Tampilkan postingan dengan label ayub 23. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 23. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 23


 angan orang baik, dan orang besar juga, 

untuk mendatangkan rasa sukacita kepada orang-orang 

yang paling akrab dengan dukacita. Orang besar hendaklah 

berlaku demikian juga.  

(5) Kepada yang kalut sebab  sebab apa pun, Ayub memberi-

kan kelegaan tepat pada waktunya, pada waktu yang se-

suai (ay. 15): aku menjadi mata bagi orang buta, membim-

bing serta memberi nasihat bagi yang tidak tahu harus 

melakukan apa. Aku menjadi kaki bagi orang lumpuh, mem-

beri bantuan keuangan bagi mereka yang tahu harus mela-

kukan apa namun  tidak tahu bagaimana mencapainya. Ban-

tuan yang terbaik yaitu  menolong orang keluar dari keti-

dakberdayaan mereka dalam suatu masalah, di mana me-

reka sangat memerlukan pertolongan. Kita sendiri bisa saja 

menjadi buta atau lumpuh, dan sebab  itu kita harus 

mengasihani serta menolong mereka yang sekarang buta 

dan lumpuh (Yes. 35:3-4; Ibr. 12:13). 

3. Ayub menilai dirinya berdasarkan hati nuraninya yang men-

junjung keadilan dan kesetaraan dalam segala tindakan. Para 

sahabat Ayub melontarkan tuduhan keliru bahwa ia yaitu  

seorang penindas. “Sama sekali tidaklah begitu,” ujarnya, “aku 

senantiasa menjaga dan menjunjung kebenaran.”  

(1) Ayub mengabdikan diri dalam menjalankan keadilan (ay. 

14): Aku berpakaian kebenaran, artinya ia memiliki watak 

dan kebiasaan menjalankan keadilan serta berketetapan 

untuk melakukannya, seperti ikat pinggang tetap terikat 

pada pinggang (Yes. 11:5). Pakaian kebenaran itu menjaga-

nya tetap teguh dan mantap dalam setiap gerak-geriknya. 

Ia selalu tampil dalam pakaian kebenaran, seperti memakai 

baju, tidak pernah lepas darinya. Kebenaran akan mem-

bungkus orang yang mengenakannya. Kebenaran membuat 

mereka tetap hangat dan nyaman. Kebenaran menjaga mere-

ka tetap aman dan memagari mereka dari bahaya di segala 

waktu. Kebenaran mempercantik diri mereka dan membuat 

mereka diperkenan oleh Allah dan manusia.  

(2) Ayub bersuka dalam kebenaran, bergembira dalam kesuka-

an yang kudus. Kemuliaan terbesar baginya ialah berbuat 

keadilan kepada semua orang dan tidak mencelakai siapa 

pun. Keadilan menutupi aku seperti jubah dan serban. 

Kemungkinan, Ayub sendiri tidak mengenakan jubah dan 

serban jasmani, ia tidak memedulikan lambang-lambang 

kehormatan. Yang paling suka memakai simbol kehormat-

an yaitu  mereka yang tidak memiliki nilai batin yang 

membuat orang lain menghormati mereka. Akan namun , 

bagi Ayub, prinsip-prinsip keadilan yang mengendalikan 

dirinya dan yang dipakainya untuk memimpin itulah yang 

menjadi perhiasannya. Bila seorang pejabat melaksanakan 

kewajiban jabatannya, itulah kehormatan baginya, jauh 

melebihi emas dan kain ungu (kain kebesaran – pen.), dan 

dengan demikian menjadi kegirangannya pula. Sebaliknya, 

jika ia mengabaikan kewajiban, maka jubah, serban, toga, 

jamang, pedang, dan tongkat kebesarannya hanyalah kehi-

naan belaka, seperti jubah ungu dan mahkota duri yang 

dipakaikan orang Yahudi untuk mengolok-olok Jurusela-

mat kita. Sebab, sebagaimana baju yang dikenakan orang 

mati tidak akan membuatnya hangat, demikianlah jubah 

pada orang hina tidak akan membuatnya mulia.  

(3) Ayub berusaha keras dalam tugas jabatannya (ay. 16): 

Perkara orang yang tidak kukenal, kuselidiki. Dengan tekun 

ia mencari tahu kebenaran perkaranya, menyimak perkara 

dari kedua belah pihak dengan sabar dan tanpa memihak, 

membuat terang segala sesuatu, serta membersihkannya 

dari alasan-alasan yang tidak benar. Ayub mengkaji selu-

ruh situasi supaya dapat menemukan kebenaran dan 

pangkal setiap perkara, baru kemudian membuat penilai-

an. Ia tidak akan menghakimi sebelum menyelidiki semua-

nya. Tidak pernah Ayub menjawab suatu masalah sebelum 

mendengarnya, tidak pula ia membenarkan seseorang se-

kalipun orang tersebut tampaknya benar sebagai pembicara 

pertama dalam suatu pertikaian (Ams. 18:17). 

4. Ayub menilai dirinya berdasarkan perlawanannya terhadap 

kekerasan orang-orang sombong dan jahat (ay. 17): Geraham 

orang curang kuremuk. Bukan leher yang diremukkannya. 

Ayub tidak mencabut nyawa mereka, namun  mematahkan ra-

hangnya, artinya mencabut kekuatan mereka dalam berbuat 

jahat. Ia merendahkan mereka, mempermalukan, dan menge-

kang kecongkakan mereka. Dengan begitu, direbutnya mangsa 

dari gigi mereka, dilepaskannya tawanan dan hak milik orang-

orang jujur agar tidak menjadi mangsa mereka. Saat orang 

curang itu berhasil menggigit mangsa dan hendak menelannya 

penuh ketamakan, dengan gagah berani ia menyelamatkan-

nya, seperti Daud melepaskan anak domba dari mulut singa. 

Ayub tidak takut walaupun mereka mengaum dan mengamuk 

layaknya singa kehilangan mangsa. Demikianlah seharusnya 

hakim yang baik ditakuti oleh para pelaku kejahatan, menjadi 

kekang bagi orang fasik dan pelindung bagi orang yang tidak 

bersalah. Untuk dapat melakukannya, mereka harus memper-

lengkapi diri dengan kegigihan, keteguhan, dan keberanian 

yang tidak kenal takut. Seorang hakim yang duduk di kursi 

pengadilan harus tegas dan berani sama seperti seorang ko-

mandan di medan perang. 

Kejayaan Ayub yang Semula 

(29:18-25) 

18 Pikirku: Bersama-sama dengan sarangku aku akan binasa, dan memper-

banyak hari-hariku seperti burung feniks. 19 Akarku mencapai air, dan embun 

bermalam di atas ranting-rantingku. 20 Kemuliaanku selalu baru padaku, dan 

busurku kuat kembali di tanganku. 21 Kepadakulah orang mendengar sambil 

menanti, dengan diam mereka mendengarkan nasihatku. 22 Sehabis bicaraku 

tiada seorangpun angkat bicara lagi, dan perkataanku menetes ke atas mere-

ka. 23 Orang menantikan aku seperti menantikan hujan, dan menadahkan 

mulutnya seperti menadah hujan pada akhir musim. 24 Aku tersenyum kepada 

mereka, saat  mereka putus asa, dan seri mukaku tidak dapat disuramkan 

mereka. 25 Aku menentukan jalan mereka dan duduk sebagai pemimpin; aku 

bersemayam seperti raja di tengah-tengah rakyat, seperti seorang yang meng-

hibur mereka yang berkabung. 

Yang memahkotai kemakmuran Ayub ialah adanya harapan indah 

bahwa kejayaan itu akan terus berlangsung. Walaupun secara umum 

Ayub tahu bahwa dirinya tidak aman dan bisa saja tertimpa masalah 

(3:26, aku tidak mendapat istirahat, namun  kegelisahanlah yang tim-

bul), tidak ada alasan khusus baginya untuk merasa takut. Yang ada 

justru jaminan keberlangsungan hidupnya yang tenteram. 

I. Dalam ayat-ayat di atas, lihatlah apa yang Ayub pikirkan di 

tengah kemakmurannya (ay. 18): Bersama-sama dengan sarangku 

aku akan binasa. sebab  telah membangun sarang yang hangat 

dan nyaman bagi dirinya, Ayub berpikir tidak ada yang akan 

mengganggunya di situ ataupun menyingkirkannya dari sana 

hingga ajal menjemput. Ayub tahu dirinya tidak pernah mencuri 

dari mezbah suatu bongkahan bara api yang bisa membakar 

sarangnya. Ia tidak melihat ada topan yang akan meruntuhkan 

sarangnya. Jadi, ia pun menyimpulkan, “Besok akan sama seperti 

hari ini,” seperti kata Daud (Mzm. 30:7), “Engkau telah menempat-

kan aku di atas gunung yang kokoh, aku takkan goyah untuk sela-

ma-lamanya.” Perhatikanlah, 

1. Di tengah kejayaannya, Ayub sudah berpikir tentang kematian, 

namun  pemikiran itu tidak menggelisahkannya. Ia tahu bahwa 

meskipun sarangnya berada di tempat tinggi, ia tidak akan 

luput dari jangkauan anak panah maut. 

2. Namun, Ayub membuai diri dengan pengharapan kosong bahwa,  

(1) Umurnya akan panjang, dan ia akan memperbanyak hari-

harinya seperti burung feniks (KJV: memperbanyak hari-

harinya seperti pasir). Maksudnya ialah seperti pasir di tepi 

laut, padahal seharusnya kita menghitung hari-hari kita 

seperti pasir dalam jam pasir yang akan habis dengan 

segera. Lihatlah betapa orang saleh pun cenderung meng-

anggap kematian itu masih lama, sehingga membuang 

jauh-jauh hari yang jahat itu dari mereka, padahal sesung-

guhnya saat kematian itu akan menjadi hari yang baik bagi 

mereka.  

(2) Ia akan mati dalam keadaan yang makmur. Bila harapan 

semacam ini timbul dari imannya akan pemeliharaan dan 

janji Allah, maka hal itu baik. Namun, bila berasal dari rasa 

bangga akan hikmatnya sendiri serta kemapanan harta 

duniawi, maka hal itu keliru dan merupakan dosa. Semoga 

pengharapan Ayub ini sama seperti keyakinan Daud, Ke-

pada siapakah aku harus takut? (Mzm. 27:1), bukan seperti 

orang kaya yang bodoh, Jiwaku, ada padamu banyak ba-

rang; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-

senanglah (Luk. 12:19). 

II. Lihatlah dasar dari pemikiran Ayub tersebut. 

1. Saat memandang rumahnya, ia mendapati fondasi yang teguh. 

Seluruh persediaannya yaitu  miliknya sendiri, tidak ada yang 

bisa dituntut orang lain darinya. Tidak didapati adanya penya-

kit yang menggerogoti badannya. Tanahnya tidak terikat utang 

apa pun, tidak pula dirasakannya ada hama di dasarnya. Ayub 

bergerak maju dalam semua usahanya dan tidak ketinggalan. 

Ia tidak kehilangan nama baik, malah mendapatkannya. Tidak 

ada saingan yang mengancam, baik untuk mengungguli kehor-

matannya maupun membatasi kekuasaannya. Lihatlah bagai-

mana Ayub menggambarkan keadaan tersebut (ay. 19-20). Ia 

ibarat pohon, yang akarnya bukan saja menyebar, menegak-

kan dan mengokohkannya sehingga ia tidak akan tumbang, 

namun  juga mencapai air, memperoleh sumber makanan dan 

membuatnya subur serta berkembang, sehingga ia tidak akan 

layu. Ayub berpikir dirinya diberkati dengan kesuburan tanah 

sekaligus langit, sebab katanya, “Embun bermalam di atas 

ranting-rantingku.” Allah Sang Penyelenggara berkenan kepa-

danya, Dia membuat seluruh kenikmatannya menyenangkan 

dan usahanya berhasil. Janganlah seorang pun berpikir hen-

dak menunjang kesuksesannya dengan hal-hal yang mereka 

peroleh dari dunia ini tanpa adanya berkat yang turun dari 

atas. Perkenanan Allah terus berlangsung atas Ayub dalam 

bentuk kemuliaan-Nya yang masih segar dalam dia. Selalu ada 

hal baru yang bisa dipuji oleh orang-orang di sekeliling Ayub, 

mereka tidak perlu mengulang cerita lama. Hanya dengan 

kebaikan yang terus-menerus, kejayaan seseorang bisa tetap 

segar dan tidak layu atau memudar. Selain itu, busurku kuat 

kembali di tanganku. Artinya, kekuatan Ayub untuk melin-

dungi diri dan melawan orang yang menyerang dia masih terus 

bertambah, sehingga pikirnya tiada alasan untuk takut ter-

hadap gangguan orang Syeba dan orang Kasdim. 

2. Saat memandang keluar, ia mendapati dirinya sangat disukai 

serta diakui. Tidak ada alasan untuk meragukan kesetiaan 

kawan-kawannya, sama seperti tiadanya alasan untuk gentar 

terhadap kekuatan musuh-musuhnya. Hingga detik terakhir 

kemakmurannya, teman-temannya masih menghormati dia 

serta bergantung padanya. Adakah alasan untuk takut, se-

mentara dialah yang menjadi penasihat dan pemberi hukum 

bagi semua orang di sekitarnya? Tidak mungkin mereka ber-

tindak melawan dia sebab tiada yang dikerjakan tanpa dirinya.  

(1) Ayub yaitu  orang bijak di negerinya. Ia dimintai nasihat 

layaknya seorang imam, dan nasihatnya diterima tanpa 

keraguan (ay. 21). saat  yang lain tidak bisa didengar, 

“Kepadakulah orang mendengar sambil menanti, dengan 

diam mereka mendengarkan nasihatku,” sebab mereka tahu 

bahwa nasihat Ayub tidak bisa dibantah dan sudah tidak 

dapat ditambahi lagi. Itulah sebabnya, “sehabis bicaraku 

tiada seorangpun angkat bicara lagi” (ay. 22). Untuk apa 

membahas lagi topik yang sudah selesai? 

(2) Ayub yaitu  kesayangan rakyat negerinya. Semua orang di 

sekelilingnya menyukai seluruh perkataan dan perbuatan-

nya, sama seperti rakyat Daud menyukai rajanya itu (2Sam. 

3:36). Ayub disenangi dan dikasihi oleh semua tetangganya, 

hambanya, para penyewa tanahnya, serta bawahannya. 

Belum pernah ada seseorang yang sedemikian dipuja dan 

dikasihi.  

[1] Yang diajak bicara oleh Ayub dianggap berbahagia, dan 

mereka sendiri pun merasa bahagia. Melebihi embun 

langit diterima oleh tanah kering, demikianlah ucapan 

bijak Ayub diterima oleh mereka yang mendengarnya, 

khususnya orang-orang yang secara khusus diajar dan 

diarahkan oleh dia. Perkataannya menetes ke atas me-

reka, dan mereka menantikan itu layaknya menantikan 

hujan (ay. 22-23). Mereka mengagumi ucapan berbudi 

yang keluar dari mulut Ayub, memperhatikannya, me-

megangnya erat-erat, dan menyimpannya sebagai kata-

kata mutiara. Para hambanya yang setiap hari ada di 

hadapan Ayub dan mendengar hikmatnya tidak akan iri 

kepada para pegawai Salomo. Bijaklah orang-orang yang 

tahu menghargai ujaran hikmat, menginginkannya, me-

nantikannya, dan menghirupnya seperti tanah yang 

menghisap air hujan yang sering turun ke atasnya (Ibr. 

6:7). Barang siapa seperti Ayub, yakni dihormati oleh 

banyak orang lain hingga ipse dixit – pernyataannya 

diterima mentah-mentah tanpa perlu bukti, dan memi-

liki banyak kesempatan untuk berbuat baik, haruslah 

mereka sangat berhati-hati agar tidak melukai orang, 

sebab satu kata buruk saja dari mulut mereka sangat 

melukai.  

[2] Terlebih lagi yang menerima senyum dari Ayub diang-

gap berbahagia, dan mereka sendiri pun merasa baha-

gia (ay. 24). Bila Ayub tersenyum kepada mereka, untuk 

menunjukkan bahwa dirinya berkenan kepada mereka 

atau senang bersama mereka, senyumannya itu begitu 

menyenangkan hingga mereka seolah tidak percaya 

sebab  terlalu girangnya, atau sebab  jarang sekali pria 

yang serius itu tersenyum. Banyak orang mencari muka 

pada pemerintah (KJV: mencari perkenanan pemimpin). 

Ayub yaitu  seorang pemimpin yang perkenanannya 

sangat didambakan dan ditinggikan. Barang siapa me-

nerima salam hangat dari seorang raja besar, ia dicem-

burui oleh orang yang hanya menerima piala emas dari-

nya. Keakraban sering kali mengurangi rasa hormat. 

Namun, kapan pun Ayub berakrab ria dengan orang-

orang di sekitarnya, hal itu sama sekali tidak menurun-

kan rasa hormat mereka terhadapnya. Seri mukaku 

tidak dapat disuramkan mereka. Ia membagikan perke-

nanan dengan sedemikian bijaknya sehingga tidak men-

jadikan perkenanannya sesuatu yang murahan. Orang-

orang pun menerimanya dengan amat bijak sehingga 

perkenanannya itu tetap dipandang layak untuk diteri-

ma lagi di lain waktu. 

(3) Ayub yaitu  penguasa di negerinya (ay. 25). Ia menentukan 

jalan mereka, ia duduk di tempat kemudi dan memegang 

kendali bagi mereka. Semua orang menyerahkan diri 

kepada kepemimpinannya dan tunduk kepada perintahnya. 

Kemungkinan, seperti inilah cara bangkitnya monarki atau 

kerajaan besar di banyak negeri: orang seperti Ayub yang 

sangat unggul melampaui sesamanya dalam hikmat dan 

kejujuran sudah barang tentu menjadi pemimpin, sedang-

kan orang-orang bodoh pasti menjadi hamba orang bijak. 

Bila hikmat mengalir dalam darah seseorang, kehormatan 

dan kuasa menyertainya, dan sedikit demi sedikit akan 

menjadi warisan turun temurun. Ada dua hal yang mem-

buat Ayub berdaulat:  

[1] Ia memiliki wibawa seorang komandan atau jenderal. Ia 

bersemayam seperti raja di tengah-tengah rakyat (KJV: di 

tengah-tengah pasukan), memberi perintah yang tidak 

dapat diganggu gugat. Tidak setiap orang berhikmat 

memiliki jiwa kepemimpinan, namun  Ayub memiliki ke-

duanya, dan saat  ada kesempatan, ia dapat memberi 

perintah seperti raja di tengah pasukannya berkata, 

“Pergi!,” “Datang!,” dan, “Kerjakanlah ini!” (Mat. 8:9).  

[2] Sekalipun begitu, ia memiliki kelemahlembutan seorang 

pelipur lara. Ia selalu siap menolong yang tertekan se-

olah memang sudah menjadi tugasnya untuk meng-

hibur orang yang berkabung. Elifas sendiri pun meng-

akui bahwa Ayub sangat cakap dalam hal tersebut (4:3): 

Tangan yang lemah telah engkau kuatkan. Dan sekarang 

pun Ayub mengenangnya dengan senang, di kala ia sen-

diri sedang berduka. Akan namun , lebih mudah meng-

hibur orang lain dengan penghiburan yang pernah kita 

terima, daripada menghibur diri sendiri dengan peng-

hiburan yang pernah kita berikan kepada orang lain. 

Menurut saya, Ayub dapat dilihat sebagai bayang-

bayang dan gambaran Kristus dalam kuasa dan kejaya-

annya. Yesus, Tuhan kita, yaitu  Raja seperti Ayub 

dahulu, Raja bagi orang sengsara, Raja yang mencintai 

kebenaran dan membenci kefasikan, dan kepada-Nya-

lah dunia yang nyaris binasa mengucapkan berkat (Lih. 

Mzm. 72:2). Oleh sebab itu, marilah kita mendengarkan 

sabda-Nya dan biarlah Dia bertakhta sebagai penguasa 

dalam hati kita. 

 

  

PASAL 30  

ungguh sedih kata “namun  sekarang” mengawali pasal ini. Nasib 

malang dijelaskan di sini dengan sama hidupnya seperti kemak-

muran di dalam pasal sebelumnya, dan tingginya kemakmuran masa 

lalu itu hanya menambah dalamnya kemalangan ini. Allah mengatur 

keadaan yang satu muncul sesudah yang lain, dan demikian pula 

dengan Ayub, sehingga malapetaka yang menimpanya mungkin tam-

pak lebih menyedihkan, dan akibatnya keadaannya lebih menim-

bulkan rasa kasihan.  

I. Ia dahulu hidup dengan kehormatan yang besar, namun  seka-

rang dia telah jatuh ke dalam kehinaan, dan banyak difitnah, 

bahkan oleh orang-orang yang paling hina. Inilah yang sa-

ngat dikeluhkannya (ay. 1-14).  

II. Ia dahulu memiliki penghiburan dan kesukaan batiniah yang 

besar, namun  sekarang dia menjadi kengerian dan beban bagi 

diri sendiri (ay. 15-16) dan sangat tertekan dengan kesedihan 

(ay. 28-31).  

III. Sebelumnya ia hidup sehat walafiat, namun  sekarang dia sa-

kit-sakitan dan penuh kesakitan (ay. 17-18, 29-30).  

IV. Waktu itu rahasia Allah ada bersamanya, namun  sekarang 

komunikasinya dengan sorga terputus (ay. 20-22).  

V. Selama ini ia menjanjikan umur panjang bagi diri sendiri, 

namun  sekarang ia melihat kematian di ambang pintu (ay. 23). 

Satu hal yang paling mengejutkannya yaitu  bahwa dia ter-

kejut saat mencari kedamaian. Namun dua hal telah mem-

berinya kelegaan:  

1. Bahwa masalahnya tidak akan mengikutinya sampai ke 

kubur (ay. 24).  

2. Bahwa hati nuraninya bersaksi baginya, dalam kemak-

murannya, dia ikut bersimpati dengan orang-orang yang 

mengalami sengsara (ay. 25). 

Keadaan Ayub yang Direndahkan 

(30:1-14) 

1 “namun  sekarang aku ditertawakan mereka, yang umurnya lebih muda dari 

padaku, yang ayah-ayahnya kupandang terlalu hina untuk ditempatkan 

bersama-sama dengan anjing penjaga kambing dombaku. 2 Lagipula, apakah 

gunanya bagiku kekuatan tangan mereka? Mereka sudah kehabisan tenaga,  

3 mereka merana sebab  kekurangan dan kelaparan, mengerumit tanah yang 

kering, belukar di gurun dan padang belantara; 4 mereka memetik gelang laut 

dari antara semak-semak, dan akar pohon arar menjadi makanan mereka.  

5 Mereka diusir dari pergaulan hidup, dan orang berteriak-teriak terhadap 

mereka seperti terhadap pencuri. 6 Di lembah-lembah yang mengerikan 

mereka harus diam, di dalam celah-celah tanah dan sela-sela gunung; 7 di 

antara semak-semak mereka meraung-raung, mereka berkelompok di bawah 

jeruju; 8 mereka itulah orang-orang bebal yang tak dikenal, yang didepak dari 

negeri. 9 namun  sekarang aku menjadi sajak sindiran dan ejekan mereka.  

10 Mereka mengejikan aku, menjauhkan diri dari padaku, mereka tidak 

menahan diri meludahi mukaku, 11 sebab  tali kemahku telah dilepaskan 

Allah dan aku direndahkan-Nya, dan mereka tidak mengekang diri terhadap 

aku. 12 Di sebelah kananku muncul gerombolan, dikaitnya kakiku, dan dirin-

tisnya jalan kebinasaan terhadap aku; 13 mereka membongkar jalanku dan 

mengusahakan kejatuhanku; tidak ada yang menghalang-halangi mereka.  

14 Seperti melalui tembok yang terbelah lebar mereka menyerbu, mereka 

datang bergelombang di tengah-tengah keruntuhan. 

Di sini Ayub berkeluh kesah tentang kejatuhannya ke dalam kehina-

an yang hebat, dari puncak kehormatan dan ketenaran. Hal ini sung-

guh menyedihkan dan menghancurkan hati Ayub yang tidak bersalah 

ini. Dua hal ditekankannya sebagai sangat memperberat malapetaka 

yang menimpanya: 

I. Rendahnya kedudukan orang-orang yang menghinanya. Dahulu 

pada masa kemakmuran, kehormatannya banyak dijunjung oleh 

para raja dan bangsawan yang menunjukkan hormat dan kese-

ganan kepadanya, namun sekarang kehinaannya dalam keseng-

saraan ini banyak ditambah pula dengan diinjak-injaknya dia oleh 

orang-orang yang kedudukannya jauh lebih rendah daripadanya, 

yang paling hina dina. Tidak ada yang lebih rendah daripada 

orang-orang yang menghina Ayub ini.  

1. Mereka orang-orang muda, lebih muda dari dirinya (ay. 1), ge-

rombolan anak muda (ay. 12), yang seharusnya berperilaku 

hormat terhadapnya sebab  umur dan kedudukannya. Bah-

kan anak-anak kecil saat  sedang bermain-main, mengolok-

olok dia, seperti yang dilakukan anak-anak di Betel terhadap 

sang nabi, Naiklah botak, naiklah botak. Anak-anak sering be-

lajar untuk mencela saat  mereka melihat orangtuanya demi-

kian.  

2. Orang-orang muda itu berasal dari keluarga yang rendah. 

Ayah-ayah mereka sangat tercela sehingga orang seperti Ayub 

pun merasa terhina untuk memperkerjakan mereka di ling-

kungan rumahnya, seperti menjaga domba dan menemani 

gembala dengan anjing-anjing penjaga kambing domba (ay. 1). 

Mereka begitu lusuh sehingga tidak pantas untuk dilihat di 

antara hamba-hambanya, begitu bodoh sehingga tidak cocok 

untuk dipekerjakan, dan begitu penuh kebohongannya sampai 

tidaklah layak untuk dipercaya dengan pekerjaan yang paling 

rendah sekalipun. Ayub di sini berbicara tentang apa yang 

mungkin akan dilakukannya, bukan tentang apa yang telah 

dilakukannya. Dia bukanlah orang yang punya hati sedemi-

kian kejamnya hingga menempatkan orang dengan anjing-

anjing penjaga kawanan ternaknya. Ia tahu martabat manusia 

itu tinggi, dan tidak akan berbuat demikian.  

3. Mereka dan keluarga mereka hanya menjadi beban yang tak 

berguna di bumi ini dan tidak ada hal baiknya. Ayub sendiri, 

dengan segala hikmat dan kesabarannya, tidak dapat berbuat 

apa-apa bagi mereka (ay. 2). Anak-anak muda itu tidaklah co-

cok untuk bekerja, mereka begitu malas dan melakukan tu-

gasnya dengan seenaknya sendiri: Apakah gunanya bagiku 

kekuatan tangan mereka? Yang tua tidak mau dinasihati da-

lam hal-hal yang terkecil, sebab memang sudah lanjut umur 

mereka, sudah kehabisan tenaga, mereka dua kali lipat lebih 

buruk dari anak-anak.  

4. Mereka teramat sangat miskin (ay. 3). Mereka sudah hampir 

kelaparan, sebab mereka tidak mau bekerja, sedangkan untuk 

mengemis pun mereka malu. Seandainya mereka memang di-

buat miskin oleh tindakan Penyelenggaraan Allah, maka para 

tetangga mereka pasti akan mengasihani dan menolong mere-

ka. namun , sebab  mereka mengalami kesesakan sebab  kema-

lasan dan hidup boros, tak seorang pun yang tergerak untuk 

menolong mereka. Sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke 

padang gurun untuk berlindung dan bertahan. Sengsara hi-

dup mereka, saat  mereka harus memetik gelang laut di 

antara semak-semak, dan akar pohon arar menjadi makanan 

mereka. namun  merasa senang memakannya, sebab  keku-

rangan makanan yang pantas (ay. 4). Lihatlah ke mana kela-

paran akan membawa kita: separuh dunia tidak tahu bagai-

mana keadaan separuh bagian yang lainnya. Seharusnya 

orang-orang yang berkelimpahan memikirkan juga mereka 

yang nasibnya memburuk dan menjadi berkekurangan. Dalam 

semuanya ini, kita harus mengakui kebenaran Allah, dan tidak 

menganggapnya aneh, jika kemalasan menjadikan orang mis-

kin dan jiwa yang malas dibuat menderita kelaparan. Dunia 

yang berjiwa pengemis ini penuh dengan orang-orang miskin 

dari si jahat.  

5. Mereka sangat jahat, tidak hanya menjadi beban namun  juga 

wabah di tempat-tempat mereka tinggal, bajingan rendah, 

sampah negeri: Mereka diusir dari pergaulan hidup (ay. 5). Me-

reka berbohong, mencuri, pengintai, dan kejam, sehingga tin-

dakan terbaik yang dapat dilakukan oleh para pejabat yaitu  

mengusir mereka dari negeri, sementara gerombolan orang 

berteriak-teriak terhadap mereka seperti terhadap pencuri. 

Enyahlah kalian dari bumi, tidak pantas kalian tinggal. Mereka 

malas dan tidak mau bekerja, dan sebab  itu mereka diteriaki 

seperti terhadap pencuri dan memang adil demikian. Sebab 

orang-orang yang tidak mendapat roti melalui pekerjaan yang 

jujur, pada dasarnya sama saja dengan mencuri roti dari 

mulut orang lain. Seorang pengangguran yaitu  suatu gang-

guan umum. namun  lebih baik untuk menitipkan mereka di 

sebuah rumah penampungan daripada membuang mereka ke 

padang gurun, yang akan menghukum mereka, namun  tidak 

akan pernah membarui mereka. Mereka dipaksa untuk tinggal 

di dalam celah-celah tanah, dan di antara semak-semak mere-

ka meraung-raung (ay. 6-7). Lihatlah nasib orang-orang yang 

mendapat teriakan dari negeri, teriakan dari hati nurani mere-

ka sendiri, yang menentang mereka. Mereka tidak bisa tidak 

berada di dalam kengerian dan kebingungan yang terus-mene-

rus. Di antara semak-semak mereka meraung-raung (demikian 

Broughton) dan berkelompok di bawah jeruju. Mereka tersengat 

dan tergores di sana, sementara mereka berharap untuk ber-

naung dan berlindung. Lihatlah penderitaan apa yang ditimpa-

kan orang-orang jahat ke atas diri mereka sendiri di dunia ini. 

Namun hal ini tidak ada apa-apanya dibandingkan penderita-

an yang disimpan bagi mereka di dunia lain.  

6. Mereka tidak punya apa-apa sama sekali untuk dihargai. 

Mereka sejenis orang yang jahat. Ya, orang yang tidak punya 

nama, orang-orang yang tidak memiliki apa-apa untuk dipuji 

atau diharapkan. Mereka dibuang dari bumi, didepak dari 

negeri. Tidak terpikirkan jika ada manusia yang sifatnya sede-

mikian rendah dan rusak seperti orang-orang ini. saat  kita 

bersyukur kepada Allah bahwa kita ini diciptakan sebagai ma-

nusia, kita juga harus bersyukur tidak menjadi manusia seperti 

mereka. Yang parahnya, orang-orang yang demikian berlaku 

jahat terhadap Ayub,  

(1) Untuk membalas dendam, sebab  saat  dia dahulu mak-

mur dan berkuasa, seperti layaknya seorang pejabat yang 

baik, dia menerapkan hukum yang menindak tegas gelan-

dangan, bajingan, dan pengemis keras kepala, dan hal ini 

kini diingat oleh orang-orang jahat ini terhadap dirinya.  

(2) Untuk bersukaria atas dia, sebab  mereka berpikir bahwa 

dia sekarang telah menjadi seperti salah satu dari mereka 

(Yes. 14:10-11). Orang-orang hina, yang jahat hatinya, suka 

menghina orang-orang yang menderita (Mzm. 35:15). 

II. Penghinaan terbesar yang diberikan kepada Ayub. Tidak terba-

yangkan perlakuan jahat mereka terhadapnya.  

1. Mereka membuat sajak-sajak tentang Ayub, untuk bersenang-

senang (ay. 9): Aku menjadi sajak sindiran dan ejekan mereka. 

Sungguh hina orang-orang yang menjadikan malapetaka se-

sama sebagai senda-gurau, dan bersukaria menghibur diri 

dengan kesedihan mereka. 

2. Mereka memandang Ayub seperti tontonan yang menjijikkan, 

membencinya, dan menghindarinya (ay. 10), seperti monster 

jelek atau berpenyakit menular. Orang-orang yang telah diusir 

dari antara orang banyak itu kini mengusir Ayub. Sebab,  

3. Mereka mencemooh dia sehabis-habisnya dan dengan meluap-

luap. Mereka meludahi mukanya atau bersiap untuk melaku-

kannya. Mereka mengganjal tumitnya, mengait kakinya (ay. 12), 

menendangnya, entah dalam kemarahan sebab  mereka mem-

benci dia, atau hanya untuk mempermainkan dia, seperti orang 

bermain bola. Orang-orang yang paling saleh pun kadang-

kadang menerima perlakuan jahat dan penghinaan dari dunia 

yang penuh kebencian, cibiran, dan sebab  itu mereka tidak 

perlu heran. Tuhan kita juga pernah dilecehkan demikian.  

4. Mereka sangat jahat terhadap Ayub, tidak mempermainkan 

dia, namun  juga memangsa dia. Tidak hanya mengganggu dia, 

namun  juga menjahati dia dengan berbagai cara. Mereka me-

rintis jalan kebinasaan terhadap aku. Mereka melempar kepa-

daku penyebab celaka mereka. Yaitu, “Mereka menyalahkan 

aku sebab  mereka diusir.” Memang sudah biasa bagi pen-

jahat untuk membenci hakim dan hukum yang menghukum 

mereka. Namun, dengan perlakukan ini,  

(1) Mereka menuduhnya dengan tidak beralasan, memfitnah 

dia dengan perbuatannya yang dahulu, yang di sini dikata-

kan membongkar jalanku. Mereka menuduhnya seorang 

penguasa kejam dan seorang penindas sebab  dia telah 

menghukum mereka. Dan mungkin juga teman-teman 

Ayub mendasarkan tuduhan tak berbelaskasihan mereka 

(22:6, dst.) pada kecaman-kecaman yang tidak adil dan 

tidak masuk akal dari orang-orang yang malang ini. Betapa 

lemah dan cerobohnya para sahabat Ayub sampai mau 

mengindahkan tuduhan orang-orang seperti ini terhadap 

Ayub. Sebab, siapa yang akan benar jika tuduhan dari 

orang jahat diperhatikan?  

(2) Mereka tidak hanya bersukaria atas malapetaka Ayub, te-

tapi juga memperparahnya, berbuat sedapat mungkin un-

tuk menambah penderitaannya supaya ia semakin seng-

sara lagi. Sangatlah berdosa untuk bersuka atas malape-

taka orang, terutama orang-orang yang baik. Tidak ada 

yang menghalang-halangi mereka, tidak ada yang mengatur 

atau menyetujui mereka, tidak ada yang mendukung atau 

melindungi mereka, namun  mereka melakukannya atas 

kehendak sendiri dan bersama-sama. Mereka semua bodoh 

di dalam hal-hal lain, namun  cukup pintar untuk melaku-

kan kejahatan, dan tidak butuh bantuan dalam melaku-

kannya. Beberapa orang menafsirkannya, Mereka mengam-

bil untung dari bencanaku, namun  tidak menjadi lebih baik. 

Orang-orang jahat, kendati mereka tidak mendapat apa-

apa melalui bencana orang lain, namun tetap bersukacita 

di dalamnya.  

5. Orang-orang yang melakukan kepadanya semua kejahatan ini 

begitu banyak, sehati, dan kejam (ay. 14): Seperti melalui tem-

bok yang terbelah lebar mereka menyerbu, saat  tembok ben-

teng rusak. Atau, “Mereka datang seperti tentara yang menero-

bos masuk kota yang terkepung melalui tembok kota yang 

hancur, dan menerjang aku dengan kemarahan yang besar.” 

Dan mereka merasa bangga dan senang dengan hal ini: Mere-

ka datang bergelombang di tengah-tengah keruntuhan, seperti 

orang menggelundung dalam sebuah kasur yang empuk dan 

nyaman. Mereka berguling-guling di atas Ayub dengan seluruh 

berat kejahatan mereka. 

III. Semua hinaan yang ditimpakan ke atas Ayub itu disebabkan oleh 

masalah yang dialaminya (ay. 11): “sebab  tali kemahku telah 

dilepaskan Allah. Allah telah mengambil kehormatan dan kekuat-

an yang selama ini menopang diriku (12:18), Ia telah memporak-

porandakan apa yang telah aku kumpulkan dan mengacaukan 

segala urusanku. sebab  Ia telah menulahi aku, sehingga mereka 

tidak mengekang diri terhadap aku,” yaitu, “mereka melepaskan 

diri untuk berbicara dan melakukan apa yang mereka sukai 

terhadap aku.” Orang-orang yang oleh Pemeliharaan Allah dilucuti 

dari kehormatan mereka harus bersiap-siap dipenuhi dengan 

penghinaan oleh orang-orang yang bertabiat jahat. “Oleh sebab  

Allah telah melepaskan talinya” (bahasa aslinya juga berbunyi 

demikian), yaitu “sebab  Allah telah melepaskan tali kekang dari 

kejahatan mereka, maka mereka membuang kekang dariku,” ya-

itu “mereka tidak peduli dengan otoritasku atau menghargai diri-

ku lagi.” yaitu  sebab  Allah yang memegang hati nurani orang, 

bahkan orang-orang yang jahat, dan mengekang mereka, sehingga 

kita tidak terus-menerus dihina dan dilecehkan. Dan, jika suatu 

waktu kita menjumpai perlakuan buruk yang seperti ini, maka 

kita harus mengakui tangan Allah dalam melepas kekang mereka, 

seperti yang dialami Daud saat  Simei mengutukinya: Biarkanlah 

dia dan biarlah ia mengutuk, sebab TUHAN yang telah berfirman 

kepadanya demikian. Nah, dalam semuanya ini,  

1. Kita dapat melihat ketidakpastian dari kehormatan duniawi, 

dan terutama pujian atas ketenaran, betapa cepatnya orang 

dapat jatuh dari puncak martabat ke dalam kedalaman hina-

an. sebab  itu betapa tidak beralasannya manusia untuk ber-

ambisi atau bangga dengan apa yang sedemikian mudah hi-

lang itu. Betapa manusia jangan menaruh keyakinan di da-

lamnya! Orang-orang yang hari ini berseru, “Hosana,” mung-

kin besok berseru, “Salibkan.” Namun ada suatu kehormatan 

yang datang dari Allah, yang apabila kita pelihara, tidak akan 

berubah atau hilang.  

2. Kita dapat melihat bahwa sering kali nasib orang-orang yang 

sangat baik dan bijaksana diinjak-injak dan dilecehkan. Dan,  

3. Mereka yang memandang hanya kepada hal-hal yang keli-

hatan, membenci mereka yang dibenci dunia dunia, kendati 

mereka pernah menjadi kesukaan sorga. Tidak ada yang lebih 

mengenaskan dalam kemiskinan daripada saat  ia membuat 

manusia menjadi hina. Turba Remi sequitur fortunam, ut sem-

per odit damnatos – Penduduk Roma, yang percaya dengan per-

ubahan nasib, menganiaya yang jatuh.  

4. Kita dapat melihat di dalam diri Ayub suatu perlambangan 

akan Kristus, yang dijadikan olok-olok manusia dan cibiran 

orang (Mzm. 22:8; Yes. 53:3), dan yang tidak menyembunyikan 

wajah-Nya dari rasa malu dan ludah, dan menanggung peng-

hinaan dengan lebih baik daripada Ayub. 

Keluhan Ayub Atas Malapetaka yang Menimpanya 

(30:15-31) 

15 Kedahsyatan ditimpakan kepadaku; kemuliaanku diterbangkan seperti 

oleh angin, dan bahagiaku melayang hilang seperti awan. 16 Oleh sebab itu 

jiwaku hancur dalam diriku; hari-hari kesengsaraan mencekam aku. 17 Pada 

waktu malam tulang-tulangku seperti digerogoti, dan rasa nyeri yang menu-

suk tak kunjung berhenti. 18 Oleh kekerasan yang tak terlawan koyaklah 

pakaianku dan menggelambir sekelilingku seperti kemeja. 19 Ia telah meng-

hempaskan aku ke dalam lumpur, dan aku sudah menyerupai debu dan abu. 

20 Aku berseru minta tolong kepada-Mu, namun  Engkau tidak menjawab; aku 

berdiri menanti, namun  Engkau tidak menghiraukan aku. 21 Engkau menjadi 

kejam terhadap aku, Engkau memusuhi aku dengan kekuatan tangan-Mu.  

22 Engkau mengangkat aku ke atas angin, melayangkan aku dan menghan-

curkan aku di dalam angin ribut. 23 Ya, aku tahu: Engkau membawa aku 

kepada maut, ke tempat segala yang hidup dihimpunkan. 24 Sesungguhnya, 

masakan orang tidak akan mengulurkan tangannya kepada yang rebah, jika-

lau ia dalam kecelakaannya tidak ada penolongnya? 25 Bukankah aku mena-

ngis sebab  orang yang mengalami hari kesukaran? Bukankah susah hatiku 

sebab  orang miskin? 26 namun , saat  aku mengharapkan yang baik, maka 

kejahatanlah yang datang; saat  aku menantikan terang, maka kegelap-

anlah yang datang. 27 Batinku bergelora dan tak kunjung diam, hari-hari 

kesengsaraan telah melanda diriku. 28 Dengan sedih, dengan tidak terhibur, 

aku berkeliaran; aku berdiri di tengah-tengah jemaah sambil berteriak minta 

tolong. 29 Aku telah menjadi saudara bagi serigala, dan kawan bagi burung 

unta. 30 Kulitku menjadi hitam dan mengelupas dari tubuhku, tulang-tulang-

ku mengering sebab  demam; 31 permainan kecapiku menjadi ratapan, dan 

tiupan serulingku menyerupai suara orang menangis.” 

Dalam bagian yang kedua dari keluhan Ayub ini, yang lebih pahit, 

dan sangat bernada sedih, kita dapat mengamati banyak hal yang 

menjadi keluhannya dan hanya sedikit yang menghiburnya. 

I. Inilah banyak hal yang dikeluhkan Ayub. 

1. Secara umum, hari-harinya penuh dengan kesulitan dan ke-

sengsaraan yang hebat.  

(1) Malapetaka telah menimpanya dan mengejutkannya. Mala-

petaka menimpanya (ay. 16): Hari-hari kesengsaraan men-

cekam aku. Kesengsaraan telah mencekam aku, seperti pe-

nagih utang menangkap si pengutang, menepuk punggung-

nya, dan mengamankannya. Pada waktu kesusahan datang 

dengan suatu maksud, ia menangkap dengan cepat dan 

tidak kehilangan pegangannya. Malapetaka mengejutkan-

nya (ay. 27): “Hari-hari kesengsaraan telah melanda diriku,” 

yaitu, “kesengsaraan datang ke atas diriku tanpa mem-

berikan peringatan sebelumnya. Aku tidak mengharapkan-

nya atau melakukan persiapan apa pun bagi hari yang jahat 

itu.” Amatilah, ia menghitung kesengsaraannya dengan hari, 

yang akan segera dihitung dan selesai, dan tidak ada apa-

apanya dibandingkan kekekalan (2Kor. 4:17).  

(2) Ia merasa sangat berduka sebab  petaka itu. Batinku ber-

gelora, dan tak kunjung diam (ay. 27). Sengsara akibat mu-

sibahnya terus memangsa rohnya tanpa jeda. Ia terus ber-

sedih dari hari ke hari, selalu berkeluh kesah, selalu me-

ratap. Awan yang demikian terus-menerus menggantung di 

pikirannya sehingga akibatnya dia hidup tanpa terang (ay. 

26). Ia tidak memiliki sesuatu yang dapat menghiburnya. Ia 

pasrah harus hidup sengsara selamanya, seperti Yakub, 

yang bertekad untuk pergi berkabung di kuburan. Ia ber-

keliaran tanpa terang matahari (demikian kata sebagian 

orang) di tempat-tempat yang gelap, seperti yang biasa dila-

kukan oleh orang-orang yang sedang bersedih. saat  dia 

pergi ke kumpulan jemaah, bergabung dengan mereka di 

dalam ibadah yang khusyuk, alih-alih berdiri dengan te-

nang untuk menginginkan doa-doa mereka, ia berdiri dan 

menangis keras-keras, dengan kesakitan tubuh, atau kese-

dihan pikiran, seperti orang yang setengah terganggu pikir-

annya. saat  ia tampil di depan banyak orang, untuk me-

nerima kunjungan, saat  hal yang baik datang kepadanya, 

dia tidak dapat menahan diri, tidak dapat menjaga sopan-

santun, melainkan berdiri dan menjerit keras. Maka dia 

menjadi saudara bagi serigala, dan kawan bagi burung 

unta (ay. 29), memilih menyendiri dan menarik diri seperti 

binatang-binatang ini (Yes. 34:13), menjerit dengan suara 

yang mengerikan dan menakutkan seperti yang mereka 

lakukan. Semua keluhannya yang kacau itu cocok jika di-

bandingkan dengan suara bising tidak keruan dari bina-

tang-binatang itu.  

2. Kengerian dan kesusahan yang mencengkam jiwanya yaitu  

bagian yang paling menyakitkan dari bencananya (ay. 15-16).  

(1) Apabila dia memandang ke depan, dia melihat setiap hal 

menakutkan di hadapannya. Apabila dia berusaha untuk 

melepaskan kengeriannya, mereka berbalik mengamuk ke-

padanya. Apabila dia berusaha untuk melarikan diri, mere-

ka mengejar jiwanya secepat dan sekencang angin. Ia me-

ngeluh, mula-mula, tentang kedahsyatan Allah seperti 

pasukan melawannya (6:4). Dan tetap saja, ke mana pun ia 

memandang, mereka menghadapinya, dan ke mana pun ia 

melarikan diri, mereka mengejarnya. Jiwaku (bagianku 

yang terpenting, ratuku – bahasa Ibrani). Jiwa yaitu  bagi-

an penting dari manusia. Jiwa yaitu  kemuliaan kita. Da-

lam segala hal jiwa lebih unggul daripada tubuh, dan kare-

nanya apa yang mengejar jiwa dan mengancamnya pastilah 

yang paling mengerikan.  

(2) Apabila ia menengok ke belakang, ia melihat segala yang 

baik yang dahulu dinikmatinya telah hilang darinya, dan 

tidak ada sesuatu yang disisakan baginya kecuali ingatan 

yang pahit tentangnya: Kesejahteraan dan kekayaanku te-

lah lenyap, sama cepatnya dan tiba-tibanya, tidak dapat 

dipulihkan, seperti awan.  

(3) Apabila ia melihat ke dalam, ia mendapati jiwanya tengge-

lam seluruhnya dan tak sanggup menopang kelemahannya, 

tidak hanya terluka, namun  juga hancur (ay. 16). Ia tidak 

hanya lemah seperti air, namun  juga, dalam pemahaman-

nya, hilang seperti air tertumpah ke tanah. Bandingkan 

Mazmur 22:15, Hatiku (meleleh) menjadi seperti lilin. 

3. Segala penyakit di tubuhnya sangat memilukan. Sebab,  

(1) Ia penuh dengan rasa sakit, nyeri menusuk-nusuk, nyeri 

yang tembus sampai ke tulang, ke semua tulangnya (ay. 17). 

Rasanya seperti pedang di dalam tulangnya, yang menggero-

gotinya di waktu malam, saat  dia seharusnya menyegarkan 

diri dengan tidur. Sarafnya mengalami kejang-kejang yang 

hebat. Otot-ototnya tidak beristirahat. Oleh sebab  nyerinya 

itu, ia tidak dapat beristirahat, tidur pergi dari matanya. 

Tulang-tulangku mengering sebab  demam (ay. 30). Ia terus 

menderita demam yang tinggi, yang mengeringkan kelem-

baban tubuhnya dengan cepat dan bahkan memakan sum-

sum tulangnya. Lihatlah betapa lemahnya tubuh kita yang 

membawa bibit-bibit penyakit dan kematian dalam dirinya.  

(2) Badannya penuh dengan luka-luka borok dan bisul. Bebe-

rapa orang yang menderita di dalam tulang mereka tetap 

dapat tidur dengan seluruh kulit yang utuh. namun  sasaran 

Iblis kepada Ayub meluas hingga ke tulang dan dagingnya, 

tak satu pun dibiarkannya. Kulitku menjadi hitam (ay. 30). 

Darah memucat, dan luka-luka bernanah dan sedikit demi 

sedikit mengering dan mengeras, yang membuat kulitnya 

tampak hitam. Bahkan pakaiannya berubah warna sebab  

bisulnya yang terus meleleh, dan pakaian lembut yang bia-

sa dipakainya kini berubah menjadi kaku sehingga seluruh 

pakaiannya menggelambir seperti kemeja (ay. 18). Akan 

memuakkan untuk menggambarkan seperti apa keadaan 

Ayub sebab  kekurangan kain bersih dan perawatan yang 

baik, dan betapa kotor semua pakaiannya. Beberapa penaf-

sir berpikir bahwa, di antara penyakit lain, Ayub menderita 

bengkak di dalam tenggorokannya dan itulah yang menye-

babkan dia terikat seperti kerah leher yang kaku. Demi-

kianlah ia terhempas ke dalam lumpur (ay. 19),  atau seperti 

lumpur, kata beberapa orang. Tubuhnya lebih menyerupai 

tumpukan kotoran ketimbang yang lain. Maka jangan 

seorang pun bangga dengan pakaian mereka atau bangga 

dengan kebersihan mereka. Mereka tidak tahu bahwa pe-

nyakit tertentu atau yang lain akan dapat mengubah pakai-

an mereka, dan bahkan menghempaskan mereka ke dalam 

lumpur, dan menjadikan mereka memuakkan bagi diri sen-

diri maupun orang lain. Maka sebagai ganti rempah-rempah 

harum akan ada bau busuk (Yes. 3:24). Sebaik apa pun, 

kita ini tidak lain hanyalah debu tanah, dan tubuh kita hina. 

namun  kita cenderung lupa sampai Allah, melalui penyakit 

menyakitkan, membuat kita merasa dan mengakui apa kita 

sebenarnya. “Aku sudah menyerupai debu dan abu yang 

segera akan kualami: ke mana pun aku pergi aku mem-

bawa kuburanku bersama dengan diriku.”  

4. Hal yang paling membuat Ayub menderita yaitu  bahwa Allah 

tampak menjadi musuhnya dan berperang melawan dia. Ia 

yang telah menghempaskan aku ke dalam lumpur (ay. 19), dan 

kelihatannya yang menginjak-injak dia saat  ia ada dalam 

lumpur. Inilah yang menghancurkan hatinya lebih dari hal 

lainnya,  

(1) Bahwa Allah tidak tampil baginya. Ia mencari Allah, namun  

tidak memperoleh perkenan dari Dia, tidak mendapatkan 

kabar apa pun. Ia bersungguh-sungguh dalam permohon-

annya namun sia-sia (ay. 20): “Aku berseru minta tolong 

kepada-Mu, dengan bersungguh-sungguh, Aku berdiri, dan 

berseru, menunggu suatu jawaban, namun  Engkau tidak 

mendengarkan, Engkau tidak menghiraukan aku.” Jika doa 

kita yang paling giat tidak mendatangkan hasil yang cepat, 

kita tidak boleh menganggapnya aneh. Kendati keturunan 

Yakub tidak pernah mencari dengan sia-sia, namun  mereka 

sering kali menganggap bahwa mereka tidak mendapatkan 

apa-apa dan bahwa Allah tidak hanya tuli, namun  juga ma-

rah dengan doa-doa umat-Nya (Mzm. 80:5).  

(2) Bahwa Allah tampil menentang dia. Apa yang dikatakannya 

di sini tentang Allah yaitu  salah satu dari perkataan ter-

buruk yang pernah Ayub ucapkan (ay. 21): Engkau menjadi 

kejam terhadap aku. Dijauhkanlah kiranya dari Allah yang 

penuh rahmat dan belas kasihan untuk menjadi kejam ke-

pada siapa pun. Kasih-Nya tak pernah gagal, apalagi terha-

dap anak-anak-Nya sendiri. Ayub berbuat tidak benar dan 

tidak tahu bersyukur saat  berkata demikian tentang Allah. 

Ia menyimpan pikiran yang keras tentang Allah, dan dosa ini 

yang paling mudah menyusahkan dia saat itu. Di sini,  

[1] Ia menganggap Allah berperang melawan dia dan me-

ngerahkan seluruh kekuatan-Nya untuk menghancur-

kan dirinya: Engkau memusuhi aku dengan kekuatan 

tangan-Mu, atau bertindak sebagai musuh terhadap aku. 

Ia dulu memiliki pemikiran yang lebih baik tentang Allah 

(23:6), saat  dia menyimpulkan bahwa Allah tidak akan 

mengadakan perkara dengannya dalam kemahakuasaan-

Nya. Allah memiliki kedaulatan yang mutlak dan kekuat-

an yang tidak terlawankan, namun  Ia tidak pernah meng-

gunakannya untuk menghancurkan atau menindas orang.  

[2] Ia menganggap Allah menghina dirinya (ay. 22): Engkau 

mengangkat aku ke atas angin, seperti sehelai bulu atau 

daun kering yang dapat dipermainkan angin. Begitu tak 

sebanding dirinya bagi Kemahakuasaan Allah. Ia mera-

sa begitu tak sanggup untuk menolong diri sendiri saat  

dia diangkat naik, bukan dalam kemenangan, melainkan 

dalam kengerian, ke atas sayap angin, dan bahkan peng-

hakiman Allah menghancurkannya, seperti awan dihem-

paskan oleh angin. Kodrat manusia, sekalipun dalam 

keadaan terbaik apa pun, bukanlah apa-apa di hadapan 

kuasa Allah. Ia hancur lebur oleh-Nya. 

5. Sekarang Ayub tidak mengharapkan hal lain selain bahwa 

Allah, melalui kesusahan ini, akan segera mengakhiri hidup-

nya: “Apabila aku diangkat naik ke atas awan, aku tidak dapat 

mengandalkan hal lain selain mematahkan segera leherku.” 

Dan dia berbicara seakan-akan Allah tidak punya rancangan 

lain terhadap dirinya selain semua yang telah menimpanya ini: 

“Aku tahu bahwa Engkau membawa aku, dengan begitu ba-

nyak kengerian yang lebih hebat, kepada maut, kendati aku 

dapat saja dibawa ke sana tanpa semua masalah ini, sebab 

itulah tempat segala yang hidup dihimpunkan” (ay. 23). Kubur-

an yaitu  sebuah rumah, sebuah tempat yang sempit, gelap, 

dingin, kosong, namun itu akan menjadi tempat tinggal kita, di 

mana kita akan beristirahat dan menjadi aman. Itulah rumah 

yang kita rindukan, rumah kita sendiri. Sebab itulah pang-

kuan ibu kita, dan di dalamnya kita dikumpulkan bersama 

dengan para leluhur kita. Itulah tempat yang ditetapkan bagi 

kita oleh Dia yang telah menetapkan batas-batas tempat ting-

gal kita. Tempat itu telah ditetapkan bagi semua yang hidup. Itu 

yaitu  suatu tempat umum, di mana orang yang kaya dan 

miskin bertemu. Tempat itu ditetapkan bagi pertemuan umum. 

Kita semua pasti dibawa ke sana segera. Allah-lah yang mem-

bawa kita ke sana, sebab kunci maut dan kubur ada di dalam 

tangan-Nya, dan kita semua tahu bahwa, lembat atau cepat, Ia 

akan membawa kita ke sana. Merupakan hal yang baik bagi 

kita jika kita dengan sepatutnya mempertimbangkannya. sebab  

orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati. Marilah 

kita, masing-masing kita, mengetahuinya sambil berjaga-jaga. 

6. Ada dua hal yang memperberat kesusahan Ayub, dan menjadi-

kannya semakin tidak dapat diterima:  

(1) Bahwa ia sangat kecewa sebab  harapannya tidak terka-

bulkan (ay. 26): “saat  aku mengharapkan yang baik, yang 

lebih baik, atau setidaknya kelangsungan dari apa yang 

telah kumiliki, maka kejahatanlah yang datang.” Betapa ti-

dak menentunya semua kesukaan duniawi kita, dan betapa 

bodohnya untuk memuaskan diri dengan pengharapan 

yang besar darinya. Orang-orang yang menantikan terang 

dari pijaran kenyamanan makhluk atau benda ciptaan 

akan sangat dikecewakan, dan akan membuat mereka tidur 

dalam kegelapan.  

(2) Bahwa sangatlah besar perubahan yang terjadi dalam ke-

adaannya (ay. 31): “Kecapiku tidak hanya digeletakkan dan 

digantung pada pohon gandarusa, namun  juga diubah men-

jadi ratapan, dan tiupan serulingku menyerupai suara orang 

menangis.” Ayub, dalam kemakmurannya, mengambil reba-

na dan kecapi, dan bersukaria menurut lagu seruling (21:12). 

Ayub orang yang agung dan mulia, namun  ia juga punya 

waktu untuk bergembira. namun  sekarang nadanya telah 

berubah. sebab  itu, kiranya orang-orang yang bersukacita 

bersikap seolah-olah mereka tidak bersukacita, sebab mere-

ka tidak tahu betapa cepatnya tertawa mereka akan ber-

ubah menjadi dukacita dan sukacita mereka berubah men-

jadi beban yang berat. Demikianlah kita lihat betapa banyak 

keluhan Ayub. Namun, 

II. Di sini ada sesuatu di tengah-tengah semua dukacita ini yang 

dinikmatinya, meskipun hanya kecil saja.  

1. Ia dapat melihat ke depan, dengan lega, bahwa kematian akan 

menjadi akhir dari semua malapetakanya (ay. 24): Kendati 

Allah sekarang, dengan tangan yang kuat, menentang dia, “na-

mun,” katanya, ”Ia tidak akan mengulurkan tangan-Nya hingga 

ke kubur.” Tangan murka Allah akan membawanya kepada 

maut, namun  tidak akan membawanya melampaui kematian. 

Jiwanya akan menjadi aman dan bahagia di dalam dunia roh, 

tubuhnya aman dan tenang di dalam debu tanah. Kendati 

manusia berteriak dalam kehancurannya  dan kendati, saat  

mereka sedang sekarat, ada banyak kepedihan dan tangisan, 

banyak helaan napas, dan ratapan, serta keluhan, namun di 

dalam kubur mereka tidak akan merasakan apa-apa, mereka 

tidak takut terhadap apa pun, sebab  segala sesuatunya te-

nang di sana. “Kendati di dalam neraka, yang disebut keha-

ncuran, mereka berteriak, namun tidaklah demikian di dalam 

kubur. Dan, dengan dilepaskan dari kematian yang kedua, 

kematian yang pertama bagiku akan menjadi suatu kelegaan.” 

Oleh sebab  itu, dia berharap dia dapat bersembunyi di dalam 

dunia orang mati (14:13).  

2. Ia bercermin dengan lega atas perhatian yang selalu diberikan-

nya atas malapetaka orang lain saat  dia sedang damai (ay. 

25): Bukankah aku menangis sebab  orang yang mengalami 

hari kesukaran? Sebagian penafsir menganggap Ayub di sini 

mengeluh tentang Allah, berpikir keras mengapa ia yang telah 

menunjukkan belas kasihan kepada orang lain, ia sendiri tidak 

mendapatkan belas kasihan. Saya lebih suka menganggap 

Ayub sedang menghibur diri dengan rasa lega saat  memikir-

kan perbuatannya dahulu. Hati nuraninya bersaksi bagi dia 

bahwa dia selalu bersimpati dengan orang-orang yang sedang 

mengalami kesusahan, dan berbuat sedapat mungkin untuk 

menolong mereka. Dan sebab nya ia punya alasan untuk ber-

harap bahwa, pada akhirnya, Allah dan teman-temannya akan 

mengasihaninya. Orang-orang yang berduka bersama dengan 

mereka yang berduka akan menanggung kesusahannya sen-

diri dengan lebih baik saat  tiba gilirannya untuk meminum 

cawan yang pahit. Bukankah susah hatiku sebab  orang mis-

kin? Demikian yang dibaca oleh sebagian orang, membanding-

kannya dengan apa yang ditulis oleh Rasul Paulus, 2 Korintus 

11:29, Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh 

dukacita? Sama seperti orang-orang yang tidak berbelas kasih-

an dan berkeras hati kepada orang lain dapat berharap untuk 

mendengarnya dari hati nuraninya sendiri, saat  mereka sen-

diri di dalam kesusahan, demikian pula orang-orang yang peduli 

terhadap orang miskin dan menolong mereka akan terkenang 

dengan perbuatan mereka itu, sehingga mereka merasa damai 

di dalam kesakitan mereka (Mzm. 41:3-4). 

 

 

 

  

PASAL 3 1  

yub telah sering membuat pernyataan sanggahan tegas secara 

umum terhadap tuduhan bahwa ia tidak tulus. Di dalam pasal 

ini ia memberi sanggahan dengan menyertakan contoh-contoh khu-

sus ketulusannya, bukan dengan cara memuji diri sebab di sini ia 

tidak mengumandangkan perbuatan-perbuatan baiknya, melainkan 

untuk me