Tampilkan postingan dengan label ayub 28. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 28. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 28


 ak dapat mengusik kedamaian dan ketenangan-Nya, 

tidak dapat mengalahkan rencana dan rancangan-Nya, 

tidak pula dapat merampas kemuliaan-Nya yang hakiki. 

Oleh sebab itu, perkataan Ayub “Apakah gunanya bagi-

ku jika aku bersih dari dosa? (ay. 3, KJV)” yaitu  pema-

haman yang keliru. Allah tidak mendapat keuntungan 

apa pun dari pertobatan Ayub. Dan, siapa yang diun-

tungkan lagi kalau bukan dirinya sendiri?  

[2] Segala ibadah orang kudus yang paling saleh tidak 

menguntungkan Dia (ay. 7). “Jikalau engkau benar, apa-

kah yang kauberikan kepada Dia?” Allah tidak membu-

tuhkan jasa kita. Kalau Dia ingin mengerjakan sesuatu, 

Dia bisa melakukannya tanpa kita. Kesalehan kita tidak 

menambah kebahagiaan-Nya sama sekali. Dia tidak ber-

utang budi sedikit pun kepada kita, justru kita yang 

berutang budi kepada-Nya sebab  Dia menjadikan kita 

orang benar dan Dia menerima kebenaran kita. Oleh 


sebab itu, kita tidak dapat menuntut apa pun dari-Nya, 

dan tiada alasan bagi kita untuk mengeluh bila tidak 

mendapatkan apa yang kita harapkan. Yang bisa kita 

lakukan hanyalah bersyukur sebab  memperoleh yang 

lebih baik daripada apa yang pantas bagi kita. 

Tutur Kata Elihu 

(35:9-13) 

9 Orang menjerit oleh sebab  banyaknya penindasan, berteriak minta tolong 

oleh sebab  kekerasan orang-orang yang berkuasa; 10 namun  orang tidak ber-

tanya: Di mana Allah, yang membuat aku, dan yang memberi nyanyian puji-

an di waktu malam; 11 yang memberi kita akal budi melebihi binatang di bumi, 

dan hikmat melebihi burung di udara? 12 saat  itu orang menjerit, namun  Ia 

tidak menjawab, oleh sebab  kecongkakan orang-orang jahat. 13 Sungguh, 

teriakan yang kosong tidak didengar Allah dan tidak dihiraukan oleh Yang 

Mahakuasa. 

Ayat-ayat di atas yaitu  jawaban Elihu terhadap salah satu ucapan 

Ayub lainnya, yang menurut Elihu, menyindir keadilan dan kebaikan 

Allah, sehingga tidak boleh berlalu begitu saja tanpa ditanggapi. 

I. Yang dikeluhkan Ayub ialah bahwa Allah tidak memperhatikan 

jeritan orang tertindas mengenai penindas mereka (ay. 9): “Orang 

menjerit oleh sebab  banyaknya penindasan, banyaknya kesukar-

an yang ditimpakan oleh para penguasa lalim atas orang miskin, 

serta perlakuan biadab terhadap mereka. Namun, jeritan itu sia-

sia saja. Allah tidak tampil untuk membela mereka. Mereka ber-

teriak, mereka terus berseru oleh sebab  kekerasan orang-orang 

yang berkuasa yang menindih mereka dengan beratnya.” Kata-

kata ini tampaknya merujuk kepada ucapan Ayub dalam pasal 

24:12, “Dari dalam kota terdengar rintihan orang-orang yang ham-

pir mati dan jeritan orang-orang yang menderita luka sebab  para 

penindas, namun  Allah tidak mengindahkan doa mereka, Dia tidak 

mengadakan perhitungan dengan mereka atas hal tersebut.” Ayub 

tidak tahu bagaimana harus menyikapi keadaan itu, atau me-

nyelaraskan keadilan Allah dengan pemerintahan-Nya. Adakah 

Allah yang adil, dan mungkinkah Dia begitu lambat mendengar, 

begitu lambat melihat?  

II. Cara Elihu memecahkan persoalan pelik tersebut. Kalau jeritan 

orang tertindas tidak didengar, kesalahan bukan terletak pada 

Allah. Dia selalu siap mendengar dan menolong mereka. Kesalah-

annya terletak pada manusia itu sendiri. Kamu berdoa juga, namun  

kamu tidak menerima apa-apa, sebab  kamu salah berdoa (Yak. 

4:3). Mereka berteriak minta tolong oleh sebab  kekerasan orang-

orang yang berkuasa, namun  teriakan itu berupa gerutuan, keluh 

kesah, bukan teriakan doa pertobatan. Teriakan mereka yaitu  

jeritan manusiawi yang lahir dari kegeraman, bukan dari anu-

gerah. Bacalah Hosea 7:14, “Seruan mereka kepada-Ku tidak ke-

luar dari hatinya, namun  mereka meratap di pembaringan mereka.” 

Kalau demikian, mana mungkin kita berharap mereka akan 

dijawab dan dilepaskan? 

1. Di tengah penderitaan, mereka tidak mencari Allah dan tidak 

berusaha mengenal Dia (ay. 10), “namun  orang tidak bertanya: 

Di mana Allah, yang membuat aku?” Kesusahan diberikan 

guna mengarahkan dan menggiatkan kita untuk berbalik dan 

mengingini Allah (Mzm. 78:34). Namun, banyak orang yang 

mengerang di bawah penindasan justru tidak mengindahkan 

Allah, mereka tidak menyadari keberadaan tangan-Nya dalam 

kesukaran mereka. Seandainya mereka mencari Allah, mereka 

akan dapat menanggung persoalan itu dengan lebih sabar 

serta mendapatkan lebih banyak berkat darinya. Di antara 

banyak orang yang menderita dan tertindas, hanya sedikit 

yang mendapatkan manfaat baik dari penderitaan tersebut. 

Kesesakan seharusnya mengarahkan manusia kepada Allah, 

namun  jarang sekali hal itu terjadi! Sangat disayangkan, sedikit 

sekali orang miskin dan menderita yang beriman. Setiap orang 

bersungut-sungut sebab  persoalannya, namun  tidak seorang 

pun bertanya: Di mana Allah, yang membuat aku? (ay. 10, KJV). 

Artinya, tidak ada yang bertobat dari dosa-dosanya, tidak ada 

yang berbalik kepada Dia yang menghajar mereka, tidak ada 

yang mencari wajah Allah dan perkenanan-Nya serta peng-

hiburan di dalam Dia yang dapat melipur kesengsaraan mere-

ka. Mereka sepenuhnya tenggelam dalam parahnya keadaan, 

seakan-akan situasi tersebut menjadi alasan agar mereka 

boleh hidup tanpa Allah di dunia yang semestinya membuat 

orang melekat semakin erat kepada-Nya. Perhatikanlah,  


(1) Allah yaitu  Pencipta kita, Dialah empunya keberadaan 

kita. Dengan pemikiran tersebut, kita harus menghormati 

dan mengingat Dia (Pkh. 12:1). Sebagian penafsir menulis-

kan “Allah, yang membuat aku,” dengan bentuk jamak, 

yang menyiratkan tentang Trinitas, yaitu adanya tiga Pri-

badi dalam satu kesatuan Ke-Allah-an. “Baiklah kita men-

jadikan manusia.”  

(2) sebab  Allah yaitu  pencipta kita, maka kita wajib men-

cari-Nya. Di manakah Dia, supaya kami dapat berbakti ke-

pada-Nya serta mengakui kebergantungan dan tanggung 

jawab kami kepada Dia? Di manakah Dia, supaya kami 

dapat meminta pemeliharaan dan perlindungan-Nya, mene-

rima hukum dari-Nya, dan mencari kebahagiaan kami da-

lam perkenanan Dia yang kuasanya menjadikan kami ada?  

(3) Sangat disayangkan bahwa anak-anak manusia begitu ja-

rang mencari-Nya. Semua orang bertanya, “Di manakah ke-

senangan? Di mana kekayaan? Di mana bisnis yang ba-

gus?” namun , tiada seorang pun bertanya, “Di mana Allah, 

yang membuat aku?” 

2. Di tengah penderitaan, mereka tidak menyadari belas kasihan 

yang mereka nikmati dan tidak pula bersyukur atasnya. Oleh 

sebab  itu, janganlah berharap Allah harus melepaskan mere-

ka dari kesusahan. 

(1) Dia menyediakan penghiburan dan sukacita batiniah di 

tengah kesukaran jasmani. Kita harus memanfaatkan hal 

tersebut dan menunggu persoalan kita disingkirkan pada 

waktu-Nya. Dia memberi nyanyian pujian di waktu malam. 

Artinya, sewaktu keadaan kita begitu gelap, menyedihkan, 

dan sendu, ada topangan sekaligus sukacita dan peng-

hiburan bagi kita di dalam Allah, dalam penyelenggaraan 

serta janji-Nya yang cukup. Semua itu memampukan kita 

untuk bersyukur dalam segala hal, bahkan bersukacita di 

tengah kesengsaraan. Bila kita hanya memperhatikan ke-

sukaran kita dan mengabaikan penghiburan dari Allah 

yang sudah tersedia bagi kita, maka wajarlah jika Allah me-

nolak doa-doa kita.  

(2) Allah memberi kita akal budi dan pengertian untuk dipakai 

(ay. 11): Allah yang memberi kita akal budi melebihi binatang 


di bumi. Artinya, Dia menganugerahi kita dengan daya dan 

kemampuan nalar yang lebih tinggi daripada yang diberikan 

kepada binatang. Dia juga memampukan kita untuk menik-

mati kesenangan dan pekerjaan yang lebih mulia, sekarang 

dan selamanya. Nah dengan pemberian-Nya ini,  

[1] Beralasan bagi kita untuk mengucap syukur di tengah 

beban penderitaan terberat sekalipun. Apa pun yang 

dirampas dari kita, kita tetap memiliki jiwa yang kekal, 

permata yang jauh lebih berharga daripada seluruh 

dunia. Yang bisa membunuh tubuh pun tidak bisa 

menjamah jiwa kita. Jadi, bila kesusahan kita tidak 

merusak kemampuan jiwa mereka, dan kita masih 

dapat menikmati fungsi akal budi serta ketenteraman 

hati nurani, kita punya banyak alasan lagi untuk ber-

syukur, tidak peduli seberapa pun beratnya malapetaka 

yang menimpa kita.  

[2] Beralasan bagi kita untuk mencari Allah dan menanya-

kan Allah Pencipta kita di tengah penderitaan. Keung-

gulan tertinggi dari akal budi ialah bahwa ia membuat 

kita dapat beragama, dan itulah yang khususnya mem-

buat kita melebihi binatang di bumi, dan burung di 

udara. Biantang-binatang itu memiliki naluri dan kecer-

dasan untuk mencari makanan, obat-obatan, dan tem-

pat berteduh. namun , tidak satu pun dari mereka yang 

mampu bertanya dan mencari, “Di mana Allah, yang 

membuat aku?” Hal-hal mengenai logika, filsafat dan 

cara hidup sudah diamati di antara binatang-binatang 

yang tidak berakal, namun  tidak pernah diamati tentang 

keilahian atau agama di antara binatang-binatang. Hal-

hal ini hanya ada pada manusia. Oleh sebab  itu, jika 

orang tertindas hanya berteriak minta tolong oleh sebab  

kekerasan orang-orang yang berkuasa berdasarkan akal 

budi semata, dan tidak mencari Allah, maka seruan me-

reka tidak lebih daripada yang dilakukan binatang-

binatang sebab  binatang mengeluh saat  sakit. Me-

reka melupakan pengajaran dan hikmat yang membuat 

mereka jauh melampaui binatang. Allah menolong bina-

tang sebab mereka berseru kepada-Nya dengan kemam-

puan tertinggi yang ada pada mereka (39:3; Mzm. 


104:21). Namun, atas dasar apa manusia mengharap-

kan kelegaan, bila mereka berteriak kepada Allah tak 

ubahnya seperti binatang, padahal mereka mampu me-

nanyakan dan mencari Allah yang membuat mereka? 

3. Di tengah penderitaan, mereka tetap congkak dan angkuh, 

padahal penderitaan diberikan untuk merendahkan dan men-

jauhkan mereka dari kesombongan (ay. 12). saat  itu orang 

menjerit, namun  Ia tidak menjawab (KJV: namun  tidak seorang pun 

menjawab). Mereka berseru-seru melawan para penindas dan 

memenuhi telinga orang-orang di sekeliling mereka dengan 

keluh kesah, namun  mereka tidak meluangkan waktu untuk 

merenungkan tentang Allah dan penyelenggaraan-Nya. Allah 

tidak menyelamatkan mereka, dan barang kali orang lain juga 

tidak terlalu menghiraukan mereka. Mengapa? Oleh sebab  ke-

congkakan orang-orang jahat. Mereka itu orang jahat, mereka 

merancang niat jahat dalam hati, dan itu sebabnya Allah tidak 

mau mendengar doa mereka (Mzm. 66:18; Yes. 1:15). Allah 

tidak mendengarkan orang-orang berdosa. Persoalan mereka 

mungkin juga disebabkan oleh kejahatan mereka sendiri. Me-

reka menyusahkan diri sendiri, lantas siapa yang bisa menga-

sihani mereka? Namun, bukan itu saja. Mereka juga masih 

tetap congkak, sebab  itulah mereka tidak mencari Allah (Mzm. 

10:4). Atau, kalaupun mereka berseru kepada-Nya, Dia tidak 

menjawab oleh sebab  kecongkakan mereka, sebab Dia hanya 

mendengarkan keinginan orang-orang yang tertindas (Mzm. 

10:17, KJV: orang-orang yang rendah hati.). Dengan penyeleng-

garaan-Nya, Dia hanya membebaskan orang yang telah diper-

siapkan-Nya oleh anugerah dan dilayakkan-Nya untuk dise-

lamatkan. Kalau hati kita tetap congkak di tengah kesesakan 

dan keangkuhan kita belum ditundukkan, berarti kita tidak 

termasuk di antara orang yang dilayakkan itu. Jadi, kini 

jelaslah bahwa jika kita berseru kepada Allah meminta kele-

pasan dari penindasan dan penderitaan, namun  semua itu tidak 

juga terjadi, alasannya bukan sebab  tangan Tuhan terlalu 

pendek atau telinga-Nya berat mendengar, namun  sebab  pen-

deritaan itu belum mencapai maksudnya. Kita belum cukup 

belajar rendah hati dan sebab  itu merupakan kesalahan kita 

sendiri jika penderitaan itu terus berlanjut. 

  


4. Permohonan mereka kepada Allah tidak tulus dan jujur, kare-

na itulah Dia tidak mendengar dan menjawab mereka (ay. 13). 

Sungguh, teriakan yang kosong tidak didengar Allah. Teriakan 

kosong artinya doa yang munafik, yaitu doa yang sia-sia, 

keluar dari bibir yang dibuat-buat. Percuma saja berpikir bah-

wa Allah pasti mendengarnya, sebab Dia menyelidiki hati dan 

menghendaki kebenaran dalam batin. 

Tutur Kata Elihu 

(35:14-16) 

14 Lebih-lebih lagi kalau engkau berkata, bahwa engkau tidak melihat Dia, 

bahwa perkaramu sudah diadukan kehadapan-Nya, namun  masih juga eng-

kau menanti-nantikan Dia! 15 namun  sekarang: sebab  murka-Nya tidak 

menghukum dan Ia tidak terlalu mempedulikan pelanggaran, 16 maka Ayub 

berbesar mulut dengan sia-sia, banyak bicara tanpa pengertian.” 

Ayat-ayat di atas berisi, 

I. Kesalahan lain dalam ucapan Ayub yang ditegur Elihu (ay. 14), 

“Lebih-lebih lagi kalau engkau berkata, bahwa engkau tidak meli-

hat Dia,” artinya, 

1. “Engkau mengeluh tidak dapat memahami arti perlakuan-Nya 

yang keras terhadapmu, juga maksud serta tujuannya” (23:8-9). 

2. “Engkau putus asa menantikan kembalinya kemurahan Allah 

kepadamu dan datangnya hari-hari baik lagi, sehingga engkau 

hendak menyerah sama sekali.” Seperti kata Raja Hizkia (Yes. 

38:11), “Aku tidak akan melihat TUHAN lagi.” Di tengah kelim-

pahan, biasanya kita berpikir bahwa kita akan tetap jaya. 

Demikian juga di tengah kesesakan, kita berpikir bahwa kita 

akan tetap terpuruk. Namun, dalam keadaan apa pun, yaitu  

bodoh bila kita beranggapan bahwa besok akan sama seperti 

hari ini, sama bodohnya seperti berpikir bahwa cuaca akan 

selalu baik atau selalu buruk, gelombang pasang akan selalu 

pasang, atau gelombang surut akan selalu surut. 

II. Jawaban Elihu terhadap keputusasaan yang dituturkan Ayub, yaitu, 

1. Saat ia memandang kepada Allah, tidak ada alasan yang benar 

baginya untuk berputus asa sedemikian, sebab “penghakiman 

ada di hadapan-Nya.” Artinya, “Allah tahu apa yang harus Dia 


perbuat dan Dia akan melaksanakan segalanya dengan hikmat 

dan keadilan yang tak terbatas. Dia memegang seluruh ran-

cangan dan cara penyelenggaraan dan tahu apa yang hendak 

dilakukan-Nya. Kita tidak tahu, sehingga kita tidak mengerti 

apa yang diperbuat Allah. Suatu hari kelak akan ada di hadap-

an-Nya hari penghakiman, dan saat itulah segala pengaturan 

dunia yang tampaknya kacau akan dijelaskan dan bagian-

bagian tersembunyi akan diterangkan. Pada waktu itu engkau 

akan melihat makna utuh dari segala peristiwa suram ini serta 

akhir dari pengalaman yang menyesakkan ini, maka engkau 

akan memandang wajah-Nya dengan sukacita. Oleh sebab itu, 

percayalah kepada-Nya, bersandarlah kepada-Nya, nantikan-

lah Dia, dan yakinlah bahwa perkara ini akan berakhir baik.” 

Bila kita mengingat bahwa Allah itu tidak terbatas hikmat-Nya, 

kebenaran-Nya, kesetiaan-Nya, dan bahwa Dialah Allah yang 

adil (Yes. 30:18), maka tiada alasan untuk berputus asa meng-

harapkan kelegaan dari-Nya. Yang ada hanyalah alasan untuk 

berpengharapan dalam Dia bahwa kelegaan itu akan datang 

pada waktunya, waktu yang terbaik. 

2. Kalau Ayub belum juga melihat akhir dari masalahnya, itu 

sebab  dia tidak percaya dan menantikan Allah (ay. 15, KJV). 

“sebab  engkau tidak percaya kepada-Nya oleh sebab persoal-

an ini, maka penderitaan yang mula-mula datang sebab  kasih 

kini bercampur dengan kekesalan. Kini Allah datang dengan 

murka, sebab hatimu tidak dapat mempercayai Dia, malah me-

mikirkan anggapan-anggapan keliru tentang-Nya.” Jika di 

dalam kesusahan kita terkandung murka ilahi, itu sebab  ke-

salahan kita sendiri, sebab kita tidak menyikapi kesusahan itu 

dengan benar. Kita berbantah dengan Allah, kita bersungut-

sungut, tidak sabar, dan tidak percaya kepada Penyelenggara-

an ilahi. Inilah yang terjadi pada Ayub. Kebodohan menyesat-

kan jalan orang, lalu gusarlah hatinya terhadap Tuhan (Ams. 

19:3). Elihu beranggapan bahwa Ayub tidak mengetahui dan 

merenungkan hal tersebut sebagaimana mestinya di tengah 

penderitaan. Dia belum juga diselamatkan sebab  kesalahan-

nya sendiri. Oleh sebab itu, Elihu menyimpulkan bahwa Ayub 

berbesar mulut dengan sia-sia (ay. 16) saat mengeluhkan keti-

dakadilan yang dialaminya dan dalam meminta keadilan. Ia 

berbesar mulut saja dalam membenarkan diri dan membukti-


kan dirinya tidak bersalah. Semua itu sia-sia, sebab ia tidak 

percaya kepada Allah dan menantikan Dia. Ia tidak menghor-

mati Allah dengan sepatutnya di tengah penderitaannya. Dia 

banyak bicara, namun  tanpa pengertian. Semuanya percuma, 

sebab Ayub tidak menguatkan diri di dalam Allah dan meren-

dahkan diri di hadapan-Nya. Sia-sia saja kita memohon kepa-

da Allah atau membuktikan kebenaran diri, bila kita tidak 

berusaha memenuhi tujuan dari penderitaan yang ditimpakan 

kepada kita. Sia-sia saja kita berdoa meminta kelegaan, bila 

kita tidak percaya kepada Allah. Sebab, orang yang meragukan 

Allah janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu 

dari Tuhan (Yak. 1:7).  

Jawaban Elihu ini bisa juga ditujukan kepada perkataan 

Ayub seluruhnya. Setelah menunjukkan kebodohan dalam be-

berapa bagian ucapan Ayub, Elihu menyimpulkan bahwa ada 

banyak bagian lain yang sama-sama merupakan hasil ketidak-

tahuan dan kekeliruan Ayub. Elihu tidak menyebut dia muna-

fik, seperti teman-temannya yang lain, ia hanya menyalahkan 

Ayub dengan dosa Musa, yaitu teledor dengan kata-katanya 

saat  hatinya merasa pahit. Setiap kali kita teledor dengan 

kata-kata dan tidak ada orang yang tidak pernah salah ber-

ucap, lalu kita ditegur, itu yaitu  belas kasihan, dan kita harus 

menerimanya dengan sabar dan rela seperti Ayub, tidak meng-

ulangi namun  menarik kembali perkataan kita yang salah. 

 

  

PASAL 36  

lihu telah menegur Ayub secara panjang lebar atas kata-katanya 

yang tidak patut, dan Ayub tidak mengatakan apa pun untuk 

membenarkan diri. Sekarang di sini secara lebih umum Elihu berbi-

cara lagi untuk membetulkan pemikiran Ayub tentang tindakan Allah 

terhadap dirinya. Teman-teman Ayub berpegang teguh bahwa sebab  

Ayub fasik, maka malapetaka menimpanya begitu hebat dan begitu 

lama. namun  Elihu hanya mempertahankan pendapat bahwa malape-

taka ditimpakan kepadanya hanya untuk mencobainya, dan bahwa 

malapetaka diperpanjang sebab Ayub belum sepenuhnya merendah-

kan diri atau dengan semestinya menyesuaikan diri padanya. Elihu 

memberikan banyak alasan, yang diambil dari hikmat dan kebenaran 

Allah, perhatian-Nya kepada umat-Nya, dan terutama keagungan-Nya 

dan kuasa-Nya yang Mahakuasa, yang dengan semuanya itu, di 

dalam pasal ini dan pasal berikutnya, dia membujuk Ayub untuk 

menyerah ke dalam tangan Allah. Dalam pasal ini kita membaca,  

I. Kata pengantar Elihu (ay. 2-4).  

II. Gambarannya tentang cara-cara penyelenggaraan Allah kepa-

da anak-anak manusia, seturut dengan perilaku mereka (ay. 

5-15).  

III. Peringatan dan nasihat baik yang diberikannya kepada Ayub 

(ay. 16-21).  

IV. Penjelasannya tentang kedaulatan dan kemahakuasaan Allah, 

yang disampaikannya berikut contoh-contoh di dalam karya 

penyelenggaraan secara umum, dan menjadi alasan mengapa 

kita semua hendaknya tunduk kepada-Nya dalam semua 

tindakan-Nya terhadap kita (ay. 22-33). Hal ini Elihu terus-

kan dan perluas di dalam pasal berikutnya. 

Tutur Kata Elihu 

(36:1-4) 

1 Berkatalah Elihu selanjutnya: 2 “Bersabarlah sebentar, aku akan mengajar 

engkau, sebab  masih ada yang hendak kukatakan demi Allah. 3 Aku akan 

meraih pengetahuanku dari jauh dan membenarkan Pembuatku; 4 sebab  

sungguh-sungguh, bukan dusta perkataanku, seorang yang sempurna pe-

ngetahuannya menghadapi engkau. 

Sekali lagi Elihu memohon kesabaran pendengar, dan Ayub secara 

khusus, sebab  dia belum mengatakan semua yang ingin dikatakan-

nya, namun  dia tidak akan menahannya lama. Bersabarlah sebentar 

(demikian dibaca oleh sebagian orang, ay. 2). “Perhatikan dan berilah 

aku perhatianmu, sedikit waktu lagi, sebab  aku ingin berbicara 

sekali ini saja, sejelas mungkin sesuai dengan tujuan.” Untuk itu dia 

menandaskan,  

1. Bahwa dia memiliki sebuah alasan yang baik dan sebuah pokok 

yang penting dan sangat bermanfaat: sebab  masih ada yang hen-

dak kukatakan demi Allah. Ia berbicara sebagai seorang pembela 

Allah, dan sebab nya wajar baginya untuk berharap didengar oleh 

semua yang hadir. Sebagian orang berpura-pura berbicara atas 

nama Allah, padahal sesungguhnya berbicara bagi diri mereka 

sendiri. namun  orang-orang yang dengan sungguh-sungguh tampil 

di pihak Allah, dan berbicara demi kehormatan-Nya, kebenaran-

Nya, jalan-jalan-Nya, umat-Nya, pasti yakin tidak akan kekurang-

an petunjuk sebab  semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu 

pada saat itu juga, atau kehilangan upah mereka. Mereka juga 

tidak perlu takut akan kehabisan pokok pembicaraan. Mereka 

yang telah banyak berbicara, menemukan ternyata masih ada ba-

nyak lagi yang perlu diucapkan atas nama Allah.  

2. Bahwa Elihu memiliki sesuatu untuk ditawarkan yang tidak 

umum dan bukan pengamatan biasa-biasa saja: Aku akan meraih 

pengetahuanku dari jauh (ay. 3), yaitu, “Kita akan kembali kepada 

dasar-dasar utama ajaran kita dan kepada gagasan-gagasan luhur 

yang dapat kita manfaatkan untuk mencapai tujuan apa saja.” 

Sangatlah berguna untuk mendapatkan sampai jauh pengetahu-

an tentang Allah ini, menggalinya, mencarinya. Memperolehnya 

akan mengganti kesusahan kita, dan, kendati sangat jauh dida-

pat, tidak mahal nilainya.  

3. Bahwa rancangan Elihu tidak dapat disangkal yaitu  jujur. Mak-

sud semuanya yaitu  demi menyatakan kebenaran Sang Pencip-

ta, untuk mempertahankan dan menjelaskan kebenaran ini, bah-

wa Allah itu benar dalam semua jalan-Nya. Dalam berbicara ten-

tang Allah, dan berbicara bagi Dia, yaitu  baik untuk mengingat 

bahwa Ia yaitu  Pencipta kita, untuk menyebut-Nya demikian, 

dan sebab nya siap untuk bekerja bagi-Nya dan melayani kepen-

tingan kerajaan-Nya sebaik-baiknya. Jika Ia yaitu  Pencipta kita, 

maka semua yang kita miliki yaitu  dari Dia, dan harus meng-

gunakan semuanya bagi Dia, dan menjadi sangat cemburu bagi 

kehormatan-Nya. Bahwa Elihu bersikap adil dan apa adanya (ay. 

4): “sebab  sungguh-sungguh, bukan dusta perkataanku. Aku se-

tuju dengan perkataanku dan itu seturut dengan pengertian dan 

pemahamanku. Kebenaran yang kuperjuangkan, dan demi kebe-

naran, dengan segala kesungguhan dan ketulusan hati.” Elihu 

akan memakai  dalih yang kuat dan jelas, tidak samar-samar. 

“Ia yang sempurna atau benar di dalam pengetahuan sedang ber-

tukar pikiran dengan engkau. Oleh sebab  itu berikanlah dia 

kesempatan untuk didengar dengan saksama dan dipertimbang-

kan dengan baik, dengan maksud baik.” Kesempurnaan pengeta-

huan kita di dalam dunia ini yaitu  berlaku jujur dan tulus da-

lam mencari kebenaran, di dalam menerapkannya kepada diri 

sendiri, dan dalam memakai  apa yang kita ketahui bagi ke-

baikan orang lain.  

Tutur Kata Elihu  

(36:5-14) 

5 Ketahuilah, Allah itu perkasa, namun tidak memandang hina apa pun, Ia 

perkasa dalam kekuatan akal budi. 6 Ia tidak membiarkan orang fasik hidup, 

namun  memberi keadilan kepada orang-orang sengsara; 7 Ia tidak mengalih-

kan pandangan mata-Nya dari orang benar, namun  menempatkan mereka 

untuk selama-lamanya di samping raja-raja di atas takhta, sehingga mereka 

tinggi martabatnya. 8 Jikalau mereka dibelenggu dengan rantai, tertangkap 

dalam tali kesengsaraan, 9 maka Ia memperingatkan mereka kepada perbuat-

an mereka, dan kepada pelanggaran mereka, sebab  mereka berlaku cong-

kak, 10 dan ia membukakan telinga mereka bagi ajaran, dan menyuruh mere-

ka berbalik dari kejahatan. 11 Jikalau mereka mendengar dan takluk, maka 

mereka hidup mujur sampai akhir hari-hari mereka dan senang sampai akhir 

tahun-tahun mereka. 12 namun , jikalau mereka tidak mendengar, maka 

mereka akan mati oleh lembing, dan binasa dalam kebebalan. 13 Orang-orang 

yang fasik hatinya menyimpan kemarahan; mereka tidak berteriak minta 

tolong, kalau mereka dibelenggu-Nya; 14 nyawa mereka binasa di masa muda, 

dan hidup mereka berakhir sebelum saatnya. 


Elihu, dengan berbicara atas nama Allah, dan khususnya dalam me-

nyatakan kebenaran Penciptanya, di sini menunjukkan bahwa peng-

aturan Penyelenggaraan ilahi berlaku untuk semua orang, tidak ha-

nya berdasarkan pertimbangan kekal dari kehendak-Nya, namun  juga 

menurut ketetapan kekal tentang kemerataan. Allah bertindak seba-

gai seorang penguasa yang benar, sebab ,  

I. Ia tidak merasa hina untuk memperhatikan kehinaan ciptaan-

Nya. Pun kemiskinan atau tidak dikenalnya seseorang tidak akan 

menjauhkan perkenanan-Nya. Jika manusia berkuasa, mereka 

cenderung untuk memandang hina dengan angkuh terhadap 

orang-orang yang tidak ada apa-apanya. Namun Allah itu perkasa, 

begitu tak terbatas, namun  Ia tidak memandang hina apapun (ay. 

5). Ia merendahkan diri untuk memperhatikan urusan orang-

orang yang hina dina, untuk melakukan keadilan dan menunjuk-

kan kebaikan kepada mereka. Ayub berpikir dirinya dan perkara-

nya telah terabaikan, sebab  Allah tidak segera datang menolong-

nya. “Tidak,” kata Elihu, Allah tidak memandang hina apapun, 

yang menjadi alasan baik mengapa kita harus menghormati 

semua orang. Ia perkasa dalam kekuatan akal budi, namun tidak 

memandang dengan hina mereka yang hanya orang yang lemah 

dan kurang bijak, jika mereka mau berlaku jujur. Bahkan sebab  

alasan ini Ia tidak menghina siapa pun, yaitu bahwa sebab  

hikmat dan kekuatan-Nya tak terbatas dan tak tertandingi, maka 

sekalipun Ia merendahkan diri, Ia sama sekali tidak menjadi hina. 

Orang-orang yang bijaksana dan baik tidak akan memandang 

orang lain dengan cemoohan dan penghinaan. 

II. Allah tidak memandang muka terhadap orang-orang besar, jika 

mereka berlaku jahat (ay. 6): Ia tidak membiarkan orang fasik 

hidup. Kendati hidup mereka dapat saja diperpanjang, namun  me-

reka tidak hidup di bawah perhatian khusus dari Penyelenggara-

an ilahi, melainkan hanya perlindungan-Nya secara umum saja. 

Ayub sebelumnya berkata, bahwa orang fasik tetap hidup, menjadi 

tua, bahkan menjadi bertambah-tambah kuat (21:7). “Tidak,” kata 

Elihu: “Allah jarang membiarkan orang fasik menjadi tua. Ia tidak 

membiarkan hidup mereka begitu lama seperti yang mereka ha-

rapkan, tidak pula dengan penghiburan dan kepuasan hidup. Dan 

terjaganya hidup mereka hanyalah supaya mereka disiapkan bagi 

hari murka” (Rm. 2:5). 

III. Allah selalu siap untuk membela yang terluka dan membela per-

kara mereka (ay. 6): Ia memberi keadilan kepada orang-orang seng-

sara, membalas penderitaan mereka akibat perselisihan mereka 

dengan para penganiaya mereka, dan memaksa para penganiaya 

itu untuk membayar ganti rugi atas apa yang telah mereka ram-

pas. Jika manusia tidak membela orang-orang sengsara, maka 

Allah yang akan membela mereka. 

IV. Allah memberi suatu perhatian khusus bagi perlindungan umat-

Nya yang hidup benar (ay. 7). Ia tidak hanya mengawasi mereka, 

namun  juga tidak pernah meninggalkan mereka: Ia tidak meng-

alihkan pandangan mata-Nya dari orang benar. Kendati mereka 

mungkin kadang-kadang tampak diabaikan dan dilupakan, dan 

hal itu tampak mengejutkan bagi mereka seperti terluput dari 

Penyelenggaraan-Nya, namun mata lembut dari Bapa sorgawi 

mereka tidak pernah jauh dari mereka. Jika mata kita selalu ter-

tuju kepada Allah di dalam kewajiban, maka mata-Nya selalu ter-

tuju kepada kita di dalam belas kasihan, dan, saat  kita berada 

di titik hidup yang terendah, Ia tidak akan meninggalkan kita.  

1. Kadang-kadang Ia mendudukkan orang-orang benar ke tem-

pat-tempat kehormatan dan kemuliaan (ay. 7): di samping raja-

raja di atas takhta, dan setiap berkas dijadikan tunduk ke 

hadapan mereka. Pada waktu orang-orang benar ditinggikan 

ke tempat-tempat terhormat dan berkuasa, hal itu merupakan 

belas kasihan kepada mereka. Sebab anugerah Allah di dalam 

mereka akan mempersenjatai mereka melawan pencobaan 

yang menyertai kedudukan mereka dan memampukan mereka 

untuk memanfaatkan kesempatan itu untuk berbuat baik. Hal 

itu juga merupakan belas kasihan bagi mereka yang berada di 

bawahnya: Jika orang benar bertambah, bersukacitalah rakyat. 

Jika orang benar maju, rakyat menjadi mapan. Orang-orang 

yang mendapat kehormatan akan menjaga hati nurani yang 

baik tetap berdiri kokoh di atas tanah yang pasti, sehingga 

tempat-tempat tinggi tidaklah menjadi tanah yang licin bagi 

mereka seperti bagi orang lain. namun , sebab  tidak sering kita 

melihat orang baik menjadi orang hebat di dunia ini, maka 

ayat tadi dapat dianggap merujuk kepada kehormatan orang-

orang benar saat  Penebus mereka akan bangkit di atas debu. 

sebab  pada saat itulah mereka akan ditinggikan dan ditegak-

kan untuk selamanya. Saat itulah mereka akan bersinar te-

rang seperti matahari, dan dijadikan raja-raja dan imam-imam 

bagi Allah kita. 

2. Apabila sewaktu-waktu Allah membawa mereka ke dalam ke-

susahan, hal itu yaitu  bagi kebaikan jiwa mereka (ay. 8-10). 

Sebagian orang baik diangkat kepada kehormatan dan kekua-

saan, namun  sebagian lain dibawa ke dalam kesusahan. Kini 

amatilah,  

(1) Kesulitan yang diandaikan (ay. 8): Jikalau mereka dibeleng-

gu dengan rantai, dipenjarakan seperti Yusuf atau tertang-

kap dalam tali kesengsaraan lainnya, terikat oleh penderi-

taan dan penyakit, diinjak-injak oleh kemiskinan, terikat 

dalam pikiran mereka, dan, kendati segala perjuangan me-

reka, tertahan lama dalam kesulitan ini. Inilah yang di-

alami Ayub. Ia terperangkap dan tertahan di dalam tali ke-

sedihan (sebagaimana dibaca oleh sebagian orang). namun  

amatilah,  

(2) Rancangan yang dimiliki Allah dalam membawa umat-Nya 

ke dalam kesedihan seperti ini. Hal ini yaitu  demi kepen-

tingan jiwa mereka. Pertimbangan ini seharusnya memper-

damaikan kita dengan malapetaka dan membuat kita ber-

pikiran baik tentangnya. Tiga hal yang dimaksudkan Allah 

saat  malapetaka menimpa kita:  

[1] Untuk menemukan dosa masa lalu kita dan mengingat-

kan kita akan dosa itu. Ia menunjukkan kepada kita ke-

salahan yang dahulu tidak kita lihat atau sadari. Ia me-

nunjukkan kepada mereka fakta tentang dosa: Ia mem-

peringatkan mereka kepada perbuatan mereka. Dosa 

yaitu  perbuatan kita sendiri. Apabila ada sesuatu yang 

baik di dalam diri kita, itu yaitu  pekerjaan Allah. Dan 

kita harus prihatin untuk melihat apa yang telah kita 

perbuat melalui dosa. Ia menemukan kesalahan dosa, 

menunjukkan kepada kita pelanggaran terhadap hu-

kum Allah dengan segala keberdosaannya, bahwa dosa-

dosa kita sudah melampaui batas, sudah jauh melebihi 

takaran. Petobat sejati menaruh beban ke atas dirinya 

sendiri, tidak mengecilkan, namun  memperberat dosa me-

reka, dan mengakui bahwa mereka telah berdosa melam-

paui batas. Malapetaka kadang-kadang menjawab dosa. 

Apa pun itu, malapetaka berfungsi untuk membangun-

kan kesadaran hati nurani dan membuat orang untuk 

berpikir mengenai perbuatannya.  

[2] Untuk membangunkan hati kita untuk menerima pe-

tunjuk sekarang: Maka Ia membukakan telinga mereka 

bagi ajaran (ay. 10). Allah mengajar siapa yang dihajar-

Nya (Mzm. 94:12), dan malapetaka membuat orang ber-

sedia untuk belajar, melembekkan lilin, supaya dapat 

dicetak sesuai bentuk. Namun hal ini tidaklah bekerja 

dengan sendirinya, namun  anugerah Allah yang bekerja 

dengan dan melaluinya. Ia-lah yang membuka telinga, 

yang membuka hati, yang memiliki kunci Daud.  

[3] Untuk mencegah dan menarik kita dari pelanggaran di 

masa yang akan datang. Inilah tugas yang diberikan 

kepada malapetaka. Malapetaka yaitu  suatu perintah 

untuk berbalik dari kejahatan, untuk tidak berhubung-

an lagi dengan dosa, untuk berbalik darinya dengan 

rasa jijik kepadanya, dan suatu tekad untuk tidak per-

nah kembali lagi kepadanya (Hos. 14:8). 

3. Jika malapetaka melakukan tugasnya dan menyelesaikan apa 

yang disuruhkan kepadanya, maka Allah akan menghibur me-

reka kembali, menurut waktu malapetaka ditimpakan (ay. 11): 

Jikalau mereka mendengar dan takluk, jika mereka patuh 

dengan rancangan-Nya dan memenuhi tujuan-Nya di dalam 

masa dipensasi ini, jika, saat  malapetaka disingkirkan, hati 

mereka senantiasa sadar seperti saat  mereka ditimpa mala-

petaka dan memenuhi janji yang mereka ikrarkan, jika mereka 

hidup dalam ketaatan kepada perintah Allah, khususnya yang 

berhubungan dengan ibadah dan penyembahan kepada-Nya, 

serta dalam semua hal sadar akan tugas panggilan mereka 

kepada-Nya, maka mereka hidup mujur sampai akhir hari-hari 

mereka dan senang sampai akhir tahun-tahun mereka. Kesa-

lehan yaitu  satu-satunya jalan yang pasti menuju kemak-

muran dan kebahagiaan. Ini yaitu  kebenaran yang pasti, na-


mun hanya sedikit saja yang mau percaya. Jika kita dengan 

setia beribadah kepada Allah,  

(1) Kita memiliki janji akan kesejahteraan lahiriah, janji akan 

kehidupan sekarang, dan segala penghiburannya, sepan-

jang hal itu yaitu  bagi kemuliaan Allah dan kebaikan kita. 

Dan siapa yang menginginkan lebih lagi? 

(2) Kita memiliki kesenangan batin, penghiburan dalam perse-

kutuan dengan Allah dan hati nurani yang baik, dan keda-

maian yang luar biasa yang dimiliki oleh orang-orang yang 

mengasihi hukum Allah. Jika kita tidak bersukacita senan-

tiasa di dalam Tuhan, dan dalam pengharapan akan hidup 

kekal, maka itu salah kita sendiri. Jadi kesenangan apa 

lagi yang lebih baik dari ini, yang bisa kita nikmati dalam 

tahun-tahun kita?  

4. Jika malapetaka tidak melaksanakan tugasnya, maka bersiap-

siaplah mereka menantikan tungku dipanaskan tujuh kali le-

bih panas sampai mereka hangus dilalap api (ay. 12): namun , 

jikalau mereka tidak mendengar, jika mereka tidak menjadi 

lebih baik melalui malapetaka, tidak diperbarui, maka mereka 

akan binasa oleh pedang murka Allah. Orang-orang yang tidak 

menjadi baik oleh rotan-Nya, akan dibinasakan oleh pedang-

Nya. Dan api yang menghanguskan akan berlaku, jika api pe-

murnian tidak bekerja. Sebab, saat  Allah menghukum, Ia 

akan berhasil. Jika dalam keadaan terdesak itu raja Ahas ini, 

malah semakin berubah setia terhadap TUHAN, maka ia ditan-

dai bagi kehancuran (2Taw. 28:22; Yer. 6:29-30). Allah ingin 

mendidik mereka melalui malapetaka yang menimpa mereka, 

namun  mereka yang tidak menerima didikan, tidak mau mem-

perhatikan petunjuk yang diberikan. Oleh sebab  itu mereka 

akan binasa dalam kebebalan, sebelum mereka sadar, tanpa 

pemberitahuan apa-apa lagi. Atau mereka akan mati sebab  

tidak tahu, kendati mereka diberkati dengan sarana pengeta-

huan. Orang-orang yang binasa dalam kebebalan, mati tanpa 

anugerah dan binasa untuk selamanya.  

V. Allah membawa kehancuran ke atas orang fasik, musuh-musuh 

rahasia dari kerajaan-Nya (seperti yang dijelaskan oleh Elihu, ay. 

12), yang, kendati mereka terhitung di antara orang-orang benar 

yang telah dibicarakan oleh Elihu sebelumnya, namun tidak me-

naati Allah, melainkan menjadi anak-anak pemberontak dan ke-

gelapan, menjadi anak-anak murka dan durhaka. Inilah orang-

orang yang fasik hatinya menyimpan kemarahan (ay. 13). Lihatlah 

sifat dari orang fasik: kefasikannya terletak di dalam hati, yang 

tertuju kepada dunia dan kedagingan sementara di luarnya tam-

pak tertuju kepada Allah dan agama. Banyak orang saleh secara 

lahiriah dan hanya dalam perkataan saja, namun fasik di dalam 

hati. Jika sumbernya rusak, maka ada banyak kejahatan di sana. 

Lihatlah kejahatan dari orang fasik: orang-orang fasik menyimpan 

(KJV: menimbun) kemarahan. Setiap hari mereka melakukan hal-

hal yang menimbulkan kemarahan Allah, namun  semuanya itu 

akan diperhitungkan pada hari besar itu nanti. Mereka menimbun 

murka atas diri sendiri pada hari waktu mana murka dan hukum-

an Allah yang adil akan dinyatakan (Rm. 2:5). Dosa-dosa mereka 

tersimpan pada-Nya, termeterai dalam perbendaharaan-Nya (Ul. 

32:34). Bandingkan Yakobus 5:3. Sama seperti uap yang naik 

akan turun menjadi hujan, demikian pula dosa yang naik, jika ti-

dak bertobat, akan turun sebagai murka. Mereka berpikir sedang 

menimbun kekayaan, menimbun jasa, namun , saat  perbendaha-

raan dibuka, ternyata mereka sedang menimbun murka. Amati-

lah,  

1. Apa yang mereka lakukan untuk menimbun murka. Apakah 

itu yang sedemikian membuat Allah marah? Yaitu, Mereka 

tidak berteriak minta tolong kalau mereka dibelenggu-Nya, yaitu 

saat  mereka ada di dalam kesusahan, terikat dengan tali 

masalah, hati mereka menjadi keras, mereka menjadi keras 

kepala dan tidak mau merendahkan diri, dan tidak mau ber-

teriak kepada Allah atau memohon kepada-Nya. Mereka bodoh 

dan tidak berperasaan seperti benda-benda dan batu, me-

remehkan hajaran TUHAN.  

2.  Apakah dampak dari murka tersebut? Nyawa mereka binasa 

di masa muda, dan hidup mereka berakhir sebelum saatnya 

(ay. 14). Ini yaitu  bagian dari orang fasik, yang ditulahi oleh 

Kristus dengan banyak malapetaka. Jika mereka tetap tidak 

bertobat,  

(1) Mereka akan mati secara mendadak, binasa di masa muda, 

saat  kematian menjadi kekejutan besar, dan kematian, 

yaitu akibat dosa, selalu menjadi seperti ini bagi orang fa-

sik. Sama seperti mereka yang binasa di masa muda, mere-

ka mati saat  mereka berharap untuk hidup, demikian 

pula orang fasik, pada saat kematian, akan pergi ke nera-

ka, saat  mereka berharap untuk pergi ke sorga. Pengha-

rapan orang fasik gagal pada kematiannya, dan harapan 

orang jahat menjadi sia-sia.  

(2) Mereka akan mengalami kematian yang kedua. Hidup me-

reka, sesudah kematian (demikian yang muncul di sini), ber-

akhir sebelum saatnya (KJV: ada di antara orang najis), di 

antara orang-orang cabul (demikian kata sebagian orang), di 

antara orang-orang berdosa yang paling berdosa dan paling 

jahat, terlepas dari pengakuan iman mereka yang tampak-

nya meyakinkan. Mereka ada di antara Sodom, orang-orang 

durhaka itu, yang dengan cara yang sama melakukan per-

cabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, 

telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan ke-

pada semua orang (Yud. 7). Jiwa orang fasik tetap hidup se-

sudah kematian, namun  mereka hidup di antara orang-orang 

najis, roh-roh najis, setan, dan malaikat-malaikatnya, untuk 

selamanya terpisah dari Yerusalem baru, yang di dalam-

nya tidak ada sesuatu yang najis yang dapat masuk. 

Tutur Kata Elihu  

(36:15-23) 

15 Dengan sengsara Ia menyelamatkan orang sengsara, dengan penindasan Ia 

membuka telinga mereka. 16 Juga engkau dibujuk-Nya keluar dari dalam ke-

sesakan, ke tempat yang luas, bebas dari tekanan, ke meja hidanganmu yang 

tenang dan penuh lemak. 17 namun  engkau sudah mendapat hukuman orang 

fasik sepenuhnya, engkau dicengkeram hukuman dan keadilan; 18 janganlah 

panas hati membujuk engkau berolok-olok, janganlah besarnya tebusan me-

nyesatkan engkau. 19 Dapatkah teriakanmu meluputkan engkau dari kese-

sakan, ataukah seluruh kekuatan jerih payahmu? 20 Janganlah merindukan 

malam hari, waktu bangsa-bangsa pergi dari tempatnya. 21 Jagalah dirimu, 

janganlah berpaling kepada kejahatan, sebab  itulah sebabnya engkau di-

cobai oleh sengsara. 22 Sesungguhnya, Allah itu mulia di dalam kekuasaan-

Nya; siapakah guru seperti Dia? 23 Siapakah akan menentukan jalan bagi-

Nya, dan siapa berani berkata: Engkau telah berbuat curang? 

 

Elihu di sini menghampiri Ayub lebih dekat. Dan, 

I. Ia memberi tahu Ayub apa yang sudah Allah lakukan baginya se-

andainya dia dengan sungguh-sungguh mau merendahkan diri di 

bawah kesengsaraannya. “Kita semua tahu betapa siapnya Allah 

untuk menyelamatkan orang sengsara (ay. 15). Sejak dahulu Allah 

selalu demikian. Allah memandang dengan lembut orang-orang 

miskin secara rohani, yang hatinya hancur dan penuh sesal. Ia 

siap untuk menolong saat  mereka ditimpa malapetaka. Ia mem-

buka telinga mereka, dan membuat mereka mendengar sukacita 

dan kegembiraan, bahkan di dalam penindasan mereka. Semen-

tara Ia belum melepaskan mereka, Ia berbicara kepada mereka 

dengan firman yang baik dan kata-kata penghiburan, untuk me-

nguatkan iman dan kesabaran mereka, meredakan ketakutan me-

reka, dan menyeimbangkan kesedihan mereka. Dan juga (ay. 16) 

Ia akan melakukan kepadamu demikian, jika engkau menunduk-

kan diri kepada penyelenggaraan-Nya dan berperilaku baik. Ia 

akan melepaskan dan menghibur engkau, dan kita tidak akan 

mendengar keluhan-keluhanmu lagi. Apabila engkau menyesuai-

kan diri dengan kehendak Allah, kebebasan, dan kelimpahan 

akan dipulihkan kepadamu dengan keuntungan.”  

1. “Engkau pasti akan dilegakan, dan tidak dikungkung oleh pe-

nyakit dan kehinaan: Juga engkau dibujuk-Nya keluar dari da-

lam kesesakan, ke tempat yang luas, dan engkau tidak akan lagi 

dihalangi dan segala jalanmu dipatahkan seperti sekarang.”  

2. “Engkau pasti telah diperkaya dan tidak akan ditinggalkan da-

lam keadaan malang ini. Engkau pasti akan membentangkan 

mejamu, tidak hanya dengan makanan yang enak, namun  juga 

dengan gandum yang terbaik,” (Lih. Ul. 32:14) “dan makanan 

yang berlemak.” Perhatikanlah, di bawah kesengsaraan, kita 

seharusnya berdiam diri mempertimbangkan bahwa, jika kita 

menjadi lebih baik, maka kita akan lebih baik dalam segala 

hal: jika kita telah menjawab tujuan dari suatu malapetaka, 

maka malapetaka akan disingkirkan, dan pembebasan akan 

tiba jika kita telah siap untuk itu. Allah akan berbuat baik 

bagi kita, jika kita telah berperilaku dengan baik (Mzm. 81:14-

15; Yes. 48:18). 

II. Elihu menuduh Ayub bersandar pada terangnya sendiri, dan men-

jadikan dirinya sebagai penyebab masalahnya tetap berlanjut (ay. 

17): “namun  engkau sudah mendapat hukuman orang fasik sepe-

nuhnya,” yaitu, “seperti apa pun engkau ini, dalam hal ini engkau 

telah berlaku seperti seorang fasik, telah berbicara dan bertindak 

seperti orang fasik, memuji dan melayani tujuan mereka. Dan 

sebab  itu, hukuman dan keadilan mencengkeram dirimu seperti 

orang fasik, sebab  engkau berteman dengan mereka, bertindak 

seakan-akan engkau di pihak mereka, membantu dan bersekong-

kol dengan mereka. Engkau mempertahankan kepentingan orang 

fasik. sebab  itu, sesuai dengan apa yang diperbuatnya, seperti itu 

pula hukuman Allah akan menimpanya.” Demikian kata Uskup 

Patrick. Sungguh berbahaya berada di pihak yang salah: kaki 

tangan pengkhianatan akan ditangani sebagai para pelaku. 

III. Elihu memberi peringatan kepada Ayub untuk tidak bertahan da-

lam kelancangannya. Beberapa peringatan yang baik diberikannya 

untuk tujuan ini. 

1. Hendaknya Ayub tidak menganggap enteng pembalasan ilahi, 

atau merasa aman seolah-olah dia tidak berada di dalam 

bahaya (ay. 18): “Janganlah panas hati” (KJV: sebab  ada mur-

ka.), yaitu “sebab  Allah yaitu  penguasa yang benar, yang 

membenci semua penghinaan yang dilontarkan kepada peme-

rintahan-Nya, sebab  Ia telah menyatakan murka-Nya dari sor-

ga terhadap semua orang kafir dan fasik, dan sebab  engkau 

memiliki alasan untuk merasa takut bahwa engkau berada di 

bawah murka Allah. sebab  itu berhati-hatilah jangan sampai 

Ia mengambilmu secara tiba-tiba dengan hantaman-Nya, dan 

jadilah bijak untuk berdamai dengan Dia segera, supaya mur-

ka-Nya menyingkir darimu.” Sebuah peringatan seperti ini juga 

telah diberikan oleh Ayub kepada teman-temannya (19:29): 

Takutlah kepada pedang, sebab  kegeraman mendatangkan 

hukuman pedang. Demikianlah orang-orang yang berdebat 

cenderung, dengan terlalu berani, untuk mengikat satu sama 

lain dengan hukuman Allah dan mengancam satu sama lain 

dengan murka-Nya. namun  siapa yang memelihara hati nurani 

yang baik tidak perlu takut dengan ancaman orang-orang som-

bong yang tidak ada kuasanya. Akan namun , nasihat Elihu me-

rupakan suatu peringatan yang bersahabat bagi Ayub, dan sa-

ngat perlu. Bahkan orang yang baik sekalipun perlu dijaga un-

tuk terus melakukan kewajiban mereka dengan takut akan mur-

ka Allah. “Engkau yaitu  seorang yang baik dan bijak, namun  

waspyaitu  jangan sampai Ia mengambil engkau, sebab  yang 

paling bijaksana dan yang terbaik pun sudah cukup layak bagi 

hantaman-Nya.” 

2. Hendaknya Ayub tidak percaya diri hingga merasa aman bah-

wa jika murka Allah menyala atasnya, dia akan dapat mene-

mukan jalan untuk luput dari hantaman-Nya.  

(1) Tidak ada jalan keluar melalui uang, tidak ada penebusan 

pengampunan dengan perak atau emas dan hal-hal yang 

dapat rusak seperti demikian: “Bahkan suatu tebusan yang 

besar tidak akan dapat melepaskan engkau (ay. 18, KJV) 

saat  Allah memberikan hukuman kepada engkau. Keadil-

an Allah tidak dapat disuap, begitu pula para pelayan keadil-

an-Nya. Dapatkah teriakanmu meluputkan engkau dari kese-

sakan, ataukah seluruh kekuatan jerih payahmu? [KJV: Akan-

kah Ia menghargai kekayaanmu], dan mengambilnya sebagai 

pengganti hukuman? Tidak, tidak seluruh kekuatan jerih 

payahmu (ay. 19). Sekalipun engkau memiliki kekayaan se-

banyak yang engkau miliki dahulu, itu pun tidak akan 

mengamankan engkau, tidak akan menjamin engkau dari 

hantaman murka Allah, di hari penyataan di mana harta 

tidak berguna” (Ams. 11:4, Mzm. 49:8-9).  

(2) Tidak ada jalan keluar melalui penyelamatan: “Sekalipun 

tersedia seluruh kekuatan jerih payahmu, sekalipun engkau 

dapat menghimpun begitu banyak budak dan pengikut un-

tuk tampil bagimu untuk menarik engkau keluar dari ta-

ngan pembalasan ilahi, semuanya itu sia-sia saja. Allah 

tidak akan mengacuhkannya. Tidak ada yang dapat mele-

paskan dari tangan-Nya.”  

(3) Tidak ada jalan keluar dengan melarikan diri (ay. 20): “Ja-

nganlah merindukan malam hari, waktu yang sering kali 

cocok bagi pasukan yang kalah untuk mundur. Janganlah 

berpikir bahwa engkau dapat melarikan diri dari hukuman 

Allah yang adil, sebab kegelapan pun tidak menggelapkan 

bagi-Nya” (Mzm. 139:11-12). Lihat pasal 34:22. “Jangan pi-

kir, sebab  di malam hari orang-orang masuk untuk ber-

istirahat, naik ke tempat tidur, maka mudah untuk melari-

kan diri tanpa didapati oleh mereka, bahwa Allah juga naik 

ke tempat pembaringan-Nya dan tidak dapat melihat eng-

kau. Tidak. Ia tidak terlelap dan tertidur. Mata-Nya terbuka 

kepada anak-anak manusia, tidak hanya di segala tempat, 

namun  juga di segala waktu. Tidak ada batu karang atau gu-

nung yang dapat menutupi kita dari mata-Nya.” Sebagian 

penafsir memahaminya sebagai malam kematian. Itulah 

malam di mana manusia terputus dari tempat mereka, 

namun  Ayub bernapas lega untuk malam itu, seperti orang-

orang upahan malam menginginkan malam (7:2). “namun  

jangan lakukan demikian,” kata Elihu. “Sebab engkau tidak 

tahu seperti apakah malam kematian itu.” Orang-orang 

yang dengan bersemangat menginginkan kematian, dengan 

harapan mendapat perlindungan dari murka Allah, 

mungkin saja keliru. Ada orang-orang yang dikejar oleh 

murka Allah pada malam itu. 

3. Hendaknya Ayub tidak melanjutkan perdebatannya yang tidak 

benar itu dengan Allah dan penyelenggaraan-Nya, yang diper-

tahankannya sampai saat ini, saat  dia seharusnya tunduk 

kepada kesengsaraan (ay. 21): “Jagalah dirimu, jagalah sema-

ngatmu, dan janganlah berpaling kepada kejahatan, jangan 

memandangnya, sebab celakalah jika engkau melakukannya.” 

Jangan sekali-kali kita berpikir tentang suatu dosa, jangan 

pernah memanjakannya atau membiarkan diri di dalamnya. 

Menurut Elihu, Ayub perlu berhati-hati dalam hal ini, sebab  

dia telah memilih kejahatan ketimbang sengsara, yaitu, lebih 

memilih untuk menuruti kebanggaan dan kesenangannya sen-

diri sehingga berdebat dengan Allah, dan bukannya mema-

damkannya dengan cara berserah diri kepada-Nya dan mene-

rima hukuman. Kita dapat memahami hal ini lebih umum, dan 

mengamati bahwa orang-orang yang memilih kejahatan dari-

pada kesengsaraan membuat suatu pilihan yang sangat bo-

doh. Orang-orang yang meringankan sengsara mereka dengan 

kesenangan berdosa, menambah kekayaan mereka dengan 

segala jerih payah yang berdosa, melepaskan diri dari masalah 

mereka dengan perbuatan-perbuatan berdosa. Mereka meng-

hindari penderitaan demi kebenaran dengan berbuat dosa 

terhadap hati nurani mereka, membuat suatu pilihan yang 

kelak akan mereka sesali. Sebab ada lebih banyak keburukan 

di dalam dosa yang paling kecil sekalipun daripada yang ada di 

dalam kesengsaraan yang paling hebat. Dosa, yang terkecil 

sekalipun, yaitu  kejahatan, dan hanya kejahatan. 

4. Janganlah Ayub coba-coba mengajari Allah atau memberi pe-

tunjuk kepada-Nya (ay. 22-23): “Allah itu mulia di dalam kekua-

saan-Nya,” yaitu, “Sungguh Ia dapat dan mampu meninggikan 

dan menurunkan orang sesuka hati-Nya, dan sebab nya tidak 

ada hak bagi engkau atau saya untuk berbantah dengan Dia.” 

Semakin kita membesarkan Allah, semakin kita merendahkan 

dan menurunkan diri sendiri. Kini pertimbangkan,  

(1) Bahwa Allah berdaulat mutlak: Ia ditinggikan oleh kuasa-

Nya sendiri, dan bukan oleh kekuatan yang berasal dari 

yang lain. Ia meninggikan siapa yang disukai-Nya, mening-

gikan orang-orang yang menderita dan terbuang, oleh ke-

kuatan dan kuasa yang diberikan-Nya kepada umat-Nya. 

Oleh sebab nya, siapakah akan menentukan jalan bagi-Nya? 

Siapakah yang melampaui-Nya di dalam jalan-Nya? Adakah 

yang lebih tinggi yang memberi-Nya perintah dan yang ke-

padanya Ia harus memberi pertanggungjawaban? Tidak ada. 

Ia sendiri yaitu  yang teringgi dan berdiri sendiri. Siapakah 

guru seperti Dia? Adakah Sang Akal Budi abadi memerlu-

kan seorang pengingat? Tidak. Jalan-Nya, dan juga jalan 

kita, selalu ada di hadapan-Nya. Ia tidak menerima perin-

tah atau petunjuk dari siapa pun (Yes. 60:13-14), atau ber-

tanggung jawab kepada siapa pun. Ia yang menentukan 

jalan dari seluruh makhluk ciptaan. Maka janganlah kita 

menentukan jalan-Nya, melainkan serahkan kepada-Nya un-

tuk memerintah dunia, Ia-lah yang pantas melakukannya.  

(2) Ia yaitu  seorang guru yang tak tertandingi: Siapakah guru 

seperti Dia? Sungguh konyol bagi kita untuk mengajar Dia 

yang yaitu  sumber dari terang, kebenaran, pengetahuan, 

dan ajaran. Dia yang mengajarkan pengetahuan kepada 

manusia, yang tidak sanggup dilakukan siapa pun, masak-

an Dia tidak mengetahuinya? (Mzm. 94:9-10). Masakan kita 

menyalakan lilin bagi matahari? Amatilah, saat  Elihu ingin 

memberikan kemuliaan kepada Allah sebagai seorang pe-

nguasa, dia memuji-Nya sebagai seorang guru, sebab pe-

nguasa harus mengajar. Allah melakukan demikian. Ia meng-

ikat seorang manusia dengan tali. Dalam hal ini, seperti di 


dalam semua hal yang lain, Ia tidak tertandingi. Tak se-

orang pun yang sedemikian pantas untuk mengarahkan 

tindakannya selain Dia. Ia tahu apa yang harus dilakukan, 

dan bagaimana melakukannya untuk yang terbaik, dan 

tidak membutuhkan keterangan atau nasihat. Salomo sen-

diri memiliki sebu