Tampilkan postingan dengan label sain Alquran 14. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sain Alquran 14. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 November 2024

sain Alquran 14


 ahuan bukan sebuah konsep sederhana 


dan tunggal, namun konsep ini  meliputi berbagai pandangan 


dan perspektif yaitu metafisik, epistemologis, etis dan 


metodologis. Islamisasi sains juga berupaya menempatkan sains 


Islam dalam kontestasi sains kontemporer. Oleh karena itu, 


asumsi-asumsi filosofis yang dikembangkan oleh Naquib al-Attas, 


Sayyed Hossein Nasr, dan Ismail R. Faruqi menunjukkan betapa 


konsep Islamisasi sains ini  tidak tunggal melainkan sangat 


luas dan kompleks. 1  


Berbeda dengan pemikir yang mendukung islamisasi sains 


dan sains Islam. Sebagian pemikir dan saintis masih meragukan 


eksistensi (ontologi) dan termasuk juga epistemologi (paling 


banyak didiskusikan) islamisasi sains dan sains Islam yang 


diusung oleh para pemikir ilmuwan Muslim seperti Ismail Raji Al￾Faruqi, Ziauddin Sardar, Sayyid Nuquib al-Attas, Osman Bakar 


dan Muzaffar Iqbal. Di antara pemikir yang mengkritk upaya 


islamisasi sains yaitu  Mohammed Arkoun. Menurut Arkoun, 


konsep islamisasi sains mesti diawali dengan kritik epistemologis 


radikal terhadap pengetahuan. Hal ini diperlukan dengan cara 


membedakan diskursus yang bersifat ideologis dengan diskursus 


ide sehingga dapat mengelaborasi suatu epistemologi kritis baru 


(new critical epistemology).1  


Istilah sains sakral dan sains profan (sacred science and 


profane science) yang dikemukan oleh Nasr yaitu  untuk 


membedakan dengan konsep sains tradisional dan sains modern


(traditional science and modern science). Perbedaan mendasar 


antara sains tradisional dan sains modern yaitu  pada posisi 


profan dan sakralnya. Bagi sains tradisional, sakral berada pada 


posisi sentral sedangkan profan berada pada posisi marjinal.

Berbeda dengan sains tradisional, sains modern menempatkan 


profan di posisi sentral sedangkan yang sakral terletak pada posisi 


marjinal.1  


Nasr pada dasarnya terjebak pada dikotomi sains dan 


agama dengan konsepnya tentang sains dengan pendekatan 


gnostik, tradisional dan suci Nasr bagi Guessoum masuk kepada 


aliran mistik. Sedangkan Abdul Salam dan Hoodbhoy yaitu  


aliran sekular, universal dan konvensional yang mamandang 


bahwa sains bersifat objektif dan universal sehingga tidak ada 


yang namanya sains Islam, sains cina, dan sebagainya. Pada sisi 


lain, konsep islamisasi pengetahuan dan sains oleh al-Faruqi dan 


al-Awani dinilai gagal dan tidak berkembang.1  


Bagi Ibrahim Kalin, Nasr, al-Attas, Osman Bakar yang 


mengemukakan dan mendukung islamisasi sains dan sains Islam


pada dasarnya yaitu  dimensi baru dalam perdebatan sains dan 


Islam. Mereka yaitu  para pemikir yang berupaya 


mempertahankan tradisi keilmuan yang dilandasi kosmologi dan 


metafisika Islam. Saintisme modern dan klaim yang tidak sesuai 


dengan sejarah tentang kebenaran dan validitas universal mesti 


ditolak. Inilah perbedaan yang sangat tajam antara konsep tentang 


alam yang dilandasi dengan nilai-nilai sakral keagamaan dengan 


sains modern yang sekular.


1  


Islamisasi sains kemanusiaan (human sciences) tidak akan 


berhasil tanpa adanya perubahan yang lebih besar dalam kerangka 


sosial.1   Islamisasi sains termasuk sains Islam yang 


dikembangkan oleh Nasr dan Sardar secara teoretis dapat 


dikatakan sebagai sebuah konsep yang bersifat utopis, simplistik, 


dan tidak dapat diterapkan karena pada dasarnya sains Islam tidak

dapat dipisahkan dengan sains Barat dan rentan di bawah kontrol 


sistem kapitalisme global.1  


Relasi sains dan agama dalam konteks Islam sebagian 


besar cenderung memakai  tipologi Barbour yaitu konflik, 


independen, dialog, dan integrasi. Nasser Mansour dalam 


penelitiannya terhadap pandangan keagamaan guru yang mengajar 


sains di sekolah menyimpulkan bahwa kecenderungan dialog dan 


integrasi sains dengan Islam pada dasarnya tetap menjadikan 


agama sebagai sesuatu yang lebih utama. Dialog sains dan agama 


yang dimaksud yaitu  dialog di bawah otoritas agama. Hal 


ini  karena sains terbatas dan tidak dapat menjawab segala 


hal, sementara agama dapat menjawab dan memberi petunjuk 


untuk sains. Dalam konteks integrasi, integrasi dengan sains 


yaitu  sebagai bagian dari ajaran Islam. Sains boleh jadi dapat 


membuktikan kebenaran agama, namun kebenaran agama tetap 


mutlak walaupun tidak atau belum dapat dibuktikan atau 


dijelaskan oleh sains.1  


Diskursus Islam dan sains memerlukan beberapa 


pertimbangan sehingga menjadi lebih bermakna. pertimbangan￾pertimbangan ini  yaitu  pertama, pertimbangan 


epistemologis terkait dengan status al-Quran dalam hubungannya 


dengan sains modern, kedua yaitu  konsep tentang Tuhan, 


perbuatan Tuhan dan serta hubungan Tuhan dengan makhluk, 


ketiga yaitu  tentang konsep kosmos dalam Islam, termasuk 


pluralitas dari dunia nyata dan gaib. Pertimbangan keempat yaitu  


konsep alam dalam Islam dan berbagai macam konsep alam dalam 


sains modern. Terakhir yaitu  tentang makna ayat-ayat yang 


bersifat ‚ilmiah‛ yang ditulis dalam beberapa literatur tafsir serta 


hubungannya dengan pesan utama dari al-Quran.

Dalam sejarah perkembangan sains, sains Islam 


merupakan salah satu fase penting dan menentukan. Tanpa adanya 


sains Islam, maka sains Barat tidak akan pernah berkembang. 


Meskipun demikian, sains Islam sangat berbeda dengan sains 


Barat seperti yang berkembang pada revolusi ilmiah abad ke-1 . 


Perbedaan ini  yaitu  mengenai pemahaman terhadap alam 


dan peran sains alam dalam skema pengetahuan atau dengan kata 


lain landasan dan konsep epistemologi antara sains Islam dan sains 


Barat sangat berbeda.1  


Bagi Ausaf Ali, semua sains bersifat sekular, empiris, dan 


bahkan materialistik. Oleh karena itulah, kebenaran sains bersifat 


probabilistik dan tentatif. Tidak ada kebenaran yang bersifat 


abadi, permanen dan mutlak dalam sains. Sains memiliki otonomi 


sendiri yang mengatur sistem dan metodenya. Sesuatu yang di luar 


sains tidak memiliki hak dan kompetensi untuk menilai sains. Hal 


inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa terjadinya konflik 


antara sains dan agama karena sains tidak setuju dinilai, diatur, 


dan dikoreksi oleh agama. Agama tidak memiliki kompetensi 


untuk menilai metode dan temuan sains. Kebenaran sains hanya 


dapat dikoreksi oleh temuan sains yang lebih baik.1  


Ausaf Ali membagi teori ilmiah dalam skala yang lebih 


luas menjadi dua teori yaitu teori konkatinasi dan teori hirarki. 


Teori konkatinasi yaitu  teori yang menghubungkan atau 


menggabungkan bermacam-macam proses secara bersama-sama 


terkait dengan suatu fenomena sedemikian rupa sehingga 


menghasilkan suatu kerangka yang kuat dan berkembang seperti 


teori evolusi, big bang, psikoanalisis, dan materialisme Marx. 


Teori hirarki yaitu  teori yang bertolak belakang dengan teori 


konkatinasi. Teori ini dibangun atas deduksi logis dari 


seperangkat premis dan asumsi dasar seperti teori ekonomi baik 


ekonomi mikro maupun makro. Kekuatan teori hirarki yaitu  


terletak pada validitas dan relevansinya terhadap asumsi yang 


menjadi dasar teori ini .1  


Dalam konteks intelektual dan budaya, persoalan sains 


dan Islam meliputi tiga dimensi penting. Ketiga dimensi ini 


yaitu  perkembangan sains secara historis selama peradababan 


Islam, isu-isu tentang penerapan secara praktis sains di dunia 


Islam, dan diskusi konseptual tentang konflik, harmoni dan 


pemisahan Islam dengan sains modern.1   Guessoum melihat 


bahwa pendidikan dan sosial yaitu  penting dalam diskursus Islam 


dan sains masa depan.1  


Pemahaman literal terhadap al-Quran dan hadis bagi kaum 


salafi membuat mereka tidak peduli terhadap kebenaran ilmiah 


dan kebenaran lainnya karena mereka anggap bertentangan dengan 


paham mereka. Mereka merasa tidak perlu melakukan rekonsiliasi


penafsiran karena teks al-Quran sudah sempurna dan adanya lebih 


awal dibadingkan dengan teori-teori kebenaran ilmiah dan 


kebenaran lainnya ini .1  


Sementara itu, para modernis Islam pada abad ke-1  dan 


awal abad ke-   cenderung berupaya untuk melakukan 


rekonsiliasi antara Islam dan pencerahan yang terjadi di Barat 


dalam konteks penggunaan rasio. Perdebatan relasi rasio dan Islam 


pada masa ini  bersifat transnasional dan dipengaruhi oleh 


tradisi Barat. Di antara bentuk rekonsiliasi ini  termasuk 


rasionalisasi pemahaman tentang mujizat dan penafsiran terhadap 


teks al-Qur’an.


1  


Menurut Brooke, Guessoum mengkritik pandangan 


dikotomis Nasr terhadap sains dan agama antara tradisi Islam dan 


Kristen. Konsep sains Islam yang didasarkan pada nilai-nilai 


spiritual dihadapkan pada sains Barat yang bersifat kuantitatif 


materialistik. Polaritas antara sains Barat dan sains Islam yang 


bersifat spiritual mengganggu harmoni sains dan agama dalam 


tradisi Islam dan Kristen dimana Guessoum mencoba membangun 


konsep kesamaan di antara keduanya. Antara Nasr dan Guessoum 


ada  perbedaan yang tajam tentang posisi Ibn Rushd. Menurut 


Brooke, Nasr lebih cenderung dijadikan sebagai tokoh besar dalam 


tradisi filsafat Barat dibandingkan  bagian integral dari tradisi 


intelektual Islam, sedangkan Guessoum menempatkan Ibn Rushd

sebagai pemikir utama yang menjadi dasar dan pengembangan 


diskursus sains dan Islam.1  


Menurut Guessoum, konsep teistik sains sejalan dengan 


keyakinan agama lain khususnya Kristen dalam mengembangkan 


sains. Konsep ini juga merupakan solusi bagi berbagai krisis sains 


modern yang kehilangan nilai, makna, dan moralitas. Dalam hal 


ini, Salman Hameed meragukan konsep ini  karena persoalan 


makna dan moralitas tidak hanya semata-mata milik teisme tapi 


juga merupakan bagian dari kerangka pengembangan sains bagi 


kalangan ateis. Oleh karena itu, persoalan makna menjadi tidak 


jelas arah kritikan dihubungkan dengan kosmologi. Di samping 


itu, secara pragmatis konsep teistik sains menjadi kurang efektif 


untuk menyerukan umat Islam untuk mengembangkan sains.1  


Tujuan Guessoum menulis buku Islam Quantum ini yaitu  


untuk menjelaskan secara terperinci tentang filsafat sains dan 


hubungan dengan Islam dan menghidupkan perdebatan tentang 


peran dan status sains pada warga  Islam. Di samping itu, ia 


ingin mengembangkan sebuah pola sintesis harmonis modern 


antara sains dan Islam. Sasaran akhir dari upaya Guessoum ini 


yaitu  berupaya membangun sebuah konsep sains teistik yang 


sejalan dengan Islam dan agama monoteistik lainnya terutama 


Kristen. Konsep Quantum Question berupaya untuk memberi  


solusi terhadap persoalan sains modern dan agama tanpa 


menghilangkan atau menolak pemahaman saintifik tradisional 


maupun modern.1 1


Menurut Zainal Abidin Bagir, Guessoum melihat berbagai 


macam variasi pandangan terhadap sains dan Islam disebabkan 


oleh perbedaan pemahaman dan penafsiran terhadap al-Quran 


terkait dengan fakta dan teori ilmiah terbaru. Berbagai argument 


Guessoum kadangkala menjadi tantangan terhadap agama serta 


bagaimana dampak sains secara teologis maupun etis.


1   Motivasi 


Guessoum untuk menghubungkan antara sains dan agama yaitu  


untuk mencari makna dalam berbagai penemuan ilmiah yang tidak 


dapat diberikan oleh sains. Contoh yang dikemukakan Guessoum 


yaitu  kosmologi. Kosmologis dan berbagai teori ilmiah sejalan

dengan prinsip-prinsip mendasar dari agama. Lebih jauh, 


Guessoum bagi Bagir berupaya untuk membangun sebuah model 


teologi yang sejalan dengan konsep agama tentang ketuhanan atau 


teologi kealaman (natural theology).1  


Dalam konteks teologi alam ini, Bagir menawarkan 


konsep bahwa teologi harus mampu menjawab tidak hanya 


pemahaman baru tentang perkembangan evolutif dari alam tapi 


juga menjelaskan persoalan terkait alam seperti bencana. Di 


samping itu, pemikiran teologi Islam tentang alam tidak hanya 


dilihat dari sudut pandang teologis tapi juga etis atau bahkan 


politis sehingga teologi Islam mampu memecahkan persoalan￾persoalan krusial agama menyangkut isu krisis lingkungan, 


biomedis, dan bencana alam.1  


Yang menarik sekaligus mengkhawatirkan menurut 


Guessoum yaitu  berkembangnya paham dan kelompok ijaz. 


Pandangan kelompok ini menyebar luas baik melalui konferensi 


maupun media, termasuk juga berkembangan kelompok kreasionis 


seperti Harun Yahya yang sangat gencar menyerang teori evolusi 


Darwin.1   Kreasionis memang cenderung melihat teori evolusi ke 


dalam tiga perspektif atau sikap yaitu meragukan, menolak, atau 


mentransformasikannya agar sesuai dengan pemikiran 


keagamaan.1  


Menurut Guessoum, sains modern paling tidak membawa 


tiga teori besar yang berimplikasi terhadap konsep ketuhanan. 


Ketiga teori ini  yaitu  teori evolusi Darwin, teori kosmologi 


big bang, dan teori mekanika quantum. 1   Memahami prinsip￾prinsip utama ajaran Islam sangat penting agar dapat 


merekonstruksi pandangan yang rasional dan bermutu terkait 


dengan relasi sains dan Islam. 


Guessoum menyebut pendekatannya terhadap sains 


dengan istilah ‚theistic science‛ approach atau pendekatan ‚sains 


teistik.‛ Pendekatan ini  memiliki persamaan dan perbedaan

antara pendekatan Islam dan Kristen terhadap ekplorasi alam 


secara ilmiah. Bagi Guessoum, pentingnya relasi sains dan agama 


yaitu  pada tataran praktis, tidak hanya teoretis. Oleh karena itu, 


perlu didalami komparasi teologi tentang alam (theology of 


nature) versus teologi kealaman (natural theology) dalam Islam.1  


Guessoum mengklarifikasi bahwa bahwa ia tidak 


menemukan konsep teistik sains. Teistik sains diambil dari 


pemikiran Golshani dan pemikir Barat seperti Robert J. Russell, 


Holmes Rolston, Haught, dan yang lain. Guessoum sendiri tidak 


setuju dengan teistik sains sebagai interpretasi sederhana dari 


sains modern. Kesimpulan Bagir terhadap filsafatnya sudah tepat 


yaitu pertama menerima teori dan metodologi sains modern secara 


umum dan kedua menambahkan interpretasi teistik terhadap teori￾teori ini .1  


Teologi tentang alam (theology of nature) disebut oleh 


M.B. Altaie dengan daqi>q al-kala>m dapat menjadi dasar yang kuat 


untuk pengembangan filsafat secara konsisten dan maju yang 


sejalan dengan sains modern. Di samping itu, teologi tentang alam 


ini dapat menjadi dasar pembaharuan pemikiran Islam yang terkait 


dengan berbagai pola intelektual dunia modern jika dibagun 


kembali dan digunakan secara tepat. Teologi tentang alam ini juga 


sangat potensial dalam membangun kembali pemahaman umat 


Islam tentang alam, realitas, kehidupan dan hubungannya dengan 


Tuhan. Teologi ini juga banyak membahas tentang persoalan 


fisika modern seperti tentang konsep ruang, waktu, gerak, 


kekuatan dan sebagainya sehingga teologi ini dapat menjadi dasar 


bagi pengembangan filsafat sains dalam Islam.1  


Para filsuf menyakini bahwa tidak ada kontradiksi yang 


mendasar antara wahyu dan sains, antara rasionalisme dan 


keyakinan.


1  Para pembaharu Islam banyak yang tertarik dengan 


sufisme khususnya konsep Ishraqi dari Suhrawardi. Jamal al Din al 


Afghani yaitu  salah seorang yang tertarik dengan ishraqiyah

Suhrawardi. Yang menarik yaitu  sufisme sering memakai  


matematika dan sains sebagai sebuah bantuan untuk melakukan 


kontemplasi.1  


Fenomena alam hanya dapat dipahami dengan hukum 


alam yang sifatnya tetap. Oleh karena itulah Tuhan menciptakan 


hukum alam, sebab kalau hukum alam berubah tentu tidak ada 


gunannya Tuhan menciptakan hukum alam. Ada peristiwa￾peristiwa seperti mu’jizat para nabi, bagi Guessoum terbuka untuk 


ditafsirkan ulang dan seharusnya dipahami secara metaforis. 


Guessoum memahami konsep sains Islam (Islamic 


Science) yang dikembangkan oleh pemikir Muslim seperti 


Ziauddin Sardar. Meskipun demikian, ia memberi  beberapa 


keberatan dan kritik terhadap ide sains Islam ini . Pertama, 


ide bahwa implementasi sains harus memperhatikan etika, moral, 


kepatuhan kepada Tuhan, dan kondisi sosial yaitu  


mencampuradukan antara sains dan teknologi. Penelitian sains 


harus bebas dari segala pertimbangan ini  untuk 


menghasilkan temuan yang objektif, sedangkan teknologi 


merupakan gabungan dari sains, kebijakann, lingkungan dan 


kondisi sosial. Kedua, sains Islam Sardar meluas sampai kepada 


berbagai cabang ilmu termasuk sosial, politik, dan budaya 


sehingga perdebatan sains pun meluas tidak hanya di kalangan 


ilmuwan tapi juga warga . Pemikiran ini  menjadikan 


diskusi tentang sains rumit dan tidak terarah. Terakhir, ide dan 


proyek tentang Sains Islam dan sejenisnya lahir dari pemikir 


Muslim di Barat kecuali Golshani. Di samping itu, sangat sedikit 


dari karya-karya yang ditulis dalam bahasa Arab. Bagi Guessoum, 


kritik-kritiknya ini  bukan untuk mereduksi apa yang telah 


diupayakan oleh pemikir Muslim namun paling tidak dapat 


diketahui dan diukur apa yang telah dilakukan oleh umat Islam 


terhadap pengembangan sains.1  


 


Diskursus Islam dan sains sejak tahun 1   -an seperti 


yang dikembangkan oleh Nasr, al-Faruqi, dan Sardar telah 


berupaya menformulasikan posisi keislaman, namun konsep Nasr 


dan al-Faruqi tampaknya berakhir ataupun menguap begitu saja, 


sedangkan konsep Sardar masih tetap berjalan seiring dengan 


perkembangan sains itu sendiri.Dalam Islam, mukjizat terhadap Nabi Muhammad SAW 


yang terbesar yaitu  al-Quran yang menjadi pedoman hidup umat 


Islam. Di samping itu, mukjizat yang lain yaitu  peristiwa Isra 


dan Mi’raj, meskipun hal ini terjadi perbedaan pendapat di 


kalangan ulama dan pemikir Islam. Isra Miraj dapat saja dijelaskan 


sebagai pengalaman spiritual. Peristiwa ini  ditafsirkan 


berbeda oleh ulama dengan cara penafsiran allegoris maupun 


literal.1  


Dalam pengembangan diskursus Islam dan sains ke depan, 


Guessoum mengajukan beberapa hal yang patut dipertimbangkan 


dan dibutuhkan saat ini. Pemikiran Guessoum ini  yaitu  


perlunya pengajaran filsafat sains, mempelajari kembali sejarah 


sains termasuk kontribusi dan pertumbuhan sains di dunia Islam, 


perlunya dialog dengan teolog dan pemikir Islam tentang sains 


dewasa ini yang menjadi perhatian utama mereka selama ini, perlu 


mendidik warga  bahwa persoalan sains sangat terkait dengan 


ranah keagamaan, serta perlunya menjalin komunikasi dengan 


pemikir non Muslim yang telah banyak mengembangkan persoalan 


relasi sains dan agama.1  


Keteraturan alam dan prinsip anthropik (anthropic 


principle) dalam perspektif Islam yang dikembangkan oleh para 


pemikir Islam terbagi dalam beberapa pandangan. Pertama, 


anthropic principle dilihat sebagai sebuah bentuk dari konsep 


teleologis yang sepenuhnya didukung oleh tradisi Islam. Kedua, 


sebagian aliran dan pemikir Islam tidak tertarik dengan 


perkembangan sains yang didasarkan pada natural teologi. Ketiga, 


sebagian besar umat Islam, termasuk sebagian besar kelompok 


elit, menolak menerima segala bentuk prinsip termasuk anthropic 


principle yang sepenuhnya cocok dengan teori evolusi alam baik 


secara fisik, kimiawi dan biologis. Bagi Guessoum, pada dasarnya 


banyak ayat-ayat yang sesuai dan mendukung konsep keteraturan 


alam baik dari sisi ukuran dan keseimbangannya yang 


diperuntukkan untuk kepentingan manusia.1  


Tauhid (Keesaan Allah), Amr (Perintah), serta hubungan 


Qadr (Ketentuan) dan Mizan (Keseimbangan) yaitu  tiga konsep 


yang ada dalam al-Qur’an dan memiliki peran penting tidak hanya 


dalam ajaran Islam tapi juga dalam pemahaman terhadap relasi 


antara Islam dan sains. Ketiga konsep ini  juga penting dalam

memahami perbedaan pandangan dan aliran dalam pemikiran 


Islam.1  


Manusia dalam konsep Islam diciptakan untuk mengabdi 


kepada Allah, sehingga pada dasarnya alam merupakan fasilitas 


untuk manusia untuk mencapai tujuan hidupnya ini . Manusia 


harus mampu mempelajari dan menguasai prinsip keteraturan 


alam dan anhtropic principle karena ia merupakan pusat dari 


semesta ini dan semesta ini diciptakan untuknya. Yang paling 


penting yaitu  tujuan penciptaan ini  yaitu  berdasarkan 


kehendak Allah yang secara garis besar di luar pemahaman 


manusia

Keunikan diri manusia yaitu  mampu memahami semua 


eksistensi. Oleh karena itulah, filsafat eksitensialisme Muhammad 


Iqbal menolak segala bentuk dikotomi termasuk dikotomi sains 


dan agama. Kegagalan Barat yaitu  penolakannya terhadap agama 


demi untuk memperkokoh dan menegaskan kebenaran sains 


sebagai satu-satunya kebenaran objektif. Sementara, Umat Islam 


cenderung memandang agama sebagai sebuah pemahaman ekslusif 


yang berbeda dengan sains dan filsafat. Bagi Iqbal, kedua kutub 


peradaban ini  telah terjebak pada dualisme dan menyebabkan 


terjadinya distorsi. Eropa mengarah pada materailisme yang tidak 


manusiawi, sedangkan kaum muslim terperosok dalam pasivitas 


dan mistisisme. Pendek kata, keruntuhan sains di Timur sejalan dengan kejatuhan spiritual di Barat.1   Salah satu masalah akut 


yang selalu mengancam peradaban manusia yaitu  konflik 


tersembunyi (hidden conflict) antara soft sciences dan hard 


sciences khususnya antara agama dan sains sebagai karakter sains 


modern yang sekular. Oleh karena itu, integrasi kedua jenis sains 


ini  atau secara sederhana intergrasi sains dan agama sangat 


diperlukan bagi dunia kontemporer untuk membangun peradaban 


yang manusiawi dan kemanusiaan yang beradab.1 1


Konflik sains dan agama telah berlangsung sekitar empat 


abad dan sekarang telah berakhir. Konflik sains dan agama yang 


telah terjadi mencakup berbagai bidang ilmu. Perdebatan sains dan 


agama dalam bidang astronomi yaitu  tentang posisi bumi dalam 


alam semesta. Masalah usia bumi yaitu  perdebatan dalam bidang 


geologi. Teori evolusi menjadi pertentangan yang sengit antara 


biologi dan agama. Perdebatan juga termasuk dalam bidang 


psikologi terkait dengan teori Sigmud Freud tentang agama. 1  


Islam baik secara hitoris maupun ajarannya tidaklah asing 


terhadap sains. Meskipun demikian, untuk perkembangan dan 


kondisi dewasa ini, umat Islam harus memulai mengembangkan 


dengan level kesadaran yang baru, integritas intelektual, dan nilai￾nilai praktis pengembangan dan penggunaan sains.1   Pandangan 


ini  agaknya menjadi hal perlu diperhatikan terkait dengan 


kondisi kekinian umat Islam dalam kaitannya dengan pentingnya 


peran sains dewasa ini. Sains meamng pada dasarnya tidak dapat 


dilepaskan dari segala aspek kehidupan manusia zaman sekarang.


Menurut Sadik al-Azm, Islam jika dipahami sebagai 


sebuah ajaran yang mengandung prinsip-prinsip yang valid, ideal, 


permanen dan statis tidak akan dapat merekonsiliasi dirinya 


dengan paradigma sains yang baru dan dominan saat ini. Sama 


halnya dengan yang terjadi pada agama lain khususnya Kristen

pada awal abad modern. Sebaliknya, jika Islam dipahami sebagai 


sebuah keyakinan yang dinamis dan hidup (living), maka ia akan 


dapat merespon perubahan paradigma sains yang begitu cepat, 


luas, dan terus menerus. Lebih jauh, Islam akan dapat 


merekonsiliasi dan mengakomodasi dirinya dalam konteks 


tertentu dan bersifat temporer dengan perkembangan sains dan 


pemikiran dewasa ini seperti yang terjadi dalam sejarah.1  


Respon saintis muslim terhadap dialog sains dan agama 


terdiri dari dua bentuk yaitu penolakan secara sistematis terhadap 


polarisasi sains dan agama, dan pengakuan atau penerimaan 


terhadap pandangan ilmiah dialog sains dan agama. Keduanya 


sama-sama tidak menginginkan adanya pembatasan terhadap sains 


modern dan sama-sama mendukung perlunya teknologi sebagai 


bagian dari sains.1  


E. Kritik terhadap Pemikiran Nidhal Guessoum 


Guessoum yaitu  termasuk salah seorang generasi baru 


intelektual Muslim yang mendalami sains dan secara aktif terlibat 


dalam dialog Islam dan sains. Salah satu kritik terhadap 


Guessoum yaitu  ia terlalu banyak membahas Islam dari sisi 


metafisika padahal metafisika ini cenderung dianggap berada di 


luar ranah sains. Di samping itu, Guessoum cenderung 


memakai  analisis teologis-filosofis ketika menjelaskan 


hubungan Islam dan kosmologi, sedangkan kosmologi dewasa ini 


berbeda dengan kosmologi pada masa keemasan Islam. Kosmologi 


saat ini lebih merupakan bagian dari sains eksperimental.1  


Tujuan Guessoum yaitu  ingin merekonsiliasikan tradisi 


keagamaan dengan modernitas keilmuan dan rasional dan 


bagaimana mempertemukannya (quantum) tanpa schizopherenia


(ganguan proses berfikir). Ia banyak merujuk upayanya ini  


dengan pemikiran Ibn Rushd dan berdasarkan prinsip tauhid, 


meskipun ia tidak secara luas menjelaskan apa yang dimaksud


dengan prinsip tauhid ini . Pada dasarnya, Guessoum tidak 


memiliki pendekatan yang ekslusif tentang agama dalam hal ini 


Islam yang dapat direkonsiliasi dengan sains.1  


Terkait dengan tanggapan Bagir yang menyatakan bahwa 


agenda yang ditawarkan Guessoum terbatas dan harus diperluas 


sampai masalah teologi alam (natural theology). Teologi ini tentu 


saja akan sangat terkait dengan pengkajian teologi Islam dan 


relevansinya dengan fenomena alam termasuk bencana. Dalam 


konteks ini, Guessoum membedakan antara teologi alam (natural 


theology) dan teologi tentang alam (theology of nature). Apa yang 


dikembangkan umat Islam selama ini yaitu  teologi alam seperti 


pengakajian tentang argument keteraturan alam, sementara kajian 


teologi tentang alam (theology of nature) masih sangat sedikit. Ia 


setuju mestinya yang harus lebih dikembangkan yaitu  theology 


of nature yang sangat erat kaitannya dengan fenomena alam 


termasuk bencana.1  


Rekonsiliasi Islam dan sains Guessoum jika ditinjau dari 


pendekatan Stenmark yaitu  rekonsiliasi yang memiliki butir￾butir independensi jika berhadapan dengan metode empiris 


matematik.1  Salman Hameed menilai bahwa Guessoum 


menawarkan sebuah pendekatan yang rumit terhadap rekonsiliasi 


sains modern dengan tradisi Islam. Kritik Guessoum terhadap 


beberapa literatur tentang Islam dan sains memiliki nilai lebih 


termasuk tentang tawarannya mengenai sains yang baik dan 


pendidikan sains di dunia Islam. Pemikiran Guessoum tentang 


sains teistik tidak begitu jelas jika dibandingkan dengan


pemikirannya tentang perkembangan sains dan metodologi ilmiah. 


Terlepas dari berbagai kelemahan dari pemikiran Guessoum, 


bukunya Islam’s Quantum Question yaitu  tonggak sejarah dalam 


literatur Islam dan perlu bagi siapa saja yang mencari makna sains 


dan agama.1  


Secara singkat, pemikiran Guessoum tentang relasi sains


dan Islam tidak terlepas dari perjalanan hidup dan dinamika 


intelektual Guessoum dalam membentuk karakter dan fondasi 


epistemologinya. Pemikiran Guessoum dilandasi prinsip-prinsip 


dasar ajaran Islam, khasanah pemikiran Islam klasik, tidak anti 


modernitas, dan apresiasi terhadap kontribusi filsafat sains 


kontemporer. Relasi sains dan agama khususnya Islam pada 


dasarnya harmoni. Guessoum memandang bahwa relasi sains dan 


Islam khususnya sains dan al-Qur’an, Islam dan teori evolusi, serta 


sains dan problem ketuhanan mesti dipahami dengan 


memakai  pendekatan beragam dan berlapis supaya 


mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan terbuka.


Harmonisasi Islam dan sains yaitu  dengan rekonsiliasi Islam dan 


sains. Sains teistik yang dilandasi dengan nilai-nilai transendental 


menjadi solusi alternatif agar umat Islam kembali mencapai 


kejayaannya dalam sains. 





Bab ini yaitu  analisis komparatif pemikiran Nidhal 


Guessoum dan Ken Wilber tentang relasi sains dan agama. 


Analisis komparatif ini  diawali dengan cara melihat 


persamaan dan perbedaan dinamika kehidupan dan intelektual 


mereka. Bagian selanjutnya menguraikan analisis perbandingan 


konsep epistemologi mereka. Setelah diperoleh persamaan dan 


perbedaan tentang konsep epistemologi mereka, bab ini juga akan 


mengelaborasi distingsi pandangan dan konsep relasi sains dan 


agama dari kedua tokoh. Pada bagian akhir bab ini membahas 


tentang implikasi teoretis dan praktis relasi sains dan agama baik 


diskursus di dunia Islam umumnya dan negara kita  khususnya. 


A. Perbandingan Konsep Epistemologi Guessoum dan Wilber 


1. Perbandingan Dinamika Intelektual 


Sebelum menganalisis lebih jauh perbandingan konsep 


epistemologi Guessoum dan Wilber, perlu terlebih dahulu 


menelusuri perbandingan dinamika intelektual keduanya. Hal 


ini  penting karena dinamika intelektual memiliki pengaruh 


baik langsung maupun tidak terhadap konsep epistemologi yang 


dikembangkan. Aspek-aspek kehidupan dan dinamika intelektual 


yang akan dianalisis meliputi latar belakang keluarga, pendidikan, sosial budaya, serta termasuk latar belakang keyakinan dan 


agama. 


Guessoum dan Wilber sama-sama berasal dari keluarga 


yang menghargai peran dan pentingnya ilmu pengetahuan. Hal 


ini  dibuktikan dengan dorongan yang kuat dari kedua orang 


tuanya agar mereka dapat menempuh pendidikan setinggi￾tingginya. Baik kedua orang tua Guessoum maupun Wilber


berupaya membekali mereka dengan ilmu pengetahuan. Guessoum 


dan Wilber juga dibekali dengan semangat dan suasana serta 


pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. 


Guessoum dibesarkan dalam keluarga yang sangat 


memperhatikan pentingnya pengetahuan dan pengamalan nilai￾nilai keislaman. Sebagai keluarga yang konsisten terhadap 


pengamalan ajaran Islam, Guessoum juga dibekali dengan 


pendidikan sains dan ilmu-ilmu yang menunjang untuk 


meningkatkan kemampuan intelektualitasnya. Hal ini  


disebabkan oleh kedua orang tuanya memiliki latar belakang 


intelektual yang menunjang untuk membentuk keluarga yang 


agamis dan modern. Ayahnya yaitu  seorang ilmuwan yang h{a>fiz{


al-Qur’an dan ibunya yaitu  seorang master dalam bidang 


literatur Arab. Guessoum pada masa kecilnya banyak 


mendapatkan arahan dan bimbingan dari kedua orang tuanya.1


Pada sisi lain, Wilber dibesarkan dalam keluarga yang 


kedua orang tuanya memiliki karakter yang bertolak belakang. 


Ayahnya yaitu  seorang militer yang berprofesi sebagai pilot 


pesawat tempur Amerika dan ibunya sangat menggemari estetika. 


Perpaduan dua karakter inilah yang turut membentuk karakter 


Wilber menjadi seorang yang integrasionis, holistik, dan unik.


Wilber pada masa kecilnya lebih banyak mendapatkan arahan dan 


bimbingan dari ibunya. Kepribadian ibunya yang lebih cenderung 


menonjolkan nilai-nilai estetika memengaruhi kepribadian Wilber


yang menyukai psikologi dan spritualitas serta suka menulis. 


Dua karakter yang berbeda antara Guessoum dan Wilber 


tentu saja memengaruhi cara berfikir mereka dalam banyak hal, 


termasuk bagaimana mereka menganalisis diskursus sains dan 


agama. Guessoum cenderung memakai  pendekatan 


rekonsiliatif sedangkan Wilber cenderung memakai pendekatan integratif. Persamaan dan perbedaan kedua 


pendekatan ini  akan dipaparkan pada bagian berikutnya.


Berdasarkan latar belakang pendidikan, baik Guessoum 


maupun Wiber sama-sama mendalami sains khususnya sains 


kealaman (natural sciences). Keduanya sama-sama memiliki 


prestasi yang baik semasa pendidikan. Keduanya juga 


menghasilkan banyak karya dan pemikiran yang brillian. 


Guessoum menulis banyak buku dan artikel di bidang sains, serta 


sebuah buku yang monumental dan banyak artikel dalam konteks 


relasi sains dan agama Islam. Pada sisi lain, Wilber juga banyak 


menghasilkan karya yang monumental termasuk buku-bukunya 


terkait dengan relasi sains dan agama. 


Riwayat pendidikan Guessoum sejak dari sekolah dasar 


sampai dengan strata tiga dapat dikatakan berjalan dengan lancar, 


berkelanjutan, linier, dan tanpa ada kendala yang cukup berarti. Ia 


mendapatkan doktor dalam bidang astrofisika teoretis dari The 


University of California pada saat berusia    tahun. 


Pendidikannya yang konsisten dalam bidang sains menjadikannya 


ahli di bidang astrofisika. Ia banyak melakukan penelitian terkait 


dengan bidangnya serta menjadi pembicara dalam berbagai 


seminar dan konferensi sains. Di samping itu, penguasaan 


Guessoum terhadap khazanah dan pemikiran Islam mendorong ia 


untuk mengkaji dan menulis tentang relasi sains dan Islam.


Pada sisi lain, Wilber selalu mendapatkan prestasi terbaik 


saat masih sekolah dasar dan menengah selain ia juga aktif dalam 


organisasi dan olahraga. Pada masa pendidikan di perguruan 


tinggi, Wilber awalnya mengikuti pendidikan pada bidang 


kedokteran di Universitas Duke, dan pada akhirnya menyelesaikan 


sarjananya di dua bidang sekaligus yaitu biologi dan kimia. 


Selama kuliah, ia lebih sering menghabiskan waktunya untuk 


membaca filsafat, psikologi dan spiritualitas. Kemudian ia 


melanjutkan pendidikan dengan beasiswa tingkat magister dalam 


bidang biokimia dan biofisika, namun tidak selesai. Wilber


kemudian lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan 


menulis buku.  Wilber telah menulis lebih dari    buku dan telah 


diterjemahkan ke dalam    bahasa. Sebagian besar karya Wilber


terkait dengan persoalan sains, filsafat, psikologi, dan 


spiritualitas. Dalam konteks kehidupan sosial budaya, Guessoum dan 


Wilber memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Guessoum 


bekerja secara professional di perguruan tinggi dan banyak terlibat 


dalam berbagai organisasi profesi keilmuan serta lembaga￾lembaga yang memiliki perhatian terhadap persoalan sains dan 


agama. Pada sisi lain, Wilber lebih menyibukkan dirinya untuk 


menulis dan terlibat dalam berbagai lembaga yang memiliki 


perhatian terhadap pengembangan sains dan spiritualitas. Wilber


sempat mengalami persoalan yang luar biasa setelah menikah 


karena istrinya menderita penyakit kanker sehingga ia tidak dapat 


menghasilkan karya selama 1  tahun. Perjuangan dalam 


menghadapi derita istrinya memberi  pelajaran berharga 


sehingga ia menjadi orang yang berupaya mendalami sisi batin 


manusia dan spiritualitas. Pandangan ini  ia tuliskan pada 


beberapa buku-bukunya.


Perbedaan perjalanan hidup antara Guessoum dan Wilber 


tidak hanya menghasilkan perbedaan karakter keduanya tapi juga 


dalam konteks tertentu keduanya memiliki kesamaan karakter. 


Salah satu persamaan ini  yaitu  kegelisahan keduanya 


terhadap berbagai kekurangan khususnya persoalan pengembangan 


ilmu dan pemikiran keagamaan warga . Guessoum sangat 


mengkhawatirkan terhadap kemunduran umat Islam dalam hal 


sains dan kondisi sosial budaya yang menghambat perkembangan 


pemikiran Islam. 


Pada sisi lain, Wilber mengkritik berkurang atau bahkan 


hilangnya nilai-nilai esoteris ataupun spiritualitas bagi warga  


modern di Barat. Modernisme telah menghacurkan spritualitas 


agama-agama besar. Oleh karena itulah, Wilber kemudian juga 


mendalami beberapa konsep spiritualitas dan menjalankan praktek 


spiritualisme khsususnya Budhisme. Untuk menjawab 


kegelisahannya ini , ia mendirikan sebuah lembaga yaitu The 


Integral Institute.


Guessoum dan Wilber merupakan dua orang orang ilmuan 


dan pemikir yang masih hidup dan dapat dikatakan sezaman. Di 


samping adanya perbedaan karakter, Guessoum dan Wilber


cenderung bersikap kritis terhadap persoalan yang menjadi fokus 


perhatian intelektual mereka. Keduanya tidak menerima begitu 


saja pemikiran yang berkembang pada ranah intelektual dan 


tradisi yang berkembang dalam warga . Guessoum sebagai 


seorang yang dibesarkan dalam tradisi muslim yang taat dan 


terdidik cenderung mempertanyakan segala bentuk pemahaman dan pengamalan warga  Islam. Ia secara tegas melakukan 


kritik terhadap dogma keagamaan, namun tetap menghargai dan 


berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Wilber 


sebagai seorang intelektual yang dibesarkan dalam tradisi Barat 


dan sangat memahami tradisi ini  secara multiperspektif 


integratif juga cenderung tidak menerima begitu saja berbagai 


pandangan warga  terutama yang terkait dengan 


intelektualitas dan spiritualitas.


Setelah membandingkan peran dan pentingnya latar 


belakang kehidupan, pendidikan, dan tokoh yang memengaruhi 


Guessoum dan Wilber dalam membentuk karakter dan fondasi 


epistemologi mereka, hal yang tidak kalah pentingnya yaitu  latar 


belakang agama dan keyakinan mereka. Guessoum sebagai 


seorang muslim tentu saja pandangan dunia (world view) yang 


menjadi dasar dan landasan berfikirnya yaitu  ajaran Islam. 


Guessoum mendalami sains dan pemikiran Islam dilandasi oleh 


nilai-nilai keislaman yang memerintahkan manusia untuk 


memperkuat iman dan ilmunya. Di samping itu, Guessoum 


memandang bahwa umat Islam harus mencapai kemajuan yang 


dilandasi oleh semangat keislaman yang tinggi. Upaya kritis dan 


progresif yang ia lakukan tentu saja tidak terlepas dari prinsip￾prinsip dasar ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan 


hadis.


Pada sisi lain, Wilber yang bukan berasal dari keluarga 


yang agamis dan baru mendapatkan pencerahan spiritual ketika 


melihat dan menghadapi penderitaan istrinya. Wilber melakukan 


kontemplasi dan mendalami berbagai spiritualitas timur termasuk 


sufisme. Kecenderungannya pada spiritualitas inilah yang menjadi 


dasar pemikirannya dalam memahami integrasi sains dan agama. 


Guessoum dan Wilber agaknya begitu memahami filsafat 


Barat sehingga keduanya seringkali mengutip pemikiran filsuf￾filsuf ternama dan aliran-aliran besar dalam filsafat khususnya 


filsafat kontemporer. Meskipun demikian, Guessoum begitu 


menguasai warisan tradisi intelektual dalam Islam sedangkan 


Wilber pada dasarnya cenderung menguasai nilai-nilai spiritualitas 


dalam berbagai agama termasuk tradisi sufi dalam Islam. 


 . Perbandingan Dasar dan Sumber Pengetahuan 


Dasar dan sumber pengetahuan seperti telah diuraikan 


pada bab dua paling tidak meliputi dua aliran internalisme dan 


eksternalisme. Internalisme berpandangan bahwa dasar dan 


sumber pengetahuan berasal dari dalam diri manusia, sedangkan eksternalisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari luar 


diri manusia. Berdasarkan kedua aliran ini , dasar dan sumber 


pengetahuan meliputi indera, rasio, intuisi, tradisi, otoritas, dan 


wahyu. Oleh karena itu, secara umum dasar dan sumber 


pengetahuan menurut Guessoum dan Wilber memiliki banyak 


persamaan, namun secara khusus ada  perbedaan yang cukup 


fundamental. 


Guessoum sebagai seorang Muslim secara tegas mengakui 


wahyu sebagai sumber pengetahuan. Ia banyak merujuk berbagai 


ayat al-Qur’an dalam merumuskan dan mengembangkan ide-ide 


dan pemikirannya. Bahkan menurut Guessoum, al-Qur’an tidak 


hanya secara epistemologis sebagai sumber pengetahuan, tapi juga 


sebagai dasar dan landasan pengembangan sains dan teknologi 


dalam Islam. 


 Guessoum cenderung kata ‘ilm dalam al-Qur’an 


lebih merujuk kepada pengetahuan termasuk pengetahuan 


keagamaan, bukan sains seperti yang sering disalahpahami oleh 


sebagian pemikir dan pendidik. Oleh karena itu, konsep tentang 


pengetahuan dalam Islam mesti terus dikembangkan karena tidak 


mudah untuk menemukan konsep sains dalam al-Qur’an termasuk 


dalam khasanah pemikiran Islam klasik sekalipun. Al-Qur’an 


yaitu  sebagai landasan pengembangan sains. Guessoum hanya 


ingin memposisikan dirinya tidak ekstrim seperti pandangan yang 


menyatakan bahwa al-Qur’an mengandung konten ilmiah. Al￾Qur’an bukanlah ensiklopedia sains. 


Guessoum pada dasarnya setuju dengan Golshani tentang 


epistemologi al-Qur’an. Ia sering menyebut bahwa Qur’an 


memberi  secara lengkap dasar filsafat pengetahuan 


(epistemologi) dan filsafat sains. Epistemologi al-Qur’an 


menyatakan bahwa manusia diberi kemampuan untuk mempelajari 


dan memahami segala sesuatu di alam. Bagi Guessoum, 


pengetahuan itu dalam arti yang sangat luas, tidak hanya 


pengetahuan tentang alam. Dalam hal ini, ia sepakat dengan 


Golshani yang membagi pengetahuan dalam al-Qur’an ke dalam 


tiga bentuk yaitu pengetahuan inderawi, pengetahuan intelek, dan 


pengetahuan wahyu.  Al-Qur’an juga sangat menekankan 


pengetahuan empiris, bahkan dugaan tanpa bukti yaitu  sesuatuyang berbahaya seperti dalam al-Qur’an surah al-Isra’ ayat    dan 


surah al-Baqarah ayat 111. 


Pada sisi lain, Wilber berpandangan bahwa wahyu atau 


teks kitab suci dari agama-agama besar seharusnya menjadi 


sumber pengetahuan yang bersifat kontemplatif (the eye of 


contemplation). Pada kenyataannya, banyak ayat-ayat yang 


terkandung dalam The Book of Genesis tidak sejalan dengan fakta 


empiris dan kebenaran rasional sehingga hal ini  menjadi 


objek kritik dan serangan dari filsuf untuk menghancurkan 


dimensi empiris dan rasional dari agama. Wilber mencontohkan 


dengan proses penciptaan alam selama tujuh hari dan matahari 


mengelilingi bumi dalam Injil, bumi diibaratkan terletak di atas 


punggung gajah atau pun kura-kura dalam Hindu dan Budha. 


Semua konsep pemahaman yang ada dalam kitab suci ini  


bertentangan dengan akal sehat dan sains.


 


Sejauh penelusuran 


penulis, Wilber tidak ada membahas atau mencontohnkan dalam 


al-Qur’an.


Guessoum dan Wilber pada prinsipnya sama-sama 


mengutamakan cara berfikir kritis, komprehensif dan terbuka. 


Dalam memahami agama termasuk kitab suci, Guessoum 


memakai  pendekatan beragam dan berlapis. Pada sisi lain, 


Wilber dalam menganalisa segala sesuatu termasuk relasi sains 


dan agama memakai  pendekatan integral. Integral yang ia 


maksudkan yaitu  cara berfikir yang komprehensif dan terbuka. 


Sama halnya dengan Guessoum, Wilber membagi tiga 


jenis pengetahuan yaitu pengetahuan empiris (sains), pengetahuan 


rasional (matematika dan logika), dan pengetahuan spiritual 


(pengetahuan ketuhanan).1  Yang membedakannya yaitu  


pengetahuan yang ketiga. Guessoum menyebutnya dengan 


pengetahuan wahyu, sedangkan Wilber menyebut dengan 


pengetahuan spiritual. Dengan kata lain, Wilber juga menyebut 


dengan jenis pengetahuan inderawi, mental, dan transendental.


11


Dalam konteks pengetahuan yang ketiga inilah, jika Wilber


menyebut dengan pengetahuan transendental ada kesamaan dengan Guessoum yang juga menyebut pengetahuan wahyu 


memiliki makna transendental. Sains bagi Wilber bukanlah 


pengetahuan tentang dunia tapi lebih merupakan interpretasi 


tentang dunia. Oleh karena itu, posisi sains sama dengan seni dan 


puisi.1 


Kesalahan dari empirisme hanya mengakui pengetahuan 


yang benar harus didasarkan pada pengalaman, sementara 


pengalaman yang dimaksudkannya hanya pengalaman inderawi 


(sensibilia).1 


Sebagai seorang yang cenderung posmodernis, Wilber 


agaknya setuju dengan konsep posmodernisme tentang 


pengetahuan. Pengetahuan yaitu  konstruksi sosial, kontekstual, 


non universal, interpretatif.1  Wilber pada dasarnya mengakui 


semua jenis pengetahuan sebagaimana dalam konsep integralnya. 


Sesuai dengan konsep integralnya. Semua jenis pengetahuan benar 


sepanjang ia fokus pada zonanya masing-masing.1 


Dalam hal dasar dan sumber pengetahuan, Guessoum 


memang sangat dipengaruhi oleh Ibn Rushd. Ia merujuk pemikiran 


Ibn Rushd terkait dengan perdebatan sumber pengetahuan dalam 


filsafat dan agama. Ibn Rushd membagi tiga pembagian penting 


dan orisinal tentang perdebatan ini . Ketiganya yaitu  


filosofis, dialektis dan retoris.1  Sesuai dengan pandangan Ibn 


Rushd, Akal dan wahyu saling melengkapi satu sama lain.1 


Guessoum sependapat dengan al-Ghazali bahwa cara yang 


paling tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui 


pengalaman keagamaan yaitu kontemplasi. Sedangkan untuk 


mengetahui Allah yaitu  dengan wahyu. Di sini jelas bahwa, 


wahyu sebagai sumber pengetahuan tentang Allah.1 


Guessoum dan Wilber memandang pentingnya 


penguasaan dan pemahaman secara kritis terhadap filsafat sains


terutama filsafat sains kontemporer. Mereka pada prinsipnya 


mengapresiasi upaya dan pemikiran Thomas Kuhn, Imre Lakatos, dan Karl Popper serta Paul Feyerabend yang telah banyak 


memberi  kontribusi terhadap perkembangan filsafat sains. 


Keemmpat filsuf sains kontemporer ini  layak 


dipertimbangkan sebagai dasar dan titik tolak pengembangan 


filsafat sains di dunia Islam menurut Guessoum dan di Barat 


menurut Wilber. Baik Guessoum maupun Wilber keduanya sama￾sama banyak merujuk dan memakai  analisis pemikiran yang 


dikembangkan oleh filsuf-filsuf kontemporer ini .


Dalam konteks ini  di atas, Guessoum memang tidak 


hanya banyak menguasai filsafat Barat tapi juga filsafat Islam. 


Guessoum sering kali tertarik dengan metode falsifikasinya 


Popper dalam menganalisa dan merumuskan konsepnya dalam 


pemikiran Islam terutama relasi sains dan Islam.1  Lebih jauh, 


Guessoum memandang bahwa metode falsifikasi Popper sangat 


tepat digunakan dalam memecahkan persoalan keilmuan dewasa 


ini, bahkan metode falsifikasi ini  juga sangat tepat dijadikan 


sebagai prinsip pengembangan keilmuan dalam Islam.  


\


Rekonstruksi pemikiran sains dalam Islam yang mencakup 


metodologi dan epistemologi mesti mendapat perhatian yang 


serius dari umat Islam. Guessoum memandang perhatian ilmuwan 


Muslim khususnya masih sangat sedikit tentang hal ini . 


Prestasi yang dicapai oleh ilmuwan Muslim dengan hadiah Nobel 


seperti Abdul Salam pada dasarnya yaitu  tetap sains Barat. 


Ilmuwan Muslim tidak banyak yang mempertanyakan tentang 


filsafat sains dan nilai-nilai keislaman apa yang dipakai dan 


dikembangkan oleh ilmuwan peraih Nobel ini . 1


Pada sisi lain, Wilber juga tidak hanya menguasai filsafat 


Barat tapi juga filsafat timur serta banyak membaca karya￾karyanya pemikir Islam kontemporer. Bagi Wilber, ketiga filsuf 


kontemporer ini  telah memberi  kontribusi yang besar 


terhadap perkembangan pemikiran ilmiah terutama Thomas Kuhn. 


Konsep Kuhn tentang paradigma dalam sains dapat dibuktikan 


dengan jelas dalam sejarah sains. Wilber cenderung memposisikan 


Thomas Kuhn lebih istimewa, sedangkan Guessoum lebih 


menekankan peran Popper di antara keempat filsuf kontemporer 


yang disebutkan sebelumnya. Guessoum sesuai pengakuan sendiri sangat mengagumi 


Ibn Rushd, meskipun tidak menafikan peran dan kontribusi tokoh￾tokoh lain dalam membangun fondasi epistemologi dirinya dan 


perkembangan sains di dunia Islam. Ia menyebut Ibn Rushd 


sebagai ‚a guiding spirit‛ dalam kehidupannya. Salah satu 


keutamaan Ibn Rushd menurutnya tidak mempertentangkan antara 


agama dan filsafat.


   Pada sisi lain, Wilber pada dasarnya tidak 


memiliki tokoh atau pemikir yang sangat memengaruhi


pemikirannya. Sebagai seorang yang mendalami psikologi, 


spiritualitas, dan sains, Wilber tampaknya cenderung 


mendapatkan pengaruh sedikit banyaknya dari ilmuan dan pemikir 


seperti Carl Jung, Einstein dan beberapa filsuf teori kritis seperti 


Habermas dan Herbert Marcuse. Mereka telah memberi  


pengaruh terhadap pemahaman psikologi, sains dan daya kritis 


Wilber.


   Sementara itu, Guessoum hampir tidak pernah 


menyinggung tentang Habermas dan Marcuse.


 . Perbandingan Objek dan Struktur Pengetahuan


Pengetahuan bersifat global dan terbuka serta menjadi 


bagian penting dalam peradaban manusia.   Pengetahuan 


monologis pra modern dan modern terfokus pada kuadran kiri 


bawah saja.   Hal ini  bertolak belakang dengan dasar 


epistemologi bahwa pengetahuan berhubungan dengan segala 


macam objek secara tidak terikat. Pengetahuan dapat 


berkorespondensi dengan segala tingkatan realitas baik realitas 


fisik, realitas fikiran, dan realitas spiritual.  


Berdasarkan diagram empat kuadran, jumlah jenis 


pengetahuan dan sains sangat banyak. Tipe kebenaran atau klaim 


validitas juga beragam

Tabel ini  menggambarkan secara jelas tentang empat 


kwadran yang menjadi fokus pemikiran epistemologi Wilber. Sisi 


interior atau kiri menunjukan pengetahuan yang didasarkan pada 


internal manusia manusia baik itu rasio maupun intuisi. 


Sedangkan sisi kanan yaitu  pengetahuan yang bersifat eksternal 


yang di antaranya yaitu  pengalaman inderawi. Validitas 


pengetahuan didasarkan oleh dasar, sumber, objek dan struktur 


pengetahuan seperti yang digambarkan pada table ini . 


Pengetahuan yang merasal dari sisi kiri bersifat subjektif dan 


intersubjektif, sedangkan pengetahuan yang berasal dari sisi kanan 


bersifat objektif dan interobjektif. Bagi Wilber, semua jenis 


pengetahuan ini  harus diakui dan digunakan secara integral.

Wilber dengan tegas mengakui semua jenis pengetahuan 


baik itu pengetahuan inderawi, pengetahuan mental (pikiran), 


maupun pengetahuan spiritual atau transendental. Hal ini  


dapat dilihat pada diagram di bawah ini. Pengetahuan dan pengalaman mistik boleh jadi tidak sama 


dengan pengetahuan dan pengalaman empiris, namun ia memang 


ada dan dapat dilakukan dan diajarkan meskipun sulit untuk 


dijelaskan secara empiris. Pengetahuan mistik ini sangat berisfat 


internal dan individual.  


Sebagaimana disinggung pada bab kedua, epistemologi 


sangat erat kaitannya dengan filsafat sains, bahkan filsafat sesuai 


dengan perkembangan epistemologi merupakan salah satu cabang 


dari epistemologi. Oleh karena itu, penelusuran epistemologi 


Guessoum dan Wilber berikutnya juga termasuk pemikiran mereka 


tentang filsafat sains. 


Guessoum dan Wilber cenderung mempertanyakan dan 


merumuskan terlebih dahulu pemahaman dan ranah sains secara 


komprehensif dan luas. Ia mengkritik definisi sains yang dianggap 


sebagai upaya objektif terhadap dunia sekitar dan cenderung 


mengarah pada ranah alam fisik saja. Pada sisi lain, ia menyetujui 


konsep sains yang dikemukakan oleh Sardar bahwa sains yaitu  


seperangkat upaya penelusuran keilmuan yang teratur, sistematis, 


dan terarah didasarkan pada eksperimen empiris dan dapat diulang 


serta berlaku secara universal.


   Pada umumnya, orang cenderung 


memahami sains sebagai seperangkat metode mempelajari dunia 


khususnya alam yang bersifat sistematis, objektif, kuantitatif, dan 


dapat diuji kebenarannya. Persoalan selanjutnya yaitu  apakahsains tidak mengandung unsur-unsur subjektif yang mungkin tidak 


tersembunyi. Untuk mendalami hal ini , maka sains juga perlu 


dipahami dengan pendekatan filosofis dan keagamaan agar 


terhindar dari skeptisisme.  


Sama halnya dengan Guessoum, Wilber juga 


mempertanyakan makna dan ranah sains sebelum melihat lebih 


jauh relasinya dengan agama. Kekhawatiran Wilber yaitu  adanya 


perbedaan definisi dan ranah sains sehingga orang cenderung 


mempertentangkan dengan yang lain termasuk dengan agama. 


Wilber beragumen bahwa ada  kesan sains yang 


dipertentangkan boleh jadi berbeda pemahamannya tentang sains 


atau bahkan pseudo sains atau sains semu. 1


 


Sains yaitu  seni atau cara modern dalam membangun 


sebuah narasi yang menjelaskan tentang observasi terhadap alam 


sehingga berguna untuk memprediksi atau bahkan mengontrol 


alam. Definisi ini  memakai  kata narasi dengan 


pertimbangan dua argumen. Pertama, beberapa fenomena alam 


dapat dijelaskan dengan cerita seperti cerita tentang Apollo pada 


masa Yunani Kuno. Kedua, definisi ini  tentu saja tidak 


mengeluarkan astrologi sebagai salah satu bidang sains meskipun 


banyak pendapat tidak setuju memasukkan astrologi sebagai 


bagian sains.  


Sains memiliki beberapa ciri utama yang berbeda dengan 


ranah pengalaman biasa. Pertama, sains khususnya matematika 


dapat mengetahui dan memberi  secara tepat hubungan 


berbagai macam perubahan variabel yang dapat diukur, namun 


tidak dapat mengetahui bentuk dan sifat dari sesuatu. Kedua, sains 


khususnya biologi berupaya mengetahui bagaimana mekanisme 


dan gerak dari sesuatu seperti makhluk hidup, namun tidak 


mengetahui apa dan mengapa dari sesuatu ini . Ketiga, sains 


dapat mengetahui sejarah dari segala sesuatu, namun tidak 


mengetahui arah, tujuan dan makna dari makhluk hidup. Keempat, 


sains sangat mudah menghitung dan mengetahui relasi eksternal 


dari suatu objek ke objek lain atau dari suatu masa ke masa lain, namun tidak mampu hal-hal yang sifatnya dari manusia atau 


makhluk hidup lainnya. Kelima, sains modern tidak terlalu peduli 


terhadap sebab dari segala sesuatu, namun hanya mencoba 


memahami aturan perubahan serta membuat prediksi.  


Dari perspektif tujuan sains, menurut Rudolf Carnap, 


secara praktis sains bersifat netral namun secara individual 


memiliki tujuan moral serta dalam konteks sosial sains memiliki 


tujuan politis.   Pandangan ini dalam banyak hal tentu saja dapat 


dibuktikan. Oleh karena itulah, Thomas Kuhn mengemukakan 


analisisnya tentang sejarah dan perkembangan sains yang tidak 


dapat terlepas dari paradigma yang berkembang saat itu. Thomas 


Kuhn yaitu  salah seorang filsuf kontemporer yang mendapatkan 


perhatian serius baik oleh Guessoum maupun Wilber.


Sains modern bagi Guessoum tidak terlepas dari 


kontribusi yang sangat penting dari Ibn Rushd, meskipun dalam 


perkembangan selanjutnya banyak terjadi pergeseran tentang 


paradigm sains modern. Pergeseran inilah yang dikritik oleh 


Guessoum. Dalam konteks Barat, sains modern diawali metode 


induksi Francis Bacon, padahal induksi ini telah digunakan oleh 


al-Biruni ketika berdebat dengan Ibn Sina yang mempertahankan 


deduksi.  


Sains modern bagi Wilber tidak sesuai dengan pluralisme 


epistemologi karena hanya mengakui epistemologi yang yang 


telah direduksi hanya kepada ranah eksterior dan menolak ranah 


interior. Ranah interior ini terkait dengan spiritualitas sehingga 


sains modern pada dasarnya menolak spiritualitas. Penolakan 


terhadap spiritualitas juga berarti menolak agama. Secara singkat 


dapat dikatakan bahwa sains modern terjebak pada reduksionisme 


epistemologi.  


Wilber pada dasarnya menganut ontologi dan 


epistemologi pluralistik. Dalam ontologi pluralistik sains dan 


agama bukan dipahami sebagai sesuatu yang bersifat dikotomis. 


Berbeda dengan ontologi monistik, sains dan agama mesti dapat dibuktikan kebenarannya sehingga boleh jadi sains membenarkan 


agama atau sebaliknya.  


Pemikiran Kuhn tentang peran paradigma dalam revolusi 


ilmiah tidak hanya memberi  kontribusi penting terhadap 


filsafat sains di Barat tapi juga juga di dunia Islam.  


Salah satu bentuk pemahaman sains yaitu  saintisme. 


Saintisme baik menurut Guessoum maupun Wilber yaitu  


paradigma sains yang sempit dan dangkal. Saintisme pada 


dasarnya menjadi penghalang utama bagi terbangunnya sebuah 


diskursus sains dan agama secara terbuka, kritis, dan luas. Hal 


ini  dikarenakan saintisme cenderung mereduksi ranah sains 


dan menyerang agama. Saintisme bagi Wilber yaitu  tragedi besar 


dalam peradaban manusia.   Inilah salah satunya yang 


menyebabkan terjadinya konflik sains dan agama di Barat. Konflik 


yaitu  salah satu bentuk pola relasi sains dan agama.


Modernitas yaitu  salah satu persoalan yang cukup 


banyak mendapatkan perhatian Guessoum dan Wilber karena 


modernitas sebagai bagian penting sains yang disebut dengan 


sains modern. Guessoum berupaya untuk merekonsiliasi agama 


dengan sains modern sebagai bagian dari modernitas dengan 


berbagai pertimbangan tertentu dan ketat. Oleh karena itu, 


Guessoum menekankan bahwa diskursus sains modern dan Islam


terbagi ke dalam tiga dimensi yaitu dimensi sejarah, praktis, dan 


teoretis. Ketiga dimensi ini  jika dilihat dari perpektif pelaku 


yang memperbincangkan relasi sains dan Islam yaitu  intelektual 


dan publik. Kelompok intelektual cenderung mengkaji relasi sains 


modern dan Islam dari dimensi atau aspek teoretis. Kelompok 


publik lebih cenderung melihat aspek praktis dari sains modern 


kaitannya dengan Islam.   Perkembangan sains di dunia Islam 


akan maju jika  kebebasan akademik individu dan cara berfikir 


kritis.


  Meskipun Guessoum memberi kritik terhadap modernitas dan sains modern sebagai salah satu unsur penting darinya, ia 


menekankan bahwa umat Islam tidak mesti anti terhadap 


modernitas. Hal-hal yang positif dan konstruktif dari modernitas 


justru dapat membantu umat Islam untuk melakukan rekonsiliasi


sains dan agama. 


Pada sisi lain, Wilber menyinggung sangat banyak 


masalah modernitas. Modernitas yaitu  suatu bencana besar 


karena telah melakukan pemisahan (dissosiasi) terhadap tiga ranah 


penting yaitu pemisahan ranah sains dengan ranah moral dan seni. 


Wilber menganggap pandangan ini  akibat dari epistemologi 


Cartesianisme yang memisahkan jiwa dan badan (mind and body) 


sebagai dua ranah yang tidak hanya berbeda tapi terpisah. Inilah 


yang disebut Wilber sebagai bencana modernitas sampai akhirnya 


memunculkan paham sekularisme. Konsep ini  tentu saja 


bertentangan dengan pendekatan integral Wilber yang 


memandang semua elemen, aspek, ranah, domain, dan bentuk dari 


kehidupan manusia baik itu interior-eksterior, kiri-kanan, atas￾bawah, materi-immateri yaitu  merupakan satu kesatuan atau 


integral.  


Kritik Wilber terhadap modernitas di atas menunjukkan 


bahwa ia pada dasarnya sejalan dengan para pemikir posmodernis. 


Posmodernisme pada dasarnya memang antithesis dari 


modernisme. Hampir semua unsur-unsur penting dari konsep 


posmodernisme dikritik oleh posmodernisme seperti rasionalitas, 


fondasionalisme, kemapanan, kebenaran, dan sebagainya. Pada 


dasarnya, kritik terhadap modernisme juga dilakukan oleh 


Idealisme dan Romatisisme, namun kedua aliran ini tidak berhasil. 


Pendekatan integral yang digunakan Wilber yaitu  salah satu 


bentuk menentang modernisme. Modenisme memiliki cara 


pandang monologis.   Berbeda dengan Wilber, Guessoum hampir 


tidak ada memberi  kritik terhadap modernisme dengan 


kerangka analisis posmodernisme. Pendekatan integral


menfasislitasi pengetahuan lintas disipliner dan antar disipliner 


(cross-disciplinary and trans-disciplinary).   Oleh karena itu,pendekatan yang digunakan Wilber pada dasarnya mendorong 


kajian-kajian keilmuan termasuk kajian ilmu-ilmu keagamaan 


dengan perspektif interdisipliner. 


B. Rekonsiliasi dan Integrasi terhadap Sains dan Agama 


Setelah mendalami dan menguraikan berbagai dimensi 


pemikiran Guessoum dan Wilber pada bab-bab sebelumnya, 


kemudian diperkuat dengan analisis perbandingan karakter dan 


fondasi epistemologis keduanya. Bagian berikut akan mengkaji 


analisis perbandingan yang meliputi persamaan dan perbedaan 


pandangan mereka tentang relasi sains dan agama. 


Upaya rekonsiliasi Islam dan sains harus memakai  


pendekatan non literal yaitu dengan cara memahami dan 


menafsirkan taks-teks keagamaan secara beragama dan berlapis.