Tampilkan postingan dengan label hukum islam 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum islam 4. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Desember 2024

hukum islam 4


 iterima bila  telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai 

sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak 

keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu .

Pasal 135

Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman penjara 5 

(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 

116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti 

penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang 

memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan 

itu telah memiliki  kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 136

1. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat 

atau tergugat berdasar  pertimbangan bahaya yang mungkin

96

ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri 

itu  untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat 

atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:

a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;

b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya 

barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau 

barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang 

menjadi hak isteri.

Pasal 137

Gugatan perceraian gugur bila  suami atau isteri meninggal sebelum 

adanya putusan pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.

Pasal 138

1. bila  tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak 

memiliki  tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan 

cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan 

Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar 

atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.

2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass 

media itu  ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan 

tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua

3. Tenggang waktu antara penggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada 

ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) 

bulan.

4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan 

tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa 

hadirnya tergugat, kecuali bila  gugatan itu tanpa hak atau tidak 

beralasan.

Pasal 140

bila  tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam 

pasal 132 ayat (2), panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik 

negara kita  setempat

97

Pasal 141

1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat- 

lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat 

gugatan perceraian.

2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatikan 

tentang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan itu  oleh 

penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.

3. bila  tergugat berada dalam keadaan seperti itu  dalam pasal 

116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan 

sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya 

gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.

Pasal 142

1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang 

sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.

2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan 

pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk 

hadir sendiri.

Pasal 143

1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan 

kedua belah pihak.

2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan 

pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 144

bila  terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan 

perceraian baru berdasar  alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum 

perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya 

perdamaian.

Pasal 145

bila  tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian 

dilakukan dalam sidang tertutup.

98

(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.

(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung 

sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah memiliki  

kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 146

Pasal 147

(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka panitera Pengadilan 

Agama menyampaikan salinan surat putusan itu  kepada suami 

isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing- 

masing yang bersangkutan.

(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai 

salinan putusan Pengadilan Agama yang telah memiliki  kekuatan 

hukum yang tetap tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah 

yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.

(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterangan kepada 

masing-masing suami isteri atau kuasanya bahwa putusan itu  ayat 

(1) telah memiliki  kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti 

perceraian bagi suami dan bekas istri.

(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang 

tersedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka 

telah bercerai.

Catatan itu  berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, 

nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera.

(5) bila  Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah 

tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan 

putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) 

dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi 

tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi perkawinan yang 

dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai 

Pencatat Nikah Jakarta.

(6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan itu  dalam ayat (1) menjadi 

tanggungjawab Panitera yang bersangkutan, bila  yang demikian itu 

mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.

Pasal 148

1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan 

khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama

99

yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan- 

alasannya.

2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri 

dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.

3. Dalam persidangan itu  Pengadilan Agama Memberi  penjelasan 

tentang akibat khuluk, dan Memberi  nasehat-nasehatnya.

4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, 

maka Pengadilan Agama Memberi  penetapan tentang izin bagi 

suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. 

Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan 

kasasi.

5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam 

pasal 131 ayat (5).

6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau 

iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara 

biasa.

BAB XVII

AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN

Bagian Kesatu 

Akibat Talak

Pasal 149

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :

a. Memberi  mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa 

uang atau benda, kecuali bekas isteri itu  qobla al dukhul;

b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam 

iddah, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in atau nusyur dan 

dalam keadaan tidak hamil;

c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh bila  

qobla al dukhul;

d. Memberi  biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum 

mencapai umur 21 tahun

100

Pasal 150

Bekas suami berhak melakukan ruju' kepada bekas istrinya yang masih 

dalam iddah.

Pasal 151

Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak 

menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

Pasal 152

Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya 

kecuali ia nusyuz.

Bagian Kedua 

Waktu Tunggu

Pasal 153

1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu 

atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan 

karena kematian suami.

2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

a. bila  perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al 

dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:

b. bila  perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi 

yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang- 

kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid 

ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;

c. bila  perkawinan putus karena perceraian sedang janda itu 

dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai

melahirkan;

d. bila  perkawinan putus karena kematian, sedang janda itu 

dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai

melahirkan.

3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian 

sedang antara janda itu  dengan bekas suaminya qobla al dukhul.

4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu 

dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang memiliki 

101

kekuatan hukum yang tetap, sedang  bagi perkawinan yang putus 

karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian 

suami.

5. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu 

menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali 

waktu haid.

6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka 

iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun 

itu  ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Pasal 154

bila  isteri bertalak raj'I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana 

yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, di 

tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan 

sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.

Pasal 155

Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, 

fasakh dan li'an berlaku iddah talak.

Bagian Ketiga 

Akibat Perceraian

Pasal 156

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan 

ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya 

digantikan o leh :

1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;

2. ayah;

3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan 

hadhanah dari ayah atau ibunya;

102

c. bila  pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin 

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan 

hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang 

bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah 

kepada kerabat lain yang memiliki  hak hadhanah pula;

d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah 

menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak itu  

dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);

e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, 

Pengadilan Agama Memberi  putusannya berdasar  huruf (a), (b), 

dan (d);

f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya 

menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak- 

anak yang tidak turut padanya.

Pasal 157

Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana itu  dalam 

pasal 96, 97.

Bagian Keempat 

Mut'ah

Pasal 158

Mut'ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:

a. belum ditetapkan mahar bagi isteri ba'da al dukhul;

b. perceraian itu atas kehendak suami.

Pasal 159

Mut'ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat itu  pada 

pasal 158.

Pasal 160

Besarnya mut'ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.

103

Bagian Kelima 

Akibat Khuluk

Pasal 161

Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat 

dirujuk.

Bagian Keenam 

Akibat Li'an

Pasal 162

Bilamana li'an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan 

anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas 

dari kewajiban memberi nafkah.

BAB XVIII 

RUJUK

Bagian Kesatu 

Umum

Pasal 163

(1) Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masa iddah.

(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:

a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh 

tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul;

b. putusnya perkawinan berdasar  putusan pengadilan dengan 

alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.

Pasal 164

Seorang wanita dalam iddah talak raj'I berhak mengajukan keberatan 

atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah 

disaksikan dua orang saksi.

104

Pasal 165

Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat 

dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.

Pasal 166

Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk 

dan bila bukti itu  hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan 

lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya 

semula.

Bagian Kedua 

Tata Cara Rujuk

Pasal 167

(1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya 

ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah 

yang mewilayahi tempat tinggal suami isteri dengan membawa 

penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang 

diperlukan.

(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawai Pencatat 

Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.

(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah 

memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu 

memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah 

rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj'i, apakah 

perempuan yang akan dirujuk itu yaitu  isterinya.

(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang 

bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran 

Rujuk.

(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu 

Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami isteri tentang hukum-hukum 

dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.

Pasal 168

(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat 

Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh

105

masing-masing yang bersangkutan besreta saksi-saksi, sehelai dikirim 

kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat- 

surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran 

Rujuk dan yang lain disimpan.

(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai 

Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari 

sesudah rujuk dilakukan.

(3) bila  lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu 

Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, 

dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.

Pasal 169

(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya 

rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama ditempat 

berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan isteri 

masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut 

contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.

(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku 

Pendaftaran Rujuk itu  datang ke Pengadilan Agama di tempat 

berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan 

akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan 

oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia ppada Kutipan 

Akta Nikah itu , bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk.

(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, 

tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran 

Rujuk dan tanda tangan Panitera.

BAB XIX

MASA BERKABUNG

Pasal 170

(1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa 

berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan 

sekaligus menjaga timbulnya fitnah.

(2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung 

menurut kepatutan.

106

BUKU II

HUKUM K F, W ARISAN

BABI

KETENTUAN UMUM 

Pasal 171

Yang dimaksud dengan:

a. Hukum kewarisan yaitu  hukum yang mengatur tentang pemindahan 

hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa- 

siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing- 

masing.

b. Pewaris yaitu  orang yang pada saat meninggalnya atau yang 

dinyatakan meninggal berdasar  putusan Pengadilan beragama 

Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

c. Ahli waris yaitu  orang yang pada saat meninggal dunia memiliki  

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama 

Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

d. Harta peninggalan yaitu  harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik 

yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.

e. Harta waris yaitu  harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama 

setelah dipakai  untuk keperluan pewaris selama sakit sampai 

meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang 

dan pemberian untuk kerabat.

f. Wasiat yaitu  pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain 

atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

g. Hibah yaitu  pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan 

dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

h. Anak angkat yaitu  anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya 

sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung 

jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasar  

putusan Pengadilan.

i. Baitul Mal yaitu  Balai Harta Keagamaan.

107

BABU

AHLI WARIS

Pasal 172

Ahli waris dipandang beragama Islam bila  diketahui dari Kartu 

Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedang  bagi bayi 

yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya 

atau lingkungannya.

Pasal 173

Seorang terhalang menjadi ahli waris bila  dengan putusan hakim 

yang telah memiliki  kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau 

menganiaya berat para pewaris;

b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa 

pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan 

hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Pasal 174

(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

a. Menurut hubungan darah :

-  Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara 

laki-laki, paman dan kakek.

-  Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, 

saudara perempuan dari nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.

(2) bila  semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan 

hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Pasal 175

(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris yaitu  :

a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;

b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, 

termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;

108

c. menyelesaikan wasiat pewaris;

d. membagi harta warisan di antara wahli waris yang berhak.

(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris 

hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

BAB III

BESARNYA BAHAGIAN 

Pasal 176

Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila 

dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, 

dan bila  anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka 

bagian anak laki-laki yaitu  dua berbanding satu dengan anak perempuan.

Pasal 177

Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, 

bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.*

Pasal 178

(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau 

lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia 

mendapat sepertiga bagian.

(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau 

duda bila bersama-sama dengan ayah.

Pasal 179

Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, 

dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat 

bagaian.

berdasar  Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 1994, maksud pasal itu  ialah : 

ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami 

dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.

109

Pasal 180

Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan 

anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat 

seperdelapan bagian.

Pasal 181

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka 

saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat 

seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka 

bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

Pasal 182

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia 

memiliki  satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua 

mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan itu  bersama-sama 

dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka 

mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.

Bila saudara perempuan itu  bersama-sama dengan saudara laki-laki 

kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu 

dengan saudara perempuan.

Pasal 183

Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam 

pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.

Pasal 184

Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan 

hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasar  keputusan 

Hakim atas usul anggota keluarga.

Pasal 185

(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka 

kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang 

itu  dalam Pasal 173.

(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris 

yang sederajat dengan yang diganti.

110

Pasal 186

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki  hubungan saling 

mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.

Pasal 187

(1) bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh 

pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk 

beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan 

tugas :

a. mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda 

bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh 

para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya 

dengan uang;

b. menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai 

dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c.

(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas yaitu  merupakan harta warisan 

yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.

Pasal 188

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat 

mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan 

pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui 

permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui 

Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.

Pasal 189

(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya 

kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana 

semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris 

yang bersangkutan.

(2) Bila ketentuan itu  pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan 

karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang 

memerlukan uang, maka lahan itu  dapat dimiliki oleh seorang atau 

lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli 

waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

111

Pasal 190

Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing 

isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan 

suaminya, sedang  keseluruhan bagian pewaris yaitu  menjadi hak para 

ahli warisnya.

Pasal 191

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli 

warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta itu  atas putusan 

Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk 

kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.

BAB IV

AUL DAN RAD 

Pasal 192

bila  dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnya 

Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka 

penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, 

dan baru sesudah itu harta warisnya dibagi secara aul menutu angka 

pembilang.

Pasal 193

bila  dalam pembarian harta warisan di antara para ahli waris 

Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka 

penyebut, sedang  tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta 

warisan itu  dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing- 

masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.

BAB V 

WASIAT

Pasal 194

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat 

dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya 

kepada orang lain atau lembaga.

112

(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal 

ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.

Pasal 195

(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis 

dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.

(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta 

warisan kecuali bila  semua ahli waris menyetujui.

(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara 

lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang 

saksi di hadapan Notaris.

Pasal 196

Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan 

dengan tegas dan jelas siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan 

menerima harta benda yang diwasiatkan.

Pasal 197

(1) Wasiat menjadi batal bila  calon penerima wasiat berdasar  

putusan Hakim yang telah memiliki  kekuatan hukum tetap dihukum 

karena:

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau 

menganiaya berat kepada pewasiat;

b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan 

bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam 

hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;

c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat 

untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk 

kepentingan calon penerima wasiat;

d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan 

surat wasiat dan pewasiat.

(2) Wasiat menjadi batal bila  orang yang ditunjuk untuk menerima

wasiat itu :

113

a. tidak mengetahui adanya wasiat itu  sampai meninggal dunia 

sebelum meninggalnya pewasiat;

b. mengetahui adanya wasiat itu , tapi ia menolak untuk 

menerimanya;

c. mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan 

menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum 

meninggalnya pewasiat.

(3) Wasiat menjadi batal bila  yang diwasiatkan musnah.

Pasal 198

Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu 

benda harus diberikan jangka waktu tertentu.

Pasal 199

(1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat 

belum menyatakan persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan 

tetapi kemudian menarik kembali.

(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh 

dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi 

atau berdasar  akte Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.

(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan 

cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasar  

akte Notaris.

(4) Bila wasiat dibuat berdasar  akte Notaris, maka hanya dapat dicabut 

berdasartkan akte Notaris.

Pasal 200

Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab 

yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum 

pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima 

harta yang tersisa.

Pasal 201

bila  wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedang  ahli 

waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai 

sepertiga harta warisnya.

114

Pasal 202

bila  wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedang  

harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat menentukan kegiatan 

mana yang didahulukan pelaksanaannya.

Pasal 203

(1) bila  surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya di 

tempat Notaris yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat- 

surat yang ada hubungannya.

(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199 maka 

surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.

Pasal 204

(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan 

disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris, 

disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara 

pembukaan surat wasiat itu.

(2) Jikas surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka 

penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau Kantor 

Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan 

Agama itu  membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal 

ini.

(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh 

Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat 

guna penyelesaian selanjutnya.

Pasal 205

Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasuk 

dalam golongan tentara dan berada dalam daerah pertewmpuran atau yang 

berda di suatu tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan 

membuat surat wasiat di hadapan seorang komandan atasannya dengan 

dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 206

Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan 

membuat surat wasiat di hadapan nakhoda atau mualim kapal, dan jika

115

pejabat itu  tidak ada, maka dibuat di hadapan seorang yang 

menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 207

Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan 

perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutran 

kerohanian sewaktu ia mewnderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali 

ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.

Pasal 208

Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte 

itu .

Pasal 209

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasar  Pasal 176 sampai 

dengan Pasal 193 itu  di atas, sedang  terhadap orang tua angkat 

yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 

1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat 

wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua 

angkatnya.

BAB VI 

HIBAH

Pasal 210

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat 

tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 

harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang 

saksi untuk dimiliki.

(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

Pasal 211

Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai

warisan.

116

Pasal 212

Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada 

anaknya.

Pasal 213

Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit 

yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli 

warisnya.

Pasal 214

Warga negara negara kita  yang berada di negara asing dapat membuat 

surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik negara kita  setempat 

sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.

117

118

BUKU III

HUKUM PERWAKAFAN

BABI

KETENTUAN UMUM 

Pasal 215

Yang dimaksud dengan:

(1) Wakaf yaitu  perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau 

badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan 

melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau 

keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

(2) Wakif yaitu  orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang 

mewakafkan benda miliknya.

(3) Ikrar yaitu  pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda 

miliknya.

(4) Benda wakaf yaitu  segala benda baik benda bergerak atau tidak 

bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan 

bernilai menurut ajaran Islam.

(5) Nadzir yaitu  kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas 

pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW 

yaitu  petugas pemerintah yang diangkat berdasar  peraturan- 

peraturan yang berlaku, berkewajiban menerima ikrar dan wakaf dan 

menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk 

kelestarian perwakafan.

(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (6), diangkat 

dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

119

BABII

FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF

Bagian Kesatu 

Fungsi Wakaf

Pasal 216

Fungsi wakaf yaitu  mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan 

tujuan wakaf.

Bagian Kedua

Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf 

Pasal 217

(1) Badan-badan Hukum negara kita  dan orang atau orang-orang yang telah 

dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk 

melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan 

benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan 

yang berlaku.

(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas 

namanya yaitu  pengurusnya yang sah menurut hukum.

(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus 

merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, 

sitaan dan sengketa.

Pasal 218

(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas 

dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian 

menuangkannya dalam bentuk ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh 

sekurang-kurangnya 2 orang saksi.

(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan dimaksud dalam 

ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat 

persetujuan Menteri Agama.

Pasal 219

120

(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari 

perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. sudah dewasa;

d. sehat jasmani dan rohani;

e. tidak berada di bawah pengampuan;

f. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang 

diwakafkannya.

(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi 

persyaratan sebagai berikut:

a. badan hukum negara kita  dan berkedudukan di negara kita ;

b. memiliki  perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang 

diwakafkannya.

(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor 

Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari 

Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.

(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di 

hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan 

sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai 

berikut:

’’Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi 

Nadzir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun 

tidak Memberi  atau menjanjikan ataupun Memberi  sesuatu 

kepada siapapun juga”

’’Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan 

sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung 

atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. 

’’Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas 

dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam 

pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.

(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti 

dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang 

dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor 

Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan 

Camat setempat.

121

Bagian Ketiga

Kewajiban dan Hak-hak Nadzir

Pasal 220

(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas 

kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai 

dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri 

Agama.

(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal 

yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 

(1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan 

tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) 

dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.

Pasal 221

(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan 

karena:

a. meninggal dunia;

b. atas permohonan sendiri;

c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir;

d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.

(2) Bilamana ada  lowongan jabatan Nadzir karena salah satu alasan 

sebagaimana itu  dalam ayat (1), maka penggantinya diangkat oleh 

Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama 

Kecamatan dan Camat setempat.

(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat 

(1) sub a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli 

warisnya.

Pasal 222

Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan 

jumlahnya ditentukan berdasar  kelayakan atas saran Majelis Ulama 

Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.

122

BAB III

TATA CARA PERWAKAFAN 

DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF

Bagian Kesatu 

Tata Cara Perwakafan

Pasal 223

(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di 

hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar 

wakaf.

(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.

(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, 

dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 

(dua) orang saksi.

(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang 

mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang itu  

dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:

a. tanda bukti pemilikan harta benda;

b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka 

harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat 

oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak 

bergerak dimaksud;

c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari 

benda tidak bergerak yang bersangkutan.

Bagian Kedua 

Pendaftaran Benda Wakaf

Pasal 224

Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam 

Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan 

atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan 

kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan 

guna menjaga keutuhan dan kelestarian.

123

BAB IV

PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN 

PENGAWASAN BENDA WAKAF

Bagian Kesatu 

Perubahan Benda Wakaf

Pasal 225

(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat 

dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud 

dalam ikrar wakaf.

(2) Penyimpangan dari ketentuan itu  dalam ayat (1) hanya dapat 

dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat 

persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan 

berdasar  saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat 

dengan alasan:

a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan 

oleh wakif;

b. karena kepentingan umum.

Bagian Kedua

Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf 

Pasal 226

Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda 

wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai 

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga 

Pengawasan

Pasal 227

Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir 

dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama 

Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan agama yang 

mewilayahinya.

124

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 228

Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum 

dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada 

Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan 

ketentuan-ketentuan ini.

Ketentuan Penutup 

Pasal 229

Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan 

kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai 

hukum yang hidup dalam warga , sehingga putusannya sesuai dengan 

rasa keadilan.

PENJELASAN

ATAS

BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM

PENJELASAN UMUM

1. Bagi bangsa dan negara negara kita  yang berdasar  Pancasila dan 

Undang-undang Dasar 1945, yaitu  mutlak adanya suatu hukum 

nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasar  

Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan 

kesadaran hukum warga  dan bangsa negara kita .

2. berdasar  Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang 

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, j o Undang-undang 

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama 

memiliki  kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan 

lainnya sebagai peradilan negara.

3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan 

Agama yaitu  Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang- 

bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan. 

berdasar  Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 

1958 Nomor B/I/735 hukum Materiil yang dijadikan pedoman dalam 

bidang-bidang hukum itu  di atas yaitu  bersumber pada 13 kitab 

yang kesemuanya madzhab Syafi’i.

4. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang 

Perwakafan Tanah Milik maka kebutuhan hukum warga  semakin 

berkembang sehingga kitab-kitab itu  dirasakan perlu pula untuk 

diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang 

lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya 

membandingkannya dengan Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa 

para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain.

5. Hukum Materiil itu  perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu 

dokumen Yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat 

dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama 

sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang 

diajukan kepadanya.

126

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 s/d 6

Cukup jelas

Pasal 7

Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan 

agama.

Pasal 8 s/d 18

Cukup jelas

Pasal 19

Yang dapat menjadi wali terdiri dari wali nasab dan wali hakim, wali 

anak angkat dilakukan oleh ayah kandung.

Pasal 20 s/d 71

Cukup jelas

Pasal 72

Yang dimaksud dengan penipuan ialah bila suami mengaku jejaka pada 

waktu nikah kemudian ternyata diketahui sudah beristeri sehingga 

teijadi poligami tanpa izin Pengadilan. Demikian pula penipuan 

terhadap identitas diri.

Pasal 73 s/d 86

Cukup jelas

Pasal 87

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang 

Peradilan Agama.

Pasal 88 s/d 93

Cukup jelas

127

Pasal 94

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang 

Peradilan Agama.

Pasal 95 s/d 97

Cukup jelas

Pasal 98

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang 

Peradilan Agama.

Pasal 99 s/d 102

Cukup jelas

Pasal 103

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang 

Peradilan Agama.

Pasal 104 s/d 106

Cukup jelas

Pasal 107

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang 

Peradilan Agama.

Pasal 108 s/d 118

Cukup jelas

Pasal 119

Setiap talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan agama yaitu  talak ba’in 

sughraa.

Pasal 120 s/d 128

Cukup jelas

128

Pasal 129

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang 

Peradilan Agama.

Pasal 130

Cukup jelas

Pasal 131

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang 

Peradilan Agama.

Pasal 132

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang 

Peradilan Agama.

Pasal 133 s/d 147

Cukup jelas

Pasal 148

Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang 

Peradilan Agama.

Pasal 149 s/d 185

Yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar perkawinan yaitu  anak 

yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang 

tidak sah.

Pasal 187 s/d 228

Cukup jelas

Pasal 229

Ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk Buku I, Buku II dan Buku III.

129


PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK negara kita  

NOMOR 1 TAHUN 1991

PRESIDEN REPUBLIK negara kita 

Menimbang

Mengingat

a. bahwa Alim Ulama negara kita  dalam lokakarya yang 

diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 

Pebruari 1998 telah menerima baik tiga rancangan 

buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang 

Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum 

Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan;

b. bahwa Kompilasi Hukum Islam itu  dalam huruf 

a oleh Instansi Pemerintah dan oleh warga  yang 

memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman 

dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang 

itu ;

c. bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam 

itu  dalam huruf a perlu disebarluaskan.

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.

MENGINSTRUKSIKAN

Kepada : Menteri Agama

Untuk

PERTAMA : Menyebarkan uaskan Kompilasi Hukum Islam yang

terdiri dari:

a. Buku I tentang Hukum Perkawinan

b. Buku II tentang Hukum Kewarisan

c. Buku III tentang Hukum Perwakafan

131

Sebagai telah diterima dalam Loka Karya di Jakarta pada 

tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988, untuk 

dipakai  oleh instansi Pemerintah dan oleh warga  

yang memerlukannya.

KEDUA : Melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dengan

penuh tanggungjawab.

Dikeluarkan di Jakarta 

Pada tanggal 10 Juni 1991 

PRESIDEN REPUBLIK negara kita 

ttd

SOEHARTO

Salinan sesuai dengan aslinya 

SEKRETARIAT KABINET RI 

Kepala Biro Hukum 

dan Perundang-undangan

ttd

BAMBANG KESOWO, SH, LL M.

132

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita  

NOMOR 1 TAHUN 1974 

TENTANG 

PERKAWINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA  

PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,

Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya 

Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi 

semua warga negara.

Mengingat 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) 

dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 

IV/MPR/1973.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik negara kita . 

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

133

BABI

DASAR PERKAWINAN

Pasal 1

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang 

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah 

tangga) yang bahagia dan kekal berdasar  Ketuhanan Yang Mahaesa.

Pasal 2

(1) Perkawinan yaitu  sah, bila  dilakukan menurut hukum masing- 

masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan 

yang berlaku.

Pasal 3

(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh 

memiliki  seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki  

seorang suami.

(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri 

lebih dari seorang bila  dikehendaki oleh fihak-fihak yang 

bersangkutan.

Pasal 4

(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, 

sebagaimana itu  dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka 

ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat 

tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya Memberi  izin 

kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang bila  :

1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat 

disembuhkan;

3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

134

Pasal 5

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi 

syarat-syarat sebagai berikut:

1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- 

keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri- 

isteri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak 

diperlukan bagi seorang suami bila  isteri/isteri-isterinya tidak 

mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalanr 

perjanjian, atau bila  tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang: 

kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu 

mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

BABU

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN 

Pasal 6

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 

21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia 

atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin 

dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih 

hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan 

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari 

wali, orang yang memelihara atau keluarga yang memiliki  hubungan 

darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup 

dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut 

dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih 

diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan 

dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan

135

perkawinan atas permintaan orang itu  dapat Memberi  izin 

setelah lebih dahulu mendengar orang-orang itu  dalam ayat (2),

(3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan itu  ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku 

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu 

dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 

(enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta 

dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh 

kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang 

tua itu  dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku 

juga dalam hal permintaan dispensasi itu  ayat (2) pasal ini dengan 

tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang :

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun 

keatas;

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara 

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang 

dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak 

tiri;

d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara 

susuan dan bibi/paman susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan 

dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f. memiliki  hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang 

berlaku, dilarang kawin.

136

Pasal 9

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat 

kawin lagi, kecuali dalam hal yang itu  pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 

Undang-undang ini.

Pasal 10

bila  suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain 

dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh 

dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya 

dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11

(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu 

tunggu.

(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu itu  ayat (1) akan diatur 

dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12

Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang- 

undangan tersendiri.

BAB III

PENCEGAHAN PERKAWINAN 

Pasal 13

Perkawinan dapat dicegah, bila  ada pihak yang tidak memenuhi syarat-

syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14

(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis 

keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, 

pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang 

berkepentingan.

(2) Mereka yang itu  pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah 

berlangsungnya perkawinan bila  salah seorang dari calon mempelai

137

berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan itu  

nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang 

lainnya, yang memiliki  hubungan dengan orang-orang seperti 

itu  dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15

Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari 

kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah 

perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) 

dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16

(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya 

perkawinan bila  ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 

8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.

(2) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana itu  pada ayat (1) 

pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah 

hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberita­

hukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.

(2) Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan 

pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh 

pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau

dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh

yang mencegah.

Pasal 19

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan bila  pencegahan belum dicabut.

138

Pasal 20

Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau 

membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelang­

garan dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan 

Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 21

(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap 

perkawinan itu  ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia 

akan menolak melangsungkan perkawinan.

(2) Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin 

melangsungkan perkawinan, oleh pegawai pencatat perkawinan akan 

diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan itu  disertai 

dengan alasan-alasan penolakannya.

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan 

permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai 

pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk 

Memberi  keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan 

penolakan itu  diatas.

(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan 

Memberi  ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan itu  

ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang 

mengakibatkan penolakan itu  hilang dan para pihak yang ingin 

kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB IV

BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22

Perkawinan dapat dibatalkan, bila  para pihak tidak memenuhi syarat- 

syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 23

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;

139

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

d. Pejabat yang ditunjuk itu  ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan 

setiap orang yang memiliki  kepentingan hukum secara langsung 

terhadap perkawinan itu , tetapi hanya setelah perkawinan itu 

putus.

Pasal 24

Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari 

kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat 

mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi 

ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 25

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam 

daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal 

kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26

(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan 

yang tidak berwenang, walinikah yang tidak sah atau yang 

dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan 

pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas 

dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasar  alasan 

dalam ayat (1) pasal ini gugur bila  mereka telah hidup bersama 

sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang 

dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan 

perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27

(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan 

perkawinan bila  perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang 

melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan 

perkawinan bila  pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi 

salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

140

(3) bila  ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu 

menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah 

itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan 

haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya 

gugur.

Pasal 28

(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan 

memiliki  kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat 

berlangsungnya perkawinan.

(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu ;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali 

terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan 

atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b 

sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik 

sebelum keputusan tentang pembatalan memiliki  kekuatan 

hukum tetap.

BAB V

PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas 

persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang 

disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya 

berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian itu  tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas- 

batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian itu  mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian itu  tidak dapat 

dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk 

merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

141

BAB VI

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

Pasal 30

Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah 

tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan warga .

Pasal 31

(1) Hak dan kedudukan isteri yaitu  seimbang dengan hak dan kedudukan 

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama 

dalam warga .

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3) Suami yaitu  kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32

(1) Suami isteri harus memiliki  tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini 

ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan 

memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

(1) Suami wajib melindungi isterinya dan Memberi  segala sesuatu 

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat 

mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

142

BAB VII

HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN 

Pasal 35

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda 

yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, yaitu  

dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak 

menentukan lain.

Pasal 36

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas 

persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri memiliki  

hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta 

bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus kare