an sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
transaksi elektronik.
9. Adapun sanksi terkait dengan penyebar berita bohong diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi elektronik pada Pasal 45A ayat (1)
disebutkan bahwa: (1) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam transaksi elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
10. Dalam konteks sekarang memang perlu penegasan sekaligus regulasi
tentang tata-cara bermedia sosial agar semua orang berhati-hati
dalam menyampaikan suatu berita atau informasi yang tidak jelas
sumbernya. Harus disadari bahwa betapa berbahayanya bagi seseorang
jika dengan mudah menyebarkan suatu berita atau informasi kepada
khalayak banyak; dan ternyata berita itu yaitu kebohongan.
Menyebarluaskan berita bohong/hoakx yaitu dosa besar yang tidak
hanya akan merusak moral dan etika suatu bangsa namun juga akan
merusak sendi-sendi kehidupan mereka secara keseluruhan.
HADIS TENTANG
KECURANGAN DAN INGKAR JANJI
ُ
Dari al-A’mas berkata: aku telah mendengar Abu Wail bercerita
tentang hadis dari Abdullah yang berasal dari Nabi, beliau
bersabda: Setiap orang yang curang memiliki bendera di hari
kiamat, lalu dikatakan inilah kecurangan si fulan (si Anu).
Dalam riwayat lain: setiap orang yang curang akan dipasangkan/
diberikan bendera di hari kiamat lalu dikatakan inilah kecurangan
si fulan anak si fulan.
َ
Dari Abdullah bin Amru berkata: Nabi bersabda: Ada empat
perkara sebagai tanda kemunafikan, dan barangsiapa yang dalam
dirinya terdapat salah satu dari yang empat itu maka ia memiliki
sifat nifak sampai ia tinggalkan, jika ia bicara ia dusta, jika ia
berjanji ia ingkar/curang, jika ia berjanji ia menyalahi janji, dan
jika ia bersengketa ia curang.
Makna dan Kandungan Hadis
1. Berdasar pada hadis di atas bahwa tanda-tanda kemunafikan itu
di antaranya jika seseorang bicara ia berdusta, jika ia berjanji ia
mengingkari janjinya, dan jika ia bersengketa ia pun berbuat curang.
Orang-orang yang suka berbuat curang akan diberi tanda khusus oleh
Allah berupa bendera di hari kiamat, lalu dikatakan inilah kecurangan
yang telah dilakukan oleh si fulan.
2. Berjanji di dalam Islam yaitu sesuatu yang boleh-boleh saja, namun
melanggar janji hukumnya haram. sebab itu, janji merupakan
perkara yang harus dipenuhi kecuali janji-janji ini mengarah
pada hal-hal yang dilarang oleh agama maka menepatinya bukanlah
sesuatu yang mesti.
3. Perjanjian yang terjadi antara dua orang atau lebih wajib ditepati.
Allah akan menanyai setiap orang yang suka melanggar perjanjian.
sebab nya, Islam menekankan agar tidak meremehkan perjanjian
yang sudah disepakati. Allah memberi sifat yang baik kepada
para hamba-Nya yang memelihara amanah dan janjinya. Sebaliknya,
orang yang suka melanggar janjinya tidak tergolong sebagai orang
beriman, sebab orang yang melanggar janji yaitu salah satu sifat
orang munafik.
4. Secara khusus, al-Qur’an memberi perumpamaan orang yang
suka melanggar janji seperti seorang wanita tua, bodoh dan lemah
mengotak atik hasil kain yang sudah dipintal dengan baik seperti yang
disebutkan dalam surat Annahal: 92 yang artinya: Dan janganlah kamu
seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah
dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan
sumpah perjanjianmu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan
adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan
yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu.
5. Dalam sejarah disebutkan bahwa Nabi seusai menulis dan
menandatangani perjanjian Hudaibiah dengan Suhail bin Amru,
tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail bin Amru mendatanginya sebab lari
dari tahanan kaum musyrikin. saat Suhail melihat Abu Jandal, dia
menamparnya dan memegang erat leher bajunya sambil mengatakan:
hai Muhammad kita telah mengadakan perjanjian sebelum Abu Jandal
mendatangimu. Nabi menjawab, benar apa yang engkau katakan,
sambil memegang Abu Jandal untuk dikembalikan ke kaum Quraiys,
sehingga Abu Jandal berteriak seraya mengatakan: hai orang-orang
Islam, apakah engkau ridha kalau aku diserahkan kembali kepada
kaum musyrikin? Nabi mengatakan: wahai Abu Jandal, bersabarlah
engkau, sesungguhnya Allah akan memberi jalan keluar untukmu
dan orang-orang yang ada bersamamu. Kami telah mengadakan
perjanjian damai dengan mereka, dan kami pun telah berjanji untuk
mematuhi dan menepatinya dan tidak akan mengingkarinya.299
6. Mengindahkan nilai-nilai perjanjian telah dijadikan sebagai landasan
di dalam kehidupan bernegara di dalam Islam, baik saat berbicara
tentang hubungan antara sesama warga maupun saat berbicara
tentang hubungan diplomatik antara negara. sebab itu, Nabi telah
membuktikan nilai-nilai ini , tidak hanya dengan sahabatnya,
namun juga dengan orang yang berlainan akidah dengan beliau. Dalam
sebuah perjanjian antara orang Islam dengan orang-orang Jarajimah
yang terdiri dari kaum Nasrani yang tinggal di pinggiran gunung negeri
Syam pada tahun ke 89 H. Mereka meminta dalam perjanjian ini
agar diperkenankan untuk menyerupai orang-orang Islam dalam
berpakaian, sebab mereka sudah dikenal sebagai kaum Nasrani yang
tinggal di tempat tertentu. saat orang-orang Islam menyetujui hal
itu; dan tujuannya tidak lain kecuali untuk menjaga hak-hak dan
kewajiban setiap warga.
7. Apa yang diusung dalam hukum internasional tentang pentingnya
menepati setiap perjanjian bilateral yang dilakukan oleh dua negara
terkadang hanya dijadikan sebagai olok-olokkan negara super power
abad sekarang, sehingga hukum ini dianggap spekulatif dan
jargon belaka, padahal mereka juga tidak menerima bila dikatakan
sebagai negara yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
dan tidak mengerti arti demokrasi yang sesungguhnya.
8. Dalam konteks sekarang terkadang ada intervensi negara-negara
non Islam terhadap dunia Islam. Hal seperti itu bisa terjadi sebab
adanya perjanjian sekutu antara mereka dengan negara Islam. Wujud
persekutuan yang banyak terjadi dewasa ini memang sejak sebelum
datangnya Islam juga sudah dikenal. Misalnya persekutuan yang
pernah terjadi antara Nabi dengan kabilah Khuza’ah merupakan
sebuah konsekuensi dari perjanjian yang terjadi di zaman jahiliyah.
Ibnu Hajar mengomentari hal ini dengan mengatakan:
Sesungguhnya bani Hasyim di zaman jahiliyah telah mengadakan
perjanjian sekutu dengan kabilah Khuza’ah, dan komitmen itulah
yang dipertahankan hingga Nabi hijrah ke Madinah.300
9. Dalam perjanjian Nabi dengan orang Yahudi banyak ditorehkan
dalam sejarah seperti konsep perjanjian dengan Yahudi di Madinah:
“Sesungguhnya antara orang Islam dengan non Muslim saling
bantu-membantu melawan orang-orang yang memerangi kelompok
yang mengadakan perjanjian ini. Begitupula bagi mereka untuk
saling menasehati serta menolong orang yang dizalimi, dan saling
membantu melawan orang-orang yang memerangi kota Yasrib. Bila
mereka mengajak orang-orang Yahudi melakukan perjanjian damai
dan menjadikannya sebagai sekutu maka hal ini harus diterima.
Dan bila kita umat Islam diajak untuk yang demikian maka mereka
punya hak atas orang-orang Islam kecuali yang memusuhi agama
Islam”.
10. Sebagian ulama mengatakan bahwa bolehnya mengadakan perjanjian
sekutu di dalam Islam sudah dinasakh berdasar pernyataan
Nabi yang diriwayatkan Jubair bin Mut’im: “Jangan engkau melakukan
perjanjian sekutu di dalam Islam, sebab sesungguhnya perjanjian
sekutu itu tidak memberi fisibilitas kecuali kesusahan“.303 Kendati
demikian ada interpretasi lain yang menganggap bahwa perjanjian
sekutu itu sendiri terkadang dibolehkan dan terkadang dilarang. Ibnu
Hajar mengatakan: “Dikotomi ini sebenarnya bisa diakumulasi, di
mana yang terlarang itu yaitu yang terjadi di zaman jahiliyah yang
membantu sekutu sekalipun mereka yang berbuat zalim, sementara
yang dibolehkan yaitu membantu yang tertindas, menegakkan
kebenaran dan sebagainya seperti perjanjian kerjasama dan saling
menjaga nilai-nilai perjanjian itu sendiri“.
11. Perjanjian sekutu yang dilakukan oleh negara Muslim dengan negara
non Muslim bila orientasinya yaitu membantu kelompok tertindas
maka boleh saja dilakukan. Namun bila perjanjian itu dilakukan
untuk saling membantu melakukan konfrontasi terhadap kelompok
atau negara lain maka perjanjian ini sifatnya inkonstitusional.
Bentuk perjanjian yang terakhir inilah yang banyak dilakukan oleh
banyak negara dewasa ini yang kemudian menjadi pemicu terjadinya
perjanjian multilateral terutama di bidang militer, di mana dari sekian
banyak negara yang ada melakukan aksi gencatan senjata, baik dalam
bentuk mempertahankan eksistensi sebuah negara dari serangan
luar maupun melakukan penyerangan terhadap negara lain. Salah
satu contohnya yaitu perjanjian sekutu yang terjadi antara Amerika
dengan Korea Selatan, sehingga Amerika pun pada saat itu berusaha
memfasilitasi Korea Selatan dengan berbagai macam persenjataan
saat terjadi perang dengan Korea Utara.
12. Bila perjanjian sekutu terutama di bidang militer dewasa ini tidak
keluar dari pemaknaan seperti yang disebutkan di atas, maka
seyogyanya negara-negara Muslim berhati-hati melakukan perjanjian
bilateral dengan negara non Muslim, sebab perjanjian itu terkadang
menuntut mereka untuk ikut serta dalam operasi militer menyerang
negara lain termasuk negara Islam itu sendiri. Indikator inilah
yang membuat Arab Saudi tidak mau terlibat dalam perjanjian
internasional yang diprakarsai oleh Amerika untuk melakukan agresi
militer terhadap beberapa negara yang penduduknya mayoritas
Islam seperti Afghanistan dan Irak.Komitmen seperti inilah yang
seharusnya dijadikan konsiderasi oleh negara-negara Islam saat
ingin melakukan sebuah perjanjian bilateral, sebab bagaimanapun
juga bila sebuah perjanjian bertujuan untuk melakukan kezaliman
maka akan dianggap inkonstitusional termasuk dalam pandangan
Islam seperti yang ditegaskan oleh Nabi bahwa: “Setiap prasyarat yang
menyalahi hukum syariat Islam yaitu batil“.
13. Perjanjian sekutu atau apapun sifatnya yang dilakukan oleh orang-
orang Islam bersama dengan negara non Muslim dibolehkan selama
mendatangkan maslahah kepada orang-orang Islam. Namun jika
perjanjian ini hanya untuk mendukung agresi yang dilancarkan
oleh negara tertentu terhadap negara Islam seperti yang dilakukan
Israel terhadap Palestina sebagai strategi memperkuat posisinya di
mata dunia dan mendukung keberlangsungan serangan-serangan
ini atau memberi kesempatan melakukan ekspansi maka
semua itu dianggap sebagai pelanggaran baik dalam konteks hukum
internasional maupun dalam konteks hukum Islam.
14. Orang-orang Islam diharapkan dapat membantu orang-orang
Palestina, paling tidak berusaha menjaga nilai-nilai kedamaian di atas
bumi ini. Bila perjanjian ini dilakukan untuk menjaga stabilitas
keamanan atau bertujuan mencegah terjadinya konfrontasi maka
semua itu dianggap juridis bahkan menjadi sebuah kewajiban dalam
agama demi menjaga nilai-nilai perdamaian yang menjadi cita-cita
dan animo setiap orang.
tugasnya, ia pun kemudian datang kepada Nabi seraya
mengatakan: ini untuk engkau, dan ini untukku sebab sebagai
hadiah. Lalu Nabi naik mimbar, dan sesudah memuji Allah SWT
belia pun kemudian mengatakan: bagaimana masalah seorang
amil/pekerja yang telah kami percayai untuk menunaikan suatu
tugas, lalu kemudian ia datang sambil mengatakan: ini untuk
engkau, dan ini untukku sebab sebagai hadiah. Seandainya saja
ia hanya duduk-duduk di rumah bapaknya atau ibunya lalu ia
menunggu, apakah aka nada seseorang yang kan memberi
hadiah kepadanya atau tidak? Demi jiwaku yang ada dalam
genggaman-Nya, tidaklah seseorang mengambil sesuatu dari
harta (harta yang dikumpulkan tersmasuk sadakah) ini
kecuali nanti ia akan datang di hari kiamat dengan memikulnya
di atas pundaknya, apakah yang diambil itu yaitu ternak yang
memiliki suara, atau seekor sapi yang memiliki suara, atau seekor
kambing yang memiliki suara”.
َ
Dari Abdullah bin Amru, Nabi bersabda: Allah melaknat orang
yang menyogok dan yang disogok.
َ
Dari Tsauban, dari Nabi. Beliau bersabda: Allah melaknat orang
yang menyogok, yang disogok, dan yang memfasilitasi (perantara)
keduanya.
َ
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda: Allah melaknat orang yang
menyogok dan yang disogok dalam suatu perkara.
َ
Dari Abdullah bin Amru, mengatakan. Nabi bersabda: Yang
menyogok dan yang disogok keduanya di neraka.
Makna dan Kandungan Hadis
1. Berdasar pada hadis di atas bahwa Allah melaknat orang-orang yang
suka menyogok, begitu juga orang-orang yang suka disogok, termasuk
yang memfasilitasi keduanya dalam suatu perkara; dan keduanya akan
dihukum oleh Allah dengan dimasukkannya ke dalam neraka.
2. Sogokan dapat dibedakan dengan hadiah. Hadiah dapat dimaknai
sebagai pemberian sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk
menghormati, memuliakan, mengasihi, dan mencintainya; dan pada
dasarnya yaitu halal. namun bila bentuk-bentuk pemberian ini
diperuntukkan untuk hal-hal yang menyimpang dari tujuan luhur
agama, seperti menginginkan jalan pintas untuk mencapai tujuan
dengan memberi hadiah kepada pihak-pihak terkait maka pemberian
ini berubah menjadi sogokan; dan tentu hukumnya haram
seperti yang dijelaskan para ulama. Dalam kitab annizham al-qada’i
fi al-fikhi al-islami disebutkan: “Adapun mengenai hadiah, para ulama
telah menjelaskan bahwa sebaiknya pintu-pintunya ditutup rapat.
Kemudian bila sang pemberi hadiah sedang ada masalah/kasus maka
diharamkan atas seorang hakim menerima hadiah ini sekalipun
ia memiliki kebiasaan menerima hadiah sekali pun sebab adanya
pertemanan atau hubungan kerabat berdasar sabda Nabi bahwa:
hadiah yang diterima oleh para pekerja yaitu penghianatan”.
3. Abdullah bin Rawahah yaitu salah satu sahabat Nabi yang setiap
tahun diutus oleh beliau untuk mengumpulkan hasil bumi orang-
orang Yahudi Khaibar. sebab begitu tegas dan jujurnya Abdullah
bin Rawahah sehingga orang-orang Yahudi Khaibar berencana untuk
menyogognya dengan memberi perhiasan yang dimiliki oleh isteri-
isteri mereka. Mereka lalu mengatakan kepada Abdullah, ambillah ini
dan ringankanlah kami. Abdullah mengatakan: wahai orang-orang
Yahudi ketahuilah bahwa sesungguhnya orang yang paling dimurkai
oleh Allah yaitu engkau sekalian; dan adapun yang engkau tawarkan
kepadaku yaitu termasuk sogokan dan itu yaitu kutukan, dan kami
tidak memakannya. Lalu orang-orang Yahudi mengatakan: dengan
begini, bumi dan langit akan tetap tegak.
4. Berbeda halnya dengan riwayat yang disebutkan bahwa Nabi
saat menugasi seorang sahabat bernama Ibnu Allutbiah untuk
mengumpulkan hasil zakat Bani Sulaim. saat sahabat ini
kembali dari tugasnya, Nabi kemudian bertanya kepadanya, lalu ia
mengatakan: barang ini untuk Nabi, dan ini yaitu hadiah khusus
untuk saya yang diberikan oleh warga Bani Sulaim. Ternyata
Nabi kemudian mengingkari apa yang telah dilakukan sahabatnya itu
seraya mengatakan: Seandainya saja ia hanya duduk-duduk di rumah
bapaknya atau ibunya lalu ia menunggu, apakah ada seseorang yang
akan memberi hadiah kepadanya atau tidak? Demi jiwaku yang
ada dalam genggaman-Nya, tidaklah seseorang mengambil sesuatu
dari harta (harta yang dikumpulkan tersmasuk sadakah) ini
kecuali nanti ia akan datang di hari kiamat dengan memikulnya di
atas pundaknya, apakah yang diambil itu yaitu ternak yang memiliki
suara, atau seekor sapi yang memiliki suara, atau seekor kambing yang
memiliki suara.
5. Suatu saat khalifah Umar bin Abdil Aziz diberi hadiah oleh
seseorang namun dia menolaknya. Lalu ada yang mengatakan
kepadanya: bukankah Nabi sendiri menerima hadiah. Umar bin Abdul
Aziz mengatakan: itu betul, bagi Nabi yaitu hadiah, namun bagi kita
itu yaitu sogokan. Orang-orang memberi sesuatu kepada Nabi
sebab kenabiannya bukan sebab jabatannya, berbeda dengan kita,
justru kita diberi sesuatu sebab jabatan kita. Maka dari itu, Imam
Rabiah pernah mengatakan: hati-hati dengan hadiah, sebab hadiah
merupakan jalan menuju sogokan. Kata orang bijak: hadiah dapat
mematikan cahaya hikmah
6. Salah satu contoh warga yang dicelah dalam Al-Qur’an sebab
mentolerir korupsi berjamaah yaitu warga Madyan. sebab nya,
Allah mengutus seorang nabi kepada mereka bernama Syuaib untuk
melakukan perbaikan termasuk tatanan keagamaan yang sedang
mengalami masalah besar walau warga nya terkenal cerdas
dan cenderung cerdik, sebagaimana diabadikan oleh Al-Qur’an.
sebab warga Madyan cenderung menolerir kecurangan atau
sekarang sering disebut korupsi berjamaah. Jika membeli sesuatu
mereka menggunakan alat ukur lebih besar dan saat menjualnya
menggunakan alat ukur lebih kecil sebagaimana dijelaskan dalam
Al-Qur’an: “Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-
yan saudara mereka, Syu’aib. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah
Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya
telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu
kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya,
dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah
Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. (Q.S al-A’raf/7: 85).
7. Nampaknya kehadiran Nabi Syu’aib menegakkan keadilan di negeri
Madyan tidak disambut baik sebab dianggap merusak tradisi
yang sudah membudaya di kota itu. Mereka mengatakan seperti
yang direkan al-Qur’an: “Pemuka-pemuka dari kaum Syuaib yang
menyombongkan diri berkata: sesungguhnya kami akan mengusir
kamu hai Syuaib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari
kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami. Berkata Syuaib:
“Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendati pun kami tidak
menyukainya?” (Q.S al-A’raf/7: 88).
8. Para pemuka warga mempengaruhi warga nya agar
memboikot gerakan anti koruspi yang digencarkan oleh Nabi Syu’aib:
“Pemuka-pemuka kaum Syuaib yang kafir berkata (kepada sesamanya):
“Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syuaib, tentu kamu jika berbuat
demikian (menjadi) orang-orang yang merugi”.(Q.S al-A’raf/7: 90).
9. Jika segalanya telah melampaui batas maka di situlah bahasa
Tuhan sering berbicara. Umat dan komunitas Madyan ditimpakan
azab sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an: “Kemudian
mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayit-mayit yang
bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (Q.S al-A’raf/7: 91).
10. Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kisah Nabi Syu’aib ialah
keberuntungan yang diperoleh dengan cara-cara illegal tidak akan
pernah membawa berkah atau membahagiakan. Bahkan sebaliknya
malah membawa kesengsaraan dan akibat fatal dalam bentuk azab
yang memusnahkan secara massif warga Madyan. Sehubungan
dengan itulah, Tuhan mengingatkan kita di dalam ayat berikutnya:
“(yaitu) orang-orang yang mendustakan Syuaib seolah-olah mereka
belum pernah berdiam di kota itu; orang-orang yang mendustakan
Syuaib mereka itulah orang-orang yang merugi”.(Q.S al-A’raf/7: 92).
sebab nya, jika bangsa ini ingin terbebas dari malapetaka sosial
seperti yang dicontohkan al-Qur’an maka tentu menjadi tanggung
jawab moral bagi kita semua untuk mencegah segala bentuk korupsi
itu.
11. Harus disadari bahwa tidak mungkin laju pertumbuhan ekonomi bisa
bertahan di dalam suatu warga yang koruptif. Itulah sebabnya,
Nabi sangat tegas terhadap segala macam bentuk permainan spekulasi
termasuk tindakan korupsi.
12. Korupsi yaitu kejahatan yang sangat berbahaya. Bahkan menurut
sebagian orang lebih berbahaya daripada terorisme. Jikalau aksi teroris
hanya menewaskan beberapa orang seperti kasus bom Bali atau di
Mumbai India, namun korupsi bisa membunuh seluruh warga negara
yang berjumlah jutaan. Hal ini sebab korupsi menghancurkan dan
meremukkan sendi perekonomian negara. Jika sendi perekonomian
negara hancur, maka kehidupan warga negara terancam. Bahkan
terjadi krisis besar yang bisa berakibat kelaparan, pertikaian antar
warga negara, saling tidak percaya, disintegrasi, dan sebagainya.
13. Sebagian pakar mengatakan bahwa boleh saja memberi sesuatu
dalam bentuk materi kepada seorang penentu kebijakan jika seseorang
misalnya memiliki hak namun diambil sama orang lain dan tidak
mungkin dapat dikembalikan kecuali harus melalui proses hukum
tertentu seperti peradilan. Jika dikhawatirkan hak ini diambil
oleh orang yang bukan pemilik sesungguhnya maka dalam kondisi
seperti ini, pemilik hak boleh saja memberi sesuatu dalam bentuk
materi kepada seorang hakim agar keputusan nantinya berpihak
kepadanya sehingga kemudian ia dapat mengambil kembali haknya.
HADIS TENTANG
PEMBERONTAKAN DAN MAKAR
َ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi. Beliau bersabda: Barangsiapa yang
keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jama’ah lalu ia mati
maka matinya mati jahiliyah. Dan barangsiapa yang terbunuh di
bawah bendera buta (fanatisme buta), marah sebab fanatisme,
menolong sebab fanatisme, dan mengajak kepada fanatisme,
lalu ia terbunuh maka matinya mati jahiliyah. Dan barangsiapa
yang keluar kepada umatku lalu ia memukul orang baik dan orang
jahatnya; dan dia tidak meninggalkan/menghindari orang-orang
mukminnya dan tidak memenuhi janjinya maka bukan dari
ummatku.
َ
Abdurrazzak menceritakan kepada kami, ia mengatakan:
Ibnu Juraij memberitakan kepada kami, ia mengatakan: Asim
bin Ubaidillah memberitakan kepada kami, bahwasanya Nabi
bersabda: Akan ada pemerintah sesudah ku melaksanakan shalat
pada waktunya, dan memperlambat dari waktunya, maka
shalatlah kamu bersamanya. Apabila ia melaksanakan shalat
pada waktunya, dan kamu shalat bersama mereka maka bagimu
dan baginya (pahala). Jika ia memperlambat shalat dari waktunya
dan kamu shalat bersama mereka maka bagimu (pahala) dan
baginya (dosa). Barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah
lalu mati maka matinya mati jahiliyah, dan barangsiapa yang
melanggar janjianya lalu ia mati dalam keadaan demikian maka
nanti di hari kemudian datang dalam keadaan tidak memiliki
hujjah (pembela).
َ
Dari Ibnu Abbas meriwayatkan dari Nabi. Beliau bersabda:
Siapa saja lelaki yang tidak suka sesuatu dari pemimpinnya
maka hendaklah ia bersabar, sebab tidak seorang pun keluar
sejengkal dari seorang pemimpin lalu ia mati kecuali matinya
mati jahiliyah. Dalam riwayat lain: barangsiapa tidak suka sesuatu
dari pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar, sebab tidak
seorang pun keluar sejengkal dari seorang pemimpin lalu ia mati
kecuali matinya mati jahiliyah.
َ
Dari Abdullah bin Umar, ia mengatakan: Abdullah bin Umar
datang kepada Abdullah bin Mutiy. saat ia melihatnya, ia
mengatakan: berikan bantal kepada Abu Abdirrahman. Lalu
Abdullah mengatakan: aku datang kepadamu bukan untuk duduk,
namun untuk menyampaikan kepadamu tentang hadis yang aku
dengarkan dari Nabi. Aku telah mendengar Nabi bersabda: Barang
siapa yang meninggal dan ia tidak memiliki (mengagkat) seorang
pemimpin maka matinya sama dengan cara mati jahiliyah.
َ
Dari Auf bin Malik, ia mengatakan: aku telah mendengar
Nabi bersabda: Sesungguhnya pemimpinmu yang baik yaitu
yang engkau cintai dan ia mencintaimu. Dan sesungguhnya
pemimpinmu yang jahat yaitu yang engkau benci dan ia pun
benci kepadamu. Engkau mendoakan agar ia celaka, dan ia pun
juga mendoakan engkau agar engkau celaka. Mereka mengatakan:
tidakkah kita perangi mereka? Nabi mengatakan: Tidak, selama
mereka menunaikan shalat. Dan barang siapa yang dipimpin
oleh seorang pemerintah, lalu ia melihatnya melakukan maksiat
kepada Allah maka hendaklah ia membenci maksiat yang
dilakukannya itu, dan jangan keluar dari ketaatan. َ
Huzaifah bin al-Yaman mengatakan: wahai baginda Nabi:
kami pernah menjadi (manusia) jahat lalu Allah membuat
kami jadi baik, dan itulah kami. Apakah dibalik kebajikan itu
ada kejahatan? Nabi mengatakan: Iya ada. Dan apakah dibalik
kejahatan itu ada kebaikan? Nabi mengatakan: Iya, ada. Lalu
aku bertanya: apakah dibalik kejahatan itu masih ada kebajikan?
Nabi mengatakan: Iya. Lalu aku bertanya: bagaimana itu bisa
terjadi? Nabi bersabda: Akan ada pemerintah sesudah ku, ia tidak
mengindahkan petunjukku, dan tidak juga mengikuti sunnahku,
dan di antara mereka ada yang berhati syetan dalam bentuk
hati manusia. Lalu aku mengatakan: apa yang harus kulakukan
jika aku mendapatinya seperti itu? Nabi bersabda: Dengar dan
taatlah kepada pemerintah, dan jika ia memukul pundakmu dan
mengambil hartamu maka tetaplah engkau mendengar dan taat.
َ
Dari Ubadah bin Assamit. Ia mengatakan: Nabi telah memanggil
kami lalu kami membaitnya dan memerintahkan kepada kami
untuk mendengar dan taat dalam kondisi senang/suka dan susah/
tidak suka, dalam kondisi sulit dan mudah, dan saat ia lebih
mengutamakan dirinya daripada kami, dan agar tidak menentang
para ahlinya (pemimpin) Beliau bersabda: Kecuali engkau melihat
kekufuran yang nyata, dan engkau memiliki penjelasan tentang
hal ini dari Tuhanmu.
َ
Dari Ibnu Umar, Nabi bersabda: Barangsiapa yang membawa
senjata (memerangi/mengacau) kepada kami maka bukanlah ia
bagian dari kami (golonganku/umatku).
ُ
Dari Abu Said, Nabi bersabda: Jika dua orang khalifah dibaiat
maka bunuhlah yang terakhir dari salah satunya.
Makna dan Kandungan Hadis
1. Makar dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan untuk
menggulingkan pemerintah yang sah. Sedangkan dalam literatur
fiqh hal ini oleh para ulama disebut dengan bughat atau
pemberontak. Bughat secara spesifik yaitu sekelompok umat Islam
yang menyatakan keluar dari ketaatan kepada seorang kepala negara
yang telah dipilih secara sah oleh mayoritas umat Islam. sebab itu,
para ulama menyatakan bahwa bughat hukumnya haram dan dianggap
sebagai tindakan kriminal (jarimah). Mereka boleh diperangi hingga
mereka bertaubat menyadari kekeliruannya dan kembali taat kepada
kepala negara. Bahkan Imam Nawawi secara tegas menyatakan bahwa
wajib hukumnya memerangi mereka, jika mereka kembali taat maka
pertaubatan mereka diterima, dan berhenti memeranginya.
2. Di dalam Islam dijelaskan bahwa salah satu kewajiban warga
(umat) yaitu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Kewajiban
itulah kata para ulama yang memberi hak kepada warga
untuk senantiasa mengawasi aktivitas yang dilakukan oleh para
pemimpin. sebab itu, jika mereka tetap konsisten pada aturan
yang ada di dalam melaksanakan amanah pemerintahan maka tidak
boleh ada yang mempermasalahkannya. Sebaliknya jika mereka telah
melakukan kesalahan dalam mengelola pemerintahan maka harus
ada dari warga yang mengingatkannya kalau ia telah melakukan
kesalahan.
3. Di dalam Islam, para ulama telah sepakat bahwa seorang kepala
negara yang keluar (murtad) dari agama Islam maka warga
harus menyatakan diri keluar dari kepemimpinannya. Berbeda
halnya jika ia hanya curang dan tidak amanah di dalam menjalankan
tugas, apakah boleh memecatnya dengan cara angkat senjata untuk
memaksanya turun dari jabatannya? Para ulama mazhab Zaidiyah
menyatakan bahwa seorang penguasa yang zalim jika tidak dapat
memberhentikannya dan menghilangkan kemungkaran kecuali harus
dengan kekuatan senjata maka hal itu wajib dilakukan. Pendapat
ini juga diperpegangi oleh sebagian ulama Ahlussunnah, semua
kelompok Mu’tazilah, semua kelompok Khawarij, dan sebagian besar
kelompok Murjiah.
4. Mayoritas ulama mengatakan bahwa untuk memberhentikan seorang
pemimpin yang curang tidak boleh dengan cara angkat senjata.
Pendapat ini merupakan pendapat mazhab Imamiyah, mayoritas
ulama Ahlussunnah baik dari kalangan ahli fiqh, ahli hadis, maupun ahli
teologi. Mereka justru menyatakan bahwa seharusnya para pemimpin
itu dinasehati. Tokoh-tokoh yang menyatakan ketidakbolehan angkat
senjata, dari kalangan sahabat Nabi seperti Saad bin Abi Waqqas,
Usamah bin Zaid, dan Abdullah bin Umar.Sedangkan dari kalangan
ulama fiqh seperti Abu Hanifah dan Malikiyah, bahkan Imam Nawawi
mengatakan bahwa telah menjadi kesepakatan (ijma) para ulama
tentang tidak bolehnya menyatakan keluar dari kepemimpinan
seorang yang curang dengan angkat senjata. Memang di dalam sejarah
pernah terjadi bahwa al-Husain menyatakan keluar dengan angkat
senjata terhadap kepemimpinan Yazid bin Muawiyah begitu juga Ibnu
Azzubair menyatakan diri keluar dari kepemimpinan Abdul Malik bin
Marwan, namun itu terjadi sebelum adanya kesepakatan para ulama
tentang tidak bolehnya keluar dengan angkat senjata seperti yang
dikatan al-Qadi Iyad.
5. Para ulama yang mengatakan bahwa tidak boleh angkat senjata
kepada pemimpin walau ia curang atau zalim dengan hadis Nabi
yang memerintahkan kepada para sahabat untuk mendengar dan
taat dalam kondisi senang dan susah, dalam kondisi sulit dan mudah,
kecuali terjadi kekufuran yang nyata, dan memang ada dalil yang
secara nyata dapat dipertanggungjawabkan terkait dengan hal ini
yang bersumber dari al-Qur’an atau pun hadis Nabi. Imam Nawawi
mengomentari hadis yang disebutkan di atas dengan mengatakan
bahwa kita tidak boleh menentang pemerintah kecuali betul-bwtul
jelas kalau mereka telah melakukan kemungkaran. saat melihat
kemungkuran yang mereka lakukan maka kita harus mengingkarinya
dan harus menyampaikan kebenaran yang sesungguhnya kepada
mereka, namun tidak boleh (haram) menyatakan keluar dari
kepemimpinannya dengan cara angkat senjata lalu memeranginya
walau mereka berbuat zalim dan fasiq. Demikian yang dikatakan oleh
Imam Nawawi. Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.
Mereka menyatakan bahwa dengan memerangi mereka dampak
kerusakan yang akan ditimbulkan akan jauh lebih besar ketimbang
kerusakan yang ditimbulkan akibat kezaliman yang mereka lakukan
tanpa memeranginya. Hal seperti inilah yang harus dilakukan berdasar
pada kaedah: irtikabu akhaffi addararaini atau melanggar sesuatu yang
lebih ringan mudaratnya.
6. Selain dalil di atas, hadis yang menjadi dasar tidak bolehnya keluar dari
pemimpin dengan angkat senjata yaitu sabda Nabi yang menyatakan:
Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari
jama’ah lalu ia mati maka matinya mati jahiliyah. Dan barangsiapa
yang terbunuh di bawah bendera buta (fanatisme buta), marah
sebab fanatisme, menolong sebab fanatisme, dan mengajak kepada
fanatisme, lalu ia terbunuh maka matinya mati jahiliyah. Selain itu
hadis Nabi yang mengatakan: Sesungguhnya pemimpinmu yang baik
yaitu yang engkau cintai dan ia mencintaimu. Dan sesungguhnya
pemimpinmu yang jahat yaitu yang engkau benci dan ia pun
benci kepadamu. Engkau mendoakan agar ia celaka, dan ia pun
juga mendoakan engkau agar engkau celaka. Mereka mengatakan:
Tidakkah kita perangi mereka? Nabi mengatakan: tidak, selama
mereka menunaikan shalat. Dan barang siapa yang dipimpin oleh
seorang pemerintah, lalu ia melihatnya melakukan maksiat kepada
Allah maka hendaklah ia membenci maksiat yang dilakukannya itu,
dan jangan keluar dari ketaatan. Imam Nawawi juga mengatakan
bahwa sesungguhnya kata Nabi: “Tidak, selama mereka menunaikan
shalat” menunjukkan bahwa tidak boleh keluar menyatakan diri
dengan angkat senjata disebabkan sebab hanya sekedar kezaliman
atau kefasikan selama mereka tidak merubah sedikit pun dari kaedah-
kaedah agama.
7. Bagaimana dengan kudeta? Apakah orang yang merebut kekuasaan
dengan cara kudeta atau revolusi bersenjata dapat disebut pemimpin
yang sah? Jawabnya yaitu bahwa pada umumnya ulama dari
kalangan Khawarij dan Mu’tazilah mengatakan bahwa pengangkatan
seorang pemimpin hanya boleh dengan bai’at yang terlepas dari cara-
cara pemaksaan dan kekerasan.namun para ulama ahlussunnah
waljamaah mengatakan bahwa seorang yang merebut kekuasaan
dengan cara pemaksaan dan kudeta hukumnya sah. Imam Ahmad bin
Hanbal pernah mengatakan: barang siapa yang mengalahkan suatu
komunitas dengan pedang sehingga ia menjadi khalifah maka tidak
boleh bagi siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari kemudian
untuk tinggal di rumahnya kecuali ia harus mengakui orang ini
sebagai pemimpinnya.334 Bahkan seandainya yang melakukan kudeta
yaitu perempuan lalu kemudian berhasil menjadi pemimpin maka
kepemimpinannya juga dianggap sah.335
8. Alasan para ulama yang mengatakan bahwa merebut kekuasaan
dengan cara kudeta yaitu sah sebab bila tidak, dikhawatirkan
terjadi pertumpahan darah yang lebih besar lagi antara kedua belah
pihak. Selain itu, hukum agama harus dilaksanakan; dan itu hanya
dapat terlaksana bila ada yang memimpin.336 Jika yang memaksa itu
ternyata tidak memenuhi syarat kepemimpinan, misalnya ia fasik
maka menurut pendapat yang paling sah, kepemimpinannya tetap
dianggap sah. namun disebut sebagai kepemimpinan darurat.
9. Merebut kekuasaan dengan cara kudeta dianggap sebagai
pengecualian agar tidak terjadi fitnah dan pertumpahan darah yang
lebih banyak. Imam Abu Hamid al-Gazali mengatakan: addarurat
tubiyhu almahzurat (sesuatu yang darurat membolehkan sesuatu
tidak dibolehkan) bahwa memakan bangkai hukumnya tidak boleh,
namun kematian lebih dahsyat dari pada memakan bangkai. Walau
demikian, dalam konteks Islam secara spesifik, ulama sepakat bahwa
non Muslim yang merebut kekuasaan tertinggi dengan cara kudeta
tidak boleh dibiarkan. Artinya syarat “Islam” bagi seorang pemimpin
dalam konteks agama merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar.
sebab nya bila yang merebut kekuasaan tertinggi yaitu non Muslim
maka ia harus diberhentikan dengan cara apa pun termasuk dengan
kekuatan senjata.
10. Sebagian ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal tidak membedakan
apakah yang dikudeta itu masih hidup ataukah kudeta itu sendiri
terjadi akibat tidak adanya pemimpin yang berkuasa sebab mati.
Di sisi lain sebagian yang lain justru membedakan waktu terjadinya
kudeta itu. Artinya, jika kudeta ini terjadi, dan yang berkuasa
masih hidup; dan ternyata ia juga merebut kekuasaannya dengan
kudeta maka kepemimpinan pengkudeta dianggap sah bila berhasil
merebut kekuasaan. namun jika yang dikudeta mendapat kekuasaan
dengan pengangkatan ahlul halli wal akdi atau dengan penunjukan
yang dilakukan oleh penguasa sebelumnya maka yang mengkudeta
tidak dapat dianggap sebagai pemimpin yang sah. Hukum ini
berlaku jika yang dikudeta masih hidup. Dengan demikian, orang
yang merebut kekuasaan dengan cara kudeta dapat diterima sebagai
pemerintah yang sah bila kudeta itu dilakukan: (1) pada saat yang
berkuasa sebelumnya sudah meninggal, atau diberhentikan dari
jabatannya, atau sebab kekosongan pemimpin; (2) bila yang dikudeta
juga merebut kekuasaannya dengan cara kudeta.
11. Para ulama tata negara Islam menyatakan bahwa kekuasaan yang
direbut dengan cara kudeta dapat diakui sesudah memenuhi dua
unsur utama yakni unsur waki’i (faktor kondisi dan kenyataan) dan
unsur syar’i (faktor hukum agama). Unsur waki’iy dapat diartikan
sebagai suatu kekuatan yang dimiliki oleh pemimpin yang merebut
kekuasaan dengan cara kudeta. Dengan kekuatan ini , ia
mampu menguasai semua wilayah kekuasaan yang masuk dalam
kepemimpinannya, namun kepemimpinannya dianggap tidak
sempurna atau disebut khilafah gairi kamilah.342 sebab itu, bila
ia tidak mampu mengendalikan semua wilayah yang ada dalam
kekuasaannya maka ia dianggap sebagai pemberontak. sebab ia
dianggap sebagai pemberontak maka menjadi kewajiban warga
untuk melengserkan dan memberhentikannya dengan cara membantu
pemimpin yang digulingkan sebab pemimpin yang digulingkan
itu tetap dianggap sebagai pemimpin yang sah kendati ia dikudeta.
Bahkan dalam konteks fiqh, pemimpin yang digulingkan diberi
kesempatan menggunakan cara apa saja untuk menghentikan semua
aktivitas yang dilakukan oleh pengkudeta termasuk dengan cara
memeranginya. Yang kedua yaitu unsur syar’i yakni pengakuan
warga terkait dengan kepemimpinan itu sendiri. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara semua warga menyatakan dukungannya
kepada pemimpin ini dengan membai’atnya sekalipun hanya
sebatas formalitas.
12. Orang yang merebut kekuasaan dengan kudeta, kepemimpinannya
dianggap sah sebab kondisi darurat sebagai akibat dari kudeta itu
sendiri. namun perlu digarisbawahi bahwa sahnya kepemimpinan itu
bukan berarti bahwa caranya yang disahkan. namun yang disahkan di
sini yaitu sebab warga mau menerima kepemimpinannya.
sebab nya, kepemimpinan itu dapat diterima sepanjang kondisi
darurat juga masih ada; dan saat kondisi darurat sudah tidak ada
lagi maka semestinya kepemimpinan yang murni dan bersih harus
dikembalikan dengan melakukan pemilihan pemimpin yang baru.
13. Dalam konteks sekarang ada yang dikenal dengan kejahatan dalam
kehidupan sosial-politik dalam suatu negara yakni aksi pemberontakan
yang dilancarkan kepada pemerintah yang sah. Aksi pemberontakan
dalam literatur fiqh lebih dikenal dengan istilah bughat. sebab itu
perlu ada klarifikasi bahwa tidak semua jenis perlawanan terhadap
pemerintah serta merta harus dikategorikan sebagai pemberontak
misalnya saja demonstrasi atau kritikan yang disampaikan kepada
pemerintah sebab hal ini merupakan bagian dari amar ma’ruf
nahi munkar.
14. Demonstrasi dan kritikan tidak dapat dikategorikan sebagai bughat
selama tidak memenuhi tiga syarat yang disebutkan oleh para ulama
fiqh. Tiga syarat yang dimaksud ialah 1) mereka yang memberontak
memiliki kekuatan, dan kekuatan ini dalam bentuk menyatukan
senjata, logistik, massa, wacana dan sejenisnya, 2) mereka keluar dari
ketaatan terhadap pemerintah yang sah, 3) mereka menggunakan
penafsiran atau ta’wil yang batil. sebab itu, dapat dipahami bahwa
bila ada sekelompok orang memiliki kekuatan saja namun mereka tidak
keluar dari ketaatan terhadap penguasa maka mereka tidak dapat
dikategorikan sebagai bughat.