) Berasal dari perak. (4) Untuk satu kebutuhan. Dalilnya riwayat
yang terbukti shahih dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas bahwa mangkuk Nabi ffi pecah. Lantas beliau mengambil rantai dari perak untuk
mengaitkan pecahan tersebut.173)Maka hadits ini membatasi keumuman
larangan yang telah disebutkan.
Bila ditanyakan, dari mana kalian mengambil syarat 'sedikit'?
Jawabnya, inilah yang umum pada mangkuk. Yakni bentuknya yang kecil. Dan, biasanya, bila pecah mangkuk tak membutuhkan pengait yang
banyak. Sementara asal hukum penggunaan emas dan perak sebagai wadah adalah haram, maka kita membatasinya dengan yang umum terjadi
saja.
Jika ditanyakary kalian mengatakan'harus berupa talipita', yakni
sesuatu untuk menambal wadah. Tapi seandainya seseorang menempelkan perak pada corong ketel, mengapa tidak boleh? Dl1awab, sebab ini
bukan untuk satu kebutuhan dan bukan berupa pengikaf melainkan
penambahan dan aksesori saja sehingga tidak boleh.
Jika ditanyakary mengapa kalian mensyaratkannya berasal dari
perak? Kenapa kalian tidak menyamakan emas dengan perak? Kami
katakan, redaksi hadits (nash) hanya menyebutkan perak. Kemudian
emas itu lebih mahal dan lebih keras pengharamannya. Karenanya, dalam masalah pakaian, laki-laki diharamkan mengenakan cincin emas
dan dibolehkan memakai cincin perak. Ini mengindikasikan, perak
lebih ringan larangannya. Bahkan dalam bab pakaian, Syaikhul Islam,mengatakan, "Hukum asal perak adalah boleh dan halal bagi laki-laki,
kecuali dalam sesuatu yang ada dalil pengharamafi:rya."lTa)
Selain itu, seandainya emas boleh tentu Nabi $ menggunakannya
untuk menambal pecahan. Sebab emas lebih tahan karat, berbeda dengan perak. Karenanya, ketika seorang sahabat membuat hidung dari
perak -dikarenakan hidungnya putus dalam satu peperangan, yakni
perang Kulab, di masa jahiliyah- hidung buatan ini membusuk. Maka
Nabi ffi memerintahkannya membuat hidung dari emas175) karena tidak
bisa membusuk.
Pengambilan syarat 'untuk suatu keperluan' dari hadits di atas,
bahwa Nabi M tidak menggunakan rantai perak itu kecuali karena satu
keperluan, yakni menyatukan bagian yang pecah.
Ungkapan penulis,'Untuk satu keperluan,' menurut ulama, makna
keperluan adalah berkaitan dengan suatu tujuan dalam Penggunaannya selain sebagai hiasan. Artinya, tidak menjadikannya sebagai aksesori. Syaikhul Islam berkata, "Maknanya bukanlah tidak mendapatkan
sesuatu untuk menambal pecahan selain perak. Sebab ini tidak disebut
keperluan, melainkan darurat. Dan situasi darurat itu membolehkan
penggunaan emas dan perak, baik murni maupun bercampur dengan
yang lain. Andai seseorang terpaksa minum pada wadah emas, ia boleh
melakukannya. Karena ini situasi darurat."
Ungkapan penulis, "Dan makruh langsung menyentuhnya tanpa
suatu keperluan," yakni, makruh hukumnya langsung menyentuh pita
pengait dari perak yang sedikit itu. Maksud langsung menyentuhnya
adalah bila seseorang ingin minum dari wadah yang telah dikait dengan pita perak ini ia minum dari sisi perak, sehingga ia menyentuhnya
dengan kedua bibir. Perbuatan ini halal. Sebab makruh menurut istilah
ahli fikih adalah sesuatu yang dilarang tidak dalam konteks harus ditinggalkan. Hukumnya, orang yang meninggalkan karena mengaplikasikan larangan ini mendapat pahala, sedang yang melakukan tidak
terancam sangsi. Berbeda dengan haram, pelakunya berhak mendapat
siksa.Ini menurut istilah para ahli fikih.
Sedang dalam Al-Quran dan As-Sunnah, kata makruh berarti sesuatu yang diharamkan. Karenanya, manakala Allah telah menyebutkan
satu demi satu hal-hal yang diharamkan dalam surat Al-Isra', selanjutnya
Dia berfirman, "Senlua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Rabbrnu." (AlIsra' [17] : 38). Dan Nabi g; bersabda, "Sesunggtrhnyn Allah mentbenci tign
hal untuk kalian; desas dews, bnnyak bertanyn dan membuang-bunng hnrta.'t17t')
Makruh adalah hukum syar'i yang tidak bisa ditetapkan kecuali
dengan dalil. Siapa yang menetapkannya tanpa dalil kita tolak ucapannya, sebagaimana kalau ia menetapkan keharaman tanpa dalil kita juga
menolaknya.
Berpijak pada kaidah ini, mari kita menyimak perkataan Syaikh
Utsaimin. Ia mengatakan, "Makruh langsung menyentuhnya tanpa suatu keperluan." Maka jika ada keperluan minum dari sisi perak itu, contohnya air tumpahbila tidak diminum dari arah ini, atau wadah diletakkan di atas api dan sisi yang tidak ada pita pengait perak tersebut panas
sehingga tak mungkin minum dari sisi ini, dan hanya bisa minum dari
arah yang ada pita pengait peraknya. Maka kondisi ini disebut perlu',
ia boleh minum dari arah tambalan perak itu dan tidak dibenci. Jika tidak dalam kondisi perlu, perkataan pengarang secara tegas menyatakan
'dibenci menyentuhnya secara langsung'.
Yang benar, tindakan itu tidak dimakruhkan dan ia boleh menyentuhnya secara langsung. Sebab status makruh merupakan hukum syar'i
yang untuk menetapkannya memerlukan dalil syar'i. Selama pengertian hadits Anas di depan menunjukkan kebolehan, apa gerangan yang
membuat sentuhan langsung itu dimakruhkan? Adakah riwayat yang
mengungkapkan bahwa Nabi S menghindari sisi mangkuk yang ada
peraknya ini? Jawabnya, tidak. Jadi yang benar, perbuatan itu tidak makruh. Sebab penambalan ini mubah (dibolehkan), dan menyentuh sesuatu yang mubah itu hukumnya mubah juga.'ztt
Yang menjadi pertanyaan, bolehkah makan dan minum dalam
wadah dari perak? Jawabannya, telah diriwayatkan nash pengharaman
makan dan minum dalam wadah perak. Maka seseorang tidak bolehmembuat sendok perak untuk dipakai alat makan. Ini di antara larangan yang sama-sama berlaku pada kaum wanita dan laki-laki terkait
pengharaman emas dan Perak'178)
LnnnNcAN KENCING oI AInYANG
MTNccENANG
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi S bahwa bersabda :
to t, 'i. o! t t o J t 1
y,ry"i +4 r +l' ;trlt ,L:Jt € ir;i jJ; !
"longontrf, ,oloh ,rorrrg di antara
^rro,
kencing dalam air tenang
yang tidak mengalir, kemudian ia mandi dari air itu."
Syariat Islam memiliki perhatian besar terhadap kesucian dan
langkah antisipasi berbagai penyebab bahaya. Dalam hadits ini Abu
Hurairah mengabarkan bahwa Nabi M melarang keras kencing dalam
air tenang yang tidak mengalir. Sebab akan menyebabkan air tercemari
najis dan berbagal bakteri yang terkadang ada dalam air kencing, sehingga membahayakan setiap orang yang menggunakan air ini. Bahkan
boleh jadi, orang yang kencing ini menggunakannya sendiri untuk mandi. Bagaimana ia kencing pada air yang akan menjadi alat bersucinya?
Selain itu, Nabi M juga melarang orang yang junub mandi di air yang
menggenang, karena dapat mencemari air dengan kotoran dan bekas
junubnya.
Pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini :
1. Larangan kencing di air tenang yang tidak mengalir. Larangan ini
bermakna mengharamkan jika air itu dimanfaatkan masyarakat
untuk kebutuhan sehari-hari. Bila tidak, maka berarti makruh (dibenci). Hukum buang air besar di air ini, seperti buang air kecil.
Bahkan lebih dilarang lagi.
2. Boleh kencing di air yang mengalir, sebab air kencing akan mengalir bersama air dan tidak menetap. Akan tetapi bila ada seseorang di bawah menggunakan air itu, janganlah kencing di air itu
karena dapat mengotorinya.
3. Larangan mandi junub dalam air yang tergenang. Larangan ini
berarti haram jika pe
nakan manusia. Bila t
rbuatan itu mencemari air yang akan diguidak, maka berarti makruh.4.
5.
Boleh mandi junub pada air yang mengalir.
Kesempurnaan syariat Islam, yang terwujud dalam perhatian besarnya terhadap kesucian dan langkah antisipasi dari berbagai penyebab bahaya.
sebagai catatan, secara eksplisit hadits ini menunjukkan tak ada
perbedaan antara air yang banyak dan sedikit. Tapi larangan kencing
dan mandi junub di air yang sedikit lebih keras, karena air ini relatif
lebih mudah terkotori dan tercemari. sedang air yang sangat melimpah
dan tidak mungkin terpengaruh oleh air kencing atau tercemari oleh
mandi junub, seperti air laut, tidak masuk dalam larangan ini. Sedangkan air yang tergenang selama waktu tertentu, contohnya air kolam di
kebun-kebun, jika dapat terpengaruh oleh air kencing atau tercemari
mandi junub lantaran volumenya yang sedikit atau lama tak kemasukan air baru, maka termasuk dalam larangan ini. Bila tidak seperti itu,
tak ada indikasi konkret masuk dalam larangan. Wallahu A'lam'l7e)SIrcSN BAGI OnRNG YANG TIoRrc
MTIINoUNGI DIRI Dnru AIn KENCINGNYA
iriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi s melewati dua
makam, beliau bersabda, "Sesungguhnya keduanya sedang
diadzab. Tidaklah keduanyn diadzab disebabkan perkara yang
(tampak) besar. Adapun salah satunya tidnk bersuci ketika buang air kecil, sedangkan orang y ang kedua ndalah dahuluny a berj alan dengan melakukan namimah (adu domba)" Kemudian beliau mengambil sebuah pelepah kurma
yang masih basah, lalu beliau membelahnya menjadi dua bagian, lalu
beliau menancapkan pada masing-masing kuburan tersebut sebatang.
Mereka (yaitu para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal itu?" Beliau menjawab, "Semoga adzab kubur itu diringankan atas keduanya selama kedua batang tersebut belum kering."not
Sabda beliau, "Disebabkan perkara yang (tampak) besar," yakni keduanya tidak disiksa karena hal yang sulit bagi keduanya untuk meninggalkannya. Huruf fi menunjukkan arti sebab. Sabda beliau, "Tidak melindungi diri," yakni tidak berhati-hati supaya tidak terkena air kencing dan
tidak menuntaskannya. Sabda beliau, "Dnri air kencing," huruf alif lam
untuk menunjukkan sesuatu yang telah diketahui (definitif). Yakni dari
air kencingnya, sebagaimana diungkapkan dalam riwayat lain. Sabda
beliau, "Berjalan dengan mengadu dlmbn," artinya menyebarkan adu domba di antara manusia. Adu domba adalah menceritakan ucapan orang
lain kepada orang yang dijumpai dengan maksud merusak hubungan
mereka.
Pertanyaan, "Mengapa engkau melakukan ini?" adalah pertanyaan
untuk mengetahui hikmah perbuatan tersebut. La'nllahu (semoga). Kata
ln'allauntrk menunjukkan harapan. Sedangkah huruf ha' adalah dhnmir
sya'n.Sabda beliau, "Diringanknn," yakni semoga siksa itu diringankan.
Sabda beliau, "Dnri keduanya," yakni dari penghuni kedua kubur itu.Sabda beliau, "Selama keduanya belum kering," yakni kedua bagian kurma
yang dibelah menjadi dua bagian yang sama.
Huruf maini adalah mashdar zharf. Arlinya,Nabi gberharap Allah
meringankan siksa kedua penghuni kubur tersebut sampai pelepah kurma itu kering. Di sini, Nabi S melewati dua kubur di pemakaman Baqi'.
Lantas diperlihatkan pada beliau penyiksaan yang dialami penghuni
dua kubur itu dengan mendengar teriakan keduanya dan sebab siksaan
tersebut. Saat itu beliau ditemani beberapa orang sahabat. Maka beliau
memberitahukan hal itu pada mereka dalam rangka memperingatkan
sebab-sebab siksa. Beliau menjelaskan bahwa sebab siksa yang diterima
kedua penghuni kubur itu bukanlah hal yang sulit untuk ditinggalkan
keduanya, andai keduanya mau. Meskipun hukumannya sangat berat.
Salah satu dari keduanya disiksa karena tidak memperhatikan kesucian yang merupakan salah satu syarat sah shalat.Ia tidak menuntaskan kencingnya dan tidak menghindarkan diri darinya.
Orang kedua disiksa karena kegemarannya memecah belah kaum
muslimin dengan adu domba yang mampu merusak masyarakat dengan memunculkan permusuhan dan kebencian antara sesama. Kemudian Ibnu Abbas, rawi hadits ini, menginformasikan bahwa Nabi g
mengambil pelepah kurma yang masih basah. Beliau membelahnya
menjadi dua bagian yang sama besar, kemudian menancapkan setiap
bagian pada masing-masing dari dua kubur itu tepat di bagian kepala.
Dan beliau bersabda, " Semoga siksa diringankan dari keduanya sampai kedua
(bagian pelapah kurma) ini kering."
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini:
1. Adanya siksa kubur dan bahwa adu domba dan tidak menghindarkan diri dari air kencing termasuk penyebab siksa ini.
2. Allah terkadang memperlihatkan siksa kubur pada manusia untuk menunjukkan satu di antara tanda-tanda kenabian atau satu
di antara karamah wali.
3. Seseorang wajib menghindarkan diri dari air kencingnya, demikian pula seluruh air kencing yang najis.
4. Namimah dan tidak menghindarkan diri dari air kencing termasuk dosa besar.5.
6.
Begitu besarnya permasalahan shalat, di mana ketidaksempurnaan salah satu dari syarat-syaratnya yakni bersih dari hadats dan
najis menjadi sebab siksa kubur.
Kasih sayang Nabi & pada umat,bahkan hingga pada para pelaku
maksiat di antara mereka.
7. Syafaat terkadang bersifat temporer hingga batas waktu tertentu,
berdasarkan sabda beliau, "Semlga siksa diringankan dari keduanya
selama kedua (bagian pelepah kurma itu) belum kering."
8. Antusiasme para sahabat untuk mengetahui hikmah perbuatan
Nabi ffi.
Sebagai catatan, kita tidak disunnahkan menancapkan pelepah
kurma di atas kubur, sebab kita tak mengetahui apakah penghuni kubur
itu disiksa. Apalagi, meletakkan pelepah kurma di atas kubur sama artinya buruk sangka pada penghuninya dan mengharapkannya mendapat
siksa.181)LARANGAN MENGHADAP KIBLAT DAN
MTA nTLAKANGTNvA SAAT BUANG HAIAT Arnu
KTNCING STMIN DI DALAITzI BRNcUNAN
Buang hajat diharamkan menghadap kiblat dan membelakanginya
berdasarkan hadits Abu Ayub bahwa Nabi M bersabda :
!,C o, )f |rtiii !'f ir:j,, , W * vt,ttt, gl ;1
,
tsl oi, lr'. o..',' t-yf )t'Pr Pr
"Bila kalisn mendatangi jantban, maka jangan kalian menghadap kiblat
dan jangan kalian membelakanginya kala kencing dan buang hajat. Tapi menghndaplah ke tirnur atau bnrat." Abu Ayub berkata, "Kami tiba di Syam.
Kami mendapati jamban-jamban dibangun ke arah Ka'bah, lantas kami
mengubah arahnya dan kami memohon ampun kepada Allah.182)
Sabda Nabi S, "langan kalian menghadap kiblat dan jangan kalian
membelnkanginya," adalah larangan. Dan pada asalnya larangan itu
menunjukkan pengharaman. Hadits ini memberi pengertian bahwa
sedikit membelok dari arah Ka'bah itu belum cukup. Sebab beliau bersabda, "Tapi menghadaplah ke timur atnu ke barat." Ini menuntut membelok
secara total. Namun ,"Menghadaplah ke timur atau ke barat," ini berlaku
bagi orang-orang yang bila mengarah ke timur atau barat mereka tidak
menghadap kiblat dan tidak membelakanginya. Contohnya, penduduk
Madinah, sebab kiblat mereka ke arah selatan. Maka bila mereka menghadap ke barat atau timu4 kiblat berada di sisi kanan atau kiri mereka.
Dan bila satu kaum mengarah ke timur atau barat justru menghadap ke
kiblat, mereka harus menghadap ke utara atau selatan. Alasan larangan
ini adalah menghormati Ka'bah dalam hal menghadap atau membelakangi.
Ucapan pen garang, "Selain di dalam bangunan," ini pengecualian.
Artinya, bila buang hajat atau kencing dilakukan di dalam bangunan
boleh menghadap kiblat atau membelakanginya, berdasarkan hadits
Ibnu Umar menuturkan, "Suatu hari aku naik ke loteng rumah saudaraku, Hafshah. Aku melihat Nabi S duduk menunaikan hajat dengan
menghadap ke Syam dan membelakangi Ka/bah./183) Pendapat ini yang
populer dalam mazhab Hambali. Bahkan mereka berkata, "Cukup ada
pembatas bila tidak ada bangunan. Misalnya seseorang menghadap ke
gundukan pasir dan ia menunaikan hajat di baliknya, atau menghadap
ke pohon dan semacamnya."
Sebagian ulama berpendapaf bagaimana pun tidak boleh menghadap dan membelakangi Ka'bah (saat buang hajat), di dalam bangunan
atau tidak. Ini satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka mengatakan, "Ini
sesuai pengertian hadits Abu Ayub, baik dalam konteks sebagai dalil
maupun pengamalan." Sebagai dalilnya adalah sabda Rasulullah #. Sedang pengamalannya adalah perbuatan Abu Ayub ketika tiba di Syam
dan ia mendapati jamban-jamban di sana dibangun menghadap Ka'bah.
Ia berkata, "Lantas kami mengubah arahnya dan kami memohon ampunan pada Allah." Ini menunjukkan, Abu Ayub berpendapat keberadaan
tempat-tempat buang hajat tersebut di dalam bangunan belumlah cukup. Pendapat ini pilihan Syaikhul Islam.
Terkait hadits Ibnu Umar, para ulama yang berpendapat kedua ini
mengatakan: Pertama, peristiwa dalam hadits tersebut dimaknai terjadi sebelum adanya larangan dan larangan menghadap dan membelakangi kiblat saat buang hajat dianggap lebih kuat. Sebab larangan itu
mengubah dari hukum asal, yakni boleh. Sedang dalil yang mengubah
dari hukum asal itu lebih diprioritaskan. Kedua, hadits Abu Ayub berisi
ucapan, sedang hadits Ibnu Umar berupa perbuatan. Dan perbuatan itu
tidakbertentangan dengan ucapan, sebab perbuatan Nabi S itu dimungkinkan sebagai keistimewaary atau karena lupa atau alasan yang lain.
Tetapi asumsi ini tertolak, sebab hukum asal perbuatan Nabi S
adalah untuk dicontoh dan diikuti. Selain itu, tidak ada kontradiksi
antara sabda dan perbuatan tersebut. Andai ada, tentunya pendapat
bahwa perbuatan tersebut sebagai keistimewaan Nabi $ sangat beralasan. Tapi hadits Abu Ayub dapat dimaknai ketika tidak berada di dalam
bangunan, sedang hadits Ibnu Umar tentang membelakangi Ka'bah dimaknai saat berada dalam bangunan.
Pendapat yang rajih adalah boleh membelakangi Ka'bah saat
buang hajat dalam bangunan, tapi tidak boleh menghadap ke arahnya.
Sebab larangan menghadap ke Ka'bah tetap seperti itu, yakni tidak
ada perincian maupun pengecualian. Sementara itu, larangan membelakangi Ka'bah dikecualikan bila berada dalam bangunan berdasarkan
perbuatan Nabi S. Selain itu, membelakangi lebih ringan dibanding
menghadap. Karenanya -wallahu a'lam- ada keringanan membelakangi
Ka'bah ketika seseorang buang hajat atau kencing di dalam bangunan.
Namun yang paling baik adalah tidak membelakanginya, bila kondisi
memungkinkan.
Menghadap ke kiblat itu terkadang haram, seperti dalam masalah ini. Menghadap ke kiblat terkadang wajib sebagaimana dalam shalat
dan terkadang dibenci, seperti saat khutbah Jumat. Khatib dimakruhkan
menghadap kiblat dan membelakangi jamaah. Menghadap ke kiblat adakalanya dianjurkan (mustahab) seperti saat berdoa dan wudhu. Hingga
sebagian ulama mengaiakan, "Setiap amal taat, paling baik dilakukan
dengan menghadap kiblat, kecuali ada dalil yang menunjukkan sebaliknya." Tapi pendapat ini perlu dilihat ulang. Sebab kalau kita menjadikannya sebagai kaidah, berarti ini berseberangan dengan kaidah yang telah
sama-sama dimengerti, yakni hukum asal dalam ibadah adalah dilarang (kecuali yang ditunjukkan dalil syar'i yang shahih)."1Hnnnu Brnnpn or WC Lleru DARI
KT p E RLUAN
ram berlama-lama di WC lebih dari keperluan dan wajib
keluar setelah selesai menunaikan hajat. Mereka mendasarinya dengan dua alasan : Pertama, perbuatan tersebut
menyebabkan terbukanya aurat tanpa diperlukan. Kedua, WC adalah
sarang setan dan ruh-ruh jahat, maka tidak seyogianya seseorang berada lama di tempat buruk seperti ini.
Pengharaman berlama-lama di jamban ini berdasarkan alasary dan
tidak ada dalil dari Rasulullah ffi terkait itu. Karenanya,Imam Ahmad
dalam satu riwayat mengatakan, "Itu dimakruhkan, bukan haram."18LRRRNcRN KTNCING DI JALAN, BAWAH
Tllvtpnr BIRTTDUH, BAWAH POHON BrngUNH
vANG Brsn DruernN, MASITD DAN Trmpnr
MANDI UMUM
(MUopan penulis, "Dan kencingnya di jalan", yakni diharam-
/ / kan. Lebih-lebih lagi buang air besar. Ini berdasarkan hadits
U riwayat Muslim bahwa Nabi ffi bersabda, "Hindarilalt olehkalian akan duayang dilaknnt." Para sahabat bertanya, 'Apakah dua yang dilaknat itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "(Yakni) orang yang berak
di jalan manusia dan di tempat naungan mereka.t/186) Dan dalam Sunan Abi
Dautud'.
tA
JD\i ,HrD\ ^7r!s tr\F\ e )\_rJ\ ti').:J\ ;r>\Jt trat
"Hindnrilah oleh kalian akan tiga hal yang dilaknat; yakni buang air besar di aliran air, tengah jalan dan di bawah naungan."187)
Alasannya, karena kencing di tengah jaian dapat mengganggu
orang yang lewat, padahai mengganggu kaum mukminin itu haram.
Allah berfirman, "Dan ornng-orang yang ftLenyakiti orang-orang beriman
Iakilaki dan perernpuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesung'
guhnya mereka telah memiktil kebohongan dan dosayang nyata." (Al-Ahzab
[33] : s8).
Ungkapan penulis, "Dan naungan yang bermanfaat." Yakni, haram kencing dan berak di bawah naungan yang bermanfaat. Tidak semua tempat teduh haram untuk berak dan kencing,tetapitempat teduh
yang dimanfaatkan manusia saja. Andai seorang kencing atau buang
air besar di tempat teduh yang tidak biasa dipakai duduk-duduk, maka
tidak dikatakan haram. Dalilnya sabda Nabi g;, "Atau di tempat naungan
mereka." Yakni naungan yang menjadi tempat duduk-duduk mereka
dan mereka memanfaatkannya. Sebagian ulama berkata, "Seperti hal
ini adalah tempat berjemur manusia di musim dingin." Yakni tempat di
mana mereka duduk untuk menghangatkan diri. Ini merupakan analogi yang tepat dan konkret. Ulama lainnya berpendapat, "Kecuali bila
mereka duduk-duduk di tempat itu untuk ghibah atau sesuatu yang
diharamkan. Maka boleh mengusir mereka meskipun dengan kencing
atau berak." Pendapat ini perlu ditilik ulang, mengingat pengertian hadits di atas bersifat umum. Pun tindakan itu tak efektil sebab bila mereka tahu ada orang yang berak atau kencing di tempat-tempat berkumpul
tersebut mereka akan bertindak lebih buruk lagi. Dan tak menutup kemungkinan, mereka akan mengeroyoknya. Cara yang tepat adalah mendatangi dan menasihati mereka.
Ungkapan penulis, "Dan di bawah pohon berbuah." Maksudnya,
haram kencing dan berak di bawah pohon berbuah. Ucapan Pengarang
'di bawah' memberi pengertian pada kita bahwa larangan itu berlaku bila
berak atau kencing dilakukan dekat dengan pohon, tidak jauh dari pohon itu. Perkataannya, "Berbuah." Pengarang menyebutkan pohon yang
berbuah secara umum. Tetapi ini harus dibatasi, yakni buah yang dicari
atau buah yang berharga. Yang dicari artinya buah yang diinginkan manusia, walaupun tidak bisa dikonsumsi. Maka tidak boleh kencing atau
berak di bawah pohon ini. Sebabnya, boleh jadi buah jatuh sehingga kotor oleh najis. Pula karena orang yang ingin memanjat pohon ini harus
melewati najis tersebut sehingga ia terkena kotoran. Sedang buah yang
berharga adalah seperti kurma, meskipun berada di lokasi yang tidak
dituju seorang pun. Tidak boleh kencing ataupun berak di bawahnya
selama pohon itu berbuah. Sebab kurma itu makanan yang berharga.
Demikian pula pohon-pohon lain yang buahnya berharga karena dapat
dikonsumsi, maka tidak boleh kencing dan bera di bawahnya.
Ada lokasi-lokasi lain di mana kencing dan berak tidak boleh dilakukan di tempat tersebut di luar yang telah disebutkan Pengarang, seperti masjid. Karenanya Nabi $ pernah bersabda pada seorang Arab
badui:sesungguhnya masjid-masjid ini samn sekali tidnk laik untuk kencing
ini dan tidnk pula untukkotornn. Sesungguhnya ia untukberdzikir pnda
Allah, shalnt dnn membaca Al-Qurnn."tsat
Demikian pula, gedung-gedung sekolah. Jadi semua tempat berkumpul manusia untuk membahas masalah agama atau dunia tidak dibolehkan seseorang kencing atau berak di tempat tersebut. Alasannya
adalah mengiyaskan larangan-larangan kencing dan berak pada tempat-tempat ini dengan larangan Nabi $ kencing di jalan dan naungan
manusia. Demikian pula, gangguan yang menimpa muslimin dengan
tindakan apa pun, baik ucapan maupun perbuatan, berdasarkan firman
Allah, "Dnn orang-orang yang menyakiti orang-orang beriman ktki-laki dan
perempunn tnnpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka
telah memikul kebohongan dnn dosa yang nyntn." (Al-Ahzab [33] : 58).
Adapun tempat mandi umum yang biasa dimanfaatkan manusia
untuk membersihkan diri maka tidak boleh buang air besar di tempat
ini, karena kotoran tak bisa hilang. Sedangkan kencing, dibolehkan karena bisa hilang. Meskipun yang paling baik tidak buang air kecil di
tempat seperti ini. Akan tetapi terkadang seseorang terpaksa kencing,
seperti seandainya kamar mandi yang lain sedang dipergunakan.r8HUTUU KENCING BERDIRI DAN LARANGAN
IsrrNlA DENGAN TULANG, KOTORAN,
METNNAN, BENOR TTRHORIVTAT DAN BAGIAN
TUSUH HEWAN HINUP
Encing dengan berdiri dibolehkan dengan dua syarat :
Pertama, aman dari cipratan air kencing.Kedua, dijamin
tak ada orang lain yang melihat aurat.
Sedangkan, dalil larangan ini bahwa Nabi ffi melarang istinja' (cebok) dengan tulang atau kotoran. Sebagaimana disebutkan dalam hadits
Ibnu Masud, Abu Hurairah, Salman, Ruwaifi'dan lainnya. Alasannya,
bila tulang tersebut merupakan tulang hewan yang mati disembelih,
Nabi S telah menjelaskan bahwa tulang ini menjadi makanan bangsa
jin. Sebab Nabi ffi bersabda kepada mereka :
't,*
" ';'r1 &iI g 'e q1o nr i:, 'f't ,i; "S A
\A
"setiap tulnng yang disebutkan nama Allah atasnya adalah untuk kalian (bangsa jin) dan kalian mendapntinya memiliki daging yang sangnt
banYak." teot
Larangan istinja' dengan kotoran, kami berdalil dengan hadits yang
menjadi dalil larangan istinja' dengan tulang. Alasannya, jika kotoran
itu suci maka menjadi makanan binatang bangsa fin dan jika najis, tidak
selayaknya dijadikan alat bersuci. Ungkapan penulis, "Dan makanan."
Maksudnya makanan manusia dan makanan hewan piaraan mereka'
Kita tidak boleh beristinja' dengan keduanya. Dalilnya, Rasulullah ffi
melarang istinja' dengan tulang dan kotoran karena keduanya adalah
makanan bangsa jin dan binatang ternak mereka. Sementara manusia
lebih terhormat, sehingga larangan istinja'dengan makanan mereka danmakanan binatang ternak mereka tentu lebih diutamakan. Di samping
itu, beristinja' seperti itu termasuk wujud mengingkari nikmat' Sebab
Allah menciptakan kedua makanan tersebut untuk dikonsumsi, dan tidak membuatnya untuk dihinakan seperti ini. Maka semua makanan
manusia atau binatang ternak mereka haram dipergunakan istinja'. Secara eksplisit, ucapan pengarang di atas menunjukkary walaupun sekedar sisa makanan seperti potongan roti.
Ungkapan penulis, "Dan benda terhormat." Yakni sesuatu yang
memiliki kehormatan dalam syariat. Contohnya, kitab-kitab agama.
Dalilnya firman Allah, "Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dariketakwaan
hati." (Al-Hajj l22l: 32). Firman-Nya, "Demikianlah (perintah Allah). Dan
barangsiapa mengagungkan apa-apayang terhormat di sisi Allah maka itu adaIah lebih baik baginya di sisi Rabbnya..." (Al-Haij [22] : 30).
Ketakwaan adalah wajib. Oleh karena itu, manusia tidak boleh cebok dengan sesuatu yang terhormat dalam syariat. Tampak dari ungkapan penulis bahwa hukum itu berlaku meskipun kitab itu ditulis tidak
dengan bahasa Arab selama judulnya sesuatu yang diagungkan dalam
agama.
Perkataannya, "Dan organ yang bersambung dengan hewan."
Artinya, organ yang bersambung dengan hewan tidak boleh digunakan
istinja' sebab hewan itu juga memiliki kehormatan. Contohnya, istinja'
dengan ekor sapi atau telinga anak biri-biri. Bilamana makanan hewan
dilarang dipakai istinjai terlebih lagi istinja' dengan bagian tubuhnya'
Jika dikatakary alasan ini berimplikasi tidak bolehnya istinja' dengan air, karena tangan akan bersentuhan langsung dengan najis. Persoalan tersebut telah dijawab oleh sebagian generasi salaf, yang mengatakan, "Istinja' dengan air tanpa didahului batu tidak boleh dan tidak
mencukupi, sebab Anda akan mengotori tangan Anda dengan najis."
Ini pendapat yang sangat lemah, pun ditolak oleh sunnah yang
shahih lagi tegas bahwa Nabi ffi hanya beristinja'dengan air. Adapun
mengenai kontak langsung tangan dengan najis, kontak ini bukan untuk
mengotorinya dengan najis tapi untuk menghilangkan dan membersihkan najis itu sendiri. Menyentuh sesuatu yang dilarang guna menyingkirkannya tidaklah diharamkary bahkan diharuskan. Coba Anda perhatikan, bila seseorang sedang dalam keadaan ihram dan ada orang lain
mengusapkan minyak wangi pada dirinya, membiarkan minyak wangi
ini tetap ada hukumnya haram. Ia wajib menghilangkannya dan ia tidak
mengapa menyentuhnya secara langsung untuk menyingkirkannya.
Contoh lain, andai seseorang meramPas tanah dan ia sering bolakbalik ke tempat ini. Kemudian ia teringat adzab dan akhirnya bertaubat
kepada Allah dengan taubat sepenuhnya. Sementara di antara syarat
taubat adalah meninggalkan kemaksiatan secara langsung. Maka lewatnya orang itu di atas tanah ini hingga ia keluar tak membuatnya berdosa, karena itu dalam rangka melepaskan diri dari keharaman' Jadi
bersentuhan dengan sesuatu yang dilarang untuk melepaskan diri darinya tidak mungkin seseorang berdosa karenanya, karena ini termasuk
pembebanan yang tak dapat dilakukan.lel)
HUrcUM MTAzIERWA MUSHAF ATAU STSUETU
YANG BIruSI TUI-ISRN NEMI AILAH KE
DALAM KAMAR MENOI; MINYEBUT NAMA
AIIEU DI DALNM KNMAR MENOI; DAN
MTNCUCAPKAN BASMALAH SENT ATNN
WUOHU DI KNUEN MANDI
Hukum Membawa Mushaf atau Sesuatu yang Berisi
Tulisan Nama Allah ke dalam Kamar Mandi
Syaikh Utsaimin pernah ditanya, "Bagaimana hukum membawa
mushaf dan kertas yang berisi tulisan nama Allah ke dalam kamar mandi?" Beliau menjawab, "Tentang mushaf, ahlu ilmi mengatakary seseorang tidakboleh membawanya masuk ke kamar mandi' Sebab mushaf,
sebagaimana diketahui, menyandang kehormatan dan keagungan yang
membuatnya tak pantas dibawa masuk ke tempat seperti ini. Semoga
Allah memberi bimbingan.
Namun, kita boleh membawa masuk kertas yang berisi tulisan
nama Allah selagi diletakkan di dalam saku dan tidak tampak dan tertutup. Nama-nama pun biasanya tidak terlepas dari nama Allah, seperti
Abdullah, Abdul Aziz dan semacamnya.
Hukum Menyebut Nama Allah di dalam Kamar Mandi
Tidak seyogianya seseorang menyebut nama Allah di dalam kamar
mandi, sebab tempat tersebut tidak layak untuk hal itu. Namun bila ia
menyebut-Nya di dalam hati, tanpa diucapkan dengan lisary itu tidak
mengapa. Bila tidak bisa, maka lebih baik ia tidak mengucapkannya secara verbal di tempat seperti ini danbersabar hingga keluar. Adapunbila
tempat wudhu berada di luar tempat buang hajat, tidak mengapa mengucapkan nama Allah.Hukum Mengucapkan Basmalah Saat Akan Wudhu di
Kamar Mandi
Bila seseorang di dalam kamar mandi, ia boleh membaca basmalah
di dalam hati namun tidak diucapkan dengan lisan. Sebab kewajiban
membaca basmalah saat wudhu dan mandi bukan secara lisan. Imam
Ahmad berkata, "Tidak ada satu pun hadits yang shahih dari Nabi *
tentang membaca basmalah saat wudhu." Karenanya, Ibnu Qudamah
pengarang kitab Al-Mughni, dan lainnya berpendapat bahwa membaca
basmalah saat wudhu hukumnya sunah, bukan wajibHUKUM MENCCUNAKAN TISU UNTUK
tsrrxln
f/slinja'hanya dengan menggunakan tisu dibolehkan, dan tidak
| "da masalah. Sebab inti istinja' adalah menghilangkan najis,
J baik dilakukan dengan tisu, kain, debu atau batu. Hanya saja,
kita tidak boleh cebok dengan sesuatu yang dilarang syariat, misalnya
tulang dan kotoran. Sebab tulang merupakan makanan jin bila berasal
dari binatang yang disembelih dengan mengucapkan nama Allah. Bila
tidak, berarti tulang itu najis. Sementara barang najis tak dapat menyucikan.
Adapun kotoran, bila najis maka ia barang najis yang tidak bisa
menyucikan. Dan jika suci, ia menjadi makanan hewan bangsa jin. Sebab
sekelompok jin yang mendatangi Nabi M danberiman, beliau memberi
mereka jamuan yang tidak habis hingga hari kiamat. Beliau bersabda :
I.3.i
"setiap tulang ynng disebutknn nnma Allah atasnya adalah untuk kalian (bnngsa jin) dnn kalian mendapatinyn memiliki daging ynng sangat
banyak." tstt
Ini termasuk perkara gaib yang tak kasat mata, tapi kita wajib mengimaninya. Demikian pula, kotoran-kotoran ini menjadi makanan untuk binatang ternak mereka.Hurcuu WuoHu OnnNc YANG KutcuNYR
TrnruruP Cnr KUKU
at kuku adalah sesuatu yang dioleskan pada kuku, biasa dipakai wanita dan memiliki lapisan. Wanita tidak boleh memakainya saatberwudhu karena menghalangi air sampai ke
kuku saat bersuci. Dan segala sesuatu yang menghalangi air sampai ke
anggota wudhu, tidakboleh dipakai orang yang wudhu dan mandi besar. Sebab Allah berfirman:
'e i<t?'*a\*a
"Basuhlah muka dan tnngan knlian... " (Al-Maidah [5] : 6)
Bila kuku seseorang tertutupi cat kuku, cat tersebut menghalangi
air sampai ke kuku sehingga ia tidak bisa dikatakan telah membasuh
tangannya. Maka ia telah meninggalkan satu kewajiban wudhu dan
mandi.
Adapun wanita yang sedang berhalangan, seperti yang tengah datang bulan, tidak mengapa ia menggunakannya. Kecuali bila perbuatan ini termasuk kriteria khusus wanita-wanita kafir, maka tidak boleh
menggunakannya karena bisa menyerupai mereka.Hurcuu MTNcuSAP KAoS KAKI BIRcnUBAR
HEwRN
gusap kaos bergambar hewan kaki ini saat wudhu
tidak dibolehkan. Karena mengusap sepatu masuk dalam perkara keringanan (rukhshah), sehingga tidak boleh
dibarengi kemaksiatan. Sebab pendapat bolehnya mengusap sesuatu
yang diharamkary implikasinya adalah membenarkan orang ini memakai sesuatu yang diharamkan tersebut. Padahal yang haram itu wajib
diingkari. Tidak bisa pula dikatakan bahwa kaos kaki bergambar binatang ini tergolong sesuatu yang sepele, sehingga dibolehkan memakainya. Sebab ini terkait masalah pakaian, dan bagaimanapun mengenakan
sesuatu yang bergambar makhluk hidup adalah haram. Seandainya
pada kaos kaki, misalnya, terpampang gambar singa, maka tidak boleh
mengusapnya saat wudhu. Artinya, harus dilepas.HurcuU WNNITR MTNCUSAP RAMBUTNYA
YANG DIrcTUPRLKAN DENGAN DRUN INNI
DAN SIITNECNMNYA SEAT WUOHU
^ /pabila wanita mengempalkan rambutnya dengan bubuk
,#A/ daun inai, ia boleh mengusapnya saat berwudhu. Ia tidak
\Y / perlu menguraikan rambut dan mengusap bagian di bawah lapisan bubuk daun inai ini. Sebab ada hadits shahih bahwa Nabi
S mengempalkan rambut beliau ketika ihram. Jadi pengempalan yang
dibubuhkan pada rambut, mengikuti rambut. Ini menunjukkan bahwa
menyucikan kepala saat wudhu sedikit diberi kemudahan.Hurcuu MTUTLIHARA ANIING DAN
MTNyINTUHNYA DENGAN TANCAN, SERTA
Cnnn MENyUCIKAN WNPNH YANG DIPRTNI
MtNutrrt ANITNG
eorang muslim tidak boleh memelihara anjing selain dalam
hal yang diberi keringanan oleh syariat. Terkait masalah ini,
syariat memberi keringanan dalam tiga hal : Pertama, anjing
penjaga hewan piaraan yang difungsikan untuk melindunginya dari
ancaman binatang buas dan serigala. Kedua, anjing yang menjaga tanaman dari ancaman binatang, kambing dan lainnya. Ketiga, anjing pemburu yang dipergunakan oleh pemburu hewan. Dalam tiga hal inilah
Nabi ffi memberi dispensasi memelihara anjing. Dengan demikian, tidak
boleh pada selain itu. Atas dasar ini, rumah yang terletak di tengah-tengah perkampungan tak perlu memanfaatkan anjing untuk menjaganya.
Sehingga memelihara anjing untuk tujuan ini dan dalam kondisi seperti
ini adalah haram, tidak boleh dan malah mengurangi pahala tuannya
satu atau dua qirath setiap harinya. Mereka harus mengusir anjing ini
dan tidak memeliharanya. Adapun seandainya rumah tersebut berada
di lokasi yang sepi, tak ada satu tetangga pun di sekitarnya, ia dibolehkan memelihara anjing untuk menjaga rumah dan penghuninya. Sebab
melindungi keselamatan penghuni rumah lebih penting dibanding
menjaga hewan piaraan dan tanaman.
Mengenai menyentuh anjing ini, bila menyentuhnya dalam keadaan tidak basah (baik tangan maupun anjing) maka tangan tidak terkena najis. Dan jika menyentuhnya saat kondisibasah, ini mengakibatkan
tangan terkena najis, menurut pendapat kebanyakan ulama. Setelah itu
wajib mencuci tangan tujuh kali, salah satunya dengan debu.
Adapun wadah-wadah setelah dipergunakan minum anjing maka
wajib dicuciT kali, salah satunya dengan debu. Sebagaimana terdapat
dalam Ash-Shahihain dan lainnya dari Abu Hurairah dari Nabi ffibersabda, "Apabila anjing minum dalam wadah salah seorang di antara kalian,hendaknyaiamencucinyatujuhkaliyang salahsatunya dengan 4r6u."1s3) Idealnya, debu digunakan dalam pencucian pertama. Wallahu a'lam.
Brr-n ANITNG Mnsurc MASJID, AIAKAH LnxrRt
YANG TInTTNN AIR KTNCINGNYA PTruU
Drstnnu?
iriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari lbnu Umar
bahwa ia berkata, "Sesungguhnya anjing pada zaman
Rasulullah keluar masuk dan kencing di masjid dan mereka (para sahabat) tidak pernah menuangi air ke tempat masuknya anjing
itu (jejaknya)."tr't) rtud'ts ini menimbulkan polemik di antara ulama dan
mereka berselisih pendapat dalam memaknainya.
Abu Dawud berkata, "Tanah apabila kering adalah suci." Ia berdalil dengan hadits ini. Pendapat ini diambil Syaikhul Islam, di mana
ia mengungkapkan bahwa tanah menjadi suci dengAn sinar matahari
dan hembusan angin, ia juga berdalil dengan hadits ini. Sebagian ulama
lain berpandangan bahwa ucapan Ibnu Umar, "Dan kencing" maksudnya di luar masjid, dan yang terjadi di masjid hanyalah keluar masuk
saja. Tapi penafsiran ini lemah, sebab andaikata anjing tidak kencing di
dalam masjid berarti kalimat selanjutnya tidak berfungsi apa-apa, yakni
"mereka (para sahabat) tidak pernah menuangi air ke tempat masuknya
anjing itu (jejaknya)."
Dalam Fathul Bari,Ibnu Hajar mengatakan, "Yang lebih mendekati
kebenaran adalah pada awalnya memang seperti itu, yakni sebelum ada
perintah memuliakan masjid, menjaga kesuciannya dan membuat pintu-pintunya."
Menurutku, perkataan Syaikhul Islamlah yang benar. Bahwa tanah (lantai)bila terkena najis lalu kering sehingga bekasnya tak tersisa,
ia kembali menjadi suci. Sebab hukum itu muncul bersama sebabnya.
Bila sisa-sisa najis tak ada lagi najis pun dihukumi hilang, sehingga dengan demikian tanah (lantai)menjadi suci kembali.Brr-R Merlm Nnlrs TrLAH HtlRNc oLEH
S INRN MNTNHARI, APRTRU TEITZTPRTNYA
Orouerrs Sucr?
ila materi najis hilang oleh sesuatu, tempat itu menjadi suci.
Sebab najis itu zatyangburuk. Maka bila ia hilang, hilang
pula status buruk tersebut dan sesuatu kembali menjadi
suci. Sebab hukum itu muncul bersama sebabnya, baik ada maupun
tiada.
Menghilangkan najis bukan termasuk sesuatu yang diperintahkan
sehingga dikatakan 'harus melakukan penghilangan itu". Tapi tergolong perbuatan menghindari sesuatu yang dilarang. Pengertian ini tidak
bertentangan dengan hadits tentang seorang arab badui yang kencing
di dalam masjid dan Nabi ffi memerintahkan diambilkan air satu ember lalu dituangkan pada air kencingnya. Sebab perintah Nabi S untuk menuangkan air pada air kencing itu agar tempat yang terkena air
kencing segera menjadi suci, mengingat sinar matahari tak dapat membuat suci secara langsung. Tapi perlu waktu beberapa hari. Sedangkan
air bisa menyucikan di waktu itu juga. Oleh karena itu, seyogianya seseorang bersegera menghilangkan najis karena inilah petunjuk Nabi ffi,
selain karena bisa cepat terhindar dari najis, serta agar ia tak lupa pada
najis itu dan lupa tempatnya.Hurcuu KrNnlrsAN KuRtrztrR DAN
DIOpORAN
ika maksud kenajisan ini adalah najis maknawi (bukan materinya), ulama sepakat berpendapat bahwa itu najis. Karena
khamer itu najis, kotor dan termasuk perbuatan setan. Namun jika maksudnya adalah kenajisan materinya, maka empat madzhab
dan mayoritas ulama berpendapat khamer najis yang wajib dijauhi. Baju
atau anggota tubuh yang terkena harus dicuci. Namun sebagian ulama
berpendapat, khamer tidak najis secara materi, tapi kenajisannya hanya
secara maknawi yang berarti disebut najis bila dikerjakan.
Ulama yang mengatakan, khamer najis, baik secara materi maupun maknawi, berdalil dengan firman Allah :
::.!) t "#'J ;i ";*.-a.i-ai et yi ; :
"Hai orang-lrang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan pannh, adaIah perbuatan kotor masuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencinn di
nntara kalian dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat
Allah dan shalnt; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjann
itu)." (Al-Maidah tsl : 90-91)Kataknnlah, 'Tiadalcth oku peroleh dalam wahyu yang diwahyuknn kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi lrang yang hendak memakannyn, kecuali kalau makanan itu bnngkai, tttsu dnrnh yang mengalir atau
daging babi knrena sesungguhnya semua itu najis' ... " (Al-An'am [6]
:145)
Dalam hadits Anas, Nabi & memerintah Abu Thalhah agar mengumumkan, 'sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian
memakan daging keledai jinak, karena rijs.'tsst Kata riis dalam ayat dan
hadits di atas bermakna najis secara materi. Begitu pula makna kata ini
dalam ayat khamer. Jadi rijs adalah najis secara materi.
Sedangkan ulama yang berpendapat, materi khamer suci, yakni
khamer najis secara maknawi saja, bukan materi, mereka mengatakan,
'Allah, dalam surat Al-Maidah, memberi batasan pada status kenajisan
itu melalu firman-Nya, "Rijs termnsuk perbuatan setan." Jadi khamer rrys
(najis) secara amali (yakni, perbuatan minum khamer adalah najis), bukan najis secara materi. Dalilnya firman Allah, "Sesungguhnya khamer,
judi, berhaln dan mengundi nasib dengan anak pannh adalah rijs."
Jelas bahwa judi, berhala dan mengundi dengan anak panah, status kenajisannya bukan secara materi. Penyebutan keempat hal ini, yakni khamer, judi, berhala dan mengundi dengan anak panah, dalam satu
sifat, pada dasarnya menunjukkan status sifat yang sama. Bila ketiga
barang di atas, selain khamer, kenajisannya bersifat maknawi, maka demikian pula khamer status kenajisannya adalah maknawi. Karena ia
termasuk perbuatan setan.
Ulama kelompok ini juga mengatakan, telah terbukti shahih ketika
turun ayat pengharaman khamer kaum muslimin serempak menumpahkannya di pasar-pasar. Andai zat khamer najis, tentu tidak bolehmenumpahkannya di pasar karena mengotori pasar dengan barang
yang najis itu haram alias tidak boleh.
Mereka juga berdalih, manakala Rasulullah ffi mengharamkan
khamer beliau tidak memerintahkan mencuci wadah-wadahnya. Andai
materi khamer najis tentunya beliau memerintahkan supaya wadah-wadah itu dicuci, sebagaimanayangbeliau lakukan ketika mengharamkan
daging keledai jinak.
Mereka juga mengungkapkan, terdapat riwayat dalam Shahih Muslimbahwa seorang laki-laki datang pada Nabi ff membawa sebuah wadah kulit berisi khamer. Lalu ia menghadiahkannya untuk beliau. Maka
Rasulullah ffi bersabda padanya, "Tak tahukah engknu bahwa khamer telah diharamknn?" Kemudian seseorang membisiki orang tersebut. Beliau
bertanya, "Apnynng engkau ucapkan?" Orang itu menjawab, 'Aku berkata
supaya ia menjualnya." Maka Nabi S bersabda, "Sesungguhnya apnbiln
Allah mengharamkan sesuatu Dia mengharamkan hnrganya." Lantas orang
itu meraih mulut wadah dan menumpahkan khamer itu. Nabi S tidak
memerintahkannya mencuci wadah tersebut, pun tak melarangnya menumpahkan khamer di tempat itu.
Mereka berkata, "Ini dalil bahwa khamer tidak najis secara materi,
andai materinya najis pastinya Rasulullah ffi memerintahkan mencuci
wadah itu dan melarangnya menumpahkannya di tempat tersebut." Mereka juga beralasan, "Hukum asal segala sesuatu adalah suci sampai ada
dalil jelas yang menunjukkan kenajisannya. Oleh karena tidak ada dalil
terang yang menunjukkan kenajisan khamer, maka status asalnya adalah suci. Akan tetapi khamer itu kotor dipandang dari sisi maknawi bila
dilakukan oleh seseorang. Selain itu, pengharaman sesuatu tidak selalu
menunjukkan bahwa itu najis. Anda tahu, racun itu haram tapi tidak
najis. Jadi segala yang najis itu haram, namun tidak semua yang haram
itu najis.
Mengacu pada pendapat ini, maka berkaitan dengan deodoran
atau parfum beralkohol kami berpendapat bahwa barang ini tidak najis. Sebab, menurut pendapat yang dalil-dalilnya telah kami paparkan,
zat khamer tidak najis. Sehingga parfum beralkohol dan semisalnya
juga tidak najis. Bila tidak najis maka tidak wajib mencuci pakaian yang
terkena parfum beralkohol ini.
Akan tetapi masih perlu dilihat, apakah penggunaan deodoran sebagai parfum yang biasa dipakai manusia itu hukumnya haram atau
tidak? Mari kita lihat bersama-sama. Allah berfirman tentang khamer,
"Maka jauhilah ia." Perintah menjauhi ini bersifat mutlak. Allah tidak
mengatakao jauhilah khamer sebagai minuman atau penggunaan atau
semacamnya. Tetapi Allah memberikan perintah yang mutlak untuk
menjauhi khamer. Apakah itu mencakup bila seandainya seseorang
memanfaatkan khamer (baca; alkohol) sebagai parfum? Atau kita mengatakary bahwa menjauhi yang diperintahkan tersebut hanya berlaku
pada sesuatu yang menjadi alasan hukum, yakni menjauhi meminumnya, berdasarkan firman Allah, "Sesungguhnya setan itu hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di nntara kalian dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalnt; maka berhentilah kalian (dari
mengerjaknn pekerjaan itu)." (Al-Maidah [5] : 91). Alasan ini tidak teraplikasi dalam tindakan seseorang yang memanfaatkan khamer selain
untuk diminum.
Namun, kami berpendapaf langkah paling hati-hati yang bisa ditempuh seseorang adalah menghindari dan menjauhi khamer meskipun untuk parfum.Inilah langkah yang paling hati-hati (antisipatif) dan
lebih menjamin terbebas dari kemungkinanberdosa. Tapi kita perlu menilik sekali lagi pada parfum-parfum semacam ini, apakah kadar alkoholnya bila menyebabkan mabuk atau kadarnya hanya sedikit dan tidak
bisa menghilangkan kesadaran? Sebab bila khamer bercampur dengan sesuatu kemudian pengaruhnya tak terlihat walaupun seseorang
meminumnya dengan jumlah yang banyak, maka itu tak menyebabkan
pengharaman sesuatu yang dicampuri tersebut. Sebab, manakala pengaruh khamer tak terlihat maka juga tidak memiliki hukum haram
pada zat yang dicampuri. Sebab alasan hukumlah yang memunculkan hukum tersebut. Maka bila alasannya tidak ada (dalam konteks ini
adalah menyebabkan mabuk), hukum haram pun juga tidak terwujud'
Bila campuran ini tidak mempengaruhi zatyang dicampuri, camPuran
ini tak memberikan efek apa-apa dan barang tersebut hukumnya tetap
mubah. Jadi kadar alkohol yang sedikit dalam deodoran dan lainnya,
bila tidak mengakibatkan mabuk walaupun seseorang, misalnya, meminumnya dalam jumlah banyak, itu tak bisa disebut khamer dan tidak
mendapat hukum khamer. Seperti bila setetes air kencing jatuh ke dalam
air dan air tidak berubah lantaran hal itu, maka air tetap suci. Demikian
pula jika setetes khamer jatuh pada sesuatu yang tidak menimbulkan
efek apa-apa, maka sesuatu itu tidak berubah menjadi khamer. Masalahini telah diungkapkan ulama dalam bahasan sangsi hukum orang yang
mabuk.
Tetapi, dalam kesempatan ini, saya ingin mengingatkan satu permasalahan yang masih rancu di kalangan sebagianpenuntut ilmu. Yakni
mereka menganggap, maksud sabda Rasulullah ffi, "Sesuatu yang ffiemabukksn itu banyak maupun sedikit tetap haram,'/1s6) 4{6.l6,l1bahwa sedikit
khamer bercampur dengan zat lain yang berjumlah banyak, maka zat
lain tersebut haram. Pengertian hadits tersebut bukan seperti ini. Tapi
maknanya adalah apabila sesuatu tidak memabukkan kecuali berjumlah banyak maka jumlah sedikit yang tidak memabukkan itu haram.
Contohnya, kalau kita asumsikan minuman X bila diminum seseorang
sebanyak sepuluh gelas, ia mabuk, tetapi kalau ia hanya minum 1 gelas
tidak mabuk. Maka minuman X yang hanya satu gelas itu tetap haram
meskipun tidak memabukkan. Inilah maksud hadits "Sesuatu yang memabukkan itu banyak maupun sedikit tetap harnm," Jadi maksudnya bukan,
sesuatu yang bercampur dengan sesuatu yang haram berarti ia haram.
Sebab bila materi yang memabukkan bercampur dengan sesuatu dan
tidak tampak pengaruhnya, maka sesuatu tersebut tetap halal mengingat tak adanya alasan yang menjadi acuan hukum. Hal ini mestinya
diperhatikan baik-baik.
Meskipun demikian, fakta hukumnya, saya pribadi tidak menggunakan minyak wangi beralkohol dan tidak melarangnya. Hanya saja
bila saya mengalami luka atau semacamnya dan saya perlu menggunakannya, maka saya pun memakainya (baca; obat yang mengandung alkohol). Sebab kerancuan itu hilang hukumnya bersamaan dengan adanya keperluan memanfaatkan sesuatu yang hukumnya belum jelas ini.
Keperluan adalah satu kondisi yang mengharuskan tindakan, sementara
kesamaran mengharuskan sikap meninggalkan dalam konteks menghindari sesuatu yang tidak jelas hukumnya dan hati-hati. Tidak seyogianya seseorang mengharamkan dirinya memanfaatkan sesuatu saat
membutuhkannya, sementara ia tak secara tegas melarang dan mengharamkannya. Ahlu ilmi telah menyebutkan kaidah ini, yakni sesuatu
yang diragukan apabila diperlukan maka status hukum keraguan itu
hilang. Wallahu a'Iam.
KEUTAMAAN AoznN DAN lq.unH
CW^uberbeda pendapat tentang manakah yang paling utama
/ / antara adzan, iqamah dan menjadi imam. Yang benar, yang
(/, paling utama adalah adzan, mengingat adanya beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan adzan. Tetapi, bila ada yang mengatakan, menjadi imam dikaitkan dengan kriteria-kriteria syar'i, sePerti hadits yang berbunyt "Hendaknya yang menjadi imam suatu kaum adalah
orang ynng paling paham terhadap kitab Allah di antnra mereka./'1e7) Kita tahu,
orang yang paling paham terhadap kitab Allah adalah orang yang paling utama. Maka disandingkannya posisi imam dengan kriteria ini menunjukkan nilai paling utama.
Kita tidak mengatakan bahwa posisi imam tidak memiliki nilai
keutamaan. Sebaliknya, imamah adalah posisi yang keutamaannya telah
ditunjukkan oleh syariat. Tapi kita mengatakan, adzantlebih utama daripada posisi imam karena adzan berarti mengumandangkan dzikir kepada Allah dan mengingatkan manusia secara umum. Seorang muadzin
adalah imam bagi setiap orang yang mendengar adzannya, di mana ia
diikuti dalam hal masuknya waktu shalat, mulai puasa dan berbukanya
orang yang puasa. Selain itu, secara umum adzan lebih berat dibanding
imamah. Adapun alasan Rasulullah S dan para Khulafaur Rasyidin
tidak adzan, karena mereka sibuk mengurusi perkara yang lebih penting dari perkara yang penting. Sebab, seorang pemimpin itu berkaitan
dengan seluruh manusia. Andai ia fokus memperhatikan waktu (untuk
mengetahui awal waktu shalat) tentunya banyak kepentingan kaum
muslimin yang akan terbengkalai. Apalagi kepada zaman dulu, ketika
belum ada jam dan alat-alat penanda waktu yang praktis.loa)HnnnuNYA UpRH AozRN DAN IQ.MAH
ngkapan penulis, "Dan upah adzandan iqamah itu haram."
Maksudnya, haram mengadakan kesepakatan untuk mempekerjakan seseorang dengan gaji tertentu untuk adzan
dan iqamah. Sebab adzan dan iqamah merupakan amal qurbah (untuk
mendekatkan diri kepada Allah) dan bagian dari ibadah. Padahal tidak
boleh memungut upah dalam amal ibadah, berdasarkan firman Allah :
.l' , z ,
-"-ry t-e+
'=- J,J:;.-i ;A 6"-F3,-4+,\ p u +,
"Barangsiapn menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya
knmi beriknn kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah oranglrang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di
akhirnt itu apa ynng telnh mereka usahaknn di dunia dan sia-sialah apa
yang telah merekn kerjakan." (Hud [11] : 15-16)
Selain itu, apabila seseorang meniatkan adzan dan iqamahnya
untuk mendapatkan upah keduniaan, amalnya tersebut sia-sia. Adzan
dan iqamahnya dengan niat seperti ini tidak benar' Nabi M bersabda,
"Barangsiapa melnkukan amal yang tidak ada dasarnya dalom urusnn kami (Islam), mnka amalnya tertolnk."lee)
Adapun pemberian upah untuk muadzin, misalnya dengan mengatakan, "Orang yang adzan di masjid ini diberi uang sekian rupiah,"
tanpa didahului akad kontrak dan pewajiban maka ini boleh. Sebab
tidak ada unsur kewajiban memberi upah dalam hal ini. Pemberian inihanya sebagai honor bagi muadzin. Kita boleh memberi honor untuk
muadzin, demikian pula orang yang iqamah.
Tidak diharamkan memberi honor kepada orang yang adzan dan
iqamah dari uang Baitul Mal.Inilah yang di zaman kita sekarang disebut dengan gaji. Pasalnya, Baitul Mal memang dibentuk untuk maslahat
kaum muslimin dan adzan dan iqamah termasuk kepentingan kaum
muslimin.
Namury kebolehan mengupah muadzin dari Baitul Mal ini dengan
syarat tidak ada dermawan yang bersedia menanggungnya, seperti diungkapkan oleh Syaikh Utsaimin. Jadi, jika ada donatur yang siap menanggungnya, upah muadzin tidak boleh diambilkan dari Baitul Mal
agar pengalokasian dana Baitul Mal lebih efektif. Berdasarkan pengertian yang dinyatakan para fuqaha', dapat disimpulkan bahwa haram
menggunakan dana Baitul mal tanpa alasan yang diperbolehkan secara
syariat."2oo)ADZAN ATAU IqUeU Bnrnl LANTARAN
JEDA YnNC LAMA ArnU STSTNTAR NRtrztUN
DIURnRMKAN
enurut Syaikh Utsaimin, adzan atau iqamah batal
karena jeda waktu yang lama antara satu kalimat dan
lainnya. Ukuran yang dimaksud adalah menurut kebiasaan yang berlaku. Jeda ini membatalkan adzan maupun iqamah
karena salah satu syarat sah adzan dan iqamah adalah berurutan. Adzan dan iqamah adalah ibadah, sehingga ritualnya harus dilaksanakan
secara berurutan, seperti wudhu. Seandainya muadzin mengucapkan 4
kali takbir di awal adzankemudian ia pergi wudhu,lalu kembali untuk
melanjutkan adzan, maka adzan seperti ini tidak sah. Ia harus mengulang dari pertama.
Syaikh Utsaimin juga mengungkapkan, "Adzan maupun iqamah
batal pula karena jeda sebentar yang diharamkan." Hal ini karena sesuatu yang diharamkan itu kontradiktif dengan ibadah. Contohnya, seseorang adzan dan di sampingnya ada sekelompok orang yang tengah
bercakap-cakap. Di pertengahan adzan ia menoleh kepada mereka dan
berkata, "Si Fulan itu begini dan begini." Ia membicarakan keburukannya. Padahal ghibah itu tergolong dosa besar. Maka kami katakan, "Ia
harus mengulangi adzan, karena sudah batal." Barangkali peristiwa seperti ini sering terjadi kepada sebagian orang di berbagai tempat.
Dari perkataan syaikh, "Jeda sebentar yang haram," dapat disimpulkan bahwa jeda sebentar yang dibolehkan, seperti seandainya
muadzin yang sedangadzanditanya, "Di mana si Fulan?" lalu ia menjawab, "Sedang pergi." Ini termasuk jeda sebentar yang dibolehkary sehingga tidak membatalkan adzan.201Huruvt MrNuNon SHALAT Suguu HINGGA
WnrcruNYA Hnsrs
rang-orang yang menangguhkan shalat Subuh sampai waktunya habis, jika mereka meyakini hal itu boleh maka ini
merupakan perbuatan kekafiran kepada Allah. Sebab orang
yang berkeyakinan halalnya menunda shalat hingga keluar waktunya
tanpa suatu alasan syar'i, ia telah kafir karena berani menyelisihi AlQuran, As-Sunnah dan ijma'kaum muslimin.
Adapun orang yang memandang bahwa itu sejatinya tidak dibolehkan, hanya saja ia telah berbuat maksiat dengan menunda shalat dan kalah oleh hawa nafsunya atau tak kuasa melawan tidur, maka orang ini
harus bertaubat kepada Allah dan meninggalkan secara total apa yang
dilakukannya. Pintu taubat terbuka lebar, walaupun untuk orang yang
paling kafir sekalipun. Sebab Allah berfirman :
'ai "rt.'ai y) c\rb