Tampilkan postingan dengan label ayub 27. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 27. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 27


 an. Jika (seperti terbukti 

dalam ay. 9 yang mengikuti) tidak berguna bagi manusia, 

kalau ia dikenan Allah, maka mengapa tidak diletakkannya 

saja tali kekang di leher nafsunya dan ikut berkumpul 

dengan pelaku kejahatan? Dia yang berkata, sia-sia sama 

sekali aku membasuh tanganku, tanda tak bersalah, bukan 

hanya berkhianat kepada angkatan anak-anak Allah (Mzm. 

72:13, 15), namun  juga memuaskan keinginan musuh-mu-

suh-Nya, dan berbicara sama seperti mereka. 

Tutur Kata Elihu  

(34:10-15) 

10 Oleh sebab itu, kamu orang-orang yang berakal budi, dengarkanlah aku: 

Jauhlah dari pada Allah untuk melakukan kefasikan, dan dari pada Yang 

Mahakuasa untuk berbuat curang. 11 Malah Ia mengganjar manusia sesuai 

perbuatannya, dan membuat setiap orang mengalami sesuai kelakuannya.   

12 Sungguh, Allah tidak berlaku curang, Yang Mahakuasa tidak membeng-

kokkan keadilan. 13 Siapa mempercayakan bumi kepada-Nya? Siapa mem-

bebankan alam semesta kepada-Nya? 14 Jikalau Ia menarik kembali Roh-Nya, 

dan mengembalikan nafas-Nya pada-Nya, 15 maka binasalah bersama-sama 

segala yang hidup, dan kembalilah manusia kepada debu.  


Tujuan perkataan Elihu yaitu  untuk mendamaikan Ayub dengan 

kesengsaraannya dan untuk menenangkan rohnya dalam kesengsa-

raan itu. Untuk ini, Elihu menunjukkan, di pasal sebelumnya, bahwa 

Allah bukan bermaksud buruk dalam menyengsarakannya, namun  

bermaksud memberinya keuntungan rohani. Di pasal ini, Elihu me-

nunjukkan bahwa Allah tidak bersalah kepada Ayub dengan me-

nyengsarakannya, tidak pula Dia menghukum Ayub lebih daripada 

yang sepantasnya. Jika perkataan Elihu sebelumnya tidak dapat 

meyakinkan Ayub, maka yang sekarang ini akan membungkamnya. 

Dalam ayat-ayat di atas, Elihu menujukan perkataannya kepada 

semua yang hadir: “Kamu orang-orang yang berakal budi, dengarkan-

lah aku (ay. 10), dan perlihatkan bahwa dirimu berpengertian dengan 

menyetujui hal yang kukatakan ini.” Dan inilah yang dikatakan 

Elihu, bahwa Allah yang benar tidak pernah, dan tidak akan pernah, 

berbuat salah kepada ciptaan-Nya. Sebaliknya, jalan-jalan Allah adil, 

jalan-jalan kitalah yang tidak adil. Kebenaran yang terkandung di sini 

menghormati keadilan dan kesamarataan semua tindakan Allah. 

Dalam ayat-ayat ini dapat kita amati, 

I. Betapa jelas kebenaran ini dinyatakan, baik secara negatif mau-

pun positif. 

1. Dia tidak melakukan kesalahan apa pun: Jauhlah dari pada 

Allah untuk melakukan kefasikan, dan dari pada Yang Maha-

kuasa untuk berbuat curang (ay. 10). Hal itu tidak sejalan 

dengan kodrat-Nya yang sempurna, dan dengan kehendaknya-

Nya yang murni (ay. 12): Allah tidak berlaku curang, Yang 

Mahakuasa tidak membengkokkan keadilan. Allah tidak bisa 

dan tidak mau berlaku keliru, atau memperlakukan manusia 

dengan keras. Allah tidak akan pernah membebankan hukum-

an yang kejam selain saat  Dia menemukan dosa yang jahat, 

atau memberikan hukuman yang terlalu berat, sebab dengan 

begitu Dia berbuat curang dan melakukan kefasikan. Jika per-

mohonan dinaikkan kepada-Nya, atau Dia hendak menjatuhkan 

putusan terakhir, Dia pasti akan melakukannya berdasarkan 

penyebabnya dan tanpa memandang muka, sebab kalau tidak, 

Dia membengkokkan keadilan. Dia tidak akan pernah berbuat 

keliru kepada siapa pun atau memungkiri hak orang, namun  

langit akan memberitakan keadilan-Nya. Sebab Dia Allah, dan 

sebab  itu sempurna tak terhingga dan kudus, Dia sendiri 

tidak dapat berbuat salah dan tidak menyetujui perbuatan sa-

lah manusia. Dia tidak dapat mati, atau berbohong, atau me-

nyangkal Diri-Nya sendiri. Meskipun Dia Mahakuasa, Dia 

tidak akan sekali-kali memakai kuasa-Nya, seperti yang sering 

dilakukan manusia yang berkuasa, untuk mendukung keti-

dakadilan. Ia itu Shaddai – Allah Maha mencukupi dan sebab  

itu Ia tidak dapat dicobai oleh yang jahat (Yak. 1:13) untuk 

melakukan kelaliman. 

2. Allah memberikan keadilan kepada semua orang (ay. 11): Ia 

mengganjar manusia sesuai perbuatannya. Perbuatan baik 

akan diberi upah dan perbuatan jahat akan dihukum atau di-

balas. Dengan demikian, cepat atau lambat, di dunia ini atau 

yang akan datang, Dia akan membuat setiap orang mengalami 

sesuai kelakuannya. Inilah aturan yang berlaku untuk keadil-

an yang merata, untuk membalaskan kepada setiap orang me-

nurut perbuatannya. Katakanlah berbahagia orang benar! 

Celakalah orang fasik! Malapetaka akan menimpanya. Sekali-

pun ibadah yang tekun dilakukan saat ini tidak diupahi, dan 

dosa yang terus dilakukan tidak dibalas, namun akan datang 

harinya saat Allah mengganjar manusia sesuai perbuatannya, 

bersama dengan bunga untuk waktu yang tertunda.  

II. Betapa tegas kebenaran itu dinyatakan, 

1. Disertai jaminan akan kebenarannya: Sungguh (ay. 12). Kebe-

naran ini kebenaran yang tidak dapat disangkal atau diragu-

kan oleh siapa pun, kebenaran yang dapat kita terima begitu 

saja dan disetujui semua orang, bahwa Allah tidak akan ber-

laku fasik. 

2. Disertai penolakan mendalam terhadap pikiran yang menyata-

kan sebaliknya (ay. 10): Jauhlah dari pada Allah untuk melaku-

kan kefasikan, dan dari kita untuk meragukannya sekecil apa 

pun atau mengucapkan perkataan apa pun yang seolah menu-

ding Allah seperti itu.   

III. Betapa jelas kebenaran itu dibuktikan dengan dua dalil: 

1. Kedaulatan dan kekuasaan Allah yang mutlak dan tidak ter-

gantung apa pun (ay. 13): Siapa mempercayakan bumi kepada-

Nya dan memberi-Nya tugas untuk mengurus manusia di 

bumi? Atau, siapa lagi yang mengatur seluruh umat manusia 

selain Dia? Allah-lah satu-satunya yang menguasai semua kera-

jaan manusia, dan memiliki semuanya sendiri, dan Dia tidak 

dipercayakan atau mempercayakannya kepada pihak lain. 

(1) Sudah pasti bahwa pemerintahan milik Allah, dan Dia me-

merintah seturut kehendak-Nya atas alam semesta baik la-

ngit maupun bumi. Oleh sebab  itu, Allah tidak dapat dike-

nai dakwaan ketidakadilan. Masakan Hakim segenap bumi 

tidak menghukum dengan adil (Kej. 18:25)? Bagaimana 

mungkin Allah dapat memerintah atau menghakimi dunia 

jika ada, atau mungkin ada, ketidakadilan pada Allah (Rm. 

3:5-6)? Dia yang memiliki kuasa yang begitu tidak terbatas 

sudah pasti memiliki kemurnian yang tidak bernoda dalam 

diri-Nya. Inilah alasan yang baik bagi mengapa kita harus 

menerima tanpa berbantah segala perlakuan Allah kepada 

kita. Bukankah Dia yang mengatur seluruh dunia pasti 

akan mengatur hidup kita dan urusan kita? 

(2) Begitu pula, sudah pasti bahwa Dia tidak mendapatkan 

kuasa-Nya dari siapa pun, dan tidak diberikan mandat dari 

siapa pun. Sebaliknya, kuasa-Nya asli dan, seperti keber-

adaan-Nya, berasal dari diri-Nya sendiri. Oleh sebab  itu, 

jika Dia tidak sepenuhnya adil, seluruh dunia dan urusan-

nya akan segera berada dalam kekacauan hebat. Segala 

kekuasaan tertinggi di bumi berada di bawah Allah. Kepada 

Allah, mereka harus bertanggung jawab, sebab mereka ti-

dak luput dari berbuat kesalahan. Akan namun , Allah tidak 

berada di bawah siapa pun, sebab Allah tidak mungkin me-

lakukan apa pun yang membuat-Nya perlu diawasi. Demi-

kianlah kesempurnaan kodrat-Nya. Dan, jika Dialah peme-

gang kedaulatan mutlak, maka kita harus tunduk kepada-

Nya, sebab tidak ada kuasa lain yang kepadanya kita dapat 

memohon. Itulah sebabnya ketakwaan itu suatu keharus-

an. 

2. Kuasa Allah yang tidak dapat dilawan, “Jikalau Dia menetap-

kan hati-Nya atas manusia” (ay. 14, KJV) untuk menentangnya, 

terlebih lagi jikalau (seperti penafsiran beberapa orang) dita-

ruh-Nya hati-Nya melawan dia, untuk menghancurkannya. 

Jika Dia memperlakukan manusia berdasarkan summa potes-


tas – kedaulatan semata atau summum jus – keadilan yang 

kaku, maka tidak ada yang dapat berdiri di hadapan-Nya. Roh 

dan napas manusia akan segera melayang pergi dan binasalah 

bersama-sama segala yang hidup (ay. 15). Sering kali, ke-

sucian manusia hanya bergantung pada ketidakmampuannya. 

Manusia tidak berbuat salah sebab  tidak dapat menanggung-

nya saat kesalahan itu terjadi, atau mereka tidak berkuasa 

untuk melakukannya. Sebaliknya, Allah dapat menghancur-

kan manusia dengan mudah dan sekonyong-konyong. Meski-

pun demikian, Allah tidak memakai  kuasanya dengan 

sembarangan untuk menghancurkan manusia, sifat yang ha-

rus dikaitkan dengan kesempurnaan-Nya yang tidak terbatas 

dan tidak dapat berubah. Lihatlah di sini, 

(1) Hal yang dapat dilakukan Allah kepada kita. Dalam sekejap 

Ia dapat membuat kita menjadi debu. Untuk melakukannya, 

Dia tidak perlu mengambil tindakan tertentu yang meng-

gunakan kemahakuasaan-Nya. Cukup bagi-Nya untuk me-

narik saja penyelenggaraan-Nya yang menopang hidup kita. 

Jikalau Ia menarik kembali Roh-Nya, dan mengembalikan 

nafas-Nya yang berasal dari tangan-Nya dan masih berada di 

tangan-Nya, maka segera saja kita pun berhenti hidup, se-

perti binatang dalam wadah yang udaranya disedot keluar. 

(2) Hal yang dapat dilakukan Allah kepada kita tanpa berbuat 

salah kepada kita. Ia dapat menarik kembali ciptaan yang 

diberikannya untuk hidup kita. Kita hanya penyewa cipta-

an itu sesuai keinginan-Nya, dan kita pun sudah kehilang-

an hak atas ciptaan itu. Dengan demikian, selama pemberi-

an itu masih diberikan-Nya kepada kita sebab  perkenan-

an-Nya semata, kita tidak memiliki alasan untuk menangis 

sebab  merasa dicurangi, saat  ada kenyamanan yang 

diambil dari hidup kita. 

Tutur Kata Elihu  

(34:16-30) 

16 Jikalau engkau berakal budi, dengarkanlah ini, pasanglah telinga kepada 

apa yang kuucapkan. 17 Dapatkah pembenci keadilan memegang kekuasaan, 

dan apakah engkau mau mempersalahkan Dia yang adil dan perkasa, 18 Dia 

yang berfirman kepada raja: Hai, orang dursila, kepada para bangsawan: Hai, 

orang fasik; 19 Dia yang tidak memihak kepada para pembesar, dan tidak 

mengutamakan orang yang terkemuka dari pada orang kecil, sebab  mereka 

sekalian yaitu  buatan tangan-Nya? 20 Dalam sekejap mata mereka mati, ya, 

pada tengah malam orang dikejutkan dan binasa; mereka yang perkasa dile-

nyapkan bukan oleh tangan orang. 21 sebab  mata-Nya mengawasi jalan ma-

nusia, dan Ia melihat segala langkahnya; 22 tidak ada kegelapan ataupun 

kelam kabut, di mana orang-orang yang melakukan kejahatan dapat bersem-

bunyi. 23 sebab  bagi manusia Ia tidak menentukan waktu untuk datang 

menghadap Allah supaya diadili, 24 orang-orang yang perkasa diremukkan-

Nya dengan tidak diperiksa, dan orang-orang lain diangkat-Nya ganti mereka.   

25 Jadi, Ia mengetahui perbuatan mereka, dan menggulingkan mereka di 

waktu malam, sehingga mereka hancur lebur. 26 Mereka ditampar-Nya ka-

rena kefasikan mereka, dengan dilihat orang banyak, 27 sebab  mereka me-

ninggalkan-Nya, dan tidak mengindahkan satupun dari pada jalan-Nya, 28 se-

hingga mereka menyebabkan jeritan orang miskin naik ke hadapan-Nya, dan 

Ia mendengar jeritan orang sengsara. 29 – Kalau Dia berdiam diri, siapa akan 

menjatuhkan hukuman? Kalau Dia menyembunyikan wajah-Nya, siapa akan 

melihat Dia, baik itu sesuatu bangsa atau orang seorang? –, 30 supaya jangan 

menjadi raja orang fasik yang yaitu  jerat bagi orang banyak.  

Elihu di sini lebih mengarahkan perkataannya kepada Ayub. Sebe-

lumnya, ia berbicara kepada yang lain (ay. 10): orang-orang yang ber-

akal budi. Sekarang, saat berbicara kepada Ayub, ia menambahkan 

jikalau di depan berakal budi: Jikalau engkau berakal budi, dengar-

kanlah ini dan amatilah (ay. 16). 

I. Dengarkanlah ini, bahwa Allah tidak seharusnya diajak berbantah 

dalam apa pun yang dilakukan-Nya. Sungguh prasangka yang 

lancang jika kita menyalahkan dan menuding tindakan Allah, 

seperti yang dilakukan Ayub dengan kekecewaannya. Menuding 

Allah itu, 

1. Sama tidak masuk akalnya seperti mengangkat seorang mu-

suh keadilan menjadi penguasa: Dapatkah pembenci keadilan 

memegang kekuasaan (ay. 17). Tuhan yang adil begitu mencin-

tai keadilan sampai-sampai, dibandingkan dengan Allah, Ayub 

sendiri, walaupun demikian saleh dan jujur, dapat dikatakan 

membenci keadilan. Dan dapatkah Ayub memegang kekuasa-

an? Dapatkah dia mengatur Allah atau meluruskan hal yang 

dilakukan-Nya? Dapatkah makhluk yang demikian tidak adil 

seperti kita memberi hukum kepada Allah yang adil? Atau 

haruskah Allah menyesuaikan tindakan-Nya dengan kemauan 

kita? Jika kita merenungkan rusaknya kodrat kita, dan hal-hal 

dalam diri kita yang bertentangan dengan hukum keadilan 

yang kekal, maka pastilah kita akan menyadari betapa lancang 

dan fasik jika kita mengatur Allah. 


2. Menuding Allah itu sama tidak masuk akalnya seperti meng-

ajukan seorang pribadi yang paling adil dan tidak bersalah ke 

persidangan, dan menjatuhkan penghakiman terhadap-Nya, 

padahal sudah sangat jelas terbukti bahwa dia paling adil: Apa-

kah engkau mau mempersalahkan Dia yang adil dalam segala 

jalan-Nya, yang tidak dapat tidak selalu adil?  

3. Menuding Allah itu lebih tidak masuk akal dan tidak pantas 

daripada perbuatan yang berkata kepada raja yang berdaulat, 

Hai, orang dursila, dan kepada hakim di pengadilan, Hai, orang 

fasik (ay. 18). Tindakan ini merupakan penghinaan tidak ter-

bayangkan terhadap keagungan dan kemuliaan peradilan. Ti-

dak ada raja, tidak ada pemimpin yang akan membiarkannya. 

Dengan berpihak kepada pemerintah, kita menganggap putus-

an yang diberikan sudah benar, kecuali jika ada bukti jelas 

untuk hal sebaliknya. Akan namun , apa pun yang kita pikirkan, 

tetap tidak pantas mengatakan langsung ke hadapan raja 

bahwa ia jahat. Natan menegur Daud dengan perumpamaan. 

Namun, apa pun yang dilakukan imam atau nabi, tidaklah 

pantas bagi seorang rakyat biasa membuat pernyataan yang 

begitu berani terhadap penguasa yang ada. Betapa lebih ko-

nyol lagi untuk mengatakan hal itu kepada Allah, menuduh-

kan kejahatan kepada-Nya, yang tanpa memandang orang, 

tidak tergoda untuk melakukan hal yang tidak adil! Dia tidak 

mengutamakan orang yang terkemuka dari pada orang kecil, 

dan sebab  itu, pantaslah jika Dia memerintah, dan tidak 

pantas jika kita mencari-cari kesalahan-Nya (ay. 19). Perhati-

kanlah, orang kaya dan orang miskin berdiri sama tinggi di 

hadapan Allah. Orang besar tidak akan pernah lebih diuntung-

kan atau mendapat perkenanan sebab  kekayaan dan kebe-

sarannya. Begitu pula, orang miskin tidak akan pernah diper-

lakukan tidak baik sebab  kemiskinannya, atau perkara orang 

jujur tidak dihiraukan. Ayub, walaupun saat ini miskin, tetap 

mendapatkan perkenanan yang sama besar dari Allah, dan 

tetap dihiraukan oleh-Nya, seperti waktu dia kaya, sebab  me-

reka sekalian yaitu  buatan tangan-Nya. Mengenai pribadi 

mereka: orang miskin dibuat oleh tangan yang sama, meng-

gunakan cetakan yang sama, seperti halnya orang kaya. Me-

ngenai keadaan mereka: orang miskin dibuat miskin oleh pe-

nyelenggaraan ilahi, demikian pula orang kaya dibuat kaya 


oleh penyelenggaraan yang sama. Oleh sebab  itu, orang mis-

kin tidak akan pernah diperlakukan tidak baik sebab  bagian 

yang sudah ditentukan baginya itu, dan bukan sebab  kesa-

lahannya. 

II. Dengarkanlah ini, bahwa Allah harus diakui dan dipatuhi dalam 

segala yang dilakukan-Nya. Berbagai pertimbangan diberikan Elihu 

di sini kepada Ayub, untuk mengajari dia pikiran-pikiran yang 

agung dan luhur akan Allah, supaya ia insaf dan tunduk lalu 

menghentikan perbantahannya terhadap Allah. 

1. Allah itu Mahakuasa, mampu mengendalikan orang-orang ter-

kuat sekalipun saat  ia mengadakan penghakiman dengan 

mereka (ay. 20). Bahkan orang banyak, seluruh bangsa, mes-

kipun begitu besar jumlahnya, dapat dikejutkan, dibuat gusar, 

dan dikacaukan, sekehendak hati-Nya. Bahkan orang perkasa, 

raja, meskipun begitu dihormati, ditakuti di antara manusia, 

dapat, jika Allah berfirman, dilenyapkan dari takhtanya, bah-

kan dari negeri orang hidup. Mereka akan mati. Mereka akan 

lenyap. Apa yang tidak dapat dilakukan-Nya, yang memiliki se-

gala kuasa maut dalam perintah-Nya? Lihatlah kehancuran 

yang tiba-tiba ini: Dalam sekejap mata mereka mati. Bukan ma-

salah waktu bagi Allah untuk menjatuhkan musuh-Nya yang 

sombong. Kapan saja Ia berkehendak, hal itu sesaat  terjadi. 

Allah juga tidak berkewajiban untuk memperingatkan mereka, 

tidak, peringatan sebentar saja pun tidak. Pada malam ini juga, 

jiwamu akan diambil dari padamu. Amatilah waktu terjadinya: 

Pada tengah malam orang dikejutkan, saat mereka merasa 

aman, lalai, dan tidak dapat menolong dirinya, seperti yang 

terjadi pada orang Mesir saat  anak-anak sulung mereka dibi-

nasakan. Ini pekerjaan Allah yang tiba-tiba: mereka dilenyap-

kan, bukan oleh tangan orang, tanpa dapat dilihat atau dirasa-

kan, oleh penghakiman yang diam-diam. Allah sendiri mampu 

merendahkan penguasa yang lalim, tanpa bantuan atau per-

antaraan manusia. Tangan mana pun yang terkadang Dia 

gunakan untuk mencapai tujuan-Nya, sebenarnya tidak dibu-

tuhkan-Nya, Dia dapat melakukannya tanpa tangan orang. 

Bukan pula hanya satu orang perkasa saja yang dijungkirba-

likkan-Nya, bahkan sekumpulan besar mereka: “Orang-orang 

yang perkasa diremukkan-Nya dengan tiada terbilang jumlah-


nya” (ay. 24; KJV). Sebab gabungan segala kuasa apa pun tidak 

ada yang dapat bertahan terhadap Yang Mahakuasa. Meski 

demikian, saat  Allah menghancurkan penguasa yang lalim, 

Dia tidak merancangkannya dengan semena-mena. Apabila 

mereka yang memerintah dengan jahat diturunkan-Nya, bu-

kan berarti rakyat lantas tidak memiliki pemimpin. Sebab, saat 

Dia meremukkan orang perkasa, orang-orang lain diangkat-

Nya ganti mereka, orang-orang yang akan memimpin dengan 

lebih baik. Jika mereka tidak lebih baik, Dia menggulingkan 

mereka di waktu malam, atau dalam semalam, sehingga mere-

ka hancur lebur (ay. 25). Lihatlah Belsyazar. Atau, jikalau Dia 

memberi mereka kesempatan untuk bertobat, Dia tidak lantas 

menghancurkan mereka sesaat  itu juga, namun  mereka di-

tampar-Nya sebab  kefasikan mereka (ay. 26). Suatu hukuman 

yang mempermalukan dan merendahkan dijatuhkan atas 

mereka. Para pemimpin yang jahat ini dipukul sama seperti 

orang fasik lain, sama pastinya, sama sakitnya, dipukul di 

tubuhnya, hartanya, atau keluarganya, dan pukulan ini men-

jadi peringatan bagi orang-orang di sekitarnya. Pukulan ini 

diberikan in terrorem – sebagai peringatan bagi yang lain, dan 

sebab  itu diberikan dengan dilihat orang banyak, agar mereka 

dapat melihat dan menjadi takut, dan gemetar di hadapan 

keadilan Allah. Jika raja saja tidak dapat bertahan di hadap-

an-Nya, bagaimana pula jadinya dengan kita!  

2. Allah itu Mahatahu, dan dapat menyingkap hal-hal yang sa-

ngat tersembunyi. Sama seperti yang terkuat tidak dapat 

menghadapi tangan-Nya, demikian pula yang tersamar pun 

tidak dapat lolos dari mata-Nya. Oleh sebab  itu, jika ada 

orang dihukum lebih berat atau lebih ringan daripada yang 

seharusnya menurut kita, ketimbang berbantah dengan Allah, 

lebih baik kita memandangnya disebabkan oleh rahasia yang 

hanya diketahui oleh Allah. Sebab,  

(1) Segala sesuatu terbuka di hadapan-Nya (ay. 21): sebab  

mata-Nya mengawasi jalan manusia, bukan hanya semua-

nya berada dalam jangkauan penglihatan-Nya sehingga Dia 

dapat melihat mereka, namun  juga mata-Nya mengawasi 

mereka, Dia mengamati dan menyelidiki mereka. Dia meli-

hat kita semua, dan melihat ke mana saja kita pergi. Sila-

kan pergi ke mana saja, kita selalu diawasi oleh mata-Nya. 


Semua tindakan kita, baik dan jahat, diperhitungkan, dica-

tat, dan disimpan untuk dihakimi saat kitab-kitab dibuka. 

(2) Tidak ada yang tersembunyi atau dapat disembunyikan 

dari-Nya (ay. 22): Tidak ada kegelapan ataupun kelam 

kabut yang begitu dekat, begitu pekat, begitu tersembunyi, 

begitu jauh dari cahaya atau pandangan sehingga seolah di 

dalamnya orang-orang yang melakukan kejahatan dapat ber-

sembunyi dari mata yang menyelidiki dan tangan yang 

membalas, yakni mata dan tangan Allah yang benar. Amati-

lah di sini, 

[1] Orang-orang yang melakukan kejahatan, jika bisa, akan 

bersembunyi dari mata dunia sebab  rasa malu (dan 

hal itu mungkin mereka lakukan), dan dari mata Allah 

sebab  rasa takut, seperti Adam bersembunyi di antara 

pepohonan di taman Eden. namun  hari itu akan datang 

saat  orang-orang berkuasa, dan perwira-perwira, akan 

berteriak kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu 

karang agar menyembunyikan mereka. 

[2] Mereka akan lebih suka bersembunyi di balik bayang-

bayang maut, bersembunyi di balik kubur, dan ter-

baring di sana selamanya, ketimbang dihadapkan pada 

takhta pengadilan Kristus. 

(3) Sia-sia saja ingin menghindari keadilan Allah, atau melari-

kan diri saat  murka-Nya mengejar kita. Orang-orang yang 

melakukan kejahatan dapat mencari cara dan sarana 

untuk bersembunyi dari manusia, namun  tidak dari Allah: Ia 

mengetahui perbuatan mereka (ay. 25), baik yang mereka 

lakukan maupun yang mereka rancangkan. 

3. Allah itu adil, dan dalam segala tindakan-Nya, Dia berlaku se-

suai dengan aturan kesamarataan. Bahkan sewaktu Dia meng-

gulingkan orang-orang perkasa, dan menghancurleburkan me-

reka, tetap saja bagi manusia Ia tidak menanggungkan lebih 

berat daripada yang seharusnya (ay. 23). Sama seperti Allah 

tidak akan menghukum yang tidak bersalah, demikian pula Ia 

tidak akan menuntut mereka yang bersalah lebih dari yang 

pantas menurut kesalahan mereka. Dan, mengenai kepantasan 

penghukuman antara dosa dan hukuman, Sang Hikmat Tanpa 

Batas yang akan menilai. Allah tidak akan memberikan alasan 


bagi manusia untuk mengeluh bahwa Dia memperlakukan 

mereka dengan keras, dan tidak akan ada manusia yang da-

tang menghadap Allah (KJV: berbantah dengan Allah), atau 

mengajukan tuntutan melawan Dia. Jika manusia berbantah, 

Allah pasti benar saat  Dia berbicara, dan tidak bersalah saat 

Dia menghakimi. Itulah sebabnya, Ayub memang harus diper-

salahkan atas keluhan-keluhannya terhadap Allah, dan dia di 

sini dinasihati dengan baik untuk meninggalkan perbuatannya 

itu, sebab ia pasti ditolak dan dianggap berlaku tidak pantas. 

Tidaklah pantas bagi manusia berikhtiar untuk datang meng-

hadap Yang Mahakuasa dalam pengadilan. Demikianlah bebe-

rapa penafsir membaca seluruh ayat ini. Ayub sudah sering 

kali ingin membawa perkaranya ke hadapan Allah. Elihu ber-

tanya, “Untuk apa? Penghakiman yang sudah diputuskan ber-

kaitan denganmu pasti akan diteguhkan. Tidak ada kesalahan 

yang akan ditemukan dalam penghakiman-Nya, dan tidak 

akan ada pengecualian apa pun di situ, selain bahwa peng-

hakiman itu harus tetap berlaku seperti adanya.” Semua yang 

Allah lakukan baik, dan akan didapati demikian. Untuk mem-

buktikan bahwa saat Allah menghancurkan orang-orang per-

kasa, dan menampar mereka sebab  kefasikan mereka, Dia 

tidak menanggungkan kepada mereka lebih berat daripada 

yang seharusnya, Dia menunjukkan kepada mereka kefasikan 

mereka (ay. 27-28). Biarlah manusia membandingkannya de-

ngan hukuman mereka, dan menilai apakah mereka pantas 

mendapatkannya. Singkatnya, hakim-hakim yang tidak adil 

ini, yang akan dihakimi Allah dengan adil, tidak takut akan 

Allah dan tidak menghormati seorangpun (Luk. 18:2). 

(1) Mereka memberontak terhadap Allah: Mereka meninggal-

kan-Nya, membuang rasa takut akan Dia, dan sama sekali 

tidak peduli dengan Dia. Mereka tidak mengindahkan satu-

pun dari pada jalan-Nya, tidak mengindahkan baik ketetap-

an-Nya maupun penyelenggaraan-Nya, melainkan hidup 

tanpa Allah di dunia. Inilah yang menjadi alasan dari se-

gala kejahatan orang jahat, yaitu mereka meninggalkan 

Allah. Dan, hal itu terjadi sebab  mereka tidak mengindah-

kan Allah, bukan sebab  mereka tidak bisa, namun  sebab  

mereka tidak mau mengindahkan-Nya. Dari ketidakacuhan 


muncullah ketidaksalehan, dan dari sana muncullah segala 

kebejatan. 

(2) Hakim-hakim yang tidak benar itu menjadi penguasa yang 

lalim bagi seluruh umat manusia (ay. 28). Mereka sendiri 

tidak akan berseru kepada Allah. Namun, mereka menye-

babkan jeritan orang miskin naik ke hadapan-Nya, dan jerit-

an itu melawan mereka. Mereka mencelakakan dan menin-

das orang miskin, menyakiti mereka, menghancurkan me-

reka, membuat mereka lebih miskin lagi, dan menambah 

penderitaan ke atas penderitaan mereka. Orang miskin itu 

berseru kepada Allah, menaikkan keluhan mereka kepada-

Nya, dan Dia mendengar mereka dan membela perkara me-

reka. Buruklah perkara orang, jika doa dan air mata orang 

miskin menentang mereka. Sebab jeritan orang yang tertin-

das, cepat atau lambat, akan menarik turun pembalasan 

terhadap kepala si penindas, dan tidak seorang pun dapat 

berkata pembalasan ini lebih berat daripada seharusnya 

(Kel. 22:23). 

4. Allah memiliki kuasa yang tidak dapat dikendalikan dalam 

segala urusan anak manusia. Dia membimbing dan mengatur 

segala sesuatu, baik yang berkaitan dengan sekumpulan orang 

maupun orang per orang sedemikian rupa sehingga hal yang 

dirancangkan-Nya tidak dapat ditentang, dan hal yang dilaku-

kan-Nya tidak dapat diubah (ay. 29). Amatilah, 

(1) Ketidaksukaan siapa pun di dunia tidak dapat merisaukan 

orang yang ditenangkan Allah dengan senyum-Nya. Kalau 

Dia memberikan ketenangan, siapa akan meresahkan?” (ay. 

29, KJV). Hal ini sungguh mendatangkan tantangan bagi 

segala kekuasaan di neraka dan di bumi untuk meresah-

kan orang yang kepadanya Allah memfirmankan damai dan 

menciptakan damai. Jika Allah memberikan damai lahiriah 

kepada sebuah bangsa, Dia dapat menjamin damai yang 

diberikan-Nya, dan melumpuhkan musuh agar tidak dapat 

mengganggu damai itu. Jika Allah memberikan damai ba-

tiniah kepada seseorang, yaitu ketenangan dan rasa aman 

abadi yang berasal dari kebenaran, maka segala tuduhan 

Iblis maupun penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat, 

tidak, bahkan sergapan maut pun, tidak dapat meresahkan 


orang itu. Apa yang dapat menggelisahkan orang itu sendiri 

akan menetap dalam kebahagiaan (Lih. Flp. 4:7)? 

(2) Senyuman seluruh dunia tidak dapat menenangkan orang 

yang digelisahkan Allah dengan kemarahan-Nya. Sebab, 

kalau Dia, dalam ketidaksenangan-Nya, menyembunyikan 

wajah-Nya, dan menahan penghiburan perkenanan-Nya, 

maka siapa akan melihat Dia? Yaitu, siapa yang dapat 

sanggup memandang Allah yang sedang marah, sanggup 

menghadapi murka-Nya atau mengalihkannya? Siapa yang 

dapat membuat Allah memperlihatkan wajah-Nya saat Dia 

memutuskan untuk menyembunyikannya, atau melihat 

menembus awan dan kegelapan yang melingkupi-Nya? 

Atau, siapa yang dapat sanggup memandang orang berdosa 

yang gelisah sehingga memberinya kelegaan? Siapa yang 

dapat tahan menjadi sahabat orang yang dimusuhi Allah? 

Tidak ada orang yang dapat memberi kelegaan pada kesu-

sahan lahiriah tanpa Allah. Jika TUHAN tidak menolong 

engkau, dengan apakah aku dapat menolong engkau (2Raj. 

6:27)? Begitu pula, tidak ada orang yang dapat memberi 

kelegaan pada pikiran yang menentang Allah dan kengeri-

an-Nya. Jika Allah menaruh kesan murka terhadap nurani 

yang bersalah, segala penghiburan yang dapat diberikan 

makhluk ciptaan tidak akan berarti. Seperti cuka pada 

luka, demikianlah orang yang menyanyikan nyanyian untuk 

hati yang sedih (Ams. 25:20, KJV) . Ketidakmampuan kita 

dalam melawan segala perjaan Allah harus kita akui saat  

Ia berurusan dengan sekumpulan orang maupun orang per 

orang. Apa yang Ia perbuat tidak dapat dikendalikan, baik 

terhadap sesuatu bangsa secara umum maupun terhadap 

orang seorang dalam perkara pribadinya. Sang Penyeleng-

gara yang menguasai kerajaan-kerajaan perkasa juga meng-

atur perkara orang per orang yang hina dina. Kekuatan selu-

ruh bangsa tidak mampu menahan kuasa-Nya, dan tidak 

berartinya satu orang tidak dapat lolos dari perhatian-Nya. 

Dan, segala sesuatu yang dilakukan-Nya pasti akan ber-

hasil dan berjaya. 

5. Allah itu bijaksana, dan peduli dengan kesejahteraan orang 

banyak. Oleh sebab  itu, Dia mengatur supaya jangan menjadi 


raja orang fasik yang yaitu  jerat bagi orang banyak (ay. 30). 

Lihatlah di sini, 

(1) Kesombongan orang munafik. Mereka ingin memerintah. 

Pujian manusia dan kuasa di dunia yaitu  upah mereka, 

yang mereka kejar.  

(2) Cara-cara pemimpin yang lalim. Saat ingin meninggikan 

dirinya, mereka adakalanya memakai  agama sebagai 

jubah untuk menutupi ambisi mereka, dan dengan kemu-

nafikan, mereka naik ke atas takhta. 

(3) Bahaya yang dihadapi orang banyak saat orang munafik me-

merintah. Mereka mungkin akan dijerat dalam dosa, atau 

kesulitan, atau keduanya. Kuasa, di tangan orang munafik, 

sering kali berbahaya bagi hak dan kemerdekaan orang ba-

nyak, yang lebih mudah mereka hasut daripada paksa. Be-

gitu pula, banyak kejahatan telah dilakukan terhadap kua-

sa kesalehan oleh perbuatan yang bertopengkan kesalehan.  

(4) Tindakan yang diambil Sang Penyelenggara ilahi untuk me-

lindungi orang banyak demi menghindarkan bahaya ini, su-

paya orang fasik jangan menjadi raja (ay. 30, KJV), entah 

supaya dia jangan sampai memerintah, atau jangan terlalu 

lama memerintah. Jika Allah berbelaskasihan kepada sua-

tu bangsa, Dia akan mencegah naiknya pemimpin yang fa-

sik atau mempercepat keruntuhan mereka.  

Tutur Kata Elihu  

(34:31-37) 

31 namun  kalau seseorang berkata kepada Allah: Aku telah menyombongkan 

diri, namun  aku tidak akan lagi berbuat jahat; 32 apa yang tidak kumengerti, 

ajarkanlah kepadaku; jikalau aku telah berbuat curang, maka aku tidak 

akan berbuat lagi, 33 menurut hematmu apakah Allah harus melakukan pem-

balasan sebab  engkau yang menolak? Jadi, engkau jugalah yang harus me-

mutuskan, bukan aku; katakanlah apa yang engkau tahu! 34 Maka orang-

orang yang berakal budi dan orang yang mempunyai hikmat yang mende-

ngarkan aku akan berkata kepadaku: 35 Ayub berbicara tanpa pengetahuan, 

dan perkataannya tidak mengandung pengertian. 36 Ah, kiranya Ayub diuji 

terus-menerus, sebab  ia menjawab seperti orang-orang jahat! 37 sebab  ia 

menambahkan dosanya dengan pelanggaran, ia mengepalkan tangan di anta-

ra kami dan banyak bicara terhadap Allah.” 

 


Dalam perikop ini, 

I. Elihu mengajar Ayub apa yang seharusnya dikatakannya dalam 

penderitaannya (ay. 31-32). Setelah menegur Ayub atas kata-

katanya yang cerewet dan penuh kemarahan, Elihu di sini meng-

ajarkan kata-kata yang lebih baik untuk diucapkan Ayub. saat  

kita menegur yang salah, kita juga harus mengarahkan ke yang 

benar, supaya teguran kita menjadi teguran yang mendidik (Ams. 

6:23). Elihu tidak memaksakan kata-kata ini kepada Ayub, 

melainkan menganjurkannya kepadanya, sebagai hal yang patut 

dikatakan. Pada umumnya, dia ingin Ayub bertobat dari perilaku-

nya yang tidak pantas, dari ungkapan-ungkapan yang tidak patut, 

dalam penderitaannya. Sahabat-sahabat Ayub yang lain ingin 

agar Ayub mengakui bahwa dia orang jahat, namun  mereka menga-

caukannya sebab  berlebihan melakukannya. Elihu hanya ingin 

membuat Ayub mengakui bahwa dia, dalam berdebat, teledor de-

ngan kata-katanya. Biarlah kita mengingat hal ini, dalam memberi 

teguran, janganlah kita membuat masalah yang ada lebih buruk 

daripada sebenarnya. Sebab dengan melebih-lebihkan kejahatan, 

pihak penuntut bisa kalah dalam persidangan. Elihu bertindak 

benar, dan terus maju. Dia mengarahkan Ayub, 

1. Untuk merendahkan dirinya di hadapan Allah atas dosa-dosa-

nya, dan untuk menerima hukuman atas dosa-dosa itu,  “Aku 

telah menanggung hajaran” (ay. 31, KJV). Apa yang kuderita 

adil bagiku, dan sebab  itu, aku akan menanggungnya, dan 

bukan hanya mengakui bahwa Allah benar dalam perbuatan-

nya, namun  juga mengakui kebaikan-Nya.” Banyak orang yang 

dihajar tidak mau menanggung hajaran yang diterimanya, 

tidak mau menanggungnya dengan baik, dan akibatnya tidak 

bersedia menanggungnya sama sekali. Orang yang bertobat, 

jika mereka tulus, akan menerima dengan baik segala yang 

dilakukan Allah, dan akan menanggung hajarannya sebagai 

tindakan penyembuhan yang dimaksudkan untuk kebaikan. 

2. Untuk berdoa kepada Allah agar menyingkapkan dosanya ke-

padanya (ay. 32): “Apa yang tidak kumengerti, ajarkanlah kepa-

daku. Tuhan, setelah merenungkan, aku menemukan banyak 

kesalahan dalam diriku dan banyak kesalahan yang telah 

kulakukan. Malah beralasan bagiku untuk takut ada lebih ba-

nyak kesalahan lagi yang tidak kusadari, kekejian yang lebih 


besar, yang sebab  keteledoran, kesalahan, dan suka membela 

diri sendiri, belum dapat kulihat. Tuhan, buatlah aku melihat-

nya, sadarkan aku dengan nurani untuk melakukan kewajib-

anku dengan setia.” Orang benar bersedia memahami sisi ter-

buruk dirinya, dan terutama, dalam penderitaan, sangat ingin 

diberi tahu alasan Allah berperkara dengannya dan rancangan 

Allah dalam menegurnya. 

3. Untuk menjanjikan perubahan (ay. 31): Aku tidak akan lagi 

berbuat jahat. “Jikalau aku telah berbuat curang (atau, sebab  

aku memang telah berbuat curang), maka aku tidak akan 

berbuat lagi. Apa pun yang Engkau dapati salah dalam diriku, 

dengan kasih karunia, akan kuperbaiki di masa depan.” Per-

kataan ini menyiratkan pengakuan bahwa kita telah melaku-

kan pelanggaran, penyesalan sejati, dan dukacita saleh atas 

pelanggaran itu, dan ketundukan yang penuh kerendahan hati 

terhadap rancangan Allah dalam menyengsarakan kita, yang 

bertujuan untuk memisahkan kita dari dosa-dosa kita. De-

ngan ini, orang yang bertobat itu menyempurnakan pertobat-

annya. Sebab tidaklah cukup merasa menyesal atas dosa-dosa 

kita, namun  kita juga harus pergi dan tidak berbuat dosa lagi, 

dan, seperti dinyatakan di sini, mengikat diri kita dengan ikat-

an tekad yang teguh untuk tidak kembali lagi melakukan ke-

bodohan. Pernyataan ini cocok dikatakan dalam tekad yang 

pasti, dan cocok dikatakan kepada Allah dalam janji dan sum-

pah yang sungguh-sungguh. 

II. Elihu mempersoalkan Ayub mengenai kekecewaan dan keresahan 

Ayub dalam penderitaannya (ay. 23). Kita mudah berpikir bahwa 

segala sesuatu yang berkaitan dengan diri kita seharusnya tepat 

seperti yang kita harapkan. Namun, Elihu di sini menunjukkan, 

1. Sungguh konyol dan tidak masuk akal berharap demikian: 

“Menurut hematmu apakah Allah harus melakukan pembalas-

an? (ay. 33). Tidak, mengapa harus demikian?” Elihu di sini 

berbicara dengan rasa hormat yang besar akan kehendak dan 

hikmat ilahi, dan hatinya puas: sangatlah pantas bahwa 

segala sesuatu terjadi menurut pikiran Allah. Dia juga ber-

bicara mencela lagak orang sombong, serasa ingin menguliti 

mereka: Haruskah menurut kehendakmu? Haruskah kita selalu 

mendapatkan kebaikan yang ingin kita nikmati? Kalau begitu, 


kita harus menyalahi dan melanggar hak orang dan dengan 

bodoh menjerat diri kita sendiri. Tidak bolehkah kita diseng-

sarakan sebab  kita tidak mengharapkannya? Pantaskah jika 

orang berdosa tidak kena hukuman, jika orang pintar tidak 

boleh diajar? Atau, jika kita harus disengsarakan, pantaskah 

jika boleh memilih tongkat yang akan memukul kita? Tidak. 

Memang sudah seharusnya segala sesuatu terjadi menurut 

pikiran Allah, dan bukan pikiran kita. Sebab Dia yaitu  Pen-

cipta, dan kita ciptaan. Dia bijaksana dan Maha mengetahui 

tanpa batas, sedangkan kita bodoh dan berpandangan sempit. 

Pikiran Allah bulat, sementara pikiran kita terbagi-bagi. 

2. Sungguh sia-sia, dan tidak ada gunanya, berharap demikian: 

“Allah akan mengadakan pembalasan entah engkau menolak 

atau engkau memilih.” (ay. 33, KJV). Allah akan melakukan me-

nurut cara-Nya sendiri, memenuhi, menggenapi rencana-Nya 

sendiri, dan membalas menurut putusan pengadilan-Nya sen-

diri, entah engkau senang atau tidak. Allah tidak akan memin-

ta izinmu atau menanyakan saranmu. Sebaliknya, hal yang 

sesuai kehendak-Nya, itulah yang akan dilakukan-Nya. Oleh 

sebab  itu, bijaksanalah engkau jika engkau tenang, dan meng-

ambil hikmahnya. Berbuat yang terbaik dalam keadaan yang 

ada, sebab engkau tidak berkuasa mengubah keadaan itu. 

Jika engkau berlagak ingin memilih dan menolak,” yaitu, 

“mengatur Allah dan menentang perbuatan-Nya, aku tidak 

akan berbuat demikian. Aku akan menerima saja segala yang 

diperbuat-Nya. Katakanlah apa yang akan engkau lakukan, 

akankah engkau menolak atau tunduk. Perkara ini dibentang-

kan dengan jelas di hadapanmu. Jangan bertele-tele. Engkau 

ada di tangan Allah, bukan di tanganku.” 

III. Elihu bertanya kepada semua orang yang berpengertian dan tidak 

berpihak apakah bukan dosa dan kebodohan besar ucapan yang 

dikatakan Ayub.  

1. Elihu ingin agar masalah itu diselidiki dengan saksama dan 

diperkarakan: “Ah, kiranya Ayub diuji terus-menerus (ay. 36). 

Jika ada orang yang mau membenarkan ucapan Ayub, biarlah 

mereka melakukannya. Jika tidak ada, marilah kita bersepa-

kat untuk memberi kesaksian yang menentangnya.” Banyak 

orang menafsirkan ujian ini sebagai penderitaan Ayub: “Biar-


lah penderitaan Ayub diteruskan hingga ia betul-betul ditun-

dukkan, dan rohnya yang sombong direndahkan, sampai ia 

melihat kesalahannya dan menarik kembali ucapan lancang 

yang dikatakannya terhadap Allah dan penyelenggaraan-Nya. 

Biarlah ujian Ayub dilanjutkan sampai tujuannya tercapai.” 

2. Elihu berseru kepada Allah dan manusia, dan meminta peni-

laian keduanya atas hal itu. 

(1) Beberapa orang menafsirkan ayat 36 sebagai seruan ke-

pada Allah: Ya Bapaku, kiranya Ayub diuji. Demikianlah 

tafsiran luasnya, sebab kata yang sama dipakai untuk ke-

inginanku dan Bapaku. Dan beberapa orang menduga 

bahwa Elihu menengadah saat mengatakan ini, yaitu, “Ya 

Bapaku yang di sorga! Kiranya Ayub diuji sampai dia 

tunduk.” Saat kita berdoa untuk mendapatkan manfaat 

dari penderitaan, baik bagi diri kita sendiri maupun orang 

lain, kita harus melihat Allah sebagai Bapa, sebab pen-

deritaan itu merupakan teguran seorang ayah dan bagian 

dari didikan keluarga (Ibr. 12:7). 

(2) Elihu berseru kepada orang-orang yang lewat (ay. 34): 

“Kiranya orang-orang yang berakal budi berkata kepadaku 

apakah mereka dapat membenarkan perkataan Ayub, bah-

wa Ayub tidak berkata-kata jahat, dan ia tidak perlu ber-

seru, Peccavi – Aku telah berbuat kesalahan.” Dalam ucap-

an yang dikatakan Ayub, Elihu melihat, 

[1] Bahwa Ayub sendiri tidak benar-benar memahami diri-

nya sendiri, sehingga berbicara bodoh (ay. 35). Elihu 

tidak dapat menuduh Ayub tidak berpengetahuan dan 

berhikmat. Namun, dalam perkara ini, Ayub berbicara 

tanpa pengetahuan, dan, apa pun yang dimaksudkan 

Ayub dalam hatinya, perkataannya tidak bijaksana. Apa 

yang dikatakannya terhadap istrinya dapat dikembali-

kan kepada dirinya sendiri, dia berbicara seperti orang 

gila. Dan dengan pemikiran yang sama, Apakah kita 

mau menerima yang baik dari Allah, namun  tidak mau 

menerima yang buruk (2:10)? Terkadang kita sendiri 

membutuhkan dan pantas menerima teguran yang kita 

berikan kepada orang lain. Orang yang menghina hik-

mat Allah sebenarnya menghina hikmatnya sendiri. 


[2] Bahwa Ayub tidak memberi hormat yang seharusnya 

kepada Allah, berbicara jahat. Jika perkataannya diuji 

sampai akhir, yaitu, jika orang mengupasnya sampai 

seburuk-buruknya, akan didapati:  

Pertama, bahwa Ayub telah memihak musuh Allah: 

Ia menjawab seperti orang-orang jahat. Artinya, perkata-

an Ayub cenderung menguatkan tangan dan mengeras-

kan hati orang jahat dalam kejahatan mereka, yaitu 

dengan membawa-bawa masalah kesejahteraan mereka 

lebih daripada yang perlu dilakukannya. Biarlah orang-

orang jahat, seperti Baal, berseru membela dirinya sen-

diri, jika mereka mau. Akan namun , jauhlah dari kita 

untuk membela mereka, atau mengatakan apa pun 

yang mendukung mereka.  

Kedua, bahwa Ayub telah menghina sahabat-saha-

bat Allah, dan mengolok-olok mereka: “Ia bertepuk ta-

ngan di antara kami” (ay. 37, KJV). sebab  itu, jika tidak 

benar-benar diuji dan direndahkan, ia akan semakin 

lancang dan sombong, seolah dia telah menang dan ber-

hasil membungkam kita semua.” Berbicara jahat saja 

sudah cukup buruk, namun  bertepuk tangan dan berso-

rak di dalamnya, seolah kesalahan dan kemarahan su-

dah menang, lebih buruk lagi.  

Ketiga, bahwa Ayub telah berbicara menentang Allah 

sendiri, dan, dengan mempertahankan ucapannya, ia 

menambahkan dosanya dengan pelanggaran. Berbicara 

menentang Allah, walaupun hanya satu kata, yaitu  

dosa besar, sebab  Allah yang membuat kita dapat ber-

bicara, dan sebab  itu demi Dia seharusnya kita ber-

bicara. Apalagi sampai banyak bicara menentang Dia, 

seolah kita ingin mengalahkan Dia dengan perkataan 

kita? Apalagi sampai mengulangi perkataan kita, dan 

bukan mencabutnya? Barang siapa berbuat dosa, dan, 

saat diminta bertobat, terus saja menentang, ia menam-

bahkan pemberontakan pada dosanya, menjadikan dosa-

nya itu teramat sangat jahat. Errare possum, Haereticus 

esse nolo – Aku bisa saja jatuh ke dalam kesalahan, namun  

aku tidak akan terjun ke dalam kesesatan pikiran. 

  

PASAL 35  

arena Ayub masih diam, Elihu meneruskan tegurannya. Dan di 

sini, untuk ketiga kalinya, dia berusaha menunjukkan kepada 

Ayub bahwa perkataannya keliru dan harus ditarik kembali. Elihu 

mendakwa Ayub atas tiga perkataan yang tidak patut, serta memberi-

kan tiga jawaban berbeda terhadap masing-masing ucapan tersebut: 

I. Ayub menggambarkan ibadah kepada Allah sebagai sesuatu 

yang tidak penting dan tidak menguntungkan, hanya diperin-

tahkan oleh Allah demi kepentingan-Nya sendiri, bukan demi 

manusia. Elihu memperlihatkan yang sebaliknya (ay. 1-8). 

II. Ayub mengeluh bahwa Allah menutup telinga-Nya terhadap 

seruan orang tertindas. Terhadap tuduhan tersebut, Elihu 

membela kebenaran Allah (ay. 9-13). 

III. Ayub sudah putus asa menantikan kembalinya perkenanan 

Allah atas dirinya, sebab  begitu lama perkenanan itu tidak 

kunjung datang. namun , Elihu menunjukkan alasan yang se-

benarnya di balik penundaan tersebut (ay. 14-16). 

Tutur Kata Elihu 

(35:1-8) 

1 Maka berbicaralah Elihu: 2 “Inikah yang kauanggap adil dan yang kausebut: 

kebenaranku di hadapan Allah, 3 kalau engkau bertanya: Apakah gunanya 

bagiku? Apakah kelebihanku bila aku berbuat dosa? 4 Akulah yang akan mem-

beri jawab kepadamu dan kepada sahabat-sahabatmu bersama-sama dengan 

engkau: 5 Arahkan pandanganmu ke langit dan lihatlah, perhatikanlah awan-

awan yang lebih tinggi dari padamu! 6 Jikalau engkau berbuat dosa, apa yang 

akan kaulakukan terhadap Dia? Kalau pelanggaranmu banyak, apa yang 

kaubuat terhadap Dia? 7 Jikalau engkau benar, apakah yang kauberikan 

kepada Dia? Atau apakah yang diterima-Nya dari tanganmu? 8 Hanya orang 

seperti engkau yang dirugikan oleh kefasikanmu dan hanya anak manusia 

yang diuntungkan oleh kebenaranmu. 


Dalam ayat-ayat di atas terdapat, 

I. Perkataan Ayub yang jahat yang ditegur Elihu (ay. 2-3). Untuk 

memperlihatkan jahatnya perkataan itu, ia mengarahkan teguran-

nya langsung kepada Ayub dan memintanya bercermin dengan 

akal sehatnya sendiri: “Apakah engkau menganggap dirimu be-

nar?” (KJV). Pertanyaan itu menunjukkan keyakinan Elihu bahwa 

tegurannya tepat, sebab ia berani menujukan penilaian itu ke-

pada Ayub sendiri. Barang siapa memiliki kebenaran dan keadil-

an, cepat atau lambat, hati nurani setiap orang pun akan ber-

pihak kepadanya. Pertanyaan Elihu juga menunjukkan pandang-

annya yang baik tentang Ayub. Ia percaya pikiran Ayub lebih 

jernih daripada kata-katanya, dan meskipun sudah berkata ke-

liru, Ayub tidak akan bersikeras bertahan saat ia menyadari kesa-

lahannya. Sewaktu kita mengucapkan sesuatu yang salah dalam 

keadaan tergesa-gesa, kita wajib mengaku bahwa pikiran kita se-

lanjutnyalah yang menyadarkan diri kita bahwa perkataan tadi 

keliru. Elihu menegur Ayub sebab  dua hal: 

1. Ia menganggap dirinya lebih benar daripada Allah. Inilah hal 

pertama yang menggusarkan Elihu (32:2). “Engkau sesung-

guhnya berkata, ‘Kebenaranku lebih daripada kebenaran Allah’” 

(ay. 2, KJV). Artinya, “Yang telah kulakukan bagi Allah lebih ba-

nyak daripada semua yang pernah Dia kerjakan bagiku, sehing-

ga saat  dihitung selisihnya, terbuktilah bahwa Allah berutang 

kepadaku.” Ayub seolah beranggapan bahwa kesalehannya 

tidak diberi imbalan yang setimpal, sedangkan dosanya dihu-

kum lebih berat daripada semestinya. Hal seperti itu sangat 

jahat dan fasik untuk dipikirkan, apalagi diucapkan. saat  

Ayub bersikeras tentang ketulusannya dan kekejaman perla-

kuan Allah, pada dasarnya dia berkata, “Aku lebih benar dari-

pada Allah,” padahal, walapun kita sangat baik namun  penderi-

taan kita begitu berat, kita tetaplah orang berdosa, sedangkan 

Allah tidak. 

2. Ia menyangkal faedah dan berkat dari ibadah sebab  dirinya 

mengalami penderitaan. “Apakah gunanya bagiku bila aku ber-

sih dari dosa?” (ay. 3). Perkataan ini berasal dari pasal 9:30-

31, “Walaupun aku mencuci tanganku dengan sabun, apakah 

gunanya bagiku? Engkau akan membenamkan aku dalam 

lumpur.” Dan pasal 10:15, “Kalau aku bersalah, celakalah aku! 


Dan kalau pun aku benar, sama saja.” Saat membandingkan 

kesengsaraannya dengan kemakmuran orang fasik, pemazmur 

juga tergoda untuk mengeluh, “Sia-sia sama sekali aku mem-

pertahankan hati yang bersih” (Mzm. 73:13). Jadi jika Ayub 

mengucapkan hal serupa, ia pada dasarnya berkata, “Kebenar-

anku lebih daripada kebenaran Allah” (ay. 2, KJV), sebab bila ia 

tidak mendapat apa-apa sebab  kesalehannya, berarti Allah 

berutang kepadanya lebih banyak daripada utangnya kepada 

Allah. Akan namun , sekalipun teguran ini tampaknya beralas-

an, namun tidaklah adil menuduh Ayub bersalah di sini, se-

bab ia sendiri sebelumnya sudah menegaskan bahwa perkata-

an seperti itu yaitu  ucapan jahat dari orang-orang berdosa 

yang makmur (21:15, “Apa manfaatnya bagi kami, kalau kami 

memohon kepada-Nya?), dan juga, Ayub sendiri mengakui ia 

tidak setuju dengan ucapan seperti itu. Rancangan orang fasik 

yaitu  jauh dari padaku (21:16). Menuntut orang lain me-

nanggung akibat dari ucapan yang sudah jelas-jelas mereka 

sangkal yaitu  cara berdebat yang tidak adil. 

II. Jawaban yang bagus dari Elihu terhadap ucapan Ayub (ay. 4). 

“Akulah yang akan memberi jawab kepadamu dan kepada saha-

bat-sahabatmu bersama-sama dengan engkau,” yaitu, “semua 

orang yang menyetujui perkataanmu dan membenarkan engkau 

dengan perkataan itu, serta semua yang lain yang sependapat 

dengan kata-katamu. Kepada mereka, aku hendak mengajukan 

perkataan yang akan membungkam mereka semua.” Untuk itu, 

Elihu memakai pernyataannya sebelumnya (33:12), yakni “Allah 

itu lebih dari pada manusia.” Kebenaran ini, bila dipakai  de-

ngan tepat, akan mendukung banyak maksud baik, dalam hal ini 

khususnya untuk membuktikan bahwa Allah tidak berutang ke-

pada siapa pun. Orang yang paling besar sekalipun bisa saja ber-

utang kepada yang paling hina. Namun, perbedaan jarak antara 

Allah dan manusia begitu tidak terbatas perbandingannya hingga 

Allah yang Mahabesar tidak mungkin menerima keuntungan dari 

manusia. Oleh sebab  itu, mustahil Allah berutang atau memiliki 

suatu kewajiban kepada manusia. Jika Dia harus bertanggung 

jawab sebab  tujuan dan janji-Nya, Dia bertanggung jawab ke-

pada diri-Nya sendiri. Tidak seorang pun sanggup memenuhi tan-

tangan ini (Rm. 11:35), Siapakah yang pernah memberikan sesua-


tu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Coba bukti-

kanlah. Mengapa kita harus menuntut berkat atas kesalehan kita 

(seperti yang Ayub perbuat) sebagai suatu utang, padahal Allah 

yang kita layani tidak mendapat keuntungan apa-apa dari kita? 

1. Elihu tidak perlu membuktikan bahwa Allah lebih tinggi dari-

pada manusia. Semua menyetujui hal itu. Namun, ia berusaha 

meyakinkan Ayub dan kita tentang betapa luhurnya Allah, 

dengan menunjukkan tingginya langit dan awan-awan (ay. 5). 

Semua itu jauh tinggi di atas kita, dan Allah jauh lebih tinggi 

lagi di atas mereka. Jadi betapa jauh lagi Ia tak terjangkau 

dengan dosa kita atau segala ibadah kita! Arahkan pandangan-

mu ke langit dan lihatlah, perhatikanlah awan-awan. Allah me-

negakkan manusia, coelumque tueri jussit – dan menyuruhnya 

memandang ke langit. Para penyembah berhala melihat ke 

atas, lantas menyembah benda-benda langit, matahari, bulan, 

dan bintang-bintang. namun  kita harus melihat ke langit lantas 

menyembah Tuhan atas bala tentara langit. Mereka lebih ting-

gi daripada kita, namun  Allah lebih tinggi dan tanpa terbatas 

daripada mereka. Keagungan-Mu yang mengatasi langit (Mzm. 

8:2), dan hikmat Allah lebih tinggi daripada langit (11:8). 

2. Dari situ, Elihu menyimpulkan bahwa Allah tidak terpengaruh 

oleh apa pun yang kita lakukan.  

(1) Ia mengakui bahwa sesama manusia bisa diuntungkan atau 

dirugikan oleh perbuatan kita (ay. 8): Hanya orang seperti 

engkau yang mungkin dirugikan oleh kefasikanmu. Kefasik-

an dapat menimbulkan masalah bagi orang lain. Orang fasik 

bisa melukai, merampok, memfitnah sesamanya, atau me-

nyeretnya ke dalam dosa sehingga mencelakakan jiwanya. 

Demikian pula kebenaranmu, keadilanmu, amal baikmu, 

hikmat, serta kesalehanmu, bisa menguntungkan anak ma-

nusia. Kebaikan kita dirasakan oleh orang-orang kudus 

yang ada di tanah ini (Mzm. 16:3). Hanya kepada sesama 

manusia seperti kitalah, kita mampu melakukan percede-

raan atau kebaikan. Dalam perbuatan kita itulah, Tuhan 

yang berdaulat sekaligus Hakim atas semesta melibatkan 

diri-Nya, untuk mengganjar yang berbuat baik dan meng-

hukum yang menyakiti sesama ciptaan. Dan,  


(2) Elihu sepenuhnya menyangkal bahwa Allah bisa dirugikan 

atau diuntungkan oleh apa pun yang diperbuat, atau yang 

bisa diperbuat oleh manusia, bahkan orang terbesar di 

muka bumi sekalipun.  

[1] Dosa-dosa orang durhaka yang paling jahat tidak meru-

gikan Dia (ay. 6): “Jikalau engkau berbuat dosa dengan 

sengaja dan dengan maksud jahat menantang Dia, bah-

kan kalau pelanggaranmu banyak dan tindakan berdosa 

itu diulang-ulang begitu seringnya, apa yang kaubuat 

terhadap Dia?” Pertanyaan ini yaitu  tantangan bagi 

pikiran kedagingan, dan menantang pendosa yang pa-

ling berani untuk melakukan yang terburuk. Pernyata-

an Elihu menunjukkan betapa besar dan mulianya 

Allah hingga musuh-Nya yang terjahat pun tidak sang-

gup menyebabkan kerugian yang nyata bagi-Nya. Dosa 

disebut kejahatan terhadap Allah sebab pelakunya me-

mang bermaksud menentang Allah, dan menista kehor-

matan-Nya. Namun, dosa tidak dapat berakibat apa-apa 

terhadap Allah. Maksud jahat dari orang-orang berdosa 

tidaklah berdaya, ia tidak mampu menghancurkan ke-

beradaan Allah maupun kesempurnaan-Nya, tidak da-

pat menggulingkan Dia dari kuasa dan kekuasaan-Nya, 

tid