Selasa, 03 Desember 2024

teori semesta muslim 10


 gerahkan kepada manusia sebagai bukti bahwa manusia 

memiliki potensi intelektual214 merujuk pada firman Allah: ‘mengajarkan nama-

nama kepada Adam’ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 31) dan kesadaran primordial (tauhid)215 

dengan al-Haq, sebagaimana firman-Nya: ‘bahwa kami bersaksi atas Tuhan kami’ 

(QS. Al-A’raf [7]: 172). Perjanjian alastu atau asyhada yaitu  manusia bersaksi 

kepada diri mereka sendiri akan ke-Rabb-an Tuhan dalam pengertian bahwa manusia 

sungguh tahu dengan penglihatan langsung (shuhud) terhadap realitas dan kebenaran 

yang diungkapkan kepada mereka. Sebagai perjanjian untuk mengenali dan 

mengakui-Nya sebagai Rabb yang Absolut, Pemilik, Pencipta, Pemerintah, Tuan, 

Pengasih, dan Pemelihara. 216  Dua prinsip ini menjadi basic bahwa manusia 

diciptakan dengan sebaik-baik ciptaan (يموقْت  نسحْأ) (QS. At-Tin [95]: 4). Al-

Haqqmenciptakan roh Al-Qudsi217 dalam wujud yang terbaik di Alam Lahut untuk 

menyempurnakannya sebelum menurunkan ke Alam Mulk (alam terendah) Allah 

anugerahkan unsyiah218dan qurbiyah. Sebagaimana firman-Nya di tempat yang 

disenangi di sisi Tuhan yang Maha Kuasa (QS. Al-Qamar [54]: 55). 

Menurut Abdul Qadir al-Jailani Roh Qudsi Allah turunkan ke Alam Jabarut 

dengan potensi tauhid dan cahaya-cahaya sebagai potensi qalb selanjutnya Allah 

berikan pakaian unsyiah. Di Alam Malakut Allah ciptakan pakaian ruhul Qudsi atau 

ruh sirri ruhani untuk pelindung manusia di Alam Mulki yakni ruh jasmani.

2. Kosmos Sebagai Medan Perjalanan 

Kosmos sebagai medan perjalanan bahwa dalam prinsip kosmologi Ibn ‘Arabi, 

Alam Kabir (kosmos) merupakan tajalli yang paling nyata. sebab  kosmos dan 

manusia bukan bagian dari Al-Haqqnamun  keduanya yaitu  tajalli-Nya. Maka, 

manusia sebagai subjek yang melakukan perjalanan tak lepas dari sejarah darimana 

ia berasal, dimana perjalanan itu dilakukan dan tujuan akhirnya kemana. Rentetan 

pertanyaan di atas membutuhkan jawaban secara saintifik. Manusia dipersepsikan 

sebagai manusia dimensi raga. Ketika muncul pertanyaan seputar apa, mengapa, dan 

bagaimana maka dibutuhkan penjelasan filosofis. Ketika kesadaran kita terhadap 

Tuhan yang men-tajalli dalam form Alam Soghir maka dibutuhkan penjelasan 

metafisik.   

Peran penting kosmos yaitu  memahamkan kita untuk sadar pada Realitas 

tertinggi.  Bagi banyak kosmolog dualitas Tuhan dan alam memberikan kebangkitan 

pada dua titik yang saling melengkapi sebab  Tuhan benar-benar nyata dalam alam.220  

Manusia yaitu  sebuah totalitas yang lahir sekaligus dari tubuh ragawi dan jiwa 

spiritual. Para Arif menemukan keserupaan bagi segala sesuatu yang ada di alam 

materi dalam struktur tubuh manusia. Segalanya meliputi berbagai komposisi yang 

luar biasa dari dunia samawi dari ragam jenis konstelasinya, gerakan planetnya, 

komposisi pilar dan ibunya, ragam substansi mineralnya berbagai jenis tanaman dan 

kerangka tubuh binatang yang luarbiasa.221 Pada konteks ini manusia diistilahkan 

sebagai totalitas kesempurnaan ciptaan. Dalam istilah Ibn ‘Arabi disebut dengan al-

hadrat al-jami’ah (all-comprehensive) sementara kosmos dipahami sebagai dunia 

langit dan bumi serta yang ada diantara keduanya. Langit selalu dimaknai sebagai 

ketinggian, cahaya, kenaikan, rahmat dan permulaan. Bumi sering dikaitkan dengan 

kerendahan, kegelapan, keturunan, reseptivitas, kesuburan dan aktualisasi.222 

Sehingga kosmos dimaknai sebagai medan perjalanan jiwa manusia.   

Secara natural perjalanan hidup mengajarkan manusia pada akhir perjalanan 

untuk kembali kepada Sang Mutlak. Jalan ini bagi Rumi diistilahkan sebagai jalan 

cinta dan bagi Ibn ‘Arabi diistilahkan dengan jalan mi’raj (mendaki). Semua 

perjalanan spiritual bagi kemanusiaan haruslah dimulai dengan penyesalan dan 

pertaubatan (tawbah) sebab  pada dasarnya jiwa tereksteriorkan dengan punggung 

menghadap dunia Ruh dan wajah menghadap dunia material sehingga yang muncul 

dicirikan oleh keserbaragaman, keterserakan, kesementaraan, kerusakan, dan 

kematian. Taubah artinya berbalik, hal ini mempunyai makna bahwa manusia harus 

mengubah arah jiwa untuk menghadap Sang Realitas223  

Sejarah perjalanan manusia mencari ‘Ma’rifatullah’ melalui dua jalan yang 

berbeda yaitu aql (renungan, tafakkur) dan shuhud (pencapaian, penyatuan).224 

Dalam tradisi sufi, fase-fase perjalanan spiritual dijelaskan dalam beragam tahapan. 

Mulla Sadra mengembangkan perjalanan manusia menjadi empat perjalanan. 

Pertama, perjalanan dari makhluk ke al-Haqq (min al-khalq ila al-Haqq). Kedua, 

perjalanan dalam al-Haqq bersama al-Haqq (fi al-Haqq ma’a al-Haqq). Ketiga, 

perjalanan dari al-Haqq menuju makhluk (min al-Haqq ila al-khalq ma’a al-Haqq). 

Keempat, perjalanan dalam makhluk bersama al-Haqq (fi al-khalq ma’a al-Haqq).225 

Menurut Ibn ‘Arabi yang dikutip oleh James Morris bahwa perjalanan (safar) 

diartikan sebagai kondisi yang secara intrinsik diperlukan untuk segala sesuatu selain 

Tuhan. Perjalanan tesebut terdiri dari 4 dimensi. Pertama, perjalanan (fillah billah) 

melalui proses mengetahui dan menyadari (‘ilm dan tahaqquq). Kedua, perjalanan 

melalui Nama Ilahi dengan atribut dan kualitas (takhalluq) yang mana merupakan 

perjalanan menurun dari tempat awal. Ketiga, perjalanan melalui hal-hal yang 

diciptakan dengan melihat pelajaran yang terkandung didalamnya (I’tibar) di mana 

berbeda dari dua perjalanan sebelumnya. Perjalanan yang keempat merupakan 

perjalanan komprehensif yang mengintegrasikan ketiga perjalanan dan juga 

merupakan perjalanan yang paling luar biasa.

3. Tuhan Sebagai Tempat Kembali 

Prinsip  نوعجار هيلا نااو لله ناا  (QS. Al-Baqarah [2]: 156) merupakan sebuah prinsip 

bahwa segala entitas yang mawjud (contingent) secara eksistensial kembali pada 

Tuhan. Masa depan kehidupan manusia secara eskatalogi227 dalam pemahaman 

esoteric bahwa disini (dunia alam semesta korporeal) dan disana (alam jiwa, alam 

ruh, alam ukhrawi) yaitu  sama. Karna disini dan disana yaitu  sebuah kehadiran. 

Tuhan. Yang membedakan yaitu  bahwa disini, hari ini yaitu  ketidakabadian 

sementara disana yaitu  keabadian. Nasr mengistilahkan jalan menuju puncak yaitu  

Taman kebenaran (The Garden of Truth).228  

Kembali pada yang asal, sesungguhnya yaitu  kerinduan Tuhan terhadap 

tajallli-Nya sehingga sebenarnya merindukan kematian merupakan penyatuan 

kualitas kontinigen (the accidents of contingency). Dalam penyatuan ini manusia 

akan terbebaskan dari segala kesempitan dan keterbatasan al-imkan (the limitations 

of being a possible existence) dan maqam kematian atau kembalinya ruh pada asal 

Ibn ‘Arabi mengistilahkan kembalinya ruh kepada maqam keterpaduan (maqam al-

jam’)229 sebagaimana penjelasannya sebagai berikut: 

 هنافصلى الله عليه وسلم تؤيم تّّح هّبر ىري نْل مْكدحا نّا لاجّدلا ثيدح في لاق230 

“Maka sesunggguhnya Nabi Muhammad SAW telah menyatakan dalam 

hadits al-Dajjal; “sesungguhnya satupun dari kalian tidak akan pernah melihat 

rabbnya sehingga dia mati”. 

Muhammad Baqir memaknakan bahwa yang merindukan kematian hamba 

yaitu  al-Haqq, sebab  sesungguhnya tidak seorang hambapun senang dengan 

kematian. Sementara menurut Qaysari yang merindukan kematian hanyalah para 

mukmin yang muwahiddin yang menginginkan kematian (maut al-iradi) dan bukan 

kematian natural (al-maut al-tabi’i) sebab  mereka yaitu  para Arifin yang 

merindukan pertemuan dengan al-Haq231.  

Penjelasan lainnya terkait dengan  kembalinya ruh pada Sang Asal diisyaratkan 

dengan firman Tuhan, bahwa Dia telah menghembuskan ruhnya sendiri ke dalam 

manusia dan ruh Tuhan menjadi tersembunyi dalam form manusia namun  manusia 

tidak sadar kepada ruh yang tekandung di dalam diri mereka. Hanya sedikit dari 

 


manusia yang sadar tentang esensi ke-Ilahiyyan-Nya dan hal ini meniscayakan pada 

kesadaran, bahwa manusia memang tercipta dalam bentuk Al-Haqq yang 

mencerminkan diriNya sendiri.  Sebagaimana penjelasan Ibn ‘Arabi sebagai berikut: 

نباأ املف  هحر نم هّنلا هتروص ىلع هقلخ هارتلاا  هسفْنل لّاا قاتشْا امف هحور نْم هيف خفن هّنأ232 

“Maka sebab  Dia telah menjelaskan bahwa Dia telah menghembus 

Ruhnya padanya, maka Dia tidak merindukan kecuali kepada Diri-Nya. 

Apakah kamu tidak lihat Dia telah menciptanya berdasarkan citraNya sebab  

ia yaitu  dari ruh-Nya” 

Kematian disini dimaknai sebagai sebuah ending dari perjalanan manusia dalam 

suluk (perjalanan spiritual) kematiain merupakan al-intiqal yakni pemindahan 

kesadaran manusia dari dimensi zahir ke dimensi batin, mati disini dipahami bukan 

tubuh ataupun jiwa (dimensi ragawi dan psikologis) namun  hancurnya atau leburnya 

individualitas manusia ke dalam pertemuan antara Al-Haqq dan hambanya233.  

Beragam penjelasan tentang akhir perjalanan manusia menuju asal. Al-Ghazali 

merujuk kepada QS. Al-Baqarah 2: 30 mengemukakan bahwa manusia akan mendaki 

ke alam tertinggi setelah manusia melakukan pensucian diri dan mengembangkan 

kualitas spiritual karna hanya manusia yang bisa mewakili (khalifah) Tuhan di bumi 

karna manusia yaitu  citra lengkap realitas Ilahi. Mi’raj atau perjalanan mendaki bagi 

al-Ghazali hanya dilakukan oleh kaum khawashsh dimana pada merekalah cahaya –

cahaya kebenaran tersampaikan. Kaum inilah yang memiliki kemampuan melihat 

dengan dua mata, yaitu mata lahir dan mata batin.234 

Jalan spiritual merupakan aktualisasi penghambaan yang sempurna melalui 

iman (tauhid), ibadah (ritual), dan seluruh laku langkah ibadah menghantar pada 

tujuan akhir baik secara intelek ataupun spiritual untuk mendekatkan diri pada 

Tuhan.235  

Menurut Abdul Qadir Jailani manusia khusus kembali ke asal setelah qolbu 

tersiram cahaya tauhid dengan merutinkan dzikir asma tauhid dengan lisan sirri tanpa 

 


huruf dan suara. Hal ini merujuk pada hadits Qudsi ‘manusia yaitu  sirriKu dan Aku 

yaitu  sirrinya’.236 Dalam hal ini, Abdul Qadir Jailani merujuk firman: 

“Aku sesuai sangkaan hamba-Ku Aku bersamanya ketika dia 

mengingatku. Bila dia mengingat-Ku dalam kalbunya, Aku mengingatnya 

dalam Dzat -Ku. Jika dia mengingat-Ku di Majelis, Aku  mengingatnya di 

dalam Majelis yang lebih baik darinya” (QS. Az-Zumar [39]: 42). 

Tafakkur (remembering God) dipilih oleh Abdul Qadir Jailani untuk merujuk 

pada kesadaran tauhid sebagai pengetahuan tertinggi yakni pengetahuan ma’rifat.237 

Hal ini berdasarkan hadits:  

“Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah setahun” 

Nabi SAW juga bersabda: 

“Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah 70 tahun”.  

 “Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah seribu tahun”. 

Kedua hadits ini menjelaskan bahwa kesadaran ma’rifat menghantarkan 

manusia menuju Alam Qurbah. Dengan dasar hujjah para ulama bahwa kalbu ahli 

ma’rifat memiliki mata dan mampu melihat apa yang tidak dilihat oleh awam. 

Dalam setiap doktrin esoteric terdapat referensi yang mengacu kepada tingkat 

keyakinan dan mistisme islam, dalam tasawuf ketiga tingkatan ini dikenal dengan 

Lore of Certainty (ilmu l-yaqin), the Eye of Certainty (aynu l-yaqin) dan the Truth of 

Certainty (haqqu l-yaqqin). Perbedaan ketiga tingkatan tersebut diilustrasikan dari 

elemen api yang mewakilkan kebenaran Ilahi.  Tingkatan terendah yaitu Lore of 

Certainty mengarah pada seseorang yang memiliki pengetahuan mengenai api datang 

dari pendengaran, seperti orang-orang yang mendengar kabar musa tidak lebih dari 

‘kabar’ dari semak yang terbakar. Tingkatan kedua yaitu the Eye of Certainty 

mengacu pada seseorang yang pengetahuan mengenai api datang dari melihat nyala 

api, seperti Musa sebelum mencapai semak. Tingkatan tertinggi yaitu the Truth of 

Certainty mengarah pada seseorang yang mengetahui api dari mengonsumsi api dan 

menyatu dengannya, dalam hal ini merujuk pada Yang Esa. Terwujudnya keesaan ini 

tersirat untuk Musa bahwa dia dipanggil ke dalam kehadiran Ilahi dengan semaak 

yang mengelilingi. Masuk kedalam semak itu sama dengan masuk ke dalam api.238 

Merujuk kepada firman Allah: 

 

 

“Maka ketika dia mendatanginya (ke tempat api itu) dia dipanggil wahai 

Musa!” (QS. Taha [20]: 11). 

 ناأ نّيإ كبّر  ىوط سدّقملْا داولْبا كنّإ ۖ كيْلعْن عْلخْاف 

“Sungguh Aku yaitu  Tuhanmu, maka  lepaskan kedua 

 sendalmu. Karna sesungguhnya  engkau berada di lembah yang suci, 

Tuwa.” (QS. Taha [20]: 12). 

Martin Ling menguraikan hubungan antara Tuhan dan manusia sebagai berikut: 

Relationship persists so long as subsidiary cause persists, and subsidiary 

cause persists so long as quest persists, and quest persists so long as thou 

persistest, and thou persistest so long as thou seest Me not; but when thou 

seest ME, thou art no more, and when thou art no more, quest is no more, 

and when quest is no more, subsidiary cause is no more, and when subsidiary 

cause is no more, relationship is no mre, and when relationshop is no more, 

limit is no more, and when limit is no more, veils are no more239 

 Hubungan tetap ada selama penyebab tambahan tetap ada, dan penyebab 

tambahan tetap ada selama pencarian tetap ada, dan pencarian tetap ada 

selama kamu bertahan, dan kamu bertahan selama kamu tidak melihat aku 

namun  ketika kamu melihat aku, kamu tidak ada lagi, dan ketika kamu tidak 

ada lagi, pencarian tidak ada lagi, dan ketika pencarian tidak ada lagi 

penyebab tambahan tidak ada lagi, dan ketika penyebab tambahan tidak ada 

lagi hubungan tidak ada lagi, dan ketika hubungan tidak ada lagi maka tidak 

ada lagi batas, dan ketika tidak ada lagi batas, hijab tidak ada lagi. 

 Pada akhirnya dalam kenyataan menurut Ibn ‘Arabi selalu Tuhan lah yang 

diminta karna tidak ada yang lain selain Dia. Namun, dari sudut pandang yang 

terbatas ini secara cepat dikaburkan oleh bentuk-bentuk manifestasi yang tak 

terhitung banyaknya. Oleh karna itu, ada berbagai tingkat pengetahuan dalam 

meminta mengingat bahwa selalu ada respon Ilahi terhadap permintaan kita. Penting 

untuk sadar terhadap apa yang sebenarnya diminta. Dalam sebuah bagian Ibn ‘Arabi 

menggambarkaan kesadaran intim dari waktu ke waktu dalam hal kedekatan Ilahi. 

Setelah mengomentari ayat al-Qur’an ‘Aku dekat, Aku menanggapi panggilan dia 

ketika dia memanggilku.’ Hal tersebut merujuk kepada firman Allah: 


 

“Dan apabila hamba-hambaku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang 

Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa 

apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku 

dan beriman kepadaku agar mereka memperoleh kebenaran.” (Q.S. Al-

Baqarah [2]: 186). 

Ibn ‘Arabi lalu menulis sehubungan dengan keterkaitan-Nya dengan kedekatan 

diri-Nya dalam mendengarkan dan menanggapi, analoginya seperti menggambarkan-

Nya sendiri sebagai sesuatu yang ‘lebih dekat’ dengan manusia ‘daripada urat 

lehernya. 

 هيْلإ برقْأ ننْحو ۖ هسفْن هب سوسْوت ام ملعْنو ناسنْلْْا انقْلخ دْقلو ديرولْا لبْح نْم 

“Dan sunggguh, kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa 

yang dibisikkan oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat 

lehernya” (QS. Qaf [50]: 16). 

Di sini Dia membandingkan kedekatan-Nya dengan hamba-Nya dengan 

kedekatan manusia dengan miliknya. Ketika seseorang meminta dirinya untuk 

melakukan sesuatu dan kemudian melakukannya, tidak ada gap atau celah antara 

permintaan dengan jawabannya, yang hanya mendengarkan. Momen bertanya atau 

meminta sebenarnya yaitu  saat Tuhan merespon atau menanggapi. Jadi kedekatan 

Tuhan dalam menanggapi hamba-Nya [identik dengan] kedekatan hamba dalam 

menanggapi diri sendiri dalam keadaan apapun sama dengan apa yang dia minta dari 

Tuhannya sebagai kebutuhan spesifik.240 Seperti yang dilukiskan dalam syair 

Fariduddin Atar: 

   

“Aku yaitu  dosa dari diriku sendiri yang memberontak,  

Aku yaitu  penyesalan yang memaksa diriku sendiri,  

Ziarah, Ziarah dan jalan, Apakah namun  diri sendiri terhadap diri sendiri, dan 

kedatangan Anda namun  diri sendiri di pintu saya sendiri”241  

 Sedangkan al-Hallaj mempercayai iman tak sekedar kepercayaan ritualistik-

verbal. Iman dipercaya tidak ada harganya dan tidak membawa mukmin mencapai 

ma’rifatullah. Orang yang bersibuk diri dengan ibadah terhijab dengan ibadah itu 

sendiri. Sedangkan, orang yang sibuk dengan Dzat  yang disembah maka 

pandangannya menyatu padanya tanpa ada hal lain. al-Hallaj mengatakan Al-

Haqqatau Allah yang patut menjadi objek ibadah dan penyandaran absolut pada 

ketaatan.

Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa dimensi spiritual menghantar manusia 

percaya kepada yang gaib, fungsinya mencakup hal-hal yang supranatural. Level 

kecerdasan apapun menghantar manusia menuju realitas yang maha sempurna tanpa 

cacat, tanpa batas dan tanpa akhir, yakni Tuhan yang Maha Agung.243  

 

D.  Urgensi Tasawuf Dalam Kehidupan Modern Dan Implikasinya Dalam Dimensi 

Etik 

Meskipun tasawuf merupakan beyond narasi dan personal, bekerja di wilayah 

non fisik yakni wilayah spiritual, tasawuf juga bersifat doktrinal yang memiliki 

makna universal dan perennial. Tasawuf bisa menjadi pondasi kesadaran dari dalam 

menuju kesadaran dzahir. Kompleksifitas yang dialami manusia modern 

membutuhkan oase pencarian makna dan tasawuf dapat mengurai problem 

kemanusiaan yang terjadi di masyarakat hari ini. Nilai-nilai etika yaitu  salah satu 

ekspresi dari esensi tasawuf memberi ruang dan mendorong terbangunnya relasi 

anatara sesama dan lingkungan semesta.. namun  harus diingat bahwa tasawuf bukan 

pelarian psikologis ataupun obat bagi problem psikologis.244  

 

1.  Tasawuf Menghubungkan Kembali Ke Akar Tradisi 

Tasawuf245 merupakan dimensi spiritual dalam Islam atau Islamic Misticism246 

menekankan makna tauhid sebagai kesadaran terhadap Realitas Tunggal dan apapun 

yang ada di alam semesta yaitu  manifestasinya247. Tasawuf mengajarkan pensucian 

 

 

 

batin menjunjung tinggi prinsip anti kekerasan, memberikan interpretasi spiritual 

sebagai Jihadunnafs atau jihad akbar.248  Tasawuf satu-satunya aspek dari ajaran 

Islam yang bisa memberi jawaban pada krisis dimensional dalam kehidupan modern 

dengan menggunakan semua kunci dalam hazanah hikmah tasawuf guna memberikan 

dan membuka pintu-pintu yang ada dibaliknya dan berfungsi sebagai solusi untuk 

menyelesaikan berbagai persoaalan intelektual dengan mengambil gagasan-gagasan 

metafisik dan esoterik Islam yang terkandung dalam tasawuf.249  

Kita sadari bersama bahwa modernisme yang ditandai dengan perkembangan 

sains dan teknologi tidak hanya membawa kemudahan bagi hidup manusia namun  juga 

memunculkan sinisme terhadap agama dan aspek spiritualnya.250 Meskipun 

modernitas menjadi sumber pengetahuan, namun  sekaligus menjadi tantangan yang 

harus diadaptasi dan diurai.251 Modernisme dan sekularisme menimbulkan beragam 

krisis, Islam mengadaptasi kemajuan sains dan tetap memelihara prinsip dan nilai-

nilai.252 Beragam krisis muncul, dari krisis nilai, ekologi, moral, kemiskinan atau 

kesenjangan sosial dan seterusnya. Tasawuf sebagai salah satu bentuk pemikiran 

dalam islam menjadi penting sebagai upaya mengurai problem masyarakat 

modern.253 Dari titik pandang ini untuk menyembuhkan penyakit dunia modern yakni 

sekulerisasinya yang melampaui batas tak lain sebab  diakibatkan penjauhan dari 

segala hal dari makna spiritualnya.254 Maka perlu kesadaran kembalinya manusia 

kepada tradisi agama (tasawuf) sebagai jalan esoterik, ruang makna dari dimensi 

internal manusia (inner journey), sebagai jalan tengah menuju keseimbangan, agar 

dampak dari kegagalan dari modernisme tidak berkepanjangan.255  

 


Dalam tradisi platonisme terdapat teori bahwa mengetahui pada dasarnya 

mengingat kembali arketipe pengetahuan tentang Tuhan yang pernah ada namun  

terlupakan.256 Maka hal ini berarti pesan agama cenderung mengajak untuk return, 

melihat kembali pada asal, sementara pesan pengetahuan dan teknologi cenderung 

mengajak research, melangkah ke depan dan menatap alam yang selalu mengajak 

untuk dipahami.257 Tradisi dipahami sebagai ajaran-ajaran asal agama yang 

bersumber dari al-Qur’an dan Hadist melalui perintah kenabian yang turun temurun 

melalui warisan atau disebut tradisi sampai pada para ulama dan auliya.258 

Tasawuf pada dasarnya secara prinsip yaitu  mazhab wahdatul wujud yang 

secara prinsip tidak bisa dicapai melalui teori, konsep, pemikiran yang berasal dari 

buku-buku namun  dicapai melalui perjalanan spiritual, sebab  ia yaitu  jalan cinta 

menuju Sang Kekasih dalam qalbu sang pencinta. Wahdatul wujud yaitu  

pengalaman mistikal yang dikatagorikan sebagai mistical union sebagai pengalaman 

puncak spiritual. Maka tasawuf yaitu  takhalluq bi akhlaq Illah, takhalluq bi asma’ 

Illah al-husna.259 

Ajaran tasawuf Ibn ‘Arabi terkesan memfokuskan diri pada kesempurnaan 

spiritual individu, namun  sejatinya tujuan akhirnya yaitu  kesadaran manusia terhadap 

diri, Tuhan, dan dunianya. Hal ini membuktikan bahwa hirarki ketuhanan 

berimplikasi pada aspek epistimologi, kerena realitas secara ontologi dan kosmologi 

bersumber dari hirarki teratas dan realitas terbawah, yakni semesta raya, maka 

dibutuhkan pemahaman yang beragam. Oleh sebab  itu, Ibn ‘Arabi ketika 

mendeskripsikan tiga tingkatan pengetahuan (akal, ahwal, dan asror), paralel dengan 

metode burhani, intuisi dan kashaf.  

Hal ini berarti pada dasarnya, Ibn ‘Arabi bukan menolak penalaran rasional atau 

hanya mengkui pengetahuan ma’rifat, namun  menmpatkan metode penalaran sesuai 

obyek dan fungsinya. Maka, hal-hal yang bersifat empirik dan observatif 

menggunakan metode penlaran rasional. Namun, hal-hal yang bersifat suprafisik, 

kejiwaan serta ketuhanan berbasis intelek dan rasio. Maka kewajiban kita yaitu  

menelusuri makna dan pesan yang berada disebrang narasi, simbol (kosmos), bukan 

terhenti pada ungkapan deskriptif atau harfiahnya.260 

Untuk memahami hakikat pencarian intelektual, ada beberapa poin yang bisa 

membantu pemahaman kita: pertama, Tauhid. Prinsip ini merupakan satu prinsip 

dasar, bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan dan bergantung kepadanya 

 

 

selamanya. Kedua, cahaya abadi Tuhan merupakan kehadiran permanen dalam 

ciptaan. Gaung cahaya ini, dalam pengalaman manusia disebut intelek atau ruh atau 

hati. Segala sesuatu dikenali melalui cahaya sebagai pola sadar dan terjaga dalam 

pewujudan alam semesta dan manusia. Ketiga, kosmos yaitu  hirarki besar yang 

didalamnya setiap realitas hadir serentak dan tidak terikat dnegan urutan temporal 

berlandaskan hikmah Ilahi, ia berawal dan berakhir dalam cahaya Tuhan. Keempat, 

kosmos ada dalam dua hirarki besar, yakni alam gaib, sebagai wilayah ruh, cahaya, 

akal, dan kesadaran. Alam Syahadah yaitu  wilayah tubuh, kegelapan, kejahilan dan 

ketaksadaran.261  

Kelima, manusia memilki kedudukan yang bersifat unik dalam alam semesta, 

sebab  Tuhan menjadikannya dengan mengajarkan nama-nama, dan dalam citranya 

Tuhan menjadikannya maka segala sesuatu yang ditemukan di alama eksternal, juga 

ditemukan dalam esensi dan realitas kedirian manusia yang primordial sebagai fitrah. 

Keenam, kosmos dihidupkan oleh dua gerakan simultan, yakni setrifugal yang 

menjauh dari sumber dan gerakan sentripetal menuju sumber. Ketujuh, manusia yang 

mengetahui dan yang memahami semua definisi yang dituntun oleh akalnya yang 

pada akhirnya manusia sadar tidak ada yang lain kecuali al-Haqq sebagai sang 

Hakikat. Kedelapan, tujuan final agama yaitu  membangkitkan intelek. Meskipun 

manusia berbeda-beda dalam kesiapan menemukan cahaya Ilahi melalui ajaran para 

nabi dan pemikir yaitu  sebagai pemandu untuk mengikuti ajaran-ajaran untuk 

menemukan cahaya Tuhan. Kesembilan, diri-diri individual identik dengan kesadaran 

akan segala sesuatu, sebab  menusia sevcara fitrah memiliki kesempurnaan 

pemahaman. Kesepuluh, aspek teoritis, berperan mengtahui segala sesuatu 

sebagaimana adanya, sementara peran aspek praktis yaitu  untuk memahami dan 

menentukan aktivitas yang benar dan perilaku yang baik.262 

 

2.  Dari Kesalehan Individu Menuju Kesalehan Sosial 

Tasawuf, yang berbasis pada kesadaran spiritual, (kesadaran rohaniah), pada 

fase berikutnya mendorong pada implikasi gerak dan penalaran pada wilayah 

empirik, dari kesadaran makna pada kesadaran bahasa, dari bahasa ke praksis. 

Meminjam istilah Naqib Al-Atas, kesadaran atau pengetahuan meniscayakan tibanya 

makna pada jiwa dan tibanya jiwa pada makna263. Artinya, Tasawuf bukan lagi 

sebagai wilayah kesalehan individu yang bersifat tertutup namun  mampu 

terekspresikan pada wilayah etik dan sikap sosial. Kesalehan individu pada 

prinsipnya menyebar laksana cahaya yang menerangi kegelapan. Ada hubungan 

kesalehan individu dan kesalehan sosial yang berbasiskan pada etika. sebab  itu 

pengembangan hazanah intelektual Islam yang berbasis pada tauhid diharapkan 

memiliki hubungan dengan dunia realitas. 

Ajaran agama pada awalnya merupakan ajaran terhadap jiwa. Jika ditelusuri ke 

belakang, Islam bermula ketika Muhammad meyakini memperoleh ajaran tauhid 

melalui jibril yang berlangsung selama 23 tahun. Mereka yang beriman disebut 

mukmin (the community of believers). Mereka yang membangkang disebut kafir (the 

community of disbelievers).264Agama tidak hanya mendasarkan pasa kesalehan 

individu dalam hubungannya dengan Tuhan (  نم  لبح  الله ) namun  juga mengandung 

anjuran tentang hubungan sosial (سانلا نم لبح). Hubungan yang dibangun antar sesama 

manusia bukan sebatas ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah, namun  juga dititik 

beratkan pada ukhuwah bashariyah atau insaniyah.265 

Ibn ‘Arabi memberikan pendasaran pada penempuh jalan spiritual bahwa ada 

tiga hak yang harus dipenuhi, yaitu hak Tuhan, hak diri individu, dan hak makhluk 

yang lain.266 Hal ini memberi penjelasan bahwa hak makhluk harus dipenuhi dengan 

cara apapun selama tidak bertentangan dengan yang diperintahkan oleh shari’at, 

seperti pelaksanaan hukum hadd267, berbuat kebaikan, dan mendahulukan 

kepentingan orang lain sebelum diri sendiri dengan kemampuannya.268 

Dalam konteks kesalehan sosial, tasawuf memberikan fondasi moral. Secara 

esensial merujuk pada sifat-sifat yang substansial melekat pada diri manusia. Unsur 

tubuh dan jiwa yang dimiliki oleh manusia merupakan kesatuan untuk bernapas, 

begerak, berpikir, dan merenung. Oleh sebab  itu, dalam proses bertindak, manusia 

harus selaras dengan penciptaan yang dititahkan oleh Tuhan. Maka ekspresi tasawuf 

dalam dimensi akhlak memiliki makna ekspresi kesadaran batin terhadap kesadaran 

lahir. 

Quraisy Shihab memaknai pelaku-pelaku kebajikan sebagai “Al abrar”, sebuah 

sifat yang disematkan pada manusia yang memiliki kepribadian yang tidak menoleh 

pada hal-hal yang bersifat rendah dan tercela, meskipun hanya sekedar mengganggu 

seekor semut. Quraisy Shihab mengutip Tabatha’i, bahwa seseorang yang disifatkan 

dengan “Bar” yaitu  dia yang meluas melakukan kebaikan dan kebaktian tanpa 

mengharap manfaat apapun untuk dirinya, namun  mereka yaitu  orang yang tidak 

 


pamrih, tujuannya yaitu  menyempurnakan amal baik sebab  mereka yaitu  orang 

yang beriman kepada Allah dan Rasulnya.269 

  

3.  Refleksi Kesadaran Tauhid dalam Dimensi Etika Lingkungan 

Tauhid dalam kosmologi Islam yaitu  sebuah teori, aksioma tentang prinsip 

tertinggi, yang tak bisa dinamai dan diketahui, bahwa segala sesuatu mewujud 

padanya dan kembali kepadanya. Beragam mazhab pemikiran ketika mendiskusikan 

bagaimana segala sesuatu yang tampak didunia ini dengan mempergunakan 

terminologi perintah Tuhan, penciptaan, dan emanasi. al-Qur’an menggambarkan 

kepada kita bahwa Tuhan mengjarkan nama-nama kepada Adam dalam sebuah ayat 

yang meringkas teologi, kosmologi, dan psikologi spiritual Islam. Hal ini 

mengingatkan kita pada tiga realitas dasar untuk memahami realitas Tuhan, alam 

semesta dan jiwa.270 

Jika Sumber segala wujud yaitu  realitas transendan, maka semua yang wujud 

memiliki aspek lahir dan aspek batin. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Tuhan 

yaitu  ia yang maha lahir dan maha batin. Dalam tradisi tasawuf, bahwa setiap hal 

yang ada di alam semesta memilki bentuk lahir (surah) dan hakikat terdalam (makna). 

Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta terhubung 

dengan aspek spiritualnya. 271  

Di sini, ajaran tauhid hadir sebagai kesadaran tentang yang Esa dan segala 

manifestasiNya di alam untuk dijaga kelestariannya. Tauhid memberikan persetujuan 

teologi bahwa manusia mempunyai tanggung jawab moral dan etik terhadap 

lingkungan alam semesta. Ajaran agama dan spiritual menjadi fondasi dan mampu 

mendorong manusia untuk menyudahi cara pandang antoposentris dan humanistik 

yang orientasinya alam hanya digunakan untuk kepentingan ekonomi manusia 

semata. Cara pandang ini, akhirnya menempatkan manusia terpisah dengan alam 

sekitarnya sehingga mengalami krisis hampa spiritualitas.272 Nasr mendorong untuk 

menghadirkan kembali nilai-nilai tradisi yang suci untuk mengurai krisis spiritual 

yang melanda manusia modern.273 sebab  Islam menghadirkan prinsip-prinsip 

 

 

tertinggi (tauhid) yang mencakup segala sesuatu.274 Tauhid sebagai ajaran yang 

paling fundamental dalam Islam yaitu  doktrin tentang kesaksian pertama yaitu 

kalimat الله لاا  هل  إ  لا  , sikap dasar ini yaitu  ruh Islam, seluruh pikiran dan tindakan 

manusia kemudian dipandang memiliki karakter religius dan spiritual. Dengan 

demikian, prinsip tauhid mendasarkan semua pengetahuan dan tindakan manusia ke 

dalam satu wadah religius dan suci. Sehingga semua pengetahuan dan tindakan yang 

terekspresi dari kesadaran ini tidak terlepas dari aspek tauhid dan etika.275 Tauhid, 

pada akhirnya, memiliki makna dasar yang menjadi dasar kerangka bagi keseluruhan 

pandangan agama. Murtada Mutahari membagi tauhid ke dalam dua dimensi yaitu 

tauhid teoritis dan tauhid praktis. Yang pertama, membahas tentang Ketuhanan. Yang 

kedua, berhubungan dengan kehidupan praktis dunia nyata dan sosial kultural 

manusia.276 

Pengetahuan puncak tentang tauhid yaitu  sebuah sains metafisika, antara 

puncak dan sains partikular disebut pengetahuan kosmologis. Dalam sains 

tradisional, baik dalam tradisi Islam atau pun peradaban yang lain, kosmologi 

berhubungan dengan struktur puncaknya yakni Tuhan. Pemahaman ini memberi arti 

bahwa kosmologi menjadi alat integrasi konseptual, sebab  tujuannya yaitu  untuk 

melahirkan sebuah sains yang memperlihatkan hubungannya dengan prinsip 

tertinggi.277 

Filsafat dan agama tidak lagi hanya memfokuskan kajian terhadap persoalan 

keimanan namun  telah bergeser dari kesadaran individu menuju implikasi etik 

terhadap lingkungan.  Hal ini ditandai dengan munculnya perspektik dan gagasan-

gagasan tentang ecotheologi278 dan ecosofi279. Begitupula dengan para pegiat 

 


ecofeminism280 yang bergerak untuk menyudahi diskriminasi terhadap perempuan 

dan alam. Koreksinya terhadap paradigma andosentris dan antroposentris. Inspirasi 

yang sama yaitu  seruan para ecothinker281 untuk kembali pada kearifan tradisi 

agama-agama besar untuk melakukan tindakan dan mengatasi krisis lingkungan yang 

terjadi. 

Paradigma antroposentris yang cenderung menempatkan manusia sebagai pusat 

alam semesta pada akhirnya memposisikan alam sebagai the other, sehingga alam 

ditaklukkan dan dirusak. Paradigma ini paralel dengan paradigm rasionalisme 

mereduksi alam sebagai yang tak berasio sehingga menyebabkan skularisasi 

kosmos.282 Kompleksitas persoalan yang dialami manusia modern menjadi penting 

untuk kembali pada nilai dan ajaran agama bahwa relasi Tuhan, manusia, dan alam, 

yaitu  keniscayaan. Manusia sebagai makhluk yang diberi amanat sebagai khalifah, 

punya kewajiban untuk menjaga relasinya dengan alam. Ibrahim Ozdemir mengurai 

bahwa hazanah etika Islam terhadap lingkungan mendasari sikap-sikap etis manusia 

dalam interaksinya terhadap alam semesta. sebab  sikap etis ini yaitu  amat Tuhan 

yang harus dijalankan.283 

Gambaran bumi sebagai organisme hidup dan ibu susuan berfungsi sebagai 

hambatan budaya yang membatasi tindakan manusia. Seseorang tidak akan mudah 

menyembelih ibunya, menggali isi perutnya untuk mendapatkan emas, atau merusak 

tubuhnya….. Selama bumi dianggap hidup dan berperasan, melakukan tindakan yang 

merusak bumi dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap perilaku etis manusia. 

Isu tentang eksploitasi alam merebak seiring dengan dentuman globalisasi yang 

berdampak pada sistim ekologi dunia. Industrialisasi yang membabibuta, 

 


menyebabkan kerusakan bumi sebagai tempat berdiamnya makhluk hidup, baik dunia 

tumbuhan, hewan, dan duni manusia. Menurut Karen J Warren, Kepercayaan, nilai, 

perilaku dna asumsi dasar dunia barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibuat 

oleh kerangka pikir konseptual patriarkal yang opresip, yang bertujuan untuk 

menjelaskan dan menjaga hubungan antar dominasi dan subordinasi secara umum, 

serta dominasi laki-laki terhadap perempuan pada khususnya.285 

Kritik terhadap ideologi modern yang berpotensi menghancurkan peradaban 

juga disinggung oleh Ali Shariati (1933-1977), yakni kapitalisme, marxisme dan 

eksistensialisme, ketiganya meski berbeda paradigma namun  mempunyai tujuan yang 

sama  yakni menempatkan manusia secara antroposentris. Akhirnya terjadi pemujaan 

terhadap matrealisme.286Kritik yang sama dinyatakan oleh Herman Khan, bahwa 

krisis lingkungan terjadi akibat pemusatan manusia pada kepuasan indrawi yang 

bersifat empiris, duniawi, sekuler, humanistik, pragmatik, utiliter, dan hedonistik.287 

Kosmologi secara umum menyiratkan sebuah gagasan tentang keteraturan, 

keindahan, yang dipahami sebagai realitas universal indah dan harmoni.

yaitu  tanda-tanda Tuhan yang dengannya manusia mengenal Tuhan. Ketika al-

Qur’an memerintahkan manusia untuk melihat segala sesuatu sebagai tanda-tanda 

Tuhan, hal ini berarti menggiring manusia untuk menggunakan proses mental yang 

tidak diperuntukkan hanya kepada objek, hal-hal, namun  juga ditujukan kepada entitas 

diluar objek.289 Hal ini memperjelas bahwa ayat menjadi simbol yang menunjuk pada 

sesuatu di luar dirinya.290 Sehingga alam dimaknai sebagai simbol dalam 

pengertianya bahwa alam yaitu  ayat Tuhan. Gagasan kosmologi Ibn Arabi, bahwa 

seluruh kosmos yaitu  manifestasi Tuhan, menggiring kesadaran manusia untuk 

menyadari bahwa seluruh alam bertasbih dan sebab  seluruh alam tidak ada yang 

mati.291 Hal ini memberi arti bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang pada akhirnya 

keyakinan ini melahirkan kesadaran kosmik atau sympathcia.292 Sympathcia sebuah 

pemahaman yang menimbulkan kesadaran relasional yang pada akhirnya melahirkan 

kesadaran ketunggalan yang tumbuh dari kekuatan cinta Ilahi yang termanifestasi 

dalam kosmos.293  

Seluruh penjelasan di atas menyadarkan manusia untuk bertanggung jawab 

terhadap kelestarian alam sebagai implikasi dari kesadaran tauhid. Osman bakar 

menjelaskan untuk merealisasikan  kesadaran tauhid  merujuk pada dua level, yakni 

level pemikiran dan level aksi. Pertama, pada level pemikiran, kesatuan atau integrasi 

dicapai melalui gagasan tentang kesatuan dalam hirarki pengetahuan serta eksistensi 

gagasan khas Islam. Kedua, pada level aksi, kesatuan dicapai melalui aplikasi shari’at 

Islam yang merupakan manifestasi kehendak Tuhan. sebab  hukum Tuhan 

disamping mengandung prinsip-prinsip universal, juga mengandung rincian detail 

bagaimana manusia harus bertindak dan berperilaku.

 

Maka menjadi sangat penting  memasukkan etika lingkungan sebagai new kind 

of ethics, yang awalnya etika hanya terfokus pada persoalan kemanusiaan dan 

akhirnya terjadi pergeseran perspektif dari cara pandang antroposentrisme bergerak 

menuju biosentrisme lalu berakhir menjadi ekosentrisme. Hal ini memperjelas bahwa 

etika awalnya terbatas pada manusia, kemudian bergerak pada hak hewan, hak 

tumbuhan, hak sungai, hak gunung, dan seterusnya.

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan 

sebagai berikut: Pertama, epistimologi yang berbeda antara sains, teologi, filsafat dan 

tasawuf  melahirkan paradigma yang berbeda tentang Tuhan, manusia, dan kosmos. 

Prinsip segala sesuatu bertasbih, mematahkan argumen sains bahwa benda-benda 

hidup hanyalah yang bernyawa dan selebihnya yaitu  benda mati. Klaim sains 

(paradigma positivisme) bahwa kebenaran hanyalah hal-hal yang bisa diverifikasi 

secara empirik, serta asumsi bahwa kosmos muncul dengan sendirinya berarti sains 

menolak Realitas di balik kosmos. Prinsip antroposentrik yang menitikberatkan dan 

mengklaim bahwa manusia yaitu  pusat alam semesta juga ditolak oleh ajaran 

tasawuf sebab  dalam ajaran agama manapun The Center yaitu  Tuhan itu sendiri. 

Setiap tradisi, baik tradisi Yunani, Hindu, atau pun Islam juga memaknai 

berbeda tentang kosmos. Islam memaknai alam sebagai ayat atau tanda-tanda Tuhan, 

memahami alam sebagai ilmu atau sesuatu yang membuat kita sadar pada Dia. Tradisi 

Yunani memaknai kosmos sebagai sesuatu yang teratur sehingga tercermin dari 

orientasi para filsuf Yunani bahwa keberadaan alam tidak mungkin tercipta dengan 

sendirinya tanpa adanya Sang Penyebab. Dalam tradisi filsafat, muncul istilah-istilah 

al-fayd atau emanasi. Dalam tradisi Hindu, alam identik dengan kesengsaraan 

(samsara) sehingga tradisi ini mengajarkan bagaimana manusia tidak terjebak dalam 

kehidupan duniawi dan terbebaskan dari penderitaan. Ajaran kosmologi Ibn’ Arabi 

juga koreksi terhadap argumen dualitas Teologi; bahwa ada Pencipta dan yang dicipta 

sebab  dalam prinsip ajaran Ibn’ Arabi ‘Maa siwallah’  tidak ada yang lain kecuali 

Dia sendiri.  Hal ini merujuk pada sistem tajjalli dimana Sang Absolut (al-

Muthlaq) yang tak terbatas (infinite), kemudian beremanasi (fayd). Dalam 

pemahaman ini sejatinya tidak ada subjek Tuhan (yang mencipta) dan objek 

(makhluk yang dicipta) sebab  prinsip mir’ah (cermin) dikonotasikan yang selain Dia 

yaitu  bayangan-Nya. 

Kedua, Tuhan yang Maha Mutlak dan Tak Terbatas meniscayakan bertajalli di 

alam melalui lima derajat kehadiran dari dimensi Dzat hingga alam material. Hal ini 

berakar dari al-Harkah al-Hubbiyah (motion of love), keinginanNya untuk melihat 

diriNya dan agar diriNya dikenali, maka melalui nafas Ar-Rahman dengan Kalam 

Kun munculah seluruh derajat eksistensi. Gerak cinta Tuhan terkumpul dalam satu 

nuqtah (secara mujmal) yakni Hakikat Muhammadiyah sebagai Prime-mater (hayula) 

dan menjadi penyebab keterciptaan alam.  

Ketiga, skema dari derajat eksistensi dalam kosmologi Ibn ’Arabi dengan lima 

kehadiran (Five Presences of God), membuktikan bahwa kosmos (Alam Mulk) 

sebagai kehadiran Tuhan dalam derajat terendah berfungsi sebagai Agnonical Symbol 

dan sumber ontologi sekaligus epistimologi. Secara eksistensial dimaknai sebagai 

simbol kesadaran pada derajat yang paling tinggi yakni Tuhan. Hal ini paralel dengan 

teori cosmic consciousness Maurice Bucke, teori ini mendasarkan pada tiga derajat 

kesadaran manusia yaitu simple consciousness, self consciousness, dan cosmic 

consciousness sebagai highest consciousness. Pembacaan terhadap ajaran kosmologi 

Ibn’ Arabi sekaligus menghantarkan pada sisi spiritualitas, sadar pada aspek kognitif 

kosmos, bahwa setiap derajat kosmos berelasi dengan tahapan-tahapan kesadaran 

spiritual manusia dari ranah shari’at, thariqat, dan haqiqat. Begitu juga pemahaman 

kosmologi sufi Ibn ’Arabi tidak hanya menyadarkan akan aspek filosofis namun  titik 

tekannya lebih kepada pengayaan pemahaman esoterik dan makna eksistensial alam 

sebagai sisi tashbih atau imanensi dari Tuhan yang impersonal. 

Urgensi ajaran kosmologi Ibn ’Arabi menjadi dasar epistemologi dan sikap 

manusia di era modern dalam dimensi etika sosial dan hubungannya dengan 

lingkungan semesta. Hal ini didasarkan pada prinsip tajalli, bahwa kesadaran tauhid 

menggiring kesadaran manusia terhadap dirinya sebagai imago dei dan tanggung 

jawab moral terhadap semesta (kosmos). 

 

B.  Rekomendasi dan Saran 

Setelah menyelesaikan penelitian ini ada beberapa saran dan rekomendasi yang 

perlu diajukan terkait dengan pengembangan wacana akademik. 

Pertama, kajian tentang kosmologi Ibn ’Arabi sudah banyak dilakukan oleh 

peneliti baik di Barat atau pun di kalangan akademisi muslim, namun  dalam 

pembacaan penulis kajian-kajian yang ada terpusat pada geneologi atau kosmogeni 

serta kajian yang menyisir tentang perbedaan dan benang merah antara kosmolog-

kosmolog Barat dan Islam. Kajian tentang kesadaran kosmik tidak banyak dilakukan 

dan masih sangat terbatas. Oleh sebab  itu, perlu membuka ruang untuk 

memperbanyak kajian-kajian yang berhubungan dengan cakrawala atau khazanah 

kekayaan dalam tasawuf Islam dan disandingkan dengan paradigma-paradigma 

kontemporer agar lebih terbuka sebagai pengayaan. 

Kedua, perlu penelitian yang bersifat interdisipliner agar tidak terjebak dalam 

subjektivitas dan apologis (pembelaan) dengan hanya menggunakan pendekatan yang 

monodisipliner. Terutama yang terkait dengan kajian-kajian gnosis atau hikmah. 

Ketiga, Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki populasi muslim 

terbesar di dunia diharapkan menjadi barometer perkembangan pemikiran di dunia 

Islam. sebab  itu perlu memperbanyak penelitian baik yang bercorak filosofis-

konseptual atau pun praktis-institusional terhadap pengembangan pemikiran 

didasarkan pada keunggulan dan kemurnian prinsip-prinsip Islam yang bersifat 

universal yang tak terbatas oleh dikotomi, Barat atau Timur, Islam atau non-Islam, 

dan seterusnya. 

Keempat, ajaran kosmologi Ibn’ Arabi merupakan sumbangan penting bagi 

peradaban pengetahuan yang patut diapresiasi sebab  seluruh konsep ajarannya 

mencakup sisi eksoterik dan esoterik, hampir bisa dipastikan bahwa pandangan mistis 

filosofisnya mengandung seluruh konsep ontologi, epistemologi, teologi, kosmologi, 

dan antropologi. Hal ini memberi sumbangan besar untuk pengembangan filsafat 

Islam dan metafisika.