tuk menguji validitas ke wah yuanAl- Qur’an ini. Kelompok pertama adalah mereka yang mengguna kan pendekatan historisisme
dan kelompok kedua adalah mereka yang memakai pendekatan
fenomenologis.
Historisisme adalah satu kepercayaan bahwa kebenaran, arti
dan nilai sesuatu harus ditemukan dalam konteks sejarah nya.
Menurut Meinecke, tugas utama historisisme adalah mencari kausalitas atau apa yang menjadi penyebab suatu peristiwa.5
Pembuktianpembuktian historisis me sering mencari landasan pada teori
psiko analisa, misal nya teori unconciousness-nya Freud. Dengan
me minjam teori ini, historisisme sering menyimpulkan bahwa tradisi, adat, bahasa dan institusi manusia adalah produk dari collective unconciousness, karena itu, untuk memahami adat, bahasa
dan tradisi tersebut harus menyertakan aspek sejarah nya.6
Lebih
jauh apabila dikaitkan dengan agama atau wahyu maka historisisme bisa menympulkan bahwa asal-usul wahyu itu bukan dari
realitas transenden yang tak terjangkau (Tuhan) tetapi dari sublimasi
sosialdan juga psikologis manusia.
Dengan memakai paradigma historisisme, ditambah dengan
“visi dan misi” tertentu, beberapa diantara orientalis menyimpulkan bahwa Al-Qur’an bukanlah wahyu, tetapi merupakan ciptaan Muhammad yang diambil dari ki tab suci sebelumnya serta
pengalaman psikologisnya sendiri. Beberapa di antaranya bahkan
menganggap bahwa Muhammad sebenarnya mengidap penyakit jiwa tertentu. Ada pula yang menganggap bahwa Muhammad
ber ilusi menerima wahyu sebagai akibat dari kekecewaannya ketika kerabatnya cenderung berkosentrasi mengumpulkan
kekayaan dan berebut kekuasaan, sementara hampir semua anggota masya rakat saat itu mengalami degradasi moral. Menghadapi
semua ini, terjadilah kekacauan dalam jiwa Muhammad.Historisisme berpendapat bahwa wahyu bukan suatu peristiwa super -natural tetapi merupakan peristiwa natural. Dengan
kata lain, wahyu bukan bersumber “dari luar” Muhammad tetapi
merupakan ide-ide yang ditemukan dari dirinya sendiri kemudian disabdakan; dengan bahasa yang lebih ilmiah dapat dikatakan bahwa wahyu merupakan ‘penge tahuan intuitif’ dari seorang Muhammad. Bahkan beberapa orientalis menyatakan bahwa
sebenar nya Muhammad sekedar meng-“imitasi” nabi-nabi terdahulu, ajaran-ajaran terdahulu, baik dari tradisi Kristen, Yahudi,
maupun dari kitab-kitab terdahulu semisal Perjanjian Lama.8
Sementara itu pendekatan fenomenologis ketika melakukan
kajian terhadap fenomena agama dan keberagamaan tidak melihat aspek- aspek eksternalnya saja sebagaimana dalam historisisme, tetapi berusaha mengamati dimensi internalnya. Lebih jauh
sebagaimana dasar filosofinya, fenomenologi berusaha menyingkap esensi dan makna fenomena ke agamaan. Fenomenologi berusaha menghilangkan prasangka-prasangka ketika meneliti atau
mengkaji sesuatu untuk sampai kepada esensi.9
Secara umum, biasanya pendekatan fenomenologis yang
dilakukan oleh para orientalis dalam analisis mereka terhadap
kerasulan Muhammad dan kewahyuan Al-Qur’an cenderung
ber nada positif. Corak fenomenologi yang banyak digunakan para
Islamolog Barat biasanya adalah fenomenologi deskriptif, dimana
mereka tidak menggunakan intui si yang dipan dang subyektif, tetapi didasarkan kepada fakta-fakta empirik. Dengan pendekatan
ini Boisard sampai kepada kesimpulan akan kebenaran Al-Qur’an dan ke nabian Muhammad berdasarkan fakta-fakta empi rik.10
Dengan pendekatan yang sama pula Smith membuktikan kebenaran Al-Qur’an secara empirik didasarkan kepada peranan AlQur’an yang mampu membentuk se mangat religius bagi masyarakat yang mengimaninya; meskipun kemudian Smith agak nya
juga melakukan intervensi emosional dengan menyatakan bahwa
Al-Qur’an tergolong wah yu umum yang derajatnya lebih rendah
apabila dibandingkan dengan wahyu khusus, yaitu Yesus Kristus
sendiri. Lebih lanjut Smith menyimpul kan bahwa Al-Qur’an adalah
wahyu atau firman Tuhan bagi yang mengimani dan bukan firman
Tuhan bagi yang tidak mengimani.11
Keberadaan pendekatan historisisme maupun pendekatan
fenomeno logis yang dilakukan oleh para orientalis tersebut jelas
meng undang pro- kontra, bahkan mungkin juga konflik. Apabila
diasumsikan sebagai “obyektif’ se kalipun, segala jenis perspektif dalam dunia ilmiah pasti mengimplikasikan sebentuk “reduksi”. Historisisme mereduksi fenomena kenabian dan pewahyuan
sebagai sekedar entitas sejarah belaka, sementara fenomenologi
me reduksi nya sebagai entitas natural- subyektif saja. Lain dari itu
posisi para orientalis sebagai outsider dipandang kurang mampu
menyelami secara intensif dimensi—meminjam istilah Husserl—
lebenswelt, yaitu pengalaman hidup yang dihayati sebelum orang
mendeskripsikan dunia secara positivistik.
Relasi Al-Qur’an, Muhammad dan Umatnya
Sebagaimana dijelaskan dimuka, persoalan pewahyuan AlQur’an adalah peristiwa subyektif yang hanya bisa dipahami oleh
yang meng alami langsung, sebagaimana peristiwa serupa seperti ilham, intuisi, instinkmaupun imajinasi.12 Orang yang tidak
mengalami langsung hanya bisa memahami tanda -tanda atau
juga dampak dan pengaruh serta hasil dari peristiwa yang dimaksud. Dari titik ini, mau atau tidak harus ditegas kan bahwa
pertanyaan “apakah Muhammad benar-benar menerima wah yu?”
atau pertanyaan “apakah Muhammad tidak melakukan modifi kasi
atau manipulasi dalam me nyampaikan wahyu” jawaban pastinya
tidak berada dalam wilayah rasional-verifikatif, tetapi lebih berada
dalam wilayah “ke imanan”. Pandangan Immanuel Kant mungkin
relevan dipakai sebagai kerangka dari “jawaban keimanan” ini,
karena menurut Kant, entitas- entitas religius dan misterius yang
mewarnai semesta agama dan keberagamaan adalah entitas yang
tidak mungkin bisa tergarap tuntas oleh rasio manusia. Bisa saja
manusia melakukan analisis atau justifikasi rasional, namun betapapun analisis atau justifikasi tersebut hanya akan berujung kepada per nya taan yang spekulatif dan tentatif: bisa “ya”, bisa “tidak”.
Orang bisa membangga kan kedalaman analisis dan justifikasi rasionalnya terhadap agama, namun pasti analisis dan justifikasi
tersebut “tidak tanpa ke lemahan”. Oleh karena itu, menurut Kant,
lebih bijaksana apabila manusia meyediakan ruang khusus dalam
dirinya untuk sesu atu yang bernama “keimanan” ini. Ringkasnya
dapat disimpulkan bahwajawaban bagi pertanyaan ‘apakah AlQur’an itu benar-benar wahyu dari Allah kepada Muhammad’
sangat ter gantung kepada asumsi dan pendiri an awal yang menjawab, yaitu apakah dia “beriman” atau tidak.
Yang bisa diakses oleh Umat Islam pada saat ini jelas ha nya
Al-Qur’an yang saat ini sudah terkodifikasi dalam satu mushaf,
yaitu mushaf usmani.13 Kenyataan ini mengimplikasikan satu ke
nyataan lain, yaitu betapapun pemahaman setiap muslim terhadap
Al-Qur’an tidak mengijin kan klaim bahwa pemahaman tersebut
adalah “sebagaimana yang dikehendaki Allah”. Klaim transendental seperti itu menutupi fakta bahwa tidak seorang pun mampu
mengakses secara vertikal hubungan antara Muhammad dengan
Allah dalam peristiwa pewahyuan. Tentang hal ini cukup menarik
apabila dicermati bahwa dalam hampir setiap Ulama’ mufassir dari
generasi salaf dan khalaf, ketika mereka menafsirkan Al-Qur’an,
selalu menutup dengan kalimat “wallahu a’lam bi al-shawab” untuk
menunjukkan bahwa apa yang mereka tafsirkan dari Al-Qur’an adalah sebuah upaya manusiawi yang bernilai tentatif dan tidak selalu
sejalan dengan yang dikehendaki oleh Allah.14
Diskusi yang lebih rumit terjadi sebenarnya terjadi dalam
pembacaan dan penyikapan umat Islam terhadap Muhammad
sendiri. Kedudukan Muhammad yang ganda, sebagai Nabi dan
juga sebagai manusia biasa, melahirkan penafsiran yang sangat beragam di kalangan umat Islam sendiri tentang sejauh mana dan
dalam hal apa saja perilaku dan perkataannya harus diikuti. Secara
hermeneutis diasumsikan bahwa betapapun setiap yang namanya
manusia adalah “historis”, dalam arti pola pikir dan pola perilakunya pasti ditentukan oleh latar belakang kesejarah an dimana
dia hidup, baik dalam dataran sosial-budayanya maupun dalam
dimensi psikologisnya. Karena Muhammad juga “manusia biasa”, berarti segala ekspresi kata dan lakunya juga dibentuk oleh
determinasi sejarahnya yang pasti tidak bisa diterjemahkan begitu
saja secara harafiyah ke dalam segala konteks ruang dan waktu.
Dari perspektif ini akan muncul pertanyaan “apakah tidak mung kin
eksistensi Muhammad sebagai manusia yang menyejarah ‘mereduksi’ penyampaian pesan- pesan wahyu yang diterimanya sesuai dengan konteks historis kehidupannya?”. Pertanyaan ini bisa
muncul dengan variasi yang agak berbeda, yaitu “apakah ketika Allah menurunkan wahyu —meskipun isi pesannya bermuatan universal— menyesuaikan dengan eksistensi Muhammad dan
konteks historis dimana wahyu itu diturunkan agar wahyu bisa
dipahami?”.15
Dalam tradisi pemikiran umat Islam secara umum, biasanya
yang berasal dari Muhammad dipilah menjadi dua, yaitu Al-Qur’an
sendiri dan Al-Sunnah Al-Nabawiyah. Kedua hal ini sama-sama
berasal dari Nabi, namun ber beda status dan fungsi. Kalau AlQur’an telah jelas kedudukan dan fungsi nya, yaitu sebagai dasar
normatif pertama di kalangan umat Islam, sementara Sunnah pada
dasarnya adalah aplikasi Muhammad terhadap Al-Qur’an yang
diterjemahkannya ke dalam bahasa kata, perilaku dan tindakan.16
Perilaku Muhammad bagi umat Islam merupakan teladan terbaik
dalam pengaplikasian Al-Qur’an, sehingga status sunnah pun
akhirnya menjadi sumber normatif kedua setelah Al-Qur’an.
Mengenai pembedaan antara fungsi Nabi sebagai panutan
melalui dua jalur yang berbeda ini, Ata’ al-Sid dalam disertasinya
menyatakan bahwa dalam hal ini pribadi Muhammad hendaknya dipilah menjadi dua, yaitu Muhammad sebagai spokesman
of God ketika dia menyampaikan al-Qur’an dan Muhammad sebagai dasein17 ketika dia mengekspresikan dan mengaplikasikan
Al-Qur’an dalam kehidupan nyata.18 Sebagai Spokesman of God, Muhammad berfungsi sekedar menyampaikan apa yang diterimanya, tidak kurang dan tidak lebih. Dalam gambaran kasar mungkin bisa diibaratkan sebagai speaker yang hanya mem bunyikan
apa yang masuk ke dalam dirinya. Dalam istilah hassan Hanafi,
Muhammad ketika menerima dan menyampaikan wahyu berada
dalam neutral conciousness, kesadaran netral.19
Adapun sebagai dasein, maka Muhammad adalah manusia
biasa yang “historis”. Segala ekspresi kata dan perilaku nya adalah
kontekstual, meskipun kebenaran dan kebaikan yang terkan dung
dibalik kata dan perbuatannya tersebut bernilai univer sal, sebagai
implikasi universalitas Risalah dan Al-Qur’an yang diaplikasikan itu sendiri. Apalagi secara normatif diyakini bahwa seorang
Muhammad adalah ma’shum dan tindak-lakunya senantiasa dibawah kontrol langsung dari Allah agar tidak kontra-produktif
dengan misi Risalah yang harus disampaikannya.
Sampai disini dapat dikatakan bahwa pertanyaan tentang
kemung kinan intervensi Muhammad terhadap penyampaian AlQur’an bisa terjawab, namun masih tersisa persoalan keberadaan
Muhammad sebagai dasein yang historis. Di satu sisi, Muhammad
adalah manusia biasa yang perilakunya terbentuk dan terpola oleh
determinasi-determinasi sejarah dimana dia hidup, sehingga sifatnya lokal dan kontekstual; namun di sisi lain, perilaku Muhammad
yang kemudian disebut Al-Sunnah Al-Nabawiyah itu merupakan
teladan terbaik dalam mengaplikasikan Al-Qur’an, karena jelas
Muhammadlah yang paling tahu maksud dari wahyu, karena dia
sendiri yang menerima wahyu secara langsung. Di satu sisi, dimensi lokal dan kontekstual dari perilaku Muhammad jelas tidak
mung kin untuk diaplikasikan sepenuhnya secara universal di segala
ruang dan waktu; sementara di sisi lain seorang muslim, kapan pun
dan di mana pun, bertanggung jawab untuk menerjemah kan AlQur’an dalam kehidupannya dengan mengikuti cara Muhammad
menerjemahkan dalam kehidupannya yang lokal dan kontekstual,
karena perilaku Muhammad tersebut adalah teladan terbaik.
Diskusi tentang problematika Al-Sunnah Nabawiyah ini pun
ke mudian bergeser menjadi diskusi tentang “Arabisme” dan
“Islamis me”; manakah dalam perilaku Muhammad yang tergolong
“Arab” sehingga sifatnya kontekstual dan tidak harus diikuti, dan
mana perilaku yang termasuk “Islam” sehingga harus dipatuhi.
Tafsir terhadap tema kajian ini telah melahirkan berbagai pandangan dan bahkan tak jarang membuahkan konflik. Secara umum
pandangan umat Islam terhadap problematika ini dapat dikatakan
terbelah menjadi dua tipe, yaitu tipe “holistika” dan tipe “subtansialis”.
Menurut pandangan holistika, semua tindak perilaku Muhammad
harus diikuti, karena jelas dia adalah representasi terbaik dalam
menerjemahkan Al-Qur’an dalam kehidupan. Kepatuhan terhadap
tindak perilaku Muhammad ini harus di upayakan secara maksimal
dan “sedekat mungkin” (secara harafiyah), meskipun tentu saja
keterbatasan ruang dan waktu membuat tidak semua teladan dari
Nabi bisa ditiru; namun jika memang “mungkin” untuk ditiru, tidak
ada alasan untuk tidak mengikuti contoh dari Nabi. Dalam pandangan kelompok ini, tidak hanya dalam urusan Ibadah vertikal,
bahkan dalam wilayah sosial, budaya, politik, bahkan jika mungkin
juga otonomi-otonomi subyektif kemanusiaan, seperti pilihan baju,
pemeliharaan jenggot dan lain sejenisnya. Tentu saja bagi kelompok ini, ada hirarki nilai antara kepatuhan liturgis peri badatan yang
wajib dengan pilihan-pilihan subyektif yang sifatnya “keutamaan”
saja. Meskipun demikian bagi kelompok ini tetap saja lebih utama
mereka yang dalam hidupnya berusaha secara total mengikuti
Muhammad dalam segala aspek, dibandingkan yang tidak mengikuti. Ringkasnya, bagi kelompok ini pemilahan antara “Arabisme”
dan “Islamisme” itu tidak relevan apabila dihubungkan de ngan
kepatuhan kepada Muhammad sebagai teladan bagi seluruh umat
Islam. Semua yang berasal dari Muhammad pasti tidak menyalahi
kehendak Allah, karena dia selalu berada dibawah kontrol Allah.
Oleh karena itu, jalan yang pa ling aman agar tidak me lenceng dari
jalan Allah adalah dengan mengikuti apapu nyang telah dilakukan
oleh Muhammad dalam segala dimensinya.
Sementara itu bagi kelompok subtansialis tidak semua
yang berasal dari Muhammad itu bernilai “harus diikuti”. Pada
dataran tata hubungan vertikal melalui ibadah-ibadah resmi memang Muhammad seratus persen harus di teladani secara harafiyah; namun pada dataran manusiawi ketika Muhammad mengekspresikan dirinya sebagai manusia biasa, sebagai seorang ayah,
suami, teman, panglima perang, dan lain sejenisnya, eks presi kemanusiaan Muhammad terikat oleh konteks historis kehidupan nya
sendiri, sehingga tidak harus diikuti secara harafiyah apa adanya.
Bahwa semua yang dilakukan oleh Muhammad itu benar dan
baik karena dia selalu dalam kontrol Allah, memang demikianlah
adanya, namun eks presi nilai kebenaran dan kebaikan tersebut
oleh Muhammad dalam kehidupannya ditentukan oleh “lingkungan hidup” dimana Muhammad tinggal. Oleh karena itu bagi
kelompok ini, yang harus diikuti dari seorang Muhammad adalah
nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung dibalik eks presi
atau perilaku manusiawinya. Sebagai contoh, nilai ke benaran dan
kebaikan dibalik jubah atau gamis yang dipakai oleh Muhammad
adalah menutup aurat-menjaga kehormatan, maka yang wajib diikuti
dari Muhammad dalam hal ini adalah aspek menutup aurat- menjaga
kehormatan-nya, bukan memakai jubahnya. Hal yang sama bisa
dikiaskan dengan segala perilaku manusiawi Muhammad yang
lain, seperti cara berdagang, strategi perang, sikap terhadap isteri
dan lain sebagainya.
Dalam “ruang publik” —meminjam istilah Habermas— dua
kelompok pandangan yang agak bersebarangan ini sering kali
mengalam kebuntuan -kebuntuan ketika mengupayakan titik temu.
Perebutan wacana diantara dua kelompok tersebut seringkali berakhir dengan konflik, apalagi ketika intervensi “kekuasaan” dan
“kepentingan” turut menyela obyektifitas diskusi. Kepentingan yang
dimaksud biasanya dalam bentuk kepentingan untuk mempertahankan status quo oleh kelompok tertentu agar tidak kehilangan
otoritas akan pengu a sa an makna dalam praksis keberagamaan.
Fenomena “kepentingan” ini jelas muncul dari kedua kelompok, dan hal semacam ini sebenarnya bukan sesuatu yang aneh,
bahkan seringkali sifatnya niscaya, sebagaimana analisis Michel
Foucault.
Apabila dicermati, sebenarnya pilihan apapun, baik pilihan
holistik mau p u n substantif, memiliki rasionalitasnya sendiri, dan
bukan sesuatu yang patut sangat digelisahkan. Tuduhan “terbelakang” dan “terasing dari realitas ruang dan waktu” oleh kelompok subtansialis terhadap kelompok holistik harus di kata kan tidak
pada tempatnya, karena bisa dilihat secara nyata, kelompok holistik tersebut dalam realitas kehidupannya bukanlah isolated people
yang tidak menerima kemajuan peradaban, baik dari aspek ilmu
penge tahuan, teknologi, budaya bahkan politik. Keberadaan mereka yang mampu ber kompetisi secara ketat dengan berbagai
kalangan dalam peradaban abad-21 ini setidaknya merupakan
bukti bahwa tidak pada tempatnya kalau mereka ini dianggap
berperan dalam menghentikan laju progresifitas umat Islam dalam
meng upaya kan kemajuan peradaban Islam.
Sementara itu tuduhan “melenceng” dan “menyeleweng”
dari tunt u n a n Islam yang sering dituduhkan oleh kelompok holistik kepada kelompok subs tantif sebenarnya juga kurang tepat.
Sebagaimana di tegaskan dimuka, dalam dimensi liturgis-vertikal
(‘Ibadah) sebenarnya kedua kelompok ini sama-sama meyakini “kepatuhan-harafiyah” sebagaimana yang dicontohkan oleh
Muhammad, dan jelas tidak ada persoalan di sini. Perbedaan pandangan yang terjadi diantara kedua kelompok ini secara umum
hanya lah dalam hal penyikapan terhadap perilaku individual-sosialbudaya-politik Muhammad. Pada prinsipnya, kedua kelom pok se tuju
bahwa dalam dimensi ini pun Muhammad juga harus di teladani;
hanya saja kelompok holistik berpendapat bahwa kepatuhan itu
haruslah harafiyah, dalam arti sedapat mungkin “meniru” apa yang
di lakukan oleh Muhammad “lahir-batin”. Sementara kelompok
subtantif berpandangan bahwa dalam dimensi ini, yang harus diteladani dari seorang Muhammad adalah “nilai keislaman” yang berada di balik perilaku individual- sosial-budaya-politik Muhammad
tersebut, dan bukannya aspek lahiriyah nya yang merupakan ekspresi manusia wi ala “Arab”, karena Muhammad adalah “seorang manusia Arab”. Memaksakan diri mengikuti aspek lahiriyahharafiyah dari perilaku Muhammad ini hanya akan membawa seorang muslim terjebak dalam ke terasingan ruang dan keterasingan
waktu dimana dia hidup; dan keterasingan ini akan berimplikasi kepada ketidakmampuan mengelola dan meng optimalkan pemanfaatan berbagai potensi individu- sosial-budaya-politik yang
dimiliki demi meng ikuti pilihanindividu-sosial-budaya-politik dari
ruang dan waktu yang jauh, yaitu Arab masa Muhammad.
Baik paradigma holistika maupun subtansialis keduanya
ada lah pilihan- pilihan hi dup setelah prinsip-prinsip dasar ke beraga maan tertentu ditaati. Perbedaan tafsir se yogyanya menjadi
kekayaan bagi khazanah peradaban Islam, dan kekayaan khazanah tentunya akan memperkokoh posisi Islam dalam peradaban. Dengan asumsi ini tentunya sikap yang paling awal harus dihindari adalah klaim kebenaran kelompoknya sendiri dan
menyalahkan kelompok yang lain. Perebutan wacana dalam ruang publik adalah sebuah keniscayaan demi perkembangan taraf
hidup ke arah yang lebih baik, namun perebutan klaim dengan
sikap “mau benarn ya sendiri” biasanya hanya akan menghadirkan
konflik dan akan berakhir kontra-produktif secara sosial-budaya,
bahkan politik.
Pergumulan intelektual, perebutan wacana, diskusi, perde batan, perbedaan pandangan, keragaman ekspresi dan lain
sejenis nya sebenar nya menunjuk kan dinamika berpikir dan berperilaku Umat. Dinamika ini pada gilirn nya akan memberikan
kontri busi bagi lahirnya sebuah peradaban Islam yang religius,
ilmiah, sekaligus kritis. Potensi dan kesempatan untuk memulai lahirnya peradaban semacam itu sebenarnya sejak awal te lah
terbu ka lebar dengan kebaradaan dua sumber normatif Islam, AlQur’an dan Sunnah, yang interpretable, terbuka bagi ke ragaman
perspektif dan memiliki daya adaptabilitas yang tinggi apabila
dihadap kan dengan keberagaman realitas. Dalam istilah Nasr Abu
Zayd, Al-Qur’an adalah sebuah teks yang memiliki nilai vitalitas
yang tinggi karena kemam puannya untuk diinterpretasikan dalam rangka menjawab apapun problematika ruangdan waktu, kapan
pun dan dimana pun.
Interaksi antara Al-Qur’an dan Muhammad dan juga antara umat
Islam dengan Al-Qur’an dan Sunnah pada dasarnya adalah sebuah interaksi yang mengandaikan adanya otoritas dan humanitas.
Otoritas Al-Qur’an yang secara verbatim didiktekan Allah kepada
Muhammad berhadapan dengan humanitas Muhammad yang harus menerj emahkan kandung an Al-Qur’an dalam kehidupan nya.
Otoritas Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman utama Umat
Islam berhadapan dengan humanitas umat Islam sendiri dalam
mengelola dan menerjemahkannya dalam kehidupan.
Otoritas belaka yang tidak berdialog dengan humanitas hanya
akan menghasilkan dua hal, yaitu otoritas yang diam dan tidak
berfungsi, atau hege moni dan penindasan humanitas atas nama
otoritas yang berarti“pemaksaan”. La Ikraha Fid Din. Hegemoni
dan penindasan ini jelas ber lawanan dengan visi rahmatan lil ‘alamin yang dibawa oleh Islam. “Agama Untuk Manusia, bukan
sebaliknya,” demikian teriak para teolog pembebasan kontemporer. Di sisi lain, jika humanitas belaka yang dibiar kan merajalela
tanpa kendali otoritas, maka chaos akan segera terjadi, karena
secara naluriah manusia cenderung mencari “enaknya sendiri dan
senang nya sendiri”; sehingga bisa dipastikan apabila dibiarkan
saja kehidupan ini tanpa norma pengatur yang memiliki otoritas
maka tidak lama kemudian peradaban manusia akan jatuh pada
titiknya yang terendah. Dialektika otoritas dan humanitas, otoritas mempertimbangkan humanitas dan humanitas memedomani
otoritas; dengan asumsi inilah kiranya bisa diharapkan kehidupan
ideal yang dicita-citakan akan bisa terwujud.
dalah Khaled Abou El-Fadl, seorang profesor hukum Islam
di Fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat. Lulusan Yale
dan Princeton—sebelumnya menggeluti studi keIslaman di
Kuwait dan Mesir—ini piawai menguraikan nilai-nilai Islam klasik
dalam konteks modern. Ia disebut-sebut sebagai “an enlightened paragon of liberal Islam”, selain penulis prolifik dalam tema
univer sal moralitas dan kemanusiaan, Abou El-Fadl juga sebagai aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama
be berapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of
Human Rights Watch dan Comission on International Relegious
Freedom di Amerika Serikat.
Abou El Fadl dalam buku Speaking in God’s Name: Islamic
Law, Authority, and Women,1
yang menjadi objek kajian tulisan
ini, mengkritik lembaga fatwa seperti CRLO (Council for Scientific
Reasech and Legal Opinion atau al-Lajnah ad-Daimah li alBuhus al-‘Imiyyah wa-al-Ifta’), sebuah lembaga resmi di Saudi
Arabi yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa- fatwa
ke aga maan yang oleh Abou El Fadl dianggap terjebak pada sikap
oto ritarianisme, seperti fatwa pelarangan wanita mengunjungi
makam suami, wanita mengeraskan suara dalam berdo’a, wanita
mengendarai dan mengemudikan mobil sendiri, dan wanita harus
di dampingi pria mahramnya.2
Abou El Fadl hendak “menghidupkan kembali” tradisi hukum
Islam klasik yang cukup dinamis, dan memiliki basis epistemologi
yang toleran dan pluralistik. Jika Muhammed Arkoun mengklaim,
bahwa di dalam pemikiran Islam, masih terdapat sesuatu “yang
tak dipikirkan” (l’impensé/unthought) dan “yang tak terpikirkan”
(l’impensable/unthinkable), maka, Abou El Fadl menginginkan
penggagasan dan perumusan kembali dalam khazanah pemikiran
Islam, yaitu “sesuatu yang telah terlupakan”.3
Otoritas dan Pendekatan Hermeneutika
Abou El Fadl memulai paragraf penulisan tema ini dengan
cara mengutip ayat Q.S Al-Mutadtsir: 31, “Tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri”. Pernyataan ini
terdengar cukup tegas, tetapi juga agak mendua. Siapakah para
tentara ini? Apakah masuk akal jika pertanyaan ini dimunculkan
kepada pembaca jika memang hanya Tuhan yang mengetahui
para tentara-Nya? Apa yang harus dipahami pembaca pembaca
dari pernyataan ini?4
Abou El Fadl menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas dan otoritarian dalam
Islam. Pembahasan otoritas nampaknya sangat penting bagi Abou
El Fadl, karena tanpa otoritas maka yang terjadi adalah beragama
secara subjektif, relatif dan individual. Oleh sebab itu perlu ada
hal-hal yang baku (al-tsawabit) dalam agama.
Jika ayat tersebut dipahami secara normatif, ia bisa berarti
bahwa siapa pun dapat bercita-cita menjadi tentara Tuhan, dan
bahwa ia dapat bekerja keras mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk mencapai kedudukan tersebut. Namun orang itu tidak
akan pernah tahu apakah ia berhasil mencapai kedudukan terhormat sebagai tentara Tuhan yang terpilih. Dengan menganggap
bahwa tentara Tuhan itu memiliki limpahan otoritas ilahiah, pembaca dapat menyatakan setiap orang pada dasarnya bisa memperoleh otoritas Tuhan, tapi pada kenyatannya tidak seorang pun
yang dapat dijamin telah menerimanya.
Menurut Abou El Fadl, karena tidak ada seorang pun yang
dapat dijamin telah menerimanya dan pengetahuan Tuhan tidak
dapat diperoleh oleh manusia, maka orang yang berakal sehat tidak akan pernah yakin bahwa seseorang telah benar-benar
mencapai kedudukan terhormat sebagai tentara Tuhan yang terpilih.5
Abou El Fadl merumuskan konsep relativisme pemahaman
ter hadap agama. “Harus saya akui bahwa saya selalu memahami
ayat ini sebagai sebuah penafian terhadap bentuk otoritarianisme—ayat tersebut menolak klaim manusia sebagai tentara Tuhan
yang memegang otoritas-Nya”.6
Abou El Fadl membedakan dua jenis otoritas yaitu otoritas
yang bersifat koersif dan otoritas yang bersifat persuasif. Pertama,
otoritas koersif mengarahkan perilaku orang lain dengan cara
membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain
kecuali harus menurutinya. Kedua, otoritas persuasif yang melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif, yakni kemampuan untuk
meng arahkan keyakinan atau prilaku seseorang atas dasar kepercayaan.7
Klasifikasi otoritas yang dikemukakan Abou El Fadl sesungguh nya merupakan pengembangan dari klasifikasi yang dibuat oleh Richard Friedman, yang membedakan antara “memangku otoritas” (being in authority; berada di dalam kekuasaan)
dan “memegang otoritas” (being an authority; keberadaan kekuasaan).
Menurut Friedman sebagaimana dikutip Abou El Fadl, “memangku otoritas” diartikan suatu otoritas didapatkan dengan jabatan struktural dan cenderung memaksa kepada orang lain untuk
menerima otoritas tersebut. Dalam kasus ini tidak dikenal adanya
“ketundukan atas keputusan pribadi”, karena seseorang bisa saja
berbeda pendapat dengan yang memangku otoritas, namun tidak memiliki pilihan lain kecuali mentaatinya. Sedangkan “pemegang otoritas” adalah suatu otoritas yang didapatkan tanpa jabatan
struktural dan paksaan, melainkan karena kapabilitas dan akseptabilitas se seorang yang akhirnya memunculkan kesadaran orang
lain untuk menerimanya.8
Secara sintesis Abou El Fadl menganggap terminologi “memangku otoritas” Friedman tidak lain adalah otoritas koersif, karena orang yang memiliki jabatan struktur ditaati lantaran memiliki
kekuasaan yang bersifat memaksa. Sementara otoritas per suasif
sejalan dengan makna ungkapan “memegang otoritas”, de ngan
memegang otoritas atau menjadi otoritatif melibatkan unsur kepecayaan, dan setiap prilaku yang dapat memelihara kepercayaan
tersebut, termasuk memberikan argumentasi persuasif, akan
melang gengkan dan meningkatkan otoritas semacam ini.9
Dengan menggunakan teori otoritas tersebut Abou El Fadl
mencoba mengkonstruksi gagasan tentang pemegang otoritas dalam dikursus keislaman. Dalam konstruksinya konsep otoritas
Islam sebagi wujud menjembatani kehendak Tuhan, Abou El Fadl
memerhatikan tiga hal berikut: Pertama berkaitan dengan “kompetensi” (autentisitas). Kedua, berkaitan dengan “penetapan makna”. Ketiga berkaitan dengan “perwakilan”.10 Tiga pokok persoalan
inilah menurut Abou El Fadl, memainkan peranan penting dalam
membentuk “pemegang otoritas” dalam dikursus keislaman. Tiga
pokok persoalan ini juga menjadi tiga kunci bagi Abou El Fadl untuk memisahkan diskursus yang otoritatif dan yang otoriter dalam
Islam (Lihat tabel 1 dalam appendix).
Menurut Aboe El Fadl, untuk menjawab persoalan-persoalan
tersebut kita membutuhkan pendekatan hermenutika,11 yang dapat
menjaga keseimbangan kekuatan antara maksud teks, pengarang
dan pembaca. Penetapan makna berasal dari proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan dialektis antara ketiga unsur di atas
(teks, pengarang dan pembaca).
Maksud dari tiga unsur itu tidak ada yang mendominasi.
Penafsiran yang tepat adalah penafsiran yang menghormati peranan, otonomi dan integritas teks.12 Menghormati otonomi teks
bertujuan menghindari kooptasi dan otoritarianisme pembaca terhadap teks sehingga teks bisa ditafsirkan sebebas-bebasnya.
Maka dari itu, Abou El Fadl menegaskan gagasan tentang teks
yang terbuka (the open text). Sedangkan sikap otoriter adalah
proses pemasungan teks sehingga teks tidak bisa leluasa bergerak dan berinteraksi dengan keragaman makna.13
Sebagian wakil (orang-orang Islam yang beriman dan shaleh,
yang disebut sebagai wakil umum) menundukkan keinginannya
dan menyerahkan sebagian keputusannya kepada sekelompok
orang atau wakil dari golongan tertentu (ulama). Mereka melakukan hal tersebut “karena, dan hanya karena”, mereka memandang
wakil dari golongan tertentu memiliki otoritas. Kelompok khusus ini
menjadi otoritatif karena dipandang memiliki kompetensi dan pemahaman yang khusus terhadap perintah atau kehendak Tuhan.
Kelompok khusus (disebut dengan wakil khusus) ini dipandang otoritatif “bukan karena mereka memangku otoritas”—
jabatan formal tidak relevan sama sekali— tetapi karena persepsi
wakil umum menyangkut otoritas mereka berkaitan dengan seperangkat perintah (petunjuk) yang mengarah pada Jalan Tuhan.
Proses penyerahan keputusan untuk mengetahui dan memahami Kehendak Tuhan, dari wakil umum kepada wakil khusus juga
me miliki problem hermeneutis tersendiri, misalnya, pada proses
tindak komunikasi dan dialog di antara keduanya.14 Abou El Fadl
me ngutip pendapat Friedman, bahwa tunduk pada seseorang
yang memegang otoritas melibatkan hal yang ia sebut sebagai
“pra duga epistemologis” (epistemological presupposition).15
Abou El Fadl mengemukakan lima batasan untuk me nerima
otoritas wakil khusus tersebut. Jika lima hal ini terpenuhi, seseorang
bisa disebut otoritatif.16 Pertama, kejujuran (honesty). Masyarakat
pada umumnya percaya pada kelompok wakil khusus ini bahwa
mereka akan jujur dan dapat dipercaya dalam memahami perintah Tuhan. Ia tidak akan menyembunyikan, melebih-lebihkan atau
berbohong atas apa yang ia pahami. Ia akan mejelaskan semua
yang ia pahami. Ia juga tidak akan berpura-pura mengetahui satu
permasalahan dan pura-pura mengetahui perintah Tuhan, padahal dirinya belum mengetahui yang sesungguhnya.
Kedua, kalangan wakil khusus harus sepenuhnya mempunyai kesungguhan (diligence). Dia dituntut untuk sepenuhnya
men curahkan kemampuannya dalam menyelami satu persoalan.
Batasan ini mungkin kelihatan samar, namun setidaknya ini adalah sebuah kewajiban para wakil khusus itu untuk serius dan
bersungguh- sungguh dengan segenap kemampunnya untuk
me nyelami sebuah persoalan. Kata ijtihad yang berasal dari hakar
kata jahada sesungguhnya berarti pengerahan seluruh kemampuan seseorang untuk menyelami sebuah persoalan.
Ketiga, adalah prinsip kemenyeluruhan (comprehensiveness). Kalangan wakil khusus tersebut harus mempertimbangkan
semua argumen dan bukti, bahkan argumen yang berten tangan
sekalipun. Prinsip ini juga mengharuskan kaum wakil khusus bertanggungjawab menyelidiki dengan kesungguhan semua bukti
dan argumen tersebut.
Keempat, para wakil khusus tersebut haruslah melakukan
penafsiran dan pencarian perintah Tuhan secara rasional (reasonableness). Kaum wakil khusus dilarang melakukan, me minjam
istilah Umberto Eco, “penafsiran secara berlebihan” dengan cara,
misalnya, menafsirkan sedemikian rupa sehingga maknanya sesuai dengan keinginan seseorang, sementara makna teks sesung guhnya dihiraukan.
Penafsiran yang berlebihan terhadap teks, baik dengan cara
membiarkan teks terbuka dan dibanjiri segala kemungkinan penafsiran yang tak terbatas sehingga tidak dapat ditampung sendiri
oleh teks, maupun dengan membuat teks tergembok dan di diami
hanya oleh satu macam makna penafsiran saja, telah dianggap
mengingkari prinsip rasonalitas ini. Prinsip ini mengisyaratkan
bahwa kaum wakil khusus haruslah mengambil jarak dengan teks
dan menghormati integritas teks tersebut.
Kelima, para wakil khusus haruslah bisa mengendalikan diri
(self-restraint). Hal ini sebenarnya menunjukan sikap kerendahan hati. Dia bukanlah orang yang mengetahui segalanya dan
yang mengetahui hakikat segalanya hanyalah Tuhan. Semua yang
di lakukannya adalah usaha untuk mengungkap kehendak- Nya.
Bagi siapapun yang pernah dididik di lingkungan pesantren pasti tahu bahwa di setiap akhir pengajian, guru-guru kita selalu meng ucapkan Wa Allahu a’lam bi al-shawab yang kurang lebih
berarti: Tuhanlah yang lebih mengetahui segalanya. Sikap ini lebih
jauh sebenarnya bisa dilihat sebagai sikap pengendalian diri dan
ke rendahan hati.
Dinamisasi Hukum Islam
Gagasan tentang teks yang terbuka, menurut Khaled sa ngat
membantu. Khaled menyatakan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah sebagai teks, dengan meminjam istilah Umberto Eco, me rupakan
“karya yang terus berubah” (works in movement)—keduanya
adalah karya yang membiarkan diri mereka terbuka bagi berbagai strategi interpretasi. Ini tidak berarti bahwa keduanya ter buka
bagi segala jenis interpretasi. Tapi maksudnya mereka mampu
menampung gerak interpretasi yang dinamis.17
Abou El Fadl membedakan antara syari’ah dan fiqh. Hukum
Tuhan sebagai sesuatu yang abstrak disebut dengan syari’ah
(secara etimologis berarti “jalan”), sementara pemahaman dan
pelaksanaan konkrit Kehendak Tuhan disebut dengan fiqh (secara etimologis berarti “pemahaman”). Syar’iah adalah kehendak
Tuhan dalam bentuk yang abstrak dan ideal, tetapi fiqh merupakan hasil dari upaya manusia memahami Kehendak Tuhan. Dalam
pengertian ini, Syari’ah selalu dipandang sebagai yang terbaik, adil
dan seimbang, sementara fiqh hanyalah upaya untuk mencapai
cita-cita dan tujuan Syari’ah (maqashid al-syari’ah). Menurut para
ahli hukum Islam, tujuan Syari’ah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dan tujuan fiqh adalah untuk memahami dan
menerapkan Syari’ah.18
Dalam perkembangan hukum Islam, para ahli hukum terpecah ke dalam dua madzhab. Madzhab pertama, yang dikenal dengan Mukhaththi’ah,19 menyatakan bahwa pada akhirnya
ada sebuah jawaban yang tepat bagi setiap persoalan teks dan
hukum. Namun, hanya Tuhan yang mengetahui jawaban yang
tepat dan kebenaran baru akan terungkap pada Hari Akhir nanti.
Dalam pengertian ini, setiap persoalan hukum dan dalam
setiap pergulatan dengan teks, Tuhan telah menentukan jawaban
yang tepat sejak awal, yang termuat dalam wadah penampung
Pengetahuan Tuhan. Tapi manusia, dalam dalam sebagian besar
kasus, tidak dapat mengetahui secara pasti dan me yakinkan apakah mereka telah memperoleh jawaban yang tepat. Setiap mujtahid mencapai kebenaran dalam upayanya menemukan jawaban,
namun seorang pembaca mungkin dapat mencapai kebenaran,
sementara yang lainnya tidak.20
Kelompok itu seringkali menyatakan bahwa sesuatu tidak
mungkin memiliki dua realitas, bahwa sesuatu itu baik atau buruk,
jelek atau cantik, harus salah satu di antara keduanya. Realitas
sesuatu tidak bergantung pada pengenalan atau pengakuan dari
orang yang mengamati realitas. Tapi realitas sesuatu melekat dalam realitas itu sendiri.
Demikian pula halnya, sebuah tindakan hukum tidak bisa
dipandang sah dan tidak sah dalam waktu yang bersamaan atau
boleh dan tidak boleh dalam waktu yang bersamaan –harus di pilih
salah satunya. Kelompok ini menambahkan bahwa jika berba gai
jawaban bisa sama-sama tepat, dan jika orang tidak berusaha
menemukan jawaban yang tepat, maka apa maksud dari semua
perdebatan dan diskusi hukum (munazharah)? Perdebatan dan
diskusi ini bermanfaat karena mereka berpotensi membawa kita
semakin dekat dengan kebenaran.
Madzhab kedua, yang dikenal dengan Mushawwibah.21
Kelompok ini menyatakan bahwa tidak ada jawaban yang pasti dan
tepat (hukm mu’ayyan) yang diperintahkan Tuhan untuk ditemukan oleh manusia, karena jika ada jawaban yang tepat, Tuhan
akan membuat bukti-bukti tekstual yang jelas dan me yakin kan.
Tuhan tidak akan membebankan manusia dengan ke wajiban
untuk menemukan jawaban yang tepat ketika tidak ada sarana
objektif untuk me nemu kan kebenaran sebuah makna teks dan
persoalan hukum.
Jika ada sebuah kebenaran objektif menyangkut segala sesuatu, Tuhan pasti akan menjadikan kebenaran itu bisa dicapai di
dunia ini.22 Kebenaran atau ketepatan hukum, pada kebanyakan
kasus, bergantung pada keyakinan dan pembuktian, dan pada
kenyataannya, sifat dari semua tindakan hukum seringkali bergantung pada pengakuan. Tindakan yang sama bisa diperbolehkan dan kemudian tidak diperbolehkan karena adanya kenyataan
yang bersifat tambahan pada karakteristik intrinsik dari tindakan
tersebut.
Tindakan tersebut mungkin memiliki kualitas moral yang
melekat dalam dirinya (qabihah atau hasanah bi dzatiha) tapikuali tas hukumnya bergantung pada hal-hal yang tidak terkait dengan
karakteristik tindakan itu sendiri. Perintah Tuhan kepada manusia
adalah untuk melakukan pencarian dengan sungguh-sungguh,
dan hukum Tuhan akan ditangguhkan hingga manusia memperoleh keyakinan yang kuat tentang hukum Tuhan tersebut. Ketika
keyakinan yang kuat itu terbentuk, maka hukum Tuhan mengikuti
apa yang diyakininya itu.
Di sinilah pentingnya melakukan ijtihad hukum, dan menghin dari taqlid, meskipun kriteria ijtihad dalam pemahaman El Fadl
sangat sulit dan penuh dengan tantangan akademik-intelektual, tetapi memungkinkan seseorang, meminjam istilah M. Amin
Abdullah, menjadi mujtahid fi al-mutlaq, bukan mujtahid fi almadzhab.
Menurut Abou El Fadl,23 taqlid, atau keterikatan dengan preseden hukum, dipandang sebagai asumsi hukum yang bersifat
normatif, dan sebagai sebuah doktrin, taqlid mengakui fakta bahwa para ahli hukum biasanya diajarkan berbagai pendapat hukum
dan contoh yang sudah ada. Agar seorang ahli hukum mampu
melakukan ijtihad (melepaskan diri dari keterikatan dengan preseden untuk membentuk hukum yang sama sekali baru; a break
with precedent to generate original and unprecedented law), ia
harus me miliki kualitas pendidikan yang unggul.












