gerahkan kepada manusia sebagai bukti bahwa manusia
memiliki potensi intelektual214 merujuk pada firman Allah: ‘mengajarkan nama-
nama kepada Adam’ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 31) dan kesadaran primordial (tauhid)215
dengan al-Haq, sebagaimana firman-Nya: ‘bahwa kami bersaksi atas Tuhan kami’
(QS. Al-A’raf [7]: 172). Perjanjian alastu atau asyhada yaitu manusia bersaksi
kepada diri mereka sendiri akan ke-Rabb-an Tuhan dalam pengertian bahwa manusia
sungguh tahu dengan penglihatan langsung (shuhud) terhadap realitas dan kebenaran
yang diungkapkan kepada mereka. Sebagai perjanjian untuk mengenali dan
mengakui-Nya sebagai Rabb yang Absolut, Pemilik, Pencipta, Pemerintah, Tuan,
Pengasih, dan Pemelihara. 216 Dua prinsip ini menjadi basic bahwa manusia
diciptakan dengan sebaik-baik ciptaan (يموقْت نسحْأ) (QS. At-Tin [95]: 4). Al-
Haqqmenciptakan roh Al-Qudsi217 dalam wujud yang terbaik di Alam Lahut untuk
menyempurnakannya sebelum menurunkan ke Alam Mulk (alam terendah) Allah
anugerahkan unsyiah218dan qurbiyah. Sebagaimana firman-Nya di tempat yang
disenangi di sisi Tuhan yang Maha Kuasa (QS. Al-Qamar [54]: 55).
Menurut Abdul Qadir al-Jailani Roh Qudsi Allah turunkan ke Alam Jabarut
dengan potensi tauhid dan cahaya-cahaya sebagai potensi qalb selanjutnya Allah
berikan pakaian unsyiah. Di Alam Malakut Allah ciptakan pakaian ruhul Qudsi atau
ruh sirri ruhani untuk pelindung manusia di Alam Mulki yakni ruh jasmani.
2. Kosmos Sebagai Medan Perjalanan
Kosmos sebagai medan perjalanan bahwa dalam prinsip kosmologi Ibn ‘Arabi,
Alam Kabir (kosmos) merupakan tajalli yang paling nyata. sebab kosmos dan
manusia bukan bagian dari Al-Haqqnamun keduanya yaitu tajalli-Nya. Maka,
manusia sebagai subjek yang melakukan perjalanan tak lepas dari sejarah darimana
ia berasal, dimana perjalanan itu dilakukan dan tujuan akhirnya kemana. Rentetan
pertanyaan di atas membutuhkan jawaban secara saintifik. Manusia dipersepsikan
sebagai manusia dimensi raga. Ketika muncul pertanyaan seputar apa, mengapa, dan
bagaimana maka dibutuhkan penjelasan filosofis. Ketika kesadaran kita terhadap
Tuhan yang men-tajalli dalam form Alam Soghir maka dibutuhkan penjelasan
metafisik.
Peran penting kosmos yaitu memahamkan kita untuk sadar pada Realitas
tertinggi. Bagi banyak kosmolog dualitas Tuhan dan alam memberikan kebangkitan
pada dua titik yang saling melengkapi sebab Tuhan benar-benar nyata dalam alam.220
Manusia yaitu sebuah totalitas yang lahir sekaligus dari tubuh ragawi dan jiwa
spiritual. Para Arif menemukan keserupaan bagi segala sesuatu yang ada di alam
materi dalam struktur tubuh manusia. Segalanya meliputi berbagai komposisi yang
luar biasa dari dunia samawi dari ragam jenis konstelasinya, gerakan planetnya,
komposisi pilar dan ibunya, ragam substansi mineralnya berbagai jenis tanaman dan
kerangka tubuh binatang yang luarbiasa.221 Pada konteks ini manusia diistilahkan
sebagai totalitas kesempurnaan ciptaan. Dalam istilah Ibn ‘Arabi disebut dengan al-
hadrat al-jami’ah (all-comprehensive) sementara kosmos dipahami sebagai dunia
langit dan bumi serta yang ada diantara keduanya. Langit selalu dimaknai sebagai
ketinggian, cahaya, kenaikan, rahmat dan permulaan. Bumi sering dikaitkan dengan
kerendahan, kegelapan, keturunan, reseptivitas, kesuburan dan aktualisasi.222
Sehingga kosmos dimaknai sebagai medan perjalanan jiwa manusia.
Secara natural perjalanan hidup mengajarkan manusia pada akhir perjalanan
untuk kembali kepada Sang Mutlak. Jalan ini bagi Rumi diistilahkan sebagai jalan
cinta dan bagi Ibn ‘Arabi diistilahkan dengan jalan mi’raj (mendaki). Semua
perjalanan spiritual bagi kemanusiaan haruslah dimulai dengan penyesalan dan
pertaubatan (tawbah) sebab pada dasarnya jiwa tereksteriorkan dengan punggung
menghadap dunia Ruh dan wajah menghadap dunia material sehingga yang muncul
dicirikan oleh keserbaragaman, keterserakan, kesementaraan, kerusakan, dan
kematian. Taubah artinya berbalik, hal ini mempunyai makna bahwa manusia harus
mengubah arah jiwa untuk menghadap Sang Realitas223
Sejarah perjalanan manusia mencari ‘Ma’rifatullah’ melalui dua jalan yang
berbeda yaitu aql (renungan, tafakkur) dan shuhud (pencapaian, penyatuan).224
Dalam tradisi sufi, fase-fase perjalanan spiritual dijelaskan dalam beragam tahapan.
Mulla Sadra mengembangkan perjalanan manusia menjadi empat perjalanan.
Pertama, perjalanan dari makhluk ke al-Haqq (min al-khalq ila al-Haqq). Kedua,
perjalanan dalam al-Haqq bersama al-Haqq (fi al-Haqq ma’a al-Haqq). Ketiga,
perjalanan dari al-Haqq menuju makhluk (min al-Haqq ila al-khalq ma’a al-Haqq).
Keempat, perjalanan dalam makhluk bersama al-Haqq (fi al-khalq ma’a al-Haqq).225
Menurut Ibn ‘Arabi yang dikutip oleh James Morris bahwa perjalanan (safar)
diartikan sebagai kondisi yang secara intrinsik diperlukan untuk segala sesuatu selain
Tuhan. Perjalanan tesebut terdiri dari 4 dimensi. Pertama, perjalanan (fillah billah)
melalui proses mengetahui dan menyadari (‘ilm dan tahaqquq). Kedua, perjalanan
melalui Nama Ilahi dengan atribut dan kualitas (takhalluq) yang mana merupakan
perjalanan menurun dari tempat awal. Ketiga, perjalanan melalui hal-hal yang
diciptakan dengan melihat pelajaran yang terkandung didalamnya (I’tibar) di mana
berbeda dari dua perjalanan sebelumnya. Perjalanan yang keempat merupakan
perjalanan komprehensif yang mengintegrasikan ketiga perjalanan dan juga
merupakan perjalanan yang paling luar biasa.
3. Tuhan Sebagai Tempat Kembali
Prinsip نوعجار هيلا نااو لله ناا (QS. Al-Baqarah [2]: 156) merupakan sebuah prinsip
bahwa segala entitas yang mawjud (contingent) secara eksistensial kembali pada
Tuhan. Masa depan kehidupan manusia secara eskatalogi227 dalam pemahaman
esoteric bahwa disini (dunia alam semesta korporeal) dan disana (alam jiwa, alam
ruh, alam ukhrawi) yaitu sama. Karna disini dan disana yaitu sebuah kehadiran.
Tuhan. Yang membedakan yaitu bahwa disini, hari ini yaitu ketidakabadian
sementara disana yaitu keabadian. Nasr mengistilahkan jalan menuju puncak yaitu
Taman kebenaran (The Garden of Truth).228
Kembali pada yang asal, sesungguhnya yaitu kerinduan Tuhan terhadap
tajallli-Nya sehingga sebenarnya merindukan kematian merupakan penyatuan
kualitas kontinigen (the accidents of contingency). Dalam penyatuan ini manusia
akan terbebaskan dari segala kesempitan dan keterbatasan al-imkan (the limitations
of being a possible existence) dan maqam kematian atau kembalinya ruh pada asal
Ibn ‘Arabi mengistilahkan kembalinya ruh kepada maqam keterpaduan (maqam al-
jam’)229 sebagaimana penjelasannya sebagai berikut:
هنافصلى الله عليه وسلم تؤيم تّّح هّبر ىري نْل مْكدحا نّا لاجّدلا ثيدح في لاق230
“Maka sesunggguhnya Nabi Muhammad SAW telah menyatakan dalam
hadits al-Dajjal; “sesungguhnya satupun dari kalian tidak akan pernah melihat
rabbnya sehingga dia mati”.
Muhammad Baqir memaknakan bahwa yang merindukan kematian hamba
yaitu al-Haqq, sebab sesungguhnya tidak seorang hambapun senang dengan
kematian. Sementara menurut Qaysari yang merindukan kematian hanyalah para
mukmin yang muwahiddin yang menginginkan kematian (maut al-iradi) dan bukan
kematian natural (al-maut al-tabi’i) sebab mereka yaitu para Arifin yang
merindukan pertemuan dengan al-Haq231.
Penjelasan lainnya terkait dengan kembalinya ruh pada Sang Asal diisyaratkan
dengan firman Tuhan, bahwa Dia telah menghembuskan ruhnya sendiri ke dalam
manusia dan ruh Tuhan menjadi tersembunyi dalam form manusia namun manusia
tidak sadar kepada ruh yang tekandung di dalam diri mereka. Hanya sedikit dari
manusia yang sadar tentang esensi ke-Ilahiyyan-Nya dan hal ini meniscayakan pada
kesadaran, bahwa manusia memang tercipta dalam bentuk Al-Haqq yang
mencerminkan diriNya sendiri. Sebagaimana penjelasan Ibn ‘Arabi sebagai berikut:
نباأ املف هحر نم هّنلا هتروص ىلع هقلخ هارتلاا هسفْنل لّاا قاتشْا امف هحور نْم هيف خفن هّنأ232
“Maka sebab Dia telah menjelaskan bahwa Dia telah menghembus
Ruhnya padanya, maka Dia tidak merindukan kecuali kepada Diri-Nya.
Apakah kamu tidak lihat Dia telah menciptanya berdasarkan citraNya sebab
ia yaitu dari ruh-Nya”
Kematian disini dimaknai sebagai sebuah ending dari perjalanan manusia dalam
suluk (perjalanan spiritual) kematiain merupakan al-intiqal yakni pemindahan
kesadaran manusia dari dimensi zahir ke dimensi batin, mati disini dipahami bukan
tubuh ataupun jiwa (dimensi ragawi dan psikologis) namun hancurnya atau leburnya
individualitas manusia ke dalam pertemuan antara Al-Haqq dan hambanya233.
Beragam penjelasan tentang akhir perjalanan manusia menuju asal. Al-Ghazali
merujuk kepada QS. Al-Baqarah 2: 30 mengemukakan bahwa manusia akan mendaki
ke alam tertinggi setelah manusia melakukan pensucian diri dan mengembangkan
kualitas spiritual karna hanya manusia yang bisa mewakili (khalifah) Tuhan di bumi
karna manusia yaitu citra lengkap realitas Ilahi. Mi’raj atau perjalanan mendaki bagi
al-Ghazali hanya dilakukan oleh kaum khawashsh dimana pada merekalah cahaya –
cahaya kebenaran tersampaikan. Kaum inilah yang memiliki kemampuan melihat
dengan dua mata, yaitu mata lahir dan mata batin.234
Jalan spiritual merupakan aktualisasi penghambaan yang sempurna melalui
iman (tauhid), ibadah (ritual), dan seluruh laku langkah ibadah menghantar pada
tujuan akhir baik secara intelek ataupun spiritual untuk mendekatkan diri pada
Tuhan.235
Menurut Abdul Qadir Jailani manusia khusus kembali ke asal setelah qolbu
tersiram cahaya tauhid dengan merutinkan dzikir asma tauhid dengan lisan sirri tanpa
huruf dan suara. Hal ini merujuk pada hadits Qudsi ‘manusia yaitu sirriKu dan Aku
yaitu sirrinya’.236 Dalam hal ini, Abdul Qadir Jailani merujuk firman:
“Aku sesuai sangkaan hamba-Ku Aku bersamanya ketika dia
mengingatku. Bila dia mengingat-Ku dalam kalbunya, Aku mengingatnya
dalam Dzat -Ku. Jika dia mengingat-Ku di Majelis, Aku mengingatnya di
dalam Majelis yang lebih baik darinya” (QS. Az-Zumar [39]: 42).
Tafakkur (remembering God) dipilih oleh Abdul Qadir Jailani untuk merujuk
pada kesadaran tauhid sebagai pengetahuan tertinggi yakni pengetahuan ma’rifat.237
Hal ini berdasarkan hadits:
“Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah setahun”
Nabi SAW juga bersabda:
“Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah 70 tahun”.
“Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah seribu tahun”.
Kedua hadits ini menjelaskan bahwa kesadaran ma’rifat menghantarkan
manusia menuju Alam Qurbah. Dengan dasar hujjah para ulama bahwa kalbu ahli
ma’rifat memiliki mata dan mampu melihat apa yang tidak dilihat oleh awam.
Dalam setiap doktrin esoteric terdapat referensi yang mengacu kepada tingkat
keyakinan dan mistisme islam, dalam tasawuf ketiga tingkatan ini dikenal dengan
Lore of Certainty (ilmu l-yaqin), the Eye of Certainty (aynu l-yaqin) dan the Truth of
Certainty (haqqu l-yaqqin). Perbedaan ketiga tingkatan tersebut diilustrasikan dari
elemen api yang mewakilkan kebenaran Ilahi. Tingkatan terendah yaitu Lore of
Certainty mengarah pada seseorang yang memiliki pengetahuan mengenai api datang
dari pendengaran, seperti orang-orang yang mendengar kabar musa tidak lebih dari
‘kabar’ dari semak yang terbakar. Tingkatan kedua yaitu the Eye of Certainty
mengacu pada seseorang yang pengetahuan mengenai api datang dari melihat nyala
api, seperti Musa sebelum mencapai semak. Tingkatan tertinggi yaitu the Truth of
Certainty mengarah pada seseorang yang mengetahui api dari mengonsumsi api dan
menyatu dengannya, dalam hal ini merujuk pada Yang Esa. Terwujudnya keesaan ini
tersirat untuk Musa bahwa dia dipanggil ke dalam kehadiran Ilahi dengan semaak
yang mengelilingi. Masuk kedalam semak itu sama dengan masuk ke dalam api.238
Merujuk kepada firman Allah:
“Maka ketika dia mendatanginya (ke tempat api itu) dia dipanggil wahai
Musa!” (QS. Taha [20]: 11).
ناأ نّيإ كبّر ىوط سدّقملْا داولْبا كنّإ ۖ كيْلعْن عْلخْاف
“Sungguh Aku yaitu Tuhanmu, maka lepaskan kedua
sendalmu. Karna sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci,
Tuwa.” (QS. Taha [20]: 12).
Martin Ling menguraikan hubungan antara Tuhan dan manusia sebagai berikut:
Relationship persists so long as subsidiary cause persists, and subsidiary
cause persists so long as quest persists, and quest persists so long as thou
persistest, and thou persistest so long as thou seest Me not; but when thou
seest ME, thou art no more, and when thou art no more, quest is no more,
and when quest is no more, subsidiary cause is no more, and when subsidiary
cause is no more, relationship is no mre, and when relationshop is no more,
limit is no more, and when limit is no more, veils are no more239
Hubungan tetap ada selama penyebab tambahan tetap ada, dan penyebab
tambahan tetap ada selama pencarian tetap ada, dan pencarian tetap ada
selama kamu bertahan, dan kamu bertahan selama kamu tidak melihat aku
namun ketika kamu melihat aku, kamu tidak ada lagi, dan ketika kamu tidak
ada lagi, pencarian tidak ada lagi, dan ketika pencarian tidak ada lagi
penyebab tambahan tidak ada lagi, dan ketika penyebab tambahan tidak ada
lagi hubungan tidak ada lagi, dan ketika hubungan tidak ada lagi maka tidak
ada lagi batas, dan ketika tidak ada lagi batas, hijab tidak ada lagi.
Pada akhirnya dalam kenyataan menurut Ibn ‘Arabi selalu Tuhan lah yang
diminta karna tidak ada yang lain selain Dia. Namun, dari sudut pandang yang
terbatas ini secara cepat dikaburkan oleh bentuk-bentuk manifestasi yang tak
terhitung banyaknya. Oleh karna itu, ada berbagai tingkat pengetahuan dalam
meminta mengingat bahwa selalu ada respon Ilahi terhadap permintaan kita. Penting
untuk sadar terhadap apa yang sebenarnya diminta. Dalam sebuah bagian Ibn ‘Arabi
menggambarkaan kesadaran intim dari waktu ke waktu dalam hal kedekatan Ilahi.
Setelah mengomentari ayat al-Qur’an ‘Aku dekat, Aku menanggapi panggilan dia
ketika dia memanggilku.’ Hal tersebut merujuk kepada firman Allah:
“Dan apabila hamba-hambaku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku
dan beriman kepadaku agar mereka memperoleh kebenaran.” (Q.S. Al-
Baqarah [2]: 186).
Ibn ‘Arabi lalu menulis sehubungan dengan keterkaitan-Nya dengan kedekatan
diri-Nya dalam mendengarkan dan menanggapi, analoginya seperti menggambarkan-
Nya sendiri sebagai sesuatu yang ‘lebih dekat’ dengan manusia ‘daripada urat
lehernya.
هيْلإ برقْأ ننْحو ۖ هسفْن هب سوسْوت ام ملعْنو ناسنْلْْا انقْلخ دْقلو ديرولْا لبْح نْم
“Dan sunggguh, kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang dibisikkan oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat
lehernya” (QS. Qaf [50]: 16).
Di sini Dia membandingkan kedekatan-Nya dengan hamba-Nya dengan
kedekatan manusia dengan miliknya. Ketika seseorang meminta dirinya untuk
melakukan sesuatu dan kemudian melakukannya, tidak ada gap atau celah antara
permintaan dengan jawabannya, yang hanya mendengarkan. Momen bertanya atau
meminta sebenarnya yaitu saat Tuhan merespon atau menanggapi. Jadi kedekatan
Tuhan dalam menanggapi hamba-Nya [identik dengan] kedekatan hamba dalam
menanggapi diri sendiri dalam keadaan apapun sama dengan apa yang dia minta dari
Tuhannya sebagai kebutuhan spesifik.240 Seperti yang dilukiskan dalam syair
Fariduddin Atar:
“Aku yaitu dosa dari diriku sendiri yang memberontak,
Aku yaitu penyesalan yang memaksa diriku sendiri,
Ziarah, Ziarah dan jalan, Apakah namun diri sendiri terhadap diri sendiri, dan
kedatangan Anda namun diri sendiri di pintu saya sendiri”241
Sedangkan al-Hallaj mempercayai iman tak sekedar kepercayaan ritualistik-
verbal. Iman dipercaya tidak ada harganya dan tidak membawa mukmin mencapai
ma’rifatullah. Orang yang bersibuk diri dengan ibadah terhijab dengan ibadah itu
sendiri. Sedangkan, orang yang sibuk dengan Dzat yang disembah maka
pandangannya menyatu padanya tanpa ada hal lain. al-Hallaj mengatakan Al-
Haqqatau Allah yang patut menjadi objek ibadah dan penyandaran absolut pada
ketaatan.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa dimensi spiritual menghantar manusia
percaya kepada yang gaib, fungsinya mencakup hal-hal yang supranatural. Level
kecerdasan apapun menghantar manusia menuju realitas yang maha sempurna tanpa
cacat, tanpa batas dan tanpa akhir, yakni Tuhan yang Maha Agung.243
D. Urgensi Tasawuf Dalam Kehidupan Modern Dan Implikasinya Dalam Dimensi
Etik
Meskipun tasawuf merupakan beyond narasi dan personal, bekerja di wilayah
non fisik yakni wilayah spiritual, tasawuf juga bersifat doktrinal yang memiliki
makna universal dan perennial. Tasawuf bisa menjadi pondasi kesadaran dari dalam
menuju kesadaran dzahir. Kompleksifitas yang dialami manusia modern
membutuhkan oase pencarian makna dan tasawuf dapat mengurai problem
kemanusiaan yang terjadi di masyarakat hari ini. Nilai-nilai etika yaitu salah satu
ekspresi dari esensi tasawuf memberi ruang dan mendorong terbangunnya relasi
anatara sesama dan lingkungan semesta.. namun harus diingat bahwa tasawuf bukan
pelarian psikologis ataupun obat bagi problem psikologis.244
1. Tasawuf Menghubungkan Kembali Ke Akar Tradisi
Tasawuf245 merupakan dimensi spiritual dalam Islam atau Islamic Misticism246
menekankan makna tauhid sebagai kesadaran terhadap Realitas Tunggal dan apapun
yang ada di alam semesta yaitu manifestasinya247. Tasawuf mengajarkan pensucian
batin menjunjung tinggi prinsip anti kekerasan, memberikan interpretasi spiritual
sebagai Jihadunnafs atau jihad akbar.248 Tasawuf satu-satunya aspek dari ajaran
Islam yang bisa memberi jawaban pada krisis dimensional dalam kehidupan modern
dengan menggunakan semua kunci dalam hazanah hikmah tasawuf guna memberikan
dan membuka pintu-pintu yang ada dibaliknya dan berfungsi sebagai solusi untuk
menyelesaikan berbagai persoaalan intelektual dengan mengambil gagasan-gagasan
metafisik dan esoterik Islam yang terkandung dalam tasawuf.249
Kita sadari bersama bahwa modernisme yang ditandai dengan perkembangan
sains dan teknologi tidak hanya membawa kemudahan bagi hidup manusia namun juga
memunculkan sinisme terhadap agama dan aspek spiritualnya.250 Meskipun
modernitas menjadi sumber pengetahuan, namun sekaligus menjadi tantangan yang
harus diadaptasi dan diurai.251 Modernisme dan sekularisme menimbulkan beragam
krisis, Islam mengadaptasi kemajuan sains dan tetap memelihara prinsip dan nilai-
nilai.252 Beragam krisis muncul, dari krisis nilai, ekologi, moral, kemiskinan atau
kesenjangan sosial dan seterusnya. Tasawuf sebagai salah satu bentuk pemikiran
dalam islam menjadi penting sebagai upaya mengurai problem masyarakat
modern.253 Dari titik pandang ini untuk menyembuhkan penyakit dunia modern yakni
sekulerisasinya yang melampaui batas tak lain sebab diakibatkan penjauhan dari
segala hal dari makna spiritualnya.254 Maka perlu kesadaran kembalinya manusia
kepada tradisi agama (tasawuf) sebagai jalan esoterik, ruang makna dari dimensi
internal manusia (inner journey), sebagai jalan tengah menuju keseimbangan, agar
dampak dari kegagalan dari modernisme tidak berkepanjangan.255
Dalam tradisi platonisme terdapat teori bahwa mengetahui pada dasarnya
mengingat kembali arketipe pengetahuan tentang Tuhan yang pernah ada namun
terlupakan.256 Maka hal ini berarti pesan agama cenderung mengajak untuk return,
melihat kembali pada asal, sementara pesan pengetahuan dan teknologi cenderung
mengajak research, melangkah ke depan dan menatap alam yang selalu mengajak
untuk dipahami.257 Tradisi dipahami sebagai ajaran-ajaran asal agama yang
bersumber dari al-Qur’an dan Hadist melalui perintah kenabian yang turun temurun
melalui warisan atau disebut tradisi sampai pada para ulama dan auliya.258
Tasawuf pada dasarnya secara prinsip yaitu mazhab wahdatul wujud yang
secara prinsip tidak bisa dicapai melalui teori, konsep, pemikiran yang berasal dari
buku-buku namun dicapai melalui perjalanan spiritual, sebab ia yaitu jalan cinta
menuju Sang Kekasih dalam qalbu sang pencinta. Wahdatul wujud yaitu
pengalaman mistikal yang dikatagorikan sebagai mistical union sebagai pengalaman
puncak spiritual. Maka tasawuf yaitu takhalluq bi akhlaq Illah, takhalluq bi asma’
Illah al-husna.259
Ajaran tasawuf Ibn ‘Arabi terkesan memfokuskan diri pada kesempurnaan
spiritual individu, namun sejatinya tujuan akhirnya yaitu kesadaran manusia terhadap
diri, Tuhan, dan dunianya. Hal ini membuktikan bahwa hirarki ketuhanan
berimplikasi pada aspek epistimologi, kerena realitas secara ontologi dan kosmologi
bersumber dari hirarki teratas dan realitas terbawah, yakni semesta raya, maka
dibutuhkan pemahaman yang beragam. Oleh sebab itu, Ibn ‘Arabi ketika
mendeskripsikan tiga tingkatan pengetahuan (akal, ahwal, dan asror), paralel dengan
metode burhani, intuisi dan kashaf.
Hal ini berarti pada dasarnya, Ibn ‘Arabi bukan menolak penalaran rasional atau
hanya mengkui pengetahuan ma’rifat, namun menmpatkan metode penalaran sesuai
obyek dan fungsinya. Maka, hal-hal yang bersifat empirik dan observatif
menggunakan metode penlaran rasional. Namun, hal-hal yang bersifat suprafisik,
kejiwaan serta ketuhanan berbasis intelek dan rasio. Maka kewajiban kita yaitu
menelusuri makna dan pesan yang berada disebrang narasi, simbol (kosmos), bukan
terhenti pada ungkapan deskriptif atau harfiahnya.260
Untuk memahami hakikat pencarian intelektual, ada beberapa poin yang bisa
membantu pemahaman kita: pertama, Tauhid. Prinsip ini merupakan satu prinsip
dasar, bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan dan bergantung kepadanya
selamanya. Kedua, cahaya abadi Tuhan merupakan kehadiran permanen dalam
ciptaan. Gaung cahaya ini, dalam pengalaman manusia disebut intelek atau ruh atau
hati. Segala sesuatu dikenali melalui cahaya sebagai pola sadar dan terjaga dalam
pewujudan alam semesta dan manusia. Ketiga, kosmos yaitu hirarki besar yang
didalamnya setiap realitas hadir serentak dan tidak terikat dnegan urutan temporal
berlandaskan hikmah Ilahi, ia berawal dan berakhir dalam cahaya Tuhan. Keempat,
kosmos ada dalam dua hirarki besar, yakni alam gaib, sebagai wilayah ruh, cahaya,
akal, dan kesadaran. Alam Syahadah yaitu wilayah tubuh, kegelapan, kejahilan dan
ketaksadaran.261
Kelima, manusia memilki kedudukan yang bersifat unik dalam alam semesta,
sebab Tuhan menjadikannya dengan mengajarkan nama-nama, dan dalam citranya
Tuhan menjadikannya maka segala sesuatu yang ditemukan di alama eksternal, juga
ditemukan dalam esensi dan realitas kedirian manusia yang primordial sebagai fitrah.
Keenam, kosmos dihidupkan oleh dua gerakan simultan, yakni setrifugal yang
menjauh dari sumber dan gerakan sentripetal menuju sumber. Ketujuh, manusia yang
mengetahui dan yang memahami semua definisi yang dituntun oleh akalnya yang
pada akhirnya manusia sadar tidak ada yang lain kecuali al-Haqq sebagai sang
Hakikat. Kedelapan, tujuan final agama yaitu membangkitkan intelek. Meskipun
manusia berbeda-beda dalam kesiapan menemukan cahaya Ilahi melalui ajaran para
nabi dan pemikir yaitu sebagai pemandu untuk mengikuti ajaran-ajaran untuk
menemukan cahaya Tuhan. Kesembilan, diri-diri individual identik dengan kesadaran
akan segala sesuatu, sebab menusia sevcara fitrah memiliki kesempurnaan
pemahaman. Kesepuluh, aspek teoritis, berperan mengtahui segala sesuatu
sebagaimana adanya, sementara peran aspek praktis yaitu untuk memahami dan
menentukan aktivitas yang benar dan perilaku yang baik.262
2. Dari Kesalehan Individu Menuju Kesalehan Sosial
Tasawuf, yang berbasis pada kesadaran spiritual, (kesadaran rohaniah), pada
fase berikutnya mendorong pada implikasi gerak dan penalaran pada wilayah
empirik, dari kesadaran makna pada kesadaran bahasa, dari bahasa ke praksis.
Meminjam istilah Naqib Al-Atas, kesadaran atau pengetahuan meniscayakan tibanya
makna pada jiwa dan tibanya jiwa pada makna263. Artinya, Tasawuf bukan lagi
sebagai wilayah kesalehan individu yang bersifat tertutup namun mampu
terekspresikan pada wilayah etik dan sikap sosial. Kesalehan individu pada
prinsipnya menyebar laksana cahaya yang menerangi kegelapan. Ada hubungan
kesalehan individu dan kesalehan sosial yang berbasiskan pada etika. sebab itu
pengembangan hazanah intelektual Islam yang berbasis pada tauhid diharapkan
memiliki hubungan dengan dunia realitas.
Ajaran agama pada awalnya merupakan ajaran terhadap jiwa. Jika ditelusuri ke
belakang, Islam bermula ketika Muhammad meyakini memperoleh ajaran tauhid
melalui jibril yang berlangsung selama 23 tahun. Mereka yang beriman disebut
mukmin (the community of believers). Mereka yang membangkang disebut kafir (the
community of disbelievers).264Agama tidak hanya mendasarkan pasa kesalehan
individu dalam hubungannya dengan Tuhan ( نم لبح الله ) namun juga mengandung
anjuran tentang hubungan sosial (سانلا نم لبح). Hubungan yang dibangun antar sesama
manusia bukan sebatas ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah, namun juga dititik
beratkan pada ukhuwah bashariyah atau insaniyah.265
Ibn ‘Arabi memberikan pendasaran pada penempuh jalan spiritual bahwa ada
tiga hak yang harus dipenuhi, yaitu hak Tuhan, hak diri individu, dan hak makhluk
yang lain.266 Hal ini memberi penjelasan bahwa hak makhluk harus dipenuhi dengan
cara apapun selama tidak bertentangan dengan yang diperintahkan oleh shari’at,
seperti pelaksanaan hukum hadd267, berbuat kebaikan, dan mendahulukan
kepentingan orang lain sebelum diri sendiri dengan kemampuannya.268
Dalam konteks kesalehan sosial, tasawuf memberikan fondasi moral. Secara
esensial merujuk pada sifat-sifat yang substansial melekat pada diri manusia. Unsur
tubuh dan jiwa yang dimiliki oleh manusia merupakan kesatuan untuk bernapas,
begerak, berpikir, dan merenung. Oleh sebab itu, dalam proses bertindak, manusia
harus selaras dengan penciptaan yang dititahkan oleh Tuhan. Maka ekspresi tasawuf
dalam dimensi akhlak memiliki makna ekspresi kesadaran batin terhadap kesadaran
lahir.
Quraisy Shihab memaknai pelaku-pelaku kebajikan sebagai “Al abrar”, sebuah
sifat yang disematkan pada manusia yang memiliki kepribadian yang tidak menoleh
pada hal-hal yang bersifat rendah dan tercela, meskipun hanya sekedar mengganggu
seekor semut. Quraisy Shihab mengutip Tabatha’i, bahwa seseorang yang disifatkan
dengan “Bar” yaitu dia yang meluas melakukan kebaikan dan kebaktian tanpa
mengharap manfaat apapun untuk dirinya, namun mereka yaitu orang yang tidak
pamrih, tujuannya yaitu menyempurnakan amal baik sebab mereka yaitu orang
yang beriman kepada Allah dan Rasulnya.269
3. Refleksi Kesadaran Tauhid dalam Dimensi Etika Lingkungan
Tauhid dalam kosmologi Islam yaitu sebuah teori, aksioma tentang prinsip
tertinggi, yang tak bisa dinamai dan diketahui, bahwa segala sesuatu mewujud
padanya dan kembali kepadanya. Beragam mazhab pemikiran ketika mendiskusikan
bagaimana segala sesuatu yang tampak didunia ini dengan mempergunakan
terminologi perintah Tuhan, penciptaan, dan emanasi. al-Qur’an menggambarkan
kepada kita bahwa Tuhan mengjarkan nama-nama kepada Adam dalam sebuah ayat
yang meringkas teologi, kosmologi, dan psikologi spiritual Islam. Hal ini
mengingatkan kita pada tiga realitas dasar untuk memahami realitas Tuhan, alam
semesta dan jiwa.270
Jika Sumber segala wujud yaitu realitas transendan, maka semua yang wujud
memiliki aspek lahir dan aspek batin. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Tuhan
yaitu ia yang maha lahir dan maha batin. Dalam tradisi tasawuf, bahwa setiap hal
yang ada di alam semesta memilki bentuk lahir (surah) dan hakikat terdalam (makna).
Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta terhubung
dengan aspek spiritualnya. 271
Di sini, ajaran tauhid hadir sebagai kesadaran tentang yang Esa dan segala
manifestasiNya di alam untuk dijaga kelestariannya. Tauhid memberikan persetujuan
teologi bahwa manusia mempunyai tanggung jawab moral dan etik terhadap
lingkungan alam semesta. Ajaran agama dan spiritual menjadi fondasi dan mampu
mendorong manusia untuk menyudahi cara pandang antoposentris dan humanistik
yang orientasinya alam hanya digunakan untuk kepentingan ekonomi manusia
semata. Cara pandang ini, akhirnya menempatkan manusia terpisah dengan alam
sekitarnya sehingga mengalami krisis hampa spiritualitas.272 Nasr mendorong untuk
menghadirkan kembali nilai-nilai tradisi yang suci untuk mengurai krisis spiritual
yang melanda manusia modern.273 sebab Islam menghadirkan prinsip-prinsip
tertinggi (tauhid) yang mencakup segala sesuatu.274 Tauhid sebagai ajaran yang
paling fundamental dalam Islam yaitu doktrin tentang kesaksian pertama yaitu
kalimat الله لاا هل إ لا , sikap dasar ini yaitu ruh Islam, seluruh pikiran dan tindakan
manusia kemudian dipandang memiliki karakter religius dan spiritual. Dengan
demikian, prinsip tauhid mendasarkan semua pengetahuan dan tindakan manusia ke
dalam satu wadah religius dan suci. Sehingga semua pengetahuan dan tindakan yang
terekspresi dari kesadaran ini tidak terlepas dari aspek tauhid dan etika.275 Tauhid,
pada akhirnya, memiliki makna dasar yang menjadi dasar kerangka bagi keseluruhan
pandangan agama. Murtada Mutahari membagi tauhid ke dalam dua dimensi yaitu
tauhid teoritis dan tauhid praktis. Yang pertama, membahas tentang Ketuhanan. Yang
kedua, berhubungan dengan kehidupan praktis dunia nyata dan sosial kultural
manusia.276
Pengetahuan puncak tentang tauhid yaitu sebuah sains metafisika, antara
puncak dan sains partikular disebut pengetahuan kosmologis. Dalam sains
tradisional, baik dalam tradisi Islam atau pun peradaban yang lain, kosmologi
berhubungan dengan struktur puncaknya yakni Tuhan. Pemahaman ini memberi arti
bahwa kosmologi menjadi alat integrasi konseptual, sebab tujuannya yaitu untuk
melahirkan sebuah sains yang memperlihatkan hubungannya dengan prinsip
tertinggi.277
Filsafat dan agama tidak lagi hanya memfokuskan kajian terhadap persoalan
keimanan namun telah bergeser dari kesadaran individu menuju implikasi etik
terhadap lingkungan. Hal ini ditandai dengan munculnya perspektik dan gagasan-
gagasan tentang ecotheologi278 dan ecosofi279. Begitupula dengan para pegiat
ecofeminism280 yang bergerak untuk menyudahi diskriminasi terhadap perempuan
dan alam. Koreksinya terhadap paradigma andosentris dan antroposentris. Inspirasi
yang sama yaitu seruan para ecothinker281 untuk kembali pada kearifan tradisi
agama-agama besar untuk melakukan tindakan dan mengatasi krisis lingkungan yang
terjadi.
Paradigma antroposentris yang cenderung menempatkan manusia sebagai pusat
alam semesta pada akhirnya memposisikan alam sebagai the other, sehingga alam
ditaklukkan dan dirusak. Paradigma ini paralel dengan paradigm rasionalisme
mereduksi alam sebagai yang tak berasio sehingga menyebabkan skularisasi
kosmos.282 Kompleksitas persoalan yang dialami manusia modern menjadi penting
untuk kembali pada nilai dan ajaran agama bahwa relasi Tuhan, manusia, dan alam,
yaitu keniscayaan. Manusia sebagai makhluk yang diberi amanat sebagai khalifah,
punya kewajiban untuk menjaga relasinya dengan alam. Ibrahim Ozdemir mengurai
bahwa hazanah etika Islam terhadap lingkungan mendasari sikap-sikap etis manusia
dalam interaksinya terhadap alam semesta. sebab sikap etis ini yaitu amat Tuhan
yang harus dijalankan.283
Gambaran bumi sebagai organisme hidup dan ibu susuan berfungsi sebagai
hambatan budaya yang membatasi tindakan manusia. Seseorang tidak akan mudah
menyembelih ibunya, menggali isi perutnya untuk mendapatkan emas, atau merusak
tubuhnya….. Selama bumi dianggap hidup dan berperasan, melakukan tindakan yang
merusak bumi dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap perilaku etis manusia.
Isu tentang eksploitasi alam merebak seiring dengan dentuman globalisasi yang
berdampak pada sistim ekologi dunia. Industrialisasi yang membabibuta,
menyebabkan kerusakan bumi sebagai tempat berdiamnya makhluk hidup, baik dunia
tumbuhan, hewan, dan duni manusia. Menurut Karen J Warren, Kepercayaan, nilai,
perilaku dna asumsi dasar dunia barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibuat
oleh kerangka pikir konseptual patriarkal yang opresip, yang bertujuan untuk
menjelaskan dan menjaga hubungan antar dominasi dan subordinasi secara umum,
serta dominasi laki-laki terhadap perempuan pada khususnya.285
Kritik terhadap ideologi modern yang berpotensi menghancurkan peradaban
juga disinggung oleh Ali Shariati (1933-1977), yakni kapitalisme, marxisme dan
eksistensialisme, ketiganya meski berbeda paradigma namun mempunyai tujuan yang
sama yakni menempatkan manusia secara antroposentris. Akhirnya terjadi pemujaan
terhadap matrealisme.286Kritik yang sama dinyatakan oleh Herman Khan, bahwa
krisis lingkungan terjadi akibat pemusatan manusia pada kepuasan indrawi yang
bersifat empiris, duniawi, sekuler, humanistik, pragmatik, utiliter, dan hedonistik.287
Kosmologi secara umum menyiratkan sebuah gagasan tentang keteraturan,
keindahan, yang dipahami sebagai realitas universal indah dan harmoni.
yaitu tanda-tanda Tuhan yang dengannya manusia mengenal Tuhan. Ketika al-
Qur’an memerintahkan manusia untuk melihat segala sesuatu sebagai tanda-tanda
Tuhan, hal ini berarti menggiring manusia untuk menggunakan proses mental yang
tidak diperuntukkan hanya kepada objek, hal-hal, namun juga ditujukan kepada entitas
diluar objek.289 Hal ini memperjelas bahwa ayat menjadi simbol yang menunjuk pada
sesuatu di luar dirinya.290 Sehingga alam dimaknai sebagai simbol dalam
pengertianya bahwa alam yaitu ayat Tuhan. Gagasan kosmologi Ibn Arabi, bahwa
seluruh kosmos yaitu manifestasi Tuhan, menggiring kesadaran manusia untuk
menyadari bahwa seluruh alam bertasbih dan sebab seluruh alam tidak ada yang
mati.291 Hal ini memberi arti bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang pada akhirnya
keyakinan ini melahirkan kesadaran kosmik atau sympathcia.292 Sympathcia sebuah
pemahaman yang menimbulkan kesadaran relasional yang pada akhirnya melahirkan
kesadaran ketunggalan yang tumbuh dari kekuatan cinta Ilahi yang termanifestasi
dalam kosmos.293
Seluruh penjelasan di atas menyadarkan manusia untuk bertanggung jawab
terhadap kelestarian alam sebagai implikasi dari kesadaran tauhid. Osman bakar
menjelaskan untuk merealisasikan kesadaran tauhid merujuk pada dua level, yakni
level pemikiran dan level aksi. Pertama, pada level pemikiran, kesatuan atau integrasi
dicapai melalui gagasan tentang kesatuan dalam hirarki pengetahuan serta eksistensi
gagasan khas Islam. Kedua, pada level aksi, kesatuan dicapai melalui aplikasi shari’at
Islam yang merupakan manifestasi kehendak Tuhan. sebab hukum Tuhan
disamping mengandung prinsip-prinsip universal, juga mengandung rincian detail
bagaimana manusia harus bertindak dan berperilaku.
Maka menjadi sangat penting memasukkan etika lingkungan sebagai new kind
of ethics, yang awalnya etika hanya terfokus pada persoalan kemanusiaan dan
akhirnya terjadi pergeseran perspektif dari cara pandang antroposentrisme bergerak
menuju biosentrisme lalu berakhir menjadi ekosentrisme. Hal ini memperjelas bahwa
etika awalnya terbatas pada manusia, kemudian bergerak pada hak hewan, hak
tumbuhan, hak sungai, hak gunung, dan seterusnya.
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut: Pertama, epistimologi yang berbeda antara sains, teologi, filsafat dan
tasawuf melahirkan paradigma yang berbeda tentang Tuhan, manusia, dan kosmos.
Prinsip segala sesuatu bertasbih, mematahkan argumen sains bahwa benda-benda
hidup hanyalah yang bernyawa dan selebihnya yaitu benda mati. Klaim sains
(paradigma positivisme) bahwa kebenaran hanyalah hal-hal yang bisa diverifikasi
secara empirik, serta asumsi bahwa kosmos muncul dengan sendirinya berarti sains
menolak Realitas di balik kosmos. Prinsip antroposentrik yang menitikberatkan dan
mengklaim bahwa manusia yaitu pusat alam semesta juga ditolak oleh ajaran
tasawuf sebab dalam ajaran agama manapun The Center yaitu Tuhan itu sendiri.
Setiap tradisi, baik tradisi Yunani, Hindu, atau pun Islam juga memaknai
berbeda tentang kosmos. Islam memaknai alam sebagai ayat atau tanda-tanda Tuhan,
memahami alam sebagai ilmu atau sesuatu yang membuat kita sadar pada Dia. Tradisi
Yunani memaknai kosmos sebagai sesuatu yang teratur sehingga tercermin dari
orientasi para filsuf Yunani bahwa keberadaan alam tidak mungkin tercipta dengan
sendirinya tanpa adanya Sang Penyebab. Dalam tradisi filsafat, muncul istilah-istilah
al-fayd atau emanasi. Dalam tradisi Hindu, alam identik dengan kesengsaraan
(samsara) sehingga tradisi ini mengajarkan bagaimana manusia tidak terjebak dalam
kehidupan duniawi dan terbebaskan dari penderitaan. Ajaran kosmologi Ibn’ Arabi
juga koreksi terhadap argumen dualitas Teologi; bahwa ada Pencipta dan yang dicipta
sebab dalam prinsip ajaran Ibn’ Arabi ‘Maa siwallah’ tidak ada yang lain kecuali
Dia sendiri. Hal ini merujuk pada sistem tajjalli dimana Sang Absolut (al-
Muthlaq) yang tak terbatas (infinite), kemudian beremanasi (fayd). Dalam
pemahaman ini sejatinya tidak ada subjek Tuhan (yang mencipta) dan objek
(makhluk yang dicipta) sebab prinsip mir’ah (cermin) dikonotasikan yang selain Dia
yaitu bayangan-Nya.
Kedua, Tuhan yang Maha Mutlak dan Tak Terbatas meniscayakan bertajalli di
alam melalui lima derajat kehadiran dari dimensi Dzat hingga alam material. Hal ini
berakar dari al-Harkah al-Hubbiyah (motion of love), keinginanNya untuk melihat
diriNya dan agar diriNya dikenali, maka melalui nafas Ar-Rahman dengan Kalam
Kun munculah seluruh derajat eksistensi. Gerak cinta Tuhan terkumpul dalam satu
nuqtah (secara mujmal) yakni Hakikat Muhammadiyah sebagai Prime-mater (hayula)
dan menjadi penyebab keterciptaan alam.
Ketiga, skema dari derajat eksistensi dalam kosmologi Ibn ’Arabi dengan lima
kehadiran (Five Presences of God), membuktikan bahwa kosmos (Alam Mulk)
sebagai kehadiran Tuhan dalam derajat terendah berfungsi sebagai Agnonical Symbol
dan sumber ontologi sekaligus epistimologi. Secara eksistensial dimaknai sebagai
simbol kesadaran pada derajat yang paling tinggi yakni Tuhan. Hal ini paralel dengan
teori cosmic consciousness Maurice Bucke, teori ini mendasarkan pada tiga derajat
kesadaran manusia yaitu simple consciousness, self consciousness, dan cosmic
consciousness sebagai highest consciousness. Pembacaan terhadap ajaran kosmologi
Ibn’ Arabi sekaligus menghantarkan pada sisi spiritualitas, sadar pada aspek kognitif
kosmos, bahwa setiap derajat kosmos berelasi dengan tahapan-tahapan kesadaran
spiritual manusia dari ranah shari’at, thariqat, dan haqiqat. Begitu juga pemahaman
kosmologi sufi Ibn ’Arabi tidak hanya menyadarkan akan aspek filosofis namun titik
tekannya lebih kepada pengayaan pemahaman esoterik dan makna eksistensial alam
sebagai sisi tashbih atau imanensi dari Tuhan yang impersonal.
Urgensi ajaran kosmologi Ibn ’Arabi menjadi dasar epistemologi dan sikap
manusia di era modern dalam dimensi etika sosial dan hubungannya dengan
lingkungan semesta. Hal ini didasarkan pada prinsip tajalli, bahwa kesadaran tauhid
menggiring kesadaran manusia terhadap dirinya sebagai imago dei dan tanggung
jawab moral terhadap semesta (kosmos).
B. Rekomendasi dan Saran
Setelah menyelesaikan penelitian ini ada beberapa saran dan rekomendasi yang
perlu diajukan terkait dengan pengembangan wacana akademik.
Pertama, kajian tentang kosmologi Ibn ’Arabi sudah banyak dilakukan oleh
peneliti baik di Barat atau pun di kalangan akademisi muslim, namun dalam
pembacaan penulis kajian-kajian yang ada terpusat pada geneologi atau kosmogeni
serta kajian yang menyisir tentang perbedaan dan benang merah antara kosmolog-
kosmolog Barat dan Islam. Kajian tentang kesadaran kosmik tidak banyak dilakukan
dan masih sangat terbatas. Oleh sebab itu, perlu membuka ruang untuk
memperbanyak kajian-kajian yang berhubungan dengan cakrawala atau khazanah
kekayaan dalam tasawuf Islam dan disandingkan dengan paradigma-paradigma
kontemporer agar lebih terbuka sebagai pengayaan.
Kedua, perlu penelitian yang bersifat interdisipliner agar tidak terjebak dalam
subjektivitas dan apologis (pembelaan) dengan hanya menggunakan pendekatan yang
monodisipliner. Terutama yang terkait dengan kajian-kajian gnosis atau hikmah.
Ketiga, Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki populasi muslim
terbesar di dunia diharapkan menjadi barometer perkembangan pemikiran di dunia
Islam. sebab itu perlu memperbanyak penelitian baik yang bercorak filosofis-
konseptual atau pun praktis-institusional terhadap pengembangan pemikiran
didasarkan pada keunggulan dan kemurnian prinsip-prinsip Islam yang bersifat
universal yang tak terbatas oleh dikotomi, Barat atau Timur, Islam atau non-Islam,
dan seterusnya.
Keempat, ajaran kosmologi Ibn’ Arabi merupakan sumbangan penting bagi
peradaban pengetahuan yang patut diapresiasi sebab seluruh konsep ajarannya
mencakup sisi eksoterik dan esoterik, hampir bisa dipastikan bahwa pandangan mistis
filosofisnya mengandung seluruh konsep ontologi, epistemologi, teologi, kosmologi,
dan antropologi. Hal ini memberi sumbangan besar untuk pengembangan filsafat
Islam dan metafisika.