am jang berpedoman kepada kebudajaan Jahudi. Jahudi berkata,
bahwa mahkota keradjaan selalu harus diserahkan kepada ketu-
runan Daud. Rafidhah berka"a, bahwa mahkota keradjaan itu se-
lalu harus diserahkan kepada Al i bin Abi Thalib. Jahudi berkatia,
bahwa djihad atas djalan Allah tidak berhentli ketjuali sesudah
datang Al-Masih jang dinanti-nantikan turun dari langit. Kaum
Rafdhi berkata, bahwa tidak berhenti djihad atas djalan Allah
ketjuali sesudah keluar Al-Mahdi, jang turun dari langit. Demi-
kianlah banjak aliran-aljran Mu'tazilah itu, terutama Rafdhi, me-
ngambil adjaran dari Jahudi dan memasukkannya kedalam Islam,
seperti menta'chirkan sembahjang magrib, membelokan talak
tiga sekaligus, tjidak mengakui iddah wanita jang bertjerai, meng-
halalkan darah orang Islam jang menentangrija, mengubah-ubah
Qur'an membentji Djibril , menjalankan Djibri l menurunkan wahju
kepada Nabi Muhammad jang mestinja kepada Al i bin Abi Thalib.
Kita lihat banjak sekali persoalan-persoalan ilmu kalam jang
ditumbuhkan dari paham-paham Jahudi. Dan diantara ahli-ahli
ilmu Kalam ada , orang-orang asalnja Jahudi, seperti Bisjir al-
Muraisji, Harun bin A'war, meskipun sudah masuk Islam masih
banjak sekaji menggunakan perkataan dari bahasa Jahudi dalam
adjarannja. ,
Ditjeriterakan bahwa paham Nasich dan Mansuch dalam Qur'
an djuga berasal dari Nasich dan Mansuch dalam Taurat. Persoal-
an sifat Tuhan jang serupa dengan sifat-sifati manusia djuga me-
nurut' Ahmad Amin dalam kitabnja tersebut diatas berasal dari
persoalan-persoalan jang dikemukakan oleh Jahudi, tidak sadja
mengenai ajat-ajat, Qur'an jang bersifat mufcasjabih, tetlapi banjak
hadis-hadis jang menurut Sjahrastani diperbuat oleh orang Ja-
hudi untuk menguatkan pendirian tentang pengertian tasbuh
itu seperti hadis jang menerangkan Nabi Muhammad pernah ber-
temu dengan Tuhan dan bersalam-salaman dll. Djuga dalam ilmu
tasawwuf banjak sekali dimasukkan adjaran jang berasal dari Ja-
hudi, misalnja perkataan seorang itu apabila sudah baik hanja
memerlukan sedikit makan dan hati manusia apabila sudah baik
hanja memerlukan sedikit hikmah.
Ahli-ahli sedjarah seperti Sjaufan, menerangkan, bahwa banjak
bahagian dari tijeritera Seribu Satu Malam berasal dari Jahudi
Orang-orang Jahudi meskipun menjerahkan dirinja sebagai orang
Islam tidak mau meninggalkan agamanja, bahkan berichtiar mena-
rik orang-orang Islam kepada agama Jahudi.
Oleh karena itu banjak ajat-ajat! 'Qur'an memperingatkan jang
dimasukkan dan dipersiapkan Jahudi kedalam Islam. Begitu djuga
banjak hadis-hadis Nabi jang mengandung peringatan sematjam
itu. Diantara lain Rasulullah pernah memperingatkan : „Kamu akan
mengikut djalan orang-orang sebelummu, sedjengkal, sehasta demi
sehasta, sehingga djika mereka masuk kedalam liang buaja sekali-
pun kamu akan menurutinja".
Tatkala sahabat bertanja, siapakah orang-orang itu, Jahudikah
atau Nasranikah, Rasulullah mendjawab : „Siapa lagi ?" (lih.
Ahmad Amin Dhuhal Islam, Cairo 1952, 1: 356).
P E N G E R T I A N ILM U KALA M
Kalam artinja dalam bahasa Arab perkataan, firman, utjapan,
pembitjaraan. Dalam ilmu nahu atau ilmu bahasa diartikan bahwa
kalam itu suatu susunan kalimat jang ada artinja. Dalam kalangan
ahli tafsir dan ahli agama umumnja kalam itu diartikan firman
Allah, kalamullah ialah wahju Tuhan, jang diturunkan kepada Na-
bi Muhammad, kemudian digambarkan dengan huruf dan dikum-
pulkan mendjadi Qur'an. Tiap-tiap Nabi diberi bergelar, misalnja
Nabi Isa disebut Ruhullah, artinja Roh Tuhan. Nabi Ibrahim disebut
Chalilullah, artinja Sahabat Tuhan, Nabi Muhammad dinamakan
Habibullah, artinja Ketjintaan Tuhan dan Nabi Musa dinamakan,
Kalamullah, artinja Firman Tuhan, karena ia sering menerima
wahju dari Tuhan.
Seluruh isi Qur'an dianggap orang Islam ialah wahju Tuhan, jang
disampaikan kepada Nabi Muhammad, baik dengan perantaraan
Malaikat Djibri l atau langsung oleh kemurahan Tuhan sendiri.
Qur 'an itu mendjadi pedoman pokok bagi umat Islam berisi garis-
garis besar mengenai kejakinan terhadap Tuhan, kejakinan terha-
dap Nabi-Nabi dan Rasulnja, begitu djuga kejakinan terhadap
persoalan-persoalan jang bersangkut-paut dengan hari Kebangkitan.
Selain dari pada itu Qur'an mengandung wahju Tuhan jang men-
djadi perintah dan larangannja jang harus didjalamkan oleh seluruh
umat Islam, baik mengenai hubungan ibadat antara mereka dan
Tuhan, maupun mengenai mu'amalat antara manusia dengan ma-
nusia. Oleh karena pentingnja Qur'an itu, jang dinamakan wahju
atau kalam Tuhan, maka timbullah pertanjaan, terutama sesudah
agama Islam itu. melebar dan meluas kepada bangsa-bangsa jang
sudah mempunjai ilmu dan kebudajaan sendiri, bagaimanakah ke-
jakinan kepada Tuhan itu harus ditindjau dari sudut ilmu penge-
tahuan, dan bagaimanakah tjara seseorang Nabi menerima wahju
dari Tuhan itu, jang dianggap kalamullah atau kalam Tuhan. La-
lu terdjadilah dari pada perbintjangan jang maha hebat pada achir
abad jang ke II I Hidjrah sematjam ilmu untuk menerangkan hal
tersebut, jang kemudian bernama ilmu kalam.
Djadi ilmu kalam itu tidak lain dari pada apa jang dinamakan
ilmu tauhid, ilmu jang mengandung adjaran-adjaran untuk meng-
insafkan manusia berkejakinan dan pertjaja kepada Satu Tuhan.
Dengan lain nama ilmu ini disebut djuga Usuluddin, ja/iitu pokok-
pokok agama, jang terdiri dari pada tiga pokok : at-Tauhid, ke-
esaan Tuhan, an-Nubuwwah, kepertjajaan kepada adanja Nabi-
Nabi, dan al-Ma'at, sekitar kepertjajaan kepada hari-hari kebang-
kitan atau hidup manusia sesudah kehidupan dunia ini. Ilmu-ilmu
jang bersangkut-paut dengan persoalan-persoalan jang lain menge-
nai hukum-hukum agama disebut Furu'uddin jaivu mengenai
tjabang-<tjabang dan ranting-ranting atau pendjelasan lebih djauh
daripada hukum-hukum pokok agama Islam.
Pada waktu jang achir ijmu kalam itu melingkupi seluruh per-
soalan theologi atau agama, oleh Dr . Muhammad Al Bahi dina-
makan „Al-Djanibi l Ilahi minat tafkiril Islami" d'an tiermasuk ilmu
filsafat agama atau jang biasa dinamakan dengan istilah pengeta
huan Scholastic Islam.
. Pembitjaraan tentang ilmu kalam ini sudah pernah dibitjarakan
dalam kalangan orang-orang alim Jahudi dan Masehi, dan oleh
karena itu banjak tjaranja dekat-mendekati antara satu sama lam,
terutama oleh ahli-ahli filsafat Islam terbesar, untuk me-idjelaskan
pendirian Islam tentang Tuhan itu dari pendirian-pendiran agama
sebelumnja.
Ibn Chaldun lalu menjimpulkan, bahwa Ilmu Kalam itu adalah
sematjam ilmu jang digunakan untuk membahas kejakinan-keja-
kinan iman dengan keterangan-keterangan akal, serta mengemu-
kakan alasan-alasan untuk menolak paham-paham kejakinan
mereka jang bertentangan dengan keiakinan golongan Salaf dan
Ahl i sunnah. Pada latin tempat dalam kitab Muqaddimah-nja
Ibn Chaldun memberikan defisi kepada ilmu kalam itu dengan :
Ilmu jang dïtjipltakan untuk mempertahankan kejakinan agama
Islam, sebagaimana ada dalam kitab-kitab jang sahih daripada
Sunnah, mentjiptakan alasan-alasan baru untuk menguatkan dan
unttuk mempertahankan kebenarannja, begitu djuga mengumpulkan
keterangan-keterangan untuk menolak paham-paham mereka jang
sesat mengenai kejakinan atau aqaid.
Abu Zahrah dalam bukunja Al-Mazahibil Islamijah (Mesir,
t. th.) menerangkan, bahwa pembitjaraan segala sesuatu dalam
Islam tidak keluar dari pembitjaraan tiga golongan pertama, go-
longan poMtik, kedua, golongan i'tikad dan ketiga golongan hukum.
- Pembitjaraan tentang 'ilmu kalam itu dilakukan oleh golongan i'ti-
qad, jang membahas segala matjam persoalan sekitar zat, mana dan
sifat Tuhan serta masaalah-masaalah jang pelik, seperti persoalan
mengenai qadar, ichtiar atau kebebasan kemauan manusia,dan
dengan itu terbawalah pembitjaraan itu kepada bermaffjamrmatjam
golongan falsafah dan agama, jang melaut dan mendalam.
D.B . Machdona'd dalam karangannja, perdtama dalam Slipter
Encyel. o/ Islam (H.A.R Gibb. Leiden, 1956) menerangkan, bah-
wa ilmu kalam itu tidak hanja berarti pembahasan theologi a,tau
ilmu Tauhid, tetapi djuga theologi scholastic atau pengupasan ilmu
tauhid setjara analisa ilmu pengetahuan, sebagaimana jang pernah
dilakukan oleh Democritus dan Epicurus dalam zaman-zaman jang
soedah lampau, dan ulama-ulama jang membahas persoalan sematjam
ini dinamakan Mutakallimun, jaitu ahli-ahli ilmu ka'am dalam agama
Ifelam, pada hari-hari pertama orang-orang Mu'tazilah, kemudian
ikut membahasnja ahli Hadis, jang kemudian berubah namanja men.
djadi Ahl i Sunnah wal-Djama'ah, pembitjaraan-pembitjaraan mana
besar sekali sumbangannja untuk kemadjuan filsafat dalam Islam.
Seperti di Europa orang sibuk memperdebatkan paham Aristoteles,
jang kemudian dilandjutkan oleh Boyle dan Newton dalam bentuk
kwalitet, oleh John Dalton dalam bentuk kwantitet, demikian ter-
djadi dengan dunia Islam dalam simpangsiur tjara berpikir dan
tjara mempersoalkannja.
Kemudian datanglah Asj'ari dari Mu'tazilah dan Ahmad ibn
Hanbal dari Ahl i Hadis, kedua-duanja mempersatukan persoalan-
persoalan itu mendjadi suatu konsep jang dapat diterima oleh se-
luruh ulama Islam.
Pembitjaraan ilmu kalam tidak lain daripada mengulangi per-
tentangan paham antara satu sama lain daripada mazhab ratio-
nalisme dan mazhab sunnah atau irrationalisme dalàm membahas
ilmu tauhid chususnja dan ilmu usuluddin umumnja.
1. Fltikad Salaf
Jang dinamakan Salaf ialah mereka jang hidup zaman Nabi,
zaman Sahabat dan zaman Thabi'in daripada orang-orang Muha-
djirin dan Anshar. Dalam tiga kurun ini orang-orang Islam itu hidup
dengan kejakinan jang teguh, bersatu dalam persaudaraan dan
tjinta mentjintai, ichlas dalam beribadat dan beramal, kuat berdjihad,
hidup sederhana dalam pakaian, makan, minum dan tempat tinggal,
tidak pernah berselisih paham, sedikit berbitjara banjak berbuat
sesuatu untuk kepentingan Islam chususnja dan prikemanusiaan
umumnja terutama kuat imannja dalam mentjintai Allah dan Ra-
sulnja, jang adjarannja merupakan satu-satunja pedoman hidup
dan suluh dalam kejakinannja.
Orang-orang ini memetik pokok-pokok kejakinannja daripada
adjaran-adjaran Qur'an, mengakui dan mengagungkan apa jang
lajak bagi zat Tuhan, berdaja upaja menjingkirkan apa jang me-
rendahkan kedudukan zat jang mulia itu. Oleh karena itu tidak
pernah ada ada perselisihan dalam kalangan mereka mengenai
i'tikad atau kejakinan.
Maqrizi menerangkan, bahwa tatkala Nabi Muhammad diangkat
mendjadi Rasul untuk semua manusia, ia menerangkan tentang
sifat-sifat Tuhan itu, sebagaimana jang diterangkan oleh Tuhan
sendiri dalam Qur'an sebagai wahju jang diturunkan kepadanja.
Orang-orang Arab, baik jang berasal dari kota atau jang datang
dari desa kepadanja tidak memperbanjak pertanjaan mengenai se-
suatu tentang zat dan sifat Tuhan' itu, tetapi jang banjak mereka
tanjakan ialah perkara-perkara jang bertali dengan pelaksanaan
agama, seperti sembahjang, zakat, puasa dan hadji, dan perkara-
perkara jang lain jang berhubungan dengan perintah dan larangan
Tuhan. Begitu djuga mereka menanjakan sesuatu tentang keadaan
hari kiamat, sorga dan neraka.
Djik a mereka pernah mengemukakan pertanjaan-pertanjaan ten-
tang sifat-sifat ketuhanan jang berbelit-belit, tentu banjak hadis-
hadis mentjeriterakan hal ini disamping hadis-hadis jang sekian
banjaknja kita dapati mengenai hukum halal dan haram, menge-
nai andjuran amal-amal dan meninggalkannja, mengenai hari ki-
amat dll. sebagaimana jang ada dalam kitab-kitab sahih dan
masnad hadis jang besar-besar dan banjak itu.
Apa jang diterangkan oleh Nabi mengenai zat dan sifat Tuhan
mereka terima dan djadikan pokok-pokok iman dan kejakinannja.
Mereka berdiam diri dari pada membongkar-bongkar sifat-sifat
Tuhan, apakah ia merupakan zat Tuhan atau sifat perbuatannja.
Mereka menganggap semua sifat-sifat itu adalah sifat-sifat Tuhan
jang azali, seperti ilmu, kodrat, hajat, iradat, sama', bashar, kalam,
djalal, ikram, djud, in'am, 'izzah, 'uzmah, dan menjalurkan ke-
terangan itu sebagai suatu saluran jang bulat untuk mempersatukan
umat dalam kejakinannja. Demikian kata Maqrizi.
Memang demikianlah keadaan orang-orang dalam masa Salaf itu.
Perpetjahan tentang iman dan i'tikad terdjadi dalam masa-masa
sesudah tiga kurun terbaik itu, sebagaimana jang pernah disebut-
kan keadaannja dalam Qur 'an : „Tetapi mereka ada jang mem-
punjai keragu-raguan dalam hatinja, mereka mengikuti apa jang
merupakan sjak wasangka itu dan mengumumkannja dengan mak-
sud mengadakan fitnah, lalu mereka mengadakan bermatjam-
matjam ta'wil, sedang tidak ada jang betul-betul dapat memahami
ta'wil itu ketjuali Allah sendiri. Orang-orang jang banjak ilmunja
hanja berkata : „kami pertjaja semuanja itu datang dari pada Tuhan
kami. Tidak ada jang dapat menjetudjuinja ketjuali orang-orang
jang mempunjai paham jang luas.
Wahai Tuhan! Djanganlah engkau mengisi keragu-raguan lagi
dalam hati kami, sesudah engkau mengisinja dengan petundjuk,
dan tjurahkanlah kepada kami rahmatmu karena engkau sangat
pemurah" (Qur'an).
Sesudah Islam tersiar luas kedaerah-daerah jang pemeluknja
menganut agama-agama tua, terdjadilah perobahan dalam sikap
menghadapi i'tikad Salaf itu. Banjak pemeluk-pemeluk Islam jang
berasal dari agama-agama lain, meskipun mereka sudah resmi
mendjadi Muslim, dalam tjara berpikir masih terikat kepada ke-
jakinan-kejakinan lama. Terutama orang-orang Madjusi dan orang
orang Musjrik. jang* untuk maksud tertentu menganut agama Islam,
mengemukakan pertanjaan-pertanjaan mengenai zat dan sifat Tu-
han, jang menundjukkan keragu-raguannja. Persoalan kadar, ke-
kuasaan Tuhan jang penuh atas gerak gerik manusia, jang pernah
mendjadi perdebatan dalam agama-agama lama itu, dikemukakan-
nja dalam kalangan kaum Muslimin untuk menanam bibit petjah
belah kembali mengenai iman. Siasat mereka soedah dibajangkan
djuga dalam Qur'an : „Mereka jang musjrik itu akan berkata :
„Djik a Tuhan menghendaki, tentu kami tidak mendjadi musjrik,
baik diri kami sendiri, baik orang tua kami. Kami tidak berke-
beratan menghadapi kehendak Tuhan itu. Demikianlah mereka
melahirkan dustanja, sehingga mereka merasakan balasan kami.
Tanjakan kepada mereka itu, apakah betul-betul mereka ada
pengetahuannja tentang itu, jang dapat mereka kemukakan atau
mereka hanja menuruti sjak wasangka sadja. Semua kamu hanja
berdusta belaka" (Qur'an).
Alusi menerangkan dalam tafsirnja, bahwa orang-orang musjrik
itu dalam mengemukakan uraiannja seperti tersebut dalam ajat itu
mempunjai kehendak dan keinginan, untuk membenarkan tindak-
annja, untuk menerangkan, bahwa mereka menjembah berhala itu
dengan kehendak atau kadar Tuhan jang tidak dapat dising-
kirkan oleh manusia, dan gunanja untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Demikianlah kita lihat, bahwa masaalah kadar ini dikemuka-
kan oleh orang-orang jang musjrik itu sebenarnja bukan untuk
mengetahui maknanja, tetapi untuk mendjadikan kadar Tuhan itu
sebagai pembuka pintu baginja berbuat sesuatu jang kedji dengan
dalih digerakkan pada azali oleh kehendak Tuhan atas usahanja
atau perbuatannja.
Oleh karena itu tidak ada perdebatan terhadap zat Tuhan
jang berlarut-larut karena Tuhan dan Nabinja mentjegah hal itu.
Islam menghadapi orang-orang kafir dan munafik dengan segala
kekerasan, Nabi Muhammad melarang memperdalam pembitjaraan
tentang masaalah qadar. Sementara itu dengan perantaraan Djib -
ril Nabi menerima tugas untuk menerangkan kewadjiban-kewa-
djiban mengenai i'tikad seperti jang tersebut dalam rukun iman :
Pertjaja kepada Allah, pertjaja kepada malaikatnja, pertjaja kepada
kitab-kitabnja, pertjaja kepada rasul-rasulnja, pertjaja kepada ha-
ri achirat dan pertjaja kepada qadar baik dan buruknja berasal
dari Tuhan semata-mata. Pengakuan terhadap qadar tidak lain
art'inja daripada tunduk kepada Tuhan, mengaku ilmunja meling-
kupi segala sesuatu, dan takdirnja pada azal berdjalan hikmahnja
kepada semua tjiptaannja. Nabi mengandjurkan untuk beriman
dengan semua itu, tetapi melarang membitjarakan mendalam dan
berlarut-larut, karena memperdalami pembitjaraan tentang itu da-
pat membawa seseorang kepada pikiran jang sesat dan tergelintjir.
Tatkala Nabi sudah wafat dan orang-orang Islam bergaul de-
ngan bebas dengan penganut-penganut agama lama, jang soedah
pernah menghebohkan masaalah qadar itu, mulailah terdjadi per-
debatan dan pembitjaraan jang meluas dalam kalangan umat Islam.
Orang Islam dimasa belakangan itu tidak lagi menjejudjui an-
djuran jang dikemukakan Nabi untuk menghindarkan pembitjaraan
jang mendalam. Orang Islam tidak memperhatikan lagi, bagaimana
sikap sahabat-'sahabat menghadapi masalah ini. Ditjeriterakan,
bahwa seorang pentjuri dihadapkan kepada Umar bin Chattab.
Umar bertanja : „Mengapa engkau mentjuri ?" Djawab pentjuri
itu : „Sudah ditakdirkan Tuhan atasku". Umar mendjaJankan
hukuman potong tangan, kemudian ditambah lagi dengan hukuman
memukul dengan tjambuk, Ditanjakan orang kepada Umar, me-
ngapa ia mendjatuhkan dua kali hukuman kepada pentjuri itu.
Umar mendjawab : „Potong tangan karena mentjuri, dan tjambuk
karena ia mendustai Tuhan dengan qadarnja " .
Pernah mengaku beberapa orang jang hendak membunuh Us-
man bin Affan, bahwa bukan mereka jang akan membunuhnja,
tetapi Tuhan, jang menerangkan bahwa bukan manusia jang
menembak tetapi Tuhan jang menembak. Usman berkata : „Engkau
dusta. Djik a Tuhan jang menembak, tembakan itu tidak akan me-
ngenai daku".
Djuga dari tindakan sahabat kita melihat, bahwa perbuatan
manusia tidak semuanja dapat dianggap akibat qadar Tuhan. Dan
sahabat-sahabat itu mendjatuhkan hukuman atas usaha dan ichtiar
manusia jang berbuat salah, dan melemparkan kesalahan itu ke-
pada qadar jang konon sudah ditetapkan Tuhan.
Al i bin Abi Thalib pernah menerangkan masaalah qadha dan
qadar ini demikian : „Tuhan menjuruh berbuat dengan kemauan
jang bebas dan melarang menjerah diri dalam sesuatu keadaan,
menekankan untuk mengerdjakan sesuatu jang mudah, tidak mem-
bolehkan berbuat ma'siat karena paksaan, tidak boleh menta'ati
sesuatu jang atas perintah djahat, Tuhan tidak mengirimkan Rasul
kemuka bumi ini untuk bermain-main, Tuhan tidak mendjadikan
langit dan bumi serta segala sesuatu diantaranja pertjuma, dan
sia-sia. Hanja orang kafirlah jang berpendapat sebaliknja'. Ke-
mudian ia membatja ajat Qur'an jang berbunji : „Tuhanmu soedah
meletakkan qadhanja kepadamu, bahwa kamu tidak boleh menjem-
bah selain daripadanja" (Qur 'an).
Bertalian dengan qadar ini timbullah persoalan hukuman atas
orang jang berbuat dosa besar. Perdebatan ini terdjadi dalam ma-
sa pemerintahan Al i bin Abi Thalib.. Pertanjaan ini ditimbulkan
oleh golongan aliran jang bernama Chawaridj, tatkala Al i berda-
mai dengan musuhnja dengan tjara tahkim kepada Qur'an. Orang-
orang Chawaridj berpendirian, bahwa orang jang beriman itu ti-
dak diperkenankan menjerah kepada orang-orang jang soedah
menentang hukum Islam.
Pertanjaan jang timbul itu berbunji, apakah orang jang berbuat
sesuatu dosa besar masih mukmin atau tidak mukmin, apakah orang
itu akan tetap selama-lamanja disiksa dalam neraka pada hari
kiamat atau kemudian beroleh ampunan Tuhan dan mendjadi orang
beriman kembali. Masaalah ini soedah menimbulkan kehebohan jang
demikian besarnja, sehingga merupakan pertikaian paham ulama
jang maha dahsjat. Orang menganggap, bahwa masaalah ini me-
rupakan pokok persoalan jang ditimbulkan aliran Mu'tazilah.
2. Filsafat sekitar i'tikad
Kira-kir a sekitar zaman pemerintahan chalifah ke I V timbullah
suatu tjara baru dalam alam pikiran orang Islam, jang dinamakan
filsafat atau mentjari kebenaran, termasuk mentjari kebenaran
sekitar Tuhan dan sifat-sifatnja.
Berpikir setjara filsafat ini sudah ada dalam kalangan orang-
orang Persi, orang-orang Junani dan orang-orang Rumawi bahkan
mereka sudah pernah mentjapai kemadjuan jang djauh dalam ilmu
filsafat ini.
D i Irak sudah berdiri banjak sekolah-sekolah jang mengadjar-
kan filsafat itu. sebagaimana djuga di Persia sudah banjak orang
membitjarakan, mempeladjari dan mengadjarkan ilmu filsafat itu,
baik disekolah-sekolah maupun diluarnja, djauh sebelum lahir
Islam. Orang-orang Arab banjak datang kesana mempeladjari ilmu
ini, seperti Hari bin Kaidah anaknja An-Nazar.
Sesudah lahir Islam dan agama ini tersiar disana, orang-orang
Islam mendapati keadaan jang demikian, lalu mempeladjarinja. Ke-
adaan ini ada djuga di Syria, dimana penduduknja djuga giat
mempeladjari filsafat, jang kemudian diikuti oleh orang-orang Islam.
Ibn Chalkan mentjeritakan, bahwa Chalid bin Jazid bin Mu'awijah
adalah orang Quraisj jang sangat banjak mengetahui tentang la-
pangan ilmu ini. Ia ahli tentang ilmu kimia, ilmu tabib, dan seorang
jang berpembawaan serta berkejakinan dalam kedua fan ini. Banjak
masalah-masalah jang dikupasnja dalam bidang ilmu pengetahuan
ini, menundjukkan ketjerdasan dan keahliannja. Ia banjak mengam-
bil ilmu ini dan prakteknja dari seorang pendeta jang bernama
Marianus Ar-Rumi . Diantara tiga buah karangannja jang penting
masih ada satu, dimana dibitjarakan banjak tentang Marianus
itu, teori-teorinja dan rumus-rumusnja.
Dengan masuknja ilmu filsafat ini kedalam kalangan kaum
Muslimin, banjak persoalan-persoalan Islam ditindjau kembali dari
sudut filsafat. Dengan demikian tertindjau pula ilmu-ilmu jang ada
sangkut pautnja dengan aqidah atau i tiqad dan keimanan Islam.
Maka banjaklah ulama-ulama jang sudah ahli dalam filsafat mem-
bahas kembali sifat-sifat Tuhan jang tersebut dalam Qur'an, apa-
kah ia bukan zat atau ia mendjadi satu dengan zat Tuhan, apakah
kalam itu sifat Tuhan, apakah Qur'an itu machluk, dibikin atau
ditjiptakan, atau qadim memang sudah ada pada azalnja. Lalu
dikemukakan oranglah bermatjam-matjam pokok pembitjaraan jang
dibahas, dari satu sudut dengan memakai dalil agama, dari lain
sudut dengan menggunakan tjara berpikir menurut ilmu filsafat.
Ditondjol-tondjolkan kembali pembitjaraan tentang qadar, sampai
kemana berpengaruh kepada kemauan manusia dan perbuatannja,
apakah manusia jang berbuat sesuatu puas menurut kehendaknja
atau ia hanja berbuat digerakkan oleh qadha dan qadar Tuhan,
sehingga manusia itu hanja sebagai bulu ajam jang diterbangkan
angin, bergerak dengan tidak mempunjai kemauan sendiri.
Baik terdorong oleh keinginan hendak mempertahankan kemur-
nian Islam baik digerakkan oleh hasrat hendak menjiarkan adjaran-
adjaran sutji daripada agama itu, banjak sekali ulama-ulama be-
kerdja dengan giat dalam menjelesaikan masaalah-masaalah sekitar
i'tikad. Maka terdjadilah dalam zaman itu banjak sekali mazhab-
mazhab dan aliran pikiran jang berdasarkan i'tikad, seperti Djaba-
rijah, Mu'tazilah, Murdji'ah, Asj'ariah, Maturidijah, Hambalijah,
jang masing-masing berdjuang mati-matian untuk mempertahankan
pendirian-pendiriannja.
Sudah kita katakan, bahwa berpikir setjara filsafat ini sudah ter-
djadi sedjak Thaïes dalam masa Junani dan sedjak Zarathusthra di
Iran, djauh sebelum lahir Islam.
D i Iran Zarathusthra tertjatat-sebagai pentjipta agama dan fil-
safat mula pertama, jang pernah mempengaruhi alam pikiran ke-
tuhanan di Iran sekitar 1000 atau 1200 th. sebelum Masehi. Ia
terkenal djuga dengan nama Zoroaster atau Zerdusht. Ia termasuk
keluarga Spitama, lahir di Bactria atau di Media, ditepi sebuah su-
ngai, jang pada suatu kali bandjirnja hampir membahajakan djiwa-
nja, djika ia tidak ditolong oleh jang dinamakannja Ahuramazda,
jang kemudian mewahjukan adjaran-adjaran ketuhanan jang maha
esa kepadanja.
Adjarannja berdasarkan kejakinan pertentangan dua kekuatan,
biasa disebut kejakinan maniyu, jang bersifat membangun dan me-
neruskan. Tiap benda dalam alam ini tidak terdjadi sendiri, tetapi
ada hubungannja antara satu sama lain.
Ahura merupakan pohon pentjipta, lengkap, tidak berubah-ubah,
pembina langit, pentjipta seluruh alam. Didalam kitab sutjinja
Avesta disebutkan, bahwa kedua pusat kekuatan dalam kedjadian
dan perubahan alam ini ialah, pertama tjahaja, jang ditjiptakan
oleh Ormuzd dan malaikat-malaikatnja Amshaspends, kedua keku-
atan perusak jang merupakan kegelapan diadakan oleh Ahriman
atau Ahuramazda serta dewa-dewanja. Api sebagai lambang ke-
sutjian adalah pendjelmaan Ormuzd. Kedjajaan dari kekuatan itu
hanja dapat diperoleh, kalau manusia itu dalam tindakannja benar,
sutji kuat memegang agamanja dan bersungguh-sungguh menger-
djakan segala urusan pertanian.
Pada waktu Mani berumur 25 th., ia menjatakan dirinja sebagai
Mudjaddid, pembaharui daripada agama Zoroaster. Pandangan
filsafatnja tidak lagi berdasarkan pertentangan dua kekuatan tjahaja
dan kegelapan (Zarfani), tidak pula dengan adjaran, bahwa djasad
manusia itu terdjadi karena Ahuramazda (Avestan) tetapi dunia itu
tidak didjadikan oleh Tuhan hanja oleh setan, jang menjebabkan
banjak anasir-anasir kedjahatan dalam diri manusia. Oleh karena
itu Mani mengandjurkan, supaja manusia sendirilah jang harus
berusaha dan berichtiar melenjapkan hawa nafsu jang dapat me-
rusakkan dirinja, meninggalkan penjembahan berhala, meninggalkan
kepalsuan dalam kata-kata dan perbuatan, meninggalkan nafsu
tamak dan serakah, meninggalkan bunuh membunuh, d.U. mening-
galkan segala sifat jang buruk dengan usaha dan ichtiar manusia
sendiri.
Sebagaimana di Timur filsafat ketuhanan ini dilakukan orang
di Junani, jang ahli-ahli pikirnja, seperti Thaïes, Anaximandros dan
Amaximenes, turut memikirkan apa jang mendjadi sebab ada dan
tiada (wudjud dan adam), sebab hidup dan mati alam serta machluk
ini.
Thaïes (625-545 seb. M.), menetapkan bahwa air jang tjair itu
adalah pokok pangkal kedjadian machluk. Ia menetapkan bahwa
air itulah pangkal wudjud. Anaximandros (610-547 seb. M.), meng-
ambil kesimpulan, bahwa jang mendjadi zat asal pentjipta alam itu
ialah api. Ia menganggap djuga; bahwa djiwa jang mendjadi dasar
hidup itu serupa dengan angin atau udara. Anaximenes (585-528
seb. M.) menerangkan bahwa zat pentjipta itu selain dari pada hawa
atau udara, djuga air dan tanah. Dengan demikian terkumpullah
teori Tuhan, bahwa zat pentjipta itu ialah air, api, angin dan tanah.
Dalam pada itu datang seorang ahli filsafat Junani jang lain, Herak-
leitos (540-480 sb. M.), menerangkan, bahwa zat asal pentjipta
itu ialah logos, jang diartikan akal pikiran jang benar, jang me-
nguasai hukum alam dalam segala perubahannja. Sebagaimana
logos menguasai alam, begitu djuga perbuatan manusia akan di-
kuasai oleh akalnja (ratio).
Sesudah zaman kekatjauan filsafat ini datanglah Xenophanes
(580-470 seb. M.), jang berpendapat bahwa Tuhan itu ada (wu-
djud), tidak banjak melainkan satu (wahdaniah). Zeno (490-
seb.M.) mengatakan, bahwa wudjud itu adalah pentjipta jang tidak
mempunjai ruang untuk tempatnja, sedang Melissos (444-441 seb.
M.) menegaskan bahwa zat pentjipta itu mestilah kekal atau baqa,
tidak berbatas, satu tunggal, selalu sama, tidak bergerak dan
tidak merasa susah. Dalam adjaran Pythagoras diterangkan, bahwa
manusia itu asalnja Tuhan. Djiw a itu adalah pendjelmaan dari pada
Tuhan, jang djatuh kedunia karena berdosa, dan akan kembali
kelangit kedalam lingkungan Tuhan semula, apabila sudah habis
ditjutji dosanja. Oleh karena itu Pythagoras mengandjurkan, bahwa
manusia tidak tjukup membersihkan hidup djasmaninja sadja, te-
tapi djuga hidup rohaninja, dengan zikir atau ingat kepada Tuhan-
nja. Menurut kejakinan kaum Pythagoras setiap waktu manusia
itu harus menanggung djawab dalam hatinja tentang perbuatannja
sehari-hari. Hidup didunia ini menurut Pythagoras adalah perse-
diaan buat hidup diachirat.
Semua aliran ketuhanan itu, baik jang berasal dari Iran dan
India maupun jang berasal dari Junani, ataupun jang kemudian ter-
dapat dalam agama Masehi dan Islam, menerangkan bahwa ma-
nusia itu harus menempuh djalan jang bertingkat-tingkat dalam
kehidupan djasmaninja dan rohaninja untuk mentjapai puntjak
tudjuannja. Djalan bertingkat-tingkat itu dalam agama Budha, dise-
but djana, dalam agama Keristen dan Islam disebut martabat, jang
tidak lain maksudnja ialah pada tingkat jang tertinggi dan
terachir itu mendjadi satu atau kembali kepada Tuhan. Keadaan
jang sematjam itu kita lihat dalam kehidupan Indjil antara Paulus
dan Johannes, dalam Islam seperti jang terdjadi dengan Imam
Ghazali, dalam abad pertengahan, seperti jang terdjadi dengan
Bernardus dari Clairvaux dan Thomas Aquino, dalam masa pem-
baharuan Masehi seperti Luther. Orang Katolik mengadjarkan ich-
wal-ichwal jang tumbuh dalam djiwa manusia, tidak lain dari
pada pertjikan limpah kurnia dari jang maha murah. Kejakinan
jang sungguh-sungguh jang mengatasi ukuran hidup Zuhud biasa,
menurut paham Katolik dapat membawa seorang manusia kepada
pertemuan lengkap dengan orang-orang jang sudah diresapi Tuhan
(goddelijk menschen), seperti Jesus, sehingga orang jang soedah
diilhami seperti itu, akan* berkata : Bukan saja jang hidup, tetapi
Christus jang hidup dalam diri saja.
Paham-paham ketuhanan seperti ini kemudian ditambah pula
dengan pendapat-pendapat jang dikemukakan oleh Socrates, Plato,
dan Aristoteles, jang kitab-kitabnja banjak dipelihara dan disalin
kedalam bahasa Arab serta tersiar luas. Adjaran-adjaran itu me-
nguatkan pendirian-pendirian adanja (wudjud) Tuhan. Adjaran
neo Platonisme, jang terdjadi beberapa waktu kemudian sesudah
Plato, menerangkan, bahwa zat jang menguasai segala sesuatu
dalam alam ini satu, dan merata (muhid). Satu atau wudjud itu
harus dianggap sebagai Tuhan, jang mempunjai 2 sipat, pertama
immanent, berada dalam zat alam atau machluk, karena djika tidak
demikian, tidaklah dapat dunia dan machluk ini. Kedua trancendent,
berada diatas segala bajangan pantjaindra, diatas dan diluar alam
serta machluknja, karena alam dan machluk dibatasi oleh waktu
dan ruang, sedang zat pentjipta itu tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu.
Paham-paham ini sangat menguntungkan ahli-ahli filsafat Islam
dalam mempertahankan pendiriannja, dan menggunakannja dimana
perlu untuk kesutjian adjaran-adjaran agama. Kedua paham ini
*) Studi lebih landjut tentang filsafat Junani, batja : Alam Pikiran Junani 1
dan, II oleh Mohammad Hatta, diterbitkan oleh Tintamas — (Penerbit).
ada dalam Quran. Pengetian jang pertama diantara lain
ada dalam surat As-Sadjdah, ajat 54, jang berbunji : „Keta-
huilah, bahwa mereka itu selalu ragu-ragu tentang menemui Tu-
hannja. Bukanlah Allah itu meliputi seluruh sesuatu jang ada."
(Qur'an XL I : 54). Pengertian jang kedua diantara lain ada
dalam surat At-Ti n ajat 4— 8 : „Kami djadlikan manusia itu dalam
bentuk jang sangat indah, kemudian kami kembalikan kepada ting-
ka,t jang paling dibawah, ketjuali mereka beriman dan beramal sa-
leh, merekalah jang akan mendapat gandjaran tidak terbatas, Apa-
kah masih ada alasan bagimu untuk mendustakan agama, bukanlah
Allah iflu hakim seadil-adilnja", (Qur'an X C V : 4—8) .
3. Djabariah dan sifat Tuhan
Pokok-pokok pembitjaraan jang merupakan pertikaian paham
dalam aliran-aliran ijang tumbuh itu pertama ialah mengenai Sifat
Tuhan, apakah Sifat itu zalt Tuhan sendiri atau tjip'jaan jang
terlepas daripada zal Djik a tjiptaan sifat itu terlepas daripada
zat masih lajaklah Tuhan itu dikatakan satu tunggal (wahdanijah).
karena zat dan âifat itu sudah terpisah djadi dua jang beriainan,
jaitu zat Tuhan jang qagim, tiada berawal dan bepermulaan dan
sifat Tuhan jang hadi'ä, jang bepermulaan karena ditjiptakan
baharu kemudian.
Oleh karena itu Djabarijah tidak ingin memberikan sesuatu sifat
kepada Tuhan, tidak ingin memberikan sifat Tuhan itu hidup
{haijjun), tidak ingo'n memberi sifat Tuhan itu mengetahui (Umuri),
serta mengatakan, bahwa alasan tidak mau memberikan sifat Tuhan
itu, karena dapat membawanja kepada baharu, bepermulaan atau
hadis. Begitu djuga dengan sifat-sifat Tuhan jang lain seperti
kalam berbitjara, qadar atau qudrat, berkuasa, iradat berkehendak,
dan lain-lain.
Paham Djabarijah ini ditentang oleh banjak ulama-ulama Islam,
dmn'iaranja Hasan Basri dan Ibn Abas, diantara lain, dikala Ibn
Abas ini mentjeritlerakan, bahwa pada suatu hari tatkala ia duduk
bersama dengan ajahnja, datang seorang laki-laki seraja berkata :
,,Hai Ibn Abas ! Ini ada segolongan manusia, jang mengaku, bahwa
mereka mengerdjakan sesuaflu ma'siat atas gerak jang ditakdirkan
Tuhan". Djawab Ibn Abas : „Djik a kuketahui golongan itu hadir
disini akan kutjekik lehernja sampai mati. Djangan sekali-kali
engkau ka'.lakan, bahwa engkau soedah ditakdirkan dengan kekua-
saan Tuhan (adjbara) berbuat ma'siat, dan djangan engkau kata-
kan djuga Tuhan tidak mengetahui apa jang dikerdjakan hamba-
nja". (Al-Munijah wal Amal).
Hasan Basri pernah berfafiwa di Basrah dihadapan orang-orang
Djabarijah : „Barangsiapa tidak pertljaja dengan qada dan qadar
Tuhan, djadi kafir, barangsiapa mengelakan dosanja kepada Tu-
han, djadi kafir, Tuhan tidak dita'ati karena paksaan, dan manusia
tidak berbuat ma'siat karena terpaksa' (A-Mazahibul Islamijah).
Hasan Basri menerangkan, bahwa seorang dari Persia datang
kepada Nabi dan berkata : „Ak u lihat banjak di Persia orang
mengawini anak dan saudara perempuannja. Djik a ditegur orang,
mereka mendjawab, bahwa jang demikian itu sudah terdjadi dengan
qada dan qadar Tuhan. Nabi berkata : „Dikelak kemudian hari
akan ada dikalangan umatku orang-orang jang berkata de-
mikian. Mereka adalah golongan madjusi dari umatku".
Djabarijah adalah suatu aliran jang dituduh didirikan oleh orang-
orang Jahudi karena akan merusakkan kejakinan Islam dari da-
lam. Paham ini luas disiarkan orang dalam zaman sahabat dan
Bani Umaijah. Diantara jang giat menjiarkan paham ini ialah Al -
Dju'di bin Dirham, jang membawa paham ini dari orang-orang
Jahudi di Sjam dan menjiarkan di Basrah. Ia dibantu oleh Al-Djah -
mi bin Shafwan, dan oleh karena itu aliran tersebut dinamakan
aliran Djahmijah. Ada orang mengatakan, bahwa Al-Dju'd i me-
ngambil pendapat ini dari Iban bin Sam'an, jang mempeladjari
hal itu dari seorang Jahudi, bernama Thalud bin A'sam (Sjahral
Ujun, ulasan dari Rialah Ibn Zaidun).
Abu Zahrah menerangkan, bahwa pendapat ini tersiar dalam
masa sahabat Nabi, karena Thaulud pernah mendapati zaman Nabi
dan hidup dalam masa sahabat dan Thabi'in. Ada kitab-kitab
menerangkan, bahwa pendapat sematjam ini tidak hanja timbul
dalam kalangan lahudi, jang sengadja digerakkan untuk meratjuni
kejakinan umat Islam, tetapi djuga soedah ada tjara berpikir
jang sematjam itu dalam alam pikiran penganut adjaran Zardusjt
dan Manyu. Al-Djahmi bin Shafwan jang terlalu giat menjiarkan
kejakinan ini adalah seorang jang berasal dari Persia. Churasan,
pada suatu masa ia kalah dalam peperangan dan mendjadi tawa-
nan, kemudian masuk Islam, diangkat mendjadi penulis Sjuraih bin
Haris dan pernah berhubungan dengan Nasar bin Sajjar. Ia dibu-
nuh atas kesesatan adjarannja oleh Muslim bin Ahwasz Al-Mazan'i,
pada achir pemerintahan Bani Marwan.
W a k tu hidup Bin Shafwan itu sangat giat menjiarkan aliran
ini di Churasan dan sekitarnja. Sesudah ia mati pengikut-pengikut-
nja mengadjarkan paham tersebut di Nahwand. Penjiaran itu terus
dilakukan sampai tersiar pula disana aliran jang dinamakan Mazhab
Abu Mansur Al-Maturidi, jang mengalahkan paham Djahmijah itu.
Diantara pendapat-pendapat ulama terhadap aliran Djabarijah
ini, kita sebutkan Ibn Qajjim, jang menerangkan dalam kitabnja
„Sjifaul 'Alil", bahwa paham dan haluan Djabarijah ini berten-
tangan sekali dengan keterangan-keterangan jang berasal dari
Nabi Muhammad, sebagaimana jang disebut perbedaannja diba-
wah ini, merupakan pertentangan dua pendirian itu.
Djabarijah berpendapat, bahwa seluruh gerak manusia ditentukan
Tuhan itu wadjib dijakini agar tauhid ketuhanan itu bulat ada
pada Tuhan jang satu tunggal. Tauhid tidak dapat berdiri ketjuali
dengan mengembalikan segala qada dan qadar itu kepada
Tuhan semata-mata. Djik a kita tidak mengakui demikian, dan
kita berpendapat, bahwa manusia itu mempunjai daja-upaja sendiri,
maka artinja itu kita mengaku ada pentjipta jang hadis atau jang
baharu berpermulaan selain Allah, jang turut mentjiptakan sesuatu
bersama Allah. Djik a manusia itu berkehendak, dia dapat berbuat,
djika ia tidak berkehendak ia tidak berbuat. Ini mengakibatkan
sjirk, kita tidak dapat melepaskan diri kita daripada bahaja ini
ketjuali dengan pengakuan, bahwa segala daja-upaja dan kehendak
manusia itu berlaku semata-mata atas kehendak Tuhan.
Golongan Sunni berkata bahwa pendirian daja-upaja manusia
itu berlaku atas kehendak Tuhan semata-mata (Djabar), bahkan
merusakkan tauhid, karena bertentangan sekali dengan sjari'at
Tuhan dan adjaran Rasul, tidak sesuai dengan pendirian Islam
mengenai adjaran pahala dan siksa. Djik a kita benarkan pendirian
Djabarijah itu berarti bahwa kita membatalkan seluruh adjaran
Islam, membatalkan seluruh amar dan nahi, jang berakibat tidak
ada lagi kebidjaksanaan terachir daripada Tuhan mengenai urusan
pahala dan siksaan.
Maka dengan demikian terdjadilah pertentangan jang hebat
antara Djabarijah dan mazhab Ahl i Sunnah. Pembitjaraan berlarut-
larut mengenai persoalan ini soedah memetjah belahkan umat Is-
lam dan meratjuni kejakinannja. Orang dapat membatja suasana
jang dahsjat ini dalam kitab Al-Murtada dan dalam kitab Al-Mu-
nijah wal Amal.
Tatkala Ibn Abas menghadapi orang-orang Djabarijah di Sjam,
ia mengetjam dengan sangat pedas pendirian mereka itu, diantara
lain demikian : „Kemudian daripada itu, apakah kamu sedia me-
njuruh manusia berbuat taqwa, sedangkan dengan pendirianmu
itu orang-orang jang taqwa itu mendjadi sesat? Apakah engkau
tega melarang manusia berbuat ma'siat, sedang dengan larangan-
mu itu malah kamu menggerakkan manusia berbuat djahat. Wahai
anak-anak orang munafik dari zaman jang lampau, wahai pem-
bantu-pembantu kezaliman jang tersesat dan pengundjung-pengun-
djung mesdjid jang fasik ! Apakah semua kamu orang jang me-
lemparkan segala kedjahatan kepada Tuhan, sedangkan kamu
berbuat kedjahatan itu njata-njata ?"
Memang Sjahrastani menerangkan dalam kitab Al-Milal wal
Nihal, bahwa ada segolongan ulama jang berpendapat, bahwa per-
buatan dan usaha manusia itu tidak turut ditjiptakan hanja manusia
jang ditjiptakan Tuhan. Aliran ini sebenarnja mengatakan jang de-
mikian itu menurut penafsiran lahir, sebagaimana jang kelihatan
dalam pekerdjaan se-hari2 pada pekerdjaan manusia itu, sedang
pada hakikatnja semua berlaku dengan kodrat dan iradat Tuhan,
manusia melakukan semua usahanja terpaksa (madjbur), artinja
pada hakikatnja tidak ada tjiptaannja, tidak ada kodratnja, tidak
ada iradatnja dan tidak ada usaha atau ichtiarnja, semua ditjiptakan
Tuhan pada adjalnja, sebagaimana Tuhan mentjiptakan segala ba-
rang padat dan tjair dengan segala sifatnja dan kekuatannja. Djadi
pengakuan ada usaha manusia itu hanja pada lahïr (madjazi), tidak
dalam pelaksanaan jang sebenarnja (hakiki).
Dalam pertjakapan se-hari2 kita1 katakan pohon kaju berbuah,
air mengalir, batu berguling, matahari terbit dan terbenam, langit
berawan dan menurunkan hudjan, sedang sebenarnja semua ber-
laku atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Demikianlah dengan
keadaan manusia sendiri, pada adjalnja berlaku atas takdir Tuhan,
dan perbuatan jang tidak sengadja pada manusia ini, tidak ter-
masuk dalam urusan pahala dan dosa, tetapi perbuatan jang soedah
ditjampuri dengan ,niat dan usaha manusia sendiri, dihukum menu-
rut peraturan pahala dan dosa, tidak dapat dimasukkan begitu sa-
dja sudah berlaku atas kehendak Tuhan (qadar, qada), untuk me-
lepaskan diri dari sesuatu perbuatan salah dan ma'siaf.
S J I 'A H
Dalam salah satu fasal sudah kita terangkan hubungan-hubungan
antara Qur'an dan mazhab-mazhab ahli sunnah, terutama mengenai
hubungan dengan empat mazhab, Sjafi i, Hanafi, Maliki dan Han-
bali bahkan pembitjaraan itu dengan pandjang lebar, karena ada
hubungannja degan Qur'an dan ilmu fiqh. Aliran-aliran fiqh ini
kita anggap aliran-aliran jang terpenting dalam Islam, dalam kita
mengikuti pengertian dan hukum-hukum Qur'an, dan oleh karena
itu kita kemukakan uraian pembitjaraannja jang agak meluas.
Meskipun demikian ada bermatjam-matjam aliran jang lain da-
lam dunia Islam, jang langsung mempengaruhi pengertian terhadap
hukum-hukum Qur'an, misalnja aliran-aliran i'tikad, aliran tarekat
dll. Untuk kesempurnaan sedjarah Al-Qur'a n pembitjaraan tentang
aliran-aliran ini tidak dapat kita tinggalkan.
Kita mulai dengan aliran i'tikad sebagai tersebut dibawah ini.
Aliran Sji'ah sangat mempertjajai bahwa Muhamad bin Ali , sa-
lah seorang ananda Sajjidina Al i bin Abi Thalib, akan datang
kembali kedunia ini, karena ia bukan mati. Tetapi ia akan datang
menghidupkan keradjaan Bani Ali . Semasa hidupnja Muhamad
bin Al i itu pengikut-pengikutnja soedah banjak menda'wakan, bahwa
beliaulah Mahdi jang didjandjikän itu. Kepertjajaan ini bukanlah
terbit daripada Muhamad bin Ali , tetapi adalah bikinan daripada
pengikut-pengikutnja belaka, terutama Muchtar bin Abi Ubaid jang
mendjadi kepala fitnah pada masa itu.
Lalu terdjadilah golongan Sji'ah dan golongan ini pertjaja bahwa
Nabi .Muhammad bin Al i sekarang ini sedang bersembunji de-
ngan kudanja jang berwarna putih disuatu tanah lapang diantara
Mekkah dan Medinah, dimana ia akan datang. Akan kelihatan
tanda-tandanja. Dan sesudah ia datang maka dunia ini akan takluk
kebawah perintahnja.
Demikian kepertjajaan golongan ini.
Nama sji'ah itu pada awalnja berarti golongan, firqah, dalam
bahasa Arab. Tetapi sesoedah pada permulaan Islam nama ini teruta-
ma ditudjukan kepada suatu golongan jang tertentu, jaitu golong-
an jang membela Ali , Chalifah jang ke IV , suami dari anak Djun-
djungan kita Muhammad s.a.w. Siti Fathimah dan sepupu pe-
nuh dari Nabi karena ia anak daripada pamannja Abu Thalib.
Orang-orang Sji'ah itu artinja orang-orang jang masuk golongan
Sajjidina Ali , mempertjajai bahwa Sajjidina Al i itulah orang jang
berhak mendjadi pengganti Nabi sesudah beliau wafat, begitu pula
seterusnja, sesudah Sajjidina Al i itu meninggal dunia jang berhak
turun-temurun menggantikan mendjadi imam, jaitu kepala masja-
rakat kaum Muslimin hendaklah dari keturunannja pula, jang di-
sebut golongan Ali . Kepertjajaan ini bertentangan dengan adjaran
mengenai Chalifah, sebagaimana jang diakui oleh sebahagian besar
oleh orang Islam jang dinamakan Ahli Sunnah, golongan Sunnah.
Pada permulaan Islam kehormatan jang ditundjukkan kepada
keluarga Nabi berlainan tjoraknja dari pada apa jang terdjadi se-
sudah Nabi wafat. Djik a dahulu kehormatan itu hanja terbacas
dalam ketha'atan, kemudian kehormatan ini perlahan-lahan be-
rubah mendjadi suatu anggapan kesutjian jang berlebih-lebihan,
jang kadang-kadang menjimpang daripada adjaran iman dan Islam
sendiri.
Pada waktu Nabi wafat Sajjidina Al i dan Fathimah hanja ber-
oleh bahagian pusaka berupa beberapa bidang tanah jang mendjadi
kepunjaan sendiri daripada Djundjungan kita Muhammad s.a.w.
Chalifah-Chalifah jang pertama sebenarnja berkeberatan tanah itu
diserahkan kepada putri dan menantunja itu dengan alasan bahwa
potongan-potongan tanah tersebut tidak dapat dianggap kepunjaan
Nabi sendiri, tetapi hanja diurus oleh beliau sebagai kepala dari
masjarakat Islam pada waktu itu.
Konon menurut penjelidikan ahli sedjarah hal ini menimbulkan
rasa tidak senang dari keluarga Sajjidina Ali , diantara lain-lain
didorong oleh fitnah dari orang-orang pengikutnja. Konon pula
sesudah ia mentjapai kekuasaan tertinggi, jaitu dengan pertolongan
orang-orang dari golongannja menduduki singgasana Chalifah,
sesudah terbunuh Usman, Chalifah ka III , tertjapailah maksudnja
dan hilanglah rasa tidak senang mengenai keputusan beberapa Cha-
lifah sebelumnja.
Mengehadapi keangkatan Sajjidina Al i mendjadi Chalifah umat
Islam petjah atas dua golongan.
Mu'awijah, wali negara Chalifah Usman di Syria, pentjipta dy-
nasti Bani Umaijah, bangun menentang Chalifah Al i dengan mem-
pergunakan tentaranja jang ada di Syria, sambil mengemukakan
alasannja bahwa ia mengetahui atau menjetudjui pembunuhan atas
diri Sajjidina Usman, jang sesudah beliau terbunuh Sajjidina Al i
diangkat mendjadi Chalifah oleh pengikut-pengikutnja.
Dengan demikian terdjadilah jang pertama kali sesudah wafat-
nja Djundjungan kita Muhammad s.a.w. dalam kalangan pimpinan
Islam fitnah perpetjahan, jang mengakibatkan permusuhan dan
peperangan saudara serta perang seagama jang sangat menjedihkan.
Berpuluh-puluh tahun Djundjungan kita berdaja upaja membulat-
kan kaum Muslimin, menanamkan tjinta kasih sajang, tetapi rusak
binasa oleh fitnah jang ditimbulkan orang pada waktu itu, jang
menjebabkan peperangan keluarga jang maha dahsjat, jang djika
beliau masih hidup pasti akan mendapat kemurkaannja, karena
tidak sesuai dengan adjaran Allah jang dibawanja dan tidak sesuai
dengan kebangkitannja sebagai Rasul.
Kedjadian ini adalah salah satu dari pada bahagian darah dalam
sedjarah Islam, jang banjak menumpahkan air mata, jang sedjak
itu menampakkan persimpangannja.
Sajjidina Al i sendiri dalam tahun 40 H. (661 M.) dibunuh oleh
salah seorang jang fanatik agamanja, Ibnu Muldjam dari golongan
Charidjijah.
Sesudah ia meninggal dan sesudah gugur pula anaknja dalam
pertempuran jang dahsjat dimedan peperangan Karbala pada tahun
61 H. (680 M.) sebagai putra mahkota jang melawan Chalifah
Yazid dari Bani Umajjah itu, maka makin bertambah-tambah he-
batnja perkembangan golongan Sji'ah jang terpetjah itu, bertebaran
meluas dengan amat tjepatnja ketiap-tiap bahagian negara Islam,
mempropagandakan kandidat-kandidat Chalifah dari keturunan
Ali . Tjara-tjara golongan ini bertindak dan mengadakan penerang-
an-penerangannja, begitu djuga tjara-tjara orang-orangnja (da'i)
bekerdja, berlainan antara satu sama lain menurut keadaan dan
pengaruh setempat-setempat.
- Karena pemimpin-pemimpin Sji'ah ^tu, jang oleh pemerintah Ahli
Sunnah diburu dan dikedjar-kedjar, dan jang mentjari pengikutnja
dari penduduk-penduduk jang tidak senang dan jang tertekan, de-
ngan sendirinja harus menjesuaikan taktik propagandanja dengan
keadaan setempat-setempat itu. Dalam pada itu banjaklah golongan-
golongan jang menjimpang dari Ahl i Sunnah mendekati golongan
ini dan merupakan salah satu tjabang dari Sji'ah itu.
Demikian meluasnja paham Sji'ah itu lambat-laun mendjadi maz-
hab-mazhab jang tertentu dalam I'tikad, politik dan ibadat. Sam-
pai-sampai dalam golongan Sji'ah jang terlunak dalam kalangan
orang Arab seperti golongan Zaidijah, pengikut imam Zaid, jang
sekarang masih ada didaerah Arab selatan dan pada sebaha-
gian tanah Hedjaz, kita dapati peladjaran-peladjaran, jang oleh go-
longan Ahl i Sunnah dinjatakan menjimpang dari agama Islam jang
sebenarnja. Apatah lagi didaerah-daerah diluar Arab, dimana ter-
dapat golongan-golongan Sji'ah dengan paham-paham jang sangat
berdjauhan sekali dengan adjaran-adjaran jang bertemu dalam
adjaran Is'am. Dalam daerah-daerah ini kadang-kadang orang
mengangkat imam dari keturunan Ali , jang menurut pahamnja
mendjadi waliullah jang terbatas kekuasaannja diatas muka bumi.
Dalam sedjarah perdjuangannja sedikit sekali golongan Sjiah itu
mendapat sukses politik. Dlimana-mana ia ditekan dan sedjarah per-
lawanan adalah sedjarah pertumpahan darah jang berkepandja-
ngan. Lalu terdjadilah gerakan dibawah tanah, jang menimbulkan
adjaran-adjaran mengenai pengakuan imam setjara rahasia. Me-
nurut kejakinan mereka itu imam-imam itu selalu sambung me-
njambung dari keturunan Nabi. Sebuah teori mengatakan djumlah
itu tudjuh orang, jang lain menerangkan dua belas orang banjaknja.
Seorang jang penghabisan dari dua belas imam ini, sebagai jang
dikatakan diatas dengan tjara jang aneh sudah hilang keluar
dari bumi ini. Kelak pada hari penghabisan ia akan datang kem-
bali kedunia untuk mendirikan dan memimpin suatu negara jang
adil. Selama imam jang penghabisan ini belum datang dan men-
djelma sebagai Chalifah, golongan Sji'ah ini hanja menanti dengan
tabah dan pertjaja, akan kedatangan imamnja, dan sementara itu
mereka bersenang hati dengan pemerintahan sementara dari pe-
merintahan radja-radja duniawi dan dalam perkara-perkara agama
mereka beroleh pimpinan dan penerangan dari guru-gurunja jang
dinamakan mudjtahid.
Di Persi peladjaran Sji'ah ini (adjaran jang mempertjajai dua
belas imam) sampai abad ke XV I dalam pemerintahan dynasti
Safawi diakui sebagai agama negara, kira-kira sampai pemerintah-
an Ahli Sunnah, jang kekuasaan politiknja berada dalam tangan
pemerintahan sultan-sultan Turki Usmanijah jang perkasa itu. Oleh
karena itu antara Persi dan Turki ada suatu daerah jang
politik agamanja sangat bertentangan antara satu sama lain, dan
jang masaalah-masaalah chilafijahnja mempunjai sifat-sifat agama
jang fanatik.
Djumlah orang-orang Sji'ah ini ditaksir tidak kurang dari 5%
daripada djumlah orang Islam penduduk dunia seluruhnja, jang
berdjumlah tidak kurang dari 400 miljun.
Amal ibadat golongan Sji'ah ini serta kejakinannja meluas- sam-
pai ketanah Hindustan, tetapi sesudah keluar dari Persi sudah
banjak bertjampur dengan Ahl i Sunnah, sehingga sukar membe-
dakan kembali antara kedua kejakinan itu. Aliran ini dengan ke-
datangan Islam ke Indonesia melalui India terbawa djuga dan
sampai waktu jang achir masih kelihatan bekas-bekasnja. Per-
hubungan dunia antara Indonesia dengan negara-negara Islam,
istimewa dengan Mekkah dan Mesir, menjebabkan perlahan-lahan
bekas-bekas kejakinan Sji'ah itu lenjap dari masjarakat kaum Mus-
limin Indonesia, tetapi beberapa kedjadian seperti upatjara me-
rajakan hari sepuluh Muharram atau 'Asjura (perajaan jang
ditudjukan untuk memperingati hari gugurnja kedua anak Sajjidina
Ali , jaitu Hasan dan Husin, jang bagi orang Sji'ah adalah imam
jang kedua dan ketiga), masih ada dibeberapa tempat di In-
donesia. Perajaan tabut Hasan Husin baru sadja terhapus dibeberapa
daerah di Sumatra pada waktu jang achir-achir ini.
Keturunan-keturunan Nabi Muhammad melalui menantu Nabi,
Sajjidina Ali , jang ber