kan Allah yang akan
memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini yaitu suatu kesalahan dalam
memahami takdir.
Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-
Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil
sebab dan melarang kita bermalas-malasan. jika kita telah mengambil
sebab, namun kita mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka kita tidak
boleh berputus asa dan bersedih sebab hal ini sudah menjadi takdir dan
ketentuan Allah. Oleh sebab itu, Nabi bersabda, “Bersemangatlah dalam
hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah
malas. jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya
aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, namun katakanlah:
‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan
Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya) sebab ucapan’seandainya’ akan
membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)
Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah yaitu
hati menjadi tenang dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini.
Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu yaitu takdir Allah, maka
dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan tidak mungkin seseorang pun lari
darinya.
Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya,
“Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman
kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui
bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa
saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah
SAW. bersabda, “Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan
tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.”. Maka jika
seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi
segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan
orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang
tentu akan merasa sedih dan gelisah dalam menghadapi musibah.
A. Sifat Tuhan Menurut Aliran Teologi Islam
Al-Asy’ari berpandangan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat
seperti ilmu, hayat, sama’ dan basr. Sifat-sifat ini bukanlah zat-Nya.
Menurutnya Allah memiliki ilmu sebab alam yang diciptakan demikian
teratur tidak tercipta kecuali diciptakan oleh Tuhan yang memiliki
qudrat, hayat, dan sebagainya.1 Dalam memperkuat pendapatnya itu ia
mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya:
ۖ ۦهِمِلۡعِِب ۥهَُلزَنأَا
“Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya”. (QS. 4:166),
ۚ ۦهِمِلۡعِِب �َّلِإا عُضَتَ �لَوَ ٰىثَنأُا نۡمِ لُمِحۡتَ امَوَ ۚ
“Dan tidak seorang perempuan pun mengandung dan tidak mengandung
dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan pengetahuannya”. (QS.
35: 11)
Menurut al-Asy’ari, ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah
mengetahui dengan ilmu. Oleh sebab itu, mustahil ilmu Allah itu zat-
Nya. Jika Allah mengetahui dengan zat-Nya, maka zat-Nya itu merupakan
pengetahuan. Mustahil al-ilm (pengetahuan) merupakan alim (yang
mengetahui), atau zat Allah diartikan sebagai sifat-sifat. Oleh sebab
mustahil Allah merupakan pengetahuan, maka mustahil pula Allah
mengetahui dengan zat-Nya sendiri. Dengan demikian, menurut al-Asy’ari
Allah mengetahui dengan ilmu, ilmu-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian
pula dengan sifat-sifat lainnya seperti hayat, qudrat, sama’, besar, dan semua
sifat-sifat-Nya.2
Pendapat al-Asy’ari di atas berbeda dengan pendapat kaum Mu’tazilah
yang mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan sebagai zat-Nya sebagaimana
pendapat Abu al-Huzail, bahwa Allah mengetahui dengan ilmu dan ilmu-
Nya yaitu zat-Nya. Ia berkuasa dengan qudrat, dan qudratnya yaitu zat-
Nya. Allah hidup dengan hayat dan hayat-Nya yaitu zat-Nya.3
Bagi al-Asy’ari, sifat-sifat Tuhan qaimat bin zatih (berdiri sendiri).4
Sementara bagi Abu al-Huzail sifat-sifat ini yaitu zat-Nya bukan suatu
yang berdiri sendiri di belakang zat-Nya. Sesuai dengan pandangannya, al-
Asy’ari selanjutnya mengatakan, bahwa Allah memiliki wajah, tangan
dan mata yang tidak akan hancur,5 sebagaimana difirmankan dalam ayat-
ayat berikut:
ۚ ۥهُهَجۡوَ �َّلِإا كٌِلاهَ ءٍىۡشَ ُّلُك
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah” (QS. 28: 88).
مِارَكۡ ِإ�لۡٱوَ لِٰـلَجَلۡٱ وذُ كَِّبرَ هُجۡوَ ٰىقَبۡيَوَ
“Dan tetap kekal zat Tuhan yang memiliki kebesaran dan
kemuliaan”(QS. 55: 27).
Pendapat al-Asy’ari di atas berbeda dengan pandangan kaum Jahimiyah
(pengikut Jahm ibn Safwan) dan kaum Mu’tazilah sebab dua golongan yang
disebut belakangan menolak untuk menetapkan Allah memiliki wajah,
pendengaran, penglihatan dan mata. Menurut mereka Allah tidak dapat
disifati dengan sifat-sifat yang ada pada ciptaan-Nya sebab demikian
merupakan tasybi (penggambaran).6 Oleh sebab itu mereka mengartikan
kata yad sebagai ada pada kutipan ayat di atas dengan al-ni’mat dan al-
qudrat bukan dengan tangan. Al-Asy’ari menolak pendapat yang demikian
sebab menurutnya mengartikan yad dengan al-ni’mat tidak sesuai dengan
bahasa Arab maupun dengan ijma’ kaum Muslimin.7
Di samping itu, mengartikan yad dengan qudrat kontradiksi dengan
paham Mu’tazilah sendiri yang tidak mau menetapkan Tuhan memiliki
satu qudrat sekalipun apalagi dua qudrat. Demikian pula menurut al-Asy’ari
jika kata biyadayya dalam ayat ini di atas (QS. 38: 75) diartikan dengan
al-qudrat berarti tidak ada lagi al-Maziyyat (keistimewaan) Adam atas Iblis,
sedangkan Allah bermaksud mengistimewakan Adam, bukan Iblis, tatkala
ia menciptakannya dengan tangannya. jika Allah menciptakan Iblis
seperti menciptakan Adam berarti ia mengistimewakan Adam. Selanjutnya
al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mengistimewakan Adam dengan
mencela Iblis atas kesombongannya yang tidak mau sujud kepada Adam.8
Selanjutnya dalam memperkuat pendapatnya di atas, al-Asy’ari
mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab bukan selain
bahasa Arab. Berkaitan dengan itu ia mengemukakan beberapa ayat sebagai
argumen untuk memperkuat pendapatnya, yaitu:
هٖمِوۡقَ نِاسَلِِب �َّلِا لٍوۡسَُّر نۡمِ انَلۡسَرَۡا اۤمَوَ
“Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa
kaumnya”. (QS. 14: 4).
نٌيۡبِ ُّم ٌّىِبرَعَ نٌاسَِل اذَهٰ َّو ٌّىمِجَعَۡا هِيَۡلِا نَوۡدُحِلۡيُ ىۡذَِّلا نُاسَِل
“Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad
belajar kepadanya bahasa ‘Ajam sedang al-Qur’an yaitu dalam bahasa
Arab yang terang”. (QS. 16: 103).9
Berkaitan dengan masalah di atas, al-Baqillani mengatakan Allah
memiliki wajah dan tangan sebagaimana disebutkan dalam berbagai
ayat al-Qur’an, seperti ”Dan kekal zat Tuhanmu yang memiliki kebesaran
dan kemuliaan.”(QS. 55: 27), ”Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada
yang telah kuciptakan dengan kedua tanganku.” (QS. 38: 75). Al-Baqillani
selanjutnya mengatakan, Allah memiliki wajah dan dua tangan. Ia
menolak pendapat kaum Mu’tazilah yang mengartikan khalaqtu biyadayya
dengan “Allah menciptakan dengan qudrat-Nya”. Kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa menurut bahasa, al-yad bisa berarti al-ni’mat, bisa al-
qudrat. Mereka memperkuat pendapat mereka itu dengan mengemukakan
ayat ”Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka, yaitu sebagian
apa yang telah kami ciptakan.” (QS. 36: 71).
Al-Baqillani mengatakan, pendapat Mu’tazilah di atas batal sebab
perkataan biyadayya yaitu menetapkan dua tangan dan kedua-Nya sifat
bagi Allah. Kalau yang dimaksud yaitu keduanya yaitu qudrat, mestilah
bagi-Nya ada dua qudrat. Kaum Mu’tazilah sendiri tidak mau mengatakan
bahwa bagi Allah ada satu qudrat, apalagi menetapkan dua qudrat. Menurut
al-Baqillani, kaum muslimin sependapat bahwa Allah tidak memiliki dua
qudrat. Dengan demikian pendapat kaum Mu’tazilah ini tidak dapat
dipertahankan. Demikian pula Allah tidak menciptakan Adam dengan dua
nikmat sebab nikmat-Nya terhadap Adam dan selainnya tidak terhitung.
Tegasnya al-Baqillani berpandangan, bahwa kata al-yad tidak digunakan
kecuali pada tangan, yaitu sifat bagi zat.10
Di samping itu menurut al-Baqillani, wajh dan yad dapat dipahami
sebagai sifat, tidak mesti sebagai anggota badan. Sebagaimana hayy, alim,
qadir dapat dipahami tidak mesti dengan jism. Berkaitan dengan itu ia tidak
menyebut sifat mesti merupakan jauhar atau jism. Sehubungan dengan itu
pula ia tidak menyebut sifat sebagai qa’im bin zatih sebab sesuatu yang
berdiri sendiri diluar zat yaitu lain dari zat itu sendiri. Selanjutnya ia
berpandangan ‘ilm, hayat, kalam dan semua sifat-sifat Allah yaitu sifat
bagi zat-Nya, bukan arad, hal, jenis, kejadian, perubahan, atau sesuatu yang
membutuhkan perubahan.
Al-Baqillani membagi wujud dengan dua bagian yaitu: 1) Wujud
yang kekal yang senantiasa qadim, yaitu Allah dan sifat-sifat zat-Nya yang
ada pada zat-Nya dan senantiasa menyifati-Nya. 2) Wujud baharu, yang
muhdats yaitu wujud yang pada mulanya tidak ada kemudian ada. Wujud
baharu itu terbagi tiga, yaitu: 1) Jism, 2) Jauhar, 3) ’Arad. Secara etimologi
jism yaitu sesuatu yang tersusun (huwa al-mu’allafal murakkab), seperti
bentuk badan. Orang yang berbadan besar atau gemuk disebut rajulun
jasim. Jauhar yaitu sesuatu yang bertempat. ’Arad yaitu sesuatu yang
tampak pada jauhar yang tidak tetap, misalnya penyakit pusing kepala. Jika
pusingnya hilang penyakitnya juga hilang. Dalam salah satu ayat al-Qur’an
disebutkan: ”Kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedangkan
Allah menghendaki ‘pahala’ akhirat.” (QS. 8: 67). “Inilah awan yang akan
menurunkan hujan kepada kami.”(QS. 46: 24). Lafas ‘arad dalam ayat-ayat
ini menunjukkan pada sesuatu yang tidak tetap. 12
Selanjutnya ia mengatakan, bahwa alam ini yaitu baharu sebab
terdiri dari jism, jauhar, ‘arad, yang bergerak sesudah diam, terpisah sesudah
berkumpul, berubah keadaannya dan sifat-sifatnya.13 Dengan kata lain,
alam ini baharu sebab mengalami perubahan dan satu keadaan yang lain,
dari satu sifat kepada sifat yang lain, sebagaimana pernyataan Ibrahim yang
mengisyaratkan di dalam al-Qur’an.14
ُّبحِأُا �لَ لَاقَ لَفَأَا ا َّملَفَ ۖ يِّبرَ اذَ ٰهَ لَاقَ ۖ ابًكَوْكَ ىٰأَارَ لُيَّْللا هِيْلَعَ َّنجَ ا َّملَفَ
مَْل نْئَِل لَاقَ لَفَأَا ا َّملَفَ ۖيِّبرَ اذَ ٰهَ لَاقَ اغًزِابَ رَمَقَْلا ىأَارَ ا َّملَفَ )٧٦( نَيلِفِآ �لْا
ةًغَزِابَ سَمْ َّشلا ىأَارَ ا َّملَفَ )٧٧( نَيِّلا َّضلا مِوْقَْلا نَمِ َّنَنوُكأَ �لَ يِّبرَ يِندِهْيَ
نَوُكرِشُْت ا َّممِ ءٌيرِبَ يِّنِإا مِوْقَ ايَ لَاقَ تْلَفَأَا ا َّملَفَ ۖ رُبَكْأَا اذَ ٰهَ يِّبرَ اذَ ٰهَ لَاقَ
اَنأَا امَوَ ۖافًينِحَ ضَرْأَ �لْاوَ تِاوَامَ َّسلا رَطَفَ يذَِّلِل يَهِجْوَ تُهْ َّجوَ يِّنِإا )٧٨(
)٧٩( نَيكِرِشْمُْلا نَمِ
“saat malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang lalu
berkata ‘inilah Tuhanku’, namun tatkala bintang itu tenggelam dia
berkata, saya tidak suka yang tenggelam”. “Kemudian tatkala melihat
bulan terbit, dia berkata “inilah Tuhanku?” namun sesudah bulan itu
terbenam, dia berkata ”Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk, kepadaku pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”.
“Kemudian tatkala dia melihat Matahari terbit, dia berkata: ”inilah
Tuhanku, ini yang lebih besar”, Maka tatkala matahari itu terbenam
dia berkata “Hai kaumku, sesungguhnya aku terlepas diri dari apa yang
kamu persekutukan”. “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dan cenderung kepada
agama yang besar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.” (QS. 6: 76-79).
Alam yaitu ciptaan, maka mesti ada pencipta yang menciptakannya,
sebagaimana ada tulisan mesti ada penulisnya. Ada lukisan mesti ada
pelukis yang melukisnya. Ada bangunan mesti ada pembangun yang
membangunnya. Dengan demikian, adanya alam ini mesti ada yang
menciptakannya. Kejadian di alam ini sebagian ada yang lebih dulu,
sebagian lagi belakangan, dan itu terjadi bukan dengan sendirinya, sebab
jika terjadi dengan sendirinya berarti qadim. Kejadian-kejadian di alam ini
yaitu sebab kehendak Allah swt. Di alam ini ada benda yang bentuknya
persegi empat, lingkaran, sebagian manusia ada yang lebih tinggi dari
sebagian lainnya, ada yang cantik dan ada yang buruk. Semua itu terjadi
sendirinya. Panjang, pendek dan baik buruk terjadi sebab iradat Allah.15
Allah tidak memiliki persamaan dengan alam, baik jenis maupun
bentuknya, sebab jika ia memiliki persamaan dengan alam berarti Ia
baharu atau alam qadim seperti Dia. Hakikat persamaan jenis yaitu yang
satu dapat mewakili yang lainnya. Allah tidak dapat disamakan dengan alam
yang memiliki surat (bentuk) dan komposisi. Jika Allah surat (bentuk)
maka ia membutuhkan musawwir (yang membentuk bentuknya), sebab
surat (bentuk) tidak ada kecuali dari musawwir. Allah mengisyaratkan
dalam firman-Nya: ”Apakah Allah yang menciptakan semua itu sama dengan
yang tidak dapat menciptakan apa-apa?” (QS. 16: 17).
Oleh sebab itu semua yang maujud selain Allah yaitu baharu. Pada
mulanya hanya Allah yang maujud, belum ada sesuatu selain Dia. Kemudian
ia menciptakan sesuatu. Berdasarkan itu, maka tiap-tiap yang maujud selain
Dia yaitu baharu. Pada mulanya manusia masih bodoh, kemudian Allah
menyempurnakan akalnya. Manusia tidak mampu menciptakan sesuatu
pun.
Allah dikatakan hayy, qadim, dan alim sebab ia hidup, berkuasa, dan
mengetahui. Begitu pula ia dikatakan fa’il sebab ia berbuat, murid sebab
ia berkehendak. Oleh sebab ada perbuatan dan kehendak-Nya mestilah ia
fa’il murid. Allah tidak dikatakan fa’il murid jika tidak ada perbuatan
dan kehendak-Nya. Dengan demikian, mestilah Allah hidup memiliki
ilm, qudrat, iradat, kalam, dan sama’, supaya ia dikatakan memiliki
sifat-sifat seperti itu. Jika tidak, maka Ia tidak hayy, alim, qadir, murid,
mutakallim, kalam, sami’, dan basir. Sifat-sifat-Nya, seperti ilm dan qudrat
juga dapat diketahui melalui perbuatan-Nya yang menunjukkan bahwa ia
mengetahui dan berkuasa, tidak bodoh dan tidak lemah. Perbuatan terjadi
sebab ada pembuat yang mengetahui dan mampu. Sifat-sifat seperti alim
dan qadir bukan merupakan tambahan terhadap zat-Nya. Oleh sebab itu
dalam pandangannya sifat-sifat Allah bukan merupakan sesuatu yang lain
dari zat-Nya.
Al-Baqillani mengatakan, bahwa sifat bukanlah hal namun sesuatu yang
maujud.19 Ia menolak mengatakan sifat Allah hal tampaknya yaitu jika
yang dimaksud dengan hal itu sebagai suatu yang berubah-ubah. Namun
sebagaimana disebut oleh al-Syahrastani ia setuju jika hal di gunakan untuk
menyebut dan menetapkan sifat Allah seperti pandangan Abu Hasyim
dari kalangan Mu’tazilah.20 Tampaknya setuju sebab umumnya kaum
Mu’tazilah itu begitu. Abu Hasyim menyebut sifat sebagai hal bertujuan
untuk menetapkan keesaan dan keqadiman Allah.
Al-Baqillani mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan
adanya sifat-sifat Allah seperti mengetahui dan berkuasa. “Allah
menurunkannya dengan ilmu-Nya”. (QS.4: 166), “Dan tidak ada
seorang perempuan pun mengandung dan melahirkan melainkan dengan
sepengetahuan-Nya”. (QS. 25: 11). “Dan apakah itu mereka tidak
memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka yaitu lebih besar
kekuatannya dari mereka”. (QS. 41: 15)
Selanjutnya al-Baqillani mengatakan bahwa sifat ada pada zat.
Sebagai contoh gerak dan warna, keduanya ditemukan pada zat yang
bergerak dan berwarna. Sifat yaitu sesuatu yang tampak pada perbuatan,
seperti corak atau bentuk. Ada yang hitam, putih, panjang atau pendek. Sifat
juga bisa merupakan pekerjaan, seperti katb (penulis). Bisa juga berdasarkan
agama, seperti mukmin atau kafir. Bisa juga berdasarkan kebangsaan,
seperti arabi, ajami, atau hasyimi. Tidak ada perbedaan pendapat diantara
ahli bahasa, bahwa sifat yaitu yang menempel pada nama-nama.21
Allah mengetahui dengan ilmu-Nya, namun ilmu-Nya bukan
merupakan alat bagi-Nya. Ilmu-Nya tidak bergantung pada yang ma’lum
seperti buah dengan pohon atau jasm dengan jism. Allah qadim dan ilmu-
Nya qadim namun keduanya bukanlah dua jenis yang bertentangan dan bukan
dua yang serupa. jika dinyatakan, apakah ilmu Allah itu merupakan
milik-Nya, perbuatan-Nya, keadaan-Nya, atau disandarkan kepada-Nya? Ia
mengatakan, bahwa pengertian ilmu Allah yaitu ilmu bagi-Nya. Ilmu-Nya
bukanlah memiliki arti milik-Nya, perbuatan-Nya atau keadaan-Nya.22
Sifat yaitu sesuatu yang ada pada yang disifati. Sifat-sifat Allah itu
qadim, tidak baharu. jika sifat-Nya baharu, maka termasuk jenis sifat-
sifat makhluk.
B. Nama-Nama Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Al-Baqillani tidak membedakan antara asma’ (nama-nama) Tuhan
dan sifat-sifat-Nya. Dalam al-Qur’an, Allah memiliki beberapa nama.
Menurutnya itu berarti Allah memiliki sifat yang bermacam-macam.
Sebagian mengenai zat-Nya, dan sebagian mengenai perbuatan-Nya. Oleh
sebab itu ada sifat zat, ada sifat af ’al.23
Asma’ Allah terbagi dua, yaitu: 1) Asma yang kembali kepada zat-
Nya, seperti maujud, zat, qadim, wahid dan yang semisalnya. 2) Asma yang
merupakan sifat zat dan sifat perbuatan (fi’l) bagi-Nya. Sifat zat seperti alim,
qadir, dan hayy. Sifat fi’il seperti adil, muhsin, mutafaddil dan muhayy.24
Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan pendapat di atas yaitu
apakah sesuatu yang Esa boleh dan memiliki nama yang banyak? Al-
Baqillani mengatakan, bahwa nama-nama yang banyak itu tidak membuat
zat yang Esa menjadi sesuatu yang baik. Sebagaimana bagi seseorang
ada sifat-sifat yang banyak sedangkan zatnya satu. Demikian pula zat
Allah yang Esa disebut maujud, qadim, dan sebagainya bukan berarti zatnya
terdiri dari beberapa unsur. Sebagaimana seseorang diberi 10 macam nama
yang berbeda, maksudnya yaitu dia sendiri.25
Al-Baqillani berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang memandang al-
ism berasal dari kata wasama-yasimu yang berarti tanda atau al-alamat,
bukan nama, dan memberikan nama kepada Allah merupakan tasmiyat
(penggambaran). Menurutnya, al-ism berasal dari kata sama’, yasmu, yang
berarti nama atau panggilan bagi zat Allah, atau sifat yang berhubungan
dengan zat-Nya. Dengan demikian, ia berpendapat bahwa memberikan
nama atau sifat kepada Allah bukan berarti tasmiyat (penggambaran).
Selanjutnya ia mengatakan, bahwa Allah wahid, artinya tidak ada
Tuhan selain Dia. Tidak ada yang patut disembah selain Dia. Wahid tidak
dalam pengertian bilangan. Allah dikatakan ahad, maksudnya tidak ada
yang menyerupainya dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Dengan kata
lain, tidak ada yang patut dijadikan Tuhan selain Dia, sesuai dengan firman-
Nya:
ۖ ٌدحِا َّو هٌـٰلِا هُّٰللا امََّنِا
“Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa.” (QS. 4: 171),
ۚ اتَدَسَفََل هَُّللٱ �َّلِإا ةٌهَِلاءَ آامَہِيفِ نَاكَ وَۡل
“Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu telah rusak binasa”. (QS. 21: 22).
الًيۡبِسَ شِرۡعَلۡا ىذِ ىٰلِا اوۡغَتَبۡ�َّل اذًِا نَوُۡلوۡقُيَ امَكَ ةٌهَِلٰا ۤهٗعَمَ نَاكَ وَّۡل لُْق
“Katakanlah: Jikalau ada Tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana
yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada
Tuhan yang memiliki ‘arasy”. (QS. 17: 42). 26
Berdasarkan ayat-ayat di atas, al-Baqillani mengatakan bahwa jika
Tuhan itu dua atau lebih akan terjadi perselisihan antara yang satu dan
lainnya sebab perbedaan keinginan diantara mereka. Perbedaan ini
menuntut supaya keinginan masing-masing tidak bisa terlaksana sebab
saling bertentangan satu sama lain. Keinginan salah satunya saja pun tidak
bisa terlaksana sebab mengabaikan yang lain. Jika keinginan masing-masing
tidak terlaksana itu menunjukkan bahwa semuanya lemah. Kelemahan
tidak bisa terjadi pada Tuhan.
Dengan demikian al-Baqillani berpandangan, bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah. Ia Esa dan sifat-sifat-Nya tidak merusak keesaan-Nya. Ia
menyifati diri-Nya sendiri dengan al-hayat sesuai dengan firman-Nya ”Dia
yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya.” (QS. 2 : 225).
Menurutnya perbuatan mustahil terjadi dari yang mati. Allah swt. berbuat
dan menghendaki sesuatu. Oleh sebab itu mestilah Ia hidup.27
Ia berkuasa terhadap semua yang ada, sesuai dengan firman-Nya: ”Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. 5: 120). Oleh sebab itu, Ia mampu
menciptakan segala yang ada dan mengetahui semua yang terjadi. Dalam
ayat yang lain, Allah swt. mengatakan bahwa ”Dia mengetahui apa yang ada
di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka.” (QS. 20: 110). Di
samping itu dikatakan pula bahwa ”Dia mengetahui pandangan mata yang
khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. 40: 19). ”Dan Allah
mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi.” (QS.
3: 29). ”Ketahuilah: Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu
Allah.” (QS.11: 14).
Allah menghendaki semua yang terjadi, sesuai dengan firman-Nya:
”Maha kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. 85: 16). ”Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.” (QS. 2:185). ”Allah menghendaki pahala akhirat untukmu.” (QS.
8: 67). Dalam ayat lain dikatakan ”Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu.” (QS. 4: 28).
Al-Baqillani mengatakan, bahwa Allah menghendaki semua yang
terjadi dapat diterima kekal, berdasarkan keteraturan perbuatannya-Nya
dari segi waktu, tempat dan masa, sehingga perbuatan A terjadi sebelum
perbuatan B. Perbuatan C terjadi sesudah perbuatan B. Perbuatan A terjadi di
suatu tempat, sedangkan perbuatan B terjadi di tempat lain dan seterusnya.
Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, sesuai dengan firman-Nya:
نَوبُتُكۡيَ مۡہِيۡدََل انَُلسُرُوَ ٰىلَبَ ۚ مهُٰٮوَجَۡنوَ مۡهُ َّرسِ عُمَسَۡن �لَ اَّنأَا نَوبُسَحۡيَ مۡأَا
“Apakah mereka mengira bahwa kami tidak mendengar rahasia dan
bisikan-bisikan mereka? Sesungguhnya kami mendengar dan utusan-
utusan Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (QS. 43: 80).
Menurut al-Baqillani lagi, jika ia tidak bersifat mendengar dan melihat
mestilah Ia tuli dan buta. Allah terhindar dari yang demikian.30
Allah Mutakallim (berkata-kata). Perkataan-Nya bukan makhluk dan
tidak muhdats (baharu) sesuai dengan firman-Nya: ”Diantara mereka ada
yang Allah berkata-kata langsung dengan dia.” (QS. 2: 253). ”Dan Allah telah
berkata-kata dengan Musa secara langsung.” (QS. 4: 164). Dalam ayat lain
dikatakan ” Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu.” (QS. 6: 115). Rasulullah
saw dalam hadisnya mengatakan: ”Keutamaan kalam Allah atas kalam-
kalam yang lain seperti keutamaan Allah atas ciptaan-Nya.”
Allah kekal selama-lamanya sesuai dengan firman-Nya: ”Dan tetap
kekal zat Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.” (QS. 55:
27). ”Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah.”(QS. 28: 88). Al-Baqillani
mengatakan, bahwa Allah swt. mengetahui dengan ilmu-Nya yang qadim,
mampu berbuat dengan qudrat-Nya yang qadim berkehendak dengan
iradat-Nya yang qadim, mendengar dengan pendengaran-Nya yang
qadim, melihat dengan penglihatan-Nya yang qadim, berkata-kata dengan
perkataan-Nya yang qadim.
Ilmu-Nya tidak bersifat daruri bukan sebab ia muktasi, sebab yang
demikian yaitu sifat dari ilmu manusia. Qudrat-Nya tidak bersifat istita’at
sebab yang demikian juga merupakan sifat manusia. Penglihatannya tidak
seperti mata manusia. Kalam-Nya tidak dengan anggota tubuh sebab yang
demikian yaitu sifat perkataan manusia. Singkatnya, sifat-sifat-Nya yaitu
qadim, selalu menyifati-Nya, dan senantiasa tidak sama dengan sifat-sifat
makhluk.
Pernyataan di atas didukung oleh beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya
ayat ”Tidak ada satupun yang serupa dengan Dia.” (QS.42:11). Kemudian
ayat ”Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang
pun yang setara dengan Dia.” (QS. 112: 3-4). Zat-Nya tidak seperti zat
manusia, ilmu-Nya juga tidak sama dengan ilmu manusia dan tidak disifati
ilmu manusia. Begitu juga dengan qudrat-Nya tidak sama dengan qudrat
dan iradat manusia. Dengan kata lain, sifat-sifat-Nya tidak sama dengan
sifat-sifat manusia. 32
Tidak dikatakan sifat-sifat-Nya yaitu Dia (la yuqal lahil hiya Huwa)
sebab kalau dikatakan hiya Huwa berarti Ia menciptakan yang seperti diri-
Nya. Oleh sebab itu al-Qur’an tidak disebut khaliq dan juga tidak makhluq,
sebab jika al-Qur’an khaliq berarti Tuhan kedua seperti Allah. Jika al-Qur’an
disebut makhluq, maka mestilah Allah maujud tanpa kalam baru kemudian
ia menciptakan kalam-Nya. Menurut al-Baqillani pandangan seperti itu
salah, sebab sifat-sifat-Nya qadim dengan keqadiman zat-Nya. Sifat zat-
Nya tidak terdiri dari berbagai macam pada zat-Nya yang satu sama lain
berbeda, sebab yang demikian mengandung pengertian bahwa satu dengan
yang lainnya terpisah-pisah oleh masa dan tempat, dan itu mustahil bagi
Allah dan sifat-sifat-Nya.
Al-Baqillani mengatakan, bahwa Allah swt. memarahi, menyukai,
mencintai, membenci, melindungi dan memusuhi. Ia murka terhadap orang
yang dimarahi-Nya. Ia menyukai orang yang diridhai-Nya. Ia mencintai
orang yang disenangi-Nya. Ia melindungi orang yang disenangi. Semua
itu mengandung pengertian, bahwa ia menyukai dan memberikan pahala
kepada orang yang diridhai dan dicintai-Nya. Ia menyiksa orang yang
dimurkai, dibenci, dan dimusuhi-Nya.
Allah swt. bersifat pemarah sesuai dengan firman-Nya ”Barang siapa
yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah
neraka jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah swt. murka kepadanya, dan
mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. 4: 93). ”Dan
sumpah yang kelima: Bahwa laknat Allah atasnya jika suami-suaminya itu
termasuk orang-orang yang benar.” (QS. 24: 9).
Ia bersifat mencintai sebagaimana disebut dalam firman-Nya ”Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.” (QS. 2: 222). Dalam ayat lain disebutkan bahwa ”Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. 5: 54). Disamping
itu Allah mengatakan ”Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. 5: 93).35
Ia bersifat melindungi atau menolong sebagaimana disebutkan dalam
firman-Nya ”Allah yaitu pelindung semua orang-orang yang beriman.”
(QS. 3: 68). ”Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah dan Rasul-Nya.
(QS. 5: 55). Allah swt. bersifat memusuhi sesuai dengan firman-Nya ”Maka
sesungguhnya Allah musnahkan orang-orang kafir.” (QS. 2: 98). Dalam ayat
yang lain Allah mengatakan ”Janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan
musuhmu menjadi teman setia.”(QS. 60: 1). Ia bersifat membenci sesuai
dengan sabda Nabi saw. “Ada tiga macam orang yang dibenci Allah, yaitu
orang yang terpandang yang berzina, fakir, penipu, dan orang kaya yang
aniaya.”
Sebagaimana disebutkan terdahulu, bahwa Allah swt. dikatakan
memberikan pahala kepada orang yang disukai, dicintai, dan dilindungi-
Nya, dan menyiksa orang yang dibenci, dimurkai, dan dimusuhi-Nya sebab
al-qadab dan al-rida tidak terlepas dari dua pengertian, yaitu boleh jadi Allah
ingin memberikan kebaikan dan keburukan saja, atau boleh jadi al-qadab
berarti tidak suka, sedangkan al-rid berarti suka atau senang. Sikap suka dan
tidak suka merupakan sikap makhluk. Oleh sebab itu, pengertian al-qadab
dan al-rida-Nya dan kerugian-Nya memberikan keuntungan kepada orang
yang disenangi-Nya dan kerugian kepada orang yang dimurkai-Nya.37
Berkaitan dengan itu, al-Baqillani mengatakan bahwa jika
yang dimaksud dengan syahwat yaitu iradat-Nya terhadap perbuatan-
perbuatan-Nya, benar sebab Ia berkehendak terhadap semua perbuatan-
Nya. namun jika yang dimaksud dengan syahwat yaitu syauq al-nafs, yaitu
keinginan yang menggebu-gebu terhadap kebaikan dan kesenangan, jelas
merupakan suatu yang mustahil bagi Allah swt.
Al-Baqillani mengatakan bahwa Allah swt. suci dari sifat-sifat yang
baharu seperti berdiri dan duduk, sesuai dengan firman-Nya: ”Tidak ada
sesuatu yang serupa dengan Dia.” (QS. 42: 11). Jika Allah mengatakan
”Tuhan Yang Maha pemurah yang bersemayam di atas ‘arasi.” (QS. 20: 5),
Istawa disini maksudnya tidak sama dengan istawa manusia. Dalam pada
itu, menurut al-Asy’ari bukan merupakan tempat dan kediaman sebab
Allah tidak bertempat.
Berkaitan dengan pandangan di atas, al-Baqillani berpendapat bahwa
orang yang memandang Allah fi sya’i (ada di dalam sesuatu), atau min
syai’(berasal dari sesuatu), atau ala syai’ (di atas sesuatu) telah menjadi
musyrik. Jika Allah di atas sesuatu berarti ia mahmul (sesuatu yang diangkut
atau dibawa). jika Ia ada di dalam sesuatu berarti ia muhdats
(baharu). Allah swt. terlepas dari semua pandangan yang demikian. Ia tidak
bisa digambarkan dalam pikiran. Ia tidak bisa diduga, dekat, rendah, atau
tinggi. Dia yaitu al-awwal, al-akhir, al-dzahir, al-batin, al-qarib, al-ba’i.
Selanjutnya al-Baqillani membedakan antara sifat-sifat zat dan sifat-
sifat af ’ail. Menurut-Nya sifat-sifat zat yaitu sifat-sifat yang senantiasa
mensifati diri-Nya, yaitu al-hayat, al-ilm, al-qudrat, al-sam’, al-besar,
al-kalam, al-iradat, al-baqa’, al-wajh, al-ainan, al-yadan, al-qagab dan
al-rida. Dua sifat yang disebut terakhir itu termasuk al-iradat yang
berkenaan dengan ar-rahmat (kasih sayang), al-sukht (kemarahan), al-itsar
(keberangan), al-masyiat (kehendak) dan pengetahuan-Nya tentang semua
jenis ciptaan seperti makanan, angin, panas, dingin dan sebagainya. Sifat-
sifat af ’al yaitu al-khalaq, al-rizq, al-‘adl, al-ihsan, al-tafaddul, al-in am,
al-tsawab, al-iqab, al-hasyr, al-nasyr. Sifat-sifat itu ada sebelum perbuatan-
Nya. Oleh sebab itulah dalam pandangannya sifat-sifat af ’al Tuhan juga
qadim.
Menurut al-Baqillani Allah tidak memiliki jenis, bentuk dan
tempat, pernyataan bahwa ia berada di atas ‘ars-Nya bukan berarti melekat
atau berdekatan. jika ditanyakan apakah Allah itu? Jika yang dinyatakan
nama-Nya, maka ia yaitu al-Rahman al-Rahim, al-Hayy al-Qayyim. Jika
yang ditanyakan perbuatan-Nya, maka perbuatan-Nya yaitu keadilan,
kebaikan, kenikmatan, langit dan bumi serta apa yang ada di antara
keduanya. Jika yang ditanyakan itu dalil atas wujud-Nya, jawabannya yaitu
semua yang kita lihat dan kita saksikan. Allah qadim sebelum zaman. Ia
yang menciptakan tempat dan zaman. Ia ada sebelum keduanya ada. Wujud
sesuatu yang ditentukan batasnya, seperti satu tahun atau seratus tahun
menunjukkan bahwa ia tidak ada sebelum zaman. Allah swt. mustahil
demikian.
Berdasarkan uraian di atas, tampaknya sifat-sifat Tuhan dalam
pandangan al-Baqillani bukanlah sesuatu yang berada di luar zat-Nya atau
sesuatu yang menempel pada zat-Nya. Sifat disamakannya dengan nama,
sehingga tidak membawa pengertian yang merusak keesaan Tuhan.
Dalam konteks itulah ia dekat dengan pendapat Abu Hasyim dari
kalangan Mu’tazilah yang memandang Tuhan mengetahui dan berkuasa
dengan zat-nya sebab baginya sifat tidak terpisah dari zat. Dengan
demikian pemahamannya tentang sifat-sifat Tuhan tidak lagi seperti
pendapat al-Asy’ari yang mengatakan sebab Allah alim, qadair, murid,
qail maka ia memiliki ‘ilm, qudrat, iradat, dan qaul yang merupakan
sifat-sifat bagi-Nya. Sifat-sifat-Nya qadim dan berdiri sendiri (qa’imat, bi
al-zat). Menurutnya Allah tidak mengetahui kecuali dengan ilmu-Nya.
Demikian pula Allah tidak berkuasa kecuali dengan qudrat-Nya. Ia tidak
menghendaki kecuali dengan iradat-Nya. Pandangan yang demikian
membawa kepada paham ta’addud al-qudama’ sehingga ada beberapa yang
qadim selain Tuhan.
Al-Baqillani memandang sifat-sifat Tuhan yaitu zat-Nya, bukan
sebagai sesuatu yang berdiri sendiri di luar zat-Nya, maka pendapatnya
terhindar dari kesan adanya beberapa yang qadim selain Tuhan. Dengan
demikian dalam masalah sifat-sifat Tuhan, al-Baqillani berbeda dengan al-
Asy’ari dan dekat kepada Mu’tazilah.
A. Kalam Allah Dalam Pemikiran Teologi Islam
Kalam Allah (perkataan Tuhan) ialah apa yang yang diwahyukan
kepada manusia melalui orang-orang pilihan-Nya, yaitu Rasul dan Nabi
berisi peraturan-peraturan untuk kebahagiaan umat manusia, berupa
kepercayaan kepada Allah. Syariat dan akhlak seluruhnya ini dinamai
perkataan Allah (kalam Allah). Baik dinyatakan dalam bahasa Ibrani atau
bahasa Arab dan berbeda-beda caranya
Oleh sebab itu, apakah firman Allah (kalam Allah) itu diciptakan
atau tidak. Kalau firman Allah yaitu sifat, maka ia mesti kekal dan tidak
diciptakan. namun dalam pada itu firman Allah tersusun dari kata-kata,
maka ia harus diciptakan dan tidak bisa kekal
Golongan Mu’tazilah berpendirian bahwa al-Qur’an itu perkataan
Allah (kalam Allah) dan wahyu-Nya yaitu Makhluk.3 Ia yaitu makhluk
(diadakan) dan huruf-hurufnya yang kita tulis dalam mushaf yaitu
makhluk pula. Mereka memisahkan antara al-Qur’an dan sifat kalam yang
ada pada zat Tuhan seperti yang di firmankan-Nya sendiri.
تُمٰلِكَ دَفَنۡـتَ نَۡا لَبۡقَ رُحۡبَلۡا دَفِنَـَل ىِّۡبرَ تِمٰلِكَ ّـِل ادًادَمِ رُحۡبَلۡا نَاكَ وَّۡل لُْق
ادًدَمَ هٖلِثۡمِِب انَئۡجِ وَۡلوَ ىِّۡبرَ
“Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum
habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula).4
Yang dimaksud dengan “kalimat” di sini bukan kata-kata al-Qur’an.
Kalau itu yang dimaksud tentulah tidak memerlukan tinta sebanyak itu.
“Kalimat” di sini harus dipahami menurut ketentuan akal fikiran, yaitu
bermacamnya kehendak Tuhan dan pengetahuan-Nya.
Adapun al-Asy’ari membagi perkataan Tuhan kepada dua bagian,
yaitu:
a. Perkataan yang ada pada zat-Nya (kalam nafsy). Sifat ini yaitu
sifat qadim.
b. Perkataan yang terdiri dari kata-kata dan huruf. Perkataan ini
baru dan makhluk (diadakan).
Dalam bagian kedua ini pendirian al-Asy’ari sama dengan
pendirian aliran Mu’tazilah. Kalau dikatakan kalam itu qadim maka yang
dimaksud yaitu perkataan macam pertama. Kalau dikatakan baru, maka
yang dimaksud perkataan macam kedua.
Menurut kaum Mu’tazilah hakikat kalam atau perkataan yaitu huruf
yang tersusun dan suara yang terputus-putus yang diucapkan dengan
lisan. Oleh sebab itu, orang berbicara atau berkata-kata dinamakan al-
Mutakallim (pembicara). Orang-orang yang tidak mampu berbicara
dinamakan al-a’jam al-abkam (bisu)
Dalam perkembangan selanjutnya, dikalangan Mu’tazilah terjadi
perbedaan pendapat, apakah kalam itu ‘ard atau jism. Sebagian mereka
memandangnya sebagai jism. Sebagian lagi seperti Abu al-Huzail,
Mu’ammar, Ja’far ibn Harbin dan al-Iskafi memandangnya sebagai ‘ard.
Al-Nadzdzam dan para pengikutnya berpendapat bahwa kalam
manusia merupakan ‘ard dan harakat sebab bagi mereka tidak ada ‘ard
kecuali al-harakat, kalam Allah merupakan jism. Oleh sebab itu, mereka
berpandangan bahwa kalam Tuhan itu makhluk sebab jism dan ‘ard
merupakan makhluk yang diciptakan Allah swt., Dialah yang menciptakan
dan menjadikannya. Allah tidak mungkin menciptakan kalam pada zat-
Nya, sebab jika Dia berkata-kata berarti Dia telah menciptakan suara,
yaitu jism dan ‘ard pada zat-Nya. Dengan kata lain, tidak mungkin zat-Nya
menjadi tempat bagi yang baharu.
Alasan lain yang dikemukakan Mu’tazilah yaitu bahwa kata kun pada
ayat ”Sesungguhnya keadaannya jika Dia menghendaki sesuatu hanyalah
berkata kepadanya: “jadilah” maka terjadilah ia.”(QS. 36: 82) yaitu baharu
(muhdats) sebab merupakan sesuatu yang tersusun dari dua huruf yang
dapat berpindah-pindah, yang satu mendahului yang lain.
Menurut Mu’tazilah kun tidak berpengaruh terhadap wujud sesuatu
sebab jika berpengaruh pasti berlaku juga bagi manusia sebagaimana
gerak dapat memberi pengaruh bagi siapa saja. namun kata kun tidak
menghasilkan sesuatu pun. Dalam ayat di atas ada lafaz an. Menurut
Mu’tazilah jika lafaz an masuk pada fi’il mudari maka an menunjuk pada
masa mendatang. Oleh sebab itu, an menunjuk pada baharunya kun
sebab pada kun terkandung iradat baru. Dengan demikian kun tidak
qadim. Mereka juga berpandangan bahwa huruf fa pada fayakun sebagai li
al-ta‘qib, sehingga membawa itu al-Qur’an yaitu makhluk.
Berdasarkan pandangan di atas, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa
Allah itu berkata-kata (mutakallim) namun tidak dengan kalam yang qadim.
Dia berkata-kata dengan kalam yang baharu (muhdats) yang diciptakan-
Nya saat Dia berkata-kata. Bertitik-tolak dari pandangan bahwa kalam
Allah itu makhluq, muhdats, kaum Mu’tazilah berpendirian bahwa al-
Qur’an sebagai kalam dan wahyu-Nya yaitu makhluk.
Untuk memperkuat paham kemakhlukan al-Qur’an ini , dapat
dibuktikan dengan kondisi bahwa surat-surat al-Qur’an itu terputus-putus.
Ada yang permulaan dan ada yang terakhir. Sebagian dari ayat dan surat
al-Qur’an itu datang lebih dulu dari sebagian yang lain, sehingga tidak
dapat dikatakan qadim sebab tidak terdahului oleh yang lain. Sebagaimana
al-hamzat lebih dulu dari al-lam dan al-lam lebih dulu dari al-ha. Seperti
tampak pada ayat “Segala puji bagi Allah.” (QS. 1: 2). Dengan demikian tidak
dapat ditetapkan bahwa al-Qur’an itu qadim.
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an
kepada Nabi-Nya sebagai dalil bagi kenabiannya, pedoman bagi manusia
dalam masalah halal dan haram. Manusia mesti membaca, mendengar,
mensucikan, dan memujinya.
Kaum Mu’tazilah memperkuat pendapat di atas dengan mengatakan
bahwa Allah mensifati al-Qur’an itu dengan muhdats (yang baru) dan
munzal (yang turun), seperti disebut dalam firmannya:
نَوبُعَلْيَ مْهُوَ هُوعُمَتَسْا �َّلِإا ثٍدَحْمُ مْهِِّبرَ نْمِ رٍكْذِ نْمِ مْهِيِتْأايَ امَ
“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur’an pun yang baru
(diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya,
sedang mereka bermain-main”. (QS. 21: 2),
نَوظُفِاحََل هَُل اَّنِإاوَ رَكْ ِّذلا انَْل َّزَن نُحَْن اَّنِإا
“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan sesunguhnya
kami benar-benar memeliharanya”. (QS. 15: 9).
Selanjutnya bahwa al-munzal pasti muhdats. Allah mengatakan
dalam ayat di atas bahwa “Kami benar-benar memeliharanya.” Pertanyaan
itu menunjukkan kebaharuan al-Qur’an, sebab kalau qadim ia tidak
memerlukan hafidz (pemelihara) yang memeliharanya.
Berbeda dengan pandangan Mu’tazilah di atas, al-Asy’ari maupun
al-Baqillani sependapat bahwa Al-Qur’an bukan makhluk. Di dalam
menolak pandangan dan berbagai argumen kaum Mu’tazilah, al-Baqillani
mengatakan bahwa tidak setiap huruf fa li al-ta’qib. Menurutnya fa pada
lafaz fayakin yaitu untuk al-ikhbad (memberitakan) bukan li al-ta’qib
sebagaimana Allah berfirman: “Barang siapa yang kembali mengerjakannya
niscaya Allah akan menyiksanya.” (QS. 5: 95). Fa pada fayantaqim bukan
ta’qib. Begitu pula dengan fa pada ayat “Maka dia membinasakan kamu
dengan siksa.” (QS. 20: 61).
Menurut al-Baqillani, fa yang ada pada jawab al-amr atau
jawab al-jumlat al-kalam tidak berfungsi sebagai li al-ta’qib. Menurutnya,
membasuh muka dan tangan sampai siku bukanlah akibat dari mendirikan
shalat sebagaimana yang dikatakan Allah dalam ayat berikut:”jika kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
siku.” (QS. 5: 6). Demikian pula ayat “Sesungguhnya perkataan kami terhadap
sesuatu jika kami menghendakinya: Kami hanya mengatakan kepadanya:
“kun (jadilah)” maka jadilah ia.” (QS. 16: 40). Lafaz kun pada ayat itu yaitu
al-amr. Maka fa pada lapaz fayakun yaitu jawab al-amr, bukan li al-ta’qib.
Pada ayat “kami hanya mengatakan kepadanya: “kun (jadilah)” maka
jadilah.”(QS.16: 40) tidak menunjukkan kebaharuan al-Qur’an sebab lafaz
an jika masuk pada fi’il mudari’ berkedudukan sebagai masdar untuk
masa datang. Jelasnya, ayat di atas menunjuk pada kejadian masa datang.17
Ia juga menolak pemahaman Mu’tazilah terhadap ayat 2 surat al-Anbiya.
Menurutnya makna ayat ini yaitu “tidak datang kepada mereka
nasihat, janji, dan ancaman, kecuali mereka mendengarnya, sedangkan
mereka bermain-main. Nasihat, janji, dan peringatan Nabi yaitu al-Zikr
sesuai dengan ayat “Maka berilah peringatan: sebab sesungguhnya kamu
hanyalah orang yang memberi peringatan.” (QS. 88: 21). Dengan demikian,
menurut al-Baqillani ayat 2 surat al-Anbiya di atas tidak menunjukkan
bahwa al-Qur’an itu baharu. Allah tidak mengatakan ma’ya‘tihim min zikrin
min Rabbihim alla kana muhdatsan.
Ayat “Sesungguhnya kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab.”
(QS. 43: 3) juga menurutnya tidak menunjukkan bahwa al-Qur’an itu
makhluk sebab berdasarkan penggunaannya, lafaz al-fi’l adakalanya berarti
al-tasmiyat wa al-hukm dan adakalanya berarti al-fi’l. Lafaz al-fi’l yang
diikuti dua maf ’ul bermakna tasmiyat wa al-hukm. Umpamanya dalam ayat
yang lain Allah berfirman “[yaitu] orang-orang yang telah menjadikan al-
Qur’an itu terbagi-bagi.” (QS. 15: 91). Menurutnya, ayat itu mengandung
pengertian bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani menyebut dan
menetapkan al-Qur’an sebagai dusta, sihir, ramalan dan sebagainya. Tidak
berarti mereka yang membuat al-Qur’an.
Demikian pula ayat ”Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat
yang mereka itu yaitu hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai
orang-orang perempuan.” (QS. 43:19). Menurutnya, ayat itu mengandung
pengertian bahwa mereka menamakan atau menetapkan malaikat-
malaikat itu sebagai perempuan. Bukan berarti mereka yang menciptakan
perempuan.
Dengan demikian, ayat ”Sesungguhnya kami menjadikan al-Qur’an
dalam Bahasa Arab.” (QS. 43: 3) di atas menurut al-Baqillani bermakna
bahwa Allah menjadikan bacaan al-Qur’an itu berdasarkan bahasa Arab
dan itu berguna untuk membedakan dengan Taurat dan Injil sebab bacaan
kedua kitab itu dengan bahasa Ibrani dan Siryani.20
Berdasarkan dengan contoh-contoh di atas, lafaz al-ja’il jika hanya
diikuti oleh satu maf ’ul bermakna al-fi’l atau al-khalaq. Umpamanya Allah
menyebutkan bahwa Dialah yang menciptakan langit, bumi, gelap, dan
terang seperti dalam ayat ”Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.” (QS. 6: 1).21
Berdasarkan pengertian di atas, al-Baqillani mengatakan ayat
”Sesungguhnya kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab.” (QS. 43: 3)
tidak megandung pengertian bahwa Allah membuat al-Qur’an berbahasa
Arab, namun Dia menetapkannya berbahasa Arab. Oleh sebab al-Qur’an
bukan merupakan perbuatan bagi Tuhan, maka al-Qur’an bukan makhluk.
Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa al-Asy’ari dan al-Baqillani
sependapat dalam memandang kalam Allah sebagai sifat bagi-Nya. namun
sebagaimana dalam masalah sifat-sifat Allah yang telah dikemukakan
terdahulu, tentu antara al-Asy’ari dan al-Baqillani ada perbedaan. Al-
Syahrastani mengatakan bahwa bagi al-Asy’ari, al-kalam merupakan sifat
yang berdiri sendiri. Sementara menurut al-Baqillani, kalam Allah yaitu
sifat bagi zat-Nya, ada sebab zat-Nya, bukan sebab yang lain. Namun
demikian, baik al-Asy’ari maupun al-Baqillani mengatakan bahwa secara
hakiki Kalam Allah itu yaitu apa yang dapat dihafal dalam hati, diucapkan
dan dibaca dengan lidah, ditulis di dalam kitab, bukan dalam arti kiasan,
dan bukan merupakan hal yang terjadi pada sesuatu selain Tuhan sebab
jika merupakan hal yang terjadi pada selain-Nya berarti Dia tidak berkata-
kata, tidak memerintah, tidak melarang, dan tidak memberi penjelasan
dengan kalam-Nya. Pandangan yang demikian tidak sesuai dengan salah
satu ayat al-Qur’an sebagaimana difirmankan Allah swt. ”Sesungguhnya aku
ini yaitu Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS.
20: 14)24
Dengan demikian perbedaan antara al-Asy’ari dan al-Baqillani dalam
masalah kalam Tuhan yang dikemukakan di atas terletak pada perbedaan
pemahaman mereka tentang kalam sebagai sifat. Al-Asy’ari menyebutnya
sebagai sifat yang berdiri sendiri diluar zat. Al-Asy’ari berpendapat demikian
sebab dalam pandangannya jika Allah tidak memiliki kalam berarti ia
bisu. Bisu menunjukkan kekurangan, mustahil Allah bersifat kekurangan.
Oleh sebab itulah tampaknya al-Syahrastani mengatakan, bagi al-Asy’ari
al-mutakallim yaitu orang yang kalamnya berdiri sendiri. Sementara al-
Baqillani memandang kalam sebagai sifat zat yang ada sebab zat itu sendiri,
bukan sesuatu yang berada di luar zat.
Selanjutnya al-Baqillani mengatakan bahwa kalam Allah tidak
merupakan jism, jauhar, atau ‘ard, sebab jika demikian kalam Allah ter-
masuk jenis kalam manusia dan baharu. Allah swt. tidak berkata-kata
dengan kalam makhluk. Ia juga berpendapat, bahwa kalam Allah dapat
didengar dengan telinga, namun berbeda dengan semua jenis bahasa dan
semua suara. Sebagaimana Dia dapat dilihat dengan penglihatan mata,
namun Dia berbeda dengan semua jenis yang dapat dilihat. Dia juga maujud
namun berbeda dengan semua maujud yang baharu. Orang yang mendengar
kalam-Nya, seperti nabi Muhammad saw. yaitu tanpa perantara. Beliau
mendengarnya langsung dari zat-Nya, sesuai dengan ayat ”Dan Allah telah
berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. 4: 164).”Di antara mereka
ada yang Allah berkata-kata langsung dengannya.” (QS. 2: 253).
Selanjutnya ia mengatakan, bahwa tidak ada perkataan manusia
yang menyerupai kalam Tuhan. Oleh sebab itu seseorang tidak boleh
mengucapkan seperti mengucapkan kata-kata manusia sebab yang
demikian itu menjadikan kalam Allah ada pada dua zat, yang qadim
dan yang muhdats.
Ia juga mengatakan, bahwa kalam Allah tidak berubah-ubah. Kalam-
Nya yaitu sifat bagi-Nya sebab merupakan perkataan-Nya. Tidak ada
yang menyerupai sifat-sifat-Nya. Allah memiliki kata-kata, oleh sebab
itu Dia Mutakallim. Kalam-Nya qadim, bukan makhluk. Dengan demikian
kalam-Nya tidak baharu. Kalam-Nya yaitu salah satu dari sifat-sifat zat-
Nya, seperti ‘ilm, iradat, qudrat-Nya dan sebagainya. Kalam Allah tidak
boleh disamakan dengan ibarat atau hikayat. Juga tidak boleh diserupakan
dengan sifat-sifat manusia. Demikian pula lafaz al-Qur’an tidak boleh
dikatakan makhluk, atau bukan yang lain dari makhluk.
Kalam Allah qadim sebagaimana diisyaratkan dalam salah satu ayat al-
Qur’an, ”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS.
7: 54). Menurut al-Baqillani ada perbedaan antara al-khalaq (ciptaan)
dan al-amr (perintah) bukan makhluk. Kalam-Nya terdiri dari perintah (al-
amr), larangan (al-nahy) dan berita (al-khabar).
Berkaitan dengan pendapatnya di atas, ia mengemukakan ayat
“Dan Allah mengatakan yang sebenarnya.” (QS. 33: 4); “Sesungguhnya
perkataan kami terhadap sesuatu jika kami menghendakinya, kami
hanya mengatakan kepadanya: kun, maka jadilah ia.” (QS. 16: 40).
Selanjutnya ia mengatakan bahwa sekiranya kalam Allah yaitu makhluk,
maka didalam menciptakannya Allah memerlukan kata kun yang tiada
terhingga, dan itu mustahil. Lafaz kun itu sendiri yang terjadi dengannya
makhluk bukan makhluk tatapi kalam-Nya yang qadim. Sebagaimana telah
dikemukakan terdahulu Nabi Muhammad saw. mengatakan dalam sebuah
hadis:”Keutamaan kalam Allah atas semua kalam seperti keutamaan Allah
atas ciptaan-Nya.”
Menurut al-Baqillani, keutamaan Allah dari hamba-Nya yaitu
keqadiman-Nya. Dengan demikian, hadis ini di atas menunjukkan
bahwa perkataan di dalam kalam Allah itu mesti bukan makhluk. Perkataan
makhluklah yang merupakan makhluk, sedangkan perkataan Allah tidak.31
Menurut al-Baqillani, jika dikatakan kalam Allah itu makhluk, pasti
ada pada diri-Nya, atau pada selain diri-Nya, atau pada sesuatu Allah
tidak menciptakan makhluk pada diri-Nya atau zat-Nya, sebab yang
demikian mustahil bagi-Nya.
Demikian pula Allah tidak menciptakannya pada selain diri-Nya sebab
dengan demikian Dia bukanlah Tuhan yang memerintah, melarang dan
berkata-kata. Allah juga tidak menciptakannya pada sesuatu sebab dengan
demikian ada kalam namun tidak berasal dari mutakallim. Oleh sebab itu
mustahil kalam Allah itu makhluk, namun merupakan salah satu dari sifat-
sifat-Nya. Dengan demikian kalam Allah qadim dengan keqadiman-Nya,
maujud dengan kemaujudan-Nya, dan Dia senantiasa bersifat dengannya.
Sehubungan dengan itu, di dalam pandangan al-Baqillani kalam Allah
yaitu zat-Nya itu sendiri.
Selanjutnya al-Baqillani berpendapat, bahwa ayat yang mengatakan
”Allah pencipta segala sesuatu.” (QS. 13: 16) juga tidak menunjukkan bahwa
al-Qur’an itu makhluk sebab ayat itu mengandung arti yang khusus, bukan
umum. Ia berpandangan ayat itu menunjukkan bahwa ciptaan dan kejadian
benar-benar dari Allah.
Menurutnya ada beberapa ayat lai