ksimal mungkin tanpa meremehkan kemungkinan pandangan
dan metode lain. Guessoum sangat mengapresisasi beberapa
pandangan filsuf sains abad ke- yaitu Karl Popper, Thomas
Kuhn, Imre Lakatos, dan Paul Feyerabend. Para ilmuwan dan
filsuf ini telah memberi kontribusi yang sangat pentingdan berharga dalam diskursus sains, khususnya cakupan dan batas
keilmuan.
Francis Bacon sebagai pelopor berkembangnya sains
modern cenderung dianggap memisahkan sains dan agama. Pada
sisi lain, Bacon pada dasarnya memberi kontribusi yang cukup
penting terhadap terjadinya dialog dan integrasi antara sains dan
agama. Bacon memang memandang bahwa sains dan alam
terpisah dari agama karena ranah mereka berbeda, meskipun
demikian wahyu juga sumber yang sah dan bernilai terhadap cara
mendapatkan pengetahuan. Sains menurutnya mesti terbuka dan
terhindar dari pandangan reduksionis.
Beberapa pandangan ini di atas menunjukkan bahwa
revolusi dalam hal ini revolusi ilmiah telah memberi peranan
yang sangat penting dalam sejarah sains. Hal inilah yang menjadi
pokok pikiran Kuhn ketika mengemukakan konsep tentang
struktur revolusi ilmiah. Pemikiran Kuhn juga telah memberi
kontribusi yang sangat penting bagi perkembangan filsafat sains
kontemporer baik di Barat maupun dunia Islam. Guessoum sering
mengutip Kuhn dalam merumuskan rekonstruksi filsafat sains di
dalam Islam.
Persoalan karakteristik hipotesis ilmiah dan perbedaan
antara sains dan non sains bagi Gessoum telah dijelaskan secara
baik oleh Popper dengan prinsip falsifikasinya. Sebuah hipotesis
dapat dikatakan ilmiah setelah dilakukan proses falsifikasi
sehingga dapat diuji dan dibuktikan bahwa ia benar atau salah.
Selain Popper, Guessoum juga sangat mengapresiasi Thomas
Kuhn. Thomas Kuhn melihat bahwa teori sains berkembang dan
diterima oleh warga sepanjang periode yang disebutnya
dengan sains normal (normal science) dan teori ini menjadi
sebuah paradigma. Paradigma ini akan diganti melalui
revolusi setelah ditemukan banyak anomali. Kuhn sangat
meragukan adanya objektivitas dan universalitas sains karena
paradigma pada periode sains normal dan penentuan berbagai
anomali sebelum revolusi sangat ditentukan oleh subjektivitas
ilmuwan itu sendiri. Bagi Guessoum, pandangan Kuhn dan
pendukungnya benar-benar mendobrak konsep tentang fakta dan kebenaran secara menyeluruh. Imre Lakatos memperkuat
pandangan Kuhn paradigma.
Pemikir lain yang mendapat perhatian cukup serius dari
Guessoum yaitu Imre Lakatos. Lakatos memandang bahwa
paradigma bukan bersifat individual melainkan kolektif.
Perubahan paradigma mesti melalui program riset yang dimulai
dari seperangkat fakta atau asumsi sampai mendapatkan hasil
baru. Berbeda dengan ketiga filsuf sebelumnya, Paul Feyerabend
memandang bahwa tidak ada batasan sains baik isi maupun
metodenya. Semua ide dan teori dapat dibawa ke dalam
pembahasan dan kajian sains. Konsepnya disebut dengan serba
boleh (anything goes). 1
Ada beberapa definisi dan karakteristik sains modern yang
tidak begitu dipahami oleh sebagian praktis sains maupun kritikus
sains. Karakteristik ini yaitu naturalisme metodologis,
ketidakpastian, perubahan, universalisme/objektivisme, dan
independensi. Naturalisme metodologis cenderung memandang
dunia dan alam ini seolah-olah tidak ada Tuhan.
Guessoum menilai adanya kecenderungan baru dari para
Sejarawan, filsuf dan kritikus sains untuk mengungkapkan
‚Eurocentrism‛ sains Barat dan mengembangkan sebuah
pandangan baru tentang pengembangan sains pasca kolonialisme
yang berperan penting dan tepat bagi semua budaya baik dulu
maupun sekarang. Beberapa filsuf dan kritikus sains seperti
Ravetz dan Sardar secara tegas mengungkap berbagai kelemahan
dan penyakit sains modern. Ravetz menilai bahwa sains
ditemukan dan diproses oleh komunitas yang terdiri dari ilmuwan,
penulis dan guru. Istilah sains ditemukan dalam sosiologi diganti
dengan dikonstruksi. Ravetz bahkan mengemukakan beberapa
ciri-ciri sains modern yang jelek, sembrono, dan kotor. Sardar
bahkan mengungkap bahwa pengembangan sains di Amerika
sangat ditentukan oleh militer.
Perkembangan sains kontemporer memunculkan beberapa
pandangan dan teori tentang sains. Para filsuf sains kontemporer memberi warna tersendiri terhadap sains. Di samping Kuhn,
Lakatos dan Feyerabend yang telah disebutkan di atas, ada
seorang filsuf yang tidak kalah pentingnya yaitu Karl Popper
yang mengemukakan teori falsifikasi. Falsifikasi bertolak
belakang dengan verifikasi. Verifikasi lebih kepada cara
membuktikan kebenaran suatu teori imiah, sedangkan falsifikasi
yaitu upaya membuktikan bahwa suatu teori salah. jika teori
ini dapat dibuktikan salah, maka dengan sendirinya teori
ini gugur. Falsifikasi yaitu cara untuk membedakan antara
sains dan non sains dan ia menjadi poin penting dalam metode
ilmiah.
Menurut Guessoum, falsifikasi merupakan metode dan
konsep yang paling tepat dalam memecahkan dan menjelaskan
persoalan keilmuan dewasa ini. Umat Islam mulai dari warga
awam sampai kepada kalangan terdidik sayangnya tidak begitu
memahami dan menjadikan metode falsifikasi sebagai prinsip
pengembangan keilmuan dalam Islam. Sains memberi dampak
yang kuat terhadap pandangan dunia dan kepercayaaan suatu
warga . Oleh karena itu, filsafat, metode, dan batasan sains
harus dikembangkan dan dikawal jangan sampai mengarah pada
pandangan dunia atau paradigma sains teknokratik atau
materialistik. Guessoum sangat menyanyangkan bahwa sebagian
besar ilmuwan muslim cenderung mengabaikan dan meremehkan
pentingnya penguasaan filsafat sains ataupun sejarah sains.
Salah satu kelemahan sains yang berkembang di Barat
yaitu berkembangnya sebuah aliran atau pemahaman yang
disebut dengan saintisme. Saintisme memandang hanya ada satu
kenyataan yang dapat diterima yaitu kenyataan yang dapat
dibenarkan oleh metode sains yaitu kennyataan empiris.
Kenyataan dalam paham ini yaitu bersifat one-dimensional atau
satu dimensi.
Saintisme dan naturalisme yaitu sebuah konstruksi
pemikiran Barat tidak sesuai dengan dasar metafisika, metode,dan batasan filsafat sains dalam perspektif Islam. Oleh karena itu,
Guessoum menawarkan sebuah pandangan perlunya membangun
sebuah sains teistik (theistic science) yang diharapkan dapat
menjadi solusi berbagai krisis sains modern seperti dalam bentuk
kerusakan lingkungan, sosial, dan lain sebagainya. Saintisme dan
naturalisme bukanlah hasil otomatis dari sains modern melainkan
lebih sebagai sebagai pola pikir yang dikonstruksi oleh para
pemikir Barat yang kehilangan landasan metafisis, metode dan
batasan tertentu dari perdebatan sains modern.
Bagi Rustum Roy, saintisme yaitu bentuk
fundamentalisme dalam sains. Ia mendefinisikan saintisme
sebagai sebuah keyakinan reduksionis absurd yang berpandangan
bahwa semua kebenaran dan realitas dapat dipelajari dan
dideskripsikan satu-satunya hanya dengan sains. Ungkapan
‚hanya‛ melalui sains ini menunjukkan kekhasan dari
saintisme dibandingkan dengan pandangan-pandangan umum
tentang sains.
Isu-isu yang terkait dengan sains modern pada warga
muslim dewasa ini yaitu kalender Islam, teori evolusi, dan
penyembelihan hewan. Ketiga isu ini sering didiskusikan dan
diperdebatkan apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak.
Beberapa golongan warga muslim memandang perlu sistem
kalender Islam yang didasarkan pada lunar system dan menolak
sistem penanggalan masehi. Teori evolusi cenderung ditolak
berdasarkan teks klasik dan pemahaman terhadap proses
penciptaan alam yang ada dalam kitab suci. Persoalan
penyembelihan hewan dan status halal juga sering diperdebatkan
dalam konteks hukum Islam terkait dengan penyembelihan yang
memakai teknologi. Ketiga isu ini menjadi persoalan
yang cukup penting akibat meningkatnya penggunaaan
pendekatan literal di dunia Islam ketika dikaitkan dengan sains
modern. Pemahaman literal terhadap teks kitab suci cenderung
menyebabkan ketidaksetujuan yang serius terhadap sains modern.
Dalam konteks lain, pemahaman ‘ijaz, memahami adanya mu’jizat
yang luar biasa dalam al-Quran, sering diinterpretasikan secara
kurang tepat ketika dikaitkan dengan sains modern.Daiber memakai istilah agama sebagai katalisator
terhadap sains berdasarkan analisisnya terhadap pemikiran alGhazali tentang kausalitas dalam konteks relasi Islam dan
rasionalitas. Agama sebagai katalisator berarti bahwa agama
berperan mendorong dan mempercepat perkembangan sains
sedangkan agama itu sendiri tidak mengalami perubahan.
Pandangan bahwa Islam dianggap bertentangan dengan
sains pernah dikemukakan oleh Renan pada tahun 1 dan
pendapat ini kemudian dibantah secara tegas oleh
Jamaluddin al-Afghani yang menyatakan bahwa Islam sebagai
sebagai kekuatan moral dan inspirator terhadap perkembangan
sains.
Pembahasan tentang relasi antara Islam dan sains
bukanlah dimaksudkan agar lebih banyak umat Islam mendalami
sains, melakukan riset dan sebagainya tapi yaitu bagaimana
membangun pola pikir umat Islam dan hubungannya dengan sains
dan modernitas secara umum. Jika hal itu telah terbangun dengan
baik, maka secara otomatis sains di dunia Islam akan berkembang
dan maju. Oleh karena itu, kebebasan individu dan kebebasan
akademik serta pola berfikir kritis yaitu hal yang paling utama
untuk mengembangkan modernitas secara lebih tepat dan
menghindari perselisihan baik internal maupun eksternal. Tanpa
semua itu, sains akan sulit mengakar di dunia Islam.
Salah satu pandangan Guessoum yang sangat menarik
bagi John Hedley Brooke yaitu bahwa jika umat Islam ingin
mendapatkan kembali warisannya yang paling berharga, mereka
harus mengkaji dan mendalami sains secara serius. Di samping itu,
dalam persoalan relasi sains dan agama, umat Islam harus banyak
mempelajari perdebatan yang terjadi di Barat secara luar biasa.
Keistimewaan Guessoum yaitu keberaniannya untuk
membahas persimpangan antara berbagai isu kontroversial dalam
sains dan agama (Islam). Persoalan relasi sains dan agama
sebelumnya dominan dibahas dan dianalisis oleh pemikir Islam
yang bukan berlatar belakang sains. Analisis pemikir Islam
ini tentu saja cenderung salah kaprah dan bias. Kebanyakan saintis Muslim enggan untuk membahas hubungan sains dan
agama kecuali Guessoum. Beberapa referensi yang membahas
tentang relasi sains modern dan Islam cenderung memakai
sudut pandang Barat, sedangkan karya Guessoum ini lebih
membahas sains modern dalam konteks Islam.
Sains modern hanya berhasil menjawab pertanyaan
bagaimana terjadinya sesuatu, namun tidak dapat memecahkan
persoalan mengapa realitas ini terjadi dan ada. Pertanyaan
mengapa yaitu bersifat filosofis, sedangkan sains seperti sebuah
cerita tanpa akhir dan selalu menarik. Karena manusia memiliki
begitu banyak keterbatasan, maka pertanyaan mengapa adanya
dan terjadinya alam ini hanya dapat dijawab oleh keyakinan
agama. Islam dan sains bersifat komplementer, karena Islam selalu
terbuka bagi segala jenis pengetahuan. Dalam tradisi Islam, krisis
antara sains dan agama serta kasus seperti Galileo tidak pernah
terjadi. Untuk mengintegrasikan antara sains dan Islam yaitu
dengan cara memahami bahwa Islam menekankan pada keesaan
Tuhan, sehingga segala hal yang terkait dengan realitas dan
kemanusiaan mesti sebagai satu kesatuan.
Pandangan adanya kesesuaian antara sains dan agama
cenderung pada level yang lebih tinggi dari sekedar pemahaman
literal terhadap kitab suci dan paradigma ilmiah. Dalam konteks
ini, beberapa pandangan Guessoum terkait dengan tema-tema
tertentu relasi sains dan Islam perlu dilihat lebih jauh.
C. Tema Utama Relasi Sains dan Islam
1. Dimensi Perdebatan Sains dan Islam
Berdasarkan survey literatur yang dilakukan sejak tahun
sampai awal tahun 1 , diskursus relasi sains dan agama
yaitu sebuah diskusi yang menarik dan meluas sampai kepada
banyak persoalan. Tema pembahasan relasi sains dan agama mulai
dari persoalan yang kontroversial sampai kepada perdebatan yang
hangat antara kelompok ateis dan para penentangnya. Pembahasan
tentang interelasi sains dan agama sampai kepada dengan
persoalan lingkungan serta tentang aspek-aspek penting pola relasi dan agama dengan dalam kontestasi sejarah yang melibatkan
berbagai agama dan perspektif.
Diskursus sains Islam dengan berbagai ragamnya seperti
yang dikembangkan oleh Nasr, al-Attas, Sardar, al-Faruqi,
Bucaille, dan yang lainnya lebih cenderung kepada perdebatan
persoalan teologis (theological) dibandingkan keilmuan (scientific).
Sebagian besar berupaya untuk menonjolkan dan memperkuat
peran dan kontribusi keyakinan dan nilai-nilai keagamaan dalam
merumuskan sains Islam. Bagi Irfan Habib, yang dibutuhkan umat
Islam dewasa ini bukanlah sains Islam yang bersifat ekslusif, tapi
sains dalam peradaban Islam yang bersifat inklusif dan
berkembang lintas peradaban.
Sebelum para pemikir di atas menekankan betapa
pentingnya sains, para pemikir Muslim sebelumnya telah banyak
menyuarakan bagaimana pentingnya sains dan ilmu-ilmu rasional
bagi kemajuan umat Islam. Ernest Renan, Jamaluddin al-Afghani
dan Mustafa Kemal pada prinsipnya sangat menekankan peran dan
kesesuaian antara ajaran Islam dan sains serta modernitas. Oleh
karena itu, mereka sangat menentang dogma, tradisi yang statis
(jumud), dan irrasionalitas yang dapat menghambat sains atau
diterimanya ilmu-ilmu rasional. Hal yang penting perlu diketahui
bahwa, masing-masing tokoh ini tentu saja memiliki
perbedaan seperti Mustafa Kemal mendukung liberalisme dan
sekulerisme.
Guessoum membagi diskursus Islam dan sains yang begitu
luas dan kompleks menjadi tiga dimensi. Pertama yaitu dimensi
sejarah yang membahas tentang perkembangan sains pada
peradaban Islam. Kedua yaitu dimensi aplikasi praktis yang
membahas tentang penggunaan sains dalam warga Islam seperti penanggalan dan pengobatan. Ketiga yaitu dimensi
konseptual yang mendiskusikan tentang relasi sains dan Islam
baik konflik, harmoni maupun terpisah.
Pada kesempatan lain, Guessoum membagi dua tipe
terkait dengan masalah perjumpangan sains modern dan agama
dalam Islam yaitu level elit akademik dan level publik. Kelompok
pertama cenderung membahas relasi sains modern dan agama
secara filosofis dengan mencari prinsip-prinsip mendasar dari
kedua komponen ini . Kelompok pertama ini berupaya
membangun pandangan filosofis dan keagamaan tersendiri sesuai
dengan pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang digunakan
boleh jadi liberal, konservatif, rasional, mistikal dan sebagainya.
Para pemikir yang termasuk kelompok elit akademik ini antara
lain yaitu Seyyed Hossein Nasr, Muzaffar Iqbal, Ziauddin
Sardar, Mehdi Golshani, Muhammad Abdus Salam, Pervez
Hoodbhoy dan Taner Edis. Berbeda dengan kelompok pertama,
kelompok kedua yaitu berasal dari para dai dan warga
umum. Mereka membahas tentang relasi sains modern dan Islam
secara lebih luas seperti di sekolah, media, dan toko buku.
Persoalan yang dibahas oleh kelompok ini yaitu berbagai
penemuan ilmiah dan perkembangan teknologi seperti teori Big
Bang, teori Evolusi Darwin, kloning dan sebagainya. 1
Dalam konteks dimensi relasi sains modern dan Islam,
Guessoum tampaknya secara jelas mengklasifikasikannya ke
dalam tiga dimensi yaitu sejarah, praktis dan teoretis. Ketiga
dimensi ini sama-sama penting dan saling terkait satu sama
lain. Sementara itu, dalam konteks tipe kelompok yang tertarik
dan terlibat dalam pembahasan sains modern dan Islam, ia hanya
membagi pada dua kelompok besar yaitu kelompok intelektual
dan kelompok publik. Baik level akademik maupun publik tentu
saja tidak terlepas dari perdebatan dan fakta historis tentang
eksistensi dan peran sains di dunia Islam.
Ketiga faktor ini boleh jadi menjadi alasan
meningkatnya daya tarik untuk mengkaji relasi sains dan Islam
tidak hanya bagi akademisi dan praktisi di kalangan umat Islam
itu sendiri, tapi juga bagi akademisi dan praktis secara umum. . Sains dan al-Quran
Kajian terhadap hubungan sains dan kitab suci tentu saja
tidak hanya terjadi pada umat Islam. Persoalan yang sering
muncul yaitu apakah ayat-ayat pada kitab suci sesuai dengan
sains. Persoalan lain yaitu apakah kebenaran kitab suci dapat
dibuktikan dengan sains dan atau sebaliknya. Jika ada kesan
pertentangan antara kitab suci dan sains, apa yang mesti dilakukan
baik oleh pemuka agama maupun ilmuwan.
Terkait dengan prospek ke depan persoalan relasi agama
dan sains, Peter Harrison menawarkan beberapa hal yang bersifat
tentatif. Pertama, sama halnya dengan keberagaman pengetahuan,
persoalan relasi sains dan agama juga beragam. Apapun model
relasi sains dan agama yang dipahami, sangat tergantung dengan
batasan konstruksi pemikiran seseorang. Kedua, dimensi politik
dan kekuasaan juga memiliki peran yang tidak dapat diabaikan
dalam mengkonstruksi relasi sains dan agama pada peradaban dan
masa tertentu. Ketiga, relasi sains dan agama tidak dapat terlepas
dari isu-isu pluralisme agama. Dalam konteks relasi sains dan
agama di Barat khususnya Kristen, perlu juga diperhatikan
bagaimana konsep relasi sains dan agama dalam agama lain
seperti Islam dan Budhisme. Keempat, konsep relasi sains dan
agama juga tidak dapat terlepas dari dimensi dan aktifitas
personal penganut dan tokoh agama serta ilmuan itu sendiri.
Terakhir, analisis historis memiliki peran sentral dalam
merumuskan relasi sains dan agama kontemporer.
Dalam konteks teologi Kristen, perdebatan sains dan
agama di Barat lebih pada perdebatan hermeneutik. Pemahaman
tradisional terhadap kitab suci sulit memiliki titik temu dengan
berbagai teori-teori sains khususnya teori evolusi. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap kitab suci mesti memakai pendekatan
alegoris sebagai bagian dari pendekatan hermeneutik.
Al-Qur’an sebagai sebuah sistem yang kompleks dan
memiliki kedalaman logis sehingga pesan-pesan yang terkandung
dalam al-Qur’an sangat tepat dipahami dengan memakai
pendekatan rasionalisme kritis.
Modernitas sebagai sebuah tantangan bagi umat Islam.
Untuk merespon tantangan ini , umat Islam memiliki
beberapa perbedaan pandangan dalam menginterpretasikan pesanpesan yang penting dalam al-Qur’an. Kaum modernis cenderung
memakai interpretasi yang berkesinambungan, kelompok
fundamentalis menentang secara prinsip interpretasi, sedangkan
kaum konservatif cenderung melakukan interpretasi dengan
batasan-batasan tertentu.
Tiga kelompok yang dikemukakan di atas tentu saja tidak
dipahami secara kaku. Masing-masing kelompok tentu juga
memiliki keberagaman dalam konteks tertentu terkait dengan
bagaimana sikap mereka terhadap interpretasi atau penafsiran
yang digunakan untuk memahami kitab suci. Modernis,
fundamentalis, dan konservatif merupakan tiga kelompok besar
dengan perbedaan pendekatan yang digunakan. Tiga kelompok
ini juga dapat dipakai dalam mengklasifikasi bagaimana pola
pemikiran keislaman.
Dalam konteks perdebatan kitab suci dan sains yang
terjadi di Barat awal abad modern, menurut Massimo Campanini
dengan menganalisis pemikiran Galileo Galilei terdiri dari empat
poin sebagai kerangka pikir yang dipakai. Pertama, kitab suci
tidak dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena alam ataupun
masalah-masalah ilmiah. Kedua, kitab suci perlu dipahami dengan
memakai interpretasi yang bersifat allegoris. Ketiga, kitab
suci secara ekslusif berkenaan dengan hal-hal teologis dan moral.
Keempat, bahasa kitab suci sederhana atau bahkan sangat
sederhana agar mudah dipahami oleh manusia umumnya.
Campanini lebih jauh melihat meski tidak ada bukti bahwa
Galileo terpengaruh Ibn Rushd, pemikiran Gelileo ini ada kesamaan dari sisi sudut pandang metodologis dengan pemikiran
Ibn Rushd yang memisahkan kebenaran agama dengan kebenaran
ilmiah.
Tentu saja empat poin utama ini tidak dapat begitu
saja dihadapkan dengan pola relasi al-Qur’an dan sains. Menurut
Muzaffar Iqbal, Al-Quran memakai kata al-‘ilm yang sepadan
dengan science dalam bahasa Inggris. al-‘ilm dalam al-Quran
ini menunjukkan semua jenis pengetahuan dan tidak hanya
terkait dengan pengetahuan tentang alam. Pemahaman terhadap
al-‘ilm yang mencakup semua jenis pengetahuan bukan berarti
tidak ada klasifikasi dan tingkatan pengetahuan. Semua jenis
pengetahuan mempunyai kerangka epistemologis yang didasarkan
pada konsep pengetahuan dalam al-Quran.
Bagi Golshani, dalam perspektif al-Quran pengkajian
terhadap alam berarti mengkaji ayat-ayat Allah. Oleh karena itu,
kerangka kerja keilmuan dianggap sebagai bagian dari aktivitas
keagamaan. Ia merumuskan beberapa karakteristik kerangka
ilmiah sebagai berikut. Pertama, kerangka kerja keilmuan yaitu
dengan pendekatan holistik yang didasarkan pada prinsip kesatuan
alam dan pencipta. Kedua, tujuan studi tentang alam yaitu untuk
menggiring manusia menuju Tuhan dan memahami sifat-sifat
Tuhan. Ketiga, studi fisika dan biologi merupakan sebagian aspek
dari alam yang sangat luas, dan bahkan yang lebih luas dan
penting mengkaji dan memhami yang ada dibalik alam melalui
agama. Keempat, sains modern mengabaikan prinsip-prinsip
teleologis dari alam, padahal prinsip teleologis ini banyak
diingatkan dalam al-Quran. Kelima, dalam pandangan Islam
ada hirarki pengetahuan dan menolak reduksionisme sains
hanya terbatas pada sains empiris. Keenam, ilmu-ilmu
kemanusiaan memiliki perbedaan fundamental dengan ilmu-ilmu
kealaman. Sains dalam Islam memiliki interelasi dengan segala
aspek semesta oleh karena itu perlu aspek-aspek yang bersifat
sintetik terhadap keluasan kajian alam semesta seperti yang
dikembangkan oleh ilmuwan muslim pada masa kejayaan Islam.
Keenam karakteristik kerangka ilmiah dan pemikiran
keislaman, ketuhanan, serta al-Qur’an memiliki interelasi yang
jelas. Rumusan ini meliputi semua aspek filosofis baik
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hal yang menarik yaitu
kelemahan sains modern yang cenderung mengabaikan aspek
teleologis sering diingatkan oleh al-Qur’an.
Diskursus sains dan Islam seperti yang telah diuraikan
sebelumnya memang sangat menarik. Pemahaman terhadap alQur’an seringkali dihubungkan dengan perkembangan sains dan
teknologi. Hamka seperti diungkapkan oleh Fauzan Saleh
cenderung menyimpulkan bahwa dengan semakin berkembang dan
majunya sains, maka semakin akan terungkap secara luas
kebenaran-kebenaran yang ada dalam al-Quran. Kebenaran
mutlak al-Quran akan ditemukan secara lebih luas melalui
kemajuan penemuan ilmiah. Contoh yang dikemukakan Hamka
yaitu kata atom (dharrah) sebagai partikel terkecil yang sulit
dipahami oleh umat Islam ketika ayat al-Quran diturunkan, namun
setelah empat belas abad baru dapat dipahami melalui
perkembangan sains.
Pandangan ini tentu saja tidak luput dari kritik.
Terlepas dari kelemahan padangan di atas, Sukran Vahide menilai
bahwa upaya untuk menunjukkan bagaimana sains mungkin dapat
digunakan untuk mengungkap dan membuktikan kebenaran yang
ada dalam al-Quran yaitu lebih baik dibandingkan
mempertentangkannya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
atau bahkan menghilangkan konflik antara sains dan agama yang
cenderung mendeskriditkan Islam. Oleh karena adanya
pertentangan dan pembedaan yang mendasar serta dikotomi antara
pikiran dan materi, jiwa dan badan, sains dan agama, dan
seterusnya, Vahide menilai upaya yang dilakukan Nursi sudah
tepat. Nursi berupaya untuk membangun sebuah keutuhan
epistemologis dan hubungan yang organis antara berbagai macam
kategori pengetahuan, wahyu dan sains, serta seni, etika dan
keyakinan. Konsep epistemologi yang utuh dan interrelasi yang
harmoni ini mesti berlandaskan kepada al-Quran dan
kesatuan abadi.
Pandangan di atas tentu juga mendapat dukungan dari
sebagian pemikir yang salah satunya yaitu Sayyed Hossein Nasr.
Nasr memandang bahwa peradaban Islam termasuk salah satunya
perkembangan sains dan teknologi yang begitu mengagumkan
berlandaskan ajaran-ajaran yang ada dalam al-Quran.
1
Guessoum sendiri sangat setuju dengan pandangan bahwa
al-Quran sebagai dasar pengembangan sains dan teknologi dalam
Islam. Ia menegaskan kembali pandangan Iqbal bahwa banyak
ada ayat-ayat dalam al-Quran yang mengindikasikan berbagai
istilah terkait dengan jenis dan tingkatan metode epistemologi
seperti observasi, kontemplasi, penalaran, pengandaian, refleksi
dan sebagainya. Ayat-ayat dalam al-Quran ini di antaranya
yaitu Surat Yunus (1 ) ayat dan surat al-Ja>siyat ( ) ayat 1
Di samping itu, al-Quran mengisyaratkan adanya
tingkatan pengetahuan yang berbeda yang digambarkan dengan
istilah seperti kepercayaan, keraguan, pemikiran, pemahaman,
pandangan, pencerapan dan sebagainya. Di antara ayat-ayat
ini yaitu
Lebih jauh, menurut Guessoum, al-Quran sangat
menekankan perlunya pembuktian seperti ayat berikut.
Guessoum menerima pandangan bahwa ayat-ayat alQuran banyak mengindikasikan dan menjelaskan tentang
fenomena alam, namun ia tidak setuju atau menentang interpretasi
ilmiah terhadap al-Quran. Guessoum mengkitik tentang
penyederhanaan diskursus Islam dan sains yang begitu kaya dan
luas seolah-olah hanya terkait dengan mu’jizat ilmiah al-Quran. Ia
menawarkan sebuah pola penafsiran al-Quran yang bersifat
beragam dan berlapis dengan memakai berbagai pendekatan
dan alat termasuk sains. Pola penafsiran ini pada dasarnya
sesuai dengan prinsip pemikiran Ibn Rushd tentang
ketidakmungkinan adanya konflik antara filsafat (sains) dan
agama (Islam).
Ia mendukung pemikiran Nasr, Sachiko Murata, dan
William C. Chittick yang menempatkan posisi dan peran yang
istimewa dan tertinggi terhadap al-Quran. Guessoum juga setuju
dengan prinsip utama pemikiran tafsir Muhammad Shahrour yang
mengkaji bentuk permanen teks Qur’an dengan perkembangan
pemahaman isi teks. Pemikiran Shahrour bersifat revolusioner
dengan prinsip penafsiran terbuka baik ahli atau bukan, muslim
atau non muslim serta Arab atau non Arab.
Pandangan ini pada dasarnya didorong oleh semangat
rekonstruksi pemahaman terhadap Islam dan hubungannya dengan
perkembangan sains kontemporer. Jika umat Islam masih
membatasi dialog dan interaksi dengan berbagai pemikiran dan
peradaban, maka Islam tentu saja sulit diterima oleh warga
dan peradaban lain.
Pemikiran yang berkembang abad ke- bahwa prinsip
ensiklopedik al-Quran harus diterapkan dalam pengetahuan dan
sains modern sehingga apapun dapat ditemukan dalam al-Quran
selagi dieksplorasi secara tepat. Pandangan ini menghasilkan dua
aliran tafsir yaitu tafsir ‘ilmi (tafsir ilmiah) dan aliran mukjizat
ilmiah al-Quran (ijaz). 1
Tafsir ilmiah yang paling lengkap menurut sebagian ahli
yaitu tafsir Tantawi. Tafsir Tantawi ini mendorong
pengembangan keilmuan termasuk sains modern. Tafsir ini
sangat dekat dengan ilmu-ilmu kealaman dan aliran-aliran filsafat.
Hal yang menarik yaitu banyak artikel-artikel dalam jurnal
ilmiah Barat yang menyatakan bahwa tafsir Tantawi ini mencoba
mengekspresikan kesesuaian antara ayat-ayat al-Qur’an dengan
sains modern. Salah satu alasan mengapa Tantawi menulis tafsir
ilmiah yaitu karena ia berasumsi sebagian besar umat Islam tidak
begitu tertarik dan memahami ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu
empiris lainnya. Oleh karena itu, ia menulis tafsir yang sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi umat Islam.
Mukjizat ilmiah al-Quran berhadapan dengan kebebasan
metode dan hasil sains sama-sama memiliki kelemahan. Pertama,
orang tidak seharusnya memaksakan mencari referensi dalam alQuran untuk penemuan ilmiah karena penemuan ilmiah bersifat
terbatas dan temporal sedangkan kebenaran al_Quran bersifat
abadi dan mutlak. Kedua, orang tidak dapat menemukan
kebenaran yang definitif dengan sains, padahal kebenaran definitif
ini hanya dapat dilihat dalam al-Quran. Bagi Guessoum,
pandangan ijaz seperti bola salju yang pada awalnya kecil dan
putih kemudian digelindingkan lalu menempel debu dan sampah
sampai akhirnya menjadi bola salju yang kotor. Guessoum
menawarkan sebuah pendekatan pemahaman terhadap teks alQuran yang beragam dan berlapis serta penguasaan sains dan
filsafat yang komprehensif sebelum menafsirkan hubungan sains
dan al-Quran. Prinsip yang pertama sudah jelas bahwa seorang
harus menguasai sains, sedangkan prinsip yang pertama sudah
dikembangkan oleh sebagian besar pemikir Islam bahkan sejak Ibn
Rushd.
Salah satu pola pikir dan pendekatan yang berkembang
pada umat Islam dalam memahami teks keislaman yang
terkandung dalam al-Quran dan Hadis yaitu pendekatan
literalistik. Pendekatan ini baik secara langsung maupun tidak
memengaruhi diskursus tentang sains dan Islam serta berbagai isuisu penting lainnya. Literalisme dapat dipahami sebagai sebuah
cara pemahaman terhadap teks keagamaan secara langsung dengan
memakai makna leksikal.
Penekanan dan dorongan al-Quran terhadap umat Islam
agar memakai rasio untuk memahami dan menelusuri alam
semesta telah berhasil membangun sebuah tradisi yang hebat
terhadap perkembangan sains khususnya sains kealaman (natural
sciences).
Ia juga mengkritik ketimpangan perhatian terhadap sains
dalam bidang pendidikan baik oleh pemerintah, pendidik, maupun
warga . Sekolah lebih mengutamakan hafalan al-Quran tanpa
melakukan upaya bagaimana pemahaman dan penafsiran terhadap
al-Quran. Oleh karena itulah, ia tidak heran melihat generasi muda
khususnya mahasiswa yang dididiknya lemah dalam analisis dan
berfikir kritis serta tidak kuat dalam menghadapi tantangan
intelektual.
Al-Quran memang bukanlah ensiklopedia ataupun buku
sains. Hal yang paling penting yaitu bagaimana al-Quran
ini secara serius dan terarah dipahami tidak bertentangan
dengan sains sebagaimana prinsip Ibn Rushd. Bagi Ibn Rushd,
tidak mungkin terjadi pertentangan antara Firman Allah dengan
perbuatan Allah. Secara praktis, hal ini bukan ingin
menunjukkan bahwa teori ilmiah dapat dibuktikan dalam alQuran, tapi paling tidak menunjukkan bahwa pemahaman dan
penafsiran terhadap al-Quran sepenuhnya konsisten dengan teori
saintifik.
Dalam Islam, al-Quran memerintahkan umat untuk
mengetahui bagaimana alam ini ada dan terbentuk, dan itu sangat
erat kaitannya dengan tujuan sains. Beberapa filsuf dan ilmuwan
Muslim seperti al-Biruni dan Ibn Haitam memakai dan
menekankan pentingnya metode empiris dalam pengembangan
sains. Lebih jauh, ilmu Kalam sangat perlu berhubungan dengan
sains modern.
Ilmuwan dan filsuf harus berkolaborasi dalam
mengembangkan sains. Seorang filsuf dapat membantu dan
menjelaskan makna filosofis dan implikasi teologis dari
penemuan-penemuan dan teori-teori ilmiah dalam sains. Ilmuwan
tidak mampu menjelaskan hal ini seperti makna fisolofis dan
teologis Teori Big Bang, hokum alam, relativitas dan
sebagainya.
Untuk menjembatani Islam dan dunia modern dengan
perkembangan sains sebagai karakter utamanya perlu pemahaman
yang tepat terhadap dua kata kunci dalam al-Quran yaitu ilm dan
h{ikmah. ilmu dan hikmah diperoleh melalui ‘aql (akal) dan fikr
(pemikiran). Ilmu yang dihayati secara mendalam dan intuitif
menghasilkan hikmah. Akal pada dasarnya bebas nilai. Eksplorasi
dan pengembangan ilmu dapat dilakukan secara dinamis dan bebas
namun tetap memperhatikan nilai-nilai ketuhanan sehingga
menghasilkan kekuatan sains dan teknologi yang bermanfaat
kepada manusia. Kebenaran dalam Islam bukan hanya bersifat
faktual tapi juga mesti bersifat transendental. Dalam konteks
inilah, peran intuisi sangat penting dan dibutuhkan. Kemampuan
rasional mesti dikombinasikan dengan kemampuan intuitif.
Berdasarkan pendekatan di atas, maka kebenaran ilmiah pada
dasarnya tidak bertentangan dengan al-Quran karena al-Quran
sendiri banyak mendorong dan menginspirasikan manusia untuk
meneliti dan mengeskplorasi alam semesta.
Guessoum tidak setuju dengan upaya para saintis Muslim
seperti Harun Yahya yang mencari teori ilmiah untuk
membuktikan kebenaran al-Quran. Mencocok-cocokan teori-teori
ilmiah seperti Relativitas, Quantum, Big Bang dan sebagainya
dengan al-Quran yaitu sesuatu yang tidak perlu. Kritik yang
lebih tajam terhadap Harun Yahya sebagai seorang muslim
kreasionis yaitu mengadopsi penalaran silogistik bahwa wahyu
yaitu kebenaran, sains yang benar mengkonfirmasi kebenaran.
Oleh karena itu kebenaran wahyu harus dibuktikan secara ilmiah.
Berdasarkan konteks ini , kreasionis seperti Harun Yahya
cenderung memunculkan salah satu bentuk saintisme.
Bagi Guessoum, tafsir ‘ilmi dengan ‘ijaz ‘ilmi yaitu
sangat berbeda. Tafsir ‘ilmi berupaya memakai teori ilmiah
untuk menghasilkan pemahaman atau penafsiran baru terhadap
ayat-ayat yang terkait dengan alam. Sedangkan ‘ijaz ‘ilmi
mengklaim bahwa beberapa ayat al-Quran mengandung faktafakta ilmiah yang jelas dan baru ditemukan sekarang. Bagi
Guessoum, ‘ijaz ‘ilmy yaitu ide dan program yang utopis baik
secara teoretis maupun praktis.
Menurut Bigliardi, pandangan tentang tafsir ilmiah
terhadap al-Qur’an atau ‘ijaz ‘ilmi ini sangat ditentukan oleh
apa yang pemahaman tentang makna ilmiah itu sendiri. Ia
mencatat secara garis besar ada enam pandangan atau
pemahaman tentang tafsir ilmiah terhadap al-Qur’an. Pertama, alQur’an mengandung pesan-pesan yang sesuai dengan teori ilmiah
seperti teori terbentuk dan berkembangnya alam semesta. Kedua,
al-Qur’an memiliki pesan-pesan yang menggambarkan fenomena
alam seperti yang dtemukan sains dewasa ini padahal hal ini
belum dikenal pada saat wahyu ini diturunkan seperti
perkembangan janin pada rahim perempuan. Ketiga, al-Qur’an
mengandung pesan yang mendeskripsikan fakta atau peristiwa
ilmiah yang dijelaskan oleh pengujian sains dewasa ini sementara
hal ini tidak dikenal ketika ayat ini diturunkan seperti
pengawetan mummi Fir’aun. Keempat, al-Qur’an mengandung
pesan-pesan yang memprediksikan akan adanya perkembangan
dan penemuan teknologi ilmiah kontemporer seperti eksplorasi
alam. Kelima, al-Quran menampilkan berbagai jumlah yang
berhubungan dengan jumlah yang ada pada berbagai
fenomena alam atau hukum alam seperti perbandingan luas
daratan dan lautan dalam QS. :1. Terakhir, al-Qur’an dan Hadis
memberi resep terkait dengan pengobatan dan sesuai dengan
kedokteran kontemporer.
Guessoum menganalisa ada beberapa hal penting yang
patut dicatat terkait dengan relasi al-Quran dan kehidupan umat
Islam di tengah perkembangan sains dan peradaban modern.
Pertama, al-Quran mendapatkan tempat dan pengaruh yang luar
biasa terhadap pola kehidupan dan kerangka berfikir umat Islam.
Hal ini menjadikan diskursus sains dan agama dalam dunia
Islam cenderung seringkali merujuk dan menghubungkannya
dengan al-Quran. Pandangan dan diskusi tentang sains dan Islam
yang dapat diterima baik oleh warga luas maupun kelompok
elit paling tidak harus tidak bertentangan dengan al-Quran
meskipun tidak sepenuhnya sesuai. Upaya ini tentu dapat
dicapai melalui pendekatan hermeneutik yang sesungguhnya
merupakan bagian dari tradisi Islam. Kedua, al-Quran sangat
mendorong dan memberi inspirasi untuk melakukan refleksi
dan eksplorasi terhadap semua fenomena alam. Ketiga, konsep
sains dalam perspektif sains modern tidak dapat begitu saja
ditemukan dalam al-Quran ataupun dalam sebagian besar warisan
Islam klasik. Para pemikir dan ilmuwan Islam masih berbeda
pendapat tentang makna ‘ilm dalam al-Quran apakah terkait
dengan sains secara umum atau ilmu keagamaan saja. Pemahahan
ini sangat penting terkait dengan kemungkinan membangun
sains yang berlandaskan al-Quran.
Guessoum menolak segala bentuk pemahaman yang
ekstrim terhadap persoalan sains dan al-Quran seperti al-Quran
mengandung muatan ilmiah (scientific content). Oleh karena itu,
ia menawarkan sebuah pendekatan yang beragam dan berlapis
(multiplicity of reading with multi-layered nuances) untuk
memahami isi dan kandungan al-Quran. Perintah al-Quran untuk
melakukan meneliti dan memahami fenomena alam tidak dapat
dilakukan tanpa sains.
Guessoum mendukung pemikiran Mohammad Shahrour
yang memberi peluang bagi siapa saja yang memiliki kapasitas
keilmuan dan intelektual untuk menafsirkan al-Qur’an termasuk
kepada kalangan non muslim sekalipun. Al-Quran memang
bukanlah ensipklopedia, namun bila ia didalami secara serius
maka akan dapat disimpulkan tidak ada pertentangan ayat
qauliyah (al-Quran) dengan fenomena alam (ayat kauniyah)
sebagaimana pemahaman Ibn Rushd. Pemahaman yang perlu
dibangun yaitu pandangan dan penafsiran yang cerdas terhadap
al-Quran sepenuhnya konsisten dengan teori ilmiah, bukan
berupaya membuktikan bahwa teori ilmiah dapat ditemukan
dalam al-Quran.
Guessoum menawarkan sebuah pendekatan baru untuk
memahami al-Quran yang ia sebut dengan ‚multiple, multilevel‛
readings. Pendekatan ini yaitu keberagaman makna
tergantung tergantung pendidikan dan zaman dimana seseorang
hidup. Orang boleh saja memahami beberapa fakta terkait dengan
alam pada suatu ayat tanpa mengkaitkannya klaim mujizat
terlebih dahulu. Oleh karena itulah, Guessoum menolak mujizat
karena bertentangan dengan hukum alam sebagai fenomena alam
yang teratur. Adapun mujizat seperti Isra Miraj yaitu berupa
pengalaman spiritual nabi.
Persoalan apakah mujizat bertentangan dengan sains
karena ia terjadi di luar dari kerangka kerja hukum. Coyne
berpandangan bahwa suatu peristiwa yang luar biasa boleh jadi
terjadi dengan tingkat probabilitas yang sangat kecil. Hal ini
tidak bertentangan sains karena sifatnya yang unik dan tidak
dapat diulang, sedangkan sains hanya memfokuskan diri kepada
peristiwa atau hal yang dapat diulang (repeatable events).
Georges Tamer menilai bahwa al-Ghazali melihat relasi
al-Quran dan sains yaitu interdependensi mutualisme. Sains
membantu manusia untuk memahami isi kandungan al-Qur’an,
bahkan sampai kepada makna terdalam dari al-Quran.1
Bagi Salman Hameed, konsep Guessoum tentang dengan
relasi sains dan al-Quran dengan memakai pendekatan yang
beragam dan berlapis sudah tepat sebagai upaya untuk menjawab
dan membantah pandangan bahwa sains dan agama yaitu
terpisah. Konsep Guessoum ini yaitu cara yang terbaik
untuk mengembangkan integrasi sains dan agama.1 Hal ini
menunjukkan bahwa Hameed setuju dengan Guessoum bahwa
salah satu upaya merumuskan integrasi sains dan agama yaitu
dengan merekonstruksi pola pemahaman terhadap relasi al-Quran
dan sains dengan memakai metode tafsir yang beragam dan
berlapis.
. Islam dan Teori Evolusi
Dengan memakai pola relasi sains dan agama Haught,
teori evolusi bagi pendukungnya bertentangan dengan agama dan
teori ini digunakan untuk menolak teisme, sedangkan bagi kaum
fundamentalis, teori evolusi tidak cocok dengan semua
pemahaman konsep penciptaan dalam agama. Pola ini yaitu
konflik. Dalam pendekatan kontras, manusia tidak mampu
memahami hakikat tertinggi dari tujuan penciptaan alam hanya
dengan mempelajari hukum alam, demikian juga sebaliknya
evolusi yaitu teori ilmiah yang tidak dapat dikaitkan dengan
pemahaman kosmologi keagamaan. Evolusi sebagai teori sains
dan konsep penciptaan sebagai pemahaman agama keduanya
berbeda satu sama lain. Pendekatan kontak memahami bahwa
kemungkinan adanya titik temu secara teologis tentang teori
evolusi dengan transformasi pemahaman teologi kontemporer.
Pendekatan konfirmasi mendukung pengembangan teologi
evolusioner dan bahkan teori evolusi dianggap sesuai dengan
paham teisme.1
Reaksi dan tanggapan umat Islam terhadap teori evolusi
Darwin pada masa teori ini dikemukakan hampir tidak ada
karena pada masa ini sebagian besar negara-negara yang
mayoritas muslim masih di bawah penjajahan bangsa Barat.
Sebagai wilayah jajahan, perkembangan dan akseptabilitas
keilmuan terutama publikasi ilmiah masih sangat terbatas. Reaksi
dan tanggapan terhadap teori evolusi Darwin baru mulai muncul
menjelang pertengahan abad ke- . Tanggapan para pemikir Islam
ada yang bersifat akomodatif, rekonsiliatif, dan korektif, dan
kontradiktif.
1
Teori evolusi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
utama ajaran Islam namun perlu interpretasi yang lebih literal
untuk mencapai harmonisasi sains dan agama.1 Interpretasi
literal ini memang pada dasarnya lebih mudah diterima dan
dipahami sebagaian besar umat Islam. Oleh karena itulah, perlu
dilihat secara mendalam prinsip utama ajaran Islam ketika
dihubungkan dengan penemuan dan teori sains.
Teori evolusi dan penciptaan yaitu dua hal yang paling
banyak dibahas dan diperdebatkan dalam konteks relasi sains dan
agama. Kedua teori ini juga menjadi tema menarik baik bagi
kalangan teisme maupun ateisme. Sebagian kalangan teisme
berpendapat bahwa teori evolusi tidaklah bertentangan dengan
agama, sementara sebagian yang lain menyatakan bahwa evolusi
tidak sesaui bahkan bertentangan dengan agama.
Argumen teleologis (design argument) yaitu sebuah
pendekatan yang memakai akal dan dapat dijadikan salah
satu dasar pendekatan alamiah terhadap kepercayaan. Berbeda
dengan dengan argumen teleologis, pendekatan teologis wahyu
lebih menekankan pada keyakinan, penerimaan dan otoritas
keagamaan. Oleh karena itu, argumen teleologis tidak selayaknya
untuk dipertentangkan sepenuhnya dengan teori evolusi seperti
yang dilakukan oleh Harun Yahya.1
Terkait dengan masalah evolusi, menurut Guessoum
yaitu beberapa hal yang penting dan mesti dipahami. Pertama,
proses evolusi yaitu suatu fakta yang kuat tentang alam. Kedua,
teori evolusi seperti layaknya teori-teori ilmiah yang lain tentu
saja dapat dilihat dalam berbagai perspektif, dan teori evolusi
Darwin yaitu salah satu bentuk. Terakhir, evolusi yaitu sangat
penting dalam perdebatan sains dan agama termasuk perdebatan
sains dan Islam. Sebagian memahami masalah relasi sains dan
agama ini secara sederhana dan literal, sebagian yang lain
memahaminya dengan memakai pendekatan hermeneutik dan
prinsip pembacaaan teks yang bersifat multiple-multilevel.
1
Guessoum cenderung sepakat dengan David Solomon
Jalalel bahwa pembahasan tentang Islam dan teori evolusi sangat
sedikit sekali disebabkan oleh dua alasan. Alasan pertama yaitu
sebagian besar pemikir dan ilmuwan Muslim khususnya dari
kalangan tradisional kurang memahami aspek-aspek ilmiah dari
teori evolusi ini . Alasan kedua yaitu masih adanya
pandangan yang dangkal dan sempit bagi sebagian sarjana dan
pemikir Muslim terhadap dogma dan teologi Islam.1
Guessoum, bagi Rana Dajani, yaitu pemikir dan ilmuwan
Muslim yang unik karena berbeda dengan pandangan sebagian
besar pemikir Muslim dan umat Islam umumnya terkait dengan
diskursus Islam dan sains modern khususnya Islam dan teori
Evolusi. Pertentangan antara Islam dan sains khususnya penolakan
terhadap teori evolusi yaitu akibat lemahnya kebebasan berfikir
umat Islam dan kesalahan penafsiran terhadap al-Quran.
1
. Sains dan Masalah Ketuhanan
Pola Haught terkait dengan sains dengan problem
ketuhanan dapat diuraikan sebagai berikut. Menurut pendekatan
konflik, sains tidak dapat memberi bukti apapun terhadap
eksistensi Tuhan. Pendekatan kontras berpandangan bahwa agama
tidak harus mencampuri penemuan-penemuan sains yang empiris,
dan sebaliknya sains tidak dapat memberi penjelasan terhadap
persoalan ketuhanan karena sains dan agama berbeda. Berdasarkan
pendekatan kontak, konsep dan ide tentang ketuhanan cenderung
dikaitkan dengan teori-teori sains seperti teori relativitas, teori
fisika kuantum, dan penemuan-penemuan dalam bidang
astronomi. Meskipun demikian, para ilmuwan dan teolog sangat
berhati-hati dalam memahami makna teologis yang ada
dalam penemuan sains. Terakhir, dalam konteks pendekatan
konfirmasi, ide mengenai persoalan ketuhanan secara positif
didukung oleh sains.1
Para pemikir Enlightenment pada dasarnya tidak menolak
dan mempertanyakan konsep tentang Tuhan, namun yang mereka
pertanyakan konsep Tuhan yang dianut oleh agama karena
menurut mereka tidak rasional dan saintifik. Para filsuf ini
ingin mengkonstruksi sebuah konsep ketuhanan yang rasional dan
humanis seperti yang dikembangkan oleh Baruch Spinoza.11
Kosmologi yaitu sains yang bersifat teoretis,
observasional, dan empiris. Meskipun demikian, kosmologi tidak
mesti dipahami sebagai suatu yang bersifat materialistik.
Kosmologi memerlukan interaksi dengan filsafat untuk
memperluas perspektifnya. Interaksi kosmologi dengan teologi
dapat membantu teologi untuk merekonstruksi sistem keyakinan
rasional dan saintifik secara konsisten.11 Oleh karena itulah,
berbagai teori dan model kosmologi telah memancing perdebatan
filosofis yang begitu luas dan tidak jarang berguna bagi agama
seperti teori big bang.Epistemologi al-Ghazali bersifat fondasionalis yang
bertitik tolak dari bagaimana menghindari diri dari keraguan
dengan cara pengetahuan yang bersifat intuitif dan berasal dari
wahyu untuk mencapai kebenaran yang utama. Kebenaran utama
ini berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan menjadi dasar
dan sumber utama dari pengetahuan yang dapat ditemukan pada
ayat-ayat Allah, baik ayat qauliyah maupun kauniyyah.
11
Kosmologi yang memakai pendekatan saintifik murni
menganggap alam semesta ini yaitu sepenuhnya materi dan
berjalan secara konsisten dengan sendirinya tanpa membutuhkan
Tuhan. Sains modern tidak memberi nilai dan makna
transendental bagi rumusannya terhadap alam semesta. Hal
ini berbeda dengan sains teistik yang dikemukakan
Guessoum.11
Perbedaan pemahaman dan penafsiran tentang konsep
ketuhanan dalam Islam pada dasarnya menunjukkan bahwa
masalah ketuhanan sangat terkait dengan sains dan filsafat.
Konsep ketuhanan secara umum yaitu berupa pemahaman
tradisional seperti yang diajarkan kepada anak-anak di sekolah.
Tuhan yaitu Maha Esa, Maha Pencipta, Maha Pemelihara, dan
seterusnya. Semua sifat dan kekuasaan Allah ini dapat
dibaca dalam al-Quran dan hadis. Berbeda dengan pemahaman
tradisional, Tuhan dapat pula dipahami secara allegoris oleh para
filsuf, saintis, dan kaum sufi. Mereka memahami ayat-ayat dan
hadis yang terkait dengan ketuhanan tidak secara simbolik dan
sederhana seperti yang pertama. Tingkatan kedua ini memahami
konsep ketuhanan dan fenomena alam dengan memakai akal
dan pengalaman sufistik.
11
Guessoum mencatat ada tiga persoalan penting yang
diajukan Brooke ketika membahas dan menganalisis pemikiran
Guessoum dalam bukunya Islam’s Quantum Questions. Ketiga
pertanyaan penting itu yaitu siapa yang mengontrol makna
dalam Islam, apakah ada teologi alam dalam Islam, dan selain beberapa persamaan, apakah ada perbedaan penting antara Islam
dan Kristen dalam konteks hubungannya dengan sains modern.
11
Pertama, Islam tidak mengenal sistem kependetaan yang
bertanggung jawab mengontrol agama. Islam hanya mengenal
ulama yang dapat memberi pandangan terhadap berbagai
persoalan agama dan boleh jadi ada perbedaan pandangan dari
berbagai ulama menyangkut suatu masalah. Yang menjadi
masalah yaitu adanya pandangan yang menganggap bahwa ulama
ini harus mendapatkan pendidikan dari lembaga keislaman
‚tradisional‛ ataupun yang mendapatkan ijazah dari syeikh yang
diakui otoritasnya dalam ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir dan
fiqh. Seorang doktor studi Islam dari universitas di Barat tidak
dapat diakui sebagai ulama. Dengan kata lain, saat ini realitasnya
yang mengontrol makna dalam Islam masih cenderung dari
kalangan ‚ortodoks‛ meskipun sudah mengarah kepada perubahan
seiring dengan perkembangan zaman.11
Islam mendorong pemeluknya untuk memikirkan tentang
persoalan ketuhanan seperti kisah Nabi Ibrahim dalam mencari
Tuhan yang pada awalnya melihat alam. Beberapa konsep
argumen ketuhanan termasuk dalam natural teologi yaitu sebagai
konfirmasi bagi kalangan terdidik dan menjawab tantangan
ateisme.11
Untuk dapat memahami persoalan relasi sains dan Islam
agar dapat mengkonstruksi pandangan yang rasional dan bermutu,
maka seseorang harus pertama sekali harus paham terhadap
prinsip utama ajaran Islam yaitu masalah ketuhanan. Prinsip
utama ajaran Islam berupa masalah ketuhanan tidak akan dapat
dipahami dengan tanpa mendalami al-Quran. Semua prinsipprinsip utama ajaran Islam ini telah mewarnai beragam
diskursus filosofis dan revolusi konseptual sampai kepada sains
modern.11
Tuhan dengan segala sifat yang melekat pada-Nya seperti
Maha Pencipta, Kekal, dan sebagainya merupakan prinsip dasar
dalam Islam. Umat Islam selalu memulai dan menyandarkan segala aktifitas dan hidup pada Tuhan (God). Guessoum lebih
cenderung memakai kata Tuhan (God) yang sudah pasti
maksudnya dan tujuannya yaitu Allah. Meski terjadi perbedaan
pendapat tentang perlunya menyebut Allah untuk membedakan
antara Tuhan umat Islam dengan Tuhan umat Kristiani, Guessoum
berpendapat bahwa perbedaan ini bukanlah sebuah
konsekuensi karena fokusnya yaitu atribut atau nama-nama
Tuhan seperti Maha Pencipta, Maha Pemelihara dan sebagainya
yang umum bagi semua agama monoteisme.1
Manusia mengetahui Allah melalui fitrah sesuai dengan
yang banyak dijelaskan dalam al-Quran. Persoalan ketuhanan yang
menjadi prinsip dasar dalam Islam yaitu tauhid. Secara umum
tawhid dibagi menjadi tiga bagian yaitu tawhid rububiyyah
(tawhid of devinity), tauhid sifat (tawhid of attributes), dan
tawhid uluhiyyah (tawhid of worshipability). Lebih lanjut ia
menjelaskan ketiga jenis tawhid ini . Terkait dengan sifat
Tuhan, maka muncul persoalan antropormofisme jika dipahami
sifat Tuhan sama dengan sifat manusia. Ia menjelaskan tentang
paham antropopormofisme menurut Nasr dan Chittick. Konsep
ketuhanan dalam Islam bersifat antropomorfik karena konsep
manusia dalam Islam yaitu teomorfik.1 1
Guessoum cenderung mengkritik kreasionisme dan design
intelegent, namun menerima evolusi teistik dan kosmologi big
bang bahkan jika tidak mengikuti implikasi pada pandangan
tradisional seperti mujizat dan sejarah Adam.1 Guessoum
menyadari bahwa ia belum membuat kosmologi teistik yang
konsiten dan penuh, namun ia mendukung sepenuhnya tentang
sintesis ataupun harmoni antara filsafat termasuk sains dan agama
yang dikembangkan oleh Ibn Rushd. Untuk mewujudkan sintesis
ini maka diperlukan dua program. Program pertama yaitu
pengembangan pemikiran teologi baru yang sesuai dengan sains
modern sekalipun teologi ini tidak sejalan dengan
pemahaman keagamaan yang literal. Program kedua yaitu
mengembangkan kosmologi yang memiliki nilai materialistik
yang kecil dengan cara memberi makna spiritual tentang
eksistensi alam semesta.Sains memiliki peran yang cukup signifikan untuk
membantu dialog antar agama (interfaith dialogue). Peran ini
dapat berfungsi paling tidak dengan lima syarat. Pertama yaitu
adanya sikap saling menghormati antar ilmuan dapat membantu
ilmuan untuk menghormati agama yang dianut ilmuan lainnya.
Kedua yaitu dengan cara memandang bahwa ilmu sangat berbeda
dengan agama sehingga menimbulkan masing-masing agama
memiliki kedekatan. Ketiga yaitu sains dan agama sama-sama
memberi potensi untuk mendalami pengetahuan, kepercayaan
dan refleksi manusia. Keempat yaitu sains akan terlihat mulia
jika dilihat dari perspektif agama, dan agama akan dapat mencapai
esensinya bila dilihat dari nilai-nilai ilmiah. Terakhir, objek studi
sains tentang realitas dunia dan objek studi agama tentang wahyu
merupakan dua bentuk pengetahuan yang sama-sama menuju
realitas utama.1
Berdasarkan berbagai analisis dan kritik Guessoum
terhadap berbagai konsep dan pandangan tentang relasi sains dan
Islam, relasi sains dan kitab suci, serta beberapa persoalan sebagai
dampak perkembangan sains dan teknologi terhadap agama,
Guessoum memberi sebuah tawaran konsep sains dalam Islam.
Konsep ini yaitu sains teistik. Sebelum dianalisis lebih jauh
tentang konsep sains teistik yang dikemukakan Guessoum, perlu
dilihat terlebih dahulu berbagai konsep yang telah ditawarkan oleh
para pemikir Muslim sebelumnya. Salah satu tema sentral yang
banyak dibahas dan dianalisis oleh Guessoum yaitu islamisasi
sains.
Salah satu yang menjadi dasar mengapa munculnya
proyek islamisasi ilmu pengetahuan yaitu keberatan para
intelektual muslim akan sekularisme sebagai sebuah imperialisme
epistemologi di dunia Islam. Kekhawatiran ini pada dasarnya
telah dimulai sejak Muhammad Iqbal, Abul Ala al Maududi, dan
bahkan Sayyid Qutb. Islamisasi ilmu pengetahuan berupaya untuk
mengatasi dan menentang fakta dan nilai yang diuniversalisasikan
oleh hegemoni Barat. Oleh karena itu, perlu adanya beberapa
langkah yaitu pertama mengkaji kembali ajaran Islam terkait
dengan dasar dan paradigma metodis dan epistemologis sainskhususnya sosial sains yang dapat menolak dan membantah
positivisme Barat. Kedua yaitu mengkaji ulang warisan teologis,
yuridis, dan filosofis pengetahuan dan sains di dunia Islam pada
masa kejayaannya dan mengembangkan realisasi dari epistemologi
tauhid. Ketiga yaitu adanya keterlibatan secara eksplisit dan
analisis yang kuat dari tradisi intelektual Barat yang dominan.1
Persoalan sains dan Islam serta islamisasi sains dewasa ini
menjadi perdebatan yang lebih serius sejak munculnya ide ‚sains
Islam‛ yang pertama kali oleh Sayyid Hossein Nasr kemudian
diikuti oleh Muhammad Naquib al-Attas. Perdebatan ini menjadi
lebih berkembang dengan hadirnya pemikiran Islamisasi
pengetahuan oleh Ismail Raji al-Faruqi dan diperluas menjadi
islamisasi sains oleh Taha Jabir al-Awani. Selanjutnya, pemikiran
mujizat ilmiah dalam al-Quran yang disebut dengan kelompok ijaz
turut mewarnai perdebatan Islam dan sains yang dikembangkan
oleh Maurice Bucaille.1
Islamisasi sains yang digagas oleh Ismail Raji al-Faruqi
yaitu salah satu respon terhadap analisis positivistik Bucaille.
Islamisasi sains berupaya untuk mengkaji dan merumuskan
kembali agar sains modern sesuai dengan wahyu sebagai sumber
utama ajaran Islam. Oleh karena itu, pada dasarnya konsep
Islamisasi sains bertolak belakang dengan konsep Bucaille.1
Pemikiran Bucaille termasuk bagian dari pandangan
mukjizat ilmiah al-Qur’an banyak memengaruhi berbagai karya
dan diskusi yang mendukung konsep ini . Sebagian besar
pendukung pandangan mujizat ilmiah al-Qur’an yaitu orangorang yang mendalami sains kealaman dan teknologi serta tidak
memiliki latar belakang ilmu-ilmu keislaman secara formaBucaille memandang bahwa sains modern sesuai dengan
wahyu al-Qur’an dikritik oleh sebagian pemikir Islam. Implikasi
dari pandangan ini boleh jadi menyamakan sains modern
dengan al-Qur’an. Kebenaran al-Qur’an bersifat mutlak dan abadi,
sementara kebenaran sains modern bersifat relatif. Sains modern
yaitu hasil dari proses sejarah yang kompleks dan panjang,
sedangkan al-Qur’an langsung diturunkan oleh Allah kepada
Rasul. Oleh karena itu, pandangan bahwa kebenaran agama dan alQur’an harus dibuktikan oleh sains yaitu suatu pandangan yang
keliru.1
Pemikiran Sardar yang dikenal dengan aliran Ijmali secara
terbuka menentang konsep ‚sacred science‛ dari Nasr dan
islamisasi sains dari al-Faruqi. Menurut kelompok Ijmali ini yang
terdiri dari Sardar, Pervez Manzoor, dan Munawar A. Anees, isu
yang lebih penting dikembangkan yaitu kebudayaan Islam masa
depan, bukan sains Islam ataupun islamisasi sains.1
Sejalan dengan analisis di atas, Ozgur Taskin menyatakan
bahwa gerakan islamisasi sains dan sains Islam pada dasarnya
merupakan proses dialektika terhadap sekularisme dan persoalan
dikotomi ilmu. Ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, kalam, fiqh,
dan lain-lain secara filosofis (ontologi, epistemologi, dan axiologi)
tidak banyak diperdebatkan. Di sisi lain, ilmu-ilmu umum dalam
konteks sains Islam dan islamisasi sains khususnya ilmu-ilmu
alam (natural sciences) masih perlu dipertegas dan diperjelas
landasan filosofisnya terutama ontologi dan epistemologi.1 1
Taskin lebih jauh menganalisis bagaimana tipologi
Barbour ini dipahami secara praktis dalam konteks relasi
sains dan agama (Islam). Kategori konflik dipahami bahwa alQur’an tidak mempermasalahkan adanya evolusi alam, kecuali
teori evolusi yang terkait dengan asal mula kehidupan. Kategori
independensi diibaratkan Islam dan sains seperti apel dan jeruk
yang memang keduanya berbeda. Sains yaitu bersifat hipotesis
dan prediksi, sedangkan Islam yaitu bersifat spiritual. Kategori
dialog dengan cara memahami dan mendiskusikan baik itu konsep penciptaan maupun teori evolusi. Kategori integrasi yaitu
pemahaman bahwa sains merupakan bagian integral dari Islam.
Islam sabagai bagian utama dan dapat menjelaskan semuanya
termasuk sains.1
Islamisasi penget