n nomor surat yang
dicetak tebal. ayat = ayat/ ayat-ayat. Md = Madaniyah.
Sementara susunan kronologis surat-surat periode Madinah,
menurut sistem penanggalan Mesir, adalah sebagai berikut:29
Susunan Surat Madaniyah Versi Kronologi Mesir
Urut
Kronologis Nama Surat* No. Surat*: keterangan
1 al-Baqarah 2 . ayat 281 belakangan
2 al-Anfãl 8 . ayat 30-36 Mk.
3 Ãli ‘Imrãn 3
4 al-Ahzãb 33
5 al-Mumtahanah 60
6 al-Nisã’ 4
7 al-Zalzalah 99
8 al-Hadîd 57
9 Muhammad 47 . ayat 13 pada waktu hijrah
10 al-Ra‘d 13
11 al-Rahmãn 55
12 al-Insãn 76
13 al-Thalaq 65
14 al-Bayyinah 98
15 al-Hasyr 59
16 al-Nûr 24
17 al-Hajj 22
18 al-Munãfiqûn 63
19 al-Mujãdilah 58
20 al-Hujurãt 49
21 al-Tahrîm 66
22 al-Tagãbun 64
23 al-Shaff 61
24 al-Jumu‘ah 62
25 al-Fath 48
26 al-Mã’idah 5
27 al-Tawbah 9 . ayat 128-129 Mk.
28 al-Nashr 90
Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal. ayat = ayat/ayat-ayat. Mk = Makkiyah.
Sebagaimana terlihat, susunan surat-surat Makkiyah dalam
sistem kronologi Mesir bisa dikatakan identik dengan riwayat
susunan kronologis yang bersumber dari Ibn Abbas, kecuali
menyangkut penempatan surat 1 – yang tidak eksis dalam versi
Ibn Abbas – di antara surat 74 dan surat 111 dalam kronologi
Mesir. Riwayat-riwayat dalam asbãb al-nuzûl memang memberi
informasi yang mendua tentang surat ini . Sebagian
memandangnya Makkiyah awal, bahkan wahyu pertama, dan
sebagian lagi Madaniyah.30 namun , penempatannya dalam kronologi
Mesir terlihat mengikuti susunan mushaf Ibn Abbas, yang memang
memberikan tempat senada kepadanya.
Di lain pihak, susunan kronologis surat-surat Madaniyahnya
menampakkan beberapa perbedaan sekuensial dengan versi Ibn
Abbas. Lebih dari separuh surat-surat Madaniyah pada permulaan
tabel kronologi Mesir – mulai surat 2 sampai surat 59 – masih
sejalan dengan riwayat kronologi Ibn Abbas. Setelah itu, surat 90
yang menyusuli surat 59 dalam rangkaian kronologis Ibn Abbas,
dipindahtempatkan ke bagian paling akhir surat-surat Madaniyah.
namun , sekuensi surat-surat selanjutnya dalam kedua kronologi ini
sebagian besarnya identik, kecuali surat 62 ditempatkan setelah
surat 61 yang mengakibatkan munculnya perbedaan di antara kedua
sistem ini . Berbagai perbedaan ini, sebagaimana telah
dikemukakan, dapat dikembalikan kepada eksploitasi sumber-
sumber klasik oleh para penyunting al-Quran edisi standar Mesir.
Dengan susunan kronologis surat-surat al-Quran seperti di
atas – yang sangat terpengaruh oleh riwayat-riwayat sebelumnya,
terutama dari Ibn Abbas – maka kritisisme yang telah diutarakan
terhadap riwayat-riwayat kronologis terdahulu dapat diterapkan
dengan efek yang sama terhadap sistem penanggalan Mesir. Lebih
jauh, asumsi-asumsi yang mendasari seluruh sistem penanggalan
al-Quran kesarjanaan Islam – termasuk kronologi Mesir – adalah:
(i) bahwa surat-surat al-Quran yang ada sekarang ini merupakan
unit-unit wahyu orisinal;
(ii) bahwa adalah mungkin menentukan sekuensi kronologisnya;
dan
(iii) bahwa bahan-bahan tradisional menyediakan basis yang solid
untuk penentuan kronologis ini – termasuk penentuan
ayat-ayat al-Quran.
Asumsi-sumsi di atas terlihat sangat layak dipertanyakan.
Sebagaimana telah diungkapkan, bahan-bahan tradisional – dengan
pengecualian beberapa kecil surat pendek al-Quran – pada
umumnya memperlihatkan bagian-bagian terpisah al-Quran, yang
terdiri dari beberapa ayat, atau bahkan suatu ungkapan, sebagai
unit wahyu orisinal. Jadi, asumi pertama cenderung menjauh dari
data tradisional. Selanjutnya, sebab unit-unit wahyu orisinal adalah
bagian-bagian individual al-Quran, maka penentuan sekuensi
kronologis yang bertumpu pada surat sebagai unit wahyu – seperti
terlihat dalam asumsi kedua – tentunya tidak relevan. Untuk asumsi
ketiga, di awal bab ini telah ditunjukkan bahwa karakteristik bahan-
bahan tradisional yang relatif sedikit dan tidak mencakup bagian
terbesar al-Quran, dan sangat rapuh dari segi kandungannya,
tampaknya telah menjadi kendala baginya untuk memainkan peran
utama sebagai sumber penyedia data bagi penanggalan al-Quran.
Sistem penanggalan al-Quran kesarjanaan Islam – lantaran
asumsi-asumsi dasarnya yang meragukan – tampaknya juga tidak
memadai sebagai basis kajian-kajian tematis-kronologis al-Quran
yang kini mendominasi perkembangan tafsir di dunia Islam. Kajian-
kajian semacam itu umumnya menitikberatkan sekuensi kronologis
al-Quran pada perkembangan atau peralihan tema sebagai basis
periodisasi dan pada bagian-bagian individual al-Quran sebagai
unit wahyu orisinal, yang tentu saja tidak sejalan dengan asumsi
mendasar sistem penanggalan ini .
Namun dengan segala kelemahan yang telah disebutkan,
sistem penanggalan kesarjanaan Islam ini bukannya tidak berharga.
Penanggalan itu jelas akan menyediakan pijakan kasar bagi kajian-
kajian kronologi al-Quran di masa-masa mendatang, atau paling
tidak bahan kasar untuk kajian-kajian ini . Bahkan, sehubungan
dengan kronologi Mesir, dapat dikemukakan bahwa kronologi ini
memiliki pengaruh yang cukup luas di dunia Islam dengan
diterimanya edisi standar al-Quran Mesir – yang memuat sistem
ini dalam “mukadimah” setiap surat – oleh mayoritas kaum
Muslimin.
Kronologi al-Quran Kesarjanaan Barat
Sejak pertengahan abad ke-19, dunia kesarjanaan Barat mulai
menaruh perhatian terhadap usaha untuk merekonstruksi secara
kronologis wahyu-wahyu al-Quran. usaha ini dilakukan dengan
mengeksploitasi bahan-bahan tradisional Islam dan memperhatikan
bukti-bukti internal al-Quran sendiri – yakni rujukan-rujukan
historis di dalamnya, terutama selama periode Madinah dari karir
kenabian Muhammad. Perhatian juga dipusatkan pada
pertimbangan gaya al-Quran, perbendaharaan katanya, dan
semisalnya. Singkatnya, al-Quran telah menjadi sasaran penelitian
yang cermat selaras dengan metode kritik sastera dan kritik sejarah
modern. Hasilnya, muncul berbagai sistem penanggalan al-Quran
berdasar asumsi-asumsi yang beragam. Jadi, saat kajian-kajian
kronologi al-Quran di dunia Islam menapaki titik lesunya dan
hanya berkutat pada riwayat-riwayat lama tanpa membuahkan hasil
yang signifikan, perkembangan di dunia akademik Barat justeru
berada di titik berlawanan.
Titik awal perhatian Barat terhadap kajian kronologi al-Quran
dapat dikatakan bermula dengan karya Gustav Weil, Historisch-
Kritische Einleitung in der Koran, pada 1844. Dalam karya ini
Weil memang menerima asumsi para sarjana Muslim bahwa surat-
surat al-Quran merupakan unit-unit wahyu orisinal, dan sebab
itu dapat disusun dalam suatu tatanan kronologis berdasar
bahan-bahan tradisional. Lebih jauh ia juga mengemukakan tiga
kriteria untuk aransemen kronologi al-Qurannya: (i) Rujukan-
rujukan kepada peristiwa-peristiwa historis yang diketahui dari
sumber lainnya; (ii) karakter wahyu sebagai refleksi perubahan
situasi dan peran Muhammad; dan (iii) penampakan atau bentuk
lahiriah wahyu. Periodisasi tradisional kesarjanaan Islam –
Makkiyah dan Madaniyah – dielaborasi lebih jauh lewat
pembabakan surat-surat Makkiyah ke dalam tiga kelompok, dan
dengan demikian seluruh surat al-Quran membentuk empat
periode pewahyuan: (i) Makkah pertama atau awal; (ii) Makkah
kedua atau tengah; (iii) Makkah ketiga atau akhir; dan (iv) Madinah.
Titik-titik peralihan untuk keempat periode ini adalah masa hijrah
ke Abisinia (sekitar 615) untuk periode Makkah awal dan Makkah
tengah, saat kembalinya Nabi dari Tha’if (620) untuk periode
Makkah tengah dan Makkah akhir, dan peristiwa hijrah (Septem-
ber 622) untuk periode Makkah akhir dan Madinah.
Asumsi yang diadopsi Weil dari para sarjana Muslim, tiga
kriteria aransemen kronologi dan sistem penanggalan empat
periodenya, kemudian diadopsi Noeldeke pada 1860 dan Schwally
pada 1909 dalam karya mereka, Geschichte des Qorãns (Erster
Teil, “bagian pertama”), dengan beberapa perubahan pada susunan
kronologis surat-surat al-Quran. Belakangan, karya patungan
Noeldeke-Schwally ini mempengaruhi Regis Blachère dalam
terjemahan al-Qurannya, Le Coran: Traduction Selon un Essai de
Reclassement des Sourates (1949-1950). Dalam terjemahan ini, ia
menyusun surat-surat al-Quran secara kronologis yang hanya
berbeda dari susunan Noeldeke-Schwally dalam beberapa hal.32
Asumsi dasar penanggalan empat periode bedan kriterianya
diterima secara sepenuhnya oleh Blachère.
Untuk memperlihatkan kesamaan dan perbedaan di antara
ketiga versi sistem penanggalan empat periode ini, dan untuk
memudahkan perbandingannya dengan penanggalan Makkiyah-
Madaniyah kesarjanaan Islam, ketiga versi penanggalan empat
periode Eropa itu akan ditabulasikan ke dalam satu tabel. 33
beberapa kecil ayat dalam beberapa surat yang diberi penanggalan
berbeda tidak diungkapkan, kecuali dalam kasus penanggalan
Noeldeke-Schwally yang diuraikan secara lengkap. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa sistem penanggalan ini
memiliki pengaruh sangat luas di kalangan akademisi Barat, bahkan
di kalangan tertentu sarjana Muslim modern.
Surat-surat periode Makkah pertama cenderung pendek-
pendek. Ayat-ayatnya juga pendek-pendek dan berima. Surat-surat
sering diawali dengan ungkapan-ungkapan sumpah, dan bahasanya
penuh dengan tamsilan dan keindahan puitis. Susunan kronologis
surat-surat al-Quran periode ini, menurut ketiga versi kronologi
Barat itu, adalah sebagai berikut:
Susunan Kronologis Surat Periode Makkah Awal
Versi Weil, Noeldeke-Schwally dan Blachère
Urut Versi Weil Versi Noeldeke-Schwally Versi Blachère
Kronologis Nama & No. Surat* Nama, No. Surat* & Keterangan Nama & No. Surat*
1 al-‘Alaq 96 al-‘Alaq 96 ayat 9-11 al-‘Alaq 96:1-5
belakangan
2 al-Muddatstsir 74 al-Muddatstsir 74. ayat 31-34, 41ff. al-Muddatstsir 74:1-7
belakangan
3 al-Muzzammil 73 al-Lahab 111 Quraisy 106
4 Quraisy 106 Quraisy 106 al-Dluhã 93
5 al-Lahab 111 al-Kawtsar 108 Alam Nasyrah 94
6 al-Najm 53 al-Humazah 104 al-‘Ashr 103
7 al-Takwîr 81 al-Mã‘ûn 107 al-Syams 91
8 al-Qalam 68 al-Takãtsur 102 al-Mã‘ûn 107
9 al-A‘lã 87 al-Fîl 105. ayat 6 Mk. Akhir al-Thãriq 86
10 al-Layl 92 al-Layl 92 al-Tîn 95
11 al-Fajr 89 al-Balad 90 al-Zalzalah 99
12 al-Dluhã 93 Alam Nasyrah 94 al-Qãri‘ah 101
13 Alam Nasyrah 94 al-Dluhã 93 al-‘Ãdiyãt 100
14 al-‘Ashr 103 al-Qadr 97 al-Layl 92
15 al-‘Ãdiyãt 100 al-Thãriq 86 al-Infithãr 82
16 al-Kawtsar 108 al-Syams 91 al-A‘lã 87
17 al-Takãtsur 102 ‘Abasa 80 ‘Abasa 80
18 al-Mã‘ûn 107 al-Qalam 68 ayat 17 ff. Belakangan al-Takwîr 81
19 al-Kãfirûn 109 al-A‘lã 87 al-Insyiqãq 84
20 al-Fîl 105 al-Tîn 95 al-Nãzi‘ãt 79
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 119
21 al-Falaq 113 al-‘Ashr 103. ayat 3 Mk. Akhir al-Gãsyiyah 88
22 al-Nãs 114 al-Burûj 85 ayat 8-11 belakangan al-Thûr 52
23 al-Ikhlãsh 112 al-Muzzammil 73 al-Wãqi‘ah 56
24 ‘Abasa 80 al-Qãri‘ah 101 al-Hãqqah 69
25 al-Qadr 97 al-Zalzalah 99 al-Mursalãt 77
26 al-Syams 91 al-Infithãr 82 al-Nabã 78
27 al-Burûj 85 al-Takwîr 81 al-Qiyãmah 75
28 al-Balad 90 al-Najm 53. ayat 23, 26-32 al-Rahmãn 55
belakangan
29 al-Tîn 95 al-Insyiqãq 84. ayat 25 Mk. Akhir al-Qadr 97
30 al-Qãri‘ah 101 al-‘Ãdiyãt 100 al-Najm 53
31 al-Qiyãmah 75 al-Nãzi‘ãt 79. ayat 27-46 belakangan al-Takãtsur 102
32 al-Humazah 104 al-Mursalãt 77 al-‘Alaq 96: 6-19
33 al-Mursalãt 77 al-Nabã 78 ayat 37 ff. Mk.Tengah al-Ma‘ãrij 70
34 al-Thãriq 86 al-Gãsyiyah 88 al-Muzzammil 73
35 al-Ma‘ãrij 70 al-Fajr 89 al-Insãn 76
36 al-Nabã 78 al-Qiyãmah 75. ayat16-19? al-Muthaffifîn 83
37 al-Nãzi‘ãt 79 al-Muthaffifîn 83 al-Muddatstsir 74:7-55
38 al-Infithãr 82 al-Hãqqah 69 al-Lahab 111
39 al-Insyiqãq 84 al-Dzãriyãt 51 ayat 24ff. belakangan al-Kawtsar 108
40 al-Wãqi‘ah 56 al-Thûr 52 ayat 21,29ff. belakangan al-Humazah 104
41 al-Gãsyiyah 88 al-Wãqi‘ah 56 ayat 75ff. belakangan al-Balad 90
42 al-Thûr 52 al-Ma‘ãrij 70 al-Fîl 105
43 al-Hãqqah 69 al-Rahmãn 55 ayat 8-9 belakangan al-Fajr 89
44 al-Muthaffifîn 83 al-Ikhlãsh 112 al-Ikhlãsh 112
45 al-Zalzalah 99 al-Kãfirûn 109 al-Kãfirûn 109
46 al-Falaq 113 al-Fãtihah 1
47 al-Nãs 114 al-Falaq 113
48 al-Fãtihah 1 al-Nãs 114
Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal. ayat = ayat/ayat-ayat. Mk = Makkiyah. Md = Madaniyah.
Surat-surat periode kedua atau periode Makkah tengah lebih
panjang dan lebih berbentuk prosa, namun tetap dengan kualitas
puitis yang indah. Gayanya membentuk suatu transisi antara surat-
surat periode Makkah pertama dan ketiga. Tanda-tanda
kemahakuasaan Tuhan dalam alam dan sifat-sifat ilahi seperti
rahmah ditekankan, sementara Tuhan sendiri sering disebut sebagai
al-rahmãn. Deskripsi yang hidup tentang surga dan neraka
diungkapkan, dan dalam periode inilah kisah-kisah umat nabi
sebelum Muhammad yang diazab Tuhan – atau lebih dikenal di
kalangan akademisi Barat sebagai “kisah-kisah pengazaban” –
diintroduksi. Surat-surat periode kedua, menurut ketiga versi
kronologi Barat itu, adalah sebagai berikut:
Susunan Kronologis Surat Periode Makkah Tengah
Versi Weil, Noeldeke-Schwally dan Blachère
Urut Versi Weil Versi Noeldeke-Schwally Versi Blachère
Kronologis Nama & No. Surat* Nama, No. Surat* & Keterangan Nama & No. Surat*
1 al-Fãtihah 1 al-Qamar 54 al-Dzãriyãt 51
2 al-Dzãriyãt 51 al-Shaffãt 37 al-Qamar 54
3 Yã Sîn 36 Nûh 71 al-Qalam 68
4 Qãf 50 al-Insãn 76 al-Shaffãt 37
5 al-Qamar 54 al-Dukhãn 44 Nûh 71
6 al-Dukhãn 44 Qãf 50 al-Dukhãn 44
7 Maryam 19 Thã Hã 20 Qãf 50
8 Thã Hã 20 al-Syu‘arã’ 26 Thã Hã 20
9 al-Anbiyã’ 21 al-Hijr 15 al-Syu‘arã’ 26
10 al-Mu’minûn 23 Maryam 19 ayat 35-40 belakangan al-Hijr 15
11 al-Furqãn 25 Shãd 38 Maryam 19
12 al-Syu‘arã’ 26 Yã Sîn 36 Shãd 38
13 al-Mulk 67 al-Zukhruf 43 Yã Sîn 36
14 al-Shaffãt 37 Jinn 72 al-Zukhruf 43
15 Shãd 38 al-Mulk 67 Jinn 72
16 al-Zukhruf 43 al-Mu’minûn 23 al-Mulk 67
17 Nûh 71 al-Anbiyã’ 21 al-Mu’minûn 23
18 al-Rahmân 55 al-Furqãn 25 ayat 64ff.? al-Anbiyã’ 21
19 al-Hijr 15 al-Isrã’ 17 al-Furqãn 25
20 al-Insãn 76 al-Naml 27 al-Naml 27
21 al-Kahfi 18 al-Kahfi 18
Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal. ayat = ayat/ayat-ayat. Mk = Makkiyah. Md = Madaniyah.
Surat-surat periode Makkah ketiga atau Makkah akhir lebih
panjang dan lebih berbentuk prosa. Weil bahkan beranggapan
bahwa “kekuatan puitis” yang menjadi ciri surat-surat dua periode
sebelumnya telah menghilang dalam periode ini. Sementara
Noeldeke-Schwally mengemukakan bahwa penggunaan al-rahmãn
sebagai nama diri Tuhan berakhir pada periode ketiga, namun
karakteristik-karakteristik periode kedua lainnya semakin
mengental. Kisah-kisah kenabian dan pengazaban umat terdahulu
dituturkan kembali secara lebih rinci. Susunan kronologis surat-
surat al-Quran periode Makkah ketiga ini, menurut ketiga sistem
penanggalan di atas, adalah sebagai berikut:
Susunan Kronologis Surat Periode Makkah Akhir
Versi Weil, Noeldeke-Schwally dan Blachère
Urut Versi Weil Versi Noeldeke-Schwally Versi Blachère
Kronologis Nama & No. Surat* Nama, No. Surat* & Keterangan Nama & No. Surat*
1 al-A‘rãf 7 al-Sajdah 32 al-Sajdah 32
2 al-Jinn 72 Fushshilat 41 Fushshilat 41
3 Fãthir 35 al-Jãtsiyah 45 al-Jãtsiyah 45
4 al-Naml 27 al-Nahl 16. ayat 41f., 110-124 Md. al-Isrã’ 17
5 al-Qashash 28 al-Rûm 30 al-Nahl 16
6 al-Isrã’ 17 Hûd 11 al-Rûm 30
7 Yûnus 10 Ibrãhîm 14 ayat 38 ff. Md. Hûd 11
8 Hûd 11 Yûsuf 12 Ibrãhîm 14
9 Yûsuf 12 al-Mu’min 40 ayat 57 ff.? Yûsuf 12
10 al-An‘ãm 6 al-Qashash 28 al-Mu’min 40
11 Luqmãn 31 al-Zumar 39 al-Qashash 28
12 Saba’ 34 al-‘Ankabût ayat1-11, 46 Md., 69 ? al-Zumar 39
13 al-Zumar 39 Luqmãn 31 ayat 14f. Md. 12f,16-19 al-‘Ankabût 29
belakang-an 27-29Md.
14 al-Mu’min 40 al-Syûrã 42 Luqmãn 31
15 al-Sajdah 32 Yûnus 10 al-Syûrã 42
16 al-Syûrã 42 Saba’ 34 Yûnus 10
17 al-Jãtsiyah 45 Fãthir 35 Saba’ 34
18 al-Ahqãf 46 al-A‘rãf 7 ayat157f.Md. Fãthir 35
19 al-Kahfi 18 al-Ahqãf 46 al-A‘rãf 7
20 al-Nahl 16 al-An‘ãm 6 al-Ahqãf 46
21 Ibrãhîm 14 al-Ra‘d 13 al-An‘ãm 6
22 Fushshilat 41 al-Ra‘d 13
23 al-Rûm 30
24 al-‘Ankabût 29
25 al-Ra‘d 13
26 al-Tagãbun 64
Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal. ayat = ayat/ayat-ayat. Mk = Makkiyah. Md = Madaniyah.
Surat-surat periode keempat (Madaniyah) tidak memper-
lihatkan banyak perubahan gaya dari periode ketiga dibandingkan
perubahan pokok bahasan. Perubahan ini terjadi dengan semakin
meningkatnya kekuasaan politik Nabi dan perkembangan umum
peristiwa-peristiwa di Madinah setelah hijrah. Pengakuan terhadap
Nabi sebagai pemimpin warga , menyebabkan wahyu-wahyu
berisi hukum dan aturan kewarga an. Tema-tema dan istilah-
istilah kunci baru turut membedakan surat-surat periode ini dari
periode sebelumnya. Susunan kronologis surat-surat al-Quran dari
periode Madinah, menurut ketiga versi penanggalan di atas, adalah
sebagai berikut:
Susunan Kronologis Surat Periode Madaniyah
Versi Weil, Noeldeke-Schwally dan Blachère
Urut Versi Weil Versi Noeldeke-Schwally Versi Blachère
Kronologis Nama & No. Surat* Nama, No. Surat* & Keterangan Nama & No. Surat*
1 al-Baqarah 2 al-Baqarah 2 al-Baqarah 2
2 al-Bayyinah 98 al-Bayyinah 98 al-Bayyinah 98
3 al-Jumu‘ah 62 al-Tagãbun 64 al-Tagãbun 64
4 al-Thalaq 65 al-Jumu‘ah 62 al-Jumu‘ah 62
5 al-Hajj 22 al-Anfãl 8 al-Anfãl 8
6 al-Nisã’ 4 Muhammad 47 Muhammad 47
7 al-Anfãl 8 Ãli ‘Imrãn 3 Ãli ‘Imrãn 3
8 Muhammad 47 al-Shaff 61 al-Shaff 61
9 al-Hadîd 57 al-Hadîd 57 al-Hadîd 57
10 Ãli ‘Imrãn 3 al-Nisã’ 4 al-Nisã’ 4
11 al-Hasyr 59 al-Thalaq 65 al-Thalaq 65
12 al-Nûr 24 al-Hasyr 59 al-Hasyr 59
13 al-Munãfiqûn 63 al-Ahzãb 33 al-Ahzãb 33
14 al-Ahzãb 33 al-Munãfiqûn 63 al-Munãfiqûn 63
15 al-Fath 48 al-Nûr 24 al-Nûr 24
16 al-Nashr 110 al-Mujãdilah 58 al-Mujãdilah 58
17 al-Shaff 61 al-Hajj 22 al-Hajj 22
18 al-Mumtahanah 60 al-Fath 48 al-Fath 48
19 al-Mujãdilah 58 al-Tahrîm 66 al-Tahrîm 66
20 al-Hujurãt 49 al-Mumtahanah 60 al-Mumtahanah 60
21 al-Tahrîm 66 al-Nashr 110 al-Nashr 110
22 al-Tawbah 9 al-Hujurãt 49 al-Hujurãt 49
23 al-Mã’idah 5 al-Tawbah 9 al-Tawbah 9
24 al-Mã’idah 5 al-Mã’idah 5
Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal. ayat = ayat/ayat-ayat. Mk = Makkiyah. Md = Madaniyah
Ketiga sistem penanggalan empat periode Barat di atas terlihat
hanya merupakan varian yang agak terelaborasi dari sistem
penanggalan Makkiyah-Madaniyah kesarjanaan Islam. Ketiganya
sangat bergantung pada penanggalan tradisional dan hal-hal yang
bertalian dengan bentuk dan gaya yang dikembangkan sarjana
Muslim. Dalam periode pertama Weil, misalnya, seluruh susunan
kronologis 34 surat pertama – dengan beberapa kecil pengecualian
– hampir identik dengan rangkaian kronologi Ibn Abbas,34 yang
kemudian dikembangkan para sarjana Muslim modern ke dalam
sistem penanggalan Mesir. Weil menutup periode Makkah awal
dengan beberapa surat yang memiliki gaya puitis senada, namun
surat-surat ini – misalnya surat 55; 70; 78; 79; 82; 83; 84; dll. –
dipandang para sarjana Muslim berasal dari masa yang belakangan.
Noeldeke-Schwally kemudian menerima seluruh surat periode
pertama yang dikemukakan Weil – dengan susunan agak berbeda
– dan menambahkan ke dalamnya 3 surat lagi (surat 1; 51; 55).
Sementara Blachère menerima seluruh gagasan Noeldeke-Schwally,
kecuali 2 surat (surat 51 dan 68), dan menambahkan satu surat
lagi (surat 76) ke dalam periode ini.
Dalam periode kedua, Noeldeke-Schwally menerima beberapa
18 surat dari kronologi Weil – namun ditempatkan dalam urutan
kronologis berbeda – dan menambahkan 3 surat lain (17; 27; 18)
ke dalam sistem penanggalan mereka. Sedangkan Blachère
menerima sebagian besar rangkaian kronologis surat-surat periode
ini yang dikemukakan Noeldeke-Schwally, kecuali surat 51 yang
ditempatkan di awal susunan kronologisnya, surat 68 ditempatkan
sebelum surat 37, dan surat 17 yang ditempatkan pada periode
ketiga. Sebagaimana dengan kasus periode pertama, periode kedua
dari ketiga sistem penanggalan ini pun mencantumkan beberapa
surat – misalnya surat 67; 76; dll. – yang ditempatkan para sarjana
Muslim pada masa pewahyuan belakangan.
Pada periode Makkah akhir, Noeldeke-Schwally menerima
hampir seluruh surat yang ditempatkan Weil dalam periode ini –
dengan sekuensi kronologis agak berbeda – kecuali 5 surat (surat
72; 27; 17; 14; dan 64). Susunan kronologis Noeldeke-Schwally
kemudian diterima secara sepenuhnya oleh Blachère dengan
menyisipkan surat 17 di antara surat 45 dan surat 16 dalam
rangkaian kronologis ini . namun , beberapa surat yang
ditempatkan oleh ketiga sarjana Barat itu ke dalam surat-surat
periode ketiga ini lazimnya dipandang para sarjana Muslim turun
lebih awal – misalnya surat 7; 35; 28; dll. – atau bahkan lebih
belakangan lagi – misalnya surat 13.
Sementara dalam periode keempat atau Madaniyah, beberapa
besar surat yang dipandang para sarjana Muslim diwahyukan di
masa ini disepakati ketiga sistem penanggalan Barat – sekalipun
dalam urutan kronologis yang cukup berbeda – kecuali beberapa
kecil surat (misalnya surat 99; 13; 55; dll.). Seluruh surat Madaniyah
yang diajukan Weil – dengan tambahan satu surat (surat 64) –
terlihat diterima Noeldeke-Schwally. namun , persamaan sekuensi
surat di antara keduanya hanya tampak pada permulaan dan
penghujung kronologi, atau pada dua surat pertama dan dua surat
terakhir. Aransemen kronologis surat-surat Madaniyah versi
Noeldeke-Schwally ini kemudian diterima secara sepenuhnya –
tanpa kecuali – oleh Blachère.
Perbedaan yang terlihat dalam sistem-sistem penanggalan di
atas pada dasarnya, dan terutama sekali, menyangkut titik-titik
peralihan periodisasi. Demikian pula, beberapa bahan tradisional
menyangkut surat-surat tertentu al-Quran telah diterima oleh sistem
penanggalan empat periode Barat sebagai kebenaran historis. namun ,
bahan-bahan tradisional lainnya, khususnya yang menyangkut
periode Makkiyah, dipandang sebagai meragukan. Semetara analisis
sastera terhadap kandungan surat-surat al-Quran untuk menetapkan
penanggalan ayat-ayat di dalam suatu surat telah diaplikasikan
secara luas dalam sistem penanggalan empat periode. Itulah
sebabnya, timbul perbedaan yang cukup substantif antara sistem
penanggalan tradisional Islam dan sistem penanggalan empat
periode dalam susunan kronologis surat-surat. Sekalipun demikian,
sistem penanggalan empat periode, seperti telah disinggung, telah
menerima asumsi-asumsi dasar sistem penanggalan al-Quran
kesarjanaan Muslim bahwa surat-surat yang ada sekarang merupa-
kan unit-unit wahyu orisinal, dan bahwa adalah memungkinkan
untuk menetapkan rangkaian kronologisnya berpijak pada bahan-
bahan tradisional. Namun, seperti telah ditunjukkan, di sinilah
letak kelemahan mendasar dari berbagai sistem penanggalan yang
menganut asumsi-asumsi ini . Jadi, pada kesimpulan akhir,
sistem penanggalan empat periode ini dapat disebut sebagai versi
Barat dari sistem penanggalan kesarjanaan Islam.
Untuk masing-masing rancangan kronologis ketiga sistem
penanggalan empat periode di atas, selain berbagai butir kelemahan
yang telah diungkapkan, dapat dikemukakan penilaian-penilaian
lanjutan lainnya. Kelemahan utama aransemen yang diajukan Weil
terletak pada asumsinya tentang gaya al-Quran, yakni gaya ini
merupakan suatu gerak maju yang ajeg kepada surat-surat atau
ayat-ayat yang lebih panjang. Memang benar bahwa terjadi
perubahan dari tahun ke tahun, namun hal ini bukan merupakan
alasan yang absah untuk menerima asumsi ini . Sebab gaya al-
Quran dari masa yang sama mungkin saja beragam selaras dengan
tujuan-tujuannya, seperti yang diungkapkan sendiri oleh kitab suci
ini (47:20 cf. 62:2).
Sementara Noeldeke-Schwally tampaknya keliru saat
membatasi penggunaan al-rahmãn sebagai nama diri Tuhan untuk
suatu masa singkat atau beberapa tahun saja. Nama diri ini,
menurut Noeldeke-Schwally, diperkenalkan pada periode Makkah
tengah, namun tidak ada suatu bukti pun yang menunjukkan bahwa
penggunaannya secara jelas telah dihentikan. Sebaliknya, al-rahmãn
terus digunakan pada ungkapan pembuka setiap surat – kecuali
surat 9 – dalam formula bismi-llãh al-rahmãn al-rahîm, dan orang-
orang Makkah yang mengajukan keberatan terhadap penggunaan-
nya sebagai pembuka rancangan awal Perjanjanjian Hudaibiyah
(628) tampaknya memandang al-rahmãn al-rahîm sebagai nama-
nama diri Tuhan.
Sehubungan dengan kronologi Blachère, dapat dikemukakan
bahwa ia terlalu terpengaruh oleh sistem penanggalan Noeldeke-
Schwally, yang pada gilirannya membuat asumsinya tentang bagian-
bagian individual al-Quran sebagai unit wahyu orisinal tidak begitu
mencuat dalam usaha penanggalannya. Sebagaimana terlihat, dalam
susunan aktual kronologi al-Qurannya, dua surat dibagi dua: ayat-
ayat permulaan surat 96 dan 74 muncul paling awal – selaras dengan
tradisi penanggalan Islam – sementara sisanya diletakkan pada
urutan yang belakangan. Demikian pula, saat suatu surat dicetak
keseluruhannya secara berturut-turut dalam terjemahannya, surat
itu tetap dibagi ke dalam bagian-bagian yang terpisah dan
penanggalan yang berbeda diberikan kepadanya. namun asumsi ini
tidak dikembangkan secara konsisten dalam rancangan kronologis
aktualnya, seperti dalam kasus pemilahan bagian-bagian individual
kedua surat pertama di atas berdasar urutan pewahyuannya.
Penanggalan tradisional Islam, hingga taraf tertentu, juga telah
mempengaruhi sarjana Barat lainnya, Sir William Muir, dalam
usaha penyusunan urutan kronologis pewahyuan al-Quran. Dalam
karyanya tentang biografi Nabi, Life of Mahomet (1858-1861), Muir
– bekerja secara terpisah dari Noeldeke – melampirkan suatu esei
mengenai sumber-sumber biografi Muhammad yang berisi gagasan
tentang kronologi al-Quran. Esei ini kemudian dielaborasinya
dalam, The Coran, Its Composition and Teaching, and the Testi-
mony it bears to the Holy Scriptures (1878). Dalam karya ini,
Muir mengajukan suatu aransemen kronologis surat-surat al-Quran
yang dikelompokkannya ke dalam enam periode – lima periode
Makkah dan satu periode Madinah.35 Sebagian besar sekuensi
kronologisnya senada dengan Noeldeke, namun beberapa surat al-
Quran yang membahas tentang keajaiban alam dan surat-surat
yang secara tradisional diterima sebagai wahyu-wahyu yang awal
ditempatkan pada masa sebelum pengangkatan Muhammad sebagai
Nabi.
Menurut Muir, periode pertama dalam komposisi al-Quran
terdiri dari 18 surat pendek, yang disebutnya sebagai surat-surat
rapsodi (“kegembiraan”). Surat-surat yang diberi penanggalan
sebelum pengangkatan Muhammad sebagai Nabi ini, dalam
sekuensi kronologis, adalah sebagai berikut: al-‘Ashr (103); al-‘Ãdiyãt
(100); al-Zalzalah (99); al-Syams (91); Quraisy (106); al-Fãtihah (1);
al-Qãri‘ah (101); al-Tîn (95); al-Takãtsur (102); al-Humazah (104);
al-Infithãr (82); al-Layl (92); al-Fîl (105); al-Fajr (89); al-Balad (90);
al-Dluhã (93); Alam Nasyrah (94); dan al-Kawtsar (108).
Muir menegaskan bahwa kedelapan belas surat periode pertama
di atas, tidak satu pun di antaranya yang berbentuk pesan dari
Tuhan. Sedangkan periode kedua Muir hanya memiliki empat surat,
yang kesemuanya membahas tentang pembukaan tugas kenabian
Muhammad. Keempat surat ini adalah: al-‘Alaq (96); al-Ikhlãsh
(112); al-Muddatstsir (74); dan al-Lahab (111).
Selanjutnya, Muir menetapkan titik-titik peralihan untuk
periode-periode berikutnya, yang hampir identik dengan titik-titik
peralihan dalam sistem penanggalan empat periode. Titik peralihan
untuk periode kedua dan ketiga, dalam rancangan Muir, adalah
permulaan tugas kenabian Muhammad (sekitar 613); untuk periode
ketiga dan keempat adalah hijrah ke Abisinia (sekitar 615); untuk
periode keempat dan kelima adalah tahun “duka cita” (sekitar
619); dan untuk periode kelima dan keenam adalah peristiwa hijrah
(622).
Susunan selengkapnya surat-surat al-Quran untuk periode
ketiga dalam sistem penanggalan enam periode Muir, yang
memiliki 19 surat, adalah sebagai berikut: al-A‘lã (87); al-Qadr
(97); al-Gãsyiyah (88); ‘Abasa (80); al-Takwîr (81); al-Insyiqãq
(84); al-Thãriq (86); al-Nashr (110); al-Burûj (85); al-Muthaffifîn
(83); al-Naba’ (78); al-Mursalãt (77); al-Insãn (76); al-Qiyãmah
(75); al-Ma‘ãrij (70); al-Kãfirûn (109); al-Mã‘ûn (107); al-Rahmãn
(55); dan al-Wãqi‘ah (56).
Sementara surat-surat periode keempat dalam rancangan
Muir, berisi 22 surat, adalah: al-Mulk (67); al-Najm (53); al-
Sajdah (32); al-Zumar (39); al-Muzzammil (73); al-Nãzi‘ãt (79);
al-Qamar (54); Sabã’(34); Luqmãn (31); al-Hãqqah (69); al-Qalam
(68); Fushshilat (41); Nûh (71); al-Thûr (52); Qãf (50); al-Jãtsiyah
(45); al-Dukhãn (44); al-Shãffãt (37); al-Rûm (30); al-Syu‘arã’
(26); al-Hijr (15); dan al-Dzãriyãt (51).
Surat-surat periode kelima, beberapa 30 surat, adalah sebagai
berikut: al-Ahqãf (46); al-Jinn (72); Fãthir (35); Yã Sîn (36);
Maryam (19); al-Kahfi (18); al-Naml (27); al-Syûrã (42); al-
Mu’min (40); Shãd(38); al-Furqãn (25); Thã Hã (20); al-Zukhruf
(43); Yûsuf (12); Hûd (11); Yûnus (10); Ibrãhîm (14); al-An‘ãm
(6); al-Tagãbun (64); al-Qashash (28); al-Mu’minûn (23); al-
Hajj (22); al-Anbiyã’ (21); al-Isrã’ (17); al-Nahl (16); al-Ra‘d (13);
al-‘Ankabût (29); al-A‘rãf (7); al-Falaq (113); dan al-Nãs (114).
Surat Madaniyah atau periode keenam terdiri dari 21 surat,
yaitu: al-Baqarah (2); Muhammad (47); al-Hadîd (57); al-Anfãl
(8); al-Mujãdilah (58); al-Thalaq (65); al-Bayyinãt (98); al-Jumu‘ah
(62); al-Hasyr (59); al-Nûr (24); al-Munãfiqûn (63); al-Fath (48);
al-Shaff (61); al-Nisã’ (4); Ãli ‘Imrãn (3); al-Mã’idah (5); al-Ahzãb
(33); al-Mumtahanah (60); al-Tahrîm (66); al-Hujurãt (49); dan
al-Tawbah (9).36
Sebagaimana terlihat, tiga periode pertama Muir berisi
sebagian besar surat yang dalam sistem penanggalan empat
periode – terutama Noeldeke-Schwally – dikelompokkan ke
dalam periode Makkah awal. Demikian pula, periode keempat
Muir berisi beberapa besar surat yang ada dalam periode
Makkah tengah, namun sebagian surat lainnya berasal dari
periode-periode sebelum atau sesudahnya. Periode kelima Muir
terlihat hampir-hampir menyerupai periode Makkah akhir dari
Noeldeke-Schwally. Jika dibandingkan dengan sistem
penanggalan tradisional Islam, maka aransemen Muir – khususnya
susunan surat-surat dari periode Makkiyah – memperlihatkan
perbedaan-perbedaan yang cukup substantif. Sebagian besar surat
yang dikelompokkannya ke dalam periode pertama merupakan
surat-surat yang diberi penanggalan belakangan oleh para sarjana
Muslim – bahkan juga dalam sistem penanggalan empat periode.
Sebagaimana para perancang sistem penanggalan empat periode,
Muir juga menerima pengaruh yang sangat desisif dari asumsi-
asumsi dasar penanggalan tradisional Islam, dan sebab itu
kritisisme yang diajukan terhadap sistem penanggalan tradisional
Islam ataupun varian Baratnya – yakni sistem penanggalan empat
periode – dapat diterapkan secara sepenuhnya terhadap sistem
penanggalan Muir.
usaha pelacakan jejak kronologis wahyu-wahyu yang diterima
Nabi dengan penekanan terhadap tahapan-tahapan perkembangan
tema-tema doktrinal dilakukan seorang sosialis penulis biografi
Nabi, Hubert Grimme, dalam jilid ke-2 karyanya, Mohammed
(1892-1895). Ia membedakan surat-surat Makkiyah ke dalam dua
kelompok utama, dengan suatu kelompok surat yang
menengahinya. Kelompok surat Makkiyah pertama
mempermaklumkan monoteisme, kebangkitan kembali, pengadilan
akhirat, dan kenikmatan dan azab ukhrawi; manusia bebas
beriman atau sebaliknya; Muhammad hanya disebut sebagai
pengkhutbah, bukan nabi. Surat-surat dari kelompok Makkiyah
pertama ini, secara kronologis, adalah: al-Lahab (111); al-Mã‘ûn
(107); Quraisy (106); al-Fîl (105); al-Humazah (104); al-‘Ashr (103:
ayat 3 belakangan); al-Takãtsur (102); al-Qãri‘ah (101); al-‘Ãdiyãt
(100); al-Zalzalah (99); al-Kawtsar (108); al-‘Ãlaq (96); al-Tîn (95);
Alam Nasyrah (94); al-Dluhã (93); al-Layl (92); al-Syams (91); al-
Balad (90); al-Fajr (89); al-Gãsyiyah (88); al-A‘lã (87: ayat 7
Madaniyah); al-Thãriq (86); al-Burûj (85: ayat 8-11 belakangan); al-
Insyiqãq (84: ayat 25 belakangan); al-Muthaffifîn (83); al-Infithãr
(82); al-Takwîr (81: ayat 29 belakangan); ‘Abasa (80); al-Nãzi‘ãt (79);
al-Naba’ (78: ayat 37f. belakangan); al-Mursalãt (77); al-Insãn (76);
al-Qiyãmah (75); al-Muddatstsir (74: ayat 56 belakangan); al-
Muzzammil (73: ayat 20 Madaniyah); al-Ma‘ãrij (70); al-Hãqqah
(69); al-Qalam (68); al-Falaq (113 ?); dan al-Nãs (114).
Sementara kelompok surat yang menengahi kelompok pertama
dan kelompok kedua berisi gambaran bahwa pengadilan akhirat
seakan-akan telah dekat, dan penuturan kisah-kisah tentang azab
yang menimpa orang-orang kafir. Surat-surat dari kelompok ini
adalah: al-Wãqi‘ah (56); al-Rahmãn (55); al-Qamar (54); al-Najm
(53: ayat 20-22,26-32 belakangan); al-Thûr (52); al-Dzãriyãt (51);
Qãf (50); al-Hijr (15); al-Hajj (22: ayat 25- 41,77-78 Madaniyah);
dan Ibrãhîm (14: ayat 38-41 Madaniyah).
Kelompok surat Makkiyah kedua memperkenalkan rahmah
Tuhan, kepengasihan atau kepenyayangannya, dan dengannya
dinisbatkan nama diri al-rahmãn kepada Tuhan. Dalam kelompok
ini pewahyuan al-kitãb mulai menonjol, dan kisah-kisah penerima
wahyu sebelumnya diceritakan kembali. Susunan kronologis surat-
surat al-Quran kelompok kedua ini adalah sebagai berikut: al-Ahqãf
(46); al-Jinn (72); al-Jãtsiyah (45); al-Dukhãn (44); Fushshilat (41);
al-Qadr (97); al-Mu’min (40); al-Zumar (39); Shãd (38); al-Shaffãt
(37); Yã Sîn (36); Fãthir (35); Sabã’ (34); al-Sajdah (32); Luqmãn
(31); al-Mulk (67); al-Rûm (30); al-‘Ankabût ( 29: ayat 1-13, 46-47,
69 Madaniyah); al-Qashash (28); al-Naml (27); al-Syu‘arã’ (26); Nûh
(71); al-Furqãn (25); Thã Hã (20); al-Mu’minûn (23); al-Zukhruf
(43); al-Anbiyã’ (21); Maryam (19); al-Fãtihah (1); al-Syûrã (42); al-
Kahfi (18); al-Isrã’ (17); al-Nahl (16: ayat 110-124 Madaniyah); al-
Ra‘d (13); Yûsuf (12); Hûd (11); Yûnus (10); al-A‘rãf (7: ayat 157f.
Madaniyah); al-An‘ãm (6); al-Bayyinah (98 ?); al-Ikhlãsh (112 ?);
dan al-Kãfirûn (109 ?).
Sedangkan 22 surat lainnya dikelompokkan Grimme ke dalam
surat-surat Madaniyah. Susunan kronologis surat-surat Madaniyah
yang diajukan Grimme ini adalah: al-Baqarah (2: ayat 196-200
belakangan); al-Jumu‘ah (62: ayat 1-11 belakangan); al-Mã‘idah (5);
Muhammad (47); al-Anfãl (8); al-Nûr (24); al-Hasyr (59); Ãli ‘Imrãn
(3); al-Nisã’ (4); al-Hadîd (57); al-Tagãbun (64); al-Shaff (61); al-
Mumtahanah (60); al-Mujãdilah (58); al-Thalaq (65); al-Ahzãb (33);
al-Munãfiqûn (63); al-Hãqqah (69); al-Nashr (110); al-Fath (48); al-
Tahrîm (66); dan al-Tawbah (9).37
Kronologi Grimme di atas hanya memperlihatkannya sebagai
suatu varian dari sistem penanggalan Noeldeke-Schwally. Bahkan,
asumsi-asumsi mendasarnya tentang surat sebagai unit wahyu
orisinal dan validitas sumber-sumber tradisional Islam juga tidak
bergeser dari posisi Noldeke-Schwally. Surat-surat yang
dikelompokkannya ke dalam periode Madaniyah, kecuali surat
69, merupakan surat-surat yang juga dicantumkan Noeldeke-
Schwally ke dalamnya. sebab itu, kritisisme senada yang telah
dikemukakan terhadap sistem-sistem penanggalan yang lalu dapat
dialamatkan dengan efek yang sama terhadap sistem penanggalan
Grimme. Namun, sekuensi kronologis surat-surat Makkiyahnya
memperlihatkan perbedaan yang mencolok baik dengan sistem
penanggalan empat periode maupun dengan tradisi kesarjanaan
Islam. Hal ini disebabkan penyusunan sekuensi ini mengacu
kepada karakteristik-karakteristik doktrinal yang, menurut Grimme,
berkembang selaras dengan perkembangan misi Nabi. Analisisnya
tentang kelompok-kelompok gagasan yang muncul secara bersama-
sama di dalam al-Quran memang cukup bermanfaat. namun
pandangannya tentang keseluruhan rangkaian gagasan –
monoteisme kebangkitan kembali, pengadilan akhirat, dan
seterusnya – tidak begitu memadai dan mestinya dikombinasi
dengan kriteria-kriteria lainnya.38 Barangkali itulah sebabnya
mengapa sistem penanggalan Grimme tidak begitu diterima di
kalangan akademisi Barat, apalagi di kalangan sarjana Muslim.
Terobosan baru dalam usaha merekonstruksi kronologi
pewahyuan al-Quran dilakukan oleh Hartwig Hirschfeld lewat
karyanya, New Researches into the Composition and Exegesis of
the Quran, yang terbit di London pada 1902. Dalam karya ini,
Hirschfeld mengajukan suatu aransemen kronologi al-Quran yang
didasarkan pada karakter atau fungsi bagian-bagian individual al-
Quran sebagai unit-unit wahyu orisinal. Ia mencoba meninggalkan
asumsi tradisional Islam tentang surat sebagai unit wahyu orisinal
yang telah mempengaruhi perkembangan kajian kronologi al-
Quran di Barat.
Setelah “proklamasi pertama,” Hirschfeld mengajukan suatu
sistem penanggalan yang mengelompokkan bagian-bagian – bukan
surat – al-Quran ke dalam enam periode pewahyuan. Dalam keenam
periode ini , wahyu-wahyu diklasifikasikan sebagai
“konfirmatori,” “deklamatori,” “naratif,” “deskriptif,” “legislatif,”
dan wahyu-wahyu dari periode Madinah. Wahyu-wahyu periode
terakhir ini dikelompokkan bersama, namun dibahas terpisah, seperti
wahyu-wahyu hingga Perang Badr, firman-firman yang bertalian
dengan politik, wahyu-wahyu tentang masalah domestik
Muhammad, dan persiapan-persiapan untuk haji ke Makkah.39
Aransemen lengkap wahyu-wahyu periode Makkiyah versi
Hireschfeld adalah sebagai berikut: Proklamasi pertama: 96:1-5.
Wahyu-wahyu konfirmatori: 87; 68:1-33; 92; 69:40-52; 26:221-228;
52:29-49; 74:1-30,33-55; 73:1-14; 76; 94; 96:6-19; 111; 104; 79:15-26;
53:1-18,24-62; 93:1-8; dan 109. Wahyu-wahyu deklamatori: 81; 82;
84; 99; 80; 86; 75; 83; 88; 79:1-14; 77; 69:1-39; 78; 56; 52:1-28; 70;
100; 101; 106; 107; 108; 90; 92; 91; 105; 102; 97; 98; 89; 72; 85:1-
8,12-22; 103; dan 95. Wahyu-wahyu naratif: 68:34-52; 51; 26:1-220;
54; 37; 44; 38; 27:1-59; 28; 15; 18; 12; 19; 43:25-89; 21; 14; 20; 11;
34; 7:1-27,57-155,186-205; 17:1-8,103-111; 73:15-19; 40:1-6,24,57;
29:13-42; 10:72-109; 23:23-52; 46:20-35; 5:23-38,109-120; 2:200-210;
6:74-91; dan 1. Wahyu-wahyu Deskriptif: 79:27-46; 71; 55; 50; 45;
42; 41; 35; 32; 67; 25:1-63; 23:1-22,53-118; 16:1-115; 43:1-24; 13; 113;
114; 10:1-57,58-71; 31:1-10,19-34; 36; 27: 60-95; 30; 39; 22:1-13,62-71;
40:7-23,58-85; 2:158-162; 29:43-69; 17:87-102; dan 6:92-117. Wahyu-
wahyu legislatif: 6:1-45,46-73; 93:9-11; 25:64-72; 31:11-18; 7:28-56; 29:1-
12; 46:1-19; 17:9-86; 6:152-165; 9:129-130; dan 85:9-11.
Aransemen wahyu-wahyu periode Madinah adalah: 2:1-19a,19b-
37,38-58,59; 5:71-88; 2:60-97,98-115,116-147,163-184,211-223,244-
268,269-281; 8:1-41(setelah Badr),42-76; 3:1-29,30-75,76-90; 47; 3:91-
113(?),114-137,139-200; 57; 7:174-185; 59;61; 62; 16:116-128(?); 64;
4:1-45,126-129,46-72,73-86(setelah Uhud); 2:148-157,87-95; 5:56-63;
2:282-284; 4:96-105,106-125,130-138,140-145,146-151,152-175; 33;
2:224-243(?); 65; 24; 66; 63; 58; 22:14-61,72-78; 5:39-44; 2:285-286;
48:18-28; 2:185-196a,196b-199; 60; 110; 49; 9:23-27,38-73; 48:1-17;
9:74-94,120-128,95-119,1-12,36-37,13-22,28-35; 7:156-172; 5:1-4,5-7,8-
14,15-17,109-120,18-22,45-55,64-70,89-104,105-108(?); 6:117-151(?);
73:20(?); dan 74:31-34(?).
Meskipun aransemen wahyu-wahyu Makkiyah dan Madaniyah
di atas cukup rinci, beberapa bagian al-Quran dipandang Hirschfeld
tidak jelas masa pewahyuannya, atau disisipkan ke dalam unit-
unit wahyu yang lain, sehingga mengganggu keutuhan konteks
wahyu-wahyu ini . Bagian-bagian al-Quran semacam ini adalah:
53:19-23; 3:138; 33:40; 47:2; 48:29; 61:6; dan 5:73(?),101(?).
Posisi Hirschfeld sangat menarik, sekalipun aransemen
kronologisnya memiliki beberapa cacat yang jelas, dan sebab nya
tidak begitu diterima. Ia telah melakukan usaha rintisan untuk
penerapan analisis sastra terhadap al-Quran dan memperkenalkan
kembali asumsi yang telah lama tertimbun di balik hiruk-pikuk
kajian kronologi al-Quran: bahwa dalam usaha memberi
penanggalan terhadap kitab suci ini perhatian semestinya
diarahkan pada bagian-bagian individual (pericopes) al-Quran
sebagai unit-unit wahyu orisinal, bukan pada surat-surat. Asumsi
semacam ini, sebagaimana telah diutarakan, dijustifikasi secara
sepenuhnya oleh sumber-sumber tradisional yang menjadi tumpuan
kajian-kajian kronologi. Belakangan, asumsi Hirschfeld – terutama
tentang bagian-bagian individual al-Quran sebagai unit-unit orisinal
wahyu – menjadi prinsip pembimbing dalam usaha paling
terelaborasi sejauh ini untuk mengidentifikasi dan memberi
penanggalan unit-unit wahyu orisinal yang dilakukan Richard Bell.
Kajian utama Bell tentang kronologi al-Quran, meski dalam
bentuk yang tidak begitu lengkap, dapat ditemukan dalam dua
jilid terjemahan al-Qurannya, The Qur’ãn Translated, with a Criti-
cal Rearrangement of the Suras.40 Ketidaklengkapan karya ini
disebabkan beberapa besar catatan yang menjelaskan secara
rinci alasan-alasan yang mengarahkan Bell kepada kesimpulan-
kesimpulannya tidak pernah diterbitkan. Namun sebagian dari
kekurangan ini dapat diperbaiki oleh artikel-artikelnya,41 dan
sebagian lagi oleh karyanya: Introduction to the Qur’an (1953)42
dan A Commentary on the Qur’an (1991).
Sebagaimana diungkapkan di atas, Bell menerima asumsi
Hirschfeld bahwa unit-unit wahyu orisinal adalah bagian-bagian
pendek al-Quran. Selanjutnya ia berpendapat bahwa sebagian besar
pekerjaan “mengumpulkan” unit-unit wahyu ini ke dalam surat-
surat dilakukan sendiri oleh Muhammad di bawah inspirasi Ilahi.
Dalam proses “pengumpulan” ini , Muhammad – juga di
bawah inspirasi Ilahi – telah merevisi bagian-bagian al-Quran,
termasuk memperluas, mengganti ayat-ayat lama dengan yang baru,
menyesuaikan rimanya, dan lain-lain. Perevisian ini juga melibatkan
dokumen-dokumen wahyu yang telah direkam secara tertulis.
Asumsi Bell tentang perevisian dan dokumen tertulis wahyu ini –
yang merupakan butir-butir kontroversial dalam gagasannya
tentang penanggalan al-Quran – barangkali mesti dijelaskan terlebih
dahulu agar bisa diapresiasi atau dikritik secara proporsional.43
Bell beranggapan bahwa bentuk revisi paling sederhana yang
dilakukan Nabi adalah mengumpulkan unit-unit kecil wahyu, yang
semula diterima secara terpisah, ke dalam surat-surat. Dalam proses
ini beberapa adaptasi juga dilakukan, yang dapat dibuktikan dari
pemunculan rima-rima tersembunyi. Jadi, saat suatu unit wahyu
dengan purwakanti tertentu ditambahkan ke dalam suatu surat
yang memiliki purwakanti berbeda, ungkapan-ungkapan
ditambahkan untuk menyesuaikan unit ini dengan purwakanti
surat di mana ia disisipkan. Contohnya adalah 41:9-12. Unit wahyu
ini, menurut Bell, semula berima dalam -ã – yakni untuk tiap
penghujung ayat orisinal ditandai dengan ungkapan-ungkapan
andãdã (ayat 9), ayyãm (ayat 10), karhã (ayat 11), amrahã dan hifzhã
(ayat 12). namun , saat ditempatkan di dalam surat ini ,
dilakukan revisi berupa penambahan ungkapan-ungkapan dzãlika
rabbu-l-‘ãlamîn (ayat 9), sawã’an li-l-sã’ilîn (ayat 10), qãlatã ãtaynã
thã’i‘în (ayat 11), dan dzãlika taqdîru-l-‘azîzi-l-‘alîm (ayat 12), yang
semuanya berima dalam -în, untuk menyesuaikannya dengan rima
surat. Bell memberi keterangan penanggalan bagian al-Quran ini
dengan “Meccan (?), revised.”44
Revisi unit-unit wahyu dilakukan tidak hanya dalam kasus-
kasus gramatikal seperti dicontohkan. Bell menduga bahwa
penjelasan atau penambahan berupa catatan-komentar (gloss) juga
dilakukan dalam proses perevisian ini . Revisi jenis ini dapat
diilustrasikan dengan 76:16. Ayat sebelumnya (15) dan ayat ini
betul-betul tidak dapat dipahami. Bell mengemukakan dugaan
bahwa suatu catatan-komentar telah tercampur dengan teks, dan
harus diterjemahkan: ”…dan gelas piala qawãrîr,” yakni bejana-
bejana; catatan-komentarnya adalah ayat 16.45 Penjelasan kata-kata
atau ungkapan-ungkapan semacam ini juga terkadang ditambahkan
dalam bentuk perluasan unit-unit wahyu, yang dalam kasus-kasus
tertentu – menurut Bell – tidak berkaitan dengan makna semula
yang dimilikinya. Contohnya adalah surat 90 (ayat 12-16). Dalam
ayat sebelumnya (ayat 11) ada kata ‘aqabah – bermakna “jalan
setapak pegunungan” – yang dijelaskan oleh bagian ini dengan
contoh-contoh konkret, namun tidak begitu berhubungan dengan
makna orisinal kata ini – yakni jalan setapak pegunungan.
Menurut Bell, bagian ini ditambahkan belakangan terhadap
surat yang diawali dengan ayat-ayat periode sangat awal.46
Tambahan dan sisipan jenis lainnya bisa diilustrasikan dari surat-
surat pendek, misalnya surat 91. Bagian pertama surat ini – yang
mengungkapkan gagasan pengadilan akhirat bagi jiwa yang suci
dan kotor – berakhir pada ayat 10, kemudian diikuti bagian kedua
berisi ringkasan kisah kaum Tsamud yang diazab Tuhan (ayat 11-
15). Bagian terakhir ini ditambahkan untuk memberi penekanan
moral dari bagian pertama dengan rima yang sama. Bell
memandang bahwa bagian pertama diwahyukan di Makkah,
sementara bagian kedua ditambahkan belakangan, namun barangkali
masih dalam periode Makkah.
Karakteristik lain dalam revisi wahyu-wahyu ini adalah adanya
sambungan-sambungan alternatif yang saling menyusuli dalam teks
al-Quran. Contohnya adalah penghujung surat 39, di mana ada
suatu ayat (75) yang terisolasi. Ayat ini menyusuli suatu suasana
pengadilan akhirat dan secara jelas merupakan bagiannya; namun
pengadilan itu telah berakhir dan putusan telah ditetapkan (ayat
69-70), orang-orang kafir telah masuk neraka (ayat 71-72), orang-
orang takwa telah masuk surga (ayat 73-74); lalu sampai ke ayat
75, di mana suasana pengadilan akhirat yang akan membuat
keputusan kembali muncul. Bell melihat bahwa ayat 75 ini
merupakan sambungan orisinal dari ungkapan pertama ayat 69 –
yakni sampai ungkapan rabbihã – yang berasal dari periode
Madinah awal. Sementara ayat 69 bagian akhir hingga ayat 74
adalah tambahan belakangan.
Analisis sastra yang kritis terhadap al-Quran, disamping
menghasilkan jenis bukti di atas, juga membimbing Bell
mengemukakan suatu hipotesis tentang kedudukan dokumen-
dokumen tertulis dalam “pengumpulan” al-Quran. Di sini tidak
hanya dinyatakan bahwa bagian-bagian al-Quran telah direkam
secara tertulis pada suatu tahap yang awal dalam karir kenabian
Muhammad, namun juga dikemukakan bahwa kemunculan suatu
bagian wahyu yang tidak berjalin dengan konteksnya dalam surat
tertentu mesti dijelaskan dengan asumsi bahwa bagian ini
disalin di balik “carikan kertas” yang digunakan untuk menyalin
bagian di sebelahnya.49 Contohnya adalah Surat 80. Surat ini
diawali dengan suatu deskripsi mengenai pengadilan akhirat dan
nasib orang-orang berdosa (ayat 1-5), dan dilanjutkan dengan nasib
orang beriman (ayat 8-12). Kedua bagian ini, seperti tampak dari
rima ayatnya, pada mulanya merupakan suatu kesatuan. Ayat 6-7
belakangan ditambahkan ke dalamnya, menyusul ayat 13-16 dengan
rima yang berbeda. Ayat 17-20, yang menggambarkan ke-
mahakuasaan Tuhan dalam penciptaan, tidak memiliki kaitan yang
tampak dengan konteksnya. Pada titik ini, Bell mengajukan
hipotesisnya bahwa ayat 17-20 ditempatkan di sini sebab ditemu-
kan tertulis dibalik carikan “kertas” yang memuat ayat 13-16.50
Berpijak pada berbagai asumsi di atas, Bell kemudian
melakukan rekonstruksi historis yang sangat terelaborasi terhadap
wahyu-wahyu Muhammad yang terhimpun di dalam al-Quran. Ia
memang tidak mengajukan suatu sistem penanggalan yang kaku,
namun secara “provisional” menyimpulkan bahwa komposisi al-
Quran terbagi ke dalam tiga periode utama: (i) Periode awal yang
darinya hanya tersisa beberapa “ayat pertanda” dan perintah untuk
menyembah Tuhan; (ii) Periode al-Quran yang mencakup bagian
akhir periode Makkah dan satu atau dua tahun pertama di
Madinah, saat tugas Muhammad adalah memproduksi suatu
qur’ãn, suatu kumpulan pelajaran untuk peribadatan; dan (iii)
periode kitab, bermula pada penghujung tahun kedua setelah hijrah,
sewaktu Muhammad mulai memproduksi suatu kitab suci tertulis.
Menurut Bell, al-Quran yang ada dewasa ini tidak mesti dibagi ke
dalam ketiga periode ini , sebab beberapa “ayat pertanda”
telah dijalin ke dalam bagian peribadatan dari periode al-Quran,
dan kumpulan bahan dari periode kedua ini juga telah direvisi
untuk membentuk bagian kitab periode ketiga.
Penelitian terhadap penanggalan provisional Bell atas bagian-
bagian individual al-Quran memperlihatkan, bahwa ia hanya
memandang 19 surat sebagai surat-surat Makkiyah: surat 50; 53;
55; 69; 75; 79; 80; 82; 86; 88; 89; 91; 92; 93; 95; 96; 99; 104; dan 113.
namun keseluruhan surat ini disimpulkannya memiliki bahan dari
berbagai masa selama periode Makkah. Beberapa surat pendek
lainnya – surat 102; 105; 112; dan 114 – diduga sebagai surat-surat
utuh dari periode Madinah. Surat 1; 94; 103; 106; 107; dan 108,
menurutnya, bisa Makkiyah ataupun Madaniyah. Sementara untuk
surat 100; 101; 109; dan 111, ia tidak mengemukakan opininya.
Lebih jauh ia memandang 24 surat sebagai surat-surat Madaniyah,
namun menganggapnya memiliki beberapa besar bahan dari masa-
masa yang berbeda selama periode Madinah. Surat-surat lainnya –
beberapa 57 surat – dipandang Bell memiliki beberapa besar bahan
baik dari masa sebelum maupun sesudah hijrah: 33 surat di
antaranya memiliki sebagian besar bahan dari periode Makkah
dengan revisi dan tambahan dari periode Madinah – surat 6; 7; 12;
13; 15; 17; 18; 21; 25; 26; 34; 36; 37; 38; 41; 44; 51; 52; 54; 56; 68; 70;
71; 72; 73; 74; 76; 77; 78; 81; 84; dan 90 – sementara 24 surat yang
tersisa memiliki sebagian besar bahan dari periode Madinah dengan
beberapa bagian dari periode Makkah, atau didasarkan pada bahan-
bahan periode Makkah – surat 10; 11; 14; 16; 19; 20; 23; 27; 28; 29;
30; 31; 32; 35; 39; 40; 42; 43; 45; 46; 47; 83; 85 dan 97. Dengan
demikian, Bell membedakan antara penanggalan unit wahyu
orisinal dan penanggalan revisinya yang belakangan pada masa
Nabi. Sistem penanggalan semacam ini jelas memberi peluang
sangat kecil untuk menyusun surat-surat al-Quran ataupun unit-
unit wahyu secara keseluruhan ke dalam suatu tatanan
kronologis.52
Berbagai capaian Bell dalam usaha memberi penanggalan
unit-unit wahyu al-Quran pada faktanya lebih menunjukkan
karakter tentatif, lantaran asumsinya mengenai perevisian al-
Quran yang dilakukan secara konstan oleh Nabi. Asumsi ini,
selain membuat pekerjaan memberi penanggalan al-Quran
menjadi sangat kompleks, juga sulit diterima kaum Muslimin
sekalipun revisi itu dilakukan di bawah inspirasi Ilahi. Selain
itu, pijakan asumsinya – yakni elaborasi doktrin nãsikh-mansûkh
– masih diperdebatkan dan cenderung ditolak sarjana Muslim
modern. Demikian pula, sebagian besar kesimpulan
penanggalannya bersifat sangat umum dan meragukan, terlebih
lagi untuk unit-unit wahyu Makkiyah. Dalam karyanya ini,
banyak ditemukan kesimpulan penanggalan seperti “Meccan, with
later additions,” “early, revised in Medina,” “Meccan, with
Medinan additions,” “possibly earlier,” “early Medinan, with later
additions” atau “Meccan (?),” “Medinan (?),” “early (?),” “date
uncertain,” dan lainnya, yang justeru tidak memberikan kejelasan
tentang penanggalannya.
Barangkali lantaran karakter tentatif yang mendominasi
sistem penanggalan Bell inilah sehingga rancangannya itu tidak
begitu diterima di kalangan sarjana yang menggeluti al-Quran.
Pengaruh sistem penanggalan Bell hanya terbatas di kalangan
murid-muridnya – seperti W.M. Watt dan A.T. Welch. namun , mesti
diakui bahwa Bell memang berhasil menetapkan beberapa unit
wahyu – terutama dari periode Madinah – secara agak akurat.
Lebih jauh, ia juga patut dihargai lantaran usaha nya – bersama
Hirschfeld – untuk memperkenalkan kembali asumsi tradisional
Islam yang selama berabad-abad telah ditinggalkan, yakni bahwa
dalam usaha memberi penanggalan terhadap al-Quran perhatian
semestinya diarahkan pada bagian-bagian individual (pericopes)
kitab suci ini sebagai unit-unit wahyu orisinal, bukan pada
surat-surat.
Kronologi al-Quran: Sebuah Refleksi
Uraian yang telah dikemukakan sejauh ini memperlihatkan
berbagai gagasan dan sudut pandang yang berkembang di kalangan
sarjana – baik Muslim maupun Barat – tentang pewahyuan
kronologis al-Quran yang terbentang sekitar 23 tahun, baik saat
Nabi menetap di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah.
Sebagaimana ditunjukkan di atas, berbagai sistem penanggalan yang
mendasarkan diri pada asumsi surat sebagai unit wahyu terlihat
tidak memadai dan tidak setia kepada karakter asasi bahan-bahan
tradisional penanggalan al-Quran itu sendiri. sebab itu, asumsi
tradisional lainnya tentang bagian-bagian al-Quran sebagai unit
wahyu mesti dipegang kembali dalam usaha pemberian
penanggalan terhadap kitab suci ini . Tentu saja, asumsi ini
mengimplikasikan kemustahilan penyusunan surat-surat al-Quran
dalam suatu tatanan kronologis, dan akan menjadikan penentuan
penanggalan bagian-bagian al-Quran sebagai sebuah pekerjaan yang
amat kompleks, bahkan mungkin tidak dapat diselesaikan secara
konklusif. Minimnya informasi historis yang akurat tentang unit-
unit wahyu – yang menjadi karakteristik utama riwayat-riwayat
asbãb al-nuzûl – akan merupakan kendala terbesar di bidang ini.
Dengan demikian, langkah pertama dalam usaha penyusunan
kronologi semacam ini adalah penentuan unit-unit wahyu dalam
sebagian besar surat al-Quran yang memiliki kandungan ayat dari
berbagai periode pewahyuan. Seperti terlihat di atas, ada
kesepakatan dalam berbagai sistem penanggalan mengenai beberapa
kecil surat yang dipandang sebagai unit-unit wahyu orisinal, baik
dari periode Makkiyah maupun Madaniyah. Dalam kasus semacam
ini, pekerjaan yang tersisa adalah menentukan masa pewahyuannya
secara lebih akurat. namun sehubungan dengan surat-surat yang
memiliki kandungan unit wahyu dari berbagai masa, maka
penentuan unit-unit wahyunya barangkali dapat dilakukan dengan
menerapkan metode analisis sastra yang berpijak pada kesatuan
gagasan dan gaya al-Quran – baik prosaik ataupun puitis �