Tampilkan postingan dengan label sain Alquran 13. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sain Alquran 13. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 November 2024

sain Alquran 13


 ksimal mungkin tanpa meremehkan kemungkinan pandangan 

dan metode lain. Guessoum sangat mengapresisasi beberapa 

pandangan filsuf sains abad ke-   yaitu Karl Popper, Thomas 

Kuhn, Imre Lakatos, dan Paul Feyerabend. Para ilmuwan dan 

filsuf ini  telah memberi  kontribusi yang sangat pentingdan berharga dalam diskursus sains, khususnya cakupan dan batas 

keilmuan.  

Francis Bacon sebagai pelopor berkembangnya sains 

modern cenderung dianggap memisahkan sains dan agama. Pada 

sisi lain, Bacon pada dasarnya memberi  kontribusi yang cukup 

penting terhadap terjadinya dialog dan integrasi antara sains dan 

agama. Bacon memang memandang bahwa sains dan alam 

terpisah dari agama karena ranah mereka berbeda, meskipun 

demikian wahyu juga sumber yang sah dan bernilai terhadap cara 

mendapatkan pengetahuan. Sains menurutnya mesti terbuka dan 

terhindar dari pandangan reduksionis.  

Beberapa pandangan ini  di atas menunjukkan bahwa 

revolusi dalam hal ini revolusi ilmiah telah memberi  peranan 

yang sangat penting dalam sejarah sains. Hal inilah yang menjadi 

pokok pikiran Kuhn ketika mengemukakan konsep tentang 

struktur revolusi ilmiah. Pemikiran Kuhn juga telah memberi  

kontribusi yang sangat penting bagi perkembangan filsafat sains 

kontemporer baik di Barat maupun dunia Islam. Guessoum sering 

mengutip Kuhn dalam merumuskan rekonstruksi filsafat sains di 

dalam Islam. 

Persoalan karakteristik hipotesis ilmiah dan perbedaan 

antara sains dan non sains bagi Gessoum telah dijelaskan secara 

baik oleh Popper dengan prinsip falsifikasinya. Sebuah hipotesis 

dapat dikatakan ilmiah setelah dilakukan proses falsifikasi 

sehingga dapat diuji dan dibuktikan bahwa ia benar atau salah. 

Selain Popper, Guessoum juga sangat mengapresiasi Thomas 

Kuhn. Thomas Kuhn melihat bahwa teori sains berkembang dan 

diterima oleh warga  sepanjang periode yang disebutnya 

dengan sains normal (normal science) dan teori ini  menjadi 

sebuah paradigma. Paradigma ini  akan diganti melalui 

revolusi setelah ditemukan banyak anomali. Kuhn sangat 

meragukan adanya objektivitas dan universalitas sains karena 

paradigma pada periode sains normal dan penentuan berbagai 

anomali sebelum revolusi sangat ditentukan oleh subjektivitas 

ilmuwan itu sendiri. Bagi Guessoum, pandangan Kuhn dan 

pendukungnya benar-benar mendobrak konsep tentang fakta dan kebenaran secara menyeluruh. Imre Lakatos memperkuat 

pandangan Kuhn paradigma.  

 

Pemikir lain yang mendapat perhatian cukup serius dari 

Guessoum yaitu  Imre Lakatos. Lakatos memandang bahwa 

paradigma bukan bersifat individual melainkan kolektif. 

Perubahan paradigma mesti melalui program riset yang dimulai 

dari seperangkat fakta atau asumsi sampai mendapatkan hasil 

baru. Berbeda dengan ketiga filsuf sebelumnya, Paul Feyerabend 

memandang bahwa tidak ada batasan sains baik isi maupun 

metodenya. Semua ide dan teori dapat dibawa ke dalam 

pembahasan dan kajian sains. Konsepnya disebut dengan serba 

boleh (anything goes). 1

Ada beberapa definisi dan karakteristik sains modern yang 

tidak begitu dipahami oleh sebagian praktis sains maupun kritikus 

sains. Karakteristik ini  yaitu  naturalisme metodologis, 

ketidakpastian, perubahan, universalisme/objektivisme, dan 

independensi. Naturalisme metodologis cenderung memandang 

dunia dan alam ini seolah-olah tidak ada Tuhan. 

  

Guessoum menilai adanya kecenderungan baru dari para 

Sejarawan, filsuf dan kritikus sains untuk mengungkapkan 

‚Eurocentrism‛ sains Barat dan mengembangkan sebuah 

pandangan baru tentang pengembangan sains pasca kolonialisme 

yang berperan penting dan tepat bagi semua budaya baik dulu 

maupun sekarang. Beberapa filsuf dan kritikus sains seperti 

Ravetz dan Sardar secara tegas mengungkap berbagai kelemahan 

dan penyakit sains modern. Ravetz menilai bahwa sains 

ditemukan dan diproses oleh komunitas yang terdiri dari ilmuwan, 

penulis dan guru. Istilah sains ditemukan dalam sosiologi diganti 

dengan dikonstruksi. Ravetz bahkan mengemukakan beberapa 

ciri-ciri sains modern yang jelek, sembrono, dan kotor. Sardar 

bahkan mengungkap bahwa pengembangan sains di Amerika 

sangat ditentukan oleh militer.  

Perkembangan sains kontemporer memunculkan beberapa 

pandangan dan teori tentang sains. Para filsuf sains kontemporer memberi  warna tersendiri terhadap sains. Di samping Kuhn, 

Lakatos dan Feyerabend yang telah disebutkan di atas, ada 

seorang filsuf yang tidak kalah pentingnya yaitu Karl Popper  

yang mengemukakan teori falsifikasi. Falsifikasi bertolak 

belakang dengan verifikasi. Verifikasi lebih kepada cara 

membuktikan kebenaran suatu teori imiah, sedangkan falsifikasi 

yaitu  upaya membuktikan bahwa suatu teori salah. jika  teori 

ini  dapat dibuktikan salah, maka dengan sendirinya teori 

ini  gugur.   Falsifikasi yaitu  cara untuk membedakan antara 

sains dan non sains dan ia menjadi poin penting dalam metode

ilmiah.

Menurut Guessoum, falsifikasi merupakan metode dan 

konsep yang paling tepat dalam memecahkan dan menjelaskan 

persoalan keilmuan dewasa ini. Umat Islam mulai dari warga  

awam sampai kepada kalangan terdidik sayangnya tidak begitu 

memahami dan menjadikan metode falsifikasi sebagai prinsip 

pengembangan keilmuan dalam Islam. Sains memberi  dampak 

yang kuat terhadap pandangan dunia dan kepercayaaan suatu 

warga . Oleh karena itu, filsafat, metode, dan batasan sains 

harus dikembangkan dan dikawal jangan sampai mengarah pada 

pandangan dunia atau paradigma sains teknokratik atau 

materialistik. Guessoum sangat menyanyangkan bahwa sebagian 

besar ilmuwan muslim cenderung mengabaikan dan meremehkan 

pentingnya penguasaan filsafat sains ataupun sejarah sains.  

Salah satu kelemahan sains yang berkembang di Barat 

yaitu  berkembangnya sebuah aliran atau pemahaman yang 

disebut dengan saintisme. Saintisme memandang hanya ada satu 

kenyataan yang dapat diterima yaitu kenyataan yang dapat 

dibenarkan oleh metode sains yaitu kennyataan empiris. 

Kenyataan dalam paham ini yaitu  bersifat one-dimensional atau 

satu dimensi.  

Saintisme dan naturalisme yaitu  sebuah konstruksi 

pemikiran Barat tidak sesuai dengan dasar metafisika, metode,dan batasan filsafat sains dalam perspektif Islam. Oleh karena itu, 

Guessoum menawarkan sebuah pandangan perlunya membangun 

sebuah sains teistik (theistic science) yang diharapkan dapat 

menjadi solusi berbagai krisis sains modern seperti dalam bentuk 

kerusakan lingkungan, sosial, dan lain sebagainya. Saintisme dan 

naturalisme bukanlah hasil otomatis dari sains modern melainkan 

lebih sebagai sebagai pola pikir yang dikonstruksi oleh para 

pemikir Barat yang kehilangan landasan metafisis, metode dan 

batasan tertentu dari perdebatan sains modern.  

Bagi Rustum Roy, saintisme yaitu  bentuk 

fundamentalisme dalam sains. Ia mendefinisikan saintisme 

sebagai sebuah keyakinan reduksionis absurd yang berpandangan 

bahwa semua kebenaran dan realitas dapat dipelajari dan 

dideskripsikan satu-satunya hanya dengan sains. Ungkapan 

‚hanya‛ melalui sains ini  menunjukkan kekhasan dari 

saintisme dibandingkan dengan pandangan-pandangan umum 

tentang sains.  

Isu-isu yang terkait dengan sains modern pada warga  

muslim dewasa ini yaitu  kalender Islam, teori evolusi, dan 

penyembelihan hewan. Ketiga isu ini  sering didiskusikan dan 

diperdebatkan apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. 

Beberapa golongan warga  muslim memandang perlu sistem 

kalender Islam yang didasarkan pada lunar system dan menolak 

sistem penanggalan masehi. Teori evolusi cenderung ditolak 

berdasarkan teks klasik dan pemahaman terhadap proses 

penciptaan alam yang ada dalam kitab suci. Persoalan 

penyembelihan hewan dan status halal juga sering diperdebatkan 

dalam konteks hukum Islam terkait dengan penyembelihan yang 

memakai  teknologi. Ketiga isu ini  menjadi persoalan 

yang cukup penting akibat meningkatnya penggunaaan 

pendekatan literal di dunia Islam ketika dikaitkan dengan sains 

modern. Pemahaman literal terhadap teks kitab suci cenderung 

menyebabkan ketidaksetujuan yang serius terhadap sains modern. 

Dalam konteks lain, pemahaman ‘ijaz, memahami adanya mu’jizat 

yang luar biasa dalam al-Quran, sering diinterpretasikan secara 

kurang tepat ketika dikaitkan dengan sains modern.Daiber memakai  istilah agama sebagai katalisator 

terhadap sains berdasarkan analisisnya terhadap pemikiran al￾Ghazali tentang kausalitas dalam konteks relasi Islam dan 

rasionalitas.  Agama sebagai katalisator berarti bahwa agama 

berperan mendorong dan mempercepat perkembangan sains 

sedangkan agama itu sendiri tidak mengalami perubahan.

Pandangan bahwa Islam dianggap bertentangan dengan 

sains pernah dikemukakan oleh Renan pada tahun 1    dan 

pendapat ini  kemudian dibantah secara tegas oleh 

Jamaluddin al-Afghani yang menyatakan bahwa Islam sebagai 

sebagai kekuatan moral dan inspirator terhadap perkembangan 

sains.  

 

Pembahasan tentang relasi antara Islam dan sains 

bukanlah dimaksudkan agar lebih banyak umat Islam mendalami 

sains, melakukan riset dan sebagainya tapi yaitu  bagaimana 

membangun pola pikir umat Islam dan hubungannya dengan sains 

dan modernitas secara umum. Jika hal itu telah terbangun dengan 

baik, maka secara otomatis sains di dunia Islam akan berkembang 

dan maju. Oleh karena itu, kebebasan individu dan kebebasan 

akademik serta pola berfikir kritis yaitu  hal yang paling utama 

untuk mengembangkan modernitas secara lebih tepat dan 

menghindari perselisihan baik internal maupun eksternal. Tanpa 

semua itu, sains akan sulit mengakar di dunia Islam.  

Salah satu pandangan Guessoum yang sangat menarik 

bagi John Hedley Brooke yaitu  bahwa jika umat Islam ingin 

mendapatkan kembali warisannya yang paling berharga, mereka 

harus mengkaji dan mendalami sains secara serius. Di samping itu, 

dalam persoalan relasi sains dan agama, umat Islam harus banyak 

mempelajari perdebatan yang terjadi di Barat secara luar biasa.  

Keistimewaan Guessoum yaitu  keberaniannya untuk 

membahas persimpangan antara berbagai isu kontroversial dalam 

sains dan agama (Islam). Persoalan relasi sains dan agama 

sebelumnya dominan dibahas dan dianalisis oleh pemikir Islam 

yang bukan berlatar belakang sains. Analisis pemikir Islam 

ini  tentu saja cenderung salah kaprah dan bias. Kebanyakan saintis Muslim enggan untuk membahas hubungan sains dan 

agama kecuali Guessoum. Beberapa referensi yang membahas 

tentang relasi sains modern dan Islam cenderung memakai  

sudut pandang Barat, sedangkan karya Guessoum ini lebih 

membahas sains modern dalam konteks Islam.  

Sains modern hanya berhasil menjawab pertanyaan 

bagaimana terjadinya sesuatu, namun tidak dapat memecahkan 

persoalan mengapa realitas ini terjadi dan ada. Pertanyaan 

mengapa yaitu  bersifat filosofis, sedangkan sains seperti sebuah 

cerita tanpa akhir dan selalu menarik. Karena manusia memiliki 

begitu banyak keterbatasan, maka pertanyaan mengapa adanya 

dan terjadinya alam ini hanya dapat dijawab oleh keyakinan 

agama. Islam dan sains bersifat komplementer, karena Islam selalu 

terbuka bagi segala jenis pengetahuan. Dalam tradisi Islam, krisis 

antara sains dan agama serta kasus seperti Galileo tidak pernah 

terjadi. Untuk mengintegrasikan antara sains dan Islam yaitu  

dengan cara memahami bahwa Islam menekankan pada keesaan 

Tuhan, sehingga segala hal yang terkait dengan realitas dan 

kemanusiaan mesti sebagai satu kesatuan.  

Pandangan adanya kesesuaian antara sains dan agama 

cenderung pada level yang lebih tinggi dari sekedar pemahaman 

literal terhadap kitab suci dan paradigma ilmiah. Dalam konteks 

ini, beberapa pandangan Guessoum terkait dengan tema-tema 

tertentu relasi sains dan Islam perlu dilihat lebih jauh. 

C. Tema Utama Relasi Sains dan Islam 

1. Dimensi Perdebatan Sains dan Islam 

Berdasarkan survey literatur yang dilakukan sejak tahun 

     sampai awal tahun   1 , diskursus relasi sains dan agama 

yaitu  sebuah diskusi yang menarik dan meluas sampai kepada 

banyak persoalan. Tema pembahasan relasi sains dan agama mulai 

dari persoalan yang kontroversial sampai kepada perdebatan yang 

hangat antara kelompok ateis dan para penentangnya. Pembahasan 

tentang interelasi sains dan agama sampai kepada dengan 

persoalan lingkungan serta tentang aspek-aspek penting pola relasi dan agama dengan dalam kontestasi sejarah yang melibatkan 

berbagai agama dan perspektif.  

Diskursus sains Islam dengan berbagai ragamnya seperti 

yang dikembangkan oleh Nasr, al-Attas, Sardar, al-Faruqi, 

Bucaille, dan yang lainnya lebih cenderung kepada perdebatan 

persoalan teologis (theological) dibandingkan  keilmuan (scientific). 

Sebagian besar berupaya untuk menonjolkan dan memperkuat 

peran dan kontribusi keyakinan dan nilai-nilai keagamaan dalam 

merumuskan sains Islam. Bagi Irfan Habib, yang dibutuhkan umat 

Islam dewasa ini bukanlah sains Islam yang bersifat ekslusif, tapi 

sains dalam peradaban Islam yang bersifat inklusif dan 

berkembang lintas peradaban.  

Sebelum para pemikir di atas menekankan betapa 

pentingnya sains, para pemikir Muslim sebelumnya telah banyak 

menyuarakan bagaimana pentingnya sains dan ilmu-ilmu rasional 

bagi kemajuan umat Islam. Ernest Renan, Jamaluddin al-Afghani 

dan Mustafa Kemal pada prinsipnya sangat menekankan peran dan 

kesesuaian antara ajaran Islam dan sains serta modernitas. Oleh 

karena itu, mereka sangat menentang dogma, tradisi yang statis 

(jumud), dan irrasionalitas yang dapat menghambat sains atau 

diterimanya ilmu-ilmu rasional. Hal yang penting perlu diketahui 

bahwa, masing-masing tokoh ini  tentu saja memiliki 

perbedaan seperti Mustafa Kemal mendukung liberalisme dan 

sekulerisme.  

Guessoum membagi diskursus Islam dan sains yang begitu 

luas dan kompleks menjadi tiga dimensi. Pertama yaitu  dimensi 

sejarah yang membahas tentang perkembangan sains pada 

peradaban Islam. Kedua yaitu  dimensi aplikasi praktis yang 

membahas tentang penggunaan sains dalam warga  Islam seperti penanggalan dan pengobatan. Ketiga yaitu  dimensi 

konseptual yang mendiskusikan tentang relasi sains dan Islam 

baik konflik, harmoni maupun terpisah.  

 

Pada kesempatan lain, Guessoum membagi dua tipe 

terkait dengan masalah perjumpangan sains modern dan agama 

dalam Islam yaitu level elit akademik dan level publik. Kelompok 

pertama cenderung membahas relasi sains modern dan agama 

secara filosofis dengan mencari prinsip-prinsip mendasar dari 

kedua komponen ini . Kelompok pertama ini berupaya 

membangun pandangan filosofis dan keagamaan tersendiri sesuai 

dengan pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang digunakan 

boleh jadi liberal, konservatif, rasional, mistikal dan sebagainya. 

Para pemikir yang termasuk kelompok elit akademik ini antara 

lain yaitu  Seyyed Hossein Nasr, Muzaffar Iqbal, Ziauddin 

Sardar, Mehdi Golshani, Muhammad Abdus Salam, Pervez 

Hoodbhoy dan Taner Edis. Berbeda dengan kelompok pertama, 

kelompok kedua yaitu  berasal dari para dai dan warga  

umum. Mereka membahas tentang relasi sains modern dan Islam 

secara lebih luas seperti di sekolah, media, dan toko buku. 

Persoalan yang dibahas oleh kelompok ini yaitu  berbagai 

penemuan ilmiah dan perkembangan teknologi seperti teori Big 

Bang, teori Evolusi Darwin, kloning dan sebagainya. 1

Dalam konteks dimensi relasi sains modern dan Islam, 

Guessoum tampaknya secara jelas mengklasifikasikannya ke 

dalam tiga dimensi yaitu sejarah, praktis dan teoretis. Ketiga 

dimensi ini  sama-sama penting dan saling terkait satu sama 

lain. Sementara itu, dalam konteks tipe kelompok yang tertarik 

dan terlibat dalam pembahasan sains modern dan Islam, ia hanya 

membagi pada dua kelompok besar yaitu kelompok intelektual 

dan kelompok publik. Baik level akademik maupun publik tentu 

saja tidak terlepas dari perdebatan dan fakta historis tentang 

eksistensi dan peran sains di dunia Islam. 

Ketiga faktor ini  boleh jadi menjadi alasan 

meningkatnya daya tarik untuk mengkaji relasi sains dan Islam 

tidak hanya bagi akademisi dan praktisi di kalangan umat Islam 

itu sendiri, tapi juga bagi akademisi dan praktis secara umum. . Sains dan al-Quran 

Kajian terhadap hubungan sains dan kitab suci tentu saja 

tidak hanya terjadi pada umat Islam. Persoalan yang sering 

muncul yaitu  apakah ayat-ayat pada kitab suci sesuai dengan 

sains. Persoalan lain yaitu  apakah kebenaran kitab suci dapat 

dibuktikan dengan sains dan atau sebaliknya. Jika ada kesan 

pertentangan antara kitab suci dan sains, apa yang mesti dilakukan 

baik oleh pemuka agama maupun ilmuwan. 

Terkait dengan prospek ke depan persoalan relasi agama 

dan sains, Peter Harrison menawarkan beberapa hal yang bersifat 

tentatif. Pertama, sama halnya dengan keberagaman pengetahuan, 

persoalan relasi sains dan agama juga beragam. Apapun model 

relasi sains dan agama yang dipahami, sangat tergantung dengan 

batasan konstruksi pemikiran seseorang. Kedua, dimensi politik 

dan kekuasaan juga memiliki peran yang tidak dapat diabaikan 

dalam mengkonstruksi relasi sains dan agama pada peradaban dan 

masa tertentu. Ketiga, relasi sains dan agama tidak dapat terlepas 

dari isu-isu pluralisme agama. Dalam konteks relasi sains dan 

agama di Barat khususnya Kristen, perlu juga diperhatikan 

bagaimana konsep relasi sains dan agama dalam agama lain 

seperti Islam dan Budhisme. Keempat, konsep relasi sains dan 

agama juga tidak dapat terlepas dari dimensi dan aktifitas 

personal penganut dan tokoh agama serta ilmuan itu sendiri. 

Terakhir, analisis historis memiliki peran sentral dalam 

merumuskan relasi sains dan agama kontemporer.

  

Dalam konteks teologi Kristen, perdebatan sains dan 

agama di Barat lebih pada perdebatan hermeneutik. Pemahaman 

tradisional terhadap kitab suci sulit memiliki titik temu dengan 

berbagai teori-teori sains khususnya teori evolusi. Oleh karena itu, 

pemahaman terhadap kitab suci mesti memakai  pendekatan 

alegoris sebagai bagian dari pendekatan hermeneutik.  

Al-Qur’an sebagai sebuah sistem yang kompleks dan 

memiliki kedalaman logis sehingga pesan-pesan yang terkandung

dalam al-Qur’an sangat tepat dipahami dengan memakai  

pendekatan rasionalisme kritis.  

Modernitas sebagai sebuah tantangan bagi umat Islam. 

Untuk merespon tantangan ini , umat Islam memiliki 

beberapa perbedaan pandangan dalam menginterpretasikan pesan￾pesan yang penting dalam al-Qur’an. Kaum modernis cenderung 

memakai  interpretasi yang berkesinambungan, kelompok 

fundamentalis menentang secara prinsip interpretasi, sedangkan 

kaum konservatif cenderung melakukan interpretasi dengan 

batasan-batasan tertentu.  

Tiga kelompok yang dikemukakan di atas tentu saja tidak 

dipahami secara kaku. Masing-masing kelompok tentu juga 

memiliki keberagaman dalam konteks tertentu terkait dengan 

bagaimana sikap mereka terhadap interpretasi atau penafsiran 

yang digunakan untuk memahami kitab suci. Modernis, 

fundamentalis, dan konservatif merupakan tiga kelompok besar 

dengan perbedaan pendekatan yang digunakan. Tiga kelompok 

ini  juga dapat dipakai dalam mengklasifikasi bagaimana pola 

pemikiran keislaman. 

Dalam konteks perdebatan kitab suci dan sains yang 

terjadi di Barat awal abad modern, menurut Massimo Campanini 

dengan menganalisis pemikiran Galileo Galilei terdiri dari empat 

poin sebagai kerangka pikir yang dipakai. Pertama, kitab suci 

tidak dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena alam ataupun 

masalah-masalah ilmiah. Kedua, kitab suci perlu dipahami dengan 

memakai  interpretasi yang bersifat allegoris. Ketiga, kitab 

suci secara ekslusif berkenaan dengan hal-hal teologis dan moral. 

Keempat, bahasa kitab suci sederhana atau bahkan sangat 

sederhana agar mudah dipahami oleh manusia umumnya. 

Campanini lebih jauh melihat meski tidak ada bukti bahwa 

Galileo terpengaruh Ibn Rushd, pemikiran Gelileo ini ada kesamaan dari sisi sudut pandang metodologis dengan pemikiran 

Ibn Rushd yang memisahkan kebenaran agama dengan kebenaran 

ilmiah.  

Tentu saja empat poin utama ini  tidak dapat begitu 

saja dihadapkan dengan pola relasi al-Qur’an dan sains. Menurut 

Muzaffar Iqbal, Al-Quran memakai  kata al-‘ilm yang sepadan 

dengan science dalam bahasa Inggris. al-‘ilm dalam al-Quran

ini  menunjukkan semua jenis pengetahuan dan tidak hanya 

terkait dengan pengetahuan tentang alam. Pemahaman terhadap 

al-‘ilm yang mencakup semua jenis pengetahuan bukan berarti 

tidak ada klasifikasi dan tingkatan pengetahuan. Semua jenis 

pengetahuan mempunyai kerangka epistemologis yang didasarkan 

pada konsep pengetahuan dalam al-Quran.  

Bagi Golshani, dalam perspektif al-Quran pengkajian 

terhadap alam berarti mengkaji ayat-ayat Allah. Oleh karena itu, 

kerangka kerja keilmuan dianggap sebagai bagian dari aktivitas 

keagamaan. Ia merumuskan beberapa karakteristik kerangka 

ilmiah sebagai berikut. Pertama, kerangka kerja keilmuan yaitu  

dengan pendekatan holistik yang didasarkan pada prinsip kesatuan 

alam dan pencipta. Kedua, tujuan studi tentang alam yaitu  untuk 

menggiring manusia menuju Tuhan dan memahami sifat-sifat 

Tuhan. Ketiga, studi fisika dan biologi merupakan sebagian aspek 

dari alam yang sangat luas, dan bahkan yang lebih luas dan 

penting mengkaji dan memhami yang ada dibalik alam melalui 

agama. Keempat, sains modern mengabaikan prinsip-prinsip 

teleologis dari alam, padahal prinsip teleologis ini  banyak 

diingatkan dalam al-Quran. Kelima, dalam pandangan Islam 

ada  hirarki pengetahuan dan menolak reduksionisme sains 

hanya terbatas pada sains empiris. Keenam, ilmu-ilmu 

kemanusiaan memiliki perbedaan fundamental dengan ilmu-ilmu 

kealaman. Sains dalam Islam memiliki interelasi dengan segala 

aspek semesta oleh karena itu perlu aspek-aspek yang bersifat 

sintetik terhadap keluasan kajian alam semesta seperti yang 

dikembangkan oleh ilmuwan muslim pada masa kejayaan Islam.

Keenam karakteristik kerangka ilmiah dan pemikiran 

keislaman, ketuhanan, serta al-Qur’an memiliki interelasi yang 

jelas. Rumusan ini  meliputi semua aspek filosofis baik 

ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hal yang menarik yaitu  

kelemahan sains modern yang cenderung mengabaikan aspek 

teleologis sering diingatkan oleh al-Qur’an. 

Diskursus sains dan Islam seperti yang telah diuraikan 

sebelumnya memang sangat menarik. Pemahaman terhadap al￾Qur’an seringkali dihubungkan dengan perkembangan sains dan

teknologi. Hamka seperti diungkapkan oleh Fauzan Saleh 

cenderung menyimpulkan bahwa dengan semakin berkembang dan 

majunya sains, maka semakin akan terungkap secara luas 

kebenaran-kebenaran yang ada  dalam al-Quran. Kebenaran 

mutlak al-Quran akan ditemukan secara lebih luas melalui 

kemajuan penemuan ilmiah. Contoh yang dikemukakan Hamka 

yaitu  kata atom (dharrah) sebagai partikel terkecil yang sulit 

dipahami oleh umat Islam ketika ayat al-Quran diturunkan, namun 

setelah empat belas abad baru dapat dipahami melalui 

perkembangan sains.  

Pandangan ini  tentu saja tidak luput dari kritik. 

Terlepas dari kelemahan padangan di atas, Sukran Vahide menilai 

bahwa upaya untuk menunjukkan bagaimana sains mungkin dapat 

digunakan untuk mengungkap dan membuktikan kebenaran yang 

ada dalam al-Quran yaitu  lebih baik dibandingkan  

mempertentangkannya. Hal ini  dilakukan untuk mengurangi 

atau bahkan menghilangkan konflik antara sains dan agama yang 

cenderung mendeskriditkan Islam. Oleh karena adanya 

pertentangan dan pembedaan yang mendasar serta dikotomi antara 

pikiran dan materi, jiwa dan badan, sains dan agama, dan 

seterusnya, Vahide menilai upaya yang dilakukan Nursi sudah 

tepat. Nursi berupaya untuk membangun sebuah keutuhan 

epistemologis dan hubungan yang organis antara berbagai macam 

kategori pengetahuan, wahyu dan sains, serta seni, etika dan

keyakinan. Konsep epistemologi yang utuh dan interrelasi yang 

harmoni ini  mesti berlandaskan kepada al-Quran dan 

kesatuan abadi.  

Pandangan di atas tentu juga mendapat dukungan dari 

sebagian pemikir yang salah satunya yaitu  Sayyed Hossein Nasr. 

Nasr memandang bahwa peradaban Islam termasuk salah satunya 

perkembangan sains dan teknologi yang begitu mengagumkan 

berlandaskan ajaran-ajaran yang ada  dalam al-Quran.

 1

Guessoum sendiri sangat setuju dengan pandangan bahwa 

al-Quran sebagai dasar pengembangan sains dan teknologi dalam 

Islam. Ia menegaskan kembali pandangan Iqbal bahwa banyak 

ada  ayat-ayat dalam al-Quran yang mengindikasikan berbagai 

istilah terkait dengan jenis dan tingkatan metode epistemologi

seperti observasi, kontemplasi, penalaran, pengandaian, refleksi

dan sebagainya. Ayat-ayat dalam al-Quran ini  di antaranya 

yaitu  Surat Yunus (1 ) ayat    dan surat al-Ja>siyat (  ) ayat 1 

Di samping itu, al-Quran mengisyaratkan adanya 

tingkatan pengetahuan yang berbeda yang digambarkan dengan 

istilah seperti kepercayaan, keraguan, pemikiran, pemahaman, 

pandangan, pencerapan dan sebagainya. Di antara ayat-ayat 

ini  yaitu  

      

   

          

  

     

  

Lebih jauh, menurut Guessoum, al-Quran sangat 

menekankan perlunya pembuktian seperti ayat berikut.   

      

       



    

  

         

 

  

Guessoum menerima pandangan bahwa ayat-ayat al￾Quran banyak mengindikasikan dan menjelaskan tentang 

fenomena alam, namun ia tidak setuju atau menentang interpretasi 

ilmiah terhadap al-Quran. Guessoum mengkitik tentang 


penyederhanaan diskursus Islam dan sains yang begitu kaya dan 


luas seolah-olah hanya terkait dengan mu’jizat ilmiah al-Quran. Ia 


menawarkan sebuah pola penafsiran al-Quran yang bersifat 


beragam dan berlapis dengan memakai  berbagai pendekatan 


dan alat termasuk sains. Pola penafsiran ini  pada dasarnya 


sesuai dengan prinsip pemikiran Ibn Rushd tentang 


ketidakmungkinan adanya konflik antara filsafat (sains) dan 


agama (Islam).  


Ia mendukung pemikiran Nasr, Sachiko Murata, dan 


William C. Chittick yang menempatkan posisi dan peran yang 


istimewa dan tertinggi terhadap al-Quran. Guessoum juga setuju 


dengan prinsip utama pemikiran tafsir Muhammad Shahrour yang 


mengkaji bentuk permanen teks Qur’an dengan perkembangan 


pemahaman isi teks. Pemikiran Shahrour bersifat revolusioner 


dengan prinsip penafsiran terbuka baik ahli atau bukan, muslim 


atau non muslim serta Arab atau non Arab.  


Pandangan ini pada dasarnya didorong oleh semangat 


rekonstruksi pemahaman terhadap Islam dan hubungannya dengan 


perkembangan sains kontemporer. Jika umat Islam masih 


membatasi dialog dan interaksi dengan berbagai pemikiran dan 


peradaban, maka Islam tentu saja sulit diterima oleh warga  


dan peradaban lain. 


Pemikiran yang berkembang abad ke-   bahwa prinsip 


ensiklopedik al-Quran harus diterapkan dalam pengetahuan dan 


sains modern sehingga apapun dapat ditemukan dalam al-Quran 


selagi dieksplorasi secara tepat. Pandangan ini menghasilkan dua 


aliran tafsir yaitu tafsir ‘ilmi (tafsir ilmiah) dan aliran mukjizat 


ilmiah al-Quran (ijaz). 1


Tafsir ilmiah yang paling lengkap menurut sebagian ahli 


yaitu  tafsir Tantawi. Tafsir Tantawi ini mendorong 


pengembangan keilmuan termasuk sains modern. Tafsir ini  


sangat dekat dengan ilmu-ilmu kealaman dan aliran-aliran filsafat. 


Hal yang menarik yaitu  banyak artikel-artikel dalam jurnal 


ilmiah Barat yang menyatakan bahwa tafsir Tantawi ini mencoba 


mengekspresikan kesesuaian antara ayat-ayat al-Qur’an dengan

sains modern. Salah satu alasan mengapa Tantawi menulis tafsir 


ilmiah yaitu  karena ia berasumsi sebagian besar umat Islam tidak 


begitu tertarik dan memahami ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu 


empiris lainnya. Oleh karena itu, ia menulis tafsir yang sesuai 


dengan kebutuhan dan kondisi umat Islam.  


Mukjizat ilmiah al-Quran berhadapan dengan kebebasan 


metode dan hasil sains sama-sama memiliki kelemahan. Pertama, 


orang tidak seharusnya memaksakan mencari referensi dalam al￾Quran untuk penemuan ilmiah karena penemuan ilmiah bersifat 


terbatas dan temporal sedangkan kebenaran al_Quran bersifat 


abadi dan mutlak. Kedua, orang tidak dapat menemukan 


kebenaran yang definitif dengan sains, padahal kebenaran definitif 


ini  hanya dapat dilihat dalam al-Quran. Bagi Guessoum, 


pandangan ijaz seperti bola salju yang pada awalnya kecil dan 


putih kemudian digelindingkan lalu menempel debu dan sampah 


sampai akhirnya menjadi bola salju yang kotor. Guessoum 


menawarkan sebuah pendekatan pemahaman terhadap teks al￾Quran yang beragam dan berlapis serta penguasaan sains dan 


filsafat yang komprehensif sebelum menafsirkan hubungan sains 


dan al-Quran. Prinsip yang pertama sudah jelas bahwa seorang 


harus menguasai sains, sedangkan prinsip yang pertama sudah 


dikembangkan oleh sebagian besar pemikir Islam bahkan sejak Ibn 


Rushd.  


Salah satu pola pikir dan pendekatan yang berkembang 


pada umat Islam dalam memahami teks keislaman yang 


terkandung dalam al-Quran dan Hadis yaitu  pendekatan 


literalistik. Pendekatan ini baik secara langsung maupun tidak 


memengaruhi diskursus tentang sains dan Islam serta berbagai isu￾isu penting lainnya. Literalisme dapat dipahami sebagai sebuah 


cara pemahaman terhadap teks keagamaan secara langsung dengan 


memakai  makna leksikal.  


Penekanan dan dorongan al-Quran terhadap umat Islam 


agar memakai  rasio untuk memahami dan menelusuri alam 


semesta telah berhasil membangun sebuah tradisi yang hebat

terhadap perkembangan sains khususnya sains kealaman (natural 


sciences).  


Ia juga mengkritik ketimpangan perhatian terhadap sains 


dalam bidang pendidikan baik oleh pemerintah, pendidik, maupun 


warga . Sekolah lebih mengutamakan hafalan al-Quran tanpa 


melakukan upaya bagaimana pemahaman dan penafsiran terhadap 


al-Quran. Oleh karena itulah, ia tidak heran melihat generasi muda 


khususnya mahasiswa yang dididiknya lemah dalam analisis dan 


berfikir kritis serta tidak kuat dalam menghadapi tantangan 


intelektual.  


Al-Quran memang bukanlah ensiklopedia ataupun buku 


sains. Hal yang paling penting yaitu  bagaimana al-Quran


ini  secara serius dan terarah dipahami tidak bertentangan 


dengan sains sebagaimana prinsip Ibn Rushd. Bagi Ibn Rushd, 


tidak mungkin terjadi pertentangan antara Firman Allah dengan 


perbuatan Allah. Secara praktis, hal ini  bukan ingin 


menunjukkan bahwa teori ilmiah dapat dibuktikan dalam al￾Quran, tapi paling tidak menunjukkan bahwa pemahaman dan 


penafsiran terhadap al-Quran sepenuhnya konsisten dengan teori 


saintifik.  


Dalam Islam, al-Quran memerintahkan umat untuk 


mengetahui bagaimana alam ini ada dan terbentuk, dan itu sangat 


erat kaitannya dengan tujuan sains. Beberapa filsuf dan ilmuwan


Muslim seperti al-Biruni dan Ibn Haitam memakai  dan 


menekankan pentingnya metode empiris dalam pengembangan 


sains. Lebih jauh, ilmu Kalam sangat perlu berhubungan dengan 


sains modern.


  


Ilmuwan dan filsuf harus berkolaborasi dalam 


mengembangkan sains. Seorang filsuf dapat membantu dan 


menjelaskan makna filosofis dan implikasi teologis dari 


penemuan-penemuan dan teori-teori ilmiah dalam sains. Ilmuwan 


tidak mampu menjelaskan hal ini  seperti makna fisolofis dan 


teologis Teori Big Bang, hokum alam, relativitas dan 


sebagainya.

Untuk menjembatani Islam dan dunia modern dengan 


perkembangan sains sebagai karakter utamanya perlu pemahaman 


yang tepat terhadap dua kata kunci dalam al-Quran yaitu ilm dan 


h{ikmah. ilmu dan hikmah diperoleh melalui ‘aql (akal) dan fikr


(pemikiran). Ilmu yang dihayati secara mendalam dan intuitif 


menghasilkan hikmah. Akal pada dasarnya bebas nilai. Eksplorasi 


dan pengembangan ilmu dapat dilakukan secara dinamis dan bebas 


namun tetap memperhatikan nilai-nilai ketuhanan sehingga 


menghasilkan kekuatan sains dan teknologi yang bermanfaat 


kepada manusia. Kebenaran dalam Islam bukan hanya bersifat 


faktual tapi juga mesti bersifat transendental. Dalam konteks 


inilah, peran intuisi sangat penting dan dibutuhkan. Kemampuan 


rasional mesti dikombinasikan dengan kemampuan intuitif. 


Berdasarkan pendekatan di atas, maka kebenaran ilmiah pada 


dasarnya tidak bertentangan dengan al-Quran karena al-Quran 


sendiri banyak mendorong dan menginspirasikan manusia untuk 


meneliti dan mengeskplorasi alam semesta.  


Guessoum tidak setuju dengan upaya para saintis Muslim 


seperti Harun Yahya yang mencari teori ilmiah untuk 


membuktikan kebenaran al-Quran. Mencocok-cocokan teori-teori 


ilmiah seperti Relativitas, Quantum, Big Bang dan sebagainya 


dengan al-Quran yaitu  sesuatu yang tidak perlu.  Kritik yang 


lebih tajam terhadap Harun Yahya sebagai seorang muslim 


kreasionis yaitu  mengadopsi penalaran silogistik bahwa wahyu


yaitu  kebenaran, sains yang benar mengkonfirmasi kebenaran.


Oleh karena itu kebenaran wahyu harus dibuktikan secara ilmiah. 


Berdasarkan konteks ini , kreasionis seperti Harun Yahya 


cenderung memunculkan salah satu bentuk saintisme.


  


Bagi Guessoum, tafsir ‘ilmi dengan ‘ijaz ‘ilmi yaitu  


sangat berbeda. Tafsir ‘ilmi berupaya memakai  teori ilmiah


untuk menghasilkan pemahaman atau penafsiran baru terhadap

ayat-ayat yang terkait dengan alam. Sedangkan ‘ijaz ‘ilmi


mengklaim bahwa beberapa ayat al-Quran mengandung fakta￾fakta ilmiah yang jelas dan baru ditemukan sekarang. Bagi 


Guessoum, ‘ijaz ‘ilmy yaitu  ide dan program yang utopis baik 


secara teoretis maupun praktis.  


Menurut Bigliardi, pandangan tentang tafsir ilmiah 


terhadap al-Qur’an atau ‘ijaz ‘ilmi ini  sangat ditentukan oleh 


apa yang pemahaman tentang makna ilmiah itu sendiri. Ia 


mencatat secara garis besar ada  enam pandangan atau 


pemahaman tentang tafsir ilmiah terhadap al-Qur’an. Pertama, al￾Qur’an mengandung pesan-pesan yang sesuai dengan teori ilmiah 


seperti teori terbentuk dan berkembangnya alam semesta. Kedua, 


al-Qur’an memiliki pesan-pesan yang menggambarkan fenomena 


alam seperti yang dtemukan sains dewasa ini padahal hal ini  


belum dikenal pada saat wahyu ini  diturunkan seperti 


perkembangan janin pada rahim perempuan. Ketiga, al-Qur’an 


mengandung pesan yang mendeskripsikan fakta atau peristiwa 


ilmiah yang dijelaskan oleh pengujian sains dewasa ini sementara 


hal ini  tidak dikenal ketika ayat ini  diturunkan seperti 


pengawetan mummi Fir’aun. Keempat, al-Qur’an mengandung 


pesan-pesan yang memprediksikan akan adanya perkembangan 


dan penemuan teknologi ilmiah kontemporer seperti eksplorasi 


alam. Kelima, al-Quran menampilkan berbagai jumlah yang 


berhubungan dengan jumlah yang ada  pada berbagai 


fenomena alam atau hukum alam seperti perbandingan luas 


daratan dan lautan dalam QS.   :1. Terakhir, al-Qur’an dan Hadis 


memberi  resep terkait dengan pengobatan dan sesuai dengan 


kedokteran kontemporer.  


Guessoum menganalisa ada beberapa hal penting yang 


patut dicatat terkait dengan relasi al-Quran dan kehidupan umat 


Islam di tengah perkembangan sains dan peradaban modern. 


Pertama, al-Quran mendapatkan tempat dan pengaruh yang luar 


biasa terhadap pola kehidupan dan kerangka berfikir umat Islam. 


Hal ini  menjadikan diskursus sains dan agama dalam dunia 


Islam cenderung seringkali merujuk dan menghubungkannya 


dengan al-Quran. Pandangan dan diskusi tentang sains dan Islam 


yang dapat diterima baik oleh warga  luas maupun kelompok



elit paling tidak harus tidak bertentangan dengan al-Quran 


meskipun tidak sepenuhnya sesuai. Upaya ini  tentu dapat 


dicapai melalui pendekatan hermeneutik yang sesungguhnya 


merupakan bagian dari tradisi Islam. Kedua, al-Quran sangat 


mendorong dan memberi  inspirasi untuk melakukan refleksi 


dan eksplorasi terhadap semua fenomena alam. Ketiga, konsep 


sains dalam perspektif sains modern tidak dapat begitu saja 


ditemukan dalam al-Quran ataupun dalam sebagian besar warisan 


Islam klasik. Para pemikir dan ilmuwan Islam masih berbeda 


pendapat tentang makna ‘ilm dalam al-Quran apakah terkait 


dengan sains secara umum atau ilmu keagamaan saja. Pemahahan 


ini  sangat penting terkait dengan kemungkinan membangun 


sains yang berlandaskan al-Quran.  


Guessoum menolak segala bentuk pemahaman yang 


ekstrim terhadap persoalan sains dan al-Quran seperti al-Quran 


mengandung muatan ilmiah (scientific content). Oleh karena itu, 


ia menawarkan sebuah pendekatan yang beragam dan berlapis 


(multiplicity of reading with multi-layered nuances) untuk 


memahami isi dan kandungan al-Quran. Perintah al-Quran untuk 


melakukan meneliti dan memahami fenomena alam tidak dapat 


dilakukan tanpa sains.  


Guessoum mendukung pemikiran Mohammad Shahrour 


yang memberi  peluang bagi siapa saja yang memiliki kapasitas 


keilmuan dan intelektual untuk menafsirkan al-Qur’an termasuk 


kepada kalangan non muslim sekalipun. Al-Quran memang 


bukanlah ensipklopedia, namun bila ia didalami secara serius 


maka akan dapat disimpulkan tidak ada pertentangan ayat 


qauliyah (al-Quran) dengan fenomena alam (ayat kauniyah) 


sebagaimana pemahaman Ibn Rushd. Pemahaman yang perlu 


dibangun yaitu  pandangan dan penafsiran yang cerdas terhadap 


al-Quran sepenuhnya konsisten dengan teori ilmiah, bukan 


berupaya membuktikan bahwa teori ilmiah dapat ditemukan 


dalam al-Quran.  


 


Guessoum menawarkan sebuah pendekatan baru untuk 


memahami al-Quran yang ia sebut dengan ‚multiple, multilevel‛ 


readings. Pendekatan ini  yaitu  keberagaman makna 


tergantung tergantung pendidikan dan zaman dimana seseorang 


hidup. Orang boleh saja memahami beberapa fakta terkait dengan

alam pada suatu ayat tanpa mengkaitkannya klaim mujizat 


terlebih dahulu.   Oleh karena itulah, Guessoum menolak mujizat 


karena bertentangan dengan hukum alam sebagai fenomena alam 


yang teratur. Adapun mujizat seperti Isra Miraj yaitu  berupa 


pengalaman spiritual nabi.


Persoalan apakah mujizat bertentangan dengan sains 


karena ia terjadi di luar dari kerangka kerja hukum. Coyne


berpandangan bahwa suatu peristiwa yang luar biasa boleh jadi 


terjadi dengan tingkat probabilitas yang sangat kecil. Hal ini  


tidak bertentangan sains karena sifatnya yang unik dan tidak 


dapat diulang, sedangkan sains hanya memfokuskan diri kepada 


peristiwa atau hal yang dapat diulang (repeatable events).


  


Georges Tamer menilai bahwa al-Ghazali melihat relasi 


al-Quran dan sains yaitu  interdependensi mutualisme. Sains 


membantu manusia untuk memahami isi kandungan al-Qur’an, 


bahkan sampai kepada makna terdalam dari al-Quran.1  


 


Bagi Salman Hameed, konsep Guessoum tentang dengan 


relasi sains dan al-Quran dengan memakai  pendekatan yang 


beragam dan berlapis sudah tepat sebagai upaya untuk menjawab 


dan membantah pandangan bahwa sains dan agama yaitu  


terpisah. Konsep Guessoum ini  yaitu  cara yang terbaik 


untuk mengembangkan integrasi sains dan agama.1  Hal ini  


menunjukkan bahwa Hameed setuju dengan Guessoum bahwa 


salah satu upaya merumuskan integrasi sains dan agama yaitu  


dengan merekonstruksi pola pemahaman terhadap relasi al-Quran 


dan sains dengan memakai  metode tafsir yang beragam dan 


berlapis. 


 . Islam dan Teori Evolusi 


Dengan memakai  pola relasi sains dan agama Haught, 


teori evolusi bagi pendukungnya bertentangan dengan agama dan 


teori ini digunakan untuk menolak teisme, sedangkan bagi kaum 


fundamentalis, teori evolusi tidak cocok dengan semua

pemahaman konsep penciptaan dalam agama. Pola ini  yaitu  


konflik. Dalam pendekatan kontras, manusia tidak mampu 


memahami hakikat tertinggi dari tujuan penciptaan alam hanya 


dengan mempelajari hukum alam, demikian juga sebaliknya 


evolusi yaitu  teori ilmiah yang tidak dapat dikaitkan dengan 


pemahaman kosmologi keagamaan. Evolusi sebagai teori sains 


dan konsep penciptaan sebagai pemahaman agama keduanya 


berbeda satu sama lain. Pendekatan kontak memahami bahwa 


kemungkinan adanya titik temu secara teologis tentang teori 


evolusi dengan transformasi pemahaman teologi kontemporer. 


Pendekatan konfirmasi mendukung pengembangan teologi 


evolusioner dan bahkan teori evolusi dianggap sesuai dengan 


paham teisme.1  


 


Reaksi dan tanggapan umat Islam terhadap teori evolusi 


Darwin pada masa teori ini  dikemukakan hampir tidak ada 


karena pada masa ini  sebagian besar negara-negara yang 


mayoritas muslim masih di bawah penjajahan bangsa Barat. 


Sebagai wilayah jajahan, perkembangan dan akseptabilitas 


keilmuan terutama publikasi ilmiah masih sangat terbatas. Reaksi 


dan tanggapan terhadap teori evolusi Darwin baru mulai muncul 


menjelang pertengahan abad ke-  . Tanggapan para pemikir Islam 


ada yang bersifat akomodatif, rekonsiliatif, dan korektif, dan 


kontradiktif.


1  


Teori evolusi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip 


utama ajaran Islam namun perlu interpretasi yang lebih literal 


untuk mencapai harmonisasi sains dan agama.1   Interpretasi


literal ini memang pada dasarnya lebih mudah diterima dan 


dipahami sebagaian besar umat Islam. Oleh karena itulah, perlu 


dilihat secara mendalam prinsip utama ajaran Islam ketika 


dihubungkan dengan penemuan dan teori sains.


Teori evolusi dan penciptaan yaitu  dua hal yang paling 


banyak dibahas dan diperdebatkan dalam konteks relasi sains dan 


agama. Kedua teori ini  juga menjadi tema menarik baik bagi 


kalangan teisme maupun ateisme. Sebagian kalangan teisme 


berpendapat bahwa teori evolusi tidaklah bertentangan dengan


agama, sementara sebagian yang lain menyatakan bahwa evolusi 


tidak sesaui bahkan bertentangan dengan agama. 


Argumen teleologis (design argument) yaitu  sebuah 


pendekatan yang memakai  akal dan dapat dijadikan salah 


satu dasar pendekatan alamiah terhadap kepercayaan. Berbeda 


dengan dengan argumen teleologis, pendekatan teologis wahyu 


lebih menekankan pada keyakinan, penerimaan dan otoritas 


keagamaan. Oleh karena itu, argumen teleologis tidak selayaknya 


untuk dipertentangkan sepenuhnya dengan teori evolusi seperti 


yang dilakukan oleh Harun Yahya.1  


 


Terkait dengan masalah evolusi, menurut Guessoum 


yaitu  beberapa hal yang penting dan mesti dipahami. Pertama, 


proses evolusi yaitu  suatu fakta yang kuat tentang alam. Kedua, 


teori evolusi seperti layaknya teori-teori ilmiah yang lain tentu 


saja dapat dilihat dalam berbagai perspektif, dan teori evolusi 


Darwin yaitu  salah satu bentuk. Terakhir, evolusi yaitu  sangat 


penting dalam perdebatan sains dan agama termasuk perdebatan 


sains dan Islam. Sebagian memahami masalah relasi sains dan 


agama ini  secara sederhana dan literal, sebagian yang lain 


memahaminya dengan memakai  pendekatan hermeneutik dan 


prinsip pembacaaan teks yang bersifat multiple-multilevel.


1  


 


Guessoum cenderung sepakat dengan David Solomon 


Jalalel bahwa pembahasan tentang Islam dan teori evolusi sangat 


sedikit sekali disebabkan oleh dua alasan. Alasan pertama yaitu  


sebagian besar pemikir dan ilmuwan Muslim khususnya dari 


kalangan tradisional kurang memahami aspek-aspek ilmiah dari 


teori evolusi ini . Alasan kedua yaitu  masih adanya 


pandangan yang dangkal dan sempit bagi sebagian sarjana dan 


pemikir Muslim terhadap dogma dan teologi Islam.1  


Guessoum, bagi Rana Dajani, yaitu  pemikir dan ilmuwan 


Muslim yang unik karena berbeda dengan pandangan sebagian 


besar pemikir Muslim dan umat Islam umumnya terkait dengan 


diskursus Islam dan sains modern khususnya Islam dan teori 


Evolusi. Pertentangan antara Islam dan sains khususnya penolakan

terhadap teori evolusi yaitu  akibat lemahnya kebebasan berfikir 


umat Islam dan kesalahan penafsiran terhadap al-Quran.


1  


 . Sains dan Masalah Ketuhanan 


Pola Haught terkait dengan sains dengan problem 


ketuhanan dapat diuraikan sebagai berikut. Menurut pendekatan 


konflik, sains tidak dapat memberi  bukti apapun terhadap 


eksistensi Tuhan. Pendekatan kontras berpandangan bahwa agama 


tidak harus mencampuri penemuan-penemuan sains yang empiris, 


dan sebaliknya sains tidak dapat memberi  penjelasan terhadap 


persoalan ketuhanan karena sains dan agama berbeda. Berdasarkan 


pendekatan kontak, konsep dan ide tentang ketuhanan cenderung 


dikaitkan dengan teori-teori sains seperti teori relativitas, teori 


fisika kuantum, dan penemuan-penemuan dalam bidang 


astronomi. Meskipun demikian, para ilmuwan dan teolog sangat 


berhati-hati dalam memahami makna teologis yang ada  


dalam penemuan sains. Terakhir, dalam konteks pendekatan 


konfirmasi, ide mengenai persoalan ketuhanan secara positif 


didukung oleh sains.1  


 


Para pemikir Enlightenment pada dasarnya tidak menolak 


dan mempertanyakan konsep tentang Tuhan, namun yang mereka 


pertanyakan konsep Tuhan yang dianut oleh agama karena 


menurut mereka tidak rasional dan saintifik. Para filsuf ini  


ingin mengkonstruksi sebuah konsep ketuhanan yang rasional dan 


humanis seperti yang dikembangkan oleh Baruch Spinoza.11 


Kosmologi yaitu  sains yang bersifat teoretis, 


observasional, dan empiris. Meskipun demikian, kosmologi tidak 


mesti dipahami sebagai suatu yang bersifat materialistik. 


Kosmologi memerlukan interaksi dengan filsafat untuk 


memperluas perspektifnya. Interaksi kosmologi dengan teologi 


dapat membantu teologi untuk merekonstruksi sistem keyakinan 


rasional dan saintifik secara konsisten.11 Oleh karena itulah, 


berbagai teori dan model kosmologi telah memancing perdebatan 


filosofis yang begitu luas dan tidak jarang berguna bagi agama 


seperti teori big bang.Epistemologi al-Ghazali bersifat fondasionalis yang 


bertitik tolak dari bagaimana menghindari diri dari keraguan 


dengan cara pengetahuan yang bersifat intuitif dan berasal dari 


wahyu untuk mencapai kebenaran yang utama. Kebenaran utama 


ini  berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan menjadi dasar 


dan sumber utama dari pengetahuan yang dapat ditemukan pada 


ayat-ayat Allah, baik ayat qauliyah maupun kauniyyah.


11 


Kosmologi yang memakai  pendekatan saintifik murni 


menganggap alam semesta ini yaitu  sepenuhnya materi dan 


berjalan secara konsisten dengan sendirinya tanpa membutuhkan 


Tuhan. Sains modern tidak memberi  nilai dan makna 


transendental bagi rumusannya terhadap alam semesta. Hal 


ini  berbeda dengan sains teistik yang dikemukakan 


Guessoum.11 


 


Perbedaan pemahaman dan penafsiran tentang konsep 


ketuhanan dalam Islam pada dasarnya menunjukkan bahwa 


masalah ketuhanan sangat terkait dengan sains dan filsafat. 


Konsep ketuhanan secara umum yaitu  berupa pemahaman 


tradisional seperti yang diajarkan kepada anak-anak di sekolah. 


Tuhan yaitu  Maha Esa, Maha Pencipta, Maha Pemelihara, dan 


seterusnya. Semua sifat dan kekuasaan Allah ini  dapat 


dibaca dalam al-Quran dan hadis. Berbeda dengan pemahaman 


tradisional, Tuhan dapat pula dipahami secara allegoris oleh para 


filsuf, saintis, dan kaum sufi. Mereka memahami ayat-ayat dan 


hadis yang terkait dengan ketuhanan tidak secara simbolik dan 


sederhana seperti yang pertama. Tingkatan kedua ini memahami 


konsep ketuhanan dan fenomena alam dengan memakai  akal 


dan pengalaman sufistik.


11 


Guessoum mencatat ada tiga persoalan penting yang 


diajukan Brooke ketika membahas dan menganalisis pemikiran 


Guessoum dalam bukunya Islam’s Quantum Questions. Ketiga 


pertanyaan penting itu yaitu  siapa yang mengontrol makna 


dalam Islam, apakah ada teologi alam dalam Islam, dan selain beberapa persamaan, apakah ada perbedaan penting antara Islam 


dan Kristen dalam konteks hubungannya dengan sains modern. 


11 


Pertama, Islam tidak mengenal sistem kependetaan yang 


bertanggung jawab mengontrol agama. Islam hanya mengenal 


ulama yang dapat memberi  pandangan terhadap berbagai 


persoalan agama dan boleh jadi ada perbedaan pandangan dari 


berbagai ulama menyangkut suatu masalah. Yang menjadi 


masalah yaitu  adanya pandangan yang menganggap bahwa ulama 


ini  harus mendapatkan pendidikan dari lembaga keislaman 


‚tradisional‛ ataupun yang mendapatkan ijazah dari syeikh yang 


diakui otoritasnya dalam ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir dan 


fiqh. Seorang doktor studi Islam dari universitas di Barat tidak 


dapat diakui sebagai ulama. Dengan kata lain, saat ini realitasnya 


yang mengontrol makna dalam Islam masih cenderung dari 


kalangan ‚ortodoks‛ meskipun sudah mengarah kepada perubahan 


seiring dengan perkembangan zaman.11 


Islam mendorong pemeluknya untuk memikirkan tentang 


persoalan ketuhanan seperti kisah Nabi Ibrahim dalam mencari 


Tuhan yang pada awalnya melihat alam. Beberapa konsep 


argumen ketuhanan termasuk dalam natural teologi yaitu  sebagai 


konfirmasi bagi kalangan terdidik dan menjawab tantangan 


ateisme.11 


Untuk dapat memahami persoalan relasi sains dan Islam 


agar dapat mengkonstruksi pandangan yang rasional dan bermutu, 


maka seseorang harus pertama sekali harus paham terhadap 


prinsip utama ajaran Islam yaitu masalah ketuhanan. Prinsip 


utama ajaran Islam berupa masalah ketuhanan tidak akan dapat 


dipahami dengan tanpa mendalami al-Quran. Semua prinsip￾prinsip utama ajaran Islam ini  telah mewarnai beragam 


diskursus filosofis dan revolusi konseptual sampai kepada sains 


modern.11 


Tuhan dengan segala sifat yang melekat pada-Nya seperti 


Maha Pencipta, Kekal, dan sebagainya merupakan prinsip dasar 


dalam Islam. Umat Islam selalu memulai dan menyandarkan segala aktifitas dan hidup pada Tuhan (God). Guessoum lebih 


cenderung memakai  kata Tuhan (God) yang sudah pasti 


maksudnya dan tujuannya yaitu  Allah. Meski terjadi perbedaan 


pendapat tentang perlunya menyebut Allah untuk membedakan 


antara Tuhan umat Islam dengan Tuhan umat Kristiani, Guessoum 


berpendapat bahwa perbedaan ini  bukanlah sebuah 


konsekuensi karena fokusnya yaitu  atribut atau nama-nama 


Tuhan seperti Maha Pencipta, Maha Pemelihara dan sebagainya 


yang umum bagi semua agama monoteisme.1  


Manusia mengetahui Allah melalui fitrah sesuai dengan 


yang banyak dijelaskan dalam al-Quran. Persoalan ketuhanan yang 


menjadi prinsip dasar dalam Islam yaitu  tauhid. Secara umum 


tawhid dibagi menjadi tiga bagian yaitu tawhid rububiyyah


(tawhid of devinity), tauhid sifat (tawhid of attributes), dan 


tawhid uluhiyyah (tawhid of worshipability). Lebih lanjut ia 


menjelaskan ketiga jenis tawhid ini . Terkait dengan sifat 


Tuhan, maka muncul persoalan antropormofisme jika dipahami 


sifat Tuhan sama dengan sifat manusia. Ia menjelaskan tentang 


paham antropopormofisme menurut Nasr dan Chittick. Konsep 


ketuhanan dalam Islam bersifat antropomorfik karena konsep 


manusia dalam Islam yaitu  teomorfik.1 1


Guessoum cenderung mengkritik kreasionisme dan design


intelegent, namun menerima evolusi teistik dan kosmologi big 


bang bahkan jika tidak mengikuti implikasi pada pandangan 


tradisional seperti mujizat dan sejarah Adam.1   Guessoum


menyadari bahwa ia belum membuat kosmologi teistik yang 


konsiten dan penuh, namun ia mendukung sepenuhnya tentang 


sintesis ataupun harmoni antara filsafat termasuk sains dan agama


yang dikembangkan oleh Ibn Rushd. Untuk mewujudkan sintesis 


ini  maka diperlukan dua program. Program pertama yaitu  


pengembangan pemikiran teologi baru yang sesuai dengan sains 


modern sekalipun teologi ini  tidak sejalan dengan 


pemahaman keagamaan yang literal. Program kedua yaitu  


mengembangkan kosmologi yang memiliki nilai materialistik


yang kecil dengan cara memberi  makna spiritual tentang 


eksistensi alam semesta.Sains memiliki peran yang cukup signifikan untuk 


membantu dialog antar agama (interfaith dialogue). Peran ini  


dapat berfungsi paling tidak dengan lima syarat. Pertama yaitu  


adanya sikap saling menghormati antar ilmuan dapat membantu 


ilmuan untuk menghormati agama yang dianut ilmuan lainnya. 


Kedua yaitu  dengan cara memandang bahwa ilmu sangat berbeda 


dengan agama sehingga menimbulkan masing-masing agama 


memiliki kedekatan. Ketiga yaitu  sains dan agama sama-sama 


memberi  potensi untuk mendalami pengetahuan, kepercayaan 


dan refleksi manusia. Keempat yaitu  sains akan terlihat mulia 


jika dilihat dari perspektif agama, dan agama akan dapat mencapai 


esensinya bila dilihat dari nilai-nilai ilmiah. Terakhir, objek studi 


sains tentang realitas dunia dan objek studi agama tentang wahyu 


merupakan dua bentuk pengetahuan yang sama-sama menuju 


realitas utama.1  


Berdasarkan berbagai analisis dan kritik Guessoum 


terhadap berbagai konsep dan pandangan tentang relasi sains dan 


Islam, relasi sains dan kitab suci, serta beberapa persoalan sebagai 


dampak perkembangan sains dan teknologi terhadap agama, 


Guessoum memberi  sebuah tawaran konsep sains dalam Islam. 


Konsep ini  yaitu  sains teistik. Sebelum dianalisis lebih jauh 


tentang konsep sains teistik yang dikemukakan Guessoum, perlu 


dilihat terlebih dahulu berbagai konsep yang telah ditawarkan oleh 


para pemikir Muslim sebelumnya. Salah satu tema sentral yang 


banyak dibahas dan dianalisis oleh Guessoum yaitu  islamisasi 


sains. 


Salah satu yang menjadi dasar mengapa munculnya 


proyek islamisasi ilmu pengetahuan yaitu  keberatan para 


intelektual muslim akan sekularisme sebagai sebuah imperialisme 


epistemologi di dunia Islam. Kekhawatiran ini  pada dasarnya 


telah dimulai sejak Muhammad Iqbal, Abul Ala al Maududi, dan 


bahkan Sayyid Qutb. Islamisasi ilmu pengetahuan berupaya untuk 


mengatasi dan menentang fakta dan nilai yang diuniversalisasikan


oleh hegemoni Barat. Oleh karena itu, perlu adanya beberapa 


langkah yaitu pertama mengkaji kembali ajaran Islam terkait 


dengan dasar dan paradigma metodis dan epistemologis sainskhususnya sosial sains yang dapat menolak dan membantah 


positivisme Barat. Kedua yaitu  mengkaji ulang warisan teologis, 


yuridis, dan filosofis pengetahuan dan sains di dunia Islam pada 


masa kejayaannya dan mengembangkan realisasi dari epistemologi 


tauhid. Ketiga yaitu  adanya keterlibatan secara eksplisit dan 


analisis yang kuat dari tradisi intelektual Barat yang dominan.1  


Persoalan sains dan Islam serta islamisasi sains dewasa ini 


menjadi perdebatan yang lebih serius sejak munculnya ide ‚sains 


Islam‛ yang pertama kali oleh Sayyid Hossein Nasr kemudian 


diikuti oleh Muhammad Naquib al-Attas. Perdebatan ini menjadi 


lebih berkembang dengan hadirnya pemikiran Islamisasi 


pengetahuan oleh Ismail Raji al-Faruqi dan diperluas menjadi 


islamisasi sains oleh Taha Jabir al-Awani. Selanjutnya, pemikiran 


mujizat ilmiah dalam al-Quran yang disebut dengan kelompok ijaz


turut mewarnai perdebatan Islam dan sains yang dikembangkan 


oleh Maurice Bucaille.1  


Islamisasi sains yang digagas oleh Ismail Raji al-Faruqi 


yaitu  salah satu respon terhadap analisis positivistik Bucaille. 


Islamisasi sains berupaya untuk mengkaji dan merumuskan 


kembali agar sains modern sesuai dengan wahyu sebagai sumber 


utama ajaran Islam. Oleh karena itu, pada dasarnya konsep 


Islamisasi sains bertolak belakang dengan konsep Bucaille.1  


Pemikiran Bucaille termasuk bagian dari pandangan 


mukjizat ilmiah al-Qur’an banyak memengaruhi berbagai karya 


dan diskusi yang mendukung konsep ini . Sebagian besar 


pendukung pandangan mujizat ilmiah al-Qur’an yaitu  orang￾orang yang mendalami sains kealaman dan teknologi serta tidak 


memiliki latar belakang ilmu-ilmu keislaman secara formaBucaille memandang bahwa sains modern sesuai dengan 


wahyu al-Qur’an dikritik oleh sebagian pemikir Islam. Implikasi 


dari pandangan ini  boleh jadi menyamakan sains modern


dengan al-Qur’an. Kebenaran al-Qur’an bersifat mutlak dan abadi, 


sementara kebenaran sains modern bersifat relatif. Sains modern 


yaitu  hasil dari proses sejarah yang kompleks dan panjang, 


sedangkan al-Qur’an langsung diturunkan oleh Allah kepada 


Rasul. Oleh karena itu, pandangan bahwa kebenaran agama dan al￾Qur’an harus dibuktikan oleh sains yaitu  suatu pandangan yang 


keliru.1  


Pemikiran Sardar yang dikenal dengan aliran Ijmali secara 


terbuka menentang konsep ‚sacred science‛ dari Nasr dan 


islamisasi sains dari al-Faruqi. Menurut kelompok Ijmali ini yang 


terdiri dari Sardar, Pervez Manzoor, dan Munawar A. Anees, isu 


yang lebih penting dikembangkan yaitu  kebudayaan Islam masa 


depan, bukan sains Islam ataupun islamisasi sains.1  


Sejalan dengan analisis di atas, Ozgur Taskin menyatakan 


bahwa gerakan islamisasi sains dan sains Islam pada dasarnya 


merupakan proses dialektika terhadap sekularisme dan persoalan 


dikotomi ilmu. Ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, kalam, fiqh, 


dan lain-lain secara filosofis (ontologi, epistemologi, dan axiologi) 


tidak banyak diperdebatkan. Di sisi lain, ilmu-ilmu umum dalam 


konteks sains Islam dan islamisasi sains khususnya ilmu-ilmu 


alam (natural sciences) masih perlu dipertegas dan diperjelas 


landasan filosofisnya terutama ontologi dan epistemologi.1 1


Taskin lebih jauh menganalisis bagaimana tipologi 


Barbour ini  dipahami secara praktis dalam konteks relasi 


sains dan agama (Islam). Kategori konflik dipahami bahwa al￾Qur’an tidak mempermasalahkan adanya evolusi alam, kecuali 


teori evolusi yang terkait dengan asal mula kehidupan. Kategori 


independensi diibaratkan Islam dan sains seperti apel dan jeruk 


yang memang keduanya berbeda. Sains yaitu  bersifat hipotesis 


dan prediksi, sedangkan Islam yaitu  bersifat spiritual. Kategori 


dialog dengan cara memahami dan mendiskusikan baik itu konsep penciptaan maupun teori evolusi. Kategori integrasi yaitu  


pemahaman bahwa sains merupakan bagian integral dari Islam. 


Islam sabagai bagian utama dan dapat menjelaskan semuanya 


termasuk sains.1  


Islamisasi penget