu yang telah diketahui (definitif). Yakni dari

air kencingnya, sebagaimana diungkapkan dalam riwayat lain. Sabda

beliau, "Berjalan dengan mengadu dlmbn," artinya menyebarkan adu dom￾ba di antara manusia. Adu domba adalah menceritakan ucapan orang

lain kepada orang yang dijumpai dengan maksud merusak hubungan

mereka.

Pertanyaan, "Mengapa engkau melakukan ini?" adalah pertanyaan

untuk mengetahui hikmah perbuatan tersebut. La'nllahu (semoga). Kata

ln'allauntrk menunjukkan harapan. Sedangkah huruf ha' adalah dhnmir

sya'n.Sabda beliau, "Diringanknn," yakni semoga siksa itu diringankan.

Sabda beliau, "Dnri keduanya," yakni dari penghuni kedua kubur itu.Sabda beliau, "Selama keduanya belum kering," yakni kedua bagian kurma

yang dibelah menjadi dua bagian yang sama.

Huruf maini adalah mashdar zharf. Arlinya,Nabi gberharap Allah

meringankan siksa kedua penghuni kubur tersebut sampai pelepah kur￾ma itu kering. Di sini, Nabi S melewati dua kubur di pemakaman Baqi'.

Lantas diperlihatkan pada beliau penyiksaan yang dialami penghuni

dua kubur itu dengan mendengar teriakan keduanya dan sebab siksaan

tersebut. Saat itu beliau ditemani beberapa orang sahabat. Maka beliau

memberitahukan hal itu pada mereka dalam rangka memperingatkan

sebab-sebab siksa. Beliau menjelaskan bahwa sebab siksa yang diterima

kedua penghuni kubur itu bukanlah hal yang sulit untuk ditinggalkan

keduanya, andai keduanya mau. Meskipun hukumannya sangat berat.

Salah satu dari keduanya disiksa karena tidak memperhatikan ke￾sucian yang merupakan salah satu syarat sah shalat.Ia tidak menuntas￾kan kencingnya dan tidak menghindarkan diri darinya.

Orang kedua disiksa karena kegemarannya memecah belah kaum

muslimin dengan adu domba yang mampu merusak masyarakat de￾ngan memunculkan permusuhan dan kebencian antara sesama. Kemu￾dian Ibnu Abbas, rawi hadits ini, menginformasikan bahwa Nabi g

mengambil pelepah kurma yang masih basah. Beliau membelahnya

menjadi dua bagian yang sama besar, kemudian menancapkan setiap

bagian pada masing-masing dari dua kubur itu tepat di bagian kepala.

Dan beliau bersabda, " Semoga siksa diringankan dari keduanya sampai kedua

(bagian pelapah kurma) ini kering."

Pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini:

1. Adanya siksa kubur dan bahwa adu domba dan tidak menghindar￾kan diri dari air kencing termasuk penyebab siksa ini.

2. Allah terkadang memperlihatkan siksa kubur pada manusia un￾tuk menunjukkan satu di antara tanda-tanda kenabian atau satu

di antara karamah wali.

3. Seseorang wajib menghindarkan diri dari air kencingnya, demi￾kian pula seluruh air kencing yang najis.

4. Namimah dan tidak menghindarkan diri dari air kencing terma￾suk dosa besar.5.

6.

Begitu besarnya permasalahan shalat, di mana ketidaksempur￾naan salah satu dari syarat-syaratnya yakni bersih dari hadats dan

najis menjadi sebab siksa kubur.

Kasih sayang Nabi & pada umat,bahkan hingga pada para pelaku

maksiat di antara mereka.

7. Syafaat terkadang bersifat temporer hingga batas waktu tertentu,

berdasarkan sabda beliau, "Semlga siksa diringankan dari keduanya

selama kedua (bagian pelepah kurma itu) belum kering."

8. Antusiasme para sahabat untuk mengetahui hikmah perbuatan

Nabi ffi.

Sebagai catatan, kita tidak disunnahkan menancapkan pelepah

kurma di atas kubur, sebab kita tak mengetahui apakah penghuni kubur

itu disiksa. Apalagi, meletakkan pelepah kurma di atas kubur sama arti￾nya buruk sangka pada penghuninya dan mengharapkannya mendapat

siksa.181)LARANGAN MENGHADAP KIBLAT DAN

MTA nTLAKANGTNvA SAAT BUANG HAIAT Arnu

KTNCING STMIN DI DALAITzI BRNcUNAN

Buang hajat diharamkan menghadap kiblat dan membelakanginya

berdasarkan hadits Abu Ayub bahwa Nabi M bersabda :

!,C o, )f |rtiii !'f ir:j,, , W * vt,ttt, gl ;1

tsl oi, lr'. o..',' t-yf )t'Pr Pr

"Bila kalisn mendatangi jantban, maka jangan kalian menghadap kiblat

dan jangan kalian membelakanginya kala kencing dan buang hajat. Tapi meng￾hndaplah ke tirnur atau bnrat." Abu Ayub berkata, "Kami tiba di Syam.

Kami mendapati jamban-jamban dibangun ke arah Ka'bah, lantas kami

mengubah arahnya dan kami memohon ampun kepada Allah.182)

Sabda Nabi S, "langan kalian menghadap kiblat dan jangan kalian

membelnkanginya," adalah larangan. Dan pada asalnya larangan itu

menunjukkan pengharaman. Hadits ini memberi pengertian bahwa

sedikit membelok dari arah Ka'bah itu belum cukup. Sebab beliau bers￾abda, "Tapi menghadaplah ke timur atnu ke barat." Ini menuntut membelok

secara total. Namun ,"Menghadaplah ke timur atau ke barat," ini berlaku

bagi orang-orang yang bila mengarah ke timur atau barat mereka tidak

menghadap kiblat dan tidak membelakanginya. Contohnya, penduduk

Madinah, sebab kiblat mereka ke arah selatan. Maka bila mereka meng￾hadap ke barat atau timu4 kiblat berada di sisi kanan atau kiri mereka.

Dan bila satu kaum mengarah ke timur atau barat justru menghadap ke

kiblat, mereka harus menghadap ke utara atau selatan. Alasan larangan

ini adalah menghormati Ka'bah dalam hal menghadap atau membela￾kangi.

Ucapan pen garang, "Selain di dalam bangunan," ini pengecualian.

Artinya, bila buang hajat atau kencing dilakukan di dalam bangunan

boleh menghadap kiblat atau membelakanginya, berdasarkan hadits

Ibnu Umar menuturkan, "Suatu hari aku naik ke loteng rumah saudar￾aku, Hafshah. Aku melihat Nabi S duduk menunaikan hajat dengan

menghadap ke Syam dan membelakangi Ka/bah./183) Pendapat ini yang

populer dalam mazhab Hambali. Bahkan mereka berkata, "Cukup ada

pembatas bila tidak ada bangunan. Misalnya seseorang menghadap ke

gundukan pasir dan ia menunaikan hajat di baliknya, atau menghadap

ke pohon dan semacamnya."

Sebagian ulama berpendapaf bagaimana pun tidak boleh mengha￾dap dan membelakangi Ka'bah (saat buang hajat), di dalam bangunan

atau tidak. Ini satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka mengatakan, "Ini

sesuai pengertian hadits Abu Ayub, baik dalam konteks sebagai dalil

maupun pengamalan." Sebagai dalilnya adalah sabda Rasulullah #. Se￾dang pengamalannya adalah perbuatan Abu Ayub ketika tiba di Syam

dan ia mendapati jamban-jamban di sana dibangun menghadap Ka'bah.

Ia berkata, "Lantas kami mengubah arahnya dan kami memohon ampu￾nan pada Allah." Ini menunjukkan, Abu Ayub berpendapat keberadaan

tempat-tempat buang hajat tersebut di dalam bangunan belumlah cu￾kup. Pendapat ini pilihan Syaikhul Islam.

Terkait hadits Ibnu Umar, para ulama yang berpendapat kedua ini

mengatakan: Pertama, peristiwa dalam hadits tersebut dimaknai ter￾jadi sebelum adanya larangan dan larangan menghadap dan membela￾kangi kiblat saat buang hajat dianggap lebih kuat. Sebab larangan itu

mengubah dari hukum asal, yakni boleh. Sedang dalil yang mengubah

dari hukum asal itu lebih diprioritaskan. Kedua, hadits Abu Ayub berisi

ucapan, sedang hadits Ibnu Umar berupa perbuatan. Dan perbuatan itu

tidakbertentangan dengan ucapan, sebab perbuatan Nabi S itu dimung￾kinkan sebagai keistimewaary atau karena lupa atau alasan yang lain.

Tetapi asumsi ini tertolak, sebab hukum asal perbuatan Nabi S

adalah untuk dicontoh dan diikuti. Selain itu, tidak ada kontradiksi

antara sabda dan perbuatan tersebut. Andai ada, tentunya pendapat

bahwa perbuatan tersebut sebagai keistimewaan Nabi $ sangat berala￾san. Tapi hadits Abu Ayub dapat dimaknai ketika tidak berada di dalam

bangunan, sedang hadits Ibnu Umar tentang membelakangi Ka'bah di￾maknai saat berada dalam bangunan.

Pendapat yang rajih adalah boleh membelakangi Ka'bah saat

buang hajat dalam bangunan, tapi tidak boleh menghadap ke arahnya.

Sebab larangan menghadap ke Ka'bah tetap seperti itu, yakni tidak

ada perincian maupun pengecualian. Sementara itu, larangan membel￾akangi Ka'bah dikecualikan bila berada dalam bangunan berdasarkan

perbuatan Nabi S. Selain itu, membelakangi lebih ringan dibanding

menghadap. Karenanya -wallahu a'lam- ada keringanan membelakangi

Ka'bah ketika seseorang buang hajat atau kencing di dalam bangunan.

Namun yang paling baik adalah tidak membelakanginya, bila kondisi

memungkinkan.

Menghadap ke kiblat itu terkadang haram, seperti dalam masa￾lah ini. Menghadap ke kiblat terkadang wajib sebagaimana dalam shalat

dan terkadang dibenci, seperti saat khutbah Jumat. Khatib dimakruhkan

menghadap kiblat dan membelakangi jamaah. Menghadap ke kiblat ada￾kalanya dianjurkan (mustahab) seperti saat berdoa dan wudhu. Hingga

sebagian ulama mengaiakan, "Setiap amal taat, paling baik dilakukan

dengan menghadap kiblat, kecuali ada dalil yang menunjukkan sebalik￾nya." Tapi pendapat ini perlu dilihat ulang. Sebab kalau kita menjadikan￾nya sebagai kaidah, berarti ini berseberangan dengan kaidah yang telah

sama-sama dimengerti, yakni hukum asal dalam ibadah adalah dila￾rang (kecuali yang ditunjukkan dalil syar'i yang shahih)."1Hnnnu Brnnpn or WC Lleru DARI

KT p E RLUAN

ram berlama-lama di WC lebih dari keperluan dan wajib

keluar setelah selesai menunaikan hajat. Mereka menda￾sarinya dengan dua alasan : Pertama, perbuatan tersebut

menyebabkan terbukanya aurat tanpa diperlukan. Kedua, WC adalah

sarang setan dan ruh-ruh jahat, maka tidak seyogianya seseorang bera￾da lama di tempat buruk seperti ini.

Pengharaman berlama-lama di jamban ini berdasarkan alasary dan

tidak ada dalil dari Rasulullah ffi terkait itu. Karenanya,Imam Ahmad

dalam satu riwayat mengatakan, "Itu dimakruhkan, bukan haram."18LRRRNcRN KTNCING DI JALAN, BAWAH

Tllvtpnr BIRTTDUH, BAWAH POHON BrngUNH

vANG Brsn DruernN, MASITD DAN Trmpnr

MANDI UMUM

(MUopan penulis, "Dan kencingnya di jalan", yakni diharam-

/ / kan. Lebih-lebih lagi buang air besar. Ini berdasarkan hadits

U riwayat Muslim bahwa Nabi ffi bersabda, "Hindarilalt olehka￾lian akan duayang dilaknnt." Para sahabat bertanya, 'Apakah dua yang di￾laknat itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "(Yakni) orang yang berak

di jalan manusia dan di tempat naungan mereka.t/186) Dan dalam Sunan Abi

Dautud'.

tA

JD\i ,HrD\ ^7r!s tr\F\ e )\_rJ\ ti').:J\ ;r>\Jt trat

"Hindnrilah oleh kalian akan tiga hal yang dilaknat; yakni buang air be￾sar di aliran air, tengah jalan dan di bawah naungan."187)

Alasannya, karena kencing di tengah jaian dapat mengganggu

orang yang lewat, padahai mengganggu kaum mukminin itu haram.

Allah berfirman, "Dan ornng-orang yang ftLenyakiti orang-orang beriman

Iakilaki dan perernpuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesung'

guhnya mereka telah memiktil kebohongan dan dosayang nyata." (Al-Ahzab

[33] : s8).

Ungkapan penulis, "Dan naungan yang bermanfaat." Yakni, har￾am kencing dan berak di bawah naungan yang bermanfaat. Tidak se￾mua tempat teduh haram untuk berak dan kencing,tetapitempat teduh

yang dimanfaatkan manusia saja. Andai seorang kencing atau buang

air besar di tempat teduh yang tidak biasa dipakai duduk-duduk, maka

tidak dikatakan haram. Dalilnya sabda Nabi g;, "Atau di tempat naungan

mereka." Yakni naungan yang menjadi tempat duduk-duduk mereka

dan mereka memanfaatkannya. Sebagian ulama berkata, "Seperti hal

ini adalah tempat berjemur manusia di musim dingin." Yakni tempat di

mana mereka duduk untuk menghangatkan diri. Ini merupakan ana￾logi yang tepat dan konkret. Ulama lainnya berpendapat, "Kecuali bila

mereka duduk-duduk di tempat itu untuk ghibah atau sesuatu yang

diharamkan. Maka boleh mengusir mereka meskipun dengan kencing

atau berak." Pendapat ini perlu ditilik ulang, mengingat pengertian ha￾dits di atas bersifat umum. Pun tindakan itu tak efektil sebab bila mere￾ka tahu ada orang yang berak atau kencing di tempat-tempat berkumpul

tersebut mereka akan bertindak lebih buruk lagi. Dan tak menutup ke￾mungkinan, mereka akan mengeroyoknya. Cara yang tepat adalah men￾datangi dan menasihati mereka.

Ungkapan penulis, "Dan di bawah pohon berbuah." Maksudnya,

haram kencing dan berak di bawah pohon berbuah. Ucapan Pengarang

'di bawah' memberi pengertian pada kita bahwa larangan itu berlaku bila

berak atau kencing dilakukan dekat dengan pohon, tidak jauh dari po￾hon itu. Perkataannya, "Berbuah." Pengarang menyebutkan pohon yang

berbuah secara umum. Tetapi ini harus dibatasi, yakni buah yang dicari

atau buah yang berharga. Yang dicari artinya buah yang diinginkan ma￾nusia, walaupun tidak bisa dikonsumsi. Maka tidak boleh kencing atau

berak di bawah pohon ini. Sebabnya, boleh jadi buah jatuh sehingga ko￾tor oleh najis. Pula karena orang yang ingin memanjat pohon ini harus

melewati najis tersebut sehingga ia terkena kotoran. Sedang buah yang

berharga adalah seperti kurma, meskipun berada di lokasi yang tidak

dituju seorang pun. Tidak boleh kencing ataupun berak di bawahnya

selama pohon itu berbuah. Sebab kurma itu makanan yang berharga.

Demikian pula pohon-pohon lain yang buahnya berharga karena dapat

dikonsumsi, maka tidak boleh kencing dan bera di bawahnya.

Ada lokasi-lokasi lain di mana kencing dan berak tidak boleh dila￾kukan di tempat tersebut di luar yang telah disebutkan Pengarang, se￾perti masjid. Karenanya Nabi $ pernah bersabda pada seorang Arab

badui:sesungguhnya masjid-masjid ini samn sekali tidnk laik untuk kencing

ini dan tidnk pula untukkotornn. Sesungguhnya ia untukberdzikir pnda

Allah, shalnt dnn membaca Al-Qurnn."tsat

Demikian pula, gedung-gedung sekolah. Jadi semua tempat ber￾kumpul manusia untuk membahas masalah agama atau dunia tidak di￾bolehkan seseorang kencing atau berak di tempat tersebut. Alasannya

adalah mengiyaskan larangan-larangan kencing dan berak pada tem￾pat-tempat ini dengan larangan Nabi $ kencing di jalan dan naungan

manusia. Demikian pula, gangguan yang menimpa muslimin dengan

tindakan apa pun, baik ucapan maupun perbuatan, berdasarkan firman

Allah, "Dnn orang-orang yang menyakiti orang-orang beriman ktki-laki dan

perempunn tnnpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka

telah memikul kebohongan dnn dosa yang nyntn." (Al-Ahzab [33] : 58).

Adapun tempat mandi umum yang biasa dimanfaatkan manusia

untuk membersihkan diri maka tidak boleh buang air besar di tempat

ini, karena kotoran tak bisa hilang. Sedangkan kencing, dibolehkan ka￾rena bisa hilang. Meskipun yang paling baik tidak buang air kecil di

tempat seperti ini. Akan tetapi terkadang seseorang terpaksa kencing,

seperti seandainya kamar mandi yang lain sedang dipergunakan.r8HUTUU KENCING BERDIRI DAN LARANGAN

IsrrNlA DENGAN TULANG, KOTORAN,

METNNAN, BENOR TTRHORIVTAT DAN BAGIAN

TUSUH HEWAN HINUP

Encing dengan berdiri dibolehkan dengan dua syarat :

Pertama, aman dari cipratan air kencing.Kedua, dijamin

tak ada orang lain yang melihat aurat.

Sedangkan, dalil larangan ini bahwa Nabi ffi melarang istinja' (ce￾bok) dengan tulang atau kotoran. Sebagaimana disebutkan dalam hadits

Ibnu Masud, Abu Hurairah, Salman, Ruwaifi'dan lainnya. Alasannya,

bila tulang tersebut merupakan tulang hewan yang mati disembelih,

Nabi S telah menjelaskan bahwa tulang ini menjadi makanan bangsa

jin. Sebab Nabi ffi bersabda kepada mereka :

't,* 

" ';'r1 &iI g 'e q1o nr i:, 'f't ,i; "S A

\A

"setiap tulnng yang disebutkan nama Allah atasnya adalah untuk ka￾lian (bangsa jin) dan kalian mendapntinya memiliki daging yang sangnt

banYak." teot

Larangan istinja' dengan kotoran, kami berdalil dengan hadits yang

menjadi dalil larangan istinja' dengan tulang. Alasannya, jika kotoran

itu suci maka menjadi makanan binatang bangsa fin dan jika najis, tidak

selayaknya dijadikan alat bersuci. Ungkapan penulis, "Dan makanan."

Maksudnya makanan manusia dan makanan hewan piaraan mereka'

Kita tidak boleh beristinja' dengan keduanya. Dalilnya, Rasulullah ffi

melarang istinja' dengan tulang dan kotoran karena keduanya adalah

makanan bangsa jin dan binatang ternak mereka. Sementara manusia

lebih terhormat, sehingga larangan istinja'dengan makanan mereka danmakanan binatang ternak mereka tentu lebih diutamakan. Di samping

itu, beristinja' seperti itu termasuk wujud mengingkari nikmat' Sebab

Allah menciptakan kedua makanan tersebut untuk dikonsumsi, dan ti￾dak membuatnya untuk dihinakan seperti ini. Maka semua makanan

manusia atau binatang ternak mereka haram dipergunakan istinja'. Se￾cara eksplisit, ucapan pengarang di atas menunjukkary walaupun seke￾dar sisa makanan seperti potongan roti.

Ungkapan penulis, "Dan benda terhormat." Yakni sesuatu yang

memiliki kehormatan dalam syariat. Contohnya, kitab-kitab agama.

Dalilnya firman Allah, "Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa me￾ngagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dariketakwaan

hati." (Al-Hajj l22l: 32). Firman-Nya, "Demikianlah (perintah Allah). Dan

barangsiapa mengagungkan apa-apayang terhormat di sisi Allah maka itu ada￾Iah lebih baik baginya di sisi Rabbnya..." (Al-Haij [22] : 30).

Ketakwaan adalah wajib. Oleh karena itu, manusia tidak boleh ce￾bok dengan sesuatu yang terhormat dalam syariat. Tampak dari ungka￾pan penulis bahwa hukum itu berlaku meskipun kitab itu ditulis tidak

dengan bahasa Arab selama judulnya sesuatu yang diagungkan dalam

agama.

Perkataannya, "Dan organ yang bersambung dengan hewan."

Artinya, organ yang bersambung dengan hewan tidak boleh digunakan

istinja' sebab hewan itu juga memiliki kehormatan. Contohnya, istinja'

dengan ekor sapi atau telinga anak biri-biri. Bilamana makanan hewan

dilarang dipakai istinjai terlebih lagi istinja' dengan bagian tubuhnya'

Jika dikatakary alasan ini berimplikasi tidak bolehnya istinja' de￾ngan air, karena tangan akan bersentuhan langsung dengan najis. Per￾soalan tersebut telah dijawab oleh sebagian generasi salaf, yang menga￾takan, "Istinja' dengan air tanpa didahului batu tidak boleh dan tidak

mencukupi, sebab Anda akan mengotori tangan Anda dengan najis."

Ini pendapat yang sangat lemah, pun ditolak oleh sunnah yang

shahih lagi tegas bahwa Nabi ffi hanya beristinja'dengan air. Adapun

mengenai kontak langsung tangan dengan najis, kontak ini bukan untuk

mengotorinya dengan najis tapi untuk menghilangkan dan membersih￾kan najis itu sendiri. Menyentuh sesuatu yang dilarang guna menying￾kirkannya tidaklah diharamkary bahkan diharuskan. Coba Anda per￾hatikan, bila seseorang sedang dalam keadaan ihram dan ada orang lain

mengusapkan minyak wangi pada dirinya, membiarkan minyak wangi

ini tetap ada hukumnya haram. Ia wajib menghilangkannya dan ia tidak

mengapa menyentuhnya secara langsung untuk menyingkirkannya.

Contoh lain, andai seseorang meramPas tanah dan ia sering bolak￾balik ke tempat ini. Kemudian ia teringat adzab dan akhirnya bertaubat

kepada Allah dengan taubat sepenuhnya. Sementara di antara syarat

taubat adalah meninggalkan kemaksiatan secara langsung. Maka lewat￾nya orang itu di atas tanah ini hingga ia keluar tak membuatnya ber￾dosa, karena itu dalam rangka melepaskan diri dari keharaman' Jadi

bersentuhan dengan sesuatu yang dilarang untuk melepaskan diri dari￾nya tidak mungkin seseorang berdosa karenanya, karena ini termasuk

pembebanan yang tak dapat dilakukan.lel)

HUrcUM MTAzIERWA MUSHAF ATAU STSUETU

YANG BIruSI TUI-ISRN NEMI AILAH KE

DALAM KAMAR MENOI; MINYEBUT NAMA

AIIEU DI DALNM KNMAR MENOI; DAN

MTNCUCAPKAN BASMALAH SENT ATNN

WUOHU DI KNUEN MANDI

Hukum Membawa Mushaf atau Sesuatu yang Berisi

Tulisan Nama Allah ke dalam Kamar Mandi

Syaikh Utsaimin pernah ditanya, "Bagaimana hukum membawa

mushaf dan kertas yang berisi tulisan nama Allah ke dalam kamar man￾di?" Beliau menjawab, "Tentang mushaf, ahlu ilmi mengatakary sese￾orang tidakboleh membawanya masuk ke kamar mandi' Sebab mushaf,

sebagaimana diketahui, menyandang kehormatan dan keagungan yang

membuatnya tak pantas dibawa masuk ke tempat seperti ini. Semoga

Allah memberi bimbingan.

Namun, kita boleh membawa masuk kertas yang berisi tulisan

nama Allah selagi diletakkan di dalam saku dan tidak tampak dan ter￾tutup. Nama-nama pun biasanya tidak terlepas dari nama Allah, seperti

Abdullah, Abdul Aziz dan semacamnya.

Hukum Menyebut Nama Allah di dalam Kamar Mandi

Tidak seyogianya seseorang menyebut nama Allah di dalam kamar

mandi, sebab tempat tersebut tidak layak untuk hal itu. Namun bila ia

menyebut-Nya di dalam hati, tanpa diucapkan dengan lisary itu tidak

mengapa. Bila tidak bisa, maka lebih baik ia tidak mengucapkannya se￾cara verbal di tempat seperti ini danbersabar hingga keluar. Adapunbila

tempat wudhu berada di luar tempat buang hajat, tidak mengapa mengu￾capkan nama Allah.Hukum Mengucapkan Basmalah Saat Akan Wudhu di

Kamar Mandi

Bila seseorang di dalam kamar mandi, ia boleh membaca basmalah

di dalam hati namun tidak diucapkan dengan lisan. Sebab kewajiban

membaca basmalah saat wudhu dan mandi bukan secara lisan. Imam

Ahmad berkata, "Tidak ada satu pun hadits yang shahih dari Nabi *

tentang membaca basmalah saat wudhu." Karenanya, Ibnu Qudamah

pengarang kitab Al-Mughni, dan lainnya berpendapat bahwa membaca

basmalah saat wudhu hukumnya sunah, bukan wajibHUKUM MENCCUNAKAN TISU UNTUK

tsrrxln

f/slinja'hanya dengan menggunakan tisu dibolehkan, dan tidak

| "da masalah. Sebab inti istinja' adalah menghilangkan najis,

J baik dilakukan dengan tisu, kain, debu atau batu. Hanya saja,

kita tidak boleh cebok dengan sesuatu yang dilarang syariat, misalnya

tulang dan kotoran. Sebab tulang merupakan makanan jin bila berasal

dari binatang yang disembelih dengan mengucapkan nama Allah. Bila

tidak, berarti tulang itu najis. Sementara barang najis tak dapat menyuci￾kan.

Adapun kotoran, bila najis maka ia barang najis yang tidak bisa

menyucikan. Dan jika suci, ia menjadi makanan hewan bangsa jin. Sebab

sekelompok jin yang mendatangi Nabi M danberiman, beliau memberi

mereka jamuan yang tidak habis hingga hari kiamat. Beliau bersabda :

I.3.i

"setiap tulang ynng disebutknn nnma Allah atasnya adalah untuk ka￾lian (bnngsa jin) dnn kalian mendapatinyn memiliki daging ynng sangat

banyak." tstt

Ini termasuk perkara gaib yang tak kasat mata, tapi kita wajib me￾ngimaninya. Demikian pula, kotoran-kotoran ini menjadi makanan un￾tuk binatang ternak mereka.Hurcuu WuoHu OnnNc YANG KutcuNYR

TrnruruP Cnr KUKU

at kuku adalah sesuatu yang dioleskan pada kuku, biasa di￾pakai wanita dan memiliki lapisan. Wanita tidak boleh me￾makainya saatberwudhu karena menghalangi air sampai ke

kuku saat bersuci. Dan segala sesuatu yang menghalangi air sampai ke

anggota wudhu, tidakboleh dipakai orang yang wudhu dan mandi be￾sar. Sebab Allah berfirman:

'e i<t?'*a\*a

"Basuhlah muka dan tnngan knlian... " (Al-Maidah [5] : 6)

Bila kuku seseorang tertutupi cat kuku, cat tersebut menghalangi

air sampai ke kuku sehingga ia tidak bisa dikatakan telah membasuh

tangannya. Maka ia telah meninggalkan satu kewajiban wudhu dan

mandi.

Adapun wanita yang sedang berhalangan, seperti yang tengah da￾tang bulan, tidak mengapa ia menggunakannya. Kecuali bila perbua￾tan ini termasuk kriteria khusus wanita-wanita kafir, maka tidak boleh

menggunakannya karena bisa menyerupai mereka.Hurcuu MTNcuSAP KAoS KAKI BIRcnUBAR

HEwRN

gusap kaos bergambar hewan kaki ini saat wudhu

tidak dibolehkan. Karena mengusap sepatu masuk da￾lam perkara keringanan (rukhshah), sehingga tidak boleh

dibarengi kemaksiatan. Sebab pendapat bolehnya mengusap sesuatu

yang diharamkary implikasinya adalah membenarkan orang ini mema￾kai sesuatu yang diharamkan tersebut. Padahal yang haram itu wajib

diingkari. Tidak bisa pula dikatakan bahwa kaos kaki bergambar bina￾tang ini tergolong sesuatu yang sepele, sehingga dibolehkan memakain￾ya. Sebab ini terkait masalah pakaian, dan bagaimanapun mengenakan

sesuatu yang bergambar makhluk hidup adalah haram. Seandainya

pada kaos kaki, misalnya, terpampang gambar singa, maka tidak boleh

mengusapnya saat wudhu. Artinya, harus dilepas.HurcuU WNNITR MTNCUSAP RAMBUTNYA

YANG DIrcTUPRLKAN DENGAN DRUN INNI

DAN SIITNECNMNYA SEAT WUOHU

^ /pabila wanita mengempalkan rambutnya dengan bubuk

,#A/ daun inai, ia boleh mengusapnya saat berwudhu. Ia tidak

\Y / perlu menguraikan rambut dan mengusap bagian di ba￾wah lapisan bubuk daun inai ini. Sebab ada hadits shahih bahwa Nabi

S mengempalkan rambut beliau ketika ihram. Jadi pengempalan yang

dibubuhkan pada rambut, mengikuti rambut. Ini menunjukkan bahwa

menyucikan kepala saat wudhu sedikit diberi kemudahan.Hurcuu MTUTLIHARA ANIING DAN

MTNyINTUHNYA DENGAN TANCAN, SERTA

Cnnn MENyUCIKAN WNPNH YANG DIPRTNI

MtNutrrt ANITNG

eorang muslim tidak boleh memelihara anjing selain dalam

hal yang diberi keringanan oleh syariat. Terkait masalah ini,

syariat memberi keringanan dalam tiga hal : Pertama, anjing

penjaga hewan piaraan yang difungsikan untuk melindunginya dari

ancaman binatang buas dan serigala. Kedua, anjing yang menjaga tana￾man dari ancaman binatang, kambing dan lainnya. Ketiga, anjing pem￾buru yang dipergunakan oleh pemburu hewan. Dalam tiga hal inilah

Nabi ffi memberi dispensasi memelihara anjing. Dengan demikian, tidak

boleh pada selain itu. Atas dasar ini, rumah yang terletak di tengah-ten￾gah perkampungan tak perlu memanfaatkan anjing untuk menjaganya.

Sehingga memelihara anjing untuk tujuan ini dan dalam kondisi seperti

ini adalah haram, tidak boleh dan malah mengurangi pahala tuannya

satu atau dua qirath setiap harinya. Mereka harus mengusir anjing ini

dan tidak memeliharanya. Adapun seandainya rumah tersebut berada

di lokasi yang sepi, tak ada satu tetangga pun di sekitarnya, ia diboleh￾kan memelihara anjing untuk menjaga rumah dan penghuninya. Sebab

melindungi keselamatan penghuni rumah lebih penting dibanding

menjaga hewan piaraan dan tanaman.

Mengenai menyentuh anjing ini, bila menyentuhnya dalam kea￾daan tidak basah (baik tangan maupun anjing) maka tangan tidak ter￾kena najis. Dan jika menyentuhnya saat kondisibasah, ini mengakibatkan

tangan terkena najis, menurut pendapat kebanyakan ulama. Setelah itu

wajib mencuci tangan tujuh kali, salah satunya dengan debu.

Adapun wadah-wadah setelah dipergunakan minum anjing maka

wajib dicuciT kali, salah satunya dengan debu. Sebagaimana terdapat

dalam Ash-Shahihain dan lainnya dari Abu Hurairah dari Nabi ffiber￾sabda, "Apabila anjing minum dalam wadah salah seorang di antara kalian,hendaknyaiamencucinyatujuhkaliyang salahsatunya dengan 4r6u."1s3) Ideal￾nya, debu digunakan dalam pencucian pertama. Wallahu a'lam.

Brr-n ANITNG Mnsurc MASJID, AIAKAH LnxrRt

YANG TInTTNN AIR KTNCINGNYA PTruU

Drstnnu?

iriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari lbnu Umar

bahwa ia berkata, "Sesungguhnya anjing pada zaman

Rasulullah keluar masuk dan kencing di masjid dan mere￾ka (para sahabat) tidak pernah menuangi air ke tempat masuknya anjing

itu (jejaknya)."tr't) rtud'ts ini menimbulkan polemik di antara ulama dan

mereka berselisih pendapat dalam memaknainya.

Abu Dawud berkata, "Tanah apabila kering adalah suci." Ia ber￾dalil dengan hadits ini. Pendapat ini diambil Syaikhul Islam, di mana

ia mengungkapkan bahwa tanah menjadi suci dengAn sinar matahari

dan hembusan angin, ia juga berdalil dengan hadits ini. Sebagian ulama

lain berpandangan bahwa ucapan Ibnu Umar, "Dan kencing" maksud￾nya di luar masjid, dan yang terjadi di masjid hanyalah keluar masuk

saja. Tapi penafsiran ini lemah, sebab andaikata anjing tidak kencing di

dalam masjid berarti kalimat selanjutnya tidak berfungsi apa-apa, yakni

"mereka (para sahabat) tidak pernah menuangi air ke tempat masuknya

anjing itu (jejaknya)."

Dalam Fathul Bari,Ibnu Hajar mengatakan, "Yang lebih mendekati

kebenaran adalah pada awalnya memang seperti itu, yakni sebelum ada

perintah memuliakan masjid, menjaga kesuciannya dan membuat pin￾tu-pintunya."

Menurutku, perkataan Syaikhul Islamlah yang benar. Bahwa ta￾nah (lantai)bila terkena najis lalu kering sehingga bekasnya tak tersisa,

ia kembali menjadi suci. Sebab hukum itu muncul bersama sebabnya.

Bila sisa-sisa najis tak ada lagi najis pun dihukumi hilang, sehingga de￾ngan demikian tanah (lantai)menjadi suci kembali.Brr-R Merlm Nnlrs TrLAH HtlRNc oLEH

S INRN MNTNHARI, APRTRU TEITZTPRTNYA

Orouerrs Sucr?

ila materi najis hilang oleh sesuatu, tempat itu menjadi suci.

Sebab najis itu zatyangburuk. Maka bila ia hilang, hilang

pula status buruk tersebut dan sesuatu kembali menjadi

suci. Sebab hukum itu muncul bersama sebabnya, baik ada maupun

tiada.

Menghilangkan najis bukan termasuk sesuatu yang diperintahkan

sehingga dikatakan 'harus melakukan penghilangan itu". Tapi tergo￾long perbuatan menghindari sesuatu yang dilarang. Pengertian ini tidak

bertentangan dengan hadits tentang seorang arab badui yang kencing

di dalam masjid dan Nabi ffi memerintahkan diambilkan air satu em￾ber lalu dituangkan pada air kencingnya. Sebab perintah Nabi S un￾tuk menuangkan air pada air kencing itu agar tempat yang terkena air

kencing segera menjadi suci, mengingat sinar matahari tak dapat mem￾buat suci secara langsung. Tapi perlu waktu beberapa hari. Sedangkan

air bisa menyucikan di waktu itu juga. Oleh karena itu, seyogianya se￾seorang bersegera menghilangkan najis karena inilah petunjuk Nabi ffi,

selain karena bisa cepat terhindar dari najis, serta agar ia tak lupa pada

najis itu dan lupa tempatnya.Hurcuu KrNnlrsAN KuRtrztrR DAN

DIOpORAN

ika maksud kenajisan ini adalah najis maknawi (bukan ma￾terinya), ulama sepakat berpendapat bahwa itu najis. Karena

khamer itu najis, kotor dan termasuk perbuatan setan. Na￾mun jika maksudnya adalah kenajisan materinya, maka empat madzhab

dan mayoritas ulama berpendapat khamer najis yang wajib dijauhi. Baju

atau anggota tubuh yang terkena harus dicuci. Namun sebagian ulama

berpendapat, khamer tidak najis secara materi, tapi kenajisannya hanya

secara maknawi yang berarti disebut najis bila dikerjakan.

Ulama yang mengatakan, khamer najis, baik secara materi mau￾pun maknawi, berdalil dengan firman Allah :

::.!) t "#'J ;i ";*.-a.i-ai et yi ; :

"Hai orang-lrang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer,

berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan pannh, ada￾Iah perbuatan kotor masuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan￾perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya se￾tan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencinn di

nntara kalian dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat

Allah dan shalnt; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjann

itu)." (Al-Maidah tsl : 90-91)Kataknnlah, 'Tiadalcth oku peroleh dalam wahyu yang diwahyuknn ke￾padaku, sesuatu yang diharamkan bagi lrang yang hendak memakan￾nyn, kecuali kalau makanan itu bnngkai, tttsu dnrnh yang mengalir atau

daging babi knrena sesungguhnya semua itu najis' ... " (Al-An'am [6]

:145)

Dalam hadits Anas, Nabi & memerintah Abu Thalhah agar me￾ngumumkan, 'sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian

memakan daging keledai jinak, karena rijs.'tsst Kata riis dalam ayat dan

hadits di atas bermakna najis secara materi. Begitu pula makna kata ini

dalam ayat khamer. Jadi rijs adalah najis secara materi.

Sedangkan ulama yang berpendapat, materi khamer suci, yakni

khamer najis secara maknawi saja, bukan materi, mereka mengatakan,

'Allah, dalam surat Al-Maidah, memberi batasan pada status kenajisan

itu melalu firman-Nya, "Rijs termnsuk perbuatan setan." Jadi khamer rrys

(najis) secara amali (yakni, perbuatan minum khamer adalah najis), bu￾kan najis secara materi. Dalilnya firman Allah, "Sesungguhnya khamer,

judi, berhaln dan mengundi nasib dengan anak pannh adalah rijs."

Jelas bahwa judi, berhala dan mengundi dengan anak panah, sta￾tus kenajisannya bukan secara materi. Penyebutan keempat hal ini, yak￾ni khamer, judi, berhala dan mengundi dengan anak panah, dalam satu

sifat, pada dasarnya menunjukkan status sifat yang sama. Bila ketiga

barang di atas, selain khamer, kenajisannya bersifat maknawi, maka de￾mikian pula khamer status kenajisannya adalah maknawi. Karena ia

termasuk perbuatan setan.

Ulama kelompok ini juga mengatakan, telah terbukti shahih ketika

turun ayat pengharaman khamer kaum muslimin serempak menum￾pahkannya di pasar-pasar. Andai zat khamer najis, tentu tidak bolehmenumpahkannya di pasar karena mengotori pasar dengan barang

yang najis itu haram alias tidak boleh.

Mereka juga berdalih, manakala Rasulullah ffi mengharamkan

khamer beliau tidak memerintahkan mencuci wadah-wadahnya. Andai

materi khamer najis tentunya beliau memerintahkan supaya wadah-wa￾dah itu dicuci, sebagaimanayangbeliau lakukan ketika mengharamkan

daging keledai jinak.

Mereka juga mengungkapkan, terdapat riwayat dalam Shahih Mus￾limbahwa seorang laki-laki datang pada Nabi ff membawa sebuah wa￾dah kulit berisi khamer. Lalu ia menghadiahkannya untuk beliau. Maka

Rasulullah ffi bersabda padanya, "Tak tahukah engknu bahwa khamer te￾lah diharamknn?" Kemudian seseorang membisiki orang tersebut. Beliau

bertanya, "Apnynng engkau ucapkan?" Orang itu menjawab, 'Aku berkata

supaya ia menjualnya." Maka Nabi S bersabda, "Sesungguhnya apnbiln

Allah mengharamkan sesuatu Dia mengharamkan hnrganya." Lantas orang

itu meraih mulut wadah dan menumpahkan khamer itu. Nabi S tidak

memerintahkannya mencuci wadah tersebut, pun tak melarangnya me￾numpahkan khamer di tempat itu.

Mereka berkata, "Ini dalil bahwa khamer tidak najis secara materi,

andai materinya najis pastinya Rasulullah ffi memerintahkan mencuci

wadah itu dan melarangnya menumpahkannya di tempat tersebut." Me￾reka juga beralasan, "Hukum asal segala sesuatu adalah suci sampai ada

dalil jelas yang menunjukkan kenajisannya. Oleh karena tidak ada dalil

terang yang menunjukkan kenajisan khamer, maka status asalnya ada￾lah suci. Akan tetapi khamer itu kotor dipandang dari sisi maknawi bila

dilakukan oleh seseorang. Selain itu, pengharaman sesuatu tidak selalu

menunjukkan bahwa itu najis. Anda tahu, racun itu haram tapi tidak

najis. Jadi segala yang najis itu haram, namun tidak semua yang haram

itu najis.

Mengacu pada pendapat ini, maka berkaitan dengan deodoran

atau parfum beralkohol kami berpendapat bahwa barang ini tidak na￾jis. Sebab, menurut pendapat yang dalil-dalilnya telah kami paparkan,

zat khamer tidak najis. Sehingga parfum beralkohol dan semisalnya

juga tidak najis. Bila tidak najis maka tidak wajib mencuci pakaian yang

terkena parfum beralkohol ini.

Akan tetapi masih perlu dilihat, apakah penggunaan deodoran se￾bagai parfum yang biasa dipakai manusia itu hukumnya haram atau

tidak? Mari kita lihat bersama-sama. Allah berfirman tentang khamer,

"Maka jauhilah ia." Perintah menjauhi ini bersifat mutlak. Allah tidak

mengatakao jauhilah khamer sebagai minuman atau penggunaan atau

semacamnya. Tetapi Allah memberikan perintah yang mutlak untuk

menjauhi khamer. Apakah itu mencakup bila seandainya seseorang

memanfaatkan khamer (baca; alkohol) sebagai parfum? Atau kita men￾gatakary bahwa menjauhi yang diperintahkan tersebut hanya berlaku

pada sesuatu yang menjadi alasan hukum, yakni menjauhi meminum￾nya, berdasarkan firman Allah, "Sesungguhnya setan itu hendak menim￾bulkan permusuhan dan kebencian di nntara kalian dan berjudi itu, dan meng￾halangi kalian dari mengingat Allah dan shalnt; maka berhentilah kalian (dari

mengerjaknn pekerjaan itu)." (Al-Maidah [5] : 91). Alasan ini tidak tera￾plikasi dalam tindakan seseorang yang memanfaatkan khamer selain

untuk diminum.

Namun, kami berpendapaf langkah paling hati-hati yang bisa di￾tempuh seseorang adalah menghindari dan menjauhi khamer meskip￾un untuk parfum.Inilah langkah yang paling hati-hati (antisipatif) dan

lebih menjamin terbebas dari kemungkinanberdosa. Tapi kita perlu me￾nilik sekali lagi pada parfum-parfum semacam ini, apakah kadar alko￾holnya bila menyebabkan mabuk atau kadarnya hanya sedikit dan tidak

bisa menghilangkan kesadaran? Sebab bila khamer bercampur den￾gan sesuatu kemudian pengaruhnya tak terlihat walaupun seseorang

meminumnya dengan jumlah yang banyak, maka itu tak menyebabkan

pengharaman sesuatu yang dicampuri tersebut. Sebab, manakala pe￾ngaruh khamer tak terlihat maka juga tidak memiliki hukum haram

pada zat yang dicampuri. Sebab alasan hukumlah yang memuncul￾kan hukum tersebut. Maka bila alasannya tidak ada (dalam konteks ini

adalah menyebabkan mabuk), hukum haram pun juga tidak terwujud'

Bila campuran ini tidak mempengaruhi zatyang dicampuri, camPuran

ini tak memberikan efek apa-apa dan barang tersebut hukumnya tetap

mubah. Jadi kadar alkohol yang sedikit dalam deodoran dan lainnya,

bila tidak mengakibatkan mabuk walaupun seseorang, misalnya, memi￾numnya dalam jumlah banyak, itu tak bisa disebut khamer dan tidak

mendapat hukum khamer. Seperti bila setetes air kencing jatuh ke dalam

air dan air tidak berubah lantaran hal itu, maka air tetap suci. Demikian

pula jika setetes khamer jatuh pada sesuatu yang tidak menimbulkan

efek apa-apa, maka sesuatu itu tidak berubah menjadi khamer. Masalahini telah diungkapkan ulama dalam bahasan sangsi hukum orang yang

mabuk.

Tetapi, dalam kesempatan ini, saya ingin mengingatkan satu per￾masalahan yang masih rancu di kalangan sebagianpenuntut ilmu. Yakni

mereka menganggap, maksud sabda Rasulullah ffi, "Sesuatu yang ffiem￾abukksn itu banyak maupun sedikit tetap haram,'/1s6) 4{6.l6,l1bahwa sedikit

khamer bercampur dengan zat lain yang berjumlah banyak, maka zat

lain tersebut haram. Pengertian hadits tersebut bukan seperti ini. Tapi

maknanya adalah apabila sesuatu tidak memabukkan kecuali berjum￾lah banyak maka jumlah sedikit yang tidak memabukkan itu haram.

Contohnya, kalau kita asumsikan minuman X bila diminum seseorang

sebanyak sepuluh gelas, ia mabuk, tetapi kalau ia hanya minum 1 gelas

tidak mabuk. Maka minuman X yang hanya satu gelas itu tetap haram

meskipun tidak memabukkan. Inilah maksud hadits "Sesuatu yang mem￾abukkan itu banyak maupun sedikit tetap harnm," Jadi maksudnya bukan,

sesuatu yang bercampur dengan sesuatu yang haram berarti ia haram.

Sebab bila materi yang memabukkan bercampur dengan sesuatu dan

tidak tampak pengaruhnya, maka sesuatu tersebut tetap halal meng￾ingat tak adanya alasan yang menjadi acuan hukum. Hal ini mestinya

diperhatikan baik-baik.

Meskipun demikian, fakta hukumnya, saya pribadi tidak meng￾gunakan minyak wangi beralkohol dan tidak melarangnya. Hanya saja

bila saya mengalami luka atau semacamnya dan saya perlu mengguna￾kannya, maka saya pun memakainya (baca; obat yang mengandung al￾kohol). Sebab kerancuan itu hilang hukumnya bersamaan dengan ada￾nya keperluan memanfaatkan sesuatu yang hukumnya belum jelas ini.

Keperluan adalah satu kondisi yang mengharuskan tindakan, sementara

kesamaran mengharuskan sikap meninggalkan dalam konteks meng￾hindari sesuatu yang tidak jelas hukumnya dan hati-hati. Tidak seyo￾gianya seseorang mengharamkan dirinya memanfaatkan sesuatu saat

membutuhkannya, sementara ia tak secara tegas melarang dan meng￾haramkannya. Ahlu ilmi telah menyebutkan kaidah ini, yakni sesuatu

yang diragukan apabila diperlukan maka status hukum keraguan itu

hilang. Wallahu a'Iam.

KEUTAMAAN AoznN DAN lq.unH

CW^uberbeda pendapat tentang manakah yang paling utama

/ / antara adzan, iqamah dan menjadi imam. Yang benar, yang

(/, paling utama adalah adzan, mengingat adanya beberapa ha￾dits yang menunjukkan keutamaan adzan. Tetapi, bila ada yang me￾ngatakan, menjadi imam dikaitkan dengan kriteria-kriteria syar'i, sePer￾ti hadits yang berbunyt "Hendaknya yang menjadi imam suatu kaum adalah

orang ynng paling paham terhadap kitab Allah di antnra mereka./'1e7) Kita tahu,

orang yang paling paham terhadap kitab Allah adalah orang yang pa￾ling utama. Maka disandingkannya posisi imam dengan kriteria ini me￾nunjukkan nilai paling utama.

Kita tidak mengatakan bahwa posisi imam tidak memiliki nilai

keutamaan. Sebaliknya, imamah adalah posisi yang keutamaannya telah

ditunjukkan oleh syariat. Tapi kita mengatakan, adzantlebih utama dari￾pada posisi imam karena adzan berarti mengumandangkan dzikir ke￾pada Allah dan mengingatkan manusia secara umum. Seorang muadzin

adalah imam bagi setiap orang yang mendengar adzannya, di mana ia

diikuti dalam hal masuknya waktu shalat, mulai puasa dan berbukanya

orang yang puasa. Selain itu, secara umum adzan lebih berat dibanding

imamah. Adapun alasan Rasulullah S dan para Khulafaur Rasyidin

tidak adzan, karena mereka sibuk mengurusi perkara yang lebih pen￾ting dari perkara yang penting. Sebab, seorang pemimpin itu berkaitan

dengan seluruh manusia. Andai ia fokus memperhatikan waktu (untuk

mengetahui awal waktu shalat) tentunya banyak kepentingan kaum

muslimin yang akan terbengkalai. Apalagi kepada zaman dulu, ketika

belum ada jam dan alat-alat penanda waktu yang praktis.loa)HnnnuNYA UpRH AozRN DAN IQ.MAH

ngkapan penulis, "Dan upah adzandan iqamah itu haram."

Maksudnya, haram mengadakan kesepakatan untuk mem￾pekerjakan seseorang dengan gaji tertentu untuk adzan

dan iqamah. Sebab adzan dan iqamah merupakan amal qurbah (untuk

mendekatkan diri kepada Allah) dan bagian dari ibadah. Padahal tidak

boleh memungut upah dalam amal ibadah, berdasarkan firman Allah :

.l' , z ,

-"-ry t-e+

'=- J,J:;.-i ;A 6"-F3,-4+,\ p u +,

"Barangsiapn menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya

knmi beriknn kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan

sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang￾lrang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di

akhirnt itu apa ynng telnh mereka usahaknn di dunia dan sia-sialah apa

yang telah merekn kerjakan." (Hud [11] : 15-16)

Selain itu, apabila seseorang meniatkan adzan dan iqamahnya

untuk mendapatkan upah keduniaan, amalnya tersebut sia-sia. Adzan

dan iqamahnya dengan niat seperti ini tidak benar' Nabi M bersabda,

"Barangsiapa melnkukan amal yang tidak ada dasarnya dalom urusnn kami (Is￾lam), mnka amalnya tertolnk."lee)

Adapun pemberian upah untuk muadzin, misalnya dengan men￾gatakan, "Orang yang adzan di masjid ini diberi uang sekian rupiah,"

tanpa didahului akad kontrak dan pewajiban maka ini boleh. Sebab

tidak ada unsur kewajiban memberi upah dalam hal ini. Pemberian inihanya sebagai honor bagi muadzin. Kita boleh memberi honor untuk

muadzin, demikian pula orang yang iqamah.

Tidak diharamkan memberi honor kepada orang yang adzan dan

iqamah dari uang Baitul Mal.Inilah yang di zaman kita sekarang dise￾but dengan gaji. Pasalnya, Baitul Mal memang dibentuk untuk maslahat

kaum muslimin dan adzan dan iqamah termasuk kepentingan kaum

muslimin.

Namury kebolehan mengupah muadzin dari Baitul Mal ini dengan

syarat tidak ada dermawan yang bersedia menanggungnya, seperti di￾ungkapkan oleh Syaikh Utsaimin. Jadi, jika ada donatur yang siap me￾nanggungnya, upah muadzin tidak boleh diambilkan dari Baitul Mal

agar pengalokasian dana Baitul Mal lebih efektif. Berdasarkan penger￾tian yang dinyatakan para fuqaha', dapat disimpulkan bahwa haram

menggunakan dana Baitul mal tanpa alasan yang diperbolehkan secara

syariat."2oo)ADZAN ATAU IqUeU Bnrnl LANTARAN

JEDA YnNC LAMA ArnU STSTNTAR NRtrztUN

DIURnRMKAN

enurut Syaikh Utsaimin, adzan atau iqamah batal

karena jeda waktu yang lama antara satu kalimat dan

lainnya. Ukuran yang dimaksud adalah menurut ke￾biasaan yang berlaku. Jeda ini membatalkan adzan maupun iqamah

karena salah satu syarat sah adzan dan iqamah adalah berurutan. Ad￾zan dan iqamah adalah ibadah, sehingga ritualnya harus dilaksanakan

secara berurutan, seperti wudhu. Seandainya muadzin mengucapkan 4

kali takbir di awal adzankemudian ia pergi wudhu,lalu kembali untuk

melanjutkan adzan, maka adzan seperti ini tidak sah. Ia harus mengu￾lang dari pertama.

Syaikh Utsaimin juga mengungkapkan, "Adzan maupun iqamah

batal pula karena jeda sebentar yang diharamkan." Hal ini karena se￾suatu yang diharamkan itu kontradiktif dengan ibadah. Contohnya, se￾seorang adzan dan di sampingnya ada sekelompok orang yang tengah

bercakap-cakap. Di pertengahan adzan ia menoleh kepada mereka dan

berkata, "Si Fulan itu begini dan begini." Ia membicarakan keburukan￾nya. Padahal ghibah itu tergolong dosa besar. Maka kami katakan, "Ia

harus mengulangi adzan, karena sudah batal." Barangkali peristiwa se￾perti ini sering terjadi kepada sebagian orang di berbagai tempat.

Dari perkataan syaikh, "Jeda sebentar yang haram," dapat disim￾pulkan bahwa jeda sebentar yang dibolehkan, seperti seandainya

muadzin yang sedangadzanditanya, "Di mana si Fulan?" lalu ia menja￾wab, "Sedang pergi." Ini termasuk jeda sebentar yang dibolehkary se￾hingga tidak membatalkan adzan.201Huruvt MrNuNon SHALAT Suguu HINGGA

WnrcruNYA Hnsrs

rang-orang yang menangguhkan shalat Subuh sampai wak￾tunya habis, jika mereka meyakini hal itu boleh maka ini

merupakan perbuatan kekafiran kepada Allah. Sebab orang

yang berkeyakinan halalnya menunda shalat hingga keluar waktunya

tanpa suatu alasan syar'i, ia telah kafir karena berani menyelisihi Al￾Quran, As-Sunnah dan ijma'kaum muslimin.

Adapun orang yang memandang bahwa itu sejatinya tidak diboleh￾kan, hanya saja ia telah berbuat maksiat dengan menunda shalat dan ka￾lah oleh hawa nafsunya atau tak kuasa melawan tidur, maka orang ini

harus bertaubat kepada Allah dan meninggalkan secara total apa yang

dilakukannya. Pintu taubat terbuka lebar, walaupun untuk orang yang

paling kafir sekalipun. Sebab Allah berfirman :

'ai "rt.'ai y) c\rb