engkau tidak
benar, demikian sanggahanku kepadamu, sebab Allah itu lebih dari pada
manusia. 13 Mengapa engkau berbantah dengan Dia, bahwa Dia tidak men-
jawab segala perkataanmu?
Dalam ayat-ayat ini,
I. Elihu secara khusus mendakwa Ayub telah mengeluarkan ucap-
an-ucapan tidak pantas, yang menyindir keadilan dan kebaikan
Allah dalam beperkara dengannya. Elihu tidak mendasarkan tu-
duhannya pada suatu laporan, namun dia sendirilah saksi mata
yang mendengar langsung semua ucapan Ayub itu (ay. 8): “namun
engkau telah berbicara dekat telingaku, dan didengar oleh semua
yang ikut hadir.” Ia bukan mendengarnya dari tangan kedua. Jika
memang dari tangan kedua, dia berharap tidaklah seburuk yang
disampaikan kepadanya. Ia tidak mendengarnya dari Ayub dalam
percakapan pribadi, sebab dia tidak akan begitu buruk untuk
mengulanginya secara terbuka. namun Ayub telah mengatakannya
secara terbuka, dan sebab nya tepat jika dia juga harus secara
terbuka menegurnya. Mereka yang berbuat dosa hendaklah kau-
tegor di depan semua orang. Pada waktu kita mendengar sesuatu
yang cenderung menghina Allah, kita harus secara umum mem-
berikan kesaksian untuk menentangnya. saat kita mendengar
sesuatu dikatakan dengan tidak benar, kita harus menegurnya.
Sebab “Kamu inilah saksi-saksi-Ku,” demikianlah firman TUHAN,
untuk menghadapi si penuduh.
1. Ayub menyatakan diri sebagai orang yang tidak bersalah (ay.
9): Engkau telah berkata, Aku bersih, aku tidak melakukan
pelanggaran. Ayub tidak mengatakan hal ini totidem verbis –
dalam begitu banyak kata. Bahkan, dia telah mengakui telah
berdosa dan tidak suci di hadapan Allah. namun memang dia
berkata, Engkau tahu bahwa aku tidaklah jahat, Kebenaranku
kupegang teguh, dan sejenisnya, dan berdasarkan perkataan-
perkataan ini Elihu menyampaikan tegurannya. Memang be-
nar bahwa Ayub yaitu seorang yang tulus dan sempurna dan
bukan sebagai orang seperti yang dituduhkan oleh teman-
temannya. Namun dia seharusnya tidak bersikeras sedemikian
rupa seakan-akan Allah telah bersalah dalam menulahinya.
Namun, tampaknya, Elihu tidak berlaku adil juga dengan me-
nuduh Ayub mengaku diri bersih dan tidak bersalah dari se-
mua kesalahan. Sebenarnya Ayub hanya membela diri bahwa
dia benar dan tak bersalah atas pelanggaran besar. namun
begitulah, barang siapa berbicara dengan penuh amarah dan
tidak hati-hati, ia harus bersiap menanggung akibatnya jika
orang lain salah memahami dirinya. Berbicaralah dengan hati-
hati.
2. Ayub menyatakan Allah berlaku keras dalam menandai kesa-
lahannya dan memakai semua kesalahannya untuk melawan-
nya (ay. 10-11), seakan-akan mau mencari kesempatan untuk
bertengkar dengan Dia. namun Ia mendapat alasan terhadap
aku, mencari-cari alasan saja. Untuk maksud inilah Ayub ber-
bicara, Mengapa Engkau menyembunyikan wajah-Mu, dan meng-
anggap aku sebagai musuh-Mu? Demikian perkataannya yang
tegas (13:24; 19:11). “Ia memasukkan kakiku ke dalam pasung,
supaya selain tidak dapat bersaing dengan Dia, aku pun tidak
akan dapat melarikan diri dari-Nya.” Juga, Ia mengawasi se-
gala jalanku (13:27).
II. Elihu berusaha untuk menginsafkan Ayub bahwa dia keliru
dalam berkata demikian, dan bahwa dia harus merendahkan diri
di hadapan Allah serta dengan bertobat menarik kembali perka-
taannya (ay. 12): Sesungguhnya, dalam hal itu engkau tidak benar.
Lihatlah perbedaan antara tuduhan yang dikenakan Elihu ter-
hadap Ayub dan yang dikenakan oleh teman-temannya yang lain.
Mereka tidak mau mengakui bahwa dia benar, namun Elihu hanya
berkata, “Dalam hal ini, dengan mengatakan hal ini, engkau ti-
daklah benar.”
1. “Engkau tidak memperlakukan Allah dengan benar.” Berlaku
adil dan benar berarti memperlakukan semua orang sesuai
dengan apa yang menjadi hak mereka. Nah, kita tidak mem-
beri kepada Allah semua yang menjadi hak-Nya, dan tidak
bersikap benar kepada-Nya, jika kita tidak mengakui keadilan
dan kebaikan-Nya dalam semua tindakan penyelenggaraan-
Nya kepada kita, bahwa Dia benar dalam segala jalan-Nya, dan
bahwa apa pun itu jadinya, Dia sungguh baik.
2. “Engkau tidak memakai bahasa seorang yang benar. Aku
tidak menyangkal bahwa engkau memang seorang yang benar,
namun dalam hal ini engkau tidak tampak seperti itu.” Banyak
orang yang benar, namun dalam hal-hal tertentu tidak berkata
dan bertindak seperti orang benar. Memang kita wajib mem-
beri tahu seorang yang baik dalam hal apa dia keliru dan apa
kesalahannya, namun kita juga tidak boleh menyanjungnya
dalam kesalahannya, sebab itu tidaklah baik. Selain itu, kita
tidak boleh menggambarkan sifat orang atau menghakiminya
berdasarkan satu perbuatannya saja atau beberapa perkata-
annya, sebab itu tidaklah adil. Sebab kita semua bersalah
dalam banyak hal, jadi kita harus bertindak benar dalam me-
negur orang lain. Dua hal dikemukakan Elihu untuk dipertim-
bangkan oleh Ayub, untuk meyakinkan dia bahwa dia telah
salah berkata:
(1) Bahwa Allah secara tak terbatas di atas kita dan sebab nya
gila untuk berbantah dengan Dia. Sebab jika Ia melawan
kita dengan kuasa-Nya yang besar, kita tidak dapat bertahan
di hadapan-Nya. Demikianlah sanggahanku, kata Elihu, da-
lam satu kata, yang membawa serta buktinya, sebab Allah
itu lebih dari pada manusia. Tak diragukan Ia secara tak
terbatas lebih besar. Antara Allah dan manusia tidak ada
perbandingan. Ayub sendiri mengatakan banyak hal de-
ngan rasa kagum luar biasa, mengenai kebesaran Allah,
kuasa-Nya yang tak tertahankan dan kedaulatan-Nya yang
tak tertandingi, keagungan-Nya yang dahsyat, dan keda-
laman-Nya yang tak terselami. “Sekarang,” kata Elihu, “per-
timbangkan sungguh-sungguh apa yang engkau sendiri
telah katakan tentang kebesaran Allah dan terapkan itu
kepada dirimu. Apabila Ia lebih besar daripada manusia,
maka pastilah Ia lebih besar daripada engkau, dan sebab
itu pantaslah bagimu untuk bertobat dari sifat-sifat buruk-
mu ini, ketidaksenanganmu, dengan berpikiran buruk ten-
tang Dia. Engkau pantas merasa malu pada kebodohanmu,
serta gemetar memikirkan kelancanganmu itu.” Perhati-
kanlah, satu kebenaran yang tak terbantahkan ini, Bahwa
Allah itu lebih dari pada manusia, jika dipahami dengan
semestinya, maka sudah cukup untuk selamanya mem-
bungkam dan membuat malu semua keluhan kita tentang
penyelenggaraan-Nya dan keberatan kita terhadap perlakuan-
Nya terhadap kita. Ia tidak hanya lebih bijaksana dan kuat
daripada kita, dan sebab nya tidak ada gunanya untuk
berbantah dengan Dia, namun juga lebih kudus, benar, dan
baik, sebab semuanya ini yaitu kemuliaan-Nya yang
agung dan keunggulan dari hakikat ilahi-Nya. Dalam kese-
muanya ini Allah lebih besar daripada manusia, dan kare-
nanya sukar dan tidak masuk akal untuk mendapati ke-
salahan pada-Nya, sebab Dia di pihak yang benar.
(2) Bahwa Allah tidaklah bertanggung jawab kepada kita (ay.
13): Mengapa engkau berbantah dengan Dia? Orang-orang
yang mengeluh tentang Allah berusaha melawan Dia, mem-
bantah Dia, menuduh Dia, melakukan tindakan yang me-
lawan Dia. Dan mengapa engkau melakukan hal demikian?
Untuk apa? Untuk maksud apa? Perhatikanlah, merupa-
kan hal yang tidak masuk akal bagi kita, makhluk lemah,
bodoh, berdosa, untuk melawan Allah yang memiliki
hikmat, kuasa dan kebaikan yang tak terbatas. Celakalah
tanah liat yang berbantah dengan si penjunan. Sebab Dia
tidak menjawab segala perkataanmu (KJV: Dia tidak mem-
beri pertanggungan jawab kepada benda-benda buatan-
Nya). Ia tidak wajib untuk menunjukkan kepada kita alas-
an dari perbuatan-Nya, atau memberi tahu kita apa yang
dirancangkan untuk dilakukan-Nya [dengan cara apa,
kapan, dengan sarana apa] atau memberi tahu kita meng-
apa Dia beperkara demikian dengan kita. Ia tidak terikat
untuk memberi alasan pembenaran atas tindakan-Nya atau
untuk memuaskan tuntutan dan pertanyaan kita. Hukum-
an-Nya akan membenarkan putusan hukuman-Nya itu
sendiri. Jika kita tidak puas dengan tindakan-Nya, itu sa-
lah kita sendiri. sebab itu sungguh durhaka dan lancang
jika kita mendakwah Allah atau menantang-Nya untuk me-
nunjukkan alasan perbuatan-Nya, untuk berkata kepada-
Nya, Apa yang Engkau perbuat? Atau, Mengapa Engkau
berbuat demikian? Ia tidaklah memberikan pertanggung-
jawaban atas semua perkara-Nya (demikian tafsiran seba-
gian orang). Ia menyingkapkan sebatas yang patut untuk
kita ketahui, seperti dikatakan dalam ayat 14, namun tetap
ada hal-hal rahasia, yang bukan milik kita, yang tidak
semestinya kita selidiki.
Tutur Kata Elihu
(33:14-18)
14 sebab Allah berfirman dengan satu dua cara, namun orang tidak memper-
hatikannya. 15 Dalam mimpi, dalam penglihatan waktu malam, bila orang
nyenyak tidur, bila berbaring di atas tempat tidur, 16 maka Ia membuka
telinga manusia dan mengejutkan mereka dengan teguran-teguran 17 untuk
menghalangi manusia dari pada perbuatannya, dan melenyapkan kesom-
bongan orang, 18 untuk menahan nyawanya dari pada liang kubur, dan hi-
dupnya dari pada maut oleh lembing.
Ayub telah mengeluh bahwa Allah tetap menahan dia sepenuhnya di
dalam kegelapan mengenai maksud dari perkara-Nya dengan dia, dan
sebab nya menyimpulkan bahwa Allah beperkara dengan dia sebagai
musuh. “Tidak,” kata Elihu, “Ia berbicara kepadamu, namun engkau
tidak menangkapnya. Maka itu yaitu kesalahanmu, bukan kesalah-
an Dia. Dan Ia sungguh-sungguh merancang kebaikan bagimu, bah-
kan di dalam masa kesulitan yang engkau salah pahami itu.” Amati-
lah secara umum,
1. Betapa Allah itu seorang sahabat bagi kesejahteraan kita: sebab
Allah berfirman dengan satu dua cara (ay. 14). Ini merupakan tan-
da dari perkenanan-Nya bahwa, kendati ada jarak dan perteng-
karan antara kita dengan Dia, namun Ia tetap berkenan berbicara
kepada kita. Ini merupakan bukti dari rancangan-Nya yang penuh
kemurahan kepada kita, bahwa Dia berkenan berbicara kepada
kita tentang segala permasalahan kita, untuk menunjukkan ke-
pada kita apa tugas panggilan kita dan apa kepentingan kita.
Juga, untuk menunjukkan apa yang Dia mau dari kita dan apa
yang dapat kita harapkan dari Dia, serta untuk memberi tahu kita
tentang kesalahan kita dan mengingatkan kita akan bahaya,
untuk menunjukkan kepada kita jalan dan memimpin kita di da-
lamnya. Hal ini dilakukannya dengan satu atau dua cara, yaitu,
berulang-ulang kali. saat satu peringatan diabaikan, Ia memberi
peringatan yang lain, sebab tidak ingin ada yang harus binasa.
Sebab harus ini harus itu, mesti begini mesti begitu, tambah ini,
tambah itu. Demikianlah, agar jangan sampai para pendosa masih
juga mencari-cari alasan.
2. Betapa kita sendiri menjadi musuh bagi kesejahteraan diri sen-
diri: namun orang tidak memperhatikannya, yaitu, kita tidak meng-
indahkan atau memedulikannya, tidak melihat atau memahami-
nya, tidak sadar bahwa itu yaitu suara Allah, juga tidak mau
menerima hal-hal yang dinyatakan, sebab semuanya itu bodoh
dalam anggapannya. Kita menutup telinga, berdiri di dalam terang
kita sendiri, menolak nasihat Allah kepada dirinya, sehingga tidak
pernah menjadi lebih bijaksana, tidak, bahkan hikmat itu sendiri
pun tidak dipedulikan. Allah berbicara kepada kita melalui hati
nurani, melalui tindakan penyelenggaraan, dan melalui para
hamba-Nya, semua hal yang dipercakapkan Elihu di sini secara
luas, untuk menunjukkan kepada Ayub bahwa Allah sedang
memberi tahu dia tentang pikiran-Nya dan melakukan kebaikan
bagi dia, meski sekarang Ia tampak menahannya di dalam kege-
lapan dan memperlakukannya seperti orang asing. Meski tampak-
nya Ia terus menahan dia di dalam kesesakan dan memperlaku-
kannya seperti musuh. Saat itu, yang kita ketahui, belum ada
penyataan ilahi secara tertulis, sehingga tidak disebut di sini cara-
cara yang antara lain dipakai Allah untuk berbicara kepada ma-
nusia. Di masa sekarang penyataan yang tertulis itulah cara uta-
ma yang kita pakai.
Dalam ayat-ayat ini Elihu menunjukkan bagaimana Allah meng-
ajar dan menegur anak-anak manusia melalui hati nurani mereka.
Amatilah,
I. Waktu dan kesempatan yang tepat untuk peringatan melalui hati
nurani ini (ay. 15): Dalam mimpi, dalam penglihatan waktu malam,
bila orang nyenyak tidur, pada waktu orang berhenti dari urusan
dan hubungan dengan dunia. Waktu itu merupakan waktu yang
baik bagi mereka untuk undur diri kembali kepada hati mereka,
dan bersekutu dengannya, yaitu saat mereka berbaring di
tempat tidur, menyendiri dan diam (Mzm. 4:5). Itulah waktunya
Allah berurusan secara pribadi dengan manusia.
1. saat Ia mengutus para malaikat, para utusan yang luar
biasa, untuk menjalankan suruhan-Nya, Ia umumnya memilih
waktu itu untuk menyampaikan pesan mereka, saat tidur
nyenyak semua panca indra tubuh terkunci dan pikiran lebih
bebas untuk menerima komunikasi langsung dari terang ilahi.
Demikianlah Ia membuat pikiran-Nya dikenal oleh para nabi
melalui penglihatan dan mimpi (Bil. 12:6). Demikianlah Ia
memperingatkan Abimelekh (Kej. 20:3), Laban (Kej. 31:24),
Yusuf (Mat. 1:20). Demikianlah Ia menyatakan kepada Firaun
dan Nebukadnezar hal-hal yang akan terjadi di masa depan.
2. saat Ia menggugah hati nurani, yang menjadi wakil-Nya, di
dalam jiwa, untuk melakukan tugasnya, Ia mengambil kesem-
patan tersebut, entah saat orang sedang tidur nyenyak
sebab, kendati mimpi kebanyakan datang dari khayalan, bebe-
rapa datang dari hati nurani atau saat berbaring hendak
tidur, saat orang berada di antara tidur dan bangun, mere-
nungkan pada malam hari urusan dari hari yang baru berlalu
itu atau memikirkan di pagi hari urusan untuk hari itu. Maka
itu yaitu waktu yang tepat bagi hati mereka untuk menegur
perbuatan buruk mereka dan mengingatkan mereka akan apa
yang harus mereka lakukan (Lih. Yes. 30:21).
II. Kuasa dan kekuatan yang dengannya peringatan ini datang (ay.
16). saat Allah merancang kebaikan manusia melalui keyakinan
dan arahan hati nurani mereka,
1. Ia memberi keyakinan dan arahan tersebut jalan masuk ke-
pada manusia untuk diperhatikan: Maka Ia membuka telinga
manusia, yang sebelumnya tertutup terhadap suara hati ini
(Mzm. 58:5). Ia membuka hati, seperti Ia membuka hati Lidia,
sehingga Ia membuka telinga. Ia menyingkirkan apa yang telah
menyumbat telinga, sehingga keyakinan memperoleh jalan
masuk. Bahkan, Ia mengerjakan di dalam jiwa suatu penye-
rahan diri kepada kuasa hati nurani dan ketundukan pada
aturannya, sebab itulah yang terjadi sesudah Allah membuka
telinga (Yes. 50:5). Tuhan ALLAH telah membuka telingaku, dan
aku tidak memberontak.
2. Ia memberi keyakinan dan arahan hati nurani tempat berdiam
di dalam hati dan membuat mereka tinggal di sana: Ia memete-
raikan petunjuk mereka (KJV), yaitu, petunjuk yang dirancang
bagi mereka dan disesuaikan dengan mereka. Inilah yang di-
pakai Allah untuk membuat jiwa menerima kesan yang dalam
dan lama, seperti perekat pada meterai. saat hati diserahkan
ke dalam petunjuk ilahi, seperti ke dalam suatu cetakan, maka
pekerjaan-Nya pun dikerjakan.
III. Tujuan dan rancangan dari pengiriman peringatan ini.
1. Untuk menahan manusia dari berdosa, khususnya dosa ke-
sombongan (ay. 17). Untuk menghalangi manusia dari pada
perbuatannya, yaitu, dari segala maksudnya yang jahat, untuk
mengubah sikap pikirannya dan arah hidupnya, sikap dan
kecenderungannya, atau untuk mencegah suatu dosa yang
hendak menjebaknya. Ia berusaha menarik manusia dari pe-
kerjaannya, meninggalkan pekerjaannya, yang bekerja bagi
dunia dan kedagingan, supaya hatinya diarahkan untuk mela-
kukan pekerjaan Allah. Banyak orang telah dihentikan dari
perbuataan yang sepenuhnya hanya mengejar dosa melalui
teguran hati nuraninya pada waktunya, yang berkata, Jangan
melakukan perkara-perkara yang dibenci TUHAN. Secara khu-
sus, Allah sesungguhnya, melalui sarana ini, melenyapkan
kesombongan orang, yaitu menyembunyikan darinya hal-hal
yang membangkitkan kesombongannya, dan menjauhkan pi-
kirannya dari hal-hal itu, dengan memberinya alasan mengapa
dia harus rendah hati. Supaya Ia dapat melenyapkan kesom-
bongan orang, agar Ia dapat mencabut akar kepahitan yang
menjadi penyebab begitu banyak dosa. Semua orang yang di-
sediakan belas kasih oleh Allah akan direndahkan-Nya dan di-
lenyapkan kesombongan darinya. Kesombongan membuat
orang berhasrat dan bertekad untuk mencapai tujuan mereka.
Mereka akan melakukan jalannya sendiri, sebab itu Allah
menarik mereka dari tujuan mereka, dengan mematikan ke-
sombongan mereka.
2. Untuk menahan manusia dari kehancuran (ay. 18). Sementara
orang-orang berdosa mengejar tujuan jahat mereka dan me-
manjakan kesombongan mereka, jiwa mereka sedang bergegas
dengan cepat ke jurang, ke pedang, kepada kehancuran, baik
di dalam dunia ini maupun di dunia yang akan datang. Na-
mun saat Allah, melalui peringatan hati nurani, menjauhkan
mereka dari dosa, Ia menahan jiwa mereka dari jurang, dari
jurang yang tak berdasar, dan menyelamatkan mereka dari ke-
binasaan oleh pedang pembalasan ilahi, sehingga kedurhaka-
an tidak akan menjadi kehancuran mereka. Apa yang menyim-
pangkan manusia dari dosa menyelamatkan mereka dari
neraka, menyelamatkan jiwa dari maut (Yak. 5:20). Lihatlah
betapa besar belas kasih yang kita alami jika kita dibuat ber-
ada di bawah kendali hati nurani yang terbangun. Terpujilah
luka-luka, dan baiklah segala pengikat, sebab olehnya jiwa
dijaga dari binasa untuk selamanya.
Tutur Kata Elihu
(33:19-28)
19 Dengan penderitaan ia ditegur di tempat tidurnya, dan berkobar terus-me-
nerus bentrokan dalam tulang-tulangnya; 20 perutnya bosan makanan, hilang
nafsunya untuk makanan yang lezat-lezat; 21 susutlah dagingnya, sehingga
tidak kelihatan lagi, tulang-tulangnya, yang mula-mula tidak tampak, me-
nonjol ke luar, 22 sampai nyawanya menghampiri liang kubur, dan hidupnya
mendekati mereka yang membawa maut. 23 Jikalau di sampingnya ada malai-
kat, penengah, satu di antara seribu, untuk menyatakan jalan yang benar
kepada manusia, 24 maka Ia akan mengasihaninya dengan berfirman: Lepas-
kan dia, supaya jangan ia turun ke liang kubur; uang tebusan telah Kuper-
oleh. 25 Tubuhnya mengalami kesegaran seorang pemuda, ia seperti pada
masa mudanya. 26 Ia berdoa kepada Allah, dan Allah berkenan menerimanya;
ia akan memandang wajah-Nya dengan bersorak-sorai, dan Allah mengem-
balikan kebenaran kepada manusia. 27 Ia akan bernyanyi di depan orang:
Aku telah berbuat dosa, dan yang lurus telah kubengkokkan, namun hal itu
tidak dibalaskan kepadaku. 28 Ia telah membebaskan nyawaku dari jalan ke
liang kubur, dan hidupku akan melihat terang.
Allah telah berbicara sekali kepada orang berdosa melalui hati nurani
mereka, untuk menjauhkan mereka dari jalan-jalan si pembinasa,
namun mereka tidak memahaminya. Mereka tidak sadar atas teguran
hati mereka bahwa mereka berdosa terhadap Allah, namun mereka ter-
tahan oleh kesedihan atau pendidikan mereka. Dan sebab nya Allah
berbicara untuk kedua kalinya. Ia berbicara kedua kalinya, dan men-
coba cara lain untuk meyakinkan dan mendapatkan orang-orang ber-
dosa, yaitu melalui tindakan penyelenggaraan, bencana dan belas
kasih yang dengannya Allah berbicara untuk kedua kalinya. Dan me-
lalui berbagai petunjuk yang tepat pada waktunya dari para hamba-
Nya yang baik yang siap untuk melayani mereka. Ayub mengeluh
banyak tentang penyakitnya dan menilai dari situ bahwa Allah se-
dang marah kepadanya. Para sahabatnya juga melakukan hal yang
demikian. namun Elihu menunjukkan bahwa mereka semua salah
paham, sebab Allah sering menulahi tubuh di dalam kasih, dan de-
ngan rancangan rahmat yang baik bagi jiwa, seperti tampak di sini.
Bagian dari percakapan Elihu ini akan sangat berguna bagi kita da-
lam menghadapi sakit penyakit, yang di dalam dan melaluinya Allah
berbicara kepada manusia. Inilah,
I. Seorang penderita digambarkan dalam kesusahannya. Lihatlah
pekerjaan penyakit (ay. 19, dst.) saat Allah mengirimnya dengan
suatu maksud. Lakukan ini dan lakukanlah.
1. Orang yang sakit penuh kesakitan di sekujur tubuhnya (ay.
19): Dengan penderitaan ia ditegur di tempat tidurnya, begitu
sakit sehingga ia terkurung saja di tempat tidurnya, atau begi-
tu hebatnya sehingga dia tidak mendapatkan kelegaan, tidak,
tidak di tempat tidurnya, di mana dia harus menenangkan
diri. Rasa sakit dan penyakit akan mengubah tempat berba-
ring menjadi tempat berduri, yang biasa dipakainya untuk ti-
dur sekarang melemparkannya ke sana kemari hingga fajar
tiba. Keadaannya, seperti digambarkan di sini, sangatlah bu-
ruk. Penderitaan ditimbulkan lebih hebat daripada penyakit-
nya, dan dengannya si sakit dihajar, bukan hanya dengan
penderitaan yang berat, namun yang kuat dan menusuk. Dan
sering kali semakin kuat si sakit, semakin hebat rasa sakitnya,
sebab lebih meluas kerumitannya maka biasanya lebih hebat
penyakitnya. Bukanlah kepedihan daging yang dikeluhkan,
namun kesakitan tulang-tulangnya, suatu kesakitan yang ber-
akar di dalam. Dan tidak hanya tulang dari satu anggota tu-
buh, namun banyak tulang, yang dihajar. Lihatlah betapa ra-
puhnya, betapa hinanya tubuh yang kita miliki, yang, kendati
tidak menerima luka bagian luar, dapat menderita kesakitan
dari penyebab di dalam dirinya sendiri. Lihatlah pekerjaan
dosa, kejahatan yang dilakukannya. Kesakitan yaitu buah
dosa. Meskipun begitu, oleh anugerah Allah, kesakitan tubuh
sering dijadikan sarana kebaikan bagi jiwa.
2. Si sakit kehilangan nafsu makan, dampak umum dari penyakit
(ay. 20): Perutnya bosan makanan, makanan yang paling dibu-
tuhkan, dan makanan yang lezat-lezat, yang paling disukai-
nya, yang sebelumnya dinikmatinya dengan banyak kesenang-
an. Inilah alasan yang baik mengapa kita tidak seharusnya
mengingini akan makanan yang lezat, sebab semuanya ada-
lah hidangan yang menipu (Ams. 23:3, KJV). Dengan segera kita
bisa dibuat sakit seperti sekarang kita dibuatnya senang.
Orang-orang yang hidup dalam kemewahan saat mereka
baik-baik saja, pada suatu waktu oleh sebab penyakit, mem-
benci makanan yang lezat-lezat, dan dengan sedih dan rasa
malu melihat dosa mereka di dalam hukuman itu. Janganlah
kita secara berlebihan mencintai cita rasa makanan yang lezat-
lezat, sebab akan tiba waktunya di mana kita bahkan mem-
benci untuk melihatnya (Mzm. 107:18).
3. Si sakit menjadi hanya kerangka saja, tidak ada yang lain se-
lain kulit dan tulang (ay. 21). Oleh penyakit, mungkin selama
beberapa hari sakit, dagingnya, yang dulunya gemuk dan ba-
gus, susutlah, sehingga tidak kelihatan lagi. Secara aneh telah
habis dan lenyap: dan tulang-tulangnya, yang sebelumnya ditu-
tupi dengan daging, kini menonjol keluar. Engkau dapat meng-
hitung berapa tulang iganya, dapat menghitung semua tulang-
nya. Jiwa yang dipelihara baik-baik dengan roti hidup, tidak
akan menjadi kurus oleh penyakit, melainkan segera membuat
suatu perubahan di dalam tubuh.
Ia dahulu diliputi keceriaan,
Dimanjakan kenyamanan, padat berisi dan sehat
Tiba-tiba semua temannya (begitu berubah!) terkejut
Oleh pipi pucat kempot dan mata cekung mengerikan;
Tulang-tulangnya (menyeramkan!)
mulai menembus kulitnya,
Padahal dahulu tersembunyi dalam daging dan lemak.
– Tuan R. Blackmore
4. Ia menyerah untuk pergi dan hidupnya putus asa (ay. 22): Sam-
pai nyawanya menghampiri liang kubur, yaitu, ia tertimpa
semua gejala kematian, dan dalam pengertian semua orang di
sekitarnya dan juga dirinya sendiri, dia sedang sekarat. Sengat
kematian, yang di sini disebut pembawa maut, sudah bersiap
untuk menjemputnya. Tali-tali maut telah meliliti dia (Mzm.
116:3). Mungkin hal ini menyatakan pikiran yang sangat me-
ngerikan yang dimiliki orang tentang kematian sebagai hal
yang membinasakan, saat kematian itu menatap mukanya,
yang dipandang rendahnya saat kematian masih berada
jauh. Semua orang setuju saat kematian tiba, apa pun yang
dipikirkan mereka sebelumnya, bahwa mati itu bukan hal
yang main-main.
II. Pemeliharaan disedikan bagi si sakit sebagai petunjuk untuknya,
supaya penderitaannya berguna baginya, supaya saat Allah de-
ngan cara demikian berbicara kepada manusia, Ia dapat didengar
dan dipahami, dan tidak berbicara dengan sia-sia (ay. 23). Ber-
bahagialah jikalau di sampingnya ada malaikat untuk menjaganya
dalam masa kesakitan, untuk menginsafkan, menasihati, dan
menghiburnya, seorang penerjemah untuk menjelaskan tindakan
penyelenggaraan Allah dan membuatnya mengerti maksudnya, se-
orang yang berhikmat yang mengerti suara tongkat dan penafsir-
annya. Sebab, saat Allah berbicara melalui malapetaka, kita
sering tidak mengerti bahasanya, sehingga kita perlu seorang
penerjemah, dan baik jika kita memiliki seorang yang demikian.
Nasihat dan pertolongan seorang hamba Tuhan sangat diperlukan
dan berguna dan harus dapat diterima, saat kita sedang sakit,
sama seperti kita memerlukan seorang dokter yang baik. Apalagi
jika hamba Tuhan itu sangat ahli dalam menjelaskan dan me-
narik manfaat dari tindakan penyelenggaraan Allah itu. Maka dia
yaitu satu di antara seribu, dan harus dihargai dengan sepatut-
nya. Tugasnya dalam keadaan seperti itu yaitu untuk menyata-
kan jalan yang benar, yaitu kebenaran Allah, bahwa dalam kese-
tiaan Ia menulahinya dan tidak berbuat salah kepadanya. Hal ini
perlu untuk menginsafkan kita untuk melihat kebaikan dalam ke-
sengsaraan kita: atau sebaliknya untuk melihat kebenaran atau
ketulusannya.
1. Kebenarannya. Jika ternyata bahwa orang yang sakit itu me-
mang benar-benar saleh, maka si penerjemah tidak akan ber-
buat seperti yang telah dilakukan oleh teman-teman Ayub,
menjadikannya urusannya untuk membuktikan bahwa dia
yaitu seorang durhaka sebab dia ditulahi. namun sebalik-
nya, ia akan menunjukkan kepada Ayub kebenaran atau ketu-
lusannya, kendati kesengsaraannya, sehingga dia dapat mene-
rima penghiburan dan menjadi tenang, apa pun kejadiannya.
2. Kelurusan hati, pembaruan diri, harus ada untuk memperoleh
kehidupan dan kedamaian. saat orang mampu melihat kelu-
rusan hati sebagai satu-satunya jalan, jalan yang pasti me-
nuju keselamatan, dan memilihnya, serta berjalan di dalam-
nya, maka pekerjaan telah selesai.
III. Sambutan Allah yang penuh rahmat atas si sakit (ay. 24). saat
Allah melihat bahwa si sakit itu benar-benar insaf dan sungguh-
sungguh bertobat dan berlaku saleh, yang merupakan kesempur-
naan Injil, maka Ia yang menunggu untuk berlaku murah hati
dan menunjukkan belas kasih begitu ada tanda pertobatan yang
sejati, akan mengasihaninya, dan membawanya kepada perke-
nanan-Nya dan menyayanginya. Di mana pun Allah menemukan
hati yang penuh rahmat maka ia akan ditemukan oleh Allah yang
penuh rahmat. Dan,
1. Allah akan memberikan sebuah perintah yang penuh rahmat
bagi kelepasannya. Ia berkata, Lepaskan dia (yaitu, biarkan dia
bebas) supaya jangan ia turun ke liang kubur, dari maut yang
merupakan upah dosa. saat malapetaka telah menyelesai-
kan tugasnya, maka ia akan disingkirkan. saat kita kembali
kepada Allah melalui kewajiban kita, maka Ia akan kembali
kepada kita melalui jalan belas kasihan. Orang-orang akan
dibebaskan dari turun ke dalam jurang yaitu mereka yang me-
nerima para utusan Allah dan dengan benar memahami pener-
jemah-Nya, untuk berpaut kepada kebenaran.
2. Ia akan memberikan alasan yang penuh rahmat bagi perintah
ini: Uang tebusan telah kuperoleh, atau sudah pendamaian.
Yesus Kristus yaitu uang tebusan tersebut, demikian Elihu
menyebutnya, seperti Ayub menyebutnya Penebusnya, sebab
Ia yaitu pembeli dan sekaligus uangnya, imam sekaligus kor-
ban persembahannya. Begitu tinggi nilai yang diberikan kepa-
da jiwa-jiwa sehingga yang dapat menebus mereka tidak ada
yang kurang nilainya dari Kristus. Begitu hebat luka yang di-
timbulkan oleh dosa sehingga tidak ada yang mampu mene-
busnya selain darah Anak Allah, yang memberikan nyawa-Nya
menjadi tebusan bagi banyak orang. Inilah tebusan dari kepu-
tusan Allah, sebuah rancangan dari Sang Hikmat yang Tak
Terbatas. Kita tidak akan pernah dapat menemukan tebusan
sendiri, dan para malaikat pun tidak. Itulah hikmat Allah yang
tersembunyi dan rahasia, dan penemuan seperti itu merupa-
kan dan akan terus menjadi keajaiban abadi di mata para
penguasa dan kekuasaan yang ingin melihatnya. Amatilah
betapa Allah bersuka di dalam temuan-Nya di sini, heureµka,
heureµka – “Uang tebusan telah Kuperoleh. Aku, Akulah yang
telah melakukannya.”
IV. Pemulihan orang yang sakit. Singkirkan penyebabnya maka dam-
paknya akan berhenti. saat si sakit menjadi seorang petobat,
lihatlah perubahan penuh berkat yang mengikutinya.
1. Tubuhnya menjadi sehat kembali (ay. 25). Hal ini tidak selalu
merupakan akibat dari pertobatan orang sakit dan kembalinya
kepada Allah, namun kadang-kadang memang demikian. Dan
pemulihan dari penyakit sungguh suatu berkat saat terjadi
dari penghapusan dosa. Maka menjadi berkah bagi jiwa bahwa
tubuh dilepaskan dari lobang kebinasaan, saat Allah melem-
parkan segala dosaku jauh dari hadapan-Nya (Yes. 38:17).
Itulah cara dari suatu pemulihan yang terberkati. Percayalah,
hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni. Maka, Bangunlah, ang-
katlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu (Mat. 9:2, 6).
Jadi, berilah dia tebusan, maka tubuhnya mengalami kesegar-
an seorang pemuda dan tidak akan ada lagi sisa-sisa dari ke-
sedihannya, melainkan ia seperti pada masa mudanya, kem-
bali kepada keindahan dan kekuatan yang dimilikinya sebe-
lumnya. saat kesedihan yang menekan jiwa disingkirkan,
betapa ajaibnya jiwa menolong diri sendiri, dan dalam hal ini
kuasa dan kebaikan Allah yang berkuasa atas jiwa patut di-
akui dengan rasa syukur! Melalui penyelenggaraan belas ka-
sihan seperti ini, yang timbul melalui malapetaka, Allah berbi-
cara satu kali, bahkan dua kali, kepada anak-anak manusia,
membiarkan mereka tahu, jika mereka mau menangkapnya,
kebergantungan mereka kepada Dia dan belas kasih-Nya.
2. Jiwanya mendapat kedamaian (ay. 26).
(1) Si sakit, dengan menjadi seorang petobat, menjadi seorang
pemohon, dan belajar bagimana berdoa. Ia tahu Allah harus
dicari perkenanan-Nya, maka ia berdoa kepada Allah, berdoa
bagi pengampunan, bagi kesehatan. Kalau ada di antara
kamu yang menderita, kalau ada seorang di antara kamu
yang sakit, baiklah ia berdoa! Setelah mendapati diri sudah
pulih, jangan berpikir bahwa doa tidak lagi diperlukan,
sebab kita butuh anugerah Allah baik untuk menguduskan
belas kasihan yang kita terima maupun penderitaan yang
kita alami.
(2) Doa-doanya diterima. Allah berkenan menerimanya, dan se-
nang dengannya. Kemarahan-Nya akan disingkirkan dari-
nya dan terang wajah Allah akan bersinar ke dalam jiwa-
nya. Lalu terjadi juga,
(3) Bahwa dia mendapatkan penghiburan dari persekutuan
dengan Allah. Ia sekarang akan memandang wajah Allah,
yang sebelumnya tersembunyi darinya, dan dia akan me-
mandang-Nya dengan sukacita, sebab pamandangan apa
lagi yang dapat lebih menghidupkan? Lihatlah Kejadian
33:10, sebab memang melihat mukamu yaitu bagiku se-
rasa melihat wajah Allah. Semua petobat sejati bersukacita
lebih di dalam kembalinya perkenan Allah daripada kemak-
muran dan kesenangan (Mzm. 4:7-8).
(4) Ia mengalami ketenangan pikiran yang penuh kebahagiaan,
sebab percaya sudah dibenarkan di hadapan Allah, yang
akan mengembalikan kebenaran kepada manusia. Ia akan
menerima pendamaian, yaitu penghiburan dari pendamai-
an itu (Rm. 5:11). Kebenaran akan diperhitungkan kepada-
nya, dan damai diucapkan, sukacita dan kegembiraan akan
didengarnya kendati dia tidak dapat mendengarnya di hari
kesengsaraannya. Allah kini berurusan dengan dia sebagai
orang yang benar, sehingga keadaannya baik-baik saja. Ia
akan menerima berkat dari TUHAN dan keadilan dari Allah
(Mzm. 24:5). Allah akan memberinya anugerah untuk pergi
dan tidak berbuat dosa lagi. Mungkin hal ini juga menun-
jukkan pembaruan hidupnya setelah pemulihannya. Sama
seperti manusia berdoa kepada Allah, yang diremehkannya
sebelumnya, demikian pula Ia akan memberi manusia ke-
benaran-Nya, yang telah dilukainya, akan melakukan pe-
mulihan dan melakukan kebenaran untuk masa depannya.
V. Aturan umum yang akan Allah tempuh dalam berurusan dengan
anak-anak manusia dapat disimpulkan dari contoh ini (ay. 27-28).
Sama seperti orang sakit yang dipulihkan setelah penyerahan
dirinya, demikian pula siapa saja yang dengan sungguh-sungguh
bertobat dari dosa-dosanya akan mendapatkan belas kasih dari
Allah. Lihatlah di sini,
1. Apa itu dosa dan mengapa kita tidak boleh berbuat dosa.
Tahukah kita sifat dan keganasan dosa? Dosa yaitu memu-
tarbalikkan apa yang benar. Dosa yaitu sesuatu yang tidak
benar di luar akal sehat. Dosa yaitu pemberontakan makh-
luk ciptaan melawan Sang Pencipta, penguasaan daging atas
roh dengan paksa, dan pertentangan terhadap aturan dan
alasan abadi akan kebaikan dan kejahatan. Dosa yaitu mem-
belokkan Jalan Tuhan yang lurus (Kis. 13:10), dan sebab nya
jalan-jalan dosa disebut jalan yang berbelit-belit (Mzm. 125:5).
Tahukah kita apa yang didapat oleh dosa? Dosa tidak mem-
berikan keuntungan apa-apa bagi kita. Pekerjaan kegelapan
yaitu pekerjaan yang tidak berguna. saat keuntungan dan
kerugian ditimbang, semua keuntungan dosa, jika dikumpul-
kan semua, sama sekali tidak cukup untuk membayar keru-
giannya. Semua petobat sejati pastilah akan mengakui hal ini,
dan menjadi malu saat merenungkannya. Roma 6:21, Dan
buah apakah yang kamu petik dari padanya? Semuanya itu
menyebabkan kamu merasa malu sekarang.
2. Lihatlah apa itu pertobatan dan mengapa kita harus bertobat.
Apakah kita sungguh-sungguh bertobat? Kalau begitu, dengan
hati yang yang hancur dan penuh penyesalan, kita harus
mengakui dosa-dosa kita kepada Allah (1Yoh. 1:9). Kita harus
mengakui fakta dari dosa, Aku telah berdosa, dan tidak me-
nyangkal tuduhannya atau mempertahankan kebenaran diri
sendiri. Kita harus mengakui kesalahan dosa, pelanggaran dan
penyimpangannya yaitu telah membelokkan apa yang benar.
Kita harus mengakui kebodohan dosa, “Begitu bodoh dan acuh
tak acuhnya aku, sebab dosa tidak memberikan keuntungan
apa-apa kepadaku. Dan sebab itu, mengapa aku harus ber-
urusan lagi dengannya?” Apakah ada alasan yang buruk meng-
apa kita harus membuat suatu pengakuan dosa seperti ini?
Sebab,
(1) Allah mengharapkannya. Ia memandang kepada manusia,
saat mereka berbuat dosa, untuk melihat apa yang akan
mereka lakukan selanjutnya, apakah mereka akan terus di
dalam dosa atau apakah mereka akan menyesal dan kem-
bali. Ia memperhatikan dan mendengarkan apa ada orang
yang akan berkata, Apa yang telah kulakukan? (Yer. 8:6). Ia
memandang kepada orang-orang berdosa dengan mata
belas kasihan, ingin mendengar hal ini dari mereka. Sebab
Ia tidak berkenan kepada kehancuran mereka. Ia meman-
dang kepada mereka, dan, segera setelah Ia melihat ada
pertobatan ini di dalam diri mereka, maka Ia menguatkan
mereka dan siap untuk menerima mereka (Mzm. 32:5-6),
seperti bapak yang keluar untuk menyambut kembalinya
anak yang hilang.
(2) Pertobatan akan berubah menjadi keuntungan kita yang
tak terkatakan. Janji ini untuk semua orang. Barang siapa
merendahkan diri, siapa pun dia,
[1] Ia tidak akan jatuh ke dalam penghukuman, melainkan
diselamatkan dari murka yang akan datang: Ia telah
membebaskan nyawaku dari jalan ke liang kubur, ju-
rang neraka. Kesalahan tidak akan menjadi kehancur-
annya.
[2] Ia akan berbahagia di dalam kehidupan dan sukacita
yang abadi: hidupnya akan melihat terang, yaitu, meli-
hat segala kebaikan, melihat dan menikmati Allah. Un-
tuk memperoleh berkat ini, jika nabi-Nya itu menyuruh
kita melakukan suatu perkara yang sukar kepada kita,
bukankah kita akan melakukannya? Apalagi sekarang,
ia hanya berkata kepada kita: Mandilah dan engkau akan
menjadi tahir, mengakulah dan diampuni, bertobatlah
dan diselamatkan?
Tutur Kata Elihu
(33:29-33)
29 Sesungguhnya, semuanya ini dilakukan Allah dua, tiga kali terhadap ma-
nusia: 30 mengembalikan nyawanya dari liang kubur, sehingga ia diterangi
oleh cahaya hidup. 31 Perhatikanlah, hai Ayub, dengarkanlah aku, diamlah,
akulah yang berbicara. 32 Jikalau ada yang hendak kaukatakan, jawablah
aku; berkatalah, sebab aku rela membenarkan engkau. 33 Jikalau tidak,
hendaklah engkau mendengarkan aku; diamlah, aku hendak mengajarkan
hikmat kepadamu.”
Di sini kita membaca tentang kesimpulan dari bagian pertama per-
cakapan Elihu, di mana,
1. Ia dengan singkat meringkaskan apa yang telah dikatakannya, de-
ngan menunjukkan bahwa rancangan Allah yang penuh rahmat
dan agung, di dalam semua dispensasi penyelenggaraan-Nya ter-
hadap anak-anak manusia, yaitu untuk menyelamatkan mereka
dari penderitaan selamanya dan untuk membawa mereka kepada
kebahagiaan yang abadi (ay. 29-30). Sesungguhnya semuanya itu
dilakukan Allah terhadap manusia. Ia berurusan dengan mereka
melalui hati nurani, melalui penyelenggaraan, melalui para ham-
ba-Nya, melalui belas kasihan, melalui malapetaka. Ia membuat
mereka sakit dan menjadikan mereka sembuh kembali. Semuanya
ini yaitu pekerjaan-Nya. Ia telah mengatur yang satu atas yang
lain (Pkh. 7:14), namun tangan-Nya ada di dalam semuanya. Ialah
yang melakukan semua hal bagi kita. Semua penyelenggaraan ha-
ruslah dilihat sebagai pekerjaan Allah terhadap manusia, segala
usaha keras-Nya terhadap mereka. Ia memakai berbagai cara
untuk melakukan kebaikan bagi manusia. Jika satu malapetaka
tidak bekerja, Ia akan mencoba yang lain. Jika yang lain juga
tidak bekerja, Ia akan mencoba belas kasihan. Dan Ia akan meng-
utus seorang utusan untuk menafsirkan keduanya. Ia sering me-
ngerjakan hal-hal yang demikian dua tiga kali. Demikianlah tulis-
an aslinya dengan merujuk kepada ayat 14. Ia berfirman dengan
satu dua cara. Jika hal itu tidak bekerja, Ia mengerjakan yang
kedua, bahkan yang ketiga. Ia mengubah cara-Nya (Kami meniup
seruling, kami menyanyikan kidung duka), kembali lagi kepada
cara yang sama, mengulanginya lagi. Mengapa Ia bersusah payah
dengan manusia? Hal ini yaitu untuk mengembalikan nyawanya
dari liang kubur (ay. 30). Apabila Allah tidak menaruh perhatian
kepada kita lebih daripada kita terhadap diri kita sendiri, maka
kita pastilah menderita sengsara. Kita akan menghancurkan diri
sendiri, namun syukur Ia mau menyelamatkan kita dan mengguna-
kan berbagai sarana, oleh anugerah-Nya, untuk memulihkan apa
yang sedang kita perbuat terhadap diri sendiri. Cara yang pertama,
melalui mimpi dan penglihatan, yaitu untuk menahan nyawanya
dari pada liang kubur (ay. 18), yaitu, untuk mencegah dosa, su-
paya kita tidak jatuh ke dalamnya. Hal ini, melalui penyakit dan
firman, yaitu untuk mengembalikan jiwa, untuk memulihkan
semua yang telah jatuh ke dalam dosa, supaya mereka tidak tetap
tergeletak dan binasa di dalamnya. Berkenaan dengan semua
yang melalui pertobatan dibawa kembali dari liang kubur, hal itu
yaitu supaya mereka dapat diterangi oleh cahaya hidup, se-
hingga mereka dapat beroleh penghiburan di masa sekarang dan
kebahagiaan yang abadi. Barang siapa yang diselamatkan Allah
dari dosa dan neraka, yang yaitu kegelapan, Ia akan membawa-
nya ke sorga, yaitu warisan bagi orang-orang kudus di dalam te-
rang. Dan inilah yang dimaksudkan-Nya di dalam semua ketetapan
dan dispensasi-Nya. TUHAN, apakah manusia, sehingga Engkau
mengingatnya! Hal ini seharusnya mendorong kita untuk mema-
tuhi semua rancangan Allah, untuk bekerja bersama-Nya demi
kebaikan kita, dan bukan untuk melawan Dia. Hal ini akan mem-
buat orang-orang yang binasa untuk selamanya tidak dapat ber-
dalih lagi, sebab sudah begitu banyak yang dilakukan untuk me-
nyelamatkan mereka namun mereka tidak mau dipulihkan.
2. Elihu meminta Ayub menerima apa yang ditawarkannya dan me-
mintanya untuk memperhatikannya dengan baik (ay. 31). Apa
yang dimaksudkan untuk kebaikan kita menuntut penghargaan
kita. Jika Ayub mengamati apa yang dikatakan,
(1) Ia dipersilahkan untuk mengajukan keberatan terhadapnya
(ay. 32): “Jikalau ada yang hendak kaukatakan, untuk mem-
bela diri, jawablah aku. Kendati aku masih muda dan engkau
sudah tua, aku tidak akan menimpamu dengan kata-kata ke-
ras: Berkatalah, sebab aku rela membenarkan engkau, dan
aku tidak seperti teman-temanmu yang lain yang ingin mengu-
tuk engkau.” Elihu berdebat untuk kebenaran, tidak seperti
para sahabat Ayub yang lain itu, yang melakukannya untuk
mencari menang. Perhatikanlah, orang-orang yang kita tegur
haruslah kita teguhkan kebenarannya, dan kita seharusnya
senang melihat mereka membersihkan diri dari tuduhan.
Dengan demikian kita memberi mereka kesempatan dan do-
rongan untuk membela diri.
(2) Apabila Ayub tidak ada sesuatu untuk dikatakan, Elihu mem-
beri tahu dia bahwa dia punya banyak hal lagi untuk dikata-
kan, jadi hendaklah Ayub bersabar mendengarkannya (ay. 33):
Diamlah, aku hendak mengajarkan hikmat kepadamu. Orang-
orang yang ingin memperlihatkan hikmat dan belajar hikmat
harus mendengarkan dan diam, cepat untuk mendengar dan
lambat untuk berbicara. Ayub orang bijaksana dan baik. Te-
tapi orang-orang yang demikian dapat menjadi lebih bijaksana
dan lebih baik lagi, dan sebab nya harus bersedia diubahkan
lagi melalui sarana hikmat dan anugerah.
PASAL 34
lihu kemungkinan berhenti sejenak untuk melihat kalau-kalau
Ayub ingin mengatakan sesuatu atas perkataannya di pasal sebe-
lumnya. Akan namun , Ayub duduk terdiam, sepertinya mengisyarat-
kan keinginannya agar Elihu terus melanjutkan, maka Elihu di sini
menyambung perkataannya. Dan,
I. Elihu bukan hanya berbicara kepada pendengarnya, namun juga
meminta perhatian kepada kumpulan yang hadir (ay. 2-4).
II. Elihu menuding Ayub atas beberapa ungkapan tidak pantas
yang diucapkannya (ay. 5-9).
III. Elihu berupaya meyakinkan Ayub bahwa ia sudah keliru
bicara, dengan menunjukkan sepenuhnya,
1. Keadilan Allah yang tidak dapat dibantah (ay. 10-12, 17, 19,
23).
2. Kedaulatan Allah (ay. 13-15).
3. Kuasa Allah yang Mahabesar (ay. 20, 24).
4. Kemahatahuan Allah (ay. 21-22, 25).
5. Kedahsyatan Allah terhadap orang berdosa (ay. 26-28).
6. Penyelenggaraan mutlak Allah (ay. 30-31).
IV. Elihu mengajar Ayub hal yang seharusnya dikatakannya (ay.
31-32). Terakhir, Elihu mengembalikan perkara ini pada nu-
rani Ayub sendiri, dan menutup dengan teguran tajam ke-
pada Ayub atas kemarahan dan kekecewaannya (ay. 33-37).
Semua ini bukan hanya didengarkan Ayub dengan sabar, te-
tapi diterimanya dengan baik, sebab Ayub melihat bahwa
Elihu bermaksud baik. Lagi pula, sementara teman-teman-
nya yang lain menghakiminya atas perkara yang sudah di-
bela oleh nuraninya sendiri bahwa ia tidak bersalah, Elihu
hanya mendakwanya atas kesalahan yang mungkin atasnya
hatinya sendiri sekarang sedang memukulnya.
Tutur Kata Elihu
(34:1-9)
1 Maka berbicaralah Elihu: 2 “Dengarkanlah perkataanku, kamu orang-orang
yang mempunyai hikmat, berilah telinga kepadaku, kamu orang-orang yang
berakal budi. 3 sebab telinga itu menguji kata-kata, seperti langit-langit
mencecap makanan. 4 Biarlah kita memutuskan bagi kita sendiri apa yang
adil, menentukan bersama-sama apa yang baik. 5 sebab Ayub berkata: Aku
benar, namun Allah mengambil hakku; 6 kendati aku mempunyai hak aku di-
anggap berdusta, sekalipun aku tidak melakukan pelanggaran, lukaku tidak
dapat sembuh lagi. 7 Siapakah seperti Ayub, yang minum hujatan terhadap
Allah seperti air, 8 yang mencari persekutuan dengan orang-orang yang mela-
kukan kejahatan dan bergaul dengan orang-orang fasik? 9 sebab ia telah
berkata: Tidak berguna bagi manusia, kalau ia dikenan Allah.
Dalam perikop di atas,
I. Dengan rendah hati Elihu memulai tuturannya di hadapan pen-
dengarnya dan berusaha, seperti seorang pembicara ulung, untuk
mendapatkan perkenanan dan perhatian mereka.
1. Elihu menyebut mereka orang-orang yang mempunyai hikmat,
dan orang-orang yang berakal budi (ay. 2). Sungguh lebih mu-
dah berurusan dengan orang yang memiliki pengertian. Aku
berbicara kepadamu sebagai orang-orang yang bijaksana, yang
dapat mempertimbangkan hal yang aku katakan (1Kor. 10:15).
Elihu memiliki pandangan yang berbeda dengan mereka, namun
ia tetap menyebut mereka orang-orang yang berhikmat dan
berpengetahuan. Orang yang pemarah dan suka bertengkar
menganggap semua orang yang tidak sependapat dengannya
bodoh. Padahal, mengakui kebijaksanaan orang yaitu bentuk
keadilan yang harus kita berikan meskipun pandangan kita
tidak sejalan dengan pandangan mereka.
2. Elihu meminta penilaian mereka dan sebab itu rela menerima
pengujian mereka (ay. 3). Telinga orang yang bijaksana menguji
kata-kata, apakah yang dikatakan itu sungguhan atau palsu,
benar atau salah, dan mereka yang mengatakannya harus lulus
ujian orang yang berakal budi. Seperti halnya kita harus meng-
uji segala yang kita dengar, demikian pula apa yang kita kata-
kan harus diuji.
3. Elihu mengajak mereka untuk menjadi rekannya dalam meme-
riksa dan membahas perkara Ayub ini (ay. 4). Elihu tidak ber-
tindak seolah-olah dialah satu-satunya yang dapat memutus-
kan, atau berusaha mengatakan hal yang adil dan benar atau
hal yang salah. Sebaliknya, ia mau bersama-sama dengan me-
reka menyelidikinya, dan meminta petunjuk mereka: “Biarlah
kita bersepakat untuk meninggalkan semua kemarahan dan
permusuhan, semua prasangka dan keinginan untuk menyang-
gah, serta segala kekakuan untuk mempertahankan pendapat
yang kita yakini sebelumnya, dan biarlah kita memutuskan bagi
kita sendiri apa yang adil. Biarlah kita menetapkan prinsip
yang benar sebagai dasar untuk melanjutkan, kemudian meng-
gunakan cara yang benar untuk menemukan kebenaran. Biar-
lah kita menentukan di antara kita sendiri, dengan memban-
dingkan catatan dan mengemukakan alasan, apa yang baik
dan apa yang tidak baik.” Perhatikanlah, kita lebih mungkin
memahami kebenaran saat kita sepakat untuk saling mem-
bantu dalam menemukannya.
II. Dengan tegas Elihu menuduh Ayub atas perkataan penuh amarah
yang diucapkannya, yang menyindir pemerintahan ilahi, dan ber-
tanya kepada seisi rumah itu apakah ia harus didakwa dan di-
periksa sebab perkataannya itu.
1. Elihu mengutip perkataan yang diucapkan Ayub, setepat yang
dapat diingatnya.
(1) Ayub bersikeras akan ketidakbersalahannya. Ayub berkata,
Aku benar (ay. 5), dan, saat didesak untuk mengakui kesa-
lahannya, ia tetap teguh mempertahankan pendapatnya
bahwa ia tidak bersalah: “Haruskah aku berdusta melawan
kebenaranku?” (ay. 6, KJV). Inilah sesungguhnya maksud
ucapan Ayub, Kebenaranku kupegang teguh (27:6).
(2) Ayub menuduh Allah tidak adil dalam memperlakukannya.
Bahwa Allah berbuat salah terhadapnya dengan menyeng-
sarakannya dan tidak berbuat hal yang benar kepadanya:
Allah tidak memberi keadilan kepadaku (27:2), begitulah
menurut ucapan Ayub.
(3) Ayub merasa tidak ada harapan untuk mendapatkan kele-
gaan dan menyimpulkan Allah tidak bisa, atau tidak mau,
menolongnya: Lukaku tidak dapat sembuh lagi, bahkan
mungkin membawa kematian, sungguhpun tidak ada ke-
laliman pada tanganku (16:16-17).
(4) Ayub, sesungguhnya, berkata bahwa tidak ada gunanya
beribadah kepada Allah dan bahwa tidak ada manusia yang
menjadi lebih baik pada akhirnya sebab ibadahnya: Ia te-
lah berkata sesuatu yang membuat orang menduga bahwa
Ayub menganggap tidak berguna bagi manusia, kalau ia
menyukakan diri dengan Allah” (ay. 9, KJV). Tentu saja ada
kesukaan yang bisa dirasakan saat ini dalam beragama.
Sebab, untuk apa beragama, kalau bukan untuk menyuka-
kan diri kita dengan Allah, dalam persekutuan dengan-Nya,
dalam kebersamaan dengan-Nya, dalam berjalan bersama-
Nya seperti Henokh? Inilah makna agama yang sejati, yang
akhirnya membawa kita pada kesenangan. Namun, keun-
tungannya disangkal, seolah sia-sia beribadah kepada
Allah (Mal. 3:14). Hal ini disimpulkan Elihu sebagai pan-
dangan Ayub, berdasarkan yang tersirat dari ucapan Ayub
bahwa yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-
duanya dibinasakan-Nya (9:22). Memang ada benarnya
perkataan ini (sebab segala sesuatu sama bagi sekalian),
namun cara pengungkapannya salah, dan memberi pene-
kanan yang berlebihan atas tudingan ini. Oleh sebab itu,
Ayub duduk terdiam dan tidak mencoba membela diri
saat Elihu menginsafkan dia. Dalam hal ini, benarlah
pengamatan Tuan Caryl, bahwa adakalanya orang benar
berbicara lebih buruk daripada yang dimaksudkannya, dan
orang benar itu sebaiknya memilih dipersalahkan saja me-
lebihi yang harus ditanggungnya daripada membela dirinya
saat ia patut dipersalahkan.
2. Elihu memberikan dakwaan yang sangat berat kepada Ayub
atas hal itu. Secara umum, Siapakah seperti Ayub (ay. 7)?
“Pernahkah engkau mengenal orang seperti Ayub, atau men-
dengar orang berbicara dengan tinggi hati sesuka hatinya?”
Elihu menggambarkan Ayub,
(1) Sebagai orang yang duduk dalam kumpulan pencemooh:
“ia minum hujatan terhadap Allah seperti air,” artinya, “ia
begitu seenaknya menegur Allah dan teman-temannya, se-
nang melakukannya, dan begitu bebas menyatakan isi
hatinya.” Atau, “Ia begitu rakus menerima dan menyimak
cemoohan dan hinaan yang dilemparkan orang terhadap
saudara-saudaranya, senang mendengarnya dan malah me-
mujinya.” Atau, beberapa orang menafsirkannya, “Dengan
pernyataan-pernyataannya yang bodoh ini, Ayub membuat
dirinya menjadi sasaran cemoohan, membuka dirinya lebar-
lebar untuk celaan, dan memberi kesempatan orang lain
untuk menertawakannya. Selain itu, agamanya menjadi kor-
ban sebab nya, dan nama baik agamanya tercemar kare-
nanya.” Kita perlu berdoa agar Allah tidak sekali-kali mem-
biarkan kita mengatakan atau melakukan apa pun dari diri
kita sendiri yang menjadikan kita celaan orang bebal (Mzm.
39:9).
(2) Sebagai orang yang berjalan menurut nasihat orang fasik
dan berdiri di jalan orang berdosa: ia mencari persekutuan
dengan orang-orang yang melakukan kejahatan (ay. 8). Ia
memang tidak bergaul langsung dengan mereka, namun da-
lam pikirannya, ia menyetujui dan membenarkan mereka,
bahkan memberi mereka dukung