Tampilkan postingan dengan label hukum islam 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum islam 7. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Desember 2024

hukum islam 7


 AN NEGARA REPUBLIK negara kita  NOMOR 4459


PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita  

NOMOR 7 TAHUN 1989

TENTANG

PERADILAN AGAMA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,

Menimbang : a. bahwa Negara Republik negara kita , sebagai negara 

hukum yang berdasar  Pancasila dan Undang-Undang 

Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan 

bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;

b. bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan itu  dan 

menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam 

hukum diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, 

kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang 

mampu Memberi  pengayoman kepada warga ;

c. bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, 

kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum itu  

yaitu  melalui Peradilan Agama sebagaimana yang 

dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan 

Kehakiman;

d. bahwa pengaturan tentang susunan, kekuasaan, dan 

hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan 

Agama yang selama ini masih beraneka karena 

didasarkan pada:

1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan 

Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152

dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 

116 dan 610);

2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan 

Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan 

Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 

638 dan 639);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 

tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ 

Mahkamah Syar'iyah di Luar Jawa dan Madura 

(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).

e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan itu , dan 

untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 

1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan 

Kehakiman dipandang perlu menetapkan undang- 

undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum 

aeara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;

Mengingat : L Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) Pasal 24, dan Pasal 25 

Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 

(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan 

Lembaran Negara Nomor 2951);

3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985 

Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK negara kita  

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF.


BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama 

Pengertian

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Peradilan Agama yaitu  peradilan bagi orang-orang yang beragama 

Islam.

2. Pengadilan yaitu  Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di 

lingkungan Peradilan Agama.

3. Hakim yaitu  Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada 

Pengadilan Tinggi Agama.

4. Pegawai Pencatat Nikah yaitu  Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor 

Urusan Agama.

5. Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti yaitu  Juru Sita dan atau Juru 

Sita Pengganti pada Pengadilan Agama.

Bagian Kedua 

Kedudukan

Pasal 2

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan 

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai 

perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 3

(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan 

o leh :

a. Pengadilan Agama;

b. Pengadilan Tinggi Agama.

(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada 

Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.


Bagian Ketiga 

Tempat Kedudukan

Pasal 4

(1) Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota 

kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau 

kabupaten.

(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota propinsi, dan 

daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.

Bagian Keempat 

Pembinaan

Pasal 5

(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah 

Agung.

(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan 

dilakukan oleh Menteri Agama.

(3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) 

tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan 

memutus perkara.

BABU

SUSUNAN PENGADILAN

Bagian Pertama 

Umum

Pasal 6

Pengadilan terdiri dari:

1. Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;

2. Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat 

Banding.


Pasal 7

Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.

Pasal 8

Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang.

Pasal 9

(1) Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, 

Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.

(2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim 

Anggota, Panitera, dan Sekretaris.

Pasal 10

(1) Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang 

Wakil Ketua.

(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan 

seorang Wakil Ketua.

(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama yaitu  Hakim Tinggi.

Bagian Kedua

Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, dan Juru Sita 

Paragraf 1

Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim 

Pasal 11

(1) Hakim yaitu  pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.

(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan 

tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Pasal 12

(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai 

negeri dilakukan oleh Menteri Agama.

239

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 

(1) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan 

memutus perkara.

Pasal 13

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama, seorang 

calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

e. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis 

negara kita , termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang 

yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan 

Kontra Revolusi G.30.S/PKI", atau organisasi terlarang yang lain;

f. pegawai negeri;

g. sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;

h. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;

i. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan 

Agama diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun 

sebagai Hakim Pengadilan Agama.

Pasal 14

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama, 

seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) 

huruf a, b, c, d, e, f, g, dan i;

b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;

c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua 

atau Wakil Ketua Pengadilan Agama atau 15 (lima belas) tahun 

sebagai Hakim Pengadilan Agama.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama 

diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai 

Hakim Pengadilan Tinggi Agama atau sekurang-kurangnya 5 (lima) 

tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat 

Ketua Pengadilan Agama.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama 

diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun sebagai 

Hakim Pengadilan Tinggi Agama atau, sekurang-kurangnya 3 (tiga) 

tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat 

Ketua Pengadilan Agama.

Pasal 15

(1) Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara 

atas usul Menteri Agama berdasar  persetujuan Ketua Mahkamah 

Agung.

(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh 

Menteri Agama berdasar  persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 16

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib 

mengucapkan sumpah menurut agama Islam yang berbunyi sebagai 

berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan 

saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan memakai  nama atau 

cara apa pun juga, tidak Memberi  atau menjanjikan barang sesuatu 

kepada siapa pun juga".

"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan 

sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung 

atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian". 

"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan 

mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan 

ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang- 

undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik 

negara kita ".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan 

saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan 

orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik- 

baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil 

Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam 

menegakkan hukum dan keadilan".

(2) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh 

Ketua Pengadilan Agama.

(3) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua 

Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi 

Agama.

(4) Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh Ketua 

Mahkamah Agung.

Pasal 17

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar  undang-undang, Hakim 

tidak boleh merangkap menjadi:

a. pelaksana putusan Pengadilan;

b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara 

yang diperiksa olehnya;

c. pengusaha.

(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.

(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan 

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih 

lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari 

jabatannya karena:

a. permintaan sendiri;

b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;

c. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, 

dan Hakim Pengadilan Agama, dan 63 (enam puluh tiga) tahun 

bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama;

d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.

(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan 

sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden 

selaku Kepala Negara.

Pasal 19

(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat 

dari jabatannya dengan alasan :

a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;

b. melakukan perbuatan tercela;

c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas 

pekerjaannya;

d. melanggar sumpah j abatan;

e. melanggar larangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17.

(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan 

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan e 

dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya 

untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.

(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta 

tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung 

bersama-sama dengan Menteri Agama.

Pasal 20

Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sendirinya

diberhentikan sebagai pegawai negeri.

Pasal 21

(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan 

hormat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat 

diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala 

Negara atas usul Menteri Agama berdasar  persetujuan Ketua 

Mahkamah Agung.

(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana yang 

dimaksud dalam ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana yang 

dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

Pasal 22

(1) bila  terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang 

diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim itu  

diberhentikan sementara dari jabatannya.

(2) bila  seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam perkara 

pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang- 

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa 

ditahan, maka ia dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.


Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan 

hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara 

serta hak-hak pejabat yang dikenakan pemberhentian, diatur dengan 

Peraturan Pemerintah.

Pasal 24

(1) Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.

(2) Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, 

dan Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 25

Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya

atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah

Agung dan Menteri Agama, kecuali dalam h a l:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau

b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam 

dengan pidana mati, atau

c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan 

negara.

Paragraf 2

Panitera

Pasal 26

(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin 

oleh seorang Panitera.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu 

oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa 

orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang Juru Sita.

(3) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi Agama 

dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, 

dan beberapa orang Panitera Pengganti.


Pasal 27

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Agama, seorang 

calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah atau sarjana muda 

hukum yang menguasai hukum Islam;

f. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil 

Panitera atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Agama, 

atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama.

Pasal 28

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama, 

seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

dan d;

b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum 

Islam;

c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil 

Panitera atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan 

Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Pengadilan 

Agama.

Pasal 29

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Agama, 

seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

d, dan e;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera 

Muda atau 6 (enam) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan 

Agama.


Pasal 30

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi 

Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

dan d;

b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum 

Islam;

c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera 

Muda atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan 

Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan 

Agama, atau menjabat Panitera Pengadilan Agama.

Pasal 31

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Agama, 

seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

d, dan e;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera 

Pengganti Pengadilan Agama.

Pasal 32

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi 

Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

d, dan e;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera 

Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai 

Panitera Muda atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Pengganti 

Pengadilan Agama, atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Agama.

Pasal 33

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama, 

seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

d, dan e;


b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai

negeri pada Pengadilan Agama.

Pasal 34

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi 

Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, 

d, dan e;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Panitera 

Pengganti Pengadilan Agama atau 10 (sepuluh) tahun sebagai pegawai 

negeri pada Pengadilan Tinggi Agama.

Pasal 35

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar  undang-undang, Panitera 

tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang 

berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai 

Panitera.

(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.

(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan 

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih 

lanjut oleh Menteri Agama berdasar  persetujuan Ketua Mahkamah 

Agung.

Pasal 36

Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti 

Pengadilan diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Agama.

Pasal 37

Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera 

Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpahnya menurut agama Islam 

oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Bunyi sumpah yaitu  sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya 

ini, langsung atau tidak langsung dengan memakai  nama atau cara apa 

pun juga, tidak Memberi  atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa 

pun juga".


"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan 

sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau 

tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan 

serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang- 

Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang 

berlaku bagi Negara Republik negara kita ".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini 

dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan 

berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil- 

adilnya seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera, Panitera 

Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan 

hukum dan keadilan".

Paragraf 3 

Juru Sita

Pasal 38

Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita 

Pengganti.

Pasal 39

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita, seorang calon harus memenuhi 

syarat-syarat sebagai berikut:

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

e. berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas;

f. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Juru 

Sita Pengganti.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita Pengganti, seorang calon harus 

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a, 

b, c, d, dan e;

248

Pasal 40

(1) Juru Sita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama atas usul 

Ketua Pengadilan Agama.

(2) Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan 

Agama.

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai

pegawai negeri pada Pengadilan Agama.

Pasal 41

Sebelum memangku jabatannya, Juru Sita dan Juru Sita Pengganti 

diambil sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan Agama.

Bunyi sumpah yaitu  sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya 

ini, langsung atau tidak langsung, dengan memakai  nama atau cara apa 

pun juga, tidak Memberi  atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa 

pun juga".

"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan 

sesusatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau 

tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan 

serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang- 

Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang 

berlaku bagi Negara Republik negara kita ".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini 

dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan 

berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil- 

adilnya seperti layaknya bagi seorang Juru Sita, Juru Sita Pengganti yang 

berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

Pasal 42

(1) Kecuali ditentutakan lain oleh atau berdasar  undang-undang, Juru 

Sita tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang 

berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.

(2) Juni Sita tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.

249

(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Juru Sita selain jabatan 

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih 

lanjut oleh Menteri Agama berdasar  persetujuan Ketua Mahkamah 

Agung.

Bagian Ketiga 

Sekretaris

Pasal 43

Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin 

oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.

Pasal 44

Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.

Pasal 45

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Agama, 

seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah, atau sarjana muda 

hukum yang menguasai hukum Islam atau sarjana muda administrasi;

f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan.

Pasal 46

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi 

Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, b, c, 

d, dan f;

b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum 

Islam.


Pasal 47

Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri 

Agama.

Pasal 48

Sebelum memangku jabatannya Wakil Sekretaris diambil sumpahnya 

menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Bunyi sumpah yaitu  sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah :

bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan taat 

sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan 

Pemerintah;

bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang 

berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya 

dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;

bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, 

Pemerintah, dan martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa 

mengutamakan kepentingan negara dibandingkan  kepentingan saya sendiri, 

seseorang atau golongan;

bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau 

menurut perintah harus saya rahasiakan;

bahwa saya, akan bekeija dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat 

untuk kepentingan negara".



KEKUASAAN PENGADILAN 

Pasal 49

(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan 

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang 

yang beragama Islam di bidang :

a. perkawinan;

b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasar  hukum 

Islam;

c. wakaf dan shadaqah.

251

(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a 

ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasar  undang-undang 

mengenai perkawinan yang berlaku.

(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b 

ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan 

mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli 

waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan itu .

Pasal 50

Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain

dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka

khusus mengenai objek yang menjadi sengketa itu  harus diputus lebih

dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Pasal 51

(1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara 

yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.

(2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di 

tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar- 

Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

Pasal 52

(1) Pengadilan dapat Memberi  keterangan, pertimbangan, dan nasihat 

tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, 

bila  diminta.

(2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 

49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain 

oleh atau berdasar  undang-undang.

Pasal 53

(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan 

tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di daerah 

hukumnya.

(2) Selain tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), Ketua 

Pengadilan Tinggi Agama di daerah hukumnya melakukan pengawasan

252

terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga 

agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam 

ayat (1) dan ayat (2), Ketua Pengadilan dapat Memberi  petunjuk, 

teguran, dan peringatan, yang dipandang perlu.

(4) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ayat (2), dan 

ayat (3), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa 

dan memutus perkara.



HUKUM ACARA

Bagian Pertama 

Umum

Pasal 54

Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan 

Peradilan Agama yaitu  Hukum Acara Perdata yang berlaku pada 

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur 

secara khusus dalam Undang-undang ini.

Pasal 55

Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimuali sesudah diajukannya 

suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah 

dipanggil menurut ketentuan yang berlaku.

Pasal 56

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu 

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang 

jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup 

kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.

Pasal 57

(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN berdasar  

KETUHANAN YANG MAHA ESA.

253

(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI

KEADILAN berdasar  KETUHANAN YANG MAHA ESA.

(3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 58

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan 

orang.

(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras- 

kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya 

peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 59

(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali bila  

undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan 

penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa 

pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan 

sidang tertutup.

(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat

(1) mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau 

putusannya batal menurut hukum.

(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.

Pasal 60

Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan memiliki  kekuatan 

hukum bila  diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 61

Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan 

banding oleh pihak yang berperkara, kecuali bila  undang-undang 

menentukan lain.

Pasal 62

(1) Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus memuat alasan- 

alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari

peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis 

yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangai oleh Ketua dan 

Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada 

waktu penetapan dan putusan itu diucapkan.

(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua dan 

Panitera yang bersidang.

Pasal 63

Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat 

dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.

Pasal 64

Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau 

kasasi, pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali bila  dalam amarnya 

menyatakan penetapan atau putusan itu  dapat dijalankan lebih dahulu 

meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi.

Bagian Kedua

Pemeriksaan Sengketa Perkawinan

Paragaraf1 

Umum

Pasal 65

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah 

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan 

kedua belah pihak.

Paragraf 2 

Cerai Talak

Pasal 66

(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya 

mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang 

guna menyaksikan ikrar talak.

(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan 

kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman 

termohon, kecuali bila  termohon dengan sengaja meninggalkan 

tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan 

diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat 

kediaman pemohon.

(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, 

maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya 

meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada 

Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta 

bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan 

cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

Pasal 67

Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas

memuat:

a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami, dan 

termohon, yaitu istri;

a. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.

Pasal 68

(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim 

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat 

permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.

(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 69

Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan

Pasal 79, Pasal 80 ayat (2), Pasal 82, dan Pasal 83.

Pasal 70

(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak 

mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka 

Pengadilan menetapkan bahwa permohonan itu  dikabulkan.

256

(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri 

dapat mengajukan banding.

(3) Setelah penetapan itu  memperoleh kekuatan hukum tetap, 

Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan 

memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang 

itu .

(4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam 

suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar 

talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.

(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak 

datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami 

atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau 

wakilnya.

(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari 

sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau 

tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara 

sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan itu , dan 

perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasar  alasan yang sama.

Pasal 71

(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar 

talak.

(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan 

putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan itu  tidak dapat 

dimintakan banding atau kasasi.

Pasal 72

Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 71 berlaku

ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),

serta Pasal 85.

Paragraf 3 

Cerai Gugat

Pasal 73

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada 

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman

penggugat, kecuali bila  penggugat dengan sengaja meninggalkan 

tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan 

perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi 

tempat kediaman tergugat.

(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, 

maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya 

meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada 

Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Pasal 74

bila  gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak 

mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, 

sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan 

yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang 

menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 75

bila  gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat 

mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan 

kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk 

memeriksakan diri kepada dokter.

Pasal 76

(1) bila  gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk 

mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi 

yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami 

istri.

(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat 

persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih 

dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi 

hakam.

Pasal 77

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan 

penggugat atau tergugat atau berdasar  pertimbangan bahaya yang

mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri itu  

untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

Pasal 78

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan peng­

gugat, Pengadilan dapat :

a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;

b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan 

pendidikan anak;

c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang- 

barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang 

menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Pasal 79

Gugatan perceraian gugur bila  suami atau istri meninggal sebelum 

adanya putusan Pengadilan.

Pasal 80

(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim 

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat 

gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.

(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 81

(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam 

sidang terbuka untuk umum.

(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya 

terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 82

(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha 

mendamaikan kedua pihak.

(2) Dalam sidang perdamaian itu , suami istri harus datang secara 

pribadi, kecuali bila  salah satu pihak bertempat kediaman di luar 

negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili 

oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

259

(3) bila  kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka 

penggugat pada sidang perdamaian itu  harus menghadap secara 

pribadi.

(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan 

pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 83

bila  tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan

perceraian baru berdasar  alasan yang ada dan telah diketahui oleh

penggugat sebelum perdamaian tercapai.

Pasal 84

(1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk 

berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan 

satu helai salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan 

hukum tetap, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang 

wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk 

mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang.disediakan 

untuk itu.

(2) bila  perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah 

Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu 

helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang 

telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan 

pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan 

dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah itu  dicatat pada 

bagian pinggir daftar catatan perkawinan.

(3) bila  perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai 

salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) 

disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat 

didaftarkannya perkawinan mereka di negara kita .

(4) Panitera berkewajiban Memberi  akta cerai sebagai surat bukti cerai 

kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah 

putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap itu  diberitahukan 

kepada para pihak.


Pasal 85

Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud 

dalam Pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau 

pejabat Pengadilan yang ditunjuk, bila  yang demikian itu mengakibatkan 

kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.

Pasal 86

(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta 

bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan 

perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan 

hukum tetap.

(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih 

dahulu perkara harta bersama itu  sampai ada putusan Pengadilan 

dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan 

hukum tetap tentang hal itu.

Paragraf 4

Cerai Dengan Alasan Zina 

Pasal 87

(1) bila  permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu 

pihak melakukan zina, sedang  pemohon atau penggugat tidak dapat 

melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan 

itu , dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu 

bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti 

tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat 

maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya 

dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.

(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk mene­

guhkan sanggahannya dengan cara yang sama.

Pasal 88

(1) bila  sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) 

dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan 

dengan cara li'an.

261

(2) bila  sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) 

dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum 

acara yang berlaku.

Bagian Ketiga 

Biaya Perkara

Pasal 89

(1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat 

atau pemohon.

(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan 

merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam 

penetapan atau putusan akhir.

Pasal 90

(1) Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:

a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk 

perkara itu;

b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya 

pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu;

c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat 

dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan oleh Pengadilan dalam 

perkara itu;

d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah 

Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu.

(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan 

Mahkamah Agung.

Pasal 91

(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 

harus dimuat dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.

(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada salah satu pihak 

berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam perkara itu, 

harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan 

Pengadilan.

262

BAB V

KETENTUAN-KETENTUAN LAIN 

Pasal 92

Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.

Pasal 93

Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat- 

surat lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan 

kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan.

Pasal 94

Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasar  

nomor urut, tetapi bila  ada  perkara tertentu yang karena menyangkut 

kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan.

Pasal 95

Ketua Pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan 

penetapan atau putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum 

tetap.

Pasal 96

Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara 

dan mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.

Pasal 97

Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti 

bertugas membantu Hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang 

Pengadilan.

Pasal 98

Panitera bertugas melaksanakan penetapan atau putusan Pengadilan.

263

Pasal 99

(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di 

Kepaniteraan.

(2) Dalam daftar perkara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tiap 

perkara diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.

Pasal 100

Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan 

Pengadilan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 101

(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, penetapan 

atau putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan 

pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lain 

yang disimpan di Kepaniteraan.

(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak 

boleh dibawa keluar dari ruangan Kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua 

Pengadilan berdasar  ketentuan undang-undang.

(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan atau turunan penetapan atau 

putusan, risalah, berita acara, akta, dan surat-surat lain diatur oleh 

Mahkamah Agung.

Pasal 102

Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja Kepaniteraan Pengadilan 

diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

Pasal 103

(1) Juru Sita bertugas :

a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;

b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan 

pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara- 

cara berdasar  ketentuan undang-undang,

c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan;

d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan 

kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

264

(2) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan 

yang bersangkutan.

Pasal 104

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Juru Sita diatur 

oleh Mahkamah Agung.

Pasal 105

(1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum 

Pengadilan.

(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja 

Sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN 

Pasal 106

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini;

1. semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai 

Badan Peradilan Agama menurut Undang-undang ini;

2. semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan 

Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasar  

Undang-undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak 

bertentangan dengan Undang-undang ini.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP 

Pasal 107

(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:

a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura 

(Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 

Nomor 116 dan Nomor 610);

b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar 

untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur 

(Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);

265

c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang 

Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar 

Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99), dan

d. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) 

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 

(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran 

Negara Nomor 3019), dinyatakan tidak berlaku.

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 236 a Reglemen 

negara kita  yang diperbaharui (RIB), Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, 

mengenai permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di 

luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yangdilakukan 

berdasar  hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.

Pasal 108

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- 

undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 

negara kita .

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 29 Desember 1989

PRESIDEN REPUBLIK negara kita 

ttd..

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta 

pada tanggal 29 Desember 1989

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA 

REPUBLIK negara kita ,

ttd.

MOERDIONO

266

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita  

NOMOR 7 TAHUN 1989 

TENTANG

PERADILAN AGAMA

UMUM

1. Dalam Negara Hukum Republik negara kita  yang berdasar  Pancasila 

dan Undang-Undang Dasar 1945, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan 

kepastian hukum dalam sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan 

hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana 

perikehidupan yang aman, tenteram, dan, tertib seperti yang 

diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu, 

untuk mewujudkan hal-hal itu  dibutuhkan adanya lembaga yang 

bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna 

menegakkan hukum dan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga 

untuk menegakkan hukum dalam mencapai keadilan, kebenaran, 

ketertiban, dan kepastian hukum yaitu  badan-badan peradilan 

sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 

1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang 

masing-masing memiliki  lingkup kewenangan mengadili perkara 

atau sengketa di bidang tertentu dan salah satunya yaitu  Badan 

Peradilan Agama.

Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum Badan 

Peradilan Agama sebelum Undang-undang ini yaitu  :

267

a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura 

(Staatsblad 1882 Nomor 152 dan Staatsblad 1937 Nomor 116 dan 

Nomor 610);

b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar 

untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur 

(Staatsblad 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);

c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang 

Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar 

Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).

Keragaman dasar hukum Peradilan Agama itu  mengaki­

batkan beragamnya pula susunan, kekuasaan, dan hukum acara 

Peradilan Agama.

Dalam rangka penerapan Wawasan Nusantara di bidang hukum 

yang merupakan pengejawantahan Pancasila sebagai sumber dari 

segala sumber hukum, maka keragaman itu  perlu segera diakhiri 

demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama 

dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional yang berdasar  

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya 

ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 14 

Tahun 1970 diperlukan adanya perombakan yang bersifat mendasar 

terhadap segala peraturan perundang-undangan yang mengatur Badan 

Peradilan Agama itu  di atas dan menyesuaikannya dengan 

Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan 

Kehakiman yang merupakan induk dan kerangka umum serta 

mempakan asas dan pedoman bagi semua lingkungan peradilan.

Dengan demikian, Undang-undang yang mengatur Susunan, 

Kekuasaan, dan Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan 

Agama ini merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas yang 

tercantum dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok 

Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, 

Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara 

Nomor 2951).

2. Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Agama, dalam 

Undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan 

Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung, 

sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh Undang-undang 

Nomor 14 Tahun 1970.

268

Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum 

acara, kedudukan para Hakim, dan segi-segi administrasi lain pada 

Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk 

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang- 

orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, 

hibah, wakaf, dan shadaqah berdasar  hukum Islam.

Bidang perkawinan yang dimaksud disini yaitu  hal-hal yang 

diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 

(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara 

Nomor 3019).

Bidang kewarisan yaitu  mengenai penentuan siapa-siapa yang 

menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian 

masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta 

peninggalan itu , bilamana pewarisan itu  dilakukan 

berdasar  hukum Islam.

Sehubungan dengan hal itu , para pihak sebelum berperkara 

dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan 

dipergunakan dalam pembagian warisan.

Dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan Pengadilan 

dalam Lingkungan Peradilan Agama di seluruh wilayah Nusantara, 

maka oleh Undang-undang ini kewenangan Pengadilan Agama di Jawa 

dan Madura serta sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur 

mengenai perkara kewarisan yang dicabut pada tahun 1937, 

dikembalikan dan disamakan dengan kewenangan Pengadilan Agama 

di daerah-daerah yang lain.

Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding 

terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan 

merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa 

mengadili antar-Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

3. Mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnya beban yang hams 

dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang besar 

terhadap tata cara dan pengelolaan administrasi Pengadilan. Hal ini 

sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek ketertiban dalam 

menyelenggarakan administrasi, baik di bidang perkara maupun 

kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan lain-lain, tetapi 

juga akan mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Peradilan itu 

sendiri. Oleh karena itu, penyelenggaraan administrasi Peradilan dalam 

Undang-undang ini dibedakan menumt jenisnya dan dipisahkan

269

penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggung­

jawaban tetap dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu Panitera yang 

merangkap sebagai Sekretaris.

Selaku Panitera, ia menangani administrasi perkara dan hal-hal 

administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial). Dalam 

pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh seorang Wakil Panitera dan 

beberapa orang Panitera Muda.

Selaku Sekretaris, ia menangani administrasi umum seperti 

administrasi kepegawaian dan sebagainya. Dalam pelaksanaan 

tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.

Dengan demikian, staf Kepaniteraan dapat memusatkan perhatian 

terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim dalam bidang 

peradilan, sedang  tugas administrasi yang lain dapat dilaksanakan 

oleh staf Sekretariat.

4. Hakim yaitu  unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan 

peradilan. Oleh karena itu, maka syarat-syarat pengangkatan dan 

pemberhentian serta tata cara pengangkatan dan pemberhentiannya 

diatur dalam Undang-undang ini.

Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala 

Negara atas usul Menteri Agama berdasar  persetujuan Ketua 

Mahkamah Agung.

Agar Pengadilan sebagai penyelenggara Kekuasaan Kehakiman 

bebas dalam Memberi  keputusan, perlu adanya jaminan bahwa, baik 

Pengadilan maupun Hakim dalam melaksanakan tugas terlepas dari 

pengaruh Pemerintah dan pengaruh yang lain.

Agar tugas penegakan hukum dan keadilan itu dapat dilaksanakan 

oleh Pengadilan, maka dalam Undang-undang ini dicantumkan 

persyaratan yang senantiasa harus dipenuhi oleh seorang Hakim, seperti 

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berwibawa, jujur, adil, dan 

berkelakuan tidak tercela.

Untuk memperoleh hal itu  di atas maka dalam setiap 

pengangkatan, pemberhentian, mutasi, kenaikan pangkat, tindakan atau 

hukuman administrasi terhadap Hakim Pengadilan Agama perlu adanya 

kerjasama, konsultasi, dan koordinasi antara Mahkamah Agung dan 

Departemen Agama.

Agar para pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik moril 

maupun materiil, maka perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai

270

tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan, khususnya 

para Hakim; demikian pula mengenai kepangkatan dan gajinya.

Untuk lebih mengukuhkan kehormatan dan kewibawaan Hakim 

serta Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian) para Hakim 

dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi Hakim yang 

diatur dalam Undang-undang ini.

Selain itu, diadakan juga larangan-larangan bagi para Hakim 

untuk merangkap jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan 

pengadilan, wali, pengampu, dan setiap jabatan yang bersangkutan 

dengan suatu perkara yang akan atau sedang diadili olehnya.

Namun, belum cukup hanya dengan memerinci larangan-larangan 

seperti itu  di atas. Agar Peradilan dapat beijalan dengan efektif, 

maka Pengadilan Tinggi Agama diberi tugas pengawasan terhadap 

Pengadilan Agama di dalam daerah hukumnya. Hal ini akan 

meningkatkan koordinasi antar-Pengadilan Agama dalam daerah 

hukum suatu Pengadilan Tinggi Agama, yang pasti akan bermanfaat 

dalam kesatuan putusan yang dijatuhkan, karena Pengadilan Tinggi 

Agama dalam melakukan pengawasan itu  dapat Memberi  

teguran, peringatan, dan petunjuk. Kecuali itu, perbuatan dan kegiatan 

Hakim secara langsung dapat diawasi sehingga jalannya peradilan yang 

sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan akan teijamin.

Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan sangkaan keras, bahwa 

Hakim melakukan perbuatan tercela, melakukan kejahatan dan 

kelalaian yang terus menerus dalam menjalankan tugas pekerjaannya, 

dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh 

Presiden selaku Kepala Negara setelah diberi kesempatan membela 

diri.

Hal itu dicantumkan dengan tegas dalam Undang-undang ini, 

mengingat luhur dan mulianya tugas Hakim, sedang  dalam 

kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya tetap berlaku ancaman- 

ancaman terhadap perbuatan tercela sebagaimana ditetapkan dalam 

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin 

Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50).

5. Undang-undang ini selain mengatur susunan dan kekuasaan juga 

mengatur Hukum Acara Peradilan Agama.

Bagaimanapun sempurnanya lembaga peradilan itu dengan 

penataan susunan organisasinya dan penegasan kekuasaannya, namun 

bila  alat untuk dapat menegakkan dan mempertahankan

271

kekuasaannya itu belum jelas, maka lembaga peradilan itu  tidak 

akan dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik. Oleh 

karena itu maka pengaturan Hukum Acara Peradilan Agama itu sangat 

penting dan karenanya pula maka sekaligus diatur dalam Undang- 

undang ini.

Hukum Acara Peradilan Agama selama ini masih ada  dalam 

berbagai peraturan dan surat edaran, baik dalam Staatsblad, Peraturan 

Pemerintah, Surat Edaran Mahkamah Agung dan Departemen Agama 

maupun dalam Undang-undang Perkawinan dan segala peraturan 

pelaksanaannya.

Prinsip-prinsip pokok peradilan yang telah ditetapkan dalam 

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, antara lain ketentuan bahwa 

sidang pengadilan harus terbuka untuk umum, setiap keputusan dimulai 

dengan DEMI KEADILAN berdasar  KETUHANAN YANG  

MAHA ESA, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya 

ringan dan ketentuan-ketentuan yang lain, dalam Undang-undang ini 

lebih ditegaskan dan dicantumkan kembali.

Karena Peradilan Agama merupakan peradilan khusus dengan 

kewenangan mengadili perkara-perkara tertentu dan untuk golongan 

rakyat tertentu sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan Pasal 10 

ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu mengenai 

perkara perdata tertentu antara orang-orang yang beragama Islam, maka 

hukum acara perdata pada Peradilan Umum oleh Undang-undang ini 

dinyatakan berlaku pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan 

Agama, kecuali mengenai hal-hal yang secara khusus diatur oleh 

Undang-undang ini.

6. Peradilan Agama yaitu  salah satu dari empat lingkungan peradilan 

negara yang dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya 

sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan- 

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Peradilan Agama yang kewenangannya mengadili perkara-perkara 

tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu, yaitu mereka yang 

beragama Islam, sejajar dengan peradilan yang lain. Oleh karena itu, 

hal-hal yang dapat mengurangi kedudukan Peradilan Agama oleh 

Undang-undang ini dihapus, seperti pengukuhan keputusan Pengadilan 

Agama oleh Pengadilan Negeri.

Sebaliknya untuk memantapkan kemandirian Peradilan Agama 

oleh Undang-undang ini diadakan Juru Sita, sehingga Pengadilan

272

Agama dapat melaksanakan keputusannya sendiri, dan tugas-tugas 

kepaniteraan dan kesekretariatan tidak terganggu oleh tugas-tugas 

kejurusitaan.

7. Di samping itu perkara-perkara di bidang perkawinan merupakan 

sengketa keluarga yang memerlukan penanganan secara khusus sesuai 

dengan amanat Undang-undang Perkawinan. Oleh karena itu, maka 

dalam Undang-undang ini diatur secara khusus hal-hal yang berkenaan 

dengan sengketa perkawinan itu  dan sekaligus untuk 

meningkatkan pengaturan hukum acara sengketa perkawinan yang 

sampai saat diundangkannya Undang-undang ini masih diatur dalam 

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Undang-undang Perkawinan bertujuan antara lain melindungi 

kaum wanita pada umumnya dan pihak istri pada khususnya, namun 

dalam hal gugatan perceraian yang diajukan oleh istri, Peraturan 

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa gugatan harus 

diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat 

kediaman tergugat sesuai dengan prinsip hukum acara perdata umum.

Untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam 

Undang-undang ini diadakan perubahan, tidak diajukan ke Pengadilan 

yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat tetapi ke 

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediman 

penggugat.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

273

Pasal 4

Ayat (1)

Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di 

kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya 

meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup 

kemungkinan adanya pengecualian.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Usul pembentukan Pengadilan Agama diajukan oleh Menteri Agama 

berdasar  persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas

274

Ayat (3)

Cukup jelas

A ya t (2)

C ukup  je la s

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)

Hakim yaitu  pegawai negeri sehingga baginya berlaku Undang- 

undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. 

Oleh karena itu, Menteri Agama wajib melakukan pemb