Tampilkan postingan dengan label sejarah alquran 15. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah alquran 15. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Desember 2024

sejarah alquran 15

 


ke dinasti

Abbasiyah.

namun , stase primitif tafsir al-Quran barangkali bisa dilihat

dalam keragaman bacaan al-Quran yang eksis pada awal Islam.

Dalam beberapa bab yang lalu, khususnya bab 4 dan 5, telah

ditunjukkan bahwa beberapa  keragaman bacaan yang eksis dalam

mushaf-mushaf pra-utsmani bisa dipandang merefleksikan tafsir-

tafsir yang berkembang di kalangan kaum Muslimin yang awal.65

Jadi, saat  beberapa  mushaf pra-utsmani membaca ungkapan wa-

l-shalãt al-wusthã (2:238) dengan tambahan wa-l-shalãt al-‘ashr –

sehingga bacaan lengkapnya adalah wa-l-shalãt al-wusthã wa-l-shalãt

al-‘ashr66  –  maka ungkapan pertama di sini telah ditafsirkan sebagai

shalat duhur. Contoh-contoh semacam ini, dan berbagai contoh

lainnya yang bisa dikategorikan sebagai penjelasan teks,

merefleksikan stase primitif dari perkembangan tafsir al-Quran di

dalam Islam. Ortodoksi Islam mengembangkan gagasan yang

kurang lebih senada tentang eksistensi keragaman bacaan yang

awal itu sebagai pantulan aktivitas tafsir. Al-Suyuthi, misalnya,

mengutip pandangan Abu Ubayd yang diekspresikannya dalam

Fadlã’il al-Qur’ãn: “al-maqshûd min al-qirã’ah al-syãdzdzah tafsîr

al-qirã’ah al-masyhûrah ….”

Dengan berlalunya waktu, khususnya setelah meluasnya do-

main politik Islam keluar wilayah Arab dan setelah orang-orang

non-Arab secara masif menyatakan keimanannya kepada risalah

yang dibawa Muhammad, penjelasan atas ayat dan ungkapan al-

Quran yang maknanya telah kabur menjadi suatu kebutuhan

mendesak. Salah seorang yang pertama kali merespon kebutuhan

ini adalah Ibn Abbas, sang penafsir terbaik (tarjumãn al-qur’ãn),

yang ilmunya sedalam lautan (al-bahr) dan merupakan intelektual

umat (habr al-ummah). Bapak tafsir al-Quran ini terlihat

menggunakan metode perujukan kepada syair-syair pra-Islam untuk

menjelaskan makna kata-kata kitab sucinya yang sulit.68  saat 

menjelaskan kata haraj dalam 22:78, Ibn Abbas mengungkapkan

metodenya: “Jika terlihat sesuatu di dalam al-Quran yang bersifat

asing, maka periksalah di dalam syair ….”69  Makna sekitar 200

kata yang dijelaskannya dengan mengutip syair pra-Islam untuk

menjawab pertanyaan Nafi‘ ibn al-Azraq – salah seorang muridnya

– direproduksi oleh al-Suyuthi dalam karyanya, al-Itqãn fî ‘Ulûm

al-Qur’ãn.

Sikap yang kurang skeptis terhadap eksistensi tafsir Ibn Abbas

telah dikemukakan seorang sarjana Muslim asal Turki, Fuat Sezgin.

Berpijak pada teknik periwayatan, Sezgin mengemukakan bahwa

adalah mungkin untuk membentuk gagasan tentang eksistensi tafsir

al-Quran Ibn Abbas, atau setidak-tidaknya tafsir murid-muridnya,

seperti Nafi‘, Mujahid, Waraqa’ ibn Umar, dan lainnya, berdasar 

sumber-sumber yang ada.71  namun , sarjana-sarjana lainnya

menafikan kemungkinan ini berdasar  beberapa  pijakan,

terutama keberatan terhadap historisitasnya.

Sejarah selanjutnya penafsiran al-Quran bisa didekati dengan

memanfaatkan tipologi Ignaz Goldziher dan menyeleksi secara

purposif mufassir-mufassir dari berbagai aliran yang ada untuk

dikaji secara ringkas. Ia mengasumsikan eksistensi lima aliran tafsir

di dalam Islam: (i) tradisionalis; (ii) dogmatis; (iii) mistik; (iv)

sektarian; dan (v) modernis.73  Tiga aliran pertama senada dengan

tipologi kesarjanaan Muslim, yakni: (i) tafsîr bi-l-riwãyah; (ii) tafsîr

bi-l-dirãyah; dan (iii) tafsîr bi-l-’isyãrah. Sementara dua aliran lainnya

– sektarian dan modernis – merupakan kategori tambahan atau

elaborasi dari tipologi kesarjanaan Muslim.

Tafsir al-Quran paling awal yang bisa diakses dewasa ini adalah

yang disusun oleh Ibn Jarir al-Thabari (w. 923), Jãmi‘ al-Bayãn ‘an

Ta’wîl Ãy al-Qur’ãn. Kitab tafsir ini dipandang Goldziher sebagai

karya puncak tafsir aliran tradisional.  Di kalangan ortodoksi

Islam, tafsir ini  dianggap sebagai salah satu contoh terbaik

dan terpenting dari tafsîr bi-l-ma’tsûr atau tafsîr bi-l-riwãyah – yakni

tafsir yang berpijak pada riwayat, sebagaimana dibedakan dari tafsîr

bi-l-ra’y atau tafsîr bi-l-dirãyah, yang berpijak pada penggunaan

nalar, dan tafsîr bi-l-’isyãrah, yang berpijak pada intuisi batin. Dalam

pendahuluan karyanya ini, ia mengemukakan pijakan hermeneutik

untuk tafsirnya. Menurut al-Thabari, bahan-bahan al-Quran  terbagi

ke dalam tiga bagian: Bagian pertama adalah yang hanya dapat

ditafsirkan oleh Nabi dalam kedudukannya sebagai otoritas yang

berhak menjelaskan al-Quran (16:44,64). Penjelasan Nabi bisa

mengambil bentuk suatu nashsh darinya (bi-nashsh minhu) atau

suatu penunjukan yang meyakinkan (bi-dalãlah) yang

diformulasikan untuk memperlihatkan hal-hal yang meng-

arahkannya kepada suatu penafsiran. Bagian kedua adalah yang

secara ekslusif hanya diketahui maknanya oleh Tuhan, seperti kapan

tepatnya kiamat tiba. Bagian ketiga adalah yang diketahui

penafsirannya oleh setiap orang yang memiliki pengetahuan bahasa

al-Quran. Pengetahuan bahasa ini mencakup pemahaman

menyeluruh tentang infleksi (i‘rãb), pengertian kata-kata yang tidak

homonim (gayr al-musytarak fîhã), dan pemahaman karakteristik

kata sifat deskriptif (al-mawshûfãt bi-shifãtihã al-khãshshah). Al-

Thabari kemudian melanjutkan kategori terakhir ini dengan

subdivisi konsep-konsep bahasa dan kandungan, sehingga

ketidaktahuan tentang halãl dan harãm bukan merupakan alasan

yang dapat dimaafkan, apakah seseorang bisa berbahasa Arab atau

tidak.75  Di sinilah letak kontribusi al-Thabari dalam perkembangan

teori hermeunetik al-Quran. Pengetahuan tentang tiga kategori

bahan-bahan al-Quran merupakan tahapan awal yang penting

dalam suatu metode tafsir. Kemampuan mengenali suatu bagian

al-Quran yang masuk ke dalam salah satu dari ketiga kategori itu,

mengikuti alur pemikiran al-Thabari, akan memberi petunjuk pada

penanganan bagian ini .

Dengan demikian, prinsip hermeneutik al-Thabari mengakui

eksistensi riwayat sebagai bagian terpenting dalam tafsir disamping

aspek bahasa. Hal ini terlihat dalam berbagai penafsirannya yang

tidak hanya menuturkan dan menganalisis berbagai hadits dan 

berbagai keragaman dalam bacaan al-Quran, namun  juga hal-hal

yang bertalian dengan aspek-aspek linguistik, dalam rangka

menguraikan makna dan tujuan suatu bagian al-Quran. Dalam

pendahuluan karyanya, al-Thabari mengungkapkan tentang

kelengkapan kitab tafsirnya dan menegaskan bahwa ia telah

mencantumkan berbagai dalil untuk perbedaan paham yang

mencapai konsensus atau tetap bertahan, dan  menyajikan alasan-

alasan setiap sudut pandang yang berkembang. Di samping itu, ia

juga menguraikan hal-hal yang dipandangnya sebagai kebenaran

dalam berbagai kontroversi itu.

Masih dalam jajaran tokoh tafsir tradisional adalah Ismail

Imad al-Din abu al-Fida’ ibn Katsir, terkenal sebagai Ibn Katsir (w.

1373). Ia menyusun suatu komentar al-Quran, Tafsîr al-Qur’ãn al-

‘Azhîm, yang dikalangan tertentu sarjana Muslim modern

dipandang sebagai salah satu tafsîr bi-l-ma’tsûr tersahih, kalau

bukan paling sahih.77  Sebagai murid reformis legendaris Ibn

Taimiyah, Ibn Katsir – walaupun hidup sekitar empat abad setelah

al-Thabari – cenderung kepada tafsir yang bersifat tradisional.

Dalam pendahuluan karya tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan

prosedur hermeneutiknya, yang dipandangnya sebagai metode

terbaik dalam tafsir al-Quran. Stase pertama dalam prosedur

ini  adalah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Tahapan

ini memperlihatkan gagasan tentang al-Quran sebagai suatu

keseluruhan yang padu dan kohesif, sehingga bagian-bagiannya

dapat menjelaskan antara satu dengan lainnya. Langkah kedua

mencakup pemerhatian terhadap sunnah Nabi, sebab  Nabi

merupakan penjelas paling otoritatif terhadap al-Quran (16:44,64;

4:105). Bagi Ibn Katsir, sunnah Nabi juga merupakan wahyu ilahi,

sekalipun tidak dibacakan oleh Jibril sebagaimana al-Quran.

Apabila tidak ada  penjelasan dari al-Quran ataupun sunnah

Nabi mengenai suatu bagian al-Quran, langkah hermeneutik ketiga

mesti ditempuh, yakni menelusuri pernyataan-pernyataan para

sahabat Nabi tentangnya. Pengikut Nabi dari generasi pertama

adalah saksi mata terhadap sirkumstansi dan situasi yang secara

khusus melibatkan mereka. Sekuensi hermeneutik ini terpotong

dengan pembahasan tentang dua masalah yang saling berkaitan:

Pertama adalah penggunaan bahan-bahan Yudeo-Kristiani (al-

ahãdîts al-isrã’îliyyah) dalam penafsiran al-Quran, yang menurutnya

hanya bersifat sokongan suplementer, bukan pijakan utama; dan

kedua, menelaah secara kritis riwayat-riwayat ini , mensahkan

yang benar dan  menolak yang palsu. Setelah itu, Ibn Katsir

melanjutkan prosedur hermeneutiknya dengan mengemukakan

langkah terakhir, yaitu menelusuri pernyataan-pernyataan generasi

kedua (tãbi‘ûn). Sehubungan dengan ini, Ibn Katsir menilai bahwa

pernyataan para tãbi‘ûn bukan merupakan sumber otoritatif saat 

saling bertentangan, bahkan dengan generasi sesudahnya.78

Prosedur hermeneutik yang digariskan Ibn Katsir di atas pada

faktanya merupakan langkah umum yang ditempuh dalam berbagai

kitab tafsir tradisional. namun , artikulasinya dalam bentuk yang

sistematis dan metodologis merupakan salah satu kontribusi Ibn

Katsir yang paling bermakna terhadap hermeneutik al-Quran. Dan

Ibn Katsir memang cukup konsisten dalam menjalankan tahapan-

tahapan prosedur ini  di dalam berbagai penafsiran al-

Qurannya. Sekalipun agak polemis, tafsiran-tafsirannya secara

umum tetap fair dan informatif.

Mufassir berikutnya yang menulis suatu komentar ekstensif

tentang al-Quran, al-Kasysyãf ‘an Haqã’iq al-Tanzîl,  adalah Abu

al-Qasim Jar Allah Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1143).

Pada umumnya, al-Zamakhsyari memiliki pengaruh religius yang

tidak begitu besar dalam dunia Islam lantaran berasal dari

kelompok teolog “heretik” mu‘tazilah. Sekalipun demikian, ia

terkenal dengan sebutan imãm al-dunyã, “imam universal,” dan

pakar linguistik terkemuka yang berpengaruh di bidang ini.

Mungkin lantaran pertimbangan afiliasi teologis inilah sehingga

Goldziher mengelompokkannya ke dalam jajaran komentator

aliran tafsir dogmatis, dan bahkan menilai kitab tafsirnya sebagai

model untuk aliran ini .  beberapa  besar sarjana Muslim juga

telah mengelompokkan tafsir Zamakhsyari ke dalam kategori tafsîr

bi-l-ra’y.80  Gagasan-gagasan teologis yang berbau mu‘tazili dalam

tafsir ini – sebagaimana dikemukakan Mahmoud Ayoub –

sebenarnya tidak telalu tegas.81  Hanya dalam beberapa  kecil masalah

pandangan teologisnya telah mempengaruhi penafsirannya atas

teks al-Quran. Dalam kebanyakan kasus, karya ini  lebih

menunjukkan kepiawaian Zamakhsyari dalam analisis filologis dan

sintaksis atas ayat-ayat al-Quran. Zamakhsyari bahkan

mengeksploitasi kekayaan khazanah bacaan al-Quran dalam

batasan-batasan linguistik untuk kepentingan tafsirnya. Dengan

demikian,  pendekatan  yang digunakan Zamakhsyari lebih bersifat

linguistik ketimbang teologis. Ia juga memanfaatkan hadits dalam

karyanya, namun  mengabaikan mata rantai periwayatannya (sanad)

ataupun keabsahan teks aktualnya (matn).

Karya besar Zamakhsyari  di atas telah diringkas dengan

beberapa  tambahan oleh Nashr al-Din ibn Sa‘id al-Baydlawi (w.

1270) dalam kitab tafsirnya, Anwãr al-Tanzîl wa Asrãr al-Ta’wîl.

Karya ini dimaksudkan sebagai buku pegangan untuk pengajaran

tafsir di sekolah-sekolah. sebab  itu, diusaha kan untuk

mengemukakan dalam bentuk singkat hal-hal terbaik dan tersahih

dalam berbagai tafsir sebelumnya, termasuk varian-varian tafsir

yang penting. Sekalipun Baydlawi berasal dari main stream teologi

filosofis Sunni dan, hingga taraf yang jauh, telah “membetulkan”

kekeliruan-kekeliruan mu‘tazili dalam tafsir Zamakhsyari, karya

tafsirnya tetap dipandang sebagian besar sarjana Muslim masuk

ke dalam kategori tafsîr bi-l-ra’y. Keterkaitan karyanya dengan

Zamakhsyari – yakni sebagai ringkasan karya sarjana ini  –

merupakan salah satu faktor yang berada di balik kategorisasi itu.

namun  salah satu kitab tafsir paling mewakili aliran tafsir

dogmatis adalah yang disusun oleh Fakhruddin al-Razi (w. 1209),

Mafãtih al-Gayb. Karya ini dikabarkan tidak sempat diselesaikan

al-Razi sebab  keburu dipanggil ke hadirat ilahi, dan penulisannya

diteruskan salah seorang muridnya. sebab  sang murid telah

menguasai metodologi dan idiom gurunya sedemikian tepatnya,

gaya penulisan keduanya tidak dapat dibedakan. Itulah sebabnya

muncul kontroversi di kalangan para ahli mengenai bagian mana

yang telah diselesaikan al-Razi dan bagian mana yang dilanjutkan

penulisannya oleh murid ini . Kontroversi selanjutnya adalah

apakah hanya satu murid al-Razi yang menyelesaikan penulisan

tafsirnya ataukah dua orang, ataukah lebih dari itu.82

Pendekatan yang digunakan al-Razi dalam tafsirnya berada

sepenuhnya dalam tradisi rasional filosofis. Al-Razi memang

merupakan seorang filosof cemerlang pada masanya, dan bukan

seorang pakar agama. Ia memulai tafsirnya atas ayat-ayat al-Quran

dengan cara yang rumit dan  melibatkan gaya yang terdiri dari

berlapis-lapis pendapat dan sanggahan, namun  sering tidak mencapai

kesimpulan apapun. Ia selalu bergerak demikian jauh dari pokok

permasalahan tafsir sehingga pembacanya bisa nyasar dalam

pertentangan filsafat dan teologi.83  Lantaran kecenderungan

semacam ini, otoritas terkemuka dalam kajian al-Quran, al-Suyuthi,

mengutip penilaian yang dikemukakan sebagian ulama bahwa karya

al-Razi itu “berisi segalanya kecuali tafsir.”84

Dalam jajaran aliran tafsir mistik, karya Muhyi al-Din ibn al-

‘Arabi (w. 1240), Tafsîr al-Qur’ãn al-Karîm, merupakan salah satu

tafsir sufistik yang tersebar cukup luas di dunia Islam. Ia dikenal

luas sebagai tokoh mistikus penganut doktrin pantheistik – yakni

doktrin yang memandang seluruh wujud adalah satu, sebab 

merupakan manisfestasi dari substansi Ilahi – dan  dikenal di

kalangan pengikutnya sebagai Syaikh al-Akbãr. Karya tafsirnya

dikabarkan ditulis salah seorang muridnya, Abd al-Razak al-

Qashani. namun , siapapun penulis sebenarnya, karya ini

merefleksikan pemikiran dan gaya Ibn al-‘Arabi.

Sebagaimana dengan mufassir sufi pada umumnya, metode yang

digunakan Ibn al-‘Arabi dalam penafsiran al-Quran adalah yang

dikarakterisasi oleh ortodoksi Islam sebagai ta’wîl – dalam pengertian

yang berkembang belakangan, yakni ta’wîl sebagai penjelasan inter-

nal (alegoris) atas kandungan al-Quran, yang dibedakan dari tafsir

sebagai penjelasan eksternalnya. Metode ini memang memberikan

kebebasan untuk masuk ke dalam tataran makna batin yang sangat

luas dan dalam dari teks, yang memang dituju para sufi. Menurut

Ibn al-‘Arabi, ta’wîl itu bervariasi selaras dengan keadaan

pendengarnya, seirama dengan momen-momennya dalam berbagai

stase (maqãmãt) perjalanan mistik dan  derajat-derajat pencapaian

yang berbeda. saat  seseorang sampai kepada tingkatan yang lebih

tinggi, maka terbukalah baginya pintu-pintu baru yang

memungkinkannya melihat makna-makna baru dan halus.85

Sementara dalam jajaran aliran tafsir sektarian, nama Abu al-

Hasan Ali ibn Ibrahim al-Qummi (w. 939) merupakan otoritas

klasik Syi‘ah Imamiyah yang terkemuka. Kitab tafsirnya, Tafsîr al-

Qummî, sekalipun sangat ringkas, merupakan karya terlengkap

pada masanya dan sangat kental nuansa Syi‘ahnya. Cara

penafsirannya sangat bersifat apologetis dan ditujukan untuk

memperkukuh beberapa  kepercayaan resmi Syi‘ah sembari

membantai gagasan-gagasan berseberangan ortodoksi Islam dan

beberapa  kepercayaan resminya.86  Al-Qummi, dalam penafsiran

al-Qurannya, berangkat dari posisi Syi‘ah yang tegas dan jelas

tentang eksistensi mushaf utsmani sebagai hasil manipulasi para

pengumpul al-Quran. Menurut keyakinan Syi‘ah, Utsman dan

komisi yang dibentuknya untuk mengumpulkan al-Quran telah

menggantikan dan tidak mencakupkan ke dalam kodifikasinya

beberapa  besar bagian kitab suci ini , baik dalam bentuk surat,

ayat, dan bahkan kata-kata tertentu, dan  telah memporak-

porandakan susunannya. Istilah yang biasanya digunakan untuk

mengemukakan berbagai tuduhan ini adalah tabdîl atau tahrîf .87

Doktrin inilah yang menjadi pijakan utama al-Qummi dalam

tafsirnya, yang ilustrasi penerapannya telah ditunjukkan dalam

bab 7.

Karya rintisan untuk aliran tafsir modernis adalah yang

disusun oleh Sayyid Ahmad Khan (w. 1898), Tafsîr al-Qur’ãn, dalam

bahasa Urdu. Tahun 1880, tahun diterbitkannya jilid pertama tafsir

ini ,88  dipandang J.M.S. Baljon sebagai tahun permulaan yang

menandai pembahasan tafsir al-Quran kaum modernis Muslim.89

Tafsir yang disusun bapak modernisme Islam ini pada dasarnya

merupakan suatu koleksi esei dan bukan tafsir dalam artian

tradisional. Sir Sayyid – demikian panggilan akrabnya di kalangan

kaum Muslimin anak benua Indo-Pakistan – hanya menafsirkan

ayat-ayat tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah yang

dianggap penting pada masanya, terutama yang berkaitan dengan

fenomena kealaman. Di samping itu, masalah hubungan antar

pemeluk agama yang berbeda dan  peperangan religius juga

mendapat porsi cukup banyak di dalam tafsirnya. Dengan

demikian, tafsir Sir Sayyid barangkali bisa dikategorikan sebagai

tafsir tematis (mawdlû‘î).

Sebagai pijakan untuk tafsirnya, Sir Sayyid menyusun lima

belas prinsip penafsiran al-Quran, Tahrîr fî Ushûl al-Tafsîr,90  yang

bermula dari korespondensinya dengan Muhsin al-Mulk. Di

samping berisi prinsip-prinsip linguistik tafsir, esei Sir Sayyid juga

memasukkan beberapa  asumsi dogmatik yang menyatu dengan

doktrin ajaran al-Quran, sehingga prinsip-prinsip semacam ini

memiliki kedudukan yang absah di antara kriteria-kriteria

penafsiran al-Quran. namun , sebagian dari prinsip-prinsip ini 

adalah asumsi-asumsi kredal yang lebih merupakan prakonsepsi

teologis, ketimbang prinsip-prinsip yang dengannya seseorang bisa

menafsirkan al-Quran, seperti eksistensi sifat dalam diri Tuhan

adalah mutlak, atau seluruh sifat Tuhan adalah infinit dan mutlak,

dan  prinsip lainnya yang sejenis.

Yang paling menonjol dalam berbagai prinsip tafsir yang

dirumuskan Sir Sayyid adalah prinsip “keselarasan dengan alam”

(conformity to nature), yakni bahwa vûrd af Gãd – transliterasi

Urdu dari word of God, “kalam Ilahi” – tidak boleh bertentangan

dengan vûrk af Gãd – transliterasi Urdu dari work of God, “ciptaan

Tuhan,” “makhluk” – dan keselarasan antara keduanya adalah

penting. Dengan prinsip ini, ia telah menolak penafsiran tradisional

tentang beberapa  bagian al-Quran sebagai mu‘jizãt (“supranatural”),

dan  menafsirkannya secara logis dan natural selaras dengan

perkembangan ilmu kealaman pada masanya.

Beberapa hal penting lainnya yang dikemukakan Sir Sayyid

dalam prinsip-prinsip tafsirnya adalah pewahyuan yang bersifat

internal bagi Nabi, dan sebab  itu jibril merupakan  fakultas

kenabian  yang  ada  di  dalam  diri  Nabi.   Ia  juga  menolak

prinsip nãsikh-mansûkh tradisional, dan menafsirkannya sebagai

penghapusan syariat-syariat pra-Islam. Sejalan dengan

skeptisismenya terhadap hadits, yang dikemukakannya jauh

mendahului skeptisisme Goldziher, Sir Sayyid menolak riwayat-

riwayat asbãb al-nuzûl dan menegaskan bahwa sebab-sebab

pewahyuan ini mesti ditemukan di dalam konteks dan  gaya al-

Quran setelah mempertimbangkan hal-hal mendasar yang

dinyatakan kitab suci ini . Demikian pula, riwayat-riwayat

isrã’îliyãt ditolak penggunaannya dalam penafsiran al-Quran.

Counterpart Sir Sayyid di Mesir adalah Muhammad Abduh

(w. 1905), bapak modernisme Islam Mesir. Karya tafsir Abduh

berawal dari penerbitan komentar juz’ ‘amma, yang lebih

merupakan tafsir atas kata atau ungkapan al-Quran ketimbang

ayat, bagian atau suratnya.91  Karakteristik ini berbeda dari karya

tafsir patungannya dengan Rasyid Ridla, Tafsîr al-Mannãr, yang

muncul belakangan dan paling populer di dunia Islam. Karya

patungan Abduh-Ridla bermula dari serangkaian kuliah tafsir yang

diberikan Abduh di Universitas al-Azhar. Muridnya yang berasal

dari Siria, Muhammad Rasyid Ridla, mengikuti kuliah ini 

dan membuat catatan tentangnya, yang setelah itu direvisi dan

diperluas. Hasilnya diperlihatkan kepada Abduh yang

menyetujuinya sembari mengoreksi yang dipandang perlu,

kemudian diterbitkan dalam jurnal Al-Mannãr sebagai karya tafsir

Abduh. namun , Abduh tidak dapat menyelesaikan karya ini sebab 

dipanggil pulang ke hadirat Ilahi, dan dari surat 4:125 hingga 12:107

dilanjutkan penulisannya oleh Ridla.92  Sekalipun penulisan

seluruh kitab  tafsir  ini   dilakukan  oleh Ridla,  sebagiannya

(hingga surat 4:124) berdasar  kuliah Abduh, namun  ia secara

jujur memberi indikasi di bagian-bagian mana ia dan Abduh

bertanggung jawab secara bersama-sama, di mana kata-kata Abduh

berakhir dan di mana perluasan yang dilakukannya dimulai, dan 

bagian mana yang merupakan tanggung jawabnya sendiri.

Dalam tafsir ini Abduh memberikan penekanan yang segar

terhadap al-Quran sebagai sumber hidãyah. Baginya, al-Quran

merupakan sumber yang darinya kaum Muslimin semestinya

mengambil gagasan-gagasan mereka tentang dunia sekarang dan

dunia mendatang. Dari sini, mengalir gagasan-gagasan Abduh yang

beragam tentang urgensi tafsir al-Quran. Inti dari sistem penafsiran

Abduh adalah keragu-raguannya dalam menerima bahan-bahan

dari luar al-Quran sebagai bermanfaat dalam penafsiran al-Quran.

Aturan penafsiran yang ada  di belakang seluruh karya tafsirnya

adalah hal-hal yang tidak dijelaskan al-Quran –  yakni mubham,

“obskur”, “samar-samar” atau “meragukan” – semestinya juga tidak

ditafsirkan. sebab  itu, mufassir mesti menjelaskan teks al-Quran

sebagaimana adanya dan tidak menambah hal-hal yang yang tidak

diidentifikasikan oleh kitab suci ini .

Abduh banyak memanfaatkan konteks sastra dalam me-

netapkan makna ayat atau kata-kata tertentu. namun , sebagaimana

Sir Sayyid, ia  tidak mengakui relevansi hadits – bahkan menolak

validitas sebagian di antaranya  –  dalam penafsiran al-Quran,

terutama riwayat-riwayat yang bertalian dengan isrã’îliyãt. Ia

memandang keseluruhan teks al-Quran sebagai ‘ãmm (“umum”),

yang berlaku secara universal – biasanya konsep dipertentangkan

dengan khãshsh, “khusus,” yakni teks yang diwahyukan dalam

suatu situasi spesifik dan berlaku untuk kasus spesifik ini ,

atau tidak memiliki validitas yang universal. Abduh menginginkan

tafsirnya menjadi sebuah instrumen yang dengannya kaum

Muslimin dapat terpimpin secara spiritual oleh al-Quran sendiri.

Ia menghendaki tafsir al-Qurannya tanpa spekulasi teoritis,

monograf gramatikal dan  kutipan-kutipan opini para pakar. namun ,

muridnya, Ridla, menambahkan kutipan hadits dan analisis

gramatik ke dalam karya patungan mereka.93

J.J.G. Jansen menilai bahwa inovasi yang nyata dalam

perkembangan tafsir al-Quran di Mesir diintroduksi oleh Abduh

dan Amin al-Khuli (w. 1967).94  Inovasi tokoh yang disebut terakhir

direalisasikan dalam penafsiran al-Quran oleh istrinya, Aisyah Abd

al-Rahman – terkenal dengan nama samaran Bint al-Syathi’ ((l.

1913), maha guru sastera dan bahasa Arab di Universitas Ain Syams

Mesir. Komentar Bint al-Syathi’, al-Tafsîr al-Bayãnî lî-l-Qur’ãn al-

Karîm,95  hanya menyangkut empat belas surat pendek al-Quran

dan tidak mencakup keseluruhan kitab suci ini . namun ,

sementara pengamat menilainya sebagai karya tafsir “paling

penting” di Mesir dewasa ini.96

Metode yang digunakan Bint al-Syathi’ dalam tafsir al-

Qurannya adalah metode inovasi suaminya, al-Khuli, yang

dikemukakan dalam buku Manãhij Tajdîd. Ia meringkas gagasan

metodologis al-Khuli itu sebagai berikut:

(1) Pada prinsipnya metodologi adalah penanganan yang

obyektif terhadap al-Quran. Ia dimulai dengan

mengumpulkan semua surah dan ayat yang ada di

dalam…(al-Quran) ke dalam tema yang akan dikaji.

(2) Dalam memahami nash, yang penting adalah menyusun

ayat-ayat menurut nuzûl-nya untuk mengetahui situasi

waktu dan tempat, seperti yang diungkapkan riwayat-

riwayat tentang asbãbun-nuzûl sebagai konteks yang

menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada

keumuman lafal, bukan pada sebab khusus turunnya ayat.

Asbãbun-nuzûl hendaknya tidak dipandang sebagai

penentu atau alasan yang tanpanya ayat tidak akan

diturunkan….

(3) Dalam memahami petunjuk lafal, saya menegaskan bahwa

bahasa Arab adalah bahasa al-Quran. sebab  itu,

hendaknya kita mencari petunjuk pada bahasa aslinya,

yang memberikan kepada kita rasa kebahasaan bagi lafal-

lafal yang digunakan secara berbeda, baik yang hakiki

maupun majazi, kemudian kita simpulkan muatan

petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafal yang ada

di dalamnya, lalu mencari konteksnya yang khusus dan

umum di dalam ayat dan surat al-Quran secara

keseluruhan.

(4) Dalam memahami rahasia-rahasia ungkapan, kita

mengikuti konteks nash di dalam al-Quran baik dengan

berpegang pada makna nash maupun semangatnya.

Kemudian makna ini  kita konfirmasikan dengan

pendapat para mufassir. Melalui cara ini kita terima apa

yang ditetapkan nash, dan kita jauhi kisah-kisah israiliyat,

noda-noda nafsu, paham sektarian, dan takwil yang berbau

bid’ah.

Dengan demikian, meskipun berpijak pada beberapa  asumsi

klasik – seperti al-qur’ãn yufassiru ba‘dluhu ba‘dlan, atau asbãb al-

nuzûl sebagai pemasok konteks historis al-Quran yang dipahami

mengikuti prinsip al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzh lã bi khushûsh al-

sabab, dan lainnya – metode yang digunakan Bint al-Syathi’ telah

menghasilkan suasana segar dalam perkembangan tafsir.

Kebanyakan mufassir Muslim modern terlihat hanya membatasi

diri dalam menjiplak gagasan-gagasan linguistik Zamakhsyari, atau

lebih jelek lagi menyalin para penjiplak Zamakhsyari. Kenyataan

bahwa bahasan-bahasan filologis hampir seluruhnya bersifat

tradisional dan sangat bergantung pada Zamakhsyari, mungkin

telah membuat para sarjana ini  tidak menaruh perhatian

terhadap riset-riset filologis atas teks al-Quran. Pada butir ini

signifikansi tafsir Bint al-Syathi’  terlihat nyata.

namun , penerapan pendekatan linguistik modern dalam

penafsiran al-Quran yang diselaraskan dengan perkembangan

terakhir disiplin ini  dilakukan oleh sarjana Muslim terkemuka

asal al-Jazair, Mohammed Arkoun ((l. 1928), maha guru di Uni-

versitas Sorbonne, Paris. Sekalipun Arkoun tidak menulis sebuah

kitab tafsir secara spesifik, di dalam beberapa  artikelnya ia telah

mengaplikasikan pendekatan semiotik atau semiologi mutakhir –

yang menganalisis objek kajiannya sebagai suatu himpunan atau

sistem dari beberapa  tanda yang saling merujuk menurut aturan

tertentu – dalam menafsirkan surat-surat dan  tema-tema tertentu

al-Quran. Gagasan-gagasan tafsir dalam berbagai artikelnya

terhimpun dalam beberapa  karya, terutama Lectures du Coran.98

Sayangnya, keasyikan Arkoun menyelami berbagai teori linguistik

mutakhir yang marak berkembang di Paris dalam berbagai usaha 

penafsirannya telah membuat karya-karyanya terkadang sulit

dipahami pembacanya.

Di samping Arkoun, pemikir neo-modernis Pakistan, Fazlur

Rahman, dalam dekade-dekade terakhir kehidupannya telah

berusaha  merumuskan dan menawarkan suatu kerangka konseptual

penafsiran al-Quran untuk menjawab berbagai tantangan serius

yang disodorkan modernitas dan  mengatasi krisis yang dihadapi

pemikiran Islam modern. Sekalipun Rahman secara spesifik tidak

menulis suatu tafsir al-Quran yang memperlihatkan aplikasi

metodenya, dalam beberapa  tulisannya ia mengemukakan indikasi-

indikasi bagaimana metode itu dijalankan untuk membangun

kembali keseluruhan aspek pemikiran Islam: mulai dari perumusan

pandangan dunia al-Quran, sistematisasi  etik  al-Quran,  sampai

kepada  penubuhan  etik ini  ke  dalam konteks spatio-tempo-

ral yang konkret dewasa ini. Keseluruhan aspek ini , dalam

benak Rahman, berjalin secara koheren dan sekuensial.99  Satu-

satunya karya yang memperlihatkan keterlibatannya yang serius

dalam kajian al-Quran adalah sebuah tafsir tematis, Major Themes

of the Qur’ãn, yang sama sekali tidak memperlihatkan aplikasi

metode tafsir yang ditawarkannya. Karya ini lebih menunjukkan

bagaimana metode ini  telah “diperas” dan mengalami

pemiskinan konseptual.

Kerangka konseptual yang diusulkan Rahman – berupa gerakan

ganda: dari situasi sekarang ke masa pewahyuan al-Quran,

kemudian kembali lagi ke masa kini – mengharuskan kita

memandang ajaran al-Quran secara utuh dan dalam bentangan

pewahyuannya, tanpa memperlakukan ayat-ayat tertentu al-Quran

secara terpilah-pilah. Dengan mendasarkan diri pada kajian

menyeluruh terhadap latar belakang kesejarahan makro al-Quran

dan situasi-situasi kesejarahan mikro di mana ajaran-ajaran spesifik

dipermaklumkan, langkah selanjutnya adalah menggeneralisasikan

jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakannya sebagai

pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial

umum. Setelah sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan

tujuan-tujuan jangka panjang al-Quran melalui langkah-langkah

ini , pandangan umum ini harus ditubuhkan ke dalam konteks

sosio-historis yang konkret dewasa ini, dengan terlebih dahulu

mengkaji cermat situasi kekinisinian untuk mendeterminasi

bagaimana nilai-nilai al-Quran dapat diaplikasikan secara segar.

Pada titik “pembumian” ini, bisa saja terjadi pengubahan ketentuan-

ketentuan masa lampau selaras dengan perubahan situasi masa

kini – asalkan tidak mengkhianati prinsip-prinsip umum dan nilai-

nilai yang telah diperoleh – atau pengubahan situasi sekarang hingga

selaras dengan prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai ini .

Penelusuran terhadap berbagai tafsir modernis akan

memperlihatkan suatu kenyataan sangat mencolok, yakni

penerimaan umum mereka terhadap keseragaman teks dan bacaan

al-Quran. Pencetakan al-Quran edisi standar Mesir memang sangat

berpengaruh dalam menciptakan keseragaman ini  tidak hanya

di dunia Islam, namun  juga di dunia akademik Barat. Bahkan,

pendekatan-pendekatan linguistik dalam tafsir modernis telah

mengabaikan aspek keragaman teks dan bacaan al-Quran yang

mewarnai sejarah awal Islam. Hal ini bisa ditelusuri dalam tafsirnya

Bint al-Syathi’ ataupun dalam berbagai tulisan Arkoun – yang dalam

penafsirannya berangkat dari atau bertumpu pada “Korpus Resmi

Tertutup,” sebagaimana diistilahkannya. Pada butir ini, tradisi yang

diwariskan Zamakhsyari telah ditinggalkan. Padahal pendekatan-

pendekatan linguistik yang mereka gunakan akan membuka

nuansa-nuansa pemaknaan yang lebih luas dan dalam jika

melibatkan tradisi keragaman teks dan bacaan al-Quran.


Terjemahan dan Suntingan al-Quran

Perhatian ilmiah kesarjanaan Barat terhadap al-Quran bermuladengan kunjungan Petrus Venerabilis, Kepala Biara Cluny, ke

Toledo pada perempatan kedua abad ke-12. Dengan pertimbangan

utama membasmi kepercayaan heretik – yakni Yahudi dan Islam –

dan membela keyakinan kristiani, ia membentuk dan membiayai

suatu tim penerjemah yang ditugaskannya menerjemahkan

serangkaian teks Arab yang secara keseluruhan akan merupakan

pijakan ilmiah bagi para misionaris Kristen yang berurusan dengan

Islam. Hasil kerja tim ini , dikenal sebagai Cluniac Corpus,

kemudian tersebar luas. namun , kumpulan terjemahan ini tidak

digunakan secara menyeluruh: hanya bagian-bagian yang memiliki

manfaat langsung dan berguna dalam polemik yang dieksploitasi

dan  dikutip tanpa komentar.

Trauma yang membekas akibat Perang Salib – di mana umat

Kristen berhadapan dengan umat Islam sebagai musuh – tampaknya

telah menyulut semangat apologetik kristiani. Sarjana-sarjana Kristen

yang berada di garis belakang peperangan berusaha  membuat

gambaran-gambaran yang bersifat imajiner untuk mengobarkan

semangat umat Kristiani dan kemudian disebarkan ke berbagai

kalangan di dalam Kristen.2  Jadi, bisa dikatakan bahwa Perang Salib

pada faktanya telah memberi andil yang cukup besar dalam

menciptakan berbagai kesalahpahaman Barat terhadap Islam,3  selain

telah mendorong munculnya usaha -usaha  yang terorganisasi untuk

mempelajari agama ini  melalui kitab sucinya.

Sebagai bagian dari Cluniac Corpus adalah terjemahan al-

Quran ke dalam bahasa Latin yang digarap Robert of Ketton, Liber

legis Saracenorum quem Alcoran Vocant. Terjemahan ini selesai

digarap pada 1143, namun  tidak tersebar luas hingga akhirnya dicetak

di Basle pada 1543 oleh Theodore Bibliander.4  Setelah itu, karya

ini  diterjemahkan ke dalam bahasa Italia, Jerman dan Belanda.

Karya ini memiliki pengaruh cukup luas di kalangan sarjana selama

berabad-abad di Barat dan merupakan sumber utama pengetahuan

orang-orang Eropa tentang al-Quran hingga penghujung abad ke-

17. Ia digunakan oleh hampir seluruh apolog Kristen untuk

menolak Islam, seperti Nicholas of Cusa, Dionysius Carthusianus,

Juan of Torquemada, Juan Luis Vives, Martin Luther, Hugo Grotius,

dan lainnya.5  Namun, terjemahan pertama al-Quran ke dalam

bahasa Latin ini memiliki beberapa  cacat mendasar dan, dalam

kebanyakan kasus, tidak akurat atau bahkan salah-terjemah (mis-

translation).6  Dikabarkan bahwa Robert selalu cenderung

memperbesar atau melebih-lebihkan suatu teks yang tidak

berbahaya untuk menekankan kejelekan dan kebejatannya, dan 

lebih menyukai suatu pemaknaan yang mustahil dan tidak

memuaskan ketimbang pemaknaan yang memungkinkan, namun 

normal dan pantas.

Dengan jatuhnya Constantinople – kemudian berganti nama

menjadi Istanbul – di belahan benua Eropa ke tangan Turki pada

1453, sikap kalangan tertentu sarjana Kristen terhadap Islam mulai

berubah. Pada 1454, Juan of Segovia mengusulkan diadakannya

serangkaian konferensi dengan para fuqahã’ Muslim. Menurutnya,

cara semacam ini sangat bermanfaat sekalipun tidak dapat

mengubah keyakinan keagamaan mereka. Ia juga dikabarkan

menggarap suatu terjemahan al-Quran – kini telah hilang – yang

di dalamnya diusaha kan untuk menghindar dari kekeliruan-

kekeliruan terjemahan Cluniac Corpus yang telah mengubah

makna orisinal katab suci itu dengan menyelaraskannya kepada

konsep-konsep Latin.8  Gagasan Segovia mendapat dukungan dari

beberapa  kecil sarjana, di antaranya adalah Nicholas of Cusa, namun 

secara umum kecenderungan positif ini tidak begitu berpengaruh

di dalam dunia Kristen saat  itu hingga beberapa waktu

kemudian.

Pada permulaan abad ke-16 sarjana-sarjana Eropa mulai secara

serius mengkaji Islam. Guillaume Postel merupakan tokoh yang

paling bermakna kontribusinya dalam pengembangan kajian-kajian

bahasa dan warga  Timur, dan  pada waktu yang sama juga

telah mengumpulkan beberapa  besar manuskrip.10  Kemajuan luar

biasa ini, khususnya dalam studi bahasa Arab, telah membuahkan

hasil berupa sikap kritis terhadap terjemahan al-Quran Cluniac

Corpus. Pada permulaan abad berikutnya, Joseph Scaliger dan Tho-

mas Erpenius dari Universitas Leiden dengan jelas menegaskan

ketidaksempurnaan terjemahan Latin al-Quran dalam korpus

ini . Pada permulaan abad berikutnya, Adrian Reland,

orientalis Belanda terkemuka dari Utrecht, memberi peringatan

kepada mahasiswa jurusan teologi untuk tidak menggunakan

sumber-sumber selain yang berbahasa Arab dalam rangka

memperoleh informasi yang betul tentang Islam. Peringatan ini

dikemukakan dalam karya berbahasa Latinnya, De reliogione

Mohammedica libri duo (1705), dan di antara buku-buku yang

secara eksplisit diingatkannya untuk tidak digunakan adalah

terjemahan Latin al-Quran Cluniac Corpus.

Terjemahan al-Quran berikutnya dalam bahasa Latin, Alcorani

Textus Universus,  digarap seorang pendeta Italia, Ludovico Marraci,

langsung dari teks Arab. Terjemahan ini dipublikasi di Padua pada

1698, bersama-sama dengan teks orisinalnya, dan  catatan-catatan

penjelasan dan bantahan (Refutatio Alcorani). Teks Arab yang

didan kan Marraci dalam terjemahannya disusun berdasar 

beberapa  manuskrip. Dibandingkan terjemahan pertama al-Quran

Cluniac Corpus, terjemahan Marraci terlihat lebih cermat.

Dikabarkan bahwa ia telah mempelajari al-Quran selama 40 tahun

dan mengakrabi karya-karya mufassir Muslim terkemuka.12  Tentang

terjemahan ini, George Sale berkomentar: “Secara umum,

terjemahannya sangat tepat, namun  mengikuti ungkapan Arab terlalu

harfiah, sehingga tidak mudah dipahami.” Catatan penjelasannya,

menurut Sale, cukup berharga, namun  bantahannya “tidak

memuaskan dan terkadang menyimpang.”

Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Eropa lainnya pertama

kali dilakukan ke dalam bahasa Italia oleh Andrea Arrivabene,

Alcorano di Macometto, dan diterbitkan pada 1547.14  Sekalipun

penerjemahnya mengklaim langsung menerjemahkan dari teks

Arab, namun  hasil penelitian menunjukkan bahwa karya ini 

merupakan salinan Italia dari terjemahan Latin Cluniac Corpus.

Dengan demikian, berbagai kelemahan yang ada dalam terjemahan

pertama Latin itu juga menimpa karya ini. Belakangan, muncul

terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Italia lainnya, seperti yang

digarap, antara lain, oleh Calza (1847), Fracassi (1914), Bonelli

(1929), Bausani (1955), dan Moreno (1967).

Meski dengan kualitas yang kurang baik, terjemahan Italia

Arrivabene telah digunakan dalam terjemahan pertama al-Quran

ke dalam bahasa Jerman pada 1616. Terjemahan ini digarap

Solomon Schweigger, pendeta  gereja perempuan di Nuernberg.

Pada gilirannya, terjemahan Schweigger membentuk basis

terjemahan anonim al-Quran pertama ke dalam bahasa Belanda,

De Arabische Alcoran, yang terbit pada 1641. Terjemahan al-Quran

ke dalam bahasa Jerman yang didasarkan langsung pada teks

orisinal Arab, pertama kali dilakukan oleh D.F. Mergelin, Die

tuerkische Bibel, yang terbit pada 1772 di Frankfurt. Setelah itu,

menyusul terjemahan al-Quran lainnya ke dalam bahasa Jerman,

seperti yang digarap oleh Lange (1688), Arnold (1746), Boysen

(1773) yang kemudian direvisi oleh Wahl (1828), Ulmann (1840),

Henning (1901), dan Paret (1966). Sementara terjemahan lainnya

ke dalam bahasa Belanda, antara lain, digarap oleh  Glazemaker

(1658), Tollens (1859), Keyzer (1860), dan Kramers (1956).15

Noeldeke menilai bahwa terjemahan-terjemahan al-Quran

berbahasa Jerman yang ada – paling tidak sampai ke masanya –

belum bisa menandingi terjemahan al-Quran ke dalam bahasa

Inggris.16  Penilaian Noeldeke atas terjemahan-terjemahan al-Quran

ke dalam bahasa Jerman ini barangkali tidak dapat diaplikasikan

secara sepenuhnya terhadap terjemahan Rudi Paret, Der Koran

(1966), seorang  sarjana Jerman yang menjadikan al-Quran sebagai

pusat perhatian utamanya. Terjemahan Paret muncul secara berkala

dalam empat Lieferungen (“bagian”) mulai 1963 sampai 1966 di

Stuttgart, kemudian diterbitkan secara lengkap dalam berbagai edisi.

Terjemahan ini, selain dimaksudkan untuk mengungkapkan

pemahaman al-Quran secara historis, terutama didasarkan pada

perbandingan menyeluruh atas semua contoh penggunaan

ungkapan al-Quran. sebab  itu, karya Paret menjanjikan suatu

terjemahan yang akurat dari makna-makna al-Quran sebagaimana

dipahami pendengar pertamanya. Tidak ada usaha  untuk

menerapkan analisis sturktural yang “njelimet,” dan tidak ada

catatan apapun, selain tambahan penjelasan yang ditempatkan

dalam teks terjemahan di dalam tanda kurung, dan  dalam catatan

kaki untuk terjemahan harfiah kata-kata tertentu yang dalam teks

utama diterjemahkan secara bebas demi kepentingan gaya dan 

kejelasan makna. namun , dalam edisi belakangan

(Taschenbuchausgabe, “edisi buku-saku,” 1979), selain sistem

penghitungan   ayat  al-Quran edisi  Fluegel   ditinggalkan   dan

diganti dengan   sistem penomoran ayat al-Quran edisi standar

Mesir, catatan-catatan kaki kini ditempatkan ke dalam teks. Dengan

demikian, jumlah penjelasan yang ditempatkan di dalam tanda

kurung bertambah banyak. Namun, sekalipun tidak begitu disukai

Paret, hal ini diimbangi dengan penghilangan ungkapan-ungkapan

Arab yang ditransliterasikan dalam edisi sebelumnya dan

ditempatkan dalam tanda kurung.

Andrew Du Ryer, yang pernah menjadi Konsul Perancis di

Mesir, merupakan penerjemah pertama al-Quran ke dalam bahasa

Perancis. Karya terjemahannya, L’alcoran de Mahomet translatè

d’arabe en françois, muncul dalam berbagai edisi antara 1647

sampai 1775. Setiap edisinya berisi suatu ringkasan “agama orang

Turki” – yakni Islam – dan dokumen-dokumen lainnya. namun ,

Sale menilai terjemahan ini tidak akurat, mengandung banyak

perubahan, pengurangan dan bahkan tambahan. Terjemahan ke

dalam bahasa Perancis yang lebih baik muncul setelah itu, antara

lain digarap oleh Savary (1751), Kasimirski (1840), Pauthier (1852),

Montet (1929), Blachere (1949), Mercier (1956), dan Mason (1967).

Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Inggris pertama kali

digarap oleh Alexander Ross dan terbit pada 1649. Karya ini tidak

langsung mengacu kepada teks orisinal Arab, namun  didasarkan

pada terjemahan Perancis Du Ryer. Dengan demikian, berbagai

kelemahan dalam terjemahan Du Ryer juga menimpa terjemahan

Ross. Tingkat akurasi yang lebih baik dicapai dalam terjemahan

al-Quran yang disusun George Sale, terbit pada 1734. Dalam

terjemahannya, Sale menyertakan suatu “Prawacana” (Preliminary

Discourse) berisi pemikiran-pemikiran obyektif yang ringkas

tentang Islam. Terjemahan ini didasarkan pada karya-karya para

mufassir Muslim, khususnya al-Baydlawi, dan didan i catatan-

catatan penjelasan yang singkat, berimbang dan informatif. Setelah

itu, muncul berbagai terjemahan Inggirs lainnya, seperti yang

digarap oleh Rodwell (1861), Palmer (1880), Bell (1937-1939), dan

Arberry (1953).

Terjemahan Bell, The Qur’an Translated, with a critical rear-

rangement of the Surahs, terbit dalam dua jilid, merupakan

terjemahan yang unik, sebab  usaha  penyusunnya untuk menata

ulang secara kritis materi-materi al-Quran ke dalam berbagai periode

pewahyuan. Lantaran asumsi-asumsinya tentang al-Quran, seperti

telah diutarakan dalam bab 3, Bell memilah-milah bagian-bagian

– bahkan ayat – al-Quran  ke dalam potongan-potongan kecil dalam

usaha  memberikan penanggalan atasnya. namun , usaha  ini sebagian

besarnya lebih bersifat tentatif ketimbang meyakinkan.18

Pemotongan-pemotongan yang dilakukan Bell, pada faktanya, lebih

banyak mengganggu alur terjemahan dan menyulitkan

pembacanya.

Sementara dua jilid terjemahan Arthur J. Arberry, The Koran

Interpreted (1955), dapat dipandang sebagai salah satu terjemahan

terbaik al-Quran ke dalam bahasa Inggris.19  Karya ini adalah

kelanjutan dari terbitan perdananya, The Holy Qur’an: An Intro-

duction with Selections (1953),yang merupakan suatu terjemahan

eksperimental bagian-bagian terpilih al-Quran dengan

menggunakan berbagai metode. Dalam The Koran Interpreted,

Arberry memperlakukan setiap surat sebagai suatu kesatuan di

dalam dirinya dan  memandang al-Quran sebagai suatu wahyu

yang sederhana dan konsisten. Tentang terjemahannya, yang

berusaha  menjaga keindahan ritme al-Quran sejauh mungkin,

Arberry menulis “Karakteristik paling menonjol al-Quran ini –

yakni ‘simfoni yang tidak tertirukan,’ sebagaimana orang beriman

seperti Pickthall melukiskan kitab sucinya: ‘suara terdalam yang

membuat manusia menangis dan gembira’ – hampir secara total

dikesampingkan penerjemah-penerjemah al-Quran yang sudah-

sudah.”20  Sekalipun demikian, Arberry – sehubungan dengan usaha 

pemeliharaan ritme ini  – mengakui terjemahannya merupakan

“poor echo ... of the glorious original.”21

ada  terjemahan-terjemahan al-Quran lainnya ke dalam

berbagai bahasa Eropa yang digarap beberapa  sarjana Barat. Secara

ringkas, terjemahan-terjemahan ini dapat dikemukakan sebagai

berikut:

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Rusia digarap antara

lain oleh Postnikov (1716), Veryovkin (1790), Nikolaev

(1864), Sublukov (1877), Krimskiy (1902), Krackovskiy

(1963), dan lainnya.

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Polandia digarap

oleh  Sobolewski (1828), dan Buczacki (1858).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Hungaria disusun

oleh Szdmajer (1831), menyusul terjemahan Szokolay

(1854).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Swedia digarap oleh

Crusenstolpe (1843), Tornberg (1874), Zettersteen (1917),

dan Ohlmarks (1961).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Spanyol dibuat oleh

Gerber de Robles, Ortiz de la Puebla (1872), Bergua (1931),

Cansinos Assens (1951), Vernet Gines (1953), Cardona

Castro (1965), dan lain-lain.

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Yunani oleh Pentake

(1878), dan Zographou-Meraniou (1959).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Potugis terbit

pertama kali tanpa nama penerjemah (anonim) pada 1882,

menyusul terjemahan Castro (1964).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Serbo-Kroasia

dilakukan oleh Ljubibratic (1895), Pandza dan Causevic

(1936), dan Karabeg (1937).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Bulgaria disusun

oleh Lica (1902), menyusul terjemahan Tomov dan Skulov

sekitar 1930.

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Rumania digarap

oleh Isopescul (1912).

- Terjemahan al-Quran kedalam bahasa Cheko ditulis oleh

Vesely (1913), Nykl (1934), dan Hrbek (1972).

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Denmark digarap

oleh Buhl (1921, edisi kedua 1954), dan Madsen (1967),

yang disusun secara kronologis.

- Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Finlandia ditulis

oleh ahsen Boere (1942), dan kemudian  Aro (1957).

Selain  itu, ada  beberapa  terjemahan parsial al-Quran ke

dalam bahasa Albania dan Norwegia, juga sebuah manuskrip

terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Ukraina yang digarap

Volodymyr Lezevyc. Artikel J.D. Pearson, “Bibliography of Trans-

lations of the Koran into European Languages,” dalam The Cam-

bridge History of Arabic Literatur, memberikan gambaran lengkap

tentang berbagai usaha  penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa-

bahasa Eropa yang dilakukan para sarjana Barat maupun Mus-

lim,

Dalam kaitannya dengan penyuntingan teks al-Quran, di atas

telah disebutkan usaha  rintisan yang dilakukan Marraci dari

beberapa  manuskrip al-Quran untuk tujuan penerjemahan Latin

yang dilakukannya. namun , tingkat kesarjanaan yang lebih baik

dicapai Gustav Leberecht Fluegel dalam suntingannya, Corani

Textus Arabicus (1834).24  usaha  penyuntingannya dilakukan

dengan meramu bacaan-bacaan kanonik yang tujuh dalam rangka

memperoleh suatu teks al-Quran yang relatif lancar dan mudah

dipahami. namun  lantaran harmonisasi ini, dan juga sebab 

pertimbangan terhadap kesatuan gagasan dan akhiran rima, sistem

penomoran ayat yang digunakan dalam edisi ini  berbeda dari

berbagai edisi al-Quran yang telah eksis di Barat. Bahkan  teks

edisi Fluegel  juga  relatif  berbeda dari tradisi tekstual yang ada di

dunia Islam  –  yang secara konsisten mengikuti salah satu dari

ketujuh bacaan resmi dalam penulisan al-Quran – maupun dengan

teks edisi standar Mesir. namun , seleksi berbagai bacaan dalam kiraah

tujuh yang dipraktekkan Fluegel, pada faktanya, merupakan

penerapan kembali prinsip ikhtiyãr dalam kiraah dari periode klasik

Islam yang, dalam perjalanan sejarah Islam, telah mengalami proses

pemiskinan konseptual dan bisa dikatakan selesai setelah penerbitan

al-Quran edisi standar Mesir pada 1923. Fluegel juga menyertakan

semacam indeks untuk edisi al-Qurannya, Concordantiae Corani

Arabicae, yang diterbitkan secara terpisah pada 1842.

Kedua karya Fluegel di atas memiliki pengaruh yang merata

di kalangan sarjana Barat hingga beberapa dekade setelah penerbitan

al-Quran edisi standar Mesir. namun , dominasinya mulai menyurut

pada penghujung abad ke-20, saat  edisi standar Mesir memperluas

pengaruhnya ke Barat dan menggantikan peran edisi Fluegel sebagai

rujukan satu-satunya di belahan dunia ini , sebagaimana halnya

di sebagian besar dunia Islam.

Tabel berikut memperlihatkan perbedaan sistem penomoran

ayat dalam teks Fluegel dari sistem penomoran ayat edisi al-Quran

Mesir, yang sekaligus berfungsi sebagai tabel konversi ayat untuk

kedua teks ini :

Tabel Perbandingan dan Konversi

Ayat Teks Fluegel dan Teks Mesir

     No. Surat                 Nama Surat                     Nomor Ayat                Nomor Ayat

                                                                        Teks Fluegel                 Teks Mesir

1 al-Fãtihah 1-6 + 1

2 al-Baqarah 1-19 + 1

19-38 + 2

38-61 + 3

61-63 + 4

63-73 + 5

73-137 + 6

138-172 + 5

173-212 + 4

213-216 + 3

217-218 + 2

219-220 + 1

236-258  - 1

259-269  - 2

270-273  - 3

273-274  - 2

274-277  - 1

3 Ãli ‘Imrãn 1-4 + 1

4-18 + 2

19-27 + 1

27-29 + 2

29-30 + 3

30-31 + 4

31-34 + 5

43-44 + 6

44-68 + 7

69-91 + 6

92-98 + 5

99-122 + 4

122-126 + 5

126-141 + 6

141-145 + 7

146-173 + 6

174-175 + 5

176-179 + 4

180-190 + 3

191-193 + 2

194 + 1

196-198 + 1

    4 al-Nisã’ 3-5 + 1


7-13  -1

14  -2

15  -3

16-29  -4

30-32  -5

32-45  -4

45-47  -3

47-48  -2

49-70  -3

70-100  -2

100-106  -1

118-156 +1

156-170 +2

171-172 +1

174-175 +1

5 al-Mã’idah 3-4  -1

5-8  -2

9-18  -3

18-19  -2

20-35  -3

35-52  -4

53-70  -5

70-82  -4

82-88  -3

88-93  -2

93-98  -1

101-109 +1

6 al-An‘ãm 66-72 +1

136-163  -1

7 al-A‘rãf 1-28 +1

28-103 +2

103-131 +3

131-139 +4

140-143 +3

144-146 +2

147-157 +1

166-186 +1

191-205 +1

8 al-Anfãl 37-43  -1

44-64  -2

64-76  -1

9 al-Tawbah 62-130 - 1

10 Yûnus 11-80 - 1

11 Hûd 6  -1

7-9  -2

10-22  -3

22-54  -2

55-77  -3

77-84  -2

84-87  -1

88-95  -2

96-99  -3

99-120  -2

120-122  -1

12 Yûsuf 97-103  -1

13 al-Ra‘d 6-18  -1

28-30 +1

14 Ibrãhîm 10-11  -1

12-13  -2

14-24  -3

25-26  -4

27-37  -5

37  -4

37-41  -3

41-42  -2

42-45  -1

46-47  -2

47-51  -1

15 al-Hijr Identik  Identik

16 al-Nahl 22-24  -1

25-110  -2

110-128  -1

17 al-Isrã’ 10-26  -1

27-48  -2

49-53  -3

53-106  -2

106-108  -1

18 al-Kahfi 2-21 +1

23-31 +1

31-55 +2

56-83 +1

83-84 +2

85-97 +1

19 Maryam 1-3 +1

8-14  -1

27-76  -1

77-78  -2

79-91  -3

91-93  -2

93-94  -1

20 Thã-hã 1-9 +1

16-34  -1

40-41  -1

42-63  -2

64-75  -3

75-79  -2

80-81  -3

81-88  -2

89-90  -3

90-94  -2

94-96  -1

106-115 +1

115-121 +2

122-123 +1

21 al-Anbiyã’ 29-67  -1

22 al-Hajj 19-21  -1

26-43 +1

43-77 +1

23 al-Mu’minûn 28-34  -1

35-117  -2

117  -1

24 al-Nûr 14-18 +1

44-60 +1

25 al-Furqãn 4-20  -1

21-60  -2

60-66  -1

26 al-Syu‘arã’ 1-48 +1

228  -1

27 al-Naml 45-66  -1

67-95  -2

28 al-Qashash 1-22 +1

29 al-’Ankabût 1-51 +1

30 al-Rûm 1-54 +1

31 Luqmãn 1-32 +1

32 al-Sajdah 1-9 +1

33 al-Ahzãb 41-49 +1

34 Saba’ 10-53 +1

35 Fãthir 8-20  -1

20-21 +1

21-25 +2

25-34 +3

35-41 +2

42-44 +1

36 Yã-Sîn 1-30 +1

37 al-Shãffãt 29-47 +1

47-100 +2

101 +1

38 Shãd 1-43 +1

76-85 +1

39 al-Zumar 4  -1

5-9  -2

10-14  -3

14-19  -2

19-63  -1

40 al-Mu’minûn 1-2 +1

19-32  -1

33-39  -2

40-56  -3

56-73  -2

73-74  -1

41 Fushshilat 1-26 +1

42 al-Syûrã 1-11 +2

12-31 +1

31-42 +2

43-50 +1

43 al-Zukhruf 1-51 +1

44 al-Dukhãn 1-36 +1

45 al-Jãtsiyah 1-36 +1

46 al-Ahqãf 1-34 +1

47 Muhammad 5-16  -1

17-40  -2

48 al-Fath Identik Identik

49 al-Hujurãt Identik Identik

50 Qãf 13-44 +1

51 al-Dzãriyãt Identik Identik

52 al-Thûr Identik Identik

53 al-Najm 27-58  -1

54 al-Qamar Identik Identik

55 al-Rahmãn 1-16 +1

56 al-Wãqi‘ah 22-46 +1

66-91 +1

57 al-Hadîd 13-19 +1

58 al-Mujãdalah 3 - 21  -1

59 al-Hasyr Identik Identik

60 al-Mumtahanah Identik Identik

61 al-Shaff Identik Identik

62 al-Jumu‘ah Identik Identik

63 al-Munãfiqûn Identik Identik

64 al-Tagãbun Identik Identik

65 al-Thalãq Identik Identik

66 al-Tahrîm Identik Identik

67 al-Mulk Identik Identik

68 al-Qalam Identik Identik

69 al-Hãqqah Identik Identik

70 al-Ma‘ãrij Identik Identik

71 Nûh 5-22 +1

26-29 +1

72 al-Jinn 23-26  -1

73 al-Muzzammil Identik Identik

74 al-Muddatstsir 32  -1

33  -2

34-41  -3

41-42  -2

42-51  -1

54-55 +1

75 al-Qiyãmah Identik Identik

76 al-Insãn Identik Identik

77 al-Mursalãt Identik Identik

78 al-Naba’ 41  -1

79 al-Nãzi‘ãt Identik Identik

80 ‘Abasa 15-18 +1

81 al-Takwîr Identik Identik

82 al-Infithãr Identik Identik

83 al-Muttaffifîn Identik Identik

84 al-Insyiqãq Identik Identik

85 al-Burûj Identik Identik

86 al-Thãriq Identik Identik

87 al-A‘lã Identik Identik

88 al-Gãsyiyah Identik Identik

89 al-Fajr 1-14 +1

17-25  -1

90 al-Balad Identik Identik

91 al-Syams Identik Identik

92 al-Layl Identik Identik

93 al-Dluhã Identik Identik

94 Alam nasyrah Identik Identik

95 al-Tîn Identik Identik

96 al-‘Alaq Identik Identik

97 al-Qadr Identik Identik

98 al-Bayyinah 2-7 +1

99 al-Zalzalah Identik Identik

100 al-‘Ãdiyat Identik Identik

101 al-Qãri‘ah 1-5 +1

5-6 +2

6-8 +3

102 al-Takãtsur Identik Identik

103 al-‘Ashr Identik Identik

104 al-Humazah Identik Identik

105 al-Fîl Identik Identik

106 Quraisy 3 +1

107 al-Mã‘ûn Identik Identik

108 al-Kawtsar Identik Identik

109 al-Kãfirûn Identik Identik

110 al-Nashr Identik Identik

111 al-Masad Identik Identik

112 al-Ikhlãsh Identik Identik

113 al-Falaq Identik Identik

114 al-Nãs Identik Identik

Keterangan:

Hanya perbedaan dalam penomoran ayat yang dikemukakan dalam tabel di atas. Kolom ketiga menyajikan

nomor ayat dalam teks al-Quran edisi Fluegel. Nomor ayat yang berbeda dalam edisi Mesir diperoleh

dengan menambahkan (+) atau mengurangkan (-), seperti ditunjukkan. Contohnya, surat 1:1 edisi Fluegel

sama dengan surat 1:2 dalam edisi Mesir, yakni diperoleh dengan menambahkan satu (+1) ayat. Pada titik-

titik peralihan ayat, penambahan atau pengurangan hanya diterapkan pada suatu bagian ayat dalam salah

satu dari kedua edisi al-Quran ini .

Rencana yang lebih ambisius untuk menyiapkan edisi kritis

al-Quran kemudian dicanangkan oleh Gotthelf Bergstraesser,

Arthur Jeffery dan Otto Pretzl.26  Pada 1926, Jeffery dan Bergstraesser

mencapai kata sepakat untuk berkolaborasi dalam rencana besar

menyiapkan arsip bahan-bahan yang suatu saat  akan

memungkinkan penulisan sejarah perkembangan teks al-Quran.

Sebagai salah satu tahap pelaksanaan rencana besar ini adalah

penerbitan edisi teks al-Quran dengan apparatus criticus yang

mengungkapkan himpunan berbagai varian tekstual yang

dikumpulkan dari kitab-kitab tafsir, leksika, kitab-kitab kiraah, dan

sumber-sumber lainnya. namun , mendadak Bergstraesser wafat, dan

Pretzl – pelanjut Bergstraesser di Muenchen – mengambil alih

tanggung jawabnya dalam pelaksanaan rencana ini . Pretzl telah

mulai mengorganisasi arsip yang dibutuh oleh Komisi al-Quran,

yang dibentuk oleh Akademi Bavaria atas prakarsa Bergstraesser,

dan telah menghimpun beberapa  besar salinan fotografis

manuskrip al-Quran beraksara kufi yang awal dan karya-karya awal

tentang kiraah yang belum diterbitkan. Di sisi lain, Jeffery juga

telah menghimpun beberapa  bahan dari masa awal Islam dan

menelusuri berbagai varian bacaan dalam karya-karya klasik.

Bahan-bahan yang dikumpulkan ketiga sarjana diatas

sebagiannya telah mulai diterbitkan. namun , perang Dunia ke-2,

yang meluluhlantakkan Jerman dan membagi negeri itu menjadi

dua, telah memporak-porandakan rencana besar ketiga sarjana

ini . beberapa  besar bahan yang dengan susah payah telah

dihimpun, musnah dihajar bom-bom Sekutu. Sampai wafatnya

Pretzl dan Jeffery, rencana ambisius penerbitan edisi kritis al-Quran

tidak pernah terlaksana.

Sekalipun manuskrip-manuskrip lama kini mudah didapatkan,

yang tentunya akan menjustifikasi rencana edisi kritis al-Quran,

namun  tidak satu pun sarjana Barat yang berminat melanjutkannya.

Gerd-R. Puin mengemukakan secara implisit kemungkinan

pelaksanaan rencana ini . Menurutnya, sekalipun suatu

himpunan lengkap varian bacaan al-Quran tidak akan

menimbulkan suatu terobosan dalam kajian-kajian al-Quran, namun 

himpunan ini akan mengungkapkan tahapan-tahapan ortografi

al-Quran dan tulisan Arab.27  Bisa ditambahkan bahwa penerimaan

umum sarjana Barat terhadap al-Quran edisi standar