Tampilkan postingan dengan label ayub 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 3. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 3


 n-Nya sebagai 

anak (Mat. 4:6): “Jika Engkau Anak Allah.” Iblis merasuki hati 

Yudas yang mengkhianati Kristus, dan (menurut sebagian orang), 

Iblis juga yang menggentarkan Kristus dengan kengerian saat Dia 

bergumul dalam kesengsaraan-Nya di taman Getsemani. Iblis di-

izinkan menjamah tulang dan daging-Nya tanpa mengecualikan 

nyawa-Nya, supaya dengan kematian-Nya, Kristus bisa melak-

sanakan apa yang tidak bisa dilakukan Ayub, yaitu memusnahkan 

dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut (Ibr. 2:14). 

Ayub Didera Sakit Penyakit; Penderitaan Ayub 

(2:7-10)  

7 Kemudian Iblis pergi dari hadapan TUHAN, lalu ditimpanya Ayub dengan 

barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya. 8 Lalu Ayub 

mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk 

di tengah-tengah abu. 9 Maka berkatalah isterinya kepadanya: “Masih berte-

kunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” 10 Te-

tapi jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah 

kita mau menerima yang baik dari Allah, namun  tidak mau menerima yang 

buruk?” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. 

Iblis, yang telah mendapat izin untuk memporak-porandakan dan 

membuat Ayub yang malang ini khawatir, segera saja menyergap 

Ayub, pertama-tama sebagai penyiksa, kemudian sebagai penggoda. 

Mula-mula ia mencobai anak-anak Ayub dan menarik mereka ke 

dalam dosa. Setelah itu ia menyiksa mereka, sehingga mendatangkan 

kebinasaan kepada mereka. Namun, anak Allah yang satu ini disiksa-

nya dengan penderitaan, lalu digodanya untuk jatuh sebab  keseng-

saraan itu. Tujuan Iblis yaitu  membuat Ayub mengutuki Allah. 

Dalam ayat-ayat di atas diceritakan bagaimana cara Iblis mendorong 

Ayub supaya mengutuk Allah. Ia menyusupkan pikiran mengutuk ke-

pada Ayub, maksudnya untuk menghasut dia, sebab jika tidak demi-

kian, Ayub bahkan tidak akan memikirkannya. Dengan kelihaian da-

lam pencobaan, si ular tua mengerjakannya dengan cerdik, dan kali 

ini ia memainkan taktik yang sama terhadap Ayub seperti terhadap 

orangtua pertama kita (Kej. 3). Tujuannya untuk menggodanya agar 

berubah setia terhadap Allah dan merenggut kesalehannya. 

I. Iblis memancing Ayub untuk mengutuki Allah dengan cara me-

nimpa dia dengan barah yang busuk sehingga Ayub tertekan oleh 

dirinya sendiri (ay. 7-8). Serangan sebelumnya memang sangat 

kejam, namun  Ayub tetap teguh, ia melewatinya dengan gagah 

berani dan menang. Namun, ia tidak bisa berleha-leha, yang lebih 

buruk masih akan datang. Awan gelap kembali setelah hujan. 

Iblis, atas izin ilahi, melanjutkan serangannya, dan sekarang 

samudera raya berpanggil-panggilan. 

1. Penyakit yang menyergap Ayub sangat mengenaskan: Iblis 

menghajar Ayub dengan barah yang busuk dari telapak kaki-

nya sampai ke batu kepalanya, di seluruh tubuhnya, dengan 

bengkak yang mengerikan (demikian menurut sebagian penaf-

sir), kemungkinan penyakit ruam-ruam (erisipelas, bercak-

bercak merah) yang teramat parah. Satu bisul, saat  berkum-

pul, sangatlah menyiksa dan mendatangkan rasa nyeri dan 

kegelisahan yang luar biasa. Jadi, bayangkan saja keadaan 

Ayub saat itu, bisul-bisul penuh di sekujur tubuhnya, tiada 

satu bagian pun yang kosong, dan bisul-bisul itu panas mem-

bara bukan kepalang, rasanya seperti dinyalakan oleh api ne-

raka! Cacar yaitu  penyakit yang mengerikan dan sangat 

menyiksa, namun keadaannya yang terparah pun hanya ber-

langsung beberapa hari saja. Jika cacar saja sudah demikian, 

betapa mengerikan lagi penyakit Ayub, yang merajalela ke se-

luruh tubuhnya, penuh dengan barah busuk atau bisul-bisul 

menyakitkan, menusuk sampai ke hati, luar biasa tersiksa. 

Semua barah dan bisul itu menyebar di sekujur tubuhnya 

sampai berbaring pun tidak pernah merasa nyaman. Kalau se-

kali waktu kita ditimpa penyakit yang menyiksa dan begitu 

parah, ingatlah bahwa Allah pernah mengizinkannya terjadi 

pada umat dan hamba-Nya yang paling saleh sekalipun. Kita 

tidak tahu seberapa jauh Iblis akan bekerja atas izin ilahi, 

menimbulkan penyakit yang mendera anak-anak manusia, 

khususnya anak-anak Allah. Kita pun tidak tahu penyakit apa 

yang mungkin disebarkan oleh si penguasa udara itu, atau ra-

dang apa yang didatangkan oleh si ular neraka. Kita membaca 

tentang seseorang yang sudah diikat oleh Iblis bertahun-tahun 

lamanya (Luk. 13:16). Seandainya Allah terus bersabar terha-

dap si singa yang mengaum-ngaum itu dalam melancarkan 

keinginannya terhadap kita, maka betapa akan sengsaranya 

kita dibuatnya segera!  

2. Cara Ayub menguasai dirinya dalam penyakit itu sangat tidak 

biasa (ay. 8). 

(1) Alih-alih mencari obat penawar, ia mengambil sekeping be-

ling, sepotong pecahan buyung, untuk menggaruk-garuk ba-

dannya. Pria malang ini menjalani masa yang sangat me-

nyedihkan. Tatkala seseorang sakit dan menderita, ia bisa 

lebih kuat menanggungnya bila dirawat dan diperhatikan 

dengan baik. Banyak orang berada telah mengadakan pela-

yanan terhadap orang miskin yang sakit seperti ini dengan 

lemah lembut dan penuh kasih. Lazarus pun mendapat se-

dikit penghiburan dari lidah anjing-anjing yang datang dan 

menjilat boroknya. Akan namun , Ayub yang malang tidak 

mendapat pertolongan apa pun.  

[1] Tiada yang diperbuat terhadap barahnya selain apa 

yang dia lakukan dengan tangannya sendiri. Anak-anak 

dan para hambanya semuanya sudah mati, sedangkan 

istrinya tidak baik kepada dia (19:17). Ia tidak punya 

uang untuk membayar tabib atau ahli bedah. Dan yang 

paling menyedihkan, di antara orang-orang yang pernah 

menerima kebaikan Ayub, tidak satu pun yang menun-

jukkan rasa hormat dan terima kasih dengan melayani 

dia di tengah kesusahannya, ataupun mengulurkan 

tangan untuk membalut atau menyeka nanah-nanah 

yang meleleh, mungkin sebab  penyakitnya begitu men-

jijikkan dan berbau busuk, atau sebab  mereka takut 

ketularan. Begitulah yang terjadi di hari-hari pertama 

sejak dulu, dan akan begitu pada hari-hari terakhir, 

manusia mencintai dirinya sendiri, tidak tahu berterima 

kasih, dan tidak tahu mengasihi.  

[2] Yang Ayub dapat lakukan pada bisul-bisulnya hanyalah 

menggaruk. Barah-barah itu tidak dibebat dengan kain 

lembut, tidak dibalur dengan balsam, tidak dibasuh 

atau dibersihkan, tidak pula ditempeli plester obat, 

tidak ada obat penenang, dan tidak ada penghilang 

nyeri yang diberikan kepada orang sakit yang malang 

ini untuk meredakan sakitnya dan membuat ia bisa 

beristirahat, bahkan tidak ada penghiburan untuk me-

nguatkan jiwanya. Tindakan yang diambil hanyalah 

menggaruk-garuk luka-luka bernanah, dan saat  se-

mua luka itu matang dan pecah, seluruh tubuh Ayub 

pun terkelupas sebagaimana biasanya pada penderita 

cacar yang hampir sembuh. Mengurus bisulnya satu 

demi satu tentulah tiada habisnya. Oleh sebab itu, Ayub 

memutuskan untuk menggaruknya sekaligus, suatu 

cara pengobatan yang tidak lebih baik daripada penya-

kit itu sendiri. 

[3] Satu-satunya yang dia miliki untuk menjamah tubuh-

nya yaitu  sekeping beling, tiada alat bedah yang layak, 

namun  itu pun hanya lebih merobek luka-lukanya dan 

menambahi rasa sakit, bukan meringankannya. Orang 

sakit dan yang sedang menanggung nyeri harus berada 

dalam perawatan dan pengarahan orang lain, sebab 

orang-orang yang demikian sering kali tidak mampu 

mengurus dirinya dengan baik.  

(2) Alih-alih beristirahat di atas tempat tidur yang halus dan 

hangat, Ayub justru duduk di tengah-tengah abu. Mungkin 

ada sebuah tempat tidur yang tersisa bagi dia, sebab meski-

pun ladangnya dirampas, tidak diceritakan bahwa rumah-

nya juga dibakar atau dijarah. Namun ia memilih untuk 

duduk di abu, mungkin sebab  ia jemu dengan tempat 

tidurnya, atau sebab  ia lebih memilih berkabung sebagai 

seorang yang bertobat, sebagai tanda rasa jijik terhadap diri 

sendiri, sehingga ia berbaring di atas debu, dalam abu 

(42:6; Yes. 58:5; Yun. 3:6). Demikianlah ia merendahkan 

dirinya di bawah tangan Allah yang Mahakuasa, dan meng-

akui kerendahan serta keadaannya yang melarat. Ayub 

berkeluh kesah (7:5) bahwa tubuhnya ditutupi oleh 

berenga dan abu, dan memang begitulah debu kembali 

menjadi debu, abu kembali menjadi abu. Jika Allah yang 

membaringkannya di tengah abu, di situlah ia akan duduk 

dengan patuh. Hati yang direndahkan patut hidup di te-

ngah keadaan yang merendahkan, supaya membantu kita 

berdamai dengan keadaan itu. Kitab Septuaginta mengata-

kan, “Ia duduk di antara kotoran hewan di luar kota” (versi 

yang umum diceritakan). Namun, naskah aslinya hanya 

mengatakan bahwa ia duduk di tengah-tengah abu, yang 

dapat dilakukannya di dalam rumahnya sendiri. 

II. Iblis mendesak-desak Ayub, lewat bujukan istri Ayub, untuk 

mengutuki Allah (ay. 9). Orang-orang Yahudi (yang selalu berlagak 

lebih berhikmat melebihi apa yang tertulis) berpendapat bahwa 

istri Ayub yaitu  Dina, putri Yakub, demikianlah yang tertulis 

dalam Kitab Suci bahasa Aram. Mungkin sekali tidak benar. 

namun , siapa pun dia, wanita itu ibarat Mikhal terhadap Daud, 

seorang pencemooh terhadap kesalehannya. Isterinya itu dibiar-

kan hidup bagi Ayub, saat  seluruh penghiburan Ayub direnggut 

darinya, demi maksud ini, yaitu untuk menjadi pembuat masalah 

dan pencoba baginya. Jika Iblis menyisakan sesuatu yang sebe-

tulnya boleh diambilnya, tujuannya ialah untuk berbuat jahat. 

Cara yang dipakai si jahat ialah mengirim pencobaan-pencobaan 

lewat orang-orang yang kita kasihi, sama seperti ia mencobai 

Adam lewat Hawa, dan menguji Kristus lewat Petrus. Oleh sebab 

itu, kita harus berhati-hati agar tidak terpengaruh untuk meng-

ucapkan atau melakukan sesuatu yang salah sebab  pengaruh, 

kepentingan, atau permintaan orang-orang yang sangat kita har-

gai pendapatnya dan yang kita inginkan perkenanannya. Perhati-

kan betapa kuatnya pencobaan lewat istri Ayub ini. 

1. Istrinya mengolok-olok kesetiaan Ayub dalam hidup keagama-

annya: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Begitu 

gigihkah engkau berpegang pada agamamu hingga tidak ada 

yang bisa memisahkanmu darinya? Betapa lemah dan bodoh-

nya orang yang merendah-rendah di hadapan Allah yang sama 

sekali tidak memberi upah atas segala ibadahmu itu dengan 

berkat-berkat perkenanan-Nya, malahan tampaknya justru 

senang membuat engkau menderita, melucutimu, menghu-

kummu, tanpa sebab apa pun? Allah yang seperti itu, masih-

kah patut dikasihi, dipuja, dan dilayani?” 

Tidakkah kau lihat betapa ibadahmu sia-sia? 

Apakah upah doa-doamu, selain celaka dan derita? 

Belumkah kau mengerti juga keadaanmu? 

Saleh tanpa cacat, baik bukan kepalang? 

Barah yang sakit itu, dan segala kerugianmu, 

menunjukkan bagaimana sorga menghargai  

orang saleh yang bodoh di bumi. 

Alim tiada tergoyah! Tak bisakah Allahmu 

mengubah kebajikan bodohmu dengan cambuk-Nya? 

– Sir R. Blackmore 

Demikianlah Iblis masih terus berusaha menjauhkan ma-

nusia dari Allah, seperti yang dilakukannya dengan orangtua 

kita yang pertama, dengan cara menyusupkan pikiran-pikiran 

jahat tentang Allah, bahwa Allah tidak menyukai kebahagiaan 

manusia dan paling senang membuat ciptaan-Nya menderita. 

Tipuan lain yang dipakai Iblis untuk menjauhkan manusia 

dari agamanya ialah menghujani mereka dengan cemooh dan 

olok-olok atas kepercayaannya itu. Penghinaan itu pasti da-

tang, namun  bodohlah kita bila mengindahkannya. Tuan kita 

pun pernah mengalaminya, maka kita harus membalasnya 

secara berlimpah-limpah, dan dengan alasan yang lebih kuat 

lagi hendaknya kita menyanggah para pencemooh itu, “Hai 

orang bodoh, masihkah engkau mau mempertahankan kebe-

jatanmu? Kapan engkau akan memuji Allah dan hidup?” 

2. Istri Ayub mendesak Ayub untuk melepaskan kepercayaannya, 

menghujat Allah, memusuhi Dia, dan menantang-Nya untuk 

melakukan yang terburuk: “Kutukilah Allahmu dan matilah! 

Janganlah lagi hidup bersandar pada Allah, jangan menanti-

kan kelegaan dari-Nya, jadilah penolong bagi dirimu sendiri. 

Sudahi penderitaanmu dengan mengakhiri hidupmu. Lebih 

baik mati satu kali daripada sekarat terus-menerus. Sia-sialah 

engkau menantikan pertolongan dari Allahmu saat ini, kutuki 

saja Dia dan gantunglah dirimu.” Itulah dua bentuk pencoba-

an Iblis yang paling jahat dan mengerikan, namun sayangnya, 

orang-orang saleh pun kadang dikalahkan dengan kejamnya. 

Menghujat Allah merupakan hal yang paling bertentangan 

dengan hati nurani, bunuh diri juga merupakan tindakan yang 

paling bertentangan dengan naluri alamiah manusia. Oleh 

sebab itu, dorongan untuk melakukan keduanya bisa dipasti-

kan berasal langsung dari Iblis. Ya Tuhan, janganlah mem-

bawa kami ke dalam pencobaan, jangan ke dalam pencobaan 

seperti ini, atau pencobaan apa pun, namun  lepaskanlah kami 

dari yang jahat. 

III. Dengan tegas Ayub menolak dan mengalahkan pencobaan terse-

but (ay. 10). Ia segera memberi jawab kepada istrinya. Iblis tidak 

menyakiti lidahnya, dengan harapan ia memakai lidah itu untuk 

mengutuki Allah, namun  jawaban menunjukkan keteguhan hatinya 

untuk tetap berpegang pada Allah. Ia tetap berpikiran baik ten-

tang Dia, dan tidak meninggalkan kesalehannya. Lihatlah, 

1. Betapa Ayub merasa jengkel oleh pencobaan tersebut. Ia sangat 

marah mendengar hal semacam itu disebut-sebut kepadanya: 

“Yang benar saja! Mengutuki Allah? Memikirkannya saja aku 

tidak sudi! Enyahlah Iblis.” Dalam hal-hal lain, Ayub mengha-

dapi istrinya dengan sangat lemah lembut, bahkan saat  wa-

nita itu bersikap jahat terhadapnya (19:17): Nafasku menim-

bulkan rasa jijik kepada istriku. Namun, saat  ia membujuk 

Ayub untuk mengutuki Allah, Ayub sangat gusar, “Engkau 

berbicara seperti perempuan gila.” Ia tidak menyebutnya orang 

bodoh atau fasik, tidak pula meledak lalu mengungkapkan 

kekesalannya dengan tidak patut, seperti yang cenderung 

dilakukan orang-orang sakit dan merasa perbuatannya bisa 

dimaklumi. Sebaliknya, Ayub menunjukkan kepada istrinya 

kejahatan yang terkandung dalam ucapannya, sebab ia ber-

bicara seperti orang kafir dan penyembah berhala, yang apa-

bila mereka lapar, mereka akan gusar dan akan mengutuk 

rajanya dan Allahnya (Yes. 8:21). Dalam rumah tangga yang 

saleh seperti keluarga Ayub, tentu istrinya juga beriman per-

caya, namun  sekarang, saat  seluruh harta dan kenyamanan 

sudah tidak ada lagi, ia tidak kuat menanggung kehilangan itu 

dengan tabiat setenang Ayub. Walaupun begitu, bahwa wanita 

itu berusaha menghasut suaminya dengan kepahitan, hal itu 

sangat menggusarkan Ayub, sehingga ia tidak tahan untuk 

tidak menunjukkan kekesalannya. Perhatikan,  

(1) Orang yang marah namun  tidak berdosa yaitu  mereka yang 

marah hanya terhadap dosa dan memandang godaan seba-

gai penghinaan terkeji, yang tidak dapat sabar terhadap 

orang-orang jahat (Why. 2:2). saat  Petrus menjadi Iblis 

bagi Kristus, Dia berkata kepada Petrus dengan terus-te-

rang, “Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku.”  

(2) Apabila orang-orang yang kita anggap bijaksana dan baik 

sekali waktu mengucapkan hal bodoh dan buruk, kita ha-

rus setia untuk menegur mereka dan menunjukkan apa 

yang jahat dalam perkataannya, bahwa kita tidak membiar-

kan dosa pada orang itu.  

(3) Godaan untuk mengutuki Allah harus ditolak dengan sege-

nap kejijikan, bahkan dipikirkan pun tidak boleh sama se-

kali. Siapa saja yang membujuk kita untuk melakukannya 

harus dipandang sebagai musuh, dan jika kita menyerah 

terhadapnya, risikonya kita tanggung sendiri. Ayub tidak 

mengutuki Allah lalu berdalih seperti Adam, “Perempuan 

yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang membujukku 

untuk melakukannya” (Kej. 3:12). Dalam alasan seperti ini 

ada tersirat sindiran terhadap Allah, ketetapan, dan penye-

lenggaraan-Nya. Tidak, jika kita menista, jika kita mengu-

tuk, kita sendirilah yang menanggungnya.  

2. Pernyataan Ayub untuk menjawab godaan tersebut, “Apakah 

kita mau menerima yang baik dari Allah, namun  tidak mau 

menerima yang buruk?” saat  menegur orang, kita harus ber-

usaha menginsafkan mereka, dan bukan hal yang sulit untuk 

memberi jawaban masuk akal tentang mengapa kita perlu 

berpegang teguh pada kesalehan sekalipun segala kepunyaan 

kita dilucuti. Ayub paham bahwa, meskipun baik dan buruk 

itu bertolak belakang, namun  keduanya tidak berasal dari dua 

sumber penyebab yang bertentangan, melainkan sama-sama 

datang dari tangan Allah (Yes. 45:7; Rat. 3:38). Oleh sebab itu, 

di tengah yang baik maupun yang buruk, kita harus tetap 

memandang kepada-Nya dengan ucapan syukur atas hal-hal 

baik yang Dia berikan dan tidak gusar atas hal-hal buruk yang 

kita alami. Cermatilah penekanan dalam jawaban Ayub. 

(1) Ia bukan hanya bersedia menanggung, namun  juga meneri-

ma yang buruk, “Apakah kita tidak mau menerima yang 

buruk?” artinya, 

[1] “Masakan kita heran bila menerimanya? Bila Allah 

memberikan begitu banyak hal baik, apakah kita harus 

terkejut, atau menganggap aneh, bila kadang kala Dia 

menimpakan penderitaan kepada kita, sementara Dia 

sendiri telah berfirman bahwa kelimpahan dan kema-

langan saling menguji?” (1Ptr. 4:12).  


[2] “Tidakkah kita seharusnya menyiapkan hati kita untuk 

menerimanya dengan sikap yang benar?” Kata “mene-

rima” yang dipakai di sini mengandung makna mene-

rima sebagai karunia, menyiratkan sikap yang taat ser-

ta jiwa yang tunduk dalam penderitaan, tanpa meman-

dangnya rendah atau merasa tidak mampu. Sebaliknya, 

memperhitungkan kesengsaraan itu sebagai karunia 

(Flp. 1:29), menerimanya sebagai hukuman atas pelang-

garan kita (Im. 26:41), berserah pada kehendak Allah 

dalam penderitaan itu, “Biarlah Dia melakukan apa 

yang dipandang-Nya baik”. Dan menyesuaikan diri ter-

hadap keadaan tersebut, sebagaimana orang yang tahu 

apa itu kekurangan dan apa itu kelimpahan (Flp. 4:12). 

Saat hati bersedia direndahkan dan diuji oleh penye-

lenggaraan Allah yang mendidik, maka kita pun mende-

ngarkan teguran (Zef. 3:2) dan memikul salib kita. 

(2) Dasar pernyataan Ayub: “Masakan kita hanya mau meneri-

ma banyak hal baik yang telah datang kepada kita dari 

tangan Allah selama tahun-tahun kelimpahan dan sejah-

tera yang telah kita jalani, namun  sekarang tidak bersedia 

menerima yang buruk, saat  Allah menganggapnya baik 

untuk kita?” Perhatikanlah, dengan mengingat segala ke-

murahan yang telah kita terima dari Allah, baik di masa 

lalu maupun masa kini, kita akan dapat menerima keseng-

saraan dengan sikap hati yang benar. Jika kita menerima 

bagian kita dalam berkat yang baik selama tujuh tahun 

kelimpahan, masakan kita tidak mau menerima bagian 

yang buruk dalam kemelaratan selama tahun-tahun keke-

ringan? Qui sentit commodum, sentire debet et onus – ba-

rang siapa merasakan kenikmatan harus siap pula meng-

alami kekurangan. Bila kita memiliki begitu banyak hal 

yang menyukakan kita, mengapa kita tidak berpuas diri 

dengan apa yang menyukakan Allah? Bila kita menerima 

begitu banyak kenyamanan, tidakkah seharusnya kita me-

nerima penderitaan juga, yang akan menyeimbangkan ke-

nyamanan tersebut dan membuatnya terasa lebih bernilai? 

Kita belajar apa artinya kemurahan dengan menghadapi 

kekurangan pada saat-saat tertentu. Penderitaan juga me-

nekan kenyamanan kita agar tidak terlalu berbahaya, mem-

 buat hidup kita seimbang, dan mencegah kita supaya jangan 

meninggikan diri (2Kor. 12:7). Bila kita menerima begitu ba-

nyak berkat bagi tubuh jasmani, bukankah seharusnya kita 

menerima berkat bagi jiwa, yaitu penderitaan, sehingga kita 

dapat beroleh bagian dalam kekudusan Allah (Ibr. 12:10). 

Penderitaan itu membuat wajah bersedih, namun  menjadikan 

hati lebih baik. Jadi, singkirkanlah sungut-sungut dan jauh-

kanlah bualan. 

IV. Demikianlah Ayub tetap berpegang teguh sepenuhnya pada kesa-

lehannya, dan rencana jahat Iblis terhadapnya digagalkan. Dalam 

kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. Tidak 

hanya mengucapkannya dengan baik, namun  seluruh perkataan-

nya pada waktu itu dikendalikan oleh kesalehan dan akal budi 

yang lurus. Di tengah segala kemalangan itu, ia sama sekali tidak 

melontarkan ucapan yang salah. Di samping itu, dapat dipastikan 

bahwa Ayub juga mempertahankan pikirannya sehat, sehingga 

meskipun mungkin ada gejolak dan timbul kecemaran dalam 

hatinya, namun anugerah tetap memegang kendali, dan ia men-

jaga supaya akar pahit jangan sampai tumbuh dan mencemarkan 

dirinya (Ibr. 12:15). Perbendaharaan hatinya yang baik yaitu  

bagi Allah, menghasilkan hal-hal yang baik, dan menekan ke-

jahatan di dalam sana, yang kalah suara dari sisi baiknya. Sean-

dainya Ayub memang memikirkan sesuatu yang buruk, namun  ia 

menekapkan tangan pada mulutnya (Ams. 30:32), membungkam 

pikiran jahat itu dan tidak membiarkannya berkembang lebih 

lanjut. Dengan ini tampak bahwa ia bukan hanya memiliki kasih 

karunia sejati, namun  juga kasih karunia itu kuat dan berkeme-

nangan. Pendek kata, Ayub tidak kehilangan sifatnya yang saleh 

dan jujur, sebab demikianlah terbukti dirinya tampil di tengah-

tengah pencobaan, ia tidak bersalah dalam perkataannya (Yak. 

3:2; Mzm. 17:3). 

Ayub Dikunjungi oleh Sahabat-sahabatnya 

(2:11-13)  

11 saat  ketiga sahabat Ayub mendengar kabar tentang segala malapetaka 

yang menimpa dia, maka datanglah mereka dari tempatnya masing-masing, 

yakni: Elifas, orang Teman, dan Bildad, orang Suah, serta Zofar, orang 

Naama. Mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya 

dan menghibur dia. 12 saat  mereka memandang dari jauh, mereka tidak 

mengenalnya lagi. Lalu menangislah mereka dengan suara nyaring. Mereka 

mengoyak jubahnya, dan menaburkan debu di kepala terhadap langit. 13 Lalu 

mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. 

Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, sebab  mereka 

melihat, bahwa sangat berat penderitaannya. 

Dalam ayat-ayat di atas, diceritakan tentang sahabat-sahabat Ayub 

yang berbaik hati untuk mengunjungi dia di tengah musibah yang 

menimpanya. Kabar tentang malapetakanya yang luar biasa tersiar 

ke segala penjuru, sebab Ayub yaitu  orang yang terkemuka, baik 

dalam kebesaran maupun kebaikan, dan keadaan kemalangannya 

sangatlah tidak lazim. Sebagian orang yang merupakan musuhnya 

bersenang-senang atas penderitaan Ayub (16:10; 19:18; 30:1). Ba-

rangkali mereka menggubah lagu-lagu cibiran tentang dia. Akan 

namun , sahabat-sahabatnya prihatin dan berusaha menghibur Ayub. 

Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang 

saudara dalam kesukaran. Tiga orang di antaranya disebutkan nama-

nya (ay. 11), yakni Elifas, Bildad, dan Zofar. Selanjutnya kita akan 

bertemu dengan orang keempat, yang tampaknya sudah ada sepan-

jang percakapan mereka, namanya Elihu. Tidak dikatakan apakah ia 

datang sebagai kawan Ayub atau hanya sebagai pendengar. Elifas, 

Bildad, dan Zofar disebut sahabat-sahabat Ayub, teman karib, seperti 

yang dimiliki Daud dan Salomo dalam istana mereka, yaitu orang-

orang yang disebut sahabat raja. Mereka bertiga sangat menonjol 

dalam hikmat dan kebijaksanaan, sebagaimana tampak dalam ucap-

an-ucapan mereka. Semuanya sudah tua, sangat lanjut usia, terke-

muka dalam pengetahuan, dan disegani penilaiannya (32:6). Mungkin 

mereka yaitu  tokoh penting di antara para pemuka negeri, atau 

kepala puak. Sekarang, amatilah bahwa, 

I. Pada masa kejayaannya, Ayub telah membina persahabatan de-

ngan orang-orang itu. Jika mereka setara, Ayub tidak iri hati ter-

hadap mereka. Jika mereka lebih rendah derajatnya, Ayub tidak 

meremehkan mereka – sebab  sikap ini menghalangi pergaulan 

dan hubungan mereka. Mempunyai sahabat-sahabat seperti me-

reka jauh lebih membahagiakan pada masa kelimpahannya dari-

pada seluruh ternak yang dimilikinya. Kebahagiaan hidup ini 

banyak terletak pada persahabatan dan hubungan dengan orang-

orang yang bijaksana dan berbudi. Barang siapa memiliki sedikit 

teman seperti itu haruslah menghargainya setingginya. Tiga saha-

bat Ayub ini berasal dari keturunan Abraham, walaupun mungkin 

bukan dari kaum yang turut menerima kovenan Allah, namun  

mereka tetap memelihara buah-buah yang baik berkat didikan 

saleh yang diberikan oleh bapa orang beriman itu. Elifas yaitu  

keturunan Teman, cucu Esau (Kej. 36:11). Bildad berasal dari 

Suah, anak Abraham yang dilahirkan oleh Ketura (Kej. 25:2). 

Menurut sejumlah penafsir, Zofar sama dengan Zefo, keturunan 

Esau (Kej. 36:11). Adanya hikmat dan kesalehan yang begitu 

besar pada orang-orang yang tidak termasuk dalam janji kovenan 

merupakan pertanda yang indah bahwa anugerah Allah juga 

turun kepada orang-orang bukan-Yahudi, saat  kelak tembok 

pemisah dirobohkan. Esau ditolak, namun  banyak orang dari ketu-

runannya mewarisi berkat-berkat terbaik. 

II. Mereka tetap bersahabat dengan Ayub di tengah kesengsaraan-

nya, saat  banyak temannya yang lain meninggalkan dia (19:14). 

Mereka membuktikan persahabatan dalam dua cara: 

1.  Dengan kunjungan manis di tengah kesusahan Ayub, untuk 

meratap bersama dengannya serta menghibur dia (ay. 11). 

Barangkali, sewaktu Ayub masih makmur, mereka juga sudah 

biasa mengunjunginya, bukan untuk berburu atau berjalan-

jalan, bukan pula untuk berpesta atau bermain-main, melain-

kan untuk mendapat penghiburan dan membangun diri de-

ngan perkataan Ayub yang bijak dan saleh. Kini, saat Ayub 

menderita sengsara, mereka datang untuk mengambil bagian 

dalam dukacitanya, sama seperti dahulu mereka datang untuk 

mendapat bagian dalam sukacitanya. Itulah orang-orang bijak, 

yang senang berada di rumah duka (Pkh. 7:4). Melawat orang-

orang yang menderita, sakit, yatim, atau yang kehilangan 

anak, di tengah kesengsaraan mereka, merupakan perbuatan 

ibadah yang murni dan yang tak bercacat (Yak. 1:27), dan bila 

diperbuat dengan maksud yang baik, akan mendapatkan upah 

yang berlimpah-limpah (Mat. 25:36). 

(1) Dengan mengunjungi orang-orang yang sengsara, kita da-

pat meningkatkan: 

[1] Semua anugerah yang kita miliki, sebab ada banyak 

pelajaran berharga yang bisa didapat dari persoalan 

orang lain. Kita dapat melihat berbagai persoalan orang 

lain dan mendapat pengajaran dari situ sehingga men-

jadi bijak dan bersungguh-sungguh. 

[2] Penghiburan bagi mereka. Dengan memberi penghor-

matan kepada mereka, kita menguatkan orang-orang 

itu, dan kata-kata penghiburan yang diucapkan kepada 

mereka dapat membantu meringankan beban mereka. 

Sahabat-sahabat Ayub datang bukan untuk memuas-

kan rasa ingin tahu mereka akan persoalan Ayub dan 

kedahsyatan musibahnya, apalagi untuk menyindir dia, 

seperti yang dilakukan oleh kawan-kawan palsu Daud 

(Mzm. 41:7-9), melainkan untuk meratap bersama Ayub, 

turut bergabung dalam air matanya, dan dengan demi-

kian memberi penghiburan kepada dia. Jauh lebih me-

nyenangkan bila kita mengunjungi orang sakit yang me-

merlukan penghiburan daripada orang yang masih harus 

diinsafkan. 

(2) Mengenai orang-orang yang menjenguk ini, perhatikan bah-

wa,  

[1] Mereka tidak disuruh, melainkan datang atas kemauan-

nya sendiri (6:22). Dari sinilah Tuan Caryl menyimpul-

kan bahwa menjadi tamu tak diundang di rumah duka 

yaitu  sikap yang baik, dan berilah penghiburan ke-

pada kawan-kawan kita sebelum diminta.  

[2] Mereka bersepakat untuk datang. Ingatlah, orang-orang 

baik semestinya mengadakan kesepakatan untuk ber-

buat baik bersama-sama, sehingga dalam perbuatan itu 

mereka bersukacita dan menjalin ikatan, serta saling 

membantu dan menguatkan. Demi terlaksananya mak-

sud yang mulia, hendaklah kita bahu-membahu.  

[3] Mereka datang dengan tujuan untuk menghibur Ayub. 

Ada alasan bagi kita untuk menganggap tujuan mereka 

itu tulus, meskipun akhirnya mereka menjadi penghi-

bur yang payah, sebab  cara mereka yang tidak teram-

pil dalam menghadapi masalah Ayub. Banyak orang 

yang bertujuan baik bisa meleset dari tujuan tersebut 

sebab  kesalahan. 

2.  Dengan rasa simpati dan keprihatinan mereka terhadap Ayub 

di tengah penderitaannya. saat  melihat Ayub dari jauh, ia 

tampak begitu buruk rupa dan berubah sedemikian rupa oleh 

sebab  boroknya hingga mereka tidak mengenalnya lagi (ay. 

12). Mukanya merah sebab  menangis (16:16), seperti pemim-

pin-pemimpin Yerusalem yang tadinya lebih merah dari pada 

merjan, namun  kini lebih hitam dari pada jelaga (Rat. 4:7-8). 

Betapa besarnya perubahan pada wajah yang disebabkan oleh 

sakit penyakit, atau oleh tekanan kekhawatiran dan dukacita, 

hanya dalam waktu singkat! Naomikah itu? (Rut 1:19). Begitu 

pula dalam hal Ayub, Ayubkah itu? Betapa engkau telah teng-

gelam! Betapa kemuliaanmu ternoda dan cemar, dan segala 

kehormatanmu terkubur dalam debu! Kiranya Allah memam-

pukan kita menghadapi perubahan-perubahan seperti ini! 

Setelah melihat Ayub berubah sedemikian nestapa, mereka 

tidak meninggalkan dia, sebab  ketakutan atau jijik, dan se-

makin mengungkapkan kasih sayangnya terhadap dia.  

(1) Saat datang untuk meratap bersamanya, mereka mencu-

rahkan seluruh dukacita mereka tanpa ditahan-tahan da-

lam luapan emosi yang mendalam. Menangislah mereka de-

ngan suara nyaring. Pemandangan itu membangkitkan 

kembali kesedihan Ayub dan membuatnya kembali mera-

tap, sehingga air mata sahabat-sahabatnya pun mengalir 

semakin deras. Mereka mengoyak jubahnya, dan menabur-

kan debu di kepala, seperti orang yang bersedia melucuti 

dan melecehkan dirinya bersama sahabat mereka yang di-

lucuti dan dilecehkan.  

(2) Saat datang untuk menghibur Ayub, mereka duduk ber-

sama-sama di tanah, sebab dengan demikian ia bisa dite-

mani. Mereka menempatkan diri pada posisi dan sikap yang 

rendah dan tidak nyaman bersamanya, bukan untuk sopan 

santun, melainkan sebab  rasa belas kasihan yang tulus. 

Kemungkinan, telah begitu sering mereka duduk ber-

samanya di kursi dan meja perjamuan saat Ayub masih 

jaya. Oleh sebab  itu, sekarang mereka pun mau mengam-

bil bagian dalam dukacita dan kemelaratannya, sebab me-

reka telah mengambil bagian dalam sukacita dan kelimpah-

annya. Kunjungan mereka bukan sekadar lawatan singkat, 

hanya datang melihat lalu pergi. Sebaliknya, sebagai orang 

yang tidak mampu bersenang-senang dengan pulang ke 

rumah sementara temannya menderita, mereka memutus-

kan untuk tinggal bersama Ayub sampai melihat dia pulih 

atau mati. Jadi, mereka pun tinggal di dekatnya sekalipun 

Ayub sekarang tidak bisa lagi menjamu mereka seperti 

sediakala, sehingga mereka harus menanggung sendiri 

biayanya. Selama tujuh hari berturut-turut, di rumah tem-

pat ia bisa ditemani, mereka datang dan duduk bersama-

nya sebagai teman pendamping dalam kesesakan. Ini sung-

guh sebuah pengecualian dari aturan umum, Nullus ad 

amissas ibit amicus opes – Barang siapa kehilangan harta 

bendanya, jangan harap kawan-kawannya mau datang ber-

kunjung. Elifas, Bildad, dan Zofar duduk bersama Ayub, 

namun  seorang pun tidak mengucapkan sepatah kata kepa-

danya, hanya menyimak cerita yang disampaikan Ayub me-

ngenai persoalannya. Mereka membisu seperti orang yang 

tercengang dan terperangah. Curæ leves loquuntur, ingentes 

stupent – Dukacita yang lebih ringan bisa bersuara, dukacita 

yang lebih berat membisu. 

Begitu lamanya mereka menahan diam, untuk menyatakan 

rasa hormat sebab  celaka yang dahsyat. 

– Sir R. Blackmore 

Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada 

Ayub, sebab  hal ini lebih menghibur dia. Mereka tidak 

mengatakan apa pun untuk menasihati dia saat ini, jangan 

sampai malah mendukakannya (4:2), sebab mereka melihat 

bahwa dukanya sudah sangat berat, dan tidak mau me-

nambahi kesusahan kepada orang yang sengsara. Ada wak-

tu untuk menahan mulut, saat  orang fasik masih ada di 

depan kita, supaya perkataan kita jangan sampai menge-

raskan mereka (Mzm. 39:2), atau jangan sampai perkataan 

kita bisa menjadi berkhianat kepada angkatan anak-anak 

Allah (Mzm. 73:15). Kesabaran mereka untuk tidak memu-

lai percakapan khidmat hingga hari ketujuh mungkin me-

nyiratkan bahwa waktu itu yaitu  hari sabat. Tidak dira-

gukan lagi bahwa hari sabat sudah dipelihara sejak zaman 

bapa-bapa leluhur, dan sampai hari itu, mereka menang-

guhkan percakapan, sebab  barangkali belakangan ada 

orang-orang yang datang ke rumah Ayub, seperti biasa, un-

tuk bergabung dalam perenungannya dan bisa turut bela-

jar lewat perbincangan mereka. Atau, mungkin juga, de-

ngan menahan diam begitu lama, mereka hendak menun-

jukkan bahwa apa yang mereka katakan sesudahnya itu 

telah dipertimbangkan dan dicerna dengan baik, serta me-

rupakan buah dari banyak pemikiran. Hati orang benar 

menimbang-nimbang jawabannya. Kita harus berpikir dua 

kali sebelum bicara satu kali, apalagi dalam perkara sema-

cam ini. Berpikirlah panjang, maka kita akan lebih mampu 

berbicara dengan singkat dan tepat sesuai tujuan. 

 

 

PASAL  3  

amu telah mendengar tentang ketekunan Ayub,” kata sang 

rasul (Yak. 5:11). Demikianlah kita telah mendengarnya, dan 

tentang ketidaktekunannya juga. Kita bertanya-tanya bagaimana ada 

orang yang bisa sesabar dia (ps. 1 dan 2), namun kita juga bertanya-

tanya bagaimana seorang yang baik bisa sedemikian tidak sabarnya 

seperti yang tertulis dalam pasal ini, hingga kita mendapati dia  me-

ngutuki hari kelahirannya, dan dengan amarah, 

I. Mengeluh mengapa ia dilahirkan (ay. 1-10). 

II. Mengeluh mengapa ia tidak mati begitu dilahirkan (ay. 11-19). 

III. Mengeluh bahwa hidupnya terus berlanjut saat  ia sedang 

menderita (ay. 20-26). Dalam hal ini harus diakui bahwa 

Ayub berdosa dengan bibirnya, namun semua ini dituliskan, 

tidak untuk kita tiru, namun  sebagai peringatan bagi kita, 

bahwa orang yang merasa berdiri tegak haruslah berhati-hati 

supaya tidak jatuh. 

Ayub Mengutuki Hari Kelahirannya 

(3:1-10) 

1 Sesudah itu Ayub membuka mulutnya dan mengutuki hari kelahirannya.  

2 Maka berbicaralah Ayub: 3 “Biarlah hilang lenyap hari kelahiranku dan 

malam yang mengatakan: Seorang anak laki-laki telah ada dalam kandung-

an. 4 Biarlah hari itu menjadi kegelapan, janganlah kiranya Allah yang di atas 

menghiraukannya, dan janganlah cahaya terang menyinarinya. 5 Biarlah ke-

gelapan dan kekelaman menuntut hari itu, awan-gemawan menudunginya, 

dan gerhana matahari mengejutkannya. 6 Malam itu – biarlah dia dicekam 

oleh kegelapan; janganlah ia bersukaria pada hari-hari dalam setahun; ja-

nganlah ia termasuk bilangan bulan-bulan. 7 Ya, biarlah pada malam itu 

tidak ada yang melahirkan, dan tidak terdengar suara kegirangan. 8 Biarlah 

ia disumpahi oleh para pengutuk hari, oleh mereka yang pandai membang-

kitkan marah Lewiatan. 9 Biarlah bintang-bintang senja menjadi gelap; biarlah ia menantikan terang yang tak kunjung datang, janganlah ia melihat merekahnya fajar, 10 sebab  tidak ditutupnya pintu kandungan iArtikel , dan tidak 

disembunyikannya kesusahan dari mataku. 

Lama baru Ayub menjadi panas hati. Sementara ia sedang merenung, 

api amarah itu menyala, dan semakin besar lagi sebab  ditahan dan 

ditekan. Akhirnya Ayub berbicara dengan lidahnya, namun tidak 

mengeluarkan kata sebaik yang diucapkan Daud sesudah lama ter-

diam: Ya TUHAN, beritahukanlah kepadaku ajalku (Mzm. 39:4-5). 

Tujuh hari lamanya Nabi Yehezkiel duduk tertegun bersama orang-

orang buangan, dan sesudah itu (mungkin pada hari Sabat) datang-

lah firman TUHAN kepadanya (Yeh. 3:15-16). Sudah begitu lama Ayub 

dan teman-temannya duduk merenung namun tidak berkata apa 

pun. Mereka takut mengutarakan apa yang ada dalam pikiran mere-

ka, kalau-kalau perkataan mereka akan mendukakan hatinya, se-

dangkan ia tidak berani menumpahkan pikirannya, kalau-kalau per-

kataannya menyinggung perasaan mereka. Mereka datang untuk 

menghiburnya, namun sebab  mendapati bahwa penderitaan Ayub 

sangat luar biasa, mereka mulai berpikir bahwa penghiburan tidak-

lah patut baginya. Mereka curiga bahwa Ayub munafik, dan oleh 

sebab itu mereka tidak berkata apa-apa. Para pecundang biasanya 

menyangka mereka boleh saja berbicara, dan itulah sebabnya Ayub-

lah yang pertama melampiaskan apa yang ada dalam pikirannya. 

Namun, buah pikirannya itu tidaklah lebih baik, maka alangkah 

baiknya seandainya ia menyimpan pikirannya itu bagi diri sendiri. 

Singkat kata, ia mengutuki harinya, hari kelahirannya. Ia berharap 

tidak pernah dilahirkan,  tidak dapat berpikir atau berbicara tentang 

kelahirannya sendiri tanpa merasa menyesal atau kesal. Manusia 

biasanya merayakan hari ulang tahun mereka dengan sukacita, te-

tapi Ayub memandangnya sebagai hari terburuk dalam setahun. Ba-

ginya, teramat sengsara dan sial hidupnya, dan hari kelahiran itulah 

yang menjadi pintu masuk semua celakanya. Nah, 

I. Perbuatan Ayub ini sungguh buruk. Dahsyatnya kesusahan yang 

dialaminya dan hilangnya kendali atas diri sendiri boleh dijadikan 

sebagian alasan atas sikapnya itu, namun  ia sama sekali tidak 

dapat dibenarkan. Sekarang ia melupakan tujuan baik untuk apa 

ia dilahirkan, bagaikan lembu-lembu kurus yang telah memakan 

lembu-lembu gemuk. Pikirannya hanya dipenuhi hal-hal buruk 

semata, hingga berharap tidak pernah dilahirkan. Nabi Yeremia 

sendiri mengutarakan rasa perihnya semua malapetaka yang di-

alaminya dalam ungkapan yang mirip dengan perkataan Ayub ini: 

Celaka aku, ya iArtikel , bahwa engkau melahirkan aku (Yer. 15:10). 

Terkutuklah hari saat  aku dilahirkan (Yer. 20:14, dst.). Kita da-

pat menduga bahwa di tengah keberhasilannya, Ayub sudah acap-

kali memuji Allah atas hari kelahirannya, dan menganggapnya se-

bagai hari yang bahagia. Namun sekarang ia menyebutnya dengan 

segala macam keburukan. saat  merenungkan bahwa di dalam 

dosa kita dikandung dan dilahirkan, maka kita mempunyai cukup 

alasan untuk mencela hari kelahiran kita dengan sedih dan malu, 

dan berkata bahwa pada hari kita mati, yang membuat kita telah 

bebas dari dosa (Rm. 6:7), jauh lebih baik daripada hari kelahiran 

(Pkh. 7:1). Namun, mengutuki hari kelahiran kita sebab  kita me-

masuki masa penuh bencana dalam hidup ini, sama saja dengan 

bertengkar dengan Allah pencipta alam semesta, memandang ren-

dah martabat keberadaan kita, dan menurutkan nafsu yang bisa 

membuat pikiran tenang dan waras kita merasa malu. Pastilah di 

dunia ini tidak ada keadaan kehidupan sempurna yang dapat 

membuat manusia begitu menghormati Allah, namun ia dapat 

memilih (kecuali akibat kesalahannya sendiri) untuk menghor-

mati-Nya, dan mengerjakan keselamatannya, dan memastikan 

suatu kebahagiaan bagi dirinya sendiri dalam sebuah dunia yang 

lebih baik. Dengan demikian ia sama sekali tidak mempunyai 

alasan untuk berharap tidak pernah dilahirkan. Ia tidak punya 

alasan sama sekali untuk berharap sebaiknya tidak pernah dila-

hirkan, namun  punya banyak alasan untuk berkata bahwa keber-

adaannya di dunia ini yaitu  demi tujuan yang baik. Meskipun 

demikian, memang perlu juga diakui bahwa seandainya tidak ter-

dapat kehidupan lain sesudah di sini, serta jika tidak ada peng-

hiburan ilahi untuk menopang kita dalam pengharapan itu, maka 

dengan adanya begitu banyak dukacita dan kesukaran yang me-

landa, adakalanya memang kita bisa saja tergoda untuk berkata 

bahwa betapa sia-sia kita diciptakan (Mzm. 89:48) dan berharap 

tidak pernah diciptakan. Ada orang-orang di neraka yang dengan 

alasan yang baik berharap lebih baik tidak pernah dilahirkan, mi-

salnya Yudas (Mat. 26:24). Namun di sisi seberang neraka ini, 

tidak boleh ada alasan untuk mengharapkan hal yang begitu sia-

sia dan tidak tahu berterima kasih seperti itu. Sungguh merupa-

kan kebodohan dan kelemahan Ayub untuk mengutuki hari ke-

lahirannya. Mengenai hal ini haruslah kita katakan bahwa ini 

merupakan kelemahannya. Namun juga, orang-orang baik ada-

kalanya gagal memakai  anugerah yang membuat mereka sa-

ngat menonjol. Dengan demikian kita mengerti bahwa saat  me-

reka disebut sempurna, itu berarti bahwa mereka tulus, bukan 

tidak berdosa sama sekali. Terakhir, marilah kita merenungkan-

nya demi menghormati kehidupan rohani di atas kehidupan jas-

mani, bahwa meskipun banyak yang mengutuki hari kelahiran 

pertama mereka, tidak pernah ada yang mengutuki hari kelahiran 

baru mereka, atau berharap mereka tidak pernah menerima anu-

gerah dan Roh anugerah yang diberikan kepada mereka. Semua 

kasih karunia itu merupakan pemberian-pemberian yang paling 

unggul, melebihi kehidupan dan keberadaan kita sendiri, serta 

tidak akan pernah menjadi beban. 

II.  Namun demikian, sikap Ayub itu tidaklah seburuk seperti yang 

dijanjikan Iblis kepada dirinya sendiri. Ayub memang mengutuki 

hari kelahirannya, namun tidak mengutuki Allahnya. Ia jemu de-

ngan hidupnya, dan lebih suka berpisah dengan nyawanya, na-

mun ia tidak jemu dengan agamanya. Dengan bulat hati ia tetap 

melekat padanya, dan tidak akan pernah mau melepaskannya. 

Perselisihan di antara Allah dan Iblis mengenai Ayub bukanlah 

tentang apakah Ayub mempunyai kelemahan, dan apakah ia tak-

luk kepada ledakan amarah seperti kita (yang memang diizinkan), 

melainkan apakah ia seorang munafik, yang diam-diam membenci 

Allah, dan jika disalahi memperlihatkan kebenciannya. Dan, keti-

ka dicobai, terbuktilah bahwa ia bukanlah orang semacam itu. 

Bahkan lebih dari itu, sikap sabarnya patut menjadi teladan. 

Meskipun dengan bibir ia berbicara sembrono seperti itu, namun 

sebelum maupun sesudah itu ia mengutarakan ketundukan dan 

kepasrahan luar biasa kepada kehendak suci Allah dan menyesali 

ketidaksabarannya itu. Ia mengecam dirinya sendiri sebab nya, 

dan oleh sebab itu Allah tidak mengecamnya, dan begitu pula 

seharusnya kita. Belajar dari sini, kita harus lebih berhati-hati 

dengan diri sendiri, supaya jangan kita berdosa sesudah melaku-

kan pelanggaran seperti ini. 

1. Ungkapan-ungkapan khusus yang dipakai  Ayub dalam me-

ngutuki hari kelahirannya sarat dengan khayalan, nyala api 

membara. Hal ini menimbulkan banyak kesulitan bagi para 

penafsir, sama seperti hal itu menyulitkan para theolog. Jadi, 

kita tidak perlu terlampau teliti dalam mengamatinya. saat  

hendak mengutarakan keinginan terdalamnya agar tidak per-

nah dilahirkkan, ia berbicara buruk tentang hari itu sendiri, 

dan berharap, 

(1) Agar bumi melupakannya: Biarlah hilang lenyap hari kelahir-

anku (ay. 3). Janganlah ia bersukaria pada hari-hari dalam 

setahun (ay. 6). “Janganlah hari itu tidak dicantumkan 

dalam penanggalan dengan huruf merah, seperti halnya hari 

kelahiran raja (padahal Ayub memang seorang raja 29:25). 

Sebaliknya, biarlah tanggal itu dihapus dan dihilangkan, 

serta dikubur dan dilupakan. Janganlah dunia tahu bahwa 

seseorang seperti diriku pernah lahir ke dalamnya, dan 

hidup di dalamnya, orang yang dijadikan tontonan keseng-

saraan semacam ini.” 

(2) Agar sorga tidak menyukainya: janganlah kiranya Allah 

yang di atas menghiraukannya (ay. 4). “Memang benar bah-

wa segala sesuatu terjadi seperti yang dikehendaki Allah. 

Hari yang dihormati-Nya memang terhormat, yang dibeda-

kan dan dikaruniai-Nya dengan perkenanan serta berkat-

Nya, seperti yang dilakukan-Nya pada hari ketujuh dalam 

sepekan. Namun, biarlah hari kelahiranku tidak pernah 

dihormati seperti itu. Biarlah hari itu nigro carbone notan-

dus – ditandai dengan arang hitam sebagai hari jahat oleh 

Dia yang menentukan segala waktu sebelum ditetapkan. 

Bapa dan sumber terang menetapkan agar terang yang 

lebih besar itu menguasai hari dan terang yang kurang 

besar berkuasa atas malam. namun  biarlah hari kelahiran-

ku itu tidak mendapatkan kedua terang itu.” 

[1] Janganlah cahaya terang menyinarinya (ay. 4). Dan jika 

terang itu menjadi gelap, maka betapa gelapnya kege-

lapan itu!  Betapa mengerikannya, sebab pada waktu itu 

kita mencari terang. Biarlah suramnya hari itu meng-

gambarkan keadaan Ayub, yang mataharinya terbenam 

pada tengah hari. 

[2] Mengenai malam hari pun, biarlah hari kelahiranku itu 

tidak mendapat terang bulan dan bintang. Biarlah dia 

dicekam oleh kegelapan, kegelapan pekat, kegelapan 

yang bisa dirasakan, yang tidak akan melindungi kete-

nangan malam melalui keheningannya, namun  justru 

mengganggunya dengan semua kedahsyatannya. 

(3) Agar semua sukacita kiranya meninggalkannya: “Biarlah 

hari kelahiranku itu menjadi malam yang memilukan serta 

sunyi, bukan malam gembira dengan musik dan tarian. 

Biarlah pada malam itu tidak terdengar suara kegirangan 

(ay. 7). Biarlah malam itu menjadi panjang, dan janganlah 

ia melihat merekahnya fajar (ay. 9), yang membawa serta 

sukacita.” 

(4) Agar semua kutukan kiranya mengikutinya (ay. 8): “Biarlah 

tidak seorang pun pernah ingin melihatnya, atau menyam-

butnya saat ia datang. Sebaliknya, biarlah ia disumpahi 

oleh para pengutuk hari. Hari apa pun yang ingin disum-

pahi orang, biarlah mereka pada saat yang sama juga 

melimpahkan satu kutukan kepada hari kelahiranku, ter-

utama orang-orang yang mencari nafkah dengan meratap 

pada upacara pemakaman melalui lagu-lagu ratapan mere-

ka. Biarlah orang-orang yang mengutuki hari kematian 

orang lain juga mengutuki hari kelahiranku.” Atau, biarlah 

orang-orang yang begitu garang dan berani sehingga siap 

membangunkan sang Lewiatan (itulah istilah yang diguna-

kan di sini), mereka yang siap menghantam ikan paus atau 

buaya, mengutuki hari itu dengan kutukan terdahsyat 

yang mampu mereka temukan, sambil berharap bisa mele-

mahkannya melalui mantra-mantra mereka, sehingga de-

ngan demikian membuat mereka mampu mengalahkannya. 

Boleh jadi sang penyair ilahi mengaitkannya dengan bebe-

rapa kebiasaan yang dipakai  di sana. “Biarlah hari itu 

menjadi sama menjijikkannya seperti hari saat  manusia 

meratapi kemalangan terbesar, atau masa saat  mereka 

melihat penampakan yang paling menakutkan.” Demikian-

lah menurut Uskup Patrick, yang tampaknya mengartikan 

Lewiatan sebagai Iblis, seperti yang juga diartikan orang-

orang lain, yang memahaminya sebagai kutukan-kutukan 

yang dipakai  para ahli sihir dan ahli ilmu hitam untuk 

memanggil Iblis, atau saat  mereka telah memanggil Iblis 

namun tidak mampu mengalahkannya. 

2. namun , apa sebenarnya dasar pertengkaran Ayub dengan siang 

maupun malam hari kelahirannya? Hal itu terjadi sebab  tidak 

ditutupnya pintu kandungan ibunya (ay. 10). Lihatlah betapa 

bodoh dan gilanya ketidakpuasan yang bisa diakibatkan ama-

rah, dan betapa tidak masuk akal serta berlebihan bicaranya 

saat  tali kekang mengendalikan lehernya. Inikah Ayub yang 

begitu dikagumi hikmatnya hingga kepadanyalah orang men-

dengar sambil menanti, dengan diam mereka mendengarkan 

nasihatnya, dan sehabis bicaranya tiada seorang pun angkat 

bicara lagi (29:21-22)? Hikmat pasti telah meninggalkannya, 

(1) saat  ia dengan berapi-api mengutarakan keinginannya 

agar tidak pernah dilahirkan, yang sebenarnya merupakan 

keinginan sia-sia, sebab  sungguh mustahil meniadakan 

apa yang sudah terjadi. 

(2) saat  ia menghambur-hamburkan kutukannya atas hari 

dan malam yang tidak bisa diubah atau dibuat lebih buruk 

sebab  kutukan-kutukannya. 

(3) saat  ia menginginkan hal yang begitu keji terhadap ibu-

nya sendiri, yaitu supaya ia tidak melahirkan Ayub saat  

saatnya sudah tiba. Hal itu tentu saja berarti mengingin-

kan kematian ibunya itu, kematian yang menyengsarakan. 

(4) saat  ia memandang rendah kebaikan Allah kepadanya, 

yang telah memberinya keberadaan (keberadaan yang be-

gitu mulia, serta kehidupan unggul, kehidupan yang begitu 

melebihi makhluk ciptaan lain di dunia ini). Ia tidak meng-

hargai karunia itu, memandangnya tidak berharga untuk 

diterima, hanya sebab  transit cum onere – tersumbat oleh 

syarat berupa kesukaran, yang sekarang akhirnya menim-

pa dirinya, sesudah ia menikmati kesenangannya selama 

bertahun-tahun. Betapa bodoh untuk menginginkan agar 

matanya tidak pernah melihat terang, supaya tidak bisa 

melihat penderitaan, padahal ia sebenarnya bisa berharap 

mampu mengatasinya dan melihat sukacita di baliknya! 

Apakah Ayub percaya dan berharap bahwa di dalam da-

gingnya pun ia akan melihat Allah (19:26), namun juga ber-

harap bahwa ia tidak pernah akan mampu mengalami ke-

bahagiaan semacam itu, hanya sebab  sekarang ini ia men-

derita dalam dagingnya? Kiranya melalui anugerah-Nya, 

Allah memperlengkapi kita dengan senjata untuk melawan 

nafsu ketidaksabaran yang bodoh dan merugikan ini. 

Keluhan Ayub tentang Kehidupannya 

(3:11-19) 

11 Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar 

dari kandungan? 12 Mengapa pangkuan menerima aku; mengapa ada buah 

dada, sehingga aku dapat menyusu? 13 Jikalau tidak, aku sekarang berbaring 

dan tenang; aku tertidur dan mendapat istirahat 14 bersama-sama raja-raja 

dan penasihat-penasihat di bumi, yang mendirikan kembali reruntuhan bagi 

dirinya, 15 atau bersama-sama pembesar-pembesar yang mempunyai emas, 

yang memenuhi rumahnya dengan perak. 16 Atau mengapa aku tidak seperti 

anak gugur yang disembunyikan, seperti bayi yang tidak melihat terang?  

17 Di sanalah orang fasik berhenti menimbulkan huru-hara, di sanalah mere-

ka yang kehabisan tenaga mendapat istirahat. 18 Dan para tawanan bersama-

sama menjadi tenang, mereka tidak lagi mendengar suara pengerah. 19 Di 

sana orang kecil dan orang besar sama, dan budak bebas dari pada tuannya. 

Boleh jadi setelah merenungkan kebodohannya sebab  berharap ia 

tidak pernah dilahirkan, Ayub berpikir untuk membetulkan kesalah-

annya itu dan menggantikannya dengan harapan lain yang sedikit 

lebih baik, yaitu mati sebelum dilahirkan. Di dalam ayat-ayat di atas 

ia mengungkapkan harapannya itu panjang lebar. saat  Jurusela-

mat kita hendak menyatakan keadaan yang sangat mencelakakan, Ia 

sepertinya mengizinkan perkataan seperti ini, Berbahagialah perem-

puan mandul dan yang rahimnya tidak pernah melahirkan, dan yang 

susunya tidak pernah menyusui (Luk. 23:29). Namun demikian, mem-

berkati rahim yang mandul yaitu  satu hal, sedangkan mengutuki 

rahim yang subur merupakan hal lain lagi! Sungguh baik untuk 

mengusahakan yang terbaik di tengah penderitaan, namun tidaklah 

baik untuk mengabaikan belas kasihan. Pedoman kita yaitu , ber-

katilah dan jangan mengutuk. Hidup ini sering kali dianggap berhu-

bungan dengan segala sesuatu yang baik, sedangkan kematian 

dengan segala sesuatu yang buruk. Namun, di sini Ayub bersikap 

tidak masuk akal, sebab  ia mengeluh tentang kehidupan dan penyo-

kongnya sebagai sebuah kutuk dan tulah baginya. Ia lebih men-

dambakan kematian dan kubur sebagai kebahagiaan terbesar yang 

paling dirindukan. Jelaslah Iblis telah terkecoh saat mengajukan 

aturan ini kepada Ayub, bahwa Oran