Tampilkan postingan dengan label Hermeneutika Alquran 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hermeneutika Alquran 2. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Desember 2025

Hermeneutika Alquran 2

 


g lingkup kajian hermeneutika sebagaimana telah 

dijelaskan di muka berkisar pada tiga elemen pokok, yak￾ni teks, interpreter dan audien atau apa yang diistilah￾kan dengan triadic structure. Itu berarti teori hermeneutika 

sangat simpel dan umum, tidak memberikan penjelasan 

yang rinci untuk membimbing para mufassir menemukan 

sebuah penafsiran yang benar dan representatif.

4. Dalam teori hereneutika terkesan bahwa seorang herme￾neut dapat menafsirkan semua teks tanpa kecuali selama 

dia dapat menguasai tiga unsur utama tersebut secara 

baik. Padahal dalam tradisi ulumul Qur’an dinyatakan bah￾wa banyak ayat yang sifatnya tidak terjangkau oleh nalar 

manusia, termasuk yang paling jenius sekalipun, misalnya 

tentang alam gaib.

5. Dalam teori hermeneutika seorang interpreter memahami 

lebih baik teks dibandingkan si penulis (pengarang).

B. Logika Anti-Hermeneutika

Perbedaan pandangan dan persepsi serta adu argumen 

pada dasar nya bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan, asalkan 

setiap pihak yang ber beda pandangan saling memiliki niat baik 

dan cita-cita memperbaiki. Mereka yang setuju dan mengusung 

ide-ide hermeneutika karena melihat umat Islam terkung kung oleh 

dogmatisme keagamaan yang tidak proporsional, serta mereka 

yang anti hermeneutika dengan se mangat untuk mempertahankan 

identitas keislaman, semuanya layak untuk mendapat apresiasi. 

Jauh sebelum hermeneutika menjadi isu yang kontroversial, 

dunia Islam pernah mengalami dan merasakan fenomena yang 

kurang-lebih senada, yaitu kontroversi seputar diterima atau tidak￾nya Filsafat di dunia Islam. Kontroversi yang diwarnai oleh ‘peng￾kafiran’ ini dapat dikatakan “tidak selesai” dan tetap saja menjadi 

kontroversi karena tenggelam oleh berbagai isu dan kenyataan 

hidup lain yang dianggap lebih penting. Beberapa argumen anti￾herme neutika sebagaimana disebut diatas menunjukkan bekas 

‘trauma’ dari kontroversi filsa fat ini, yaitu menganggap herme￾neutika berasal dari ranah filsafat dan nantinya akan mengundang 

bahaya sebagaimana bahaya filsafat.

Apabila dianalogkan dengan filsafat, ada baiknya untuk di￾cerma ti bahwa yang ditakuti banyak orang dari filsafat ketika ma￾suk ke dalam ranah agama adalah keberadan filsafat yang sering 

‘usil’ mengkaji secara radikal segala hal, termasuk doktrin- doktrin 

keimanan yang harusnya cukup diyakini. Dilihat dari pers pektif 

ini ada baiknya jika ditunjukkan kepada banyak orang bahwa ada 

perbedaan krusial antara filsafat sebagai produk dan filsafat sebagai 

alat. Filsafat sebagai produk adalah hasil pemikiran para filosof, 

mulai yang sangat etis-religus dampai yang ateis dan des truktif. 

Terhadap filsafat jenis ini ada baiknya untuk kritis dan selektif, bah￾kan kalau perlu menolak dan bersikap anti. Namun pada dataran 

‘alat’, filsafat sebenarnya sekedar pisau analisis dan kaca-mata 

perpektif, dengan filsafat yang sama orang bisa saja menjadi sa￾ngat religius namun bisa juga menjadi atheis-agnostik. Dengan filsa￾fat yang sama orang bisa menjadi Nietzsche atau menjadi Iqbal. 

Kehilangan filsafat sebagai alat berarti kehilangan model berpikir 

filosofis yang merupakan pra-syarat utama untuk mampu berpikir 

kritis dan analitis. Kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis ini 

hanya akan menghentikan laju perkembangan per adaban dan akan 

berposisi hanya sebagai penonton dan konsumen.

Hermeneutika, pada dasarnya harus dikatakan tidak jauh 

berbeda de ngan filsafat; yaitu bisa diklasifikasi sebagai ‘alat’ dan 

‘produk’. Sebagai produk maka perwujudannya tampak dalam 

hermeneutika ala Barat atau herme neutika Kristen yang ditakuti 

akan merusak agama Islam oleh beberapa kalangan yang anti￾hermeneutika diatas. Tentu saja keberatan ini sah-sah saja, karena 

mengapa kita harus memakai nalar Barat atau nalar Kristen unt u k 

diaplikasikan di kalangan kita sendiri yang termasuk “timur” dan 

“Islam”. Dengan secara membuta menerima Barat dan Kristen 

ini malah menunjukkan sikap yang anti-hermeneutika, karena 

sebagai mana banyak paparan sebelumnya, hermene utika sangat 

memper timbangkan perbedaan konteks. Perlu pula disebut dalam 

posisi hermeneutika sebagai produk ini adalah para Islamolog 

kontemporer yang memakai hermeneutika sebagai pendekatan 

terhadap kitab suci dan menghasilkan berbagai isu kontrover￾sial, seperti “Al-Qur’an adalah produk Budaya”, “Al-Qur’an adalah 

kalamul lah sekaligus Kata-kata Muhammad”, dan lain sejenisnya. 

Jika tatarannya adalah ‘produk’, maka tidak ada satu pun jaminan 

bahwa pemikiran tersebut pasti benar dan harus dibenarkan, serta 

tidak menjamin pemikiran tersebut memiliki relevansi dengan setiap 

konteks kehidupan.

Di sisi lain, kekhawatiran berlebihan bahwa setiap yang 

berasal dari Barat atau kristen dapat membahayakan akidah Islam 

sebagaimana kekhawatiran bahwa dalam hermeneutika termuat 

hidden ideology Barat dan Kristen, dapat dikatakan perlu dianalisis 

lagi secara lebih kritis. Peradaban global masa kini dengan tek￾nologi informasi yang sedemikian canggihnya membuat tidak 

ada seorang pun yang mampu menghindar dari gempuran dan 

banjir informasi dari berbagai belahan penjuru Dunia. Tidak semua 

informasi tersebut jelek dan tidak sesuai, dan tidak semua baik. 

Apabila mau adil menolak semua yang datang dari Barat maupun 

Kristen, maka akan sangat banyak khazanah berharga peradaban 

yang harus ‘dibuang’ dari Dunia Islam, khususnya khaza nah 

ilmiah- akademik dari berbagai disiplin ilmu, karena sudah menjadi 

fakta se jarah bahwa umat Islam secara umum telah lama ‘loyo’ 

dalam bidang ini. Bahkan apabila mau jeli, model pendidikan 

ala sekolah dengan pola murid -guru dan tatap muka di kelas 

seperti yang kita kenal selama ini sebenarnya adalah warisan 

dari Barat, khususnya dari tradisi Kristen-skolastik. Sejarah Islam 

sendiri mengajarkan model pendidikan ala pesantren dan halaqah. Apakah itu berarti umat Islam tidak perlu masuk sekolah? Contoh 

ini belum termasuk banyak fenomena senada seperti listrik, 

telepon, komputer dan lain sejenisnya. 

Menarik untuk melihat analisis Ziya Gokalp, sosiolog Mesir 

yang dekat dengan Mustafa Kemal Atturk. Menurutnya ketika 

menghadapi gempuran dari tradisi luar, umat Islam perlu memilah 

antara aspek peradaban dan budaya. Aspek peradaban memiliki 

nilai adalah universal, seperti sains, teknologi dan yang sejenisnya, 

sementara aspek budaya yang pada dasarnya me rupakan pola 

internalisasi dan eksternalisasi satu masyarakat dalam mengolah 

khazanah peradaban, sifatnya adalah subyektif-kontekstual. Kalau 

peradaban cenderung value free, sementara budaya bernilai val￾ue laden. Dalam kaitannya dengan hermeneutika, setelah dilaku￾kan pembagian antara ‘alat’ dengan ‘produk’, maka dapat di￾katakan bahwa hermeneutika sebagai alat, yakni se bentuk tawaran 

meto dologi untuk mengolah teks, posisinya adalah netral, yang 

menentu kan apakah hermeneutika itu kemudian bernilai Kristen 

atau Islam adalah sang pemakai alat. Sementara hermeneutika 

sebagai produk bernilai value laden, karena dalam wlayah inilah 

hermeneutika dipakai oleh perspektif budaya tertentu untuk meng￾analisis problematika mereka.

Hermeneutika sebagai ‘alat’ berarti sebentuk analisis terha￾dap proses pemahaman yang disamping menggali makna teks, 

lalu menimbang konteks, juga mengupayakan kontekstualisa￾si. Memberikan pertimbangan terhadap konteks berarti ber usaha 

melacak bagaimana teks yang dibaca tersebut dimaknai dan di￾pahami pengarangnya dan juga dalam kondisi apa dan untuk tu￾juan apa teks tersebut muncul atau dimunculkan. Mengupayakan 

kontekstualisasi berarti mengupayakan agar pemahaman dan pe - makna an teks yang diperoleh dengan menimbang konteksnya 

tersebut masih bisa fungsional dan operasional bagi pembaca 

sesuai dengan konteksnya saat ini. 

Sebagaimana sedikit disinggung diatas, mereka yang anti￾herme neutika menyatakan keberatannya karena dengan memakai 

hermeneutika berarti menempatkan Al-Qur’an sebagaimana teks￾teks lain yang tidak sakral, padahal Al-Qur’an adalah kitab suci. 

Dalam hal ini harus di katakan bahwa pe nyamarataan antara teks 

biasa dan teks kitab suci ini tidak terletak dalam statusteks-nya, 

namun lebih kepada ‘wadag teks’ yang berupa rentetan kalimat 

dalam bahasa tertentu dengan makna tertentu. Dari aspek ‘kewada￾gan teks’ ini tentunya keberadan Al-Qur’an tidak berbeda dengan 

teks-teks yang lain. Betapapun tidak bisa dipungkiri bahwa untuk 

bisa memahami teks Al-Qur’an orang perlu memahami bahasa 

Arab, nalar Arab dan juga setting historis kehidupan Arab masa 

turunnya Al-Qur’an, seperti tentang Ka’bah, unta, Makkah sebagai 

pusat perdagangan dan lan sebagainya. Hal yang sama sangat 

mung kin juga di perlukan ketika orang ingin memahami teks-teks 

lain dalam bahasa Arab yang disusun oleh orang Arab sendiri 

pada saat yang sama. Keistimewaan dan nilai sakral Al-Qur’an 

tentunya terdapat pada kandu ngan pesan dan informasinya yang 

berasal dari Allah, dimana untuk menyam paikan pesan dan informasi 

tersebut Allah meminjam media bahasa Arab sebagai sarananya.

Di sisi lain, sebenarnya yang ‘tidak disakralkan’ oleh bebera￾pa Islamolog kontemporer tersebut adalah aspek pemahaman 

dan penafsiran manusia terhadap Al-Qur’an. Cara memahami dan 

menafsirkan terhadap kitab suci dan teks biasa ini tidak dibedakan 

karena yang memahami adalah sama-sama manusia, dan proses 

pemahaman secara ontologis yang terjadi dalam diri manu sia adalah 

sama. Teks yang sakral biarlah tetap disakralkan, namun cara manu￾sia memahami dan hasil pemahamannya jelas tidak sakral, karena 

faktor konteks dan kontekstualisasi akan selalu mem pengaruhi.

Meskipun demikian, ada satu doktrin yang dalam tradisi 

Islam harus dipertimbangkan, dan mungkin merupakan salah satu kekhususan Al-Qur’an, yaitu kemustahilan untuk meng akses the 

author-nya Al-Qur’an, Allah. Di titik ini pasti tidak akan ada se￾orang pun yang mampu menjangkaunya. Pertanyaan “Apa yang 

diinginkan oleh Allah secara pasti?” sebagai salah satu per￾tanyaan untuk membaca konteks teks Al-Qur’an, jelas tidak bisa 

dijawab. Namun tetap saja orang bisa melacak apa yang dike￾hendaki oleh Allah tersebut melalui struktur teks dan juga pe￾mahaman para generasi awal yang menerima Al-Qur’an secara 

langsung. Wilayah itulah yang harus dibidik ketika ingin membaca 

konteks ayat-ayat Al-Qur’an sebelum kemudian hasil pemahaman 

tersebut dikontekstualisasikan dalam beragam konteks kekinian. 

Adapun argumen yang menyatakan bahwa umat Islam te￾lah memiliki Ulumul Qur’an dan tidak lagi memerlukan metodologi 

lain, dapat dikatakan perlu dikaji lebih jauh. Kenyataan bahwa peri 

kehidupan manusia senantiasa dinamis dan berkembang menjadi 

salah satu pijakan yang kuat untuk me nyatakan bahwa tidak ada 

satu pun hasil karya manusia yang bisa diberi label ‘universal’ dan 

berlaku untuk waktu kapan pun dan dimana pun, termasuk Ulumul 

Qur’an dan segala asumsinya. Sikap-sikap ekslusif yang dilaku￾kan dengan cara menutup diri dari berbagai perkembangan yang 

terjadi dan secara apriori menganggap yang selain miliknya hanya 

akan membahayakan dirinya, dapat dikatakan sebagai sebentuk 

phobia, ketakutan yang tidak ber alasan. Apalagi ketika kemudian 

melakukan judgement negatif kepada yang lain tersebut sebe￾lum memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa yang akan 

dinilainya. Seorang Ghazali yang dipandang ‘membunuh’ filsafat 

sekalipun, mengharuskan dirinya untuk mengkaji filsafat terlebih 

dahulu secara intensif sebelum kemudian memberikan kritiknya.

Ringkasnya, dalam aspek hermeneutika sebagai sebentuk 

‘alat’ dan bukan nya ‘produk’, tidak mustahil untuk menggunakan 

hermeneutika sebagai seperangkat metodologi untuk memaha￾mi Al-Qur’an, dan hasilnya tidak pasti mengacak-acak mua￾tan keiman an yang selama ini diyakini oleh umat Islam. Bahkan 

dalam kerangka hermeneutika sebagai alat ini, yakni dalam hal 

kesadaran adanya keterkaitan antara teks dengan konteks dan konteks tualisasi ini sejak lama umat Islam telah menyadarinya se￾bagaimana pandangan pandangan Farid Esack. 7

Sementara itu kritik yang menyatakan bahwa herme neutika 

hanya membicarakan asumsi-asumsi dasar penafsiran saja, dan 

tidak menyentuh detail penafsiran dapat dikatakan hanya meli￾hat hermeneutika jenis kedua dan ketiga belaka (lihat tiga jenis 

herme neutika yang disebut di bagian I buku ini), yaitu herme￾neutika sebagai cara memahami pemahaman dan hermeneutika 

sebagai kritik atas pemahaman. Dalam kenyataannya telah banyak 

Islamolog kontemporer yang mencoba mengaplikasikan pendeka￾tan hermeneutika ini dalam seperangkat detail penafsiran, sebut 

saja misalnya Fazlurrahman de ngan tulisannya Major Themes of 

the Quran, Farid Esack dengan tafsir ayat-ayat hubungan antar 

agama dalam Qur’an Pluralism & Liberation dan banyak lagi yang 

lain, khususnya yang menggunakan model Tafsir Mawdhu’i.8

Adapun tentang hermeneutika yang dianggap tidak meng i kuti 

model prosedural dari Tafsir ayat dengan ayat dan lain seterus￾nya, dapat dikatakan bahwa proses ini dalam teori hermeneutika 

tertentu juga diikuti, khususnya yang menyatakan bahwa se￾buah pemaham an yang komprehensif harusnya dilakukan de ngan 

melakukan pembacaan secara holistik, dan bukannya pem ba caan 

secara atomistik, bukannya ayat-demi ayat ditafsirkan, tetapi melacak 

makna universal yang dirumuskan dari hubungan antar ayat. Contoh 

yang pa ling jelas dlam hal ini adlah ketika Fazlurrahman menegas￾kan pentingnya world view yang dirumuskan dari se mangat dasar 

Al-Qur’an. Istilah “intertekstualitas” yang cukup dikenal dalam tradisi 

hermeneutika dapat dikatakan mewakili jawaban tentang ada atau 

tidaknya perhatian hemrneutika terhadap prosedur penafsiran ayat 

dengan ayat ini. Sedangkan persoalan asosiasi hermeneu tika de￾ngan Hermes yang ternyata tidak kompa tibel dengan Muhammad 

kiranya tidak perlu diperdalam, karena dapat di katakan ke beradan 

Hermes dalam semesta hermeneutika hanyalah sosok imaji natif￾asosiatif yang tidak menggambarkan sepenuhnya problematika 

herme neutika, meskipun dalam hal tertentu memiliki rele vansi. 

Tanpa harus menyinggung Hermes sebaiknya langsung saja 

pembahasan diarahkan kepada problem apakah mungkin herme￾neutika dipakai sebagai metodologi dalam penafsiran Al-Qur’an.

Sebenarnya ada satu lagi kritik yang dapat dikatakan cukup ta￾jam ter hadap keberadaan hermeneutika, dan dapat dikatakan lebih 

bernuansa ‘ilmiah’, yaitu kritik yang berhubungan dengan asumsi 

“pluralitas pemahaan” hermeneutika. Asumsi ini secara langsung 

atau tidak mengimplikasikan adanya relatifitas kebenaran. Tidak 

ada kebenaran tunggal, karena setiap orang memahami sesuai de￾ngan konteksnya. Adanya perubahan dan perkembangan pemak￾na an terhadap teks karena mendapat pengaruh dari konteks yang 

juga berubah dan berkembang, tidak jarang memunculkan tuduhan 

bahwasanya bagi hermeneutika tidak ada kebenaran yang obyektif, 

semuanya tergantung ruang dan waktu, ringkasnya: kebenaran 

bagi hermeneutika itu relatif. 

Pertama yang harus dicatat untuk menjawab pertanyaan ini 

adalah de ngan menegaskan bahwa apa yang dimunculkan oleh 

hermeneutika dengan keniscayaan terlibatnya konteks dalam pe￾mahaman dan penafsiran ter sebut sebenarnya bukanlah sebuah 

asumsi yang semena-mena. Hermeneutika pada dasarnya hanyalah 

mengekspose realitas yang sebenarnya dari proses pemahaman 

dan penafsiran yang dilakukan oleh manusia. Disadari atau tidak se￾orang yang memahami itu pasti terkondisikan oleh konteks-konteks 

yang berhubungan dengan dirinya; baik konteks psikologis maupun 

konteks sosial budaya tempat ia berada. Dengan kata lain, seandai￾nya—sekali lagi: seandai nya—benar bahwa dalam pandangan hermeneutika makna itu menjadi relatif, maka itu bukanlah ‘salah’ 

hermeneutika, tetapi kodrat manusialah yang menuntut panda￾ngan semacam itu. Dalam hal ini kiranya tidak tepat jika kata 

relatif tersebut diterjemahkan sebagai “tidak ada” atau “tidak pasti”, 

namun terjemahan tepatnya mungkin adalah “tergantung”, jadi pe￾nyimpulan se seorang terhadap sesuatu sebagai ‘benar’ atau ‘salah’ 

itu biasanya tergantung kepada konteks analisis pe nyimpulan itu 

sendiri, sehingga pada akhirnya nilai kebenaran yang dimaksud 

cenderung perspektifal, dan bukannya final. 

Adanya keragaman pemahaman dan pandangan sebenar￾nya tidak serta -merta mengimplikasikan nihilisme dalam arti orang 

akan bersikap “agnostik”, tidak peduli lagi dengan kebenaran 

karena kebenaran itu tidak pasti. Apabila digambarkan, peta kera￾gaman yang dipandang mengundang sikap relatifis, skeptis, dan 

bahkan nihilis tersebut sebenarnya lebih tepat disebut sebagai peta 

“kepastian” yang berbeda-beda. Setiap orang, karena perbeda an 

konteks nya, meyakini kebenaran yang berbeda-beda; sehing ga 

tidak pas untuk me nyebut kenyataan ini sebagai nihilisme; kare￾na setiap orang meyakini kebenaran sesuai perspektifnya dan 

konteks nya masing-masing. Problem utama yang bi a s a dikritik oleh 

hermeneutika adalah ketika sebuah pe mahaman melupakan pe￾ngaruh konteksnya sendiri dan mengklaim bahwa pemahamannya 

adalah yang “final” dan “pasti” dalam segala ruang dan waktu.

C. Hermeneutika versus Ushul Fikih?

Tidak dapat dipungkiri, bahwa memang banyak kalangan 

yang kurang setuju menggunakan perangkat hermeneutika se￾bagai metode menafsirkan al-Qur’an lebih didasari oleh sentimen 

“apologi-inferior” bahwa jenis pengetahuan ini berasal dari Barat. 

Meskipun, sebenarnya, jenis pengetahuan apapun, jika itu relevan 

dan memiliki koneksivitas dengan khazanah keislaman tidaklah 

masalah, termasuk hermeneutika.

Antara hermeneutika dan tafsir justru memiliki kesamaan mak￾na. Hermeneutika bahkan secara etimologi artinya “me nafsir kan” 

(to interpret), sedang tafsir berasal dari kata al-fasr, yang arti nya 

menjelaskan/menerangkan/mengungkapkan (al-bayan wa al￾kasyf). Tentang bagaimana pengertian, asal-usul, dan wujud opera￾sional hermeneutika, ada banyak buku yang telah menjelaskan nya. 

Di antara buku populer dan banyak dirujuk oleh peng kaji 

studi al-Qur’an di Indonesia adalah karya Richard E. Palmer, 

Hermeutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, 

Heidegger and Gadamer, (Northwestren University Press, 1969), 

E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: 

Kanisius, 1999), juga Komaruddin Hidayat, Menafsir Kehendak 

Tuhan, (Jakarta: Teraju, 2004), dan lain-lain.

Menurut Sahiron Syamsudin (2009), berdasarkan pendapat 

Veder, ada beberapa istilah kata kunci yang mesti dimengerti oleh 

setiap pengkaji “hermeneutika al-Qur’an”. Pertama, Hermeneuse, 

yaitu die inhaltliche Erklaerung oder Interpretation eines Textes, Kunstwerkes oder des Verhaltens einer Person (penjelasan atau 

interpretasi sebuah teks, karya seni atau prilaku seseorang).

Kedua, hermeneutic, artinya, jika seseorang kemudian ber￾bicara tentang regulasi/aturan, metode atau strategi/langkah pe￾nafsir an, maka berarti bahwa dia sedang berbicara tentang herme￾neutika. Jadi, hermeneutika concern dengan pertanyaan bagai mana 

atau dengan metode apa sebuah teks (atau yang lain) seharusnya 

ditafsirkan.

Ketiga, philosophische hermeneutic (hermeneutika filosofis), 

yang tidak lagi membicarakan metode exgetik tertentu, melain￾kan hal-hal yang terkait dengan conditions of the possibility

(kondisi-kondisi kemungkinan), di mana kita dapat memahami 

dan menafsirkan sebuah teks, simbol atau prilaku. Pertanyaan￾pertanyaan yang dapat dikemukakan dan dijawab adalah: 

Bagaimana kita ‘mungkin’ menafsirkan teks atau prilaku manusia? 

Syarat-syarat (requirements) apa yang dapat membuat penafsir￾an itu mungkin (dilakukan)? Requirement adalah suatu kerangka (framework) yang atasnya sebuah penafsiran didasarkan dan 

karenanya ia mungkin dilakukan.

Keempat, hermeneutische philosophie (filsafat hermeneutis) 

adalah bagian dari pemikiran-pemikiran filsafat yang mencoba 

menjawab problem kehidupan manusia dengan cara menafsirkan 

apa yang diterima oleh manusia dari sejarah dan tradisi. Manusia 

sendiri dipandang sebagai ‘makhluk hermeneutis’ (a hermeneu￾tical being), dalam arti makhluk yang harus memahami dirinya. 

Jadi, proses pemahaman terkait dengan problem-problem se perti 

epistemologi, ontologi, etika dan aestetik. Filsafat ini dapat kita 

temui, misalnya, dalam filsafat Heideger.

Sedekat ini, kritik terhadap penggunaan hermeneutika dalam 

memahami al-Qur’an, berdasarkan kerangka pikir ilmiah, saya 

temukan dalam beberapa uraian singkat Yudian Wahyudi, profe￾sor Filsafat Hukum Islam (falsafat al-tasyri’ al-islami) dan Rektor 

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2016-2020). Pandangan Yudian 

Wahyudi tentang hermeneutika (al-Qur’an) sangat khas, dan de￾ngan itu ia menjadikannya sebagai titik tolak “serangan” kepada 

mereka yang silau dan merasa angkuh karena seolah berhasil 

menguasai metode tafsir kontemporer.

Di hadapan Yudian Wahyudi, hermeneutika sebagai metode 

tafsir al-Qur’an, jika tidak ekstra hati-hati bisa “berbahaya”. Yudian 

Wahyudi enggan—untuk tidak mengatakan “anti” dan terke￾san “alergi”—terhadap hermeneutika, sebab menurutnya selain 

menghin dari resiko negatif dalam studi al-Qur’an, juga tidak jauh 

lebih hebat daripada peninggalan imu-ilmu klasik tradisi Islam, 

yaitu ushul fiqh. Di sini, Yudian Wahyudi tampil beda dengan banyak 

pemikir-intelektual Indonesia yang demam hermeneutika.

Menurut Yudian Wahyudi, sebagaimana terlihat dalam be￾berapa artikelnya, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca 

Islam dari Kanada dan Amerika (2007), Metode Tafsir dan 

Kemaslahatan Umat (2007); Hermeneutika al-Qur’an? (2009), 

para “pengguna” hermeneutika al-Qur’an di Indonesia yang pada (framework) yang atasnya sebuah penafsiran didasarkan dan 

karenanya ia mungkin dilakukan.

Keempat, hermeneutische philosophie (filsafat hermeneutis) 

adalah bagian dari pemikiran-pemikiran filsafat yang mencoba 

menjawab problem kehidupan manusia dengan cara menafsirkan 

apa yang diterima oleh manusia dari sejarah dan tradisi. Manusia 

sendiri dipandang sebagai ‘makhluk hermeneutis’ (a hermeneu￾tical being), dalam arti makhluk yang harus memahami dirinya. 

Jadi, proses pemahaman terkait dengan problem-problem se perti 

epistemologi, ontologi, etika dan aestetik. Filsafat ini dapat kita 

temui, misalnya, dalam filsafat Heideger.

Sedekat ini, kritik terhadap penggunaan hermeneutika dalam 

memahami al-Qur’an, berdasarkan kerangka pikir ilmiah, saya 

temukan dalam beberapa uraian singkat Yudian Wahyudi, profe￾sor Filsafat Hukum Islam (falsafat al-tasyri’ al-islami) dan Rektor 

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2016-2020). Pandangan Yudian 

Wahyudi tentang hermeneutika (al-Qur’an) sangat khas, dan de￾ngan itu ia menjadikannya sebagai titik tolak “serangan” kepada 

mereka yang silau dan merasa angkuh karena seolah berhasil 

menguasai metode tafsir kontemporer.

Di hadapan Yudian Wahyudi, hermeneutika sebagai metode 

tafsir al-Qur’an, jika tidak ekstra hati-hati bisa “berbahaya”. Yudian 

Wahyudi enggan—untuk tidak mengatakan “anti” dan terke￾san “alergi”—terhadap hermeneutika, sebab menurutnya selain 

menghin dari resiko negatif dalam studi al-Qur’an, juga tidak jauh 

lebih hebat daripada peninggalan imu-ilmu klasik tradisi Islam, 

yaitu ushul fiqh. Di sini, Yudian Wahyudi tampil beda dengan banyak 

pemikir-intelektual Indonesia yang demam hermeneutika.

Menurut Yudian Wahyudi, sebagaimana terlihat dalam be￾berapa artikelnya, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca 

Islam dari Kanada dan Amerika (2007), Metode Tafsir dan 

Kemaslahatan Umat (2007); Hermeneutika al-Qur’an? (2009), 

para “pengguna” hermeneutika al-Qur’an di Indonesia yang pada umumnya tidak memahami bahwa istilah hermeneutika al-Qur’an 

berarti sama saja mengatakan bahwa al-Qur’an, seperti kitab-kitab 

suci lain yang membutuhkan hermeneutika, tidak ada aslinya. 

Keaslian al-Qur’an itu sudah hilang justru lebih awal lagi: 

ketika malaikat Jibril meriwayatkannya kepada Nabi Muhammad 

karena, menurut hermeneutika tanpa syarat ini, malaikat Jibril dan 

Nabi Muhammad sebagai pendusta (tidak amanah), merubah 

wah yu al-Qur’an, padahal malaikat Jibril dan Nabi Muhammad di￾kenal sebagai al-amin (terpercaya). Dalam tradisi Barat, tulis Yudian Wahyudi, Hermes (yang 

disandarkan kepada asal mula istilah hermeneutika) berperan 

menafsirkan pikiran Tuhan. Di sini, banyak ulama yang tidak setuju 

terhadap hermeneutika yang dijadikan sebagai metode untuk me￾nafsirkan al-Qur’an. Mengapa? Karena peran Hermes ini ber￾akibat bahwa pesan verbatim Tuhan hilang, bercampur-baur de￾ngan pikiran Hermes. Artinya, penggunaan hermeneutika tanpa 

syarat sama dengan mengatakan bahwa al-Qur’an tidak otentik. 

Di Barat, Hermes juga dianggap sebagai “pencuri”. Posisi Hermes 

dengan demikian bertentangan secara diametral dengan peran 

malaikat Jibril dan Nabi Muhammad dalam proses penerimaan 

wahyu. Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad berpredikat al-amin 

karena melaksanakan tugas mereka secara verbatim.

Yudian Wahyudi mengkritik para propagandis hermeneuti￾ka al-Quran di Indonesia dengan menggunakan kerangka acuan 

perspek tif tiga kesadaran Hasan Hanafi. Pertama, mereka ke hilangan 

kesadaran sejarah jika menggunakan istilah hermeneutika al￾Qur’an tanpa menyadari konsekuensi teologisnya. Kedua, ke￾hilangan kesadar an eiditik, hanya berputar-putar di sekitar slogan dan 

prinsip hermeneutika tanpa pernah memberikan contoh penafsir￾an yang otentik, benar-benar baru dari mereka sendiri. Ketiga, 

kehilangan kesadaran praktis, yang dapat mewujudkan makna 

teks al-Qur’an dan hadis ke dalam kehidupan sehari-hari; mereka 

hampir tidak pernah menjadikan ijmak sebagai sumber legitimasi penafsiran mereka; masih bergerak pada tafsir “nafsi-nafsi” (ijtihad 

atau fatwa fardhi) tetapi anehnya, dengan klaim universal.

Namun demikian, Yudian Wahyudi, menurut saya tetap me￾nerima implementasi hermeneutika yang bersifat horizontal se￾bagai metode memahami realitas (teks al-Qur’an), sebagaimana 

sosio logi, antropologi, psikologi, dan lain-lain-lain. Hermeneutika 

tidak berlaku bagi hubungan vertikal Nabi Muhammad menerima 

wahyu dari Allah melalui Jibril. Dalam proses vertikal, malaikat 

Jibril dan Nabi Muhammad bertindak sebagai passive transmit￾ters. Mereka berdua sepenuhnya bertindak sebagai recorders,

sehing ga wahyu Allah bersifat verbatim. Dengan kata lain, malaikat 

Jibril dan Nabi Muhammad tidak menafsirkan pikiran Tuhan. Itulah 

fungsi al-amin malaikat Jibril dan Nabi Muhammad.

Pemikiran Yudian Wahyudi ini tidak bisa dilepaskan dari pe￾ngaruh Hasan Hanafi, yang sejak tahun 1960-an telah mengkaji 

pesoalan tersebut di dalam disertasinya berjudul Les Methodes 

d’exegese: essai sur la science des fondaments de la compre￾hension ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Yudian Wahyudi merupakan penga￾gum berat Hasan Hanafi (Hanafian), meski dalam konteks tertentu 

ia juga menyisakan kritik tidak hanya kepada Hanafi, tetapi juga 

Muhammad Iqbal dan Shari’ati dengan caranya sendiri seperti 

metode perbandingan tokoh, antara Ali Shari’ati dengan Bint al-Sha￾ti’, yang menurut Yudian Wahyudi diakuinya sebagai usaha untuk 

menjadi “pemikir merdeka” yang bergerak dari seorang pengikut 

(muqallid) ke pembanding (muttabi’) kemudian ke mujtahid, dari 

historian ke maker of history. Pemikiran Yudian Wahyudi yang Hanafian itu dapat di￾amati pada disertasinya bidang islamic studies di McGill University 

(2002), yang membandingkan tiga tokoh: Muhammad Abid al￾Jabiri, Hasan Hanafi, dan Nurcholis Madjid. Jika dilihat dari karir 

dan pengalaman intelektual ketiganya, Hasan Hanafi memang lebih 

unggul (dibanding al-Jabiri apalagi Nurcholis) dari segi pengua￾sa an bahasa dan jam terbang presentasi lintas negara; dan se￾cara khusus usaha Yudian Wahyudi mengadaptasi teori-teori tafsir 

dan peran ushul fiqh yang digagas Hanafi dalam pengembangan 

studi al-Qur’an. Yudian Wahyudi senada dengan Hasan Hanafi 

yang ekstra hati-hati dalam menggunakan hermeneutika sebagai 

metode tafsir al-Qur’an kontemporer.


esadaran akan historisitas dan kontekstualitas pemahaman 

manusia pada gilirannya akan bersinggungan dengan 

ranah Al-Qur’an dan pemaknaannya. Sebenarnya secara 

umum disepakati oleh umat Islam bahwa Al-Qur’an adalah sakral, 

karena ia adalah Kalamullah yang diturunkan melalui Rasulullah. 

Namun ketika melihat fakta bahwa Al-Qur’an memakai bahasa 

Arab, berbagai informasi yang disajikan di dalamnya banyak yang 

memakai logika budaya Arab, kemudian berbagai istilah yang 

dipakai di dalamnya juga menggunakan terminologi yang akrab di 

kalangan orang Arab saat itu, maka muncullah berbagai kajian dan 

pembahasan tentang status original Al-Qur’an, sejauh-manakah 

Al-Qur’an itu berdimensi ilahiah dan sejauh mana ia berdimansi 

manusiawi.

Telah beragam tesis diajukan terhadap persoalan ini, ter￾masuk beberapa tesis dari para orientalis Barat yang ‘berpihak’ 

yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu tidak memiliki sisi ilahiah 

sama sekali, karena ia ciptaan Muhammad. Tema yang sama ini 

ternyata juga menarik banyak Islamolog kontemporer yang ber￾asal dari kalangan umat Islam sendiri. Diantara mereka ini sebut 

saja nama-nama seperti Hassan hanafi, Fazlurrahman, Moh. 

Arkoun, M. Syahrur, juga Nasr hamid Abu Zayd. Tokoh-tokoh Ulumul Qur’an kontemporer ini sebagian besar memiliki berbagai 

bekal metodologi baru, dan mencoba untuk mendekati Al-Qur’an 

dengan kaca-mata baru tersebut. Seperti apapun hasil dari kajian 

mereka tersebut, baik disetujui atau tidak, baik mengundang 

kontroversi atau tidak, yang jelas kehadiran mereka ini mampu 

menggairahkan kembali diskursus Islamic Studies yang selama 

ini lesu karena dipandang sudah mapan dan final, termasuk 

diantaranya tentang status sakralitas Al-Qur’an. 

Abu Zayd dan Isu Kontroversialnya

Salah seorang Islamolog kontemporer yang sangat di kenal 

dengan isu kontroversial bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya 

adalah tokoh intelektual dari Mesri, Nasr Hamid Abu Zayd. Dia 

adalah seorang pro fessor bahasa Arab dan Studi Al-Qur’an di 

Universitas Kairo Mesir. Selain itu ia juga menjadi dosen tamu di 

Universitas Leiden, Belanda, mulai tahun1995 sampai sekarang.

Proyek utama Nasr Abu Zayd sebenarnya adalah proyek 

pendobrakan manipulasi pemahaman teks yang banyak terjadi 

dalam peradaban Islam. Proyek besar ini tampak antara lain da￾lam tulisannya yang berjudul Mafhum al-Nassh. Menurutnya, 

peradaban Islam dapat dikatakan sebagai per adaban teks karena 

dengan berporos pada teks (Al-Qur’an)-lah di namika peradaban 

Islam bergulir. Lebih jauh ternyata dalam peng amatan Abu Zayd, 

para ulama’ terdahulu terlalu berlebihan dalam menyi kapi teks, 

se hingga secara tidak sadar me munculkan pemahaman yang 

dikotomis antara teks dan realitas. Teks sebagai pedoman yang 

sakral di satu sisi dengan realitas kehidupan sebagai obyek dari 

pedoman tersebut di sisi yang lain. Pemahaman semacam ini 

membawa implikasi yang tidak ringan, karena ada kalanya da￾lam kondisi tertentu ketika ada kepentingan- kepentingan tertentu 

dalam diri se seorang atau sekelompok orang, maka untuk me￾nyelamatkan kepentingan-kepentingan tersebut teks dijadikan sa￾rana untuk memberikan legitimasi dan justifikasinya.

Dengan mengajukan sebuah pertanyaan utama “Apakah 

pengertianteks itu dan bagaimana memahaminya?” ia mencoba untuk meng atasi pemutar balikan pemahaman teks. Lebih jauh da￾lam metodologinya ia menggunakan semiotika dan hermeneutika. 

Dengan dua alat bedah inilah kemudian ia me nyimpulkan bahwa 

Al-Qur’an adalah Cultural Product, al-Muntaj al-Saqafi atau pro￾duk budaya.

Isu yang dilontarkan oleh Abu Zayd ini harus diakui cu kup kontro￾versial. Seakan menantang kesepakatan umum di kalangan umat 

Islam akan sakralitas eksistensi Al-Qur’an ia menyatakan bahwa 

Al-Qur’an yang ada di hadapan kita saat ini adalah produk bu￾daya. Tentu saja pernyataan se macam ini meng undang reaksi 

yang tidak ringan, bahkan demi pandangan nya ini Abu Zayd harus 

menanggung resiko dicerai kan dari isterinya sebagai konsekuensi 

dari pemurtadan yang ditimpakan atas dirinya.

Dasar pemikiran Abu Zayd sebelum menyimpulkan status 

Al-Qur’an ini sebenarnya adalah pembagiannya terhadap dua 

fase teks Al-Qur’an yang menggambarkan dialektika teks dengan 

realitas sosial-budayanya:

1. Fase ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkons￾truksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang 

melatarinya, dimana aspek kebahasaan merupakan salah 

satu bagiannya. Fase inilah yang kemudian disebut peri￾ode keterbentukan (marhalah al-tasyakkul) yang meng￾gambarkan teks Al-Qur’an sebagai “produk kebudayaan”

2. Fase ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkons￾truksiulang sistem budayanya, yaitu dengan mencipta kan 

sistem kebahasaan khusus yang berbeda dengan ba￾hasa induknya dan kemudian memunculkan pengaruh 

dalam sistem kebudayaannya. Dalam fase ini, Abu Zayd 

menyebutnya sebagai periode pembentukan (Marhalah 

al-Tasykil). Teks yang semula merupa kan produk ke￾budayaan, kini berubah menjadi produsen kebudayaan


Al-Qur’an ketika diwahyukan Allah kepada Muhammad ten￾tu memakai bahasa yang dapat dimengerti oleh umat dimana ia 

diturunkan. Sehubungan dengan proses pewahyuan Al-Qur’an 

yang berlangsung di Arab, maka dia menggunakan bahasa Arab 

sebagai pengantar makna yang terkandung dalam teks ke tuhan￾an. Untuk itu, pemahaman Al-Qur’an sebagai teks Al-Qur’an tidak 

dapat dipisahkan dari masyarakat dan peradaban bangsa Arab. 

Ringkasnya, Al-Qur’an yang kita lihat dan kita baca sekarang 

merupakan teks budaya yang dipengaruhi oleh perkem bang￾an peradaban Arab pada saat itu (Marhalah al-tasyakkul), dan 

selanjut nya teks ini berfungsi menuntun menuju satu budaya yang 

baru, yaitu budaya Islam (Marhalah al-tasykil).

Pada hakikatnya dengan konsepnya ini Abu Zayd ingin 

mengatakan bahwa ketika diwahyukan kepada Muhammad yang 

hidup di Jazirah Arab dengan segala budaya dan tradisinya, itu 

berarti Al-Qur’an memasuki wilayah kesejarahan manusia, dan 

ketika ia memasuki wilayah kesejarahan manusia, maka merupakan 

keniscayaan bagi Al-Qur’an untuk memakai struktur tata-bahasa 

dan tata-budaya Arab untuk menyampaikan misi Risalahnya melalui 

Muhammad. Namun pada kenyataannya pernyataan Abu Zayd ini 

malah mengundang berbagai serangan terhadap diri nya. Diantara 

yang menjadi bahan ‘serangan’ terhadap Abu Zayd adalah per￾nyataannya dalam salah satu kitabnya, Naqd Khitab ad-Diny,

bahwa begitu wahyu diturunkan pertama kali, maka ia berubah 

status dari sebuah teks ketuhanan (nash Ilahi) menjadi teks ma￾nusiawi (nash Insani), karena begitu masuk kesejarahan manusia, 

maka ia berubah dari wahyu (tanzil) menjadi sebuah pemaha￾man dan penafsiran (ta’wil). Orang pertama yang me lakukan pe￾rubahan dari tanzil menjadi ta’wil ini tentu saja adalah rasul sendi￾ri, sehing ga harus dipilah tegas perbdaaan antara pemahaman 

Rasul tentang teks dan sifat dasar teks tersebut yang merupakan 

wahyu Tuhan;2

 padahal Al-Qur’an yang sampai kepada kita saat ini 

jelas melalui Rasulullah Muhammad. Dengan pernyataan nya inilah 

kemudian Abu Zayd dituduh mengingkari aspek ketuhanan Al￾Qur’an dan menganggapnya sebagai teks manusia.

Memahami Aspek-aspek keberadaan Al-Qur’an

Perdebatan tentang status Al-Qur’an sebenarnya bukan per￾debatan yang baru. Perdebatan serupa ini dapat dibandingkan 

dengan perdebatan yang terjadi di kalangan mutakallim klasik 

tentang apakah Al-Qur’an itu Qadim ataukah Baru. Perdebatan 

klasik ini bahkan melahirkan sebuah fenomena memilukan, yaitu 

mihnah oleh kelompok Mu’tazilah yang didukung penguasa un￾tuk memaksakan pandangannya bahwa Al-Qur’an itu Baru atau 

makhluk.

Sebelum menetapkan keberpihakan dan memberikan judge￾ment tentang pandangan siapa yang benar dan salah dalam per￾soalan ini, ada baik nya untuk melihat porsi dan proporsi persoalan 

tentang status Al-Qur’an ini se benarnya. Al-Qur’an yang sekarang 

ada di tangan umat Islam adalah sebentuk mushaf yang sudah 

tertib terkodifikasi dan bahkan untuk saat ini bisa dicetak dalam 

jumlah jutaan diatas kertas dan tinta. Apabila melihat kenyata an 

semacam ini, dan kemudian dikaitkan dengan berbagai argu￾men, baik historis, fenomenologis, maupun naqly, tentang status 

keberadaan Al-Qur’an ini, maka dapat dikatakan setidaknya Al￾Qur’an memiliki beberapa aspek:

Ketika Al-Qur’an masih berupa Kalamullah murni yang be￾lum diwahyukan.

1. Ketika Al-Qur’an diwahyukan secara verbatim oleh Allah 

kepadaMuhammad dan untuk selanjutnya Muhammad 

menyam paikannya juga secara verbatim kepada umat￾nya.

2. Ketika Muhammad, generasi awal yang dilanjutkan de ngan 

gene rasi-generasi selanjutnya memahami dan meng aplikasi -

kan nilai-nilai ajaran Al-Qur’an dalam praksis nyata ke￾hidupan.

3. Ketika Al-Qur’an mewujud dalam sebentuk naskah tertulis 

dalam bahasa Arab yang dikodifikasi, diperbanyak de￾ngan kertas dan tinta; lalu dibaca dan di pahami oleh 

Umat Islam seluruh dunia.

Pada level pertama, yaitu ketika Al-Qur’an masih berupa 

Kalamullah yang murni dan belum diwahyukan, jelas tidak ada 

seorang pun yang mampu mengaksesnya. Nilai sakralitas Al￾Qur’an pada dataran ini tidak perlu diragukan lagi, meskipun tidak 

seorang pun mampu menjangkau nya. Pada level pertama ini hanya 

Allah yang tahu apa dan bagaimana nya.

Pada level kedua, yaitu ketika Al-Qur’an diwahyukan se￾cara verbatim kepada Muhammad dan Muhammad kemudian 

menyampai kannya kepada ummat nya, ada beberapa hal yang 

perlu diperhatikan. Ketika Allah me wahyukan kepada Muhammad 

tentu saja Allah memakai bahasa, idiom, logika yang bisa di￾pahami oleh Muhammad agar wahyu bisa dipahami maksudnya 

oleh Muhammad. Dan karena yang mendapat wahyu ini adalah 

se orang Arab, maka media yang dipakai oleh Allah adalah bahasa 

Arab dan juga struktur logis informasi yang bisa dipahami dalam 

konteks budaya Arab. Kenyataan bahwa Al-Qur’an diturunkan di 

Arab dan memakai bahasa serta logika Arab tentunya tidak harus 

mengimplikasikan muatan pesan yang disampaikan hanya bernilai 

lokal dan tidak bisa diaplikasikan untuk konteks yang berbeda. 

Di sisi lain, meskipun memakai wahana bahasa Arab dan logika 

budaya Arab, tidak kemudian sakralitas Al-Qur’an dianggap turun. 

Sakralitas Al-Qur’an ini tentunya lebih terletak dalam muatan pesan 

yang disampaikan dan juga sumber pesan itu sendiri, yaitu Allah.

Selanjutnya, Muhammad menyampaikan apa yang diterima￾nya kepada umatnya, juga secara verbatim, sebagaimana diyakini 

oleh Jumhur umat Islam. Karena disampaikan secara verbatim, maka untuk ini sebenarnya Muhammad tidak melakukan peruba￾han apa-apa, termasuk perubahan hasil pemahamannya sendiri. 

Dalam hal ini posisi Muhammad dapat diibaratkan seperti speak￾er yang akan berbunyi sesuai dengan suara yang masuk pada 

diri nya. Dalam hal ini tidak perlu ada ke khawatiran bahwa umatnya 

tidak mampu memahami apa yang disampaikan oleh Muhammad 

kalau Muhammad tidak ‘mengolah nya’ terlebih dahulu untuk 

menyesuaikan dengan pemahaman masyarakatnya, karena sejak 

awal Allah pasti lebih tahu kondisi masyarakat yang akan menjadi 

audiens pertama bagi wahyu dan kemudian menurunkan wahyu 

sesuai de ngan konteks masyarakat penerimanya. Dari titik ini ter￾lihat bahwa ungkapan wahyu yang disampaikan oleh Muhammad 

kepada umatnya masih bernilai sakral karena Muhammad ‘belum’ 

melakukan intervensi selain bahwabahasa Muhammad (bahasa 

Arab) dan logika budaya Muhammad (logika budaya Arab) “di￾pinjam” oleh Allah sebagai media untuk membumi kan wahyunya.

Namun pada level ketiga, ketika Muhammad dan Ummatnya 

memahami dan menjalankan pesan-pesan Al-Qur’an, maka pe￾mahaman dan apli kasi mereka ini tidak bernilai sakral sebagaimana 

Al-Qur’an yang sakral. Pemahaman dan pelaksanaan tersebut pasti 

sangat dipengaruhi oleh konteks hidup orang-orang yang melaku￾kan pemahaman dan aplikasi. Muhammad sebagai pengemban 

Risalah juga termasuk disini, karena selain kedudukannya se￾bagai Rasul yang memiliki amanah menyampaikan Risalah tanpa 

manipulasi, ia juga manusia biasa, seorang muslim yang terkena 

khitab Al-Qur’an. Pada dataran ini tentu saja aplikasi nilai-nilai Al￾Qur’an oleh Muhammad tidak bernilai sakral sebagaimana sakral￾itas Al-Qur’an, meskipun pernyataan “tidak sakral” ini tidak kemu￾dian harus diterjemahkan bahwa hasil pemahaman dan perilaku 

Muhammad “jangan diikuti”, karena selain keyakinan umat Islam 

bahwa peri laku Muhammad akan selalu mendapat kontrol dari￾Nya, jelas Muhammadlah mendapatkan wahyu, sehingga pas￾ti dia adalah orang yang lebih memahami maksud pesan wa￾hyu dibandingkan yang lain. Oleh karena itu, mengikuti perilaku 

Muhammad dalam menerjemahkan pesan Al-Qur’an merupakan 

sesuatu yang logis, khususnya dalam tata hubungan vertikal de￾ngan Allah. Meskipun demikian, tetap saja harus disadari aspek￾aspek historis kehidupan Muhammad dan aspek-aspek normatif 

universal ajaran Islamnya. (tentang kedudukan Muhammad di ha￾dapan Al-Qur’an ini bisa dilihat dalam bab 6 dari buku ini) 

Sementara itu pada level keempat, yakni Al-Qur’an yang se￾karang ada di hadapan kita, yang dicetak di penerbitan de ngan ker￾tas dan tinta serta dijilid rapi berbentuk ‘buku’; maka kertas, tinta dan 

jilidan tersebut tidak bernilai sakral. Namun itu tidak berarti orang 

bisa bersikap sembarangan terhadap ‘benda’ yang bernama Al￾Qur’an itu, karena dibalik benda tersebut terkandung Kalamullah, wahyu langsung dari Allah. Hal ini bisa dianalogikan —meskipun 

mungkin terlalu kasar— dengan surat cinta yang berasal dari sang 

kekasih. Kertas dan tinta yang tergores diatasnya adalah kertas 

dan tinta yang bisa dijumpai dimana-mana, namun surat cin￾ta tersebut sangat bernilai dan ‘disakralkan’ oleh yang memiliki￾nya karena didalamnya terkandung ungkapan hati sang kekasih. 

Meskipun demikian, penghargaan yang belebihan pada kertas 

dan tinta surat cinta tersebut yang sampai melebihi pengharga an 

ter hadap pesan dan ungkapan hati yang terkandung di dalam￾nya, tentunya dapat dikatakan sebagai sebuah sikap yang tidak 

selayaknya.

Dari empat tataran ini mungkin dapat dipetakan kembali 

pada dataran mana Al-Qur’an itu merupakan produk budaya dan 

pada dataran mana dia merupakan ‘produk ketuhanan’. Pada level 

pertama jelas Kalamullah adalah bersifat ‘murni ilahiah’ sehingga 

tidak diragukan lagi sifat ketuhanannya. Pada level kedua-pun 

mungkin agak susah untuk menyebut bahwa Al-Qur’an itu pro￾duk budaya, sebagaimana pandangan Abu Zayd. Tidak sebagai￾mana asumsi Abu Zayd, sebenarnya variabel budaya yang terlibat 

dalam level ini lebih sekedar ‘dipinjam’ untuk memunculkan ide￾ide ketuhanan (Kalamullah). Paling jauh mungkin bisa dikatakan 

bahwa Kalamullah memakai media variabel budaya, dan bukan￾nya diproduksi oleh variabel budaya.3

 Sementara itu pada level 

ketiga dan keempat tidak bisa dipungkiri bahwa pada dataran 

lahiriahnya, yaitu ketika umat Islam mengejawantahkan pesan Al￾Qur’an dalam kehidupan nyata dan ketika Al-Qur’an dikodifikasi 

dan diter bitkan melalui kertas dan tinta, maka ekspresi perilaku 

dan hasil terbitan Al-Qur’an tersebut adalah produk budaya.

Betapapun aneh dan kontroversialnya sebuah isu, namun 

sering kali isu tersebut membawa sebuah kesadaran dan ‘pen￾cerahan’ baru. Kesadaran tersebut biasanya muncul karena 

bereaksi terhadap lontaran- lontaran isu yang kontroversial terse￾but. Dengan lontaran-lontaran isu tersebut seringkali orang di paksa 

untuk melihat, mencermati, menganalisis, mengkritisi dan bahkan 

merumuskan kembali keyakinan-keyakinan dan pemahaman lama 

yang sekian lama dibiarkan begitu saja dan dipandang sebagai 

pasti benar. Demikianlah kiranya yang terjadi dengan lontaran isu 

dari Abu Zayd ini.

Kegelisahan Abu Zayd bahwa seringkali terjadi manipulasi 

teks yang dilakukan umat Islam demi mendapatkan legitimasi atas 

berbagai ke pentingan politis dan otoritarianistik, seharusnya juga 

menjadi kegelisahansemua umat Islam, karena hal semacam itu 

telah menjadi maklum di kalangan umat Islam. Sakralisasi yang 

berlebihan dan tidak pada tempat nya yang meng atas namakan 

aga ma dan kitab suci sudah seharusnya mulai dikritisi, demi dina￾mika yang sehat dalam peradaban Islam sendiri.

Pembacaan Kontekstual: Menuju Gender Equality

Bahasa Arab mempunyai peran yang sangat besar dalam 

kehidupan Muslim di berbagai belahan dunia. Didukung dengan 

beberapa doktrin ajaran Islam, bahasa Arab terus mempengaruhi 

masyarakat Muslim di berbagai tempat. Misalnya doktrin bahwa 

al-Qur’an harus ditulis dan dibaca dalam bahasa aslinya (bahasa 

Arab). Terjemahan al-Qur’an dipandang sebagai sesuatu di luar 

al-Qur’an itu sendiri. Hal ini berbeda dengan Injil di mana ia justru 

harus diterjemahkan ke berbagai bahasa tanpa menyertakan teks 

aslinya. 

Doktrin pendukung lainnya adalah berbagai ucapan ritual 

ibadah hanya dianggap sah jika dilakukan dalam bahasa Arab. 

Tidak heran jika doktrin-doktrin seperti ini telah memacu motiva￾si masyarakat Muslim untuk mempelajari dan menguasai bahasa 

Arab sejak dini agar kelak menjadi Muslim yang baik. Al-Qur’an 

bahkan tidak hanya dipelajari cara membacanya, tetapi juga di￾hafalkan kata perkata secara utuh.

Bias Gender dalam Bahasa Arab

Bahasa erat kaitannya dengan kegiatan berpikir sehingga 

sistem bahasa yang berbeda akan melahirkan pola pikir yang 

berbeda pula.4

 Oleh karena itu pengaruh bahasa Arab pada ber￾bagai bahasa masyarakat non Arab berarti pula pengaruh dalam 

cara berpikir dan cara bersikap masyarakat Muslim di seluruh 

dunia. Hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat Muslim 

untuk memahami segala sesuatu yang Islami (sesuai dengan 

Islam) dengan Arabi (sesuai dengan Arab). Menjadi Muslim yang 

menyeluruh (kaffah) seringkali diekspresikan dengan menjadi 

orang Arab dengan berbagai artibutnya seperti bergamis, ber￾sorban, berjenggot, berjubah, berjilbab, bernama Arab, bermusik 

padang pasir, dan lain sebagainya.

Sebagaimana bahasa lainnya, bahasa Arab tersusun dalam 

sistem simbolik. Kosa kata yang dipakai dalam bahasa adalah 

simbol bagi makna yang berada di baliknya.5

 Ibarat kata adalah 

sebuah badan, maka makna adalah ruhnya.6

 Karena itu sebuah 

kata hanya akan berfungsi sebagai simbol jika tidak dipisahkan 

dari konsep maknanya. Kosa kata apapun tidak akan berfung￾si sebagai sebuah simbol bagi seseorang yang tidak menge￾tahui maknanya. Bahasa Arab yang dipakai al-Qur’an misalnya, 

tidak akan berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan ilahi bagi 

siapa pun yang tidak mengerti bahasa Arab. Karena itu betapapun 

tingginya nilai sastra al-Qur’an, berhadapan dengan mereka, al￾Qur’an tidak dapat menyampaikan satu pesan pun.

Sistem simbolik bahasa Arab yang disandarkan pada ke￾hidupan masyarakat Arab berarti pula bahwa bahasa Arab sangat 

berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat Arab. Pamakaian 

bahasa Arab oleh al-Qur’an menunjukkan bahwa simbol bahasa 

al-Qur’an sangat terkait pada budaya bahasa Arab. Keterkaitan 

ini terlihat jelas pada pemakaian kosa-kata bahasa Arab yang 

hanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat Arab. Lebih 

jauh lagi, keterkaitan bahasa al-Qur’an dengan budaya Arab di￾tunjukkan dalam transformasi pesan-pesan ilahi melalui budaya 

masyarakat Arab.

Bahasa Arab yang telah menjadi bahasa umat Islam ini me￾ngandung bias gender yang berpengaruh pada proses tekstuali￾sa si firman Allah dalam bentuk al-Qur’an. Bias tersebut tercermin 

dalam tata bahasa Arab seperti setiap nama (isim) dalam bahasa 

Arab selalu berjenis kelamin (mudzakkar atau mu’annats), bisa 

secara hakiki maupun majazi. Sebagaimana seseorang tidak bisa 

mengabaikan kelas sosial ketika berbicara bahasa Jawa, aturan 

di atas menyebabkan seseorang tidak bisa menghindari klasifika￾si laki-laki dan perempuan dalam berbahasa Arab karena dalam 

bahasa ini tidak ada nama yang netral.

Sebagai pemakai bahasa Arab, teks al-Qur’an juga meng￾ikuti ketentuan ini sehingga Allah sebagai Dzat yang tidak ber￾jenis kelamin pun mempunyai nama yang berjenis kelamin, yaitu 

mudzakkar (laki-laki) sehingga memakai kata kerja laki-laki (fi’il 

mudzakkar), sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut ini:

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang 

menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, 

kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk 

mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang 

akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin￾Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan 

kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu 

tidak mengambil pelajaran?” (QS. Yunus: 3).

Ketentuan lain dalam tata bahasa Arab yang mengandung 

bias gender adalah isim muannats (nama untuk perempuan) cu￾kup dibentuk hanya dengan cara menambahkan satu huruf (ta’ -Qur’an 

marbuthoh) pada nama atau isim yang telah ada bagi laki-laki, 

seperti kata ustadzah (guru perempuan) yang dibentuk dari kata 

ustadz (guru laki-laki), muslimah dari muslim, dan lain-lain. Tata 

bahasa ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab ter￾hadap eksistensi perempuan sebagai bagian (sangat kecil?) dari 

eksistensi laki-laki. 

Pengaruh cara pandang yang mengabaikan eksistensi pe￾rempuan ini dalam al-Qur’an dapat dilihat pada ayat tentang wudlu

sebagai berikut: 

“Hai orang-orang yang beriman, apabi￾la kamu hendak mengerjakan shalat, maka ba￾suhlah mukamu dan tanganmu sampai de ngan 

siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) ka￾kimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika 

kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit 

atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat 

buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, 

lalu kamu tidak memperoleh air, maka ber￾tayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); 

sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah 

itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, teta￾pi Dia hendak membersihkan kamu dan me￾nyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya 

kamu bersyukur. (QS. al-Maidah: 6)”.

Ayat tersebut sangat jelas sedang berbicara hanya pada 

laki-laki karena ayat tersebut secara jelas pula menyebutkan 

menyentuh perempuan (dengan segala konotasinya) sebagai hal 

yang menyebabkan batalnya “kesucian” laki-laki. Tidak ada satu 

ulama fiqh pun yang mengambil kesimpulan dari ayat di atas bah￾wasanya perempuan menyentuh perempuan dapat membatalkan 

wudlu. Jadi, eksistensi perempuan pada ayat di atas tidak ada dan 

ketentuan untuk perempuan pun cukup diturunkan dari ketentuan 

laki-laki.Tata bahasa Arab lainnya yang mengandung bias gender 

adalah kata benda plural (jama’) untuk sekelompok perempuan 

adalah kata plural laki-laki (jama mudazkkar) meskipun di da￾lamnya hanya ditemukan satu orang laki-laki. Satu grup perem￾puan, baik berjumlah seribu, sejuta, semilyar, bahkan lebih, akan 

menggunakan kata ganti jama mudzakkar (laki-laki) hanya karena 

adanya satu orang laki-laki di antara lautan perempuan tersebut. 

Hal ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab bahwa satu 

kehadiran laki-laki lebih penting daripada keberadaan ba nyak pe￾rempuan, berarapa pun jumlahnya.7

Sebagai pemakai bahasa Arab, al-Qur’an juga mengikuti 

ketentuan ini sehingga dalam menyampaikan sebuah pesan yang 

ditujukan kepada umat secara umum, baik laki-laki atau perempuan, 

al-Qur’an menggunakan jenis kata laki-laki. Beberapa contohayat 

dapat disebutkan di sini:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan 

atas kamu berpuasa sebagaimana di wajibkan 

atas orang-orang sebelum kamu agar kamu 

bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. 

Dan apa-apa yang kamu usahakan dari ke￾baikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat 

pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah 

maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan” 

(QS. Al-Baqarah: 110).

Maskulinitas ayat-ayat di atas terletak pada penggunaan 

kata-kata yang dicetak miring. Kata ganti orang kum (kalian), kata 

sambung alladhina (orang-orang yang), kata kerja aamanuu, tat￾taquun, aqiimuu, aatuu, tuqoddimuu, tajiduu (beriman, bertakwa, 

dirikanlah, tunaikanlah, usahakan, kerjakan). Kata-kata ini da￾lam bentuk perempuannya (muannatsnya) adalah kunna, allaatii, 

aamanna, tattaqna, aqimna, aatina, tuqoddimna, tajidna. Sekalipun 

menggunakan kata bentuk mudzakkar, ayat ini jelas ditujukan 


kepada seluruh kaum muslim termasuk yang perempuan. Jika 

tidak, maka ayat-ayat di atas tidak dapat dijadikan landasan bagi 

kewajiban shalat dan zakat bagi perempuan.

Meskipun perempuan telah terwakili dengan penyebutan 

laki- aki, tetapi pada beberapa kesempatan ayat al-Qur’an meng￾gunakan gaya bahasa di mana eksistensi perempuan tidak lebur 

oleh kehadiran laki-laki. Misalnya ayat berikut ini:

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan 

yang muslim, laki-laki dan perempuan yang muk￾min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam 

ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang be￾nar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki 

dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan pe￾rempuan yang sedekah, laki-laki dan perempuan 

yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang 

memelihara kehormatannya, laki-laki dan pe￾rempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, 

Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan 

dan pahala yang besar. (QS. al-Ahzab: 35).

Bahasa Arab sesungguhnya bukan satu-satunya bahasa 

yang mengenal perbedaan gender. Bahasa Inggris mempunyai 

kata ganti she untuk perempuan dan he untuk laki-laki. Seperti 

juga dalam bahasa Arab, dominasi pria atas perempuan dalam 

masyarakat Inggris tercermin dalam istilah-istilah umum yang 

menggunakan kata laki-laki, contoh chairman dan spokesman. Ketika kesadaran persamaan hak antara laki-laki dan perempuan 

muncul di kalangan masyarakat pengguna bahasa Inggris, maka 

muncul pula kesadaran yang berbeda dalam berbahasa. Misalnya 

penggunaan kata he or she untuk menghindari penggunaan he

secara berlebihan, dan perubahan istilah-istilah maskulin sema￾cam chairman dan spokesman menjadi kata yang lebih netral 

seperti chairperson dan spokesperson. Kesadaran semacam ini 

tidak ditemukan dalam diskursus Arab.

Tata-bahasa Arab yang mengandung bias gender ini mere￾fleksikan budaya dan sikap masyarakat Arab terhadap perem￾puan. Pada masa turunnya al-Qur’an, kehadiran anak perempuan 

dapat mengancam kehormatan sebuah keluarga Arab sehing￾ga penguburan bayi perempuan hidup-hidup juga ditempuh un￾tuk menutupi malu.9

 Penguburan ini ditempuh karena masyarakat 

belum mengenal aborsi. Nilai perempuan tak lebih dari barang 

yang dapat dijual dan diwariskan.10 Di samping itu, laki-laki dapat 

mengawini perempuan dalam jumlah tak terbatas pada saat yang 

sama, menceraikan mereka, merujuk lagi kapan saja dan bera￾pa kalipun laki-laki menghendaki.11 Tidak jarang perempuan di￾pandang seperti setan yang harus dijauhi.12

Gender Quality

Dalam tradisi umat beragama, teks selalu menempati posisi 

sentral. Teks senantiasa menjadi rujukan utama bagi laku ber￾agama mereka. Ia kerap berfungsi sebagai hakim atas problema￾tika yang dihadapi. Ikhwal ini karena teks bukanlah hanya berupa 

lembaran-lembaran kertas, tapi juga berarti orisinalitas dan oten￾tisitas. Teks dianggap memiliki otoritas (autorithy) yang mutlak 

untuk mengadili para pembangkang teks karena pengarangnya 

(the author) adalah Tuhan atau Nabi. Tidak heran bila teks kemu￾dian mampu menentukan langgam serta gaya hidup (life style) 

umat beragama. Pada aras ini, teks telah menjadi ikon pemben￾tuk peradaban dan budaya masyarakat. Peradaban Arab-Islam mi￾sal nya sering disebut dengan peradaban teks. Karenanya, untuk 

meng atasi roblem itu, Nasr Hamid menerapkan analisa linguistik 

sebagai pilihan untuk memahami konsep teks, dikarenakan teks 

tersebut terbentuk selama lebih dari 20 tahun.13

Dalam membaca al-Qur’an, Nasr Hamid berseru agar meng￾ambil posisi yang benar. Sebagai pembaca, kita mesti sadar akan 

ideologi dan subyektifitas diri kita sendiri, sehingga tidak mu￾dah terjerembab pada sikap pemutlakan. Seorang pembaca ti￾dak dibenarkan bertindak sewenang-wenang dalam memaknai 

sebuah teks, umpamanya dengan mensubordinasi teks ke da￾lam kehendak-kehendak si pembaca. Hubungan antara teks dan 

pembaca tak terpisahkan. Selalu ada jalinan yang dialektis an￾tara teks dan pembaca. Bagi Nasr Hamid, relasi antara teks dan 

pembaca bersifat dialektis (jadaliyah), bukan penundukan (ikh￾dha’). Dengan cara ini, subyektivisme dalam proses pemaknaan 

di harapkan dapat diminimalisasi.14

Nasr Hamid sangat menekankan aspek desakralisasi teks 

Al-Qur’an ketika bersentuhan dengan bumi dan pemahaman akal 

manusia. Bahkan dalam perjalanannya justru aspek historisitas 

manusialah yang akan mengkonstruksi teks. Bagi Nasr Hamid, 

teks Al-Qur’an yang sakral itu ada di level metafisis dan oleh ka￾rena itu di luar jangkauan manusia. Tidak ada yang dapat dipahami 

darinya kecuali apa yang telah jelas ditegaskan oleh teks secara 

tersurat dan sesuai dengan kenisbian manusia. Teks Al-Qur’an 

menurut Nasr, sejak diturunkannya pertama kali yang kemudian 

dibaca oleh Rasul sebagai wahyu, telah otomatis berubah secara 

kualitatif dari teks Ilahi menuju teks pemahaman insani. Dalam 

terminologi terkaan Nasr Hamid, dari tanzil berubah menjadi tak￾wil. Lebih jauh lagi dengan berani Nasr Hamid berteori bahwa 

pemahaman Nabi Muhammad Saw atas Al-Qur’an hanyalah se￾batas periode awal gerakan teks Al-Qur’an dalam intensitas per￾gumulannya dengan akal manusia.

Penekanan terhadap desakralisasi al-Qur’an ini sangat pen￾ting dilakukan untuk mewujudkan pembaruan hukum Islam. Untuk itu, Nasr Hamid melakukan eksperimentasi “metode pembacaan 

kontekstual” (manhaj al-qira’ah al-siyaqiyyah) dalam ayat-ayat 

gender, yang menurutnya, lebih berguna dan efektif dari pada 

metode istinbath fikih tradisional yang mengandalkan mekanisme 

qiyas (memindahkan hukum dari asal ke cabangnya atas dasar 

kesamaan illat).

Metode ini bukan hal yang sama sekali baru, dalam penger￾tian bahwa ia merupakan pengembangan dari metode-metode 

ushul fiqh tradisional pada satu sisi, dan kelanjutan dari ker￾ja keras para pendukung kebangkitan Islam—khususnya Imam 

Muhammad Abduh dan Syekh Amin al-Khuli—pada sisi yang lain. 

Ulama ushul menerapkan aturan-aturan ulum al-Qur’an (khusus￾nya ilmu asbab al-nuzul dan ilmu nasikh dan mansukh) hingga 

aspek aturan-aturan ilmu kebahasaan (linguistik) sebagai perang￾kat pokok untuk interpretasi, menghasilkan dan melakukan istin￾bath hukum dari teks. Perangkat-perangkat ini merupakan bagian 

terpenting dari sarana metode pembacaan kontekstual.15

Berbeda dengan Farid Esack, Asghar Ali Engineer, Hassan 

Hanafi, dan lain-lain, Nasr Hamid masih meyakini adanya makna 

obyektif di balik suatu teks. Baginya, makna obyektif yang bersem￾bunyi di balik teks-teks al-Qur’an, mungkin ditemukan setelah pro￾ses obyektifikasi melalui piranti hermeneutika. Ia meng usulkan agar 

hermeneutika selalu berpijak pada pemilahan yang tegas antara 

makna kesejarahan suatu teks (al-ma’nat tarikhi) dan signifikan￾si atau interpretasi baru yang ditarik dari makna kesejarahan￾obyektif tersebut. Menurutnya, makna historis itulah yang pertama￾tama harus diungkap seorang penafsir, de ngan pembacaan pada 

struktur internal dan dimensi historis (al-bu’dut tarikh) teks terse￾but. Setelah itu, baru dilakukan penafsiran yang mungkin men￾jawab problem-problem kehidupan masa kini. Metode tafsir ini 

memungkinkan al-Qur’an terbuka untuk makna- makna yang baru 

(qabil litajaddudil fahm)

Artinya, jika ulama ushul menekankan pentingnya asbab 

al-nuzul untuk memahami suatu makna, maka pembaacaan 

konteks tual melihat permasalahan dari sudut pandang yang le￾bih luas, yakni keseluruhan konteks sosial-historis (abad ke 7) 

turunnya wahyu, karena melalui konteks itulah seorang dapat me￾nentukan, misalnya dalam dalam bingkai hukum dan syariah, an￾tara otentisitas wahyu dengan adat-adat dan kebiasaan-kebiasaan 

keagamaan atau sosial pra-Islam.

Jika ulama ushul berpendapat, bahwa asbab al-nuzul bukan 

berarti temporalitas (waqtiyyah) hukum dan tidak terbatas sebagai 

suatu sebab sehingga mereka meletakkan kaidah “memegangi 

keumuman lafadz bukan kekhususan sebab (al-ibrah bi al-umum 

al-lafadz la bi al-khusus al-sabab), maka pembacaan konteks￾tual membuat perbedaan antara “makna” historis yang diperoleh 

dari suatu konteks pada satu sisi, dan “signifikansi” (al-magza) 

yang diindikasikan oleh makna dalam konteks sosio-historis pe￾nafsiran pada sisi yang lain. Pembedaan ini sangat penting asalkan 

signifi kansi tersebut muncul dari makna itu dan berkaitan secara 

kuat, seperti keterikatan akibat dengan sebab, dan signifikansi itu 

bukan lah ekspresi hawa nafsu penafsir, bukan pula pelompatan 

makna ataupun penjatuhannya.17

Proses kreatif inilah yang dinamakan proses pengembalian 

makna asli wacana melalui rekonstruksi konteks historis 14 abad 

silam. Sehingga secara latah kita mengelabui banyak orang bah￾wa semua hal yang disinggung Al-Qur’an tentang wanita adalah 

tasyri’ padahal bukan. Dengan pemilahan antara “makna” dan 

“signifikansi”, teks primer dan sekunder, yang terkait hukum pem￾bagian waris bagi perempun, misalnya, bagi Nasr Hamid, melalui 

tahap-tahap yang tidak teratur dan tumpang tindih satu sama 

lain. “Makna”: ditafsirkan oleh Nasr Hamid secara bebas dan ti￾dak ditunjuk sama sekali oleh teks mantuq-nya. Makna bagian 

waris perempuan 1/2 dari laki-laki adalah: laki-laki tidak boleh 

diberikan jatah waris lebih dari dua kali lipat bagian perempuan, 

dan perempuan tidak boleh diberikan jatah waris kurang dari 1/2 

bagian laki-laki. “Signifikansi”: gender equality adalah salah satu 

tujuan dasar tasyri’.18

Menurut Nasr Hamid, sebelum kedatangan Islam di Jazirah 

Arab pada abad ke 7 M, wanita tidak mendapatkan harta waris 

sedikitpun, karena sistem peraturan masyarakat menganut sistem 

patriarkal. Anak laki-laki tertua mewarisi semua harta peninggalan. 

Kemudian Islam merubah aturan ini (QS. Al-Nisa’: 11). Menurut 

Nasr Hamid, ayat itu menekankan terjadinya perubahan dalam 

hukum masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta 

warisan. Substansi arahannya adalah prinsip keadilan (justice).

Namun sebenarnya, bila dicermati secara mendalam, ayat 

di atas justru menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum 

laki-laki (limiting the rights of men). Sebab pada ayat di atas (QS. 

Al-Nisa’: 11), penyebutannya jelas mendahulukan kata li al-dza￾kari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li untsayayni mitslu hazhi 

al-dzakari (bagian dua orang anak perempuan sama de ngan 

bagian seorang anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang meng￾awali perempuan tersebut, berarti bahwa al-Qur’an menyibukkan 

dirinya dengan pembatasan bagian harta waris untuk laki-laki. 

Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum laki-laki mewarisi semua 

harta pe ninggalan, tanpa batas.19 Maka Nasr Hamid menyimpul￾kan, sebenar nya al-Qur’an—secara perlahan dan pasti—cend￾erung mengarah pada kesamaan antara perempuan dan laki-laki, 

khususnya pada kesamaan bagian harta peninggalan. 

Kesimpulan Nasr Hamid tersebut tentunya adalah sebuah 

konsekuensi logis dari pendekatan yang dianutnya, yaitu konteks 

historis (historical context)—sebagaiman telah disinggung di atas. 

Di mana dia selalu menghubungkan semua aspek hukum yang 

disebutkan dalam al-Qur’an berkenaan dengan kondisi sosio￾kultural masyarakat Arab pada abad 7 M, seperti halnya saat dia 

menafsiran ayat-ayat hudud (jenis hukum kriminal).

Teks-teks persamaan religius serta humanitas laki-laki dan 

perempuan adalah teks yang bersifat final dan mengikat (qath’i). 

Dengan demikian teks-teks itu mengizinkan mujtahid untuk me￾netapkan bahwa gender equality antara laki-laki dan perempuan 

tidak melanggar batasan dan ketetapan Allah Swt. Ijtihad atas 

dasar pemikiran di atas, keharusan pemerataan jatah bagian waris 

laki-laki dan perempuan dengan pertimbangan realitas kontem￾porer yang mengharuskan demikian. 

Bagi Nasr Hamid, tidak bisa diterima ijtihad berhenti pada 

batas yang ditentukan oleh wahyu karena jika tidak demikian 

maka klaim kecocokan Islam di segala tempat dan waktu akan 

gugur dan jurang pemisah antara realitas yang terus berubah dan 

teks-teks yang dipahami secara harfiah oleh diskursus agama 

kontemporer semakin menganga lebar. Istidlal dan generalisasi: 

hal itu disimpulkan oleh Nasr Hamid bahwa setiap ijtihad yang 

menghendaki terciptanya persamaan penuh (antara laki-laki dan 

perempuan) merupakan ijtihad yang mulia dan selaras dengan 

orientasi tujuan-tujuan umum tasyri’. Sedangkan ijtihad atau takwil 

yang terpaku pada cakrawala momen historis wahyu, keduanya 

terjebak ke dalam kekeliruan epistemologis terlepas dari faktor niat 

baik dan ketulusan dogma.20

Karena itu, jika batasan dan ketetapan Tuhan yang tidak 

boleh kita langgar yaitu kita tidak boleh memberikan jatah waris 

laki-laki lebih dari dua kali lipat jatah perempuan dan kita tidak 

boleh memberi perempuan kurang dari setengah jatah laki-laki, 

maka hal itu tidak melanggar ketetapan Allah Swt. Persamaan arti￾nya adalah persamaan batas maksimal laki-laki dan batas minimal 

perempuan tidak melanggar apa yang telah dibatasi Allah. Secara 

otomatis pula hal ini mencakup semua bidang fikih Islam yang 

selama ini dimaknai salah kaprah, berangkat dari gambaran nilai 

perempuan setengah nilai laki-laki dengan contoh masalah wari￾san. Masih banyak persoalan-persoalan lain yang menunjukkan 

ketimpangan dan diskriminasi gender yang dapat kita jumpai dalam 

kehidupan, seperti, relasi suami-istri, saksi, persoalan talak, dan 

lain sebagainya.

Maka sejatinya usaha reaktualisasi ijtihad yang di dengungkan 

banyak cendekiawan muslim di berbagai kawasan dunia, telah men￾jadi aksioma dalam usaha pembaharuan Islam (tajdid). Aktualisasi 

ijtihad sebagai bagian proses hermeneutis dalam sudut pan￾dang Islam terkait erat dengan teks/nash; baik ijtihad dalam arti 

reinterpretasi internal teks (berupa takwil makna nash, ‘am dan 

khash, mutlaq dan muqayyad, dan lain-lain) maupun dalam arti 

reinter pretasi dengan merujuk kepada hukum teks primer dengan 

metode qiyas, atau yang biasa dipraktikkan secara luas dalam 

koridor umum nash melalui perangkat metode qiyas, istihsan, isti￾shhab, ‘urf, dan mashlahat mursalah yang dibingkai oleh maqa￾shid syariah. Sementara itu, ijtihad yang dilontarkan Nasr Hamid adalah ijti￾had di luar koridor teks; ia bergerak linear di luar teks lewat upa￾ya pembekuan “makna” dan menghidupkan “signifikansi” yang 

liar dan terus berubah dengan menjadikan ideologi, budaya, dan 

solusi-solusi pragmatis/sosiologis sebagai pengesah dan rujukan 

utama. Atau dalam bahasa lain Nasr Hamid, ijtihad yang berangkat 

dari dialektika bottom; dari realitas menuju teks.

Dalam konteks hubungannya dengan pembelaan terhadap 

diskriminasi perempuan, Nasr Hamid oleh banyak kala ngan merupa￾kan tokoh feminis kontemporer. Bahkan Nasr Hamid menisbatkan 

dirinya sebagai feminis muslim, bukan feminis Islam, karena ia 

mengembangkan pemikirannya dari latar belakang dan pengala￾man nilai-nilai kemanusiaan, bukan dari tradisi Islam itu sendiri.



opulernya kajian hermeneutika pada beberapa dekade ter￾akhir ini telah membuka berbagai kesadaran baru di kala￾ngan umat Islam. Kesadaran baru yang dimaksud terutama 

berkenaan dengan pemahaman akan porsi dan proporsi aspek 

“normatif” dan “historis” yang terlibat dalam pemikiran dan peri￾laku keberagamaan. Lain dari itu, the rise of education yang ber￾kem bang secara signifikan di kalangan umat Islam sendiri, juga 

turut melancarkan proses munculnya berbagai kesadaran baru ini.

Meskipun di satu sisi lahirnya kesadaran baru ini memberi￾kan berbagai kontribusi positif bagi dinamika dan kematangan 

perilaku dan pemikiran Umat Islam; namun di sisi lain, kesada￾ran ini pada akhirnya juga memunculkan berbagai anomali ketika 

banyak kala ngan terpelajar tergelitik untuk mem pertanyakan kem￾bali berbagai dogma lama yang diyakini sebagai “pasti benar”. 

Kenyataan semacam ini tentu saja tergolong menggelisahkan bagi 

me reka yang selama ini sudah merasa “cukup” dengan dogma￾dogma tersebut sebagai landasan dan dasar ke beragamaan. Oleh 

karena itu, tidak mengherankan apabila dalam hal ini umat Islam 

seolah terbagai dua kubu, yaitu kubu yang ingin meng evaluasi 

dan menguji kembali berbagai dogmatika lama dan kubu yang ingin mempertahankan “status quo” keberagamaan lama yang 

sudah dianggap fixed dan pasti benar.

Diantara berbagai hal yang “dipertanyakan” kembali oleh 

para pengkaji Islam masa kini adalah persoalan hubungan antara 

Muhammad dengan Al-Qur’an. Persoalan ini sebenarnya per soal￾an klasik dan bahkan merupakan persoalan yang telah muncul 

sejak pertama kali wahyu turun. Apakah Muhammad benar-benar 

menerima wahyu? Seandainya benar, sejauh mana wahyu yang 

disampaikan oleh Muhammad tersebut ketika disampaikan— belum 

terdistorsi oleh realitas sosial-budaya dan juga psikologis kehidupan 

Muhammad? 

Fenomena turunnya wahyu dari Allah kepada Muhammad 

jelas merupa kan peristiwa subyektif yang hanya bisa diketahui 

persisnya oleh yang meng alami sendiri, yaitu Muhammad. Mereka 

yang mencoba untuk membuktikan kebenaran terjadinya peristiwa 

tersebut pasti tidak mungkin dengan cara meng akses langsung 

peristiwa peristiwa tersebut, namun hanya bisa dilakukan de￾ngan cara mengamati gejala dan dampak serta keterkaitan antara 

ber bagai variabel yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Untuk 

menge tahui benar-salahnya bahwa Muhammad menerima wahyu 

bisa diuji misalnya dari kejujuran Muhammad yang tidak pernah 

berbohong sehingga memperoleh gelar Al-Amin, Ke-ummi-an 

Muhammad yang tidak mungkin dengan usahanya sendiri bisa 

menelorkan ayat-ayat “bermutu tinggi” seperti Al-Qur’an, dan lain 

sebagainya.

Persoalan hubungan antara Muhammad dengan Al-Qur’an 

ini semakin rumit ketika kemudian dikaitkan dengan identitas 

Muhammad sendiri sebagai manusia yang lengkap dengan sega￾la atribut kemanusiaannya. Sejauh mana batas untuk me nentukan 

kapan Muhammad sebagai seorang Nabi dan Rasul yang tin￾dak dan perilakunya harus diikuti dan sejauh mana Muhammad 

adalah seorang manusia biasa yang perilaku nya kontekstual dan 

manusia wi sehingga “tidak harus” diikuti?Tulisan berikut ini mencoba untuk memetakan sejauh mana 

berba gai perspektif pernah diaplikasikan untuk menjawab perta￾nyaan-pertanyaan tentang hubungan antara Muhammad dan Al￾Qur’an ini; dan kemudian men coba mencari benang me rah dari 

berbagai alternatif jawaban yang ada dengan mempertimbangkan 

asumsi-asumsi hermeneutik.

Perdebatan Klasik tentang Kewahyuan Al-Qur’an dan 

Kenabian Muhammad

Bagi seorang muslim yang “true believer”, kebenaran Al-Qur’an 

dan penerimaan terhadapnya sebagai dasar dan pra-syarat identitas 

keislaman adalah asumsi yang tidak boleh di bantah. Percaya ke￾pada Al-Qur’an dan juga Muhammad yang mengemban amanat 

menyampaikan Al-Qur’an merupakan dua tiang utama dari rukun 

iman dalam Islam. Meskipun demikian, bukan berarti dalam Islam 

tidak dibuka sama sekali kesempatan untuk “menguji” otentisi￾tas Al-Qur’an sebagai wahyu yang berasal dari Allah. Al-Qur’an 

sendiri dalam berbagai ayatnya bahkan menantang mereka yang 

meragukan otentisitas Al-Qur’an sebagai wahyu untuk membuat 

“Al-Qur’an tandingan” yang kualitasnya sebanding de ngan Al￾Qur’an. “Kalau memang bisa, silahkan buat satu surat saja se perti 

Al-Qur’an,” demikian tantang Al-Qur’an.1

Di sisi lain, berbagai argumen juga telah banyak disusun 

dan dilontar kan oleh para ‘ulama, salaf maupun khalaf, untuk 

menunjuk kan bahwa al-Qur’an jelas merupakan wahyu Allah, 

dan tidak mungkin hasil kreasi manusia, termasuk Muhammad. 

Diantara bukti yang paling populer dan paling sering dipakai adalah 

kenyataan bahwa Muhammad adalah seorang yang ummi, sehing￾ga tidak mungkin dia mampu menciptakan ide-ide universal se￾bagaimana termaktub dalam Al-Qur’an. 

Meskipun demikian, beberapa sanggahan terhadap argumen 

ini pernah juga dilontarkan dengan menyatakan bahwa mungkin 

saja Muhammad itu Ummi dalam arti tidak mampu membaca 

dan menulis, namun dia me miliki penalaran dan kecerdasan yang 

tinggi, sehingga dengan kecerdasan dan ketajaman penalaran￾nya tersebut dimungkin kan Muhammad mampu “menciptakan” 

Al-Qur’an. Menghadapi bantahan tersebut para ‘Ulama juga tidak 

tinggal diam dengan menunjukan bukti ayat-ayat “sejarah” tentang 

masa lalu dan ayat-ayat “prediksi” tentang masa depan, dimana 

ayat-ayat semacam itu tidak mungkin bisa “di karang” begitu saja.2

Di sisi lain, para ‘Ulama juga melontarkan argumen bahwa 

tidak ada untungnya bagi Muhammad untuk menyatakan bahwa 

dia mendapat wahyu dari Allah apabila ayat-ayat tersebut merupa￾kan ciptaannya sendiri. Akan lebih menguntungkan dari aspek 

apapun bagi Muhammad untuk menisbatkan ayat-ayat tersebut 

kepada dirinya sendiri dan bukan dari Allah. Dengan menisbatkan 

kepada dirinya maka hal itu akan meng angkat kedudukannya dan 

membuat masyarakatnya tunduk ke padanya. Apalagi jika kemudi￾an terbukti bahwa tidak ada seorang pun yang mampu membuat 

tandingan terhadap ayat-ayat tersebut.3

Perdebatan tentang status Al-Qur’an ini ternyata tidak hanya 

menyibuk kan umat Islam. Berbagai kalangan terpelajar di Barat, 

khususnya kelompok orientalis, sejak abad pertengahan hingga saat 

ini, tampak nya juga “ber minat” untuk memverifikasi validitas kewa￾hyuan Al-Qur’an ini, tentunya dengan visi- misi dan kepentingan 

yang beragam.4

 Apabila diklasifikasi, secara garis besar ada dua 

kelompok besar orientalis de nganpendekatan berbeda yang men￾coba un