Tampilkan postingan dengan label ilmu ketuhanan ilmu kalam 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu ketuhanan ilmu kalam 2. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Januari 2025

ilmu ketuhanan ilmu kalam 2


 am jang berpedoman kepada kebudajaan Jahudi. Jahudi berkata, 

bahwa mahkota keradjaan selalu harus diserahkan kepada ketu-

runan Daud. Rafidhah berka"a, bahwa mahkota keradjaan itu se-

lalu harus diserahkan kepada Al i bin Abi Thalib. Jahudi berkatia, 

bahwa djihad atas djalan Allah tidak berhentli ketjuali sesudah 

datang Al-Masih jang dinanti-nantikan turun dari langit. Kaum 

Rafdhi berkata, bahwa tidak berhenti djihad atas djalan Allah 

ketjuali sesudah keluar Al-Mahdi, jang turun dari langit. Demi-

kianlah banjak aliran-aljran Mu'tazilah itu, terutama Rafdhi, me-

ngambil adjaran dari Jahudi dan memasukkannya kedalam Islam, 

seperti menta'chirkan sembahjang magrib, membelokan talak 

tiga sekaligus, tjidak mengakui iddah wanita jang bertjerai, meng-

halalkan darah orang Islam jang menentangrija, mengubah-ubah 

Qur'an membentji Djibril , menjalankan Djibri l menurunkan wahju 

kepada Nabi Muhammad jang mestinja kepada Al i bin Abi Thalib. 

Kita lihat banjak sekali persoalan-persoalan ilmu kalam jang 

ditumbuhkan dari paham-paham Jahudi. Dan diantara ahli-ahli 

ilmu Kalam ada , orang-orang asalnja Jahudi, seperti Bisjir al-

Muraisji, Harun bin A'war, meskipun sudah masuk Islam masih 

banjak sekaji menggunakan perkataan dari bahasa Jahudi dalam 

adjarannja. , 

Ditjeriterakan bahwa paham Nasich dan Mansuch dalam Qur' 

an djuga berasal dari Nasich dan Mansuch dalam Taurat. Persoal-

an sifat Tuhan jang serupa dengan sifat-sifati manusia djuga me-

nurut' Ahmad Amin dalam kitabnja tersebut diatas berasal dari 

persoalan-persoalan jang dikemukakan oleh Jahudi, tidak sadja 

mengenai ajat-ajat, Qur'an jang bersifat mufcasjabih, tetlapi banjak 

hadis-hadis jang menurut Sjahrastani diperbuat oleh orang Ja-

hudi untuk menguatkan pendirian tentang pengertian tasbuh 

itu seperti hadis jang menerangkan Nabi Muhammad pernah ber-

temu dengan Tuhan dan bersalam-salaman dll. Djuga dalam ilmu 

tasawwuf banjak sekali dimasukkan adjaran jang berasal dari Ja-

hudi, misalnja perkataan seorang itu apabila sudah baik hanja 

memerlukan sedikit makan dan hati manusia apabila sudah baik 

hanja memerlukan sedikit hikmah. 

Ahli-ahli sedjarah seperti Sjaufan, menerangkan, bahwa banjak 

bahagian dari tijeritera Seribu Satu Malam berasal dari Jahudi 

Orang-orang Jahudi meskipun menjerahkan dirinja sebagai orang 

Islam tidak mau meninggalkan agamanja, bahkan berichtiar mena-

rik orang-orang Islam kepada agama Jahudi. 

Oleh karena itu banjak ajat-ajat! 'Qur'an memperingatkan jang 

dimasukkan dan dipersiapkan Jahudi kedalam Islam. Begitu djuga 

banjak hadis-hadis Nabi jang mengandung peringatan sematjam 

itu. Diantara lain Rasulullah pernah memperingatkan : „Kamu akan 

mengikut djalan orang-orang sebelummu, sedjengkal, sehasta demi 

sehasta, sehingga djika mereka masuk kedalam liang buaja sekali-

pun kamu akan menurutinja". 

Tatkala sahabat bertanja, siapakah orang-orang itu, Jahudikah 

atau Nasranikah, Rasulullah mendjawab : „Siapa lagi ?" (lih. 

Ahmad Amin Dhuhal Islam, Cairo 1952, 1: 356). 


P E N G E R T I A N ILM U KALA M 

Kalam artinja dalam bahasa Arab perkataan, firman, utjapan, 

pembitjaraan. Dalam ilmu nahu atau ilmu bahasa diartikan bahwa 

kalam itu suatu susunan kalimat jang ada artinja. Dalam kalangan 

ahli tafsir dan ahli agama umumnja kalam itu diartikan firman 

Allah, kalamullah ialah wahju Tuhan, jang diturunkan kepada Na-

bi Muhammad, kemudian digambarkan dengan huruf dan dikum-

pulkan mendjadi Qur'an. Tiap-tiap Nabi diberi bergelar, misalnja 

Nabi Isa disebut Ruhullah, artinja Roh Tuhan. Nabi Ibrahim disebut 

Chalilullah, artinja Sahabat Tuhan, Nabi Muhammad dinamakan 

Habibullah, artinja Ketjintaan Tuhan dan Nabi Musa dinamakan, 

Kalamullah, artinja Firman Tuhan, karena ia sering menerima 

wahju dari Tuhan. 

Seluruh isi Qur'an dianggap orang Islam ialah wahju Tuhan, jang 

disampaikan kepada Nabi Muhammad, baik dengan perantaraan 

Malaikat Djibri l atau langsung oleh kemurahan Tuhan sendiri. 

Qur 'an itu mendjadi pedoman pokok bagi umat Islam berisi garis-

garis besar mengenai kejakinan terhadap Tuhan, kejakinan terha-

dap Nabi-Nabi dan Rasulnja, begitu djuga kejakinan terhadap 

persoalan-persoalan jang bersangkut-paut dengan hari Kebangkitan. 

Selain dari pada itu Qur'an mengandung wahju Tuhan jang men-

djadi perintah dan larangannja jang harus didjalamkan oleh seluruh 

umat Islam, baik mengenai hubungan ibadat antara mereka dan 

Tuhan, maupun mengenai mu'amalat antara manusia dengan ma-

nusia. Oleh karena pentingnja Qur'an itu, jang dinamakan wahju 

atau kalam Tuhan, maka timbullah pertanjaan, terutama sesudah 

agama Islam itu. melebar dan meluas kepada bangsa-bangsa jang 

sudah mempunjai ilmu dan kebudajaan sendiri, bagaimanakah ke-

jakinan kepada Tuhan itu harus ditindjau dari sudut ilmu penge-

tahuan, dan bagaimanakah tjara seseorang Nabi menerima wahju 

dari Tuhan itu, jang dianggap kalamullah atau kalam Tuhan. La-

lu terdjadilah dari pada perbintjangan jang maha hebat pada achir 

abad jang ke II I Hidjrah sematjam ilmu untuk menerangkan hal 

tersebut, jang kemudian bernama ilmu kalam. 

Djadi ilmu kalam itu tidak lain dari pada apa jang dinamakan 

ilmu tauhid, ilmu jang mengandung adjaran-adjaran untuk meng-

insafkan manusia berkejakinan dan pertjaja kepada Satu Tuhan. 

Dengan lain nama ilmu ini disebut djuga Usuluddin, ja/iitu pokok-

pokok agama, jang terdiri dari pada tiga pokok : at-Tauhid, ke-

esaan Tuhan, an-Nubuwwah, kepertjajaan kepada adanja Nabi-

Nabi, dan al-Ma'at, sekitar kepertjajaan kepada hari-hari kebang-

kitan atau hidup manusia sesudah kehidupan dunia ini. Ilmu-ilmu 

jang bersangkut-paut dengan persoalan-persoalan jang lain menge-

nai hukum-hukum agama disebut Furu'uddin jaivu mengenai 

tjabang-<tjabang dan ranting-ranting atau pendjelasan lebih djauh 

daripada hukum-hukum pokok agama Islam. 

Pada waktu jang achir ijmu kalam itu melingkupi seluruh per-

soalan theologi atau agama, oleh Dr . Muhammad Al Bahi dina-

makan „Al-Djanibi l Ilahi minat tafkiril Islami" d'an tiermasuk ilmu 

filsafat agama atau jang biasa dinamakan dengan istilah pengeta 

huan Scholastic Islam. 

. Pembitjaraan tentang ilmu kalam ini sudah pernah dibitjarakan 

dalam kalangan orang-orang alim Jahudi dan Masehi, dan oleh 

karena itu banjak tjaranja dekat-mendekati antara satu sama lam, 

terutama oleh ahli-ahli filsafat Islam terbesar, untuk me-idjelaskan 

pendirian Islam tentang Tuhan itu dari pendirian-pendiran agama 

sebelumnja. 

Ibn Chaldun lalu menjimpulkan, bahwa Ilmu Kalam itu adalah 

sematjam ilmu jang digunakan untuk membahas kejakinan-keja-

kinan iman dengan keterangan-keterangan akal, serta mengemu-

kakan alasan-alasan untuk menolak paham-paham kejakinan 

mereka jang bertentangan dengan keiakinan golongan Salaf dan 

Ahl i sunnah. Pada latin tempat dalam kitab Muqaddimah-nja 

Ibn Chaldun memberikan defisi kepada ilmu kalam itu dengan : 

Ilmu jang dïtjipltakan untuk mempertahankan kejakinan agama 

Islam, sebagaimana ada  dalam kitab-kitab jang sahih daripada 

Sunnah, mentjiptakan alasan-alasan baru untuk menguatkan dan 

unttuk mempertahankan kebenarannja, begitu djuga mengumpulkan 

keterangan-keterangan untuk menolak paham-paham mereka jang 

sesat mengenai kejakinan atau aqaid. 

Abu Zahrah dalam bukunja Al-Mazahibil Islamijah (Mesir, 

t. th.) menerangkan, bahwa pembitjaraan segala sesuatu dalam 

Islam tidak keluar dari pembitjaraan tiga golongan pertama, go-

longan poMtik, kedua, golongan i'tikad dan ketiga golongan hukum. 

- Pembitjaraan tentang 'ilmu kalam itu dilakukan oleh golongan i'ti-

qad, jang membahas segala matjam persoalan sekitar zat, mana dan 

sifat Tuhan serta masaalah-masaalah jang pelik, seperti persoalan 

mengenai qadar, ichtiar atau kebebasan kemauan manusia,dan 

dengan itu terbawalah pembitjaraan itu kepada bermaffjamrmatjam 

golongan falsafah dan agama, jang melaut dan mendalam. 

D.B . Machdona'd dalam karangannja, perdtama dalam Slipter 

Encyel. o/ Islam (H.A.R Gibb. Leiden, 1956) menerangkan, bah-

wa ilmu kalam itu tidak hanja berarti pembahasan theologi a,tau 

ilmu Tauhid, tetapi djuga theologi scholastic atau pengupasan ilmu 

tauhid setjara analisa ilmu pengetahuan, sebagaimana jang pernah 

dilakukan oleh Democritus dan Epicurus dalam zaman-zaman jang 

soedah  lampau, dan ulama-ulama jang membahas persoalan sematjam 

ini dinamakan Mutakallimun, jaitu ahli-ahli ilmu ka'am dalam agama 

Ifelam, pada hari-hari pertama orang-orang Mu'tazilah, kemudian 

ikut membahasnja ahli Hadis, jang kemudian berubah namanja men. 

djadi Ahl i Sunnah wal-Djama'ah, pembitjaraan-pembitjaraan mana 

besar sekali sumbangannja untuk kemadjuan filsafat dalam Islam. 

Seperti di Europa orang sibuk memperdebatkan paham Aristoteles, 

jang kemudian dilandjutkan oleh Boyle dan Newton dalam bentuk 

kwalitet, oleh John Dalton dalam bentuk kwantitet, demikian ter-

djadi dengan dunia Islam dalam simpangsiur tjara berpikir dan 

tjara mempersoalkannja. 

Kemudian datanglah Asj'ari dari Mu'tazilah dan Ahmad ibn 

Hanbal dari Ahl i Hadis, kedua-duanja mempersatukan persoalan-

persoalan itu mendjadi suatu konsep jang dapat diterima oleh se-

luruh ulama Islam. 

Pembitjaraan ilmu kalam tidak lain daripada mengulangi per-

tentangan paham antara satu sama lain daripada mazhab ratio-

nalisme dan mazhab sunnah atau irrationalisme dalàm membahas 

ilmu tauhid chususnja dan ilmu usuluddin umumnja. 

1. Fltikad Salaf 

Jang dinamakan Salaf ialah mereka jang hidup zaman Nabi, 

zaman Sahabat dan zaman Thabi'in daripada orang-orang Muha-

djirin dan Anshar. Dalam tiga kurun ini orang-orang Islam itu hidup 

dengan kejakinan jang teguh, bersatu dalam persaudaraan dan 

tjinta mentjintai, ichlas dalam beribadat dan beramal, kuat berdjihad, 

hidup sederhana dalam pakaian, makan, minum dan tempat tinggal, 

tidak pernah berselisih paham, sedikit berbitjara banjak berbuat 

sesuatu untuk kepentingan Islam chususnja dan prikemanusiaan 

umumnja terutama kuat imannja dalam mentjintai Allah dan Ra-

sulnja, jang adjarannja merupakan satu-satunja pedoman hidup 

dan suluh dalam kejakinannja. 

Orang-orang ini memetik pokok-pokok kejakinannja daripada 

adjaran-adjaran Qur'an, mengakui dan mengagungkan apa jang 

lajak bagi zat Tuhan, berdaja upaja menjingkirkan apa jang me-

rendahkan kedudukan zat jang mulia itu. Oleh karena itu tidak 

pernah ada ada  perselisihan dalam kalangan mereka mengenai 

i'tikad atau kejakinan. 

Maqrizi menerangkan, bahwa tatkala Nabi Muhammad diangkat 

mendjadi Rasul untuk semua manusia, ia menerangkan tentang 

sifat-sifat Tuhan itu, sebagaimana jang diterangkan oleh Tuhan 

sendiri dalam Qur'an sebagai wahju jang diturunkan kepadanja. 

Orang-orang Arab, baik jang berasal dari kota atau jang datang 

dari desa kepadanja tidak memperbanjak pertanjaan mengenai se-

suatu tentang zat dan sifat Tuhan' itu, tetapi jang banjak mereka 

tanjakan ialah perkara-perkara jang bertali dengan pelaksanaan 

agama, seperti sembahjang, zakat, puasa dan hadji, dan perkara-

perkara jang lain jang berhubungan dengan perintah dan larangan 

Tuhan. Begitu djuga mereka menanjakan sesuatu tentang keadaan 

hari kiamat, sorga dan neraka. 

Djik a mereka pernah mengemukakan pertanjaan-pertanjaan ten-

tang sifat-sifat ketuhanan jang berbelit-belit, tentu banjak hadis-

hadis mentjeriterakan hal ini disamping hadis-hadis jang sekian 

banjaknja kita dapati mengenai hukum halal dan haram, menge-

nai andjuran amal-amal dan meninggalkannja, mengenai hari ki-

amat dll. sebagaimana jang ada  dalam kitab-kitab sahih dan 

masnad hadis jang besar-besar dan banjak itu. 

Apa jang diterangkan oleh Nabi mengenai zat dan sifat Tuhan 

mereka terima dan djadikan pokok-pokok iman dan kejakinannja. 

Mereka berdiam diri dari pada membongkar-bongkar sifat-sifat 

Tuhan, apakah ia merupakan zat Tuhan atau sifat perbuatannja. 

Mereka menganggap semua sifat-sifat itu adalah sifat-sifat Tuhan 

jang azali, seperti ilmu, kodrat, hajat, iradat, sama', bashar, kalam, 

djalal, ikram, djud, in'am, 'izzah, 'uzmah, dan menjalurkan ke-

terangan itu sebagai suatu saluran jang bulat untuk mempersatukan 

umat dalam kejakinannja. Demikian kata Maqrizi. 

Memang demikianlah keadaan orang-orang dalam masa Salaf itu. 

Perpetjahan tentang iman dan i'tikad terdjadi dalam masa-masa 

sesudah tiga kurun terbaik itu, sebagaimana jang pernah disebut-

kan keadaannja dalam Qur 'an : „Tetapi mereka ada jang mem-

punjai keragu-raguan dalam hatinja, mereka mengikuti apa jang 

merupakan sjak wasangka itu dan mengumumkannja dengan mak-

sud mengadakan fitnah, lalu mereka mengadakan bermatjam-

matjam ta'wil, sedang tidak ada jang betul-betul dapat memahami 

ta'wil itu ketjuali Allah sendiri. Orang-orang jang banjak ilmunja 

hanja berkata : „kami pertjaja semuanja itu datang dari pada Tuhan 

kami. Tidak ada jang dapat menjetudjuinja ketjuali orang-orang 

jang mempunjai paham jang luas. 

Wahai Tuhan! Djanganlah engkau mengisi keragu-raguan lagi 

dalam hati kami, sesudah engkau mengisinja dengan petundjuk, 

dan tjurahkanlah kepada kami rahmatmu karena engkau sangat 

pemurah"  (Qur'an). 

Sesudah Islam tersiar luas kedaerah-daerah jang pemeluknja 

menganut agama-agama tua, terdjadilah perobahan dalam sikap 

menghadapi i'tikad Salaf itu. Banjak pemeluk-pemeluk Islam jang 

berasal dari agama-agama lain, meskipun mereka sudah resmi 

mendjadi Muslim, dalam tjara berpikir masih terikat kepada ke-

jakinan-kejakinan lama. Terutama orang-orang Madjusi dan orang 

orang Musjrik. jang* untuk maksud tertentu menganut agama Islam, 

mengemukakan pertanjaan-pertanjaan mengenai zat dan sifat Tu-

han, jang menundjukkan keragu-raguannja. Persoalan kadar, ke-

kuasaan Tuhan jang penuh atas gerak gerik manusia, jang pernah 

mendjadi perdebatan dalam agama-agama lama itu, dikemukakan-

nja dalam kalangan kaum Muslimin untuk menanam bibit petjah 

belah kembali mengenai iman. Siasat mereka soedah  dibajangkan 

djuga dalam Qur'an : „Mereka jang musjrik itu akan berkata : 

„Djik a Tuhan menghendaki, tentu kami tidak mendjadi musjrik, 

baik diri kami sendiri, baik orang tua kami. Kami tidak berke-

beratan menghadapi kehendak Tuhan itu. Demikianlah mereka 

melahirkan dustanja, sehingga mereka merasakan balasan kami. 

Tanjakan kepada mereka itu, apakah betul-betul mereka ada 

pengetahuannja tentang itu, jang dapat mereka kemukakan atau 

mereka hanja menuruti sjak wasangka sadja. Semua kamu hanja 

berdusta belaka"  (Qur'an). 

Alusi menerangkan dalam tafsirnja, bahwa orang-orang musjrik 

itu dalam mengemukakan uraiannja seperti tersebut dalam ajat itu 

mempunjai kehendak dan keinginan, untuk membenarkan tindak-

annja, untuk menerangkan, bahwa mereka menjembah berhala itu 

dengan kehendak atau kadar Tuhan jang tidak dapat dising-

kirkan oleh manusia, dan gunanja untuk mendekatkan diri kepada 

Tuhan. 

Demikianlah kita lihat, bahwa masaalah kadar ini dikemuka-

kan oleh orang-orang jang musjrik itu sebenarnja bukan untuk 

mengetahui maknanja, tetapi untuk mendjadikan kadar Tuhan itu 

sebagai pembuka pintu baginja berbuat sesuatu jang kedji dengan 

dalih digerakkan pada azali oleh kehendak Tuhan atas usahanja 

atau perbuatannja. 

Oleh karena itu tidak ada  perdebatan terhadap zat Tuhan 

jang berlarut-larut karena Tuhan dan Nabinja mentjegah hal itu. 

Islam menghadapi orang-orang kafir dan munafik dengan segala 

kekerasan, Nabi Muhammad melarang memperdalam pembitjaraan 

tentang masaalah qadar. Sementara itu dengan perantaraan Djib -

ril Nabi menerima tugas untuk menerangkan kewadjiban-kewa-

djiban mengenai i'tikad seperti jang tersebut dalam rukun iman : 

Pertjaja kepada Allah, pertjaja kepada malaikatnja, pertjaja kepada 

kitab-kitabnja, pertjaja kepada rasul-rasulnja, pertjaja kepada ha-

ri achirat dan pertjaja kepada qadar baik dan buruknja berasal 

dari Tuhan semata-mata. Pengakuan terhadap qadar tidak lain 

art'inja daripada tunduk kepada Tuhan, mengaku ilmunja meling-

kupi segala sesuatu, dan takdirnja pada azal berdjalan hikmahnja 

kepada semua tjiptaannja. Nabi mengandjurkan untuk beriman 

dengan semua itu, tetapi melarang membitjarakan mendalam dan 

berlarut-larut, karena memperdalami pembitjaraan tentang itu da-

pat membawa seseorang kepada pikiran jang sesat dan tergelintjir. 

Tatkala Nabi sudah wafat dan orang-orang Islam bergaul de-

ngan bebas dengan penganut-penganut agama lama, jang soedah  

pernah menghebohkan masaalah qadar itu, mulailah terdjadi per-

debatan dan pembitjaraan jang meluas dalam kalangan umat Islam. 

Orang Islam dimasa belakangan itu tidak lagi menjejudjui an-

djuran jang dikemukakan Nabi untuk menghindarkan pembitjaraan 

jang mendalam. Orang Islam tidak memperhatikan lagi, bagaimana 

sikap sahabat-'sahabat menghadapi masalah ini. Ditjeriterakan, 

bahwa seorang pentjuri dihadapkan kepada Umar bin Chattab. 

Umar bertanja : „Mengapa engkau mentjuri ?" Djawab pentjuri 

itu : „Sudah ditakdirkan Tuhan atasku". Umar mendjaJankan 

hukuman potong tangan, kemudian ditambah lagi dengan hukuman 

memukul dengan tjambuk, Ditanjakan orang kepada Umar, me-

ngapa ia mendjatuhkan dua kali hukuman kepada pentjuri itu. 

Umar mendjawab : „Potong tangan karena mentjuri, dan tjambuk 

karena ia mendustai Tuhan dengan qadarnja " . 

Pernah mengaku beberapa orang jang hendak membunuh Us-

man bin Affan, bahwa bukan mereka jang akan membunuhnja, 

tetapi Tuhan, jang menerangkan bahwa bukan manusia jang 

menembak tetapi Tuhan jang menembak. Usman berkata : „Engkau 

dusta. Djik a Tuhan jang menembak, tembakan itu tidak akan me-

ngenai daku". 

Djuga dari tindakan sahabat kita melihat, bahwa perbuatan 

manusia tidak semuanja dapat dianggap akibat qadar Tuhan. Dan 

sahabat-sahabat itu mendjatuhkan hukuman atas usaha dan ichtiar 

manusia jang berbuat salah, dan melemparkan kesalahan itu ke-

pada qadar jang konon sudah ditetapkan Tuhan. 

Al i bin Abi Thalib pernah menerangkan masaalah qadha dan 

qadar ini demikian : „Tuhan menjuruh berbuat dengan kemauan 

jang bebas dan melarang menjerah diri dalam sesuatu keadaan, 

menekankan untuk mengerdjakan sesuatu jang mudah, tidak mem-

bolehkan berbuat ma'siat karena paksaan, tidak boleh menta'ati 

sesuatu jang atas perintah djahat, Tuhan tidak mengirimkan Rasul 

kemuka bumi ini untuk bermain-main, Tuhan tidak mendjadikan 

langit dan bumi serta segala sesuatu diantaranja pertjuma, dan 

sia-sia. Hanja orang kafirlah jang berpendapat sebaliknja'. Ke-

mudian ia membatja ajat Qur'an jang berbunji : „Tuhanmu soedah  

meletakkan qadhanja kepadamu, bahwa kamu tidak boleh menjem-

bah selain daripadanja" (Qur 'an). 

Bertalian dengan qadar ini timbullah persoalan hukuman atas 

orang jang berbuat dosa besar. Perdebatan ini terdjadi dalam ma-

sa pemerintahan Al i bin Abi Thalib.. Pertanjaan ini ditimbulkan 

oleh golongan aliran jang bernama Chawaridj, tatkala Al i berda-

mai dengan musuhnja dengan tjara tahkim kepada Qur'an. Orang-

orang Chawaridj berpendirian, bahwa orang jang beriman itu ti-

dak diperkenankan menjerah kepada orang-orang jang soedah  

menentang hukum Islam. 

Pertanjaan jang timbul itu berbunji, apakah orang jang berbuat 

sesuatu dosa besar masih mukmin atau tidak mukmin, apakah orang 

itu akan tetap selama-lamanja disiksa dalam neraka pada hari 

kiamat atau kemudian beroleh ampunan Tuhan dan mendjadi orang 

beriman kembali. Masaalah ini soedah  menimbulkan kehebohan jang 

demikian besarnja, sehingga merupakan pertikaian paham ulama 

jang maha dahsjat. Orang menganggap, bahwa masaalah ini me-

rupakan pokok persoalan jang ditimbulkan aliran Mu'tazilah. 

2. Filsafat sekitar i'tikad 

Kira-kir a sekitar zaman pemerintahan chalifah ke I V timbullah 

suatu tjara baru dalam alam pikiran orang Islam, jang dinamakan 

filsafat atau mentjari kebenaran, termasuk mentjari kebenaran 

sekitar Tuhan dan sifat-sifatnja. 

Berpikir setjara filsafat ini sudah ada  dalam kalangan orang-

orang Persi, orang-orang Junani dan orang-orang Rumawi bahkan 

mereka sudah pernah mentjapai kemadjuan jang djauh dalam ilmu 

filsafat ini. 

D i Irak sudah berdiri banjak sekolah-sekolah jang mengadjar-

kan filsafat itu. sebagaimana djuga di Persia sudah banjak orang 

membitjarakan, mempeladjari dan mengadjarkan ilmu filsafat itu, 

baik disekolah-sekolah maupun diluarnja, djauh sebelum lahir 

Islam. Orang-orang Arab banjak datang kesana mempeladjari ilmu 

ini, seperti Hari bin Kaidah anaknja An-Nazar. 

Sesudah lahir Islam dan agama ini tersiar disana, orang-orang 

Islam mendapati keadaan jang demikian, lalu mempeladjarinja. Ke-

adaan ini ada  djuga di Syria, dimana penduduknja djuga giat 

mempeladjari filsafat, jang kemudian diikuti oleh orang-orang Islam. 

Ibn Chalkan mentjeritakan, bahwa Chalid bin Jazid bin Mu'awijah 

adalah orang Quraisj jang sangat banjak mengetahui tentang la-

pangan ilmu ini. Ia ahli tentang ilmu kimia, ilmu tabib, dan seorang 

jang berpembawaan serta berkejakinan dalam kedua fan ini. Banjak 

masalah-masalah jang dikupasnja dalam bidang ilmu pengetahuan 

ini, menundjukkan ketjerdasan dan keahliannja. Ia banjak mengam-

bil ilmu ini dan prakteknja dari seorang pendeta jang bernama 

Marianus Ar-Rumi . Diantara tiga buah karangannja jang penting 

masih ada  satu, dimana dibitjarakan banjak tentang Marianus 

itu, teori-teorinja dan rumus-rumusnja. 

Dengan masuknja ilmu filsafat ini kedalam kalangan kaum 

Muslimin, banjak persoalan-persoalan Islam ditindjau kembali dari 

sudut filsafat. Dengan demikian tertindjau pula ilmu-ilmu jang ada 

sangkut pautnja dengan aqidah atau i tiqad dan keimanan Islam. 

Maka banjaklah ulama-ulama jang sudah ahli dalam filsafat mem-

bahas kembali sifat-sifat Tuhan jang tersebut dalam Qur'an, apa-

kah ia bukan zat atau ia mendjadi satu dengan zat Tuhan, apakah 

kalam itu sifat Tuhan, apakah Qur'an itu machluk, dibikin atau 

ditjiptakan, atau qadim memang sudah ada pada azalnja. Lalu 

dikemukakan oranglah bermatjam-matjam pokok pembitjaraan jang 

dibahas, dari satu sudut dengan memakai dalil agama, dari lain 

sudut dengan menggunakan tjara berpikir menurut ilmu filsafat. 

Ditondjol-tondjolkan kembali pembitjaraan tentang qadar, sampai 

kemana berpengaruh kepada kemauan manusia dan perbuatannja, 

apakah manusia jang berbuat sesuatu puas menurut kehendaknja 

atau ia hanja berbuat digerakkan oleh qadha dan qadar Tuhan, 

sehingga manusia itu hanja sebagai bulu ajam jang diterbangkan 

angin, bergerak dengan tidak mempunjai kemauan sendiri. 

Baik terdorong oleh keinginan hendak mempertahankan kemur-

nian Islam baik digerakkan oleh hasrat hendak menjiarkan adjaran-

adjaran sutji daripada agama itu, banjak sekali ulama-ulama be-

kerdja dengan giat dalam menjelesaikan masaalah-masaalah sekitar 

i'tikad. Maka terdjadilah dalam zaman itu banjak sekali mazhab-

mazhab dan aliran pikiran jang berdasarkan i'tikad, seperti Djaba-

rijah, Mu'tazilah, Murdji'ah, Asj'ariah, Maturidijah, Hambalijah, 

jang masing-masing berdjuang mati-matian untuk mempertahankan 

pendirian-pendiriannja. 

Sudah kita katakan, bahwa berpikir setjara filsafat ini sudah ter-

djadi sedjak Thaïes dalam masa Junani dan sedjak Zarathusthra di 

Iran, djauh sebelum lahir Islam. 

D i Iran Zarathusthra tertjatat-sebagai pentjipta agama dan fil-

safat mula pertama, jang pernah mempengaruhi alam pikiran ke-

tuhanan di Iran sekitar 1000 atau 1200 th. sebelum Masehi. Ia 

terkenal djuga dengan nama Zoroaster atau Zerdusht. Ia termasuk 

keluarga Spitama, lahir di Bactria atau di Media, ditepi sebuah su-

ngai, jang pada suatu kali bandjirnja hampir membahajakan djiwa-

nja, djika ia tidak ditolong oleh jang dinamakannja Ahuramazda, 

jang kemudian mewahjukan adjaran-adjaran ketuhanan jang maha 

esa kepadanja. 

Adjarannja berdasarkan kejakinan pertentangan dua kekuatan, 

biasa disebut kejakinan maniyu, jang bersifat membangun dan me-

neruskan. Tiap benda dalam alam ini tidak terdjadi sendiri, tetapi 

ada hubungannja antara satu sama lain. 

Ahura merupakan pohon pentjipta, lengkap, tidak berubah-ubah, 

pembina langit, pentjipta seluruh alam. Didalam kitab sutjinja 

Avesta disebutkan, bahwa kedua pusat kekuatan dalam kedjadian 

dan perubahan alam ini ialah, pertama tjahaja, jang ditjiptakan 

oleh Ormuzd dan malaikat-malaikatnja Amshaspends, kedua keku-

atan perusak jang merupakan kegelapan diadakan oleh Ahriman 

atau Ahuramazda serta dewa-dewanja. Api sebagai lambang ke-

sutjian adalah pendjelmaan Ormuzd. Kedjajaan dari kekuatan itu 

hanja dapat diperoleh, kalau manusia itu dalam tindakannja benar, 

sutji kuat memegang agamanja dan bersungguh-sungguh menger-

djakan segala urusan pertanian. 

Pada waktu Mani berumur 25 th., ia menjatakan dirinja sebagai 

Mudjaddid, pembaharui daripada agama Zoroaster. Pandangan 

filsafatnja tidak lagi berdasarkan pertentangan dua kekuatan tjahaja 

dan kegelapan (Zarfani), tidak pula dengan adjaran, bahwa djasad 

manusia itu terdjadi karena Ahuramazda (Avestan) tetapi dunia itu 

tidak didjadikan oleh Tuhan hanja oleh setan, jang menjebabkan 

banjak anasir-anasir kedjahatan dalam diri manusia. Oleh karena 

itu Mani mengandjurkan, supaja manusia sendirilah jang harus 

berusaha dan berichtiar melenjapkan hawa nafsu jang dapat me-

rusakkan dirinja, meninggalkan penjembahan berhala, meninggalkan 

kepalsuan dalam kata-kata dan perbuatan, meninggalkan nafsu 

tamak dan serakah, meninggalkan bunuh membunuh, d.U. mening-

galkan segala sifat jang buruk dengan usaha dan ichtiar manusia 

sendiri. 

Sebagaimana di Timur filsafat ketuhanan ini dilakukan orang 

di Junani, jang ahli-ahli pikirnja, seperti Thaïes, Anaximandros dan 

Amaximenes, turut memikirkan apa jang mendjadi sebab ada dan 

tiada (wudjud dan adam), sebab hidup dan mati alam serta machluk 

ini. 

Thaïes (625-545 seb. M.), menetapkan bahwa air jang tjair itu 

adalah pokok pangkal kedjadian machluk. Ia menetapkan bahwa 

air itulah pangkal wudjud. Anaximandros (610-547 seb. M.), meng-

ambil kesimpulan, bahwa jang mendjadi zat asal pentjipta alam itu 

ialah api. Ia menganggap djuga; bahwa djiwa jang mendjadi dasar 

hidup itu serupa dengan angin atau udara. Anaximenes (585-528 

seb. M.) menerangkan bahwa zat pentjipta itu selain dari pada hawa 

atau udara, djuga air dan tanah. Dengan demikian terkumpullah 

teori Tuhan, bahwa zat pentjipta itu ialah air, api, angin dan tanah. 

Dalam pada itu datang seorang ahli filsafat Junani jang lain, Herak-

leitos (540-480 sb. M.), menerangkan, bahwa zat asal pentjipta 

itu ialah logos, jang diartikan akal pikiran jang benar, jang me-

nguasai hukum alam dalam segala perubahannja. Sebagaimana 

logos menguasai alam, begitu djuga perbuatan manusia akan di-

kuasai oleh akalnja (ratio). 

Sesudah zaman kekatjauan filsafat ini datanglah Xenophanes 

(580-470 seb. M.), jang berpendapat bahwa Tuhan itu ada (wu-

djud), tidak banjak melainkan satu (wahdaniah). Zeno (490-

seb.M.) mengatakan, bahwa wudjud itu adalah pentjipta jang tidak 

mempunjai ruang untuk tempatnja, sedang Melissos (444-441 seb. 

M.) menegaskan bahwa zat pentjipta itu mestilah kekal atau baqa, 

tidak berbatas, satu tunggal, selalu sama, tidak bergerak dan 

tidak merasa susah. Dalam adjaran Pythagoras diterangkan, bahwa 

manusia itu asalnja Tuhan. Djiw a itu adalah pendjelmaan dari pada 

Tuhan, jang djatuh kedunia karena berdosa, dan akan kembali 

kelangit kedalam lingkungan Tuhan semula, apabila sudah habis 

ditjutji dosanja. Oleh karena itu Pythagoras mengandjurkan, bahwa 

manusia tidak tjukup membersihkan hidup djasmaninja sadja, te-

tapi djuga hidup rohaninja, dengan zikir atau ingat kepada Tuhan-

nja. Menurut kejakinan kaum Pythagoras setiap waktu manusia 

itu harus menanggung djawab dalam hatinja tentang perbuatannja 

sehari-hari. Hidup didunia ini menurut Pythagoras adalah perse-

diaan buat hidup diachirat. 

Semua aliran ketuhanan itu, baik jang berasal dari Iran dan 

India maupun jang berasal dari Junani, ataupun jang kemudian ter-

dapat dalam agama Masehi dan Islam, menerangkan bahwa ma-

nusia itu harus menempuh djalan jang bertingkat-tingkat dalam 

kehidupan djasmaninja dan rohaninja untuk mentjapai puntjak 

tudjuannja. Djalan bertingkat-tingkat itu dalam agama Budha, dise-

but djana, dalam agama Keristen dan Islam disebut martabat, jang 

tidak lain maksudnja ialah pada tingkat jang tertinggi dan 

terachir itu mendjadi satu atau kembali kepada Tuhan. Keadaan 

jang sematjam itu kita lihat dalam kehidupan Indjil antara Paulus 

dan Johannes, dalam Islam seperti jang terdjadi dengan Imam 

Ghazali, dalam abad pertengahan, seperti jang terdjadi dengan 

Bernardus dari Clairvaux dan Thomas Aquino, dalam masa pem-

baharuan Masehi seperti Luther. Orang Katolik mengadjarkan ich-

wal-ichwal jang tumbuh dalam djiwa manusia, tidak lain dari 

pada pertjikan limpah kurnia dari jang maha murah. Kejakinan 

jang sungguh-sungguh jang mengatasi ukuran hidup Zuhud biasa, 

menurut paham Katolik dapat membawa seorang manusia kepada 

pertemuan lengkap dengan orang-orang jang sudah diresapi Tuhan 

(goddelijk menschen), seperti Jesus, sehingga orang jang soedah  

diilhami seperti itu, akan* berkata : Bukan saja jang hidup, tetapi 

Christus jang hidup dalam diri saja. 

Paham-paham ketuhanan seperti ini kemudian ditambah pula 

dengan pendapat-pendapat jang dikemukakan oleh Socrates, Plato, 

dan Aristoteles, jang kitab-kitabnja banjak dipelihara dan disalin 

kedalam bahasa Arab serta tersiar luas. Adjaran-adjaran itu me-

nguatkan pendirian-pendirian adanja (wudjud) Tuhan. Adjaran 

neo Platonisme, jang terdjadi beberapa waktu kemudian sesudah 

Plato, menerangkan, bahwa zat jang menguasai segala sesuatu 

dalam alam ini satu, dan merata (muhid). Satu atau wudjud itu 

harus dianggap sebagai Tuhan, jang mempunjai 2 sipat, pertama 

immanent, berada dalam zat alam atau machluk, karena djika tidak 

demikian, tidaklah dapat dunia dan machluk ini. Kedua trancendent, 

berada diatas segala bajangan pantjaindra, diatas dan diluar alam 

serta machluknja, karena alam dan machluk dibatasi oleh waktu 

dan ruang, sedang zat pentjipta itu tidak dibatasi oleh ruang dan 

waktu. 

Paham-paham ini sangat menguntungkan ahli-ahli filsafat Islam 

dalam mempertahankan pendiriannja, dan menggunakannja dimana 

perlu untuk kesutjian adjaran-adjaran agama. Kedua paham ini 

*) Studi lebih landjut tentang filsafat Junani, batja : Alam Pikiran Junani 1 

dan, II oleh Mohammad Hatta, diterbitkan oleh Tintamas —  (Penerbit). 

ada  dalam Quran. Pengetian jang pertama diantara lain 

ada  dalam surat As-Sadjdah, ajat 54, jang berbunji : „Keta-

huilah, bahwa mereka itu selalu ragu-ragu tentang menemui Tu-

hannja. Bukanlah Allah itu meliputi seluruh sesuatu jang ada." 

(Qur'an XL I : 54). Pengertian jang kedua diantara lain ada  

dalam surat At-Ti n ajat 4— 8 : „Kami djadlikan manusia itu dalam 

bentuk jang sangat indah, kemudian kami kembalikan kepada ting-

ka,t jang paling dibawah, ketjuali mereka beriman dan beramal sa-

leh, merekalah jang akan mendapat gandjaran tidak terbatas, Apa-

kah masih ada alasan bagimu untuk mendustakan agama, bukanlah 

Allah iflu hakim seadil-adilnja", (Qur'an X C V : 4—8) . 

3. Djabariah dan sifat Tuhan 

Pokok-pokok pembitjaraan jang merupakan pertikaian paham 

dalam aliran-aliran ijang tumbuh itu pertama ialah mengenai Sifat 

Tuhan, apakah Sifat itu zalt Tuhan sendiri atau tjip'jaan jang 

terlepas daripada zal Djik a tjiptaan sifat itu terlepas daripada 

zat masih lajaklah Tuhan itu dikatakan satu tunggal (wahdanijah). 

karena zat dan âifat itu sudah terpisah djadi dua jang beriainan, 

jaitu zat Tuhan jang qagim, tiada berawal dan bepermulaan dan 

sifat Tuhan jang hadi'ä, jang bepermulaan karena ditjiptakan 

baharu kemudian. 

Oleh karena itu Djabarijah tidak ingin memberikan sesuatu sifat 

kepada Tuhan, tidak ingin memberikan sifat Tuhan itu hidup 

{haijjun), tidak ingo'n memberi sifat Tuhan itu mengetahui (Umuri), 

serta mengatakan, bahwa alasan tidak mau memberikan sifat Tuhan 

itu, karena dapat membawanja kepada baharu, bepermulaan atau 

hadis. Begitu djuga dengan sifat-sifat Tuhan jang lain seperti 

kalam berbitjara, qadar atau qudrat, berkuasa, iradat berkehendak, 

dan lain-lain. 

Paham Djabarijah ini ditentang oleh banjak ulama-ulama Islam, 

dmn'iaranja Hasan Basri dan Ibn Abas, diantara lain, dikala Ibn 

Abas ini mentjeritlerakan, bahwa pada suatu hari tatkala ia duduk 

bersama dengan ajahnja, datang seorang laki-laki seraja berkata : 

,,Hai Ibn Abas ! Ini ada segolongan manusia, jang mengaku, bahwa 

mereka mengerdjakan sesuaflu ma'siat atas gerak jang ditakdirkan 

Tuhan". Djawab Ibn Abas : „Djik a kuketahui golongan itu hadir 

disini akan kutjekik lehernja sampai mati. Djangan sekali-kali 

engkau ka'.lakan, bahwa engkau soedah  ditakdirkan dengan kekua-

saan Tuhan (adjbara) berbuat ma'siat, dan djangan engkau kata-

kan djuga Tuhan tidak mengetahui apa jang dikerdjakan hamba-

nja". (Al-Munijah wal Amal). 

Hasan Basri pernah berfafiwa di Basrah dihadapan orang-orang 

Djabarijah : „Barangsiapa tidak pertljaja dengan qada dan qadar 

Tuhan, djadi kafir, barangsiapa mengelakan dosanja kepada Tu-

han, djadi kafir, Tuhan tidak dita'ati karena paksaan, dan manusia 

tidak berbuat ma'siat karena terpaksa' (A-Mazahibul Islamijah). 

Hasan Basri menerangkan, bahwa seorang dari Persia datang 

kepada Nabi dan berkata : „Ak u lihat banjak di Persia orang 

mengawini anak dan saudara perempuannja. Djik a ditegur orang, 

mereka mendjawab, bahwa jang demikian itu sudah terdjadi dengan 

qada dan qadar Tuhan. Nabi berkata : „Dikelak kemudian hari 

akan ada  dikalangan umatku orang-orang jang berkata de-

mikian. Mereka adalah golongan madjusi dari umatku". 

Djabarijah adalah suatu aliran jang dituduh didirikan oleh orang-

orang Jahudi karena akan merusakkan kejakinan Islam dari da-

lam. Paham ini luas disiarkan orang dalam zaman sahabat dan 

Bani Umaijah. Diantara jang giat menjiarkan paham ini ialah Al -

Dju'di bin Dirham, jang membawa paham ini dari orang-orang 

Jahudi di Sjam dan menjiarkan di Basrah. Ia dibantu oleh Al-Djah -

mi bin Shafwan, dan oleh karena itu aliran tersebut dinamakan 

aliran Djahmijah. Ada orang mengatakan, bahwa Al-Dju'd i me-

ngambil pendapat ini dari Iban bin Sam'an, jang mempeladjari 

hal itu dari seorang Jahudi, bernama Thalud bin A'sam (Sjahral 

Ujun, ulasan dari Rialah Ibn Zaidun). 

Abu Zahrah menerangkan, bahwa pendapat ini tersiar dalam 

masa sahabat Nabi, karena Thaulud pernah mendapati zaman Nabi 

dan hidup dalam masa sahabat dan Thabi'in. Ada kitab-kitab 

menerangkan, bahwa pendapat sematjam ini tidak hanja timbul 

dalam kalangan lahudi, jang sengadja digerakkan untuk meratjuni 

kejakinan umat Islam, tetapi djuga soedah  ada  tjara berpikir 

jang sematjam itu dalam alam pikiran penganut adjaran Zardusjt 

dan Manyu. Al-Djahmi bin Shafwan jang terlalu giat menjiarkan 

kejakinan ini adalah seorang jang berasal dari Persia. Churasan, 

pada suatu masa ia kalah dalam peperangan dan mendjadi tawa-

nan, kemudian masuk Islam, diangkat mendjadi penulis Sjuraih bin 

Haris dan pernah berhubungan dengan Nasar bin Sajjar. Ia dibu-

nuh atas kesesatan adjarannja oleh Muslim bin Ahwasz Al-Mazan'i, 

pada achir pemerintahan Bani Marwan. 

W a k tu hidup Bin Shafwan itu sangat giat menjiarkan aliran 

ini di Churasan dan sekitarnja. Sesudah ia mati pengikut-pengikut-

nja mengadjarkan paham tersebut di Nahwand. Penjiaran itu terus 

dilakukan sampai tersiar pula disana aliran jang dinamakan Mazhab 

Abu Mansur Al-Maturidi, jang mengalahkan paham Djahmijah itu. 

Diantara pendapat-pendapat ulama terhadap aliran Djabarijah 

ini, kita sebutkan Ibn Qajjim, jang menerangkan dalam kitabnja 

„Sjifaul 'Alil",  bahwa paham dan haluan Djabarijah ini berten-

tangan sekali dengan keterangan-keterangan jang berasal dari 

Nabi Muhammad, sebagaimana jang disebut perbedaannja diba-

wah ini, merupakan pertentangan dua pendirian itu. 

Djabarijah berpendapat, bahwa seluruh gerak manusia ditentukan 

Tuhan itu wadjib dijakini agar tauhid ketuhanan itu bulat ada 

pada Tuhan jang satu tunggal. Tauhid tidak dapat berdiri ketjuali 

dengan mengembalikan segala qada dan qadar itu kepada 

Tuhan semata-mata. Djik a kita tidak mengakui demikian, dan 

kita berpendapat, bahwa manusia itu mempunjai daja-upaja sendiri, 

maka artinja itu kita mengaku ada pentjipta jang hadis atau jang 

baharu berpermulaan selain Allah, jang turut mentjiptakan sesuatu 

bersama Allah. Djik a manusia itu berkehendak, dia dapat berbuat, 

djika ia tidak berkehendak ia tidak berbuat. Ini mengakibatkan 

sjirk, kita tidak dapat melepaskan diri kita daripada bahaja ini 

ketjuali dengan pengakuan, bahwa segala daja-upaja dan kehendak 

manusia itu berlaku semata-mata atas kehendak Tuhan. 

Golongan Sunni berkata bahwa pendirian daja-upaja manusia 

itu berlaku atas kehendak Tuhan semata-mata (Djabar), bahkan 

merusakkan tauhid, karena bertentangan sekali dengan sjari'at 

Tuhan dan adjaran Rasul, tidak sesuai dengan pendirian Islam 

mengenai adjaran pahala dan siksa. Djik a kita benarkan pendirian 

Djabarijah itu berarti bahwa kita membatalkan seluruh adjaran 

Islam, membatalkan seluruh amar dan nahi, jang berakibat tidak 

ada lagi kebidjaksanaan terachir daripada Tuhan mengenai urusan 

pahala dan siksaan. 

Maka dengan demikian terdjadilah pertentangan jang hebat 

antara Djabarijah dan mazhab Ahl i Sunnah. Pembitjaraan berlarut-

larut mengenai persoalan ini soedah  memetjah belahkan umat Is-

lam dan meratjuni kejakinannja. Orang dapat membatja suasana 

jang dahsjat ini dalam kitab Al-Murtada dan dalam kitab Al-Mu-

nijah wal Amal. 

Tatkala Ibn Abas menghadapi orang-orang Djabarijah di Sjam, 

ia mengetjam dengan sangat pedas pendirian mereka itu, diantara 

lain demikian : „Kemudian daripada itu, apakah kamu sedia me-

njuruh manusia berbuat taqwa, sedangkan dengan pendirianmu 

itu orang-orang jang taqwa itu mendjadi sesat? Apakah engkau 

tega melarang manusia berbuat ma'siat, sedang dengan larangan-

mu itu malah kamu menggerakkan manusia berbuat djahat. Wahai 

anak-anak orang munafik dari zaman jang lampau, wahai pem-

bantu-pembantu kezaliman jang tersesat dan pengundjung-pengun-

djung mesdjid jang fasik ! Apakah semua kamu orang jang me-

lemparkan segala kedjahatan kepada Tuhan, sedangkan kamu 

berbuat kedjahatan itu njata-njata ?" 

Memang Sjahrastani menerangkan dalam kitab Al-Milal wal 

Nihal, bahwa ada segolongan ulama jang berpendapat, bahwa per-

buatan dan usaha manusia itu tidak turut ditjiptakan hanja manusia 

jang ditjiptakan Tuhan. Aliran ini sebenarnja mengatakan jang de-

mikian itu menurut penafsiran lahir, sebagaimana jang kelihatan 

dalam pekerdjaan se-hari2 pada pekerdjaan manusia itu, sedang 

pada hakikatnja semua berlaku dengan kodrat dan iradat Tuhan, 

manusia melakukan semua usahanja terpaksa (madjbur), artinja 

pada hakikatnja tidak ada tjiptaannja, tidak ada kodratnja, tidak 

ada iradatnja dan tidak ada usaha atau ichtiarnja, semua ditjiptakan 

Tuhan pada adjalnja, sebagaimana Tuhan mentjiptakan segala ba-

rang padat dan tjair dengan segala sifatnja dan kekuatannja. Djadi 

pengakuan ada usaha manusia itu hanja pada lahïr (madjazi), tidak 

dalam pelaksanaan jang sebenarnja (hakiki). 

Dalam pertjakapan se-hari2 kita1 katakan pohon kaju berbuah, 

air mengalir, batu berguling, matahari terbit dan terbenam, langit 

berawan dan menurunkan hudjan, sedang sebenarnja semua ber-

laku atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Demikianlah dengan 

keadaan manusia sendiri, pada adjalnja berlaku atas takdir Tuhan, 

dan perbuatan jang tidak sengadja pada manusia ini, tidak ter-

masuk dalam urusan pahala dan dosa, tetapi perbuatan jang soedah  

ditjampuri dengan ,niat dan usaha manusia sendiri, dihukum menu-

rut peraturan pahala dan dosa, tidak dapat dimasukkan begitu sa-

dja sudah berlaku atas kehendak Tuhan (qadar, qada), untuk me-

lepaskan diri dari sesuatu perbuatan salah dan ma'siaf. 

S J I 'A H 

Dalam salah satu fasal sudah kita terangkan hubungan-hubungan 

antara Qur'an dan mazhab-mazhab ahli sunnah, terutama mengenai 

hubungan dengan empat mazhab, Sjafi i, Hanafi, Maliki dan Han-

bali bahkan pembitjaraan itu dengan pandjang lebar, karena ada 

hubungannja degan Qur'an dan ilmu fiqh. Aliran-aliran fiqh ini 

kita anggap aliran-aliran jang terpenting dalam Islam, dalam kita 

mengikuti pengertian dan hukum-hukum Qur'an, dan oleh karena 

itu kita kemukakan uraian pembitjaraannja jang agak meluas. 

Meskipun demikian ada bermatjam-matjam aliran jang lain da-

lam dunia Islam, jang langsung mempengaruhi pengertian terhadap 

hukum-hukum Qur'an, misalnja aliran-aliran i'tikad, aliran tarekat 

dll. Untuk kesempurnaan sedjarah Al-Qur'a n pembitjaraan tentang 

aliran-aliran ini tidak dapat kita tinggalkan. 

Kita mulai dengan aliran i'tikad sebagai tersebut dibawah ini. 

Aliran Sji'ah sangat mempertjajai bahwa Muhamad bin Ali , sa-

lah seorang ananda Sajjidina Al i bin Abi Thalib, akan datang 

kembali kedunia ini, karena ia bukan mati. Tetapi ia akan datang 

menghidupkan keradjaan Bani Ali . Semasa hidupnja Muhamad 

bin Al i itu pengikut-pengikutnja soedah  banjak menda'wakan, bahwa 

beliaulah Mahdi jang didjandjikän itu. Kepertjajaan ini bukanlah 

terbit daripada Muhamad bin Ali , tetapi adalah bikinan daripada 

pengikut-pengikutnja belaka, terutama Muchtar bin Abi Ubaid jang 

mendjadi kepala fitnah pada masa itu. 

Lalu terdjadilah golongan Sji'ah dan golongan ini pertjaja bahwa 

Nabi .Muhammad bin Al i sekarang ini sedang bersembunji de-

ngan kudanja jang berwarna putih disuatu tanah lapang diantara 

Mekkah dan Medinah, dimana ia akan datang. Akan kelihatan 

tanda-tandanja. Dan sesudah ia datang maka dunia ini akan takluk 

kebawah perintahnja. 

Demikian kepertjajaan golongan ini. 

Nama sji'ah itu pada awalnja berarti golongan, firqah, dalam 

bahasa Arab. Tetapi sesoedah  pada permulaan Islam nama ini teruta-

ma ditudjukan kepada suatu golongan jang tertentu, jaitu golong-

an jang membela Ali , Chalifah jang ke IV , suami dari anak Djun-

djungan kita Muhammad s.a.w. Siti Fathimah dan sepupu pe-

nuh dari Nabi karena ia anak daripada pamannja Abu Thalib. 

Orang-orang Sji'ah itu artinja orang-orang jang masuk golongan 

Sajjidina Ali , mempertjajai bahwa Sajjidina Al i itulah orang jang 

berhak mendjadi pengganti Nabi sesudah beliau wafat, begitu pula 

seterusnja, sesudah Sajjidina Al i itu meninggal dunia jang berhak 

turun-temurun menggantikan mendjadi imam, jaitu kepala masja-

rakat kaum Muslimin hendaklah dari keturunannja pula, jang di-

sebut golongan Ali . Kepertjajaan ini bertentangan dengan adjaran 

mengenai Chalifah, sebagaimana jang diakui oleh sebahagian besar 

oleh orang Islam jang dinamakan Ahli Sunnah, golongan Sunnah. 

Pada permulaan Islam kehormatan jang ditundjukkan kepada 

keluarga Nabi berlainan tjoraknja dari pada apa jang terdjadi se-

sudah Nabi wafat. Djik a dahulu kehormatan itu hanja terbacas 

dalam ketha'atan, kemudian kehormatan ini perlahan-lahan be-

rubah mendjadi suatu anggapan kesutjian jang berlebih-lebihan, 

jang kadang-kadang menjimpang daripada adjaran iman dan Islam 

sendiri.

Pada waktu Nabi wafat Sajjidina Al i dan Fathimah hanja ber-

oleh bahagian pusaka berupa beberapa bidang tanah jang mendjadi 

kepunjaan sendiri daripada Djundjungan kita Muhammad s.a.w. 

Chalifah-Chalifah jang pertama sebenarnja berkeberatan tanah itu 

diserahkan kepada putri dan menantunja itu dengan alasan bahwa 

potongan-potongan tanah tersebut tidak dapat dianggap kepunjaan 

Nabi sendiri, tetapi hanja diurus oleh beliau sebagai kepala dari 

masjarakat Islam pada waktu itu. 

Konon menurut penjelidikan ahli sedjarah hal ini menimbulkan 

rasa tidak senang dari keluarga Sajjidina Ali , diantara lain-lain 

didorong oleh fitnah dari orang-orang pengikutnja. Konon pula 

sesudah ia mentjapai kekuasaan tertinggi, jaitu dengan pertolongan 

orang-orang dari golongannja menduduki singgasana Chalifah, 

sesudah terbunuh Usman, Chalifah ka III , tertjapailah maksudnja 

dan hilanglah rasa tidak senang mengenai keputusan beberapa Cha-

lifah sebelumnja. 

Mengehadapi keangkatan Sajjidina Al i mendjadi Chalifah umat 

Islam petjah atas dua golongan. 

Mu'awijah, wali negara Chalifah Usman di Syria, pentjipta dy-

nasti Bani Umaijah, bangun menentang Chalifah Al i dengan mem-

pergunakan tentaranja jang ada di Syria, sambil mengemukakan 

alasannja bahwa ia mengetahui atau menjetudjui pembunuhan atas 

diri Sajjidina Usman, jang sesudah beliau terbunuh Sajjidina Al i 

diangkat mendjadi Chalifah oleh pengikut-pengikutnja. 

Dengan demikian terdjadilah jang pertama kali sesudah wafat-

nja Djundjungan kita Muhammad s.a.w. dalam kalangan pimpinan 

Islam fitnah perpetjahan, jang mengakibatkan permusuhan dan 

peperangan saudara serta perang seagama jang sangat menjedihkan. 

Berpuluh-puluh tahun Djundjungan kita berdaja upaja membulat-

kan kaum Muslimin, menanamkan tjinta kasih sajang, tetapi rusak 

binasa oleh fitnah jang ditimbulkan orang pada waktu itu, jang 

menjebabkan peperangan keluarga jang maha dahsjat, jang djika 

beliau masih hidup pasti akan mendapat kemurkaannja, karena 

tidak sesuai dengan adjaran Allah jang dibawanja dan tidak sesuai 

dengan kebangkitannja sebagai Rasul. 

Kedjadian ini adalah salah satu dari pada bahagian darah dalam 

sedjarah Islam, jang banjak menumpahkan air mata, jang sedjak 

itu menampakkan persimpangannja. 

Sajjidina Al i sendiri dalam tahun 40 H. (661 M.) dibunuh oleh 

salah seorang jang fanatik agamanja, Ibnu Muldjam dari golongan 

Charidjijah. 

Sesudah ia meninggal dan sesudah gugur pula anaknja dalam 

pertempuran jang dahsjat dimedan peperangan Karbala pada tahun 

61 H. (680 M.) sebagai putra mahkota jang melawan Chalifah 

Yazid dari Bani Umajjah itu, maka makin bertambah-tambah he-

batnja perkembangan golongan Sji'ah jang terpetjah itu, bertebaran 

meluas dengan amat tjepatnja ketiap-tiap bahagian negara Islam, 

mempropagandakan kandidat-kandidat Chalifah dari keturunan 

Ali . Tjara-tjara golongan ini bertindak dan mengadakan penerang-

an-penerangannja, begitu djuga tjara-tjara orang-orangnja (da'i) 

bekerdja, berlainan antara satu sama lain menurut keadaan dan 

pengaruh setempat-setempat. 

- Karena pemimpin-pemimpin Sji'ah ^tu, jang oleh pemerintah Ahli 

Sunnah diburu dan dikedjar-kedjar, dan jang mentjari pengikutnja 

dari penduduk-penduduk jang tidak senang dan jang tertekan, de-

ngan sendirinja harus menjesuaikan taktik propagandanja dengan 

keadaan setempat-setempat itu. Dalam pada itu banjaklah golongan-

golongan jang menjimpang dari Ahl i Sunnah mendekati golongan 

ini dan merupakan salah satu tjabang dari Sji'ah itu. 

Demikian meluasnja paham Sji'ah itu lambat-laun mendjadi maz-

hab-mazhab jang tertentu dalam I'tikad, politik dan ibadat. Sam-

pai-sampai dalam golongan Sji'ah jang terlunak dalam kalangan 

orang Arab seperti golongan Zaidijah, pengikut imam Zaid, jang 

sekarang masih ada  didaerah Arab selatan dan pada sebaha-

gian tanah Hedjaz, kita dapati peladjaran-peladjaran, jang oleh go-

longan Ahl i Sunnah dinjatakan menjimpang dari agama Islam jang 

sebenarnja. Apatah lagi didaerah-daerah diluar Arab, dimana ter-

dapat golongan-golongan Sji'ah dengan paham-paham jang sangat 

berdjauhan sekali dengan adjaran-adjaran jang bertemu dalam 

adjaran Is'am. Dalam daerah-daerah ini kadang-kadang orang 

mengangkat imam dari keturunan Ali , jang menurut pahamnja 

mendjadi waliullah jang terbatas kekuasaannja diatas muka bumi. 

Dalam sedjarah perdjuangannja sedikit sekali golongan Sjiah itu 

mendapat sukses politik. Dlimana-mana ia ditekan dan sedjarah per-

lawanan adalah sedjarah pertumpahan darah jang berkepandja-

ngan. Lalu terdjadilah gerakan dibawah tanah, jang menimbulkan 

adjaran-adjaran mengenai pengakuan imam setjara rahasia. Me-

nurut kejakinan mereka itu imam-imam itu selalu sambung me-

njambung dari keturunan Nabi. Sebuah teori mengatakan djumlah 

itu tudjuh orang, jang lain menerangkan dua belas orang banjaknja. 

Seorang jang penghabisan dari dua belas imam ini, sebagai jang 

dikatakan diatas dengan tjara jang aneh sudah hilang keluar 

dari bumi ini. Kelak pada hari penghabisan ia akan datang kem-

bali kedunia untuk mendirikan dan memimpin suatu negara jang 

adil. Selama imam jang penghabisan ini belum datang dan men-

djelma sebagai Chalifah, golongan Sji'ah ini hanja menanti dengan 

tabah dan pertjaja, akan kedatangan imamnja, dan sementara itu 

mereka bersenang hati dengan pemerintahan sementara dari pe-

merintahan radja-radja duniawi dan dalam perkara-perkara agama 

mereka beroleh pimpinan dan penerangan dari guru-gurunja jang 

dinamakan mudjtahid. 

Di Persi peladjaran Sji'ah ini (adjaran jang mempertjajai dua 

belas imam) sampai abad ke XV I dalam pemerintahan dynasti 

Safawi diakui sebagai agama negara, kira-kira sampai pemerintah-

an Ahli Sunnah, jang kekuasaan politiknja berada dalam tangan 

pemerintahan sultan-sultan Turki Usmanijah jang perkasa itu. Oleh 

karena itu antara Persi dan Turki ada  suatu daerah jang 

politik agamanja sangat bertentangan antara satu sama lain, dan 

jang masaalah-masaalah chilafijahnja mempunjai sifat-sifat agama 

jang fanatik. 

Djumlah orang-orang Sji'ah ini ditaksir tidak kurang dari 5% 

daripada djumlah orang Islam penduduk dunia seluruhnja, jang 

berdjumlah tidak kurang dari 400 miljun. 

Amal ibadat golongan Sji'ah ini serta kejakinannja meluas- sam-

pai ketanah Hindustan, tetapi sesudah keluar dari Persi sudah 

banjak bertjampur dengan Ahl i Sunnah, sehingga sukar membe-

dakan kembali antara kedua kejakinan itu. Aliran ini dengan ke-

datangan Islam ke Indonesia melalui India terbawa djuga dan 

sampai waktu jang achir masih kelihatan bekas-bekasnja. Per-

hubungan dunia antara Indonesia dengan negara-negara Islam, 

istimewa dengan Mekkah dan Mesir, menjebabkan perlahan-lahan 

bekas-bekas kejakinan Sji'ah itu lenjap dari masjarakat kaum Mus-

limin Indonesia, tetapi beberapa kedjadian seperti upatjara me-

rajakan hari sepuluh Muharram atau 'Asjura (perajaan jang 

ditudjukan untuk memperingati hari gugurnja kedua anak Sajjidina 

Ali , jaitu Hasan dan Husin, jang bagi orang Sji'ah adalah imam 

jang kedua dan ketiga), masih ada  dibeberapa tempat di In-

donesia. Perajaan tabut Hasan Husin baru sadja terhapus dibeberapa 

daerah di Sumatra pada waktu jang achir-achir ini. 

Keturunan-keturunan Nabi Muhammad melalui menantu Nabi, 

Sajjidina Ali , jang ber