Tampilkan postingan dengan label ayub 24. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 24. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 24


 membela diri.  Ia hendak membersihkan diri dari segala keja-

hatan yang dituduhkan sahabat-sahabatnya. Memang hal ini sudah 

menjadi utang yang harus ditanggung semua orang terhadap nama 

baiknya. Perkataan sahabat-sahabat Ayub sangat terperinci dalam 

menyatakan tuduhan mereka terhadap dirinya. Itulah sebabnya ia 

juga terperinci dalam pembelaannya, yang sepertinya terutama meru-

juk kepada apa yang dituduhkan Elifas kepadanya (22:6, dst.). Mere-

ka tidak mengajukan saksi-saksi untuk melawan Ayub, dan mereka 

juga tidak mampu membuktikan hal-hal yang sekarang mereka tu-

duhkan kepadanya. Oleh sebab  itu Ayub membersihkan diri dengan 

sumpah yang diucapkannya dengan sepenuh hati, beserta banyak 

kutukan menakutkan perihal murka Allah seandainya ia memang 

telah bersalah melakukan kejahatan-kejahatan itu. Pernyataan pem-

belaan dirinya ini menegaskan pernyataan baik Allah tentang sifat 

dirinya, bahwa tidak ada seorang pun di bumi ini yang seperti dia. 

Boleh jadi beberapa dari mereka yang menuduhnya itu tidak berani 

bergabung dengannya, sebab ia tidak saja tidak melakukan dosa-

dosa berat yang terpapar di hadapan mata dunia, namun  juga dari 

banyak dosa tersembunyi, yang seandainya pun benar ia lakukan, 

tidak ada yang dapat melihatnya sehingga bisa menuduhnya, sebab  

bisa saja ia membuktikan dirinya tidak fasik. Ia tidak sekadar 

memelihara kebersihan perilakunya, namun  juga menunjukkan bahwa 

di dalamnya ia memakai  asas-asas yang baik. Alasan mengapa 

ia menjauhkan diri dari kejahatan yaitu  sebab  ia takut akan Allah, 

dan kesalehannya mendasari keadilan serta kasihnya terhadap se-

sama. Dan hal ini memahkotai bukti ketulusannya. 

I.   Dosa-dosa yang di sini tidak mau diperbuatnya yaitu , 

1. Hawa nafsu dan kecemaran hati (ay. 1-4). 

2. Kecurangan dan ketidakadilan dalam perniagaan (ay. 4-8). 

3. Perzinaan (ay. 9-12). 

4. Kecongkakan dan sikap kasar terhadap hamba-hambanya 

(ay. 13-15). 

5. Sikap tidak kenal ampun terhadap kaum miskin, para 

janda, dan anak-anak yatim (ay. 16-23). 

6. Mengandalkan kekayaan duniawinya (ay. 24-25). 

7. Penyembahan berhala (ay. 26-28). 

8. Pembalasan dendam (ay. 29-31). 

9. Pengabaian terhadap orang-orang asing yang malang (ay. 

32). 

10. Kemunafikan dalam menutup-nutupi dosa dan sikap pe-

ngecutnya sehingga terlibat dalam dosa-dosa orang lain 

(ay. 33-34). 

11. Penindasan dan pelanggaran keras terhadap hak orang 

lain (ay. 38-40). Dan menjelang akhir pernyataannya, ia 

memohon penghakiman Allah menyangkut ketulusannya 

(ay. 35-37). Sekarang, 

II.  Di dalam semua ini kita dapat melihat, 

1. Pemahaman dari zaman bapa-bapa leluhur berkenaan de-

ngan hal-hal baik dan buruk, dan tentang apa yang su-

dah sejak lama disebut dosa, yang penuh kebencian mau-

pun yang menyakitkan. 

2. Pola kesalehan dan kebajikan yang mulia ditawarkan ke-

pada kita untuk ditiru. Apabila hati nurani kita dapat 

bersaksi bahwa kita menaatinya, maka ini akan membuat 

kita bersukacita, seperti halnya Ayub dalam masa seng-

saranya. 

Ayub Membersihkan Nama Baiknya 

(31:1-8) 

1 “Aku telah menetapkan syarat bagi mataku, masakan aku memperhatikan 

anak dara? 2 sebab  bagian apakah yang ditentukan Allah dari atas, milik 

pusaka apakah yang ditetapkan Yang Mahakuasa dari tempat yang tinggi?  

3 Bukankah kebinasaan bagi orang yang curang dan kemalangan bagi yang 

melakukan kejahatan? 4 Bukankah Allah yang mengamat-amati jalanku dan 

menghitung segala langkahku? 5 Jikalau aku bergaul dengan dusta, atau 

kakiku cepat melangkah ke tipu daya, 6 biarlah aku ditimbang di atas neraca 

yang teliti, maka Allah akan mengetahui, bahwa aku tidak bersalah. 7 Jikalau 

langkahku menyimpang dari jalan, dan hatiku menuruti pandangan mataku, 

dan noda melekat pada tanganku, 8 maka biarlah apa yang kutabur, di-

makan orang lain, dan biarlah tercabut apa yang tumbuh bagiku. 

Nafsu kedagingan dan cinta akan keduniawian merupakan dua batu 

karang mematikan yang membelah orang banyak. Terhadap kedua 

hal ini Ayub menyatakan bahwa ia senantiasa berusaha keras untuk 

tetap waspada. 

I. Terhadap nafsu kedagingan. Ayub tidak saja senantiasa menjauh-

kan diri dari perzinaan dan dari mencemari istri sesamanya (ay. 

9), namun  juga dari semua percabulan dengan perempuan mana 

pun. Ia tidak memelihara selir atau gundik, namun  sangat setia 

kepada ranjang pernikahan, meskipun istrinya sama sekali tidak 

tergolong paling bijaksana, baik, ataupun ramah. Sudah sejak 

semula sudah ditentukan agar laki-laki hanya memiliki satu istri 

dan melekat kepadanya seorang. Ayub menaati penetapan itu dan 

sama sekali tidak terpikirkan untuk melanggarnya. Walaupun 

kebesarannya bisa saja menggodanya untuk melanggar, kebaik-

annya mencegahnya dari godaan itu. Sekarang Ayub sedang ke-

sakitan dan didera penyakit secara jasmani. Berada di tengah 

penderitaan itu dapat terasa cukup nyaman dalam hal tertentu, 

apabila hati nurani kita dapat bersaksi bagi kita bahwa kita telah 

berhati-hati dalam memelihara tubuh ini supaya tetap setia pada 

pernikahan, dan menjaganya tetap kudus dan terhormat, bersih 

dari nafsu-nafsu cemar. Sekarang amatilah di sini, 

1. Betapa bulat hati Ayub dalam perkara ini (ay. 1): Aku telah me-

netapkan syarat bagi mataku, artinya, “Aku berjaga-jaga ter-

hadap segala kesempatan berbuat dosa, masakan aku mem-

perhatikan anak dara?” yaitu, “dengan kasih karunia Allah, 

aku menahan diri sejak langkah pertama menuju dosa itu.” Ia 

begitu jauh dari melakukan hubungan terlarang atau keingin-

an semacam itu, hingga,  

(1) Ia bahkan tidak mau mengizinkan pandangan asusila. Ia 

telah menetapkan syarat bagi matanya, membuat persetu-

juan dengan kedua matanya, hingga ia membiarkan mata-

nya senang memandang cahaya matahari dan kemuliaan 

Allah bersinar dalam ciptaan yang terlihat, asalkan mata-

nya tidak tertuju kepada apa pun yang dapat menimbulkan 

khayalan kotor, apalagi keinginan kotor dalam pikirannya. 

Keputusan itu dibuatnya berdasarkan hukuman bahwa 

apabila melakukan hal itu, maka kedua matanya akan sa-

ngat menyesal dan berurai air mata. Perhatikanlah, orang-

orang yang ingin memelihara hati mereka tetap suci harus 

menjaga mata mereka, yang merupakan jalan keluar seka-

ligus jalan masuk kenajisan. Itulah sebabnya kita membaca 

perihal main mata (Yes. 3:16) dan mata penuh nafsu zinah 

(2Ptr. 2:14). Dosa pertama diawali dari mata (Kej. 3:6). 

Urusan yang tidak boleh kita campuri, janganlah membuat 

kita menginginkannya dengan bernafsu. Apa yang tidak bo-

leh kita inginkan dengan bernafsu, janganlah kita pandang. 

Baik kekayaan terlarang (Ams. 23:5), anggur terlarang 

(Ams. 23:31), maupun perempuan terlarang (Mat. 5:28). 

(2) Ayub bahkan tidak mau membiarkan adanya pikiran sem-

barangan: “Masakan aku memperhatikan anak dara dengan 

khayalan kotor atau keinginan akan dirinya?” Rasa malu 

dan kehormatan mungkin dapat menahan Ayub berusaha 

mendapatkan kesucian gadis perawan cantik, namun ha-

nya anugerah dan takut akan Allah sajalah yang dapat 

mencegahnya berpikir tentang hal itu. Orang cemar, jika ia 

tidak kudus dalam roh maupun tubuh (1Kor. 7:34). Lihat-

lah betapa uraian Kristus tentang perintah ketujuh cocok 

dengan pemahaman orang di zaman dahulu, dan betapa 

Ayub memahaminya dengan lebih baik dibanding orang-

orang Farisi, meskipun mereka ini menduduki kursi Musa. 

2. Alasan-alasan yang memimpin Ayub dalam perkara ini. Alas-

annya bukanlah sebab  takut kepada cercaan manusia, mes-

kipun hal itu patut dipertimbangkan juga (Ams. 6:33), melain-

kan sebab  takut kepada murka dan kutukan Allah. Ia tahu 

betul, 

(1) Bahwa kenajisan merupakan dosa yang merampas segala 

sesuatu yang baik, dan menghalangi kita untuk mengha-

rapkannya (ay. 2): Bagian apakah yang ditentukan Allah 

dari atas? Berkat atau tanda perkenanan apakah yang 

dapat diharapkan orang-orang berdosa yang tidak suci dari 

Allah yang murni dan suci? Warisan dari Yang Mahakusasa 

apakah yang dapat mereka cari dari sorga? Tidak ada bagi-

an, warisan, ataupun kebahagiaan sejati bagi siapa pun 

selain yang di dalam Allah Yang Mahakuasa dan yang da-

tang dari atas, dari sorga. Orang-orang yang berkubang 

dalam kenajisan membuat diri mereka sendiri sama sekali 

tidak layak untuk bersekutu dengan Allah, baik dalam ka-

sih karunia di sini maupun dalam kemuliaan akan datang. 

Mereka yang bersekutu dengan roh-roh najis akan dipisah-

kan dari Dia untuk selama-lamanya. Dan kalau sudah 

begitu, bagian dan warisan apa lagi yang dapat mereka per-

oleh dari Allah? Tidak ada hal najis yang dapat memasuki 

Yerusalem baru, Kota Suci itu. 

(2) Kenajisan merupakan dosa yang mendatangkan balas den-

dam ilahi (ay. 3). Pasti akan binasa orang yang berbuat 

dosa ini apabila ia tidak bertobat pada waktunya. Bukan-

kah kebinasaan, kebinasaan yang cepat dan pasti, bagi 

orang yang curang dan kemalangan bagi yang melakukan 

kejahatan ini? Orang bodoh menertawakan akibat dosa ini, 

dan mengolok-oloknya. Bagi mereka, ini sekadar dosa kecil, 

muslihat masa muda. Namun, mereka menipu diri sendiri 

dengan kata-kata hampa. sebab  hal-hal inilah, seremeh 

apa pun mereka menganggapnya, murka Allah, murka 

Allah yang kekal yang tidak terhindarkan, mendatangkan 

murka Allah atas orang-orang durhaka (Ef. 5:6). Ada orang-

orang berdosa yang ditemui Allah dengan jalan Penyeleng-

garaan-Nya yang tidak biasa. Dan orang-orang demikian 

termasuk di antaranya. Kebinasaan Sodom merupakan hu-

kuman yang aneh. Bukankah ada pemisahan (demikianlah 

yang diartikan beberapa orang) bagi yang melakukan keja-

hatan? Inilah dosa yang memisahkan pikiran manusia dari 

Allah (Ef. 4:18-19), dan inilah hukuman bagi orang-orang 

berdosa, yaitu dipisahkan selamanya dari Dia (Why. 12:15). 

(3) Kenajisan itu tidak dapat disembunyikan dari Allah yang 

Mahatahu. Pikiran atau pandangan sekilas asusila tidak 

dapat berlangsung begitu cepat hingga terlepas dari penge-

tahuan-Nya, apalagi perbuatan najis yang dilakukan de-

ngan begitu tersembunyi hingga disangka tidak akan terli-

hat oleh-Nya. Seandainya pun Ayub pernah tergoda mela-

kukan dosa ini, ia menahan diri darinya dan semua jalan 

menuju ke sana, dengan pikiran ini (ay. 4), bukankah Allah 

yang mengamat-amati jalanku. Ini seperti yang dilakukan 

Yusuf (Kej. 39:9), Bagaimanakah mungkin aku melakukan 

kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?  

Ada dua hal yang diperhatikan Ayub: 

[1] Kemahatahuan Allah. Sungguh benar sekali bahwa se-

gala jalan orang terbuka di depan mata TUHAN (Ams. 

5:20-21). Dan di sini Ayub menyebutnya dengan me-

ngaitkan hal itu pada diri dan tindakannya sendiri. Bu-

kankah Allah yang mengamat-amati jalanku? TUHAN, 

Engkau menyelidiki dan mengenal aku. Allah melihat 

berdasarkan peraturan apa kita berjalan, dengan siapa 

kita berjalan, serta ke mana kita berjalan, dan oleh ka-

rena itu dengan cara apa kita berjalan. 

[2] Pengamatan Allah. “Ia tidak saja melihat, namun  juga 

memperhatikan. Ia menghitung segala langkahku, semua 

langkah keliru dalam menjalankan tugas, dan semua 

langkah sampingan menuju jalan dosa.” Allah tidak saja 

melihat jalan kita secara umum, namun  juga memper-

hatikan setiap rincian langkah kita di dalam jalan-jalan 

kita, setiap tindakan dan setiap gerakan. Ia mencatat 

semua, sebab  Ia akan meminta kita mempertanggung-

jawabkannya, dan akan menghakimi segala perbuatan 

kita. Allah lebih memperhatikan kita dengan lebih teliti 

daripada diri kita sendiri, sebab siapa gerangan yang 

pernah menghitung langkahnya sendiri? Namun, Allah 

menghitungnya. sebab  itu, marilah kita berjalan de-

ngan hati-hati. 

II. Ayub berjaga-jaga menjauhkan diri dari kecintaan terhadap du-

nia, dan dengan hati-hati menghindari semua jalan pintas yang 

berdosa demi meraih kekayaan. Ia takut menarik keuntungan ter-

larang dan juga segala bentuk kesenangan terlarang. Mari kita 

lihat, 

1. Seperti apa pembelaannya. Secara umum, Ayub jujur dan adil 

dalam semua kelakuannya. Setahu dia, ia tidak pernah mem-

perlakukan siapa pun dengan buruk. 

(1) Ia tidak pernah bergaul dengan dusta (ay. 5). Yaitu, ia tidak 

pernah berani berdusta guna mendapatkan harga yang 

murah. Ia tidak pernah mau mengolok-olok atau menjanji-

kan yang muluk-muluk, atau banyak bicara dalam per-

lakuannya. Sebagian orang senantiasa hidup dengan tipu 

daya. Mereka membesar-besarkan milik mereka melebihi 

kenyataan supaya mereka dipercaya, atau justru mengecil-

kannya supaya tidak ada yang bisa diharapkan dari mere-

ka. Namun, Ayub orang yang sangat berbeda. Kekayaannya 

tidak diperoleh dengan dusta, meskipun sekarang hartanya 

sudah lenyap (Ams. 13:11). 

(2) Ia tidak cepat melangkah ke tipu daya. Orang-orang yang 

gemar menipu haruslah cekatan dan dapat berpikir cepat, 

namun kecekatan dan ketajaman berpikir Ayub tidak per-

nah mengarah ke sana. Ia tidak pernah bergegas menjadi 

kaya melalui tipu daya, namun  selalu bertindak dengan hati-

hati, supaya tidak melakukan kesalahan sebab  sikap 

gegabah. Perhatikanlah, apa yang kita peroleh di dunia bisa 

dipakai  dengan nyaman atau hilang tanpa membuat 

kita tidak nyaman, apabila diperoleh dengan jujur. 

(3) Langkah-langkah Ayub tidak pernah menyimpang dari ja-

lan, dari jalan kebenaran dan perlakuan adil. Ia tidak per-

nah menyimpang dari jalan tersebut (ay. 7). Ia tidak saja 

berhati-hati agar tidak berjalan menuju arah dan jalan tipu 

daya, namun  bahkan tidak mengambil satu langkah pun 

yang menyimpang dari kejujuran. Dalam setiap tindakan 

dan urusan tertentu, kita harus melekat kepada aturan-

aturan kebenaran. 

(4) Hatinya tidak menuruti pandangan matanya. Yaitu, ia tidak 

mendambakan milik orang lain yang dilihatnya, ataupun 

berharap barang itu yaitu  miliknya. Ketamakan disebut 

juga keinginan mata (1Yoh. 2:16). Akhan melihat, kemu-

dian mengambil benda terkutuk. Hati yang menuruti pan-

dangan mata mau tidak mau akan menyimpang. Sebab, 

hati yang demikian tidak memandang lebih jauh daripada 

hal-hal yang terlihat, padahal seharusnya pandangannya 

diarahkan ke sorga yang tidak dapat diraih mata. Pandang-

annya harus mengikuti perintah-perintah agama dan alas-

an yang tepat. Apabila hati menuruti pandangan mata, ia 

akan tersesat menuju hal yang untuk itu Allah akan mem-

bawanya ke pengadilan (Pkh. 11:9). 

(5) Bahwa tidak ada noda melekat pada tangan Ayub. Yaitu, ia 

tidak dapat dituduh memperoleh apa pun dengan cara cu-

rang, atau menyimpan milik orang lain, meskipun kelihat-

annya seperti itu. Ketidakadilan merupakan noda, noda 

bagi harta milik, dan noda bagi pemiliknya. Noda itu meru-

sak keindahan keduanya, dan oleh sebab  itu harus di-

jauhi. Orang-orang yang sering menjalankan urusan di du-

nia mungkin mempunyai noda di tangan mereka. Namun, 

mereka harus mencucinya kembali melalui pertobatan dan 

ganti rugi, serta tidak membiarkan noda itu melekat pada 

tangan mereka (Lih. Yes. 33:15). 

2. Bagaimana Ayub mengesahkan pernyataannya. Ia begitu yakin 

akan ketulusannya sendiri hingga ia, 

(1) Bersedia bila barang-barang kepunyaannya diteliti (ay. 6): 

biarlah aku ditimbang di atas neraca yang teliti. Yaitu, 

“Biarlah apa yang kumiliki diteliti, dan ditemukan benar 

beratnya.” Maksudnya, supaya menjadi tanda bahwa milik-

nya tidak diperoleh melalui dusta, sebab bila memang demi-

kian halnya, maka Tekel itu tentu akan tercatat di atasnya, 

ditimbang dengan neraca dan didapati terlalu ringan. Orang 

yang jujur begitu tidak takut menghadapi sidang pengadil-

an hingga ia justru menginginkannya, sebab  sangat yakin 

bahwa Allah mengetahui ketulusannya dan akan meng-

akuinya. Sidang itu akan membawa pujian dan kehormat-

an baginya. 

(2) Ayub bersedia mengorbankan seluruh miliknya apabila di-

temukan barang dagangan terlarang selain yang didapat-

kannya dengan jujur (ay. 8): “Biarlah apa yang kutabur, 

dimakan orang lain,” hal yang sudah disepakati akan men-

jadi kebinasaan para penindas (5:5), “dan biarlah tercabut 

apa yang tumbuh bagiku.” Hal ini menyiratkan bahwa ia 

percaya dosa memang pantas menerima hukuman ini, 

bahwa biasanya memang dihukum seperti itu. Memang 

sekarang seluruh kekayaannya musnah (terutama pada 

waktu seperti itu, hati nuraninya pasti akan mengingatkan-

nya kepada dosanya), namun ia tahu bahwa dirinya tidak 

bersalah, dan untuk itu ia berani mempertaruhkan semua 

sisa kekayaannya di persidangan nanti. 

Ayub Memulihkan Nama Baiknya 

(31:9-15) 

9 Jikalau hatiku tertarik kepada perempuan, dan aku menghadang di pintu 

sesamaku, 10 maka biarlah isteriku menggiling bagi orang lain, dan biarlah 

orang-orang lain meniduri dia. 11 sebab  hal itu yaitu  perbuatan mesum, 

bahkan kejahatan, yang patut dihukum oleh hakim. 12 Sesungguhnya, itulah 

api yang memakan habis, dan menghanguskan seluruh hasilku. 13 Jikalau 

aku mengabaikan hak budakku laki-laki atau perempuan, saat  mereka 

beperkara dengan aku, 14 apakah dayaku, kalau Allah bangkit berdiri; kalau 

Ia mengadakan pengusutan, apakah jawabku kepada-Nya? 15 Bukankah Ia, 

yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu juga? Bukankah 

satu juga yang membentuk kami dalam rahim? 

Di dalam perikop ini terdapat dua contoh lagi mengenai ketulusan 

Ayub: 

I. Bahwa ia sangat membenci dosa perzinaan. Sama seperti ia tidak 

menodai ranjang pernikahannya sendiri dengan memelihara selir 

(ia bahkan sama sekali tidak memikirkan gadis pelayan, ay. 1), 

demikian pula ia berhati-hati agar tidak mencemari ranjang perni-

kahan sesamanya. Marilah kita lihat di sini, 

1. Betapa bersih ia dari dosa ini (ay. 9). 

(1) Ia sama sekali tidak menginginkan istri sesamanya, sebab 

hatinya tidak tertarik kepada perempuan. Kecantikan istri 

orang lain tidak membangkitkan gairah terhadap keinginan 

cemar dalam dirinya. Ia juga tidak tergoda pada daya pikat 

perempuan jalang, seperti yang digambarkan dalam Amsal 

7:6 dan seterusnya. Lihatlah sumber semua kenajisan da-

lam hidup ini. Asalnya dari hati yang tertipu. Setiap dosa 

memang menipu, terlebih lagi dosa kenajisan. 

(2) Ayub tidak pernah menyusun atau membayangkan ran-

cangan perzinaan. Ia tidak penah menghadang di pintu se-

samanya, untuk beroleh kesempatan mencemari sang istri 

saat  laki-laki itu tidak berada di rumah  (Ams. 7:19; Ayb. 

24:15). 

2. Betapa ia takut kepada dosa ini, dan betapa ia mencemaskan 

apa yang bisa saja terjadi akibat bahayanya, bahwa ini meru-

pakan kejahatan keji (ay. 11), salah satu dosa paling keji yang 

bisa diperbuat manusia, yang sangat membangkitkan murka 

Allah, dan menghancurkan kesejahteraan jiwa. Berkenaan de-

ngan celaka yang bisa ditimbulkannya, dan hukuman yang 

pantas diterima sebagai akibatnya, Ayub mengakui bahwa se-

andainya ia bersalah sebab  melakukan kejahatan keji itu, 

maka,  

(1) Nama baik keluarganya sudah sepantasnya diinjak-injak 

sehina-hinanya (ay. 10): Biarlah isteriku menggiling bagi 

orang lain. Biarlah ia menjadi budak (begitulah menurut 

beberapa penafsir), perempuan sundal (menurut beberapa 

penafsir lain). Allah acapkali menghukum seseorang de-

ngan dosa orang lain, misalnya perzinaan sang suami de-

ngan perzinaan istrinya, seperti yang dialami Daud (2Sam. 

12:11), yang sama sekali tidak membebaskan pengkhia-

natan istri yang berzina itu. Sebaliknya, sebesar apa pun 

ketidakjujurannya, Allah sungguh adil (Lih. Hos. 4:13). Me-

nantu-menantumu perempuan akan bersundal. Perhatikan-

lah, orang-orang yang tidak adil dan setia terhadap sanak 

keluarga mereka janganlah merasa heran apabila mereka 

ini juga bersikap tidak adil dan setia kepada mereka. 

(2) Ayub sendiri sudah sepatutnya dijadikan teladan umum: 

sebab  hal itu yaitu  kejahatan, yang patut dihukum oleh 

hakim, meskipun orang-orang yang bersalah melakukan-

nya yaitu  hakim juga seperti halnya Ayub. Perhatikanlah, 

perzinaan yaitu  kejahatan yang harus diketahui dan di-

hukum oleh hakim negara. Demikianlah yang diputuskan 

secara hukum pada zaman bapa-bapa leluhur dahulu, se-

belum hukum Musa menjadikannya hukum utama. Per-

zinaan merupakan tindakan jahat, yang harus dihadapi 

dengan kengerian pedang keadilan. 

(3) Sudah sepatutnya harta miliknya hancur. Bahkan lebih 

dari itu, Ayub tahu bahwa akan demikianlah jadinya (ay. 

12): itulah api. Nafsu yaitu  api di dalam jiwa: orang orang 

yang memperturutkan hawa nafsunya dikatakan akan ter-

bakar olehnya. Api itu memakan habis segala sesuatu yang 

baik di dalam jiwa, yaitu keyakinan dan penghiburan, serta 

meruntuhkan hati nurani. Hawa nafsu membangkitkan api 

murka Allah, yang bila tidak dipadamkan darah Kristus, 

akan membakar sampai ke neraka paling bawah. Api itu 

akan memakan habis bahkan sampai kekekalan. Hawa naf-

su akan membinasakan tubuh (Ams. 5:11). Api itu mema-

kan habis bagian inti, dan menghanguskan seluruh hasil. 

Hawa nafsu yang menyala-nyala akan membawa hukuman 

menyala-nyala juga. Mungkin ini menyinggung pembakar-

an kota Sodom, yang dimaksudkan untuk menjadi contoh 

bagi orang-orang yang di kemudian hari hidup penuh dosa 

dengan cara serupa. 

II. Bahwa Ayub sangat memperhatikan para hambanya dan meme-

rintah mereka dengan lemah lembut. Ia memiliki rumah tangga 

yang hebat dan mengelolanya dengan baik. Melalui hal ini ia 

membuktikan ketulusannya, yaitu bahwa ia memiliki anugerah 

untuk mengendalikan gairah maupun seleranya. Dia yang dalam 

dua hal ini mampu menguasai rohnya sendiri, melebihi seorang 

pahlawan (Ams. 16:32). Amatilah di sini, 

1. Sikap merendah Ayub terhadap para hambanya (ay. 13): Ia 

tidak mengabaikan hak budaknya laki-laki, tidak, atau perem-

puan, saat  mereka beperkara dengannya. Apabila mereka 

bertentangan dengannya dalam hal apa pun, ia bersedia men-

dengar alasan mereka. Apabila mereka melukai perasaannya, 

atau menyalahkan dia, ia akan dengan sabar mendengarkan 

perkataan mereka untuk membela diri atau memberi alasan. 

Bahkan lebih dari itu, apabila mereka mengeluhkan kesukar-

an yang ditimbulkan Ayub ke atas mereka, ia tidak mengger-

tak mereka dan menyuruh mereka menutup mulut, namun  

mengizinkan mereka menceritakan kisah mereka, dan mene-

bus penderitaan mereka saat  terbukti bahwa mereka me-

mang berada di pihak yang benar. Sikapnya lembut kepada 

mereka, tidak saja saat  mereka melayani atau menyenang-

kan hatinya, namun  bahkan saat mereka berselisih dengannya. 

Dalam hal ini Ayub merupakan teladan besar bagi para ma-

jikan, yaitu supaya berlaku adil dan jujur terhadap hamba-

hamba mereka (Kol. 4:1; Ef. 6:9), dan tidak memerintah mere-

ka dengan keras dan sewenang-wenang. Banyak dari antara 

para pekerja Ayub yang dibunuh saat  sedang bekerja untuk-

nya (1:15-17). Yang lain bersikap buruk dan tidak patuh 

kepadanya, serta memandang rendah perkaranya, meskipun ia 

tidak pernah memandang rendah perkara mereka (19:15-16). 

Namun kini Ayub merasa terhibur, bahwa saat  ia masih 

makmur dahulu, ia bersikap baik terhadap mereka. Perhati-

kanlah, saat  hubungan baik terputus atau menyakitkan 

hati, maka kesaksian hati nurani bahwa kita telah melakukan 

kewajiban terhadap orang lain, akan sangat mendukung dan 

menghibur kita. 

2. Pertimbangan apa saja yang menggerakkan Ayub untuk mem-

perlakukan para hambanya sebaik itu. Dalam hal ini, pandang-

an matanya tertuju kepada Allah, baik sebagai Hakim maupun 

Penciptanya. 

(1) Sebagai Hakimnya. Ia mempertimbangkan, “Apabila aku 

bertindak sewenang-wenang dan keras terhadap budak-

budakku, apakah dayaku, kalau Allah bangkit berdiri?” Ia 

mempertimbangkan bahwa ia mempunyai Tuan di sorga, 

kepada siapa ia bertanggung jawab, Tuan yang akan bang-

kit berdiri dan melawatnya. Kita perlu mempertimbangkan 

apakah yang akan kita lakukan pada hari penghukuman 

(Yes. 10:3). Mengingat bahwa kita pasti binasa saat  Allah 

bersikap tegas dan keras terhadap kita pada hari penghu-

kuman itu, maka sebaiknya kita bertindak lemah lembut 

terhadap semua orang yang kita hadapi. Pikirkanlah apa 

yang akan terjadi dengan kita apabila Allah bersikap keras 

dalam menilai kesalahan kita, dan bertindak tanpa ampun, 

bersikeras menuntut keadilan atas kita. Pikirkan, jangan 

sampai Ia membalas setiap pelanggaran dan menuntut 

ganti rugi. Jangan sampai Ia senantiasa mencaci, dan ma-

rah selamanya. sebab  itu janganlah kita bersikap kasar 

terhadap bawahan kita. Pertimbangkanlah apa yang akan 

terjadi pada diri kita jika kita bersikap kejam dan tanpa 

ampun kepada sesama kita. Seruan orang-orang yang di-

sakiti akan didengar. Dosa-dosa mereka yang mendatang-

kan kerugian akan dihukum. Orang-orang yang tidak me-

nunjukkan belas kasihan tidak akan dikasihani. Lalu apa-

kah yang harus kita lakukan? 

(2) Sebagai Pencipta dirinya dan para budaknya (ay. 15). Saat 

Ayub tergoda bersikap keras terhadap budak-budaknya, 

tidak memberikan hak mereka dan tidak mau mendengar-

kan pertimbangan mereka, maka pikiran inilah yang mun-

cul, “Bukankah Ia, yang membuat aku dalam kandungan, 

membuat orang itu juga? Aku juga makhluk ciptaan seperti 

budak itu, dan keberadaanku berasal dan bergantung 

pada-Nya seperti dia juga. Ia ikut mengambil bagian dalam 

kodrat seperti yang ada pada diriku, dan merupakan hasil 

karya tangan yang sama: Bukankah kita sekalian mempu-

nyai satu Bapa?” Perhatikanlah, apa pun perbedaan yang 

ada di antara manusia dalam hal keadaan lahiriah mereka, 

dalam kecakapan akal budi mereka, ataupun kekuatan 

jasmani mereka, dan kedudukan mereka di dunia, Ia yang 

menciptakan yang satu juga menciptakan yang lain. Inilah 

alasan tepat mengapa kita tidak boleh mengolok-olok kele-

mahan bawaan orang, atau menginjak-injak orang yang 

dalam segala hal merupakan bawahan kita. Sebaliknya, 

dalam segala hal lakukanlah seperti kita ingin diperlaku-

kan. Inilah aturan keadilan, Parium par sit ratio – Biarlah 

orang-orang yang sederajat juga dinilai dan diperlakukan 

sederajat. Oleh sebab itu, mengingat bahwa terdapat kesa-

maan yang begitu besar di antara manusia, sebab  mereka 

semua dibentuk dari cetakan yang sama, oleh kuasa yang 

sama, untuk tujuan yang sama, tanpa memedulikan perbe-

daan dalam keadaan lahiriah kita, maka kita harus me-

nempatkan diri sederajat dengan orang-orang dengan siapa 

kita berurusan. Dalam segala hal kita harus memperlaku-

kan mereka sama seperti kita ingin mereka memperlaku-

kan kita. 

Belas Kasihan Ayub terhadap Kaum Miskin 

(31:16-23) 

16 Jikalau aku pernah menolak keinginan orang-orang kecil, menyebabkan 

mata seorang janda menjadi pudar, 17 atau memakan makananku seorang 

diri, sedang anak yatim tidak turut memakannya 18 – malah sejak mudanya 

aku membesarkan dia seperti seorang ayah, dan sejak kandungan ibunya 

aku membimbing dia – ; 19 jikalau aku melihat orang mati sebab  tidak ada 

pakaian, atau orang miskin yang tidak mempunyai selimut, 20 dan pinggang-

nya tidak meminta berkat bagiku, dan tidak dipanaskannya tubuhnya 

dengan kulit bulu dombaku; 21 jikalau aku mengangkat tanganku melawan 

anak yatim, sebab  di pintu gerbang aku melihat ada yang membantu aku,  

22 maka biarlah tulang belikatku lepas dari bahuku, dan lenganku dipatah-

kan dari persendiannya. 23 sebab  celaka yang dari pada Allah menakutkan 

aku, dan aku tidak berdaya terhadap keluhuran-Nya. 

Elifas secara langsung menuduh Ayub tidak berbelaskasihan ter-

hadap kaum miskin (22:6, dst.): Orang yang kelaparan tidak kauberi 

makan, merampas pakaian orang-orang yang melarat, dan janda-

janda kausuruh pergi dengan tangan hampa. Orang akan berpikir 

Elifas tidak akan bersikap begitu yakin dan terus terang dalam tu-

duhannya, kecuali ada bukti dan dasarnya. Namun, dari apa yang 

tampak dalam pembelaan Ayub, tuduhannya itu ternyata palsu dan 

tanpa dasar sama sekali. Ayub tidak pernah bersalah melakukan hal 

seperti itu. Lihatlah di sini, 

I. Kesaksian yang diberikan hati nurani Ayub berkenaan dengan 

perilakunya terhadap kaum miskin. Ia membicarakan dengan 

sangat terperinci mengenai pokok ini, sebab terutama dalam hal 

inilah ia dipersalahkan. Dengan sungguh-sungguh Ayub menyata-

kan dengan tegas, 

1. Bahwa ia tidak pernah alpa berbuat baik kepada mereka, terus 

membantu mereka sedapat mungkin setiap kali beroleh ke-

sempatan. Ia senantiasa berbelaskasihan terhadap kaum mis-

kin, dan sangat memperhatikan mereka, terutama para janda 

dan anak-anak yatim yang amat membutuhkan pertolongan. 

(1) Ia senantiasa siap mengabulkan keinginan pengharapan 

mereka (ay. 16). Jika seorang miskin memohon bantuan-

nya, ia siap mengabulkannya. Begitu ia merasakan pan-

dangan sayu penuh pengharapan seorang janda yang me-

nandakan bahwa ia mengharapkan sedekah darinya, mes-

kipun perempuan itu tidak cukup berani memintanya,

 hatinya tergerak untuk memberi kepadanya, dan tidak per-

nah menyebabkan mata seorang janda menjadi pudar. 

(2) Ayub menghargai kaum miskin dan menghormati mereka. 

Ia mengajak anak-anak yatim makan bersama di meja 

makannya sendiri. Mereka harus makan seperti dirinya dan 

akrab dengannya. Ia memperlihatkan bahwa ia senang di-

temani mereka, seolah-olah mereka anak-anaknya sendiri 

(ay. 17). Sama seperti salah satu penderitaan terbesar aki-

bat kemiskinan yaitu  dianggap hina, demikian juga du-

kungan sekecil apa pun kepada kaum miskin dihargai orang. 

(3) Sikap Ayub terhadap mereka sangat lembut, dan ia peduli 

kepada mereka bagaikan seorang ayah (ay. 18). Dia men-

jadi ayah bagi anak-anak yatim, merawat anak-anak yatim 

piatu, membesarkan mereka di bawah pengamatannya sen-

diri, dan memberi mereka bukan saja pemeliharaan, me-

lainkan pendidikan juga. Ayub menjadi pembimbing bagi 

janda yang telah kehilangan pembimbing masa mudanya. 

Ia menasihati sang janda dalam urusan-urusannya, mem-

perhatikan keadaan mereka, dan mengurus keperluan me-

reka. Orang-orang yang tidak membutuhkan sedekah kita, 

mungkin saja membutuhkan nasihat kita, dan itu pun 

sungguh dapat membantu mereka. Inilah yang menurut 

Ayub telah dilakukannya sejak mudanya, dan sejak kan-

dungan ibunya. Sifat lembut dan berbelaskasihan sudah 

terjalin dalam tabiatnya. Sejauh yang diingat olehnya, 

sudah dari sejak mudanya ia berbuat kebaikan. Selalu saja 

ada janda-janda miskin atau anak yatim yang dirawatnya. 

Kedua orangtuanya mengajarinya sejak belia untuk ber-

belaskasihan dan meringankan penderitaan kaum miskin, 

serta membesarkan anak-anak yatim piatu. 

(4) Ayub menyediakan cukup makanan bagi mereka. Mereka 

menikmati makanan yang sama dengan yang dimakannya 

(ay. 17), tidak makan setelah dia makan, tidak makan 

remah-remah roti yang jatuh dari mejanya, namun  makan 

bersama dia, dari hidangan terbaik di mejanya. Orang-

orang yang berkelimpahan janganlah makan sendirian, 

seolah-olah tidak ada orang selain dirinya yang perlu diper-

hatikan. Janganlah mereka makan santapan lezat sendiri, 

namun  berbagilah dengan orang lain, seperti Daud mengajak 

Mefiboset. 

(5) Ayub memperhatikan untuk memberi pakaian kepada me-

reka yang telanjang, dan ini tentu lebih mahal daripada se-

kadar memberi makanan kepada mereka (ay. 19). Orang 

miskin bisa saja mati sebab  kekurangan sandang seperti 

halnya kekurangan makanan, sebab  kekurangan sandang 

untuk membungkus badannya saat  tidur pada malam 

hari atau saat berjalan pada siang hari. Apabila Ayub tahu 

ada yang mengalami kesulitan ini, ia akan cepat-cepat 

membantu mereka. Alih-alih memberikan perlengkapan 

mewah kepada para hambanya, sementara kaum miskin 

diusir dengan berpakaian compang-camping dan pantas di-

buang ke sampah, Ayub menyediakan pakaian hangat yang 

kuat dan sengaja dibuatkan bagi mereka dari kulit bulu 

domba (ay. 20), supaya setiap kali mengenakan selimut itu 

di pinggang, mereka meminta berkat baginya. Mereka me-

muji sifat dermawan Ayub, memuji Allah sebab  dia, dan 

berdoa kepada Allah agar memberkatinya. Kawanan domba 

Ayub sekarang sudah dibakar api dari langit, namun  yang 

menjadi penghiburan baginya yaitu  bahwa ia mendapat-

kan semua itu dengan jujur, dan memakai  domba-

domba itu demi kasih terhadap sesama, memberi makan 

kaum miskin dengan dagingnya, dan memberi mereka 

pakaian dengan bulunya. 

2. Bahwa Ayub tidak pernah terlibat dalam perlakuan tidak baik 

kepada orang miskin. Orang mungkin berkata bahwa ia ramah 

kepada beberapa anak yatim piatu di sana-sini yang menjadi 

kesayangannya, namun kepada yang lain ia bersikap keras. 

Tidak, ia peduli kepada mereka semua dan tidak merugikan 

siapa pun. Ia bahkan tidak pernah mengangkat tangannya me-

lawan anak yatim (ay. 21), tidak pernah mengancam atau me-

nakuti-nakuti mereka, ataupun hendak memukul mereka. 

Ayub tidak pernah memakai  kekuatannya untuk meng-

hancurkan orang-orang yang menentangnya atau memeras 

apa pun dari mereka, meskipun di pintu gerbang ia melihat 

ada yang membantunya. Yaitu, ia tidak akan melakukan keja-

hatan terhadap orang miskin, meskipun ia mendapat tempat 

di hati orang banyak dan para hakim, yang pasti akan memi

haknya dan tidak menentangnya jika ia menyalahi kaum mis-

kin. Orang-orang yang berkuasa melakukan kejahatan dan 

terbebas dari akibatnya, serta mempunyai harapan untuk 

lolos, namun memilih untuk tidak melakukannya, dan tetap 

bertindak adil, suka berbelaskasihan, di kemudian hari akan 

merasa sangat terhibur saat merenungkan perilaku mereka 

ini, seperti yang dilakukan Ayub di sini. 

II.  Kutuk yang diucapkannya untuk meneguhkan pernyataan ini (ay. 

22): “Jika aku pernah menindas orang miskin, biarlah tulang beli-

katku lepas dari bahuku, dan lenganku dipatahkan dari persen-

diannya.” Yakni, “Biarlah daging lenganku membusuk dan lepas 

dari tulangnya, sedangkan satu tulang terputus dari tulang lain-

nya.” Seandainya Ayub tidak bersih dari kesalahan ini, pastilah ia 

tidak akan berani menantang balas dendam ilahi untuk menimpa-

nya. Ia juga menyiratkan bahwa sungguh adil apabila Allah me-

matahkan lengan yang teracung melawan anak-anak yatim, sama 

seperti Ia melemahkan lengan Yerobeam yang teracung melawan 

seorang nabi. 

III. Landasan pikiran yang membuat Ayub menahan diri untuk tidak 

beramal dan berbelaskasihan kepada orang lain. Ia tidak berani 

melecehkan kaum miskin, sebab meskipun ada yang membantu-

nya di pintu gerbang sehingga ia bisa saja menguasai mereka, 

namun ia tidak akan melakukanya. Sebab, ia tidak akan mampu 

melawan Allah yang merupakan pelindung orang miskin yang 

tertindas dan tidak akan membiarkan para penindas lepas dari 

hukuman (ay. 23): “sebab  celaka yang dari pada Allah menakut-

kan aku setiap kali aku tergoda melakukan dosa ini. Juga, aku 

tidak mau bermusuhan dengan Dia, sebab  aku tidak berdaya 

terhadap keluhuran-Nya.” Ayub takjub, 

1. Akan keagungan Allah, Allah yang jauh lebih tinggi di atasnya. 

Ayub memikirkan keluhuran-Nya, Ia begitu tinggi, ada jarak 

yang tidak terbatas di antara dia dengan Allah, yang meme-

nuhinya dengan rasa hormat sedemikian rupa terhadap Dia 

hingga membuatnya bersikap sangat hati-hati dalam seluruh 

perilakunya. Orang-orang yang menindas kaum miskin serta 

menodai penghakiman dan keadilan, lupa bahwa pejabat ting-

gi yang satu mengawasi yang lain, begitu pula pejabat-pejabat 

yang lebih tinggi mengawasi mereka, dan sanggup menghadapi 

mereka (Pkh. 5:7). Sebaliknya, Ayub memperhatikan hal ini. 

2. Ia mempertimbangkan murka Allah, Allah yang pasti akan me-

lawannya apabila ia menjahati kaum miskin. Celaka yang dari 

pada Allah, sebab ini akan menjadi kehancuran mutlak bagi-

nya apabila ia bersalah melakukan dosa ini, dan akan senanti-

asa menakutkan dia, untuk menahannya berbuat demikian. 

Perhatikanlah, orang-orang baik, bahkan yang paling baik se-

kalipun, perlu menahan diri mereka berbuat dosa dengan 

takut akan celaka yang datang dari Allah, sekecil apa pun 

dosa itu. Ini terutama harus menahan kita dari semua tindak-

an tidak adil dan menindas yang akan dibalas sendiri oleh 

Allah. Bahkan saat  keselamatan dari Allah menjadi penghi-

buran bagi kita, celaka dari Allah sudah seharusnya juga me-

nakutkan bagi kita. saat  belum jatuh dalam dosa, Adam pun 

menaruh hormat dengan mengingat akan ancaman hukuman. 

Kebencian Ayub terhadap Penyembahan Berhala 

(31:24-32) 

24 Jikalau aku menaruh kepercayaan kepada emas, dan berkata kepada ken-

cana: Engkaulah kepercayaanku; 25 jikalau aku bersukacita, sebab  kekaya-

anku besar dan sebab  tanganku memperoleh harta benda yang berlimpah-

limpah; 26 jikalau aku pernah memandang matahari, saat  ia bersinar, dan 

bulan, yang beredar dengan indahnya, 27 sehingga diam-diam hatiku terpikat, 

dan menyampaikan kecupan tangan kepadanya, 28 maka hal itu juga menjadi 

kejahatan yang patut dihukum oleh hakim, sebab  Allah yang di atas telah 

kuingkari. 29 Apakah aku bersukacita sebab  kecelakaan pembenciku, dan 

bersorak-sorai, bila ia ditimpa malapetaka 30 – aku takkan membiarkan mu-

lutku berbuat dosa, menuntut nyawanya dengan mengucapkan sumpah 

serapah! – 31 Jikalau orang-orang di kemahku mengatakan: Siapa yang tidak 

kenyang dengan lauknya? 32 – malah orang asingpun tidak pernah bermalam 

di luar, pintuku kubuka bagi musafir! – 

Di dalam perikop ini terdapat empat pembelaan lain Ayub, yang sama 

seperti pembelaan-pembelaan lain, tidak saja meyakinkan kita peri-

hal siapa dia sebenarnya dan apa yang dilakukannya, namun  juga 

untuk mengajar kita tentang seperti apa kita seharusnya dan apa 

yang harus kita lakukan: 

I. Ayub membela diri, bahwa ia tidak pernah mendambakan kekaya-

an dunia ini, atau memandangnya sebagai bagian dan kebahagia-

annya. Ia memiliki emas, emas murni. Kekayaannya besar, dan ia 

memperoleh harta benda yang berlimpah-limpah. Harta benda kita 

bisa menguntungkan atau justru merusak kita, sejauh apa kita 

dipengaruhi olehnya. Jika kita menjadikannya sandaran dan pe-

nguasa kita, maka harta itu akan menghancurkan kita. Jika kita 

menjadikannya hamba kita dan juga sarana keadilan, harta itu 

akan menjadi berkat bagi kita. Di sini Ayub memberitahukan 

kepada kita bagaimana pengaruh harta duniawi atas dirinya. 

1. Ia tidak begitu mengandalkannya. Ia tidak menaruh kepercaya-

an kepada emas (ay. 24). Orang-orang yang berbuat demikian 

sungguh sangat tidak bijaksana. Orang-orang yang mengan-

dalkan harta benda sebagai hal yang mampu membuat mereka 

bahagia, yang menyangka diri mereka akan terjamin dan ter-

hormat, serta pasti memperoleh penghiburan sebab  memiliki 

harta duniawi berlimpah, menjadi musuh bagi diri mereka 

sendiri. Sebagian orang menjadikannya pengharapan dan ja-

minan untuk kehidupan di dunia lain kelak, seolah-olah harta 

itu merupakan tanda pasti akan perkenanan Allah. Sebagian 

orang lagi berlaku bijak, dengan tidak berpikir seperti itu, dan 

tidak berjanji kepada diri sendiri bahwa harta itu akan men-

jadi bagian mereka dalam kehidupan ini, sebab  benda-benda 

itu sendiri tidak menentu, apalagi memberikan kepuasan. 

Sungguh sulit untuk memiliki kekayaan dan tidak mengandal-

kan harta itu. Inilah yang membuat begitu sukar bagi seorang 

kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga (Mat. 19:23; Mrk. 

10:24). 

2. Ayub sama sekali tidak berpuas diri dengan hartanya (ay. 25): 

jikalau aku bersukacita, sebab  kekayaanku besar dan mem-

banggakan diri bahwa tanganku memperoleh harta benda yang 

berlimpah-limpah. Ia tidak membanggakan hartanya, seolah-

olah harta itu semakin membuat dirinya lebih unggul. Ia juga 

tidak berpikir bahwa kekuasaan dan kekuatan tangannya 

yang mendatangkan kekayaan itu baginya (Ul. 8:17). Ia tidak 

menyenangkan diri dengan kekayaannya itu, dibandingkan 

dengan hal-hal rohani. Sukacitanya tidak berhenti dalam pem-

berian itu, namun  pada Sang Pemberi melalui pemberian itu. 

saat  bergelimang dalam kelimpahan, Ayub tidak pernah ber-

kata, Jiwaku, beristirahatlah dengan harta bendamu, makan-

lah, minumlah dan bersenang-senanglah. Ia juga tidak mem-

berkati diri dengan kekayaannya. Ia tidak bersenang-senang 

dengan berlebihan dalam harta bendanya, dan inilah yang 

membantunya mampu bertahan terhadap kehilangan harta itu 

dengan begitu bersabar, seperti yang telah dilakukannya. Cara 

menangis seolah-olah tidak menangis; sama dengan bergembira 

seolah-olah tidak bergembira. Semakin sedikit kesenangan ke-

tika menikmati, semakin sedikit pula rasa sakit saat  kecewa.  

II.  Ayub menyatakan pembelaan bahwa ia tidak pernah menyembah 

dan memberikan kemuliaan kepada makhluk dan benda ciptaan, 

yang hanya layak bagi Allah saja (ay. 26-28). Kita tidak mendapati 

sahabat-sahabat Ayub menuduhnya dengan perbuatan ini. Na-

mun, pada masa itu sepertinya ada orang-orang yang begitu 

bodoh sampai menyembah matahari dan bulan, sebab jika tidak 

demikian halnya, Ayub tentu tidak akan menyebut hal ini. Pe-

nyembahan berhala merupakan salah satu jalan lama yang dija-

lani orang-orang fasik. Penyembahan berhala paling kuno yaitu  

menyembah matahari dan bulan, dan sepertinya godaan untuk 

melakukan hal inilah yang paling kuat (Ul. 4:19), saat  Musa 

berbicara tentang bahaya yang sedang dihadapi umat Israel, yaitu 

terdorong untuk menyembah benda-benda langit ini. Namun, pada 

masa itu tampaknya orang masih melakukannya dengan diam-

diam, tidak berani secara terbuka, seperti yang di kemudian hari 

dilakukan pada penyembahan berhala yang paling menjijikkan. 

Amatilah,  

1. Sejauh apa Ayub menjauhi dosa ini. Ia tidak saja tidak pernah 

menekuk lutut kepada Baal (yang menurut beberapa penafsir 

dirancang untuk menyembah matahari), tidak pernah tersung-

kur menyembah matahari, namun  tetap menjauhkan mata, 

hati, dan bibirnya dari dosa ini. 

(1) Ia bahkan sama sekali tidak pernah memandang matahari 

atau bulan dalam kebesaran serta kemilau mereka dengan 

rasa kagum melebihi kekaguman yang membuatnya mem-

berikan seluruh kemuliaan kecerahan dan manfaat mereka 

kepada Pencipta mereka. Ayub membuat kovenan dengan 

matanya menentang perzinaan rohani maupun jasmani. 

Inilah kovenannya, yakni setiap kali memandang benda-

benda langit yang bersinar, ia akan dengan iman meman-

dang menembus dan melampaui semua itu kepada Bapa 

segala terang. 

(2) Ayub memelihara hatinya dengan tekun, supaya ia tidak 

diam-diam terpikat untuk berpikir bahwa terdapat kemu-

liaan ilahi dalam cemerlang terang mereka, atau ada ke-

kuatan ilahi dalam pengaruh mereka, sehingga dengan 

demikian kehormatan ilahi harus diberikan kepada benda-

benda tersebut. Di sinilah sumber penyembahan berhala, 

yaitu diawali di hati. Setiap manusia tergoda melakukan 

itu, sama halnya dengan dosa-dosa lain, saat  ia dicobai 

oleh keinginannya sendiri, sebab  ia diseret dan dipikat 

olehnya. 

(3) Ayub sama sekali tidak memuji ilah-ilah palsu ini. Ia tidak 

memperlihatkan pemujaan sekecil apa pun: mulutnya tidak 

mencium dia, yang sepertinya merupakan suatu upacara 

yang pada masa itu biasa dijalankan, bahkan oleh orang-

orang yang tidak dianggap menyembah berhala. Di zaman 

kita ini, ada peninggalan cara zaman dahulu untuk mem-

beri hormat, yaitu membungkuk atau mencium tangan. 

Cara ini pada zaman dahulu sepertinya dipakai  untuk 

memberi penghormatan ilahi kepada matahari dan bulan. 

Orang tidak mampu menjangkau benda-benda langit itu 

untuk mencium mereka, sama seperti manusia mencium 

anak-anak lembu (Hos. 13:2; 1Raj. 19:18). sebab  itu, un-

tuk menunjukkan niat baik, mereka menunjukkan kecup-

an tangan kepada matahari dan bulan sambil menghormati 

benda-benda itu sebagai tuan mereka, padahal Allah telah 

menjadikan mereka sebagai hamba-hamba pelayan bagi 

dunia bawah ini, untuk memegang pelita bagi kita dan me-

nerangi kita. Ayub tidak pernah melakukan semua hal ini. 

2. Betapa Ayub menganggap dosa ini sangat jahat (ay. 28). 

(1) Ia menganggapnya sebagai penghinaan terhadap hakim 

rakyat, kejahatan yang patut dihukum oleh hakim, sebagai 

hal yang mengganggu orang banyak dan menyakiti hati 

para raja dan daerah-daerah kekuasaan mereka. Penyem-

bahan berhala merusak pikiran manusia, mencemarkan 

perilaku mereka, merampas makna sejati agama yang me-

rupakan pengikat kuat di antara masyarakat. Penyembah-

an berhala juga membangkitkan amarah Allah sehingga Ia 

menyerahkan manusia kepada pikiran jahat dan menjatuh-

kan penghukuman ke atas seluruh bangsa. Oleh sebab itu 

para pelindung kesejahteraan rakyat wajib mengekangnya 

menghukum pelakunya. 

(2) Ayub memandang penyembahan berhala itu sebagai peng-

hinaan yang luar biasa besar kepada Allah semesta langit, 

tidak kalah hebatnya dengan pengkhianatan terhadap mah-

kota dan martabat-Nya, sebab  Allah yang di atas telah ku-

ingkari. Penyembahan berhala itu mengingkari keberadaan-

Nya sebagai Allah dan kedaulatan-Nya sebagai Allah yang 

di atas. Penyembahan berhala itu sama saja dengan ateis-

me, tidak mengakui dan tidak percaya ada Allah. Itulah 

sebabnya orang-orang bukan Yahudi dikatakan ada di luar 

Allah (ateis). Perhatikanlah, kita harus takut kepada segala 

sesuatu yang diam-diam menyangkali Allah yang di atas, 

penyelenggaraan-Nya, ataupun setiap kesempurnaan-Nya. 

III. Ayub menyatakan pembelaan bahwa ia sama sekali tidak melaku-

kan atau merancang celaka bagi siapa pun, bahwa ia tidak meng-

inginkan atau menyukai celaka yang menimpa musuh bebuyutan-

nya sekalipun. Sepertinya, mengampuni orang-orang yang ber-

buat jahat kepada kita merupakan kewajiban dalam Perjanjian 

Lama, meskipun orang Farisi membuat hukum mengenai hal itu 

tidak berguna sebab  mereka mengajarkan, Kasihilah sesamamu 

manusia dan bencilah musuhmu (Mat. 5:43). Amatilah di sini, 

1. Ayub sama sekali tidak membalas dendam. Ia tidak saja tidak 

membalas kerugian yang didatangkan kepadanya, tidak saja 

tidak menghancurkan orang-orang yang membencinya, me-

lainkan juga, 

(1) Ia sama sekali tidak bergembira saat  celaka menimpa 

mereka (ay. 29). Banyak orang yang tidak mau membalas 

menyakiti orang lain yang menghalangi hidup mereka, atau 

yang telah berbuat jahat kepada mereka, namun mereka 

diam-diam merasa senang dan menertawakan orang-orang 

itu saat  mereka dijahati. Namun, Ayub tidak mempunyai 

tabiat semacam itu. Walaupun Ayub orang yang sangat 

baik, tampaknya tetap saja ada orang-orang yang memben-

ci dia. Namun, celaka menimpa orang-orang itu. Ia melihat 

kehancuran mereka, namun sama sekali tidak bergembira 

sebab nya, sebab sikap seperti ini sudah sepantasnya akan 

membawa kehancuran baginya seperti yang tersirat dalam 

Amsal 24:17-18. 

(2) Ayub sama sekali tidak berharap agar celaka menimpa 

mereka (ay. 30). Ia tidak pernah menuntut nyawanya de-

ngan mengucapkan sumpah serapah. Sumpah serapah ter-

hadap nyawa orang merupakan kutukan yang paling jahat. 

Ia tidak pernah menginginkan kematiannya. Ia tahu bahwa 

jika ia melakukannya, hal itu akan menjadi dosa baginya. 

Ia berhati-hati supaya ia jangan berdosa dengan lidahnya 

(Mzm. 39:2), takkan membiarkan mulutnya berbuat dosa, 

dan oleh sebab  itu ia tidak berani memperkatakan celaka. 

Tidak, bahkan kepada musuh terbesarnya sekalipun. Apa-

bila orang lain merencanakan yang jahat kepada kita, 

maka itu tidak membenarkan kita untuk merencanakan 

yang jahat kepada mereka. 

2. Ayub sangat terdorong untuk membalas dendam, namun men-

jauhkan diri dari hal itu (ay. 31): orang-orang di kemahnya, 

yaitu para pelayan rumah tangga, budak, dan orang-orang di 

sekitarnya, begitu marah terhadap musuh-musuh Ayub yang 

membencinya, hingga mereka seakan ingin memakan daging 

musuhnya itu seandainya Ayub mengizinkan mereka. “Siapa 

yang tidak kenyang dengan lauknya? (KJV: Oh, seandainya saja 

kita mendapatkan dagingnya!). Tuan kita sudi memaafkan dia, 

namun  kita tidak.” Lihatlah betapa Ayub sangat dikasihi oleh 

keluarganya, betapa mereka mendukung perkaranya dengan 

sepenuh hati, dan betapa mereka memusuhi orang-orang yang 

memusuhinya. Namun, lihatlah betapa kuat Ayub mengendali-

kan amarahnya, supaya ia tidak membalas dendam meskipun 

di sekelilingnya orang-orang memanas-manasinya. Perhatikan-

lah, 

(1) Orang yang baik biasanya tidak begitu mempermasalahkan 

penghinaan yang dilontarkan kepadanya, justru para saha-

batnya yang mempermasalahkannya bagi dia. 

(2) Orang-orang besar biasanya dikelilingi orang-orang yang 

menghasut mereka untuk membalas dendam. Daud pun 

mengalami hal serupa (1Sam. 24:4; 26:8; 2Sam. 16:9). 

Namun, apabila mereka menahan amarah tanpa memeduli-

kan hasutan dendam orang-orang di sekeliling mereka itu, 

di kemudian hari hal itu bukan saja tidak akan menda-

tangkan kesedihan bagi mereka, namun  juga berbalik men-

jadi puji-pujian bagi mereka. 

IV. Ayub menyatakan pembelaan bahwa ia pernah bersikap buruk 

atau tidak bermurah hati terhadap orang-orang asing (ay. 32): 

orang asingpun tidak pernah bermalam di luar, seperti yang 

dahulu mungkin dialami para malaikat di jalanan Sodom, kalau 

saja Lot tidak menerima mereka di rumahnya. Boleh jadi melalui 

kejadian itulah Ayub diajar seperti kepada kita (Ibr. 13:2) supaya 

tidak lupa menjamu orang asing di rumah kita. Orang yang 

berada di rumah harus memikirkan mereka yang berada jauh dari 

rumah, bersimpati terhadap mereka, dan memperlakukan mereka 

seperti ia ingin diperlakukan. Keramahtamahan dalam menyam-

but tamu merupakan kewajiban orang Kristen (1Ptr. 4:9). Di te-

ngah kemakmurannya, Ayub dikenal sebagai orang yang menge-

lola rumah tangganya dengan baik: pintuku kubuka bagi musafir. 

Ia membiarkan pintu rumahnya tetap terbuka, supaya ia bisa 

melihat siapa saja yang melintas, dan mengajak mereka masuk ke 

rumah, seperti yang dilakukan Abraham (Kej. 18:1). 

Pembelaan Ayub Atas Ketulusannya 

(31:33-40) 

33 Jikalau aku menutupi pelanggaranku seperti manusia dengan menyem-

bunyikan kesalahanku dalam hatiku, 34 sebab  aku takuti khalayak ramai 

dan penghinaan kaum keluarga mengagetkan aku, sehingga aku berdiam diri 

dan tidak keluar dari pintu! 35 Ah, sekiranya ada yang mendengarkan aku! –

Inilah tanda tanganku! Hendaklah Yang Mahakuasa menjawab aku! – Sekira-

nya ada surat tuduhan yang ditulis lawanku! 36 Sungguh, surat itu akan 

kupikul, dan akan kupakai bagaikan mahkota. 37 Setiap langkahku akan ku-

beritahukan kepada-Nya, selaku pemuka aku akan menghadap Dia. 38 Jika-

lau ladangku berteriak sebab  aku dan alur bajaknya menangis bersama-

sama, 39 jikalau aku memakan habis hasilnya dengan tidak membayar, dan 

menyusahkan pemilik-pemiliknya, 40 maka biarlah bukan gandum yang tum-

buh, namun  onak, dan bukan jelai, namun  lalang.” Sekianlah kata-kata Ayub. 


Dalam perikop ini terdapat pembelaan Ayub terhadap tiga dosa lain, 

bersama dengan naik bandingnya ia ke pengadila