Tampilkan postingan dengan label ayub 26. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 26. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 26

 


engkau tidak 

benar, demikian sanggahanku kepadamu, sebab  Allah itu lebih dari pada 

manusia. 13 Mengapa engkau berbantah dengan Dia, bahwa Dia tidak men-

jawab segala perkataanmu? 

Dalam ayat-ayat ini, 

I. Elihu secara khusus mendakwa Ayub telah mengeluarkan ucap-

an-ucapan tidak pantas, yang menyindir keadilan dan kebaikan 

Allah dalam beperkara dengannya. Elihu tidak mendasarkan tu-

duhannya pada suatu laporan, namun  dia sendirilah saksi mata 

yang mendengar langsung semua ucapan Ayub itu (ay. 8): “namun  

engkau telah berbicara dekat telingaku, dan didengar oleh semua 

yang ikut hadir.” Ia bukan mendengarnya dari tangan kedua. Jika 

memang dari tangan kedua, dia berharap tidaklah seburuk yang 

disampaikan kepadanya. Ia tidak mendengarnya dari Ayub dalam 

percakapan pribadi, sebab  dia tidak akan begitu buruk untuk 

mengulanginya secara terbuka. namun  Ayub telah mengatakannya 

secara terbuka, dan sebab nya tepat jika dia juga harus secara 

terbuka menegurnya. Mereka yang berbuat dosa hendaklah kau-

tegor di depan semua orang. Pada waktu kita mendengar sesuatu 

yang cenderung menghina Allah, kita harus secara umum mem-

berikan kesaksian untuk menentangnya. saat  kita mendengar 

sesuatu dikatakan dengan tidak benar, kita harus menegurnya. 

Sebab “Kamu inilah saksi-saksi-Ku,” demikianlah firman TUHAN, 

untuk menghadapi si penuduh.  

1. Ayub menyatakan diri sebagai orang yang tidak bersalah (ay. 

9): Engkau telah berkata, Aku bersih, aku tidak melakukan 

pelanggaran. Ayub tidak mengatakan hal ini totidem verbis – 

dalam begitu banyak kata. Bahkan, dia telah mengakui telah 

berdosa dan tidak suci di hadapan Allah. namun  memang dia 

berkata, Engkau tahu bahwa aku tidaklah jahat, Kebenaranku 

kupegang teguh, dan sejenisnya, dan berdasarkan perkataan-

perkataan ini Elihu menyampaikan tegurannya. Memang be-

nar bahwa Ayub yaitu  seorang yang tulus dan sempurna dan 

bukan sebagai orang seperti yang dituduhkan oleh teman-

temannya. Namun dia seharusnya tidak bersikeras sedemikian 

rupa seakan-akan Allah telah bersalah dalam menulahinya. 

Namun, tampaknya, Elihu tidak berlaku adil juga dengan me-

nuduh Ayub mengaku diri bersih dan tidak bersalah dari se-

mua kesalahan. Sebenarnya Ayub hanya membela diri bahwa 

dia benar dan tak bersalah atas pelanggaran besar. namun  

begitulah, barang siapa berbicara dengan penuh amarah dan 

tidak hati-hati, ia harus bersiap menanggung akibatnya jika 

orang lain salah memahami dirinya. Berbicaralah dengan hati-

hati.  

2.  Ayub menyatakan Allah berlaku keras dalam menandai kesa-

lahannya dan memakai semua kesalahannya untuk melawan-

nya (ay. 10-11), seakan-akan mau mencari kesempatan untuk 

bertengkar dengan Dia. namun  Ia mendapat alasan terhadap 

aku, mencari-cari alasan saja. Untuk maksud inilah Ayub ber-

bicara, Mengapa Engkau menyembunyikan wajah-Mu, dan meng-

anggap aku sebagai musuh-Mu? Demikian perkataannya yang 

tegas (13:24; 19:11). “Ia memasukkan kakiku ke dalam pasung, 

supaya selain tidak dapat bersaing dengan Dia, aku pun tidak 

akan dapat melarikan diri dari-Nya.” Juga, Ia mengawasi se-

gala jalanku (13:27). 

II. Elihu berusaha untuk menginsafkan Ayub bahwa dia keliru 

dalam berkata demikian, dan bahwa dia harus merendahkan diri 

di hadapan Allah serta dengan bertobat menarik kembali perka-

taannya (ay. 12): Sesungguhnya, dalam hal itu engkau tidak benar. 

Lihatlah perbedaan antara tuduhan yang dikenakan Elihu ter-

hadap Ayub dan yang dikenakan oleh teman-temannya yang lain. 

Mereka tidak mau mengakui bahwa dia benar, namun  Elihu hanya 

berkata, “Dalam hal ini, dengan mengatakan hal ini, engkau ti-

daklah benar.”  

1. “Engkau tidak memperlakukan Allah dengan benar.” Berlaku 

adil dan benar berarti memperlakukan semua orang sesuai 

dengan apa yang menjadi hak mereka. Nah, kita tidak mem-

beri kepada Allah semua yang menjadi hak-Nya, dan tidak 

bersikap benar kepada-Nya, jika kita tidak mengakui keadilan 

dan kebaikan-Nya dalam semua tindakan penyelenggaraan-

Nya kepada kita, bahwa Dia benar dalam segala jalan-Nya, dan 

bahwa apa pun itu jadinya, Dia sungguh baik.  

2.  “Engkau tidak memakai  bahasa seorang yang benar. Aku 

tidak menyangkal bahwa engkau memang seorang yang benar, 

namun  dalam hal ini engkau tidak tampak seperti itu.” Banyak 

orang yang benar, namun  dalam hal-hal tertentu tidak berkata 

dan bertindak seperti orang benar. Memang kita wajib mem-

beri tahu seorang yang baik dalam hal apa dia keliru dan apa 

kesalahannya, namun  kita juga tidak boleh menyanjungnya 

dalam kesalahannya, sebab itu tidaklah baik. Selain itu, kita 

tidak boleh menggambarkan sifat orang atau menghakiminya 

berdasarkan satu perbuatannya saja atau beberapa perkata-

annya, sebab itu tidaklah adil. Sebab kita semua bersalah 

dalam banyak hal, jadi kita harus bertindak benar dalam me-

negur orang lain. Dua hal dikemukakan Elihu untuk dipertim-

bangkan oleh Ayub, untuk meyakinkan dia bahwa dia telah 

salah berkata:  

(1) Bahwa Allah secara tak terbatas di atas kita dan sebab nya 

gila untuk berbantah dengan Dia. Sebab jika Ia melawan 

kita dengan kuasa-Nya yang besar, kita tidak dapat bertahan 

di hadapan-Nya. Demikianlah sanggahanku, kata Elihu, da-

lam satu kata, yang membawa serta buktinya, sebab  Allah 

itu lebih dari pada manusia. Tak diragukan Ia secara tak 

terbatas lebih besar. Antara Allah dan manusia tidak ada 

perbandingan. Ayub sendiri mengatakan banyak hal de-

ngan rasa kagum luar biasa, mengenai kebesaran Allah, 

kuasa-Nya yang tak tertahankan dan kedaulatan-Nya yang 

tak tertandingi, keagungan-Nya yang dahsyat, dan keda-

laman-Nya yang tak terselami. “Sekarang,” kata Elihu, “per-

timbangkan sungguh-sungguh apa yang engkau sendiri 

telah katakan tentang kebesaran Allah dan terapkan itu 

kepada dirimu. Apabila Ia lebih besar daripada manusia, 

maka pastilah Ia lebih besar daripada engkau, dan sebab  

itu pantaslah bagimu untuk bertobat dari sifat-sifat buruk-

mu ini, ketidaksenanganmu, dengan berpikiran buruk ten-

tang Dia. Engkau pantas merasa malu pada kebodohanmu, 

serta gemetar memikirkan kelancanganmu itu.” Perhati-

kanlah, satu kebenaran yang tak terbantahkan ini, Bahwa 

Allah itu lebih dari pada manusia, jika dipahami dengan 

semestinya, maka sudah cukup untuk selamanya mem-

bungkam dan membuat malu semua keluhan kita tentang 

penyelenggaraan-Nya dan keberatan kita terhadap perlakuan-

Nya terhadap kita. Ia tidak hanya lebih bijaksana dan kuat 

daripada kita, dan sebab nya tidak ada gunanya untuk 

berbantah dengan Dia, namun  juga lebih kudus, benar, dan 

baik, sebab semuanya ini yaitu  kemuliaan-Nya yang 

agung dan keunggulan dari hakikat ilahi-Nya. Dalam kese-

muanya ini Allah lebih besar daripada manusia, dan kare-

nanya sukar dan tidak masuk akal untuk mendapati ke-

salahan pada-Nya, sebab Dia di pihak yang benar.  

(2) Bahwa Allah tidaklah bertanggung jawab kepada kita (ay. 

13): Mengapa engkau berbantah dengan Dia? Orang-orang 

yang mengeluh tentang Allah berusaha melawan Dia, mem-

bantah Dia, menuduh Dia, melakukan tindakan yang me-

lawan Dia. Dan mengapa engkau melakukan hal demikian? 

Untuk apa? Untuk maksud apa? Perhatikanlah, merupa-

kan hal yang tidak masuk akal bagi kita, makhluk lemah, 

bodoh, berdosa, untuk melawan Allah yang memiliki 

hikmat, kuasa dan kebaikan yang tak terbatas. Celakalah 

tanah liat yang berbantah dengan si penjunan. Sebab Dia 

tidak menjawab segala perkataanmu (KJV: Dia tidak mem-

beri pertanggungan jawab kepada benda-benda buatan-

Nya). Ia tidak wajib untuk menunjukkan kepada kita alas-

an dari perbuatan-Nya, atau memberi tahu kita apa yang 

dirancangkan untuk dilakukan-Nya [dengan cara apa, 

kapan, dengan sarana apa] atau memberi tahu kita meng-

apa Dia beperkara demikian dengan kita. Ia tidak terikat 

untuk memberi alasan pembenaran atas tindakan-Nya atau 

untuk memuaskan tuntutan dan pertanyaan kita. Hukum-

an-Nya akan membenarkan putusan hukuman-Nya itu 

sendiri. Jika kita tidak puas dengan tindakan-Nya, itu sa-

lah kita sendiri. sebab  itu sungguh durhaka dan lancang 

jika kita mendakwah Allah atau menantang-Nya untuk me-

nunjukkan alasan perbuatan-Nya, untuk berkata kepada-

Nya, Apa yang Engkau perbuat? Atau, Mengapa Engkau 

berbuat demikian? Ia tidaklah memberikan pertanggung-

jawaban atas semua perkara-Nya (demikian tafsiran seba-

gian orang). Ia menyingkapkan sebatas yang patut untuk 

kita ketahui, seperti dikatakan dalam ayat 14, namun  tetap 

ada hal-hal rahasia, yang bukan milik kita, yang tidak 

semestinya kita selidiki. 


Tutur Kata Elihu  

(33:14-18) 

14 sebab  Allah berfirman dengan satu dua cara, namun  orang tidak memper-

hatikannya. 15 Dalam mimpi, dalam penglihatan waktu malam, bila orang 

nyenyak tidur, bila berbaring di atas tempat tidur, 16 maka Ia membuka 

telinga manusia dan mengejutkan mereka dengan teguran-teguran 17 untuk 

menghalangi manusia dari pada perbuatannya, dan melenyapkan kesom-

bongan orang, 18 untuk menahan nyawanya dari pada liang kubur, dan hi-

dupnya dari pada maut oleh lembing. 

Ayub telah mengeluh bahwa Allah tetap menahan dia sepenuhnya di 

dalam kegelapan mengenai maksud dari perkara-Nya dengan dia, dan 

sebab nya menyimpulkan bahwa Allah beperkara dengan dia sebagai 

musuh. “Tidak,” kata Elihu, “Ia berbicara kepadamu, namun  engkau 

tidak menangkapnya. Maka itu yaitu  kesalahanmu, bukan kesalah-

an Dia. Dan Ia sungguh-sungguh merancang kebaikan bagimu, bah-

kan di dalam masa kesulitan yang engkau salah pahami itu.” Amati-

lah secara umum,  

1. Betapa Allah itu seorang sahabat bagi kesejahteraan kita: sebab  

Allah berfirman dengan satu dua cara (ay. 14). Ini merupakan tan-

da dari perkenanan-Nya bahwa, kendati ada jarak dan perteng-

karan antara kita dengan Dia, namun Ia tetap berkenan berbicara 

kepada kita. Ini merupakan bukti dari rancangan-Nya yang penuh 

kemurahan kepada kita, bahwa Dia berkenan berbicara kepada 

kita tentang segala permasalahan kita, untuk menunjukkan ke-

pada kita apa tugas panggilan kita dan apa kepentingan kita. 

Juga, untuk menunjukkan apa yang Dia mau dari kita dan apa 

yang dapat kita harapkan dari Dia, serta untuk memberi tahu kita 

tentang kesalahan kita dan mengingatkan kita akan bahaya, 

untuk menunjukkan kepada kita jalan dan memimpin kita di da-

lamnya. Hal ini dilakukannya dengan satu atau dua cara, yaitu, 

berulang-ulang kali. saat  satu peringatan diabaikan, Ia memberi 

peringatan yang lain, sebab  tidak ingin ada yang harus binasa. 

Sebab harus ini harus itu, mesti begini mesti begitu, tambah ini, 

tambah itu. Demikianlah, agar jangan sampai para pendosa masih 

juga mencari-cari alasan.  

2. Betapa kita sendiri menjadi musuh bagi kesejahteraan diri sen-

diri: namun  orang tidak memperhatikannya, yaitu, kita tidak meng-

indahkan atau memedulikannya, tidak melihat atau memahami-

nya, tidak sadar bahwa itu yaitu  suara Allah, juga tidak mau


menerima hal-hal yang dinyatakan, sebab semuanya itu bodoh 

dalam anggapannya. Kita menutup telinga, berdiri di dalam terang 

kita sendiri, menolak nasihat Allah kepada dirinya, sehingga tidak 

pernah menjadi lebih bijaksana, tidak, bahkan hikmat itu sendiri 

pun tidak dipedulikan. Allah berbicara kepada kita melalui hati 

nurani, melalui tindakan penyelenggaraan, dan melalui para 

hamba-Nya, semua hal yang dipercakapkan Elihu di sini secara 

luas, untuk menunjukkan kepada Ayub bahwa Allah sedang 

memberi tahu dia tentang pikiran-Nya dan melakukan kebaikan 

bagi dia, meski sekarang Ia tampak menahannya di dalam kege-

lapan dan memperlakukannya seperti orang asing. Meski tampak-

nya Ia terus menahan dia di dalam kesesakan dan memperlaku-

kannya seperti musuh. Saat itu, yang kita ketahui, belum ada 

penyataan ilahi secara tertulis, sehingga tidak disebut di sini cara-

cara yang antara lain dipakai Allah untuk berbicara kepada ma-

nusia. Di masa sekarang penyataan yang tertulis itulah cara uta-

ma yang kita pakai.  

Dalam ayat-ayat ini Elihu menunjukkan bagaimana Allah meng-

ajar dan menegur anak-anak manusia melalui hati nurani mereka. 

Amatilah,  

I. Waktu dan kesempatan yang tepat untuk peringatan melalui hati 

nurani ini (ay. 15): Dalam mimpi, dalam penglihatan waktu malam, 

bila orang nyenyak tidur, pada waktu orang berhenti dari urusan 

dan hubungan dengan dunia. Waktu itu merupakan waktu yang 

baik bagi mereka untuk undur diri kembali kepada hati mereka, 

dan bersekutu dengannya, yaitu saat  mereka berbaring di 

tempat tidur, menyendiri dan diam (Mzm. 4:5). Itulah waktunya 

Allah berurusan secara pribadi dengan manusia.  

1. saat  Ia mengutus para malaikat, para utusan yang luar 

biasa, untuk menjalankan suruhan-Nya, Ia umumnya memilih 

waktu itu untuk menyampaikan pesan mereka, saat  tidur 

nyenyak semua panca indra tubuh terkunci dan pikiran lebih 

bebas untuk menerima komunikasi langsung dari terang ilahi. 

Demikianlah Ia membuat pikiran-Nya dikenal oleh para nabi 

melalui penglihatan dan mimpi (Bil. 12:6). Demikianlah Ia 

memperingatkan Abimelekh (Kej. 20:3), Laban (Kej. 31:24), 

Yusuf (Mat. 1:20). Demikianlah Ia menyatakan kepada Firaun 

dan Nebukadnezar hal-hal yang akan terjadi di masa depan.  


2. saat  Ia menggugah hati nurani, yang menjadi wakil-Nya, di 

dalam jiwa, untuk melakukan tugasnya, Ia mengambil kesem-

patan tersebut, entah saat  orang sedang tidur nyenyak 

sebab, kendati mimpi kebanyakan datang dari khayalan, bebe-

rapa datang dari hati nurani atau saat  berbaring hendak 

tidur, saat  orang berada di antara tidur dan bangun, mere-

nungkan pada malam hari urusan dari hari yang baru berlalu 

itu atau memikirkan di pagi hari urusan untuk hari itu. Maka 

itu yaitu  waktu yang tepat bagi hati mereka untuk menegur 

perbuatan buruk mereka dan mengingatkan mereka akan apa 

yang harus mereka lakukan (Lih. Yes. 30:21). 

II. Kuasa dan kekuatan yang dengannya peringatan ini datang (ay. 

16). saat  Allah merancang kebaikan manusia melalui keyakinan 

dan arahan hati nurani mereka,  

1. Ia memberi keyakinan dan arahan tersebut jalan masuk ke-

pada manusia untuk diperhatikan: Maka Ia membuka telinga 

manusia, yang sebelumnya tertutup terhadap suara hati ini 

(Mzm. 58:5). Ia membuka hati, seperti Ia membuka hati Lidia, 

sehingga Ia membuka telinga. Ia menyingkirkan apa yang telah 

menyumbat telinga, sehingga keyakinan memperoleh jalan 

masuk. Bahkan, Ia mengerjakan di dalam jiwa suatu penye-

rahan diri kepada kuasa hati nurani dan ketundukan pada 

aturannya, sebab itulah yang terjadi sesudah Allah membuka 

telinga (Yes. 50:5). Tuhan ALLAH telah membuka telingaku, dan 

aku tidak memberontak.  

2. Ia memberi keyakinan dan arahan hati nurani tempat berdiam 

di dalam hati dan membuat mereka tinggal di sana: Ia memete-

raikan petunjuk mereka (KJV), yaitu, petunjuk yang dirancang 

bagi mereka dan disesuaikan dengan mereka. Inilah yang di-

pakai Allah untuk membuat jiwa menerima kesan yang dalam 

dan lama, seperti perekat pada meterai. saat  hati diserahkan 

ke dalam petunjuk ilahi, seperti ke dalam suatu cetakan, maka 

pekerjaan-Nya pun dikerjakan.  

III. Tujuan dan rancangan dari pengiriman peringatan ini.  

1. Untuk menahan manusia dari berdosa, khususnya dosa ke-

sombongan (ay. 17). Untuk menghalangi manusia dari pada 


perbuatannya, yaitu, dari segala maksudnya yang jahat, untuk 

mengubah sikap pikirannya dan arah hidupnya, sikap dan 

kecenderungannya, atau untuk mencegah suatu dosa yang 

hendak menjebaknya. Ia berusaha menarik manusia dari pe-

kerjaannya, meninggalkan pekerjaannya, yang bekerja bagi 

dunia dan kedagingan, supaya hatinya diarahkan untuk mela-

kukan pekerjaan Allah. Banyak orang telah dihentikan dari 

perbuataan yang sepenuhnya hanya mengejar dosa melalui 

teguran hati nuraninya pada waktunya, yang berkata, Jangan 

melakukan perkara-perkara yang dibenci TUHAN. Secara khu-

sus, Allah sesungguhnya, melalui sarana ini, melenyapkan 

kesombongan orang, yaitu menyembunyikan darinya hal-hal 

yang membangkitkan kesombongannya, dan menjauhkan pi-

kirannya dari hal-hal itu, dengan memberinya alasan mengapa 

dia harus rendah hati. Supaya Ia dapat melenyapkan kesom-

bongan orang, agar Ia dapat mencabut akar kepahitan yang 

menjadi penyebab begitu banyak dosa. Semua orang yang di-

sediakan belas kasih oleh Allah akan direndahkan-Nya dan di-

lenyapkan kesombongan darinya. Kesombongan membuat 

orang berhasrat dan bertekad untuk mencapai tujuan mereka. 

Mereka akan melakukan jalannya sendiri, sebab  itu Allah 

menarik mereka dari tujuan mereka, dengan mematikan ke-

sombongan mereka.  

2. Untuk menahan manusia dari kehancuran (ay. 18). Sementara 

orang-orang berdosa mengejar tujuan jahat mereka dan me-

manjakan kesombongan mereka, jiwa mereka sedang bergegas 

dengan cepat ke jurang, ke pedang, kepada kehancuran, baik 

di dalam dunia ini maupun di dunia yang akan datang. Na-

mun saat  Allah, melalui peringatan hati nurani, menjauhkan 

mereka dari dosa, Ia menahan jiwa mereka dari jurang, dari 

jurang yang tak berdasar, dan menyelamatkan mereka dari ke-

binasaan oleh pedang  pembalasan ilahi, sehingga kedurhaka-

an tidak akan menjadi kehancuran mereka. Apa yang menyim-

pangkan manusia dari dosa menyelamatkan mereka dari 

neraka, menyelamatkan jiwa dari maut (Yak. 5:20). Lihatlah 

betapa besar belas kasih yang kita alami jika kita dibuat ber-

ada di bawah kendali hati nurani yang terbangun. Terpujilah 

luka-luka, dan baiklah segala pengikat, sebab olehnya jiwa 

dijaga dari binasa untuk selamanya. 


Tutur Kata Elihu  

(33:19-28) 

19 Dengan penderitaan ia ditegur di tempat tidurnya, dan berkobar terus-me-

nerus bentrokan dalam tulang-tulangnya; 20 perutnya bosan makanan, hilang 

nafsunya untuk makanan yang lezat-lezat; 21 susutlah dagingnya, sehingga 

tidak kelihatan lagi, tulang-tulangnya, yang mula-mula tidak tampak, me-

nonjol ke luar, 22 sampai nyawanya menghampiri liang kubur, dan hidupnya 

mendekati mereka yang membawa maut. 23 Jikalau di sampingnya ada malai-

kat, penengah, satu di antara seribu, untuk menyatakan jalan yang benar 

kepada manusia, 24 maka Ia akan mengasihaninya dengan berfirman: Lepas-

kan dia, supaya jangan ia turun ke liang kubur; uang tebusan telah Kuper-

oleh. 25 Tubuhnya mengalami kesegaran seorang pemuda, ia seperti pada 

masa mudanya. 26 Ia berdoa kepada Allah, dan Allah berkenan menerimanya; 

ia akan memandang wajah-Nya dengan bersorak-sorai, dan Allah mengem-

balikan kebenaran kepada manusia. 27 Ia akan bernyanyi di depan orang: 

Aku telah berbuat dosa, dan yang lurus telah kubengkokkan, namun  hal itu 

tidak dibalaskan kepadaku. 28 Ia telah membebaskan nyawaku dari jalan ke 

liang kubur, dan hidupku akan melihat terang. 

Allah telah berbicara sekali kepada orang berdosa melalui hati nurani 

mereka, untuk menjauhkan mereka dari jalan-jalan si pembinasa, 

namun  mereka tidak memahaminya. Mereka tidak sadar atas teguran 

hati mereka bahwa mereka berdosa terhadap Allah, namun  mereka ter-

tahan oleh kesedihan atau pendidikan mereka. Dan sebab nya Allah 

berbicara untuk kedua kalinya. Ia berbicara kedua kalinya, dan men-

coba cara lain untuk meyakinkan dan mendapatkan orang-orang ber-

dosa, yaitu melalui tindakan penyelenggaraan, bencana dan belas 

kasih yang dengannya Allah berbicara untuk kedua kalinya. Dan me-

lalui berbagai petunjuk yang tepat pada waktunya dari para hamba-

Nya yang baik yang siap untuk melayani mereka. Ayub mengeluh 

banyak tentang penyakitnya dan menilai dari situ bahwa Allah se-

dang marah kepadanya. Para sahabatnya juga melakukan hal yang 

demikian. namun  Elihu menunjukkan bahwa mereka semua salah 

paham, sebab Allah sering menulahi tubuh di dalam kasih, dan de-

ngan rancangan rahmat yang baik bagi jiwa, seperti tampak di sini. 

Bagian dari percakapan Elihu ini akan sangat berguna bagi kita da-

lam menghadapi sakit penyakit, yang di dalam dan melaluinya Allah 

berbicara kepada manusia. Inilah,  

I. Seorang penderita digambarkan dalam kesusahannya. Lihatlah 

pekerjaan penyakit (ay. 19, dst.) saat  Allah mengirimnya dengan 

suatu maksud. Lakukan ini dan lakukanlah. 


1. Orang yang sakit penuh kesakitan di sekujur tubuhnya (ay. 

19): Dengan penderitaan ia ditegur di tempat tidurnya, begitu 

sakit sehingga ia terkurung saja di tempat tidurnya, atau begi-

tu hebatnya sehingga dia tidak mendapatkan kelegaan, tidak, 

tidak di tempat tidurnya, di mana dia harus menenangkan 

diri. Rasa sakit dan penyakit akan mengubah tempat berba-

ring menjadi tempat berduri, yang biasa dipakainya untuk ti-

dur sekarang melemparkannya ke sana kemari hingga fajar 

tiba. Keadaannya, seperti digambarkan di sini, sangatlah bu-

ruk. Penderitaan ditimbulkan lebih hebat daripada penyakit-

nya, dan dengannya si sakit dihajar, bukan hanya dengan 

penderitaan yang berat, namun  yang kuat dan menusuk. Dan 

sering kali semakin kuat si sakit, semakin hebat rasa sakitnya, 

sebab lebih meluas kerumitannya maka biasanya lebih hebat 

penyakitnya. Bukanlah kepedihan daging yang dikeluhkan, 

namun  kesakitan tulang-tulangnya, suatu kesakitan yang ber-

akar di dalam. Dan tidak hanya tulang dari satu anggota tu-

buh, namun  banyak tulang, yang dihajar. Lihatlah betapa ra-

puhnya, betapa hinanya tubuh yang kita miliki, yang, kendati 

tidak menerima luka bagian luar, dapat menderita kesakitan 

dari penyebab di dalam dirinya sendiri. Lihatlah pekerjaan 

dosa, kejahatan yang dilakukannya. Kesakitan yaitu  buah 

dosa. Meskipun begitu, oleh anugerah Allah, kesakitan tubuh 

sering dijadikan sarana kebaikan bagi jiwa.  

2. Si sakit kehilangan nafsu makan, dampak umum dari penyakit 

(ay. 20): Perutnya bosan makanan, makanan yang paling dibu-

tuhkan, dan makanan yang lezat-lezat, yang paling disukai-

nya, yang sebelumnya dinikmatinya dengan banyak kesenang-

an. Inilah alasan yang baik mengapa kita tidak seharusnya 

mengingini akan makanan yang lezat, sebab  semuanya ada-

lah hidangan yang menipu (Ams. 23:3, KJV). Dengan segera kita 

bisa dibuat sakit seperti sekarang kita dibuatnya senang. 

Orang-orang yang hidup dalam kemewahan saat  mereka 

baik-baik saja, pada suatu waktu oleh sebab  penyakit, mem-

benci makanan yang lezat-lezat, dan dengan sedih dan rasa 

malu melihat dosa mereka di dalam hukuman itu. Janganlah 

kita secara berlebihan mencintai cita rasa makanan yang lezat-

lezat, sebab  akan tiba waktunya di mana kita bahkan mem-

benci untuk melihatnya (Mzm. 107:18).  


3. Si sakit menjadi hanya kerangka saja, tidak ada yang lain se-

lain kulit dan tulang (ay. 21). Oleh penyakit, mungkin selama 

beberapa hari sakit, dagingnya, yang dulunya gemuk dan ba-

gus, susutlah, sehingga tidak kelihatan lagi. Secara aneh telah 

habis dan lenyap: dan tulang-tulangnya, yang sebelumnya ditu-

tupi dengan daging, kini menonjol keluar. Engkau dapat meng-

hitung berapa tulang iganya, dapat menghitung semua tulang-

nya. Jiwa yang dipelihara baik-baik dengan roti hidup, tidak 

akan menjadi kurus oleh penyakit, melainkan segera membuat 

suatu perubahan di dalam tubuh. 

Ia dahulu diliputi keceriaan,  

Dimanjakan kenyamanan, padat berisi dan sehat 

Tiba-tiba semua temannya (begitu berubah!) terkejut 

Oleh pipi pucat kempot dan mata cekung mengerikan; 

Tulang-tulangnya (menyeramkan!)  

mulai menembus kulitnya, 

Padahal dahulu tersembunyi dalam daging dan lemak. 

– Tuan R. Blackmore 

4. Ia menyerah untuk pergi dan hidupnya putus asa (ay. 22): Sam-

pai nyawanya menghampiri liang kubur, yaitu, ia tertimpa 

semua gejala kematian, dan dalam pengertian semua orang di 

sekitarnya dan juga dirinya sendiri, dia sedang sekarat. Sengat 

kematian, yang di sini disebut pembawa maut, sudah bersiap 

untuk menjemputnya. Tali-tali maut telah meliliti dia (Mzm. 

116:3). Mungkin hal ini menyatakan pikiran yang sangat me-

ngerikan yang dimiliki orang tentang kematian sebagai hal 

yang membinasakan, saat  kematian itu menatap mukanya, 

yang dipandang rendahnya saat  kematian masih berada 

jauh. Semua orang setuju saat  kematian tiba, apa pun yang 

dipikirkan mereka sebelumnya, bahwa mati itu bukan hal 

yang main-main.  

II. Pemeliharaan disedikan bagi si sakit sebagai petunjuk untuknya, 

supaya penderitaannya berguna baginya, supaya saat  Allah de-

ngan cara demikian berbicara kepada manusia, Ia dapat didengar 

dan dipahami, dan tidak berbicara dengan sia-sia (ay. 23). Ber-

bahagialah jikalau di sampingnya ada malaikat untuk menjaganya 

dalam masa kesakitan, untuk menginsafkan, menasihati, dan 

menghiburnya, seorang penerjemah untuk menjelaskan tindakan 

penyelenggaraan Allah dan membuatnya mengerti maksudnya, se-


orang yang berhikmat  yang mengerti suara tongkat dan penafsir-

annya. Sebab, saat  Allah berbicara melalui malapetaka, kita 

sering tidak mengerti bahasanya, sehingga kita perlu seorang 

penerjemah, dan baik jika kita memiliki seorang yang demikian. 

Nasihat dan pertolongan seorang hamba Tuhan sangat diperlukan 

dan berguna dan harus dapat diterima, saat  kita sedang sakit, 

sama seperti kita memerlukan seorang dokter yang baik. Apalagi 

jika hamba Tuhan itu sangat ahli dalam menjelaskan dan me-

narik manfaat dari tindakan penyelenggaraan Allah itu. Maka dia 

yaitu  satu di antara seribu, dan harus dihargai dengan sepatut-

nya. Tugasnya dalam keadaan seperti itu yaitu  untuk menyata-

kan jalan yang benar, yaitu kebenaran Allah, bahwa dalam kese-

tiaan Ia menulahinya dan tidak berbuat salah kepadanya. Hal ini 

perlu untuk menginsafkan kita untuk melihat kebaikan dalam ke-

sengsaraan kita: atau sebaliknya untuk melihat kebenaran atau 

ketulusannya.  

1. Kebenarannya. Jika ternyata bahwa orang yang sakit itu me-

mang benar-benar saleh, maka si penerjemah tidak akan ber-

buat seperti yang telah dilakukan oleh teman-teman Ayub, 

menjadikannya urusannya untuk membuktikan bahwa dia 

yaitu  seorang durhaka sebab  dia ditulahi. namun  sebalik-

nya, ia akan menunjukkan kepada Ayub kebenaran atau ketu-

lusannya, kendati kesengsaraannya, sehingga dia dapat mene-

rima penghiburan dan menjadi tenang, apa pun kejadiannya.  

2. Kelurusan hati, pembaruan diri, harus ada untuk memperoleh 

kehidupan dan kedamaian. saat  orang mampu melihat kelu-

rusan hati sebagai satu-satunya jalan, jalan yang pasti me-

nuju keselamatan, dan memilihnya, serta berjalan di dalam-

nya, maka pekerjaan telah selesai.  

III. Sambutan Allah yang penuh rahmat atas si sakit (ay. 24). saat  

Allah melihat bahwa si sakit itu benar-benar insaf dan sungguh-

sungguh bertobat dan berlaku saleh, yang merupakan kesempur-

naan Injil, maka Ia yang menunggu untuk berlaku murah hati 

dan menunjukkan belas kasih begitu ada tanda pertobatan yang 

sejati, akan mengasihaninya, dan membawanya kepada perke-

nanan-Nya dan menyayanginya. Di mana pun Allah menemukan 

hati yang penuh rahmat maka ia akan ditemukan oleh Allah yang 

penuh rahmat. Dan,  


1. Allah akan memberikan sebuah perintah yang penuh rahmat 

bagi kelepasannya. Ia berkata, Lepaskan dia (yaitu, biarkan dia 

bebas) supaya jangan ia turun ke liang kubur, dari maut yang 

merupakan upah dosa. saat  malapetaka telah menyelesai-

kan tugasnya, maka ia akan disingkirkan. saat  kita kembali 

kepada Allah melalui kewajiban kita, maka Ia akan kembali 

kepada kita melalui jalan belas kasihan. Orang-orang akan 

dibebaskan dari turun ke dalam jurang yaitu mereka yang me-

nerima para utusan Allah dan dengan benar memahami pener-

jemah-Nya, untuk berpaut kepada kebenaran.  

2. Ia akan memberikan alasan yang penuh rahmat bagi perintah 

ini: Uang tebusan telah kuperoleh, atau sudah pendamaian. 

Yesus Kristus yaitu  uang tebusan tersebut, demikian Elihu 

menyebutnya, seperti Ayub menyebutnya Penebusnya, sebab 

Ia yaitu  pembeli dan sekaligus uangnya, imam sekaligus kor-

ban persembahannya. Begitu tinggi nilai yang diberikan kepa-

da jiwa-jiwa sehingga yang dapat menebus mereka tidak ada 

yang kurang nilainya dari Kristus. Begitu hebat luka yang di-

timbulkan oleh dosa sehingga tidak ada yang mampu mene-

busnya selain darah Anak Allah, yang memberikan nyawa-Nya 

menjadi tebusan bagi banyak orang. Inilah tebusan dari kepu-

tusan Allah, sebuah rancangan dari Sang Hikmat yang Tak 

Terbatas. Kita tidak akan pernah dapat menemukan tebusan 

sendiri, dan para malaikat pun tidak. Itulah hikmat Allah yang 

tersembunyi dan rahasia, dan penemuan seperti itu merupa-

kan dan akan terus menjadi keajaiban abadi di mata para 

penguasa dan kekuasaan yang ingin melihatnya. Amatilah 

betapa Allah bersuka di dalam temuan-Nya di sini, heureµka, 

heureµka – “Uang tebusan telah Kuperoleh. Aku, Akulah yang 

telah melakukannya.” 

IV. Pemulihan orang yang sakit. Singkirkan penyebabnya maka dam-

paknya akan berhenti. saat  si sakit menjadi seorang petobat, 

lihatlah perubahan penuh berkat yang mengikutinya.  

1. Tubuhnya menjadi sehat kembali (ay. 25). Hal ini tidak selalu 

merupakan akibat dari pertobatan orang sakit dan kembalinya 

kepada Allah, namun  kadang-kadang memang demikian. Dan 

pemulihan dari penyakit sungguh suatu berkat saat  terjadi 

dari penghapusan dosa. Maka menjadi berkah bagi jiwa bahwa 


tubuh dilepaskan dari lobang kebinasaan, saat  Allah melem-

parkan segala dosaku jauh dari hadapan-Nya (Yes. 38:17). 

Itulah cara dari suatu pemulihan yang terberkati. Percayalah, 

hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni. Maka, Bangunlah, ang-

katlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu (Mat. 9:2, 6). 

Jadi, berilah dia tebusan, maka tubuhnya mengalami kesegar-

an seorang pemuda dan tidak akan ada lagi sisa-sisa dari ke-

sedihannya, melainkan ia seperti pada masa mudanya, kem-

bali kepada keindahan dan kekuatan yang dimilikinya sebe-

lumnya. saat  kesedihan yang menekan jiwa disingkirkan, 

betapa ajaibnya jiwa menolong diri sendiri, dan dalam hal ini 

kuasa dan kebaikan Allah yang berkuasa atas jiwa patut di-

akui dengan rasa syukur! Melalui penyelenggaraan belas ka-

sihan seperti ini, yang timbul melalui malapetaka, Allah berbi-

cara satu kali, bahkan dua kali, kepada anak-anak manusia, 

membiarkan mereka tahu, jika mereka mau menangkapnya, 

kebergantungan mereka kepada Dia dan belas kasih-Nya.  

2. Jiwanya mendapat kedamaian (ay. 26).  

(1) Si sakit, dengan menjadi seorang petobat, menjadi seorang 

pemohon, dan belajar bagimana berdoa. Ia tahu Allah harus 

dicari perkenanan-Nya, maka ia berdoa kepada Allah, berdoa 

bagi pengampunan, bagi kesehatan. Kalau ada di antara 

kamu yang menderita, kalau ada seorang di antara kamu 

yang sakit, baiklah ia berdoa! Setelah mendapati diri sudah 

pulih, jangan berpikir bahwa doa tidak lagi diperlukan, 

sebab kita butuh anugerah Allah baik untuk menguduskan 

belas kasihan yang kita terima maupun penderitaan yang 

kita alami.  

(2) Doa-doanya diterima. Allah berkenan menerimanya, dan se-

nang dengannya. Kemarahan-Nya akan disingkirkan dari-

nya dan terang wajah Allah akan bersinar ke dalam jiwa-

nya. Lalu terjadi juga,  

(3) Bahwa dia mendapatkan penghiburan dari persekutuan 

dengan Allah. Ia sekarang akan memandang wajah Allah, 

yang sebelumnya tersembunyi darinya, dan dia akan me-

mandang-Nya dengan sukacita, sebab pamandangan apa 

lagi yang dapat lebih menghidupkan? Lihatlah Kejadian 

33:10, sebab  memang melihat mukamu yaitu  bagiku se-

rasa melihat wajah Allah. Semua petobat sejati bersukacita 


lebih di dalam kembalinya perkenan Allah daripada kemak-

muran dan kesenangan (Mzm. 4:7-8).  

(4) Ia mengalami ketenangan pikiran yang penuh kebahagiaan, 

sebab  percaya sudah dibenarkan di hadapan Allah, yang 

akan mengembalikan kebenaran kepada manusia. Ia akan 

menerima pendamaian, yaitu penghiburan dari pendamai-

an itu (Rm. 5:11). Kebenaran akan diperhitungkan kepada-

nya, dan damai diucapkan, sukacita dan kegembiraan akan 

didengarnya kendati dia tidak dapat mendengarnya di hari 

kesengsaraannya. Allah kini berurusan dengan dia sebagai 

orang yang benar, sehingga keadaannya baik-baik saja. Ia 

akan menerima berkat dari TUHAN dan keadilan dari Allah 

(Mzm. 24:5). Allah akan memberinya anugerah untuk pergi 

dan tidak berbuat dosa lagi. Mungkin hal ini juga menun-

jukkan pembaruan hidupnya setelah pemulihannya. Sama 

seperti manusia berdoa kepada Allah, yang diremehkannya 

sebelumnya, demikian pula Ia akan memberi manusia ke-

benaran-Nya, yang telah dilukainya, akan melakukan pe-

mulihan dan melakukan kebenaran untuk masa depannya. 

V. Aturan umum yang akan Allah tempuh dalam berurusan dengan 

anak-anak manusia dapat disimpulkan dari contoh ini (ay. 27-28). 

Sama seperti orang sakit yang dipulihkan setelah penyerahan 

dirinya, demikian pula siapa saja yang dengan sungguh-sungguh 

bertobat dari dosa-dosanya akan mendapatkan belas kasih dari 

Allah. Lihatlah di sini,  

1. Apa itu dosa dan mengapa kita tidak boleh berbuat dosa. 

Tahukah kita sifat dan keganasan dosa? Dosa yaitu  memu-

tarbalikkan apa yang benar. Dosa yaitu  sesuatu yang tidak 

benar di luar akal sehat. Dosa yaitu  pemberontakan makh-

luk ciptaan melawan Sang Pencipta, penguasaan daging atas 

roh dengan paksa, dan pertentangan terhadap aturan dan 

alasan abadi akan kebaikan dan kejahatan. Dosa yaitu  mem-

belokkan Jalan Tuhan yang lurus (Kis. 13:10), dan sebab nya 

jalan-jalan dosa disebut jalan yang berbelit-belit (Mzm. 125:5). 

Tahukah kita apa yang didapat oleh dosa? Dosa tidak mem-

berikan keuntungan apa-apa bagi kita. Pekerjaan kegelapan 

yaitu  pekerjaan yang tidak berguna. saat  keuntungan dan 

kerugian ditimbang, semua keuntungan dosa, jika dikumpul-


kan semua, sama sekali tidak cukup untuk membayar keru-

giannya. Semua petobat sejati pastilah akan mengakui hal ini, 

dan menjadi malu saat  merenungkannya. Roma 6:21, Dan 

buah apakah yang kamu petik dari padanya? Semuanya itu 

menyebabkan kamu merasa malu sekarang.  

2. Lihatlah apa itu pertobatan dan mengapa kita harus bertobat. 

Apakah kita sungguh-sungguh bertobat? Kalau begitu, dengan 

hati yang yang hancur dan penuh penyesalan, kita harus 

mengakui dosa-dosa kita kepada Allah (1Yoh. 1:9). Kita harus 

mengakui fakta dari dosa, Aku telah berdosa, dan tidak me-

nyangkal tuduhannya atau mempertahankan kebenaran diri 

sendiri. Kita harus mengakui kesalahan dosa, pelanggaran dan 

penyimpangannya yaitu telah membelokkan apa yang benar. 

Kita harus mengakui kebodohan dosa, “Begitu bodoh dan acuh 

tak acuhnya aku, sebab  dosa tidak memberikan keuntungan 

apa-apa kepadaku. Dan sebab  itu, mengapa aku harus ber-

urusan lagi dengannya?” Apakah ada alasan yang buruk meng-

apa kita harus membuat suatu pengakuan dosa seperti ini? 

Sebab,  

(1) Allah mengharapkannya. Ia memandang kepada manusia, 

saat  mereka berbuat dosa, untuk melihat apa yang akan 

mereka lakukan selanjutnya, apakah mereka akan terus di 

dalam dosa atau apakah mereka akan menyesal dan kem-

bali. Ia memperhatikan dan mendengarkan apa ada orang 

yang akan berkata, Apa yang telah kulakukan? (Yer. 8:6). Ia 

memandang kepada orang-orang berdosa dengan mata 

belas kasihan, ingin mendengar hal ini dari mereka. Sebab 

Ia tidak berkenan kepada kehancuran mereka. Ia meman-

dang kepada mereka, dan, segera setelah Ia melihat ada 

pertobatan ini di dalam diri mereka, maka Ia menguatkan 

mereka dan siap untuk menerima mereka (Mzm. 32:5-6), 

seperti bapak yang keluar untuk menyambut kembalinya 

anak yang hilang.  

(2) Pertobatan akan berubah menjadi keuntungan kita yang 

tak terkatakan. Janji ini untuk semua orang. Barang siapa 

merendahkan diri, siapa pun dia,  

[1] Ia tidak akan jatuh ke dalam penghukuman, melainkan 

diselamatkan dari murka yang akan datang: Ia telah 


membebaskan nyawaku dari jalan ke liang kubur, ju-

rang neraka. Kesalahan tidak akan menjadi kehancur-

annya.  

[2] Ia akan berbahagia di dalam kehidupan dan sukacita 

yang abadi: hidupnya akan melihat terang, yaitu, meli-

hat segala kebaikan, melihat dan menikmati Allah. Un-

tuk memperoleh berkat ini, jika nabi-Nya itu menyuruh 

kita melakukan suatu perkara yang sukar kepada kita, 

bukankah kita akan melakukannya? Apalagi sekarang, 

ia hanya berkata kepada kita: Mandilah dan engkau akan 

menjadi tahir, mengakulah dan diampuni, bertobatlah 

dan diselamatkan? 

Tutur Kata Elihu  

(33:29-33) 

29 Sesungguhnya, semuanya ini dilakukan Allah dua, tiga kali terhadap ma-

nusia: 30 mengembalikan nyawanya dari liang kubur, sehingga ia diterangi 

oleh cahaya hidup. 31 Perhatikanlah, hai Ayub, dengarkanlah aku, diamlah, 

akulah yang berbicara. 32 Jikalau ada yang hendak kaukatakan, jawablah 

aku; berkatalah, sebab  aku rela membenarkan engkau. 33 Jikalau tidak, 

hendaklah engkau mendengarkan aku; diamlah, aku hendak mengajarkan 

hikmat kepadamu.” 

Di sini kita membaca tentang kesimpulan dari bagian pertama per-

cakapan Elihu, di mana,  

1. Ia dengan singkat meringkaskan apa yang telah dikatakannya, de-

ngan menunjukkan bahwa rancangan Allah yang penuh rahmat 

dan agung, di dalam semua dispensasi penyelenggaraan-Nya ter-

hadap anak-anak manusia, yaitu  untuk menyelamatkan mereka 

dari penderitaan selamanya dan untuk membawa mereka kepada 

kebahagiaan yang abadi (ay. 29-30). Sesungguhnya semuanya itu 

dilakukan Allah terhadap manusia. Ia berurusan dengan mereka 

melalui hati nurani, melalui penyelenggaraan, melalui para ham-

ba-Nya, melalui belas kasihan, melalui malapetaka. Ia membuat 

mereka sakit dan menjadikan mereka sembuh kembali. Semuanya 

ini yaitu  pekerjaan-Nya. Ia telah mengatur yang satu atas yang 

lain (Pkh. 7:14), namun  tangan-Nya ada di dalam semuanya. Ialah

 yang melakukan semua hal bagi kita. Semua penyelenggaraan ha-

ruslah dilihat sebagai pekerjaan Allah terhadap manusia, segala 


usaha keras-Nya terhadap mereka. Ia memakai  berbagai cara 

untuk melakukan kebaikan bagi manusia. Jika satu malapetaka 

tidak bekerja, Ia akan mencoba yang lain. Jika yang lain juga 

tidak bekerja, Ia akan mencoba belas kasihan. Dan Ia akan meng-

utus seorang utusan untuk menafsirkan keduanya. Ia sering me-

ngerjakan hal-hal yang demikian dua tiga kali. Demikianlah tulis-

an aslinya dengan merujuk kepada ayat 14. Ia berfirman dengan 

satu dua cara. Jika hal itu tidak bekerja, Ia mengerjakan yang 

kedua, bahkan yang ketiga. Ia mengubah cara-Nya (Kami meniup 

seruling, kami menyanyikan kidung duka), kembali lagi kepada 

cara yang sama, mengulanginya lagi. Mengapa Ia bersusah payah 

dengan manusia? Hal ini yaitu  untuk mengembalikan nyawanya 

dari liang kubur (ay. 30). Apabila Allah tidak menaruh perhatian 

kepada kita lebih daripada kita terhadap diri kita sendiri, maka 

kita pastilah menderita sengsara. Kita akan menghancurkan diri 

sendiri, namun  syukur Ia mau menyelamatkan kita dan mengguna-

kan berbagai sarana, oleh anugerah-Nya, untuk memulihkan apa 

yang sedang kita perbuat terhadap diri sendiri. Cara yang pertama, 

melalui mimpi dan penglihatan, yaitu  untuk menahan nyawanya 

dari pada liang kubur (ay. 18), yaitu, untuk mencegah dosa, su-

paya kita tidak jatuh ke dalamnya. Hal ini, melalui penyakit dan 

firman, yaitu  untuk mengembalikan jiwa, untuk memulihkan 

semua yang telah jatuh ke dalam dosa, supaya mereka tidak tetap 

tergeletak dan binasa di dalamnya. Berkenaan dengan semua 

yang melalui pertobatan dibawa kembali dari liang kubur, hal itu 

yaitu  supaya mereka dapat diterangi oleh cahaya hidup, se-

hingga mereka dapat beroleh penghiburan di masa sekarang dan 

kebahagiaan yang abadi. Barang siapa yang diselamatkan Allah 

dari dosa dan neraka, yang yaitu  kegelapan, Ia akan membawa-

nya ke sorga, yaitu warisan bagi orang-orang kudus di dalam te-

rang. Dan inilah yang dimaksudkan-Nya di dalam semua ketetapan 

dan dispensasi-Nya. TUHAN, apakah manusia, sehingga Engkau 

mengingatnya! Hal ini seharusnya mendorong kita untuk mema-

tuhi semua rancangan Allah, untuk bekerja bersama-Nya demi 

kebaikan kita, dan bukan untuk melawan Dia. Hal ini akan mem-

buat orang-orang yang binasa untuk selamanya tidak dapat ber-

dalih lagi, sebab  sudah begitu banyak yang dilakukan untuk me-

nyelamatkan mereka namun  mereka tidak mau dipulihkan.  


2. Elihu meminta Ayub menerima apa yang ditawarkannya dan me-

mintanya untuk memperhatikannya dengan baik (ay. 31). Apa 

yang dimaksudkan untuk kebaikan kita menuntut penghargaan 

kita. Jika Ayub mengamati apa yang dikatakan,  

(1) Ia dipersilahkan untuk mengajukan keberatan terhadapnya 

(ay. 32): “Jikalau ada yang hendak kaukatakan, untuk mem-

bela diri, jawablah aku. Kendati aku masih muda dan engkau 

sudah tua, aku tidak akan menimpamu dengan kata-kata ke-

ras: Berkatalah, sebab  aku rela membenarkan engkau, dan 

aku tidak seperti teman-temanmu yang lain yang ingin mengu-

tuk engkau.” Elihu berdebat untuk kebenaran, tidak seperti 

para sahabat Ayub yang lain itu, yang melakukannya untuk 

mencari menang. Perhatikanlah, orang-orang yang kita tegur 

haruslah kita teguhkan kebenarannya, dan kita seharusnya 

senang melihat mereka membersihkan diri dari tuduhan. 

Dengan demikian kita memberi mereka kesempatan dan do-

rongan untuk membela diri.  

(2) Apabila Ayub tidak ada sesuatu untuk dikatakan, Elihu mem-

beri tahu dia bahwa dia punya banyak hal lagi untuk dikata-

kan, jadi hendaklah Ayub bersabar mendengarkannya (ay. 33): 

Diamlah, aku hendak mengajarkan hikmat kepadamu. Orang-

orang yang ingin memperlihatkan hikmat dan belajar hikmat 

harus mendengarkan dan diam, cepat untuk mendengar dan 

lambat untuk berbicara. Ayub orang bijaksana dan baik. Te-

tapi orang-orang yang demikian dapat menjadi lebih bijaksana 

dan lebih baik lagi, dan sebab nya harus bersedia diubahkan 

lagi melalui sarana hikmat dan anugerah. 

 

 

  

PASAL 34  

lihu kemungkinan berhenti sejenak untuk melihat kalau-kalau 

Ayub ingin mengatakan sesuatu atas perkataannya di pasal sebe-

lumnya. Akan namun , Ayub duduk terdiam, sepertinya mengisyarat-

kan keinginannya agar Elihu terus melanjutkan, maka Elihu di sini 

menyambung perkataannya. Dan, 

I. Elihu bukan hanya berbicara kepada pendengarnya, namun  juga 

meminta perhatian kepada kumpulan yang hadir (ay. 2-4).  

II. Elihu menuding Ayub atas beberapa ungkapan tidak pantas 

yang diucapkannya (ay. 5-9). 

III. Elihu berupaya meyakinkan Ayub bahwa ia sudah keliru 

bicara, dengan menunjukkan sepenuhnya, 

1. Keadilan Allah yang tidak dapat dibantah (ay. 10-12, 17, 19, 

23). 

2. Kedaulatan Allah (ay. 13-15). 

3. Kuasa Allah yang Mahabesar (ay. 20, 24). 

4. Kemahatahuan Allah (ay. 21-22, 25). 

5. Kedahsyatan Allah terhadap orang berdosa (ay. 26-28). 

6. Penyelenggaraan mutlak Allah (ay. 30-31). 

IV. Elihu mengajar Ayub hal yang seharusnya dikatakannya (ay. 

31-32). Terakhir, Elihu mengembalikan perkara ini pada nu-

rani Ayub sendiri, dan menutup dengan teguran tajam ke-

pada Ayub atas kemarahan dan kekecewaannya (ay. 33-37). 

Semua ini bukan hanya didengarkan Ayub dengan sabar, te-

tapi diterimanya dengan baik, sebab  Ayub melihat bahwa 

Elihu bermaksud baik. Lagi pula, sementara teman-teman-

nya yang lain menghakiminya atas perkara yang sudah di-

bela oleh nuraninya sendiri bahwa ia tidak bersalah, Elihu 


hanya mendakwanya atas kesalahan yang mungkin atasnya 

hatinya sendiri sekarang sedang memukulnya. 

Tutur Kata Elihu 

(34:1-9) 

1 Maka berbicaralah Elihu: 2 “Dengarkanlah perkataanku, kamu orang-orang 

yang mempunyai hikmat, berilah telinga kepadaku, kamu orang-orang yang 

berakal budi. 3 sebab  telinga itu menguji kata-kata, seperti langit-langit 

mencecap makanan. 4 Biarlah kita memutuskan bagi kita sendiri apa yang 

adil, menentukan bersama-sama apa yang baik. 5 sebab  Ayub berkata: Aku 

benar, namun  Allah mengambil hakku; 6 kendati aku mempunyai hak aku di-

anggap berdusta, sekalipun aku tidak melakukan pelanggaran, lukaku tidak 

dapat sembuh lagi. 7 Siapakah seperti Ayub, yang minum hujatan terhadap 

Allah seperti air, 8 yang mencari persekutuan dengan orang-orang yang mela-

kukan kejahatan dan bergaul dengan orang-orang fasik? 9 sebab  ia telah 

berkata: Tidak berguna bagi manusia, kalau ia dikenan Allah.  

Dalam perikop di atas, 

I. Dengan rendah hati Elihu memulai tuturannya di hadapan pen-

dengarnya dan berusaha, seperti seorang pembicara ulung, untuk 

mendapatkan perkenanan dan perhatian mereka.  

1. Elihu menyebut mereka orang-orang yang mempunyai hikmat, 

dan orang-orang yang berakal budi (ay. 2). Sungguh lebih mu-

dah berurusan dengan orang yang memiliki pengertian. Aku 

berbicara kepadamu sebagai orang-orang yang bijaksana, yang 

dapat mempertimbangkan hal yang aku katakan (1Kor. 10:15). 

Elihu memiliki pandangan yang berbeda dengan mereka, namun  

ia tetap menyebut mereka orang-orang yang berhikmat dan 

berpengetahuan. Orang yang pemarah dan suka bertengkar 

menganggap semua orang yang tidak sependapat dengannya 

bodoh. Padahal, mengakui kebijaksanaan orang yaitu  bentuk 

keadilan yang harus kita berikan meskipun pandangan kita 

tidak sejalan dengan pandangan mereka.  

2. Elihu meminta penilaian mereka dan sebab  itu rela menerima 

pengujian mereka (ay. 3). Telinga orang yang bijaksana menguji 

kata-kata, apakah yang dikatakan itu sungguhan atau palsu, 

benar atau salah, dan mereka yang mengatakannya harus lulus 

ujian orang yang berakal budi. Seperti halnya kita harus meng-

uji segala yang kita dengar, demikian pula apa yang kita kata-

kan harus diuji. 


3. Elihu mengajak mereka untuk menjadi rekannya dalam meme-

riksa dan membahas perkara Ayub ini (ay. 4). Elihu tidak ber-

tindak seolah-olah dialah satu-satunya yang dapat memutus-

kan, atau berusaha mengatakan hal yang adil dan benar atau 

hal yang salah. Sebaliknya, ia mau bersama-sama dengan me-

reka menyelidikinya, dan meminta petunjuk mereka: “Biarlah 

kita bersepakat untuk meninggalkan semua kemarahan dan 

permusuhan, semua prasangka dan keinginan untuk menyang-

gah, serta segala kekakuan untuk mempertahankan pendapat 

yang kita yakini sebelumnya, dan biarlah kita memutuskan bagi 

kita sendiri apa yang adil. Biarlah kita menetapkan prinsip 

yang benar sebagai dasar untuk melanjutkan, kemudian meng-

gunakan cara yang benar untuk menemukan kebenaran. Biar-

lah kita menentukan di antara kita sendiri, dengan memban-

dingkan catatan dan mengemukakan alasan, apa yang baik 

dan apa yang tidak baik.” Perhatikanlah, kita lebih mungkin 

memahami kebenaran saat kita sepakat untuk saling mem-

bantu dalam menemukannya. 

II. Dengan tegas Elihu menuduh Ayub atas perkataan penuh amarah 

yang diucapkannya, yang menyindir pemerintahan ilahi, dan ber-

tanya kepada seisi rumah itu apakah ia harus didakwa dan di-

periksa sebab  perkataannya itu. 

1. Elihu mengutip perkataan yang diucapkan Ayub, setepat yang 

dapat diingatnya. 

(1) Ayub bersikeras akan ketidakbersalahannya. Ayub berkata, 

Aku benar (ay. 5), dan, saat didesak untuk mengakui kesa-

lahannya, ia tetap teguh mempertahankan pendapatnya 

bahwa ia tidak bersalah: “Haruskah aku berdusta melawan 

kebenaranku?” (ay. 6, KJV). Inilah sesungguhnya maksud 

ucapan Ayub, Kebenaranku kupegang teguh (27:6). 

(2) Ayub menuduh Allah tidak adil dalam memperlakukannya. 

Bahwa Allah berbuat salah terhadapnya dengan menyeng-

sarakannya dan tidak berbuat hal yang benar kepadanya: 

Allah tidak memberi keadilan kepadaku (27:2), begitulah 

menurut ucapan Ayub. 

(3) Ayub merasa tidak ada harapan untuk mendapatkan kele-

gaan dan menyimpulkan Allah tidak bisa, atau tidak mau, 


menolongnya: Lukaku tidak dapat sembuh lagi, bahkan 

mungkin membawa kematian, sungguhpun tidak ada ke-

laliman pada tanganku (16:16-17). 

(4) Ayub, sesungguhnya, berkata bahwa tidak ada gunanya 

beribadah kepada Allah dan bahwa tidak ada manusia yang 

menjadi lebih baik pada akhirnya sebab  ibadahnya: Ia te-

lah berkata sesuatu yang membuat orang menduga bahwa 

Ayub menganggap tidak berguna bagi manusia, kalau ia 

menyukakan diri dengan Allah” (ay. 9, KJV). Tentu saja ada 

kesukaan yang bisa dirasakan saat ini dalam beragama. 

Sebab, untuk apa beragama, kalau bukan untuk menyuka-

kan diri kita dengan Allah, dalam persekutuan dengan-Nya, 

dalam kebersamaan dengan-Nya, dalam berjalan bersama-

Nya seperti Henokh? Inilah makna agama yang sejati, yang 

akhirnya membawa kita pada kesenangan. Namun, keun-

tungannya disangkal, seolah sia-sia beribadah kepada 

Allah (Mal. 3:14). Hal ini disimpulkan Elihu sebagai pan-

dangan Ayub, berdasarkan yang tersirat dari ucapan Ayub 

bahwa yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-

duanya dibinasakan-Nya (9:22). Memang ada benarnya 

perkataan ini (sebab segala sesuatu sama bagi sekalian), 

namun  cara pengungkapannya salah, dan memberi pene-

kanan yang berlebihan atas tudingan ini. Oleh sebab  itu, 

Ayub duduk terdiam dan tidak mencoba membela diri 

saat  Elihu menginsafkan dia. Dalam hal ini, benarlah 

pengamatan Tuan Caryl, bahwa adakalanya orang benar 

berbicara lebih buruk daripada yang dimaksudkannya, dan 

orang benar itu sebaiknya memilih dipersalahkan saja me-

lebihi yang harus ditanggungnya daripada membela dirinya 

saat ia patut dipersalahkan. 

2. Elihu memberikan dakwaan yang sangat berat kepada Ayub 

atas hal itu. Secara umum, Siapakah seperti Ayub (ay. 7)? 

“Pernahkah engkau mengenal orang seperti Ayub, atau men-

dengar orang berbicara dengan tinggi hati sesuka hatinya?” 

Elihu menggambarkan Ayub,  

(1) Sebagai orang yang duduk dalam kumpulan pencemooh: 

“ia minum hujatan terhadap Allah seperti air,” artinya, “ia 

begitu seenaknya menegur Allah dan teman-temannya, se-


nang melakukannya, dan begitu bebas menyatakan isi 

hatinya.” Atau, “Ia begitu rakus menerima dan menyimak 

cemoohan dan hinaan yang dilemparkan orang terhadap 

saudara-saudaranya, senang mendengarnya dan malah me-

mujinya.” Atau, beberapa orang menafsirkannya, “Dengan 

pernyataan-pernyataannya yang bodoh ini, Ayub membuat 

dirinya menjadi sasaran cemoohan, membuka dirinya lebar-

lebar untuk celaan, dan memberi kesempatan orang lain 

untuk menertawakannya. Selain itu, agamanya menjadi kor-

ban sebab nya, dan nama baik agamanya tercemar kare-

nanya.” Kita perlu berdoa agar Allah tidak sekali-kali mem-

biarkan kita mengatakan atau melakukan apa pun dari diri 

kita sendiri yang menjadikan kita celaan orang bebal (Mzm. 

39:9). 

(2) Sebagai orang yang berjalan menurut nasihat orang fasik 

dan berdiri di jalan orang berdosa: ia mencari persekutuan 

dengan orang-orang yang melakukan kejahatan (ay. 8). Ia 

memang tidak bergaul langsung dengan mereka, namun  da-

lam pikirannya, ia menyetujui dan membenarkan mereka, 

bahkan memberi mereka dukung