a tentang struktur ontologis dunia berputar sekitar poros yang
berkembang menjadi suatu sistem kosmik berskala besar. Keseluruhan filsafat Ibn
‘Arabi yaitu teori tajalli.4 Tidak satu bagian pun dari pandangan dunianya dapat
dipahami tanpa merujuk kepada konsep sentral ini. Ibn ‘Arabi memiliki pandangan
bahwa terdapat Satu Realitas manifestasi diri-Nya dalam bentuk yang tidak terbatas.5
Konsep tajalli (manifestasi) Sang Realitas Ibn’ Arabi dipengaruhi oleh
pemikiran Emanasi Plotinus.6 Menurut Ibn ‘Arabi Emanasi Plotinus disebut sebagai
atribut-atribut atau aspek-aspek di mana Realitas yang Satu itu dipandang.7 Izutsu
menambahkan bahwa tajalli yaitu proses Sang Mutlak memanifestasi diri-Nya
dalam bentuk yang konkret, yang mana penjelmaan tersebut tidak dapat
diaktualisasikan kecuali melalui bentuk-bentuk partikular dan determinasi.8 Artinya
satu Realitas yang sama mengartikulasikan dan mendeterminasikan diri-Nya secara
beraneka rupa dan langsung tampak dalam bentuk-bentuk segala sesuatu yang
berbeda-beda.9 Hal ini sesuai dengan perbedaan isti’dadd atau kesiapan objek
tajalli10. Seperti halnya penjelasan Ibn ‘Arabi:
“Al-Haqq ber-tajalli pada setiap orang (makhluk) yang Allah ber-tajalli
padanya dari alam mana saja baik alam ghaib atau alam syahadah. Hal itu dari
sisi Tuhan sebagai Isim Dzahir. Sementara Tuhan sebagai nama-nama batin
hakikat ini Tuhan sama sekali tidak ber-tajalli baik di dunia maupun di
akhirat”.
Menurut Qaysari, Ibn ‘Arabi membedakan dua tipe emanasi (tajalli); al-fayd al
aqdas (emanasi paling suci) dan al-fayd al-muqaddas (emanasi suci). Seperti dalam
uraian berikut ini:
لإاَضيفلاَنإف.َسدقلماَضيفلاوَسدقلأاَضيفلباَمسقنيَيله
َفيَنايعلأاَكلتَلصتحَ:نىاثلاباوَ,ملعلاَفيَةيلصلأاَاتهادادعتساوَةتباثلاَنايعلأاَلصتحَ:َلوّلأباو
اهعباوتوَاهمزاولَعمَجرالخا.12
“Al-fayd al-aqdas yaitu al-fayd yang memunculkan a’yan tsabitah dan
potensi-potensinya dalam ilmu Tuhan, sedangkan al-fayd al-muqaddas, a’yan
tersebut muncul dari luar secara konkret bersama segala sifat lazimnya.”
Pada emanasi paling suci (al-fayd al-aqdas) al-Haqq secara mutlak tidak dapat
dan tidak bisa diketahui, ingin meninnggalkan keadaan sebagai “khazanah yang
tersembunyi” dan ingin diketahui.13 Qaysari memberi penjelasan bahwa istilah al-
fayd atau at-tajalli yaitu identik sedangkan penjelasan lainnya al-fayd yaitu hasil
dari tajalli.14 A’yan tsabitah itu muncul dari Tuhan melalui al-fayd al-aqdas. Dan al-
fayd al-aqdas yaitu cinta yang esensial yang meniscayakan adanya segala sesuatu
dan potensi-potensinya dalam hadrah ilmu (kehadiran ilmu Tuhan).15
Sementara al-fayd al-muqaddas yaitu tajalli nama-nama yang meniscayakan
munculnya akibat dari potensi-potensi a’yan tsabitah.16 Tipe pertama lebih dahulu
daripada tipe kedua hanya dalam logika urutan eksistensial, bukan dalam kenyataan.
“Emanasi” paling suci disebut pula dengan “penampakan diri esensial” (al-tajalli al-
Dzat i) dan “penampakan diri ghaib” (al-tajalli al-ghayb). “Emanasi paling suci”
yaitu taraf pertama yang menentukan dalam penampakan diri al-Haqq. Ini yaitu
taraf awan tebal (al-‘ama’), seperti disebut Ibn ‘Arabi. Pada taraf ini al-Haqq tidak
menampakkan diri-Nya kepada sesuatu yang lain namun kepada diri-Nya sendiri.17 Al-
fayd al-aqdas secara potensial menunjukkan bahwa al-Haqq belum menampakan
diri-Nya secara aktual dalam keanekaan. Al-fayd al-muqaddas biasa disebut dengan
“penampakkan diri eksistensial” (al-tajalli al-wujudi) dan “penampakan diri indrawi”
(al-tajalli al-shuhudi). “Emanasi Suci” yaitu penampakan diri dari Yang Esa dalam
bentuk-bentuk keanekaan eksistensial.18 Dari emanasi ini bermakna bahwa arketip-
arketip permanen (al-a’yan al-tsabitah) yang telah diwujudkan oleh emanasi paling
kudus (al-Aqdas) meninggalkan keadaan menjadi intelijibel meleburkan diri mereka
kedalam benda-benda indrawi yang menyebabkan alam indrawi eksis secara aktual.
Yang secara in potentia mengalami perubahan menjadi hal-hal in actual.19
Penciptaan alam atau tajalli disebabkan kerinduan Tuhan untuk dikenal oleh
ciptaan-Nya. Seperti yang disebutkan dalam hadits:
تنكََازنكَمخ،َاّيفَتدرأفَنأَ،َفرعْأَتقلخفَقللخاَهبفَنَوفرع20
“Aku yaitu bagaikan harta yang tersembunyi (kanz makhfi), aku rindu
untuk dikenali sebab nya aku ciptakan dunia.”
Dalam taraf harta tersembunyi al-Haqq yaitu transenden secara total, tidak
dapat diketahui dan didekati secara absolut.21 “Ketersembunyian” di sini diartikan
dengan “kemisterian” yang berakibat “kesunyian” dan “kesepian”, membuat al-Haqq
cinta dan rindu untuk dikenal agar tidak tersembunyi lagi. Kemudian, Ia menciptakan
alam sebagai lokus pengejawantahan diri-Nya. Proses penciptaan inilah yang disebut
sebagai tajalli.22 Ibn ‘Arabi mengatakan:
َةيراعَتاذلاَوهَدحاوَىمسمَىلعَةللادلاَفىَءاسملأاَداتحإَوهَانطباَيأَازنكَقلحاَنوكلاَنىعم
تَافاضلإاوَبسنلاوَماكحلأاَنع23
“...Makna keadaan al-Haqq sebagai harta simpanan atau batin ialah
kesatuan nama-nama dalam menunjukkan apa yang disebut Esa, yaitu Dzat
yang terlepas dari hukum-hukum (sifat-sifat), hubungan-hubungan dan relasi.
Maksudnya yaitu al-Haqq dari segi Dzat -Nya tidak diketahui namun dari segi
nama-nama dan sifat-Nya yang menampakkan diri pada alam Ia diketahui. Ibn ‘arabi
menyatakan bahwa segala yang tampak yaitu wujud – hakikat Ketuhanan. Namun
jika sesorang menunjuk pada “perwujudan” ke dalam “eksistensi”, hal ini
sesungguhnya hanyalah metafor sebab pada dasarnya fenomena ini bukanlah
eksisten.24 Agar Tuhan dapat melihat diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya melalui
alam maka Ia mencipta. sebab alam yaitu cermin bagi Tuhan, melalui cermin
itulah al-Haqq mengenal diri-Nya dan memperkenalkan wajah-Nya.25 Dalam al-
Qur’an disebutkan:
خَ لْْاوَلوّ لْأاَوهنَطاب لْ اوَرها ظّلاوَر
“Dialah Yang Awal dan Akhir, Yang Dzahir dan Yang Bathin” (QS. Al-
Hadid [57]: 3).
Menurut Ibn ‘Arabi, ayat tersebut harus dipahami secara literal, al-Haqq secara
Dzahir yaitu nyata dan secara batin tidak nyata. Firman lain:
َّللاَه جْوَ مّثفَاو لّوتَامن يْ أَ ف
“Kemanapun Kalian menghadap disitulah wajah Tuhan” (QS. Al-Baqarah [2]:
115)
Inilah pula pernyataan akan “kesetaraan-Nya”, disisi lain pula:
رَاص بْ لْأاَكر دْيَوهوَراص بْ لْأاَهكر دْتَلا
“Tiada mata dapat melihat-Nya, sedangkan Dia dapat melihat segala yang
Nampak oleh mata.” (QS. Al-An’am [6]: 103).
Inilah pernyataan akan ke-Esaan-Nya. Oleh sebab itu, perpaduan antara dua
perspektif yang saling melengkapi akan mencapai pengetahuan yang hakiki.26 Dari
segi Dazt-Nya al-Haqq tidak dapat diketahui namun dari segi nama-nama dan sifat-
Nya yang menampakkan diri pada alam diketahui.27 Ibn ‘Arabi mengatakan:
“Tuhan yaitu nyata bagi “penglihatan” mata dan tidak nyata dalam
“pandangan” akal. Sebagaimana halnya tidak ada objek pengetahuan yang
tidak berada dalam genggaman ilmu-Nya, sebaliknya, segala sesuatu dalam
pengawasan-Nya sehingga Dia tampak oleh mahluk-mahluk-Nya, baik dalam
keadaan noneksistensi maupun eksistensinya. “Dia” disaksikan oleh mereka
melalui pengejawantahan sifat-sifat penglihatan (bashar). Sekalipun demikian,
menyaksikan-Nya tidak harus memahami-Nya sebagai objek.”28
Penampakan diri Sang Mutlak disebut sebagai ta’ayyun (entifikasi) Ia
bermanifestasi dalam bentuk-bentuk yang tak terbatas jumlahnya. Tidak ada
kesamaan dan tidak akan terulang bentuk-bentuk tersebut sebab semuanya terjadi
dalam perubahan terus-menerus tanpa henti. Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa alam
temporal berubah setiap saat, ia berubah dari satu keadaan ke keadaan lain. Allah swt
berfirman:
نَ أْشَفيَوهَموْيَ لّك
“Setiap waktu Dia dalam kesibukan” (QS. Ar-Rahman [55]: 29).
Maksudnya yaitu bahwa setiap ciptaan Tuhan yaitu baru sebab setiap saat
alam menjadi dan hancur, datang dan hilang, demikian itu setiap saat secara terus-
menerus dan selamanya.29 Alam yaitu lokus pengejawantahan yang secara umum
disebut sebagai “eksisten” yakni eksisten sesuatu yang mungki atau eksisten entitas.
Segala sifat dan kualitas yang melekat pada lokus yaitu milik yg dzahir.30
Dengan mengutip Abu Talib dan Rijal Allah yang lain Ibn ‘Arabi mengatakan:
“Sesungguhnya Allah swt selama-lamanya tidak melakukan tajalli dalam
satu bentuk bagi dua individu atau pribadi dan tidak pula dalam satu bentuk
dua kali.”31
Al-Haqq yaitu Dzat Esa sebab itu Ia melakukan tajalli dalam ke-Esaan-Nya.
Segala sesuatu memiliki sifat dan situasi unik, oleh sebab nya memiliki kapasitas
berbeda pula dalam menerima tajalli. Oleh sebab nya tajalli al-Haqq terjadi sesuai
kadar “kesiapan” (isti’dadd) setiap sesuatu itu, tidak kurang dan tidak lebih. Dia
memberi secara konstan sementara lokus-lokus menerima (pemberian itu) sesuai
dengan kadar realitas-realitas. Ibn ‘Arabi mengumpamakan hal ini dengan cahaya
yang dipancarkan sinar matahari kepada benda. Misalnya penjual es dan orang yang
sedang bertanam jagung/padi. Penjual es ingin cuaca selalu panas agar jualannya laku
namun di sisi lain petani jagung ingin hujan datang agar tanamannya subur.
Perumpamaan lain cahaya matahari yang menghitamkan wajah orang yang menjemur
padi namun mengeringkan padi agar siap untuk digiling menjadi beras. Hal ini
diumpamakan Ibn ‘Arabi seperti penerimaan suatu ayat al-Qur’an yang dipahami
oleh tiga orang yang berbeda pemahamannya sesuai dengan perbedaan kesiapan
masing-masing dalam memahami ayat tersebut.32
Ibn ‘Arabi juga mengatakan:
َادوهشَاضيأَنوريوَ,ىلجتلاَررّكيَلاوَسفنَلكَفىَىلجتيَاللهَنّأَنوريَمنّّإفَفشكلاَلهأَامّأو
ََّنأَدنعَءانفلاَينعَوهَهباهذفَقلبخَبهذيوَاديدجَاقلخَىطعيَلتََلكَهيطعيَ المَءاقبلاوَىلجتلا
مهفافَرخلْاَىلجتلا.33
“Tentang ahl al-kashf, mereka memandang bahwa Allah melakukan tajalli
pada setiap nafas, dan tidak ada satu tajalli yang berulang. Mereka
berpandangan bahwa setiap tajalli memberikan ciptaan baru dan melenyapkan
ciptaan (lain yang mendahuluinya) kelenyapannya identik dengan
kemusnahan (ketiadaan) pada tajalli (baru) dan kelanjutan (bagi ciptaan lain)
yang diberikan tajalli lain berikutnya.”
Hal ini membuktikan bahwa manifestasi setiap saat mewujud dalam bentuk-
bentuk tak terhitung, tiada jeda sebab setiap saat tercipta ciptaan baru, sebagaimana
nafas yang pada realitasnya tidak pernah berhenti. Dilukiskan oleh Corbin nafas kasih
mengalir laksana air sungai yang tak henti-hentinya diperbaharui. sebab entitas
abadi melakukan penetapan eksistensi satu demi satu namun tetap adanya di alam
misteri.34
Penjelasan lain dalam Futuhat:
َالمَاللهَنأَكلذوَ,وهَهناَفرعيَلاَنكلوَ,هيلعَباجحلاَمئادَيلهلإاَيلجتلاَنأَملعا
اَعَلاحَفيَهملاكَهعسمأَلمَاعلاَقلخَقلحاَنكيَلموَ,هناحبسَهلادوهشمَناكوَ)نك(َ:هلوقوهوَةمد
35هَلادوهشم
“Ketahuilah, bahwa tajalli itu abadi (daimun) yang tidak ada hijab atasnya
namun Dia tidak diketahui bahwa Dia yaitu Dia. Ketika Allah menciptakan
alam, Allah memperdengarkan kalamnya tentang keadaan ketiadaan alam,
dengan firmanNya (kun). Alam itu disaksikan oleh Allah namun al-Haqq tidak
disaksikan oleh alam.”
Pengetahuan tentang Tuhan tidak mudah dipahami kecuali bagi Arif atau tajalli
Al-Haqq hanya bisa dipahami dan diterima kebenarannya oleh para Arif yang
diistilahkan oleh Ibn ‘Arabi yaitu seseorang yang mutaahhib.36
Izutsu merangkum pendapat al-Qashani dalam mendeskripsikan manifestasi diri
al-Haqq sebagai struktur multi-strata menghadirkan fenomena tajalli dalam aspek
statis dan nontemporalnnya. Ia menggambarkan “strata” (maratib, j. martabat) al-
Haqq sebagai berikut:
Dimulai dari tingkatan wujud yang tiada apapun kecuali Realitas (‘ayn)
Tunggal, yakni Sang Mutlak sebagai Realitas-Nya yaitu wujud dalam aspek
fenomenal (masyhud)-Nya. Pertama, wujud pada tahap ini sepenuhnya bebas dari
batasan apapun. Pada strata ini Sang Absolut yaitu esensi mutlaq belum terjadi
manifestasi dan bukan bagian dari ralitas fenomenal. Namun sebab Ia yaitu titk
awal dari semua tahapan antologis selanjutnya maka ia bisa dipandang sebagai
realitas fenomenal. Struktur ini yaitu nondeterminasi (la ta’ayyun) dan
nondelimitasi (‘adam inhisar). Strata kedua, pada tahap ini Sang Absolut masih Esa
dan belum terpecah menjadi keberagaman meskipun wujud sudah
“terdeterminasikan” dalam segenap determinasi aktif yang berupa nama-nama Ilahi.
Dalam hal ini Sang Absolut secara potensial berartikulasi.
Pada tahapan ketiga, semua determinasi (ta’ayyun) diri al-Haqq telah aktif
(fa’iliy) dan efektif (muats-tsir) direalisasikan sebagai keseluruhan integral, tahapan
ini disebut tahap ke-Esaan Ilahi (al-Ahadiyyah al-Ilahiyyah). Keempat, ke-Esaan
Ilahi/kesatuan Ilahi pada stratum tiga yang terpecah menjadi determinasi diri terpisah
yakni berupa nama-nama Ilahi. Tahap kelima, semua determinasi diri yang memiliki
sifat pasif (infi’aly) yaitu terdiri dalam bentuk kesadaran yang mempresentasikan
segenap hal yang tercipta dan mungkin mewujud dalam alam (the world of
becoming). Strata keenam, wujud yang berupa kesatuan sebelumnya larut menjadi
hal-hal yang secara actual mewujud. Inilah tahap “alam semesta”. Semua genus,
spesies, individu bagian, aksiden, hubungan dan sebagainya menjadi
teraktualisasikan pada tahap ini.37
Namun, secara garis besar konsep tajalli diringkas sebagai berikut: Tahapan
pertama tajalli, al-Haqq menampakkan kepada diri-Nya sendiri dalam bentuk-bentuk
entitas permanen. Entitas permanen hanya ada dalam ilmu Tuhan dan tidak ada dalam
alam nyata. Entitas permanen merupakan bentuk penampakan nama-nama Tuhan
pada tahap kemungkinan ontologis. Entitas permanen memberikan kesiapan azali
kepada lokus (mahall) untuk tajalli kedua, oleh sebab nya ia selamanya tidak berubah
dan tidak dapat berubah. Tajalli kedua terjadi saat “kesiapan azali” diterima oleh
lokus yang menjadi tempat penampakan al-Haqq. Pada tahapan ini entitas-entitas
permanen menampakkan diri dari alam ghaib ke alam nyata, dari personalitas ke
aktualitas, dari ke esaan ke keanekaan dari batin ke dzahir yakni al-Haqq
menampakkan diri dalam bentuk-bentuk tak terbatas dalam alam syahādah (alam
nyata).
2. Tajalli al-Aqdas: Manifestasi Pertama
Dzat Tuhan yaitu Tuhan itu sendiri, tanpa penisbatan terhadap mahluk.38 Dzat
Tuhan tidak memiliki hubungan dengan nama-nama dan alam, sebab Tuhan yaitu
satu-satunya al-wujud al-Haqq yang dalam ke-Esaan-Nya (Tuhan dari segi Dzat -
Nya) terbebas dan bersih dari keanekaan (al-katsrah).39 Al-wujud al-Haqq yaitu
Allah satu-satunya dari segi Dzat -Nya dan entitas-Nya bukan dari segi nama-nama-
Nya.40 Yang dimaksud dengan wujud al-Haqq yaitu al-wujud al-Haqq al-tsabit li
Dzat ihi (wujud hakiki yang permanen dengan Dzat nya atau dengan sendirinya).41
Menurut Qasyari yaitu al-wujud al-tsabit al-muhaqqiq fi Dzat ihi (wujud permanen
yang menjadi realitas pada Dzat -Nya).42 Menurut Kautsar, Ibn ‘Arabi mengatakan
bahwa tidak ada wujud kecuali al-Haqq, yang dimaksud dengan wujud yaitu al-
wujud al-Haqq, dan yang dimaksud dengan al-Haqq yaitu Allah dari segi Dzat nya
dan entitas-Nya yang tidak membutuhkan alam semesta. Sedangkan wujud alam
semesta tidak lain daripada wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Dalam
pengertian ini wujud identik dengan wujud haqiqi, wujud mutlak, al-Haqq, Allah,
Dzat -Nya dan entitas-Nya.43
Dzat Tuhan yaitu transenden secara mutlak. Dzat Tuhan atau Tuhan dari segi
Dzat nya yaitu munazzah, bebas dari dan berbeda sama sekali dengan alam tidak
dapat diketahui dan dilukiskan. Dzat Tuhan yaitu transenden secara mutlak. Dzat
Tuhan dideskripsikan hanya dengan nama-nama tanzih yang menafikan
penyerupaannya dengan apapun yang diketahui manusia.44 Chittick menjelaskan
pandangan Ibn ‘Arabi ini bahwa hanya sifat-sifat negatif yang dapat dinisbatkan pada
Dzat Tuhan, kita tidak dapat mengatakan sesuatupun tentang-Nya kecuali sesuatu
yang berhubungan dengan-Nya. Ibn ‘Arabi kadang mengatakan bahwa tiada
sesuatupun yang dapat diterapkan pada esensi sebab ia mutlak dan tak terjangkau.
Namun sebgai Tuhan ia memiliki nama-nama dan sifat yang positif maupun negatif.45
Seperti halnya kutipan futuhat dibawah ini:
“Dari segi diri-Nya, Dzat Tuhan tidak mempunyai nama, sebab Dzat itu
yaitu lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada nama
yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan
pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan,
namun pintu (untuk mengetahui Dzat Tuhan) dilarang bagi siapapun selain
Allah, sebab tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.”46
namun sebagai sebuah martabat ke-Tuhanan, mesti dipahami dalam
hubungannya dengan martabat-martabat yang lain seperti mahluk, hamba,
perhambaan, dan “hamba Tuhan”. Meskipun Tuhan dari segi Dzat nya terlepas dari
segala ciptaan, Tuhan menyatakan diri kepada kita melalui kasih dan kemurahan-Nya
dan sifat-sifat ini memerlukan keberadaan mahluk meski sama sekali tidak
bersentuhan dengan Esensi-Nya.47
َنايعأَهتبثلماَةيّلهلإاَءاسملأباَلماعلاَليإَةبسنَ:ينتبسنَهلَنأَهسفنَنعَبرخأوَهبَلماعلاَطبرَاللهَنإف
هملعنَلاوَهسفنَملعيَهنعَهانغَةبسنوَلماعلا.48
“Sesungguh-Nya Allah mempertalikan alam dengan-Nya dan
memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia mempunyai hubungan: hubungan
dengan alam melalui nama-nama Tuhan yang mengafirmasikan entitas-entitas
alam, dan hubungan kebebasan-Nya dari alam, dia mengetahui diri-Nya dan
kita tidak mengetahui-Nya.”
Maka kosmos yang tercipta tidak memiliki hubungan apapun dengan Dzat
Tuhan, namun melalui nama-nama Tuhan memiliki hubungan ontologis dengan
penciptaan. sebab kosmos tercipta melalui kehadiran-Nya. Seperti pernyataan
dibawah ini:
“Kami telah menyebutkan bahwa setiap sifat dalam kosmos harus
memiliki sandaran pada sifat Tuhan, namun hanya melalui sifat Esensi, yang
dengannya kebaikan Tuhan – dalam Esensi-Nya – ternyata-kan. Hal itu
menunjukkan bahwa Dia Mahakaya, yang ditunjukkan melalui kosmos
(bertumpu pada sifat Tuhan); melaluinya kefakiran kosmos atupun hamba
ternyatakan. Kosmos lebih layak menyandang kefakiran itu daripada
manusia.”49
Pada hakikatnya tidak ada yang dibutuhkan alam selain Tuhan, atau dengan kata
lain tidak ada kebutuhan kecuali kepada-Nya dan tidak ada kebutuhan kepada selain
Dia, sebab nama-nama-Nya yaitu sebab-sebab yang dibutuhkan oleh alam, tidak
lain yaitu Tuhan itu sendiri50 seperti halnya pernyataan Ibn ‘Arabi dibawah ini:
“Maka sesungguhnya alam, tanpa diragukan, membutuhkan sebab-sebab
secara esensial. Sebab terbesar bagi alam yaitu kausalitas al-Haqq. Tidak
ada kausalitas al-Haqq yang dibutuhkan alam selain nama-nama Ilahi. Nama-
nama Ilahi disini diartikan dengan setiap nama yang dibutuhkan alam, baik ia
dari jenis alam sendiri atau al-Haqq itu sendiri. Maka ia (secara esensial)
yaitu Allah, bukan yang lain.”
Dalam penjelasan yang lain dikatakan bahwa:
“Dia menciptakan kosmos melalui kebaikan dan kemurahan-Nya. Tidak
ada seorangpun diantara orang-orang yang berakal dan beriman kepada Tuhan
meragukan hal ini, dan kemurahan itu yaitu sifat Diri. Sebab, Dia Maha
Pengasih, Yang Pengasih di dalam Dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa
kosmos mesti ada. Jika “pengetahuan” menyatakan bahwa sesuatu itu mesti
ada, tidak munkin Ia tidak ada. Sehingga mestilah terdapat berbagai bentuk
penisbatan ataupun sifat-sifat sesuai dengan Yang disifati, atau nama-nama
sesuai dengan Yang Diberi Nama. Maka, mesti ada “kejamakan” (katsrah) di
dalam Entitas Yang Esa.” 52
Dia yang Tak Terbatas yang Transenden dari segala pemahaman dan juga
penyaksian (al-mushahadah), hakikat ini yaitu لا مسا هل مسرلاو هل (Ia sama sekali tidak
ada nama dan juga tidak ada definisi). namun dalam ketakterbatasan-Nya Dzat Tuhan
tidak dibatasi oleh aspek tanzih maka Ia menciptakan alam.53
Al-fayd al-aqdas atau pancaran paling suci merupakan tajalli al-hubbi al-Dzat i
yang menyebabkan keberadaan sesuatu dan kesiapan (isti’dad) mereka di al-hadrat
al-ilmiyyah dan kemudian ke al-ainiyah. Maka saat amar atau ruh Illahi dihembuskan
ke dalam isti’dad agar bisa diterima oleh al-fayd al-muqaddas sebagai kelanjutan dari
eksistensi derajat yang pertama. Hal ini merupaka prinsip pergerakan ontologis yang
termanifestasi secara hierarkis dan pada gilirannya termanifestasi dalam al-fayd al-
muqaddas.54 Maka Maha Yang Tak Terbatas sebagai eksistensi yang absolut
memancarkan (tajalli) yang termanifestasi dalam pancaran seperti diagram berikut55
3. Tajalli al-Muqaddas: Manifestasi Kedua
Emanasi kedua yaitu emanasi suci (al-fayd al-muqaddas) yang biasa disebut
penampakan diri eksistentisal (al tajalli al wujudi) dan penampakan diri indrawi (al
tajalli al shuhudi). Emanasi ini merupakan penampakan entitas permanen dari alam
yang hanya ada dalam alam pikiran kepada alam yang dapat diindera (min al alam al
ma qul ila al alam al mahsus).56
Tajalli al-Muqaddas atau jenjang kedua (ta’ayun tsani) atau ta’ayun ma’lum
disebut juga dengan martabat wahidiyyah.57 Martabat wahidiyyah yaitu materi
prima (Hyle) yang menjadi dasar alam material namun belum mempunyai wujud
secara realitas.58 Segala sesuatu yang terpendam sudah bisa dibedakan namun belum
muncul dalam alam kenyataan, di mana bentuk segala mauwujud mungkin yang
mulai tampak inpotensia belum teraktualisasi.59 Perbedaan batasannya telah ada
dalam ilmu atau pengetahuan Tuhan dalam bentuk ‘yang dikenal’ atau ‘diketahui’
yang disebut dengan al-a’yan al-tsabitah atau kenyataan segala sesuatu. Dalam
derajat kesatuan (wahidiyyah) atau tataran ontologis determinasi kedua ini
merupakan bayangan eksterior atau mazhar dari manifestasi atau refleksi bayangan
yang pertama yang masih merupakan arketip-arketip interior (al-fayd al-aqdas).60
Bayangan kedua ini secara beragam disebut intelek pertama (al aql al awwal), dunia
ruh (alam al arwah), manusia sempurna, dan yang lain.
Manifestasi Ilahi ditampakkan dengan sifat-sifat dan nama-nama-Nya.62
Manusia yang menyadari ini seperti menuju insan kamil yang wawasannya luas
bagaikan hidup di alam mitsal (barzakh).63 sebab menyadari tajalli Allah yang tidak
pernah berhenti.
Alam rohani (al-a’yan al-tsabitah )64 atau entitas-entitas yang tetap dan tidak
berubah. Alam yang tersembunyi dalam pengetahuan yang Esa dan dikontraskan
dengan alam jasmani. Menurut Ibn ‘Arabi alam semesta sebagai hasil tajalli Allah
dalam arti ‘asma dan shifat, Allah ber-tajalli pada setiap apa yang ada di alam dan
hakikatnya yaitu satu. Asmaul Husna yaitu bentuk tajalli Allah yang diwujudkan
dengan benda-benda yang konkret di alam.
Penjelasan yang berbeda terkait dengan hirarki tajalli sebagai berikut: Martabat
wahidiyyah atau kesatuan berhubungan dengan modus eksistensi indeterminasi yang
tidak dikondisikan oleh parikulasi atau individuasi apapun, namun bebas menautkan
dirinya dalam partikularisasi dan individuasi طرشبلا ءيش (terbebas dari segala
syarat).65 Determinasi pertama yaitu Tuhan memandang diri-Nya dalam
perenungan yang merefleksikan Nama-Nama-Nya yang paling indah (Asmā al-
Husnā) dan sifat-sifat sublim (al-sifat al-ulya). Swa-manifestasi dan swa-perenungan
dari Realitas tertingi ini menunjuk pada derajat pertama dan kedua dari Eksistensi
Absolut.66
Determinasi kedua yaitu manifestasi aktif dalam kesadaran-Nya, efisien dan
Ilahiyah berhubungan dengan derajat Ilahiyah (Ilahiyyah). Pada tahap ini eksistensi
absolut dapat dicapai oleh kognisi manusia sebagai Tuhan (Ilah) yang digambarkan
dalam cara seperti Dia yang mengungkapkan diri-Nya dengan nama dan sifat-Nya
pada ke-Ilahiiyah-an.67
Determinasi ketiga yaitu Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya mmebutuhkan realitas
untuk dimanifestasikan dalam bentuk manifestasi. Bentuk dari Nama dan Sifat-Nya
merupakan esensi-esensi yang tegak atau arketip permanen (al-a’yan thabitah) dalam
kesadaran dan pengetahuan ilahhhiyyah.68 Manifestasi lanjutan dari eksistensi
absolut berlangsung dengan pancaran akan eksistensinya yaitu pancaran suci (al-fayd
al-muqaddas).69 Isi pancaran suci ini pada tahap eksterior dari arketip dengan tahap
interior yaitu sebagai penerima pasif dari semua potensialitas inheren dalam arketip-
arketip permanen yang diaktualisasikan melalui aspek eksterior.70 Di mana al-fayd
al-muqaddas yaitu tajalliyat Asma’iyyah yang menyebabkan apa yang dituntut dari
isti’dad-isti’dad al-a’yan al-thabitah termanifestasi di level konkret71. Sebagai
penyempurnaan dari hierarki ontologis dalam derajat-derajat atau determinasi kelima
dan keenam. Seperti halnya diagram al-fayd al-muqaddas berikut ini.
B. Dimensi Ontologi Manifestasi
1. Hakikat Muhammadiyyah: Dimensi Dzat Realitas
Allah menciptakan Muhammad dari cahaya Jamal-Nya,73 hal ini merujuk pada
hadits qudsi:
Allah Swt. telah bersabda dalam hadits qudsi; “Aku ciptakan roh
Muhammad pertama kali dari cahaya wajah-Ku” dan seperti dalam hadits
Nabi SAW, “Yang pertama diciptakan Allah yaitu rohku. Yang pertama
diciptakan Allah yaitu cahayaku. Yang pertama diciptakan Allah yaitu
pena. Yang pertama diciptakan Allah yaitu akal,” (HR. Dawud).
Cahaya, pena dan akal memiliki makna Hakikat Muhammadiyyah.75 Namun
kemudian disebut sebagai cahaya (Nur Muhammad) sebab bersih dari segala
kegelapan yang menghalangi Jalalullah.76 Seperti dalam firman Allah:
اللهَنمَمكءاجَدق.َ .،ينبمَباتكورون
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang
menjelaskan (QS. Al-Ma’idah [5]: 15).
Disebut akal sebab ia mengetahui segala sesuatu. Disebut juga pena sebab ia
yaitu sebab peralihan ilmu (dari Allah kepada mahluk) seperti pena yang
menggoreskan ilmu di alam huruf (dunia keilmuan). Jadi, roh Muhammad yaitu
mahluk pertama dan sekaligus inti dari alam semesta. 77 Sebagaimana sabda
Rasulullah Saw.;
78...،نيمَنونمؤَلماوَاللهَنمَنَأ
“Aku dari Allah, sedangkan orang mukmin dariku.”
Dari rujukan yang berbeda, Qaysari menjelaskan tentang al-khlaq al-awwal (the
first creation) yaitu substansi pertama yang muncul dari ghayb al-wujud mentajalli
melalui entifikasi al-ism al-A’zam al-wujud al-Munbasit.79 Diriwayatkan baik dari
jalur sunni maupun syiah bahwa:
“Yang Allah ciptakan pertama yaitu al-aql, yang Allah ciptakan
pertama yaitu Nur Muhammad, yang Allah ciptakan pertama yaitu
air, yang Allah ciptakan pertama yaitu al-qalam.”
Sayyidina Ali juga meriwayatkan, saat Nabi ditanya tentang al-Aql al-Awwal
Nabi menjelaskan: “Allah telah menjadikan seorang malaikat yang mempunyai
banyak kepala sesudah kepala-kepala ciptaan, dan nama setiap eksisten telah ditulis
padanya.” Sehingga Nabi menyatakan “ketahuilah sesungguhnya perumpamaan al-
aql seperti perumpamaan al-siraj pada al-labib.”81
Penjelasan lain tentang pertama yang Allah ciptakan yaitu lawh dan al-aql
yaitu pertama yang telah diciptakan dari keberadaan spiritual sebab yang petama
muncul dari Allah yaitu keberadaan yang bebas dari materi dan kuantitas. Ia
dipanggil al-qalam al-‘a’la sebab setelah Dia mencipta, Dia menyatakan; “Tulislah
ilmuku pada ciptaanku sampai abadi.” Dan Dia menyatakan kepada al-aql atau al-
qalam: “Tulislah al-qadar apa yang sudah terjadi dan sedang terjadi, dan apa yang
akan terjadi sampai abadi, atau sampai hari kiamat.82
Seperti halnya juga penjelasan Qaysari bahwa yang pertama Allah ciptakan
yaitu al-Qalam al-‘A’la, Sachicko Murata mengurai bahwa akal pertama yaitu
sebuah pena, ia mencari melalui Realitasnya sendiri, suatu tempat bagi efektivitas
untuk menulis sebab ia yaitu pena. Dari pencarian ini timbul lembaran yang terjaga
yaitu jiwa, sebagai benda eksisten pertama yang muncul dari sesuatu yang tercipta.
Sementara ahli pikir rasional memaknai lembaran itu sebagai jiwa universal yang
bermakna sebagai benda eksisten pertama sebagai lokus yang menerima aktifitas.
Sachiko menyimpulkan, bahwa yang pertama muncul dari akal dan jiwa yaitu
cosmos.83 Hal ini merujuk pada penjelasan sebelumnya bahwa yang Tuhan ciptakan
yaitu Nur Muhammad, Qalam al- A’la dan sebagainya.
Beragam nama yang disimbolkan kepada cahaya Nabi salah satunya yaitu al-
durrah al bayda’ yang bisa di verifikasikan kepada al-nur al-ahmadi (the Ahmadian
Light) dan al-Haqiqat al-Muhammadiyyah (the Muhammadan Reality), sebab
Muhammad yaitu Nur al-Anwar dan Qalam al-A’la (the Most High Pen) yang
menjadi perantara antara manifestasi hakikat-hakikat dari khazanah ghayb dan
pencatatan hakikat-hakikat pada setiap martabat dan mazahir sesuai dengan hierarki
eksistensial.84
Hakikat Muhammadiyyah yaitu al-Rabb zahir dan batin alam sebagai mazhar
nama al-Batin Dia akan mengurus batin alam dan sebagai mazhar nama al-Zahir Dia
akan mengurus zahir alam, sebab hakikat ini yaitu sahib al-Ismu al-‘azam yang
memiliki Rububiyyah mutlak. Hakikat ini yaitu al-mazhar, Dia yaitu al-Zahir dan
al-Batin, Dial-ah yang mengetahui segala sesuatu.85
Hakikat Muhammadiyyah memiliki dua aspek yakni aspek haqiqiyyah dan
aspek bashariyah. Aspek yang pertama hakikat haqiqiyah memiliki Rububiyah
terhadap seluruh alam, dan aspek keduanya hakikat bashariyah merupakan marbub
yang butuh kepada Rabbnya. Disini berarti memiliki isyarat bahwa Muhammad
yaitu mazhar nama Allah dan bukan selainnya. Dan sesungguhnya Aku yaitu
Bashar seperti kamu yang diwahyukan kepadaku.
Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa alam
yaitu cermin bagi Tuhan yang mana dalam semseta ini banyak sekali keragaman
Tuhan yang tak terhitung jumlahnya. Maka cermin yang paling sempurna dalam
menggambarkan Tuhan yaitu manusia sempurna, kareaa darinya terpantul nama-
nama dan sifaat-sifat Tuhan sedangkan mahluk lain hanya memantulkan sebagian
saja sifat dan nama Tuhan.86 Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa individual yang paling
sempurna dikalangan manusia yaitu Muhammad (insan kamil). Manusia menjadi
sempurna sebab ia menjadi citra (imago) personal dari sifat dan nama Tuhan.87 Ia
juga merupakan citra sempurna langit dan bumi yakni sebagaimana ia
memanifestasikan dirinya sebagai alam wujud.88
Allah Swt. menciptakan seluruh roh mahluk dari ruh Muhammad di alam lahut
dalam bentuk yang hakiki dan terbaik. Sebab itu, Ruh Muhammad yaitu nama bagi
keseluruhan ruh manusia di alam lahut. Yang mana dalam hal ini alam lahut yaitu
negeri asal (al-wathan al-ashli).89
Penjelasan tentang kapan penciptaan dimulai dalam riwayat dijelaskan:
َناكَنيأَ,اللهَلوسرَيا؟ضرلأوَتاومسلاَقليخَنأَلبقَانبر
َءالماَىلعَهشرعَقلخَثمَ,ءاوهَهتتحَاموَءاوهَهقوفَامَءَامعَفيَناكَ :لاق
Selanjutnya Nabi pernah ditanya, “dimana kah Tuhan mewujud ketika Dia
belum menciptakan mahluk. Maka Nabi menjawab Dia berada di dalam Awan, tidak
diatas tidak pula dibawah dan tanpa udara (HR Imam Ahmad bin Hanbal)90 Ibn ‘Arabi
menterjemahkan Dia berada dalam Awan” dengan Dia mewujud yang berarti terdapat
lima cara bagaimana Tuhan mewujud sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan
al-Hadits. Seperti penjelasan Chittick di bawah ini:
“Coming to be in the Cloud, which is what we just mentioned; (2) coming
to be in the Throne, as indicated by His words, “The All-mercifull sat upon
Throne” (Koran 20:5); (3) coming to be in the heaven, as indicated by the
words, “Our Lord descends each night to the heaven of this world” (6:3) (4)
coming to be in the earth, as His words, “He is God in the heavens and the
earth” (6:23); and (5) an all-inclusive coming to be, since He is with the
existent things in all their levels wherever they might come to be, as he
explained in relation to us with His words, “He is with you wherever they
might come to be” (57:4). All of these are relationship in keeping with his
majesty, without asking “how” (takyif), without declaring Him similar
(tashbih), and without conceptuali Dzation (tasawwur).91
(1) Mewujud melalui Awan, sebagaimana telah disebutkan; (2)
mewujud melalui Singgasana, sebagaimana dinyatakan oleh firman-Nya,
“Yang Maha Pengasih bertahta di atas Singgasana” (Qs. Taha [20]: 5); (3)
mewujud melalui langit, sebagaimana disebutkan dalam firman, “Pada setiap
malamnya, Tuhan turun ke langit dunia” (Qs. Al-An’am [6]: 3); (4) mewujud
melalui alam semesta, sebagaimana diciptakan dalam firman, "Dia-lah
penguasa langit dan bumi” (Qs. Al-An’am [6]: 23); (5) melalui semua itu Dia
mewujud, sebab Dia berada di dalam segala wujud sesuatu, sebagaimana
telah Dia jelaskan – dalam hubungan dengan keberadaan kita – melalui
firman, “ Dia senantiasa beserta kalian di mana pun kalian berada” (Qs. Al-
Hadid [57]: 4). Semua itu tidak lepas dari kemahabesaran-Nya, tanpa harus
bertanya “bagaimana” (takyif), tanpa melalui penyerupaan (tashbih) dan
konseptualisasi (tashawwur).
Melalui awan dalam totalitasnya kosmos mengambil bentuk, awan yaitu
imajinasi absolut sebab ia memberi bentuk pada segala ciptaan. Setiap wujud sesuatu
menjadi nyata di dalamnya. Menurut Chittick terkadang Ibn ‘Arabi mengidentikan
awan dengan Nafas ar-Rahman, terkadang ia membedakannya dengan mengatakan
bahwa awan mewujud melalui nafas.92 Sebagaimana pernyataannya berikut ini:
Contiguous imagination derives from one of the faces of Nondelimited
Imagination, which is the All-comprehensive Presence and the All-inclusive
Level. This Cloud become configured within the Breath of The All-merciful,
inasmuch as the All-mercifull is a God, not inasmuch as He is only All-
merciful. All existent things become manifest within the Cloud trough “Be!”,
or one hand, or two hands. In contrast, the Cloud itself becomes manifest only
trough the Breath. Were it not for the fact that the word “Breath” has come in
the Law, we would not have applied the term, though we knew the reality.
“Imajinasi muttashil berasal dari salah satu “wajah” Imajinasi Absolut,
yakni Kehadiran Yang Maha Meliputi lagi Maha Melingkupi. Awan ini
terkonfigurasikan di dalam Nafas Rahmani, yakni Tuhan, yang tidak hanya
sebagai Yang Maha Pengasih. Seluruh wujud menjadi nyata melalui (firman)
“jadilah”, dengan satu ataupun dua tangan. Sebaliknya Awan itu sendiri
menjadi nyata hanya melalui Nafas. Andaikata tidak ada firman “Nafas”
sebagaimana yang termaktub di dalam hukum, kita tidak akan menggunakan
istilah ini, meski kita mengetahui hakikatnya.”
Izutsu menggaris bawahi bahwa Nafas ar-Rahman persis sebagaimana udara
yang berhembus keluar dari dada manusia, demikian pula eksistensi yang tertahan di
dalam dada Sang Mutlak yang berupa rahmat. Sehingga Nafas ar-Rahman yaitu
sebuah ungkapan simbolik bagi pemanifestasian wujud atau tindakan Ilahi
mewujudkan sesuatu di alam. Dalam pencitraan khas Ibn ‘Arabi fenomena ini bisa
juga digambarkan sebagai nama-nama Ilahi yang menyembur ke alam nyata
eksistensi. Gambaran ontologis ini merupakan aktualisasi nama-nama Ilahi dalam
bentk-bentuk alam raya. Proses ini dijabarkan oleh Bali Efendi sebagai beikut:
The names, previous to their existence in the outer world, exist hidden in
the Essence of the Absolute, all of them seeking an outlet toward the world of
external existence. The state in comparable to the case in which a man holds
his breath within himself. The breath, held within, seeks an outlet toward the
outside, and this causes in the man a painful sensation of extreme
compression. Only when he breathes out does this compression cease... Just
as the man is tormented by the compression if he does not breathe out, so the
Absolute would feel the pain of compression if it did not bring into existence
the world in response to the demand of the Names.93
“Sebelum eksistensi mereka di alam luar, nama-nama Ilahi mewujud
secara tersembunyi di dalam Esensi Sang Mutlak, semuanya mencari jalan
keluar menuju alam eksistensi eksternal. Keadaan ini bisa diumpamakan
seperti seorang yang menahan nafasnya dalam dirinya. Nafas tertahan di
dalam, mencari jalan keluar, dan hal ini mengakibatkan sensasi menyakitkan
akibat tekanan yang tinggi. Hanya bila Dia menghembuskan nafas, tekanan
ini akan berhenti … persis sebagaimana manusia akan tersiksa oleh tekanan
jika dia tidak membuang nafas, demikian pula Sang Mutlak akan merasakan
sakitnya tekanan (dari dalam) jika Dia tidak mewujudkan alam raya sebagai
respon atau tuntutan segenap nama.”
Tentang hal ini Bali Efendi menambahkan bahwa fenomena “bernafas”
(tanaffus) Ilahi ini sama saja dengan ucapan Allah “jadilah!” (Kun) atas alam raya.
“Dia menghembuskan nafas” bermakna “Dia mengirimkan apa yang di Interior ke
Eksterior dengaan kata Kun. Jadi, Dia sendiri yang mewujud di Eksterior setelah di
Interior.94 Uraian selanjutnya bahwa:
“Kebenaran diterima dalam satu bentuk dan ditolak dalam bentuk lain,
Entitas yaitu satu, namun bentuk-bentuk berbeda. Inilah apa yang kita
maksud dengan keanekaragaman bentuk, yakni bentuk-bentuk kosmos, di
dalam awan. Dalam hubungan dengan bentuk-bentuk ini, bentuk-bentuk
yaitu segala sesuatu yang dapat “dibayangkan” (al-mutakhayyalat),
sementara Awan yang ada di dalamnya dan menjadi nyata yaitu imajinasi…
Sehingga, Dia menyatakan-diri pada hati dan melalui entitas-entitas segala
sesuatu yang mungkin (mumkinat). Dia yaitu Nyata, tapi juga merupakan
bentuk-bentuk yang sesuai dengan apa yang diberkati-Nya, memiliki
kesiapan, sebagaimana Dia menjadi nyata melalui bentuk-bentuk itu. Sesuatu
yang mungkin yaitu Awan, sementara yang nyata di dalam Awan yaitu
kebenaran. Disini, Awan yaitu Kebenaran Yang Melaluinya Ciptaan
Mengambil Tempat. Keanekaragaman entitas-entitas sesuatu yang mungkin
berasal dari kekekalannya; semua itu mengejawantahkan perbendaharaan-
Nya yang dengannya Dia menyatakan diri.”95
“Dalam kondisi eksistensialnya, kosmos tiada lain yaitu bentuk-bentuk
yang dengannya Awan menerima (bentuk-bentuk) dan menjadi nyata.
Sehingga, kosmos – jika engkau menatap pada hakikat – tiada lain yaitu
aksiden yang hilang, yakni perbendaharaan yang akan mengalami kesirnaan.
Hal ini ditunjukkan oleh firman-Nya, “Segala sesuatu akan sirna kecuali
Wajah-Nya” (Qs. Al-Qasas [28]: 88). Nabi bersabda, “Bait yang paling sering
disebut-sebut oleh orang Arab bait Labid, “Bukankah selain Tuhan yaitu
bathil (tidak nyata)?” Dengan kata lain, yang selain Tuhan tidak memiliki
realitasnya sendiri. sebab nya ia menerima “takdir.” Sebab, ia menjadi ada
melalui yang selain dirinya sendiri…”96
“Maka, substansi abadi (al-Jawahir al-tsabit) yaitu Awan, yang tiada lain
yaitu Nafas rahmani. Kosmos dalam keseluruhannya yaitu bentuk-bentuk
yang ternyatakan; sehingga semua itu yaitu aksiden-aksiden yang akan
mengalami kesirnaan. Bentuk-bentuk tersebut yaitu mumkinat. Hubungan
mereka dengan awan yaitu hubungan diantara bentuk-bentuk dengan orang
yang menatap pada cermin. Yang nyata yaitu “penglihatan” (basyar)
kosmos, sehingga Dia yaitu “Sang Pengawan”.97
2. Al-Harkah al-Hubbiyah: Dimensi Iradah Realitas
Keseluruhan karya Ibn ‘Arabi merupakan penjelasan tentang hubb Ilahi (kanzan
mahfi) yang terdiri dari dua aspek yakni syawq (hasrat) dan hanin (helaan nafas
derita) yang rindu untuk memanifestasikan diri-Nya ke dalam wujud-wujud agar Ia
tersingkap kepada manusia. Cinta Tuhan yaitu hasrat makhluk kepada Tuhan yang
sebenarnya yaitu nafas Tuhan yang merindu untuk kembali pada diri-Nya sendiri.
Meskipun pada ketentuan konkritnya (ta’ayyun) terdapat dualitas yang dicinta dan
yang mencinta, namun pada hakikatnya yaitu wujud tunggal yang merindukan
bayangannya.98
Penjelasan Ibn ‘Arabi tentang gerak cinta bisa kita lihat dalam kutipan berikut:
َلماعلاَىمسمَينعَفيَاهرثااَيروهظَمدعَنمَهدتََتناكَ امَةيلهَلإاَءاسملأاَنعَسفّنَفيكَ هارتلاأ
.َهلَةبوبمحَةحارلاَتناكف
َامفَ,بحللَتناكَ ةكرلحاَنّأَتبثفَ.لفسلأاوَىلعلأاَيّروصلادوجولباَلّااَاهيلاَلصويَلموَةكرحَّثم
ةيّ ّبحَيهوَّلااَنوكلاَفي.99
‘Apakah kamu tidak melihatnya bagaimana Dia menafaskan dari Nama-
Nama Ilahiyyah sesuatu yang kamu tidak temuikan dari ketiadaan manifestasi
efek-efeknya pada entitas yang dinamakan sebagai alam. Maka ia yaitu satu
kelegaan yang tercinta untuknya.
Dan tidak sampai kepadanya kecuali dengan wujud formal yang tertinggi
dan yang terendah. Maka terbuktilah bahwa gerak yaitu demi cinta. Maka
pada ketika itu, tidak ada apapun dalam al-kawn kecuali ia yaitu al-
hubbiyyah’
Ibn ‘Arabi menyatakan “al-Haqq berkehendak… untuk melihat..” yang dalam
bahasa Arab berasal dari kata “syâ’a” atau “al-masyi’ah”. Ibn ‘Arabi mengatakan:
َكلاوحأوَتنأَمولعلماوَمولعمللَةعبتاَةبسنَملعلاوَ.ملعللَةعبتاَةبسنَيهوَقلعتلاَةيدحأَهتيئشمف
فيَرثأَملعللَسيلفمولعلماَهنيعَفيَ,هيلعَوهَامَهسفنَنمَهيطعيفَملعلاَفيَرثأَمولعمللَلبَ, .100
“Masyi’ah Allah yaitu keterikatan tunggal (ahadiyyat al-ta’alluq – single
attachment). Dan ia yaitu nisbah yang mengikuti (atau tergantung kepada)
ilmu. Sementara ilmu yaitu nisbah yang mengikuti ma’lum. Dan ma’lum
yaitu kamu dan ahwal kamu. Maka dari ilmu tidak memberi akibat pada
ma’lum, namun ma’lum yang memberi akibat kepada alim. Maka ia
mengaruniakan dari dirinya apa yang ada pada entitasnya.”
Qaysari mendefinisikan al-masyi’ah bahwa; Masyi’ah-Nya (Allah) yaitu
tajalli Dzati-Nya dan al-Inayat al-Sabiqah (apriori Grace) untuk mewujudkan non-
eksistensi atau mentiadakan eksistensi. Dari itu, (arti dan hakikat) al-masyi’ah lebih
umum dari al-iradah.
Maka kalimah al-iradah dan al-masyi’ah ketika al-Haqq berkehendak sama
dengan ketika ber-tajalli. Dengan berkehendak maka termanifestasilah nama-nama
Ilahiah. Berarti al-Haqq telah mewujudkan alam melalui salah satu nama-Nya yaitu
al-iradah. Yang berarti bahwa kosmos merupakan lokus pengejawanjatahan nama-
nama.102
sebab Dzat-Nya, Iradah-Nya, dunia mengada dari ketiadaan sebab cinta
yaitu sebab segala gerak ciptaan dari tiada menjadi ada berdasarkan hadis Qudsi
faahbabta, yang diisyaratkan oleh Tuhan sebab cinta Allah memanifestasi jadi
masyi’ah-Nya Allah yaitu gerak cinta itu sendiri. Hal ini berbeda dengan prinsip
gerak filosofis (Gradual Change) namun gerak cinta (al-harkah al-hubbiyah).
Cinta yaitu rahasia penciptaan (sirr al-halq) atau sebab penciptaan (illat al-
Haq), cinta yaitu iradah yang mendorong Al-Haqq memanifestasikan cinta dan
pengetahuan-Nya.103 Bagi Ibn ‘Arabi al-Harkah al-Hubiyyah menjadi basis
ontologis penciptaan, penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta sebab
hasrat penjelmaan diri. Secara teologis cinta dimaknai sebagai keimanan yang
hasilnya yaitu Haqqul yaqin yaitu keyakinan penuh kepada al-Haqq104
Rumi, al-Nuri dan al-Hallaj menafsirkan cinta sebagai rahasia ketuhanan (Sirr
Allah) atau rahasia penciptaan (Sirr al-halq). Hadits Qudsi yang berulang disebut Ibn
‘Arabi yaitu kanzan makhfiy.105 Hal ini berdasarkan ayat :
َ هنو بّيحوَ مْه بّيحَموْقبَ لّلاَتي يْأَفوْسفَهنيدَ نْعَ مْك نْمَ دّترْ يَ نْمَاونمآَنيذ لّاَاه يّ أَيا
َةموْل َنوفايخ َلاو َ لّلا َليبس َفي َنودهايج َنيرفاك لْا َىلع َةزّعأ َيننمؤْم لْا َىلع َة لّذأ
مَئلا
“Wahai orang-orang yayng beriman! Barangsiapa di antara kamu yang
murtad (keluar)dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap
lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, namun bersikap keras
terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela”. (QS. Al-Maidah [5]: 54)
Ibn ‘Arabi mengaitkan antara cinta dan Wujud, isyq dan ma’rifat, dengan
menggunakan kias awan (‘ama) kepada nafas yang dihembuskan sebelum firman
‘Kun!’diucapkan. Seperti halnya penjelasan Ibn ‘Arabi dalam Futuhat yang dirujuk
oleh Chittick di bawah ini:
‘The root of the Breath is the property of love. Love has a movement
(harakah) within the lover, while ‘breath’ is a movement of yearning (syawq)
toward the object of love and through that breathing enjoyment is
experienced. And God has said, as has been reported, ‘I was a Hidden Treasure
but was not known, so I loved to be known.’ Through this love, breathing
takes place, so the Breath becomes manifest, and the Cloud comes into
being.’106
“Akar Nafas yaitu perbendaharaan cinta. Cinta memiliki sebuah
pergerakan (al-harkah) di dalam diri pencinta, sementara ‘nafas’ yaitu
gerakan dari rindu (syauq) terhadap objek cinta, dan melalui ‘nafas’ itulah
kenikmatan dialami. Dan Tuhan telah bersabda, sebagaimana sudah
dijelaskan, “Aku yaitu harta tersembunyi, namun tidak dikenal, maka aku
cinta (ahbabtu) supaya dikenal. “Melalui cinta ini nafas mengambil tempat,
maka Nafas menjadi nyata dan Awan menjelma ke dalam wujud.”
Menurut Ibn ‘Arabi antara cinta dan pengetahuan ma’rifat-lah yang lebih tinggi
derajatnya sebab Ilmu-Nya Tuhan memanifestasi. Seperti kutipan yang dirujuk
Chittick di bawah ini:
“Knowledge is more excellent than love, which is why God commanded
His Prophet to seek increase in it from Him. It is identical to the divine
friendship whereby God takes charge of His servants and enables them.
Through knowledge they come to know that He cannot be known. But if the
lover is not a gnostic, he creates in himself a form by which he becomes
enraptures and of which he is enamored. Hence be only worship and yearns
for that which is under his own sway. Nothing can remove him from this
station but knowledge” 107
“Pengetahuan lebih utama dari cinta, itulah sebabnya Tuhan
memerintahkan Nabi-Nya supaya menambah pengetahuan yang berasal dari-
Nya… Melewati pengetahuan pada akhirnya mereka mengetahui bahwa Dia
tidak dapat diketahui. namun apabila pecinta bukan ahli ma’rifat, maka dia
menjadikan dari dalam darinya sebuah rupa yang dengan itu dia terperangkap
dan terpikat kepada rupa itu. Disini dia hanya memuja dan merindukan sesuatu
yang berada dibawah kesanggupannya. Tidak ada yang dapat memindahkan
dia dari kedudukannya itu kecuali pengetahuan yang benar.
Pernyataaan diatas menunjukkan bahwa alam itu thabit (permanen) dan pada
saat yang sama yaitu al-hadith. Terkait dengan hal ini Ibn ‘Arabi menunjukkan
bahwa kesempurnaan al-Haqq menjadi jelas ketika al-Haqq menghembuskan Nama-
Nama Illahiyyah dengan hembusan nafas cinta maka menjelmalah alam. Dan disini
pula Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa alam tercipta sebab hembusan cinta.
Penjelasan lainnya menurut Ibn ‘Arabi akal awam tidak akan sampai pada
kesadaran nomena (sebab terjauh) yakni Tuhan sebab awam hanya sadar pada hal-
hal yang bersifat fenomena. Maka Ibn ‘Arabi menyatakan hanya kalangan ulama
yang mengetahui hakikat-hakikat ini bahwa segala gerak dimulai dari gerak cinta.
Hal ini sesuai dengna penyataannya:
َىلعَهئلايتساوَلالحاَفيَهمكلحَبرقلأاَببسلاَهبجيحَنمَمهنموَكلذَملعيَنمَءاملعلاَنمف
َسفنلا.108
“Maka dari kalangan ulama yang mengetahui hal tersebut, dan ada dari
kalangan mereka yang terhijab oleh sebab yang terdekat sebab hukumnya
pada hal-hal nominasinya ke atas jiwa.”
Cinta dalam penjelasan yang lain yaitu Wujud. Wujud disini dipahami sebagai
sifat Tuhan. Berangkat dari penjelasan ini maka istilah Wahdatul Wujud merupakan
sintesa dari keseluruhan sifat-sifat Tuhan. Seperti halnya penjelasan Qunawi109 yang
dikutip oleh Chittick:
“God Know all things as result of His very Knowledge of His Own
Essence. He is not qualified by any knowledge derived from other than
Himslef or through other than Himself. Then He bestows being upon the world
in accordance with His Knowledge of the world in himself from Eternity –
without – beginning. So the world is the form of and locus – of – manifestation
for His knowledge, and God never ceases to encompass the things in
Knowledge and Being... everything which becomes manifest becomes
manifest only from Him, since nothing else possesses a being which might
accompany His Being.110
“Akibat Pengetahuan Tuhan tentang Dzat -Nya sendiri, Ia mengetahui
segala sesuatu. Dia tidak diten