a yub tidak mampu menyediakan bekal bagi singa dan bu-
rung gagak (39:1-3). Jika dalam kejadian-kejadian biasa
di alam ini saja Ayub sudah dibuat bingung, maka betapa
lancangnya ia berlagak menyelami segala rancangan pe-
merintahan Allah dan menghakiminya? Dalam hal ini
(menurut pengamatan Uskup Patrick), Allah mulai dengan
memakai tuturan Elihu, yang paling mendekati kebenaran
dan melanjutkannya dengan kata-kata yang tidak dapat
ditiru, jauh mengungguli perkataan Elihu dan yang lain-
nya, dalam hal keanggunan bertutur, bagaikan bunyi
guntur dibandingkan dengan bisikan.
Allah Menjawab dari Dalam Badai
(38:1-3)
1 Maka dari dalam badai TUHAN menjawab Ayub: 2 “Siapakah dia yang mengge-
lapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan?
3 Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya
engkau memberitahu Aku.
Marilah kita amati di sini,
1. Siapa yang berfirman. Yaitu, TUHAN, Yehova, bukan malaikat cip-
taan, melainkan Sang Firman kekal itu sendiri, pribadi kedua
Trinitas yang terpuji. sebab Dia, oleh Dia dunia dan segala isinya
telah dijadikan, dan Dialah Anak Allah, tidak ada yang lain. Yang
sama yang berbicara di sini yang di kemudian hari berbicara dari
gunung Sinai. Di sini Ia mengawali dengan penciptaan dunia, se-
dangkan di gunung Sinai Ia berfirman tentang pembebasan kaum
Israel dari Mesir. Dan melalui kedua peristiwa ini dapat disimpul-
kan betapa pentingnya kita berserah diri kepada-Nya. Sebelumnya
Elihu berkata, Allah berfirman dengan satu dua cara kepada
manusia, namun orang tidak memperhatikannya (33:14), namun di
sini tidak bisa tidak mereka pasti memahami perkataan-Nya, dan
tidak hanya itu saja, kita masih akan makin diteguhkan oleh
firman yang [telah] disampaikan oleh para nabi (2Ptr. 1:19).
2. Kapan Ia berfirman. Maka, yaitu sesudah mereka menyampaikan
perkataan mereka namun belum juga menemukan ujungnya.
Maka saat itulah tiba waktunya bagi Allah untuk menengahi, dan
penghakiman-Nya sesuai dengan kebenaran. Pada waktu kita
tidak mengetahui siapa yang berada di pihak yang benar, dan
mungkin ragu apakah kita sendiri sudah benar, hal ini bisa meng-
hibur kita, bahwa Allah akan segera memutuskannya di lembah
penentuan (Yl. 3:14). Ayub telah membungkam ketiga sahabatnya,
namun tidak berhasil meyakinkan mereka terutama perihal ke-
tulusan hidupnya. Elihu telah membungkam Ayub, namun tidak
mampu membuatnya mengakui bahwa ia telah salah mengurus
perdebatan ini. Namun, sekarang Allah datang untuk melakukan
kedua hal tersebut. Pertama-tama Ia menginsafkan Ayub akan
kata-katanya yang tidak pantas itu, sehingga membuat Ayub
berseru, Peccavi – Aku telah bersalah. Dan sesudah merendahkan
Ayub, Ia memberikan kehormatan kepadanya dengan menginsaf-
kan ketiga sahabatnya, bahwa mereka telah memperlakukan dia
dengan tidak benar. Cepat atau lambat, kedua hal inilah yang
akan dilakukan Allah bagi umat-Nya. Ia akan menunjukkan ke-
salahan-kesalahan mereka, supaya mereka merasa malu, dan Ia
akan menunjukkan kebenaran mereka kepada yang lain, serta
membawanya ke tempat terang, supaya yang lain malu sebab
telah mencela mereka dengan tidak adil.
3. Bagaimana Ia berfirman. Yaitu, dari dalam badai, dari dalam awan
yang bergulung-gulung dan melingkupi, yang diperhatikan Elihu
(37:1-2, 9). Angin badai juga mendahului penglihatan yang diper-
oleh Yehezkiel (Yeh. 1:4), dan penglihatan Elia (1Raj. 19:11). Allah
dikatakan berjalan dalam puting beliung (Nah. 1:3), dan untuk
menunjukkan bahwa bahkan angin topan pun menggenapi fir-
man-Nya, di sini angin itu dijadikan sarananya juga. Ini menun-
jukkan betapa dahsyat suara Allah, bahwa suara itu tidak hilang
begitu saja, namun terdengar dengan sangat jelas, bahkan di te-
ngah deru angin badai sekalipun. Demikianlah Allah merancang
untuk mengejutkan Ayub, dan meminta perhatiannya. Adakala-
nya Allah menjawab umat-Nya sendiri dengan hukuman mengeri-
kan, seakan-akan keluar dari badai, namun senantiasa dalam
kebenaran.
4. Kepada siapa Ia berfirman. Ia menjawab Ayub, mengarahkan per-
kataan-Nya kepada dia, untuk menginsafkannya akan kekeliruan-
nya, sebelum membersihkannya dari fitnah yang dilontarkan ke-
padanya. Hanya Allah sendirilah yang mampu menyadarkan
orang sepenuhnya akan dosa. Dan orang-orang yang direncana-
kan-Nya untuk Ia tinggikan, akan direndahkan-Nya terlebih da-
hulu. Orang-orang yang rindu mendengar dari Allah seperti yang
dilakukan Ayub, pada akhirnya pasti akan mendengar dari-Nya.
5. Apa yang difirmankan-Nya. Kita dapat menduga bahwa Elihu,
atau beberapa pendengar lain, mencatat secara harfiah apa ada-
nya segala sesuatu yang terdengar dari dalam badai itu, sebab
kita mendapati (Why. 10:4) bahwa saat guruh itu selesai ber-
bicara, Yohanes siap mencatatnya. Atau, kalaupun tidak dicatat
saat itu, penulis Kitab Ayub ini diilhami Roh Kudus untuk me-
nulisnya, sehingga kita yakin bahwa di sini kita memperoleh
laporan yang sangat benar dan tepat tentang apa yang dikatakan.
Kata Kristus, Roh Kudus akan mengingatkan kamu seperti yang
dilakukan-Nya di sini, akan semua yang telah Kukatakan kepada-
mu. Kata-kata pendahaluannya sangat tajam menyelidiki.
(1) Allah menegur Ayub atas kebodohan dan kekurangajarannya
dalam apa yang diucapkannya (ay. 2): Siapakah dia yang ber-
bicara seperti ini? Apakah dia Ayub? Apa! Seorang manusia?
Makhluk ciptaan yang lemah, bodoh, dan hina itu. Beraninya
dia berlagak mengajari Aku apa yang harus Aku perbuat, atau
berdebat dengan Aku atas apa yang telah Aku lakukan? Apa-
kah dia Ayub? Apa! Hamba-Ku Ayub, orang yang sempurna dan
tulus itu? Masakan ia sampai sedemikian lupa diri dan ber-
tindak tidak seperti dirinya? Siapa, di manakah ia yang meng-
gelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak
berpengetahuan? Biarlah ia memperlihatkan wajahnya kalau
berani, dan mempertahankan apa yang telah dikatakannya.”
Perhatikanlah, menggelapkan keputusan hikmat Allah dengan
kebodohan kita merupakan penghinaan dan hasutan terbesar
terhadap Allah. Mengenai keputusan Allah, harus kita akui
bahwa kita sama sekali tidak berpengetahuan. Putusan hik-
mat-Nya begitu dalam sehingga tidak mampu kita ukur. Kita
sama sekali tidak ada apa-apanya, salah sasaran, jika kita
menganggap diri mampu menjelaskannya. Namun demikian,
kita terlampau mudah berbicara dengan sangat yakin dan
berani tentang hal itu seolah-olah kita memahaminya. Dan,
aduh! Bukannya menjelaskannya, kita justru membuatnya se-
makin gelap. Kita mempermalukan dan membuat bingung diri
sendiri dan satu sama lain, saat kita berbantah mengenai
aturan putusan perintah Allah, termasuk rancangan, alasan,
dan cara pelaksanaan penyelenggaraan serta anugerah-Nya.
Iman yang penuh kerendahan hati dan ketaatan yang tulus akan
melihat lebih jauh dan lebih baik ke dalam rahasia TUHAN,
dibandingkan segala macam aliran filsafat dan segala penyeli-
dikan ilmu pengetahuan. Kata pertama yang diucapkan Allah
ini yang paling menonjol, sebab dalam pertobatannya, itulah
yang Ayub selami betul-betul, sebab perkataan itu yang mem-
buatnya terdiam dan merendahkan diri (42:3). Perkataan itu ia
ulangi dan dengungkan seperti anak panah yang tertancap
dalam dirinya: “Aku ini orang bodoh yang telah menggelapkan
putusan hikmat.” Ada kesan bahwa perkataan ini tertuju ke-
pada Elihu, seakan-akan yang dimaksudkan Allah yaitu dia,
sebab dialah yang terakhir berbicara, dan yang sedang ber-
bicara saat badai itu mulai menerjang. Namun Ayub mene-
rapkannya pada dirinya sendiri, seperti yang patut kita lakukan
saat teguran saleh diberikan, dan tidak (seperti yang dila-
kukan kebanyakan orang) melontarkannya kepada orang lain.
(2) Allah menantang Ayub untuk memberikan bukti-bukti penge-
tahuan yang dimilikinya yang dapat membenarkan dirinya
layak menyelidiki kebijaksanaan ilahi (ay. 3): “Bersiaplah eng-
kau sebagai laki-laki gagah berani. Persiapkanlah dirimu un-
tuk pertemuan itu. Aku akan menanyai engkau, dan mengaju-
kan beberapa pertanyaan kepadamu, supaya engkau mem-
beritahu Aku bila kau mampu, sebelum aku menjawab perta-
nyaanmu.” Orang-orang yang pergi ke sana kemari untuk
meminta Allah bertanggung jawab, harus siap menerima peng-
ajaran dan diminta untuk bertanggung jawab, supaya mereka
dapat menyadari kebodohan dan kesombongan mereka sen-
diri. Di sini Allah mengingatkan Ayub akan apa yang pernah
dikatakannya (13:22). Panggillah, maka aku akan menjawab.
“Sekarang tepatilah perkataanmu itu.”
Penciptaan Dunia
(38:4-11)
4 Di manakah engkau, saat Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah,
kalau engkau mempunyai pengertian! 5 Siapakah yang telah menetapkan
ukurannya? Bukankah engkau mengetahuinya? – Atau siapakah yang telah
merentangkan tali pengukur padanya? 6 Atas apakah sendi-sendinya dilan-
tak, dan siapakah yang memasang batu penjurunya 7 pada waktu bintang-
bintang fajar bersorak-sorak bersama-sama, dan semua anak Allah bersorak-
sorai? 8 Siapa telah membendung laut dengan pintu, saat membual ke luar
dari dalam rahim? – 9 saat Aku membuat awan menjadi pakaiannya dan
kekelaman menjadi kain bedungnya; 10 saat Aku menetapkan batasnya,
dan memasang palang dan pintu; 11 saat Aku berfirman: Sampai di sini
boleh engkau datang, jangan lewat, di sinilah gelombang-gelombangmu yang
congkak akan dihentikan!
Untuk merendahkan hati Ayub, dalam perikop ini Allah menunjuk-
kan ketidaktahuan Ayub, bahkan tentang bumi dan laut. Walaupun
letaknya begitu dekat dan tampak begitu luas, namun Ayub tidak
mampu menjelaskan asal-usulnya, apalagi asal-usul sorga di atas
dan neraka di bawah, yang letaknya begitu jauh, atau asal-usul bebe-
rapa bagian benda yang begitu kecil, dan lalu, yang paling sedikit
dari semuanya yang kia ketahui, yaitu tentang kebijaksanaan ilahi.
I. Mengenai pembentukan bumi. “Jikalau ia memiliki pengetahuan
yang begitu dalam sebagaimana yang disangkanya mengenai kebi-
jaksanaan Allah, biarlah ia memberikan beberapa penjelasan ten-
tang bumi yang dipijaknya, yang diberikan kepada anak-anak
manusia.”
1. Biarlah ia mengatakan di mana ia berada saat dunia di ba-
wah ini dijadikan, dan apakah ia memberikan saran atau ikut
membantu dalam karya agung itu (ay. 4): “Di manakah engkau,
saat Aku meletakkan dasar bumi? Lagakmu besar sekali,
coba berani katakan ini? Apakah engkau hadir saat dunia
dijadikan?” Lihatlah di sini,
(1) Keagungan dan kemuliaan Allah: Aku meletakkan dasar
bumi. Ini membuktikan bahwa hanya Dialah satu-satunya
Allah yang hidup dan sejati, satu-satunya Allah yang ber-
kuasa (Yes. 40:21; Yer. 10:11-12), dan kenyataan ini men-
dorong kita untuk senantiasa percaya kepada-Nya (Yes.
51:13, 16).
(2) Kehinaan dan kerendahan manusia: “Di manakah engkau
saat itu? Engkau telah berhasil menjadi tokoh yang be-
gitu penting di antara bangsa-bangsa di timur, dan me-
nyampaikan sabda Allah, serta menjadi hakim kebijaksana-
an ilahi, di manakah engkau saat dasar bumi diletak-
kan?” Saat dunia diciptakan, kita ini sama sekali belum
ada, apa lagi ikut ambil bagian dalam pembentukannya.
sebab itu janganlah kita berlagak punya hak untuk me-
nguasainya, atau berlagak menjadi saksi penciptaannya
sehingga memahami asal-usulnya. Manusia pertama saja
tidak menyaksikannya, apalagi kita. Kehormatan itu hanya
bagi Kristus, yang hadir saat semua ini terjadi (Ams. 8:22
dst.; Yoh. 1:1-2). namun kita, anak-anak kemarin, tidak me-
ngetahui apa-apa. Oleh sebab itu janganlah kita mencari-
cari kesalahan dalam karya-karya Allah, ataupun meng-
atur-atur Dia. Ia tidak meminta petunjuk kepada kita keti-
ka Ia menjadikan dunia, namun hasilnya sungguh baik.
Jadi mengapa pula kita mengharapkan Dia harus mengam-
bil petunjuk dari kita dalam mengatur dunia?
2. Biarlah Ayub menjelaskan bagaimana dunia ini dijadikan, dan
memberikan uraian terperinci tentang cara mahakarya yang
agung ini dibentuk dan ditegakkan: “Nyatakanlah, apakah
engkau bahkan memiliki pengertian seperti yang kausangka,
seperti apa perkembangan pekerjaan itu.” Orang-orang yang
menyangka memiliki pengertian melebihi orang lain, haruslah
membuktikannya. Tunjukkan imanmu melalui perbuatanmu,
dan pengetahuanmu melalui perkataanmu. Biarlah Ayub me-
nyatakan apabila ia mampu,
(1) Bagaimana caranya dunia ini dibentuk hingga sedemikian
indah dan cermatnya, dengan sedemikian tepat, begitu me-
ngagumkan dalam keselarasan dan seimbang di setiap ba-
giannya (ay. 5): “Majulah, dan katakan, siapakah yang telah
menetapkan serta merentangkan tali pengukur padanya?”
Engkaukah ahli bangunan yang membentuk polanya, ke-
mudian menggambar semua ukurannya sesuai pola itu?
Bumi yang sangat luas ini dicetak secara teratur seolah-
olah telah dikerjakan memakai tali pengukur dan
ukuran tertentu. namun siapa yang mampu menggambar-
kan bagaimana ia dibentuk sedemikian? Siapa gerangan
yang mampu menentukan lingkaran dan garis tengahnya,
serta semua garis yang ditarik di permukaan bumi? Sampai
hari ini pun masih diperdebatkan apakah bumi diam di
tempat atau berputar. Kalau begitu, bagaimana kita bisa me-
nentukan dengan ukuran apa bumi pada awalnya dibentuk?
(2) Bagaimana bumi bisa terpancang sekokoh itu. Walaupun
tidak bergantung pada apa pun, namun bumi kokoh, tidak
dapat dipindahkan. namun siapa gerangan yang dapat me-
ngatakan atas apakah sendi-sendinya dilantak, dikencang-
kan, sehingga tidak tenggelam sebab bebannya sendiri,
atau siapakah yang memasang batu penjurunya, sehingga
bagian-bagiannya tidak jatuh berserakan? (ay. 6). Segala
sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selama-
nya (Pkh. 3:14). Oleh sebab itu, seperti halnya kita tidak
dapat menemukan kesalahan dalam karya Allah, demikian
pula kita tidak perlu mencemaskannya. Karya-Nya akan
bertahan selamanya dan memenuhi tujuannya, yaitu se-
mua karya penyelenggaraan-Nya serta karya penciptaan-
Nya itu. Tindakan kedua pekerjaan-Nya ini tidak akan per-
nah bisa dipatahkan. Sama halnya juga, karya penebusan
pun sama kokohnya, di mana Kristus sendirilah yang me-
rupakan dasar dan batu penjurunya. Jemaat-Nya berdiri
kokoh seperti halnya bumi.
3. Biarlah Ayub mengulangi, jika memang ia mampu, lagu-lagu
pujian yang dilantunkan pada saat-saat khidmat itu (ay. 7),
pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-sorak bersama-
sama. Pada waktu itu para malaikat (anak sulung Bapa terang
itu), yang pada pagi hari bersinar seterang bintang fajar, se-
gera keluar sebelum muncul terang yang diperintahkan Allah
untuk bersinar dari dalam kegelapan ke atas benih-benih di
dunia bawah ini, yaitu bumi, yang pada awalnya tanpa bentuk
dan kosong. Para malaikat itu yaitu semua anak Allah, yang
bersorak-sorai saat melihat dasar bumi diletakkan. Sebab,
meskipun bumi tidak dijadikan bagi mereka, melainkan bagi
anak-anak manusia, dan meskipun bumi akan menambah
pekerjaan dan pelayanan mereka, namun mereka tahu bahwa
Sang Hikmat dan Firman yang kekal yang mereka sembah itu
(Ibr. 1:6), akan bersuka, akan bermain-main di atas muka
bumi-Nya, dan bahwa anak-anak manusia menjadi kesenang-
an-Nya (Ams. 8:31). Para malaikat disebut anak-anak Allah,
sebab mereka sangat serupa dengan gambar dan rupa-Nya,
tinggal bersama-Nya di rumah-Nya di sorga, serta melayani
Dia seperti anak melayani bapanya. Sekarang amatilah di sini,
(1) Kemuliaan Allah, sebagai Pencipta dunia, harus dirayakan
dengan sukacita dan kemenangan oleh semua makhluk
ciptaan-Nya yang berakal budi. Sebab, mereka memenuhi
syarat dan ditetapkan untuk menjadi penghimpun puji-puji-
an bagi-Nya dari semua ciptaan yang lebih rendah, yang da-
pat memuji Dia sebagai bukti kepiawaian pekerjaan tangan-
Nya.
(2) Pekerjaan para malaikat yaitu memuji-muji Allah. Semakin
banyak kita menaikkan puji-pujian kudus dengan rendah
hati, penuh syukur dan sukacita, semakin kita melakukan
kehendak Allah seperti yang mereka lakukan. Sementara
kita begitu mandul dan tidak sempurna dalam memuji-muji
Allah, sungguh menjadi penghiburan saat kita tahu bahwa
para malaikat melakukannya dengan cara lebih baik.
(3) Para malaikat dengan satu suara serentak melantunkan
puji-pujian bagi Allah. Mereka bernyanyi bersama-sama de-
ngan serasi tanpa nada sumbang. Paduan suara terindah
yaitu memuji-muji Allah.
(4) Semua malaikat melakukannya, termasuk mereka yang di
kemudian hari jatuh dan meninggalkan tempat kediaman
pertama mereka. Bahkan orang-orang yang telah memuji-
muji Allah pun bisa saja berubah menghujat Dia akibat
kuasa dosa yang menipu. Namun, Allah akan tetap dipuji
selama-lamanya.
II. Mengenai pembendungan laut di tempat yang sudah ditentukan
untuk itu (ay. 8, dst.). Ini merujuk kepada hari ketiga penciptaan,
saat Allah berkata (Kej. 1:9), Hendaklah segala air yang di ba-
wah langit berkumpul pada satu tempat,.... Dan jadilah demikian.
1. Dari kedalaman yang kacau-balau, di mana bumi dan air ma-
sih bercampur aduk, air pun membual ke luar bagaikan dari
dalam rahim (ay. 8), sebab menaati perintah ilahi. Setelah itu
air yang menyelubungi kedalaman dan melampaui gunung-
gunung, mundur dengan segera. Terhadap hardik-Mu air itu
melarikan diri (Mzm. 104:6-7).
2. Bayi yang baru lahir ini diberi pakaian dan dibedung dengan
kain lampin (ay. 9). Awan menjadi pakaiannya yang menutupi-
nya, dan kekelaman (pantai-pantai luas yang terpencil dan
berjauhan letaknya satu sama lain) menjadi kain bedungnya.
Lihatlah betapa mudah Allah yang perkasa mengendalikan
lautan yang bergelora. Sekalipun ganas gelombang pasangnya
dan dahsyat terjangan ombak tingginya, Ia mengurus laut ba-
gaikan juru rawat membedung bayi dengan pakaian. Tidak
dikatakan bahwa Ia menjadikan batu-batu karang dan gunung-
gunung sebagai kain bedungnya, melainkan awan dan keke-
laman, sesuatu yang tidak kita sadari dan hampir tidak kita
pikirkan bisa dipakai untuk tujuan itu.
3. Selain itu, tersedia palungan juga bagi bayi ini: Aku menetap-
kan batasnya (ay. 10). Baginya, tanah digali menjadi lembah-
lembah yang cukup luas untuk menerima dan membaringkan-
nya di situ. Jika angin sesekali menerpanya, hal itu (menurut
Uskup Patrick), rasanya bagaikan buaian yang diayun-ayun
sehingga bayi itu lebih cepat terlelap. Mengenai laut, bagi se-
tiap kita tersedia tempat yang sudah ditetapkan. Sebab Ia yang
menentukan waktu sebelum itu, juga menentukan batas-batas
tempat tinggal kita.
4. sebab bayi ini menjadi sulit dikendalikan dan berbahaya aki-
bat dosa manusia, hal yang merupakan asal penyebab seluruh
keresahan dan bahaya di dunia bawah ini, tersedia pula pen-
jara yang disiapkan untuk itu, dengan memasang palang dan
pintu (ay. 10). Sebagai teguran terhadap kedurjanaannya, dika-
takan, Sampai di sini boleh engkau datang, jangan lewat. Laut
yaitu milik Allah, sebab Dialah yang membuatnya. Ia me-
ngendalikannya dan berkata kepadanya, di sinilah gelombang-
gelombangmu yang congkak akan dihentikan (ay. 11). Hal ini
dapat dianggap sebagai tindakan kuasa Allah atas laut. Meski-
pun merupakan bentangan yang sangat luas, dan gerakannya
terkadang sangat buas, Allah mampu mengendalikannya. Om-
baknya tidak akan lebih tinggi dan air pasangnya tidak akan
bergulung lebih jauh daripada yang diizinkan Allah. Hal ini
disebutkan sebagai alasan mengapa kita harus berdiri dengan
takjub di hadapan Allah (Yer. 5:22), namun juga mengapa kita
harus berbesar hati di dalam Dia. Sebab Ia yang membungkam
gelora laut, bahkan deru ombaknya, juga mampu meredakan
kegemparan bangsa-bangsa (Mzm. 65:8). Hal ini juga harus
dipandang sebagai tindakan belas kasih Allah kepada dunia
umat manusia dan contoh kesabaran-Nya terhadap anugerah-
Nya kepada manusia itu namun yang berbalik menjengkelkan
hati-Nya. Meskipun Ia dengan mudah dapat menutupi bumi
dengan air lautan kembali (dan menurut saya, setiap air pa-
sang yang terjadi dua kali sehari bisa saja mengancam kita
dan menunjukkan apa yang bisa saja dan akan dilakukan
lautan apabila Allah mengizinkannya), Ia tetap saja mengen-
dalikannya sebab Ia tidak mau ada yang binasa, dan supaya
disimpan untuk hari penghakiman (2Ptr. 3:7).
Karya Allah
(38:12-24)
12 Pernahkah dalam hidupmu engkau menyuruh datang dinihari atau fajar
kautunjukkan tempatnya 13 untuk memegang ujung-ujung bumi, sehingga
orang-orang fasik dikebaskan dari padanya? 14 Bumi itu berubah seperti
tanah liat yang dimeteraikan, segala sesuatu berwarna seperti kain. 15 Orang-
orang fasik dirampas terangnya, dan dipatahkan lengan yang diacungkan.
16 Engkaukah yang turun sampai ke sumber laut, atau berjalan-jalan melalui
dasar samudera raya? 17 Apakah pintu gerbang maut tersingkap bagimu, atau
pernahkah engkau melihat pintu gerbang kelam pekat? 18 Apakah engkau
mengerti luasnya bumi? Nyatakanlah, kalau engkau tahu semuanya itu. 19 Di
manakah jalan ke tempat kediaman terang, dan di manakah tempat tinggal
kegelapan, 20 sehingga engkau dapat mengantarnya ke daerahnya, dan me-
ngetahui jalan-jalan ke rumahnya? 21 Tentu engkau mengenalnya, sebab
saat itu engkau telah lahir, dan jumlah hari-harimu telah banyak! 22 Apakah
engkau telah masuk sampai ke perbendaharaan salju, atau melihat perben
daharaan hujan batu, 23 yang Kusimpan untuk masa kesesakan, untuk
waktu pertempuran dan peperangan? 24 Di manakah jalan ke tempat terang
berpencar, ke tempat angin timur bertebar ke atas bumi?
Dalam perikop ini TUHAN selanjutnya mengajukan banyak pertanya-
an penuh teka-teki kepada Ayub untuk menginsafkan dia akan keti-
daktahuannya. Dengan demikian Ia membuatnya malu akan kebo-
dohannya untuk mengatur-atur Allah. Kalau saja kita bersedia meng-
uji diri kita dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, maka kita
akan tersadar bahwa apa yang kita ketahui tidak ada artinya sama
sekali bila dibandingkan dengan apa yang tidak kita ketahui. Di sini
Ayub ditantang memberikan penjelasan tentang enam hal:
I. Tentang fajar pada pagi hari, yakni fajar dari atas (ay. 12-15).
Sama seperti tidak ada makhluk kasat mata yang tentang keada-
an dan asal usulnya kita tahu dengan benar-benar yakin, demiki-
an pula tidak ada yang lebih membingungkan bagi kita untuk
menggambarkannya, atau lebih membuat kita ragu untuk menen-
tukan apa sebenarnya hal itu, dibandingkan dengan terang. Kita
menyambut datangnya pagi hari, dan senang melihat fajar, namun,
1. Terang itu bukannya baru diperintahkan ada sejak hari-hari
hidup kita, melainkan sudah seperti itu lama sebelum kita
lahir. sebab itu, terang itu tidak dibuat oleh kita atau khusus
dirancang bagi kita, namun kita menerimanya sebagaimana
adanya, sama seperti banyak angkatan yang telah mendahului
kita menerimanya. Fajar mengetahui tempatnya sebelum kita
mengetahui tempat kita, sebab kita ini ibarat anak yang baru
lahir kemarin.
2. Bukan kita, bukan siapa pun yang mula-mula memerintah
fajar untuk keluar, atau menetapkan tempatnya menyingsing
dan bersinar, ataupun saatnya. Pergantian siang dan malam
bukanlah rancangan kita. Kemuliaan Allah-lah yang ditunjuk-
kannya, dan karya tangan-Nya, bukan kemuliaan dan karya
tangan kita (Mzm. 19:2-3).
3. Sungguh di luar kemampuan kita untuk mengubah pergantian
hari ini: “Pernahkah dalam hidupmu engkau menyuruh datang
dinihari? Pernahkah engkau menaikkan cahaya fajar lebih ce-
pat daripada waktunya yang sudah ditentukan, demi melayani
kepentinganmu saat engkau menantikan datangnya pagi
hari? Pernahkah engkau demi kepentinganmu sendiri meme-
rintahkan fajar berpindah ke tempat selain tempatnya sendiri?
Tidak, tidak pernah. Kalau begitu mengapa engkau berlagak
hendak memberikan arahan bagi kebijaksanaan ilahi, atau ber-
harap cara-cara penyelenggaraan Allah diubah demi kesenang-
anmu?” Kita perlu berhati-hati agar jangan sampai melanggar
kovenan siang dan malam hari seperti bagian apa saja dari
kovenan Allah dengan umat-Nya, dan terutama bagian ini, Aku
akan menghukum dia dengan rotan yang dipakai orang.
4. Allah sendirilah yang sudah menetapkan supaya fajar me-
ngunjungi bumi, dan menyebarkan cahaya pagi ke udara yang
menerimanya seperti tanah liat yang dimeteraikan (ay. 14), dan
langsung menerima pengaruhnya, sehingga dengan demikian
segala sesuatu diterangi olehnya. Sama seperti cap meterai
meninggalkan bentuknya di atas bantalan lilin. Segala sesuatu
berwarna seperti kain, atau seakan-akan dibungkus dengan
kain. Tiap pagi bumi mengenakan wajah baru, dan mengena-
kan pakaian seperti kita, mengenakan terang sebagai pakaian-
nya, sehingga dengan demikian dapat terlihat.
5. Hal ini menjadi kengerian bagi para pelaku kejahatan. Tidak
ada suatu pun yang lebih nyaman bagi umat manusia selain
terang pagi hari. Terang itu sangat menyenangkan bagi mata,
sangat bermanfaat bagi kehidupan serta kegiatan di dalamnya,
dan kebaikannya tersebar ke semua tempat, sebab memegang
ujung-ujung bumi (ay. 13). Dan dengan nyanyian kita kepada
terang itulah kita harus tinggal, sebab memberikan manfaat
kepada bumi. Namun, di sini Allah mengamati betapa terang
itu tidak disambut baik oleh orang-orang yang melakukan ke-
jahatan, dan oleh sebab itu mereka membenci terang. Allah
membuat terang sebagai pelayan keadilan maupun kasih se-
tia-Nya. Terang dirancang supaya habis orang-orang fasik dari
bumi. Dan demi tujuan itu, terang memegang ujung-ujung
bumi, sama seperti kita memegang ujung-ujung pakaian kita
untuk mengebaskan debu dan ngengat dari dalamnya. Ayub
telah mengamati betapa terang pagi hari sangat menakutkan
bagi para pelaku kejahatan, sebab terang menelanjangi me-
reka (24:13, dst.) Dan di sini Allah mendukung pengamatan-
nya, dan bertanya kepadanya apakah dunia ini berutang budi
kepadanya atas kebaikan itu? Tidak, Sang Hakim Agung dunia-
lah yang mengutus berkas-berkas sinar pagi hari sebagai utus-
an untuk menemukan para penjahat, supaya mereka tidak saja
akan dikalahkan dalam segala maksud mereka dan dipermalu-
kan, namun juga supaya mereka dapat dibawa kepada penghu-
kuman yang memang pantas mereka terima (ay. 15). Juga,
supaya terang mereka dirampas, artinya, supaya mereka kehi-
langan rasa nyaman, kepercayaan, kebebasan, dan nyawa me-
reka. Selain itu, supaya lengan mereka yang diacungkan, yang
mereka angkat tinggi-tinggi untuk melawan Allah dan manu-
sia, akan dipatahkan, sehingga kekuatan mereka yang menda-
tangkan celaka itu dicabut. Apakah yang dikatakan di sini
mengenai terang pagi hari dirancang untuk melambangkan
terang Injil Kristus dan menjadi perlambang untuk itu, tidak
akan saya sebutkan. Namun saya yakin bahwa hal ini berguna
untuk mengingatkan kita akan puji-pujian yang diucapkan
bagi Injil oleh Zakharia tepat pada saat terbitnya surya pagi
Injil itu, yaitu dalam nyanyian ucapan syukurnya (Luk. 1:78-
79, Oleh rahmat dan belas kasihan dari Allah kita, dengan
mana Ia akan melawat kita, … untuk menyinari mereka yang
diam dalam kegelapan, yang hatinya tertuju kepadanya seperti
tanah liat yang dimeteraikan, 2Kor. 4:6). Puji-pujian yang mirip
juga diucapkan perawan Maria dalam nyanyiannya (Luk. 1:51),
yang menunjukkan bahwa Allah melalui Injil-Nya telah
memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan
mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya, dengan
terang yang dirancang-Nya untuk menggoncang orang-orang
fasik, menggoncang kejahatan keluar dari muka bumi, serta
mematahkan lengannya yang teracung.
II. Tentang sumber laut (ay. 16): “Engkaukah yang turun sampai ke
sumber laut, atau berjalan-jalan melalui dasar samudera raya?
Tahukah engkau apa yang terdapat di dasar samudra, harta ka-
run yang tersembunyi di dalam pasir sana? Atau dapatkah eng-
kau memberikan penjelasan perihal pasang surut air di laut? Uap
air senantiasa diembuskan dari laut. Tahukah engkau bagaimana
persediaan air ditambahkan sehingga senantiasa mencukupi?
Sungai-sungai senantiasa mengalir ke dalam laut. Tahukah eng-
kau bagaimana airnya terus-menerus dilepaskan, sehingga tidak
membanjiri daratan? Apakah engkau mengenal rahasia sungai-
sungai di bawah tanah yang membuat air beredar?” Jalan Allah
dalam mengatur dunia dikatakan melalui laut dan melalui muka
air yang luas (Mzm. 77:20), menyiratkan bahwa jalan-Nya tersem-
bunyi bagi kita dan tidak boleh kita campuri.
III. Tentang gerbang kematian: pernahkah engkau melihat pintu ger-
bang kelam pekat? (ay. 17). Kematian merupakan rahasia besar.
1. Kita tidak tahu kapan, dan bagaimana, melalui cara apa, kita
atau orang-orang lain akan menemui ajal. Kita tidak tahu
jalan apa yang harus kita lalui yang darinya kita tidak akan
kembali, penyakit atau musibah apa yang akan menjadi pintu
yang mengantar kita ke tempat tinggal yang telah ditetapkan
bagi semua makhluk hidup. Manusia tidak mengetahui waktu-
nya.
2. Kita tidak dapat menggambarkan seperti apa kematian itu
sebenarnya, bagaimana simpul yang menyatukan tubuh dan
jiwa itu diuraikan, atau bagaimana nafas manusia naik ke atas
(Pkh. 3:21) untuk menjadi apa kita tidak tahu, dan untuk hi-
dup seperti apa kita tidak tahu, seperti yang diutarakan Tuan
Norris. Katanya, dengan rasa ingin tahu yang amat sangat,
jiwa meluncur ke dalam samudra raya kekekalan dan meng-
undurkan diri ke jurang yang belum pernah disinggahi! Mari-
lah kita memastikan agar pintu gerbang sorga akan dibukakan
bagi kita di seberang kematian sana, supaya kita tidak perlu
lagi merasa takut terhadap terbukanya gerbang kematian,
meskipun itu jalan yang hanya akan kita lalui satu kali.
3. Kita tidak memiliki hubungan apa pun dengan jiwa-jiwa yang
telah terpisah, atau pengetahuan apa pun tentang keadaan
mereka. Itu yaitu kawasan tidak dikenal yang belum tersing-
kap, tempat mereka dipindahkan. Kita tidak dapat mendengar
dari mereka atau mengirimkan berita kepada mereka. Semen-
tara masih berada di sini, di dunia indra, kita membicarakan
dunia roh bagaikan orang buta membicarakan warna. Namun
saat pindah ke sana, kita akan takjub saat mendapati beta-
pa kelirunya kita.
IV. Tentang luasnya bumi (ay. 18): Apakah engkau mengerti luasnya
bumi? Pengetahuan mengenai hal ini mungkin sebanding dengan
pengetahuan Ayub dan masih terjangkau olehnya. Namun demi-
kian, Ayub ditantang untuk menyatakan ini apabila ia memang
mampu. Kita bertempat tinggal di bumi. Allah telah memberikan-
nya kepada anak-anak manusia. Namun siapa gerangan yang per-
nah menelitinya, atau mampu memberikan uraian mengenai luas-
nya? Bumi hanyalah seperti sebuah titik di tengah alam semesta.
Walau demikian, meskipun bumi kecil, kita tidak dapat menyata-
kan luasnya dengan tepat. Ayub belum pernah berlayar menge-
lilingi dunia, atau siapa pun sebelum dia. Begitu sedikit yang di-
ketahui manusia tentang luasnya bumi, hingga baru beberapa
abad yang lalulah benua Amerika ditemukan, yang selama itu ter-
sembunyi. Kesempurnaan ilahi lebih panjang daripada bumi dan
lebih lebar daripada samudra. sebab itu, sungguh lancang kita
ini, yang tidak tahu tentang luasnya bumi, untuk menyelam ke
kedalaman rancangan hikmat Allah.
V. Tentang tempat dan jalan dari terang dan kegelapan. Sebelum ini
Ia sudah bicara tentang fajar (ay. 12), dan sekarang Ia kembali
menyebutnya (ay. 19): Di manakah jalan ke tempat kediaman te-
rang? Kemudian sekali lagi (ay. 24): Di manakah jalan ke tempat
terang berpencar? Allah menantang Ayub untuk menggambarkan,
1. Bagaimana terang dan kegelapan diciptakan pada mulanya.
saat Allah pada mulanya menyebarkan kegelapan di atas
samudra, dan kemudian memerintahkan kepada terang untuk
bersinar dari dalam kegelapan melalui firman yang penuh
kuasa, Jadilah benda-benda penerang, apakah Ayub menjadi
saksi mata bagi perintah-Nya dan pelaksanaanya? Mampukah
ia mengatakan tempat sumber terang dan kegelapan berada,
dan ke mana kedua “raja” ini menjauhkan istana mereka terpi-
sah satu sama lain, sementara mereka memerintah secara ber-
gantian di satu dunia saja? Walaupun kita begitu rindu meli-
hat fajar menyingsing atau bayang-bayang petang muncul, na-
mun kita tidak tahu ke mana kita harus mengutus orang atau
pergi untuk menjemputnya. Kita juga tidak bisa berbicara
tentang jalan-jalan ke rumahnya (ay. 20). saat mereka dicip-
takan kita belum lahir. Jumlah hari-hari kita pun tidak begitu
banyak untuk dapat menggambarkan kelahiran ciptaan ter-
sulung yang dapat dilihat itu (ay. 21). Jadi masakan kita mau
berusaha menyingkapkan semua rancangan Allah yang sudah
ada sejak kekekalan, atau menemukan jalan-jalan ke rumah-
nya, untuk mencoba mengubahnya? Allah bermegah sebab Ia
telah membentuk terang dan menciptakan kegelapan. sebab
itu, jika kita harus menerima terang dan kegelapan sebagai-
mana adanya, menyambut kedatangan mereka, dan tidak ber-
bantah-bantah tentang keduanya namun memanfaatkan me-
reka dengan sebaik-baiknya, maka demikianlah halnya kita
harus dengan cara yang sama, menyesuaikan diri dengan ke-
damaian dan kemalangan yang diciptakan Allah (Yes. 45:7).
2. Bagaimana terang dan kegelapan masih terus silih berganti.
Allah sendirilah yang membuat terbitnya pagi dan petang ber-
sorak-sorai (Mzm. 65:9). sebab perintah-Nyalah, dan bukan
perintah kita yang dilaksanakan oleh terbitnya terang pagi hari
dan datangnya kegelapan malam. Kita bahkan tidak mampu
mengatakan dari mana keduanya itu datang dan pergi (ay. 24):
Di manakah jalan ke tempat terang berpencar pada pagi hari,
saat dalam sekejap terang itu bersinar ke segala penjuru di
atas kaki langit, seakan-akan terang pagi hari terbang ber-
sama sayap-sayap angin timur. Begitu cepat, begitu kuat te-
rang itu melesat dan menyerakkan kegelapan malam, seperti
angin timur menyerakkan awan? Oleh sebab itu kita mem-
baca tentang sayap fajar (Mzm. 139:9), yang di atasnya terang
dibawa terbang ke ujung laut, dan ke tempat angin timur ber-
tebar ke atas bumi. Sungguh menakjubkan perubahan yang
terjadi setiap pagi dengan kembalinya terang, dan setiap pe-
tang dengan kembalinya kegelapan. Namun, kita memang su-
dah tahu itu akan terjadi, jadi datangnya terang dan kegelapan
itu tidak membuat kita terkejut atau gelisah lagi. sebab itu,
jika kita dengan cara yang sama juga mau memperlakukan
perubahan-perubahan yang terjadi pada keadaan lahiriah kita,
maka janganlah kita mengharapkan siang hari akan ber-
langsung terus-menerus, atau berputus asa di tengah kegelap-
an malam menantikan kembalinya pagi hari. Allah telah meng-
atur supaya yang satu datang silih berganti, seperti halnya
siang dan malam, dan begitu jugalah seharusnya sikap kita
(Pkh. 7:14).
VI. Tentang perbendaharaan salju atau perbendaharaan hujan batu
(ay. 22-23): “Apakah engkau telah masuk ke dalamnya dan me-
lihatnya?” Di dalam awan-awan dihasilkan salju dan hujan batu
dan dari sana turun dengan begitu lebat hingga orang berpikir di
situ terdapat perbendaharaan. Padahal, keduanya menurut pen-
dapat saya dihasilkan extempore – dengan tiba-tiba, dan pro re nata
– sesuai kesempatan. Adakalanya salju atau hujan batu datang
tepat pada waktu tertentu untuk memenuhi tujuan Penyeleng-
garaan Allah, saat Ia membela umat-Nya melawan musuh-Nya
dan musuh umat-Nya, hingga orang berpikir bahwa keduanya
disimpan seperti peluru atau persenjataan, mesiu, dan perbekalan
untuk menghadapi masa kesusahan. Pada waktu pertempuran
dan peperangan, saat Allah akan menghadapi dunia secara
umum, misalnya dengan air bah, saat tingkap-tingkap langit
terbuka dan air keluar dari perbendaharaan ini untuk meneng-
gelamkan dunia yang jahat, yang berperang melawan sorga. Atau
melawan orang-orang maupun golongan tertentu, seperti pada
waktu Allah mengeluarkan hujan batu besar untuk melawan
orang Kanaan (Yos. 10:11). Lihatlah betapa bodohnya berkelahi
melawan Allah yang telah siap sedia seperti ini untuk bertempur
dan berperang. Dan sebab itu, betapa penting bagi kita untuk
berdamai dengan-Nya serta tetap berada di dalam kasih-Nya.
Kalau Allah mau, Ia mampu bertempur dengan berjaya dengan
memakai salju dan hujan batu atau juga dengan petir dan kilat
atau pedang malaikat!
Kekuasaan dan Kebaikan Allah yang Berdaulat
(38:25-38; 39:1-3)∗
25 Siapakah yang menggali saluran bagi hujan deras dan jalan bagi kilat
guruh, 26 untuk memberi hujan ke atas tanah di mana tidak ada orang, ke
atas padang tandus yang tidak didiami manusia; 27 untuk mengenyangkan
gurun dan belantara, dan menumbuhkan pucuk-pucuk rumput muda?
28 Apakah hujan itu berayah? Atau siapakah yang menyebabkan lahirnya
titik air embun? 29 Dari dalam kandungan siapakah keluar air beku, dan em-
bun beku di langit, siapakah yang melahirkannya? 30 Air membeku seperti
batu, dan permukaan samudera raya mengeras. 31 Dapatkah engkau mem-
berkas ikatan bintang Kartika, dan membuka belenggu bintang Belantik?
32 Dapatkah engkau menerbitkan Mintakulburuj pada waktunya, dan me-
mimpin bintang Biduk dengan pengiring-pengiringnya? 33 Apakah engkau
∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV (sebagai versi Alkitab yang di-
rujuk oleh seri Artikel “Tafsiran Matthew Henry”). Pasal 38:25-41 versi KJV dijumpai pada
pasal 38:25-38 dan dilanjutkan pada pasal 39:1-3 pada versi LAI . Versi KJV pasal 38 ter-
diri atas 41 ayat (38:1-41) sedangkan pada versi LAI terdiri atas 38 ayat (38:1-38) – ed.
mengetahui hukum-hukum bagi langit? atau menetapkan pemerintahannya
di atas bumi? 34 Dapatkah engkau menyaringkan suaramu sampai ke awan-
awan, sehingga banjir meliputi engkau? 35 Dapatkah engkau melepaskan
kilat, sehingga sabung-menyabung, sambil berkata kepadamu: Ya? 36 Siapa
menaruh hikmat dalam awan-awan atau siapa memberikan pengertian ke-
pada gumpalan mendung? 37 Siapa dapat menghitung awan dengan hikmat,
dan siapa dapat mencurahkan tempayan-tempayan langit, 38 saat debu
membeku menjadi logam tuangan, dan gumpalan tanah berlekat-lekatan?
39:1 Dapatkah engkau memburu mangsa untuk singa betina, dan memuaskan
selera singa-singa muda, 39:2 kalau mereka merangkak di dalam sarangnya,
mengendap di bawah semak belukar? 39:3 Siapakah yang menyediakan mang-
sa bagi burung gagak, apabila anak-anaknya berkaok-kaok kepada Allah,
berkeliaran sebab tidak ada makanan?
Sampai sekarang ini Allah telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kepada Ayub yang dapat menginsafkannya atas kebodohan dan pan-
dangannya yang dangkal. Sekarang Ia datang dengan cara yang sama
untuk menunjukkan ketidakmampuan dan kelemahannya. Sama se-
perti sedikit saja yang diketahuinya sehingga tidak sepantasnya me-
nyalahkan kebijaksanaan ilahi, demikian juga sedikit yang bisa dila-
kukannya. Oleh sebab itu ia tidak pantas menentang pelaksanaan
Penyelenggaraan Allah. Hendaklah ia merenungkan betapa hebat apa
yang dilakukan Allah, dan mencoba apakah ia mampu berbuat yang
sama, atau apakah ia menganggap dirinya tandingan yang sederajat
dengan-Nya.
I. Allah memiliki guntur, kilat, hujan, dan es untuk diperintah, te-
tapi Ayub tidak memilikinya. Oleh sebab itu janganlah ia berani
membandingkan dirinya dengan Allah, atau berselisih dengan-
Nya. Tidak ada yang lebih tidak pasti dibandingkan cuaca, atau
yang dapat kita jangkau untuk tentukan. Cuaca akan menjadi
seperti yang disukai Allah, bukan menjadi seperti yang kita sukai,
jadi kita hanya menerima apa yang Ia berkenan berikan untuk
menyenangkan kita. Mengenai hal ini, amatilah di sini,
1. Betapa agungnya Allah.
(1) Ia berkuasa dan berdaulat atas lautan, telah menentukan
arah arusnya, meskipun terlihat meluap dan lepas dari
pengawasan-Nya (ay. 25). Ia telah menggali saluran, meng-
arahkan hujan supaya jatuh di mana, bahkan saat curah
hujan teramat lebat, dengan kepastian seolah-olah air itu
mengalir melalui terusan atau pipa penyalur. Demikianlah
hati para raja dikatakan ada di tangan-Nya, dan seperti
halnya dengan hujan, atau sungai-sungai Allah, Ia mem-
belokkan hati mereka ke mana pun Ia kehendaki. Setiap
tetes air mengalir seperti yang diarahkan. Allah telah ber-
sumpah bahwa air bah tidak akan meliputi bumi lagi seperti
pada zaman Nuh. Dan kita melihat bahwa Ia mampu meng-
genapi apa yang telah dijanjikan-Nya, sebab Ia memiliki
hujan yang mengalir di saluran air.
(2) Ia berkuasa atas kilat dan guntur, yang tidak menyambar
secara serampangan, namun ke arah yang ditunjukkan-Nya.
Keduanya disebut-sebut di sini sebab Ia membuat kilat
mengikuti hujan (Mzm. 135:7). Hendaklah orang-orang yang
takut akan Allah tidak merasa gentar terhadap kilat atau
guntur, sebab keduanya bukanlah peluru buta, melainkan
keluar mengikuti arah yang ditunjukkan Allah yang tidak
bermaksud menyakiti mereka.
(3) Dalam mengarahkan hujan, Ia tidak mengabaikan hutan
belantara dan padang yang tandus (ay. 26-27), di mana
tidak ada orang.
[1] Tempat tidak ada orang yang dipekerjakan untuk meng-
urus hasil buminya. Penyelenggaraan Allah menjangkau
lebih jauh daripada kerajinan manusia. Andai kata Ia
tidak menyatakan lebih banyak kebaikan bagi banyak
makhluk rendah dibanding manusia, maka mereka
akan tidak berdaya. Allah mampu membuat tanah men-
jadi subur tanpa keahlian atau jerih payah kita (Kej.
2:5-6). saat belum ada orang untuk mengusahakan
tanah itu, kabut naik dan membasahinya. Akan namun ,
kita tidak dapat membuatnya subur tanpa Allah. Dialah
yang memberikan pertumbuhan.
[2] Tempat tidak ada orang untuk menerima persediaan
ataupun mengambil manfaat dari buah-buahan yang di-
hasilkan. Meskipun Allah dengan perkenanan istimewa
melawat dan memperhatikan manusia, Ia tidak melupa-
kan makhluk-makhluk yang lebih rendah. Sebaliknya,
Ia menumbuhkan pucuk-pucuk rumput muda sebagai
makanan bagi segala yang hidup, selain tumbuh-tum-
buhan untuk diusahakan manusia. Bahkan rasa haus
keledai-keledai hutan pun dipuaskan (Mzm. 104:11).
Allah mempunyai cukup banyak bagi semuanya, dan de-
ngan ajaib menyediakan makanan bahkan bagi makh-
luk-makhluk yang tidak memberikan manfaat kepada
manusia atau dijadikan makanan oleh manusia.
(4) Di satu sisi, Allah yaitu Ayah dari hujan (ay. 28). Hujan
tidak memiliki ayah lain. Allah menghasilkannya melalui
kuasa-Nya. Ia menguasai dan mengarahkannya, dan meng-
gunakannya sesuka hati-Nya. Bahkan sebagai Allah alam
semesta ini, titik-titik embun kecil pun disuling-Nya untuk
membasahi bumi. Sebagai Allah kasih karunia, Ia meng-
hujani kita dengan kebenaran. Dia sendiri seperti embun
bagi Israel. (Hos. 14:6-7; Mi. 5:6).
(5) Hujan es dan embun beku yang membuat air menjadi beku
dan bumi dilapisi embun beku, dihasilkan melalui penye-
lenggaraan-Nya (ay. 29-30). Semua ini merupakan hal-hal
yang sangat lazim, sehingga mengurangi keajaibannya. Te-
tapi, mengingat betapa besar perubahan yang terjadi dalam
waktu sangat singkat, bagaimana perairan bagaikan ter-
sembunyi di balik batu, seperti di balik batu kubur, ter-
hampar di atasnya (begitu tebal dan kuat lapisan es yang
menutupinya), bahkan bagian dalam laut pun adakalanya
menjadi beku, maka kita akan bertanya, “Dari dalam kan-
dungan siapakah keluar air beku? Kekuatan penciptaan
apa gerangan yang mampu menghasilkan karya sehebat
itu?” Tidak ada kekuatan selain kekuatan Sang Pencipta
sendiri. Embun beku dan salju datang dari Dia, dan oleh
sebab itu seharusnya memimpin pikiran dan perenungan
kita kepada Dia yang melakukan hal-hal besar dan yang
tidak terselidiki. Dan kita akan semakin mudah menang-
gung ketidaknyamanan cuaca musim dingin apabila kita
tahu cara memanfaatkan perenungan ini dengan baik.
2. Betapa lemahnya manusia. Mampukah ia melakukan hal-hal
seperti ini? Mampukah Ayub? Tidak (ay. 34-35).
(1) Ia tidak mampu memerintahkan satu curahan hujan pun
untuk melegakan diri atau teman-temannya: “Dapatkah
engkau menyaringkan suaramu sampai ke awan-awan, se-
hingga banjir meliputi engkau untuk mengairi ladang-la-
dangmu yang kering dan merekah?” Bila kita menyaring-
kan suara kepada Allah, berdoa meminta hujan, kita
mungkin akan memperolehnya (Za. 10:1). namun , bila kita
menyaringkan suara kepada awan untuk memerintahnya,
mereka akan memberi tahu kita bahwa mereka tidak berse-
dia, dan kita pun tidak mendapatkan apa-apa (Yer. 14:22).
Langit tidak akan mendengarkan bumi kecuali Allah me-
nyuruhnya (Hos. 2:20). Lihatlah betapa kita yaitu makh-
luk-makhluk yang malang, miskin, dan bergantung pada-
Nya. Kita tidak bisa hidup tanpa hujan. Kita juga tidak da-
pat memperolehnya kapan pun kita mau.
(2) Manusia tidak mampu memerintah satu kilatan petir untuk
menyambar saat ia hendak memakai nya untuk mem-
buat gentar musuh-musuhnya (ay. 35): “Dapatkah engkau
melepaskan kilat, sehingga pergi melaksanakan tugas yang
engkau berikan, dan melakukannya sesuai keinginanmu?
Apakah mereka akan datang memenuhi panggilanmu, dan
berkata kepadamu, Ya?” Tidak. Para pelayan murka Allah
tidak akan menjadi pelayan amarah kita. Mengapa pula
mereka harus melakukannya, bukankah amarah manusia
tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah? (Lih. Luk.
9:55).
II. Bintang-bintang di langit siap mematuhi dan menerima tanggung
jawab dari Allah. Sebaliknya, mereka tidak siap mematuhi kita.
Perenungan kita sekarang harus meningkat lebih tinggi, jauh di
atas awan-awan, menuju terang-terang mulia di atas. Allah khu-
susnya tidak menyebut planet yang bergerak di lintasan lebih
rendah, namun bintang-bintang yang tempatnya sudah tertentu
dan jauh lebih tinggi. Diperkirakan bahwa mereka memengaruhi
bumi, meskipun letaknya sangat jauh. Bukan pengaruh atas
pikiran manusia atau kejadian-kejadian penyelenggaraan-Nya (na-
sib manusia tidak ditentukan oleh perbintangan), melainkan atas
peredaran lazim alam semesta. Mereka dipakai untuk tanda-
tanda dan musim, untuk menentukan hari dan tahun (Kej. 1:14).
Dan jika bintang-bintang saja memiliki kekuasaan sebesar itu
atas bumi ini (ay. 33), walaupun tempat mereka ada di angkasa
dan hanya benda mati, maka terlebih lagi Dia yang yaitu Pencip-
ta mereka dan kita, dan yang yaitu Sang Akal Budi Kekal. Seka-
rang lihatlah betapa lemahnya kita.
1. Kita tidak mampu mengubah pengaruh bintang-bintang (ay.
31), yang menghasilkan kegembiraan musim semi: Dapatkah
engkau memberkas ikatan bintang Kartika yang yaitu gugus-
an bintang luar biasa dengan penampilan yang begitu agung
(tidak ada yang lebih agung), dan mengeluarkan pengaruh
yang kuat dan tidak menyenangkan, yang tidak dapat kita
kendalikan atau tolak. Baik musim panas maupun musim
dingin akan mempunyai waktu masing-masing. Allah bisa saja
mengubahnya bila Ia mau. Ia mampu membuat cuaca musim
semi terasa dingin, dan dengan demikian membuka belenggu
bintang Belantik. namun , kita tidak dapat melakukannya.
2. Kita tidak berkuasa mengatur pergerakan bintang-bintang, dan
kita juga tidak diberi kepercayaan untuk mengarahkan mereka.
Allah, yang menyebut nama-nama semua bintang (Mzm. 147:4),
memanggil mereka keluar sesuai musimnya, menetapkan bagi
mereka saat terbit dan terbenamnya. Dan ini bukanlah wila-
yah kekuasaan kita. Kita tidak mampu menerbitkan Mintakul-
buruj, bintang-bintang di selatan, atau memimpin bintang Biduk
dengan pengiring-pengiringnya di utara (ay. 32). Allah mampu
mengerahkan bintang-bintang ke medan pertempuran, seperti
yang dilakukan-Nya saat berperang melawan Sisera, dan me-
mimpin mereka dalam penyerangan yang disuruhkan-Nya ke-
pada mereka. namun manusia tidak mampu berbuat demikian.
3. Kita tidak saja tidak punya kepentingan dalam pengaturan bin-
tang-bintang (pengaturan yang mengatur mereka, dan peng-
aturan yang dipercayakan kepada mereka, sebab mereka meng-
atur dan diatur), namun juga sama sekali tidak tahu apa-apa
mengenai hal itu. Kita tidak mengetahui hukum-hukum bagi
langit (ay. 33). Kita begitu tidak mampu mengubah mereka se-
hingga juga tidak mampu memberi penjelasan tentang mereka.
Mereka merupakan rahasia bagi kita. Oleh sebab itu, masih
lancang jugakah kita berlagak tahu tentang putusan hikmat
Allah dan alasan-alasannya? Jika kita diberi wewenang untuk
menentukan kekuasaan bintang-bintang atas dunia, kita akan
segera kebingungan. Jadi akankah kita mengajari Allah cara
mengatur dunia?
III. Allah yaitu pencipta dan pemberi, bapa dan sumber dari seluruh
hikmat dan pengertian (ay. 36). Jiwa manusia lebih mulia dan
unggul dibanding bintang-bintang di langit itu sendiri, dan ber-
sinar lebih terang. Segala kekuatan dan kecakapan akal budi yang
melengkapi manusia, serta hasil pemikirannya yang luar biasa,
membawa manusia kepada semacam persekutuan dengan para
malaikat. Dan dari manakah asal terang ini, kalau bukan dari
Bapa segala terang? Siapa lagi yang menaruh hikmat dalam awan-
awan atau siapa memberikan pengertian kepada hati?
1. Jiwa yang berakal itu sendiri, beserta semua kecakapannya,
datang dari Dia yang yaitu Allah alam semesta, sebab Ia
membentuk roh manusia di dalam dirinya. Kita tidak mencip-
takan jiwa kita sendiri, dan juga tidak mampu menjelaskan
bagaimana cara kerjanya, atau bagaimana jiwa itu bersatu
dengan tubuh kita. Hanya Dia yang membuat semua itulah
yang mengenal dan tahu cara menanganinya. Ia membentuk
hati manusia dengan cara serupa dalam beberapa hal, namun
tetap tidak sama dengan yang lain.
2. Hikmat sejati, beserta kelengkapan dan penggunaannya, da-
tang dari Dia sebagai Allah kasih karunia dan Bapa dari setiap
anugerah yang baik dan sempurna. Jadi akankah kita berlagak
lebih bijaksana daripada Allah, sementara kita sendiri menda-
patkan seluruh hikmat dari-Nya? Bahkan lebih dari itu, akan-
kah kita berlagak berhikmat melebihi bidang kita, di luar batas
yang diberikan-Nya kepada pengertian kita? Tujuan Allah ada-
lah supaya kita melayani Dia dan melakukan kewajiban kita
dengan hikmat itu, dan bukan supaya dengan hikmat itu kita
lalu mengangkat diri menjadi pengatur atas bintang-bintang
atau kilat.
IV. Awan-awan berada di bawah pengetahuan dan kendali Allah, na-
mun tidak demikian halnya dengan kita (ay. 37). Dapatkah ma-
nusia dengan seluruh hikmatnya menghitung awan, atau (bisa
juga diartikan), menyatakan dan menjelaskan hakikat mereka?
Walaupun berada dekat dengan kita dalam lapisan udara yang me-
liputi bumi, kita mengetahui lebih sedikit tentang awan diband