g lingkup kajian hermeneutika sebagaimana telah
dijelaskan di muka berkisar pada tiga elemen pokok, yakni teks, interpreter dan audien atau apa yang diistilahkan dengan triadic structure. Itu berarti teori hermeneutika
sangat simpel dan umum, tidak memberikan penjelasan
yang rinci untuk membimbing para mufassir menemukan
sebuah penafsiran yang benar dan representatif.
4. Dalam teori hereneutika terkesan bahwa seorang hermeneut dapat menafsirkan semua teks tanpa kecuali selama
dia dapat menguasai tiga unsur utama tersebut secara
baik. Padahal dalam tradisi ulumul Qur’an dinyatakan bahwa banyak ayat yang sifatnya tidak terjangkau oleh nalar
manusia, termasuk yang paling jenius sekalipun, misalnya
tentang alam gaib.
5. Dalam teori hermeneutika seorang interpreter memahami
lebih baik teks dibandingkan si penulis (pengarang).
B. Logika Anti-Hermeneutika
Perbedaan pandangan dan persepsi serta adu argumen
pada dasar nya bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan, asalkan
setiap pihak yang ber beda pandangan saling memiliki niat baik
dan cita-cita memperbaiki. Mereka yang setuju dan mengusung
ide-ide hermeneutika karena melihat umat Islam terkung kung oleh
dogmatisme keagamaan yang tidak proporsional, serta mereka
yang anti hermeneutika dengan se mangat untuk mempertahankan
identitas keislaman, semuanya layak untuk mendapat apresiasi.
Jauh sebelum hermeneutika menjadi isu yang kontroversial,
dunia Islam pernah mengalami dan merasakan fenomena yang
kurang-lebih senada, yaitu kontroversi seputar diterima atau tidaknya Filsafat di dunia Islam. Kontroversi yang diwarnai oleh ‘pengkafiran’ ini dapat dikatakan “tidak selesai” dan tetap saja menjadi
kontroversi karena tenggelam oleh berbagai isu dan kenyataan
hidup lain yang dianggap lebih penting. Beberapa argumen antiherme neutika sebagaimana disebut diatas menunjukkan bekas
‘trauma’ dari kontroversi filsa fat ini, yaitu menganggap hermeneutika berasal dari ranah filsafat dan nantinya akan mengundang
bahaya sebagaimana bahaya filsafat.
Apabila dianalogkan dengan filsafat, ada baiknya untuk dicerma ti bahwa yang ditakuti banyak orang dari filsafat ketika masuk ke dalam ranah agama adalah keberadan filsafat yang sering
‘usil’ mengkaji secara radikal segala hal, termasuk doktrin- doktrin
keimanan yang harusnya cukup diyakini. Dilihat dari pers pektif
ini ada baiknya jika ditunjukkan kepada banyak orang bahwa ada
perbedaan krusial antara filsafat sebagai produk dan filsafat sebagai
alat. Filsafat sebagai produk adalah hasil pemikiran para filosof,
mulai yang sangat etis-religus dampai yang ateis dan des truktif.
Terhadap filsafat jenis ini ada baiknya untuk kritis dan selektif, bahkan kalau perlu menolak dan bersikap anti. Namun pada dataran
‘alat’, filsafat sebenarnya sekedar pisau analisis dan kaca-mata
perpektif, dengan filsafat yang sama orang bisa saja menjadi sangat religius namun bisa juga menjadi atheis-agnostik. Dengan filsafat yang sama orang bisa menjadi Nietzsche atau menjadi Iqbal.
Kehilangan filsafat sebagai alat berarti kehilangan model berpikir
filosofis yang merupakan pra-syarat utama untuk mampu berpikir
kritis dan analitis. Kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis ini
hanya akan menghentikan laju perkembangan per adaban dan akan
berposisi hanya sebagai penonton dan konsumen.
Hermeneutika, pada dasarnya harus dikatakan tidak jauh
berbeda de ngan filsafat; yaitu bisa diklasifikasi sebagai ‘alat’ dan
‘produk’. Sebagai produk maka perwujudannya tampak dalam
hermeneutika ala Barat atau herme neutika Kristen yang ditakuti
akan merusak agama Islam oleh beberapa kalangan yang antihermeneutika diatas. Tentu saja keberatan ini sah-sah saja, karena
mengapa kita harus memakai nalar Barat atau nalar Kristen unt u k
diaplikasikan di kalangan kita sendiri yang termasuk “timur” dan
“Islam”. Dengan secara membuta menerima Barat dan Kristen
ini malah menunjukkan sikap yang anti-hermeneutika, karena
sebagai mana banyak paparan sebelumnya, hermene utika sangat
memper timbangkan perbedaan konteks. Perlu pula disebut dalam
posisi hermeneutika sebagai produk ini adalah para Islamolog
kontemporer yang memakai hermeneutika sebagai pendekatan
terhadap kitab suci dan menghasilkan berbagai isu kontroversial, seperti “Al-Qur’an adalah produk Budaya”, “Al-Qur’an adalah
kalamul lah sekaligus Kata-kata Muhammad”, dan lain sejenisnya.
Jika tatarannya adalah ‘produk’, maka tidak ada satu pun jaminan
bahwa pemikiran tersebut pasti benar dan harus dibenarkan, serta
tidak menjamin pemikiran tersebut memiliki relevansi dengan setiap
konteks kehidupan.
Di sisi lain, kekhawatiran berlebihan bahwa setiap yang
berasal dari Barat atau kristen dapat membahayakan akidah Islam
sebagaimana kekhawatiran bahwa dalam hermeneutika termuat
hidden ideology Barat dan Kristen, dapat dikatakan perlu dianalisis
lagi secara lebih kritis. Peradaban global masa kini dengan teknologi informasi yang sedemikian canggihnya membuat tidak
ada seorang pun yang mampu menghindar dari gempuran dan
banjir informasi dari berbagai belahan penjuru Dunia. Tidak semua
informasi tersebut jelek dan tidak sesuai, dan tidak semua baik.
Apabila mau adil menolak semua yang datang dari Barat maupun
Kristen, maka akan sangat banyak khazanah berharga peradaban
yang harus ‘dibuang’ dari Dunia Islam, khususnya khaza nah
ilmiah- akademik dari berbagai disiplin ilmu, karena sudah menjadi
fakta se jarah bahwa umat Islam secara umum telah lama ‘loyo’
dalam bidang ini. Bahkan apabila mau jeli, model pendidikan
ala sekolah dengan pola murid -guru dan tatap muka di kelas
seperti yang kita kenal selama ini sebenarnya adalah warisan
dari Barat, khususnya dari tradisi Kristen-skolastik. Sejarah Islam
sendiri mengajarkan model pendidikan ala pesantren dan halaqah. Apakah itu berarti umat Islam tidak perlu masuk sekolah? Contoh
ini belum termasuk banyak fenomena senada seperti listrik,
telepon, komputer dan lain sejenisnya.
Menarik untuk melihat analisis Ziya Gokalp, sosiolog Mesir
yang dekat dengan Mustafa Kemal Atturk. Menurutnya ketika
menghadapi gempuran dari tradisi luar, umat Islam perlu memilah
antara aspek peradaban dan budaya. Aspek peradaban memiliki
nilai adalah universal, seperti sains, teknologi dan yang sejenisnya,
sementara aspek budaya yang pada dasarnya me rupakan pola
internalisasi dan eksternalisasi satu masyarakat dalam mengolah
khazanah peradaban, sifatnya adalah subyektif-kontekstual. Kalau
peradaban cenderung value free, sementara budaya bernilai value laden. Dalam kaitannya dengan hermeneutika, setelah dilakukan pembagian antara ‘alat’ dengan ‘produk’, maka dapat dikatakan bahwa hermeneutika sebagai alat, yakni se bentuk tawaran
meto dologi untuk mengolah teks, posisinya adalah netral, yang
menentu kan apakah hermeneutika itu kemudian bernilai Kristen
atau Islam adalah sang pemakai alat. Sementara hermeneutika
sebagai produk bernilai value laden, karena dalam wlayah inilah
hermeneutika dipakai oleh perspektif budaya tertentu untuk menganalisis problematika mereka.
Hermeneutika sebagai ‘alat’ berarti sebentuk analisis terhadap proses pemahaman yang disamping menggali makna teks,
lalu menimbang konteks, juga mengupayakan kontekstualisasi. Memberikan pertimbangan terhadap konteks berarti ber usaha
melacak bagaimana teks yang dibaca tersebut dimaknai dan dipahami pengarangnya dan juga dalam kondisi apa dan untuk tujuan apa teks tersebut muncul atau dimunculkan. Mengupayakan
kontekstualisasi berarti mengupayakan agar pemahaman dan pe - makna an teks yang diperoleh dengan menimbang konteksnya
tersebut masih bisa fungsional dan operasional bagi pembaca
sesuai dengan konteksnya saat ini.
Sebagaimana sedikit disinggung diatas, mereka yang antiherme neutika menyatakan keberatannya karena dengan memakai
hermeneutika berarti menempatkan Al-Qur’an sebagaimana teksteks lain yang tidak sakral, padahal Al-Qur’an adalah kitab suci.
Dalam hal ini harus di katakan bahwa pe nyamarataan antara teks
biasa dan teks kitab suci ini tidak terletak dalam statusteks-nya,
namun lebih kepada ‘wadag teks’ yang berupa rentetan kalimat
dalam bahasa tertentu dengan makna tertentu. Dari aspek ‘kewadagan teks’ ini tentunya keberadan Al-Qur’an tidak berbeda dengan
teks-teks yang lain. Betapapun tidak bisa dipungkiri bahwa untuk
bisa memahami teks Al-Qur’an orang perlu memahami bahasa
Arab, nalar Arab dan juga setting historis kehidupan Arab masa
turunnya Al-Qur’an, seperti tentang Ka’bah, unta, Makkah sebagai
pusat perdagangan dan lan sebagainya. Hal yang sama sangat
mung kin juga di perlukan ketika orang ingin memahami teks-teks
lain dalam bahasa Arab yang disusun oleh orang Arab sendiri
pada saat yang sama. Keistimewaan dan nilai sakral Al-Qur’an
tentunya terdapat pada kandu ngan pesan dan informasinya yang
berasal dari Allah, dimana untuk menyam paikan pesan dan informasi
tersebut Allah meminjam media bahasa Arab sebagai sarananya.
Di sisi lain, sebenarnya yang ‘tidak disakralkan’ oleh beberapa Islamolog kontemporer tersebut adalah aspek pemahaman
dan penafsiran manusia terhadap Al-Qur’an. Cara memahami dan
menafsirkan terhadap kitab suci dan teks biasa ini tidak dibedakan
karena yang memahami adalah sama-sama manusia, dan proses
pemahaman secara ontologis yang terjadi dalam diri manu sia adalah
sama. Teks yang sakral biarlah tetap disakralkan, namun cara manusia memahami dan hasil pemahamannya jelas tidak sakral, karena
faktor konteks dan kontekstualisasi akan selalu mem pengaruhi.
Meskipun demikian, ada satu doktrin yang dalam tradisi
Islam harus dipertimbangkan, dan mungkin merupakan salah satu kekhususan Al-Qur’an, yaitu kemustahilan untuk meng akses the
author-nya Al-Qur’an, Allah. Di titik ini pasti tidak akan ada seorang pun yang mampu menjangkaunya. Pertanyaan “Apa yang
diinginkan oleh Allah secara pasti?” sebagai salah satu pertanyaan untuk membaca konteks teks Al-Qur’an, jelas tidak bisa
dijawab. Namun tetap saja orang bisa melacak apa yang dikehendaki oleh Allah tersebut melalui struktur teks dan juga pemahaman para generasi awal yang menerima Al-Qur’an secara
langsung. Wilayah itulah yang harus dibidik ketika ingin membaca
konteks ayat-ayat Al-Qur’an sebelum kemudian hasil pemahaman
tersebut dikontekstualisasikan dalam beragam konteks kekinian.
Adapun argumen yang menyatakan bahwa umat Islam telah memiliki Ulumul Qur’an dan tidak lagi memerlukan metodologi
lain, dapat dikatakan perlu dikaji lebih jauh. Kenyataan bahwa peri
kehidupan manusia senantiasa dinamis dan berkembang menjadi
salah satu pijakan yang kuat untuk me nyatakan bahwa tidak ada
satu pun hasil karya manusia yang bisa diberi label ‘universal’ dan
berlaku untuk waktu kapan pun dan dimana pun, termasuk Ulumul
Qur’an dan segala asumsinya. Sikap-sikap ekslusif yang dilakukan dengan cara menutup diri dari berbagai perkembangan yang
terjadi dan secara apriori menganggap yang selain miliknya hanya
akan membahayakan dirinya, dapat dikatakan sebagai sebentuk
phobia, ketakutan yang tidak ber alasan. Apalagi ketika kemudian
melakukan judgement negatif kepada yang lain tersebut sebelum memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa yang akan
dinilainya. Seorang Ghazali yang dipandang ‘membunuh’ filsafat
sekalipun, mengharuskan dirinya untuk mengkaji filsafat terlebih
dahulu secara intensif sebelum kemudian memberikan kritiknya.
Ringkasnya, dalam aspek hermeneutika sebagai sebentuk
‘alat’ dan bukan nya ‘produk’, tidak mustahil untuk menggunakan
hermeneutika sebagai seperangkat metodologi untuk memahami Al-Qur’an, dan hasilnya tidak pasti mengacak-acak muatan keiman an yang selama ini diyakini oleh umat Islam. Bahkan
dalam kerangka hermeneutika sebagai alat ini, yakni dalam hal
kesadaran adanya keterkaitan antara teks dengan konteks dan konteks tualisasi ini sejak lama umat Islam telah menyadarinya sebagaimana pandangan pandangan Farid Esack. 7
Sementara itu kritik yang menyatakan bahwa herme neutika
hanya membicarakan asumsi-asumsi dasar penafsiran saja, dan
tidak menyentuh detail penafsiran dapat dikatakan hanya melihat hermeneutika jenis kedua dan ketiga belaka (lihat tiga jenis
herme neutika yang disebut di bagian I buku ini), yaitu hermeneutika sebagai cara memahami pemahaman dan hermeneutika
sebagai kritik atas pemahaman. Dalam kenyataannya telah banyak
Islamolog kontemporer yang mencoba mengaplikasikan pendekatan hermeneutika ini dalam seperangkat detail penafsiran, sebut
saja misalnya Fazlurrahman de ngan tulisannya Major Themes of
the Quran, Farid Esack dengan tafsir ayat-ayat hubungan antar
agama dalam Qur’an Pluralism & Liberation dan banyak lagi yang
lain, khususnya yang menggunakan model Tafsir Mawdhu’i.8
Adapun tentang hermeneutika yang dianggap tidak meng i kuti
model prosedural dari Tafsir ayat dengan ayat dan lain seterusnya, dapat dikatakan bahwa proses ini dalam teori hermeneutika
tertentu juga diikuti, khususnya yang menyatakan bahwa sebuah pemaham an yang komprehensif harusnya dilakukan de ngan
melakukan pembacaan secara holistik, dan bukannya pem ba caan
secara atomistik, bukannya ayat-demi ayat ditafsirkan, tetapi melacak
makna universal yang dirumuskan dari hubungan antar ayat. Contoh
yang pa ling jelas dlam hal ini adlah ketika Fazlurrahman menegaskan pentingnya world view yang dirumuskan dari se mangat dasar
Al-Qur’an. Istilah “intertekstualitas” yang cukup dikenal dalam tradisi
hermeneutika dapat dikatakan mewakili jawaban tentang ada atau
tidaknya perhatian hemrneutika terhadap prosedur penafsiran ayat
dengan ayat ini. Sedangkan persoalan asosiasi hermeneu tika dengan Hermes yang ternyata tidak kompa tibel dengan Muhammad
kiranya tidak perlu diperdalam, karena dapat di katakan ke beradan
Hermes dalam semesta hermeneutika hanyalah sosok imaji natifasosiatif yang tidak menggambarkan sepenuhnya problematika
herme neutika, meskipun dalam hal tertentu memiliki rele vansi.
Tanpa harus menyinggung Hermes sebaiknya langsung saja
pembahasan diarahkan kepada problem apakah mungkin hermeneutika dipakai sebagai metodologi dalam penafsiran Al-Qur’an.
Sebenarnya ada satu lagi kritik yang dapat dikatakan cukup tajam ter hadap keberadaan hermeneutika, dan dapat dikatakan lebih
bernuansa ‘ilmiah’, yaitu kritik yang berhubungan dengan asumsi
“pluralitas pemahaan” hermeneutika. Asumsi ini secara langsung
atau tidak mengimplikasikan adanya relatifitas kebenaran. Tidak
ada kebenaran tunggal, karena setiap orang memahami sesuai dengan konteksnya. Adanya perubahan dan perkembangan pemakna an terhadap teks karena mendapat pengaruh dari konteks yang
juga berubah dan berkembang, tidak jarang memunculkan tuduhan
bahwasanya bagi hermeneutika tidak ada kebenaran yang obyektif,
semuanya tergantung ruang dan waktu, ringkasnya: kebenaran
bagi hermeneutika itu relatif.
Pertama yang harus dicatat untuk menjawab pertanyaan ini
adalah de ngan menegaskan bahwa apa yang dimunculkan oleh
hermeneutika dengan keniscayaan terlibatnya konteks dalam pemahaman dan penafsiran ter sebut sebenarnya bukanlah sebuah
asumsi yang semena-mena. Hermeneutika pada dasarnya hanyalah
mengekspose realitas yang sebenarnya dari proses pemahaman
dan penafsiran yang dilakukan oleh manusia. Disadari atau tidak seorang yang memahami itu pasti terkondisikan oleh konteks-konteks
yang berhubungan dengan dirinya; baik konteks psikologis maupun
konteks sosial budaya tempat ia berada. Dengan kata lain, seandainya—sekali lagi: seandai nya—benar bahwa dalam pandangan hermeneutika makna itu menjadi relatif, maka itu bukanlah ‘salah’
hermeneutika, tetapi kodrat manusialah yang menuntut pandangan semacam itu. Dalam hal ini kiranya tidak tepat jika kata
relatif tersebut diterjemahkan sebagai “tidak ada” atau “tidak pasti”,
namun terjemahan tepatnya mungkin adalah “tergantung”, jadi penyimpulan se seorang terhadap sesuatu sebagai ‘benar’ atau ‘salah’
itu biasanya tergantung kepada konteks analisis pe nyimpulan itu
sendiri, sehingga pada akhirnya nilai kebenaran yang dimaksud
cenderung perspektifal, dan bukannya final.
Adanya keragaman pemahaman dan pandangan sebenarnya tidak serta -merta mengimplikasikan nihilisme dalam arti orang
akan bersikap “agnostik”, tidak peduli lagi dengan kebenaran
karena kebenaran itu tidak pasti. Apabila digambarkan, peta keragaman yang dipandang mengundang sikap relatifis, skeptis, dan
bahkan nihilis tersebut sebenarnya lebih tepat disebut sebagai peta
“kepastian” yang berbeda-beda. Setiap orang, karena perbeda an
konteks nya, meyakini kebenaran yang berbeda-beda; sehing ga
tidak pas untuk me nyebut kenyataan ini sebagai nihilisme; karena setiap orang meyakini kebenaran sesuai perspektifnya dan
konteks nya masing-masing. Problem utama yang bi a s a dikritik oleh
hermeneutika adalah ketika sebuah pe mahaman melupakan pengaruh konteksnya sendiri dan mengklaim bahwa pemahamannya
adalah yang “final” dan “pasti” dalam segala ruang dan waktu.
C. Hermeneutika versus Ushul Fikih?
Tidak dapat dipungkiri, bahwa memang banyak kalangan
yang kurang setuju menggunakan perangkat hermeneutika sebagai metode menafsirkan al-Qur’an lebih didasari oleh sentimen
“apologi-inferior” bahwa jenis pengetahuan ini berasal dari Barat.
Meskipun, sebenarnya, jenis pengetahuan apapun, jika itu relevan
dan memiliki koneksivitas dengan khazanah keislaman tidaklah
masalah, termasuk hermeneutika.
Antara hermeneutika dan tafsir justru memiliki kesamaan makna. Hermeneutika bahkan secara etimologi artinya “me nafsir kan”
(to interpret), sedang tafsir berasal dari kata al-fasr, yang arti nya
menjelaskan/menerangkan/mengungkapkan (al-bayan wa alkasyf). Tentang bagaimana pengertian, asal-usul, dan wujud operasional hermeneutika, ada banyak buku yang telah menjelaskan nya.
Di antara buku populer dan banyak dirujuk oleh peng kaji
studi al-Qur’an di Indonesia adalah karya Richard E. Palmer,
Hermeutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger and Gadamer, (Northwestren University Press, 1969),
E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1999), juga Komaruddin Hidayat, Menafsir Kehendak
Tuhan, (Jakarta: Teraju, 2004), dan lain-lain.
Menurut Sahiron Syamsudin (2009), berdasarkan pendapat
Veder, ada beberapa istilah kata kunci yang mesti dimengerti oleh
setiap pengkaji “hermeneutika al-Qur’an”. Pertama, Hermeneuse,
yaitu die inhaltliche Erklaerung oder Interpretation eines Textes, Kunstwerkes oder des Verhaltens einer Person (penjelasan atau
interpretasi sebuah teks, karya seni atau prilaku seseorang).
Kedua, hermeneutic, artinya, jika seseorang kemudian berbicara tentang regulasi/aturan, metode atau strategi/langkah penafsir an, maka berarti bahwa dia sedang berbicara tentang hermeneutika. Jadi, hermeneutika concern dengan pertanyaan bagai mana
atau dengan metode apa sebuah teks (atau yang lain) seharusnya
ditafsirkan.
Ketiga, philosophische hermeneutic (hermeneutika filosofis),
yang tidak lagi membicarakan metode exgetik tertentu, melainkan hal-hal yang terkait dengan conditions of the possibility
(kondisi-kondisi kemungkinan), di mana kita dapat memahami
dan menafsirkan sebuah teks, simbol atau prilaku. Pertanyaanpertanyaan yang dapat dikemukakan dan dijawab adalah:
Bagaimana kita ‘mungkin’ menafsirkan teks atau prilaku manusia?
Syarat-syarat (requirements) apa yang dapat membuat penafsiran itu mungkin (dilakukan)? Requirement adalah suatu kerangka (framework) yang atasnya sebuah penafsiran didasarkan dan
karenanya ia mungkin dilakukan.
Keempat, hermeneutische philosophie (filsafat hermeneutis)
adalah bagian dari pemikiran-pemikiran filsafat yang mencoba
menjawab problem kehidupan manusia dengan cara menafsirkan
apa yang diterima oleh manusia dari sejarah dan tradisi. Manusia
sendiri dipandang sebagai ‘makhluk hermeneutis’ (a hermeneutical being), dalam arti makhluk yang harus memahami dirinya.
Jadi, proses pemahaman terkait dengan problem-problem se perti
epistemologi, ontologi, etika dan aestetik. Filsafat ini dapat kita
temui, misalnya, dalam filsafat Heideger.
Sedekat ini, kritik terhadap penggunaan hermeneutika dalam
memahami al-Qur’an, berdasarkan kerangka pikir ilmiah, saya
temukan dalam beberapa uraian singkat Yudian Wahyudi, profesor Filsafat Hukum Islam (falsafat al-tasyri’ al-islami) dan Rektor
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2016-2020). Pandangan Yudian
Wahyudi tentang hermeneutika (al-Qur’an) sangat khas, dan dengan itu ia menjadikannya sebagai titik tolak “serangan” kepada
mereka yang silau dan merasa angkuh karena seolah berhasil
menguasai metode tafsir kontemporer.
Di hadapan Yudian Wahyudi, hermeneutika sebagai metode
tafsir al-Qur’an, jika tidak ekstra hati-hati bisa “berbahaya”. Yudian
Wahyudi enggan—untuk tidak mengatakan “anti” dan terkesan “alergi”—terhadap hermeneutika, sebab menurutnya selain
menghin dari resiko negatif dalam studi al-Qur’an, juga tidak jauh
lebih hebat daripada peninggalan imu-ilmu klasik tradisi Islam,
yaitu ushul fiqh. Di sini, Yudian Wahyudi tampil beda dengan banyak
pemikir-intelektual Indonesia yang demam hermeneutika.
Menurut Yudian Wahyudi, sebagaimana terlihat dalam beberapa artikelnya, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca
Islam dari Kanada dan Amerika (2007), Metode Tafsir dan
Kemaslahatan Umat (2007); Hermeneutika al-Qur’an? (2009),
para “pengguna” hermeneutika al-Qur’an di Indonesia yang pada (framework) yang atasnya sebuah penafsiran didasarkan dan
karenanya ia mungkin dilakukan.
Keempat, hermeneutische philosophie (filsafat hermeneutis)
adalah bagian dari pemikiran-pemikiran filsafat yang mencoba
menjawab problem kehidupan manusia dengan cara menafsirkan
apa yang diterima oleh manusia dari sejarah dan tradisi. Manusia
sendiri dipandang sebagai ‘makhluk hermeneutis’ (a hermeneutical being), dalam arti makhluk yang harus memahami dirinya.
Jadi, proses pemahaman terkait dengan problem-problem se perti
epistemologi, ontologi, etika dan aestetik. Filsafat ini dapat kita
temui, misalnya, dalam filsafat Heideger.
Sedekat ini, kritik terhadap penggunaan hermeneutika dalam
memahami al-Qur’an, berdasarkan kerangka pikir ilmiah, saya
temukan dalam beberapa uraian singkat Yudian Wahyudi, profesor Filsafat Hukum Islam (falsafat al-tasyri’ al-islami) dan Rektor
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2016-2020). Pandangan Yudian
Wahyudi tentang hermeneutika (al-Qur’an) sangat khas, dan dengan itu ia menjadikannya sebagai titik tolak “serangan” kepada
mereka yang silau dan merasa angkuh karena seolah berhasil
menguasai metode tafsir kontemporer.
Di hadapan Yudian Wahyudi, hermeneutika sebagai metode
tafsir al-Qur’an, jika tidak ekstra hati-hati bisa “berbahaya”. Yudian
Wahyudi enggan—untuk tidak mengatakan “anti” dan terkesan “alergi”—terhadap hermeneutika, sebab menurutnya selain
menghin dari resiko negatif dalam studi al-Qur’an, juga tidak jauh
lebih hebat daripada peninggalan imu-ilmu klasik tradisi Islam,
yaitu ushul fiqh. Di sini, Yudian Wahyudi tampil beda dengan banyak
pemikir-intelektual Indonesia yang demam hermeneutika.
Menurut Yudian Wahyudi, sebagaimana terlihat dalam beberapa artikelnya, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca
Islam dari Kanada dan Amerika (2007), Metode Tafsir dan
Kemaslahatan Umat (2007); Hermeneutika al-Qur’an? (2009),
para “pengguna” hermeneutika al-Qur’an di Indonesia yang pada umumnya tidak memahami bahwa istilah hermeneutika al-Qur’an
berarti sama saja mengatakan bahwa al-Qur’an, seperti kitab-kitab
suci lain yang membutuhkan hermeneutika, tidak ada aslinya.
Keaslian al-Qur’an itu sudah hilang justru lebih awal lagi:
ketika malaikat Jibril meriwayatkannya kepada Nabi Muhammad
karena, menurut hermeneutika tanpa syarat ini, malaikat Jibril dan
Nabi Muhammad sebagai pendusta (tidak amanah), merubah
wah yu al-Qur’an, padahal malaikat Jibril dan Nabi Muhammad dikenal sebagai al-amin (terpercaya). Dalam tradisi Barat, tulis Yudian Wahyudi, Hermes (yang
disandarkan kepada asal mula istilah hermeneutika) berperan
menafsirkan pikiran Tuhan. Di sini, banyak ulama yang tidak setuju
terhadap hermeneutika yang dijadikan sebagai metode untuk menafsirkan al-Qur’an. Mengapa? Karena peran Hermes ini berakibat bahwa pesan verbatim Tuhan hilang, bercampur-baur dengan pikiran Hermes. Artinya, penggunaan hermeneutika tanpa
syarat sama dengan mengatakan bahwa al-Qur’an tidak otentik.
Di Barat, Hermes juga dianggap sebagai “pencuri”. Posisi Hermes
dengan demikian bertentangan secara diametral dengan peran
malaikat Jibril dan Nabi Muhammad dalam proses penerimaan
wahyu. Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad berpredikat al-amin
karena melaksanakan tugas mereka secara verbatim.
Yudian Wahyudi mengkritik para propagandis hermeneutika al-Quran di Indonesia dengan menggunakan kerangka acuan
perspek tif tiga kesadaran Hasan Hanafi. Pertama, mereka ke hilangan
kesadaran sejarah jika menggunakan istilah hermeneutika alQur’an tanpa menyadari konsekuensi teologisnya. Kedua, kehilangan kesadar an eiditik, hanya berputar-putar di sekitar slogan dan
prinsip hermeneutika tanpa pernah memberikan contoh penafsiran yang otentik, benar-benar baru dari mereka sendiri. Ketiga,
kehilangan kesadaran praktis, yang dapat mewujudkan makna
teks al-Qur’an dan hadis ke dalam kehidupan sehari-hari; mereka
hampir tidak pernah menjadikan ijmak sebagai sumber legitimasi penafsiran mereka; masih bergerak pada tafsir “nafsi-nafsi” (ijtihad
atau fatwa fardhi) tetapi anehnya, dengan klaim universal.
Namun demikian, Yudian Wahyudi, menurut saya tetap menerima implementasi hermeneutika yang bersifat horizontal sebagai metode memahami realitas (teks al-Qur’an), sebagaimana
sosio logi, antropologi, psikologi, dan lain-lain-lain. Hermeneutika
tidak berlaku bagi hubungan vertikal Nabi Muhammad menerima
wahyu dari Allah melalui Jibril. Dalam proses vertikal, malaikat
Jibril dan Nabi Muhammad bertindak sebagai passive transmitters. Mereka berdua sepenuhnya bertindak sebagai recorders,
sehing ga wahyu Allah bersifat verbatim. Dengan kata lain, malaikat
Jibril dan Nabi Muhammad tidak menafsirkan pikiran Tuhan. Itulah
fungsi al-amin malaikat Jibril dan Nabi Muhammad.
Pemikiran Yudian Wahyudi ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Hasan Hanafi, yang sejak tahun 1960-an telah mengkaji
pesoalan tersebut di dalam disertasinya berjudul Les Methodes
d’exegese: essai sur la science des fondaments de la comprehension ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Yudian Wahyudi merupakan pengagum berat Hasan Hanafi (Hanafian), meski dalam konteks tertentu
ia juga menyisakan kritik tidak hanya kepada Hanafi, tetapi juga
Muhammad Iqbal dan Shari’ati dengan caranya sendiri seperti
metode perbandingan tokoh, antara Ali Shari’ati dengan Bint al-Shati’, yang menurut Yudian Wahyudi diakuinya sebagai usaha untuk
menjadi “pemikir merdeka” yang bergerak dari seorang pengikut
(muqallid) ke pembanding (muttabi’) kemudian ke mujtahid, dari
historian ke maker of history. Pemikiran Yudian Wahyudi yang Hanafian itu dapat diamati pada disertasinya bidang islamic studies di McGill University
(2002), yang membandingkan tiga tokoh: Muhammad Abid alJabiri, Hasan Hanafi, dan Nurcholis Madjid. Jika dilihat dari karir
dan pengalaman intelektual ketiganya, Hasan Hanafi memang lebih
unggul (dibanding al-Jabiri apalagi Nurcholis) dari segi penguasa an bahasa dan jam terbang presentasi lintas negara; dan secara khusus usaha Yudian Wahyudi mengadaptasi teori-teori tafsir
dan peran ushul fiqh yang digagas Hanafi dalam pengembangan
studi al-Qur’an. Yudian Wahyudi senada dengan Hasan Hanafi
yang ekstra hati-hati dalam menggunakan hermeneutika sebagai
metode tafsir al-Qur’an kontemporer.
esadaran akan historisitas dan kontekstualitas pemahaman
manusia pada gilirannya akan bersinggungan dengan
ranah Al-Qur’an dan pemaknaannya. Sebenarnya secara
umum disepakati oleh umat Islam bahwa Al-Qur’an adalah sakral,
karena ia adalah Kalamullah yang diturunkan melalui Rasulullah.
Namun ketika melihat fakta bahwa Al-Qur’an memakai bahasa
Arab, berbagai informasi yang disajikan di dalamnya banyak yang
memakai logika budaya Arab, kemudian berbagai istilah yang
dipakai di dalamnya juga menggunakan terminologi yang akrab di
kalangan orang Arab saat itu, maka muncullah berbagai kajian dan
pembahasan tentang status original Al-Qur’an, sejauh-manakah
Al-Qur’an itu berdimensi ilahiah dan sejauh mana ia berdimansi
manusiawi.
Telah beragam tesis diajukan terhadap persoalan ini, termasuk beberapa tesis dari para orientalis Barat yang ‘berpihak’
yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu tidak memiliki sisi ilahiah
sama sekali, karena ia ciptaan Muhammad. Tema yang sama ini
ternyata juga menarik banyak Islamolog kontemporer yang berasal dari kalangan umat Islam sendiri. Diantara mereka ini sebut
saja nama-nama seperti Hassan hanafi, Fazlurrahman, Moh.
Arkoun, M. Syahrur, juga Nasr hamid Abu Zayd. Tokoh-tokoh Ulumul Qur’an kontemporer ini sebagian besar memiliki berbagai
bekal metodologi baru, dan mencoba untuk mendekati Al-Qur’an
dengan kaca-mata baru tersebut. Seperti apapun hasil dari kajian
mereka tersebut, baik disetujui atau tidak, baik mengundang
kontroversi atau tidak, yang jelas kehadiran mereka ini mampu
menggairahkan kembali diskursus Islamic Studies yang selama
ini lesu karena dipandang sudah mapan dan final, termasuk
diantaranya tentang status sakralitas Al-Qur’an.
Abu Zayd dan Isu Kontroversialnya
Salah seorang Islamolog kontemporer yang sangat di kenal
dengan isu kontroversial bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya
adalah tokoh intelektual dari Mesri, Nasr Hamid Abu Zayd. Dia
adalah seorang pro fessor bahasa Arab dan Studi Al-Qur’an di
Universitas Kairo Mesir. Selain itu ia juga menjadi dosen tamu di
Universitas Leiden, Belanda, mulai tahun1995 sampai sekarang.
Proyek utama Nasr Abu Zayd sebenarnya adalah proyek
pendobrakan manipulasi pemahaman teks yang banyak terjadi
dalam peradaban Islam. Proyek besar ini tampak antara lain dalam tulisannya yang berjudul Mafhum al-Nassh. Menurutnya,
peradaban Islam dapat dikatakan sebagai per adaban teks karena
dengan berporos pada teks (Al-Qur’an)-lah di namika peradaban
Islam bergulir. Lebih jauh ternyata dalam peng amatan Abu Zayd,
para ulama’ terdahulu terlalu berlebihan dalam menyi kapi teks,
se hingga secara tidak sadar me munculkan pemahaman yang
dikotomis antara teks dan realitas. Teks sebagai pedoman yang
sakral di satu sisi dengan realitas kehidupan sebagai obyek dari
pedoman tersebut di sisi yang lain. Pemahaman semacam ini
membawa implikasi yang tidak ringan, karena ada kalanya dalam kondisi tertentu ketika ada kepentingan- kepentingan tertentu
dalam diri se seorang atau sekelompok orang, maka untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan tersebut teks dijadikan sarana untuk memberikan legitimasi dan justifikasinya.
Dengan mengajukan sebuah pertanyaan utama “Apakah
pengertianteks itu dan bagaimana memahaminya?” ia mencoba untuk meng atasi pemutar balikan pemahaman teks. Lebih jauh dalam metodologinya ia menggunakan semiotika dan hermeneutika.
Dengan dua alat bedah inilah kemudian ia me nyimpulkan bahwa
Al-Qur’an adalah Cultural Product, al-Muntaj al-Saqafi atau produk budaya.
Isu yang dilontarkan oleh Abu Zayd ini harus diakui cu kup kontroversial. Seakan menantang kesepakatan umum di kalangan umat
Islam akan sakralitas eksistensi Al-Qur’an ia menyatakan bahwa
Al-Qur’an yang ada di hadapan kita saat ini adalah produk budaya. Tentu saja pernyataan se macam ini meng undang reaksi
yang tidak ringan, bahkan demi pandangan nya ini Abu Zayd harus
menanggung resiko dicerai kan dari isterinya sebagai konsekuensi
dari pemurtadan yang ditimpakan atas dirinya.
Dasar pemikiran Abu Zayd sebelum menyimpulkan status
Al-Qur’an ini sebenarnya adalah pembagiannya terhadap dua
fase teks Al-Qur’an yang menggambarkan dialektika teks dengan
realitas sosial-budayanya:
1. Fase ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang
melatarinya, dimana aspek kebahasaan merupakan salah
satu bagiannya. Fase inilah yang kemudian disebut periode keterbentukan (marhalah al-tasyakkul) yang menggambarkan teks Al-Qur’an sebagai “produk kebudayaan”
2. Fase ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksiulang sistem budayanya, yaitu dengan mencipta kan
sistem kebahasaan khusus yang berbeda dengan bahasa induknya dan kemudian memunculkan pengaruh
dalam sistem kebudayaannya. Dalam fase ini, Abu Zayd
menyebutnya sebagai periode pembentukan (Marhalah
al-Tasykil). Teks yang semula merupa kan produk kebudayaan, kini berubah menjadi produsen kebudayaan
Al-Qur’an ketika diwahyukan Allah kepada Muhammad tentu memakai bahasa yang dapat dimengerti oleh umat dimana ia
diturunkan. Sehubungan dengan proses pewahyuan Al-Qur’an
yang berlangsung di Arab, maka dia menggunakan bahasa Arab
sebagai pengantar makna yang terkandung dalam teks ke tuhanan. Untuk itu, pemahaman Al-Qur’an sebagai teks Al-Qur’an tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat dan peradaban bangsa Arab.
Ringkasnya, Al-Qur’an yang kita lihat dan kita baca sekarang
merupakan teks budaya yang dipengaruhi oleh perkem bangan peradaban Arab pada saat itu (Marhalah al-tasyakkul), dan
selanjut nya teks ini berfungsi menuntun menuju satu budaya yang
baru, yaitu budaya Islam (Marhalah al-tasykil).
Pada hakikatnya dengan konsepnya ini Abu Zayd ingin
mengatakan bahwa ketika diwahyukan kepada Muhammad yang
hidup di Jazirah Arab dengan segala budaya dan tradisinya, itu
berarti Al-Qur’an memasuki wilayah kesejarahan manusia, dan
ketika ia memasuki wilayah kesejarahan manusia, maka merupakan
keniscayaan bagi Al-Qur’an untuk memakai struktur tata-bahasa
dan tata-budaya Arab untuk menyampaikan misi Risalahnya melalui
Muhammad. Namun pada kenyataannya pernyataan Abu Zayd ini
malah mengundang berbagai serangan terhadap diri nya. Diantara
yang menjadi bahan ‘serangan’ terhadap Abu Zayd adalah pernyataannya dalam salah satu kitabnya, Naqd Khitab ad-Diny,
bahwa begitu wahyu diturunkan pertama kali, maka ia berubah
status dari sebuah teks ketuhanan (nash Ilahi) menjadi teks manusiawi (nash Insani), karena begitu masuk kesejarahan manusia,
maka ia berubah dari wahyu (tanzil) menjadi sebuah pemahaman dan penafsiran (ta’wil). Orang pertama yang me lakukan perubahan dari tanzil menjadi ta’wil ini tentu saja adalah rasul sendiri, sehing ga harus dipilah tegas perbdaaan antara pemahaman
Rasul tentang teks dan sifat dasar teks tersebut yang merupakan
wahyu Tuhan;2
padahal Al-Qur’an yang sampai kepada kita saat ini
jelas melalui Rasulullah Muhammad. Dengan pernyataan nya inilah
kemudian Abu Zayd dituduh mengingkari aspek ketuhanan AlQur’an dan menganggapnya sebagai teks manusia.
Memahami Aspek-aspek keberadaan Al-Qur’an
Perdebatan tentang status Al-Qur’an sebenarnya bukan perdebatan yang baru. Perdebatan serupa ini dapat dibandingkan
dengan perdebatan yang terjadi di kalangan mutakallim klasik
tentang apakah Al-Qur’an itu Qadim ataukah Baru. Perdebatan
klasik ini bahkan melahirkan sebuah fenomena memilukan, yaitu
mihnah oleh kelompok Mu’tazilah yang didukung penguasa untuk memaksakan pandangannya bahwa Al-Qur’an itu Baru atau
makhluk.
Sebelum menetapkan keberpihakan dan memberikan judgement tentang pandangan siapa yang benar dan salah dalam persoalan ini, ada baik nya untuk melihat porsi dan proporsi persoalan
tentang status Al-Qur’an ini se benarnya. Al-Qur’an yang sekarang
ada di tangan umat Islam adalah sebentuk mushaf yang sudah
tertib terkodifikasi dan bahkan untuk saat ini bisa dicetak dalam
jumlah jutaan diatas kertas dan tinta. Apabila melihat kenyata an
semacam ini, dan kemudian dikaitkan dengan berbagai argumen, baik historis, fenomenologis, maupun naqly, tentang status
keberadaan Al-Qur’an ini, maka dapat dikatakan setidaknya AlQur’an memiliki beberapa aspek:
Ketika Al-Qur’an masih berupa Kalamullah murni yang belum diwahyukan.
1. Ketika Al-Qur’an diwahyukan secara verbatim oleh Allah
kepadaMuhammad dan untuk selanjutnya Muhammad
menyam paikannya juga secara verbatim kepada umatnya.
2. Ketika Muhammad, generasi awal yang dilanjutkan de ngan
gene rasi-generasi selanjutnya memahami dan meng aplikasi -
kan nilai-nilai ajaran Al-Qur’an dalam praksis nyata kehidupan.
3. Ketika Al-Qur’an mewujud dalam sebentuk naskah tertulis
dalam bahasa Arab yang dikodifikasi, diperbanyak dengan kertas dan tinta; lalu dibaca dan di pahami oleh
Umat Islam seluruh dunia.
Pada level pertama, yaitu ketika Al-Qur’an masih berupa
Kalamullah yang murni dan belum diwahyukan, jelas tidak ada
seorang pun yang mampu mengaksesnya. Nilai sakralitas AlQur’an pada dataran ini tidak perlu diragukan lagi, meskipun tidak
seorang pun mampu menjangkau nya. Pada level pertama ini hanya
Allah yang tahu apa dan bagaimana nya.
Pada level kedua, yaitu ketika Al-Qur’an diwahyukan secara verbatim kepada Muhammad dan Muhammad kemudian
menyampai kannya kepada ummat nya, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan. Ketika Allah me wahyukan kepada Muhammad
tentu saja Allah memakai bahasa, idiom, logika yang bisa dipahami oleh Muhammad agar wahyu bisa dipahami maksudnya
oleh Muhammad. Dan karena yang mendapat wahyu ini adalah
se orang Arab, maka media yang dipakai oleh Allah adalah bahasa
Arab dan juga struktur logis informasi yang bisa dipahami dalam
konteks budaya Arab. Kenyataan bahwa Al-Qur’an diturunkan di
Arab dan memakai bahasa serta logika Arab tentunya tidak harus
mengimplikasikan muatan pesan yang disampaikan hanya bernilai
lokal dan tidak bisa diaplikasikan untuk konteks yang berbeda.
Di sisi lain, meskipun memakai wahana bahasa Arab dan logika
budaya Arab, tidak kemudian sakralitas Al-Qur’an dianggap turun.
Sakralitas Al-Qur’an ini tentunya lebih terletak dalam muatan pesan
yang disampaikan dan juga sumber pesan itu sendiri, yaitu Allah.
Selanjutnya, Muhammad menyampaikan apa yang diterimanya kepada umatnya, juga secara verbatim, sebagaimana diyakini
oleh Jumhur umat Islam. Karena disampaikan secara verbatim, maka untuk ini sebenarnya Muhammad tidak melakukan perubahan apa-apa, termasuk perubahan hasil pemahamannya sendiri.
Dalam hal ini posisi Muhammad dapat diibaratkan seperti speaker yang akan berbunyi sesuai dengan suara yang masuk pada
diri nya. Dalam hal ini tidak perlu ada ke khawatiran bahwa umatnya
tidak mampu memahami apa yang disampaikan oleh Muhammad
kalau Muhammad tidak ‘mengolah nya’ terlebih dahulu untuk
menyesuaikan dengan pemahaman masyarakatnya, karena sejak
awal Allah pasti lebih tahu kondisi masyarakat yang akan menjadi
audiens pertama bagi wahyu dan kemudian menurunkan wahyu
sesuai de ngan konteks masyarakat penerimanya. Dari titik ini terlihat bahwa ungkapan wahyu yang disampaikan oleh Muhammad
kepada umatnya masih bernilai sakral karena Muhammad ‘belum’
melakukan intervensi selain bahwabahasa Muhammad (bahasa
Arab) dan logika budaya Muhammad (logika budaya Arab) “dipinjam” oleh Allah sebagai media untuk membumi kan wahyunya.
Namun pada level ketiga, ketika Muhammad dan Ummatnya
memahami dan menjalankan pesan-pesan Al-Qur’an, maka pemahaman dan apli kasi mereka ini tidak bernilai sakral sebagaimana
Al-Qur’an yang sakral. Pemahaman dan pelaksanaan tersebut pasti
sangat dipengaruhi oleh konteks hidup orang-orang yang melakukan pemahaman dan aplikasi. Muhammad sebagai pengemban
Risalah juga termasuk disini, karena selain kedudukannya sebagai Rasul yang memiliki amanah menyampaikan Risalah tanpa
manipulasi, ia juga manusia biasa, seorang muslim yang terkena
khitab Al-Qur’an. Pada dataran ini tentu saja aplikasi nilai-nilai AlQur’an oleh Muhammad tidak bernilai sakral sebagaimana sakralitas Al-Qur’an, meskipun pernyataan “tidak sakral” ini tidak kemudian harus diterjemahkan bahwa hasil pemahaman dan perilaku
Muhammad “jangan diikuti”, karena selain keyakinan umat Islam
bahwa peri laku Muhammad akan selalu mendapat kontrol dariNya, jelas Muhammadlah mendapatkan wahyu, sehingga pasti dia adalah orang yang lebih memahami maksud pesan wahyu dibandingkan yang lain. Oleh karena itu, mengikuti perilaku
Muhammad dalam menerjemahkan pesan Al-Qur’an merupakan
sesuatu yang logis, khususnya dalam tata hubungan vertikal dengan Allah. Meskipun demikian, tetap saja harus disadari aspekaspek historis kehidupan Muhammad dan aspek-aspek normatif
universal ajaran Islamnya. (tentang kedudukan Muhammad di hadapan Al-Qur’an ini bisa dilihat dalam bab 6 dari buku ini)
Sementara itu pada level keempat, yakni Al-Qur’an yang sekarang ada di hadapan kita, yang dicetak di penerbitan de ngan kertas dan tinta serta dijilid rapi berbentuk ‘buku’; maka kertas, tinta dan
jilidan tersebut tidak bernilai sakral. Namun itu tidak berarti orang
bisa bersikap sembarangan terhadap ‘benda’ yang bernama AlQur’an itu, karena dibalik benda tersebut terkandung Kalamullah, wahyu langsung dari Allah. Hal ini bisa dianalogikan —meskipun
mungkin terlalu kasar— dengan surat cinta yang berasal dari sang
kekasih. Kertas dan tinta yang tergores diatasnya adalah kertas
dan tinta yang bisa dijumpai dimana-mana, namun surat cinta tersebut sangat bernilai dan ‘disakralkan’ oleh yang memilikinya karena didalamnya terkandung ungkapan hati sang kekasih.
Meskipun demikian, penghargaan yang belebihan pada kertas
dan tinta surat cinta tersebut yang sampai melebihi pengharga an
ter hadap pesan dan ungkapan hati yang terkandung di dalamnya, tentunya dapat dikatakan sebagai sebuah sikap yang tidak
selayaknya.
Dari empat tataran ini mungkin dapat dipetakan kembali
pada dataran mana Al-Qur’an itu merupakan produk budaya dan
pada dataran mana dia merupakan ‘produk ketuhanan’. Pada level
pertama jelas Kalamullah adalah bersifat ‘murni ilahiah’ sehingga
tidak diragukan lagi sifat ketuhanannya. Pada level kedua-pun
mungkin agak susah untuk menyebut bahwa Al-Qur’an itu produk budaya, sebagaimana pandangan Abu Zayd. Tidak sebagaimana asumsi Abu Zayd, sebenarnya variabel budaya yang terlibat
dalam level ini lebih sekedar ‘dipinjam’ untuk memunculkan ideide ketuhanan (Kalamullah). Paling jauh mungkin bisa dikatakan
bahwa Kalamullah memakai media variabel budaya, dan bukannya diproduksi oleh variabel budaya.3
Sementara itu pada level
ketiga dan keempat tidak bisa dipungkiri bahwa pada dataran
lahiriahnya, yaitu ketika umat Islam mengejawantahkan pesan AlQur’an dalam kehidupan nyata dan ketika Al-Qur’an dikodifikasi
dan diter bitkan melalui kertas dan tinta, maka ekspresi perilaku
dan hasil terbitan Al-Qur’an tersebut adalah produk budaya.
Betapapun aneh dan kontroversialnya sebuah isu, namun
sering kali isu tersebut membawa sebuah kesadaran dan ‘pencerahan’ baru. Kesadaran tersebut biasanya muncul karena
bereaksi terhadap lontaran- lontaran isu yang kontroversial tersebut. Dengan lontaran-lontaran isu tersebut seringkali orang di paksa
untuk melihat, mencermati, menganalisis, mengkritisi dan bahkan
merumuskan kembali keyakinan-keyakinan dan pemahaman lama
yang sekian lama dibiarkan begitu saja dan dipandang sebagai
pasti benar. Demikianlah kiranya yang terjadi dengan lontaran isu
dari Abu Zayd ini.
Kegelisahan Abu Zayd bahwa seringkali terjadi manipulasi
teks yang dilakukan umat Islam demi mendapatkan legitimasi atas
berbagai ke pentingan politis dan otoritarianistik, seharusnya juga
menjadi kegelisahansemua umat Islam, karena hal semacam itu
telah menjadi maklum di kalangan umat Islam. Sakralisasi yang
berlebihan dan tidak pada tempat nya yang meng atas namakan
aga ma dan kitab suci sudah seharusnya mulai dikritisi, demi dinamika yang sehat dalam peradaban Islam sendiri.
Pembacaan Kontekstual: Menuju Gender Equality
Bahasa Arab mempunyai peran yang sangat besar dalam
kehidupan Muslim di berbagai belahan dunia. Didukung dengan
beberapa doktrin ajaran Islam, bahasa Arab terus mempengaruhi
masyarakat Muslim di berbagai tempat. Misalnya doktrin bahwa
al-Qur’an harus ditulis dan dibaca dalam bahasa aslinya (bahasa
Arab). Terjemahan al-Qur’an dipandang sebagai sesuatu di luar
al-Qur’an itu sendiri. Hal ini berbeda dengan Injil di mana ia justru
harus diterjemahkan ke berbagai bahasa tanpa menyertakan teks
aslinya.
Doktrin pendukung lainnya adalah berbagai ucapan ritual
ibadah hanya dianggap sah jika dilakukan dalam bahasa Arab.
Tidak heran jika doktrin-doktrin seperti ini telah memacu motivasi masyarakat Muslim untuk mempelajari dan menguasai bahasa
Arab sejak dini agar kelak menjadi Muslim yang baik. Al-Qur’an
bahkan tidak hanya dipelajari cara membacanya, tetapi juga dihafalkan kata perkata secara utuh.
Bias Gender dalam Bahasa Arab
Bahasa erat kaitannya dengan kegiatan berpikir sehingga
sistem bahasa yang berbeda akan melahirkan pola pikir yang
berbeda pula.4
Oleh karena itu pengaruh bahasa Arab pada berbagai bahasa masyarakat non Arab berarti pula pengaruh dalam
cara berpikir dan cara bersikap masyarakat Muslim di seluruh
dunia. Hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat Muslim
untuk memahami segala sesuatu yang Islami (sesuai dengan
Islam) dengan Arabi (sesuai dengan Arab). Menjadi Muslim yang
menyeluruh (kaffah) seringkali diekspresikan dengan menjadi
orang Arab dengan berbagai artibutnya seperti bergamis, bersorban, berjenggot, berjubah, berjilbab, bernama Arab, bermusik
padang pasir, dan lain sebagainya.
Sebagaimana bahasa lainnya, bahasa Arab tersusun dalam
sistem simbolik. Kosa kata yang dipakai dalam bahasa adalah
simbol bagi makna yang berada di baliknya.5
Ibarat kata adalah
sebuah badan, maka makna adalah ruhnya.6
Karena itu sebuah
kata hanya akan berfungsi sebagai simbol jika tidak dipisahkan
dari konsep maknanya. Kosa kata apapun tidak akan berfungsi sebagai sebuah simbol bagi seseorang yang tidak mengetahui maknanya. Bahasa Arab yang dipakai al-Qur’an misalnya,
tidak akan berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan ilahi bagi
siapa pun yang tidak mengerti bahasa Arab. Karena itu betapapun
tingginya nilai sastra al-Qur’an, berhadapan dengan mereka, alQur’an tidak dapat menyampaikan satu pesan pun.
Sistem simbolik bahasa Arab yang disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab berarti pula bahwa bahasa Arab sangat
berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat Arab. Pamakaian
bahasa Arab oleh al-Qur’an menunjukkan bahwa simbol bahasa
al-Qur’an sangat terkait pada budaya bahasa Arab. Keterkaitan
ini terlihat jelas pada pemakaian kosa-kata bahasa Arab yang
hanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat Arab. Lebih
jauh lagi, keterkaitan bahasa al-Qur’an dengan budaya Arab ditunjukkan dalam transformasi pesan-pesan ilahi melalui budaya
masyarakat Arab.
Bahasa Arab yang telah menjadi bahasa umat Islam ini mengandung bias gender yang berpengaruh pada proses tekstualisa si firman Allah dalam bentuk al-Qur’an. Bias tersebut tercermin
dalam tata bahasa Arab seperti setiap nama (isim) dalam bahasa
Arab selalu berjenis kelamin (mudzakkar atau mu’annats), bisa
secara hakiki maupun majazi. Sebagaimana seseorang tidak bisa
mengabaikan kelas sosial ketika berbicara bahasa Jawa, aturan
di atas menyebabkan seseorang tidak bisa menghindari klasifikasi laki-laki dan perempuan dalam berbahasa Arab karena dalam
bahasa ini tidak ada nama yang netral.
Sebagai pemakai bahasa Arab, teks al-Qur’an juga mengikuti ketentuan ini sehingga Allah sebagai Dzat yang tidak berjenis kelamin pun mempunyai nama yang berjenis kelamin, yaitu
mudzakkar (laki-laki) sehingga memakai kata kerja laki-laki (fi’il
mudzakkar), sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut ini:
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk
mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang
akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izinNya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan
kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu
tidak mengambil pelajaran?” (QS. Yunus: 3).
Ketentuan lain dalam tata bahasa Arab yang mengandung
bias gender adalah isim muannats (nama untuk perempuan) cukup dibentuk hanya dengan cara menambahkan satu huruf (ta’ -Qur’an
marbuthoh) pada nama atau isim yang telah ada bagi laki-laki,
seperti kata ustadzah (guru perempuan) yang dibentuk dari kata
ustadz (guru laki-laki), muslimah dari muslim, dan lain-lain. Tata
bahasa ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab terhadap eksistensi perempuan sebagai bagian (sangat kecil?) dari
eksistensi laki-laki.
Pengaruh cara pandang yang mengabaikan eksistensi perempuan ini dalam al-Qur’an dapat dilihat pada ayat tentang wudlu
sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai de ngan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah
itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur. (QS. al-Maidah: 6)”.
Ayat tersebut sangat jelas sedang berbicara hanya pada
laki-laki karena ayat tersebut secara jelas pula menyebutkan
menyentuh perempuan (dengan segala konotasinya) sebagai hal
yang menyebabkan batalnya “kesucian” laki-laki. Tidak ada satu
ulama fiqh pun yang mengambil kesimpulan dari ayat di atas bahwasanya perempuan menyentuh perempuan dapat membatalkan
wudlu. Jadi, eksistensi perempuan pada ayat di atas tidak ada dan
ketentuan untuk perempuan pun cukup diturunkan dari ketentuan
laki-laki.Tata bahasa Arab lainnya yang mengandung bias gender
adalah kata benda plural (jama’) untuk sekelompok perempuan
adalah kata plural laki-laki (jama mudazkkar) meskipun di dalamnya hanya ditemukan satu orang laki-laki. Satu grup perempuan, baik berjumlah seribu, sejuta, semilyar, bahkan lebih, akan
menggunakan kata ganti jama mudzakkar (laki-laki) hanya karena
adanya satu orang laki-laki di antara lautan perempuan tersebut.
Hal ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab bahwa satu
kehadiran laki-laki lebih penting daripada keberadaan ba nyak perempuan, berarapa pun jumlahnya.7
Sebagai pemakai bahasa Arab, al-Qur’an juga mengikuti
ketentuan ini sehingga dalam menyampaikan sebuah pesan yang
ditujukan kepada umat secara umum, baik laki-laki atau perempuan,
al-Qur’an menggunakan jenis kata laki-laki. Beberapa contohayat
dapat disebutkan di sini:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana di wajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah
maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”
(QS. Al-Baqarah: 110).
Maskulinitas ayat-ayat di atas terletak pada penggunaan
kata-kata yang dicetak miring. Kata ganti orang kum (kalian), kata
sambung alladhina (orang-orang yang), kata kerja aamanuu, tattaquun, aqiimuu, aatuu, tuqoddimuu, tajiduu (beriman, bertakwa,
dirikanlah, tunaikanlah, usahakan, kerjakan). Kata-kata ini dalam bentuk perempuannya (muannatsnya) adalah kunna, allaatii,
aamanna, tattaqna, aqimna, aatina, tuqoddimna, tajidna. Sekalipun
menggunakan kata bentuk mudzakkar, ayat ini jelas ditujukan
kepada seluruh kaum muslim termasuk yang perempuan. Jika
tidak, maka ayat-ayat di atas tidak dapat dijadikan landasan bagi
kewajiban shalat dan zakat bagi perempuan.
Meskipun perempuan telah terwakili dengan penyebutan
laki- aki, tetapi pada beberapa kesempatan ayat al-Qur’an menggunakan gaya bahasa di mana eksistensi perempuan tidak lebur
oleh kehadiran laki-laki. Misalnya ayat berikut ini:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan
yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki
dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang sedekah, laki-laki dan perempuan
yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar. (QS. al-Ahzab: 35).
Bahasa Arab sesungguhnya bukan satu-satunya bahasa
yang mengenal perbedaan gender. Bahasa Inggris mempunyai
kata ganti she untuk perempuan dan he untuk laki-laki. Seperti
juga dalam bahasa Arab, dominasi pria atas perempuan dalam
masyarakat Inggris tercermin dalam istilah-istilah umum yang
menggunakan kata laki-laki, contoh chairman dan spokesman. Ketika kesadaran persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
muncul di kalangan masyarakat pengguna bahasa Inggris, maka
muncul pula kesadaran yang berbeda dalam berbahasa. Misalnya
penggunaan kata he or she untuk menghindari penggunaan he
secara berlebihan, dan perubahan istilah-istilah maskulin semacam chairman dan spokesman menjadi kata yang lebih netral
seperti chairperson dan spokesperson. Kesadaran semacam ini
tidak ditemukan dalam diskursus Arab.
Tata-bahasa Arab yang mengandung bias gender ini merefleksikan budaya dan sikap masyarakat Arab terhadap perempuan. Pada masa turunnya al-Qur’an, kehadiran anak perempuan
dapat mengancam kehormatan sebuah keluarga Arab sehingga penguburan bayi perempuan hidup-hidup juga ditempuh untuk menutupi malu.9
Penguburan ini ditempuh karena masyarakat
belum mengenal aborsi. Nilai perempuan tak lebih dari barang
yang dapat dijual dan diwariskan.10 Di samping itu, laki-laki dapat
mengawini perempuan dalam jumlah tak terbatas pada saat yang
sama, menceraikan mereka, merujuk lagi kapan saja dan berapa kalipun laki-laki menghendaki.11 Tidak jarang perempuan dipandang seperti setan yang harus dijauhi.12
Gender Quality
Dalam tradisi umat beragama, teks selalu menempati posisi
sentral. Teks senantiasa menjadi rujukan utama bagi laku beragama mereka. Ia kerap berfungsi sebagai hakim atas problematika yang dihadapi. Ikhwal ini karena teks bukanlah hanya berupa
lembaran-lembaran kertas, tapi juga berarti orisinalitas dan otentisitas. Teks dianggap memiliki otoritas (autorithy) yang mutlak
untuk mengadili para pembangkang teks karena pengarangnya
(the author) adalah Tuhan atau Nabi. Tidak heran bila teks kemudian mampu menentukan langgam serta gaya hidup (life style)
umat beragama. Pada aras ini, teks telah menjadi ikon pembentuk peradaban dan budaya masyarakat. Peradaban Arab-Islam misal nya sering disebut dengan peradaban teks. Karenanya, untuk
meng atasi roblem itu, Nasr Hamid menerapkan analisa linguistik
sebagai pilihan untuk memahami konsep teks, dikarenakan teks
tersebut terbentuk selama lebih dari 20 tahun.13
Dalam membaca al-Qur’an, Nasr Hamid berseru agar mengambil posisi yang benar. Sebagai pembaca, kita mesti sadar akan
ideologi dan subyektifitas diri kita sendiri, sehingga tidak mudah terjerembab pada sikap pemutlakan. Seorang pembaca tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang dalam memaknai
sebuah teks, umpamanya dengan mensubordinasi teks ke dalam kehendak-kehendak si pembaca. Hubungan antara teks dan
pembaca tak terpisahkan. Selalu ada jalinan yang dialektis antara teks dan pembaca. Bagi Nasr Hamid, relasi antara teks dan
pembaca bersifat dialektis (jadaliyah), bukan penundukan (ikhdha’). Dengan cara ini, subyektivisme dalam proses pemaknaan
di harapkan dapat diminimalisasi.14
Nasr Hamid sangat menekankan aspek desakralisasi teks
Al-Qur’an ketika bersentuhan dengan bumi dan pemahaman akal
manusia. Bahkan dalam perjalanannya justru aspek historisitas
manusialah yang akan mengkonstruksi teks. Bagi Nasr Hamid,
teks Al-Qur’an yang sakral itu ada di level metafisis dan oleh karena itu di luar jangkauan manusia. Tidak ada yang dapat dipahami
darinya kecuali apa yang telah jelas ditegaskan oleh teks secara
tersurat dan sesuai dengan kenisbian manusia. Teks Al-Qur’an
menurut Nasr, sejak diturunkannya pertama kali yang kemudian
dibaca oleh Rasul sebagai wahyu, telah otomatis berubah secara
kualitatif dari teks Ilahi menuju teks pemahaman insani. Dalam
terminologi terkaan Nasr Hamid, dari tanzil berubah menjadi takwil. Lebih jauh lagi dengan berani Nasr Hamid berteori bahwa
pemahaman Nabi Muhammad Saw atas Al-Qur’an hanyalah sebatas periode awal gerakan teks Al-Qur’an dalam intensitas pergumulannya dengan akal manusia.
Penekanan terhadap desakralisasi al-Qur’an ini sangat penting dilakukan untuk mewujudkan pembaruan hukum Islam. Untuk itu, Nasr Hamid melakukan eksperimentasi “metode pembacaan
kontekstual” (manhaj al-qira’ah al-siyaqiyyah) dalam ayat-ayat
gender, yang menurutnya, lebih berguna dan efektif dari pada
metode istinbath fikih tradisional yang mengandalkan mekanisme
qiyas (memindahkan hukum dari asal ke cabangnya atas dasar
kesamaan illat).
Metode ini bukan hal yang sama sekali baru, dalam pengertian bahwa ia merupakan pengembangan dari metode-metode
ushul fiqh tradisional pada satu sisi, dan kelanjutan dari kerja keras para pendukung kebangkitan Islam—khususnya Imam
Muhammad Abduh dan Syekh Amin al-Khuli—pada sisi yang lain.
Ulama ushul menerapkan aturan-aturan ulum al-Qur’an (khususnya ilmu asbab al-nuzul dan ilmu nasikh dan mansukh) hingga
aspek aturan-aturan ilmu kebahasaan (linguistik) sebagai perangkat pokok untuk interpretasi, menghasilkan dan melakukan istinbath hukum dari teks. Perangkat-perangkat ini merupakan bagian
terpenting dari sarana metode pembacaan kontekstual.15
Berbeda dengan Farid Esack, Asghar Ali Engineer, Hassan
Hanafi, dan lain-lain, Nasr Hamid masih meyakini adanya makna
obyektif di balik suatu teks. Baginya, makna obyektif yang bersembunyi di balik teks-teks al-Qur’an, mungkin ditemukan setelah proses obyektifikasi melalui piranti hermeneutika. Ia meng usulkan agar
hermeneutika selalu berpijak pada pemilahan yang tegas antara
makna kesejarahan suatu teks (al-ma’nat tarikhi) dan signifikansi atau interpretasi baru yang ditarik dari makna kesejarahanobyektif tersebut. Menurutnya, makna historis itulah yang pertamatama harus diungkap seorang penafsir, de ngan pembacaan pada
struktur internal dan dimensi historis (al-bu’dut tarikh) teks tersebut. Setelah itu, baru dilakukan penafsiran yang mungkin menjawab problem-problem kehidupan masa kini. Metode tafsir ini
memungkinkan al-Qur’an terbuka untuk makna- makna yang baru
(qabil litajaddudil fahm)
Artinya, jika ulama ushul menekankan pentingnya asbab
al-nuzul untuk memahami suatu makna, maka pembaacaan
konteks tual melihat permasalahan dari sudut pandang yang lebih luas, yakni keseluruhan konteks sosial-historis (abad ke 7)
turunnya wahyu, karena melalui konteks itulah seorang dapat menentukan, misalnya dalam dalam bingkai hukum dan syariah, antara otentisitas wahyu dengan adat-adat dan kebiasaan-kebiasaan
keagamaan atau sosial pra-Islam.
Jika ulama ushul berpendapat, bahwa asbab al-nuzul bukan
berarti temporalitas (waqtiyyah) hukum dan tidak terbatas sebagai
suatu sebab sehingga mereka meletakkan kaidah “memegangi
keumuman lafadz bukan kekhususan sebab (al-ibrah bi al-umum
al-lafadz la bi al-khusus al-sabab), maka pembacaan kontekstual membuat perbedaan antara “makna” historis yang diperoleh
dari suatu konteks pada satu sisi, dan “signifikansi” (al-magza)
yang diindikasikan oleh makna dalam konteks sosio-historis penafsiran pada sisi yang lain. Pembedaan ini sangat penting asalkan
signifi kansi tersebut muncul dari makna itu dan berkaitan secara
kuat, seperti keterikatan akibat dengan sebab, dan signifikansi itu
bukan lah ekspresi hawa nafsu penafsir, bukan pula pelompatan
makna ataupun penjatuhannya.17
Proses kreatif inilah yang dinamakan proses pengembalian
makna asli wacana melalui rekonstruksi konteks historis 14 abad
silam. Sehingga secara latah kita mengelabui banyak orang bahwa semua hal yang disinggung Al-Qur’an tentang wanita adalah
tasyri’ padahal bukan. Dengan pemilahan antara “makna” dan
“signifikansi”, teks primer dan sekunder, yang terkait hukum pembagian waris bagi perempun, misalnya, bagi Nasr Hamid, melalui
tahap-tahap yang tidak teratur dan tumpang tindih satu sama
lain. “Makna”: ditafsirkan oleh Nasr Hamid secara bebas dan tidak ditunjuk sama sekali oleh teks mantuq-nya. Makna bagian
waris perempuan 1/2 dari laki-laki adalah: laki-laki tidak boleh
diberikan jatah waris lebih dari dua kali lipat bagian perempuan,
dan perempuan tidak boleh diberikan jatah waris kurang dari 1/2
bagian laki-laki. “Signifikansi”: gender equality adalah salah satu
tujuan dasar tasyri’.18
Menurut Nasr Hamid, sebelum kedatangan Islam di Jazirah
Arab pada abad ke 7 M, wanita tidak mendapatkan harta waris
sedikitpun, karena sistem peraturan masyarakat menganut sistem
patriarkal. Anak laki-laki tertua mewarisi semua harta peninggalan.
Kemudian Islam merubah aturan ini (QS. Al-Nisa’: 11). Menurut
Nasr Hamid, ayat itu menekankan terjadinya perubahan dalam
hukum masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta
warisan. Substansi arahannya adalah prinsip keadilan (justice).
Namun sebenarnya, bila dicermati secara mendalam, ayat
di atas justru menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum
laki-laki (limiting the rights of men). Sebab pada ayat di atas (QS.
Al-Nisa’: 11), penyebutannya jelas mendahulukan kata li al-dzakari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li untsayayni mitslu hazhi
al-dzakari (bagian dua orang anak perempuan sama de ngan
bagian seorang anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang mengawali perempuan tersebut, berarti bahwa al-Qur’an menyibukkan
dirinya dengan pembatasan bagian harta waris untuk laki-laki.
Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum laki-laki mewarisi semua
harta pe ninggalan, tanpa batas.19 Maka Nasr Hamid menyimpulkan, sebenar nya al-Qur’an—secara perlahan dan pasti—cenderung mengarah pada kesamaan antara perempuan dan laki-laki,
khususnya pada kesamaan bagian harta peninggalan.
Kesimpulan Nasr Hamid tersebut tentunya adalah sebuah
konsekuensi logis dari pendekatan yang dianutnya, yaitu konteks
historis (historical context)—sebagaiman telah disinggung di atas.
Di mana dia selalu menghubungkan semua aspek hukum yang
disebutkan dalam al-Qur’an berkenaan dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab pada abad 7 M, seperti halnya saat dia
menafsiran ayat-ayat hudud (jenis hukum kriminal).
Teks-teks persamaan religius serta humanitas laki-laki dan
perempuan adalah teks yang bersifat final dan mengikat (qath’i).
Dengan demikian teks-teks itu mengizinkan mujtahid untuk menetapkan bahwa gender equality antara laki-laki dan perempuan
tidak melanggar batasan dan ketetapan Allah Swt. Ijtihad atas
dasar pemikiran di atas, keharusan pemerataan jatah bagian waris
laki-laki dan perempuan dengan pertimbangan realitas kontemporer yang mengharuskan demikian.
Bagi Nasr Hamid, tidak bisa diterima ijtihad berhenti pada
batas yang ditentukan oleh wahyu karena jika tidak demikian
maka klaim kecocokan Islam di segala tempat dan waktu akan
gugur dan jurang pemisah antara realitas yang terus berubah dan
teks-teks yang dipahami secara harfiah oleh diskursus agama
kontemporer semakin menganga lebar. Istidlal dan generalisasi:
hal itu disimpulkan oleh Nasr Hamid bahwa setiap ijtihad yang
menghendaki terciptanya persamaan penuh (antara laki-laki dan
perempuan) merupakan ijtihad yang mulia dan selaras dengan
orientasi tujuan-tujuan umum tasyri’. Sedangkan ijtihad atau takwil
yang terpaku pada cakrawala momen historis wahyu, keduanya
terjebak ke dalam kekeliruan epistemologis terlepas dari faktor niat
baik dan ketulusan dogma.20
Karena itu, jika batasan dan ketetapan Tuhan yang tidak
boleh kita langgar yaitu kita tidak boleh memberikan jatah waris
laki-laki lebih dari dua kali lipat jatah perempuan dan kita tidak
boleh memberi perempuan kurang dari setengah jatah laki-laki,
maka hal itu tidak melanggar ketetapan Allah Swt. Persamaan artinya adalah persamaan batas maksimal laki-laki dan batas minimal
perempuan tidak melanggar apa yang telah dibatasi Allah. Secara
otomatis pula hal ini mencakup semua bidang fikih Islam yang
selama ini dimaknai salah kaprah, berangkat dari gambaran nilai
perempuan setengah nilai laki-laki dengan contoh masalah warisan. Masih banyak persoalan-persoalan lain yang menunjukkan
ketimpangan dan diskriminasi gender yang dapat kita jumpai dalam
kehidupan, seperti, relasi suami-istri, saksi, persoalan talak, dan
lain sebagainya.
Maka sejatinya usaha reaktualisasi ijtihad yang di dengungkan
banyak cendekiawan muslim di berbagai kawasan dunia, telah menjadi aksioma dalam usaha pembaharuan Islam (tajdid). Aktualisasi
ijtihad sebagai bagian proses hermeneutis dalam sudut pandang Islam terkait erat dengan teks/nash; baik ijtihad dalam arti
reinterpretasi internal teks (berupa takwil makna nash, ‘am dan
khash, mutlaq dan muqayyad, dan lain-lain) maupun dalam arti
reinter pretasi dengan merujuk kepada hukum teks primer dengan
metode qiyas, atau yang biasa dipraktikkan secara luas dalam
koridor umum nash melalui perangkat metode qiyas, istihsan, istishhab, ‘urf, dan mashlahat mursalah yang dibingkai oleh maqashid syariah. Sementara itu, ijtihad yang dilontarkan Nasr Hamid adalah ijtihad di luar koridor teks; ia bergerak linear di luar teks lewat upaya pembekuan “makna” dan menghidupkan “signifikansi” yang
liar dan terus berubah dengan menjadikan ideologi, budaya, dan
solusi-solusi pragmatis/sosiologis sebagai pengesah dan rujukan
utama. Atau dalam bahasa lain Nasr Hamid, ijtihad yang berangkat
dari dialektika bottom; dari realitas menuju teks.
Dalam konteks hubungannya dengan pembelaan terhadap
diskriminasi perempuan, Nasr Hamid oleh banyak kala ngan merupakan tokoh feminis kontemporer. Bahkan Nasr Hamid menisbatkan
dirinya sebagai feminis muslim, bukan feminis Islam, karena ia
mengembangkan pemikirannya dari latar belakang dan pengalaman nilai-nilai kemanusiaan, bukan dari tradisi Islam itu sendiri.
opulernya kajian hermeneutika pada beberapa dekade terakhir ini telah membuka berbagai kesadaran baru di kalangan umat Islam. Kesadaran baru yang dimaksud terutama
berkenaan dengan pemahaman akan porsi dan proporsi aspek
“normatif” dan “historis” yang terlibat dalam pemikiran dan perilaku keberagamaan. Lain dari itu, the rise of education yang berkem bang secara signifikan di kalangan umat Islam sendiri, juga
turut melancarkan proses munculnya berbagai kesadaran baru ini.
Meskipun di satu sisi lahirnya kesadaran baru ini memberikan berbagai kontribusi positif bagi dinamika dan kematangan
perilaku dan pemikiran Umat Islam; namun di sisi lain, kesadaran ini pada akhirnya juga memunculkan berbagai anomali ketika
banyak kala ngan terpelajar tergelitik untuk mem pertanyakan kembali berbagai dogma lama yang diyakini sebagai “pasti benar”.
Kenyataan semacam ini tentu saja tergolong menggelisahkan bagi
me reka yang selama ini sudah merasa “cukup” dengan dogmadogma tersebut sebagai landasan dan dasar ke beragamaan. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila dalam hal ini umat Islam
seolah terbagai dua kubu, yaitu kubu yang ingin meng evaluasi
dan menguji kembali berbagai dogmatika lama dan kubu yang ingin mempertahankan “status quo” keberagamaan lama yang
sudah dianggap fixed dan pasti benar.
Diantara berbagai hal yang “dipertanyakan” kembali oleh
para pengkaji Islam masa kini adalah persoalan hubungan antara
Muhammad dengan Al-Qur’an. Persoalan ini sebenarnya per soalan klasik dan bahkan merupakan persoalan yang telah muncul
sejak pertama kali wahyu turun. Apakah Muhammad benar-benar
menerima wahyu? Seandainya benar, sejauh mana wahyu yang
disampaikan oleh Muhammad tersebut ketika disampaikan— belum
terdistorsi oleh realitas sosial-budaya dan juga psikologis kehidupan
Muhammad?
Fenomena turunnya wahyu dari Allah kepada Muhammad
jelas merupa kan peristiwa subyektif yang hanya bisa diketahui
persisnya oleh yang meng alami sendiri, yaitu Muhammad. Mereka
yang mencoba untuk membuktikan kebenaran terjadinya peristiwa
tersebut pasti tidak mungkin dengan cara meng akses langsung
peristiwa peristiwa tersebut, namun hanya bisa dilakukan dengan cara mengamati gejala dan dampak serta keterkaitan antara
ber bagai variabel yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Untuk
menge tahui benar-salahnya bahwa Muhammad menerima wahyu
bisa diuji misalnya dari kejujuran Muhammad yang tidak pernah
berbohong sehingga memperoleh gelar Al-Amin, Ke-ummi-an
Muhammad yang tidak mungkin dengan usahanya sendiri bisa
menelorkan ayat-ayat “bermutu tinggi” seperti Al-Qur’an, dan lain
sebagainya.
Persoalan hubungan antara Muhammad dengan Al-Qur’an
ini semakin rumit ketika kemudian dikaitkan dengan identitas
Muhammad sendiri sebagai manusia yang lengkap dengan segala atribut kemanusiaannya. Sejauh mana batas untuk me nentukan
kapan Muhammad sebagai seorang Nabi dan Rasul yang tindak dan perilakunya harus diikuti dan sejauh mana Muhammad
adalah seorang manusia biasa yang perilaku nya kontekstual dan
manusia wi sehingga “tidak harus” diikuti?Tulisan berikut ini mencoba untuk memetakan sejauh mana
berba gai perspektif pernah diaplikasikan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan antara Muhammad dan AlQur’an ini; dan kemudian men coba mencari benang me rah dari
berbagai alternatif jawaban yang ada dengan mempertimbangkan
asumsi-asumsi hermeneutik.
Perdebatan Klasik tentang Kewahyuan Al-Qur’an dan
Kenabian Muhammad
Bagi seorang muslim yang “true believer”, kebenaran Al-Qur’an
dan penerimaan terhadapnya sebagai dasar dan pra-syarat identitas
keislaman adalah asumsi yang tidak boleh di bantah. Percaya kepada Al-Qur’an dan juga Muhammad yang mengemban amanat
menyampaikan Al-Qur’an merupakan dua tiang utama dari rukun
iman dalam Islam. Meskipun demikian, bukan berarti dalam Islam
tidak dibuka sama sekali kesempatan untuk “menguji” otentisitas Al-Qur’an sebagai wahyu yang berasal dari Allah. Al-Qur’an
sendiri dalam berbagai ayatnya bahkan menantang mereka yang
meragukan otentisitas Al-Qur’an sebagai wahyu untuk membuat
“Al-Qur’an tandingan” yang kualitasnya sebanding de ngan AlQur’an. “Kalau memang bisa, silahkan buat satu surat saja se perti
Al-Qur’an,” demikian tantang Al-Qur’an.1
Di sisi lain, berbagai argumen juga telah banyak disusun
dan dilontar kan oleh para ‘ulama, salaf maupun khalaf, untuk
menunjuk kan bahwa al-Qur’an jelas merupakan wahyu Allah,
dan tidak mungkin hasil kreasi manusia, termasuk Muhammad.
Diantara bukti yang paling populer dan paling sering dipakai adalah
kenyataan bahwa Muhammad adalah seorang yang ummi, sehingga tidak mungkin dia mampu menciptakan ide-ide universal sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an.
Meskipun demikian, beberapa sanggahan terhadap argumen
ini pernah juga dilontarkan dengan menyatakan bahwa mungkin
saja Muhammad itu Ummi dalam arti tidak mampu membaca
dan menulis, namun dia me miliki penalaran dan kecerdasan yang
tinggi, sehingga dengan kecerdasan dan ketajaman penalarannya tersebut dimungkin kan Muhammad mampu “menciptakan”
Al-Qur’an. Menghadapi bantahan tersebut para ‘Ulama juga tidak
tinggal diam dengan menunjukan bukti ayat-ayat “sejarah” tentang
masa lalu dan ayat-ayat “prediksi” tentang masa depan, dimana
ayat-ayat semacam itu tidak mungkin bisa “di karang” begitu saja.2
Di sisi lain, para ‘Ulama juga melontarkan argumen bahwa
tidak ada untungnya bagi Muhammad untuk menyatakan bahwa
dia mendapat wahyu dari Allah apabila ayat-ayat tersebut merupakan ciptaannya sendiri. Akan lebih menguntungkan dari aspek
apapun bagi Muhammad untuk menisbatkan ayat-ayat tersebut
kepada dirinya sendiri dan bukan dari Allah. Dengan menisbatkan
kepada dirinya maka hal itu akan meng angkat kedudukannya dan
membuat masyarakatnya tunduk ke padanya. Apalagi jika kemudian terbukti bahwa tidak ada seorang pun yang mampu membuat
tandingan terhadap ayat-ayat tersebut.3
Perdebatan tentang status Al-Qur’an ini ternyata tidak hanya
menyibuk kan umat Islam. Berbagai kalangan terpelajar di Barat,
khususnya kelompok orientalis, sejak abad pertengahan hingga saat
ini, tampak nya juga “ber minat” untuk memverifikasi validitas kewahyuan Al-Qur’an ini, tentunya dengan visi- misi dan kepentingan
yang beragam.4
Apabila diklasifikasi, secara garis besar ada dua
kelompok besar orientalis de nganpendekatan berbeda yang mencoba un












