Tampilkan postingan dengan label Jin 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jin 1. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Oktober 2025

Jin 1

 


beliau 

yang memberi warna bagi kariernya ialah : Prof. Dr.T.M. Hasbi Ash 

Shiddieqy, Prof. Dr. H. Muhtar Yahya, H. Saadoe'ddin Djambek, Sa'di 

Thalib dan Saleh Haedarah.  

      Sedangkan karya-karya ilmiahnya yang berkaitan dengan ilmu 

Falak yang telah diterbitkan, antara lain : Mengapa Bilangan Ramadlan 

1389 H ditetapkan 30 Hari ? (1969 M/1389 H), Menghitung Permulaan 

Tahun Hidjrah (1970 M/1390 H), Ufuq Mar'i sebagai Lingkaran 

Pemisah antara Terbit dan Terbenamnya Benda-benda Langit (1970 

M/1390 H), Ilmu Falak (1983 M/1404 H), dan Kalender Internasional.  

113 

16. Susiknan Azhari.  

             Lahir di Lamongan, Jawa Timur 1968, yaitu  Dosen Fakultas   

Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan tokoh ilmu falak. 

Menyelesaikan program S-2 di pascasarjana UIN Sunan Kalijaga 

Yogyakarta (1997) dan menyelesaikan program Doktor ditempat yang 

sama (2007). Setelah muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta diberi 

amanat menjadi wakil sekretaris Majlis Tarjih dan Pengembangan 

Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2000-2005). Pernah 

mengkuti pelatihan Hisab Rukyat tingkat ASEAN (MABIMS) di ITB 

dan Malaysia. Melakukan penelitian tentang penentuan awal bulan 

kamariah di Saudi Arabia dan Mesir. 

      Selain menekuni pekerjaan sebagai dosen, Beliau kini duduk 

sebagai Direktur Pusat Studi Falak PP. Muhammadiyah, pengelola 

-ournal of Islamic Studies “al--ami’ah” dan -urnal Tarjih. Tulisan-

tulisannya telah dipublikasikan di berbagai media massa dan jurnal, di 

antaranya Sriwijaya Post, Bali Post, Republika, Kedaulatan Rakyat, 

                                                        

        113I b i d., h. iv.  

122 

 

Suara Muhammadiyah, Jurnal Mimbar Hukum (Jakarta), al-Jami’ah 

(Yogyakarta), Profetika (Solo), Ihya Ulumuddin (Malang). Buku-buku 

yang telah diterbitkan yaitu  Ilmu Falak Teori dan Praktek (Lazuardi 

2002 dan Suara Muhammadiyah 2004), Pembaharuan Pemikiran  

Hisab di Indonesia (Pustaka Pelajar, 2002) Antologi Studi Islam 

(editor), Pemikiran Islam Kontemporer (kontributor), Manaj Tarjih 

Muhammadiyah (editor), Ensiklopedi Hisab Rukyat (Pustaka Pelajar, 

2005 dan 2008), dan Hisab & Rukyat: Wacana Untuk Membangun 

Kebersamaan di Tengah Peradaban (Putaka pelajar, 2007).114 

17. KH. Banadji Aqil  

              Lahir di Indramayu pada 17 Februari 1922/1341 H, yaitu  

mantan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Raya. Jabatan sebelumnya 

kepala Seksi Hisab dan Rukyat Direktorat Pembinaan Badan Peradilan 

Agama sejak 1957 M/1377 H sampai dengan 1979 M/1400 H. 

  Sebagai Seksi Hisab dan Rukyat, kegiatannya banyak dicurahkan 

kepada masalah-masalah yang erat kaitannya dengan hal ini  antara 

lain merancang dan menyelenggarakan musyawarah-musyawarah yang 

bertaraf nasional atau internasional, dan yang lebih penting lagi sebagai 

konseptor SK Menteri Agama tentang penentuan Hari-hari Libur 

Nasional yang sangat diperlukan oleh seluruh rakyat di Indonesia. 

  Memperoleh pengetahuan hisab dan rukyat dari pesanteren 

Tebuireng Jombang selama 9 tahu dan Sekolah Tinggi Islam 

Yogyakarta selam 1 tahun. Karyanya dibidang falak yang telah 

diterbitkan yaitu Kalender Urfi Tahun 0 s.d 12000 M/ 0 s.d 12400 

H.          

            Lahir di Cirebon Jawa Barat. Dia merupakan putera dari KH. Ali 

salah seorang pengasuh pondok desa. Ma’sum bin Ali mempunyai adik 

yang tak kalah populer dalam kualitas keilmuannya walaupun dalam 

spesialisasi yang berbeda yaitu, KH. Adlan Ali pendiri dan pengasuh 

pondok Pesantern Walisongo Cukir Jombang. 

       Ma’sum bin Ali banyak menimba ilmu dari KH. Hasyim Asy’ari 

selama bertahun-tahun di pondok pesantren tebuireng Jombang. 

Ketekunannya dalam belajar membuahkan hasil optimal dengan 

diangkatnya dia menjadi lurah pondok. Kepintaran dan 

kecemerlangannya dalam berfikir dan mengaji terutama disiplin ilmu 

falak menarik simpati KH. Hasyim Asy’ari untuk mengankatnya 

menjadi salah seorang menantu yang dikawinkannya dengan puterinya 

Siti Khodijah.115 

                                                        

 

      Pergulatan dan konsentrasinya dalam menekuni bidang ilmu falak 

dengan tidak mengabaikan disiplin lainnya ternyata membuahkan hasil. 

Karya monumentalnya dalam bidang ilmu falak yaitu : Durusul 

Falakiyah dan Badi’atul Mitsal. 

      Kehidupan Ma’sum bin Ali mecerminkan sosok pribadi yang 

harmonis ditengah kelurga, maupun bersama masyarakat umum dan 

santrinya. Waktu pulang dari Mekah (1332 H) ia menghadiahkan kitab 

al-Jawahir al-/aZami’ kepada Syekh Hasyim Asy’ari. Kitab Asy-Syifa’ 

dijadikan referinsi oleh Syekh Hasyim Asy’ari dalam penulisan kitab-

kitabnya.116 

      Syekh Ma’sum bin Ali berbeda dengan Syekh Hasyim Asy’ari 

dalam penetapan awal Ramadan, menurut Syekh Ma’sum penetapan 

awal Ramadan dengan hisab, dan menurut Syekh Hasyim Asy’ari 

penetapan awal Ramadan dengan rukyat. Perbedaan metode dalam 

penetapan awal Ramadan berakibat pelaksanaan Ramadan selalu tidak 

sama.117 

19. .+.5LI’an 

     Ia ahli ilmu falak dan penggagas rubu’ mujayyab di Indonesia, 

dilahirkan di Kudus 12 Mei 1909 M / 1327 H dan meninggal dunia 

pada hari senin Legi 27 September 1982 M / 9 Zulhijjah 1402 H.  

      Pendidikannnya diperoleh di Taswikut Tullab Salafiyah Kudus. 

Kyai Rif’an selain ahli falak, dikenal juga ahli matematika. Kegiatan 

sehari-hari yaitu  pengasuh pondok Pesantren Raudlatul Mutaalim 

Jagalan, Langgar Dalem Kudus. 

Menurut penuturan salah satu puterinya Hj. Hurriyati, Kyai Rif’an 

pernah menulis buku Ilmu Falak, namun karya ini  kini tidak 

ditemukan karena dipinjam dan belum dikembalikan oleh teman Kyai 

Rif’an. Selain ahli falak, ia juga dikenal sebagai ahli mtematika, ia 

menghabiskan waktu mengajar dan pengasuh pondok Pesantren 

Raudhatul Mutaalim Jagalan, Kudus.118 

20. KH. Abdul Jalil  

      Nama lengkapnya yaitu  Abu Hamdan Abdul Jalil bin Abdul 

Hamid, lahir pada 12 Juli 1905/1323 H di Bulumanis Kidul Margoyoso 

Tayu Pati Jawa Tengah.  Nama orang tuanya yaitu  KH. Abdul Hamid 

dan Syamsiyah. Pendidikan yang ditempuh KH. Abdul Jalil yaitu  

belajar di pondok pesantren Jamsaren Solo di bawah asuhan KH. Idris 

pada 1919-1920 M/1338-1339 H, setelah itu melanjutkan ke pondok 

Termas Pacitan Jawa Timur yang diasuh oleh KH. Dimyati.  

                                                        

 

      Pada 1921-1924 M/1340-1343 H belajar di pondok pesanteren 

Kasingan Rembang diasuh oleh KH. Khalil. Pada 1924-1926 M/1343-

1345 H beliau belajar di Mekkah Saudi Arabia. Sepulang dari Mekah 

beliau belajar di pondok pesanteren Tebuireng Jombang Jawa Timur 

diasuh KH. Hasyim Asy’ari selama satu tahun, setelah itu kembali lagi 

ke Mekah sampai tahun 1930 M/1349 H.119 

      Aktifitas KH. Abdul Jalil yaitu  pernah menjadi ketua Pengadilan 

Agama kabupaten Kudus, Pembantu Khusus Perdana Menteri RI di 

Jakarta, Anggota DPR / MPR pusat wakil Alim Ulama Fraksi NU, 

Ketua Lajnah Falakiyah PBNU merangkap anggota Badan Hisab 

Rukyat Departemen Agama RI, dan penyusun tetap 

penanggalan/almanak NU. Adapun karya tulisnya yang berkaitan 

dengan ilmu falak di antaranya yaitu  Fathur Rauful Mannan dan 

JadZal Rubu’. 

21. KH. Ibrahim Hosen  

  Lahir di Tanjung Agung, pada tanggal 1 Januari 1917. ayahnya 

bernama K.H. Hosen, seorang ulama dan saudagar besar keturunan 

Bugis. Sedangkan ibunya bernama Siti Zawiyah, seorang anak 

bangsawan dari keluarga ningrat, wafat pada 7 November 2001. Dari 

latar belakang yang sudah diketahui, jelaslah bahwa beliau menurunkan 

dua sifat penting yaitu kepemimpinan dan kafasihan dalam ilmu agama, 

beliau merupakan salah satu ulama besar yang ada di Indonesia.  

            Ibrahim Hosen dibesarkan dalam keluarga yang serba ada, dicukupi 

dengan ilmu agama sejak kecil. Ia belajar Al-Quran dan ilmu agama 

dari ayahnya dan para ulama di Bengkulu. Sejak kecil kecerdasan sudah 

merupakan ciri khasnya, dan  murid yang sangat disayangi oleh para 

gurunya.  Sewaktu ayahnya pindah ke Singapura ia memulai 

sekolahnya di sekolah As-Saqqaf, Singapura. Pada tahun 1934, Ibrahim 

Hosain menapakkan kakinya di pulau Jawa. Tempat pertama yang 

menjadi persinggahannya yaitu  Pesantren yang diasuh oleh KH. 

Abdul latief di Cibeber, Cilegon di kawasan Banten. Tetapi ia hanya 

tinggal selama 2 bulan. Kemudian ia melanjutkan pengembaraannya 

menuju Jameat al-Khaer, Tanah Abang. Tujuanya yaitu  ingin belajar 

kepada    Sayyid Ahmad al-Segaf, seorang ulama yang sangat pandai 

dalam ilmu bahasa dan sastra Arab.120  

            Pada tahun yang sama, Ibrahim meneruskan ke Pesantren lontar, 

Serang Banten yang diasuh oleh KH. TB. Soleh Makmun (di Arab 

dikenal dengan Syeh Makmun al-Khusairi) yang ahli dalam bidang 

Qiraat dan Tilawah al-Quran. Kemudian, Ibrahim pergi ke Buntet untuk 

berguru kepada ulama besar, yaitu KH. Abbas, seorang murid KH. 

                                         

Hasyim Asyari pendiri NU. Dengan Kyai Abbas, walaupun hanya 

sebentar, yaitu 4 bulan, Ibrahim sudah dianggap cukup. Sehingga 

disarankan untuk untuk melanjutkan belajarnya di Solo atau ke Gunung 

Puyuh, Sukabumi. Ketika berpamitan untuk pulang hendak pulang, 

Ibrahim diberi 2 (dua) mangga Hrumanis dan sebuah sajadah Kurdi dari 

Wol. Entah apa maksud dibalik itu. Tapi, Ibrahim menyimpulkan, 

bahwa mangga yaitu  lambing pergaulan dengan rakyat, sedangkan 

sajadah yaitu  syimbol untuk terus-menrus berbakti kepada Allah Swt.  

            KH. Abbas berpesan kepada Ibrahim; Fiqh itu luas. Jangan hanya 

terpaku pada sastu mazhab. Contoh, menurut Syafi’i, tidak sah nikah 

kecuali ada wali dan saksi. Menurut Malik, harus pakai Wali. Kalau 

tidak pakai saksi cukup dengan Ilan. Menurut Daud Zahiri, sah nikah 

walaupun tanpa wali dan saksi. Lanjutnya, jika seorang menggunakan 

mazhab Zahiri dan dia merahasiakannya pada masyarakat agar tidak 

diketahui qadhi. Kalau qadhi tahu, maka ia akan bertanya, siapa 

perempuan itu ?, jawab saja temanku. Tentu masalahnya selesai. 

Tetapi kalau dijawab bahwa perempuan itu yaitu  istriku, maka qadhi 

bertanya, kapan nikahnya, siapa walinya, dan siapa saksinya ?, 

dijawab aku nikah tanpa wali dan tanpa saksi. Jika qadhi menyatakan 

nikahnya batal, maka batallah pernikahan ini . Tetapi jika tidak 

ada reaksi qadhi, maka pernikahan ini  tidak batal. 

           Kemudian, Ibrahim pergi ke Solo untuk menemui Sayyid Ahmad al-

Segaf untuk memperdalam bahasa Arab dan Muhsin al-Segaf (kakak 

Ahmad al-Segaf) memperdalam fiqh. Kemudian melanjutkan 

pendidikannya di Gunung Puyuh, Sukabumi yang dipimpin oleh KH. 

Sanusi. Dalam asuhan KH. Sanusi, Ibrahim mempelajari kitab al-Um, 

Balaghah, dan lain-lain selama 5 bulan. Hal ini dilakukan oleh Ibrahim 

Hosen karena ketaatannya kepada KH. Abbas. 

            Pada tahun 1940, ia diterima sebagai mahasiswa di Universitas al-

Azhar, dengan memperoleh beasiswa dari al-Azhar Mesir. Tetapi 

kenyataan berkata lain, karena Ibrahim tidak bisa berangat ke Mesir. 

Konsul Belanda di Palembang tidak mau memberikan paspor bagi 

Ibrahim, karena bersamaan dengan itu Polandia di serang oleh tentara 

Nazi Jerman, sebagai awal pecahnya perang dunia II. Dengan alasan 

situasi dunia yang tidak aman,  termasuk Mesir. Tetapi baru pada tahun 

1955, Ibrahim benar-benar pergi ke Mesir. Selama belajar di Mesir, ia 

dapat meraih Syahadah Aliyah atau sarjana lengkap dalam bidang 

syariah (LML). 

            Ibrahim Hosen memiliki empat langkah ijtihad, yakni: 1) 

menggalakkan lembaga ijtihad; 2) mendudukkan fiqih pada proporsi 

yang semestinya; 3) mengembangkan pendapat bahwa orang awam 

tidak wajib terikat dengan mazhab manapun; 4) mengembangkan rasa 

dan sifat tasamuh dalam bermazhab. Sementara pemikiran lainnya, 

126 

 

lebih melihat konsepsi metodologi yang dikembangkan oleh ulama-

ulama terdahulu, baik kaidah-kaidah kebahasaan, maupun kaidah-

kaidah legislasi hukum Islamnya.121 

           Ibrahim Hosen yaitu  tokoh yang mempunyai kemampuan 

menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda-beda. Perjalanan 

pendidikannya dari pesantren satu ke pesantren yang lain menjadi bukti 

akan hal itu. Berbagai guru dengan latar belakang berbeda menyatu 

dalam dirinya. Interkasinya dengan NU, Jameat al-Khaer, dan 

Muhammadiyah membuat beliau mudah diterima berbagai kalangan. 

           Pemikiran Ibrahim Hosen dalam ilmu falak yaitu  Menggagas 

adanya mazhab negara dalam penentuan awal Ramadan dan Syawal. 

Menurutnya penetapan awal Ramadan dan Syawal yaitu  wilayah fikih 

yang bersifat ijtihadi, karena itu diperlukan campur tangan Pemerintah 

agar tercipta kebersamaan dan keharmonisan. 

            Karya Ibrahim Hosen yang berkenaan dengan hisab dan rukyat 

yaitu  Penetapan Awal Ramadan dan Syawal, Bagaimana Seharusnya 

Sikap Kita, dan Penetapan Awal Bulan Qamariyah Menurut Islam dan 

Permasalahannya (1994).122 

22. KH. Ahmad Badawi  

      Ahli Falak yang menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 

periode 1962-1965 M/1382-1385 H dan 1965-1968 M/1385-1388 H. 

Lahir pada tanggal 5 Februari 1902 M/ 1320 H di Kampung Kauman 

Yogyakarta dan meninggal dunia pada hari Jum'at 25 April 1969 M/8 

Safar 1389 H pukul 09.25 WIB di PKU Yogyakarta, putra K.H. Ahmad 

Faqih dan Hj. Habibah (adik KH. Ahmad Dahlan).  

      Semasa kecil, ia belajar di Madrasah Ibtidaiyah Diniyyah 

Islamiyyah yang didirikan dan diasuh langsung oleh KH. Ahmad 

Dahlan. Setelah itu ia melanjutkan belajar di berbagai pesantren di Jawa 

Tengah dan Jawa Timur. Karena ketekunan dan rajin belajar, KH. 

Ahmad Badawi terkenal sebagai ahli fikih, ahli hadis, dan ahli falak. 

Semua karyanya ditulis dengan tangan dalam huruf arab maupun latin 

dengan rapi.  

     Karyanya yang berkaitan dengan ilmu falak yaitu  Djadwal Waktu 

Shalat se-lama-lamanya, Tjara Menghitung Hisab Haqiqi Tahun 1361 

H, Hisab Haqiqi, dan Gerhana Bulan. Negara Islam yang pernah 

dikunjungi diantaranya : Pakistan, Irak, Kuwait, Teheran, Saudi Arabia, 

Beirut, dan Jordan.123 

23. HM . Bidran Hadie  

 

      Ahli falak, dilahirkan di Kauman Yogyakarta pada tahun 1925 

M/1344 H, meninggal dunia pada tanggal 28 Nopember 1994 M/ 25 

Jumadal Akhir 1415 H, dan dimakamkan satu komplek dengan K.H. 

Ahmad Dahlan di Pemakaman Karang Kajen Yogyakarta.  

      Pendidikannya dimulai di SR, kemudian melanjutkan ke Madrasah 

Mu'allimin Yogyakarta. Setelah itu ia melanjutkan kuliah di Universitas 

Islam Indonesia(UII) namun tidak sampai tamat. Ia termasuk tokoh 

yang membidani lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bahkan 

menurut data sejarah ia termasuk pendiri Lembaga Astronomi 

Himpunan Mahasiswa Islam (LAHMI).124  

      Bidran Hadie merupakan ahli falak yang berpenampilan sederhana 

namun keilmuannya dalam bidang falak tidak diragukan. Berkat 

keilmuannya dalam bidang falak ia diberi amanat menjadi anggota 

bagian Hisab Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan 

anggota Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI mewakili 

Muhammadiyah.  

24. H. Basit Wahid  

      Salah seorang tokoh Falak, lahir di Yogyakarta pada tanggal 12 

Desember 1925 M/1344 H. Pendidikannnya dimulai di Sekolah Dasar 

Muhammadiyah, kemudian melanjutkan di SLTP Muhammadiyah dan 

Muallimin. Setelah lulus dari Muallimin, ia melanjutkan ke Universitas 

Gadjah Mada Fakultas Tehnik Jurusan Kimia.  

       Menurut penuturannya, keahliannya dalam bidang ilmu Falak 

diperoleh dari guru-gurunya, yaitu : KH. Syamsun Jombang, KH. 

Siraadj Dahlan (Putra Pendiri Muhammadiyah), dan KH. Muhammad 

Wardan Diponingrat. Menurutnya pula untuk menambah wawasannya 

dalam bidang falak ia pernah mengunjungi Jerman, Nederland, 

Australia, dan Malaysia.  

      Sebagai seorang ahli falak, ia pernah diberi amanat menjadi Ketua 

Bagian Hisab Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan wakil 

Muhammadiyah di Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama Pusat.  

       Basit Wahid termasuk ahli falak yang produktif dalam menuangkan 

gagasan-gagasannya tentang hisab-rukyat melalui berbagai media 

massa, diantara karyanya : “Serba-serbi Kalender ”, “Kalender 

Hijriah Tiada Mitos di dalamnya”, “Rukyat dengan Alat &anggih”, 

“Memahami +isab sebagai Alternatif Rukyat”, “Astronomi dan 

Astrologi, “Waktu-waktu Shalat dan Puasa di Pelbagai Tempat di 

3ermukaan Bumi”, dan “3enentuan AZal Bulan +ijriah”.125 

25. Farid Ruskanda  

                                                        

         

  Salah seorang penggagas teleskop rukyat, dilahirkan di Bandung, 

28 Maret 1948. Pendidikan S-1 Teknik Fisika ITB diselesaikannya 

tahun 1974, pendidikan S-2  di Reading Univesity Inggris pada 1978. 

Pada 1988 ia mencapai gelar doktor dalam bidang ilmu Pengetahuan 

Teknik pada ITB. Ia aktif menulis tentang Hisab Rukyat di berbagai 

media.  

    Adapun karya yang diterbitkan yaitu : Iptek untuk Menjembatani 

Perbedaan Rukyah dan Hisab (1993), Memahami Wajah Hilal (1995), 

Sistem Dua Tarikh dan Perlunya Kesempatan  Kalender Islam (1995), 

Permasalahan Hisab Rukyah dan Memahami Kontroversi (1995), 100 

Masalah +isab dan Rukyat Tela’ah Syari’ah, Sains dan Teknologi 

(1996), Teleskop Rukyah (1996), Bisakah Hisab Sepenuhnya 

Menggantikan Rukyah (2002). 

    26. Moedji Raharto  

  Seorang astronom yang menaruh perhatian besar pada Islamic 

Calendar, lahir di desa Ponggok, Blitar Jawa Timur pada hari senin, 8 

November 1954 M  13 Rabi’ul Tsani 1374 H. Mengikuti pendidikan 

Sekolah Dasar di SD GIKI Diponegoro Surabaya, tahun 1960-1966 M/ 

1380-1386 H. Kemudian melanjutkan ke SMPN X Surabaya 1966-

1969, meneruskan ke SMAN 3 Surabaya 1969-1972, pendidikan 

tingginya diperoleh di Departemen Astronomi FMIPA ITB, tahun 

1974-1980. Kemudian bekerja sebagai dosen di Departemen Astronomi 

FMIPA ITB sejak tahun 1981-sekarang. 

      Karya-karya tulisnya yang berkaitan dengan kalender Islam yaitu: 

Posisi dan Visibilitas Hilal Penentu 1 Ramadan dan 1 Syawal 1415 H, 

Sumber Keagamaan Penanggalan Islam, Idul Fitri 1415 H dan Ilmu 

Astronomi, Menertibkan Kalender Islam Internasional, Dibalik 

Persoalan Awal Bulan Islam, dan Realisasi Visibilitas Hilal.  

27. Muhyiddin Khozin  

      Muhyiddin Khozin, lahir di Salatiga pada tanggal 19 Agustus 1956. 

menyelesaikan Sekolah Dasar hingga  Tsanawiyah di Salatiga, 

kemudian melanjutkan jejang Aliyah di Tebu Ireng Jombang. Setamat 

dari Jombang, Beliau melanjutkan ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

dan lulus pada tahun 1985 dan menjadi dosen di perguruan tinggi yang 

sama. 

      Dalam ilmu falak, eksistensinya telah dikenal luas oleh berbagai 

kalangan terbukti dengan banyaknya lembaga yang memanfaatkan 

keahliannya ini . Tercatat sebagai anggota Lajnah Falakiyah PBNU 

dan sekaligus Penasehat untuk Lajnah Falakiyah PWNU DIY. Ia sering 

mengisi seminar-seminar dan pelatihan Hisab Rukyat untuk tingkat 

regional dan nasional. 

       Saat ini, ia menjabat sebagai subdit Hisab dan Rukyat Departemen 

Agama Pusat di Jakrta. Buku-buku karangannya yang diterbitkan antara 

129 

 

lain: Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek (Buana Pustaka, 2005) dan 

Kamus Ilmu Falak (Buana Pustaka, 2005). 

28. Oman Faturohman  

     Oman Faturohman, dilahirkan di Ciamis 2 Maret 1957. menempuh 

pendidikan formal di SDN Gunung Cupu II lulus tahun 1970, PGA 

pertama 4 tahun di Sindangkasih lulus tahun 1974, lalu PGAN 6 tahun 

&iamis lulus tahun 1976, fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 

Yogyakarta lulus sarjana muda tahun 1981 dan lulus sarjana lengkap 

dari Fakultas yang sama tahun 1984. menyelesaikan program S-2 

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta lulus tahun 1999, 

sekarang sedang menempuh S-3 di Universitas yang sama. 

      Tugas pokok sehari-hari yaitu  dosen tetap Fakultas Syari’ah UIN 

Sunan Kalijaga Yogyakarta sejak 1985. Disamping itu, sebagai dosen 

luar biasa pada FIA Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Fakultas 

Hukum UII, dosen pada Program Magister Studi Islam UMY 

Yogyakarta dan dosen pada UMS Surakarta Program Khusus. 

       Selain dosen, ia aktif  sebagai anggota Badan Hisab dan Rukyat 

Departemen Agama Pusat, sedangkan Badan Hisab dan Rukyat 

Departemen Agama Kanwil Depag Propinsi DIY menjabat sebagai 

Koordinator Tim Ahli. Sejak 2001 mendapat tugas tambahan dari UIN 

Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai Kepala Pusat UPT Pusat 

Komputer.  

29. Thomas Djamaluddin  

      Lahir di Purwokerto, 23 Januari 1962. Pendidikan dasarnya dimulai 

di SD Negeri Kejaksan 1, SMP Negeri 1, dan SMA Negeri 2 Cirebon. 

Pada 1981 diterima tanpa test di ITB melalui PP II, sejenis PMDK pada 

jurusan Astronomi.  

      Lulus dari ITB (1986) kemudian masuk LAPAN (Lembaga 

Penerbangan dan Antariksa Nasional) Bandung menjadi peneliti 

antariksa. Dan tahun 1988-1994 mendapat kesempatan tugas belajar 

program S2 dan S3 ke Jepang di Department of Astronomy, Kyoto 

University, dengan beasiswa Monbusho.  

      Saat ini bekerja di LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa 

Nasional)  Bandung sebagai Peneliti Utama IVe (Profesor Riset) 

Astronomi dan Astrofisika. Sebelumnya pernah menjadi Kepala Unit 

Komputer Induk LAPAN Bandung, Kepala Bidang Matahari dan 

Antariksa, dan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim 

LAPAN. Ia juga mengajar di Program Magister dan Doktor Ilmu Falak 

di IAIN Walisongo Semarang. 

     Adapun karya tulis yang berkaitan dengan hisab rukyat yaitu : 

*lobalisasi Rukyah tak sederhana, 3rakiraan Ru’yatul +ilal AZal 

Ramadan dan Syawal, aspek Astronomi dalam kesatuan Umat, 

Menyatukan dua Idul Fitri, Sifat Ijtihadiyah Penentuan Awal Ramadan 

130 

 

dan hari raya, Pengertian dan Perbandingan Mazhab tentang Hisab 

Rukyat dan Mathla’ (Kritik terhadap Teori :ujudul hlal dan Mathla’ 

Wilayatul Hukmi) dan Menggagas Fiqih Astronomi (Kaki Langit, 2005) 

30. Bambang Hidayat  

     Seorang astronom yang menaruh perhatian dalam bidang hisab 

rukyat, dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah pada 18 September 1939. 

Pendidikan menengah dilaluinya di SMP II Semarang, dan SMA BAG. 

B Semarang. Bambang masuk FMIPA (waktu itu masih merupakan 

bagian dari UI) di Bandung tahun 1953. 

     Pada 1954 Bambang diangkat menjadi asisten pengamatan bintang 

ganda visual menggunakan teropong Zeiss Besar, di Observatorium 

Bosscha Lembang diawali dengan mengamati oposisi planet Mars yang 

mendekati Bumi kala itu. 

      Akhir tahun 1960, ia tamat dari ITB dalam bidang astronomi, fisika 

dan matematika. Pada 1961, Bambang mendapat kesempatan 

melanjutkan studi. Melalui hibah dari USAID, Bambang memulai studi 

pada Pascasarjana di Case Institute of Technology, sekarang dikenal 

sebagai Case Western Reserve University di Cleveland, Oiho, Amerika 

Serikat. 

     Pada 1968 Bambang diberi kehormatan untuk memimpin 

observatorium dan Departemen astronomi ITB menggantikan Prof. Dr. 

The Pik Sin yang pindah ke Universiteit van Amsterdam. Pada 1973 

diangkat menjadi anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI. 

Pada akhir 1976, Bambang diangkat menjadi guru besar penuh ITB 

dalam bidang astronomi. Tulisannya dibidang falak yaitu Astronomi 

dan Penentuan Waktu.  

31. Ahmad Izzuddin  

      Lahir pada tanggal 12 Mei 1972 di Jekulo Kauman, Kudus, 

merupakan anak ketujuh dari pasangan K.H. Maksum Rosyidie dan Hj. 

Siti Masri’ah. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di SDN I -ekulo 

Kudus 91985), ia melanjutkan pendidikan di SMPN II Kudus (1988), 

kemudian, ia nyantri di Pondok Pesantren al-Falah Ploso Mojo Kediri, 

dan sekolah di Madrasah Aliyah al-Muttaqin Ploso Kediri, Surabaya 

(1991). Pendidikan S-1 diselesaikan di Fakultas Syariah IAIN 

Walisongo Semarang dan menyelesaikan program S2 pada tahun 2001 

di program pascasarjana Institut yang sama. Tugas pokok sehari-

harinya yaitu  staf pengajar di Fakultas Syari’ah IAIN :alisongo 

Semarang.126 

     Adapun karya tulisnya yang berkaitan dengan Hisab-Rukyat di 

antaranya yaitu : Zubaer Umar al-Jaelani dalam Sejarah Hisab Rukyat 

di Indonesia, Fiqih Hisab Rukyat di Indonesia (Erlangga, 2007), Awal 

                                                        

        

Ramadan 1418 H dan Validitas Ilmu Hisab, Idul Fitri antara Hisab dan 

Rukyah, Awal dan Akhir Ramadan yang Kompromistis, dan 

Menghisabkan NU dan Merukyahkan Muhammadiyah.  

32. Hendro Setyanto  

     Lahir di kota semarang pada tanggal 1 Oktober 1973. Selepas 

menempuh pendidikan menengah pertama di SMP Badan Wakaf 

melanjutkan belajar di Madrasah Aliyah Tebuireng Jombang. Setamat 

dari Madrasah Aliyah Tebuireng melanjutkan belajarnya di jurusan 

Astronomi Institut Teknologi Bandung hingga jenjang pendidikan S-2. 

     Sekarang bekerja di Observatorium Bosscha-FMIPA ITB sebagai 

koordinator kunjungan publik, disamping itu, bersama beberapa rekan 

membuat sebuah wadah aktivitas yang diberi nama Najma House. 

     Aktivitasnya di bidang Ilmu Falak diawali sejak masih duduk 

dibangku kuliah dengan mendirikan sebuah Forum Kajian Ilmu Falak 

‘’zenith’’ bersama teman-teman mahasiswa di jurusan Astronomi ITB. 

Berbagai seminar dan diskusi berkenaan dengan astronomi dan ilmu 

falak telah diikuti. Sejak tahun 2006 bergabung dengan Lajnah 

Falakiyah NU di biro penelitian dan pengembangan. 

33. Abdul Razak.  

          Abdul Razak yaitu  seorang ahli falak yang lahir di Cepu, Jawa 

Tengah pada tanggal 5 September 1938 M/10 Rajab 1357 H, dan wafat 

pada tanggal 17 Mei 2000/13 Safar 1421 H.127 Karena keahliannya di 

bidang ilmu falak, ia diangkat menjadi anggota Badan Hisab dan 

Rukyat Departeman Agama RI sejak tahun 1981 sampai ia wafat. Salah 

satu karyanya di bidang ilmu falak yaitu  Sistem 

Perhitungan/Penentuan Waktu sh alat seluruh Indonesia (1999)    

34. KH. Tubagus Muhammad Falak  

                   Nama lengkapnya K.H Tubagus Muhammad Falak bin K.H 

Tubagus Abbas, lahir pada  tahun 1842 M di Sabi, Pandeglang Banten. 

Sejak kecil ia mendapat pendidikan agama Islam dari orang tuanya. 

Ayahnya yaitu  kyai pemimpin pesantren yang hidup dari hasil bertani 

dan sangat aktif dalam melakukan kegiatan dakwah Islam di 

Pandeglang dan daerah-daerah sekitarnya bersama isterinya.. 

      Secara garis kuturunan, kyai Falak tidak saja berasal dari keturunan 

kyai pesantren, tetapi juga keturunan dari keluarga kesultanan Banten, 

dari pihak ayahnya. Silsilahnya sampai kepada Sultan Maulana 

Hasanuddin, putra Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). 

Kebangsawanannya diperkuat oleh garis keturunan dari sang ibu yaitu 

Ratu Quraisyn yang masih merupakan keturunan Sultan Banten. 

               Pembangunan Pesantren al-Falak di Pagentongan Bogor merupakan 

perwujudan dari perjalanan intelektual dan spiritual selama menetap di 

                                                        

         

 

Timur Tengah, dengan berkiprah dalam dunia pendidikan di 

masyarakat. Banyak kalangan yang datang kepada kyai Falak untuk 

belajar ilmu pengetahuan agama Islam. 

             Nama Falak yang tersemat di belakang namanya merupakan gelar 

yang diberikan oleh gurunya, Sayyid Affandi Turki, karena kecerdasan 

dan keahlian kyai Falak dalam menguasai ilmu hisab dan ilmu falak. 

Bahkan, selama di Mekkah ia mendapat sebutan nama  Sayyid Syekh 

Muhammad Falak, karena kemampuan dalam ilmu falak.  

      Kyai Falak ini dikenal sebagai sosok yang mudah berkomunikasi. Ia 

memiliki kedekatan dengan ulama-ulama besar di dalam dan luar 

Nusantara yang sebagian besar pernah berkunjung ke Pagentongan. Di 

antaranya yaitu  Syekh Abdul Halim Palembang, Syekh Abdul Manan 

Palembang, Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syeikh Ahmad Ambon, 

Syekh Daud Malaysia, Tuan Guru Zainuddin Lombok, Guru Zaini 

Ghoni Martapura, Habib Soleh Tanggul Jawa Timur, Habib Umar 

Alatas, Habib Idrus Pekalongan, Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, Habib 

Abu Bakar Kwitang dan lainnya. 

35. KH. A. Ghazaly  

            Lahir di Cianjur, pada tanggal 8 Agustus 1953 M/1354 H. 

Perjalanan pendidikannya dimulai dari Muallimin Bandung, kemudian 

melanjutkan ke Pesantren Persis Bnadung. Ilmu falak dipelajarinya 

secara otodidak. 

             Karyanya dibidang ilmu falak di antaranya, Mabadi’ al-Falak, 

Masalah Idul Fitri 1 Syawal 1418 H, Dua Kali Beridul Fitri dalan Satu 

Tahun, Perbedaan Jatuh Awal Bulan antara Indonesia dan Mekah, 

3enentuan AZal Bulan +ijriah Berdasarkan 1ash Syara’ dan 3endapat 

Fuqaha, dan Kriteria Imkanurrukyah di Indonesia.128 

36. Fahmi Amhar 

             Lahir di Magelang pada tanggal 15 Maret 1968 M/16 Zulhijah 1387 

H. Ia seorang astronom yang menyelesaikan pendidikan S-3 di Vienna 

University of Technology, Austria pada tahun 1997 M/1418 H. 

                Karyanya di bidang ilmu falak antara lain, Pengantar Memahami 

Astronomi Rukyat Mencarai Solusi Keseragaman Waktu-waktu Ibadah, 

Fakta Hisab dan Idul Fitri Mencarai Kebersamaan Hari.129 

37. T .M Hasbi Ash -Shiddieqy  

  Lahir di Lhokseumawe, Aceh pada tanggal 10 Maret 1904 M/1322 

H, dan meninggal di Jakarta pada tanggal 9 Desember 1975 M/6 

=ulhijah 1385 H, yaitu  seorang penggagas konsep mathla’ global.                    

                 H Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein bin 

Muhammad Mas‘ud dan  Teungku Amrah yaitu  nama orang tuanya. 

                                                        

        

Ayahnya seorang ulama terkenal yang memiliki sebuah dayah 

(pesantren) sementara ibunya yaitu  puteri Teungku Abdul Aziz, 

pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Kesultanan 

Aceh waktu itu. Ia merupakan keturunan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang 

ketiga puluh tujuh. Oleh sebab itu, gelar Ash-Shiddiq dijadikan nama 

keluarganya. Ketika berusia 6 tahun, ibunya meningggal dunia. Sejak 

itu ia diasuh oleh bibinya, Teungku Syamsiah.  

           Sejak kecil Hasbi belajar agama Islam di dayah milik ayahnya. 

Kemudian pada usia delapan tahun ia sudah pergi belajar dari satu 

dayah ke dayah lainnya. Mulanya ia pergi ke dayah Teungku Chik di 

Piyeung untuk belajar Bahasa Arab. Setahun kemudian ia pindah ke 

dayah Teungku Chik di Bluk Bayu. Pada tahun 1916 ia kembali pindah 

ke dayah  Teungku Chik Idris. Pada salah satu dayah terbesar di Aceh 

ini Hasbi belajar fiqih. Dua tahun kemudian ia pindah ke dayah 

Teungku Chik Hasan Krueng Kale untuk memperdalam ilmu hadits dan 

fiqih. Setelah dua tahun belajar di dayah ini, Hasbi mendapatkan 

syahadah (ijazah) sebagai tanda ilmunya telah cukup dan berhak 

membuka dayah sendiri. Disamping gemar belajar, Hasbi juga gemar 

membaca, oleh karena itu, kemampuan otodidaknya sangat bagus.  

           Sekembalinya dari merantau, Hasbi kemudian menjadi anak didik 

Syaikh al-Kalali, seorang tokoh pembaharu asal Singapura yang 

kemudian menetap di Aceh, dari sini ia mendapat kesempatan untuk 

membaca kitab-kitab para ulama besar seperti Fatawa Ibnu Taimiyah, 

=kdul Ma’kd Ibnu Qayyim dan ‘Ilamul MuZaqi’in. 

                Melihat gairah dan kemampuan Hasbi itu, Syaikh al-Kalali 

kemudian mengirimnya ke Surabaya untuk belajar kepada Syaikh 

Ahmad as-Surkati. Setelah dites ia ditempatkan di kelas takhasus. 

Selama satu setengah tahun belajar di al-Irsyad, yang paling banyak 

dipelajari Hasbi yaitu  kemahiran berbahasa arab dan pengalaman 

menyaksikan kiprah kaum pembaharu di Jawa yang bergerak secara 

terorganisir. Akhirnya Syaikh as-Surkati dengan al-Irsyadnya telah 

memantapkan sikap, Hasbi  untuk bergabung dengan kelompok 

pembaharu.    

             Berbeda dengan kebanyakan tokoh pembaharu lainnya di 

Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaharuan sebelum naik haji 

atau belajar di Timur Tengah. Kemudian Ia mulai menyuarakan 

pembaharuannya di Aceh, masyarakat yang dikenal fanatik. Namun ia 

tidak gentar dan surut kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan 

diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya. 

           Sikap pembaharuan Hasbi tercermin dalam pemikiran-pemikirannya. 

Dalam berpendapat ia merasa bebas, tidak terikat dengan pendapat 

kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan 

Persis, padahal ia juga anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan 

134 

 

berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka 

terjadi di Indonesia. 

            Pada tahun 1933 Hasbi pindah ke Kutaraja (Banda Aceh). 

Kepindahannya ke ibukota karesidenan ini membuka peluang bagi 

Hasbi untuk lebih banyak bergerak. Kemudian ia bergabung dengan 

organisasi Nadil Ishlahil Islami (Kelompok Pembaruan Islam). Dalam 

rapat umum organisasi tahun 1933, Hasbi ditunjuk sebagai wakil 

redaktur Soeara Atjeh, salah satu organ dari Nadil Ishlahil Islami. 

Hasbi juga mendaftarkan diri sebagai anggota Muhamadiyah. Ia pernah 

menjadi ketua cabang Muhamadiyah Kutaraja dan ketua Majelis 

Wilayah Muhamadiyah Aceh. 

   Pada awal kemerdekaan Hasbi ditangkap dan dipenjara oleh 

Gerakan Revolusi Sosial di Lembah Burnitelong dan Takengon selama 

satu tahun lebih. Apa yang menjadi sebab semua ini tidak begitu jelas, 

karena Hasbi sendiri tidak pernah diinterogasi maupun diadili. Tapi ada 

kemungkinan karena sikap pembaharuannya. Selama di dalam tahanan 

Hasbi berhasil menyelesaikan tulisan naskah buku al-Islam setebal 

1.404 halaman dalam dua jilid. Buku ini kemudian diterbitkan untuk 

pertama kalinya pada tahun 1951. Sampai tahun 1982 saja buku ini 

telah mengalami tujuh kali cetak ulang. 

            Hasbi baru dibebaskan dari penjara setelah ada desakan dari 

Pimpinan Muhamadiyah dan surat dari Wakil Presiden Mohammad 

Hatta. Tetapi ia masih berstatus tahanan kota. Setelah dibebaskan ia 

pulang ke Lhok Seumawe dan menjadi Kepala Sekolah Menengah 

Islam di sana. Status tahanan kotanya kemudian dicabut pada tanggal 

28 Februari 1948. 

           Setahun kemudian Hasbi bersama Ali Balwi berangkat ke 

Yogyakarta untuk menghadiri Kongres Muslim Indonesia (KMI) ke XV 

mewakili Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Dalam kongres itu 

Hasbi menyampaikan makalah yang berjudul ”Pedoman Perjuangan 

Ummat Islam  mengenai Soal Kenegaraan”. Ia juga dikenalkan oleh 

Abu Bakar Atjeh, ulama asal Aceh, kepada Kyai Wahid Hasyim, 

Mentri Agama saat itu, dan Kyai Fatchurrahman Kafrawi, ketua Panitia 

Pendirian PTAIN (cikal bakal IAIN). 

             Perkenalannya dengan Kyai Fatchurrahman Kafrawi, membawanya 

ke Yogyakarta dua tahun kemudian, kali ini untuk menetap, karena ia 

ditawari mengajar di Sekolah Persiapan PTAIN. Karena kepakarannya 

dalam ilmu hadits, tahun 1960, ia diangkat sebagai Guru Besar dalam 

bidang ilmu Hadis. Kemudian,  ia juga diangkat sebagai Dekan 

Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta  hingga tahun 1972. 

Ia juga diangkat sebagai Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry 

Banda Aceh.  

135 

 

                Atas jasa-jasanya dalam dunia pendidikan, Teungku Hasbi ash-

Shiddieqy telah dianugerahi beberapa penghargaan, di antaranya yaitu  

Anugerah Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung 

(UNISBA) pada tahun 1975 dan Anugerah Doctor Honoris Causa dari 

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jogjakarta tahun 1075. 

                Semenjak dari Aceh, Hasbi sudah aktif di Masyumi. Dalam 

pemilihan umum tahun 1955 Hasbi terpilih sebagai anggota 

konstituante dari partainya. Ia kemudian ditempatkan di Panitia 

Persiapan Konstitusi (PPK). Sebagai anggota konstituante, pada tahun 

1957 Hasbi berangkat ke Pakistan untuk menghadiri International 

Islamic Colloquium yang diselenggarakan oleh University of Punjab. 

Dalam acara ini Hasbi menyampaikan makalah dalam bahasa Arab 

dengan judul ”Sikap Islam terhadap Ilmu Pengetahuan”. 

           Semasa hidupnya, Hasbi ash-Shiddieqy aktif menulis dalam berbagai 

disiplin ilmu, khususnya ilmu-ilmu keislaman. Menurut catatan, karya 

tulis yang telah dihasilkannya berjumlah 73 judul buku, terdiri dari 142 

jilid, dan 50 artikel. Sebagian besar karyanya yaitu  buku-buku fiqh 

yang berjumlah 36 judul. Sementara bidang-bidang lainnya, seperti 

hadis berjumlah 8 judul, tafsir 6 judul, dan tauhid 5 judul, selebihnya 

yaitu  tema-tema yang bersifat umum. Karya terakhirnya yaitu  

Pedoman Haji, yang ia tulis beberapa waktu sebelum meninggal dunia.  

                Karya Hasbi yang fenomenal yaitu  Tafsir an-Nur. Sebuah tafsir al-

Qur`an 30 juz dalam bahasa Indonesia. Karya ini fenomenal karena 

tidak banyak ulama Indonesia yang mampu menghasilkan karya tafsir 

semacam itu. 

                Pada tanggal 9 Desember 1975, Hasbi mengikuti karantina guna 

menunaikan Ibadah haji, namun Allah swt. menakdirkan memanggilnya 

dalam usia 71 tahun. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga 

IAIN Ciputat, Jakarta. Buya HAMKA dan Mr. Mohammad Roem turut 

memberi sambutan pada acara pelepasan dan pemakamannya.130  

            Menurut Hasbi, perbedaan ijtihad tentang mathla’ menjadi penyebab 

kaum muslimin terpecah-pecah, dan demikian pula hasil dari perbedaan 

pemahaman tentang rukyat. Untuk menjaga dan memelihara persatuan 

umat, jalan yang terbaik yang harus ditempuh menurutnya yaitu  

berpegang teguh kepada dalil nash dan hadis seperti yang dipraktekkan 

oleh para sahabat. Akal hanya digunakan sebagai alat bantu, dan roh 

syari’at tidah boleh digusur oleh akal.131 

38. KH. Noor Ahmad  

                                                        

 

             Lahir di Jepara pada hari Kamis Kliwon 14 Desember 1932 M/ 19 

Rajab 1351 H, dari pasangan K.H Shiddiq bin Saryani dan Hj Sawinah. 

Perjalanan intelektual K.H Noor Ahmad, dimulai dari pendidikan 

madrasah yang ada di kampung halamannya sendiri, sebelum 

melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Tasywiq al-Thullab Salafiyah 

(TBS) Kudus.  

            KH Noor Ahmad menekuni Ilmu Falak ketika duduk di bangku 

Madrasah, ia senang belajar ilmu Falak menggunakan kitab Falak 

karangan Kyai Mawardi Solo. Pada masa itu, dia menyalin kitab 

ini  dengan tinta tutul yang digunakan santri zaman dahulu untuk 

memberi makna kitab kuning. Keistimewaan cara belajar Noor Ahmad 

langsung belajar tanpa memekai kitab panduan kepada Mbah Toor 

(sapaan akrap KH Turaichan Adjhuri asy-Syarofi). 

            Setelah menamatkan pendidikan di Kudus, Noor Ahmad berkelana 

ke pesantren-pesantren lain di Jawa. Di antara pesantren yang pernah 

disinggahi ialah Tebuireng Jombang, Langitan, Lasem dan Salatiga. 

Perjalanannya menuntut ilmu Falak  dilakukan setelah mendapatkan 

restu dari gurunya, KH Turaichan. Yaitu setelah Noor Ahmad dianggap 

telah cukup menguasai dasar-dasar Falakiyah dan membutuhkan 

bersilaturrahim (mengaji) kepada guru-guru lain. Dari sinilah Noor 

Ahmad menguasai banyak metode dalam perhitungan Falakiyah. 

            Selama di Salatiga, Noor Ahmad belajar kepada Kyai Zubair Umar 

al-Jaelani, pengarang kitab al-Khulashah al-Wafiyah. Selama di 

pesantren Langitan, Noor Ahmad mengaji kepada Kyai Abdul Hadi dan  

dengan Kyai Abdullah Faqih yang merupakan teman satu angkatannya.  

            Selain belajar secara jasmaniah, KH Noor Ahmad juga 

diperintahkan oleh gurunya, KH Turaichan, untuk berguru secara 

ruhaniah. Cara berguru ini berupa perjalanan ziarah kepada para ulama 

ahli Falak yang telah wafat. Noor Ahmad sering mendapat perintah 

untuk berziarah ke makam-makam ulama Falak, seperti Raden Dahlan, 

Semarang, seorang ulama ahli falak pada zamannya,  

            Setelah sekian lama belajar kepada Kyai Turaichan, Noor Ahmad 

pun muncul sebagai salah satu ulama ahli Falak di Pengurus Besar 

Nahdlatul Ulama (PBNU). Awalnya, Kyai Turaichan Adjhuri asy-

Syarofi, sebagai ketua Markaz penanggalan Jawa Tengah, diminta 

untuk menjadi anggota Lajnah Falakiyah di PBNU dari perwakilan 

Jawa Tengah. Akan tetapi dia tidak berkenan. Lalu Kyai Turaichan 

diminta untuk menunjuk perwakilannya. Maka sang guru pun 

menunjuk KH. Noor Ahmad sebagai wakilnya.  

               Salah satu barometer yang digunakan untuk mengukur kualitas 

keilmuan seseorang ialah seberapa banyak dan berkualitas karyanya. 

Dari segi ini KH. Noor Ahmad memenuhi kriteria ini , karena telah 

menelurkan karya-karya yang berkualitas dalam bidang ilmu Falak. 

137 

 

Diantara karyanya ialah; pertama. Syams al-Hilal. Kitab ini terdiri dari 

dua jilid, yakni jilid pertama berbahasa Arab yang menjelaskan hisab 

Jawa Islam, hisab Istilahi tahun Hijriyah dan Masehi, dan konversi dari 

tahun Hijriyah ke Masehi atau sebaliknya. Karya yang kedua ialah 

Syawariq al-Anwar. Kitab ini juga terdiri dari dua jilid. Jilid pertama 

menjelaskan perhitungan arah kiblat dan waktu Shalat dengan beracuan 

tabel Logaritma. Sedangkan jilid kedua menjelaskan perhitungan arah 

Kiblat dan waktu Shalat, akan tetapi sudah menggunakan alat bantu 

kalkulator. Karya ketiga ialah Taufiq al-Rahman. Kitab ini merupakan 

kitab pertama K.H Noor Ahmad yang masuk dalam katagori Haqiqi bi 

al-Tahqiq. Di dalamnya dijelaskan hisab awal Bulan Qamariyah, 

Gerhana Bulan, dan Gerhana Matahari. Namun kitab ini sudah tidak 

dipakai lagi setelah lahir karyanya yang keempat, yakni Nur al-Anwar. 

Kitab Nur al-Anwar  menjelaskan hisab awal bulan Kamariah metode 

Haqiqi bi al-Tahqiq, Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari.132  

39. KH. Irfan Zidny  

            Seorang ahli rukyat, lahir di Banyuwangi, 2 Februari 1946 M/1 

Rabi’ul Awal 1365 H, dan meninggal pada tanggal 27 Mei 2004 M8 

Rabiul Akhir 1425 H di Jakarta. Setelah tamat SD Banyuwangi, ia 

melanjutkan ke SGA Solo, kemudian mengikuti kuliah di Kulliyatul 

Qadha UNU Solo. Setelah lulus, ia melanjutkan ke Universitas 

Baghdad, meraih gelar Master, pada tahun 1972 M/1392 H. 

            Irfan Zidny pernah menjadi ketua Lajnah Falakiyah PB. NU 

menggantikan K.H Machfudz Anwar. Ia juga diangkat menjadi Rais 

Syuriyah PB NU. Karyanya dalam ilmu falak, Memahami Cara 

Nahdhatul Ulama Menetapkan satu Syawal dan Idul Fitri Antara 

Rukyat dan Hilal.133 

40. KH. M Kamil Chayan  

             Lahir di Gersik pada 10 Nopember 1933 M/1352 H. Setelah tamat 

di Madrasah NU Gersik 1946  M/1366 H, ia meneruskan 

pendidikannya ke Pesantren Tebuireng Jombang. Pada tahun 1948 

M/1368 H, M. Kamil Chayan mengunjungi kyai-kyai ahli falak, sekitar 

20 orang kyai telah ditemuinya untuk belajar ilmu falak. 

           Ia tercatat seorang ahli falak yang dalam ilmunya, pendapatnya 

selalu menjadi rujukan bagi warga NU dalam menentukan awal awal 

Ramadan dan Idul Fitri. Selain menimba ilmu falak dari para kyai, ia 

juga banyak belajar ilmu falak dari nelayan, karena nelayan sangat 

faham dengan masalah perbintangan. Menurutnya, hisab dan rukyat itu 

sama, sebab orang yang melakukan rukyat mesti melakukan hisab 

                                                        

 

terlebi dahulu. Rukyat sulit dilakukan tanpa lebih dahulu melakukan 

hisab.134 

41. H.T. Muhammad Ali Muda  

           Nama lengkapnya H.Tengku Muhammad Ali Muda bin Jariah 

Teungku Muda. Ia yaitu  salah seorang ahli falak yang lahir di Lhok 

Sukun Aceh, pada 31 Desember 1942, dan wafat pada hari Selasa/23 

Sya’ban 1426 H27 September 2005. 

            Pada tahun 1968-1972 M/1388-1392, Muhammad Ali Muda 

berangkat ke Malaysia untuk memperdalam dan memperluas kajian 

ilmu falak dan bahasa Inggris. Syekh Tun Khair H. Mohammad Taib 

yaitu  gurunga di bidang ilmu falak yang mempengaruhi 

pemikirannya. Ia  dipercayai menjadi anggota Badan Hisab dan Rukyat 

Departemen Agama RI. 

                Karya tulinya di bidang ilmu falak, Kududukan Ilmu Falak Dalam 

Menetapkan Beberapa Furu’ Syariat (), JadZal Miqat () dan  

Cara Praktis Mengatahui Arah Kiblat (1994)135 

42. Raja Muhammad Tahir Riau  

      Ia salah seorang ulama Riau yang menulis tentang ilmu hisab dan 

falakiyah. Kitab aslinya tidak dapat jumpai lagi, tetapi naskah kitabnya 

hanya dapat diketahui melalui salinan yang dibuat oleh puteranya yang 

bernama Raja Haji Muhammad Said.136  

43. Sayyid Usman  

            Nama lengkapnya yaitu  al-Habib Sayyid Usman bin Abdullah bin 

Aqil bin Yahya al-Alawi al-Husaini, lahir di Pakojan, Batavia, pada 17 

Rabiul Awal 1238 H/1822 M, dan wafat pada tahun 1331 H/18 Januari 

1914 M. 

            Sebagai seorang ahli falak, ia melakukan koreksi terhadap beberapa 

masjid di Palembang. Salah satu karyanya di bidang ilmu hisab yang 

sampai sekarang berada di Perpustakaan Leiden, Belanda yaitu  Tahrir 

Aqwa al-Adillah fi Tahshili ‘Aini al-Qiblah.137 

44. Sultan Agung  Demak 

            Ia lahir pada hari Jumat, tanggal 14 Nopember 1592 M, seorang 

tokoh pembaharu dalam bidang kalender Islam. Sebagaimana diketahui, 

bahwa sebelum masuk pengaruh Islam, kalender yang berlaku di Jawa 

didasarkan kepada sistem peredaran Matahari (Syamsiyah), yang 

dikenal dengan kalender Saka. Sementara Islam menggunakan kalender 

dengan sistem peredaran Bulan (Qamariyah) yang dikenal dengan 

kalender Hijriah (kalender Islam). 

                                                        

        

 

           Sultan Agung menyelaraskan kedua sistem kalender itu dengan 

menyatukannya serta menjadikannya sebagai kalender resmi 

Mataram.138 Kalender Islam-Jawa diresmikan pada tanggal 8 Agustus 

1633 M/1 Muharam 1043 H atau satu Suro 1555.139  

 Tahun  Hijriah yang baru diresmikan, merupakan salah satu karya 

monumental Sultan Agung (1633-1645). Raja Mataram Islam ketiga 

ini , memberikan keteladanan akan kearifan, toleransi, pluralisme 

serta sosok negarawan sejati. Kedatangan agama Islam di tanah Jawa, 

pelan tapi pasti menggeser agama dan kebudayaan Hindu dan Budha. 

            Sultan Agung mampu memberi ”warna” budaya -awa dengan  Islam 

yang merupakan agama ”baru” zaman itu. Dengan “warna” lokal itu, 

Islam meresap ke dalam jiwa dan hati sanubari masyarakat Jawa 

sebagai Islam yang matang dan akomodatif terhadap perubahan. 

           Keteladanan lain yang dicontohkan Sultan Agung, yaitu  kedekatan 

dan rasa hormat kawula terhadapnya. Pada masa Sultan Agung, 

penanggalan (kalender) merupakan bagian penting dari kehidupan 

kenegaraan. Hampir semua perikehidupan masyarakat Jawa kala itu, 

khususnya tata laku budaya, berpatok kuat pada sistem penanggalan. 

            Sebelum Islam datang, telah berkembang penanggalan yang 

bersandar pada kalender Saka-berasal dari sistem penanggalan Hindu-

Buddha- yang dimulai sekitar tahun 78 Masehi. Sementara agama Islam 

membawa penanggalan baru (Hijriah) yang mendasarkan pada 

perhitungan bulan (komariah). 

            Melalui ide kreatifnya, Sultan Agung mengasimilasikan dua 

penanggalan itu. Caranya, tahun baru Jawa yang semula berdasar 

perhitungan syamsiah diubah dengan perhitungan komariah. Alhasil, 

hingga  awal tahun baru Jawa selalu berbarengan dengan tahun Hijriah. 

Sejak saat itu asimilasi ini menghasilkan kalender Jawa-Islam yang 

berdampak kepada substansi ritual religiusnya. Nilai Islam berjalan 

bersama dengan tata laku adat Jawa sehingga memunculkan inspirasi 

baru dalam identifikasi terhadap kalender Islam murni di Jawa. 

            Latarbelakang penyatuan kalender ini melalui dakwah dan politis. 

Sultan Agung mempunyai kewajiban mendakwahkan nilai Islam di 

Jawa, yang ketika itu sebagian rakyatnya masih berpegang kuat pada 

ajaran Syiwa-Buddha. Ia memilih mengakomodasi kepercayaan lokal 

dalam Islam. Model akomodasi budaya Jawa, khususnya Syiwa-

Buddha, sebelumnya pernah dilakukan Walisongo, khususnya Sunan 

Kalijaga. 

                                                        

        138Dalam sistem kalender baru terdapat perubahan nama-nama bulan, misalnya bulan Safar 

dalam tahun Hijriyah menjadi sapar dalam tahun Jawa, bulan Rajab menjadi bulan Rejeb, bulan 

Muharam menjadi bulan Suro, dan bulan Ramadan menjadi bulan Poso. Ciri lain terdapat 

penafsiran pada pasaran  seperti legi,pahing, pon, wagi, kliwon, wuku, dan windu. 

        

 

            Penyatuan kalender merupakan bagian dari penyatuan unsur-unsur 

lain, seperti dipakainya doa Islam dalam ritual jamasan dan penggunaan 

istilah Islam untuk menyebut tanggal dan bulan Jawa. Pertimbangan 

Sultan Agung yang lain, adanya mitos bulan Suro yang dipercaya 

masyarakat Jawa sebagai bulan yang sakral, karena pada bulan ini  

lahir dan runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Mataram Islam. 

            Di antara semua karyanya, peran sultan Agung yang lebih 

membawa pengaruh luas yaitu  dalam penyatuan penanggalan. Sultan 

Agung memadukan tradisi pesantren Islam dengan tradisi kejawen 

dalam perhitungan tahun. Masyarakat pesantren biasa menggunakan 

tahun Hijriah, masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau saka. 

Pada tahun 1633, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan 

berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh Mataram. 

Perhitungan itu hampir seluruhnya disesuaikan dengan tahun Hijriah, 

berdasarkan perhitungan bulan. Namun, awal perhitungan tahun Jawa-

Islam ini tetap sama dengan tahun saka, yaitu 78 M. Kesatuan 

perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan  babad. Perubahan 

perhitungan itu merupakan sumbangan yang sangat penting bagi 

perkembangan proses pengislaman tradisi dan kebudayaan Jawa yang 

sudah terjadi sejak berdirinya kerajaan Demak.  

45. A. Jamil  

            Lahir pada 15 Agustus 1959 di Jabung, Lampung Tengah. 

Pendidikan dasar di MIN 1 Teluk Betung tamat 1973, melanjutkan ke 

Pondok Pesantren Mathla’ul Anwar tamat 1976, kemudian meneruskan 

ke MAN Tanjung Karang tamat 1980. Sarjana S-1 diperoleh pada 

Fakultas Sayri’ah IAIN Sunan Kali -aga tahun 1987, kemudian 

meneruskan ke Pascasarajana IAIN Raden Intan Lampung. 

            A. -amil mengasuh mata kuliah ilmu falak pada jurusan Syari’ah 

STAIN Metro Lampung dari 1999-2008 dan di Ma’had Aly 

Muhammadiyah Metro Lmpung dari 2005-228. Karya tulisnya dalam 

ilmu falak ialah Ilmu Falak (Teori & Aplikasi) Arah  Qiblat, Awal 

Waktu, dan Awal Tahun.140 

46. Drs. Wahyu Widiana, MA  

            Ahli falak muda, lahir di Ciawi Tasikmalaya pada 18 Agustus 1952, 

kini memangku jabatan sebagai Dirjen Badan Peradilan Agama di 

Mahkamah Agung RI. Sebelum itu, ia memangku jabatan Direktur 

Peradilan Agama RI. Pendidikan S-1 diselesaikan di Fakultas Syariah 

IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan S-2 diperoleh dari University of 

Michigan Amirika Serikat, jurusan astronomi.141 Karya tulisnya; 

                                                        

       

a. International Date Line dalam Hubungannya dengan Shalat Juat 

b. Kedudukan Ijtimak Sebagai Pedoman dalam Menentukan Awal 

Bulan Kamariah 

c. Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Indonesia 

d. Penetapan Idul Adha di Indonesia 

e. Kriteria Imkanurrukyah Menurut Kerjasama Negara MABIMS.142 

47. Buya H. A bdul Jalil Manaf  

            Ia bergelar Malin Joneh Datuk Putih, lahir di Penyesawan Airtiris, 

Kabupaten Kampar-Riau,  pada bulan Juli 1913 M, dan wafat pada hari 

Selasa tanggal 29 Januari 1985 M/8 Jumadil Awal 1405 H di 

Pekanbaru. 

            Setelah menyelesaikan pendidikan SR di Penyasawan, ia 

melanjutkan ke Pesantren di Sumanik Sumatera Barat dan kemudian 

kuliah di al-Atas University Singapura. Setelah menamatkan 

pendidikan di Pesantren, H. Abdul Jalil Manaf bersama kawan-

kawannya mendirikan Pandu al-Hilal di Sumanik. Akibatnya, 

Pemerintah Belanda ingin menangkapnya, tetapi tidak berhasil, karena 

ia melarikan diri ke Singapura dan kemudian menetap di Johor  

Malaysia.143 

                Di Johor, H. Abdul Jalil Manaf bekerja sebagai pelukis, pada 

suatu hari datang seorang membeli lukisannya dari kelurga raja Johor. 

Kemudian, raja Johor yang bernama Raja Daud memintak agar H. 

Abdul Jalil Manaf mengajarkan anak-anaknya melukis dan mengaji 

(membaca al-Qur’an) serta tinggal bersama bersama kelurga raja. 

                 Pada tahun 1935, H. Abdul Jalil Manaf pulang ke kampunga 

halamannya Penyesawan Airtiris, ia menunting seorang dara yang 

bernama Zubaidah. Berselang beberapa bulan setelah menikah, ia 

kembali ke Johor Malaysia. Kemudian pada tahun 1937, ia kembali lagi 

ke Penyesawan Airtiris, dan dimintak oleh masyarakat untuk menjadi 

Pembina dan sekaligus mengajar di Madrasah an-Naim. Pada tahun 

1937, ia menikah lagi dengan Asmah binti H Abdul Wahid (seorang 

ulama). 

                 Pada tahun 1949, ia diangkat menjadi Qadh nikah bekerja secara 

sembunyi karena Belanda mengetahui bahwa ia berada di Penyesawan 

Airtiris, untuk menghindari kejaran Belanda H. Abdul Jalil Manaf lebih 

banyak tidur di Masjid, Surau dan tempat-tempat yang dirasa aman. 

Pada hari Selasa bulan Oktober 1949, ketika ia sedang berjalan di pasar 

                                                                                                                                                        

                                                                                                                            

Airtiris bersama H Abul Somad, tiba-tiba Belanda menodong dan 

menembakan pistolnya tepai tidak meledak, kemudian Belanda 

menodong dan menembak H. Abdul Somad, dan H. Abdul Somad 

tersungkur dan meninggal di pasar Airtiris. Kemudian, Belanda 

membakar pasar Airtiris sehingga menjadi lautan api, disaat itulah H. 

Abdul Jalil Manaf melarikan diri kehutan. 

                  Ketika terjadi pergolakan PRRI, ia dicugai dan dicari oleh 

tentara pusat, dan akhirnya ia ditangkap. Setelah dilakukan introgasi 

oleh Kodim Pekanbaru tidak bukti ketrlibatannya menentang pusat, dan 

akhirnya, ia dilepaskan. Pada tahun 1955, ia mendirikan sekolah 

Tarbiyah Islamiyah di Pekanbaru. Sewaktu Kaharuddin Nasution 

menjadi Gubernur Riau, H. Abdul Jalim Manaf diangkat menjadi 

anggota DPR-GR Provinsi Riau sampai tahun 1960. 

                Pada tahun 1960, ia dipindahkan tugas oleh Gubernur Arifin 

Ahmad menjadi Pegawai Urusan Agama Departemen Agama Provinsi 

Riau, waktu itu dipimpin Nurdin Jalil. H. Abdul Jalil Manaf orang parti 

dan Nurdin Jalil orang NU. Nurdin Jalil akan membayar gaji H. Abdul 

Jalil Manaf, jika ia mau pindah ke NU. Selama enam bulan gajinya 

tidak dibayar, dan akhirnya ia masuk NU. Setelah pansiun, ia menjadi 

imam Masjid Agung An-Nur dan al-Hasib sampai wafat. 

                 Pengetahun falak, ia tekuni maulai masuk  Pesantren di Sumatera 

Barat dan ketika kuliah di al-Atas University Singapura, kemudian 

didalami sendiri secara otodidak melalui buku-buku falak yang beredar 

waktu itu. Karyanya yaitu  Jadwal Waktu Shalat, Berbuka Puasa dan 

Imsak Sepanjang Masa di Pekanbaru dan Daerah-daerah lan di 

Provinsi Riau Menurut WIB. 

48. +.$EGurraKPan<a’NuE 

          Nama lengkapnya ialah H. Abdurrahman bin Ya’kub,144 lahir 

tanggal 12 Oktober 1912 M/1331 H. di Desa Sungai Bangkar  Retih 

Inderagiri Hilir. Ayahnya bernama H. Ya’kub dan ibunya bernama Hj. 

Hafsah. Dari hasil perkawinan dengan Hj. Hafsah (isteri pertama) 

dikaruniai empat orang anak. Kemudian H. Ya’kub menikah dengan 

Asmah (isteri ke dua) dikaruniai satu orang anak.  

          H. Abdurrahman Ya’kub dibawa pindah oleh orang tuanya ke 

Desa Teluk Dalam Safat Tembilahan. Di daerah ini  H. 

Abdurrahman Ya’kub menetap sampai usia remaja. Menurut salah 

seorang puteranya yang bernama Kurdi bahwa ayahnya semasa kecil 

diasuh dan dibesarkan oleh H. Ya’kub dengan menanamkan pendidikan 

agama dan penuh kasih sayang. Sejak kecil H. Abdurrahman Ya’kub 

                                                        

 

sudah terlihat kecerdasan dan kemandiriannya, ketika ayahnya memberi 

tugas, dapat ia selesaikan sendiri tanpa meminta bantuan kepada orang 

lain, kecuali jika ia rasakan tugas itu benar-benar sulit dan tidak mampu 

ia sesaikan. H. Abdurrahman Ya’kub diasuh dan dididik oleh orang 

tuanya dalam keadaan hidup sederhana dan penuh disiplin. Jerih payah 

H. Ya’kub dalam mendidik dan mengasuh anaknya itu membuahkan 

hasil positif, hal itu terlihat setelah  H. Abdurrahman Ya’kub,145 

menginjak dewasa. 

               Pada tahun 1927 M1345 H. Abdurrahman Ya’kub bersama ke 

dua orang tuanya (H. Ya’kub dan Hj. Hafsah) serta adik kandung Hj. 

Hafsah berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji ke 

Mekah al-Mukarramah,146 dan sekaligus mengantarkan H. 

Abdurrahman Ya’kub belajar di kota Mekah al-Mukarramah.  

               H. Abdurrahman Ya’kub menetap di Mekah selama 12 tahun, dan 

ia berkenalan dengan Hj. Rukayah yang  berasal dari daerah Merlung 

Kuala Tungkal Riau. Hj. Rukayah sudah sejak kecil  menetap di Mekah 

al-Mukaramah bersama orang tuanya. Perkenalan H. Abdurrahman 

Ya’kub dengan Hj. Rukayah diikat dengan tali pertunangan dan 

berakhir dengan pernikahan. Pernikahan H. Abdurrahman Ya’kub 

dengan Hj. Rukayah dilangsungkan pada tahun 1938 M/1356 H. di kota 

suci Mekah 

          Setelah menikah  H. Abdurrahman Ya’kub bersama isterinya 

kembali ke Indonesia, tepatnya ke daerah kelahirannya desa Teluk 

Dalam Safat di Inderagiri Hilir Riau, dan menetap disana. Ia bersama 

isterinya mulai mengajar dan mengembangkan ilmunya kepada 

masyarakat. Pada tanggal 15 April 1970 M bersamaan tanggl 6 

Syakban 1391 H,147 H. Abdurrahman Ya’kub wafat di desa Pasar 

                                                        

 145Syafruddin Saleh (cucu H. Abdurrahman Ya’kub), Wawancara, 25 Mei  2012 di   

Pekanbaru. 

 146Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam,  Jilid  I, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1990. 

Kota Mekah yaitu  suatu tempat yang dipandang suci oleh seluruh bangsa Arab dan umat Islam 

seluruh dunia. Mekah tempat pusat berkumpul umat Islam seluruh dunia untuk menunaikan haji 

dan umrah, Mekah dengan Masjid al-Haram yang di dalamnya terdapat Ka’bah sebagai Kiblat 

umat Islam dalam melaksanakan ibadah salat. Selain Mekah sebagai pusat peribadatan umat Islam, 

Mekah juga sebagai kota pelajar yang menjadi tumpuan umat Islam dari berbagai penjuru dunia 

datang ke sana untuk menuntut ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan agama Islam. Di 

kota suci inilah lahirnya Islam yang kemudian menyebar dan berkembang keseluruh penjuru 

dunia, termasuk Indonesia. Ulama yang hidup pada awal abad dua puluhan sampai sekarang 

banyak lulusan dari Timur Tengah khususnya Mekah. Salah seorang Ulama lulusan Mekah yang 

berasal dari Riau yaitu  H. Abdurrahman Ya’kub.  

 147Sebelum H. Abdurrahman Ya’kub  menghembuskan nafas terakhir ia sempat 

melaksanakan salat =uhur, zikir dan berdo’a, kemudian beliau memangil anak-anaknya untuk 

dibaringkan. Sekitar sepuluh menit setelah itu, dalam keadaan tenang beliau menghembuskan 

nafasnya yang terakhir. 

144 

 

Kembang Kecamatan Keritang Kabupaten Inderagiri Hilir. Ia 

meninggalkan empat orang isteri dan empat belas orang anak.148  

      Orang pertama yang membimbing, mendidik dan mengajar H. 

Abdurrahman Ya’kub yaitu  orang tuanya sendiri, yaitu H. Ya’kub. H. 

Ya’kub belajar agama Islam di Kedah Malaysia, dan ia sebagai tokoh 

agama dan tokoh masyarakat  kharismatik yang berpengaruh dalam 

masyarakat. Sebagai tokoh agama, banyak orang datang belajar agama 

Islam terutama ilmu tauhid dan fikih kepadanya.  

                   H. Ya’kub terkenal pula sebagai pedagang,149 ia banyak 

menghabiskan waktu  bepergian keluar daerah untuk membawa barang 

dagangannya. Karena kesibukan  berdagang, pendidikan anaknya tidak 

berjalan lancar. H. Ya’kub mengambil inisiatif menyerahkan anaknya 

kepada H. Zuhri untuk dibimbing dan meneruskan pendidikan agama 

yang sudah diajarkannya.150  

         Selama berada di bawah asuhan dan bimbingan H. Zuhri, H. 

Abdurrahman Ya’kub belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh serta 

mencurahkan perhatiannya dalam belajar membaca al-Qurān. Pada 

waktu itu sudah terlihat kecerdasan H. Abdurrahman Ya’kub dalam 

menerima dan memahami pelajaran yang diberikan gurunya.           

          H. =uhri yaitu  sahabat H. Ya’kub, ia memiliki kemampuan yang 

handal dalam membaca al-Qur’an, dan ia  menguasai ilmu agama Islam 

dengan baik dan mendalam. H. Zuhri dipandang sebagai ulama dan 

Qari’ di Teluk Dalam Safat. H. Abdurrahman Ya’kub juga berguru dan 

belajar mengaji al-Qur’an dan agama dengan ustad /ahaya. Ia juga 

seorang guru mengaji al-Qur’an yang terkenal di Teluk Dalam Safat.151 

          H. Abdurrahman Ya’kub berguru dan belajar dengan Tuan *uru 

H. Abdurrahman Shiddiq al-Banjari tentang ilmu fikih dan ilmu falak. 

                                                        

 148Dari isteri pertama Hj. Rukayah mendapat tiga orang anak yaitu Khadijah, Umi Kalsum 

dan Syamsiah. Dari isteri ke dua Hj. Asmah mendapat empat orang anak yaitu Syamsuddin, Kurdi, 

Asmah dan Normah. Dari isteri ke tiga Salmah mendapat tiga orang anak, yaitu Abdah, Luthfi dan 

Abdan. Dari isteri ke empat Aminah mendapat empat orang anak yaitu Sayuti, Hamdan, Adnan 

dan Maisyarah. Sebagian anak-anaknya mendapat pendidikan di Madrasah Nurul Wathan. 

Maisyarah (anak H.Abdurrahman Ya’kub), wawancara, 26 Mei 2011 di Pasar Sungai Kembang.              

 149Ulama dan tokoh masyarakat Inderagiri hilir yang hidup pada awal abad dua puluhan 

secara umum mempunyai perekonomian yang kuat. Ada ulama yang mempunyai kebun yang 

banyak, ada yang mempunyai usaha dagang, sehingga dalam mengembangkan dan menyibarkan 

Islam dengan berda’wah tidak membebani masyarakat dan pemerintah, bahkan sebagian hartanya 

disumbangkan untuk kepentingan Agama dan keperluan masyarakat. Ulama pada waktu itu 

mempunyai ekonomi yang mapan, hidupnya tidak digaji oleh pemerintah. H. Ya’kub yaitu  

seorang ulama, tokoh masyarakat dan juga aghniya’. 

 150H. Zuhri yaitu  seorang guru mengaji dan ilmu fikih yang terkenal di Teluk Dalam 

Safat, beliau berasal dari  suku Banjar yang hijrah dari Kalimantan Selatan ke Tembilahan dan 

menetap di Teluk Dalam. Ia mendapat pendidikan agama Islam di Kalimantan Selatan.  

 151Lahaya yaitu  suku Bugis berasal dari Sulawisi Selatan hijrah ke Tembilahan dan 

menetap di Teluk Dalam Safat . Selain berkebun beliau juga menjadi guru mengaji al-Qurān 

sehingga namanya terkenal. 

145 

 

H. Abdurrahman Shiddiq seorang ulama besar dan tokoh masyarakat 

yang diangkat sebagai mufti oleh sulthan kerajaan Inderagiri, dan 

bertugas selama 17 tahun.152 

           Pada tahun 1927 M1345 H. Abdurrahman Ya’kub bersama 

orang tuanya berangkat ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah 

haji dan menuntut ilmu di Mekah. Menurut salah seorang muridnya, 

Muhammad Yunus, H. Abdurrahman Ya’kub menetap di Mekah 

selama dua belas tahun.153  

         Tahun demi tahun telah dilalui H. Abdurrahman Ya’kub dengan 

baik dan hampir tidak ada waktu yang disia-siakannya, sehingga ia 

dapat meneruskan ke tingkat Tsanawiyah. Selain menekuni dunia 

pendidikan, ia bersama rekan-rekan pelajar dari Indonesia dan 

Malaysia,154 menyadari dan memikirkan perlunya membentuk suatu 

organisasi persatuan pelajar Indonesia dan Malaysia. Akhirnya wadah 

yang mereka inginkan itu terbentuk dengan resmi dengan nama 

“2rganisasi 3elajar Indonesia dan Malaysia”.  

             Salah satu program utama yang ingin diwujudkan merka yaitu  

mendirikan lembaga pendidikan (madrasah) yang khusus menampung 

pelajar dari Indonesia dan Malaysia. Pada tahun 1932 mereka 

mendirikan madrasah dan mereka  beri nama “Madrasah Dar al-

8lum”. H. Abdurrahman Ya’kub diberi kepercayaan oleh rekan-

rekannya memimpin Madrasah ini  selama enam bulan. Setelah 

mengalami kemajuan, jabatan sebagai pimpinan madrasah diserahkan 

kepada salah seorang gurunya yang bernama Syekh Mukhsin. Syekh 

mukhsin bersama para guru mengajar dan memajukan Madrasah 

ini . H. Abdurrrahman Ya’kub bertugas mengajar di tingkat 

Ibtidaiyah.155 

           H. Abdurrahman Ya’kub menamatkan pendidikan tingkat 

Tsanawiyah pada tahun 1934 M, kemudian ia meneruskan studinya ke 

                                                        

    152Syafei Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syekh H. Abdurrahman 

Shiddiq, Mufti Indragiri, Jakarta, Serajaya, 1984, hlm. 34. Lihat juga Ahmad Yusuf dkk.,Sejarah 

Kesultanan Indragiri, Pekanbaru, Pemda Riau, 1994, hlm. 37-39. 

 1532rang tuanya (H. Ya’kub dan Hj. Hafsah) sempat menetap di Mekah selama satu tahun 

untuk mendampingi  anaknya . Setelah mereka melihat bahwa anaknya betah, senang belajar dan 

mamapu mendiri, orang tuanya pun pulang ke desa Teluk Dalam Safat Tembilahan. H. Ya’kub 

tergolong mempunyai penghasilan yang baik, karena selain berdang, ia juga memiliki kebun 

kelapa yang luas. Umumnya ulama pada masa itu memiliki kemampuan ekonomi yang kuat, 

sehingga mereka tidak mengharap bantuan dari masyarakat, tetapi mereka yang membantu 

masyarakat. 

 154Pada waktu itu nama Riau belum ada, masih berada di bawah kesultanan  Siak Sri 

Inderapura. Malaysia masih berada di bawah kesultanan Melaka, dan Indonesia  ketika itu  masih 

bernama kepulauan nusantara, masih berada di bawah penjajahan Belanda. 

 155Kurdi dan Syamsiah (putra-putri  H. Abdurrahman Ya’kub), dikutip dari penelitian 

Hajar Hasan dengan judul  H. Abdurrahman Ya’kub (Metode Hisab dalam Menentukan Awal 

Waktu Shalat), 1993, hlm. 20. 

146 

 

tingkat Aliah dan selesai pada tahun 1937 M. Ia aktif mengajar di 

Madrasah Dar al-Ulum pada tingkat Ibtidaiyah dan diberi kepercayaan 

mengajar di Masjid al-Haram Mekah. Selama di Mekah, ia mengisi 

waktunya dengan menggeluti dunia pendidikan (belajar dan mengajar) 

dan berorganisasi.          

          H. Abdurrahman Ya’kub mendapat bimbingan dari guru-gurunya 

di antaranya, Syekh Hamdan al-Maliky, salah seorang ulama besar dan 

berpengaruh di kota Mekah, Syekh Musaddad seorang ulama besar 

yang berpengaruh  dan Syekh Mukhsin. Rekan-rekan H. Abdurrahman 

Ya’kub dari Indonesia (sekarang) yang belajar di Mekah, di antaranya, 

K.H. Hasan Basri, Farid Ma’ruf dan Kahar Muzakar, mereka setelah 

kembali ke Indonesia menyumbangkan pemikiran dan ilmunya dan 

menduduki jabatan penting di  Republik Indonesia. 

           Setelah menamatkan pendidikan di tingkat Aliah, H. 

Abdurrahman Ya’kub bersama isterinya kembali ke tanah kelahirannya. 

Setelah menetap tiga tahun di Teluk Dalam Safat, H. Abdurrahman 

Ya’kub pindak ke Enok. Di daerah ini ia mengajar dan aktif berdakwah, 

seperti yang  dilakukannya di Teluk Dalam Safat. Lebih kurang tiga 

tahun mengajar dan berdakwah di Enok, ia kembali lagi ke Teluk 

Dalam Safat  atas permintaan masyarakat. Selama dua tahun ia menetap 

di Teluk Dalam Safat, kemudian pada tahun 1946 M, ia pindah ke Kota 

Baru Keritang Inderagiri Hilir. 

          Di Kota Baru,  H. Abdurrahman Ya’kub diangkat menjadi pejabat 

agama ( Kantor Urusan Agama pada masa sekarang). Pada tahun 1947 

M ia bersama masyarakat setempat mendirikan Madrasah yang 

diberinama “Madrasah 1urul :athan”. Pada tahun 1949 M Madrasah 

ini   terbakar, dan masyarakat kota Baru kehilangan lembaga 

pendidikan yang mereka banggakan.  

          Kemudian pada tahun 1954 M. ia bersama masyarakat 

membangun kembali Madrasah dengan nama yang sama yaitu 

“Madrasah 1urul :athan”, lokasi Madrasah yang baru ini di desa 

Sungai Gergaji tidak berapa jauh dari lokasi Madrasah yang lama. 

Pimpinan Madrasah langsung dipercayakan kepada H. Abdurrahman 

Ya’kub.156 Madrasah Nurul Wathan banyak melahirkan lulusan yang 

meneruskan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi, di dalam maupun 

di luar negeri. :aktu dan tenaga H. Abdurrahman Ya’kub banyak 

dicurahkan mengajar di Madrasah ini, disamping itu beliau  aktif 

memberi pengajian dan berdakwah di tengah masyarakat luas. Ia  

mengembangkan ajaran Islam melalui dunia pendidikan, memberikan 

                                                        

ceramah agama dalam berbagai kesempatan, berda’wah ke masyarakat 

luas dan menulis dalam berbagai cabang ilmu seperti fikih, tauhid, 

bahasa arab, ilmu falak dan lainnya. Berdasarkan pengetahuan agama 

yang dikuasainya, ia dipandang sebagai ulama yang kharismatik, dilihat 

dari ketekunan dan kesungguhanya dalam duani pendidikan ia 

ditetapkan masyarakat sebagai tokoh pendidikan dan karena kiprahnya 

ditengah masyarakat, ia diangkat  sebagai tokoh masyarakat. 

          Di samping kesibukan, H. Abdurrahman Ya’kub dalam 

melaksanakan tugas guru, da’i dan ulama, ia masih dapat menyisihkan 

sebagian waktu untuk belajar dan menulis. H. Abdurrahman Ya’kub 

tergolong sebagai penulis yang produktif dan kreatif, karena disela 

kesibukannya  masih sempat menulis beberapa kitab dalam disiplin 

ilmu yang berbeda.157 

          Karya-karya tulis, H. Abdurrahman Ya’kub yang masih dapat 

dijumpai yaitu  sebagai berikut; 

      a. Kitab Amsilah al-Mukhtasar 

         Amsilah al-Mukhtasar kitab bahasa arab yang membicarakah 

tentang bahasa arab. Sumber ajaran Islam yaitu  al-Qur’an dan 

Hadis Rasulullah saw., keduanya berbahasa arab. Untuk mengetahui 

dan memahami ajaran yang terkandung di dalam ke dua sumber 

ini  harus menguasai bahasa arab yang baik dan benar. Oleh 

sebab itu, pelajaran bahasa arab dalam kaitannya dengan memahami 

isi al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum utama yaitu  sangat 

penting. Atas pertimbangan yang demikian penulis kitab Amsilah al-

Mukhtasar menempatkan pelajaran bahasa arab salah satu mata 

pelajaran penting yang diajarkan kepada santri. Amsilah al-

Mukhtasar menjadi kitab pegangan para guru dan santri di 

Madrasah-Madrasah. 

      b. Kitab QaZāid an-Nahwiyah 

     QaZāid an-Nahwiyah yaitu  kitab tentang pelajaran bahasa arab 

yang pembahasannya berkenaan masalah “qaZāid’ atau tata bahasa. 

QaZāid yaitu  bahagian terpenting dalam pelajaran bahasa arab. 

Dengan mempelajari  QaZāid dapat diketahui kata perintah (amar), 

kata larangan (nahyu), kejadian telah lalu (madi) dan peristiwa 

sedang dan akan terjadi (mudari’). Yang lebih penting dengan 

mengetahui QaZāid bahasa arab  dapat membantu dengan mudah 

dalam menetapkan hukum. 

                                                        

      c. Kitab Ahwal al-:arātsat fi TaqsƯm at-Tirkah                

     Kitab ketiga, membentangkan permasalahan hukum Islam yang 

berkenaan dengan pembagian harta warisan (fikih mawaris). Kitab 

ini mengupas secara rinci pembagian harta warisan menurut ajaran 

Islam yang berdasarkan al-Qur’an, Hadis Nabi saw dan pendapat 

ulama. Masalah harta warisan selalu memimbulkan perselisihan 

dalam pembagiannya ditengah-tengah masyarakat, yang berujung 

kepada permusuhan, salah satu penyebabnya karena masyarakat 

tidak mengetahui kedudukan pembagian waris yang ditetepkan 

syariat Islam. Hadirnya Kitab Ahwal al-:arātsat fi TaqsƯm at-Tirkah 

dijadikan pegangan dan pedoman oleh para guru dalam 

menyelesaikan pembagian harta warisan secara benar dan adil.158 

      d. Kitab Fikih 

     Kitab ini membahas persoalan yang berhubungan dengan hukum 

sebagai mana yang ditemukan dalam kitab-kitab fikih lainnya. H. 

Abdurrahman Ya’kub memulai pembahasan dari bab pertama 

thaharah, bab ke dua salat, bab ke tiga zakat, bab ke empat puasa dan 

bab ke lima membicarakan tentang haji. Menurut keterangan 

anaknya (Kurdi) kitab fikih yang ditulis ayahnya itu merujuk kepada 

mazhab Syafi’i, disamping mazhab lainnya. Masyarakat Inderagiri 

Hilir pada khususnya dan masyarakat Melayu pada ummnya 

cenderung menganut mazhab Syafi’i dalam persoalan ibadah. H. 

Abdurrahman Ya’kub bermazhab Syafi’i. Kitab fikih ini menjadi 

pegangan para guru dan diajarkan pada Madrasah Nnjrul :atan, 

walaupun hanya dalam bentuk naskah tulisan tangan (belum 

diterbitkan dan terbakar). 

      e. Kitab Tauhid 

        Kitab Tauhid yang ditulis H. Abdurrahman Ya’kub merupakan 

kumpulan dari ceramahnya dalam berbagai kesempatan. Kitab ini 

lebih dahulu ditulis dari kitab mawaris dan kitab fikih dan hanya 

dalam bentuk naskah belum sempat diterbitkan. Tujuan penulisan 

kitab Tauhid ini yaitu  untuk menjelaskan  tauhid yang benar, 

karena tauhid merupakan ilmu kunci dalam Islam. Disisi lain, 

sebagian masyarakat akidahnya belum kuat dan masih bercapur 

dengan paham animesme. Kitab ini diajarkan kepada masyarakat 

dan menjadi pegangan bagi para guru dan ulama.159 Contoh mata 

pelajaran tauhid, fikih dan bahasa arab, kitab rujukannya yaitu  

                                                        

 

kitab yang ditulis H. Abdurrahman Ya’kub. Dalam masalah tauhid 

H. Abdurrahman Ya’kub menganut faham asy-Ariyah.160 

       f. Kitab Nailu al-Amāni /ima’rifah al-Auqāti as-Syar’iyah. 

     Kitab Nailu al-Amāni /ima’rifah al-Auqāti as-Syr’iyah yaitu  

kitab ilmu falak yang membahas masalah arah kiblat, waktu salat 

zuhur, asar, magrib, isya, subuh, terbit matahari, salat idul fitri dan 

idul adha dan penetapan awal bulan Kamariah. Kitab ini  juga 

membicarakan lintang dan bujur beberapa kota besar di Indonesia 

dan Malaysia. Ilmu falak berkaitan erat dengan pembahasan waktu, 

dan waktu terkait  dengan pelaksanaan ibadah, karena itu, kitab ini 

merupakan kitab penting dalam Islam.  

49. Syekh H. Aidarus Ghani  

             Ia lahir di desa Batu Bersurat, Kabupaten Kampar,Riau pada 

tahun 1926, dan wafat pada tanggal 19 Agustus 1989 di desa Batu 

Bersurat. Ayahnya bernama Syekh H. Abdul Ghani al-Khalidi, seorang 

ulama terkemuka dan tokoh tasawuf terpandang, ia belajari dan 

menetap di Mekah selama 20 tahun, salah seorang gurunya yaitu  

Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. 

              H. Aidarus Ghani mengasuh sebuah Pondok Pesantren 

Darussalam. Santri yang belajar di Pondok Pesantren ini datang dari 

berbagai daerah. Lulusan dari Pesantren Darussalam, banyak yang 

melanjutkan ke Timur Tengah. 

              Untuk menentukan awal Ramdan dan Syawal, H. Aidarus Ghani 

menggunakan rukyat (tanpa menggunakan alat), dilakukan pada akhir 

bulan Sya’ban dan bulan Ramadan pada tempat tertentu. Apa bila bulan 

tidak terlihat, disebabkan cuaca mendung, maka dilakukan 

penggenapan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari (dengan 

sistem istkmal).161 

             Metode rukyat yang dipraktekkan H. Aidarus Ghani sesuai dengan 

ketentuan dan petunjuk Hadis Nabi saw dan praktek para sahabat dan 

tabi’in serta sebagian besar ahli falak sekarang. 

 50. Maskufa  

       Lahir di Cirebon pada tanggal 3 Juli 1968, ia dosen pada Fakultas 

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.162 Selain aktif 

memberi kuliah, ia juga aktif meneliti dan menulis diberbagai artikel 

dan media masa. Di antara karya ilmiahnya; 

a. Akurasi Arah KIBLAT Masjid dan Mushala di Kecamatan Ciputat 

                                                        

 

b. Antara Hisab Urfi dan Hisab Hakiki:Studi Terhadap Penentuan 

Awal Bulan Qamariyah Model Muhammadiyah ( 2003) 

c. Awal Waktu Shalat Perspektif Normatif dan Sains (2007) 

d. Kontroversi Penetapan Hari Raya: Studi Terhadap Penentuan Awal 

Bulan Qamariyah Komunitas Ainul Yaqien Jatiasih Bekasi 92008)