ahuan bukan sebuah konsep sederhana
dan tunggal, namun konsep ini meliputi berbagai pandangan
dan perspektif yaitu metafisik, epistemologis, etis dan
metodologis. Islamisasi sains juga berupaya menempatkan sains
Islam dalam kontestasi sains kontemporer. Oleh karena itu,
asumsi-asumsi filosofis yang dikembangkan oleh Naquib al-Attas,
Sayyed Hossein Nasr, dan Ismail R. Faruqi menunjukkan betapa
konsep Islamisasi sains ini tidak tunggal melainkan sangat
luas dan kompleks. 1
Berbeda dengan pemikir yang mendukung islamisasi sains
dan sains Islam. Sebagian pemikir dan saintis masih meragukan
eksistensi (ontologi) dan termasuk juga epistemologi (paling
banyak didiskusikan) islamisasi sains dan sains Islam yang
diusung oleh para pemikir ilmuwan Muslim seperti Ismail Raji AlFaruqi, Ziauddin Sardar, Sayyid Nuquib al-Attas, Osman Bakar
dan Muzaffar Iqbal. Di antara pemikir yang mengkritk upaya
islamisasi sains yaitu Mohammed Arkoun. Menurut Arkoun,
konsep islamisasi sains mesti diawali dengan kritik epistemologis
radikal terhadap pengetahuan. Hal ini diperlukan dengan cara
membedakan diskursus yang bersifat ideologis dengan diskursus
ide sehingga dapat mengelaborasi suatu epistemologi kritis baru
(new critical epistemology).1
Istilah sains sakral dan sains profan (sacred science and
profane science) yang dikemukan oleh Nasr yaitu untuk
membedakan dengan konsep sains tradisional dan sains modern
(traditional science and modern science). Perbedaan mendasar
antara sains tradisional dan sains modern yaitu pada posisi
profan dan sakralnya. Bagi sains tradisional, sakral berada pada
posisi sentral sedangkan profan berada pada posisi marjinal.
Berbeda dengan sains tradisional, sains modern menempatkan
profan di posisi sentral sedangkan yang sakral terletak pada posisi
marjinal.1
Nasr pada dasarnya terjebak pada dikotomi sains dan
agama dengan konsepnya tentang sains dengan pendekatan
gnostik, tradisional dan suci Nasr bagi Guessoum masuk kepada
aliran mistik. Sedangkan Abdul Salam dan Hoodbhoy yaitu
aliran sekular, universal dan konvensional yang mamandang
bahwa sains bersifat objektif dan universal sehingga tidak ada
yang namanya sains Islam, sains cina, dan sebagainya. Pada sisi
lain, konsep islamisasi pengetahuan dan sains oleh al-Faruqi dan
al-Awani dinilai gagal dan tidak berkembang.1
Bagi Ibrahim Kalin, Nasr, al-Attas, Osman Bakar yang
mengemukakan dan mendukung islamisasi sains dan sains Islam
pada dasarnya yaitu dimensi baru dalam perdebatan sains dan
Islam. Mereka yaitu para pemikir yang berupaya
mempertahankan tradisi keilmuan yang dilandasi kosmologi dan
metafisika Islam. Saintisme modern dan klaim yang tidak sesuai
dengan sejarah tentang kebenaran dan validitas universal mesti
ditolak. Inilah perbedaan yang sangat tajam antara konsep tentang
alam yang dilandasi dengan nilai-nilai sakral keagamaan dengan
sains modern yang sekular.
1
Islamisasi sains kemanusiaan (human sciences) tidak akan
berhasil tanpa adanya perubahan yang lebih besar dalam kerangka
sosial.1 Islamisasi sains termasuk sains Islam yang
dikembangkan oleh Nasr dan Sardar secara teoretis dapat
dikatakan sebagai sebuah konsep yang bersifat utopis, simplistik,
dan tidak dapat diterapkan karena pada dasarnya sains Islam tidak
dapat dipisahkan dengan sains Barat dan rentan di bawah kontrol
sistem kapitalisme global.1
Relasi sains dan agama dalam konteks Islam sebagian
besar cenderung memakai tipologi Barbour yaitu konflik,
independen, dialog, dan integrasi. Nasser Mansour dalam
penelitiannya terhadap pandangan keagamaan guru yang mengajar
sains di sekolah menyimpulkan bahwa kecenderungan dialog dan
integrasi sains dengan Islam pada dasarnya tetap menjadikan
agama sebagai sesuatu yang lebih utama. Dialog sains dan agama
yang dimaksud yaitu dialog di bawah otoritas agama. Hal
ini karena sains terbatas dan tidak dapat menjawab segala
hal, sementara agama dapat menjawab dan memberi petunjuk
untuk sains. Dalam konteks integrasi, integrasi dengan sains
yaitu sebagai bagian dari ajaran Islam. Sains boleh jadi dapat
membuktikan kebenaran agama, namun kebenaran agama tetap
mutlak walaupun tidak atau belum dapat dibuktikan atau
dijelaskan oleh sains.1
Diskursus Islam dan sains memerlukan beberapa
pertimbangan sehingga menjadi lebih bermakna. pertimbanganpertimbangan ini yaitu pertama, pertimbangan
epistemologis terkait dengan status al-Quran dalam hubungannya
dengan sains modern, kedua yaitu konsep tentang Tuhan,
perbuatan Tuhan dan serta hubungan Tuhan dengan makhluk,
ketiga yaitu tentang konsep kosmos dalam Islam, termasuk
pluralitas dari dunia nyata dan gaib. Pertimbangan keempat yaitu
konsep alam dalam Islam dan berbagai macam konsep alam dalam
sains modern. Terakhir yaitu tentang makna ayat-ayat yang
bersifat ‚ilmiah‛ yang ditulis dalam beberapa literatur tafsir serta
hubungannya dengan pesan utama dari al-Quran.
Dalam sejarah perkembangan sains, sains Islam
merupakan salah satu fase penting dan menentukan. Tanpa adanya
sains Islam, maka sains Barat tidak akan pernah berkembang.
Meskipun demikian, sains Islam sangat berbeda dengan sains
Barat seperti yang berkembang pada revolusi ilmiah abad ke-1 .
Perbedaan ini yaitu mengenai pemahaman terhadap alam
dan peran sains alam dalam skema pengetahuan atau dengan kata
lain landasan dan konsep epistemologi antara sains Islam dan sains
Barat sangat berbeda.1
Bagi Ausaf Ali, semua sains bersifat sekular, empiris, dan
bahkan materialistik. Oleh karena itulah, kebenaran sains bersifat
probabilistik dan tentatif. Tidak ada kebenaran yang bersifat
abadi, permanen dan mutlak dalam sains. Sains memiliki otonomi
sendiri yang mengatur sistem dan metodenya. Sesuatu yang di luar
sains tidak memiliki hak dan kompetensi untuk menilai sains. Hal
inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa terjadinya konflik
antara sains dan agama karena sains tidak setuju dinilai, diatur,
dan dikoreksi oleh agama. Agama tidak memiliki kompetensi
untuk menilai metode dan temuan sains. Kebenaran sains hanya
dapat dikoreksi oleh temuan sains yang lebih baik.1
Ausaf Ali membagi teori ilmiah dalam skala yang lebih
luas menjadi dua teori yaitu teori konkatinasi dan teori hirarki.
Teori konkatinasi yaitu teori yang menghubungkan atau
menggabungkan bermacam-macam proses secara bersama-sama
terkait dengan suatu fenomena sedemikian rupa sehingga
menghasilkan suatu kerangka yang kuat dan berkembang seperti
teori evolusi, big bang, psikoanalisis, dan materialisme Marx.
Teori hirarki yaitu teori yang bertolak belakang dengan teori
konkatinasi. Teori ini dibangun atas deduksi logis dari
seperangkat premis dan asumsi dasar seperti teori ekonomi baik
ekonomi mikro maupun makro. Kekuatan teori hirarki yaitu
terletak pada validitas dan relevansinya terhadap asumsi yang
menjadi dasar teori ini .1
Dalam konteks intelektual dan budaya, persoalan sains
dan Islam meliputi tiga dimensi penting. Ketiga dimensi ini
yaitu perkembangan sains secara historis selama peradababan
Islam, isu-isu tentang penerapan secara praktis sains di dunia
Islam, dan diskusi konseptual tentang konflik, harmoni dan
pemisahan Islam dengan sains modern.1 Guessoum melihat
bahwa pendidikan dan sosial yaitu penting dalam diskursus Islam
dan sains masa depan.1
Pemahaman literal terhadap al-Quran dan hadis bagi kaum
salafi membuat mereka tidak peduli terhadap kebenaran ilmiah
dan kebenaran lainnya karena mereka anggap bertentangan dengan
paham mereka. Mereka merasa tidak perlu melakukan rekonsiliasi
penafsiran karena teks al-Quran sudah sempurna dan adanya lebih
awal dibadingkan dengan teori-teori kebenaran ilmiah dan
kebenaran lainnya ini .1
Sementara itu, para modernis Islam pada abad ke-1 dan
awal abad ke- cenderung berupaya untuk melakukan
rekonsiliasi antara Islam dan pencerahan yang terjadi di Barat
dalam konteks penggunaan rasio. Perdebatan relasi rasio dan Islam
pada masa ini bersifat transnasional dan dipengaruhi oleh
tradisi Barat. Di antara bentuk rekonsiliasi ini termasuk
rasionalisasi pemahaman tentang mujizat dan penafsiran terhadap
teks al-Qur’an.
1
Menurut Brooke, Guessoum mengkritik pandangan
dikotomis Nasr terhadap sains dan agama antara tradisi Islam dan
Kristen. Konsep sains Islam yang didasarkan pada nilai-nilai
spiritual dihadapkan pada sains Barat yang bersifat kuantitatif
materialistik. Polaritas antara sains Barat dan sains Islam yang
bersifat spiritual mengganggu harmoni sains dan agama dalam
tradisi Islam dan Kristen dimana Guessoum mencoba membangun
konsep kesamaan di antara keduanya. Antara Nasr dan Guessoum
ada perbedaan yang tajam tentang posisi Ibn Rushd. Menurut
Brooke, Nasr lebih cenderung dijadikan sebagai tokoh besar dalam
tradisi filsafat Barat dibandingkan bagian integral dari tradisi
intelektual Islam, sedangkan Guessoum menempatkan Ibn Rushd
sebagai pemikir utama yang menjadi dasar dan pengembangan
diskursus sains dan Islam.1
Menurut Guessoum, konsep teistik sains sejalan dengan
keyakinan agama lain khususnya Kristen dalam mengembangkan
sains. Konsep ini juga merupakan solusi bagi berbagai krisis sains
modern yang kehilangan nilai, makna, dan moralitas. Dalam hal
ini, Salman Hameed meragukan konsep ini karena persoalan
makna dan moralitas tidak hanya semata-mata milik teisme tapi
juga merupakan bagian dari kerangka pengembangan sains bagi
kalangan ateis. Oleh karena itu, persoalan makna menjadi tidak
jelas arah kritikan dihubungkan dengan kosmologi. Di samping
itu, secara pragmatis konsep teistik sains menjadi kurang efektif
untuk menyerukan umat Islam untuk mengembangkan sains.1
Tujuan Guessoum menulis buku Islam Quantum ini yaitu
untuk menjelaskan secara terperinci tentang filsafat sains dan
hubungan dengan Islam dan menghidupkan perdebatan tentang
peran dan status sains pada warga Islam. Di samping itu, ia
ingin mengembangkan sebuah pola sintesis harmonis modern
antara sains dan Islam. Sasaran akhir dari upaya Guessoum ini
yaitu berupaya membangun sebuah konsep sains teistik yang
sejalan dengan Islam dan agama monoteistik lainnya terutama
Kristen. Konsep Quantum Question berupaya untuk memberi
solusi terhadap persoalan sains modern dan agama tanpa
menghilangkan atau menolak pemahaman saintifik tradisional
maupun modern.1 1
Menurut Zainal Abidin Bagir, Guessoum melihat berbagai
macam variasi pandangan terhadap sains dan Islam disebabkan
oleh perbedaan pemahaman dan penafsiran terhadap al-Quran
terkait dengan fakta dan teori ilmiah terbaru. Berbagai argument
Guessoum kadangkala menjadi tantangan terhadap agama serta
bagaimana dampak sains secara teologis maupun etis.
1 Motivasi
Guessoum untuk menghubungkan antara sains dan agama yaitu
untuk mencari makna dalam berbagai penemuan ilmiah yang tidak
dapat diberikan oleh sains. Contoh yang dikemukakan Guessoum
yaitu kosmologi. Kosmologis dan berbagai teori ilmiah sejalan
dengan prinsip-prinsip mendasar dari agama. Lebih jauh,
Guessoum bagi Bagir berupaya untuk membangun sebuah model
teologi yang sejalan dengan konsep agama tentang ketuhanan atau
teologi kealaman (natural theology).1
Dalam konteks teologi alam ini, Bagir menawarkan
konsep bahwa teologi harus mampu menjawab tidak hanya
pemahaman baru tentang perkembangan evolutif dari alam tapi
juga menjelaskan persoalan terkait alam seperti bencana. Di
samping itu, pemikiran teologi Islam tentang alam tidak hanya
dilihat dari sudut pandang teologis tapi juga etis atau bahkan
politis sehingga teologi Islam mampu memecahkan persoalanpersoalan krusial agama menyangkut isu krisis lingkungan,
biomedis, dan bencana alam.1
Yang menarik sekaligus mengkhawatirkan menurut
Guessoum yaitu berkembangnya paham dan kelompok ijaz.
Pandangan kelompok ini menyebar luas baik melalui konferensi
maupun media, termasuk juga berkembangan kelompok kreasionis
seperti Harun Yahya yang sangat gencar menyerang teori evolusi
Darwin.1 Kreasionis memang cenderung melihat teori evolusi ke
dalam tiga perspektif atau sikap yaitu meragukan, menolak, atau
mentransformasikannya agar sesuai dengan pemikiran
keagamaan.1
Menurut Guessoum, sains modern paling tidak membawa
tiga teori besar yang berimplikasi terhadap konsep ketuhanan.
Ketiga teori ini yaitu teori evolusi Darwin, teori kosmologi
big bang, dan teori mekanika quantum. 1 Memahami prinsipprinsip utama ajaran Islam sangat penting agar dapat
merekonstruksi pandangan yang rasional dan bermutu terkait
dengan relasi sains dan Islam.
Guessoum menyebut pendekatannya terhadap sains
dengan istilah ‚theistic science‛ approach atau pendekatan ‚sains
teistik.‛ Pendekatan ini memiliki persamaan dan perbedaan
antara pendekatan Islam dan Kristen terhadap ekplorasi alam
secara ilmiah. Bagi Guessoum, pentingnya relasi sains dan agama
yaitu pada tataran praktis, tidak hanya teoretis. Oleh karena itu,
perlu didalami komparasi teologi tentang alam (theology of
nature) versus teologi kealaman (natural theology) dalam Islam.1
Guessoum mengklarifikasi bahwa bahwa ia tidak
menemukan konsep teistik sains. Teistik sains diambil dari
pemikiran Golshani dan pemikir Barat seperti Robert J. Russell,
Holmes Rolston, Haught, dan yang lain. Guessoum sendiri tidak
setuju dengan teistik sains sebagai interpretasi sederhana dari
sains modern. Kesimpulan Bagir terhadap filsafatnya sudah tepat
yaitu pertama menerima teori dan metodologi sains modern secara
umum dan kedua menambahkan interpretasi teistik terhadap teoriteori ini .1
Teologi tentang alam (theology of nature) disebut oleh
M.B. Altaie dengan daqi>q al-kala>m dapat menjadi dasar yang kuat
untuk pengembangan filsafat secara konsisten dan maju yang
sejalan dengan sains modern. Di samping itu, teologi tentang alam
ini dapat menjadi dasar pembaharuan pemikiran Islam yang terkait
dengan berbagai pola intelektual dunia modern jika dibagun
kembali dan digunakan secara tepat. Teologi tentang alam ini juga
sangat potensial dalam membangun kembali pemahaman umat
Islam tentang alam, realitas, kehidupan dan hubungannya dengan
Tuhan. Teologi ini juga banyak membahas tentang persoalan
fisika modern seperti tentang konsep ruang, waktu, gerak,
kekuatan dan sebagainya sehingga teologi ini dapat menjadi dasar
bagi pengembangan filsafat sains dalam Islam.1
Para filsuf menyakini bahwa tidak ada kontradiksi yang
mendasar antara wahyu dan sains, antara rasionalisme dan
keyakinan.
1 Para pembaharu Islam banyak yang tertarik dengan
sufisme khususnya konsep Ishraqi dari Suhrawardi. Jamal al Din al
Afghani yaitu salah seorang yang tertarik dengan ishraqiyah
Suhrawardi. Yang menarik yaitu sufisme sering memakai
matematika dan sains sebagai sebuah bantuan untuk melakukan
kontemplasi.1
Fenomena alam hanya dapat dipahami dengan hukum
alam yang sifatnya tetap. Oleh karena itulah Tuhan menciptakan
hukum alam, sebab kalau hukum alam berubah tentu tidak ada
gunannya Tuhan menciptakan hukum alam. Ada peristiwaperistiwa seperti mu’jizat para nabi, bagi Guessoum terbuka untuk
ditafsirkan ulang dan seharusnya dipahami secara metaforis.
Guessoum memahami konsep sains Islam (Islamic
Science) yang dikembangkan oleh pemikir Muslim seperti
Ziauddin Sardar. Meskipun demikian, ia memberi beberapa
keberatan dan kritik terhadap ide sains Islam ini . Pertama,
ide bahwa implementasi sains harus memperhatikan etika, moral,
kepatuhan kepada Tuhan, dan kondisi sosial yaitu
mencampuradukan antara sains dan teknologi. Penelitian sains
harus bebas dari segala pertimbangan ini untuk
menghasilkan temuan yang objektif, sedangkan teknologi
merupakan gabungan dari sains, kebijakann, lingkungan dan
kondisi sosial. Kedua, sains Islam Sardar meluas sampai kepada
berbagai cabang ilmu termasuk sosial, politik, dan budaya
sehingga perdebatan sains pun meluas tidak hanya di kalangan
ilmuwan tapi juga warga . Pemikiran ini menjadikan
diskusi tentang sains rumit dan tidak terarah. Terakhir, ide dan
proyek tentang Sains Islam dan sejenisnya lahir dari pemikir
Muslim di Barat kecuali Golshani. Di samping itu, sangat sedikit
dari karya-karya yang ditulis dalam bahasa Arab. Bagi Guessoum,
kritik-kritiknya ini bukan untuk mereduksi apa yang telah
diupayakan oleh pemikir Muslim namun paling tidak dapat
diketahui dan diukur apa yang telah dilakukan oleh umat Islam
terhadap pengembangan sains.1
Diskursus Islam dan sains sejak tahun 1 -an seperti
yang dikembangkan oleh Nasr, al-Faruqi, dan Sardar telah
berupaya menformulasikan posisi keislaman, namun konsep Nasr
dan al-Faruqi tampaknya berakhir ataupun menguap begitu saja,
sedangkan konsep Sardar masih tetap berjalan seiring dengan
perkembangan sains itu sendiri.Dalam Islam, mukjizat terhadap Nabi Muhammad SAW
yang terbesar yaitu al-Quran yang menjadi pedoman hidup umat
Islam. Di samping itu, mukjizat yang lain yaitu peristiwa Isra
dan Mi’raj, meskipun hal ini terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama dan pemikir Islam. Isra Miraj dapat saja dijelaskan
sebagai pengalaman spiritual. Peristiwa ini ditafsirkan
berbeda oleh ulama dengan cara penafsiran allegoris maupun
literal.1
Dalam pengembangan diskursus Islam dan sains ke depan,
Guessoum mengajukan beberapa hal yang patut dipertimbangkan
dan dibutuhkan saat ini. Pemikiran Guessoum ini yaitu
perlunya pengajaran filsafat sains, mempelajari kembali sejarah
sains termasuk kontribusi dan pertumbuhan sains di dunia Islam,
perlunya dialog dengan teolog dan pemikir Islam tentang sains
dewasa ini yang menjadi perhatian utama mereka selama ini, perlu
mendidik warga bahwa persoalan sains sangat terkait dengan
ranah keagamaan, serta perlunya menjalin komunikasi dengan
pemikir non Muslim yang telah banyak mengembangkan persoalan
relasi sains dan agama.1
Keteraturan alam dan prinsip anthropik (anthropic
principle) dalam perspektif Islam yang dikembangkan oleh para
pemikir Islam terbagi dalam beberapa pandangan. Pertama,
anthropic principle dilihat sebagai sebuah bentuk dari konsep
teleologis yang sepenuhnya didukung oleh tradisi Islam. Kedua,
sebagian aliran dan pemikir Islam tidak tertarik dengan
perkembangan sains yang didasarkan pada natural teologi. Ketiga,
sebagian besar umat Islam, termasuk sebagian besar kelompok
elit, menolak menerima segala bentuk prinsip termasuk anthropic
principle yang sepenuhnya cocok dengan teori evolusi alam baik
secara fisik, kimiawi dan biologis. Bagi Guessoum, pada dasarnya
banyak ayat-ayat yang sesuai dan mendukung konsep keteraturan
alam baik dari sisi ukuran dan keseimbangannya yang
diperuntukkan untuk kepentingan manusia.1
Tauhid (Keesaan Allah), Amr (Perintah), serta hubungan
Qadr (Ketentuan) dan Mizan (Keseimbangan) yaitu tiga konsep
yang ada dalam al-Qur’an dan memiliki peran penting tidak hanya
dalam ajaran Islam tapi juga dalam pemahaman terhadap relasi
antara Islam dan sains. Ketiga konsep ini juga penting dalam
memahami perbedaan pandangan dan aliran dalam pemikiran
Islam.1
Manusia dalam konsep Islam diciptakan untuk mengabdi
kepada Allah, sehingga pada dasarnya alam merupakan fasilitas
untuk manusia untuk mencapai tujuan hidupnya ini . Manusia
harus mampu mempelajari dan menguasai prinsip keteraturan
alam dan anhtropic principle karena ia merupakan pusat dari
semesta ini dan semesta ini diciptakan untuknya. Yang paling
penting yaitu tujuan penciptaan ini yaitu berdasarkan
kehendak Allah yang secara garis besar di luar pemahaman
manusia
Keunikan diri manusia yaitu mampu memahami semua
eksistensi. Oleh karena itulah, filsafat eksitensialisme Muhammad
Iqbal menolak segala bentuk dikotomi termasuk dikotomi sains
dan agama. Kegagalan Barat yaitu penolakannya terhadap agama
demi untuk memperkokoh dan menegaskan kebenaran sains
sebagai satu-satunya kebenaran objektif. Sementara, Umat Islam
cenderung memandang agama sebagai sebuah pemahaman ekslusif
yang berbeda dengan sains dan filsafat. Bagi Iqbal, kedua kutub
peradaban ini telah terjebak pada dualisme dan menyebabkan
terjadinya distorsi. Eropa mengarah pada materailisme yang tidak
manusiawi, sedangkan kaum muslim terperosok dalam pasivitas
dan mistisisme. Pendek kata, keruntuhan sains di Timur sejalan dengan kejatuhan spiritual di Barat.1 Salah satu masalah akut
yang selalu mengancam peradaban manusia yaitu konflik
tersembunyi (hidden conflict) antara soft sciences dan hard
sciences khususnya antara agama dan sains sebagai karakter sains
modern yang sekular. Oleh karena itu, integrasi kedua jenis sains
ini atau secara sederhana intergrasi sains dan agama sangat
diperlukan bagi dunia kontemporer untuk membangun peradaban
yang manusiawi dan kemanusiaan yang beradab.1 1
Konflik sains dan agama telah berlangsung sekitar empat
abad dan sekarang telah berakhir. Konflik sains dan agama yang
telah terjadi mencakup berbagai bidang ilmu. Perdebatan sains dan
agama dalam bidang astronomi yaitu tentang posisi bumi dalam
alam semesta. Masalah usia bumi yaitu perdebatan dalam bidang
geologi. Teori evolusi menjadi pertentangan yang sengit antara
biologi dan agama. Perdebatan juga termasuk dalam bidang
psikologi terkait dengan teori Sigmud Freud tentang agama. 1
Islam baik secara hitoris maupun ajarannya tidaklah asing
terhadap sains. Meskipun demikian, untuk perkembangan dan
kondisi dewasa ini, umat Islam harus memulai mengembangkan
dengan level kesadaran yang baru, integritas intelektual, dan nilainilai praktis pengembangan dan penggunaan sains.1 Pandangan
ini agaknya menjadi hal perlu diperhatikan terkait dengan
kondisi kekinian umat Islam dalam kaitannya dengan pentingnya
peran sains dewasa ini. Sains meamng pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari segala aspek kehidupan manusia zaman sekarang.
Menurut Sadik al-Azm, Islam jika dipahami sebagai
sebuah ajaran yang mengandung prinsip-prinsip yang valid, ideal,
permanen dan statis tidak akan dapat merekonsiliasi dirinya
dengan paradigma sains yang baru dan dominan saat ini. Sama
halnya dengan yang terjadi pada agama lain khususnya Kristen
pada awal abad modern. Sebaliknya, jika Islam dipahami sebagai
sebuah keyakinan yang dinamis dan hidup (living), maka ia akan
dapat merespon perubahan paradigma sains yang begitu cepat,
luas, dan terus menerus. Lebih jauh, Islam akan dapat
merekonsiliasi dan mengakomodasi dirinya dalam konteks
tertentu dan bersifat temporer dengan perkembangan sains dan
pemikiran dewasa ini seperti yang terjadi dalam sejarah.1
Respon saintis muslim terhadap dialog sains dan agama
terdiri dari dua bentuk yaitu penolakan secara sistematis terhadap
polarisasi sains dan agama, dan pengakuan atau penerimaan
terhadap pandangan ilmiah dialog sains dan agama. Keduanya
sama-sama tidak menginginkan adanya pembatasan terhadap sains
modern dan sama-sama mendukung perlunya teknologi sebagai
bagian dari sains.1
E. Kritik terhadap Pemikiran Nidhal Guessoum
Guessoum yaitu termasuk salah seorang generasi baru
intelektual Muslim yang mendalami sains dan secara aktif terlibat
dalam dialog Islam dan sains. Salah satu kritik terhadap
Guessoum yaitu ia terlalu banyak membahas Islam dari sisi
metafisika padahal metafisika ini cenderung dianggap berada di
luar ranah sains. Di samping itu, Guessoum cenderung
memakai analisis teologis-filosofis ketika menjelaskan
hubungan Islam dan kosmologi, sedangkan kosmologi dewasa ini
berbeda dengan kosmologi pada masa keemasan Islam. Kosmologi
saat ini lebih merupakan bagian dari sains eksperimental.1
Tujuan Guessoum yaitu ingin merekonsiliasikan tradisi
keagamaan dengan modernitas keilmuan dan rasional dan
bagaimana mempertemukannya (quantum) tanpa schizopherenia
(ganguan proses berfikir). Ia banyak merujuk upayanya ini
dengan pemikiran Ibn Rushd dan berdasarkan prinsip tauhid,
meskipun ia tidak secara luas menjelaskan apa yang dimaksud
dengan prinsip tauhid ini . Pada dasarnya, Guessoum tidak
memiliki pendekatan yang ekslusif tentang agama dalam hal ini
Islam yang dapat direkonsiliasi dengan sains.1
Terkait dengan tanggapan Bagir yang menyatakan bahwa
agenda yang ditawarkan Guessoum terbatas dan harus diperluas
sampai masalah teologi alam (natural theology). Teologi ini tentu
saja akan sangat terkait dengan pengkajian teologi Islam dan
relevansinya dengan fenomena alam termasuk bencana. Dalam
konteks ini, Guessoum membedakan antara teologi alam (natural
theology) dan teologi tentang alam (theology of nature). Apa yang
dikembangkan umat Islam selama ini yaitu teologi alam seperti
pengakajian tentang argument keteraturan alam, sementara kajian
teologi tentang alam (theology of nature) masih sangat sedikit. Ia
setuju mestinya yang harus lebih dikembangkan yaitu theology
of nature yang sangat erat kaitannya dengan fenomena alam
termasuk bencana.1
Rekonsiliasi Islam dan sains Guessoum jika ditinjau dari
pendekatan Stenmark yaitu rekonsiliasi yang memiliki butirbutir independensi jika berhadapan dengan metode empiris
matematik.1 Salman Hameed menilai bahwa Guessoum
menawarkan sebuah pendekatan yang rumit terhadap rekonsiliasi
sains modern dengan tradisi Islam. Kritik Guessoum terhadap
beberapa literatur tentang Islam dan sains memiliki nilai lebih
termasuk tentang tawarannya mengenai sains yang baik dan
pendidikan sains di dunia Islam. Pemikiran Guessoum tentang
sains teistik tidak begitu jelas jika dibandingkan dengan
pemikirannya tentang perkembangan sains dan metodologi ilmiah.
Terlepas dari berbagai kelemahan dari pemikiran Guessoum,
bukunya Islam’s Quantum Question yaitu tonggak sejarah dalam
literatur Islam dan perlu bagi siapa saja yang mencari makna sains
dan agama.1
Secara singkat, pemikiran Guessoum tentang relasi sains
dan Islam tidak terlepas dari perjalanan hidup dan dinamika
intelektual Guessoum dalam membentuk karakter dan fondasi
epistemologinya. Pemikiran Guessoum dilandasi prinsip-prinsip
dasar ajaran Islam, khasanah pemikiran Islam klasik, tidak anti
modernitas, dan apresiasi terhadap kontribusi filsafat sains
kontemporer. Relasi sains dan agama khususnya Islam pada
dasarnya harmoni. Guessoum memandang bahwa relasi sains dan
Islam khususnya sains dan al-Qur’an, Islam dan teori evolusi, serta
sains dan problem ketuhanan mesti dipahami dengan
memakai pendekatan beragam dan berlapis supaya
mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan terbuka.
Harmonisasi Islam dan sains yaitu dengan rekonsiliasi Islam dan
sains. Sains teistik yang dilandasi dengan nilai-nilai transendental
menjadi solusi alternatif agar umat Islam kembali mencapai
kejayaannya dalam sains.
Bab ini yaitu analisis komparatif pemikiran Nidhal
Guessoum dan Ken Wilber tentang relasi sains dan agama.
Analisis komparatif ini diawali dengan cara melihat
persamaan dan perbedaan dinamika kehidupan dan intelektual
mereka. Bagian selanjutnya menguraikan analisis perbandingan
konsep epistemologi mereka. Setelah diperoleh persamaan dan
perbedaan tentang konsep epistemologi mereka, bab ini juga akan
mengelaborasi distingsi pandangan dan konsep relasi sains dan
agama dari kedua tokoh. Pada bagian akhir bab ini membahas
tentang implikasi teoretis dan praktis relasi sains dan agama baik
diskursus di dunia Islam umumnya dan negara kita khususnya.
A. Perbandingan Konsep Epistemologi Guessoum dan Wilber
1. Perbandingan Dinamika Intelektual
Sebelum menganalisis lebih jauh perbandingan konsep
epistemologi Guessoum dan Wilber, perlu terlebih dahulu
menelusuri perbandingan dinamika intelektual keduanya. Hal
ini penting karena dinamika intelektual memiliki pengaruh
baik langsung maupun tidak terhadap konsep epistemologi yang
dikembangkan. Aspek-aspek kehidupan dan dinamika intelektual
yang akan dianalisis meliputi latar belakang keluarga, pendidikan, sosial budaya, serta termasuk latar belakang keyakinan dan
agama.
Guessoum dan Wilber sama-sama berasal dari keluarga
yang menghargai peran dan pentingnya ilmu pengetahuan. Hal
ini dibuktikan dengan dorongan yang kuat dari kedua orang
tuanya agar mereka dapat menempuh pendidikan setinggitingginya. Baik kedua orang tua Guessoum maupun Wilber
berupaya membekali mereka dengan ilmu pengetahuan. Guessoum
dan Wilber juga dibekali dengan semangat dan suasana serta
pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Guessoum dibesarkan dalam keluarga yang sangat
memperhatikan pentingnya pengetahuan dan pengamalan nilainilai keislaman. Sebagai keluarga yang konsisten terhadap
pengamalan ajaran Islam, Guessoum juga dibekali dengan
pendidikan sains dan ilmu-ilmu yang menunjang untuk
meningkatkan kemampuan intelektualitasnya. Hal ini
disebabkan oleh kedua orang tuanya memiliki latar belakang
intelektual yang menunjang untuk membentuk keluarga yang
agamis dan modern. Ayahnya yaitu seorang ilmuwan yang h{a>fiz{
al-Qur’an dan ibunya yaitu seorang master dalam bidang
literatur Arab. Guessoum pada masa kecilnya banyak
mendapatkan arahan dan bimbingan dari kedua orang tuanya.1
Pada sisi lain, Wilber dibesarkan dalam keluarga yang
kedua orang tuanya memiliki karakter yang bertolak belakang.
Ayahnya yaitu seorang militer yang berprofesi sebagai pilot
pesawat tempur Amerika dan ibunya sangat menggemari estetika.
Perpaduan dua karakter inilah yang turut membentuk karakter
Wilber menjadi seorang yang integrasionis, holistik, dan unik.
Wilber pada masa kecilnya lebih banyak mendapatkan arahan dan
bimbingan dari ibunya. Kepribadian ibunya yang lebih cenderung
menonjolkan nilai-nilai estetika memengaruhi kepribadian Wilber
yang menyukai psikologi dan spritualitas serta suka menulis.
Dua karakter yang berbeda antara Guessoum dan Wilber
tentu saja memengaruhi cara berfikir mereka dalam banyak hal,
termasuk bagaimana mereka menganalisis diskursus sains dan
agama. Guessoum cenderung memakai pendekatan
rekonsiliatif sedangkan Wilber cenderung memakai pendekatan integratif. Persamaan dan perbedaan kedua
pendekatan ini akan dipaparkan pada bagian berikutnya.
Berdasarkan latar belakang pendidikan, baik Guessoum
maupun Wiber sama-sama mendalami sains khususnya sains
kealaman (natural sciences). Keduanya sama-sama memiliki
prestasi yang baik semasa pendidikan. Keduanya juga
menghasilkan banyak karya dan pemikiran yang brillian.
Guessoum menulis banyak buku dan artikel di bidang sains, serta
sebuah buku yang monumental dan banyak artikel dalam konteks
relasi sains dan agama Islam. Pada sisi lain, Wilber juga banyak
menghasilkan karya yang monumental termasuk buku-bukunya
terkait dengan relasi sains dan agama.
Riwayat pendidikan Guessoum sejak dari sekolah dasar
sampai dengan strata tiga dapat dikatakan berjalan dengan lancar,
berkelanjutan, linier, dan tanpa ada kendala yang cukup berarti. Ia
mendapatkan doktor dalam bidang astrofisika teoretis dari The
University of California pada saat berusia tahun.
Pendidikannya yang konsisten dalam bidang sains menjadikannya
ahli di bidang astrofisika. Ia banyak melakukan penelitian terkait
dengan bidangnya serta menjadi pembicara dalam berbagai
seminar dan konferensi sains. Di samping itu, penguasaan
Guessoum terhadap khazanah dan pemikiran Islam mendorong ia
untuk mengkaji dan menulis tentang relasi sains dan Islam.
Pada sisi lain, Wilber selalu mendapatkan prestasi terbaik
saat masih sekolah dasar dan menengah selain ia juga aktif dalam
organisasi dan olahraga. Pada masa pendidikan di perguruan
tinggi, Wilber awalnya mengikuti pendidikan pada bidang
kedokteran di Universitas Duke, dan pada akhirnya menyelesaikan
sarjananya di dua bidang sekaligus yaitu biologi dan kimia.
Selama kuliah, ia lebih sering menghabiskan waktunya untuk
membaca filsafat, psikologi dan spiritualitas. Kemudian ia
melanjutkan pendidikan dengan beasiswa tingkat magister dalam
bidang biokimia dan biofisika, namun tidak selesai. Wilber
kemudian lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan
menulis buku. Wilber telah menulis lebih dari buku dan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa. Sebagian besar karya Wilber
terkait dengan persoalan sains, filsafat, psikologi, dan
spiritualitas. Dalam konteks kehidupan sosial budaya, Guessoum dan
Wilber memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Guessoum
bekerja secara professional di perguruan tinggi dan banyak terlibat
dalam berbagai organisasi profesi keilmuan serta lembagalembaga yang memiliki perhatian terhadap persoalan sains dan
agama. Pada sisi lain, Wilber lebih menyibukkan dirinya untuk
menulis dan terlibat dalam berbagai lembaga yang memiliki
perhatian terhadap pengembangan sains dan spiritualitas. Wilber
sempat mengalami persoalan yang luar biasa setelah menikah
karena istrinya menderita penyakit kanker sehingga ia tidak dapat
menghasilkan karya selama 1 tahun. Perjuangan dalam
menghadapi derita istrinya memberi pelajaran berharga
sehingga ia menjadi orang yang berupaya mendalami sisi batin
manusia dan spiritualitas. Pandangan ini ia tuliskan pada
beberapa buku-bukunya.
Perbedaan perjalanan hidup antara Guessoum dan Wilber
tidak hanya menghasilkan perbedaan karakter keduanya tapi juga
dalam konteks tertentu keduanya memiliki kesamaan karakter.
Salah satu persamaan ini yaitu kegelisahan keduanya
terhadap berbagai kekurangan khususnya persoalan pengembangan
ilmu dan pemikiran keagamaan warga . Guessoum sangat
mengkhawatirkan terhadap kemunduran umat Islam dalam hal
sains dan kondisi sosial budaya yang menghambat perkembangan
pemikiran Islam.
Pada sisi lain, Wilber mengkritik berkurang atau bahkan
hilangnya nilai-nilai esoteris ataupun spiritualitas bagi warga
modern di Barat. Modernisme telah menghacurkan spritualitas
agama-agama besar. Oleh karena itulah, Wilber kemudian juga
mendalami beberapa konsep spiritualitas dan menjalankan praktek
spiritualisme khsususnya Budhisme. Untuk menjawab
kegelisahannya ini , ia mendirikan sebuah lembaga yaitu The
Integral Institute.
Guessoum dan Wilber merupakan dua orang orang ilmuan
dan pemikir yang masih hidup dan dapat dikatakan sezaman. Di
samping adanya perbedaan karakter, Guessoum dan Wilber
cenderung bersikap kritis terhadap persoalan yang menjadi fokus
perhatian intelektual mereka. Keduanya tidak menerima begitu
saja pemikiran yang berkembang pada ranah intelektual dan
tradisi yang berkembang dalam warga . Guessoum sebagai
seorang yang dibesarkan dalam tradisi muslim yang taat dan
terdidik cenderung mempertanyakan segala bentuk pemahaman dan pengamalan warga Islam. Ia secara tegas melakukan
kritik terhadap dogma keagamaan, namun tetap menghargai dan
berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Wilber
sebagai seorang intelektual yang dibesarkan dalam tradisi Barat
dan sangat memahami tradisi ini secara multiperspektif
integratif juga cenderung tidak menerima begitu saja berbagai
pandangan warga terutama yang terkait dengan
intelektualitas dan spiritualitas.
Setelah membandingkan peran dan pentingnya latar
belakang kehidupan, pendidikan, dan tokoh yang memengaruhi
Guessoum dan Wilber dalam membentuk karakter dan fondasi
epistemologi mereka, hal yang tidak kalah pentingnya yaitu latar
belakang agama dan keyakinan mereka. Guessoum sebagai
seorang muslim tentu saja pandangan dunia (world view) yang
menjadi dasar dan landasan berfikirnya yaitu ajaran Islam.
Guessoum mendalami sains dan pemikiran Islam dilandasi oleh
nilai-nilai keislaman yang memerintahkan manusia untuk
memperkuat iman dan ilmunya. Di samping itu, Guessoum
memandang bahwa umat Islam harus mencapai kemajuan yang
dilandasi oleh semangat keislaman yang tinggi. Upaya kritis dan
progresif yang ia lakukan tentu saja tidak terlepas dari prinsipprinsip dasar ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan
hadis.
Pada sisi lain, Wilber yang bukan berasal dari keluarga
yang agamis dan baru mendapatkan pencerahan spiritual ketika
melihat dan menghadapi penderitaan istrinya. Wilber melakukan
kontemplasi dan mendalami berbagai spiritualitas timur termasuk
sufisme. Kecenderungannya pada spiritualitas inilah yang menjadi
dasar pemikirannya dalam memahami integrasi sains dan agama.
Guessoum dan Wilber agaknya begitu memahami filsafat
Barat sehingga keduanya seringkali mengutip pemikiran filsuffilsuf ternama dan aliran-aliran besar dalam filsafat khususnya
filsafat kontemporer. Meskipun demikian, Guessoum begitu
menguasai warisan tradisi intelektual dalam Islam sedangkan
Wilber pada dasarnya cenderung menguasai nilai-nilai spiritualitas
dalam berbagai agama termasuk tradisi sufi dalam Islam.
. Perbandingan Dasar dan Sumber Pengetahuan
Dasar dan sumber pengetahuan seperti telah diuraikan
pada bab dua paling tidak meliputi dua aliran internalisme dan
eksternalisme. Internalisme berpandangan bahwa dasar dan
sumber pengetahuan berasal dari dalam diri manusia, sedangkan eksternalisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari luar
diri manusia. Berdasarkan kedua aliran ini , dasar dan sumber
pengetahuan meliputi indera, rasio, intuisi, tradisi, otoritas, dan
wahyu. Oleh karena itu, secara umum dasar dan sumber
pengetahuan menurut Guessoum dan Wilber memiliki banyak
persamaan, namun secara khusus ada perbedaan yang cukup
fundamental.
Guessoum sebagai seorang Muslim secara tegas mengakui
wahyu sebagai sumber pengetahuan. Ia banyak merujuk berbagai
ayat al-Qur’an dalam merumuskan dan mengembangkan ide-ide
dan pemikirannya. Bahkan menurut Guessoum, al-Qur’an tidak
hanya secara epistemologis sebagai sumber pengetahuan, tapi juga
sebagai dasar dan landasan pengembangan sains dan teknologi
dalam Islam.
Guessoum cenderung kata ‘ilm dalam al-Qur’an
lebih merujuk kepada pengetahuan termasuk pengetahuan
keagamaan, bukan sains seperti yang sering disalahpahami oleh
sebagian pemikir dan pendidik. Oleh karena itu, konsep tentang
pengetahuan dalam Islam mesti terus dikembangkan karena tidak
mudah untuk menemukan konsep sains dalam al-Qur’an termasuk
dalam khasanah pemikiran Islam klasik sekalipun. Al-Qur’an
yaitu sebagai landasan pengembangan sains. Guessoum hanya
ingin memposisikan dirinya tidak ekstrim seperti pandangan yang
menyatakan bahwa al-Qur’an mengandung konten ilmiah. AlQur’an bukanlah ensiklopedia sains.
Guessoum pada dasarnya setuju dengan Golshani tentang
epistemologi al-Qur’an. Ia sering menyebut bahwa Qur’an
memberi secara lengkap dasar filsafat pengetahuan
(epistemologi) dan filsafat sains. Epistemologi al-Qur’an
menyatakan bahwa manusia diberi kemampuan untuk mempelajari
dan memahami segala sesuatu di alam. Bagi Guessoum,
pengetahuan itu dalam arti yang sangat luas, tidak hanya
pengetahuan tentang alam. Dalam hal ini, ia sepakat dengan
Golshani yang membagi pengetahuan dalam al-Qur’an ke dalam
tiga bentuk yaitu pengetahuan inderawi, pengetahuan intelek, dan
pengetahuan wahyu. Al-Qur’an juga sangat menekankan
pengetahuan empiris, bahkan dugaan tanpa bukti yaitu sesuatuyang berbahaya seperti dalam al-Qur’an surah al-Isra’ ayat dan
surah al-Baqarah ayat 111.
Pada sisi lain, Wilber berpandangan bahwa wahyu atau
teks kitab suci dari agama-agama besar seharusnya menjadi
sumber pengetahuan yang bersifat kontemplatif (the eye of
contemplation). Pada kenyataannya, banyak ayat-ayat yang
terkandung dalam The Book of Genesis tidak sejalan dengan fakta
empiris dan kebenaran rasional sehingga hal ini menjadi
objek kritik dan serangan dari filsuf untuk menghancurkan
dimensi empiris dan rasional dari agama. Wilber mencontohkan
dengan proses penciptaan alam selama tujuh hari dan matahari
mengelilingi bumi dalam Injil, bumi diibaratkan terletak di atas
punggung gajah atau pun kura-kura dalam Hindu dan Budha.
Semua konsep pemahaman yang ada dalam kitab suci ini
bertentangan dengan akal sehat dan sains.
Sejauh penelusuran
penulis, Wilber tidak ada membahas atau mencontohnkan dalam
al-Qur’an.
Guessoum dan Wilber pada prinsipnya sama-sama
mengutamakan cara berfikir kritis, komprehensif dan terbuka.
Dalam memahami agama termasuk kitab suci, Guessoum
memakai pendekatan beragam dan berlapis. Pada sisi lain,
Wilber dalam menganalisa segala sesuatu termasuk relasi sains
dan agama memakai pendekatan integral. Integral yang ia
maksudkan yaitu cara berfikir yang komprehensif dan terbuka.
Sama halnya dengan Guessoum, Wilber membagi tiga
jenis pengetahuan yaitu pengetahuan empiris (sains), pengetahuan
rasional (matematika dan logika), dan pengetahuan spiritual
(pengetahuan ketuhanan).1 Yang membedakannya yaitu
pengetahuan yang ketiga. Guessoum menyebutnya dengan
pengetahuan wahyu, sedangkan Wilber menyebut dengan
pengetahuan spiritual. Dengan kata lain, Wilber juga menyebut
dengan jenis pengetahuan inderawi, mental, dan transendental.
11
Dalam konteks pengetahuan yang ketiga inilah, jika Wilber
menyebut dengan pengetahuan transendental ada kesamaan dengan Guessoum yang juga menyebut pengetahuan wahyu
memiliki makna transendental. Sains bagi Wilber bukanlah
pengetahuan tentang dunia tapi lebih merupakan interpretasi
tentang dunia. Oleh karena itu, posisi sains sama dengan seni dan
puisi.1
Kesalahan dari empirisme hanya mengakui pengetahuan
yang benar harus didasarkan pada pengalaman, sementara
pengalaman yang dimaksudkannya hanya pengalaman inderawi
(sensibilia).1
Sebagai seorang yang cenderung posmodernis, Wilber
agaknya setuju dengan konsep posmodernisme tentang
pengetahuan. Pengetahuan yaitu konstruksi sosial, kontekstual,
non universal, interpretatif.1 Wilber pada dasarnya mengakui
semua jenis pengetahuan sebagaimana dalam konsep integralnya.
Sesuai dengan konsep integralnya. Semua jenis pengetahuan benar
sepanjang ia fokus pada zonanya masing-masing.1
Dalam hal dasar dan sumber pengetahuan, Guessoum
memang sangat dipengaruhi oleh Ibn Rushd. Ia merujuk pemikiran
Ibn Rushd terkait dengan perdebatan sumber pengetahuan dalam
filsafat dan agama. Ibn Rushd membagi tiga pembagian penting
dan orisinal tentang perdebatan ini . Ketiganya yaitu
filosofis, dialektis dan retoris.1 Sesuai dengan pandangan Ibn
Rushd, Akal dan wahyu saling melengkapi satu sama lain.1
Guessoum sependapat dengan al-Ghazali bahwa cara yang
paling tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui
pengalaman keagamaan yaitu kontemplasi. Sedangkan untuk
mengetahui Allah yaitu dengan wahyu. Di sini jelas bahwa,
wahyu sebagai sumber pengetahuan tentang Allah.1
Guessoum dan Wilber memandang pentingnya
penguasaan dan pemahaman secara kritis terhadap filsafat sains
terutama filsafat sains kontemporer. Mereka pada prinsipnya
mengapresiasi upaya dan pemikiran Thomas Kuhn, Imre Lakatos, dan Karl Popper serta Paul Feyerabend yang telah banyak
memberi kontribusi terhadap perkembangan filsafat sains.
Keemmpat filsuf sains kontemporer ini layak
dipertimbangkan sebagai dasar dan titik tolak pengembangan
filsafat sains di dunia Islam menurut Guessoum dan di Barat
menurut Wilber. Baik Guessoum maupun Wilber keduanya samasama banyak merujuk dan memakai analisis pemikiran yang
dikembangkan oleh filsuf-filsuf kontemporer ini .
Dalam konteks ini di atas, Guessoum memang tidak
hanya banyak menguasai filsafat Barat tapi juga filsafat Islam.
Guessoum sering kali tertarik dengan metode falsifikasinya
Popper dalam menganalisa dan merumuskan konsepnya dalam
pemikiran Islam terutama relasi sains dan Islam.1 Lebih jauh,
Guessoum memandang bahwa metode falsifikasi Popper sangat
tepat digunakan dalam memecahkan persoalan keilmuan dewasa
ini, bahkan metode falsifikasi ini juga sangat tepat dijadikan
sebagai prinsip pengembangan keilmuan dalam Islam.
\
Rekonstruksi pemikiran sains dalam Islam yang mencakup
metodologi dan epistemologi mesti mendapat perhatian yang
serius dari umat Islam. Guessoum memandang perhatian ilmuwan
Muslim khususnya masih sangat sedikit tentang hal ini .
Prestasi yang dicapai oleh ilmuwan Muslim dengan hadiah Nobel
seperti Abdul Salam pada dasarnya yaitu tetap sains Barat.
Ilmuwan Muslim tidak banyak yang mempertanyakan tentang
filsafat sains dan nilai-nilai keislaman apa yang dipakai dan
dikembangkan oleh ilmuwan peraih Nobel ini . 1
Pada sisi lain, Wilber juga tidak hanya menguasai filsafat
Barat tapi juga filsafat timur serta banyak membaca karyakaryanya pemikir Islam kontemporer. Bagi Wilber, ketiga filsuf
kontemporer ini telah memberi kontribusi yang besar
terhadap perkembangan pemikiran ilmiah terutama Thomas Kuhn.
Konsep Kuhn tentang paradigma dalam sains dapat dibuktikan
dengan jelas dalam sejarah sains. Wilber cenderung memposisikan
Thomas Kuhn lebih istimewa, sedangkan Guessoum lebih
menekankan peran Popper di antara keempat filsuf kontemporer
yang disebutkan sebelumnya. Guessoum sesuai pengakuan sendiri sangat mengagumi
Ibn Rushd, meskipun tidak menafikan peran dan kontribusi tokohtokoh lain dalam membangun fondasi epistemologi dirinya dan
perkembangan sains di dunia Islam. Ia menyebut Ibn Rushd
sebagai ‚a guiding spirit‛ dalam kehidupannya. Salah satu
keutamaan Ibn Rushd menurutnya tidak mempertentangkan antara
agama dan filsafat.
Pada sisi lain, Wilber pada dasarnya tidak
memiliki tokoh atau pemikir yang sangat memengaruhi
pemikirannya. Sebagai seorang yang mendalami psikologi,
spiritualitas, dan sains, Wilber tampaknya cenderung
mendapatkan pengaruh sedikit banyaknya dari ilmuan dan pemikir
seperti Carl Jung, Einstein dan beberapa filsuf teori kritis seperti
Habermas dan Herbert Marcuse. Mereka telah memberi
pengaruh terhadap pemahaman psikologi, sains dan daya kritis
Wilber.
Sementara itu, Guessoum hampir tidak pernah
menyinggung tentang Habermas dan Marcuse.
. Perbandingan Objek dan Struktur Pengetahuan
Pengetahuan bersifat global dan terbuka serta menjadi
bagian penting dalam peradaban manusia. Pengetahuan
monologis pra modern dan modern terfokus pada kuadran kiri
bawah saja. Hal ini bertolak belakang dengan dasar
epistemologi bahwa pengetahuan berhubungan dengan segala
macam objek secara tidak terikat. Pengetahuan dapat
berkorespondensi dengan segala tingkatan realitas baik realitas
fisik, realitas fikiran, dan realitas spiritual.
Berdasarkan diagram empat kuadran, jumlah jenis
pengetahuan dan sains sangat banyak. Tipe kebenaran atau klaim
validitas juga beragam
Tabel ini menggambarkan secara jelas tentang empat
kwadran yang menjadi fokus pemikiran epistemologi Wilber. Sisi
interior atau kiri menunjukan pengetahuan yang didasarkan pada
internal manusia manusia baik itu rasio maupun intuisi.
Sedangkan sisi kanan yaitu pengetahuan yang bersifat eksternal
yang di antaranya yaitu pengalaman inderawi. Validitas
pengetahuan didasarkan oleh dasar, sumber, objek dan struktur
pengetahuan seperti yang digambarkan pada table ini .
Pengetahuan yang merasal dari sisi kiri bersifat subjektif dan
intersubjektif, sedangkan pengetahuan yang berasal dari sisi kanan
bersifat objektif dan interobjektif. Bagi Wilber, semua jenis
pengetahuan ini harus diakui dan digunakan secara integral.
Wilber dengan tegas mengakui semua jenis pengetahuan
baik itu pengetahuan inderawi, pengetahuan mental (pikiran),
maupun pengetahuan spiritual atau transendental. Hal ini
dapat dilihat pada diagram di bawah ini. Pengetahuan dan pengalaman mistik boleh jadi tidak sama
dengan pengetahuan dan pengalaman empiris, namun ia memang
ada dan dapat dilakukan dan diajarkan meskipun sulit untuk
dijelaskan secara empiris. Pengetahuan mistik ini sangat berisfat
internal dan individual.
Sebagaimana disinggung pada bab kedua, epistemologi
sangat erat kaitannya dengan filsafat sains, bahkan filsafat sesuai
dengan perkembangan epistemologi merupakan salah satu cabang
dari epistemologi. Oleh karena itu, penelusuran epistemologi
Guessoum dan Wilber berikutnya juga termasuk pemikiran mereka
tentang filsafat sains.
Guessoum dan Wilber cenderung mempertanyakan dan
merumuskan terlebih dahulu pemahaman dan ranah sains secara
komprehensif dan luas. Ia mengkritik definisi sains yang dianggap
sebagai upaya objektif terhadap dunia sekitar dan cenderung
mengarah pada ranah alam fisik saja. Pada sisi lain, ia menyetujui
konsep sains yang dikemukakan oleh Sardar bahwa sains yaitu
seperangkat upaya penelusuran keilmuan yang teratur, sistematis,
dan terarah didasarkan pada eksperimen empiris dan dapat diulang
serta berlaku secara universal.
Pada umumnya, orang cenderung
memahami sains sebagai seperangkat metode mempelajari dunia
khususnya alam yang bersifat sistematis, objektif, kuantitatif, dan
dapat diuji kebenarannya. Persoalan selanjutnya yaitu apakahsains tidak mengandung unsur-unsur subjektif yang mungkin tidak
tersembunyi. Untuk mendalami hal ini , maka sains juga perlu
dipahami dengan pendekatan filosofis dan keagamaan agar
terhindar dari skeptisisme.
Sama halnya dengan Guessoum, Wilber juga
mempertanyakan makna dan ranah sains sebelum melihat lebih
jauh relasinya dengan agama. Kekhawatiran Wilber yaitu adanya
perbedaan definisi dan ranah sains sehingga orang cenderung
mempertentangkan dengan yang lain termasuk dengan agama.
Wilber beragumen bahwa ada kesan sains yang
dipertentangkan boleh jadi berbeda pemahamannya tentang sains
atau bahkan pseudo sains atau sains semu. 1
Sains yaitu seni atau cara modern dalam membangun
sebuah narasi yang menjelaskan tentang observasi terhadap alam
sehingga berguna untuk memprediksi atau bahkan mengontrol
alam. Definisi ini memakai kata narasi dengan
pertimbangan dua argumen. Pertama, beberapa fenomena alam
dapat dijelaskan dengan cerita seperti cerita tentang Apollo pada
masa Yunani Kuno. Kedua, definisi ini tentu saja tidak
mengeluarkan astrologi sebagai salah satu bidang sains meskipun
banyak pendapat tidak setuju memasukkan astrologi sebagai
bagian sains.
Sains memiliki beberapa ciri utama yang berbeda dengan
ranah pengalaman biasa. Pertama, sains khususnya matematika
dapat mengetahui dan memberi secara tepat hubungan
berbagai macam perubahan variabel yang dapat diukur, namun
tidak dapat mengetahui bentuk dan sifat dari sesuatu. Kedua, sains
khususnya biologi berupaya mengetahui bagaimana mekanisme
dan gerak dari sesuatu seperti makhluk hidup, namun tidak
mengetahui apa dan mengapa dari sesuatu ini . Ketiga, sains
dapat mengetahui sejarah dari segala sesuatu, namun tidak
mengetahui arah, tujuan dan makna dari makhluk hidup. Keempat,
sains sangat mudah menghitung dan mengetahui relasi eksternal
dari suatu objek ke objek lain atau dari suatu masa ke masa lain, namun tidak mampu hal-hal yang sifatnya dari manusia atau
makhluk hidup lainnya. Kelima, sains modern tidak terlalu peduli
terhadap sebab dari segala sesuatu, namun hanya mencoba
memahami aturan perubahan serta membuat prediksi.
Dari perspektif tujuan sains, menurut Rudolf Carnap,
secara praktis sains bersifat netral namun secara individual
memiliki tujuan moral serta dalam konteks sosial sains memiliki
tujuan politis. Pandangan ini dalam banyak hal tentu saja dapat
dibuktikan. Oleh karena itulah, Thomas Kuhn mengemukakan
analisisnya tentang sejarah dan perkembangan sains yang tidak
dapat terlepas dari paradigma yang berkembang saat itu. Thomas
Kuhn yaitu salah seorang filsuf kontemporer yang mendapatkan
perhatian serius baik oleh Guessoum maupun Wilber.
Sains modern bagi Guessoum tidak terlepas dari
kontribusi yang sangat penting dari Ibn Rushd, meskipun dalam
perkembangan selanjutnya banyak terjadi pergeseran tentang
paradigm sains modern. Pergeseran inilah yang dikritik oleh
Guessoum. Dalam konteks Barat, sains modern diawali metode
induksi Francis Bacon, padahal induksi ini telah digunakan oleh
al-Biruni ketika berdebat dengan Ibn Sina yang mempertahankan
deduksi.
Sains modern bagi Wilber tidak sesuai dengan pluralisme
epistemologi karena hanya mengakui epistemologi yang yang
telah direduksi hanya kepada ranah eksterior dan menolak ranah
interior. Ranah interior ini terkait dengan spiritualitas sehingga
sains modern pada dasarnya menolak spiritualitas. Penolakan
terhadap spiritualitas juga berarti menolak agama. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa sains modern terjebak pada reduksionisme
epistemologi.
Wilber pada dasarnya menganut ontologi dan
epistemologi pluralistik. Dalam ontologi pluralistik sains dan
agama bukan dipahami sebagai sesuatu yang bersifat dikotomis.
Berbeda dengan ontologi monistik, sains dan agama mesti dapat dibuktikan kebenarannya sehingga boleh jadi sains membenarkan
agama atau sebaliknya.
Pemikiran Kuhn tentang peran paradigma dalam revolusi
ilmiah tidak hanya memberi kontribusi penting terhadap
filsafat sains di Barat tapi juga juga di dunia Islam.
Salah satu bentuk pemahaman sains yaitu saintisme.
Saintisme baik menurut Guessoum maupun Wilber yaitu
paradigma sains yang sempit dan dangkal. Saintisme pada
dasarnya menjadi penghalang utama bagi terbangunnya sebuah
diskursus sains dan agama secara terbuka, kritis, dan luas. Hal
ini dikarenakan saintisme cenderung mereduksi ranah sains
dan menyerang agama. Saintisme bagi Wilber yaitu tragedi besar
dalam peradaban manusia. Inilah salah satunya yang
menyebabkan terjadinya konflik sains dan agama di Barat. Konflik
yaitu salah satu bentuk pola relasi sains dan agama.
Modernitas yaitu salah satu persoalan yang cukup
banyak mendapatkan perhatian Guessoum dan Wilber karena
modernitas sebagai bagian penting sains yang disebut dengan
sains modern. Guessoum berupaya untuk merekonsiliasi agama
dengan sains modern sebagai bagian dari modernitas dengan
berbagai pertimbangan tertentu dan ketat. Oleh karena itu,
Guessoum menekankan bahwa diskursus sains modern dan Islam
terbagi ke dalam tiga dimensi yaitu dimensi sejarah, praktis, dan
teoretis. Ketiga dimensi ini jika dilihat dari perpektif pelaku
yang memperbincangkan relasi sains dan Islam yaitu intelektual
dan publik. Kelompok intelektual cenderung mengkaji relasi sains
modern dan Islam dari dimensi atau aspek teoretis. Kelompok
publik lebih cenderung melihat aspek praktis dari sains modern
kaitannya dengan Islam. Perkembangan sains di dunia Islam
akan maju jika kebebasan akademik individu dan cara berfikir
kritis.
Meskipun Guessoum memberi kritik terhadap modernitas dan sains modern sebagai salah satu unsur penting darinya, ia
menekankan bahwa umat Islam tidak mesti anti terhadap
modernitas. Hal-hal yang positif dan konstruktif dari modernitas
justru dapat membantu umat Islam untuk melakukan rekonsiliasi
sains dan agama.
Pada sisi lain, Wilber menyinggung sangat banyak
masalah modernitas. Modernitas yaitu suatu bencana besar
karena telah melakukan pemisahan (dissosiasi) terhadap tiga ranah
penting yaitu pemisahan ranah sains dengan ranah moral dan seni.
Wilber menganggap pandangan ini akibat dari epistemologi
Cartesianisme yang memisahkan jiwa dan badan (mind and body)
sebagai dua ranah yang tidak hanya berbeda tapi terpisah. Inilah
yang disebut Wilber sebagai bencana modernitas sampai akhirnya
memunculkan paham sekularisme. Konsep ini tentu saja
bertentangan dengan pendekatan integral Wilber yang
memandang semua elemen, aspek, ranah, domain, dan bentuk dari
kehidupan manusia baik itu interior-eksterior, kiri-kanan, atasbawah, materi-immateri yaitu merupakan satu kesatuan atau
integral.
Kritik Wilber terhadap modernitas di atas menunjukkan
bahwa ia pada dasarnya sejalan dengan para pemikir posmodernis.
Posmodernisme pada dasarnya memang antithesis dari
modernisme. Hampir semua unsur-unsur penting dari konsep
posmodernisme dikritik oleh posmodernisme seperti rasionalitas,
fondasionalisme, kemapanan, kebenaran, dan sebagainya. Pada
dasarnya, kritik terhadap modernisme juga dilakukan oleh
Idealisme dan Romatisisme, namun kedua aliran ini tidak berhasil.
Pendekatan integral yang digunakan Wilber yaitu salah satu
bentuk menentang modernisme. Modenisme memiliki cara
pandang monologis. Berbeda dengan Wilber, Guessoum hampir
tidak ada memberi kritik terhadap modernisme dengan
kerangka analisis posmodernisme. Pendekatan integral
menfasislitasi pengetahuan lintas disipliner dan antar disipliner
(cross-disciplinary and trans-disciplinary). Oleh karena itu,pendekatan yang digunakan Wilber pada dasarnya mendorong
kajian-kajian keilmuan termasuk kajian ilmu-ilmu keagamaan
dengan perspektif interdisipliner.
B. Rekonsiliasi dan Integrasi terhadap Sains dan Agama
Setelah mendalami dan menguraikan berbagai dimensi
pemikiran Guessoum dan Wilber pada bab-bab sebelumnya,
kemudian diperkuat dengan analisis perbandingan karakter dan
fondasi epistemologis keduanya. Bagian berikut akan mengkaji
analisis perbandingan yang meliputi persamaan dan perbedaan
pandangan mereka tentang relasi sains dan agama.
Upaya rekonsiliasi Islam dan sains harus memakai
pendekatan non literal yaitu dengan cara memahami dan
menafsirkan taks-teks keagamaan secara beragama dan berlapis.