Terjadinya perkembangan dan perubahan yang terus menerus atau kontinu, manusia
mengalami peningkatan SDM yang sifatnya fluktuatif pada masa-masa tertentu adakalanya
pada masa-masa tertentu perkembangan sebuah keilmuan menjadi dominasi ilmu itu sendiri
misalnya kedokteran dan pertanian yang lain menurun/down. Begitu juga sebaliknya baik itu
sains, teologi, filsafat dan ilmu-ilmu yang lain. Begitu juga di tingkat teori, eskperimen
sampai tingkat aplikasinya, tergantung pada disiplin keilmuan. Dalam dekade-dekade akhir
ini memperlihatkan semua disiplin ilmu sampai dengan cabang-cabang keilmuan ataupun
terapan menunjukkan geliat atau ghirah yang hampir sama dengan menunjukkan kuantitas,
kwalitas pada diri masing –masing keilmuan.
Kosmologi yaitu cabang atau anak dari ilmu astronomi yang dalam perkembangan
dunia yang semakin modern menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah disiplin ilmu yang
bonafit, menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang mendalami ilmu ini karena termasuk ilmu-
yang lumayan sulit dijangkau dengan kemampuan intelek yang standar dan kemampuan
keuangan yang standar juga. Kosmologi yang lahir dari ilmu astronomi menjadi perhatian
tersendiri oleh para ahli (pemikir Muslim) bagaimana memandang ilmu ini dari kacamata
filsafat,teologi atau disiplin ilmu yang lain kaitannya dalam hal ini bagaimana membangun
teori dan bagaimana korelasinya, khususnya dengan Dunia Islam.
Sejarah perkembangan manusia dalam upaya memahami segala sesuatu telah
mengalami perkembangan. Dari tata cara berpikir yang tanpa konsep; yaitu perumusannya.
“ini sama dengan ini; ini yang bukan ini; yang bukan ini; segala sesuatu itu ini atau bukan ini,
menjadi tata cara berpikir dualitas secara konseptual (opsisi biner) yaitu yang dirumuskan
sebagai A=A; A non-A; segala sesuatu A atau non-A. Demikian itulah cara berpikir
Aristotelian.” Pada tahap berikutnya, Francis Bacon menyadarkan manusia bahwa dalam
kehidupan ini tidak cukup hanya dikatakan A=A atau mempelam itu mempelam. Yang
diperlukan yaitu menanam biji mempelam; agar pada saatnya nanti dapat dipetik buah
mempelam. Disitulah letak perlunya pengalaman melalui perbuatan empiris atau empiris,
buatan. Bacon mengorientasikan pengetahuan pada realitas dengan maksud untuk menguasai
alam.1
Tingkatan berikutnya yaitu tata cara berpikir integralistis, yaitu melihat sesuatu
secara tak terpisah-pisahkan dari keseluruhannya. Misalnya, bukan mengatakan “daun itu
hijau”, melainkan “daun itu memantulkan warna hijau, sebagai salah satu warna cahaya” cara
berpikir integral inilah yang akhirnya mempengaruhi gerak sejarah keilmuan abad ke 21,
sehingga bermunculan konsep-konsep tentang integrasi ilmu, bukan atomisasi ilmu—Reiser,
misalnya, menyebutnya dengan istilah “sinoptik” (integralistik) dan “fragmentaris”
(atomistik).2
Berdasarkan teori di atas penulis mencoba mengurai kosmologi dan Islam menurut para
ahli dimana titik temu dari kedua ini, yakni antara konsep tauhid sebagai dasar kesatuan
epistemologi keilmuan dan agama; dari paradigma positivistik-sekuleristik ke arab
teoantroposentrik, dengan corak corak keilmuan dan etika moral keagamaan yang
integralistik. Dalam konsep ini agama tetap dipertahankan seperti yang ada sekarang, bukan
berarti seperti yang selama ini terjadi, sehingga muncul sikap kehatia-hatian yang berlebih
karena adanya ketakutan berupa beban sosial dalam membahas sebuah keilmuan,
sederhananya takut dikatakan menegasikan Tuhan.
1. KOSMOLOGI DALAM KEBUDAYAAN MUSLIM DEWASA INI
Kosmologi merupakan sebuah cabang sains yang menarik dan barang kali
merupakan satu-satunya cabang ilmu yang memungkinkan para pemikirnya bebas
mengutarakan pandangan-pandangannya, termasuk membangun prinsip-prinsip religius
dan filosofis seperti halnya dalam bidang ilmu fisika dan astonomi. Kebebasan dalam
mengutarakan pandangan ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa dalam kurun
waktu yang lama hingga beberapa dekade yang lalu, kosmologi hanya memiliki sedikit
sekali data yang pasti sehingga ia pun menjadi cabang sains yang paling spekulatif.3
Kebebasan ini juga terjadi karena beberapa kitab suci telah memuat perspektif
dan gambaran religious tentang kosmos penciptaannya,isinya, tujuannya, dan
seringkaliuga tentang kemusnahannya. Data –data kosmologi meningkat pesat secara
eksponensial pada tahun-tahun terakhir ini hingga pada pembahasan mengenai usia alam
semesta yang meningkat dari perkiraan yang kemudian sering disampaikan kepada para
mahasiswasatu decade lalu yang kini diajarkan secara luas berdasarkan hasil penelitian
WMAP (Wilkinson Mikrowave Anisotropy) pada 2003,. Namun, tetap saja sebagian
besar buku kosmologi karya para penulis Arab yang terbit baru-baru ini mengganggap
kosmologi bukan sebagai cabang astronomi, melainkan, khususnya secara praktik,
sebagai sebuah cabang penafsiran Al-Qur’an.4
Pendekatan yang sering digunakan para penulis ini yaitu sebagai berikut:
memilih sebuah ayat Al-Qur’an yang membahas ‘isi alam semesta ’ seperti
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah
berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Q.S.
65 [12]
Setelah itu, mereka biasanya mulai menyampaikan pandangan-pandangannya
tentang alam semesta yang sering merupakan perpaduan antara pengetahuan tentang
‘fakta-fakta’ dari sains modern, pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an dari persfektif
bahasa maupun penafsiran, dan pandangan ‘ideologis’ mereka sendiri (misalnya, seorang
penulis bisa lebih condong pada teori alam semesta statis dibandingkan ekspansinya),
kecenderungan pendekatan kosmologi qur’ani memiliki berbagai kekurangan yang setara
dengan pendekatan I’jaz, keduanya jauh berbeda. Dengan pendekatan I’jaz ingin
membuktikan adanya konten ‘saintifik’ Al-Qur’an yang di anggap mendahului temuan-
temuan sains modern.5
Bahkan dewasa ini para penulis meyakinkan bahwa kita tidak harus selalu memulai
dari Al-Qur’an, tetapi juga perlu membangun pengatahuan yang utuh tentang alam
semesta dari penafsiran beberapa ayat Al-Qur’an, baik sedikit ataupun banyak, baik
umum ataupun spesifik.
2. Prinsip-prinsip Umum Kosmologi Islam
Ada kontroversi yang sangat kuat tentang kapan (kira-kira) akan muncul konsepsi
Islam yang utuh mengenai alam semesta dan apa yang memicu rumusan konsepsi
ini . Beberapa cendikiawan berpendapat bahwa kosmologi Qur’ani telah dirumuskan
sejak dahulu kala dan barang kali merupakan sains yang muncul paling awal dalam
Islam. Sementara itu, beberapa cendikiawan lain bersikeras bahwa para filsuf Islam
(falasifah)lah yang – setelah menyerap warisan ilmu Yunani kuno- berupaya
merumuskan sebuah konsepsi kosmos yang solid ( atas landasan rasional dan
astronomis) dan bisa kompatibel dengan Islam.6
Sayyed Hossein dan Muzaffar Iqbal berpendapat bahwa ilmu kosmologi pertama
kali muncul dalam deskripsi wahyu Islam tentang kosmos. Iqbal menganggap
‘Kosmografi Radian’ (al-hay’ah al-saniyah) sebagai ilmu yang muncul sejak masa nabi
dan para sahabatnya. Ilmu ini berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an dan dikontruksi
melalui penafsiran ayat-ayat ini . Ia berusaha keras menunjukkan bahwa pendekatan
yang ia gunakan dalamilmu kosmologi tidak hanya berasal dari sumber-sumber Islam
awal yang murni, tetapi juga tetap menjadi ‘”teori penting dan penyeimbang ilmu
kosmologi Aritotelian yang belakangan masuk ke dalam ranah pemikiran Islam melalui
gerakan penerjemahan ”.
Dari sinilah ia berpandangan bahwa ilmu kosmologi yang diruuskan para filsuf
bersifat eksternal dan Aristotelian, tetapi tidak islami, Iqbal menguatkan pandangannya
terhadap Kosmografi Radian dengan menunjuk beberapa ayat Al-Qur’an yang
mengandung ‘data kosmologis’ dan beberapa hadist yang berhubungan dengan peristiwa
penciptaan (seperti, uap air dan lain-lain). Al-Qur’an benar-benar memuat banyak
informasi tentang benda-benda kosmik, bahkan kosmografi, Al-Qur’an bahkan
mengandung informasi tentang tujuh langit dan tujuh bumi, menunjukkan Kursi (kursy)
dan Takhta (‘arsy) Ilahi, gunung kosmik (qaf) belum lagi planet-planet dan bintang-
bintang.
Nidhal Guessoum menjelaskan dalam rangkuman, prinsip-prinsip kosmologis inti
yang dapat disimpulkan dari Al-Qur’an:
a. Alam semesta diciptakan Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak dan eksklusif atas
penciptaan. Tindakan penciptaan oleh-Nya yaitu salah satu karunia dan rahmat.
b. Alam semesta diciptakankarena sebuah tujuan.
c. Keberlansungan alam semesta dijaga oleh Tuhan.
d. Kosmos dicirikan dengan sifat-sifat keutuhan, ketertiban, dan harmoni antara semua
elemen dan peristiwa di dalamnya. Iqbal menyebut ini sebagai teori Keseimbangan,
yang ia rujuk dari pendapat Jabir bin Hayyan (ahli kimia Muslim pada abad ke-9).
e. Waktu dan kronologi kosmos dalam Al-Qur’an bersifat kualitatif, semisal ‘hari-hari’
(ayyam), yang tidak dijelaskan durasinya secara khusus.
8Salah satu kejutan bagi pembaca yang pertama kali mendalamiAl-Qur’an yaitu
banyaknya ayat yang memuat informasi seputar alam dan fenomena fisik. Para
tafsirbahkan bergembira karena dibandingkan dengan 250 ayat yang berisi perintah
agama, terdapat lebih dari 750 ayat (sekitar seperdelapan Kitab) yang mendorong
pembaca merenungkan alam(ciptaan Tuhan) dan memanfaatkan pikiran sebaik mungkin
untuk memahaminya. Beberapa penulis seperti Iqbal berpendapat bahwa penekanan yang
demikian kuat inilah yang menjadi alasan utama di balik pengembangan sains dlam
Islam.
3. Sains (Hakikat dan asal usulnya)
Keyakinan bahwa alam yang teratur yaitu belum universal. Suku-suku bangsa
primitive, konon, hidup dalam suatu alam yang tidak teratur sama sekali, dan kita masih
mendapati jamaah yang melakukan sembayang istisqa’ walaupun mereka mungkin, ragu-
ragu berdoa’ agar matahari tetap beredar sebagaimana biasanya, hal itudisebabkan oleh
fakta bahwa astronomi merupakan satu cabang sains yang berkembang mendahului
meteorology (J.W.N sullivan). Kepada sains yang berpedoman prinsip-prinsip moral
universal bergantung pada kesinambungan eksistensi manusia modern.9
Masa lampau tanpa sains manusia tidak berdaya di hadapan angin dan badai, manusia
di porak porandakan oleh wabah dan penyakit dan diteror oleh takhayul-takhayul
irrasional. Instrument tiada tar yang dipunya sains yaitu pikiran manusia, lalu
menciptakan sains, dan sains membebaskan manusia dari takhayul. Tetapi dewasa ini di
jumpai kekecewaan terhadap sains dalam skala yang lebih luas,. Banyak janji yang di
sodorkan untuk mewejudkan suatu dunia yang lebih baik tetapi tetap tinggal janji.
Alasannya: sains mungkin telah mentranformasi dunia menjadi dunia desa, tapi dengan
begitu mau tidak mau musti mengejar penduduk desa dunia berbicara dan memahami
satudengan yang lain.
Untuk dapat mengajukan pertanyaan ‘apakah sains itu?’ perlu di pahami konsep-
konsep yang menempati inti pemikiran ilmiah modern yaitu:
1) Fakta.sains berangkat dari asumsi adanya fakta-fakta di alam ini, yaitu jelas bahwa
saintis menerima kesan-kesan inderawi berupa petunjuk-petunjuk pada sejenis alat,
sebagai fakta-fakta sebagai data. Fakta-fakta atau hipotesis yang berkenaan
dengannya di anggap valid jika paengamat yang lain dan independen berpesepakat
tentangnya, atau jika observasi yang dilakukan berulang-ulang pada waktu dan
tempat yang berlainan menelurkan hasil-hasil yang identik, dengan cara ini,
subyektivisme peneliti tereliminasi.
2) Hukum. Hubungan yang terdapat di antara fakta-fakta yang sekelompok dinamakan
suatu hokum atau prinsip. Hokum atau prinsip yaitu sekedar sistematisasi sesuatu
yang di amati. Dua contoh hokum atau prinsip yaitu :
a. Udara dalam kuantitas tertentu akan menghasilkan tekanan terhadap wadahnya
berbanding lurus dengan tempraturnya” (Hukum Boyle).
b. Di dalam proses seksual, karakteristik-karakteristik bawaan pasti diperantarai
oleh unit-unit yang ditansmisi dari induk ke keturunan, dan terkombinasikan
dalam semua cara yang mungkin.:(Hukum Mendel)
Untuk dapat merumuskan hokum, kita sangat memerlukan fakta-fakta tetapi fakta-
fakta an sich yaitu steril, sebelum ada pikiran yang mampu menyeleksinya-pikiran yang
dapat melihat sesuatu yang ada dibalik fakta. Inilah yang membedakan sorang yang
saintis yang baik dari seorang saintis yang cukupan.10
3) Hipotesa. Hpotesa yaitu dugaan sementara yang memberikan pemahaman awal
tentang apa yang sedang di teliti dan yang akan di uji dengan observasi atau
eksperimentasi dua contoh hipotesa:
a. Kemungkinan serangan kanker paru-paru terhadap seseorang berbanding lurus
dengan jumlah rokok yang di hisap setiap hari( hipotesa negative-positif).
b. Tingkat curah hujan di suatu tempat semakin tinggi apabila semakin banyak
orang sembayang istisqa’
Untuk menguji salah satu dari kedua hipotesa ini di atas, musti di kumpulkan
data yang memadai, supaya analisa yang akurat (dan validitas internal dan eksternal hasil
penelitian) di mungkinkan. Jika tidak, penelitian akan berakhir dengan kesimpulan-
kesimpulan yang menegangkan, semisal bertambahnya usia seorang manusia berkorelasi
dengan banyaknya jumlah rokok yang di hisap, atau semakin rendahnya curah hujan
dengan semakin banyaknya jumlah orang yang sembahyang istisqa’
4) Teori. Teori yaitu skema konseptual besar yang menempatkan berpikir dan
memberikan gambaran lengkap dalam domain validasinya. Tetapi, selain itu, teori
juga musti memenuhi criteria tertentu yang ketat:
a. Teori musti konsisten dengan seluruh data eksperimental dan observasional
b. Teori musti mengatakan sesuatu yang baru; artinya teori mustimemprediksi
fakta-fakta yang tidak diketahui sebelumnya tetapi yang dapat di uji.
Supaya teori bukan sekedar suatu hipotesis yang tersisipi subyektivisme, teori tidak
dirumuskan untuk menjelaskan seperangkat observasi yang berlingkup sempit. Tanda
resmi suatu teori sejati yaitu bahwa teori ini berlaku pada sekumpulan besar
fenomena,.misalnya teori gravitasi Newton berlaku secara umu, baik untuk seekor semut
yang berada diatas sebuah bola kriket, maupun untuk sebuah selonsonh sewaktu melintas
menuju sasarannya. Berlaku pula untuk bulan yang mengari bumi, dan mataharidalam
hubungannya dengan bintang-bintang yang lain. Kuncinya yaitu universalitas; artinya
dalam hal ini tidah usah bersusah payahmeminta bantuan teori lain untuk menjelaskan
setiap peristiwa yang berkenaan dengan suatu fakta baru.11
5) Induksi dan Deduksi. Memperhatikan keteraturan data yang diperoleh
memungkinkan kita mengumpulkan pengetahuan secara induktif dan membuat teori-
teori sederhana. Misalnya, sesudah melihat matahari terbit di timur dan terbenam di
barat setiap hari, kita dapat menarik kesimpulan secara induktif bahwa matahari
akan berperilaku demikian esok harinya . sebaliknya, dengan deduksi kita mulai
berfikir secara logis dengan aturan-aturan yang umum dan lalu menarik kesimpulan
–kesimpulan yang khusus, dengan menerapkan argument-argumen yang logis.
Akhirnya, sesudah mendefinisikan konsep-konsep yang benar-benar diperlukan bisa
mendefinisikan apa yang di kenal dengan Metode Ilmiah,. Kegiatan ilmu pengetahuan
lanjutan yang sesungguhnya tidak timbul melalui prosedur yang seimbang secara logika;
unsure-unsur kesempatan dan daya cipta kadang-kadang bertentangan dengan pendekatan
linier sederhana. Hal-hal ‘sederhana’ dari menetapkan persoalan, operasi ‘sederhana’
penyusunan hipotesis dan perencanaan eksperien – ini yaitu lebih dari suatu seni
ketimbang sains.
Tetapi apapun bisa saja menghambat sampai ke teori khusus, wasit terakhir dari
kebenaran yaitu pertimbangan eksperimen dan observasi dan kegunaan akhir dari teori
terletak dalam seberapa lama fakta dapat menjelaskan dan seberapa cepat sesuatu
disampaikan kepada kita. Sains yaitu ibarat bangunan yang terus menerus di pakai tetapi
diperbaiki terus menerus pula dalam ukuran dan pertambahan untuk memperluasnya.
Sains terus bertumbuh dari observasi primitive tentang alam sampai struktur kompleks
yang sangat besar yaitu hari ini. Sekurang kurangnya ada tiga kegunaan teori sains;
sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol.
4. Sains Islam
Sains Islam, yakni sains yang dikembangkan oleh kaum muslim sejak abad Islam
kedua, `sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban Islam.
Tanpa itu bukan hanya tidak aka nada sains Abad Pertengahan, Renainsans dan kemudian
menyusul Barat, melainkan juga salah satu studi paling penting tentang alam dalam
kaitannya sebagai semesta religious yang hanya mampu dicapai oleh sains Islam,. Selama
kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad Islam kedua hingga kesembilan, peradaban
Islam mungkin merupakan peradaban paling produktif dibandingkan paradaban manapun
di wilayah sains, dan sains Islam berada di garda terdepan berbagai kegiatan keilmuan
mulai dari kedokteran sampai astronomi.
Pentingnya sains Islam dalam peradaban Islam dan juga peranannya dalam
pembentukan sains di Barat yaitu keluasan subyeknyayang memerlukan perlakuan
berbeda-beda. Di sini pertama-tama perlu dipahami bahwa sains Islam bukan sekedar
lanjutan dari sains Yunani serta leluhur sains Barat, melainkan tidak lebih dari
penghubung antara sains kepurbakalaan, Yunani dan Aleksandria dengan sains Barat
yang mendomonasi peta keilmuan selama beberapa abad. Walaupun mereka
mempengaruhi sains Barat, namun sains Islam secara mandiri menelaah watak fenomena,
dan kausalitas, serta hubunganantar berbagai bentuk obyek.
Seluruh subyek ditelaah oleh sains Islam dibawah ajaran Al-Qur’an dan Hadist dan
menjadi sebentuk sains yang dikembangkan bukan sekedar sebagai tahap awal
perkembangan sains Barat walaupun berperan penting dalam dalam beberapa bidang
sains eksak dan kuantitatif seperti matematika dan astronomi. Sudut pandang Islam yang
independen dan berbeda dari kerangka filsafat sains Barat, harus selalu di ingat agar
mampu mengapresiasi secara utuh pentingnya sains Islam untuk Islam sebagai agama dan
untuk peradaban Islam.
ASTRONOMI. Bukan hanya karena dorongan untuk mencari imu pengetahuan dalam
Islam, tetapi juga karena peran khusus yang diberikan astronomi dalam upacara
keagamaan Islam seperti menemukan arah Kiblat dan waktu shalat, sejak awal kaum
Muslim sangat tertarik dalam mengobservasi ruang angkasa dan menelaah astronomi. Di
dsini perlu diketahui bahwa astronomi Islam menyatukan tradisi Babilonia, Yunani,
Persia, dan India berbarengan dengan Arab kuno dan menciptakan sintesis baru sehingga
memapankan astronomi dengan dasar yang lebih luas dibandingkan sebelumnya.
Astronomi Islam tertarik pada observasi sekaligus juga observatorium, dalam
merancang instrument dan dalam astronomi matematika,. Sejauh menyangkut astronomi
banyak astronom Muslim melakukan observasi baru, bukan sekedar menjiplak table-tabel
yang berasal dari observasi Yunani dan Babilonia, dan table-tabel Muslim ini disebut zij.
Berbagai zij ini semakin digali dan digali lagi hingga antara abad Islam keempat sampai
ketujuh disusunlah berbagai zij utama seperti zij Hakimiyyah yang di observasi di Kairo
pada abad ke empat oleh Ibn Yunus, zij Ill-Khaniah yang diobservasi oleh Nashir Al-Din
Al-Thusi dan mitranya di Maraghah pada abad Islam Ketujuh, serta zij Ulugh Beg yang di
observasi di Samarkand oleh Ulugh Beg dan sejumlah astronom lain pada abad
kesembilan. Karya-karya ini menjadi dukumen paling penting dalam observasi astronomi
pada seluruh periode yang disebut oleh Barat sebagai Abad Pertengahan.
Kaum muslim juga menunjukkan minat yabg luas dalam pengembangan alat-alat
observasi . Yang paling terkenal yaitu astrolabe ,. Walaupun namanya berbau Yunani’
alat-alat ini dikembangkan oleh Islam dan kenyataannya tidak ada astrolabe yunani yang
tersisa. Astrolab Islam mulai dibuat pada awal sejarah Islam dan selama ribuan tahun
terakhir seni astrolabe sering memadukan seni yang indah sekali dengan kecermatan
saintifik sehingga menghasilkan instrument yang sangat indah dan sangat berguna yang
begitu penting bagi para navigator dan astronom sebelum zaman modern.
Perkembangan astronomi ini kemudian tidak didukung oleh Negara-negara Islam itu
sendiri kecuali oleh beberapa astronom saja. Para astronom Islam berikutnya merasa puas
hanya dengan mengulang perhitungan generasi sebelum mereka dan menganggap
astronomi semata-mata sebagai praktik observasi terhadap ruang angkasa. Perhitungan
matematika yang mereka kembangkan pun berangsur-angsur menjadi using dan
kemudian mandek setelah abad Islam kesembilan dan kesepuluh. Penting untuk dicatat
bahwa beberapa ilmuan Muslim di Maraghah dan kemudian di beberapa observatorium
lain telah berencana bekerja sama dengan sekelompok ahli matematika untuk bersama-
sama menghitung sejumlah sasaran dan memeriksa kesalahan penghitungan mereka
sebelumnya.
5. Pengaruh Sains Islam
Sains Islam mempunyai pengaruh besar baik di Barat maupun di India dan Cina, dua
peradaban besar di timur dunia Islam yang senantiasa kontak dengan Islam secara
ekstensif. Tanpa sains Islam, perkembangansains di tiga peradaban ini bisa jadi akan
berbeda. Hal ini terutama bisa terjadi di Barat yang secara alamiah menjadi pusat
perhatian karena perkembangan sains modern terjadi di barat dan akibatnya terhadap
seluruh muka bumi. Antara abad Kristen kesebelas dan ketiga belas banyak karya-karya
sains Islam yang besar diterjemahkan ke dalam bahasa latin terutama di Spanyol dan juga
di sisilia dan sesekali di Italy.
Beberapa ilmuan Muslim seperti Ibn Sina dan Al-Razi menjadi nama yang sangat
disegani di Barat. Kedokteran Islam menjadi pondasi bagi dunia kedokteran Eropa hingga
memunculkan tokoh ikonoklastik seperti Paracelsus, yang menentang praktek kedokteran
tradisional dan mendirikan ilmu kedokteran baru, menghancurkan Al-Qanun fi’il Thibb
Ibn Sina di Basel sebagai kedokteran tradisional. Kita dapat melihat pola yang sama
dalam bidang matematika karya-karya utama Al-Khawarizmi dan yang lainnya di ajarkan
di beberapa universitas Barat selama berabad-abad.19
Tabel-tabel astronomi yang di rakit di Barat seperti Alfonso Yang Bijaksana di
Spanyol di buat berdasarkan zijes Muslim. Karangan-karangan tentang Aljabar yang
ditulis kemudian pada abad pertengahan dan Masa Renaisans sebagian besar berdasar
pada karya Khayyam. Karya-karya alkimia dan kimia dalam bahasa latin banyak
mengutip perbendaharaan kata Arab secara persis karena tidak ada perbendaharaan kata
Latin yang sesuai dengan bidang ini. Juga penting untuk disebutkan disini bahwa hamper
seluruh risalah sains Islam yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berasal dari bahasa
Arab.
Banyak karangan dalam bahsa Persia, yaitu bahasa Islam kedua dalam bidang sains
dan bahasa yang kemudin banyak digunakan untuk menulis karya –karya sains Islam
berikutnya seperti halnya juga Turki dan India, tidak dikenal oleh dunia modern.
Konsekuensinya banyak perkembangan sejarah sains Islam berikutnya juga tidak dikenal.
Para sarjana Muslimlah yang harus menyajikan tradisi sains Islam menurut sudut pandang
Islam itu sendiri dan bukannya menurut sudut pandang saintisme, rasionalisme dan
positivism yang telah mendominasi sejarah sains di Barat sejak pemapanan disiplin pada
awal Abad kedua puluh di Eropa dan Amerika.
6. Makna Sains Islam Bagi Kaum Muslim
Makna tradisi ilmiah Islam yang luas bagi kaum Muslim dan khususnya bagi generasi
muda Muslim bukan hanya karena hal itu member mereka rasa bangga terhadap
peradaban yang mereka miliki dengan prestisenya yang masih ada sampai sekarang. Hal
itu lebih jauh merupakan pembuktian bahwa Islam mampu menghasilkan berbagai bidang
sainssecara ekstensif tanpa terasing dari dunia Islam itu sendiri, dan tidak menciptakan
sains yang penerapannya akan merusak alam dan harmoni yang harus ada antara manusia
dengan alam sekitarnya. Sains Islam bukan hanya penting menurut sudut pandang sains
yang dipahami oleh Barat pada saat initetapi sains Islamjuga memiliki makna spiritual
dan intelektual.20
Pencapaian besar ilmuwan-ilmuwan Muslim yaitu bahwa mereka mempunyai
standar pemikiran kritis yang sangat ketat dan integritas, tetapi pada saat yang sama juga
tidak kehilangan keyakinan atau menjadi terasing dari pandangan Islam terhadap alam
semesta yang menjadi sumber seluruh sains Islam. Sains Islamberlanjut sampai abad
Islam kesepuluh, kesebelas, dan kedua belas khususnya dalam bidang kedokteran dan
farmakologi. Jika kita hendak membicarakan keruntuhan sains Islam, hal itu terjadi hanya
dua atau tiga abad belakangan ini saja, kita seharusnya mempertimbangkan seluruh dunia
Islam.
Dan seharusnya kita tidak merasa malu dengan kenyataan itu karena tidak ada
peradaban dalam sejarah sains yang selalu berminat pada ilmu-ilmu alam sepanjang
perjalanan sejarahnya. Ada periode ketka minat itu begitu tingginya dan kemudian
menurun dalam setiap peradaban, dan tidak ada alsan mengapa kita harus menyejajarkan
penurunan semangat dalam sains Islam otomatis juga sebagai dekadensi peradaban
ini . Ini yaitu pandangan orang-orang Barat yang modern yang selalu
menyejajarkan peradaban dengan sains seperti yang dipahami dalam makna modern,.
Padahal, masalah itu yaitu sudut pandang yang menyimpang yang kini mulai banyak
diragukan oleh orang-orang di Barat sendiri.
Dekadensi yang terjadi dalam dunia Islam berlansung pada periode sejarah Islam
Berikutnya, lebih lambat daripada yang dinyatakan selama ini, fakta ini akan sangat
substansial jika sejarah sains dan peradaban Islam yang integral ditulis suatu hari nanti,
sayangnya sampai hari ini sejarah yang terperinci seperti itu belum ada dan terlebih lagi
banyak karya kesarjanaan yang telah dihasilkan dalam bidang ini telah diambil alih oleh
sarjana-sarjana Barat yang secara alamiah sangat tertarikpada aspek-aspek sains Islam,
yang telah menanamkanpengaruhnya di Barat. Ini menjadi tugas para cendikiawan dan
ilmuan-ilmuan Muslimuntuk melihat kembali seluruh tradisi keilmuan ini menurut sudut
pandang Islam dan dinamika batin sejarah Islam itu sendiri..
7. Penciptaan Alam Semesta dalam Al-Qur’an
Anggapan umum baik dulu maupun sekarang, bahwa Al-Qur’an berisi macam-macam
sains, tekhnologi lain-lain, kemudian mereka menambahkan ke dalam tafsir Al-Qur’an
berbagai cabang ilmu pengetahuan ang banyak disebut orang zaman dahulu maupun
sekarang seperti ilmu fisika, falak, kimia, semantik, kedokteran lain-lain. Anggapan
ini tidak berdasar sama sekali, Al-Qur’an sendiri yang mendustakannya, karena Al-
Qur’an tidak ada maksud mengutarakan sesuatu seperti yang di angggap.
Semua ayat Al-Qur’an hanya merupakan bahan pemikiran untuk membuktikan
keagungan ALLAH SWT. Dan prinsip hukum untuk mengatur perilaku dan perbuatan
manusia. Kalau di dalam Al-Qur’an terdapat sesuatu yang sejalan dengan teori sains atau
sesuai dengan kenyataan ilmiah, itu semata-mata hanya bermaksud sebagai pembuktian
tentang kekuasaan ALLAH SWT. Bukan untuk menetapkan kebenaran suatu sains.
Al-Qur’an tidak mengetengahkan masalah-masalah penelitian ilmu pengetahuan,
tidak ada kata-kata maupun kalimat-kalimat yang menguatkannya dan Rasul SAW. Tidak
pernah menjelaskan masalah itu, karena Al-Quran tidak mempersoalkan sains. Jadi
persoalannya ialah teori sains atau kenyataan ilmiah memang berguna untuk memahami
ayat-ayat yang sejalan dengan itu. Syarat penggunaan teori Ilmiah sebagai pembantu
memahami Al-Qur’an ialah teori itu harus merupakan kesimpulan terakhir (yang sudah
eksak) dan tidak menghadapai kemungkinan adanya koreksi atau tidak terbantah
kebenarannya.
Dewasa ini umat Islam dan para ulamanya, terutama para penafsir Al-Qur’an,
menerima begitu saja pandangan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an enyebut penciptaan
alam semesta sebagai tindakan ex-nihilo (oleh ALLAH) –atau penciptaan dari ketiadaan.
Itu artinya, mereka menggunakan temuan ilmiah terbaru untuk merekontruksi kisah
penciptaan dari ayat-ayat Al-Qur’an seputar topic ini, tidak seperti dalam kitab kejadian
(al-Kitab) yang memuat semua ayat tentang penciptaan disatu bagian khusus. Kisah
penciptaan dalam Al-Qur’an dapat diringkas dalam ayat-ayat berikut (perhatikan bahwa
di dalam Al-Qur’an , letak ayat-ayat berikut tersebar di banyak tempat).
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, lalu dia bersemayam di atas 'Arsy[548]. dia menutupkan malam kepada siang
yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-
bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.(Q.S 7[54])
[548] bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan
kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.
Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua
masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu yaitu Rabb
semesta alam".
Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya
dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa.
(Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.
Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu
dia Berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku
dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".
Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. dia mewahyukan pada tiap-tiap
langit urusannya. dan kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang
dan kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Q.S 41 [9-12])
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala
sesuatu.(Q.S 2 [29])
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu yaitu suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan
dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?(Q.S. 21[30])
Fakta yang disebutkan Al-Qur’an bahwa alam semesta diciptakan dalam enam ‘hari’
tampak menyiratkan awal mula terjadinya alam semesta. Namun, sebagaimana yang
ditunjukkan para cendikiawan Muslim besar abad pertengahan (Ibn Rusyd, Ibn Sina, dan
beberapa yang lain), dibawah pengaruh besar pemikiran Yunani, sesorang yang memiliki
pandangan kosmologi Islami pastilah berlandaskan asumsi bahwa peristiwa penciptaan alam
terjadi pada waktu yang sangat lampau.
Dengan melakukan pembacaan singkat terhadap beberapa ayat ‘kosmologi’ diatas,
tidak sulit memahami bahwa persoalan intinya yaitu bagaimana menafsirkan ayat-ayat
ini . Salah satu sebab mengapa menafsirkan ayat-ayat ini sangat sulit yaitu karena
kurun waktu yang sangat lama, para cendikiawan muslim telah memperdebatkan apakah Al-
Qur’an menyatakan bahwa bumi diciptakan sebelum atau setelah terciptanya lapisan-lapisan
langit. Ada dua ayat yang tampaknya bertentangan dengan hal ini, yakni Q.S. Al-Baqarah
(2);29 (sebagaimana dikutip diatas)
Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah langit? Allah Telah membinanya, Dia
meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya, Dan dia menjadikan malamnya gelap
gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-
Nya.(Q.S. 2 [27-30])
Al-Qur’an juga memuat informasi mengenai subtofik kosmologi lain yaitu eskatologi.
Menyelidiki dan mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an tentang akhir zaman merupakan hal yang
cukup menarik meskipun upaya ini akan menggiring kepada pandangan bahwa ayat-ayat
ini sangatlah metafisik. Beberapa ayat yang sering dibahas dalam konteks ini
diantaranya yaitu sebagai berikut.
(yaitu) pada hari kami gulung langit sebagai menggulung lembaran - lembaran kertas.
sebagaimana kami Telah memulai panciptaan pertama begitulah kami akan mengulanginya.
Itulah suatu janji yang pasti kami tepati; Sesungguhnya kamilah yang akan
melaksanakannya. (Q.S. 21 [104])
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu
yaitu suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).(Q.S.22[1])
Pertama, ada banyak keberatan ilmiah terhadap wacana tentang kemunculan gempa
‘global’ yang bisa menghancurkan bumi dan manusia dalam waktu yang sangat singkat.
Bukankah kita membutuhkan penyebab astronomis yang bersifat katastropik, seperti komet
besar atau benda-benda angkasa lain yang lebih besar untuk menerjang bumi? Bukankah
manusia saat ini juga telah memiliki pengetahuan dan peralatan untuk mendeteksi benda-
benda seperti itu sehingga dapat memprediksi peristiwa yang akan terjadi bertahun-tahun
yang akan datang dan memungkinkan sekelompok kecil manusia untuk melarikan diri (dan
mengungsi sementara waktu atau secara permanen setelah membangun koloni yang mapan di
bulan atau planet lain)? Mengenaia argument ini, Al-Qura’an tampaknya akan
mengesampingkan scenario bencana astronomi (misalnya, dalam Q.S. Al-A’raf [7])
Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah:
"Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu yaitu pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun
yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru
haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu
melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar
mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu yaitu di
sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".( Q.S. Al-A’raf 7[187])
Kedua. Dapatkah dibayangkan hari kiamat yang akan menghancurkanbumi dan
manusia kemudian meninggalkan alam semesta sisanya (selain bumi) dalam keadaan utuh?
Apakah aka nada hari kiamat khusus untuk spesies-spesies berbeda yang ada di alam semesta
(dengan asumsi bahwa kita ternyata tidak sendirian)? Sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya, para cendikiawan Islam dan penafsir Al-Qur’an sering terpengaruh oleh
pengetahuan pada zaman mereka, sehingga saat ini kita menemukan referensi mengenai Big
Crunch (alam semesta akan runtuh untuk kembali seperti keadaannya semula yang bersifat
singular dengan asumsi bahwa kepadatan massa energy lebih besar dibanding berdasarkan
bilangan tertentu yang dihitung berdasarkan teori kosmologi)
Dalam kaitannya dengan ayat Al-Qur’an Al-Anbiya’ (21):104 sebagaimana yang
telah disebutkan diatas. Perhatikan bahwa penafsiran ini juga akan dikritik dengan argument
tandingan ngenai Hari Kiamat yang tidak akan terjadi sebelum puluhan miliar tahun
mendatang (saat Al-Qur’an menjanjikan Hari Penghakiman yang dating secara tiba-tiba)
beberapa contoh ini menunjukkan alas an mengapa seseorang tidak bisa menyimpulkan
sebuah pandangan kosmologi secara jelas dari Al-Qur’an (saja) dan mengapa sebagian besar
cendikiawan (pada abad pertengahan) menggunakan perspektif Yunani (dalam perkembangan
terakhir) dalam teori-teori sains.
8. Kosmologi Kaum Tradisionalis
Seyyed Hossoein Nasr dan para pengikutnya bersikeras bahwa kosmologi tidak boleh
dianggap sebagai suatu disiplin ilmu murni yang berkaitan dengan aspek-aspek fisik alam
semesta semata. Nasr menegaskan bahwa sebagian besar jika bukan semua peradaban
terdahulu memandang disiplin sains murni sebagai bidang terpadu yang mengkaji benda-
benda dan realitas fisik maupun non fisik yang hidup berdampingan dalam sebuah
struktur holistik. Ia menegaskan “kosmologi-kosmologi kuno merupakan sains-sains yang
tujuan utamanya yaitu menunjukkan kesatuan dari semua yang ada, kesatuan ini
sangatlah penting dalam Islam karena gagasan keesaan Tuhan (tauhid) memengaruhi
gagasan yang lain, melekat pada setiap peradaban Islam dan menjadi prinsip paling
fundamental yang mendasari segala fenomena
Nasr yang membahas kosmologi Islam kelasik (abad pertengahan) mengambil sebuah
kesimpulan menarik bahkan mengejutkan bahwa terlepas dari perbedaan-perbedaan dal
hal persfektif dan penekanan, konsepsi alam semesta yang dikemukakan oleh sebagian
besar penulis muslim “ lebih tampak sebagai penafsiran atas teks-teks kosmik” sebab Al-
Qur’an memang berulang-ulang memandang alam semesta sebagai sebuah buku yang
mengandung bukan hanya ayat-ayat sebagaimana dijumpai di dalam Al-Qur’an itu
sendiri, tetapi juga sebagai counterpart makrokosmiknya
Kosmos, sebagaimana yang ditegaskan Nasr, bukanlah (dalam konsepsi Islam) entitas
yang mengandung segala sesuatu (seperti yang didefinisikan ilmu fisika modern),
melainkan lebih merupakan bagian kecil dalam kumpulan kosmik yang jauh lebih besar,
dan mencangkup kosmos. Dengan demikian, studi tentang kosmos atau alam semesta
bukanlah tujuan akhir yang sebenarnya, yakni “memperoleh pengetahuan mengenai Sang
Penciptayang kebijaksanaannya ini dapat mengarahkan si penafsir kepada
tercapainya pengetahuan mengenai diri Sang Pencipta itu sendiri.
William Chittik, yang sepenuhnya menganut filsafat (Islam) perennial Nasr,
menyajikan beberapa karakteristik utama dari kosmologi tradisionalis sebagai berikut:
(1) “Kosmos merupakan hierarki besar yang menghadirkan berbagai level realitas secara
bersamaan tanpa memperhatikan urutan/suksesi yang bersifat temporal”;
(2) “Kosmos hirarkis ini dibagi menjadi dua bagian dasar, pertama, yang terlihat
()visible), sedangkan kedua, yang tak terlihat (invisible) alam tak terlihat lebih dekat
dengan Tuhan dan lebih nyata dibandingkan yang terlihat”;
(3) “Manusia yaitu makhluk yang unik dalam kosmos. Karena itu, segala sesuatu di
alam semesta eksternal dianggap ditemukan secara esensial dan pada realitasnya
dalam kedirian primordial yang dikenal sebagai fitrah”
9. Doktrin-doktrin Kosmologi Islam Abad Pertengahan
saat bangsa Muslim untuk pertama kalinya bersentuhan dengan peradaban-
peradaban lain dan menyerap warisan budayanya, kehidupan intelektual dan pemikiran
mereka menjadi matang dan bermunculanlah para pemikir dengan doktrin-doktrin dan
konsepsi-konsepsi yang mencerminkan tradisi filsafat kuno. Kemudian muncullah
falsafah (filsafat Islam), kalam(teologi Islam), tasawuf (mistisme, sufisme), dan doktrin
esoteris faidh (emanasi),yang memiliki kecenderungan dan pengaruh sangat luas, belum
lagi kawasan-kawasan geografis dan epos-epos sejarah. Teori –teori utama kosmologi
Islam dapat dibagi ke dalam teori yang bertendensi filosofis dan teologis: para filsuf
Helenistik, kelompok Ikhwan al-Safa, cendikiawan independen./ilmuan, dan para sufi.
Banyak pemikir Muslim, utamanya para filsuf, menganggap diri mereka bebas
embaca Al-Qur’an tanpa melibatkan apriori kosmologis atau konsepsi religius yang telah
mapan. Biasanya, mereka sangat bergantung pada ide-ide dari tradisi kuno lain,
khususnya filsafat Yunani. Berikut ini pandangan-pandangan kosmologis inti para
falasifah diantaranya:
a. Al-Kindi (800-73) sangat berpegang teguh pada doktrin penciptaan exnihilo meskipun
sebagian besar filsuf Muslim belakangan menolak konsep-konsep ini . Yang
dilakukan Al-Kindi saat itu sebenarnya yaitu menggunakan ‘bukti-bukti’
kosmologis lama untuk menunjukkan keberadaan Tuhan yang dimulai dengan
argumen Prime Mover (Penggerak Utama), sehingga dalam pandangannya, harus ada
sebuah penggerak yang tidak bergarak, tidak berubah, tidak dapat dihancurkan, dan
sempurna. Hal ini mendorongnya kepada seluruh kesimpulan bahwa kekuasaan dan
hak perogratif Tuhanlah yang membangun alam semesta dari ketiadaan.
b. Namun, Al-Farabi (870-950) tetap setia pada Aristetoles. Dia tidak percaya bahwa
Tuhan “tiba-tiba”saja memutuskan untuk menciptakan dunia, sebab hal itu akan
melibatkan Tuhan yang kekal dan statis dalam arus perubahan- sesuatu yang tidak
pantas bagi-Nya. Al-Farabi juga sangat terpengaruh oleh para pemikir Yunani dan
mengadopsi ‘rantai wujud’(chain of being) ala Yunan, yang menempatkan Yang Satu
dalam sepuluh emanasi atau ‘kecerdasdan’bertingkat yang masing-masing di
antaranya memunculkan satu diantara lingkaran-lingkaran Ptolomeus: langit-langit
luar, lingkaran bintang-bintang, bola-bola saturnus, Jupiter, Mars, Matahari, Venus,
Merkerius, dan Bulan.
c. Sementara itu, Ibnu Sina (Avicenna, 981-1037) dianggap sebagai salah satu pemikir
Muslim terbesar dan paling beradab. Semasa mudanya, ia menguasai semua ilmu
yang berkembang pada masanya – dari ilmu kedokteran hingga astronomi dan filsafat.
Ia juga giat mengkaji karya-karya kuno, mulai dari metafisika Aristetoles hingga
menamatkan karya-karya Al-Farabi yang ia coba selaraskan lebih menyelruh dengan
Islam. Penerimaan totalnya terhadap Wahyu sebagai pengetahuan level tertinggi –
yang bertentangan dengan pemujaan para filsufterhadap akal—membuat sedikit demi
sedikit cenderung kepada tasawuf tanpa mengabaikan akal intelektual. Ia juga
berusaha memunculkan bukti-bukti rasional mengenai keberadaan Tuhan yang
merupakan bukti lain ihwal kuatnya pengaruh pemikiran Aristetoles terhadapnya.
Ibnu sina membagi proses penciptaan menjadi dua operasi yang bersesuaian:
kesadaran diri dan penemuan diri akan ilahi. Lebih lanjut, ia merumuskan perbedaan
empat jenis penciptaan berikut ini:
1). Ihdats: Penciptaan makhluk-makhluk alam, baik yang sementara atau yang
kekal
2). Ibda’: Penciptaan—tanpa perantara—makhluk-makhluk yang kekal dan tidak
punah(decay)
3). Khalq: Penciptaan melalui agen-agen
4). Takwin (penyusunan): Penciptaan melalui agen-agen duniawi yang punah dan
sementara
Selain itu, ia juga memetakan makhluk-makhluk ke dalam empat kategori berikut:
1). Malaikat, yaitu makhluk yang digerakkan ALLAH dan diciptakan untuk
menggerakkan makhluk-makhluk lain.
2). Jiwa-jiwa kosmik yang bertindak sebagai perantara dalam aksi-aksi perubahan
3). Benda-benda langit
4). Benda-benda bumi
Konsep Ibn Sina tentang kosmos mirip dengan konsep Yunani, kecuali dalam
pandangan tentang sembilan lingkaran , bukan delapan seperti yang biasa dikenal (satu untuk
bumi dan tujuh untuk planet-planet). Pandangan ini berasal dari skemanya yang menunjukkan
dibutuhkannya satu tambahan lingkaran untuk memisahkan wilayuah ilahiah dari ruang fisik
kosmos; lingkaran kesembilan ini dianggap benar-benar kosong. Lebih lanjut, Ibn Sina
membayangkan bahwa setiap lingkaran pastilah dikendalikan oleh sebuah kekuasaan akal
yang memerintahkan jiwa-jiwa, akal-akal dan malaikat-malaikat untuk tunduk di bawah
komando kekuatan akal yang utama. Bagi Ibn Sina, penggabungan total antara dunia fisik
dan dunia metafisik tidak hanya masuk akal, tetapi juga menyeluruh.
d. Selanjutnya, meskipun terpengaruh Aristetoles, Ibn Rusyd tetap setia pada spirit –
bukan secara tekstual – ajaran Islami/Qur’ani. Ia menganut doktrin keabadian kosmos,
tetapi menegaskan bahwa alam sedang dan terus berada dalam perubahan atau evolusi
konstan selama Tuhan masih meneruskan proses penciptaannya. Dalam
pandangannya, Sang Pencipta yaitu Yang Terdahulu /Zat yang Abadi; Tuhan
mengajarkan perubahan kepada makhluk-makhluknya melalui berbagai media yang
berbeda (akal, malaikat, dan jiwa), sebagaimana dikembangkan oleh Ibn Sina dan
Ikhwan Al-Syafa. Namun, Ibn Rusyd menolak doktrin emanasi dengan konsekuensi-
konsekuensinya, termasuk teori penciptaan top-down yang digagas Ibn Sina meskipun
konsep itu sendiri akan kembali kepada pandangan Plato. Di sisi lain, ia begitu
menganut tepri Aristetoles tentang sebab final (final causas) yang menyatakan bahwa
alasan dibalik setiap fenomena/pristiwa pasti ditemukan dalam tujuan akhir yang
ingin dicapai setiap makhluk; ini menyiratkan sebuah evolusi ke atas dibandingkan
proses top down di alam semesta.
Ibn Rusyd memperkenalkan sebuah tilikan baru yang menarik terhadap
konsep lama mengenai kesatuan kosmos. Ia mengembangkan dari sudut perubahan
atau ketiadaan dan menyimpulkan bahwa karena isi dan bentuk tidak dapat dipisahkan
dan keduanya kekal, maka kosmos pastilaah statis meskipun ia berkembang. (Di
kemudian hari, para kosmolog modern akan mempertimbangkan teori tunak (steady
state) alam semesta ini dengan berbagai cirinya, seperti yang pernah dikemukakan
Hoyle dan tokoh-tokoh lain pada pertengahan abad kedua puluh).
e. Ikhwan Al-Syafa. yaitu sebuah komunitas esoteris yang muncul di Basyrah Irak
pada abad ke-10 dan secara luas dianggap sebagai cabang dari mazhab Ismailiah. Para
anggotanya mengabdikan diri untuk mempelajari sains, terutama yang berhubungan
dengan topik seputar alam, kosmik, dan aksi politik. Rasai (surat-surat atau risalah-
risalah) kelompok ini menjadi sebuah ensiklopedi filsafat dan sains pada masanya,
sedangkan popularitas yang mereka miliki memvbuat pemikiran kelomp[ok pemikiran
iini menyebar jauh. Kelompok Ikhwan ini merepresentasikan sebuah aliran pemikiran
yang kompleks dan sering digolongkan sebagai kaum rasionalis, kaum peripatik, dan
kadang juga sebagai kaum “pra-sufi” .
Dalam kosmologinya, kelompok ini lebih memilih doktrin emanasi Platonis
dibandingkan doktrin penciptaan exnihilo dalam Al-Qur’an. Kaum Ikhwan percaya
pada konsepsi organik tentang kosmos, yang didasarkan pada persfektif sufi, yang
menganggap seluruh eksistensi merupakan kesatuan tunggal. Di samping itu,
kelompok ini juga menganut sistem numerologi alam semesta—mulai dari angka 1
yang dianggap mewakili ‘eksistensi’ (wujud) hingga angka 0 yang mewakili tak
terrhingga atau esensi ilahi. Selain itu kelompok ini menyusun sebuah skema formal
yang menggambarkan kosmos dari 1 sampai 9, sementara angka10 melambangkan
kosmos yang kembali kepada esensi, yakni angka 10.
Skema ini dapat diringkas sebagai berikut:
1). Sang Pencipta yaitu zat yang satu, sederhana, abadi, dan konstan
2). Akal/kecerdasan, yang terdiri dari dua jenis: kecerdasan yang sudah ada
sebelumnya dan kecerdasan yang diperoleh/diupayakan
3). Ruh yang terdiri tiga jenis; nabati, hewan, dan akal
4). Materi yang terdiri dari empat jenis: buatan, fisik, kosmik, dan primordial
5). Alam semesta yang dibagi menjadi lima kategori: empat unsur alam (tanah. Air,
udara, api) dan satu langit/etyer
6). Tubuh atau objek yang memiliki kemungkinan enam arah: atas, bawah, depan,
belakang, kanan, dan kiri.
7). Tujuh lingkaran, yang terdiri dari tujuh planet
8). Delapan elemen: empat elemen yang dikaitkan dengan empat karakteristik fisik
(panas, dingin, lembab, dan kering)
9). Tubuh duniawi/jasmani: mineral, nabati, dan hewani yang masing-masing
memiliki tiga jenis.
Dalam setiap tingkatan dalamk skema kosmik ini berisi sejumlah elemen yang
skalanya samadengan tempatnya, yang semakin menegaskan pentingnya numorologi
dalam kosmologi kelompok Ikhwan. Secara paralel, anggota kelompok ini
menggambarkan proses penciptaan sebagai berikut:
1). Penciptaan akal, karena akal bersifat sederhana dan sempurna serta harus
memainkan peran sebagai ‘hijab’ antara esensi ilahi dan dunia yang diciptakan
2). Penciptaan Ruh kosmik, yakni agen kosmik yang menciptakan makhluk-makhluk
di alam semesta dengan kehendak ALLAH
3). Penciptaan materi primordial, yang darinya semua ciptaan akan dibentuk
Kelompok Ikhwan bersikeras bahwa seluruh proses pencptaan ini berlansung
dalam waktu sesaat meskipun proses ini terbagi kedalam langkah-langkah
berurutan diatas. Apalagi, proses penciptaan demikian merupakan sebuah proses
‘emanasi’ Ilahi. Kelompok ini juga menolak sifat keabadian kosmos karena mereka
mempercayai gagasan Augustinian bahwa waktu dan ruang diciptakan bersamaan
dengan penciptaan alam dan materi
f. Al-Biruni (973-1051) yaitu tokoh terpenting dari mazhab ilmiah (metodis) Muslim.
Sebagai salah satu ilmuan yang paling kompeten pada abad pertengahan, ia menelaah
alam semesta sebagai seorang Muslim taat yang memandang dunia sebagai ciptaan
ALLAH dan menganggap studi terhadap alam semesta sebagai kewajiban agama. AL-
Biruni yaitu ilmuan yang begitu menjunjung tinggi Al-Qur’an, sehingga ia benar-
benar menganut doktrin penciptaan ex nihilo. Namun, ia berkesimpulan bahwa kita
tidak mungkin mengetahui tanggal dan waktu penciptaan secara pasti, karena ALLAH
tidak menyebutkan apapunmengenai hal ini didalam kitab-Nya dan memutuskan
untuk membatasi pengetahuan mengenai hal ini hanya untuk diri-Nya saja.
Selain itu, perkiraan tanggal penciptaan menurut berbagai peradaban kuno sangatlah
beragam, dan menurut Al-Biruni sebagian di antara perkiraan ini benar-benar
tidak realistis. Karena itulah, ia menekankan bahwa konsep waktu dalam pandangan
manusia pastilah sangat berbeda dengan konsep waktu menurut sang pencipta:
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka tiyaitu dirugikan
seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji sawipun pasti kami
mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan. (Q.S. Al-
Anbiya’21[47]).
Al-Biruni juga mengakui bahwa berbagai pengamatan dan penyelidikan yang
ia lakukan terhadap alam semesta mendorongnya kepada kesimpulan bahwa hukum-
hukum alam pastilah tetap dan tidak berubah seiring berjalannya waktu. Akan tetapi,
ia menerima kepercayaan kuno mengenai siklus alam semesta dalam sejarah,
termasuk pandangan mengenai adanya kemusnahan secara bertahap, baik pada materi
maupun karakteristik moral makhluk hidup.
Kosmologi/ilmu falak Al-Biruni mirip dengan pandangan para pemikir Yunani
(khususnya Aristetoles dan Ptolomeus, yang menyatakan bahwa kosmolos layaknya
bola kerang yang berpusat di bumi). Dalam hal ini, ia tidak terpengaruh oleh konsepsi
kosmologi India meskipun ia pernah tinggal di sana dalam waktu yang lam dan
menjadi seoprang ahli dalam bidang sejarah dan budaya India. Al-Biruni yaitu
seorang pemikir independen yang sangat mendukung pendekatan ilmiah dan hasil
penyelidikannya sebagaimana dukungannya terhadap Al-Qur’an.
g. Tasawuf: Ibn ‘Arabi’ (1165-1240). Berabad-abad setelah zaman keemasan Islam
(abad ke-10 hingga 12), minat mempelajari ilmu alam perlahan-lahan menurun.
Kehidupan intelektual dan spritual Islam berganti didominasi oleh doktrin-doktrin
tasawuf Ibn Arabi dan doktrin gnostik isyraqi (iluminasi) suhrawardi (1155-1191).
Doktrin sufi yang tergambar dalam prinsip utama “tidak ada realitas di luar realitas
Mutlak”, yang bermakna “tidak ada yang lain selain ALLAH” tidak pernah diucapkan
secara eksplisit sebelum abad ke-12 dan ke-13 saat Ibn Arabi, Al-Qunawi, Al-Jili,
dan para guru lain dari mazhab ini merumuskannya.
Ibn Arabi lahir di Andalusia dan wafat di Damaskus pada 1240 setelah melakukan
perjalanan ke berbagai Dunia Islam –dapat dikatakan sebagai tokoh yang secara
diametral bertentangan dengan tokoh peripatetik Muslim lain (semisal Ibn Rusyd).
Doktrinnya berlandaskan prinsip bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui
pengalaman spritual yaitu bentuk pembelajaran tertinggi. Bahkan, menurutnya,
hasil-hasil objektif yang hanya bisa diperoleh melalui penalaran bisa jadi sebuah
‘penghalang’ (sebuah konsep yang menunjukkan kekayaan simbolisme dalam
tasawuf) yang bisa membuat seseorang tidak melihat segala sesuatu dengan
sebenarnya.
Prinsip utama doktrin Ibn Arabi yang seharusnya perlu ditekankan namun tidak
banyak di anut oleh kalangan Muslim yaitu mengenai eksistensi (wujud) yang
merupakan suatu hal yang tunggal dan identik dengan realitas (esensi mahiyah).
Entitas yang diciptakan tidaklah eksis dalam dirinya sendiri, sebab ia memeroleh
eksistensinya berkat hubungannya dengan Yang ada. Ada atau tidak adanya suatu
suatu entitas tidaklah berbeda di dalam ‘pikiran’ Tuhan. Dengan kata lain, entitas
hanyalah gambaran atau – menurut analogi terkenal yang sering digunakan dalam
konteks ini—hanyalah pantulan cermin parsial (objek-objek virtual) dari sebuah
eksistensi yang lebih mendasar.
Oleh karena itu, alam semesta kemudian digambarkan sebagai ‘teofani’ (tajalli)
dengan asumsi bahwa ALLAH ‘melihat’ Diri-Nya dalam ciptaan-Nya. Jika
keberadaan (Tuhan) benar-benar tidak dapat diakses oleh pemahaman manusia, maka
hal yang sama juga harus berlaku pada 99 sifat ALLAH (kemahatahuan,
kemahakuasaan, dan lain-lain), karena nama-nama ini mencerminkan bagaimana
Tuhan menggambarkan diri-Nya sendiri. Pengetahuan tentang Realitas (ilmu yang
‘sebenarnya’) kemudian meliputi pemahaman terhadap model-model pengungkapan
diri (tajalli) Tuhan yang tak terbatas jumlahnya ini. Dalam risalah visionernya, Al-
Futuhat Al-Makkiyah (“Penyingkapan Makkah”) Ibn Arabi menjelaskan bahwa
pengetahuan tentang kosmos hanya dapat dicapai dengan melakukan perjalanan mistis
melalui kosmos itu sendiri.
Doktrin ini mempersoalkan wacana seputar creatio ex-nihilio dan menganggap bahwa
konsep ini tidak menunjukkan keabadian alam semesta. Karena segala sesuatu
tergantung pada kehendak ALLAH, maka bagaiman serta kapan sebuah entitas atau
bahkan seluruh kosmos ada atau hilang juga akan tetap tidak diketahui. Siapapun bisa
melihat begaimana peristiwa penciptaan dan evolusi kosmik berlansung terus
menerus, karena ALLAH tidak pernah mengungkapkan dirinya kepada diri-Nya
Darussalam: Jurnal Pemikiran Hukum Tata Negara dan
mengenai hal ini . saat sebuah entitas/keadaan tercipta, ia tidak lagi menjadi
‘keinginan’ ilahi dan akan sesaat musnah; hanya saat sebuah keadaan diinginkan,
barulah ia muncul.
Berbagai model dan teori kosmologi mengenai sejarah akan alam semesta dan
segala isinya selalu menyulut perdebatan-perdebatan filisofis yang besar dan sering
kali tidak bisa lepas dari referensi keyakinan dan ajaran agama. Selama era keemasan
peradaban Islam, Al-Qur’an menjadi sumber primordial dan referensi untuk berbagai
informasi dan doktrin mengenai kosmik akan tetapi, para pemikir Muslim menyadari
bahwa Al-Qur’an terlalu ambigu dan ambivalen untuk membangun teori kosmologi
yang rigid. saat filsafat Helenistik sangat memengaruhi pemikr Muslim dan telah
diserap sedini mungkin (abad 9).alih-alih mengulang teori-teori kuno, bangunan
‘kosmologi Islam’ justru merupakan lukisan yang kaya perspektif karena
menggabungkan pandangan-pandangan budaya lain dengan prinsip-prinsip Islam.
Pada abad ke-20, muncul gerakan pembaruan saat kosmologi mulai melekat
luas dengan semua agama (dengan berbagai cara), khususnya dengan Dunia Islam.
Dalam budaya menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber referensi terpenting, hasil-
hasil temuan ilmiah hampir selalu dibandingkan dengan teks-teks sakral, sehingga
mulai muncul kosmologi yang cenderng masih amatir, karena secara bebas
menggabungkan sains dan teks keagamaan dalam lanskap kebudayaan. Beberapa
pemikir dan ilmuan semakin meyakini bahwa pendekatan ilmiah murni terhadap
kosmos tidaklah memuaskan. Karena sains modern tidak membuka ruang terhadap
transendensi atau pemaknaan, kecuali ili teistik.
Tantangannya yaitu bagaimana membangun sebuah teologi yang dapat
‘mengawinkan konsepsi-konsepsi agama ALLAH dengan sebuah teologi alamiah
(natural theologi) yang memposisikan Tuhan dan asalmula ketertiban kosmos sebagai
dasar dibangunnya alam semesta. Yang pasti kita tidak bisa menerima teologi-teologi
yang secara jelas berbenturan atau bertentangan dengan etode-metode rasional dan
hasil-hasil ilmiah. Kita tidak bisa mempertaruhkan akal kita sendiri. Dan juga
‘kosmologi Islami’tidak bisa membatasi diri pada penafsiran ilmiah-semu terhadap
teks-teks suci. Kosmologi ini harus menyediakan ruang bagi kretivitas dan
kebebasan berfikir dalam kebudayaan Islam.
Kebudayaan Islam mampu sebagaimana pernah terjadi ribuan tahun lalu dan
semestinya masih mampu menyerap pengetahuan manusia, sains, dan kemajuan
sehingga dapat menghasilkan sebuah sintesis menarik yang bernilai. Sebuah
kosmologi modern Islam/teistik yang sepenuhnya kompatibel dengan sains sangat
mungkin dibangun selama para aktor intelektual tetap terbuka, kreatif, dan tidak kaku,
baik dalam pengetahuan religius maupun saintifiknya.