ke dinasti
Abbasiyah.
namun , stase primitif tafsir al-Quran barangkali bisa dilihat
dalam keragaman bacaan al-Quran yang eksis pada awal Islam.
Dalam beberapa bab yang lalu, khususnya bab 4 dan 5, telah
ditunjukkan bahwa beberapa keragaman bacaan yang eksis dalam
mushaf-mushaf pra-utsmani bisa dipandang merefleksikan tafsir-
tafsir yang berkembang di kalangan kaum Muslimin yang awal.65
Jadi, saat beberapa mushaf pra-utsmani membaca ungkapan wa-
l-shalãt al-wusthã (2:238) dengan tambahan wa-l-shalãt al-‘ashr –
sehingga bacaan lengkapnya adalah wa-l-shalãt al-wusthã wa-l-shalãt
al-‘ashr66 – maka ungkapan pertama di sini telah ditafsirkan sebagai
shalat duhur. Contoh-contoh semacam ini, dan berbagai contoh
lainnya yang bisa dikategorikan sebagai penjelasan teks,
merefleksikan stase primitif dari perkembangan tafsir al-Quran di
dalam Islam. Ortodoksi Islam mengembangkan gagasan yang
kurang lebih senada tentang eksistensi keragaman bacaan yang
awal itu sebagai pantulan aktivitas tafsir. Al-Suyuthi, misalnya,
mengutip pandangan Abu Ubayd yang diekspresikannya dalam
Fadlã’il al-Qur’ãn: “al-maqshûd min al-qirã’ah al-syãdzdzah tafsîr
al-qirã’ah al-masyhûrah ….”
Dengan berlalunya waktu, khususnya setelah meluasnya do-
main politik Islam keluar wilayah Arab dan setelah orang-orang
non-Arab secara masif menyatakan keimanannya kepada risalah
yang dibawa Muhammad, penjelasan atas ayat dan ungkapan al-
Quran yang maknanya telah kabur menjadi suatu kebutuhan
mendesak. Salah seorang yang pertama kali merespon kebutuhan
ini adalah Ibn Abbas, sang penafsir terbaik (tarjumãn al-qur’ãn),
yang ilmunya sedalam lautan (al-bahr) dan merupakan intelektual
umat (habr al-ummah). Bapak tafsir al-Quran ini terlihat
menggunakan metode perujukan kepada syair-syair pra-Islam untuk
menjelaskan makna kata-kata kitab sucinya yang sulit.68 saat
menjelaskan kata haraj dalam 22:78, Ibn Abbas mengungkapkan
metodenya: “Jika terlihat sesuatu di dalam al-Quran yang bersifat
asing, maka periksalah di dalam syair ….”69 Makna sekitar 200
kata yang dijelaskannya dengan mengutip syair pra-Islam untuk
menjawab pertanyaan Nafi‘ ibn al-Azraq – salah seorang muridnya
– direproduksi oleh al-Suyuthi dalam karyanya, al-Itqãn fî ‘Ulûm
al-Qur’ãn.
Sikap yang kurang skeptis terhadap eksistensi tafsir Ibn Abbas
telah dikemukakan seorang sarjana Muslim asal Turki, Fuat Sezgin.
Berpijak pada teknik periwayatan, Sezgin mengemukakan bahwa
adalah mungkin untuk membentuk gagasan tentang eksistensi tafsir
al-Quran Ibn Abbas, atau setidak-tidaknya tafsir murid-muridnya,
seperti Nafi‘, Mujahid, Waraqa’ ibn Umar, dan lainnya, berdasar
sumber-sumber yang ada.71 namun , sarjana-sarjana lainnya
menafikan kemungkinan ini berdasar beberapa pijakan,
terutama keberatan terhadap historisitasnya.
Sejarah selanjutnya penafsiran al-Quran bisa didekati dengan
memanfaatkan tipologi Ignaz Goldziher dan menyeleksi secara
purposif mufassir-mufassir dari berbagai aliran yang ada untuk
dikaji secara ringkas. Ia mengasumsikan eksistensi lima aliran tafsir
di dalam Islam: (i) tradisionalis; (ii) dogmatis; (iii) mistik; (iv)
sektarian; dan (v) modernis.73 Tiga aliran pertama senada dengan
tipologi kesarjanaan Muslim, yakni: (i) tafsîr bi-l-riwãyah; (ii) tafsîr
bi-l-dirãyah; dan (iii) tafsîr bi-l-’isyãrah. Sementara dua aliran lainnya
– sektarian dan modernis – merupakan kategori tambahan atau
elaborasi dari tipologi kesarjanaan Muslim.
Tafsir al-Quran paling awal yang bisa diakses dewasa ini adalah
yang disusun oleh Ibn Jarir al-Thabari (w. 923), Jãmi‘ al-Bayãn ‘an
Ta’wîl Ãy al-Qur’ãn. Kitab tafsir ini dipandang Goldziher sebagai
karya puncak tafsir aliran tradisional. Di kalangan ortodoksi
Islam, tafsir ini dianggap sebagai salah satu contoh terbaik
dan terpenting dari tafsîr bi-l-ma’tsûr atau tafsîr bi-l-riwãyah – yakni
tafsir yang berpijak pada riwayat, sebagaimana dibedakan dari tafsîr
bi-l-ra’y atau tafsîr bi-l-dirãyah, yang berpijak pada penggunaan
nalar, dan tafsîr bi-l-’isyãrah, yang berpijak pada intuisi batin. Dalam
pendahuluan karyanya ini, ia mengemukakan pijakan hermeneutik
untuk tafsirnya. Menurut al-Thabari, bahan-bahan al-Quran terbagi
ke dalam tiga bagian: Bagian pertama adalah yang hanya dapat
ditafsirkan oleh Nabi dalam kedudukannya sebagai otoritas yang
berhak menjelaskan al-Quran (16:44,64). Penjelasan Nabi bisa
mengambil bentuk suatu nashsh darinya (bi-nashsh minhu) atau
suatu penunjukan yang meyakinkan (bi-dalãlah) yang
diformulasikan untuk memperlihatkan hal-hal yang meng-
arahkannya kepada suatu penafsiran. Bagian kedua adalah yang
secara ekslusif hanya diketahui maknanya oleh Tuhan, seperti kapan
tepatnya kiamat tiba. Bagian ketiga adalah yang diketahui
penafsirannya oleh setiap orang yang memiliki pengetahuan bahasa
al-Quran. Pengetahuan bahasa ini mencakup pemahaman
menyeluruh tentang infleksi (i‘rãb), pengertian kata-kata yang tidak
homonim (gayr al-musytarak fîhã), dan pemahaman karakteristik
kata sifat deskriptif (al-mawshûfãt bi-shifãtihã al-khãshshah). Al-
Thabari kemudian melanjutkan kategori terakhir ini dengan
subdivisi konsep-konsep bahasa dan kandungan, sehingga
ketidaktahuan tentang halãl dan harãm bukan merupakan alasan
yang dapat dimaafkan, apakah seseorang bisa berbahasa Arab atau
tidak.75 Di sinilah letak kontribusi al-Thabari dalam perkembangan
teori hermeunetik al-Quran. Pengetahuan tentang tiga kategori
bahan-bahan al-Quran merupakan tahapan awal yang penting
dalam suatu metode tafsir. Kemampuan mengenali suatu bagian
al-Quran yang masuk ke dalam salah satu dari ketiga kategori itu,
mengikuti alur pemikiran al-Thabari, akan memberi petunjuk pada
penanganan bagian ini .
Dengan demikian, prinsip hermeneutik al-Thabari mengakui
eksistensi riwayat sebagai bagian terpenting dalam tafsir disamping
aspek bahasa. Hal ini terlihat dalam berbagai penafsirannya yang
tidak hanya menuturkan dan menganalisis berbagai hadits dan
berbagai keragaman dalam bacaan al-Quran, namun juga hal-hal
yang bertalian dengan aspek-aspek linguistik, dalam rangka
menguraikan makna dan tujuan suatu bagian al-Quran. Dalam
pendahuluan karyanya, al-Thabari mengungkapkan tentang
kelengkapan kitab tafsirnya dan menegaskan bahwa ia telah
mencantumkan berbagai dalil untuk perbedaan paham yang
mencapai konsensus atau tetap bertahan, dan menyajikan alasan-
alasan setiap sudut pandang yang berkembang. Di samping itu, ia
juga menguraikan hal-hal yang dipandangnya sebagai kebenaran
dalam berbagai kontroversi itu.
Masih dalam jajaran tokoh tafsir tradisional adalah Ismail
Imad al-Din abu al-Fida’ ibn Katsir, terkenal sebagai Ibn Katsir (w.
1373). Ia menyusun suatu komentar al-Quran, Tafsîr al-Qur’ãn al-
‘Azhîm, yang dikalangan tertentu sarjana Muslim modern
dipandang sebagai salah satu tafsîr bi-l-ma’tsûr tersahih, kalau
bukan paling sahih.77 Sebagai murid reformis legendaris Ibn
Taimiyah, Ibn Katsir – walaupun hidup sekitar empat abad setelah
al-Thabari – cenderung kepada tafsir yang bersifat tradisional.
Dalam pendahuluan karya tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan
prosedur hermeneutiknya, yang dipandangnya sebagai metode
terbaik dalam tafsir al-Quran. Stase pertama dalam prosedur
ini adalah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Tahapan
ini memperlihatkan gagasan tentang al-Quran sebagai suatu
keseluruhan yang padu dan kohesif, sehingga bagian-bagiannya
dapat menjelaskan antara satu dengan lainnya. Langkah kedua
mencakup pemerhatian terhadap sunnah Nabi, sebab Nabi
merupakan penjelas paling otoritatif terhadap al-Quran (16:44,64;
4:105). Bagi Ibn Katsir, sunnah Nabi juga merupakan wahyu ilahi,
sekalipun tidak dibacakan oleh Jibril sebagaimana al-Quran.
Apabila tidak ada penjelasan dari al-Quran ataupun sunnah
Nabi mengenai suatu bagian al-Quran, langkah hermeneutik ketiga
mesti ditempuh, yakni menelusuri pernyataan-pernyataan para
sahabat Nabi tentangnya. Pengikut Nabi dari generasi pertama
adalah saksi mata terhadap sirkumstansi dan situasi yang secara
khusus melibatkan mereka. Sekuensi hermeneutik ini terpotong
dengan pembahasan tentang dua masalah yang saling berkaitan:
Pertama adalah penggunaan bahan-bahan Yudeo-Kristiani (al-
ahãdîts al-isrã’îliyyah) dalam penafsiran al-Quran, yang menurutnya
hanya bersifat sokongan suplementer, bukan pijakan utama; dan
kedua, menelaah secara kritis riwayat-riwayat ini , mensahkan
yang benar dan menolak yang palsu. Setelah itu, Ibn Katsir
melanjutkan prosedur hermeneutiknya dengan mengemukakan
langkah terakhir, yaitu menelusuri pernyataan-pernyataan generasi
kedua (tãbi‘ûn). Sehubungan dengan ini, Ibn Katsir menilai bahwa
pernyataan para tãbi‘ûn bukan merupakan sumber otoritatif saat
saling bertentangan, bahkan dengan generasi sesudahnya.78
Prosedur hermeneutik yang digariskan Ibn Katsir di atas pada
faktanya merupakan langkah umum yang ditempuh dalam berbagai
kitab tafsir tradisional. namun , artikulasinya dalam bentuk yang
sistematis dan metodologis merupakan salah satu kontribusi Ibn
Katsir yang paling bermakna terhadap hermeneutik al-Quran. Dan
Ibn Katsir memang cukup konsisten dalam menjalankan tahapan-
tahapan prosedur ini di dalam berbagai penafsiran al-
Qurannya. Sekalipun agak polemis, tafsiran-tafsirannya secara
umum tetap fair dan informatif.
Mufassir berikutnya yang menulis suatu komentar ekstensif
tentang al-Quran, al-Kasysyãf ‘an Haqã’iq al-Tanzîl, adalah Abu
al-Qasim Jar Allah Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1143).
Pada umumnya, al-Zamakhsyari memiliki pengaruh religius yang
tidak begitu besar dalam dunia Islam lantaran berasal dari
kelompok teolog “heretik” mu‘tazilah. Sekalipun demikian, ia
terkenal dengan sebutan imãm al-dunyã, “imam universal,” dan
pakar linguistik terkemuka yang berpengaruh di bidang ini.
Mungkin lantaran pertimbangan afiliasi teologis inilah sehingga
Goldziher mengelompokkannya ke dalam jajaran komentator
aliran tafsir dogmatis, dan bahkan menilai kitab tafsirnya sebagai
model untuk aliran ini . beberapa besar sarjana Muslim juga
telah mengelompokkan tafsir Zamakhsyari ke dalam kategori tafsîr
bi-l-ra’y.80 Gagasan-gagasan teologis yang berbau mu‘tazili dalam
tafsir ini – sebagaimana dikemukakan Mahmoud Ayoub –
sebenarnya tidak telalu tegas.81 Hanya dalam beberapa kecil masalah
pandangan teologisnya telah mempengaruhi penafsirannya atas
teks al-Quran. Dalam kebanyakan kasus, karya ini lebih
menunjukkan kepiawaian Zamakhsyari dalam analisis filologis dan
sintaksis atas ayat-ayat al-Quran. Zamakhsyari bahkan
mengeksploitasi kekayaan khazanah bacaan al-Quran dalam
batasan-batasan linguistik untuk kepentingan tafsirnya. Dengan
demikian, pendekatan yang digunakan Zamakhsyari lebih bersifat
linguistik ketimbang teologis. Ia juga memanfaatkan hadits dalam
karyanya, namun mengabaikan mata rantai periwayatannya (sanad)
ataupun keabsahan teks aktualnya (matn).
Karya besar Zamakhsyari di atas telah diringkas dengan
beberapa tambahan oleh Nashr al-Din ibn Sa‘id al-Baydlawi (w.
1270) dalam kitab tafsirnya, Anwãr al-Tanzîl wa Asrãr al-Ta’wîl.
Karya ini dimaksudkan sebagai buku pegangan untuk pengajaran
tafsir di sekolah-sekolah. sebab itu, diusaha kan untuk
mengemukakan dalam bentuk singkat hal-hal terbaik dan tersahih
dalam berbagai tafsir sebelumnya, termasuk varian-varian tafsir
yang penting. Sekalipun Baydlawi berasal dari main stream teologi
filosofis Sunni dan, hingga taraf yang jauh, telah “membetulkan”
kekeliruan-kekeliruan mu‘tazili dalam tafsir Zamakhsyari, karya
tafsirnya tetap dipandang sebagian besar sarjana Muslim masuk
ke dalam kategori tafsîr bi-l-ra’y. Keterkaitan karyanya dengan
Zamakhsyari – yakni sebagai ringkasan karya sarjana ini –
merupakan salah satu faktor yang berada di balik kategorisasi itu.
namun salah satu kitab tafsir paling mewakili aliran tafsir
dogmatis adalah yang disusun oleh Fakhruddin al-Razi (w. 1209),
Mafãtih al-Gayb. Karya ini dikabarkan tidak sempat diselesaikan
al-Razi sebab keburu dipanggil ke hadirat ilahi, dan penulisannya
diteruskan salah seorang muridnya. sebab sang murid telah
menguasai metodologi dan idiom gurunya sedemikian tepatnya,
gaya penulisan keduanya tidak dapat dibedakan. Itulah sebabnya
muncul kontroversi di kalangan para ahli mengenai bagian mana
yang telah diselesaikan al-Razi dan bagian mana yang dilanjutkan
penulisannya oleh murid ini . Kontroversi selanjutnya adalah
apakah hanya satu murid al-Razi yang menyelesaikan penulisan
tafsirnya ataukah dua orang, ataukah lebih dari itu.82
Pendekatan yang digunakan al-Razi dalam tafsirnya berada
sepenuhnya dalam tradisi rasional filosofis. Al-Razi memang
merupakan seorang filosof cemerlang pada masanya, dan bukan
seorang pakar agama. Ia memulai tafsirnya atas ayat-ayat al-Quran
dengan cara yang rumit dan melibatkan gaya yang terdiri dari
berlapis-lapis pendapat dan sanggahan, namun sering tidak mencapai
kesimpulan apapun. Ia selalu bergerak demikian jauh dari pokok
permasalahan tafsir sehingga pembacanya bisa nyasar dalam
pertentangan filsafat dan teologi.83 Lantaran kecenderungan
semacam ini, otoritas terkemuka dalam kajian al-Quran, al-Suyuthi,
mengutip penilaian yang dikemukakan sebagian ulama bahwa karya
al-Razi itu “berisi segalanya kecuali tafsir.”84
Dalam jajaran aliran tafsir mistik, karya Muhyi al-Din ibn al-
‘Arabi (w. 1240), Tafsîr al-Qur’ãn al-Karîm, merupakan salah satu
tafsir sufistik yang tersebar cukup luas di dunia Islam. Ia dikenal
luas sebagai tokoh mistikus penganut doktrin pantheistik – yakni
doktrin yang memandang seluruh wujud adalah satu, sebab
merupakan manisfestasi dari substansi Ilahi – dan dikenal di
kalangan pengikutnya sebagai Syaikh al-Akbãr. Karya tafsirnya
dikabarkan ditulis salah seorang muridnya, Abd al-Razak al-
Qashani. namun , siapapun penulis sebenarnya, karya ini
merefleksikan pemikiran dan gaya Ibn al-‘Arabi.
Sebagaimana dengan mufassir sufi pada umumnya, metode yang
digunakan Ibn al-‘Arabi dalam penafsiran al-Quran adalah yang
dikarakterisasi oleh ortodoksi Islam sebagai ta’wîl – dalam pengertian
yang berkembang belakangan, yakni ta’wîl sebagai penjelasan inter-
nal (alegoris) atas kandungan al-Quran, yang dibedakan dari tafsir
sebagai penjelasan eksternalnya. Metode ini memang memberikan
kebebasan untuk masuk ke dalam tataran makna batin yang sangat
luas dan dalam dari teks, yang memang dituju para sufi. Menurut
Ibn al-‘Arabi, ta’wîl itu bervariasi selaras dengan keadaan
pendengarnya, seirama dengan momen-momennya dalam berbagai
stase (maqãmãt) perjalanan mistik dan derajat-derajat pencapaian
yang berbeda. saat seseorang sampai kepada tingkatan yang lebih
tinggi, maka terbukalah baginya pintu-pintu baru yang
memungkinkannya melihat makna-makna baru dan halus.85
Sementara dalam jajaran aliran tafsir sektarian, nama Abu al-
Hasan Ali ibn Ibrahim al-Qummi (w. 939) merupakan otoritas
klasik Syi‘ah Imamiyah yang terkemuka. Kitab tafsirnya, Tafsîr al-
Qummî, sekalipun sangat ringkas, merupakan karya terlengkap
pada masanya dan sangat kental nuansa Syi‘ahnya. Cara
penafsirannya sangat bersifat apologetis dan ditujukan untuk
memperkukuh beberapa kepercayaan resmi Syi‘ah sembari
membantai gagasan-gagasan berseberangan ortodoksi Islam dan
beberapa kepercayaan resminya.86 Al-Qummi, dalam penafsiran
al-Qurannya, berangkat dari posisi Syi‘ah yang tegas dan jelas
tentang eksistensi mushaf utsmani sebagai hasil manipulasi para
pengumpul al-Quran. Menurut keyakinan Syi‘ah, Utsman dan
komisi yang dibentuknya untuk mengumpulkan al-Quran telah
menggantikan dan tidak mencakupkan ke dalam kodifikasinya
beberapa besar bagian kitab suci ini , baik dalam bentuk surat,
ayat, dan bahkan kata-kata tertentu, dan telah memporak-
porandakan susunannya. Istilah yang biasanya digunakan untuk
mengemukakan berbagai tuduhan ini adalah tabdîl atau tahrîf .87
Doktrin inilah yang menjadi pijakan utama al-Qummi dalam
tafsirnya, yang ilustrasi penerapannya telah ditunjukkan dalam
bab 7.
Karya rintisan untuk aliran tafsir modernis adalah yang
disusun oleh Sayyid Ahmad Khan (w. 1898), Tafsîr al-Qur’ãn, dalam
bahasa Urdu. Tahun 1880, tahun diterbitkannya jilid pertama tafsir
ini ,88 dipandang J.M.S. Baljon sebagai tahun permulaan yang
menandai pembahasan tafsir al-Quran kaum modernis Muslim.89
Tafsir yang disusun bapak modernisme Islam ini pada dasarnya
merupakan suatu koleksi esei dan bukan tafsir dalam artian
tradisional. Sir Sayyid – demikian panggilan akrabnya di kalangan
kaum Muslimin anak benua Indo-Pakistan – hanya menafsirkan
ayat-ayat tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah yang
dianggap penting pada masanya, terutama yang berkaitan dengan
fenomena kealaman. Di samping itu, masalah hubungan antar
pemeluk agama yang berbeda dan peperangan religius juga
mendapat porsi cukup banyak di dalam tafsirnya. Dengan
demikian, tafsir Sir Sayyid barangkali bisa dikategorikan sebagai
tafsir tematis (mawdlû‘î).
Sebagai pijakan untuk tafsirnya, Sir Sayyid menyusun lima
belas prinsip penafsiran al-Quran, Tahrîr fî Ushûl al-Tafsîr,90 yang
bermula dari korespondensinya dengan Muhsin al-Mulk. Di
samping berisi prinsip-prinsip linguistik tafsir, esei Sir Sayyid juga
memasukkan beberapa asumsi dogmatik yang menyatu dengan
doktrin ajaran al-Quran, sehingga prinsip-prinsip semacam ini
memiliki kedudukan yang absah di antara kriteria-kriteria
penafsiran al-Quran. namun , sebagian dari prinsip-prinsip ini
adalah asumsi-asumsi kredal yang lebih merupakan prakonsepsi
teologis, ketimbang prinsip-prinsip yang dengannya seseorang bisa
menafsirkan al-Quran, seperti eksistensi sifat dalam diri Tuhan
adalah mutlak, atau seluruh sifat Tuhan adalah infinit dan mutlak,
dan prinsip lainnya yang sejenis.
Yang paling menonjol dalam berbagai prinsip tafsir yang
dirumuskan Sir Sayyid adalah prinsip “keselarasan dengan alam”
(conformity to nature), yakni bahwa vûrd af Gãd – transliterasi
Urdu dari word of God, “kalam Ilahi” – tidak boleh bertentangan
dengan vûrk af Gãd – transliterasi Urdu dari work of God, “ciptaan
Tuhan,” “makhluk” – dan keselarasan antara keduanya adalah
penting. Dengan prinsip ini, ia telah menolak penafsiran tradisional
tentang beberapa bagian al-Quran sebagai mu‘jizãt (“supranatural”),
dan menafsirkannya secara logis dan natural selaras dengan
perkembangan ilmu kealaman pada masanya.
Beberapa hal penting lainnya yang dikemukakan Sir Sayyid
dalam prinsip-prinsip tafsirnya adalah pewahyuan yang bersifat
internal bagi Nabi, dan sebab itu jibril merupakan fakultas
kenabian yang ada di dalam diri Nabi. Ia juga menolak
prinsip nãsikh-mansûkh tradisional, dan menafsirkannya sebagai
penghapusan syariat-syariat pra-Islam. Sejalan dengan
skeptisismenya terhadap hadits, yang dikemukakannya jauh
mendahului skeptisisme Goldziher, Sir Sayyid menolak riwayat-
riwayat asbãb al-nuzûl dan menegaskan bahwa sebab-sebab
pewahyuan ini mesti ditemukan di dalam konteks dan gaya al-
Quran setelah mempertimbangkan hal-hal mendasar yang
dinyatakan kitab suci ini . Demikian pula, riwayat-riwayat
isrã’îliyãt ditolak penggunaannya dalam penafsiran al-Quran.
Counterpart Sir Sayyid di Mesir adalah Muhammad Abduh
(w. 1905), bapak modernisme Islam Mesir. Karya tafsir Abduh
berawal dari penerbitan komentar juz’ ‘amma, yang lebih
merupakan tafsir atas kata atau ungkapan al-Quran ketimbang
ayat, bagian atau suratnya.91 Karakteristik ini berbeda dari karya
tafsir patungannya dengan Rasyid Ridla, Tafsîr al-Mannãr, yang
muncul belakangan dan paling populer di dunia Islam. Karya
patungan Abduh-Ridla bermula dari serangkaian kuliah tafsir yang
diberikan Abduh di Universitas al-Azhar. Muridnya yang berasal
dari Siria, Muhammad Rasyid Ridla, mengikuti kuliah ini
dan membuat catatan tentangnya, yang setelah itu direvisi dan
diperluas. Hasilnya diperlihatkan kepada Abduh yang
menyetujuinya sembari mengoreksi yang dipandang perlu,
kemudian diterbitkan dalam jurnal Al-Mannãr sebagai karya tafsir
Abduh. namun , Abduh tidak dapat menyelesaikan karya ini sebab
dipanggil pulang ke hadirat Ilahi, dan dari surat 4:125 hingga 12:107
dilanjutkan penulisannya oleh Ridla.92 Sekalipun penulisan
seluruh kitab tafsir ini dilakukan oleh Ridla, sebagiannya
(hingga surat 4:124) berdasar kuliah Abduh, namun ia secara
jujur memberi indikasi di bagian-bagian mana ia dan Abduh
bertanggung jawab secara bersama-sama, di mana kata-kata Abduh
berakhir dan di mana perluasan yang dilakukannya dimulai, dan
bagian mana yang merupakan tanggung jawabnya sendiri.
Dalam tafsir ini Abduh memberikan penekanan yang segar
terhadap al-Quran sebagai sumber hidãyah. Baginya, al-Quran
merupakan sumber yang darinya kaum Muslimin semestinya
mengambil gagasan-gagasan mereka tentang dunia sekarang dan
dunia mendatang. Dari sini, mengalir gagasan-gagasan Abduh yang
beragam tentang urgensi tafsir al-Quran. Inti dari sistem penafsiran
Abduh adalah keragu-raguannya dalam menerima bahan-bahan
dari luar al-Quran sebagai bermanfaat dalam penafsiran al-Quran.
Aturan penafsiran yang ada di belakang seluruh karya tafsirnya
adalah hal-hal yang tidak dijelaskan al-Quran – yakni mubham,
“obskur”, “samar-samar” atau “meragukan” – semestinya juga tidak
ditafsirkan. sebab itu, mufassir mesti menjelaskan teks al-Quran
sebagaimana adanya dan tidak menambah hal-hal yang yang tidak
diidentifikasikan oleh kitab suci ini .
Abduh banyak memanfaatkan konteks sastra dalam me-
netapkan makna ayat atau kata-kata tertentu. namun , sebagaimana
Sir Sayyid, ia tidak mengakui relevansi hadits – bahkan menolak
validitas sebagian di antaranya – dalam penafsiran al-Quran,
terutama riwayat-riwayat yang bertalian dengan isrã’îliyãt. Ia
memandang keseluruhan teks al-Quran sebagai ‘ãmm (“umum”),
yang berlaku secara universal – biasanya konsep dipertentangkan
dengan khãshsh, “khusus,” yakni teks yang diwahyukan dalam
suatu situasi spesifik dan berlaku untuk kasus spesifik ini ,
atau tidak memiliki validitas yang universal. Abduh menginginkan
tafsirnya menjadi sebuah instrumen yang dengannya kaum
Muslimin dapat terpimpin secara spiritual oleh al-Quran sendiri.
Ia menghendaki tafsir al-Qurannya tanpa spekulasi teoritis,
monograf gramatikal dan kutipan-kutipan opini para pakar. namun ,
muridnya, Ridla, menambahkan kutipan hadits dan analisis
gramatik ke dalam karya patungan mereka.93
J.J.G. Jansen menilai bahwa inovasi yang nyata dalam
perkembangan tafsir al-Quran di Mesir diintroduksi oleh Abduh
dan Amin al-Khuli (w. 1967).94 Inovasi tokoh yang disebut terakhir
direalisasikan dalam penafsiran al-Quran oleh istrinya, Aisyah Abd
al-Rahman – terkenal dengan nama samaran Bint al-Syathi’ ((l.
1913), maha guru sastera dan bahasa Arab di Universitas Ain Syams
Mesir. Komentar Bint al-Syathi’, al-Tafsîr al-Bayãnî lî-l-Qur’ãn al-
Karîm,95 hanya menyangkut empat belas surat pendek al-Quran
dan tidak mencakup keseluruhan kitab suci ini . namun ,
sementara pengamat menilainya sebagai karya tafsir “paling
penting” di Mesir dewasa ini.96
Metode yang digunakan Bint al-Syathi’ dalam tafsir al-
Qurannya adalah metode inovasi suaminya, al-Khuli, yang
dikemukakan dalam buku Manãhij Tajdîd. Ia meringkas gagasan
metodologis al-Khuli itu sebagai berikut:
(1) Pada prinsipnya metodologi adalah penanganan yang
obyektif terhadap al-Quran. Ia dimulai dengan
mengumpulkan semua surah dan ayat yang ada di
dalam…(al-Quran) ke dalam tema yang akan dikaji.
(2) Dalam memahami nash, yang penting adalah menyusun
ayat-ayat menurut nuzûl-nya untuk mengetahui situasi
waktu dan tempat, seperti yang diungkapkan riwayat-
riwayat tentang asbãbun-nuzûl sebagai konteks yang
menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada
keumuman lafal, bukan pada sebab khusus turunnya ayat.
Asbãbun-nuzûl hendaknya tidak dipandang sebagai
penentu atau alasan yang tanpanya ayat tidak akan
diturunkan….
(3) Dalam memahami petunjuk lafal, saya menegaskan bahwa
bahasa Arab adalah bahasa al-Quran. sebab itu,
hendaknya kita mencari petunjuk pada bahasa aslinya,
yang memberikan kepada kita rasa kebahasaan bagi lafal-
lafal yang digunakan secara berbeda, baik yang hakiki
maupun majazi, kemudian kita simpulkan muatan
petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafal yang ada
di dalamnya, lalu mencari konteksnya yang khusus dan
umum di dalam ayat dan surat al-Quran secara
keseluruhan.
(4) Dalam memahami rahasia-rahasia ungkapan, kita
mengikuti konteks nash di dalam al-Quran baik dengan
berpegang pada makna nash maupun semangatnya.
Kemudian makna ini kita konfirmasikan dengan
pendapat para mufassir. Melalui cara ini kita terima apa
yang ditetapkan nash, dan kita jauhi kisah-kisah israiliyat,
noda-noda nafsu, paham sektarian, dan takwil yang berbau
bid’ah.
Dengan demikian, meskipun berpijak pada beberapa asumsi
klasik – seperti al-qur’ãn yufassiru ba‘dluhu ba‘dlan, atau asbãb al-
nuzûl sebagai pemasok konteks historis al-Quran yang dipahami
mengikuti prinsip al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzh lã bi khushûsh al-
sabab, dan lainnya – metode yang digunakan Bint al-Syathi’ telah
menghasilkan suasana segar dalam perkembangan tafsir.
Kebanyakan mufassir Muslim modern terlihat hanya membatasi
diri dalam menjiplak gagasan-gagasan linguistik Zamakhsyari, atau
lebih jelek lagi menyalin para penjiplak Zamakhsyari. Kenyataan
bahwa bahasan-bahasan filologis hampir seluruhnya bersifat
tradisional dan sangat bergantung pada Zamakhsyari, mungkin
telah membuat para sarjana ini tidak menaruh perhatian
terhadap riset-riset filologis atas teks al-Quran. Pada butir ini
signifikansi tafsir Bint al-Syathi’ terlihat nyata.
namun , penerapan pendekatan linguistik modern dalam
penafsiran al-Quran yang diselaraskan dengan perkembangan
terakhir disiplin ini dilakukan oleh sarjana Muslim terkemuka
asal al-Jazair, Mohammed Arkoun ((l. 1928), maha guru di Uni-
versitas Sorbonne, Paris. Sekalipun Arkoun tidak menulis sebuah
kitab tafsir secara spesifik, di dalam beberapa artikelnya ia telah
mengaplikasikan pendekatan semiotik atau semiologi mutakhir –
yang menganalisis objek kajiannya sebagai suatu himpunan atau
sistem dari beberapa tanda yang saling merujuk menurut aturan
tertentu – dalam menafsirkan surat-surat dan tema-tema tertentu
al-Quran. Gagasan-gagasan tafsir dalam berbagai artikelnya
terhimpun dalam beberapa karya, terutama Lectures du Coran.98
Sayangnya, keasyikan Arkoun menyelami berbagai teori linguistik
mutakhir yang marak berkembang di Paris dalam berbagai usaha
penafsirannya telah membuat karya-karyanya terkadang sulit
dipahami pembacanya.
Di samping Arkoun, pemikir neo-modernis Pakistan, Fazlur
Rahman, dalam dekade-dekade terakhir kehidupannya telah
berusaha merumuskan dan menawarkan suatu kerangka konseptual
penafsiran al-Quran untuk menjawab berbagai tantangan serius
yang disodorkan modernitas dan mengatasi krisis yang dihadapi
pemikiran Islam modern. Sekalipun Rahman secara spesifik tidak
menulis suatu tafsir al-Quran yang memperlihatkan aplikasi
metodenya, dalam beberapa tulisannya ia mengemukakan indikasi-
indikasi bagaimana metode itu dijalankan untuk membangun
kembali keseluruhan aspek pemikiran Islam: mulai dari perumusan
pandangan dunia al-Quran, sistematisasi etik al-Quran, sampai
kepada penubuhan etik ini ke dalam konteks spatio-tempo-
ral yang konkret dewasa ini. Keseluruhan aspek ini , dalam
benak Rahman, berjalin secara koheren dan sekuensial.99 Satu-
satunya karya yang memperlihatkan keterlibatannya yang serius
dalam kajian al-Quran adalah sebuah tafsir tematis, Major Themes
of the Qur’ãn, yang sama sekali tidak memperlihatkan aplikasi
metode tafsir yang ditawarkannya. Karya ini lebih menunjukkan
bagaimana metode ini telah “diperas” dan mengalami
pemiskinan konseptual.
Kerangka konseptual yang diusulkan Rahman – berupa gerakan
ganda: dari situasi sekarang ke masa pewahyuan al-Quran,
kemudian kembali lagi ke masa kini – mengharuskan kita
memandang ajaran al-Quran secara utuh dan dalam bentangan
pewahyuannya, tanpa memperlakukan ayat-ayat tertentu al-Quran
secara terpilah-pilah. Dengan mendasarkan diri pada kajian
menyeluruh terhadap latar belakang kesejarahan makro al-Quran
dan situasi-situasi kesejarahan mikro di mana ajaran-ajaran spesifik
dipermaklumkan, langkah selanjutnya adalah menggeneralisasikan
jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakannya sebagai
pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial
umum. Setelah sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan
tujuan-tujuan jangka panjang al-Quran melalui langkah-langkah
ini , pandangan umum ini harus ditubuhkan ke dalam konteks
sosio-historis yang konkret dewasa ini, dengan terlebih dahulu
mengkaji cermat situasi kekinisinian untuk mendeterminasi
bagaimana nilai-nilai al-Quran dapat diaplikasikan secara segar.
Pada titik “pembumian” ini, bisa saja terjadi pengubahan ketentuan-
ketentuan masa lampau selaras dengan perubahan situasi masa
kini – asalkan tidak mengkhianati prinsip-prinsip umum dan nilai-
nilai yang telah diperoleh – atau pengubahan situasi sekarang hingga
selaras dengan prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai ini .
Penelusuran terhadap berbagai tafsir modernis akan
memperlihatkan suatu kenyataan sangat mencolok, yakni
penerimaan umum mereka terhadap keseragaman teks dan bacaan
al-Quran. Pencetakan al-Quran edisi standar Mesir memang sangat
berpengaruh dalam menciptakan keseragaman ini tidak hanya
di dunia Islam, namun juga di dunia akademik Barat. Bahkan,
pendekatan-pendekatan linguistik dalam tafsir modernis telah
mengabaikan aspek keragaman teks dan bacaan al-Quran yang
mewarnai sejarah awal Islam. Hal ini bisa ditelusuri dalam tafsirnya
Bint al-Syathi’ ataupun dalam berbagai tulisan Arkoun – yang dalam
penafsirannya berangkat dari atau bertumpu pada “Korpus Resmi
Tertutup,” sebagaimana diistilahkannya. Pada butir ini, tradisi yang
diwariskan Zamakhsyari telah ditinggalkan. Padahal pendekatan-
pendekatan linguistik yang mereka gunakan akan membuka
nuansa-nuansa pemaknaan yang lebih luas dan dalam jika
melibatkan tradisi keragaman teks dan bacaan al-Quran.
Terjemahan dan Suntingan al-Quran
Perhatian ilmiah kesarjanaan Barat terhadap al-Quran bermuladengan kunjungan Petrus Venerabilis, Kepala Biara Cluny, ke
Toledo pada perempatan kedua abad ke-12. Dengan pertimbangan
utama membasmi kepercayaan heretik – yakni Yahudi dan Islam –
dan membela keyakinan kristiani, ia membentuk dan membiayai
suatu tim penerjemah yang ditugaskannya menerjemahkan
serangkaian teks Arab yang secara keseluruhan akan merupakan
pijakan ilmiah bagi para misionaris Kristen yang berurusan dengan
Islam. Hasil kerja tim ini , dikenal sebagai Cluniac Corpus,
kemudian tersebar luas. namun , kumpulan terjemahan ini tidak
digunakan secara menyeluruh: hanya bagian-bagian yang memiliki
manfaat langsung dan berguna dalam polemik yang dieksploitasi
dan dikutip tanpa komentar.
Trauma yang membekas akibat Perang Salib – di mana umat
Kristen berhadapan dengan umat Islam sebagai musuh – tampaknya
telah menyulut semangat apologetik kristiani. Sarjana-sarjana Kristen
yang berada di garis belakang peperangan berusaha membuat
gambaran-gambaran yang bersifat imajiner untuk mengobarkan
semangat umat Kristiani dan kemudian disebarkan ke berbagai
kalangan di dalam Kristen.2 Jadi, bisa dikatakan bahwa Perang Salib
pada faktanya telah memberi andil yang cukup besar dalam
menciptakan berbagai kesalahpahaman Barat terhadap Islam,3 selain
telah mendorong munculnya usaha -usaha yang terorganisasi untuk
mempelajari agama ini melalui kitab sucinya.
Sebagai bagian dari Cluniac Corpus adalah terjemahan al-
Quran ke dalam bahasa Latin yang digarap Robert of Ketton, Liber
legis Saracenorum quem Alcoran Vocant. Terjemahan ini selesai
digarap pada 1143, namun tidak tersebar luas hingga akhirnya dicetak
di Basle pada 1543 oleh Theodore Bibliander.4 Setelah itu, karya
ini diterjemahkan ke dalam bahasa Italia, Jerman dan Belanda.
Karya ini memiliki pengaruh cukup luas di kalangan sarjana selama
berabad-abad di Barat dan merupakan sumber utama pengetahuan
orang-orang Eropa tentang al-Quran hingga penghujung abad ke-
17. Ia digunakan oleh hampir seluruh apolog Kristen untuk
menolak Islam, seperti Nicholas of Cusa, Dionysius Carthusianus,
Juan of Torquemada, Juan Luis Vives, Martin Luther, Hugo Grotius,
dan lainnya.5 Namun, terjemahan pertama al-Quran ke dalam
bahasa Latin ini memiliki beberapa cacat mendasar dan, dalam
kebanyakan kasus, tidak akurat atau bahkan salah-terjemah (mis-
translation).6 Dikabarkan bahwa Robert selalu cenderung
memperbesar atau melebih-lebihkan suatu teks yang tidak
berbahaya untuk menekankan kejelekan dan kebejatannya, dan
lebih menyukai suatu pemaknaan yang mustahil dan tidak
memuaskan ketimbang pemaknaan yang memungkinkan, namun
normal dan pantas.
Dengan jatuhnya Constantinople – kemudian berganti nama
menjadi Istanbul – di belahan benua Eropa ke tangan Turki pada
1453, sikap kalangan tertentu sarjana Kristen terhadap Islam mulai
berubah. Pada 1454, Juan of Segovia mengusulkan diadakannya
serangkaian konferensi dengan para fuqahã’ Muslim. Menurutnya,
cara semacam ini sangat bermanfaat sekalipun tidak dapat
mengubah keyakinan keagamaan mereka. Ia juga dikabarkan
menggarap suatu terjemahan al-Quran – kini telah hilang – yang
di dalamnya diusaha kan untuk menghindar dari kekeliruan-
kekeliruan terjemahan Cluniac Corpus yang telah mengubah
makna orisinal katab suci itu dengan menyelaraskannya kepada
konsep-konsep Latin.8 Gagasan Segovia mendapat dukungan dari
beberapa kecil sarjana, di antaranya adalah Nicholas of Cusa, namun
secara umum kecenderungan positif ini tidak begitu berpengaruh
di dalam dunia Kristen saat itu hingga beberapa waktu
kemudian.
Pada permulaan abad ke-16 sarjana-sarjana Eropa mulai secara
serius mengkaji Islam. Guillaume Postel merupakan tokoh yang
paling bermakna kontribusinya dalam pengembangan kajian-kajian
bahasa dan warga Timur, dan pada waktu yang sama juga
telah mengumpulkan beberapa besar manuskrip.10 Kemajuan luar
biasa ini, khususnya dalam studi bahasa Arab, telah membuahkan
hasil berupa sikap kritis terhadap terjemahan al-Quran Cluniac
Corpus. Pada permulaan abad berikutnya, Joseph Scaliger dan Tho-
mas Erpenius dari Universitas Leiden dengan jelas menegaskan
ketidaksempurnaan terjemahan Latin al-Quran dalam korpus
ini . Pada permulaan abad berikutnya, Adrian Reland,
orientalis Belanda terkemuka dari Utrecht, memberi peringatan
kepada mahasiswa jurusan teologi untuk tidak menggunakan
sumber-sumber selain yang berbahasa Arab dalam rangka
memperoleh informasi yang betul tentang Islam. Peringatan ini
dikemukakan dalam karya berbahasa Latinnya, De reliogione
Mohammedica libri duo (1705), dan di antara buku-buku yang
secara eksplisit diingatkannya untuk tidak digunakan adalah
terjemahan Latin al-Quran Cluniac Corpus.
Terjemahan al-Quran berikutnya dalam bahasa Latin, Alcorani
Textus Universus, digarap seorang pendeta Italia, Ludovico Marraci,
langsung dari teks Arab. Terjemahan ini dipublikasi di Padua pada
1698, bersama-sama dengan teks orisinalnya, dan catatan-catatan
penjelasan dan bantahan (Refutatio Alcorani). Teks Arab yang
didan kan Marraci dalam terjemahannya disusun berdasar
beberapa manuskrip. Dibandingkan terjemahan pertama al-Quran
Cluniac Corpus, terjemahan Marraci terlihat lebih cermat.
Dikabarkan bahwa ia telah mempelajari al-Quran selama 40 tahun
dan mengakrabi karya-karya mufassir Muslim terkemuka.12 Tentang
terjemahan ini, George Sale berkomentar: “Secara umum,
terjemahannya sangat tepat, namun mengikuti ungkapan Arab terlalu
harfiah, sehingga tidak mudah dipahami.” Catatan penjelasannya,
menurut Sale, cukup berharga, namun bantahannya “tidak
memuaskan dan terkadang menyimpang.”
Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Eropa lainnya pertama
kali dilakukan ke dalam bahasa Italia oleh Andrea Arrivabene,
Alcorano di Macometto, dan diterbitkan pada 1547.14 Sekalipun
penerjemahnya mengklaim langsung menerjemahkan dari teks
Arab, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa karya ini
merupakan salinan Italia dari terjemahan Latin Cluniac Corpus.
Dengan demikian, berbagai kelemahan yang ada dalam terjemahan
pertama Latin itu juga menimpa karya ini. Belakangan, muncul
terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Italia lainnya, seperti yang
digarap, antara lain, oleh Calza (1847), Fracassi (1914), Bonelli
(1929), Bausani (1955), dan Moreno (1967).
Meski dengan kualitas yang kurang baik, terjemahan Italia
Arrivabene telah digunakan dalam terjemahan pertama al-Quran
ke dalam bahasa Jerman pada 1616. Terjemahan ini digarap
Solomon Schweigger, pendeta gereja perempuan di Nuernberg.
Pada gilirannya, terjemahan Schweigger membentuk basis
terjemahan anonim al-Quran pertama ke dalam bahasa Belanda,
De Arabische Alcoran, yang terbit pada 1641. Terjemahan al-Quran
ke dalam bahasa Jerman yang didasarkan langsung pada teks
orisinal Arab, pertama kali dilakukan oleh D.F. Mergelin, Die
tuerkische Bibel, yang terbit pada 1772 di Frankfurt. Setelah itu,
menyusul terjemahan al-Quran lainnya ke dalam bahasa Jerman,
seperti yang digarap oleh Lange (1688), Arnold (1746), Boysen
(1773) yang kemudian direvisi oleh Wahl (1828), Ulmann (1840),
Henning (1901), dan Paret (1966). Sementara terjemahan lainnya
ke dalam bahasa Belanda, antara lain, digarap oleh Glazemaker
(1658), Tollens (1859), Keyzer (1860), dan Kramers (1956).15
Noeldeke menilai bahwa terjemahan-terjemahan al-Quran
berbahasa Jerman yang ada – paling tidak sampai ke masanya –
belum bisa menandingi terjemahan al-Quran ke dalam bahasa
Inggris.16 Penilaian Noeldeke atas terjemahan-terjemahan al-Quran
ke dalam bahasa Jerman ini barangkali tidak dapat diaplikasikan
secara sepenuhnya terhadap terjemahan Rudi Paret, Der Koran
(1966), seorang sarjana Jerman yang menjadikan al-Quran sebagai
pusat perhatian utamanya. Terjemahan Paret muncul secara berkala
dalam empat Lieferungen (“bagian”) mulai 1963 sampai 1966 di
Stuttgart, kemudian diterbitkan secara lengkap dalam berbagai edisi.
Terjemahan ini, selain dimaksudkan untuk mengungkapkan
pemahaman al-Quran secara historis, terutama didasarkan pada
perbandingan menyeluruh atas semua contoh penggunaan
ungkapan al-Quran. sebab itu, karya Paret menjanjikan suatu
terjemahan yang akurat dari makna-makna al-Quran sebagaimana
dipahami pendengar pertamanya. Tidak ada usaha untuk
menerapkan analisis sturktural yang “njelimet,” dan tidak ada
catatan apapun, selain tambahan penjelasan yang ditempatkan
dalam teks terjemahan di dalam tanda kurung, dan dalam catatan
kaki untuk terjemahan harfiah kata-kata tertentu yang dalam teks
utama diterjemahkan secara bebas demi kepentingan gaya dan
kejelasan makna. namun , dalam edisi belakangan
(Taschenbuchausgabe, “edisi buku-saku,” 1979), selain sistem
penghitungan ayat al-Quran edisi Fluegel ditinggalkan dan
diganti dengan sistem penomoran ayat al-Quran edisi standar
Mesir, catatan-catatan kaki kini ditempatkan ke dalam teks. Dengan
demikian, jumlah penjelasan yang ditempatkan di dalam tanda
kurung bertambah banyak. Namun, sekalipun tidak begitu disukai
Paret, hal ini diimbangi dengan penghilangan ungkapan-ungkapan
Arab yang ditransliterasikan dalam edisi sebelumnya dan
ditempatkan dalam tanda kurung.
Andrew Du Ryer, yang pernah menjadi Konsul Perancis di
Mesir, merupakan penerjemah pertama al-Quran ke dalam bahasa
Perancis. Karya terjemahannya, L’alcoran de Mahomet translatè
d’arabe en françois, muncul dalam berbagai edisi antara 1647
sampai 1775. Setiap edisinya berisi suatu ringkasan “agama orang
Turki” – yakni Islam – dan dokumen-dokumen lainnya. namun ,
Sale menilai terjemahan ini tidak akurat, mengandung banyak
perubahan, pengurangan dan bahkan tambahan. Terjemahan ke
dalam bahasa Perancis yang lebih baik muncul setelah itu, antara
lain digarap oleh Savary (1751), Kasimirski (1840), Pauthier (1852),
Montet (1929), Blachere (1949), Mercier (1956), dan Mason (1967).
Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Inggris pertama kali
digarap oleh Alexander Ross dan terbit pada 1649. Karya ini tidak
langsung mengacu kepada teks orisinal Arab, namun didasarkan
pada terjemahan Perancis Du Ryer. Dengan demikian, berbagai
kelemahan dalam terjemahan Du Ryer juga menimpa terjemahan
Ross. Tingkat akurasi yang lebih baik dicapai dalam terjemahan
al-Quran yang disusun George Sale, terbit pada 1734. Dalam
terjemahannya, Sale menyertakan suatu “Prawacana” (Preliminary
Discourse) berisi pemikiran-pemikiran obyektif yang ringkas
tentang Islam. Terjemahan ini didasarkan pada karya-karya para
mufassir Muslim, khususnya al-Baydlawi, dan didan i catatan-
catatan penjelasan yang singkat, berimbang dan informatif. Setelah
itu, muncul berbagai terjemahan Inggirs lainnya, seperti yang
digarap oleh Rodwell (1861), Palmer (1880), Bell (1937-1939), dan
Arberry (1953).
Terjemahan Bell, The Qur’an Translated, with a critical rear-
rangement of the Surahs, terbit dalam dua jilid, merupakan
terjemahan yang unik, sebab usaha penyusunnya untuk menata
ulang secara kritis materi-materi al-Quran ke dalam berbagai periode
pewahyuan. Lantaran asumsi-asumsinya tentang al-Quran, seperti
telah diutarakan dalam bab 3, Bell memilah-milah bagian-bagian
– bahkan ayat – al-Quran ke dalam potongan-potongan kecil dalam
usaha memberikan penanggalan atasnya. namun , usaha ini sebagian
besarnya lebih bersifat tentatif ketimbang meyakinkan.18
Pemotongan-pemotongan yang dilakukan Bell, pada faktanya, lebih
banyak mengganggu alur terjemahan dan menyulitkan
pembacanya.
Sementara dua jilid terjemahan Arthur J. Arberry, The Koran
Interpreted (1955), dapat dipandang sebagai salah satu terjemahan
terbaik al-Quran ke dalam bahasa Inggris.19 Karya ini adalah
kelanjutan dari terbitan perdananya, The Holy Qur’an: An Intro-
duction with Selections (1953),yang merupakan suatu terjemahan
eksperimental bagian-bagian terpilih al-Quran dengan
menggunakan berbagai metode. Dalam The Koran Interpreted,
Arberry memperlakukan setiap surat sebagai suatu kesatuan di
dalam dirinya dan memandang al-Quran sebagai suatu wahyu
yang sederhana dan konsisten. Tentang terjemahannya, yang
berusaha menjaga keindahan ritme al-Quran sejauh mungkin,
Arberry menulis “Karakteristik paling menonjol al-Quran ini –
yakni ‘simfoni yang tidak tertirukan,’ sebagaimana orang beriman
seperti Pickthall melukiskan kitab sucinya: ‘suara terdalam yang
membuat manusia menangis dan gembira’ – hampir secara total
dikesampingkan penerjemah-penerjemah al-Quran yang sudah-
sudah.”20 Sekalipun demikian, Arberry – sehubungan dengan usaha
pemeliharaan ritme ini – mengakui terjemahannya merupakan
“poor echo ... of the glorious original.”21
ada terjemahan-terjemahan al-Quran lainnya ke dalam
berbagai bahasa Eropa yang digarap beberapa sarjana Barat. Secara
ringkas, terjemahan-terjemahan ini dapat dikemukakan sebagai
berikut:
- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Rusia digarap antara
lain oleh Postnikov (1716), Veryovkin (1790), Nikolaev
(1864), Sublukov (1877), Krimskiy (1902), Krackovskiy
(1963), dan lainnya.
- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Polandia digarap
oleh Sobolewski (1828), dan Buczacki (1858).
- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Hungaria disusun
oleh Szdmajer (1831), menyusul terjemahan Szokolay
(1854).
- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Swedia digarap oleh
Crusenstolpe (1843), Tornberg (1874), Zettersteen (1917),
dan Ohlmarks (1961).
- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Spanyol dibuat oleh
Gerber de Robles, Ortiz de la Puebla (1872), Bergua (1931),
Cansinos Assens (1951), Vernet Gines (1953), Cardona
Castro (1965), dan lain-lain.
- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Yunani oleh Pentake
(1878), dan Zographou-Meraniou (1959).
- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Potugis terbit
pertama kali tanpa nama penerjemah (anonim) pada 1882,
menyusul terjemahan Castro (1964).
- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Serbo-Kroasia
dilakukan oleh Ljubibratic (1895), Pandza dan Causevic
(1936), dan Karabeg (1937).
- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Bulgaria disusun
oleh Lica (1902), menyusul terjemahan Tomov dan Skulov
sekitar 1930.
- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Rumania digarap
oleh Isopescul (1912).
- Terjemahan al-Quran kedalam bahasa Cheko ditulis oleh
Vesely (1913), Nykl (1934), dan Hrbek (1972).
- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Denmark digarap
oleh Buhl (1921, edisi kedua 1954), dan Madsen (1967),
yang disusun secara kronologis.
- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Finlandia ditulis
oleh ahsen Boere (1942), dan kemudian Aro (1957).
Selain itu, ada beberapa terjemahan parsial al-Quran ke
dalam bahasa Albania dan Norwegia, juga sebuah manuskrip
terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Ukraina yang digarap
Volodymyr Lezevyc. Artikel J.D. Pearson, “Bibliography of Trans-
lations of the Koran into European Languages,” dalam The Cam-
bridge History of Arabic Literatur, memberikan gambaran lengkap
tentang berbagai usaha penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa-
bahasa Eropa yang dilakukan para sarjana Barat maupun Mus-
lim,
Dalam kaitannya dengan penyuntingan teks al-Quran, di atas
telah disebutkan usaha rintisan yang dilakukan Marraci dari
beberapa manuskrip al-Quran untuk tujuan penerjemahan Latin
yang dilakukannya. namun , tingkat kesarjanaan yang lebih baik
dicapai Gustav Leberecht Fluegel dalam suntingannya, Corani
Textus Arabicus (1834).24 usaha penyuntingannya dilakukan
dengan meramu bacaan-bacaan kanonik yang tujuh dalam rangka
memperoleh suatu teks al-Quran yang relatif lancar dan mudah
dipahami. namun lantaran harmonisasi ini, dan juga sebab
pertimbangan terhadap kesatuan gagasan dan akhiran rima, sistem
penomoran ayat yang digunakan dalam edisi ini berbeda dari
berbagai edisi al-Quran yang telah eksis di Barat. Bahkan teks
edisi Fluegel juga relatif berbeda dari tradisi tekstual yang ada di
dunia Islam – yang secara konsisten mengikuti salah satu dari
ketujuh bacaan resmi dalam penulisan al-Quran – maupun dengan
teks edisi standar Mesir. namun , seleksi berbagai bacaan dalam kiraah
tujuh yang dipraktekkan Fluegel, pada faktanya, merupakan
penerapan kembali prinsip ikhtiyãr dalam kiraah dari periode klasik
Islam yang, dalam perjalanan sejarah Islam, telah mengalami proses
pemiskinan konseptual dan bisa dikatakan selesai setelah penerbitan
al-Quran edisi standar Mesir pada 1923. Fluegel juga menyertakan
semacam indeks untuk edisi al-Qurannya, Concordantiae Corani
Arabicae, yang diterbitkan secara terpisah pada 1842.
Kedua karya Fluegel di atas memiliki pengaruh yang merata
di kalangan sarjana Barat hingga beberapa dekade setelah penerbitan
al-Quran edisi standar Mesir. namun , dominasinya mulai menyurut
pada penghujung abad ke-20, saat edisi standar Mesir memperluas
pengaruhnya ke Barat dan menggantikan peran edisi Fluegel sebagai
rujukan satu-satunya di belahan dunia ini , sebagaimana halnya
di sebagian besar dunia Islam.
Tabel berikut memperlihatkan perbedaan sistem penomoran
ayat dalam teks Fluegel dari sistem penomoran ayat edisi al-Quran
Mesir, yang sekaligus berfungsi sebagai tabel konversi ayat untuk
kedua teks ini :
Tabel Perbandingan dan Konversi
Ayat Teks Fluegel dan Teks Mesir
No. Surat Nama Surat Nomor Ayat Nomor Ayat
Teks Fluegel Teks Mesir
1 al-Fãtihah 1-6 + 1
2 al-Baqarah 1-19 + 1
19-38 + 2
38-61 + 3
61-63 + 4
63-73 + 5
73-137 + 6
138-172 + 5
173-212 + 4
213-216 + 3
217-218 + 2
219-220 + 1
236-258 - 1
259-269 - 2
270-273 - 3
273-274 - 2
274-277 - 1
3 Ãli ‘Imrãn 1-4 + 1
4-18 + 2
19-27 + 1
27-29 + 2
29-30 + 3
30-31 + 4
31-34 + 5
43-44 + 6
44-68 + 7
69-91 + 6
92-98 + 5
99-122 + 4
122-126 + 5
126-141 + 6
141-145 + 7
146-173 + 6
174-175 + 5
176-179 + 4
180-190 + 3
191-193 + 2
194 + 1
196-198 + 1
4 al-Nisã’ 3-5 + 1
7-13 -1
14 -2
15 -3
16-29 -4
30-32 -5
32-45 -4
45-47 -3
47-48 -2
49-70 -3
70-100 -2
100-106 -1
118-156 +1
156-170 +2
171-172 +1
174-175 +1
5 al-Mã’idah 3-4 -1
5-8 -2
9-18 -3
18-19 -2
20-35 -3
35-52 -4
53-70 -5
70-82 -4
82-88 -3
88-93 -2
93-98 -1
101-109 +1
6 al-An‘ãm 66-72 +1
136-163 -1
7 al-A‘rãf 1-28 +1
28-103 +2
103-131 +3
131-139 +4
140-143 +3
144-146 +2
147-157 +1
166-186 +1
191-205 +1
8 al-Anfãl 37-43 -1
44-64 -2
64-76 -1
9 al-Tawbah 62-130 - 1
10 Yûnus 11-80 - 1
11 Hûd 6 -1
7-9 -2
10-22 -3
22-54 -2
55-77 -3
77-84 -2
84-87 -1
88-95 -2
96-99 -3
99-120 -2
120-122 -1
12 Yûsuf 97-103 -1
13 al-Ra‘d 6-18 -1
28-30 +1
14 Ibrãhîm 10-11 -1
12-13 -2
14-24 -3
25-26 -4
27-37 -5
37 -4
37-41 -3
41-42 -2
42-45 -1
46-47 -2
47-51 -1
15 al-Hijr Identik Identik
16 al-Nahl 22-24 -1
25-110 -2
110-128 -1
17 al-Isrã’ 10-26 -1
27-48 -2
49-53 -3
53-106 -2
106-108 -1
18 al-Kahfi 2-21 +1
23-31 +1
31-55 +2
56-83 +1
83-84 +2
85-97 +1
19 Maryam 1-3 +1
8-14 -1
27-76 -1
77-78 -2
79-91 -3
91-93 -2
93-94 -1
20 Thã-hã 1-9 +1
16-34 -1
40-41 -1
42-63 -2
64-75 -3
75-79 -2
80-81 -3
81-88 -2
89-90 -3
90-94 -2
94-96 -1
106-115 +1
115-121 +2
122-123 +1
21 al-Anbiyã’ 29-67 -1
22 al-Hajj 19-21 -1
26-43 +1
43-77 +1
23 al-Mu’minûn 28-34 -1
35-117 -2
117 -1
24 al-Nûr 14-18 +1
44-60 +1
25 al-Furqãn 4-20 -1
21-60 -2
60-66 -1
26 al-Syu‘arã’ 1-48 +1
228 -1
27 al-Naml 45-66 -1
67-95 -2
28 al-Qashash 1-22 +1
29 al-’Ankabût 1-51 +1
30 al-Rûm 1-54 +1
31 Luqmãn 1-32 +1
32 al-Sajdah 1-9 +1
33 al-Ahzãb 41-49 +1
34 Saba’ 10-53 +1
35 Fãthir 8-20 -1
20-21 +1
21-25 +2
25-34 +3
35-41 +2
42-44 +1
36 Yã-Sîn 1-30 +1
37 al-Shãffãt 29-47 +1
47-100 +2
101 +1
38 Shãd 1-43 +1
76-85 +1
39 al-Zumar 4 -1
5-9 -2
10-14 -3
14-19 -2
19-63 -1
40 al-Mu’minûn 1-2 +1
19-32 -1
33-39 -2
40-56 -3
56-73 -2
73-74 -1
41 Fushshilat 1-26 +1
42 al-Syûrã 1-11 +2
12-31 +1
31-42 +2
43-50 +1
43 al-Zukhruf 1-51 +1
44 al-Dukhãn 1-36 +1
45 al-Jãtsiyah 1-36 +1
46 al-Ahqãf 1-34 +1
47 Muhammad 5-16 -1
17-40 -2
48 al-Fath Identik Identik
49 al-Hujurãt Identik Identik
50 Qãf 13-44 +1
51 al-Dzãriyãt Identik Identik
52 al-Thûr Identik Identik
53 al-Najm 27-58 -1
54 al-Qamar Identik Identik
55 al-Rahmãn 1-16 +1
56 al-Wãqi‘ah 22-46 +1
66-91 +1
57 al-Hadîd 13-19 +1
58 al-Mujãdalah 3 - 21 -1
59 al-Hasyr Identik Identik
60 al-Mumtahanah Identik Identik
61 al-Shaff Identik Identik
62 al-Jumu‘ah Identik Identik
63 al-Munãfiqûn Identik Identik
64 al-Tagãbun Identik Identik
65 al-Thalãq Identik Identik
66 al-Tahrîm Identik Identik
67 al-Mulk Identik Identik
68 al-Qalam Identik Identik
69 al-Hãqqah Identik Identik
70 al-Ma‘ãrij Identik Identik
71 Nûh 5-22 +1
26-29 +1
72 al-Jinn 23-26 -1
73 al-Muzzammil Identik Identik
74 al-Muddatstsir 32 -1
33 -2
34-41 -3
41-42 -2
42-51 -1
54-55 +1
75 al-Qiyãmah Identik Identik
76 al-Insãn Identik Identik
77 al-Mursalãt Identik Identik
78 al-Naba’ 41 -1
79 al-Nãzi‘ãt Identik Identik
80 ‘Abasa 15-18 +1
81 al-Takwîr Identik Identik
82 al-Infithãr Identik Identik
83 al-Muttaffifîn Identik Identik
84 al-Insyiqãq Identik Identik
85 al-Burûj Identik Identik
86 al-Thãriq Identik Identik
87 al-A‘lã Identik Identik
88 al-Gãsyiyah Identik Identik
89 al-Fajr 1-14 +1
17-25 -1
90 al-Balad Identik Identik
91 al-Syams Identik Identik
92 al-Layl Identik Identik
93 al-Dluhã Identik Identik
94 Alam nasyrah Identik Identik
95 al-Tîn Identik Identik
96 al-‘Alaq Identik Identik
97 al-Qadr Identik Identik
98 al-Bayyinah 2-7 +1
99 al-Zalzalah Identik Identik
100 al-‘Ãdiyat Identik Identik
101 al-Qãri‘ah 1-5 +1
5-6 +2
6-8 +3
102 al-Takãtsur Identik Identik
103 al-‘Ashr Identik Identik
104 al-Humazah Identik Identik
105 al-Fîl Identik Identik
106 Quraisy 3 +1
107 al-Mã‘ûn Identik Identik
108 al-Kawtsar Identik Identik
109 al-Kãfirûn Identik Identik
110 al-Nashr Identik Identik
111 al-Masad Identik Identik
112 al-Ikhlãsh Identik Identik
113 al-Falaq Identik Identik
114 al-Nãs Identik Identik
Keterangan:
Hanya perbedaan dalam penomoran ayat yang dikemukakan dalam tabel di atas. Kolom ketiga menyajikan
nomor ayat dalam teks al-Quran edisi Fluegel. Nomor ayat yang berbeda dalam edisi Mesir diperoleh
dengan menambahkan (+) atau mengurangkan (-), seperti ditunjukkan. Contohnya, surat 1:1 edisi Fluegel
sama dengan surat 1:2 dalam edisi Mesir, yakni diperoleh dengan menambahkan satu (+1) ayat. Pada titik-
titik peralihan ayat, penambahan atau pengurangan hanya diterapkan pada suatu bagian ayat dalam salah
satu dari kedua edisi al-Quran ini .
Rencana yang lebih ambisius untuk menyiapkan edisi kritis
al-Quran kemudian dicanangkan oleh Gotthelf Bergstraesser,
Arthur Jeffery dan Otto Pretzl.26 Pada 1926, Jeffery dan Bergstraesser
mencapai kata sepakat untuk berkolaborasi dalam rencana besar
menyiapkan arsip bahan-bahan yang suatu saat akan
memungkinkan penulisan sejarah perkembangan teks al-Quran.
Sebagai salah satu tahap pelaksanaan rencana besar ini adalah
penerbitan edisi teks al-Quran dengan apparatus criticus yang
mengungkapkan himpunan berbagai varian tekstual yang
dikumpulkan dari kitab-kitab tafsir, leksika, kitab-kitab kiraah, dan
sumber-sumber lainnya. namun , mendadak Bergstraesser wafat, dan
Pretzl – pelanjut Bergstraesser di Muenchen – mengambil alih
tanggung jawabnya dalam pelaksanaan rencana ini . Pretzl telah
mulai mengorganisasi arsip yang dibutuh oleh Komisi al-Quran,
yang dibentuk oleh Akademi Bavaria atas prakarsa Bergstraesser,
dan telah menghimpun beberapa besar salinan fotografis
manuskrip al-Quran beraksara kufi yang awal dan karya-karya awal
tentang kiraah yang belum diterbitkan. Di sisi lain, Jeffery juga
telah menghimpun beberapa bahan dari masa awal Islam dan
menelusuri berbagai varian bacaan dalam karya-karya klasik.
Bahan-bahan yang dikumpulkan ketiga sarjana diatas
sebagiannya telah mulai diterbitkan. namun , perang Dunia ke-2,
yang meluluhlantakkan Jerman dan membagi negeri itu menjadi
dua, telah memporak-porandakan rencana besar ketiga sarjana
ini . beberapa besar bahan yang dengan susah payah telah
dihimpun, musnah dihajar bom-bom Sekutu. Sampai wafatnya
Pretzl dan Jeffery, rencana ambisius penerbitan edisi kritis al-Quran
tidak pernah terlaksana.
Sekalipun manuskrip-manuskrip lama kini mudah didapatkan,
yang tentunya akan menjustifikasi rencana edisi kritis al-Quran,
namun tidak satu pun sarjana Barat yang berminat melanjutkannya.
Gerd-R. Puin mengemukakan secara implisit kemungkinan
pelaksanaan rencana ini . Menurutnya, sekalipun suatu
himpunan lengkap varian bacaan al-Quran tidak akan
menimbulkan suatu terobosan dalam kajian-kajian al-Quran, namun
himpunan ini akan mengungkapkan tahapan-tahapan ortografi
al-Quran dan tulisan Arab.27 Bisa ditambahkan bahwa penerimaan
umum sarjana Barat terhadap al-Quran edisi standar