Tampilkan postingan dengan label teori semesta muslim 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teori semesta muslim 6. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Desember 2024

teori semesta muslim 6


 a tentang struktur ontologis dunia berputar sekitar poros yang 

berkembang menjadi suatu sistem kosmik berskala besar. Keseluruhan filsafat Ibn 

‘Arabi  yaitu  teori tajalli.4 Tidak satu bagian pun dari pandangan dunianya dapat 

dipahami tanpa merujuk kepada konsep sentral ini. Ibn ‘Arabi memiliki pandangan 

bahwa terdapat Satu Realitas manifestasi diri-Nya dalam bentuk yang tidak terbatas.5  

Konsep tajalli (manifestasi) Sang Realitas Ibn’ Arabi dipengaruhi oleh 

pemikiran Emanasi Plotinus.6 Menurut Ibn ‘Arabi Emanasi Plotinus disebut sebagai 

atribut-atribut atau aspek-aspek di mana  Realitas yang Satu itu dipandang.7 Izutsu 

menambahkan bahwa tajalli yaitu  proses Sang Mutlak memanifestasi diri-Nya 

dalam bentuk yang konkret, yang mana penjelmaan tersebut tidak dapat 

diaktualisasikan kecuali melalui bentuk-bentuk partikular dan determinasi.8 Artinya 

satu Realitas yang sama mengartikulasikan dan mendeterminasikan diri-Nya secara 

beraneka rupa dan langsung tampak dalam bentuk-bentuk segala sesuatu yang 

berbeda-beda.9 Hal ini sesuai dengan perbedaan isti’dadd atau kesiapan objek 

tajalli10. Seperti halnya penjelasan Ibn ‘Arabi: 


 “Al-Haqq ber-tajalli pada setiap orang (makhluk) yang Allah ber-tajalli 

padanya dari alam mana saja baik alam ghaib atau alam syahadah. Hal itu dari 

sisi Tuhan sebagai Isim Dzahir. Sementara Tuhan sebagai nama-nama batin 

hakikat ini Tuhan sama sekali tidak ber-tajalli baik di dunia maupun di 

akhirat”. 

Menurut Qaysari, Ibn ‘Arabi membedakan dua tipe emanasi (tajalli); al-fayd al 

aqdas (emanasi paling suci) dan al-fayd al-muqaddas (emanasi suci). Seperti dalam 

uraian berikut ini: 

لإاَضيفلاَنإف.َسدقلماَضيفلاوَسدقلأاَضيفلباَمسقنيَيله 

َفيَنايعلأاَكلتَلصتحَ:نىاثلاباوَ,ملعلاَفيَةيلصلأاَاتهادادعتساوَةتباثلاَنايعلأاَلصتحَ:َلوّلأباو

اهعباوتوَاهمزاولَعمَجرالخا.12 

“Al-fayd al-aqdas yaitu  al-fayd yang memunculkan a’yan tsabitah dan 

potensi-potensinya dalam ilmu Tuhan, sedangkan al-fayd al-muqaddas, a’yan 

tersebut muncul dari luar secara konkret bersama segala sifat lazimnya.”  

Pada emanasi paling suci (al-fayd al-aqdas) al-Haqq secara mutlak tidak dapat 

dan tidak bisa diketahui, ingin meninnggalkan keadaan sebagai “khazanah yang 

tersembunyi” dan ingin diketahui.13 Qaysari memberi penjelasan bahwa istilah al-

fayd atau at-tajalli yaitu  identik sedangkan penjelasan lainnya al-fayd yaitu  hasil 

dari tajalli.14 A’yan tsabitah itu muncul dari Tuhan melalui al-fayd al-aqdas. Dan al-

fayd al-aqdas yaitu  cinta yang esensial yang meniscayakan adanya segala sesuatu 

dan potensi-potensinya dalam hadrah ilmu (kehadiran ilmu Tuhan).15  

Sementara al-fayd al-muqaddas yaitu  tajalli nama-nama yang meniscayakan 

munculnya akibat dari potensi-potensi a’yan tsabitah.16 Tipe pertama lebih dahulu 

daripada tipe kedua hanya dalam logika urutan eksistensial, bukan dalam kenyataan. 

“Emanasi” paling suci disebut pula dengan “penampakan diri esensial” (al-tajalli al-

Dzat i) dan “penampakan diri ghaib” (al-tajalli al-ghayb). “Emanasi paling suci” 

yaitu  taraf pertama yang menentukan dalam penampakan diri al-Haqq. Ini yaitu  

taraf awan tebal (al-‘ama’), seperti disebut Ibn ‘Arabi. Pada taraf ini al-Haqq tidak 


menampakkan diri-Nya kepada sesuatu yang lain namun  kepada diri-Nya sendiri.17 Al-

fayd al-aqdas secara potensial menunjukkan bahwa al-Haqq belum menampakan 

diri-Nya secara aktual dalam keanekaan. Al-fayd al-muqaddas biasa disebut dengan 

“penampakkan diri eksistensial” (al-tajalli al-wujudi) dan “penampakan diri indrawi” 

(al-tajalli al-shuhudi). “Emanasi Suci” yaitu  penampakan diri dari Yang Esa dalam 

bentuk-bentuk keanekaan eksistensial.18 Dari emanasi ini bermakna bahwa arketip-

arketip permanen (al-a’yan al-tsabitah) yang telah diwujudkan oleh emanasi paling 

kudus (al-Aqdas) meninggalkan keadaan menjadi intelijibel meleburkan diri mereka 

kedalam benda-benda indrawi yang menyebabkan alam indrawi eksis secara aktual. 

Yang secara in potentia mengalami perubahan menjadi hal-hal in actual.19  

Penciptaan alam atau tajalli disebabkan kerinduan Tuhan untuk dikenal oleh 

ciptaan-Nya. Seperti yang disebutkan dalam hadits: 

تنكََازنكَمخ،َاّيفَتدرأفَنأَ،َفرعْأَتقلخفَقللخاَهبفَنَوفرع20 

“Aku yaitu  bagaikan harta yang tersembunyi (kanz makhfi), aku rindu 

untuk dikenali sebab nya aku ciptakan dunia.” 

Dalam taraf harta tersembunyi  al-Haqq yaitu  transenden secara total, tidak 

dapat diketahui dan didekati secara absolut.21 “Ketersembunyian” di sini diartikan 

dengan “kemisterian” yang berakibat “kesunyian” dan “kesepian”, membuat al-Haqq 

cinta dan rindu untuk dikenal agar tidak tersembunyi lagi. Kemudian, Ia menciptakan 

alam sebagai lokus pengejawantahan diri-Nya. Proses penciptaan inilah yang disebut 

sebagai tajalli.22 Ibn ‘Arabi mengatakan: 

َةيراعَتاذلاَوهَدحاوَىمسمَىلعَةللادلاَفىَءاسملأاَداتحإَوهَانطباَيأَازنكَقلحاَنوكلاَنىعم

تَافاضلإاوَبسنلاوَماكحلأاَنع23 

 


“...Makna keadaan al-Haqq sebagai harta simpanan atau batin ialah 

kesatuan nama-nama dalam menunjukkan apa yang disebut Esa, yaitu Dzat 

yang terlepas dari hukum-hukum (sifat-sifat), hubungan-hubungan dan relasi. 

Maksudnya yaitu  al-Haqq dari segi Dzat -Nya tidak diketahui namun dari segi 

nama-nama dan sifat-Nya yang menampakkan diri pada alam Ia  diketahui. Ibn ‘arabi 

menyatakan bahwa segala yang tampak yaitu  wujud – hakikat Ketuhanan. Namun 

jika sesorang menunjuk pada “perwujudan” ke dalam “eksistensi”, hal ini 

sesungguhnya hanyalah metafor sebab  pada dasarnya fenomena ini bukanlah 

eksisten.24 Agar Tuhan dapat melihat diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya melalui 

alam maka Ia mencipta. sebab  alam yaitu  cermin bagi Tuhan, melalui cermin 

itulah al-Haqq mengenal diri-Nya dan memperkenalkan wajah-Nya.25 Dalam al-

Qur’an disebutkan: 

خَ لْْاوَلوّ لْأاَوهنَطاب لْ اوَرها ظّلاوَر 

“Dialah Yang Awal dan Akhir, Yang Dzahir dan Yang Bathin” (QS. Al-

Hadid [57]: 3). 

Menurut Ibn ‘Arabi, ayat tersebut harus dipahami secara literal, al-Haqq secara 

Dzahir yaitu  nyata dan secara batin tidak nyata. Firman lain:  

َّللاَه جْوَ مّثفَاو لّوتَامن يْ أَ ف 

“Kemanapun Kalian menghadap disitulah wajah Tuhan” (QS. Al-Baqarah [2]: 

115) 

Inilah pula pernyataan akan “kesetaraan-Nya”, disisi lain pula:  

رَاص بْ لْأاَكر دْيَوهوَراص بْ لْأاَهكر دْتَلا 

“Tiada mata dapat melihat-Nya, sedangkan Dia dapat melihat segala yang 

Nampak oleh mata.” (QS. Al-An’am [6]: 103). 

Inilah pernyataan akan ke-Esaan-Nya. Oleh sebab  itu, perpaduan antara dua 

perspektif yang saling melengkapi akan mencapai pengetahuan yang hakiki.26 Dari 

segi Dazt-Nya al-Haqq tidak dapat diketahui namun dari segi nama-nama dan sifat-

Nya yang menampakkan diri pada alam diketahui.27 Ibn ‘Arabi mengatakan: 

“Tuhan yaitu  nyata bagi “penglihatan” mata dan tidak nyata dalam 

“pandangan” akal. Sebagaimana halnya tidak ada objek pengetahuan yang 

 


tidak berada dalam genggaman ilmu-Nya, sebaliknya, segala sesuatu dalam 

pengawasan-Nya sehingga Dia tampak oleh mahluk-mahluk-Nya, baik dalam 

keadaan noneksistensi maupun eksistensinya. “Dia” disaksikan oleh mereka 

melalui pengejawantahan sifat-sifat penglihatan (bashar). Sekalipun demikian, 

menyaksikan-Nya tidak harus memahami-Nya sebagai objek.”28 

Penampakan diri Sang Mutlak disebut sebagai ta’ayyun (entifikasi) Ia 

bermanifestasi dalam bentuk-bentuk yang tak terbatas jumlahnya. Tidak ada 

kesamaan dan tidak akan terulang bentuk-bentuk tersebut sebab  semuanya terjadi 

dalam perubahan terus-menerus tanpa henti. Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa alam 

temporal berubah setiap saat, ia berubah dari satu keadaan ke keadaan lain. Allah swt 

berfirman: 

نَ أْشَفيَوهَموْيَ لّك 

“Setiap waktu Dia dalam kesibukan” (QS. Ar-Rahman [55]: 29). 

Maksudnya yaitu  bahwa setiap ciptaan Tuhan yaitu  baru sebab  setiap saat 

alam menjadi dan hancur, datang dan hilang, demikian itu setiap saat secara terus-

menerus dan selamanya.29 Alam yaitu  lokus pengejawantahan yang secara umum 

disebut sebagai “eksisten” yakni eksisten sesuatu yang mungki atau eksisten entitas. 

Segala sifat dan kualitas yang melekat pada lokus yaitu  milik yg dzahir.30  

Dengan mengutip Abu Talib dan Rijal Allah yang lain Ibn ‘Arabi mengatakan:  

“Sesungguhnya Allah swt selama-lamanya tidak melakukan tajalli dalam 

satu bentuk bagi dua individu atau pribadi dan tidak pula dalam satu bentuk 

dua kali.”31 

Al-Haqq yaitu  Dzat Esa sebab itu Ia melakukan tajalli dalam ke-Esaan-Nya. 

Segala sesuatu memiliki sifat dan situasi unik, oleh sebab nya memiliki kapasitas 

berbeda pula dalam menerima tajalli. Oleh sebab nya tajalli al-Haqq terjadi sesuai 

kadar “kesiapan” (isti’dadd) setiap sesuatu itu, tidak kurang dan tidak lebih. Dia 

memberi secara konstan sementara lokus-lokus menerima (pemberian itu) sesuai 

dengan kadar realitas-realitas. Ibn ‘Arabi mengumpamakan hal ini dengan cahaya 

yang dipancarkan sinar matahari kepada benda. Misalnya penjual es dan orang yang 

sedang bertanam jagung/padi. Penjual es ingin cuaca selalu panas agar jualannya laku 

namun  di sisi lain petani jagung ingin hujan datang agar tanamannya subur. 

Perumpamaan lain cahaya matahari yang menghitamkan wajah orang yang menjemur 

padi namun mengeringkan padi agar siap untuk digiling menjadi beras. Hal ini 

diumpamakan Ibn ‘Arabi seperti penerimaan suatu ayat al-Qur’an yang dipahami 

oleh tiga orang yang berbeda pemahamannya sesuai dengan perbedaan kesiapan 

masing-masing dalam memahami ayat tersebut.32 

Ibn ‘Arabi juga mengatakan: 

َادوهشَاضيأَنوريوَ,ىلجتلاَررّكيَلاوَسفنَلكَفىَىلجتيَاللهَنّأَنوريَمنّّإفَفشكلاَلهأَامّأو

ََّنأَدنعَءانفلاَينعَوهَهباهذفَقلبخَبهذيوَاديدجَاقلخَىطعيَلتََلكَهيطعيَ المَءاقبلاوَىلجتلا

مهفافَرخلْاَىلجتلا.33 

“Tentang ahl al-kashf, mereka memandang bahwa Allah melakukan tajalli 

pada setiap nafas, dan tidak ada satu tajalli yang berulang. Mereka 

berpandangan bahwa setiap tajalli memberikan ciptaan baru dan melenyapkan 

ciptaan (lain yang mendahuluinya) kelenyapannya identik dengan 

kemusnahan (ketiadaan) pada tajalli (baru) dan kelanjutan (bagi ciptaan lain) 

yang diberikan tajalli lain berikutnya.” 

Hal ini membuktikan bahwa manifestasi setiap saat mewujud dalam bentuk-

bentuk tak terhitung, tiada jeda sebab  setiap saat tercipta ciptaan baru, sebagaimana 

nafas yang pada realitasnya tidak pernah berhenti. Dilukiskan oleh Corbin nafas kasih 

mengalir laksana air sungai yang tak henti-hentinya diperbaharui. sebab  entitas 

abadi melakukan penetapan eksistensi satu demi satu namun  tetap adanya di alam 

misteri.34 

Penjelasan lain dalam Futuhat: 

َالمَاللهَنأَكلذوَ,وهَهناَفرعيَلاَنكلوَ,هيلعَباجحلاَمئادَيلهلإاَيلجتلاَنأَملعا

اَعَلاحَفيَهملاكَهعسمأَلمَاعلاَقلخَقلحاَنكيَلموَ,هناحبسَهلادوهشمَناكوَ)نك(َ:هلوقوهوَةمد

35هَلادوهشم 

“Ketahuilah, bahwa tajalli itu abadi (daimun) yang tidak ada hijab atasnya 

namun  Dia tidak diketahui bahwa Dia yaitu  Dia. Ketika Allah menciptakan 

alam, Allah memperdengarkan kalamnya tentang keadaan ketiadaan alam, 

dengan firmanNya (kun). Alam itu disaksikan oleh Allah namun  al-Haqq tidak 

disaksikan oleh alam.” 


Pengetahuan tentang Tuhan tidak mudah dipahami kecuali bagi Arif atau tajalli 

Al-Haqq hanya bisa dipahami dan diterima kebenarannya oleh para Arif yang 

diistilahkan oleh Ibn ‘Arabi yaitu  seseorang yang mutaahhib.36 

Izutsu merangkum pendapat al-Qashani dalam mendeskripsikan manifestasi diri 

al-Haqq sebagai struktur multi-strata menghadirkan fenomena tajalli dalam aspek 

statis dan nontemporalnnya. Ia menggambarkan “strata” (maratib, j. martabat) al-

Haqq sebagai berikut: 

Dimulai dari tingkatan wujud  yang tiada apapun kecuali Realitas (‘ayn) 

Tunggal, yakni Sang Mutlak sebagai Realitas-Nya yaitu  wujud  dalam aspek 

fenomenal  (masyhud)-Nya. Pertama, wujud pada tahap ini sepenuhnya bebas dari 

batasan apapun. Pada strata ini Sang Absolut yaitu  esensi mutlaq belum terjadi 

manifestasi dan bukan bagian dari ralitas fenomenal. Namun sebab  Ia yaitu  titk 

awal dari semua tahapan antologis selanjutnya maka ia bisa dipandang sebagai 

realitas fenomenal. Struktur ini yaitu  nondeterminasi (la ta’ayyun) dan 

nondelimitasi (‘adam inhisar). Strata kedua, pada tahap ini Sang Absolut masih Esa 

dan belum terpecah menjadi keberagaman meskipun wujud sudah 

“terdeterminasikan” dalam segenap determinasi aktif yang berupa nama-nama Ilahi. 

Dalam hal ini Sang Absolut secara potensial berartikulasi. 

Pada tahapan ketiga, semua determinasi (ta’ayyun) diri al-Haqq telah aktif 

(fa’iliy) dan efektif (muats-tsir) direalisasikan sebagai keseluruhan integral, tahapan 

ini disebut tahap ke-Esaan Ilahi (al-Ahadiyyah al-Ilahiyyah). Keempat, ke-Esaan 

Ilahi/kesatuan Ilahi pada stratum tiga yang terpecah menjadi determinasi diri terpisah 

yakni berupa nama-nama Ilahi. Tahap kelima, semua determinasi diri yang memiliki 

sifat pasif (infi’aly) yaitu  terdiri dalam bentuk kesadaran yang mempresentasikan 

segenap hal yang tercipta dan mungkin mewujud dalam alam (the world of 

becoming). Strata keenam, wujud yang berupa kesatuan sebelumnya larut menjadi 

hal-hal yang secara actual mewujud. Inilah tahap “alam semesta”. Semua genus, 

spesies, individu bagian, aksiden, hubungan dan sebagainya menjadi 

teraktualisasikan pada tahap ini.37  

Namun, secara garis besar konsep tajalli diringkas sebagai berikut: Tahapan 

pertama tajalli, al-Haqq menampakkan kepada diri-Nya sendiri dalam bentuk-bentuk 

entitas permanen. Entitas permanen hanya ada dalam ilmu Tuhan dan tidak ada dalam 

alam nyata. Entitas permanen merupakan bentuk penampakan nama-nama Tuhan 

pada tahap kemungkinan ontologis. Entitas permanen memberikan kesiapan azali 

kepada lokus (mahall) untuk tajalli kedua, oleh sebab nya ia selamanya tidak berubah 

dan tidak dapat berubah. Tajalli kedua terjadi saat “kesiapan azali” diterima oleh 

lokus yang menjadi tempat penampakan al-Haqq.  Pada tahapan ini entitas-entitas 

permanen menampakkan diri dari alam ghaib ke alam nyata, dari personalitas ke 

aktualitas, dari ke esaan ke keanekaan dari batin ke dzahir yakni al-Haqq 


menampakkan diri dalam bentuk-bentuk tak terbatas dalam alam syahādah (alam 

nyata). 

 

2. Tajalli al-Aqdas: Manifestasi Pertama 

Dzat Tuhan yaitu  Tuhan itu sendiri, tanpa penisbatan terhadap mahluk.38 Dzat 

Tuhan tidak memiliki hubungan dengan nama-nama dan alam, sebab  Tuhan yaitu  

satu-satunya al-wujud al-Haqq yang dalam ke-Esaan-Nya (Tuhan dari segi Dzat -

Nya) terbebas dan bersih dari keanekaan (al-katsrah).39 Al-wujud al-Haqq yaitu  

Allah satu-satunya dari segi Dzat -Nya dan entitas-Nya bukan dari segi nama-nama-

Nya.40 Yang dimaksud dengan wujud al-Haqq yaitu  al-wujud al-Haqq al-tsabit li 

Dzat ihi (wujud hakiki yang permanen dengan Dzat nya atau dengan sendirinya).41 

Menurut Qasyari yaitu  al-wujud al-tsabit al-muhaqqiq fi Dzat ihi (wujud permanen 

yang menjadi realitas pada Dzat -Nya).42 Menurut Kautsar, Ibn ‘Arabi mengatakan 

bahwa tidak ada wujud kecuali al-Haqq, yang dimaksud dengan wujud yaitu  al-

wujud al-Haqq, dan yang dimaksud dengan al-Haqq yaitu  Allah dari segi Dzat nya 

dan entitas-Nya yang tidak membutuhkan alam semesta. Sedangkan wujud alam 

semesta tidak lain daripada wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Dalam 

pengertian ini wujud identik dengan wujud haqiqi, wujud mutlak, al-Haqq, Allah, 

Dzat -Nya dan entitas-Nya.43 

Dzat Tuhan yaitu  transenden secara mutlak. Dzat Tuhan atau Tuhan dari segi 

Dzat nya yaitu  munazzah, bebas dari dan berbeda sama sekali dengan alam tidak 

dapat diketahui dan dilukiskan. Dzat Tuhan yaitu  transenden secara mutlak. Dzat 

Tuhan dideskripsikan hanya dengan nama-nama tanzih yang menafikan 

penyerupaannya dengan apapun yang diketahui manusia.44 Chittick menjelaskan 

pandangan Ibn ‘Arabi ini bahwa hanya sifat-sifat negatif yang dapat dinisbatkan pada 

Dzat Tuhan, kita tidak dapat mengatakan sesuatupun tentang-Nya kecuali sesuatu 

yang berhubungan dengan-Nya. Ibn ‘Arabi kadang mengatakan bahwa tiada 

sesuatupun yang dapat diterapkan pada esensi sebab  ia mutlak dan tak terjangkau. 

Namun sebgai Tuhan ia memiliki nama-nama dan sifat yang positif maupun negatif.45 

Seperti halnya kutipan futuhat dibawah ini: 

“Dari segi diri-Nya, Dzat Tuhan tidak mempunyai nama, sebab  Dzat itu 

yaitu  lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada nama 

yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan 

 


 

pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan, 

namun  pintu (untuk mengetahui Dzat Tuhan) dilarang bagi siapapun selain 

Allah, sebab  tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.”46 

namun  sebagai sebuah martabat ke-Tuhanan, mesti dipahami dalam 

hubungannya dengan martabat-martabat yang lain seperti mahluk, hamba, 

perhambaan, dan “hamba Tuhan”. Meskipun Tuhan dari segi Dzat nya terlepas dari 

segala ciptaan, Tuhan menyatakan diri kepada kita melalui kasih dan kemurahan-Nya 

dan sifat-sifat ini memerlukan keberadaan mahluk meski sama sekali tidak 

bersentuhan dengan Esensi-Nya.47  

َنايعأَهتبثلماَةيّلهلإاَءاسملأباَلماعلاَليإَةبسنَ:ينتبسنَهلَنأَهسفنَنعَبرخأوَهبَلماعلاَطبرَاللهَنإف

هملعنَلاوَهسفنَملعيَهنعَهانغَةبسنوَلماعلا.48  

“Sesungguh-Nya Allah mempertalikan alam dengan-Nya dan 

memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia mempunyai hubungan: hubungan 

dengan alam melalui nama-nama Tuhan yang mengafirmasikan entitas-entitas 

alam, dan hubungan kebebasan-Nya dari alam, dia mengetahui diri-Nya dan 

kita tidak mengetahui-Nya.” 

Maka kosmos yang tercipta tidak memiliki hubungan apapun dengan Dzat 

Tuhan, namun  melalui nama-nama Tuhan memiliki hubungan ontologis dengan 

penciptaan. sebab  kosmos tercipta melalui kehadiran-Nya. Seperti pernyataan 

dibawah ini: 

“Kami telah menyebutkan bahwa setiap sifat dalam kosmos harus 

memiliki sandaran pada sifat Tuhan, namun hanya melalui sifat Esensi, yang 

dengannya kebaikan Tuhan – dalam Esensi-Nya – ternyata-kan. Hal itu 

menunjukkan bahwa Dia Mahakaya, yang ditunjukkan melalui kosmos 

(bertumpu pada sifat Tuhan); melaluinya kefakiran kosmos atupun hamba 

ternyatakan. Kosmos lebih layak menyandang kefakiran itu daripada 

manusia.”49 

Pada hakikatnya tidak ada yang dibutuhkan alam selain Tuhan, atau dengan kata 

lain tidak ada kebutuhan kecuali kepada-Nya dan tidak ada kebutuhan kepada selain 

Dia, sebab  nama-nama-Nya yaitu  sebab-sebab yang dibutuhkan oleh alam, tidak 

lain yaitu  Tuhan itu sendiri50 seperti halnya pernyataan Ibn ‘Arabi dibawah ini: 

 

“Maka sesungguhnya alam, tanpa diragukan, membutuhkan sebab-sebab 

secara esensial. Sebab terbesar bagi alam yaitu  kausalitas al-Haqq. Tidak 

ada kausalitas al-Haqq yang dibutuhkan alam selain nama-nama Ilahi. Nama-

nama Ilahi disini diartikan dengan setiap nama yang dibutuhkan alam, baik ia 

dari jenis alam sendiri atau al-Haqq itu sendiri. Maka ia (secara esensial) 

yaitu  Allah, bukan yang lain.” 

Dalam penjelasan yang lain dikatakan bahwa: 

“Dia menciptakan kosmos melalui kebaikan dan kemurahan-Nya. Tidak 

ada seorangpun diantara orang-orang yang berakal dan beriman kepada Tuhan 

meragukan hal ini, dan kemurahan itu yaitu  sifat Diri. Sebab, Dia Maha 

Pengasih, Yang Pengasih di dalam Dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa 

kosmos mesti ada. Jika “pengetahuan” menyatakan bahwa sesuatu itu mesti 

ada, tidak munkin Ia tidak ada. Sehingga mestilah terdapat berbagai bentuk 

penisbatan ataupun sifat-sifat sesuai dengan Yang disifati, atau nama-nama 

sesuai dengan Yang Diberi Nama. Maka, mesti ada “kejamakan” (katsrah) di 

dalam Entitas Yang Esa.” 52 

Dia yang Tak Terbatas yang Transenden dari segala pemahaman dan juga 

penyaksian (al-mushahadah), hakikat ini yaitu  لا مسا هل  مسرلاو هل   (Ia sama sekali tidak 

ada nama dan juga tidak ada definisi). namun  dalam ketakterbatasan-Nya Dzat Tuhan 

tidak dibatasi oleh aspek tanzih maka Ia menciptakan alam.53 

Al-fayd al-aqdas atau pancaran paling suci merupakan tajalli al-hubbi al-Dzat i 

yang menyebabkan keberadaan sesuatu dan kesiapan (isti’dad) mereka di al-hadrat 

al-ilmiyyah dan kemudian ke al-ainiyah. Maka saat amar atau ruh Illahi dihembuskan 

ke dalam isti’dad agar bisa diterima oleh al-fayd al-muqaddas sebagai kelanjutan dari 

eksistensi derajat yang pertama. Hal ini merupaka prinsip pergerakan ontologis yang 

termanifestasi secara hierarkis dan pada gilirannya termanifestasi dalam al-fayd al-

muqaddas.54 Maka Maha Yang Tak Terbatas sebagai eksistensi yang absolut 

memancarkan (tajalli) yang termanifestasi dalam pancaran seperti diagram berikut55 

 

 

 

3. Tajalli al-Muqaddas: Manifestasi Kedua 

Emanasi kedua yaitu emanasi suci (al-fayd al-muqaddas) yang biasa disebut 

penampakan diri eksistentisal (al tajalli al wujudi) dan penampakan diri indrawi (al 

tajalli al shuhudi). Emanasi ini merupakan penampakan entitas permanen dari alam 

yang hanya ada dalam alam pikiran kepada alam yang dapat diindera (min al alam al 

ma qul ila al alam al mahsus).56  

Tajalli al-Muqaddas atau jenjang kedua (ta’ayun tsani) atau ta’ayun ma’lum 

disebut juga dengan martabat wahidiyyah.57 Martabat wahidiyyah yaitu  materi 

prima (Hyle) yang menjadi dasar alam material namun belum mempunyai wujud 

secara realitas.58 Segala sesuatu yang terpendam sudah bisa dibedakan namun belum 

muncul dalam alam kenyataan, di mana bentuk segala mauwujud mungkin yang 

mulai tampak inpotensia belum teraktualisasi.59 Perbedaan batasannya telah ada 

dalam ilmu atau pengetahuan Tuhan dalam bentuk ‘yang dikenal’ atau ‘diketahui’ 

yang disebut dengan al-a’yan al-tsabitah atau kenyataan segala sesuatu. Dalam 

derajat kesatuan (wahidiyyah) atau tataran ontologis determinasi kedua ini 

merupakan bayangan eksterior atau mazhar dari manifestasi atau refleksi bayangan 

yang pertama yang masih merupakan arketip-arketip interior (al-fayd al-aqdas).60 

Bayangan kedua ini secara beragam disebut intelek pertama (al aql al awwal), dunia 

ruh (alam al arwah), manusia sempurna, dan yang lain.

Manifestasi Ilahi ditampakkan dengan sifat-sifat dan nama-nama-Nya.62 

Manusia yang menyadari ini seperti menuju insan kamil yang wawasannya luas 

bagaikan hidup di alam mitsal (barzakh).63 sebab  menyadari tajalli Allah yang tidak 

pernah berhenti.  

Alam rohani (al-a’yan al-tsabitah )64 atau entitas-entitas yang tetap dan tidak 

berubah. Alam yang tersembunyi dalam pengetahuan yang Esa dan dikontraskan 

dengan alam jasmani. Menurut Ibn ‘Arabi alam semesta sebagai hasil tajalli Allah 

dalam arti ‘asma dan shifat, Allah ber-tajalli pada setiap apa yang ada di alam dan 

hakikatnya yaitu  satu. Asmaul Husna yaitu  bentuk tajalli Allah yang diwujudkan 

dengan benda-benda yang konkret di alam.   

Penjelasan yang berbeda terkait dengan hirarki tajalli sebagai berikut: Martabat 

wahidiyyah atau kesatuan berhubungan dengan modus eksistensi indeterminasi yang 

tidak dikondisikan oleh parikulasi atau individuasi apapun,  namun bebas menautkan 

dirinya dalam partikularisasi dan individuasi   طرشبلا  ءيش  (terbebas dari segala 

syarat).65 Determinasi pertama yaitu Tuhan memandang diri-Nya dalam 

perenungan yang merefleksikan Nama-Nama-Nya yang paling indah (Asmā al-

Husnā) dan sifat-sifat sublim (al-sifat al-ulya). Swa-manifestasi dan swa-perenungan 

dari Realitas tertingi ini menunjuk pada derajat pertama dan kedua dari Eksistensi 

Absolut.66  

Determinasi kedua yaitu manifestasi aktif dalam kesadaran-Nya, efisien dan 

Ilahiyah berhubungan dengan derajat Ilahiyah (Ilahiyyah). Pada tahap ini eksistensi 

absolut dapat dicapai oleh kognisi manusia sebagai Tuhan (Ilah) yang digambarkan 

dalam cara seperti Dia yang mengungkapkan diri-Nya dengan nama dan sifat-Nya 

pada ke-Ilahiiyah-an.67  

Determinasi ketiga yaitu Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya mmebutuhkan realitas 

untuk dimanifestasikan dalam bentuk manifestasi. Bentuk dari Nama dan Sifat-Nya 

merupakan esensi-esensi yang tegak atau arketip permanen (al-a’yan thabitah) dalam 

kesadaran dan pengetahuan ilahhhiyyah.68 Manifestasi lanjutan dari eksistensi 

absolut berlangsung dengan pancaran akan eksistensinya yaitu pancaran suci (al-fayd 

al-muqaddas).69 Isi pancaran suci ini pada tahap eksterior dari arketip dengan tahap 

interior yaitu  sebagai penerima pasif dari semua potensialitas inheren dalam arketip-

arketip permanen yang diaktualisasikan melalui aspek eksterior.70 Di mana al-fayd 

 


al-muqaddas yaitu  tajalliyat Asma’iyyah yang menyebabkan apa yang dituntut dari 

isti’dad-isti’dad al-a’yan al-thabitah termanifestasi di level konkret71. Sebagai 

penyempurnaan dari hierarki ontologis dalam derajat-derajat atau determinasi kelima 

dan keenam. Seperti halnya diagram al-fayd al-muqaddas berikut ini.

 

B. Dimensi Ontologi Manifestasi  

1. Hakikat Muhammadiyyah: Dimensi Dzat Realitas 

Allah menciptakan Muhammad dari cahaya Jamal-Nya,73 hal ini merujuk pada 

hadits qudsi:  


Allah Swt. telah bersabda dalam hadits qudsi; “Aku ciptakan roh 

Muhammad pertama kali dari cahaya wajah-Ku” dan seperti dalam hadits 

Nabi SAW, “Yang pertama diciptakan Allah yaitu  rohku. Yang pertama 

diciptakan Allah yaitu  cahayaku. Yang pertama diciptakan Allah yaitu  

pena. Yang pertama diciptakan Allah yaitu  akal,” (HR. Dawud). 

 


 

Cahaya, pena dan akal memiliki makna Hakikat Muhammadiyyah.75 Namun 

kemudian disebut sebagai cahaya (Nur Muhammad) sebab  bersih dari segala 

kegelapan yang menghalangi Jalalullah.76 Seperti dalam firman Allah: 

اللهَنمَمكءاجَدق.َ .،ينبمَباتكورون 

Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang 

menjelaskan (QS. Al-Ma’idah [5]: 15).  

Disebut akal sebab  ia mengetahui segala sesuatu. Disebut juga pena sebab  ia 

yaitu  sebab peralihan ilmu (dari Allah kepada mahluk) seperti pena yang 

menggoreskan ilmu di alam huruf (dunia keilmuan). Jadi, roh Muhammad yaitu  

mahluk pertama dan sekaligus  inti dari alam semesta. 77 Sebagaimana  sabda 

Rasulullah Saw.; 

78...،نيمَنونمؤَلماوَاللهَنمَنَأ 

“Aku dari Allah, sedangkan orang mukmin dariku.” 

Dari rujukan yang berbeda, Qaysari menjelaskan tentang al-khlaq al-awwal (the 

first creation) yaitu substansi pertama yang muncul dari ghayb al-wujud mentajalli 

melalui entifikasi al-ism al-A’zam al-wujud al-Munbasit.79 Diriwayatkan baik dari 

jalur sunni maupun syiah bahwa: 

 


 “Yang Allah ciptakan pertama yaitu  al-aql, yang Allah ciptakan 

pertama yaitu  Nur Muhammad, yang Allah ciptakan pertama yaitu  

air, yang Allah ciptakan pertama yaitu  al-qalam.” 

 


Sayyidina Ali juga meriwayatkan, saat Nabi ditanya tentang al-Aql al-Awwal 

Nabi menjelaskan: “Allah telah menjadikan seorang malaikat yang mempunyai 

banyak kepala sesudah kepala-kepala ciptaan, dan nama setiap eksisten telah ditulis 

padanya.” Sehingga Nabi menyatakan “ketahuilah sesungguhnya perumpamaan al-

aql seperti perumpamaan al-siraj pada al-labib.”81 

Penjelasan lain tentang pertama yang Allah ciptakan yaitu  lawh dan al-aql 

yaitu  pertama yang telah diciptakan dari keberadaan spiritual sebab  yang petama 

muncul dari Allah yaitu  keberadaan yang bebas dari materi dan kuantitas. Ia 

dipanggil al-qalam al-‘a’la sebab  setelah Dia mencipta, Dia menyatakan; “Tulislah 

ilmuku pada ciptaanku sampai abadi.” Dan Dia menyatakan kepada al-aql atau al-

qalam: “Tulislah al-qadar apa yang sudah terjadi dan sedang terjadi, dan apa yang 

akan terjadi sampai abadi, atau sampai hari kiamat.82 

Seperti halnya juga penjelasan Qaysari bahwa yang pertama Allah ciptakan 

yaitu  al-Qalam al-‘A’la, Sachicko Murata mengurai bahwa akal pertama yaitu  

sebuah pena, ia mencari melalui Realitasnya sendiri, suatu tempat bagi efektivitas 

untuk menulis sebab ia yaitu  pena. Dari pencarian ini timbul lembaran yang terjaga 

yaitu jiwa, sebagai benda eksisten pertama yang muncul dari sesuatu yang tercipta. 

Sementara ahli pikir rasional memaknai lembaran itu sebagai jiwa universal yang 

bermakna sebagai benda eksisten pertama sebagai lokus yang menerima aktifitas. 

Sachiko menyimpulkan, bahwa yang pertama muncul dari akal dan jiwa yaitu  

cosmos.83 Hal ini merujuk pada penjelasan sebelumnya bahwa yang Tuhan ciptakan 

yaitu  Nur Muhammad, Qalam al- A’la dan sebagainya. 

Beragam nama yang disimbolkan kepada cahaya Nabi salah satunya yaitu  al-

durrah al bayda’ yang bisa di verifikasikan kepada al-nur al-ahmadi (the Ahmadian 

Light) dan al-Haqiqat al-Muhammadiyyah (the Muhammadan Reality), sebab  

Muhammad yaitu  Nur al-Anwar dan Qalam al-A’la (the Most High Pen) yang 

menjadi perantara antara manifestasi hakikat-hakikat dari khazanah ghayb dan 

pencatatan hakikat-hakikat pada setiap martabat dan mazahir sesuai dengan hierarki 

eksistensial.84 

Hakikat Muhammadiyyah yaitu  al-Rabb zahir dan batin alam sebagai mazhar 

nama al-Batin Dia akan mengurus batin alam dan sebagai mazhar nama al-Zahir Dia 

akan mengurus zahir alam, sebab  hakikat ini yaitu  sahib al-Ismu al-‘azam yang 


memiliki Rububiyyah mutlak. Hakikat ini yaitu  al-mazhar, Dia yaitu  al-Zahir dan 

al-Batin, Dial-ah yang mengetahui segala sesuatu.85  

Hakikat Muhammadiyyah memiliki dua aspek yakni aspek haqiqiyyah dan 

aspek bashariyah. Aspek yang pertama hakikat haqiqiyah memiliki Rububiyah 

terhadap seluruh alam, dan aspek keduanya hakikat bashariyah merupakan marbub 

yang butuh kepada Rabbnya. Disini berarti memiliki isyarat bahwa Muhammad 

yaitu  mazhar nama Allah dan bukan selainnya. Dan sesungguhnya Aku yaitu  

Bashar seperti kamu yang diwahyukan kepadaku. 

Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa alam 

yaitu  cermin bagi Tuhan yang mana dalam semseta ini banyak sekali keragaman 

Tuhan yang tak terhitung jumlahnya. Maka cermin yang paling sempurna dalam 

menggambarkan Tuhan yaitu  manusia sempurna, kareaa darinya terpantul nama-

nama dan sifaat-sifat Tuhan sedangkan mahluk lain hanya memantulkan sebagian 

saja sifat dan nama Tuhan.86 Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa individual yang paling 

sempurna dikalangan manusia yaitu  Muhammad (insan kamil). Manusia menjadi 

sempurna sebab ia menjadi citra (imago) personal dari sifat dan nama Tuhan.87 Ia 

juga merupakan citra sempurna langit dan bumi yakni sebagaimana ia 

memanifestasikan dirinya sebagai alam wujud.88 

Allah Swt. menciptakan seluruh roh mahluk dari ruh Muhammad di alam lahut 

dalam bentuk yang hakiki dan terbaik. Sebab itu, Ruh Muhammad yaitu  nama bagi 

keseluruhan ruh manusia di alam lahut. Yang mana dalam hal ini alam lahut yaitu  

negeri asal (al-wathan al-ashli).89  

Penjelasan tentang kapan penciptaan dimulai dalam riwayat dijelaskan:  

َناكَنيأَ,اللهَلوسرَيا؟ضرلأوَتاومسلاَقليخَنأَلبقَانبر  

َءالماَىلعَهشرعَقلخَثمَ,ءاوهَهتتحَاموَءاوهَهقوفَامَءَامعَفيَناكَ :لاق  

Selanjutnya Nabi pernah ditanya, “dimana kah Tuhan mewujud ketika Dia 

belum menciptakan mahluk. Maka Nabi menjawab Dia berada di dalam Awan, tidak 

diatas tidak pula dibawah dan tanpa udara (HR Imam Ahmad bin Hanbal)90 Ibn ‘Arabi 

menterjemahkan Dia berada dalam Awan” dengan Dia mewujud yang berarti terdapat 

lima cara bagaimana Tuhan mewujud sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan 

al-Hadits. Seperti penjelasan Chittick di bawah ini: 

 

“Coming to be in the Cloud, which is what we just mentioned; (2) coming 

to be in the Throne, as indicated by His words, “The All-mercifull sat upon 

Throne” (Koran 20:5); (3) coming to be in the heaven, as indicated  by the 

words, “Our Lord descends each night to the heaven of this world” (6:3) (4) 

coming to be in the earth, as His words, “He is God in the heavens and the 

earth” (6:23); and (5) an all-inclusive coming to be, since He is with the 

existent things in all their levels wherever they might come to be, as he 

explained in relation to us with His words, “He is with you wherever they 

might come to be” (57:4). All of these are relationship in keeping with his 

majesty, without asking “how” (takyif), without declaring Him similar 

(tashbih), and without conceptuali Dzation (tasawwur).91 

(1) Mewujud melalui Awan, sebagaimana telah disebutkan; (2) 

mewujud melalui Singgasana, sebagaimana dinyatakan oleh firman-Nya, 

“Yang Maha Pengasih bertahta di atas Singgasana” (Qs. Taha [20]: 5); (3) 

mewujud melalui langit, sebagaimana disebutkan dalam firman, “Pada setiap 

malamnya, Tuhan turun ke langit dunia” (Qs. Al-An’am [6]: 3); (4) mewujud 

melalui alam semesta, sebagaimana diciptakan dalam firman, "Dia-lah 

penguasa langit dan bumi” (Qs. Al-An’am [6]: 23); (5) melalui semua itu Dia 

mewujud, sebab  Dia berada di dalam segala wujud sesuatu, sebagaimana 

telah Dia jelaskan – dalam hubungan dengan keberadaan kita – melalui 

firman, “ Dia senantiasa beserta kalian di mana pun kalian berada” (Qs. Al-

Hadid [57]: 4). Semua itu tidak lepas dari kemahabesaran-Nya, tanpa harus 

bertanya “bagaimana” (takyif), tanpa melalui penyerupaan (tashbih) dan 

konseptualisasi (tashawwur). 

Melalui awan dalam totalitasnya kosmos mengambil bentuk, awan yaitu  

imajinasi absolut sebab  ia memberi bentuk pada segala ciptaan. Setiap wujud sesuatu 

menjadi nyata di dalamnya. Menurut Chittick terkadang Ibn ‘Arabi mengidentikan 

awan dengan Nafas ar-Rahman, terkadang ia membedakannya dengan mengatakan 

bahwa awan mewujud melalui nafas.92 Sebagaimana pernyataannya berikut ini: 

Contiguous imagination derives from one of the faces of Nondelimited 

Imagination, which is the All-comprehensive Presence and the All-inclusive 

Level. This Cloud become configured within the Breath of The All-merciful, 

inasmuch as the All-mercifull is a God, not inasmuch as He is only All-

merciful. All existent things become manifest within the Cloud trough “Be!”, 

or one hand, or two hands. In contrast, the Cloud itself becomes manifest only 

trough the Breath. Were it not for the fact that the word “Breath” has come in 

the Law, we would not have applied the term, though we knew the reality. 

“Imajinasi muttashil berasal dari salah satu “wajah” Imajinasi Absolut, 

yakni Kehadiran Yang Maha Meliputi lagi Maha Melingkupi. Awan ini 

terkonfigurasikan di dalam Nafas Rahmani, yakni Tuhan, yang tidak hanya 

sebagai Yang Maha Pengasih. Seluruh wujud menjadi nyata melalui (firman) 

“jadilah”, dengan satu ataupun dua tangan. Sebaliknya Awan itu sendiri 

menjadi nyata hanya melalui Nafas. Andaikata tidak ada firman “Nafas” 

sebagaimana yang termaktub di dalam hukum, kita tidak akan menggunakan 

istilah ini, meski kita mengetahui hakikatnya.” 

Izutsu menggaris bawahi bahwa Nafas ar-Rahman persis sebagaimana udara 

yang berhembus keluar dari dada manusia, demikian pula eksistensi yang tertahan di 

dalam dada Sang Mutlak yang berupa rahmat. Sehingga Nafas ar-Rahman yaitu  

sebuah ungkapan simbolik bagi pemanifestasian wujud atau tindakan Ilahi 

mewujudkan sesuatu di alam. Dalam pencitraan khas Ibn ‘Arabi fenomena ini bisa 

juga digambarkan sebagai nama-nama Ilahi yang menyembur ke alam nyata 

eksistensi. Gambaran ontologis ini merupakan aktualisasi nama-nama Ilahi dalam 

bentk-bentuk alam raya. Proses ini dijabarkan oleh Bali Efendi sebagai beikut: 

The names, previous to their existence in the outer world, exist hidden in 

the Essence of the Absolute, all of them seeking an outlet toward the world of 

external existence. The state in comparable to the case in which a man holds 

his breath within himself. The breath, held within, seeks an outlet toward the 

outside, and this causes in the man a painful sensation of extreme 

compression. Only when he breathes out does this compression cease... Just 

as the man is tormented by the compression if he does not breathe out, so the 

Absolute would feel the pain of compression if it did not bring into existence 

the world in response to the demand of the Names.93 

“Sebelum eksistensi mereka di alam luar, nama-nama Ilahi mewujud 

secara tersembunyi di dalam Esensi Sang Mutlak, semuanya mencari jalan 

keluar menuju alam eksistensi eksternal. Keadaan ini bisa diumpamakan 

seperti seorang yang menahan nafasnya dalam dirinya. Nafas tertahan di 

dalam, mencari jalan keluar, dan hal ini mengakibatkan sensasi menyakitkan 

akibat tekanan yang tinggi. Hanya bila Dia menghembuskan nafas, tekanan 

ini akan berhenti … persis sebagaimana manusia akan tersiksa oleh tekanan 

jika dia tidak membuang nafas, demikian pula Sang Mutlak akan merasakan 

sakitnya tekanan (dari dalam) jika Dia tidak mewujudkan alam raya sebagai 

respon atau tuntutan segenap nama.” 

Tentang hal ini Bali Efendi menambahkan bahwa fenomena “bernafas” 

(tanaffus) Ilahi ini sama saja dengan ucapan Allah “jadilah!” (Kun) atas alam raya. 

“Dia menghembuskan nafas” bermakna “Dia mengirimkan apa yang di Interior ke 

Eksterior dengaan kata Kun. Jadi, Dia sendiri yang mewujud di Eksterior setelah di 

Interior.94 Uraian selanjutnya bahwa: 


“Kebenaran diterima dalam satu bentuk dan ditolak dalam bentuk lain, 

Entitas yaitu  satu, namun bentuk-bentuk berbeda. Inilah apa yang kita 

maksud dengan keanekaragaman bentuk, yakni bentuk-bentuk kosmos, di 

dalam awan. Dalam hubungan dengan bentuk-bentuk ini, bentuk-bentuk 

yaitu  segala sesuatu yang dapat “dibayangkan” (al-mutakhayyalat), 

sementara Awan yang ada di dalamnya dan menjadi nyata yaitu  imajinasi… 

Sehingga, Dia menyatakan-diri pada hati dan melalui entitas-entitas segala 

sesuatu yang mungkin (mumkinat). Dia yaitu  Nyata, tapi juga merupakan 

bentuk-bentuk yang sesuai dengan apa yang diberkati-Nya, memiliki 

kesiapan, sebagaimana Dia menjadi nyata melalui bentuk-bentuk itu. Sesuatu 

yang mungkin yaitu  Awan, sementara yang nyata di dalam Awan yaitu  

kebenaran. Disini, Awan yaitu  Kebenaran Yang Melaluinya Ciptaan 

Mengambil Tempat. Keanekaragaman entitas-entitas sesuatu yang mungkin 

berasal dari kekekalannya; semua itu mengejawantahkan perbendaharaan-

Nya yang dengannya Dia menyatakan diri.”95  

“Dalam kondisi eksistensialnya, kosmos tiada lain yaitu  bentuk-bentuk 

yang dengannya Awan menerima (bentuk-bentuk) dan menjadi nyata. 

Sehingga, kosmos – jika engkau menatap pada hakikat – tiada lain yaitu  

aksiden yang hilang, yakni perbendaharaan yang akan mengalami kesirnaan. 

Hal ini ditunjukkan oleh firman-Nya, “Segala sesuatu akan sirna kecuali 

Wajah-Nya” (Qs. Al-Qasas [28]: 88). Nabi bersabda, “Bait yang paling sering 

disebut-sebut oleh orang Arab bait Labid, “Bukankah selain Tuhan yaitu  

bathil (tidak nyata)?” Dengan kata lain, yang selain Tuhan tidak memiliki 

realitasnya sendiri. sebab nya ia menerima “takdir.” Sebab, ia menjadi ada 

melalui yang selain dirinya sendiri…”96 

“Maka, substansi abadi (al-Jawahir al-tsabit) yaitu  Awan, yang tiada lain 

yaitu  Nafas rahmani. Kosmos dalam keseluruhannya yaitu  bentuk-bentuk 

yang ternyatakan; sehingga semua itu yaitu  aksiden-aksiden yang akan 

mengalami kesirnaan. Bentuk-bentuk tersebut yaitu  mumkinat. Hubungan 

mereka dengan awan yaitu  hubungan diantara bentuk-bentuk dengan orang 

yang menatap pada cermin. Yang nyata yaitu  “penglihatan” (basyar) 

kosmos, sehingga Dia yaitu  “Sang Pengawan”.97 

 

2. Al-Harkah al-Hubbiyah: Dimensi Iradah Realitas 

Keseluruhan karya Ibn ‘Arabi  merupakan penjelasan tentang hubb Ilahi (kanzan 

mahfi) yang terdiri dari dua aspek yakni syawq (hasrat) dan hanin (helaan nafas 

derita) yang rindu untuk memanifestasikan diri-Nya ke dalam wujud-wujud agar Ia 

tersingkap kepada manusia. Cinta Tuhan yaitu  hasrat makhluk kepada Tuhan yang 

sebenarnya yaitu  nafas Tuhan yang merindu untuk kembali pada diri-Nya sendiri. 

Meskipun pada ketentuan konkritnya (ta’ayyun) terdapat dualitas yang dicinta dan 

yang mencinta, namun  pada hakikatnya yaitu  wujud tunggal yang merindukan 

bayangannya.98 

Penjelasan Ibn ‘Arabi  tentang gerak cinta bisa kita lihat dalam kutipan berikut: 

َلماعلاَىمسمَينعَفيَاهرثااَيروهظَمدعَنمَهدتََتناكَ امَةيلهَلإاَءاسملأاَنعَسفّنَفيكَ هارتلاأ

.َهلَةبوبمحَةحارلاَتناكف 

َامفَ,بحللَتناكَ ةكرلحاَنّأَتبثفَ.لفسلأاوَىلعلأاَيّروصلادوجولباَلّااَاهيلاَلصويَلموَةكرحَّثم

ةيّ ّبحَيهوَّلااَنوكلاَفي.99   

‘Apakah kamu tidak melihatnya bagaimana Dia menafaskan dari Nama-

Nama Ilahiyyah sesuatu yang kamu tidak temuikan dari ketiadaan manifestasi 

efek-efeknya pada entitas yang dinamakan sebagai alam. Maka ia yaitu  satu 

kelegaan yang tercinta untuknya.  

Dan tidak sampai kepadanya kecuali dengan wujud formal yang tertinggi 

dan yang terendah. Maka terbuktilah bahwa gerak yaitu  demi cinta. Maka 

pada ketika itu, tidak ada apapun dalam al-kawn kecuali ia yaitu  al-

hubbiyyah’ 

Ibn ‘Arabi menyatakan “al-Haqq berkehendak… untuk melihat..” yang dalam 

bahasa Arab berasal dari kata “syâ’a” atau “al-masyi’ah”. Ibn ‘Arabi mengatakan: 

َكلاوحأوَتنأَمولعلماوَمولعمللَةعبتاَةبسنَملعلاوَ.ملعللَةعبتاَةبسنَيهوَقلعتلاَةيدحأَهتيئشمف

فيَرثأَملعللَسيلفمولعلماَهنيعَفيَ,هيلعَوهَامَهسفنَنمَهيطعيفَملعلاَفيَرثأَمولعمللَلبَ, .100 

“Masyi’ah Allah yaitu  keterikatan tunggal (ahadiyyat al-ta’alluq – single 

attachment). Dan ia yaitu  nisbah yang mengikuti (atau tergantung kepada) 

ilmu. Sementara ilmu yaitu  nisbah yang mengikuti ma’lum. Dan ma’lum 

yaitu  kamu dan ahwal kamu. Maka dari ilmu tidak memberi akibat pada 

ma’lum, namun  ma’lum yang memberi akibat kepada alim. Maka ia 

mengaruniakan dari dirinya apa yang ada pada entitasnya.” 

Qaysari mendefinisikan al-masyi’ah bahwa; Masyi’ah-Nya (Allah) yaitu  

tajalli Dzati-Nya dan al-Inayat al-Sabiqah (apriori Grace) untuk mewujudkan non-

eksistensi atau mentiadakan eksistensi. Dari itu, (arti dan hakikat) al-masyi’ah lebih 

umum dari al-iradah.

Maka kalimah al-iradah dan al-masyi’ah ketika al-Haqq berkehendak sama 

dengan ketika ber-tajalli. Dengan berkehendak maka termanifestasilah nama-nama 

Ilahiah. Berarti al-Haqq telah mewujudkan alam melalui salah satu nama-Nya yaitu 

al-iradah. Yang berarti bahwa kosmos merupakan lokus pengejawanjatahan nama-

nama.102 

sebab  Dzat-Nya, Iradah-Nya, dunia mengada dari ketiadaan sebab  cinta 

yaitu  sebab segala gerak ciptaan dari tiada menjadi ada berdasarkan hadis Qudsi 

faahbabta, yang diisyaratkan oleh Tuhan sebab  cinta Allah memanifestasi jadi 

masyi’ah-Nya Allah yaitu  gerak cinta itu sendiri. Hal ini berbeda dengan prinsip 

gerak filosofis (Gradual Change) namun  gerak cinta (al-harkah al-hubbiyah). 

Cinta yaitu  rahasia penciptaan (sirr al-halq) atau sebab penciptaan (illat al-

Haq), cinta yaitu  iradah yang mendorong Al-Haqq memanifestasikan cinta dan 

pengetahuan-Nya.103 Bagi Ibn ‘Arabi  al-Harkah al-Hubiyyah menjadi basis 

ontologis penciptaan, penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta sebab  

hasrat penjelmaan diri. Secara teologis cinta dimaknai sebagai keimanan yang 

hasilnya yaitu  Haqqul yaqin yaitu keyakinan penuh kepada al-Haqq104  

Rumi, al-Nuri dan al-Hallaj menafsirkan cinta sebagai rahasia ketuhanan (Sirr 

Allah) atau rahasia penciptaan (Sirr al-halq). Hadits Qudsi yang berulang disebut Ibn 

‘Arabi yaitu  kanzan makhfiy.105 Hal ini berdasarkan ayat :  

َ هنو بّيحوَ مْه بّيحَموْقبَ لّلاَتي يْأَفوْسفَهنيدَ نْعَ مْك نْمَ دّترْ يَ نْمَاونمآَنيذ لّاَاه يّ أَيا

َةموْل َنوفايخ َلاو َ لّلا َليبس َفي َنودهايج َنيرفاك لْا َىلع َةزّعأ َيننمؤْم لْا َىلع َة لّذأ

مَئلا 

“Wahai orang-orang yayng beriman! Barangsiapa di antara kamu yang 

murtad (keluar)dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu 

kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap 

lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, namun  bersikap keras 

terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut 

kepada celaan orang yang suka mencela”. (QS. Al-Maidah [5]: 54) 

 

 

Ibn ‘Arabi  mengaitkan antara cinta dan Wujud, isyq dan ma’rifat, dengan 

menggunakan kias awan (‘ama) kepada nafas yang dihembuskan sebelum firman 

‘Kun!’diucapkan. Seperti halnya penjelasan Ibn ‘Arabi  dalam Futuhat yang dirujuk 

oleh Chittick di bawah ini: 

‘The root of the Breath is the property of love. Love has a movement 

(harakah) within the lover, while ‘breath’ is a movement of yearning (syawq) 

toward  the object of love and through that breathing enjoyment is 

experienced. And God has said, as has been reported, ‘I was a Hidden Treasure 

but was not known, so I loved to be known.’ Through this love, breathing 

takes place, so the Breath becomes manifest, and the Cloud comes into 

being.’106  

“Akar Nafas yaitu  perbendaharaan cinta. Cinta memiliki sebuah 

pergerakan (al-harkah) di dalam diri pencinta, sementara ‘nafas’ yaitu  

gerakan dari rindu (syauq) terhadap objek cinta, dan melalui ‘nafas’ itulah 

kenikmatan dialami. Dan Tuhan telah bersabda, sebagaimana sudah 

dijelaskan, “Aku yaitu  harta tersembunyi, namun  tidak dikenal, maka aku 

cinta (ahbabtu) supaya dikenal. “Melalui cinta ini nafas mengambil tempat, 

maka Nafas menjadi nyata dan Awan menjelma ke dalam wujud.” 

Menurut Ibn ‘Arabi  antara cinta dan pengetahuan ma’rifat-lah yang lebih tinggi 

derajatnya sebab  Ilmu-Nya Tuhan memanifestasi. Seperti kutipan yang dirujuk 

Chittick di bawah ini: 

“Knowledge is more excellent than love, which is why God commanded 

His Prophet to seek increase in it from Him. It is identical to the divine 

friendship whereby God takes charge of His servants and enables them. 

Through knowledge they come to know that He cannot be known. But if the 

lover is not a gnostic, he creates in himself a form by which he becomes 

enraptures and of which he is enamored. Hence be only worship and yearns 

for that which is under his own sway. Nothing can remove him from this 

station but knowledge” 107 

“Pengetahuan lebih utama dari cinta, itulah sebabnya Tuhan 

memerintahkan Nabi-Nya supaya menambah pengetahuan yang berasal dari-

Nya… Melewati pengetahuan pada akhirnya mereka mengetahui bahwa Dia 

tidak dapat diketahui. namun  apabila pecinta bukan ahli ma’rifat, maka dia 

menjadikan dari dalam darinya sebuah rupa yang dengan itu dia terperangkap 

dan terpikat kepada rupa itu. Disini dia hanya memuja dan merindukan sesuatu 

yang berada dibawah kesanggupannya. Tidak ada yang dapat memindahkan 

dia dari kedudukannya itu kecuali pengetahuan yang benar. 

Pernyataaan diatas menunjukkan bahwa alam itu thabit (permanen) dan pada 

saat yang sama yaitu  al-hadith. Terkait dengan hal ini Ibn ‘Arabi  menunjukkan 

bahwa kesempurnaan al-Haqq menjadi jelas ketika al-Haqq menghembuskan Nama-

Nama Illahiyyah dengan hembusan nafas cinta maka menjelmalah alam. Dan disini 

pula Ibn ‘Arabi  menjelaskan bahwa alam tercipta sebab  hembusan cinta.  

Penjelasan lainnya menurut Ibn ‘Arabi  akal awam tidak akan sampai pada 

kesadaran nomena (sebab terjauh) yakni Tuhan sebab  awam hanya sadar pada hal-

hal yang bersifat fenomena. Maka Ibn ‘Arabi  menyatakan hanya kalangan ulama 

yang mengetahui hakikat-hakikat ini bahwa segala gerak dimulai dari gerak cinta. 

Hal ini sesuai dengna penyataannya: 

َىلعَهئلايتساوَلالحاَفيَهمكلحَبرقلأاَببسلاَهبجيحَنمَمهنموَكلذَملعيَنمَءاملعلاَنمف

َسفنلا.108 

“Maka dari kalangan ulama yang mengetahui hal tersebut, dan ada dari 

kalangan mereka yang terhijab oleh sebab yang terdekat sebab  hukumnya 

pada hal-hal nominasinya ke atas jiwa.” 

Cinta dalam penjelasan yang lain yaitu  Wujud. Wujud disini dipahami sebagai 

sifat Tuhan. Berangkat dari penjelasan ini maka istilah Wahdatul Wujud merupakan 

sintesa dari keseluruhan sifat-sifat Tuhan. Seperti halnya penjelasan Qunawi109 yang 

dikutip oleh Chittick: 

“God Know all things as result of His very Knowledge of His Own 

Essence. He is not qualified by any knowledge derived from other than 

Himslef or through other than Himself. Then He bestows being upon the world 

in accordance with His Knowledge of the world in himself from Eternity – 

without – beginning. So the world is the form of and locus – of – manifestation 

for His knowledge, and God never ceases to encompass the things in 

Knowledge and Being... everything which becomes manifest becomes 

manifest only from Him, since nothing else possesses a being which might 

accompany His Being.110 

“Akibat Pengetahuan Tuhan tentang Dzat -Nya sendiri, Ia mengetahui 

segala sesuatu. Dia tidak diten