g diancam
dengan pidana mati; atau
c. disangka telah melakukan kejahatan terhadap kemanan negara."
17. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama, seorang calon
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c . bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
330
(3) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan agama
harus berpengalaman paling singkat 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim
pengadilan agama."
8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi agama, seorang
hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h;
b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun-;
c. pengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil
ketua, pengadilan agama, atau 15 (lima belas) tahun sebagai
hakim pengadilan agama; dan
d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi agama harus
berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim pengadilan
tinggi agama atau 3 (tiga) tahun bagi hakim pengadilan tinggi agama
yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan tinggi agama
harus berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim
pengadilan tinggi agama atau 2 (dua) tahun bagi hakim pengadilan
tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.
9. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Ketua Mahkamah Agung.
(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Ketua Mahkamah Agung."
10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
327
Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, ketua, wakil ketua, dan hakim
pengadilan wajib mengucapkan sumpah menurut agama Islam.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban
hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-
lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita
Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa".
(3) Wakil ketua dan hakim pengadilan agama mengucapkan sumpah di
hadapan ketua pengadilan agama.
(4) Wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi agama serta ketua pengadilan
agama mengucapkan sumpah di hadapan ketua pengadilan tinggi
agama.
(5) Ketua pengadilan tinggi agama mengucapkan sumpah di hadapan
Ketua Mahkamah Agung."
11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar undang-undang, hakim
tidak boleh merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali, pengampu dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
yang diperiksa olehnya; atau c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh hakim selain jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah."
12. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya karena:
a. permintaan sendiri;
328
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi ketua, wakil ketua,
dan hakim pengadilan agama, dan 65 (enam puluh lima) tahun
bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi agama; atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia
dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh
Presiden."
13. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d. melanggar sumpah jabatan; atau
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan
Hakim.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis
Kehormatan Hakim, serta tata cara pembelaan diri diatur lebih lanjut
oleh Ketua Mahkamah Agung.
14. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
Seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri."
15. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
329
Pasal 21
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak
dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (2).
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
paling lama6 (enam) bulan."
16. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan dapat ditangkap atau ditahan atas
perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah
Agung, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana mati; atau
c. disangka telah melakukan kejahatan terhadap kemanan negara."
17. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama, seorang calon
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c . bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
330
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5
(lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan agama, atau menjabat
wakil panitera pengadilan tinggi agama; dan
g. sehat jasmani dan rohani."
18. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tinggi agama, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf g;
b. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
c. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5
(lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 3
(tiga) tahun sebagai panitera pengadilan agama."
19. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan agama, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda atau
4 (empat) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama.
20. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tinggi agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf g;
b. berijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam; dan
331
c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera muda
pengadilan tinggi agama, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda
pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera
pengadilan agama, atau menjabat sebagai panitera pengadilan agama."
21. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan agama, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti
pengadilan agama.
22. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan tinggi agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpangalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti
pengadilan tinggi agama, 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda, 5 (lima)
tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama, atau menjabat
sebagai wakil panitera pengadilan agama.
23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan agama, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri
pada pengadilan agama.
24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
332
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tinggi agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf
e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera pengganti
pengadilan agama atau 8 (delapan) tahun sebagai pegawai negeri pada
pengadilan tinggi agama."
25. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar undang-undang, panitera
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai
Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh panitera selain jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Mahkamah Agung.
26. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan
diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Agung."
27. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Sebelum memangku jabatannya, panitera, wakil panitera, panitera
muda, dan panitera pengganti mengucapkan sumpah menurut agama
Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung dengan memakai atau cara
apa pun juga, tidak Memberi atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapapun juga."
"Saya bersumpah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.
"Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita
Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan perundang-
undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik
negara kita ".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan
orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang panitera,
wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti, yang berbudi baik
dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan."
28. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita, seorang calon harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945;
e. berijazah paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang
sederajat;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai jurusita
pengganti; dan
g. sehat jasmani dan rohani.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita pengganti, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g, dan;
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai
negeri pada pengadilan agama."
29. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Jurusita pengadilan agama diangkat dan diberhentikan oleh Ketua
Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan yang bersangkutan.
(2) Jurusita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh ketua pengadilan
yang bersangkutan."
30. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
(1) Sebelum memangku jabatannya, jurusita atau jurusita pengganti wajib
mengucapkan sumpah menurut agama Islam di hadapan ketua
pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung dengan memakai nama atau
cara apa pun juga, tidak Memberi atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai d.
asar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945, dan segala undang-undang serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan
Republik negara kita ".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan
orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang jurusita atau
jurusita pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan
hukum dan keadilan".
31. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar undang-undang, jurusita
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.
. (2) Jurusita tidak boleh merangkap advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh jurusita selain jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut
oleh Mahkamah Agung."
32. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44
Panitera pengadilan tidak merangkap sekretaris pengadilan.
33. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris, wakil sekretaris pengadilan agama,
dan pengadilan tinggi agama seorang calon harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945;
e. berijazah paling rendah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan; dan g. sehat jasmani
dan rohani.
34. Ketentuan Pasal 46 dihapus.
35. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Ketua Mahkamah Agung.
36. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
(1) Sebelum memangku jabatannya, sekretaris, dan wakil sekretaris
mengucapkan sumpah menurut agama Islam di hadapan ketua
pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk diangkat menjadi
sekretaris/wakil sekretaris akan setia dan taat sepenuhnya kepada
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun
1945, negara, dan pemerintah.
"Saya bersumpah bahwa saya, akan menaati peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang
dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan
tanggung jawab".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi
kehormatan negara, pemerintah, martabat sekretaris/wakil sekretaris
serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara dibandingkan
kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang
menurut sifatnya atau perintah harus saya rahasiakan".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat,
dan bersemangat untuk kepentingan negara".
37. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 49
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
Pasal 47
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah."
38. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek
sengketa itu harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.
(2) bila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek
sengketa itu diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
39. Di antara Pasal 52 dan Pasal 53 disisipkan satu pasal baru yakni
Pasal 52A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 52A
Pengadilan agama Memberi istbat kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah.
40. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk
perkara itu ;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya
pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu ;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat
dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam
perkara itu ; dan
d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah
pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu .
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Mahkamah Agung."
41. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 105
(1) Sekretaris pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum
pengadilan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan
organisasi, dan tata kerja sekretariat diatur oleh Mahkamah Agung.
42. Di antara Pasal 106 dan BAB VII disisipkan satu pasal baru yakni Pasal
106A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 106A
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku peraturan perundang-undangan
pelaksana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasar Undang-Undang ini."
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
negara kita .
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 2006
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
ttd
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK negara kita ,
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita TAHUN 2006 NOMOR 22
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 3 TAHUN 2006
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
L UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945
menentukan dalam Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama
merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada dibawah
Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya dilingkungan
peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu
badan Peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan
penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara
tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, waris, wasiat hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syari’ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama
itu dimaksudkan untuk Memberi dasar hukum kepada
pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebu,
termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan
peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum
Mahkamah Syari’ah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang
jinayah berdasar ganun.
Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan
Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan
hukum warga , khususnya warga muslim. Perluasan itu
antara lain meliputi ekonomi syari’ah. Dalam kaitannya dengan
perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang ada dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara
dapat mempertimbangkat untuk memilih hukum apa yang
dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.
Dalam Usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang
merdeka, sesuai dengan tuntutan informasi di bidang hukum, telah
dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai
mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana
terakhir telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula halnya telah dilakukan
perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahunl985 tentang Mahkamah
Agung dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan adanya pengadilan khusus yang dibentuk
dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh
karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan
Agama pera diatur pula dalam Undang-Undang ini.
Penggantian dan perubahan kedua Undang-Undang itu secara
tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan semua
lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian,
organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan
Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen
Agama berdasar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama perlu disesuaikan. berdasar ketentuan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Pengalihan ke Mahkamah Agung telah dilakukan. Untuk memenuhi
ketentuan dimaksud perlu pula diadakan perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “rakyat pencari keadilan”
yaitu setiap orang baik warga Negara negara kita
maupun orang asing yang mencari keadilan pada
pengadilan di negara kita .
Angka 2
Pasal 3 A
Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama
yaitu pengadilan syari’ah islam yang diatur dengan
Undang-Undang. Mahkamah Syari’ah di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang dib'entuk berdasar
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang oleh
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 15 ayat (2) disebutkan
bahwa: “Peradilan Syari’ah Islam di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam merupakan Pengadilan Khusus
dalam lingkungan peradilan agama sepanjang
kewengan-nya menyangkut kewenangan peradilan
agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan Peradilan Umum”.
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan
agama berada di ibukota kabupaten dan kota, yang
daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau
kota, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya
pengecualian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 11
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 12
Cukup jelas
Angka 7
Pasal 13
Cukup jelas
Angka 8
Pasal 14
Cukup jelas
Angka 9
Pasal 15
Cukup jelas
Angka 10
Pasal 16
Cukup jelas
Angka 11
Pasal 17
Cukup jelas
Angka 12
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 5
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan “sakit jasmani atau
rohani terus-menerus” yaitu sakit yang
menyebabkan yang bersangkutan ternyata
tidak mampu lagi melakukan tugas
kewajibannya dengan baik.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tidak cakap” yaitu
misalnya yang bersangkutan banyak melaku
kan kesalahan besar dalam menjalankan
tugasnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tindak pidana
kejahatan” yaitu tindak pidana yang ancaman
pidananya paling singkat 1 (satu) tahun.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan
tercela” yaitu bila hakim yang bersang
kutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya
baik di dalam maupun di luar pengadilan
merendahkan martabat hakim.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tugas pekerjaannya”
yaitu semua tugas yang dibebankan kepada
yang bersangkutan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf b
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat
alasan dipidana karena melakukan tindakan
pidana kejahatan, yang bersangkutan tidak diberi
kesempatan untuk membela diri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 14
Pasal 20
Cukup jelas
Angka 15
Pasal 21
Cukup jelas
Angka 16
Pasal 25
Cukup jelas
Angka 17
Pasal 27
Cukup jelas
Angka 18
Pasal 28
Cukup jelas
Angka 19
Pasal 29
Cukup jelas
Angka 20
Pasal 30
Cukup Jelas
Angka 22
Pasal 32
Cukup jelas
Angka 23
Pasal 33
Cukup jelas
Angka 24
Pasal 34
Cukup jelas
Angka 25
Pasal 35
Ketentuan ini berlaku juga bagi wakil panitera, panitera
muda, dan panitera pengganti
Angka 26
Pasal 36
Cukup jelas
Angka 27
Pasal 37
Cukup jelas
Angka 28
Pasal 39
Cukup jelas
Angka 29
Pasal 40
Cukup jelas
Angka 30
Pasal 41
Cukup jelas
Angka 21
Pasal 31
Cukup jelas
Angka 32
Pasal 44
Cukup jelas
Angka 33
Pasal 45
Cukup jelas
Angka 34 *
Pasal 46
Cukup jelas
Angka 35
Pasal 47
Cukup jelas
Angka 36
Pasal 48
Cukup jelas
Angka 37
Pasal 49
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang
perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi
syari’ah lainnya.
Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang
beragama Islam” yaitu termasuk orang atau badan
hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal
yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai
dengan ketentuan Pasal ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perkawinan” yaitu hal-
hal yang diatur dalam atau berdasar undang-
Angka 31
Pasal 42
Cukup jelas
undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang
yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga
dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat
Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan
istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama;
11. pengusaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak
mematuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya peng
hidupan oleh suami kepada bekas istri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang
anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang
tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh
pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut;
18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang
anak yang belum cukup umur 18 (delapan
belas) tahun yang ditinggal kedua orang
tuanya;
349
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas
harta benda anak yang ada dibawah
kekuasaannya;
20. penetapan asal-usul seorang anak dan
penetapan pengangkatan anak berdasar
hukum Islam;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian
keterangan untuk melakukan perkawinan
campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang
terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalan
kan menurut peraturan yang lain.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “waris” yaitu penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, melaksanakan pem
bagian harta peninggalan itu , serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “wasiat” yaitu perbuatan
seseorang Memberi suatu benda atau manfaat
kepada orang lain atau lembaga/badan hukum,
yang berlaku setelah yang memberi itu
meninggal dunia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “hibah” yaitu pemberian
suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang atau badan hukum kepada orang lain
atau badan hukum untuk dimiliki.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “wakaf’ yaitu perbuatan
seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingan guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “zakat” yaitu harta yang
wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan
hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai
dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada
yang berhak menerimanya.
Huruf g
Yang dimaksudkan dengan “infaq” yaitu per
buatan seseorang Memberi sesuatu kepada
orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa
makanan, minuman, mendermakan, Memberi
rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada
orang lain berdasar rasa ikhlas, dan karena
Allah Subhanahu Wata’ala.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “shadaqah” yaitu
perbuatan; seseorang Memberi sesuatu kepada
orang lain atau lembaga/badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan
jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah
Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” yaitu
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
a. bank syari’ah;
b . lembaga keuangan mikro syari ’ ah;
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka
menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j . dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Angka 38
Pasal 50
A yat(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini memberi wewenang kepada
pengadilan agama untuk sekaligus memutuskan
sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait
dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49
bila subjek sengketa antara orang-orang yang
beragama islam.
Hal ini menghindari upaya memperlambat atau
mengulur waktu penyelesaian sengketa karena
alasan adanya sengketa milik atau keperdataan
lainnya itu sering dibuat oleh pihak yang
merasa dirugikan dengan adanya gugatan di
pengadilan agama.
Sebaliknya bila subjek yang mengajukan
sengketa hak milk atau keperdataan lain itu
bukan yang menjadi subjek bersengketa di
pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama
if»L ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang
r diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum.
Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika
pihak yang berkeratan telah mengajukan bukti
kepengadilan agama bahwa telah didaftarkan
gugatan di pengadilan negeri terhadap objek
sengketa yang sama dengan sengketa di pengadilan
agama.
Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek
dan tidak terkait dengan objek sengketa yang
diajukan keberatannya, pengadilan agama tidak
perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek
sengketa yang tidak terkait dimaksud.
Angka 39
Pasal 52A
Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri
Agama untuk Memberi penetapan (itsbal) terhadap
kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan
nilai bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan
dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka
Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara
nasional untuk penetapan Ramadhan dan 1 (satu)
Syawal.
Pengadilan agama dapat Memberi keterangan atau
nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan
penentuan waktu shalat.
Angka 40
Pasal 90
Cukup jelas
Angka 41
Pasal 105
Cukup jelas
Angka 42
Pasal 106A
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita NOMOR 4611
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 21 TAHUN 2008
TENTANG
PERBANKAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
Menimbang: a. bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan nasional
negara kita untuk mencapai terciptanya warga adil
dan makmur berdasar demokrasi ekonomi,
dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan
pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan
kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah;
b. bahwa kebutuhan warga negara kita akan jasa-jasa
perbankan syariah semakin meningkat;
c. bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan
dibandingkan dengan perbankan konvensional;
d. bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik
sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu
undang-undang tersendiri;
e. bahwa berdasar pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu membentuk Undang-Undang tentang Perbankan
Syariah;
Mengingat: 1. Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik negara kita
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik negara kita Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik negara kita Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik negara kita Nomor 3790);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
negara kita (Lembaran Negara Republik negara kita
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik negara kita Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik negara kita Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
negara kita Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara
Republik negara kita Tahun 2004 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita
Nomor 4420);
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
negara kita Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik negara kita Nomor 4756);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK negara kita
dan
PRESIDEN REPUBLIK negara kita
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERBANKAN
SYARIAH.
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perbankan Syariah yaitu segala sesuatu yang menyangkut tentang
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.
2. Bank yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari warga
dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada warga
dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat.
3. Bank negara kita yaitu Bank Sentral Republik negara kita sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita
Tahun 1945.
4. Bank Konvensional yaitu Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
secara konvensional dan berdasar jenisnya terdiri atas Bank Umum
Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat.
5. Bank Umum Konvensional yaitu Bank Konvensional yang dalam
kegiatannya Memberi jasa dalam lalu lintas pembayaran.
6. Bank Perkreditan Rakyat yaitu Bank Konvensional yang dalam
kegiatannya tidak Memberi jasa dalam lalu lintas pembayaran.
7. Bank Syariah yaitu Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasar Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
8. Bank Umum Syariah yaitu Bank Syariah yang dalam kegiatannya
Memberi jasa dalam lalu lintas pembayaran.
9. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yaitu Bank Syariah yang dalam
kegiatannya tidak Memberi jasa dalam lalu lintas pembayaran.
10. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, yaitu unit kerja
dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasar Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu
Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari
kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
11. Kantor Cabang yaitu kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung
jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat
tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi kantor cabang itu
melakukan usahanya.
12. Prinsip Syariah yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasar fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
13. Akad yaitu kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan
pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing
pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
14. Rahasia Bank yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpananannya serta
Nasabah Investor dan Investasinya.
15. Pihak Terafiliasi yaitu :
a. komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, dan karyawan Bank
Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS;
b. pihak yang Memberi jasanya kepada Bank Syariah atau UUS,
antara lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai, dan
konsultan hukum; dan/atau
c. pihak yang menurut penilaian Bank negara kita turut serta
memengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung
maupun tidak langsung, antara lain pengendali bank, pemegang
saham dan keluarganya, keluarga komisaris, dan keluarga direksi.
16. Nasabah yaitu pihak yang memakai jasa Bank Syariah dan/atau
UUS.
17. Nasabah Penyimpan yaitu Nasabah yang menempatkan dananya di
Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Simpanan berdasar Akad
antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
18. Nasabah Investor yaitu Nasabah yang menempatkan dananya di Bank
Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasar Akad antara
Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
19. Nasabah Penerima Fasilitas yaitu Nasabah yang memperoleh fasilitas
dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasar Prinsip Syariah.
20. Simpanan yaitu dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank
Syariah dan/atau UUS berdasar Akad wadi’ah atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
358
21. Tabungan yaitu Simpanan berdasar Akad w a d i ’a h atau Investasi
dana berdasar Akad m u d h a r a b a h atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi
tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
22. Deposito yaitu Investasi dana berdasar Akad m u d h a r a b a h atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasar
Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS.
23. Giro yaitu Simpanan berdasar Akad w a d i ’a h atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan memakai cek, bilyet giro, sarana
perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.
24. Investasi yaitu dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank
Syariah dan/atau UUS berdasar Akad m u d h a r a b a h atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk
Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
25. Pembiayaan yaitu penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk m u d h a r a b a h dan m u s y a r a k a h ;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk i j a r a h m u n t a h i y a b i t t a m l i k ,
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang m u r a b a h a h , s a l a m , dan
i s t i s h n a
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang q a r d h \ dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa
berdasar persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau
UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau
diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana itu setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
26. Agunan yaitu jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun
benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada
Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban
Nasabah Penerima Fasilitas.
359
27. Penitipan yaitu penyimpanan harta berdasar Akad antara Bank
Umum Syariah atau UUS dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum
Syariah atau UUS yang bersangkutan tidak memiliki hak
kepemilikan atas harta itu .
28. Wali Amanat yaitu Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan
pemegang surat berharga berdasar Akad w a k a l a h antara Bank
Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga
itu .
29. Penggabungan yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank
atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada
yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan
diri beralih karena hukum kepada Bank yang menerima penggabungan
dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan diri
berakhir karena hukum.
30. Peleburan yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank atau
lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank baru
yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank yang
meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan diri
berakhir karena hukum.
31. Pengambilalihan yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan
hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank
yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank itu .
32. Pemisahan yaitu pemisahan usaha dari satu- Bank menjadi dua badan
usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BABU
ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
Pasal 2
Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip
Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan
kesejahteraan rakyat.
360
Pasal 4
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan
menyalurkan dana warga .
(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk
lembaga b a i t u l m a l , yaitu menerima dana yang berasal dari zakat,
infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya
kepada organisasi pengelola zakat.
(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal
dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (n a z h i r )
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (w a k t f ).
(4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR,
DAN KEPEMILIKAN
Bagian Kesatu
Perizinan
Pasal 5
(1) Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau
UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank
Syariah atau UUS dari Bank negara kita .
(2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi
persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
a. susunan organisasi dan kepengurusan;
b. permodalan;
c. kepemilikan;
d. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
e. kelayakan usaha.
(3) Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bank negara kita .
(4) Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata “syariah” pada
penulisan nama banknya.
361
(5) Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas
frase “Unit Usaha Syariah” setelah nama Bank pada kantor UUS yang
bersangkutan.
(6) Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya
berdasar Prinsip Syariah dengan izin Bank negara kita .
(7) Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum
Konvensional.
(8) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank
Perkreditan Rakyat.
(9) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha
berdasar Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank
dengan izin Bank negara kita .
Pasal 6
(1) Pembukaan Kantor Cabang Bank Syariah dan UUS hanya dapat
dilakukan dengan izin Bank negara kita .
(2) Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenisjenis kantor
lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS hanya dapat dilakukan dengan izin
Bank negara kita .
(3) Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan
hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank
negara kita .
(4) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka
Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar
negeri.
Bagian Kedua
Bentuk Badan Hukum
Pasal 7 '
Bentuk badan hukum Bank Syariah yaitu perseroan terbatas.
362
Bagian Ketiga
Anggaran Dasar
Pasal 8
Di dalam anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi persyaratan
anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan memuat pula ketentuan :
a. pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan
persetujuan Bank negara kita ;
b. Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas
manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan
pertanggungjawaban tahunan,' penunjukkan dan biaya jasa akuntan
publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam
Peraturan Bank negara kita .
Bagian Keempat
Pendirian dan Kepemilikan Bank Syariah
Pasal 9
(1) Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh :
a. warga negara negara kita dan/atau badan hukum negara kita ;
b: warga negara negara kita dan/atau badan hukum negara kita dengan
warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan;
atau
c. pemerintah daerah.
(2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau
dimiliki o leh :
a. warga negara negara kita dan/atau badan hukum negara kita yang
seluruh pemiliknya warga negara negara kita ;
b. pemerintah daerah; atau
c. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b.
(3) Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara
asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank
negara kita .
363
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran
dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank
negara kita .
Pasal 11
Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah
ditetapkan dalam Peraturan Bank negara kita .
Pasal 12
Saham Bank Syariah hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas
nama.
Pasal 13
Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar
modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pasal 14
(1) Warga negara negara kita , warga negara asing, badan hukum negara kita ,
atau badan hukum asing dapat memiliki atau membeli saham Bank
Umum Syariah secara langsung atau melalui bursa efek.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Perubahan kepemilikan Bank Syariah wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16
(1) UUS dapat menjadi Bank Umum Syariah tersendiri setelah mendapat
izin dari Bank negara kita .
(2) Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank negara kita .
364
Pasal 17
(1) Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah wajib
terlebih dahulu mendapat izin dari Bank negara kita .
(2) Dalam hal teijadi Penggabungan atau Peleburan Bank Syariah dengan
Bank lainnya, Bank hasil Penggabungan atau Peleburan itu wajib
menjadi Bank Syariah.
(3) Ketentuan mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Bank Syariah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB IV
JENIS DAN KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN
DANA, DAN LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS
Bagian Kesatu
Jenis dan Kegiatan Usaha
Pasal 18
Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah.
Pasal 19
(1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasar Akad w a d i ’a h atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasar Akad m u d h a r a b a h atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasar Akad
m u d h a r a b a h , Akad m u s y a r a k a h , atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasar Akad m u r a b a h a h , Akad
s a l a m , Akad i s t i s h n a ’, atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
365
e. menyalurkan Pembiayaan berdasar Akad q a r d h atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kepada Nasabah berdasar Akad ijarah dan/atau sewa
beli dalam bentuk i j a r a h m u n t a h i y a b i t t a m l i k atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasar Akad h a w a l a h
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
. h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan
berdasar Prinsip Syariah;
i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat
berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata
berdasar Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad i j a r a h ,
m u s y a r a k a h , m u d h a r a b a h , m u r a b a h a h , k a f a l a h , atau h a w a l a h ' ,
j. membeli surat berharga berdasar Prinsip Syariah yang
diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank negara kita ;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak
ketiga berdasar Prinsip Syariah;
l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasar
suatu Akad yang berdasar Prinsip Syariah;
m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasar Prinsip Syariah;
n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah berdasar Prinsip Syariah;
o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasar Akad
w a k a l a h ;
p. Memberi fasilitas l e t t e r o f c r e d i t atau bank garansi berdasar
Prinsip Syariah; dan
q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang
perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kegiatan usaha UUS meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasar Akad w a d i ’a h atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
366
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasar Akad m u d h a r a b a h atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasar Akad
m u d h a r a b a h , Akad m u s y a r a k a h , atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasar Akad m u r a b a h a h , Akad
s a l a m , Akad i s t i s h n a ’, atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasar Akad q a r d h atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kepada Nasabah berdasar Akad ijarah dan/atau sewa
beli dalam bentuk i j a r a h m u n t a h i y a b i t t a m l i k atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasar Akad h a w a l a h
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan
berdasar Prinsip Syariah;
i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan
atas dasar transaksi nyata berdasar Prinsip Syariah, antara lain,
seperti Akad i j a r a h , m u s y a r a k a h , m u d h a r a b a h , m u r a b a h a h ,
k a f a l a h , atau h a w a l a h ' ,
j. membeli surat berharga berdasar Prinsip Syariah yang
diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank negara kita ;
k. menerima pembayaran dari 'tagihan atas surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak
ketiga berdasar Prinsip Syariah;
l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasar Prinsip Syariah;
m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah berdasar Prinsip Syariah;
n. Memberi fasilitas l e t t e r o f c r e d i t atau bank garansi berdasar
Prinsip Syariah; dan
o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang
perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan
367
dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat pula :
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasar Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah
atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha
berdasar Prinsip Syariah;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi
akibat kegagalan Pembiayaan berdasar Prinsip Syariah, dengan
syarat harus menarik kembali penyertaannya;
d. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasar
Prinsip Syariah;
e. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal;
f. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasar
Prinsip Syariah dengan memakai sarana elektronik;
g. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga
jangka pendek berdasar Prinsip Syariah, baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui pasar uang;
h. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga
jangka panjang berdasar Prinsip Syariah, baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan
i. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum
Syariah lainnya yang berdasar Prinsip Syariah.
(2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2), UUS dapat pula :
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasar Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi
akibat kegagalan Pembiayaan berdasar Prinsip Syariah, dengan
syarat harus menarik kembali penyertaannya;
368
d. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasar
Prinsip Syariah dengan memakai sarana elektronik;
e. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga
jangka pendek berdasar Prinsip Syariah baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui pasar uang; dan
f. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum
Syariah lainnya yang berdasar Prinsip Syariah.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank negara kita dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dari warga dalam bentuk:
1. Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu
berdasar Akad w a d i ’a h atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah; dan
2. Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu berdasar Akad m u d h a r a b a h
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menyalurkan dana kepada warga dalam bentuk :
1. Pembiayaan bagi hasil berdasar Akad m u d h a r a b a h atau
m u s y a r a k a h ;
2. Pembiayaan berdasar Akad m u r a b a h a h , s a l a m , atau i s t i s h n a ';
3. Pembiayaan berdasar Akad q a r d h ;
4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada Nasabah berdasar Akad ijarah atau sewa beli dalam
bentuk i j a r a h m u n t a h i y a b i t t a m l i k ; dan
5. pengambilalihan utang berdasar Akad hawalah;
c. menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan ber
dasarkan Akad w a d i ’a h atau Investasi berdasar Akad m u d h a r a b a h
dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional,
dan UUS; dan
369
e. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah
lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasar per