inaan dan
pengawasan terhadap Hakim dalam rangka mencapai daya guna
dan hasil guna sebagaimana lazimnya bagi pegawai negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Milik
Perpustakaan
Mahkamah Agung - RI
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Pemberhentian dengan hormat Hakim atas permintaan sendiri,
mencakup pengertian pengunduran diri dengan alasan Hakim yang
bersangkutan tidak berhasil menegakkan hukum dalam lingkungan
rumah tangganya sendiri. Pada hakikatnya situasi, kondisi,
suasana, dan keteraturan hidup di rumah tangga setiap Hakim
Pengadilan merupakan salah satu faktor yang penting peranannya
dalam usaha membantu meningkatkan citra dan wibawa seorang
Hakim itu sendiri.
276
Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus menerus"
ialah yang menyebabkan sipenderita ternyata tidak mampu lagi
melakukan tugas kewajibannya dengan baik.
Yang dimaksud "tidak cakap" ialah misalnya yang bersangkutan
banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat(l)
Yang dimaksud dengan "dipidana" ialah dipidana dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" ialah
bila Hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan
tindakannya, baik di dalam maupun di luar Pengadilan
merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaan" ialah semua tugas yang
dibebankan kepada yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan, yang
bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk membela diri, kecuali
bila pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya itu kurang dari
3 (tiga) bulan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Seorang Hakim tidak boleh diberhentikan dari kedudukannya sebagai
pegawai negeri sebelum diberhentikan dari jabatannya sebagai Hakim.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian,
Hakim bukan jabatan dalam eksekutif. Oleh sebab itu,
pemberhentiannya harus tidak sama dengan pegawai negeri yang lain.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
277
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam perkara pidana yaitu
Pengadilan Negeri dan/atau Pengadilan Militer.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pangkat dan gaji Hakim diatur tersendiri berdasar peraturan
yang berlaku.
Yang dimaksud dengan ketentuan lain yaitu hal-hal yang antara
lain menyangkut kesejahteraan seperti rumah dinas, dan kendaraan
dinas.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
278
Pasal 27
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d pasal ini, yaitu setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, harus diartikan
mencakup juga syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) huruf e Undang-undang ini.
Yang dimaksud dengan "sarjana muda syari'ah atau saijana muda,
hukum" termasuk mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan
hukum sederajat dengan sarjana muda syari'ah atau sarjana muda
hukum, dan dianggap cakap untuk jabatan itu.
Masa pengalaman disesuaikan dengan eselon, pangkat, dan syarat-
syarat lain yang berkaitan. Alih jabatan dari Pengadilan Tinggi Agama
ke Pengadilan Agama atau sebaliknya dimungkinkan dalam eselon
yang sama.
Pasal 28
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 29
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 30
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 31
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 32
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 33
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea, pertama.
279
Pasal 34
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 35
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3)
berlaku juga bagi Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti.
Pasal 36
Pengangkatan atau pemberhentian Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti dapat juga dilakukan berdasar usul
Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d ayat ini, yaitu
setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, harus
diartikan mencakup juga syarat sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e Undang-undang ini.
Ayat (2)
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama
dengan penjelasan ayat (1).
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
280
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3)
berlaku juga bagi Juru Sita Pengganti.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d Pasal ini, yaitu setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, harus diartikan
mencakup juga syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1) huruf e Undang-undang ini.
Pasal 46
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 45.
Pasal 47
Pengangkatan atau pemberhentian Wakil Sekretaris Pengadilan dapat
juga dilakukan berdasar usul Ketua Pengadilan.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara
lain yaitu :
281
1. izin beristri lebih dari seorang
2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum
berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau
wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;'
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama;
11. mengenai penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
memenuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh
suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban
bagi bekas isteri.
14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam
hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua
orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang
tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang
telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada
di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal usul seorang anak;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak
berarti menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek
yang tidak menjadi sengketa itu.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum
Islam dikecualikan dalam hal-hal yang berhubungan dengan
perkara yang sedang atau akan diperiksa di Pengadilan.
Ayat (2)
Yang dimaksud "oleh Undang-undang" yaitu ditetapkan atau
diatur dalam undang-undang tersendiri, sedang yang dimaksud
"berdasar undang-undang" yaitu ditetapkan atau diatur dalam
Peraturan Pemerintah berdasar Undang-undang ini.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "seksama dan sewajarnya" ialah antara
lain bahwa penyelenggaraan peradilan harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu
yang dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Ayat (3)
Cukup jelas
283
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penetapan dan putusan.dalam ayat ini
yaitu penetapan dan putusan Pengadilan Agama, Pengadilan
Tinggi Agama, dan Mahkamah Agung.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 58
A yat(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Alasan penting yang dijadikan dasar oleh Hakim untuk
memerintahkan pemeriksaan sidang tertutup harus dicatat dalam
Berita Acara Sidang.
284
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 60
Yang dimaksud dengan penetapan yaitu keputusan Pengadilan atas
perkara permohonan, sedang putusan yaitu keputusan Pengadilan
atas perkara gugatan berdasar adanya suatu sengketa.
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
285
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
286
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Berbeda dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
66 ayat (2), maka untuk melindungi pihak istri gugatan perceraian
diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman penggugat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Syiqaq yaitu perselisihan yang tajam dan terus menerus antara
suami dan istri.
Ayat (2)
Hakam ialah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak
keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk
mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq.
287
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 82
Ayat (1)
Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat
dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat
peradilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
288
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 85
Atas kelalaiannya itu, Panitera atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk
dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 86
Ayat (1)
Hal itu yaitu demi tercapainya prinsip bahwa peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas
289
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Yang berwenang menentukan bahwa suatu perkara menyangkut
kepentingan umum yaitu Ketua Pengadilan.
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
290
Pasal 97
berdasar catatan Panitera, disusun berita acara persidangan.
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
A yat(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dibawa keluar" meliputi segala bentuk
dan cara apa pun juga yang memindahkan isi daftar catatan,
risalah, agar tidak jatuh ketangan pihak yang tidak berhak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
291
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
292
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 50 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG
PERADILAN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu
diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan
berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam
warga ;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum warga dan
ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945;
c. bahwa berdasar pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b perlu membentuk
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama;
293
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-
Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik
negara kita Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik negara kita Nomor 3316) sebagaimana
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (Lembaran Negara Republik negara kita Tahun
2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Repulik
negara kita Nomor 4958);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik
negara kita Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik negara kita Nomor 3400) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran
Negara Republik negara kita Tahun 2006 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita
Nomor 4611);
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
negara kita Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik negara kita Nomor 5076);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK negara kita
dan
PRESIDEN REPUBLIK negara kita
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA.
294
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik negara kita Tahun 1989 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita Nomor 3400)
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik negara kita Tahun 2006 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita Nomor 4611), diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Peradilan Agama yaitu peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam.
2. Pengadilan yaitu pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di
lingkungan peradilan agama.
3. Hakim yaitu hakim pada pengadilan agama dan hakim pada
pengadilan tinggi agama.
4. Pegawai Pencatat Nikah yaitu pegawai pencatat nikah pada kantor
urusan agama.
5. Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti yaitu juru sita dan/atau juru
sita pengganti pada pengadilan agama.
6. Mahkamah Agung yaitu salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945.
7. Komisi Yudisial yaitu lembaga negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun
1945.
8. Pengadilan Khusus yaitu pengadilan yang memiliki kewenangan
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang
hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-
undang.
9. Hakim a d h o c yaitu hakim yang bersifat sementara yang memiliki
keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa,
295
mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur
dalam undang-undang.
2. Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga Pasal 3A berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1) Di lingkungan peradilan agama dapat dibentuk pengadilan khusus
yang diatur dengan undang-undang.
(2) Peradilan Syari’ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama
sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan
agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan umum.
(3) Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim a d h o c untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, yang membutuhkan
keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka
waktu tertentu.
(4) Ketentuan mengenai syarat, tata cara pengangkatan, dan
pemberhentian serta tunjangan hakim a d h o c diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 6 (enam) pasal, yakni Pasal
12A, Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 12D, Pasal 12E, dan Pasal 12F yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12A
(1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim, pengawasan eksternal atas perilaku hakim dilakukan
oleh Komisi Yudisial.
Pasal 12B
(1) Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur,
adil, profesional, bertakwa, dan berakhlak mulia, serta
berpengalaman di bidang hukum.
296
(2) Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Pasal 12C
(1) Dalam melakukan pengawasan hakim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, Komisi Yudisial melakukan koordinasi dengan Mahkamah
Agung.
(2) Dalam hal ada perbedaan antara hasil pengawasan internal yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan hasil pengawasan eksternal
yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, pemeriksaan dilakukan
bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Pasal 12D
(1) Dalam melaksanakan pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12A ayat (2), Komisi Yudisial memiliki tugas
melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasar Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Komisi Yudisial berwenang :
a. menerima dan menindaklanjuti pengaduan warga dan/atau
informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim;
b. memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim;
c. dapat menghadiri persidangan di pengadilan;
d. menerima dan menindaklanjuti pengaduan Mahkamah Agung
dan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung atas
dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
e. melakukan verifikasi terhadap pengaduan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf d;
f. meminta keterangan atau data kepada Mahkamah Agung
dan/atau pengadilan;
g. melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim
yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
untuk kepentingan pemeriksaan; dan/atau
h. menetapkan keputusan berdasar hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
297
Pasal 12E
(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12A, Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung wajib :
a. menaati norma dan peraturan perundangundangan;
b. menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; dan
c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.
(2) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
(4) Ketentuan mengenai pengawasan eksternal dan pengawasan internal
hakim diatur dalam undangundang.
Pasal 12F
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis
putusan pengadilan yang tefah memperoleh kekuatan hukum tetap
sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.
4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan agama, seseorang
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945;
e. sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
f. lulus pendidikan hakim;
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban;
298
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
i. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling
tinggi 40 (empat puluh) tahun; dan
j. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan
kejahatan berdasar putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan
agama, hakim harus berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahun
sebagai hakim pengadilan agama.
5. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal
13A dan Pasal 13B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
(1) Pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan melalui proses
seleksi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
(2) Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan
bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Pasal 13B
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim a d h o c , seseorang harus
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1),
kecuali huruf e dan huruf f.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c
tetap berlaku kecuali undangundang menentukan lain.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan ayat (1) diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
6. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi agama,
seorang hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut:
299
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf j;
b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
c. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua,
wakil ketua, pengadilan agama, atau 15 (lima belas) tahun
sebagai hakim pengadilan agama;
d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung; dan
e. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat
melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi agama harus
berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim
pengadilan tinggi agama atau 3 (tiga) tahun bagi hakim pengadilan
tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan tinggi agama
harus berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim
pengadilan tinggi agama atau 2 (dua) tahun bagi hakim pengadilan
tinggi agama yang pemah menjabat ketua pengadilan agama.
7. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (la ) dan ayat (lb ) sehingga Pasal 15
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Hakim pengadilan diangkat oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung.
(la ) Hakim pengadilan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial melalui Ketua
Mahkamah Agung.
(lb ) Usul pemberhentian hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat (la ) hanya dapat dilakukan bila
hakim yang bersangkutan melanggar Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Ketua Mahkamah Agung.
8. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) diubah sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai
berikut :
300
Pasal 18
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya karena :
a. atas permintaan sendiri secara tertulis;
b. sakit jasmani atau rohani secara terusmenerus;
c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil
ketua, dan hakim pengadilan agama, dan 67 (enam puluh tujuh)
tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi
agama; atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia
dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
oleh Presiden.
9. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya dengan alas an :
a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasar
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya
terus-menerus selama 3 (tiga) bulan;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
dan/atau
f. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden.
(3) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi
Yudisial.
(4) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, huruf d, dan huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung.
301
(5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf f diajukan oleh Komisi Yudisial.
(6) Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan
usul pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5), hakim pengadilan memiliki hak untuk
membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(7) Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
10. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
Dalam hal ketua atau wakil ketua pengadilan diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya karena atas permintaan sendiri secara tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, tidak dengan
sendirinya diberhentikan sebagai hakim.
11. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 21 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
ayat (la ) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan
tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dapat diberhentikan
sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
(la) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diusulkan oleh Komisi Yudisial.
(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2).
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
12. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Kedudukan protokol hakim pengadilan diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
302
(2) Selain memiliki kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak
memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, pensiun dan hak-
hak lainnya.
(3) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa :
a. tunjangan jabatan; dan
b. tunjangan lain berdasar peraturan perundang-undangan.
(4) Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa :
a. rumah j abatan milik negara;
b. jaminan kesehatan; dan
c. sarana transportasi milik negara.
(5) Hakim pengadilan diberi jaminan keamanan dalam melaksanakan
tugasnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak
lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan
hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundangundangan.
13. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama, seorang calon
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945;
e. berijazah sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam, atau sarjana hukum
yang menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera,
5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan agama, atau
menjabat wakil panitera pengadilan tinggi agama; dan
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban.
303
14. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tinggi agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, huruf e, dan huruf g;
b. dihapus.
c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera muda
pengadilan tinggi agama, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda
pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera
pengadilan agama, atau menjabat sebagai panitera pengadilan
agama.
15. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
Panitera tidak boleh merangkap menjadi:
a. wali;
b. pengampu;
c. advokat; dan/atau
d. pejabat peradilan yang lain.
16. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal
38A dan Pasal 38B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38A
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti
pengadilan diberhentikan dengan hormat dengan alas an :
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus;
d. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera, wakil panitera,
panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan agama;
304
e. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, wakil
panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tinggi
agama; dan/atau
f. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Pasal 38B
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti
pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat dengan alas an :
a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasar putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus
menerus selama 3 (tiga) bulan;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35;
dan/atau
f. melanggar kode etik panitera.
17. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945;
e. berijazah pendidikan menengah;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai juru sita
pengganti; dan
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita pengganti, seorang calon
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
305
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai
negeri pada pengadilan agama.
18. Ketentuan Pasal 44 dihapus.
19. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga Pasal 45 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan
agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945;.
e. berijazah sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam, sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam, atau sarjana administrasi;
f. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun di bidang administrasi
peradilan; dan
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban.
20. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga Pasal 46 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46
Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan
tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun di bidang
administrasi peradilan.
21. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 53
(1) Ketua pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas
hakim.
306
(2) Ketua pengadilan selain melakukan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga mengadakan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan perilaku panitera, sekretaris, dan juru sita di
daerah hukumnya.
(3) Selain tugas melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), ketua pengadilan tinggi agama di daerah
hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di
tingkat pengadilan agama dan menjaga agar peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), ketua pengadilan dapat Memberi petunjuk, teguran,
dan peringatan, yang dipandang perlu.
(5) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara.
22. Di antara Pasal 60 dan Pasal 61 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal
60A, Pasal 60B dan Pasal 60C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 60A
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung
jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memuat pertimbangan hokum hakim yang didasarkan pada alasan
dan dasar hukum yang tepat dan benar.
Pasal 60B
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.
(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak
mampu.
(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat
domisili yang bersangkutan.
Pasal 60C
(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk
pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan
hukum.
307
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan
terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hokum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
23. Di antara Pasal 64 dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
64A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64A
(1) Pengadilan wajib Memberi akses kepada warga untuk
memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya
perkara dalam proses persidangan.
(2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
putusan diucapkan.
(3) bila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ketua pengadilan dikenai
sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
24. Di antara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 91A
dan 91B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 91A
(1) Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan agama dapat menarik
biaya perkara.
(2) Penarikan biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disertai dengan tanda bukti pembayaran yang sah.
(3) Biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya
kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara.
(4) Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan
penerimaan negara bukan pajak, yang ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(5) Biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dibebankan pada pihak atau para pihak yang berperkara yang
ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
308
(6) Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas penarikan biaya perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 91B
(1) Setiap pejabat peradilan dilarang menarik biaya selain biaya perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91A ayat (3).
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikenai sanksi pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 38B.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
negara kita .
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK negara kita ,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita TAHUN 2009 NOMOR 159
309
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 50 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG
PERADILAN AGAMA
L UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945 dalam
Pasal 24 ayat (1) menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita
Tahun 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Perubahan Undang-Undang ini antara lain dilatarbelakangi dengan
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
tanggal 23 Agustus 2006, dimana dalam putusannya itu telah
menyatakan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman dan ketentuan pasal-pasal yang
menyangkut mengenai pengawasan hakim dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan
310
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945 dan
karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari putusan Mahkamah Konstitusi
itu , telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
berdasar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, selain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial itu sendiri yang terhadap beberapa pasalnya telah dinyatakan
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas'Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama merupakan salah satu undang-undang yang
mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung, perlu pula dilakukan perubahan sebagai penyesuaian atau
sinkronisasi terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan
mengenai peradilan agama, pengawasan tertinggi baik menyangkut
teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi,
administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung. sedang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal
dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dimaksudkan
untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip
kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan
akuntabilitas hakim.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama antara lain
sebagai berikut:
311
1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh
Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku
hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;
2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada
pengadilan agama maupun hakim pada pengadilan tinggi agama,
antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara
transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau
lulus pendidikan hakim;
3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim a d h o c ;
4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pember
hentian hakim;
5. keamanan dan kesej ahteraan hakim;
6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;
7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan
pertanggung jawaban biaya perkara;
8. bantuan hukum; dan
9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama pada dasarnya
untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan
melalui penataan sistem peradilan yang terpadu ( i n t e g r a t e d j u s t i c e
s y s t e m ) , terlebih peradilan agama secara konstitusional merupakan
badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “diadakan pengkhususan
pengadilan” yaitu adanya diferensiasi/spesialisasi di
312
lingkungan peradilan agama dimana dapat dibentuk
pengadilan khusus, misalnya pengadilan arbitrase
syariah, sedang yang dimaksud dengan "yang diatur
dengan undang-undang" yaitu susunan, kekuasaan, dan
hukum acaranya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tujuan diangkatnya “hakim a d h o c ” yaitu untuk
membantu penyelesaian perkara yang membutuhkan
keahlian khusus misalnya kejahatan perbankan syari’ah
dan yang dimaksud dalam “jangka waktu tertentu”
yaitu bersifat sementara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 12A
Ayat (1)
Pengawasan internal atas tingkah laku hakim masjh
diperlukan meskipun sudah ada pengawasan eksternal
yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini
dimaksudkan agar pengawasan lebih komprehensif
sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim betul-betul dapat terjaga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12B
Cukup jelas.
Pasal 12C
Ayat (1)
Koordinasi dengan Mahkamah Agung dalam ketentuan
ini meliputi pula koordinasi dengan badan peradilan di
bawah Mahkamah Agung.
313
Pasal 12D
Cukup jelas.
Pasal 12E
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim memuat
kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh hakim
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12F
Yang dimaksud dengan ’’mutasi hakim” dalam ketentuan ini
meliputi promosi dan demosi hakim.
Angka 4
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Huruf f
Pendidikan hakim diselenggarakan bersama oleh
Mahkamah Agung dan perguruan tinggi negeri
agama atau swasta yang terakreditasi A dalam
jangka waktu yang ditentukan dan melalui proses
seleksi yang ketat.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 13A
Cukup jelas.
Pasal 13B
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 18
Cukup jelas.
315
Angka 9
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud “dengan peraturan perundang-
undangan” yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Angka 10
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 21
Ayat (1)
Pemberhentian sementara dalam ketentuan ini, selain
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yaitu
hukuman jabatan yang dikenakan kepada seorang hakim
untuk tidak memeriksa dan mengadili perkara dalam
jangka waktu tertentu.
316
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat ( la )
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sarana transportasi” yaitu
kendaraan bermotor roda empat beserta
pengemudinya atau sarana lain yang memungkinkan
seorang hakim menjalankan tugas-tugasnya.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam
melaksanakan tugasnya” yaitu hakim diberikan
penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin
persidangan. Hakim harus diberikan perlindungan
keamanan oleh aparat terkait yakni aparat kepolisian
agar hakim mampu memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau
intervensi dari pihak manapun.
317
Angka 13
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 35
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pejabat peradilan yang lain”
yaitu sekretaris, wakil sekretaris, wakil panitera,
panitera muda, panitera pengganti, juru sita, j u r u sita
pengganti, dan pejabat struktural lainnya.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 38A
Cukup jelas.
Pasal 38B
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pendidikan menengah”
yaitu sekolah menengah atas (SMA), madrasah
aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK),
dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk
lain yang sederajat.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Angka 18
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 60A
Cukup jelas.
319
Pasal 60B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kelurahan” dalam ketentuan ini
termasuk desa, banjar, nagari, dan gampong.
Pasal 60C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma
termasuk biaya eksekusi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 64A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal salinan putusan tidak disampaikan, ketua
pengadilan yang bersangkutan dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis dari Ketua
Mahkamah Agung. Yang dimaksud dengan “peraturan
perundang-undangan” yaitu Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Angka 24
Pasal 91A
Ayat (1.)
Cukup jelas.
320
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Biaya Kepaniteraan yang masuk penerimaan Negara
bukan pajak yaitu sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 91B
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita NOMOR 5078
321
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 3 TAHUN 2006
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
Menimbang a. bahwa Negara Kesatuan Republik negara kita
merupakan negara hukum yang berdasar
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945, bertujuan untuk
mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan
warga yang tertib, bersih, makmur, dan
berkeadilan;
b. bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan;
c. bahwa Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum warga dan
kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun
1945;
323
Mengingat
d. bahwa berdasar pertimbangan sebagaimana
pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama;
1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-
Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkaman Agung sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran
Negara Republik negara kita Tahun 2004 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita
Nomor 4359);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik
negara kita Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik negara kita Nomor
3400);
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik negara kita Tahun 2004 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita
Nomor 4338);.
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK negara kita
Dan
PRESIDEN REPUBLIK negara kita
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA.
324
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik negara kita Tahun 1989 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita Nomor 3400) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
Peradilan Agama yaitu salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini."
2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan pasal baru yakni Pasal 3A,
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan
yang diatur dengan Undang-Undang."
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Pengadilan agama berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.
(2) Pengadilan tinggi agama berkedudu kan di ibukota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi."
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial
pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
325
Pasal 11
(1) Hakim pengadilan yaitu pejabat yang melakukan tugas kekuasaan
kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan
tugas hakim ditetapkan dalam Undang-Undang ini."
6. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh
Ketua Mahkamah Agung.
(2) Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara."
7. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat sebagai calon hakim pengadilan agama,
seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945;
e. sarjana syariah dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
h. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
negara kita termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang
terlibat langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis
negara kita .
(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim harus pegawai negeri yang
berasal dari calon hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun.
326
(3) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan agama
harus berpengalaman paling singkat 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim
pengadilan agama."
8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi agama, seorang
hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h;
b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
c. pengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil
ketua, pengadilan agama, atau 15 (lima belas) tahun sebagai
hakim pengadilan agama; dan
d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi agama harus
berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim pengadilan
tinggi agama atau 3 (tiga) tahun bagi hakim pengadilan tinggi agama
yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan tinggi agama
harus berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim
pengadilan tinggi agama atau 2 (dua) tahun bagi hakim pengadilan
tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.
9. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Ketua Mahkamah Agung.
(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Ketua Mahkamah Agung."
10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
327
Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, ketua, wakil ketua, dan hakim
pengadilan wajib mengucapkan sumpah menurut agama Islam.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban
hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-
lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita
Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa".
(3) Wakil ketua dan hakim pengadilan agama mengucapkan sumpah di
hadapan ketua pengadilan agama.
(4) Wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi agama serta ketua pengadilan
agama mengucapkan sumpah di hadapan ketua pengadilan tinggi
agama.
(5) Ketua pengadilan tinggi agama mengucapkan sumpah di hadapan
Ketua Mahkamah Agung.”
11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar undang-undang, hakim
tidak boleh merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali, pengampu dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
yang diperiksa olehnya; atau c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh hakim selain jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah."
12. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya karena:
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi ketua, wakil ketua,
dan hakim pengadilan agama, dan 65 (enam puluh lima) tahun
bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi agama; atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia
dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh
Presiden."
13. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d. melanggar sumpah jabatan; atau
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan
Hakim.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis
Kehormatan Hakim, serta tata cara pembelaan diri diatur lebih lanjut
oleh Ketua Mahkamah Agung.
14. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
Seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri."
15. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
329
Pasal 21
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak
dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (2).
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
paling lama6 (enam) bulan."
16. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan dapat ditangkap atau ditahan atas
perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah
Agung, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana mati; atau
c. disangka telah melakukan kejahatan terhadap kemanan negara."
17. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama, seorang calon
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c . bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
330
(3) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan agama
harus berpengalaman paling singkat 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim
pengadilan agama."
8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi agama, seorang
hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h;
b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun-;
c. pengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil
ketua, pengadilan agama, atau 15 (lima belas) tahun sebagai
hakim pengadilan agama; dan
d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi agama harus
berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim pengadilan
tinggi agama atau 3 (tiga) tahun bagi hakim pengadilan tinggi agama
yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan tinggi agama
harus berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim
pengadilan tinggi agama atau 2 (dua) tahun bagi hakim pengadilan
tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.
9. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Ketua Mahkamah Agung.
(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Ketua Mahkamah Agung."
10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
327
Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, ketua, wakil ketua, dan hakim
pengadilan wajib mengucapkan sumpah menurut agama Islam.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban
hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-
lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita
Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa".
(3) Wakil ketua dan hakim pengadilan agama mengucapkan sumpah di
hadapan ketua pengadilan agama.
(4) Wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi agama serta ketua pengadilan
agama mengucapkan sumpah di hadapan ketua pengadilan tinggi
agama.
(5) Ketua pengadilan tinggi agama mengucapkan sumpah di hadapan
Ketua Mahkamah Agung."
11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar undang-undang, hakim
tidak boleh merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali, pengampu dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
yang diperiksa olehnya; atau c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh hakim selain jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah."
12. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya karena:
a. permintaan sendiri;
328
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi ketua, wakil ketua,
dan hakim pengadilan agama, dan 65 (enam puluh lima) tahun
bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi agama; atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia
dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh
Presiden."
13. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d. melanggar sumpah jabatan; atau
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan
Hakim.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis
Kehormatan Hakim, serta tata cara pembelaan diri diatur lebih lanjut
oleh Ketua Mahkamah Agung.
14. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
Seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri."
15. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
329
Pasal 21
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak
dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (2).
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
paling lama6 (enam) bulan."
16. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan dapat ditangkap atau ditahan atas
perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah
Agung, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana mati; atau
c. disangka telah melakukan kejahatan terhadap kemanan negara."
17. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama, seorang calon
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c . bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
330
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5
(lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan agama, atau menjabat
wakil panitera pengadilan tinggi agama; dan
g. sehat jasmani dan rohani."
18. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tinggi agama, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf g;
b. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
c. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5
(lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 3
(tiga) tahun sebagai panitera pengadilan agama."
19. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan agama, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda atau
4 (empat) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama.
20. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tinggi agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf g;
b. berijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam; dan
331
c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera muda
pengadilan tinggi agama, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda
pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera
pengadilan agama, atau menjabat sebagai panitera pengadilan agama."
21. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan agama, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti
pengadilan agama.
22. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan tinggi agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpangalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti
pengadilan tinggi agama, 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda, 5 (lima)
tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama, atau menjabat
sebagai wakil panitera pengadilan agama.
23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan agama, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri
pada pengadilan agama.
24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
332
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tinggi agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf
e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera pengganti
pengadilan agama atau 8 (delapan) tahun sebagai pegawai negeri pada
pengadilan tinggi agama."
25. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar undang-undang, panitera
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai
Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh panitera selain jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Mahkamah Agung.
26. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan
diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Agung."
27. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Sebelum memangku jabatannya, panitera, wakil panitera, panitera
muda, dan panitera pengganti mengucapkan sumpah menurut agama
Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung dengan memakai atau cara
apa pun juga, tidak Memberi atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapapun juga."
"Saya bersumpah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.
"Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita
Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan perundang-
undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik
negara kita ".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan
orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang panitera,
wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti, yang berbudi baik
dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan."
28. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita, seorang calon harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945;
e. berijazah paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang
sederajat;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai jurusita
pengganti; dan
g. sehat jasmani dan rohani.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita pengganti, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g, dan;
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai
negeri pada pengadilan agama."
29. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Jurusita pengadilan agama diangkat dan diberhentikan oleh Ketua
Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan yang bersangkutan.
(2) Jurusita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh ketua pengadilan
yang bersangkutan."
30. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
(1) Sebelum memangku jabatannya, jurusita atau jurusita pengganti wajib
mengucapkan sumpah menurut agama Islam di hadapan ketua
pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung dengan memakai nama atau
cara apa pun juga, tidak Memberi atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai d.
asar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945, dan segala undang-undang serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan
Republik negara kita ".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan
orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang jurusita atau
jurusita pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan
hukum dan keadilan".
31. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar undang-undang, jurusita
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.
. (2) Jurusita tidak boleh merangkap advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh jurusita selain jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut
oleh Mahkamah Agung."
32. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44
Panitera pengadilan tidak merangkap sekretaris pengadilan.
33. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris, wakil sekretaris pengadilan agama,
dan pengadilan tinggi agama seorang calon harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945;
e. berijazah paling rendah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan; dan g. sehat jasmani
dan rohani.
34. Ketentuan Pasal 46 dihapus.
35. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Ketua Mahkamah Agung.
36. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
(1) Sebelum memangku jabatannya, sekretaris, dan wakil sekretaris
mengucapkan sumpah menurut agama Islam di hadapan ketua
pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk diangkat menjadi
sekretaris/wakil sekretaris akan setia dan taat sepenuhnya kepada
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun
1945, negara, dan pemerintah.
"Saya bersumpah bahwa saya, akan menaati peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang
dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan
tanggung jawab".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi
kehormatan negara, pemerintah, martabat sekretaris/wakil sekretaris
serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara dibandingkan
kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang
menurut sifatnya atau perintah harus saya rahasiakan".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat,
dan bersemangat untuk kepentingan negara".
37. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 49
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
Pasal 47
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah."
38. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek
sengketa itu harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.
(2) bila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek
sengketa itu diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
39. Di antara Pasal 52 dan Pasal 53 disisipkan satu pasal baru yakni
Pasal 52A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 52A
Pengadilan agama Memberi istbat kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah.
40. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk
perkara itu ;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya
pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu ;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat
dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam
perkara itu ; dan
d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah
pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu .
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Mahkamah Agung."
41. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 105
(1) Sekretaris pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum
pengadilan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan
organisasi, dan tata kerja sekretariat diatur oleh Mahkamah Agung.
42. Di antara Pasal 106 dan BAB VII disisipkan satu pasal baru yakni Pasal
106A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 106A
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku peraturan perundang-undangan
pelaksana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasar Undang-Undang ini."
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
negara kita .
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 2006
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
ttd
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK negara kita ,
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita TAHUN 2006 NOMOR 22
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 3 TAHUN 2006
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
L UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945
menentukan dalam Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama
merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada dibawah
Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya dilingkungan
peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu
badan Peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan
penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara
tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, waris, wasiat hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syari’ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama
itu dimaksudkan untuk Memberi dasar hukum kepada
pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebu,
termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan
peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum
Mahkamah Syari’ah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang
jinayah berdasar ganun.
Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan
Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan
hukum warga , khususnya warga muslim. Perluasan itu
antara lain meliputi ekonomi syari’ah. Dalam kaitannya dengan
perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang ada dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara
dapat mempertimbangkat untuk memilih hukum apa yang
dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.
Dalam Usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang
merdeka, sesuai dengan tuntutan informasi di bidang hukum, telah
dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai
mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana
terakhir telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula halnya telah dilakukan
perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahunl985 tentang Mahkamah
Agung dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan adanya pengadilan khusus yang dibentuk
dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh
karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan
Agama pera diatur pula dalam Undang-Undang ini.
Penggantian dan perubahan kedua Undang-Undang itu secara
tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan semua
lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian,
organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan
Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen
Agama berdasar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama perlu disesuaikan. berdasar ketentuan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Pengalihan ke Mahkamah Agung telah dilakukan. Untuk memenuhi
ketentuan dimaksud perlu pula diadakan perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “rakyat pencari keadilan”
yaitu setiap orang baik warga Negara negara kita
maupun orang asing yang mencari keadilan pada
pengadilan di negara kita .
Angka 2
Pasal 3 A
Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama
yaitu pengadilan syari’ah islam yang diatur dengan
Undang-Undang. Mahkamah Syari’ah di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang dib'entuk berdasar
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang oleh
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 15 ayat (2) disebutkan
bahwa: “Peradilan Syari’ah Islam di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam merupakan Pengadilan Khusus
dalam lingkungan peradilan agama sepanjang
kewengan-nya menyangkut kewenangan peradilan
agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan Peradilan Umum”.
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan
agama berada di ibukota kabupaten dan kota, yang
daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau
kota, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya
pengecualian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 11
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 12
Cukup jelas
Angka 7
Pasal 13
Cukup jelas
Angka 8
Pasal 14
Cukup jelas
Angka 9
Pasal 15
Cukup jelas
Angka 10
Pasal 16
Cukup jelas
Angka 11
Pasal 17
Cukup jelas
Angka 12
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 5
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan “sakit jasmani atau
rohani terus-menerus” yaitu sakit yang
menyebabkan yang bersangkutan ternyata
tidak mampu lagi melakukan tugas
kewajibannya dengan baik.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tidak cakap” yaitu
misalnya yang bersangkutan banyak melaku
kan kesalahan besar dalam menjalankan
tugasnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tindak pidana
kejahatan” yaitu tindak pidana yang ancaman
pidananya paling singkat 1 (satu) tahun.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan
tercela” yaitu bila hakim yang bersang
kutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya
baik di dalam maupun di luar pengadilan
merendahkan martabat hakim.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tugas pekerjaannya”
yaitu semua tugas yang dibebankan kepada
yang bersangkutan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf b
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat
alasan dipidana karena melakukan tindakan
pidana kejahatan, yang bersangkutan tidak diberi
kesempatan untuk membela diri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 14
Pasal 20
Cukup jelas
Angka 15
Pasal 21
Cukup jelas
Angka 16
Pasal 25
Cukup jelas
Angka 17
Pasal 27
Cukup jelas
Angka 18
Pasal 28
Cukup jelas
Angka 19
Pasal 29
Cukup jelas
Angka 20
Pasal 30
Cukup Jelas
Angka 22
Pasal 32
Cukup jelas
Angka 23
Pasal 33
Cukup jelas
Angka 24
Pasal 34
Cukup jelas
Angka 25
Pasal 35
Ketentuan ini berlaku juga bagi wakil panitera, panitera
muda, dan panitera pengganti
Angka 26
Pasal 36
Cukup jelas
Angka 27
Pasal 37
Cukup jelas
Angka 28
Pasal 39
Cukup jelas
Angka 29
Pasal 40
Cukup jelas
Angka 30
Pasal 41
Cukup jelas
Angka 21
Pasal 31
Cukup jelas
Angka 32
Pasal 44
Cukup jelas
Angka 33
Pasal 45
Cukup jelas
Angka 34 *
Pasal 46
Cukup jelas
Angka 35
Pasal 47
Cukup jelas
Angka 36
Pasal 48
Cukup jelas
Angka 37
Pasal 49
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang
perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi
syari’ah lainnya.
Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang
beragama Islam” yaitu termasuk orang atau badan
hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal
yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai
dengan ketentuan Pasal ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perkawinan” yaitu hal-
hal yang diatur dalam atau berdasar undang-
Angka 31
Pasal 42
Cukup jelas
undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang
yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga
dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat
Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan
istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama;
11. pengusaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak
mematuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya peng
hidupan oleh suami kepada bekas istri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang
anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang
tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh
pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut;
18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang
anak yang belum cukup umur 18 (delapan
belas) tahun yang ditinggal kedua orang
tuanya;
349
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas
harta benda anak yang ada dibawah
kekuasaannya;
20. penetapan asal-usul seorang anak dan
penetapan pengangkatan anak berdasar
hukum Islam;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian
keterangan untuk melakukan perkawinan
campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang
terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalan
kan menurut peraturan yang lain.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “waris” yaitu penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, melaksanakan pem
bagian harta peninggalan itu , serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “wasiat” yaitu perbuatan
seseorang Memberi suatu benda atau manfaat
kepada orang lain atau lembaga/badan hukum,
yang berlaku setelah yang memberi itu
meninggal dunia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “hibah” yaitu pemberian
suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang atau badan hukum kepada orang lain
atau badan hukum untuk dimiliki.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “wakaf’ yaitu perbuatan
seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingan guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “zakat” yaitu harta yang
wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan
hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai
dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada
yang berhak menerimanya.
Huruf g
Yang dimaksudkan dengan “infaq” yaitu per
buatan seseorang Memberi sesuatu kepada
orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa
makanan, minuman, mendermakan, Memberi
rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada
orang lain berdasar rasa ikhlas, dan karena
Allah Subhanahu Wata’ala.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “shadaqah” yaitu
perbuatan; seseorang Memberi sesuatu kepada
orang lain atau lembaga/badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan
jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah
Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” yaitu
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
a. bank syari’ah;
b . lembaga keuangan mikro syari ’ ah;
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka
menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j . dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Angka 38
Pasal 50
A yat(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini memberi wewenang kepada
pengadilan agama untuk sekaligus memutuskan
sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait
dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49
bila subjek sengketa antara orang-orang yang
beragama islam.
Hal ini menghindari upaya memperlambat atau
mengulur waktu penyelesaian sengketa karena
alasan adanya sengketa milik atau keperdataan
lainnya itu sering dibuat oleh pihak yang
merasa dirugikan dengan adanya gugatan di
pengadilan agama.
Sebaliknya bila subjek yang mengajukan
sengketa hak milk atau keperdataan lain itu
bukan yang menjadi subjek bersengketa di
pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama
if»L ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang
r diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum.
Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika
pihak yang berkeratan telah mengajukan bukti
kepengadilan agama bahwa telah didaftarkan
gugatan di pengadilan negeri terhadap objek
sengketa yang sama dengan sengketa di pengadilan
agama.
Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek
dan tidak terkait dengan objek sengketa yang
diajukan keberatannya, pengadilan agama tidak
perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek
sengketa yang tidak terkait dimaksud.
Angka 39
Pasal 52A
Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri
Agama untuk Memberi penetapan (itsbal) terhadap
kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan
nilai bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan
dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka
Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara
nasional untuk penetapan Ramadhan dan 1 (satu)
Syawal.
Pengadilan agama dapat Memberi keterangan atau
nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan
penentuan waktu shalat.
Angka 40
Pasal 90
Cukup jelas
Angka 41
Pasal 105
Cukup jelas
Angka 42
Pasal 106A
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita NOMOR 4611
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 21 TAHUN 2008
TENTANG
PERBANKAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
Menimbang: a. bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan nasional
negara kita untuk mencapai terciptanya warga adil
dan makmur berdasar demokrasi ekonomi,
dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan
pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan
kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah;
b. bahwa kebutuhan warga negara kita akan jasa-jasa
perbankan syariah semakin meningkat;
c. bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan
dibandingkan dengan perbankan konvensional;
d. bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik
sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu
undang-undang tersendiri;
e. bahwa berdasar pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu membentuk Undang-Undang tentang Perbankan
Syariah;
Mengingat: 1. Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik negara kita
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik negara kita Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik negara kita Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik negara kita Nomor 3790);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
negara kita (Lembaran Negara Republik negara kita
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik negara kita Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik negara kita Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
negara kita Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara
Republik negara kita Tahun 2004 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita
Nomor 4420);
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
negara kita Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik negara kita Nomor 4756);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK negara kita
dan
PRESIDEN REPUBLIK negara kita
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERBANKAN
SYARIAH.
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perbankan Syariah yaitu segala sesuatu yang menyangkut tentang
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.
2. Bank yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari warga
dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada warga
dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat.
3. Bank negara kita yaitu Bank Sentral Republik negara kita sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita
Tahun 1945.
4. Bank Konvensional yaitu Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
secara konvensional dan berdasar jenisnya terdiri atas Bank Umum
Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat.
5. Bank Umum Konvensional yaitu Bank Konvensional yang dalam
kegiatannya Memberi jasa dalam lalu lintas pembayaran.
6. Bank Perkreditan Rakyat yaitu Bank Konvensional yang dalam
kegiatannya tidak Memberi jasa dalam lalu lintas pembayaran.
7. Bank Syariah yaitu Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasar Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
8. Bank Umum Syariah yaitu Bank Syariah yang dalam kegiatannya
Memberi jasa dalam lalu lintas pembayaran.
9. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yaitu Bank Syariah yang dalam
kegiatannya tidak Memberi jasa dalam lalu lintas pembayaran.
10. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, yaitu unit kerja
dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasar Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu
Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari
kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
11. Kantor Cabang yaitu kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung
jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat
tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi kantor cabang itu
melakukan usahanya.
12. Prinsip Syariah yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasar fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
13. Akad yaitu kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan
pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing
pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
14. Rahasia Bank yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpananannya serta
Nasabah Investor dan Investasinya.
15. Pihak Terafiliasi yaitu :
a. komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, dan karyawan Bank
Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS;
b. pihak yang Memberi jasanya kepada Bank Syariah atau UUS,
antara lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai, dan
konsultan hukum; dan/atau
c. pihak yang menurut penilaian Bank negara kita turut serta
memengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung
maupun tidak langsung, antara lain pengendali bank, pemegang
saham dan keluarganya, keluarga komisaris, dan keluarga direksi.
16. Nasabah yaitu pihak yang memakai jasa Bank Syariah dan/atau
UUS.
17. Nasabah Penyimpan yaitu Nasabah yang menempatkan dananya di
Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Simpanan berdasar Akad
antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
18. Nasabah Investor yaitu Nasabah yang menempatkan dananya di Bank
Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasar Akad antara
Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
19. Nasabah Penerima Fasilitas yaitu Nasabah yang memperoleh fasilitas
dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasar Prinsip Syariah.
20. Simpanan yaitu dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank
Syariah dan/atau UUS berdasar Akad wadi’ah atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
358
21. Tabungan yaitu Simpanan berdasar Akad w a d i ’a h atau Investasi
dana berdasar Akad m u d h a r a b a h atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi
tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
22. Deposito yaitu Investasi dana berdasar Akad m u d h a r a b a h atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasar
Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS.
23. Giro yaitu Simpanan berdasar Akad w a d i ’a h atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan memakai cek, bilyet giro, sarana
perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.
24. Investasi yaitu dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank
Syariah dan/atau UUS berdasar Akad m u d h a r a b a h atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk
Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
25. Pembiayaan yaitu penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk m u d h a r a b a h dan m u s y a r a k a h ;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk i j a r a h m u n t a h i y a b i t t a m l i k ,
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang m u r a b a h a h , s a l a m , dan
i s t i s h n a
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang q a r d h \ dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa
berdasar persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau
UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau
diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana itu setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
26. Agunan yaitu jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun
benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada
Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban
Nasabah Penerima Fasilitas.
359
27. Penitipan yaitu penyimpanan harta berdasar Akad antara Bank
Umum Syariah atau UUS dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum
Syariah atau UUS yang bersangkutan tidak memiliki hak
kepemilikan atas harta itu .
28. Wali Amanat yaitu Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan
pemegang surat berharga berdasar Akad w a k a l a h antara Bank
Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga
itu .
29. Penggabungan yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank
atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada
yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan
diri beralih karena hukum kepada Bank yang menerima penggabungan
dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan diri
berakhir karena hukum.
30. Peleburan yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank atau
lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank baru
yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank yang
meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan diri
berakhir karena hukum.
31. Pengambilalihan yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan
hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank
yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank itu .
32. Pemisahan yaitu pemisahan usaha dari satu- Bank menjadi dua badan
usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BABU
ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
Pasal 2
Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip
Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan
kesejahteraan rakyat.
360
Pasal 4
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan
menyalurkan dana warga .
(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk
lembaga b a i t u l m a l , yaitu menerima dana yang berasal dari zakat,
infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya
kepada organisasi pengelola zakat.
(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal
dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (n a z h i r )
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (w a k t f ).
(4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR,
DAN KEPEMILIKAN
Bagian Kesatu
Perizinan
Pasal 5
(1) Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau
UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank
Syariah atau UUS dari Bank negara kita .
(2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi
persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
a. susunan organisasi dan kepengurusan;
b. permodalan;
c. kepemilikan;
d. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
e. kelayakan usaha.
(3) Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bank negara kita .
(4) Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata “syariah” pada
penulisan nama banknya.
361
(5) Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas
frase “Unit Usaha Syariah” setelah nama Bank pada kantor UUS yang
bersangkutan.
(6) Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya
berdasar Prinsip Syariah dengan izin Bank negara kita .
(7) Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum
Konvensional.
(8) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank
Perkreditan Rakyat.
(9) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha
berdasar Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank
dengan izin Bank negara kita .
Pasal 6
(1) Pembukaan Kantor Cabang Bank Syariah dan UUS hanya dapat
dilakukan dengan izin Bank negara kita .
(2) Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenisjenis kantor
lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS hanya dapat dilakukan dengan izin
Bank negara kita .
(3) Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan
hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank
negara kita .
(4) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka
Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar
negeri.
Bagian Kedua
Bentuk Badan Hukum
Pasal 7 '
Bentuk badan hukum Bank Syariah yaitu perseroan terbatas.
362
Bagian Ketiga
Anggaran Dasar
Pasal 8
Di dalam anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi persyaratan
anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan memuat pula ketentuan :
a. pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan
persetujuan Bank negara kita ;
b. Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas
manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan
pertanggungjawaban tahunan,' penunjukkan dan biaya jasa akuntan
publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam
Peraturan Bank negara kita .
Bagian Keempat
Pendirian dan Kepemilikan Bank Syariah
Pasal 9
(1) Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh :
a. warga negara negara kita dan/atau badan hukum negara kita ;
b: warga negara negara kita dan/atau badan hukum negara kita dengan
warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan;
atau
c. pemerintah daerah.
(2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau
dimiliki o leh :
a. warga negara negara kita dan/atau badan hukum negara kita yang
seluruh pemiliknya warga negara negara kita ;
b. pemerintah daerah; atau
c. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b.
(3) Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara
asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank
negara kita .
363
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran
dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank
negara kita .
Pasal 11
Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah
ditetapkan dalam Peraturan Bank negara kita .
Pasal 12
Saham Bank Syariah hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas
nama.
Pasal 13
Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar
modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pasal 14
(1) Warga negara negara kita , warga negara asing, badan hukum negara kita ,
atau badan hukum asing dapat memiliki atau membeli saham Bank
Umum Syariah secara langsung atau melalui bursa efek.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Perubahan kepemilikan Bank Syariah wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16
(1) UUS dapat menjadi Bank Umum Syariah tersendiri setelah mendapat
izin dari Bank negara kita .
(2) Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank negara kita .
364
Pasal 17
(1) Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah wajib
terlebih dahulu mendapat izin dari Bank negara kita .
(2) Dalam hal teijadi Penggabungan atau Peleburan Bank Syariah dengan
Bank lainnya, Bank hasil Penggabungan atau Peleburan itu wajib
menjadi Bank Syariah.
(3) Ketentuan mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Bank Syariah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB IV
JENIS DAN KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN
DANA, DAN LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS
Bagian Kesatu
Jenis dan Kegiatan Usaha
Pasal 18
Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah.
Pasal 19
(1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasar Akad w a d i ’a h atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasar Akad m u d h a r a b a h atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasar Akad
m u d h a r a b a h , Akad m u s y a r a k a h , atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasar Akad m u r a b a h a h , Akad
s a l a m , Akad i s t i s h n a ’, atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
365
e. menyalurkan Pembiayaan berdasar Akad q a r d h atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kepada Nasabah berdasar Akad ijarah dan/atau sewa
beli dalam bentuk i j a r a h m u n t a h i y a b i t t a m l i k atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasar Akad h a w a l a h
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
. h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan
berdasar Prinsip Syariah;
i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat
berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata
berdasar Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad i j a r a h ,
m u s y a r a k a h , m u d h a r a b a h , m u r a b a h a h , k a f a l a h , atau h a w a l a h ' ,
j. membeli surat berharga berdasar Prinsip Syariah yang
diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank negara kita ;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak
ketiga berdasar Prinsip Syariah;
l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasar
suatu Akad yang berdasar Prinsip Syariah;
m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasar Prinsip Syariah;
n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah berdasar Prinsip Syariah;
o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasar Akad
w a k a l a h ;
p. Memberi fasilitas l e t t e r o f c r e d i t atau bank garansi berdasar
Prinsip Syariah; dan
q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang
perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kegiatan usaha UUS meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasar Akad w a d i ’a h atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
366
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasar Akad m u d h a r a b a h atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasar Akad
m u d h a r a b a h , Akad m u s y a r a k a h , atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasar Akad m u r a b a h a h , Akad
s a l a m , Akad i s t i s h n a ’, atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasar Akad q a r d h atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kepada Nasabah berdasar Akad ijarah dan/atau sewa
beli dalam bentuk i j a r a h m u n t a h i y a b i t t a m l i k atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasar Akad h a w a l a h
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan
berdasar Prinsip Syariah;
i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan
atas dasar transaksi nyata berdasar Prinsip Syariah, antara lain,
seperti Akad i j a r a h , m u s y a r a k a h , m u d h a r a b a h , m u r a b a h a h ,
k a f a l a h , atau h a w a l a h ' ,
j. membeli surat berharga berdasar Prinsip Syariah yang
diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank negara kita ;
k. menerima pembayaran dari 'tagihan atas surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak
ketiga berdasar Prinsip Syariah;
l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasar Prinsip Syariah;
m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah berdasar Prinsip Syariah;
n. Memberi fasilitas l e t t e r o f c r e d i t atau bank garansi berdasar
Prinsip Syariah; dan
o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang
perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan
367
dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat pula :
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasar Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah
atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha
berdasar Prinsip Syariah;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi
akibat kegagalan Pembiayaan berdasar Prinsip Syariah, dengan
syarat harus menarik kembali penyertaannya;
d. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasar
Prinsip Syariah;
e. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal;
f. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasar
Prinsip Syariah dengan memakai sarana elektronik;
g. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga
jangka pendek berdasar Prinsip Syariah, baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui pasar uang;
h. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga
jangka panjang berdasar Prinsip Syariah, baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan
i. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum
Syariah lainnya yang berdasar Prinsip Syariah.
(2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2), UUS dapat pula :
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasar Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi
akibat kegagalan Pembiayaan berdasar Prinsip Syariah, dengan
syarat harus menarik kembali penyertaannya;
368
d. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasar
Prinsip Syariah dengan memakai sarana elektronik;
e. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga
jangka pendek berdasar Prinsip Syariah baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui pasar uang; dan
f. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum
Syariah lainnya yang berdasar Prinsip Syariah.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank negara kita dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dari warga dalam bentuk:
1. Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu
berdasar Akad w a d i ’a h atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah; dan
2. Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu berdasar Akad m u d h a r a b a h
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menyalurkan dana kepada warga dalam bentuk :
1. Pembiayaan bagi hasil berdasar Akad m u d h a r a b a h atau
m u s y a r a k a h ;
2. Pembiayaan berdasar Akad m u r a b a h a h , s a l a m , atau i s t i s h n a ';
3. Pembiayaan berdasar Akad q a r d h ;
4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada Nasabah berdasar Akad ijarah atau sewa beli dalam
bentuk i j a r a h m u n t a h i y a b i t t a m l i k ; dan
5. pengambilalihan utang berdasar Akad hawalah;
c. menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan ber
dasarkan Akad w a d i ’a h atau Investasi berdasar Akad m u d h a r a b a h
dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional,
dan UUS; dan
369
e. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah
lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasar per