AN NEGARA REPUBLIK negara kita NOMOR 4459
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
Menimbang : a. bahwa Negara Republik negara kita , sebagai negara
hukum yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan
bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;
b. bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan itu dan
menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam
hukum diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan,
kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang
mampu Memberi pengayoman kepada warga ;
c. bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan,
kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum itu
yaitu melalui Peradilan Agama sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman;
d. bahwa pengaturan tentang susunan, kekuasaan, dan
hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama yang selama ini masih beraneka karena
didasarkan pada:
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan
Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152
dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor
116 dan 610);
2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan
Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan
Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor
638 dan 639);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957
tentang Pembentukan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar'iyah di Luar Jawa dan Madura
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).
e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan itu , dan
untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dipandang perlu menetapkan undang-
undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum
aeara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;
Mengingat : L Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) Pasal 24, dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK negara kita
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Peradilan Agama yaitu peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam.
2. Pengadilan yaitu Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di
lingkungan Peradilan Agama.
3. Hakim yaitu Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada
Pengadilan Tinggi Agama.
4. Pegawai Pencatat Nikah yaitu Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor
Urusan Agama.
5. Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti yaitu Juru Sita dan atau Juru
Sita Pengganti pada Pengadilan Agama.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 3
(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan
o leh :
a. Pengadilan Agama;
b. Pengadilan Tinggi Agama.
(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 4
(1) Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota
kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten.
(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota propinsi, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 5
(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan
dilakukan oleh Menteri Agama.
(3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
BABU
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
Pengadilan terdiri dari:
1. Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;
2. Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat
Banding.
Pasal 7
Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.
Pasal 8
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang.
Pasal 9
(1) Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.
(2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim
Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
Pasal 10
(1) Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang
Wakil Ketua.
(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan
seorang Wakil Ketua.
(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama yaitu Hakim Tinggi.
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, dan Juru Sita
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal 11
(1) Hakim yaitu pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan
tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Pasal 12
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai
negeri dilakukan oleh Menteri Agama.
239
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
negara kita , termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang
yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan
Kontra Revolusi G.30.S/PKI", atau organisasi terlarang yang lain;
f. pegawai negeri;
g. sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
h. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
i. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan
Agama diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Agama.
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf a, b, c, d, e, f, g, dan i;
b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua
atau Wakil Ketua Pengadilan Agama atau 15 (lima belas) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Agama.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama
diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Tinggi Agama atau sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat
Ketua Pengadilan Agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama
diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Tinggi Agama atau, sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat
Ketua Pengadilan Agama.
Pasal 15
(1) Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara
atas usul Menteri Agama berdasar persetujuan Ketua Mahkamah
Agung.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama berdasar persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib
mengucapkan sumpah menurut agama Islam yang berbunyi sebagai
berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan memakai nama atau
cara apa pun juga, tidak Memberi atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapa pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung
atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-
undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik
negara kita ".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan
orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil
Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan".
(2) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh
Ketua Pengadilan Agama.
(3) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua
Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi
Agama.
(4) Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh Ketua
Mahkamah Agung.
Pasal 17
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar undang-undang, Hakim
tidak boleh merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan Pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
yang diperiksa olehnya;
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena:
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua,
dan Hakim Pengadilan Agama, dan 63 (enam puluh tiga) tahun
bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan
sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden
selaku Kepala Negara.
Pasal 19
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat
dari jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d. melanggar sumpah j abatan;
e. melanggar larangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan e
dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya
untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta
tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung
bersama-sama dengan Menteri Agama.
Pasal 20
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri.
Pasal 21
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan
hormat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala
Negara atas usul Menteri Agama berdasar persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Pasal 22
(1) bila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang
diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim itu
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) bila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam perkara
pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa
ditahan, maka ia dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan
hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara
serta hak-hak pejabat yang dikenakan pemberhentian, diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
(2) Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua,
dan Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 25
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya
atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Agama, kecuali dalam h a l:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana mati, atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan
negara.
Paragraf 2
Panitera
Pasal 26
(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin
oleh seorang Panitera.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu
oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa
orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang Juru Sita.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi Agama
dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda,
dan beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah atau sarjana muda
hukum yang menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil
Panitera atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Agama,
atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
dan d;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil
Panitera atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan
Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Pengadilan
Agama.
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera
Muda atau 6 (enam) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan
Agama.
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
dan d;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera
Muda atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan
Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan
Agama, atau menjabat Panitera Pengadilan Agama.
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Agama.
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai
Panitera Muda atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Agama, atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Agama.
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Agama.
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Agama atau 10 (sepuluh) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Tinggi Agama.
Pasal 35
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasar undang-undang, Panitera
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai
Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut oleh Menteri Agama berdasar persetujuan Ketua Mahkamah
Agung.
Pasal 36
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
Pengadilan diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Agama.
Pasal 37
Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpahnya menurut agama Islam
oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Bunyi sumpah yaitu sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya
ini, langsung atau tidak langsung dengan memakai nama atau cara apa
pun juga, tidak Memberi atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa
pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-
Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang
berlaku bagi Negara Republik negara kita ".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan
hukum dan keadilan".
Paragraf 3
Juru Sita
Pasal 38
Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita
Pengganti.
Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita, seorang calon harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Juru
Sita Pengganti.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita Pengganti, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
b, c, d, dan e;
248
Pasal 40
(1) Juru Sita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama atas usul
Ketua Pengadilan Agama.
(2) Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan
Agama.
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
pegawai negeri pada Pengadilan Agama.
Pasal 41
Sebelum memangku jabatannya, Juru Sita dan Juru Sita Pengganti
diambil sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan Agama.
Bunyi sumpah yaitu sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya
ini, langsung atau tidak langsung, dengan memakai nama atau cara apa
pun juga, tidak Memberi atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa
pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesusatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-
Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang
berlaku bagi Negara Republik negara kita ".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya seperti layaknya bagi seorang Juru Sita, Juru Sita Pengganti yang
berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 42
(1) Kecuali ditentutakan lain oleh atau berdasar undang-undang, Juru
Sita tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.
(2) Juni Sita tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
249
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Juru Sita selain jabatan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih
lanjut oleh Menteri Agama berdasar persetujuan Ketua Mahkamah
Agung.
Bagian Ketiga
Sekretaris
Pasal 43
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin
oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Pasal 44
Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.
Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah, atau sarjana muda
hukum yang menguasai hukum Islam atau sarjana muda administrasi;
f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan.
Pasal 46
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, b, c,
d, dan f;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam.
Pasal 47
Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Agama.
Pasal 48
Sebelum memangku jabatannya Wakil Sekretaris diambil sumpahnya
menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Bunyi sumpah yaitu sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah :
bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan
Pemerintah;
bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya
dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara,
Pemerintah, dan martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa
mengutamakan kepentingan negara dibandingkan kepentingan saya sendiri,
seseorang atau golongan;
bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau
menurut perintah harus saya rahasiakan;
bahwa saya, akan bekeija dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat
untuk kepentingan negara".
KEKUASAAN PENGADILAN
Pasal 49
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang :
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasar hukum
Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
251
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a
ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasar undang-undang
mengenai perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b
ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan itu .
Pasal 50
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain
dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka
khusus mengenai objek yang menjadi sengketa itu harus diputus lebih
dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
(2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di
tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar-
Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Pasal 52
(1) Pengadilan dapat Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat
tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya,
bila diminta.
(2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain
oleh atau berdasar undang-undang.
Pasal 53
(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di daerah
hukumnya.
(2) Selain tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), Ketua
Pengadilan Tinggi Agama di daerah hukumnya melakukan pengawasan
252
terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga
agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2), Ketua Pengadilan dapat Memberi petunjuk,
teguran, dan peringatan, yang dipandang perlu.
(4) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ayat (2), dan
ayat (3), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara.
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 54
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama yaitu Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimuali sesudah diajukannya
suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah
dipanggil menurut ketentuan yang berlaku.
Pasal 56
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang
jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup
kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.
Pasal 57
(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN berdasar
KETUHANAN YANG MAHA ESA.
253
(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI
KEADILAN berdasar KETUHANAN YANG MAHA ESA.
(3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 58
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.
(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-
kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 59
(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali bila
undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan
penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa
pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan
sidang tertutup.
(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1) mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau
putusannya batal menurut hukum.
(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.
Pasal 60
Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan
hukum bila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 61
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan
banding oleh pihak yang berperkara, kecuali bila undang-undang
menentukan lain.
Pasal 62
(1) Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus memuat alasan-
alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangai oleh Ketua dan
Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada
waktu penetapan dan putusan itu diucapkan.
(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua dan
Panitera yang bersidang.
Pasal 63
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.
Pasal 64
Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau
kasasi, pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali bila dalam amarnya
menyatakan penetapan atau putusan itu dapat dijalankan lebih dahulu
meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Sengketa Perkawinan
Paragaraf1
Umum
Pasal 65
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
Paragraf 2
Cerai Talak
Pasal 66
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang
guna menyaksikan ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
termohon, kecuali bila termohon dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri,
maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Pasal 67
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas
memuat:
a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami, dan
termohon, yaitu istri;
a. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
Pasal 68
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 69
Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan
Pasal 79, Pasal 80 ayat (2), Pasal 82, dan Pasal 83.
Pasal 70
(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak
mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka
Pengadilan menetapkan bahwa permohonan itu dikabulkan.
256
(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri
dapat mengajukan banding.
(3) Setelah penetapan itu memperoleh kekuatan hukum tetap,
Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan
memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang
itu .
(4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam
suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar
talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak
datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami
atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau
wakilnya.
(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari
sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau
tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara
sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan itu , dan
perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasar alasan yang sama.
Pasal 71
(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar
talak.
(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan
putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan itu tidak dapat
dimintakan banding atau kasasi.
Pasal 72
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 71 berlaku
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
serta Pasal 85.
Paragraf 3
Cerai Gugat
Pasal 73
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat, kecuali bila penggugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Pasal 74
bila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak
mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian,
sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan
yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 75
bila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat
mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk
memeriksakan diri kepada dokter.
Pasal 76
(1) bila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi
yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami
istri.
(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat
persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih
dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi
hakam.
Pasal 77
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan
penggugat atau tergugat atau berdasar pertimbangan bahaya yang
mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri itu
untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
Pasal 78
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan peng
gugat, Pengadilan dapat :
a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak;
c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang
menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Pasal 79
Gugatan perceraian gugur bila suami atau istri meninggal sebelum
adanya putusan Pengadilan.
Pasal 80
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 81
(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya
terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 82
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha
mendamaikan kedua pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian itu , suami istri harus datang secara
pribadi, kecuali bila salah satu pihak bertempat kediaman di luar
negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili
oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
259
(3) bila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka
penggugat pada sidang perdamaian itu harus menghadap secara
pribadi.
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 83
bila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan
perceraian baru berdasar alasan yang ada dan telah diketahui oleh
penggugat sebelum perdamaian tercapai.
Pasal 84
(1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk
berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan
satu helai salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk
mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang.disediakan
untuk itu.
(2) bila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah
Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu
helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan
pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan
dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah itu dicatat pada
bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
(3) bila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai
salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat
didaftarkannya perkawinan mereka di negara kita .
(4) Panitera berkewajiban Memberi akta cerai sebagai surat bukti cerai
kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah
putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap itu diberitahukan
kepada para pihak.
Pasal 85
Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau
pejabat Pengadilan yang ditunjuk, bila yang demikian itu mengakibatkan
kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.
Pasal 86
(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih
dahulu perkara harta bersama itu sampai ada putusan Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap tentang hal itu.
Paragraf 4
Cerai Dengan Alasan Zina
Pasal 87
(1) bila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu
pihak melakukan zina, sedang pemohon atau penggugat tidak dapat
melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan
itu , dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu
bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti
tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat
maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya
dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk mene
guhkan sanggahannya dengan cara yang sama.
Pasal 88
(1) bila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan
dengan cara li'an.
261
(2) bila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum
acara yang berlaku.
Bagian Ketiga
Biaya Perkara
Pasal 89
(1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat
atau pemohon.
(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan
merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam
penetapan atau putusan akhir.
Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk
perkara itu;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya
pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat
dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan oleh Pengadilan dalam
perkara itu;
d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah
Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu.
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan
Mahkamah Agung.
Pasal 91
(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90
harus dimuat dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.
(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada salah satu pihak
berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam perkara itu,
harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan
Pengadilan.
262
BAB V
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 92
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.
Pasal 93
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat-
surat lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan
kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan.
Pasal 94
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasar
nomor urut, tetapi bila ada perkara tertentu yang karena menyangkut
kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan.
Pasal 95
Ketua Pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan
penetapan atau putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Pasal 96
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara
dan mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.
Pasal 97
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
bertugas membantu Hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang
Pengadilan.
Pasal 98
Panitera bertugas melaksanakan penetapan atau putusan Pengadilan.
263
Pasal 99
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di
Kepaniteraan.
(2) Dalam daftar perkara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tiap
perkara diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.
Pasal 100
Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan
Pengadilan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 101
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, penetapan
atau putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan
pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lain
yang disimpan di Kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak
boleh dibawa keluar dari ruangan Kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua
Pengadilan berdasar ketentuan undang-undang.
(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan atau turunan penetapan atau
putusan, risalah, berita acara, akta, dan surat-surat lain diatur oleh
Mahkamah Agung.
Pasal 102
Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja Kepaniteraan Pengadilan
diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Pasal 103
(1) Juru Sita bertugas :
a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;
b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan
pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara-
cara berdasar ketentuan undang-undang,
c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan;
d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
264
(2) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan
yang bersangkutan.
Pasal 104
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Juru Sita diatur
oleh Mahkamah Agung.
Pasal 105
(1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum
Pengadilan.
(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja
Sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 106
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini;
1. semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai
Badan Peradilan Agama menurut Undang-undang ini;
2. semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan
Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasar
Undang-undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 107
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura
(Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937
Nomor 116 dan Nomor 610);
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar
untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur
(Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);
265
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar
Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99), dan
d. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3019), dinyatakan tidak berlaku.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 236 a Reglemen
negara kita yang diperbaharui (RIB), Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44,
mengenai permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di
luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yangdilakukan
berdasar hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 108
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
negara kita .
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1989
PRESIDEN REPUBLIK negara kita
ttd..
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1989
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK negara kita ,
ttd.
MOERDIONO
266
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
UMUM
1. Dalam Negara Hukum Republik negara kita yang berdasar Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan
kepastian hukum dalam sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan
hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana
perikehidupan yang aman, tenteram, dan, tertib seperti yang
diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu,
untuk mewujudkan hal-hal itu dibutuhkan adanya lembaga yang
bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna
menegakkan hukum dan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga
untuk menegakkan hukum dalam mencapai keadilan, kebenaran,
ketertiban, dan kepastian hukum yaitu badan-badan peradilan
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
masing-masing memiliki lingkup kewenangan mengadili perkara
atau sengketa di bidang tertentu dan salah satunya yaitu Badan
Peradilan Agama.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum Badan
Peradilan Agama sebelum Undang-undang ini yaitu :
267
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura
(Staatsblad 1882 Nomor 152 dan Staatsblad 1937 Nomor 116 dan
Nomor 610);
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar
untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur
(Staatsblad 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar
Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).
Keragaman dasar hukum Peradilan Agama itu mengaki
batkan beragamnya pula susunan, kekuasaan, dan hukum acara
Peradilan Agama.
Dalam rangka penerapan Wawasan Nusantara di bidang hukum
yang merupakan pengejawantahan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum, maka keragaman itu perlu segera diakhiri
demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama
dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional yang berdasar
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 diperlukan adanya perombakan yang bersifat mendasar
terhadap segala peraturan perundang-undangan yang mengatur Badan
Peradilan Agama itu di atas dan menyesuaikannya dengan
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang merupakan induk dan kerangka umum serta
mempakan asas dan pedoman bagi semua lingkungan peradilan.
Dengan demikian, Undang-undang yang mengatur Susunan,
Kekuasaan, dan Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Agama ini merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas yang
tercantum dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970,
Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2951).
2. Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Agama, dalam
Undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung,
sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970.
268
Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum
acara, kedudukan para Hakim, dan segi-segi administrasi lain pada
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf, dan shadaqah berdasar hukum Islam.
Bidang perkawinan yang dimaksud disini yaitu hal-hal yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3019).
Bidang kewarisan yaitu mengenai penentuan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta
peninggalan itu , bilamana pewarisan itu dilakukan
berdasar hukum Islam.
Sehubungan dengan hal itu , para pihak sebelum berperkara
dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan
dipergunakan dalam pembagian warisan.
Dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan Pengadilan
dalam Lingkungan Peradilan Agama di seluruh wilayah Nusantara,
maka oleh Undang-undang ini kewenangan Pengadilan Agama di Jawa
dan Madura serta sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur
mengenai perkara kewarisan yang dicabut pada tahun 1937,
dikembalikan dan disamakan dengan kewenangan Pengadilan Agama
di daerah-daerah yang lain.
Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding
terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan
merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa
mengadili antar-Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
3. Mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnya beban yang hams
dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang besar
terhadap tata cara dan pengelolaan administrasi Pengadilan. Hal ini
sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek ketertiban dalam
menyelenggarakan administrasi, baik di bidang perkara maupun
kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan lain-lain, tetapi
juga akan mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Peradilan itu
sendiri. Oleh karena itu, penyelenggaraan administrasi Peradilan dalam
Undang-undang ini dibedakan menumt jenisnya dan dipisahkan
269
penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggung
jawaban tetap dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu Panitera yang
merangkap sebagai Sekretaris.
Selaku Panitera, ia menangani administrasi perkara dan hal-hal
administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial). Dalam
pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh seorang Wakil Panitera dan
beberapa orang Panitera Muda.
Selaku Sekretaris, ia menangani administrasi umum seperti
administrasi kepegawaian dan sebagainya. Dalam pelaksanaan
tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Dengan demikian, staf Kepaniteraan dapat memusatkan perhatian
terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim dalam bidang
peradilan, sedang tugas administrasi yang lain dapat dilaksanakan
oleh staf Sekretariat.
4. Hakim yaitu unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan
peradilan. Oleh karena itu, maka syarat-syarat pengangkatan dan
pemberhentian serta tata cara pengangkatan dan pemberhentiannya
diatur dalam Undang-undang ini.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala
Negara atas usul Menteri Agama berdasar persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
Agar Pengadilan sebagai penyelenggara Kekuasaan Kehakiman
bebas dalam Memberi keputusan, perlu adanya jaminan bahwa, baik
Pengadilan maupun Hakim dalam melaksanakan tugas terlepas dari
pengaruh Pemerintah dan pengaruh yang lain.
Agar tugas penegakan hukum dan keadilan itu dapat dilaksanakan
oleh Pengadilan, maka dalam Undang-undang ini dicantumkan
persyaratan yang senantiasa harus dipenuhi oleh seorang Hakim, seperti
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berwibawa, jujur, adil, dan
berkelakuan tidak tercela.
Untuk memperoleh hal itu di atas maka dalam setiap
pengangkatan, pemberhentian, mutasi, kenaikan pangkat, tindakan atau
hukuman administrasi terhadap Hakim Pengadilan Agama perlu adanya
kerjasama, konsultasi, dan koordinasi antara Mahkamah Agung dan
Departemen Agama.
Agar para pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik moril
maupun materiil, maka perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai
270
tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan, khususnya
para Hakim; demikian pula mengenai kepangkatan dan gajinya.
Untuk lebih mengukuhkan kehormatan dan kewibawaan Hakim
serta Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian) para Hakim
dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi Hakim yang
diatur dalam Undang-undang ini.
Selain itu, diadakan juga larangan-larangan bagi para Hakim
untuk merangkap jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan
pengadilan, wali, pengampu, dan setiap jabatan yang bersangkutan
dengan suatu perkara yang akan atau sedang diadili olehnya.
Namun, belum cukup hanya dengan memerinci larangan-larangan
seperti itu di atas. Agar Peradilan dapat beijalan dengan efektif,
maka Pengadilan Tinggi Agama diberi tugas pengawasan terhadap
Pengadilan Agama di dalam daerah hukumnya. Hal ini akan
meningkatkan koordinasi antar-Pengadilan Agama dalam daerah
hukum suatu Pengadilan Tinggi Agama, yang pasti akan bermanfaat
dalam kesatuan putusan yang dijatuhkan, karena Pengadilan Tinggi
Agama dalam melakukan pengawasan itu dapat Memberi
teguran, peringatan, dan petunjuk. Kecuali itu, perbuatan dan kegiatan
Hakim secara langsung dapat diawasi sehingga jalannya peradilan yang
sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan akan teijamin.
Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan sangkaan keras, bahwa
Hakim melakukan perbuatan tercela, melakukan kejahatan dan
kelalaian yang terus menerus dalam menjalankan tugas pekerjaannya,
dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh
Presiden selaku Kepala Negara setelah diberi kesempatan membela
diri.
Hal itu dicantumkan dengan tegas dalam Undang-undang ini,
mengingat luhur dan mulianya tugas Hakim, sedang dalam
kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya tetap berlaku ancaman-
ancaman terhadap perbuatan tercela sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50).
5. Undang-undang ini selain mengatur susunan dan kekuasaan juga
mengatur Hukum Acara Peradilan Agama.
Bagaimanapun sempurnanya lembaga peradilan itu dengan
penataan susunan organisasinya dan penegasan kekuasaannya, namun
bila alat untuk dapat menegakkan dan mempertahankan
271
kekuasaannya itu belum jelas, maka lembaga peradilan itu tidak
akan dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik. Oleh
karena itu maka pengaturan Hukum Acara Peradilan Agama itu sangat
penting dan karenanya pula maka sekaligus diatur dalam Undang-
undang ini.
Hukum Acara Peradilan Agama selama ini masih ada dalam
berbagai peraturan dan surat edaran, baik dalam Staatsblad, Peraturan
Pemerintah, Surat Edaran Mahkamah Agung dan Departemen Agama
maupun dalam Undang-undang Perkawinan dan segala peraturan
pelaksanaannya.
Prinsip-prinsip pokok peradilan yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, antara lain ketentuan bahwa
sidang pengadilan harus terbuka untuk umum, setiap keputusan dimulai
dengan DEMI KEADILAN berdasar KETUHANAN YANG
MAHA ESA, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan dan ketentuan-ketentuan yang lain, dalam Undang-undang ini
lebih ditegaskan dan dicantumkan kembali.
Karena Peradilan Agama merupakan peradilan khusus dengan
kewenangan mengadili perkara-perkara tertentu dan untuk golongan
rakyat tertentu sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan Pasal 10
ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu mengenai
perkara perdata tertentu antara orang-orang yang beragama Islam, maka
hukum acara perdata pada Peradilan Umum oleh Undang-undang ini
dinyatakan berlaku pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Agama, kecuali mengenai hal-hal yang secara khusus diatur oleh
Undang-undang ini.
6. Peradilan Agama yaitu salah satu dari empat lingkungan peradilan
negara yang dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Peradilan Agama yang kewenangannya mengadili perkara-perkara
tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu, yaitu mereka yang
beragama Islam, sejajar dengan peradilan yang lain. Oleh karena itu,
hal-hal yang dapat mengurangi kedudukan Peradilan Agama oleh
Undang-undang ini dihapus, seperti pengukuhan keputusan Pengadilan
Agama oleh Pengadilan Negeri.
Sebaliknya untuk memantapkan kemandirian Peradilan Agama
oleh Undang-undang ini diadakan Juru Sita, sehingga Pengadilan
272
Agama dapat melaksanakan keputusannya sendiri, dan tugas-tugas
kepaniteraan dan kesekretariatan tidak terganggu oleh tugas-tugas
kejurusitaan.
7. Di samping itu perkara-perkara di bidang perkawinan merupakan
sengketa keluarga yang memerlukan penanganan secara khusus sesuai
dengan amanat Undang-undang Perkawinan. Oleh karena itu, maka
dalam Undang-undang ini diatur secara khusus hal-hal yang berkenaan
dengan sengketa perkawinan itu dan sekaligus untuk
meningkatkan pengaturan hukum acara sengketa perkawinan yang
sampai saat diundangkannya Undang-undang ini masih diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Undang-undang Perkawinan bertujuan antara lain melindungi
kaum wanita pada umumnya dan pihak istri pada khususnya, namun
dalam hal gugatan perceraian yang diajukan oleh istri, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa gugatan harus
diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat sesuai dengan prinsip hukum acara perdata umum.
Untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam
Undang-undang ini diadakan perubahan, tidak diajukan ke Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat tetapi ke
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediman
penggugat.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
273
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di
kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya
meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup
kemungkinan adanya pengecualian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Usul pembentukan Pengadilan Agama diajukan oleh Menteri Agama
berdasar persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
274
Ayat (3)
Cukup jelas
A ya t (2)
C ukup je la s
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Hakim yaitu pegawai negeri sehingga baginya berlaku Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Oleh karena itu, Menteri Agama wajib melakukan pemb