n-Nya sebagai
anak (Mat. 4:6): “Jika Engkau Anak Allah.” Iblis merasuki hati
Yudas yang mengkhianati Kristus, dan (menurut sebagian orang),
Iblis juga yang menggentarkan Kristus dengan kengerian saat Dia
bergumul dalam kesengsaraan-Nya di taman Getsemani. Iblis di-
izinkan menjamah tulang dan daging-Nya tanpa mengecualikan
nyawa-Nya, supaya dengan kematian-Nya, Kristus bisa melak-
sanakan apa yang tidak bisa dilakukan Ayub, yaitu memusnahkan
dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut (Ibr. 2:14).
Ayub Didera Sakit Penyakit; Penderitaan Ayub
(2:7-10)
7 Kemudian Iblis pergi dari hadapan TUHAN, lalu ditimpanya Ayub dengan
barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya. 8 Lalu Ayub
mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk
di tengah-tengah abu. 9 Maka berkatalah isterinya kepadanya: “Masih berte-
kunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” 10 Te-
tapi jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah
kita mau menerima yang baik dari Allah, namun tidak mau menerima yang
buruk?” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.
Iblis, yang telah mendapat izin untuk memporak-porandakan dan
membuat Ayub yang malang ini khawatir, segera saja menyergap
Ayub, pertama-tama sebagai penyiksa, kemudian sebagai penggoda.
Mula-mula ia mencobai anak-anak Ayub dan menarik mereka ke
dalam dosa. Setelah itu ia menyiksa mereka, sehingga mendatangkan
kebinasaan kepada mereka. Namun, anak Allah yang satu ini disiksa-
nya dengan penderitaan, lalu digodanya untuk jatuh sebab keseng-
saraan itu. Tujuan Iblis yaitu membuat Ayub mengutuki Allah.
Dalam ayat-ayat di atas diceritakan bagaimana cara Iblis mendorong
Ayub supaya mengutuk Allah. Ia menyusupkan pikiran mengutuk ke-
pada Ayub, maksudnya untuk menghasut dia, sebab jika tidak demi-
kian, Ayub bahkan tidak akan memikirkannya. Dengan kelihaian da-
lam pencobaan, si ular tua mengerjakannya dengan cerdik, dan kali
ini ia memainkan taktik yang sama terhadap Ayub seperti terhadap
orangtua pertama kita (Kej. 3). Tujuannya untuk menggodanya agar
berubah setia terhadap Allah dan merenggut kesalehannya.
I. Iblis memancing Ayub untuk mengutuki Allah dengan cara me-
nimpa dia dengan barah yang busuk sehingga Ayub tertekan oleh
dirinya sendiri (ay. 7-8). Serangan sebelumnya memang sangat
kejam, namun Ayub tetap teguh, ia melewatinya dengan gagah
berani dan menang. Namun, ia tidak bisa berleha-leha, yang lebih
buruk masih akan datang. Awan gelap kembali setelah hujan.
Iblis, atas izin ilahi, melanjutkan serangannya, dan sekarang
samudera raya berpanggil-panggilan.
1. Penyakit yang menyergap Ayub sangat mengenaskan: Iblis
menghajar Ayub dengan barah yang busuk dari telapak kaki-
nya sampai ke batu kepalanya, di seluruh tubuhnya, dengan
bengkak yang mengerikan (demikian menurut sebagian penaf-
sir), kemungkinan penyakit ruam-ruam (erisipelas, bercak-
bercak merah) yang teramat parah. Satu bisul, saat berkum-
pul, sangatlah menyiksa dan mendatangkan rasa nyeri dan
kegelisahan yang luar biasa. Jadi, bayangkan saja keadaan
Ayub saat itu, bisul-bisul penuh di sekujur tubuhnya, tiada
satu bagian pun yang kosong, dan bisul-bisul itu panas mem-
bara bukan kepalang, rasanya seperti dinyalakan oleh api ne-
raka! Cacar yaitu penyakit yang mengerikan dan sangat
menyiksa, namun keadaannya yang terparah pun hanya ber-
langsung beberapa hari saja. Jika cacar saja sudah demikian,
betapa mengerikan lagi penyakit Ayub, yang merajalela ke se-
luruh tubuhnya, penuh dengan barah busuk atau bisul-bisul
menyakitkan, menusuk sampai ke hati, luar biasa tersiksa.
Semua barah dan bisul itu menyebar di sekujur tubuhnya
sampai berbaring pun tidak pernah merasa nyaman. Kalau se-
kali waktu kita ditimpa penyakit yang menyiksa dan begitu
parah, ingatlah bahwa Allah pernah mengizinkannya terjadi
pada umat dan hamba-Nya yang paling saleh sekalipun. Kita
tidak tahu seberapa jauh Iblis akan bekerja atas izin ilahi,
menimbulkan penyakit yang mendera anak-anak manusia,
khususnya anak-anak Allah. Kita pun tidak tahu penyakit apa
yang mungkin disebarkan oleh si penguasa udara itu, atau ra-
dang apa yang didatangkan oleh si ular neraka. Kita membaca
tentang seseorang yang sudah diikat oleh Iblis bertahun-tahun
lamanya (Luk. 13:16). Seandainya Allah terus bersabar terha-
dap si singa yang mengaum-ngaum itu dalam melancarkan
keinginannya terhadap kita, maka betapa akan sengsaranya
kita dibuatnya segera!
2. Cara Ayub menguasai dirinya dalam penyakit itu sangat tidak
biasa (ay. 8).
(1) Alih-alih mencari obat penawar, ia mengambil sekeping be-
ling, sepotong pecahan buyung, untuk menggaruk-garuk ba-
dannya. Pria malang ini menjalani masa yang sangat me-
nyedihkan. Tatkala seseorang sakit dan menderita, ia bisa
lebih kuat menanggungnya bila dirawat dan diperhatikan
dengan baik. Banyak orang berada telah mengadakan pela-
yanan terhadap orang miskin yang sakit seperti ini dengan
lemah lembut dan penuh kasih. Lazarus pun mendapat se-
dikit penghiburan dari lidah anjing-anjing yang datang dan
menjilat boroknya. Akan namun , Ayub yang malang tidak
mendapat pertolongan apa pun.
[1] Tiada yang diperbuat terhadap barahnya selain apa
yang dia lakukan dengan tangannya sendiri. Anak-anak
dan para hambanya semuanya sudah mati, sedangkan
istrinya tidak baik kepada dia (19:17). Ia tidak punya
uang untuk membayar tabib atau ahli bedah. Dan yang
paling menyedihkan, di antara orang-orang yang pernah
menerima kebaikan Ayub, tidak satu pun yang menun-
jukkan rasa hormat dan terima kasih dengan melayani
dia di tengah kesusahannya, ataupun mengulurkan
tangan untuk membalut atau menyeka nanah-nanah
yang meleleh, mungkin sebab penyakitnya begitu men-
jijikkan dan berbau busuk, atau sebab mereka takut
ketularan. Begitulah yang terjadi di hari-hari pertama
sejak dulu, dan akan begitu pada hari-hari terakhir,
manusia mencintai dirinya sendiri, tidak tahu berterima
kasih, dan tidak tahu mengasihi.
[2] Yang Ayub dapat lakukan pada bisul-bisulnya hanyalah
menggaruk. Barah-barah itu tidak dibebat dengan kain
lembut, tidak dibalur dengan balsam, tidak dibasuh
atau dibersihkan, tidak pula ditempeli plester obat,
tidak ada obat penenang, dan tidak ada penghilang
nyeri yang diberikan kepada orang sakit yang malang
ini untuk meredakan sakitnya dan membuat ia bisa
beristirahat, bahkan tidak ada penghiburan untuk me-
nguatkan jiwanya. Tindakan yang diambil hanyalah
menggaruk-garuk luka-luka bernanah, dan saat se-
mua luka itu matang dan pecah, seluruh tubuh Ayub
pun terkelupas sebagaimana biasanya pada penderita
cacar yang hampir sembuh. Mengurus bisulnya satu
demi satu tentulah tiada habisnya. Oleh sebab itu, Ayub
memutuskan untuk menggaruknya sekaligus, suatu
cara pengobatan yang tidak lebih baik daripada penya-
kit itu sendiri.
[3] Satu-satunya yang dia miliki untuk menjamah tubuh-
nya yaitu sekeping beling, tiada alat bedah yang layak,
namun itu pun hanya lebih merobek luka-lukanya dan
menambahi rasa sakit, bukan meringankannya. Orang
sakit dan yang sedang menanggung nyeri harus berada
dalam perawatan dan pengarahan orang lain, sebab
orang-orang yang demikian sering kali tidak mampu
mengurus dirinya dengan baik.
(2) Alih-alih beristirahat di atas tempat tidur yang halus dan
hangat, Ayub justru duduk di tengah-tengah abu. Mungkin
ada sebuah tempat tidur yang tersisa bagi dia, sebab meski-
pun ladangnya dirampas, tidak diceritakan bahwa rumah-
nya juga dibakar atau dijarah. Namun ia memilih untuk
duduk di abu, mungkin sebab ia jemu dengan tempat
tidurnya, atau sebab ia lebih memilih berkabung sebagai
seorang yang bertobat, sebagai tanda rasa jijik terhadap diri
sendiri, sehingga ia berbaring di atas debu, dalam abu
(42:6; Yes. 58:5; Yun. 3:6). Demikianlah ia merendahkan
dirinya di bawah tangan Allah yang Mahakuasa, dan meng-
akui kerendahan serta keadaannya yang melarat. Ayub
berkeluh kesah (7:5) bahwa tubuhnya ditutupi oleh
berenga dan abu, dan memang begitulah debu kembali
menjadi debu, abu kembali menjadi abu. Jika Allah yang
membaringkannya di tengah abu, di situlah ia akan duduk
dengan patuh. Hati yang direndahkan patut hidup di te-
ngah keadaan yang merendahkan, supaya membantu kita
berdamai dengan keadaan itu. Kitab Septuaginta mengata-
kan, “Ia duduk di antara kotoran hewan di luar kota” (versi
yang umum diceritakan). Namun, naskah aslinya hanya
mengatakan bahwa ia duduk di tengah-tengah abu, yang
dapat dilakukannya di dalam rumahnya sendiri.
II. Iblis mendesak-desak Ayub, lewat bujukan istri Ayub, untuk
mengutuki Allah (ay. 9). Orang-orang Yahudi (yang selalu berlagak
lebih berhikmat melebihi apa yang tertulis) berpendapat bahwa
istri Ayub yaitu Dina, putri Yakub, demikianlah yang tertulis
dalam Kitab Suci bahasa Aram. Mungkin sekali tidak benar.
namun , siapa pun dia, wanita itu ibarat Mikhal terhadap Daud,
seorang pencemooh terhadap kesalehannya. Isterinya itu dibiar-
kan hidup bagi Ayub, saat seluruh penghiburan Ayub direnggut
darinya, demi maksud ini, yaitu untuk menjadi pembuat masalah
dan pencoba baginya. Jika Iblis menyisakan sesuatu yang sebe-
tulnya boleh diambilnya, tujuannya ialah untuk berbuat jahat.
Cara yang dipakai si jahat ialah mengirim pencobaan-pencobaan
lewat orang-orang yang kita kasihi, sama seperti ia mencobai
Adam lewat Hawa, dan menguji Kristus lewat Petrus. Oleh sebab
itu, kita harus berhati-hati agar tidak terpengaruh untuk meng-
ucapkan atau melakukan sesuatu yang salah sebab pengaruh,
kepentingan, atau permintaan orang-orang yang sangat kita har-
gai pendapatnya dan yang kita inginkan perkenanannya. Perhati-
kan betapa kuatnya pencobaan lewat istri Ayub ini.
1. Istrinya mengolok-olok kesetiaan Ayub dalam hidup keagama-
annya: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Begitu
gigihkah engkau berpegang pada agamamu hingga tidak ada
yang bisa memisahkanmu darinya? Betapa lemah dan bodoh-
nya orang yang merendah-rendah di hadapan Allah yang sama
sekali tidak memberi upah atas segala ibadahmu itu dengan
berkat-berkat perkenanan-Nya, malahan tampaknya justru
senang membuat engkau menderita, melucutimu, menghu-
kummu, tanpa sebab apa pun? Allah yang seperti itu, masih-
kah patut dikasihi, dipuja, dan dilayani?”
Tidakkah kau lihat betapa ibadahmu sia-sia?
Apakah upah doa-doamu, selain celaka dan derita?
Belumkah kau mengerti juga keadaanmu?
Saleh tanpa cacat, baik bukan kepalang?
Barah yang sakit itu, dan segala kerugianmu,
menunjukkan bagaimana sorga menghargai
orang saleh yang bodoh di bumi.
Alim tiada tergoyah! Tak bisakah Allahmu
mengubah kebajikan bodohmu dengan cambuk-Nya?
– Sir R. Blackmore
Demikianlah Iblis masih terus berusaha menjauhkan ma-
nusia dari Allah, seperti yang dilakukannya dengan orangtua
kita yang pertama, dengan cara menyusupkan pikiran-pikiran
jahat tentang Allah, bahwa Allah tidak menyukai kebahagiaan
manusia dan paling senang membuat ciptaan-Nya menderita.
Tipuan lain yang dipakai Iblis untuk menjauhkan manusia
dari agamanya ialah menghujani mereka dengan cemooh dan
olok-olok atas kepercayaannya itu. Penghinaan itu pasti da-
tang, namun bodohlah kita bila mengindahkannya. Tuan kita
pun pernah mengalaminya, maka kita harus membalasnya
secara berlimpah-limpah, dan dengan alasan yang lebih kuat
lagi hendaknya kita menyanggah para pencemooh itu, “Hai
orang bodoh, masihkah engkau mau mempertahankan kebe-
jatanmu? Kapan engkau akan memuji Allah dan hidup?”
2. Istri Ayub mendesak Ayub untuk melepaskan kepercayaannya,
menghujat Allah, memusuhi Dia, dan menantang-Nya untuk
melakukan yang terburuk: “Kutukilah Allahmu dan matilah!
Janganlah lagi hidup bersandar pada Allah, jangan menanti-
kan kelegaan dari-Nya, jadilah penolong bagi dirimu sendiri.
Sudahi penderitaanmu dengan mengakhiri hidupmu. Lebih
baik mati satu kali daripada sekarat terus-menerus. Sia-sialah
engkau menantikan pertolongan dari Allahmu saat ini, kutuki
saja Dia dan gantunglah dirimu.” Itulah dua bentuk pencoba-
an Iblis yang paling jahat dan mengerikan, namun sayangnya,
orang-orang saleh pun kadang dikalahkan dengan kejamnya.
Menghujat Allah merupakan hal yang paling bertentangan
dengan hati nurani, bunuh diri juga merupakan tindakan yang
paling bertentangan dengan naluri alamiah manusia. Oleh
sebab itu, dorongan untuk melakukan keduanya bisa dipasti-
kan berasal langsung dari Iblis. Ya Tuhan, janganlah mem-
bawa kami ke dalam pencobaan, jangan ke dalam pencobaan
seperti ini, atau pencobaan apa pun, namun lepaskanlah kami
dari yang jahat.
III. Dengan tegas Ayub menolak dan mengalahkan pencobaan terse-
but (ay. 10). Ia segera memberi jawab kepada istrinya. Iblis tidak
menyakiti lidahnya, dengan harapan ia memakai lidah itu untuk
mengutuki Allah, namun jawaban menunjukkan keteguhan hatinya
untuk tetap berpegang pada Allah. Ia tetap berpikiran baik ten-
tang Dia, dan tidak meninggalkan kesalehannya. Lihatlah,
1. Betapa Ayub merasa jengkel oleh pencobaan tersebut. Ia sangat
marah mendengar hal semacam itu disebut-sebut kepadanya:
“Yang benar saja! Mengutuki Allah? Memikirkannya saja aku
tidak sudi! Enyahlah Iblis.” Dalam hal-hal lain, Ayub mengha-
dapi istrinya dengan sangat lemah lembut, bahkan saat wa-
nita itu bersikap jahat terhadapnya (19:17): Nafasku menim-
bulkan rasa jijik kepada istriku. Namun, saat ia membujuk
Ayub untuk mengutuki Allah, Ayub sangat gusar, “Engkau
berbicara seperti perempuan gila.” Ia tidak menyebutnya orang
bodoh atau fasik, tidak pula meledak lalu mengungkapkan
kekesalannya dengan tidak patut, seperti yang cenderung
dilakukan orang-orang sakit dan merasa perbuatannya bisa
dimaklumi. Sebaliknya, Ayub menunjukkan kepada istrinya
kejahatan yang terkandung dalam ucapannya, sebab ia ber-
bicara seperti orang kafir dan penyembah berhala, yang apa-
bila mereka lapar, mereka akan gusar dan akan mengutuk
rajanya dan Allahnya (Yes. 8:21). Dalam rumah tangga yang
saleh seperti keluarga Ayub, tentu istrinya juga beriman per-
caya, namun sekarang, saat seluruh harta dan kenyamanan
sudah tidak ada lagi, ia tidak kuat menanggung kehilangan itu
dengan tabiat setenang Ayub. Walaupun begitu, bahwa wanita
itu berusaha menghasut suaminya dengan kepahitan, hal itu
sangat menggusarkan Ayub, sehingga ia tidak tahan untuk
tidak menunjukkan kekesalannya. Perhatikan,
(1) Orang yang marah namun tidak berdosa yaitu mereka yang
marah hanya terhadap dosa dan memandang godaan seba-
gai penghinaan terkeji, yang tidak dapat sabar terhadap
orang-orang jahat (Why. 2:2). saat Petrus menjadi Iblis
bagi Kristus, Dia berkata kepada Petrus dengan terus-te-
rang, “Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku.”
(2) Apabila orang-orang yang kita anggap bijaksana dan baik
sekali waktu mengucapkan hal bodoh dan buruk, kita ha-
rus setia untuk menegur mereka dan menunjukkan apa
yang jahat dalam perkataannya, bahwa kita tidak membiar-
kan dosa pada orang itu.
(3) Godaan untuk mengutuki Allah harus ditolak dengan sege-
nap kejijikan, bahkan dipikirkan pun tidak boleh sama se-
kali. Siapa saja yang membujuk kita untuk melakukannya
harus dipandang sebagai musuh, dan jika kita menyerah
terhadapnya, risikonya kita tanggung sendiri. Ayub tidak
mengutuki Allah lalu berdalih seperti Adam, “Perempuan
yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang membujukku
untuk melakukannya” (Kej. 3:12). Dalam alasan seperti ini
ada tersirat sindiran terhadap Allah, ketetapan, dan penye-
lenggaraan-Nya. Tidak, jika kita menista, jika kita mengu-
tuk, kita sendirilah yang menanggungnya.
2. Pernyataan Ayub untuk menjawab godaan tersebut, “Apakah
kita mau menerima yang baik dari Allah, namun tidak mau
menerima yang buruk?” saat menegur orang, kita harus ber-
usaha menginsafkan mereka, dan bukan hal yang sulit untuk
memberi jawaban masuk akal tentang mengapa kita perlu
berpegang teguh pada kesalehan sekalipun segala kepunyaan
kita dilucuti. Ayub paham bahwa, meskipun baik dan buruk
itu bertolak belakang, namun keduanya tidak berasal dari dua
sumber penyebab yang bertentangan, melainkan sama-sama
datang dari tangan Allah (Yes. 45:7; Rat. 3:38). Oleh sebab itu,
di tengah yang baik maupun yang buruk, kita harus tetap
memandang kepada-Nya dengan ucapan syukur atas hal-hal
baik yang Dia berikan dan tidak gusar atas hal-hal buruk yang
kita alami. Cermatilah penekanan dalam jawaban Ayub.
(1) Ia bukan hanya bersedia menanggung, namun juga meneri-
ma yang buruk, “Apakah kita tidak mau menerima yang
buruk?” artinya,
[1] “Masakan kita heran bila menerimanya? Bila Allah
memberikan begitu banyak hal baik, apakah kita harus
terkejut, atau menganggap aneh, bila kadang kala Dia
menimpakan penderitaan kepada kita, sementara Dia
sendiri telah berfirman bahwa kelimpahan dan kema-
langan saling menguji?” (1Ptr. 4:12).
[2] “Tidakkah kita seharusnya menyiapkan hati kita untuk
menerimanya dengan sikap yang benar?” Kata “mene-
rima” yang dipakai di sini mengandung makna mene-
rima sebagai karunia, menyiratkan sikap yang taat ser-
ta jiwa yang tunduk dalam penderitaan, tanpa meman-
dangnya rendah atau merasa tidak mampu. Sebaliknya,
memperhitungkan kesengsaraan itu sebagai karunia
(Flp. 1:29), menerimanya sebagai hukuman atas pelang-
garan kita (Im. 26:41), berserah pada kehendak Allah
dalam penderitaan itu, “Biarlah Dia melakukan apa
yang dipandang-Nya baik”. Dan menyesuaikan diri ter-
hadap keadaan tersebut, sebagaimana orang yang tahu
apa itu kekurangan dan apa itu kelimpahan (Flp. 4:12).
Saat hati bersedia direndahkan dan diuji oleh penye-
lenggaraan Allah yang mendidik, maka kita pun mende-
ngarkan teguran (Zef. 3:2) dan memikul salib kita.
(2) Dasar pernyataan Ayub: “Masakan kita hanya mau meneri-
ma banyak hal baik yang telah datang kepada kita dari
tangan Allah selama tahun-tahun kelimpahan dan sejah-
tera yang telah kita jalani, namun sekarang tidak bersedia
menerima yang buruk, saat Allah menganggapnya baik
untuk kita?” Perhatikanlah, dengan mengingat segala ke-
murahan yang telah kita terima dari Allah, baik di masa
lalu maupun masa kini, kita akan dapat menerima keseng-
saraan dengan sikap hati yang benar. Jika kita menerima
bagian kita dalam berkat yang baik selama tujuh tahun
kelimpahan, masakan kita tidak mau menerima bagian
yang buruk dalam kemelaratan selama tahun-tahun keke-
ringan? Qui sentit commodum, sentire debet et onus – ba-
rang siapa merasakan kenikmatan harus siap pula meng-
alami kekurangan. Bila kita memiliki begitu banyak hal
yang menyukakan kita, mengapa kita tidak berpuas diri
dengan apa yang menyukakan Allah? Bila kita menerima
begitu banyak kenyamanan, tidakkah seharusnya kita me-
nerima penderitaan juga, yang akan menyeimbangkan ke-
nyamanan tersebut dan membuatnya terasa lebih bernilai?
Kita belajar apa artinya kemurahan dengan menghadapi
kekurangan pada saat-saat tertentu. Penderitaan juga me-
nekan kenyamanan kita agar tidak terlalu berbahaya, mem-
buat hidup kita seimbang, dan mencegah kita supaya jangan
meninggikan diri (2Kor. 12:7). Bila kita menerima begitu ba-
nyak berkat bagi tubuh jasmani, bukankah seharusnya kita
menerima berkat bagi jiwa, yaitu penderitaan, sehingga kita
dapat beroleh bagian dalam kekudusan Allah (Ibr. 12:10).
Penderitaan itu membuat wajah bersedih, namun menjadikan
hati lebih baik. Jadi, singkirkanlah sungut-sungut dan jauh-
kanlah bualan.
IV. Demikianlah Ayub tetap berpegang teguh sepenuhnya pada kesa-
lehannya, dan rencana jahat Iblis terhadapnya digagalkan. Dalam
kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. Tidak
hanya mengucapkannya dengan baik, namun seluruh perkataan-
nya pada waktu itu dikendalikan oleh kesalehan dan akal budi
yang lurus. Di tengah segala kemalangan itu, ia sama sekali tidak
melontarkan ucapan yang salah. Di samping itu, dapat dipastikan
bahwa Ayub juga mempertahankan pikirannya sehat, sehingga
meskipun mungkin ada gejolak dan timbul kecemaran dalam
hatinya, namun anugerah tetap memegang kendali, dan ia men-
jaga supaya akar pahit jangan sampai tumbuh dan mencemarkan
dirinya (Ibr. 12:15). Perbendaharaan hatinya yang baik yaitu
bagi Allah, menghasilkan hal-hal yang baik, dan menekan ke-
jahatan di dalam sana, yang kalah suara dari sisi baiknya. Sean-
dainya Ayub memang memikirkan sesuatu yang buruk, namun ia
menekapkan tangan pada mulutnya (Ams. 30:32), membungkam
pikiran jahat itu dan tidak membiarkannya berkembang lebih
lanjut. Dengan ini tampak bahwa ia bukan hanya memiliki kasih
karunia sejati, namun juga kasih karunia itu kuat dan berkeme-
nangan. Pendek kata, Ayub tidak kehilangan sifatnya yang saleh
dan jujur, sebab demikianlah terbukti dirinya tampil di tengah-
tengah pencobaan, ia tidak bersalah dalam perkataannya (Yak.
3:2; Mzm. 17:3).
Ayub Dikunjungi oleh Sahabat-sahabatnya
(2:11-13)
11 saat ketiga sahabat Ayub mendengar kabar tentang segala malapetaka
yang menimpa dia, maka datanglah mereka dari tempatnya masing-masing,
yakni: Elifas, orang Teman, dan Bildad, orang Suah, serta Zofar, orang
Naama. Mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya
dan menghibur dia. 12 saat mereka memandang dari jauh, mereka tidak
mengenalnya lagi. Lalu menangislah mereka dengan suara nyaring. Mereka
mengoyak jubahnya, dan menaburkan debu di kepala terhadap langit. 13 Lalu
mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam.
Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, sebab mereka
melihat, bahwa sangat berat penderitaannya.
Dalam ayat-ayat di atas, diceritakan tentang sahabat-sahabat Ayub
yang berbaik hati untuk mengunjungi dia di tengah musibah yang
menimpanya. Kabar tentang malapetakanya yang luar biasa tersiar
ke segala penjuru, sebab Ayub yaitu orang yang terkemuka, baik
dalam kebesaran maupun kebaikan, dan keadaan kemalangannya
sangatlah tidak lazim. Sebagian orang yang merupakan musuhnya
bersenang-senang atas penderitaan Ayub (16:10; 19:18; 30:1). Ba-
rangkali mereka menggubah lagu-lagu cibiran tentang dia. Akan
namun , sahabat-sahabatnya prihatin dan berusaha menghibur Ayub.
Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang
saudara dalam kesukaran. Tiga orang di antaranya disebutkan nama-
nya (ay. 11), yakni Elifas, Bildad, dan Zofar. Selanjutnya kita akan
bertemu dengan orang keempat, yang tampaknya sudah ada sepan-
jang percakapan mereka, namanya Elihu. Tidak dikatakan apakah ia
datang sebagai kawan Ayub atau hanya sebagai pendengar. Elifas,
Bildad, dan Zofar disebut sahabat-sahabat Ayub, teman karib, seperti
yang dimiliki Daud dan Salomo dalam istana mereka, yaitu orang-
orang yang disebut sahabat raja. Mereka bertiga sangat menonjol
dalam hikmat dan kebijaksanaan, sebagaimana tampak dalam ucap-
an-ucapan mereka. Semuanya sudah tua, sangat lanjut usia, terke-
muka dalam pengetahuan, dan disegani penilaiannya (32:6). Mungkin
mereka yaitu tokoh penting di antara para pemuka negeri, atau
kepala puak. Sekarang, amatilah bahwa,
I. Pada masa kejayaannya, Ayub telah membina persahabatan de-
ngan orang-orang itu. Jika mereka setara, Ayub tidak iri hati ter-
hadap mereka. Jika mereka lebih rendah derajatnya, Ayub tidak
meremehkan mereka – sebab sikap ini menghalangi pergaulan
dan hubungan mereka. Mempunyai sahabat-sahabat seperti me-
reka jauh lebih membahagiakan pada masa kelimpahannya dari-
pada seluruh ternak yang dimilikinya. Kebahagiaan hidup ini
banyak terletak pada persahabatan dan hubungan dengan orang-
orang yang bijaksana dan berbudi. Barang siapa memiliki sedikit
teman seperti itu haruslah menghargainya setingginya. Tiga saha-
bat Ayub ini berasal dari keturunan Abraham, walaupun mungkin
bukan dari kaum yang turut menerima kovenan Allah, namun
mereka tetap memelihara buah-buah yang baik berkat didikan
saleh yang diberikan oleh bapa orang beriman itu. Elifas yaitu
keturunan Teman, cucu Esau (Kej. 36:11). Bildad berasal dari
Suah, anak Abraham yang dilahirkan oleh Ketura (Kej. 25:2).
Menurut sejumlah penafsir, Zofar sama dengan Zefo, keturunan
Esau (Kej. 36:11). Adanya hikmat dan kesalehan yang begitu
besar pada orang-orang yang tidak termasuk dalam janji kovenan
merupakan pertanda yang indah bahwa anugerah Allah juga
turun kepada orang-orang bukan-Yahudi, saat kelak tembok
pemisah dirobohkan. Esau ditolak, namun banyak orang dari ketu-
runannya mewarisi berkat-berkat terbaik.
II. Mereka tetap bersahabat dengan Ayub di tengah kesengsaraan-
nya, saat banyak temannya yang lain meninggalkan dia (19:14).
Mereka membuktikan persahabatan dalam dua cara:
1. Dengan kunjungan manis di tengah kesusahan Ayub, untuk
meratap bersama dengannya serta menghibur dia (ay. 11).
Barangkali, sewaktu Ayub masih makmur, mereka juga sudah
biasa mengunjunginya, bukan untuk berburu atau berjalan-
jalan, bukan pula untuk berpesta atau bermain-main, melain-
kan untuk mendapat penghiburan dan membangun diri de-
ngan perkataan Ayub yang bijak dan saleh. Kini, saat Ayub
menderita sengsara, mereka datang untuk mengambil bagian
dalam dukacitanya, sama seperti dahulu mereka datang untuk
mendapat bagian dalam sukacitanya. Itulah orang-orang bijak,
yang senang berada di rumah duka (Pkh. 7:4). Melawat orang-
orang yang menderita, sakit, yatim, atau yang kehilangan
anak, di tengah kesengsaraan mereka, merupakan perbuatan
ibadah yang murni dan yang tak bercacat (Yak. 1:27), dan bila
diperbuat dengan maksud yang baik, akan mendapatkan upah
yang berlimpah-limpah (Mat. 25:36).
(1) Dengan mengunjungi orang-orang yang sengsara, kita da-
pat meningkatkan:
[1] Semua anugerah yang kita miliki, sebab ada banyak
pelajaran berharga yang bisa didapat dari persoalan
orang lain. Kita dapat melihat berbagai persoalan orang
lain dan mendapat pengajaran dari situ sehingga men-
jadi bijak dan bersungguh-sungguh.
[2] Penghiburan bagi mereka. Dengan memberi penghor-
matan kepada mereka, kita menguatkan orang-orang
itu, dan kata-kata penghiburan yang diucapkan kepada
mereka dapat membantu meringankan beban mereka.
Sahabat-sahabat Ayub datang bukan untuk memuas-
kan rasa ingin tahu mereka akan persoalan Ayub dan
kedahsyatan musibahnya, apalagi untuk menyindir dia,
seperti yang dilakukan oleh kawan-kawan palsu Daud
(Mzm. 41:7-9), melainkan untuk meratap bersama Ayub,
turut bergabung dalam air matanya, dan dengan demi-
kian memberi penghiburan kepada dia. Jauh lebih me-
nyenangkan bila kita mengunjungi orang sakit yang me-
merlukan penghiburan daripada orang yang masih harus
diinsafkan.
(2) Mengenai orang-orang yang menjenguk ini, perhatikan bah-
wa,
[1] Mereka tidak disuruh, melainkan datang atas kemauan-
nya sendiri (6:22). Dari sinilah Tuan Caryl menyimpul-
kan bahwa menjadi tamu tak diundang di rumah duka
yaitu sikap yang baik, dan berilah penghiburan ke-
pada kawan-kawan kita sebelum diminta.
[2] Mereka bersepakat untuk datang. Ingatlah, orang-orang
baik semestinya mengadakan kesepakatan untuk ber-
buat baik bersama-sama, sehingga dalam perbuatan itu
mereka bersukacita dan menjalin ikatan, serta saling
membantu dan menguatkan. Demi terlaksananya mak-
sud yang mulia, hendaklah kita bahu-membahu.
[3] Mereka datang dengan tujuan untuk menghibur Ayub.
Ada alasan bagi kita untuk menganggap tujuan mereka
itu tulus, meskipun akhirnya mereka menjadi penghi-
bur yang payah, sebab cara mereka yang tidak teram-
pil dalam menghadapi masalah Ayub. Banyak orang
yang bertujuan baik bisa meleset dari tujuan tersebut
sebab kesalahan.
2. Dengan rasa simpati dan keprihatinan mereka terhadap Ayub
di tengah penderitaannya. saat melihat Ayub dari jauh, ia
tampak begitu buruk rupa dan berubah sedemikian rupa oleh
sebab boroknya hingga mereka tidak mengenalnya lagi (ay.
12). Mukanya merah sebab menangis (16:16), seperti pemim-
pin-pemimpin Yerusalem yang tadinya lebih merah dari pada
merjan, namun kini lebih hitam dari pada jelaga (Rat. 4:7-8).
Betapa besarnya perubahan pada wajah yang disebabkan oleh
sakit penyakit, atau oleh tekanan kekhawatiran dan dukacita,
hanya dalam waktu singkat! Naomikah itu? (Rut 1:19). Begitu
pula dalam hal Ayub, Ayubkah itu? Betapa engkau telah teng-
gelam! Betapa kemuliaanmu ternoda dan cemar, dan segala
kehormatanmu terkubur dalam debu! Kiranya Allah memam-
pukan kita menghadapi perubahan-perubahan seperti ini!
Setelah melihat Ayub berubah sedemikian nestapa, mereka
tidak meninggalkan dia, sebab ketakutan atau jijik, dan se-
makin mengungkapkan kasih sayangnya terhadap dia.
(1) Saat datang untuk meratap bersamanya, mereka mencu-
rahkan seluruh dukacita mereka tanpa ditahan-tahan da-
lam luapan emosi yang mendalam. Menangislah mereka de-
ngan suara nyaring. Pemandangan itu membangkitkan
kembali kesedihan Ayub dan membuatnya kembali mera-
tap, sehingga air mata sahabat-sahabatnya pun mengalir
semakin deras. Mereka mengoyak jubahnya, dan menabur-
kan debu di kepala, seperti orang yang bersedia melucuti
dan melecehkan dirinya bersama sahabat mereka yang di-
lucuti dan dilecehkan.
(2) Saat datang untuk menghibur Ayub, mereka duduk ber-
sama-sama di tanah, sebab dengan demikian ia bisa dite-
mani. Mereka menempatkan diri pada posisi dan sikap yang
rendah dan tidak nyaman bersamanya, bukan untuk sopan
santun, melainkan sebab rasa belas kasihan yang tulus.
Kemungkinan, telah begitu sering mereka duduk ber-
samanya di kursi dan meja perjamuan saat Ayub masih
jaya. Oleh sebab itu, sekarang mereka pun mau mengam-
bil bagian dalam dukacita dan kemelaratannya, sebab me-
reka telah mengambil bagian dalam sukacita dan kelimpah-
annya. Kunjungan mereka bukan sekadar lawatan singkat,
hanya datang melihat lalu pergi. Sebaliknya, sebagai orang
yang tidak mampu bersenang-senang dengan pulang ke
rumah sementara temannya menderita, mereka memutus-
kan untuk tinggal bersama Ayub sampai melihat dia pulih
atau mati. Jadi, mereka pun tinggal di dekatnya sekalipun
Ayub sekarang tidak bisa lagi menjamu mereka seperti
sediakala, sehingga mereka harus menanggung sendiri
biayanya. Selama tujuh hari berturut-turut, di rumah tem-
pat ia bisa ditemani, mereka datang dan duduk bersama-
nya sebagai teman pendamping dalam kesesakan. Ini sung-
guh sebuah pengecualian dari aturan umum, Nullus ad
amissas ibit amicus opes – Barang siapa kehilangan harta
bendanya, jangan harap kawan-kawannya mau datang ber-
kunjung. Elifas, Bildad, dan Zofar duduk bersama Ayub,
namun seorang pun tidak mengucapkan sepatah kata kepa-
danya, hanya menyimak cerita yang disampaikan Ayub me-
ngenai persoalannya. Mereka membisu seperti orang yang
tercengang dan terperangah. Curæ leves loquuntur, ingentes
stupent – Dukacita yang lebih ringan bisa bersuara, dukacita
yang lebih berat membisu.
Begitu lamanya mereka menahan diam, untuk menyatakan
rasa hormat sebab celaka yang dahsyat.
– Sir R. Blackmore
Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada
Ayub, sebab hal ini lebih menghibur dia. Mereka tidak
mengatakan apa pun untuk menasihati dia saat ini, jangan
sampai malah mendukakannya (4:2), sebab mereka melihat
bahwa dukanya sudah sangat berat, dan tidak mau me-
nambahi kesusahan kepada orang yang sengsara. Ada wak-
tu untuk menahan mulut, saat orang fasik masih ada di
depan kita, supaya perkataan kita jangan sampai menge-
raskan mereka (Mzm. 39:2), atau jangan sampai perkataan
kita bisa menjadi berkhianat kepada angkatan anak-anak
Allah (Mzm. 73:15). Kesabaran mereka untuk tidak memu-
lai percakapan khidmat hingga hari ketujuh mungkin me-
nyiratkan bahwa waktu itu yaitu hari sabat. Tidak dira-
gukan lagi bahwa hari sabat sudah dipelihara sejak zaman
bapa-bapa leluhur, dan sampai hari itu, mereka menang-
guhkan percakapan, sebab barangkali belakangan ada
orang-orang yang datang ke rumah Ayub, seperti biasa, un-
tuk bergabung dalam perenungannya dan bisa turut bela-
jar lewat perbincangan mereka. Atau, mungkin juga, de-
ngan menahan diam begitu lama, mereka hendak menun-
jukkan bahwa apa yang mereka katakan sesudahnya itu
telah dipertimbangkan dan dicerna dengan baik, serta me-
rupakan buah dari banyak pemikiran. Hati orang benar
menimbang-nimbang jawabannya. Kita harus berpikir dua
kali sebelum bicara satu kali, apalagi dalam perkara sema-
cam ini. Berpikirlah panjang, maka kita akan lebih mampu
berbicara dengan singkat dan tepat sesuai tujuan.
PASAL 3
amu telah mendengar tentang ketekunan Ayub,” kata sang
rasul (Yak. 5:11). Demikianlah kita telah mendengarnya, dan
tentang ketidaktekunannya juga. Kita bertanya-tanya bagaimana ada
orang yang bisa sesabar dia (ps. 1 dan 2), namun kita juga bertanya-
tanya bagaimana seorang yang baik bisa sedemikian tidak sabarnya
seperti yang tertulis dalam pasal ini, hingga kita mendapati dia me-
ngutuki hari kelahirannya, dan dengan amarah,
I. Mengeluh mengapa ia dilahirkan (ay. 1-10).
II. Mengeluh mengapa ia tidak mati begitu dilahirkan (ay. 11-19).
III. Mengeluh bahwa hidupnya terus berlanjut saat ia sedang
menderita (ay. 20-26). Dalam hal ini harus diakui bahwa
Ayub berdosa dengan bibirnya, namun semua ini dituliskan,
tidak untuk kita tiru, namun sebagai peringatan bagi kita,
bahwa orang yang merasa berdiri tegak haruslah berhati-hati
supaya tidak jatuh.
Ayub Mengutuki Hari Kelahirannya
(3:1-10)
1 Sesudah itu Ayub membuka mulutnya dan mengutuki hari kelahirannya.
2 Maka berbicaralah Ayub: 3 “Biarlah hilang lenyap hari kelahiranku dan
malam yang mengatakan: Seorang anak laki-laki telah ada dalam kandung-
an. 4 Biarlah hari itu menjadi kegelapan, janganlah kiranya Allah yang di atas
menghiraukannya, dan janganlah cahaya terang menyinarinya. 5 Biarlah ke-
gelapan dan kekelaman menuntut hari itu, awan-gemawan menudunginya,
dan gerhana matahari mengejutkannya. 6 Malam itu – biarlah dia dicekam
oleh kegelapan; janganlah ia bersukaria pada hari-hari dalam setahun; ja-
nganlah ia termasuk bilangan bulan-bulan. 7 Ya, biarlah pada malam itu
tidak ada yang melahirkan, dan tidak terdengar suara kegirangan. 8 Biarlah
ia disumpahi oleh para pengutuk hari, oleh mereka yang pandai membang-
kitkan marah Lewiatan. 9 Biarlah bintang-bintang senja menjadi gelap; biarlah ia menantikan terang yang tak kunjung datang, janganlah ia melihat merekahnya fajar, 10 sebab tidak ditutupnya pintu kandungan iArtikel , dan tidak
disembunyikannya kesusahan dari mataku.
Lama baru Ayub menjadi panas hati. Sementara ia sedang merenung,
api amarah itu menyala, dan semakin besar lagi sebab ditahan dan
ditekan. Akhirnya Ayub berbicara dengan lidahnya, namun tidak
mengeluarkan kata sebaik yang diucapkan Daud sesudah lama ter-
diam: Ya TUHAN, beritahukanlah kepadaku ajalku (Mzm. 39:4-5).
Tujuh hari lamanya Nabi Yehezkiel duduk tertegun bersama orang-
orang buangan, dan sesudah itu (mungkin pada hari Sabat) datang-
lah firman TUHAN kepadanya (Yeh. 3:15-16). Sudah begitu lama Ayub
dan teman-temannya duduk merenung namun tidak berkata apa
pun. Mereka takut mengutarakan apa yang ada dalam pikiran mere-
ka, kalau-kalau perkataan mereka akan mendukakan hatinya, se-
dangkan ia tidak berani menumpahkan pikirannya, kalau-kalau per-
kataannya menyinggung perasaan mereka. Mereka datang untuk
menghiburnya, namun sebab mendapati bahwa penderitaan Ayub
sangat luar biasa, mereka mulai berpikir bahwa penghiburan tidak-
lah patut baginya. Mereka curiga bahwa Ayub munafik, dan oleh
sebab itu mereka tidak berkata apa-apa. Para pecundang biasanya
menyangka mereka boleh saja berbicara, dan itulah sebabnya Ayub-
lah yang pertama melampiaskan apa yang ada dalam pikirannya.
Namun, buah pikirannya itu tidaklah lebih baik, maka alangkah
baiknya seandainya ia menyimpan pikirannya itu bagi diri sendiri.
Singkat kata, ia mengutuki harinya, hari kelahirannya. Ia berharap
tidak pernah dilahirkan, tidak dapat berpikir atau berbicara tentang
kelahirannya sendiri tanpa merasa menyesal atau kesal. Manusia
biasanya merayakan hari ulang tahun mereka dengan sukacita, te-
tapi Ayub memandangnya sebagai hari terburuk dalam setahun. Ba-
ginya, teramat sengsara dan sial hidupnya, dan hari kelahiran itulah
yang menjadi pintu masuk semua celakanya. Nah,
I. Perbuatan Ayub ini sungguh buruk. Dahsyatnya kesusahan yang
dialaminya dan hilangnya kendali atas diri sendiri boleh dijadikan
sebagian alasan atas sikapnya itu, namun ia sama sekali tidak
dapat dibenarkan. Sekarang ia melupakan tujuan baik untuk apa
ia dilahirkan, bagaikan lembu-lembu kurus yang telah memakan
lembu-lembu gemuk. Pikirannya hanya dipenuhi hal-hal buruk
semata, hingga berharap tidak pernah dilahirkan. Nabi Yeremia
sendiri mengutarakan rasa perihnya semua malapetaka yang di-
alaminya dalam ungkapan yang mirip dengan perkataan Ayub ini:
Celaka aku, ya iArtikel , bahwa engkau melahirkan aku (Yer. 15:10).
Terkutuklah hari saat aku dilahirkan (Yer. 20:14, dst.). Kita da-
pat menduga bahwa di tengah keberhasilannya, Ayub sudah acap-
kali memuji Allah atas hari kelahirannya, dan menganggapnya se-
bagai hari yang bahagia. Namun sekarang ia menyebutnya dengan
segala macam keburukan. saat merenungkan bahwa di dalam
dosa kita dikandung dan dilahirkan, maka kita mempunyai cukup
alasan untuk mencela hari kelahiran kita dengan sedih dan malu,
dan berkata bahwa pada hari kita mati, yang membuat kita telah
bebas dari dosa (Rm. 6:7), jauh lebih baik daripada hari kelahiran
(Pkh. 7:1). Namun, mengutuki hari kelahiran kita sebab kita me-
masuki masa penuh bencana dalam hidup ini, sama saja dengan
bertengkar dengan Allah pencipta alam semesta, memandang ren-
dah martabat keberadaan kita, dan menurutkan nafsu yang bisa
membuat pikiran tenang dan waras kita merasa malu. Pastilah di
dunia ini tidak ada keadaan kehidupan sempurna yang dapat
membuat manusia begitu menghormati Allah, namun ia dapat
memilih (kecuali akibat kesalahannya sendiri) untuk menghor-
mati-Nya, dan mengerjakan keselamatannya, dan memastikan
suatu kebahagiaan bagi dirinya sendiri dalam sebuah dunia yang
lebih baik. Dengan demikian ia sama sekali tidak mempunyai
alasan untuk berharap tidak pernah dilahirkan. Ia tidak punya
alasan sama sekali untuk berharap sebaiknya tidak pernah dila-
hirkan, namun punya banyak alasan untuk berkata bahwa keber-
adaannya di dunia ini yaitu demi tujuan yang baik. Meskipun
demikian, memang perlu juga diakui bahwa seandainya tidak ter-
dapat kehidupan lain sesudah di sini, serta jika tidak ada peng-
hiburan ilahi untuk menopang kita dalam pengharapan itu, maka
dengan adanya begitu banyak dukacita dan kesukaran yang me-
landa, adakalanya memang kita bisa saja tergoda untuk berkata
bahwa betapa sia-sia kita diciptakan (Mzm. 89:48) dan berharap
tidak pernah diciptakan. Ada orang-orang di neraka yang dengan
alasan yang baik berharap lebih baik tidak pernah dilahirkan, mi-
salnya Yudas (Mat. 26:24). Namun di sisi seberang neraka ini,
tidak boleh ada alasan untuk mengharapkan hal yang begitu sia-
sia dan tidak tahu berterima kasih seperti itu. Sungguh merupa-
kan kebodohan dan kelemahan Ayub untuk mengutuki hari ke-
lahirannya. Mengenai hal ini haruslah kita katakan bahwa ini
merupakan kelemahannya. Namun juga, orang-orang baik ada-
kalanya gagal memakai anugerah yang membuat mereka sa-
ngat menonjol. Dengan demikian kita mengerti bahwa saat me-
reka disebut sempurna, itu berarti bahwa mereka tulus, bukan
tidak berdosa sama sekali. Terakhir, marilah kita merenungkan-
nya demi menghormati kehidupan rohani di atas kehidupan jas-
mani, bahwa meskipun banyak yang mengutuki hari kelahiran
pertama mereka, tidak pernah ada yang mengutuki hari kelahiran
baru mereka, atau berharap mereka tidak pernah menerima anu-
gerah dan Roh anugerah yang diberikan kepada mereka. Semua
kasih karunia itu merupakan pemberian-pemberian yang paling
unggul, melebihi kehidupan dan keberadaan kita sendiri, serta
tidak akan pernah menjadi beban.
II. Namun demikian, sikap Ayub itu tidaklah seburuk seperti yang
dijanjikan Iblis kepada dirinya sendiri. Ayub memang mengutuki
hari kelahirannya, namun tidak mengutuki Allahnya. Ia jemu de-
ngan hidupnya, dan lebih suka berpisah dengan nyawanya, na-
mun ia tidak jemu dengan agamanya. Dengan bulat hati ia tetap
melekat padanya, dan tidak akan pernah mau melepaskannya.
Perselisihan di antara Allah dan Iblis mengenai Ayub bukanlah
tentang apakah Ayub mempunyai kelemahan, dan apakah ia tak-
luk kepada ledakan amarah seperti kita (yang memang diizinkan),
melainkan apakah ia seorang munafik, yang diam-diam membenci
Allah, dan jika disalahi memperlihatkan kebenciannya. Dan, keti-
ka dicobai, terbuktilah bahwa ia bukanlah orang semacam itu.
Bahkan lebih dari itu, sikap sabarnya patut menjadi teladan.
Meskipun dengan bibir ia berbicara sembrono seperti itu, namun
sebelum maupun sesudah itu ia mengutarakan ketundukan dan
kepasrahan luar biasa kepada kehendak suci Allah dan menyesali
ketidaksabarannya itu. Ia mengecam dirinya sendiri sebab nya,
dan oleh sebab itu Allah tidak mengecamnya, dan begitu pula
seharusnya kita. Belajar dari sini, kita harus lebih berhati-hati
dengan diri sendiri, supaya jangan kita berdosa sesudah melaku-
kan pelanggaran seperti ini.
1. Ungkapan-ungkapan khusus yang dipakai Ayub dalam me-
ngutuki hari kelahirannya sarat dengan khayalan, nyala api
membara. Hal ini menimbulkan banyak kesulitan bagi para
penafsir, sama seperti hal itu menyulitkan para theolog. Jadi,
kita tidak perlu terlampau teliti dalam mengamatinya. saat
hendak mengutarakan keinginan terdalamnya agar tidak per-
nah dilahirkkan, ia berbicara buruk tentang hari itu sendiri,
dan berharap,
(1) Agar bumi melupakannya: Biarlah hilang lenyap hari kelahir-
anku (ay. 3). Janganlah ia bersukaria pada hari-hari dalam
setahun (ay. 6). “Janganlah hari itu tidak dicantumkan
dalam penanggalan dengan huruf merah, seperti halnya hari
kelahiran raja (padahal Ayub memang seorang raja 29:25).
Sebaliknya, biarlah tanggal itu dihapus dan dihilangkan,
serta dikubur dan dilupakan. Janganlah dunia tahu bahwa
seseorang seperti diriku pernah lahir ke dalamnya, dan
hidup di dalamnya, orang yang dijadikan tontonan keseng-
saraan semacam ini.”
(2) Agar sorga tidak menyukainya: janganlah kiranya Allah
yang di atas menghiraukannya (ay. 4). “Memang benar bah-
wa segala sesuatu terjadi seperti yang dikehendaki Allah.
Hari yang dihormati-Nya memang terhormat, yang dibeda-
kan dan dikaruniai-Nya dengan perkenanan serta berkat-
Nya, seperti yang dilakukan-Nya pada hari ketujuh dalam
sepekan. Namun, biarlah hari kelahiranku tidak pernah
dihormati seperti itu. Biarlah hari itu nigro carbone notan-
dus – ditandai dengan arang hitam sebagai hari jahat oleh
Dia yang menentukan segala waktu sebelum ditetapkan.
Bapa dan sumber terang menetapkan agar terang yang
lebih besar itu menguasai hari dan terang yang kurang
besar berkuasa atas malam. namun biarlah hari kelahiran-
ku itu tidak mendapatkan kedua terang itu.”
[1] Janganlah cahaya terang menyinarinya (ay. 4). Dan jika
terang itu menjadi gelap, maka betapa gelapnya kege-
lapan itu! Betapa mengerikannya, sebab pada waktu itu
kita mencari terang. Biarlah suramnya hari itu meng-
gambarkan keadaan Ayub, yang mataharinya terbenam
pada tengah hari.
[2] Mengenai malam hari pun, biarlah hari kelahiranku itu
tidak mendapat terang bulan dan bintang. Biarlah dia
dicekam oleh kegelapan, kegelapan pekat, kegelapan
yang bisa dirasakan, yang tidak akan melindungi kete-
nangan malam melalui keheningannya, namun justru
mengganggunya dengan semua kedahsyatannya.
(3) Agar semua sukacita kiranya meninggalkannya: “Biarlah
hari kelahiranku itu menjadi malam yang memilukan serta
sunyi, bukan malam gembira dengan musik dan tarian.
Biarlah pada malam itu tidak terdengar suara kegirangan
(ay. 7). Biarlah malam itu menjadi panjang, dan janganlah
ia melihat merekahnya fajar (ay. 9), yang membawa serta
sukacita.”
(4) Agar semua kutukan kiranya mengikutinya (ay. 8): “Biarlah
tidak seorang pun pernah ingin melihatnya, atau menyam-
butnya saat ia datang. Sebaliknya, biarlah ia disumpahi
oleh para pengutuk hari. Hari apa pun yang ingin disum-
pahi orang, biarlah mereka pada saat yang sama juga
melimpahkan satu kutukan kepada hari kelahiranku, ter-
utama orang-orang yang mencari nafkah dengan meratap
pada upacara pemakaman melalui lagu-lagu ratapan mere-
ka. Biarlah orang-orang yang mengutuki hari kematian
orang lain juga mengutuki hari kelahiranku.” Atau, biarlah
orang-orang yang begitu garang dan berani sehingga siap
membangunkan sang Lewiatan (itulah istilah yang diguna-
kan di sini), mereka yang siap menghantam ikan paus atau
buaya, mengutuki hari itu dengan kutukan terdahsyat
yang mampu mereka temukan, sambil berharap bisa mele-
mahkannya melalui mantra-mantra mereka, sehingga de-
ngan demikian membuat mereka mampu mengalahkannya.
Boleh jadi sang penyair ilahi mengaitkannya dengan bebe-
rapa kebiasaan yang dipakai di sana. “Biarlah hari itu
menjadi sama menjijikkannya seperti hari saat manusia
meratapi kemalangan terbesar, atau masa saat mereka
melihat penampakan yang paling menakutkan.” Demikian-
lah menurut Uskup Patrick, yang tampaknya mengartikan
Lewiatan sebagai Iblis, seperti yang juga diartikan orang-
orang lain, yang memahaminya sebagai kutukan-kutukan
yang dipakai para ahli sihir dan ahli ilmu hitam untuk
memanggil Iblis, atau saat mereka telah memanggil Iblis
namun tidak mampu mengalahkannya.
2. namun , apa sebenarnya dasar pertengkaran Ayub dengan siang
maupun malam hari kelahirannya? Hal itu terjadi sebab tidak
ditutupnya pintu kandungan ibunya (ay. 10). Lihatlah betapa
bodoh dan gilanya ketidakpuasan yang bisa diakibatkan ama-
rah, dan betapa tidak masuk akal serta berlebihan bicaranya
saat tali kekang mengendalikan lehernya. Inikah Ayub yang
begitu dikagumi hikmatnya hingga kepadanyalah orang men-
dengar sambil menanti, dengan diam mereka mendengarkan
nasihatnya, dan sehabis bicaranya tiada seorang pun angkat
bicara lagi (29:21-22)? Hikmat pasti telah meninggalkannya,
(1) saat ia dengan berapi-api mengutarakan keinginannya
agar tidak pernah dilahirkan, yang sebenarnya merupakan
keinginan sia-sia, sebab sungguh mustahil meniadakan
apa yang sudah terjadi.
(2) saat ia menghambur-hamburkan kutukannya atas hari
dan malam yang tidak bisa diubah atau dibuat lebih buruk
sebab kutukan-kutukannya.
(3) saat ia menginginkan hal yang begitu keji terhadap ibu-
nya sendiri, yaitu supaya ia tidak melahirkan Ayub saat
saatnya sudah tiba. Hal itu tentu saja berarti mengingin-
kan kematian ibunya itu, kematian yang menyengsarakan.
(4) saat ia memandang rendah kebaikan Allah kepadanya,
yang telah memberinya keberadaan (keberadaan yang be-
gitu mulia, serta kehidupan unggul, kehidupan yang begitu
melebihi makhluk ciptaan lain di dunia ini). Ia tidak meng-
hargai karunia itu, memandangnya tidak berharga untuk
diterima, hanya sebab transit cum onere – tersumbat oleh
syarat berupa kesukaran, yang sekarang akhirnya menim-
pa dirinya, sesudah ia menikmati kesenangannya selama
bertahun-tahun. Betapa bodoh untuk menginginkan agar
matanya tidak pernah melihat terang, supaya tidak bisa
melihat penderitaan, padahal ia sebenarnya bisa berharap
mampu mengatasinya dan melihat sukacita di baliknya!
Apakah Ayub percaya dan berharap bahwa di dalam da-
gingnya pun ia akan melihat Allah (19:26), namun juga ber-
harap bahwa ia tidak pernah akan mampu mengalami ke-
bahagiaan semacam itu, hanya sebab sekarang ini ia men-
derita dalam dagingnya? Kiranya melalui anugerah-Nya,
Allah memperlengkapi kita dengan senjata untuk melawan
nafsu ketidaksabaran yang bodoh dan merugikan ini.
Keluhan Ayub tentang Kehidupannya
(3:11-19)
11 Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar
dari kandungan? 12 Mengapa pangkuan menerima aku; mengapa ada buah
dada, sehingga aku dapat menyusu? 13 Jikalau tidak, aku sekarang berbaring
dan tenang; aku tertidur dan mendapat istirahat 14 bersama-sama raja-raja
dan penasihat-penasihat di bumi, yang mendirikan kembali reruntuhan bagi
dirinya, 15 atau bersama-sama pembesar-pembesar yang mempunyai emas,
yang memenuhi rumahnya dengan perak. 16 Atau mengapa aku tidak seperti
anak gugur yang disembunyikan, seperti bayi yang tidak melihat terang?
17 Di sanalah orang fasik berhenti menimbulkan huru-hara, di sanalah mere-
ka yang kehabisan tenaga mendapat istirahat. 18 Dan para tawanan bersama-
sama menjadi tenang, mereka tidak lagi mendengar suara pengerah. 19 Di
sana orang kecil dan orang besar sama, dan budak bebas dari pada tuannya.
Boleh jadi setelah merenungkan kebodohannya sebab berharap ia
tidak pernah dilahirkan, Ayub berpikir untuk membetulkan kesalah-
annya itu dan menggantikannya dengan harapan lain yang sedikit
lebih baik, yaitu mati sebelum dilahirkan. Di dalam ayat-ayat di atas
ia mengungkapkan harapannya itu panjang lebar. saat Jurusela-
mat kita hendak menyatakan keadaan yang sangat mencelakakan, Ia
sepertinya mengizinkan perkataan seperti ini, Berbahagialah perem-
puan mandul dan yang rahimnya tidak pernah melahirkan, dan yang
susunya tidak pernah menyusui (Luk. 23:29). Namun demikian, mem-
berkati rahim yang mandul yaitu satu hal, sedangkan mengutuki
rahim yang subur merupakan hal lain lagi! Sungguh baik untuk
mengusahakan yang terbaik di tengah penderitaan, namun tidaklah
baik untuk mengabaikan belas kasihan. Pedoman kita yaitu , ber-
katilah dan jangan mengutuk. Hidup ini sering kali dianggap berhu-
bungan dengan segala sesuatu yang baik, sedangkan kematian
dengan segala sesuatu yang buruk. Namun, di sini Ayub bersikap
tidak masuk akal, sebab ia mengeluh tentang kehidupan dan penyo-
kongnya sebagai sebuah kutuk dan tulah baginya. Ia lebih men-
dambakan kematian dan kubur sebagai kebahagiaan terbesar yang
paling dirindukan. Jelaslah Iblis telah terkecoh saat mengajukan
aturan ini kepada Ayub, bahwa Oran