Tampilkan postingan dengan label ilmu tauhid 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu tauhid 4. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ilmu tauhid 4


 k akan berkurang esensinya. Sebaliknya, dengan kehadiran 

bayang-bayang (ibadah) itu, iman semakin bertambah.

Kemudian terhadap pelaku dosa besar, aliran Maturidiyah baik 

Samarkand maupun Bukhara keduanya menyatakan bahwa ia masih tetap 

sebagai mukmin, sebab  adanya keimanan dalam dirinya. Sedangkan 

balasan yang diperoleh kelak di akhirat jika meninggal tanpa taubat 

diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT.

B. Analisis Pemikiran Tentang Konsep Iman dan Kufur

Pembahasan terdahulu menunjukkan bahwa akal dan iman bagi kaum 

Mu’tazilah tidak dapat dipisahkan. Seorang mukmin harus benar-benar 

mengetahui adanya Tuhan melalui pembuktian akalnya. Oleh sebab  itu, 

iman bagi mereka tidak sekedar menyatakan bahwa yang dibawa rasul 

benar (al-tasdiq).

Mayoritas dari mereka berpandangan bahwa iman itu mencakup 

ketaatan lahir dan batin dengan mengerjakan semua yang wajib dan sunat.

Oleh sebab  itu, posisi amal menjadi sangat sentral dalam akidah mereka. 

Sehubungan dengan itu mereka tidak memandang pelaku dosa besar 

sebagai tetap mukmin. Al-Nadzdzam sendiri mengatakan, bahwa iman 

yaitu   menjauhi dosa besar.

Iman bagi mereka yaitu   ma’rifah yang dibarengi dengan amal saleh 

dalam bentuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan 

Tuhan. Amal bagi mereka merupakan syarat sahnya iman. Dalam konteks 

itulah mereka berbeda dengan kaum salaf yang lupa memasukkan amal 

dalam iman, namun amal bagi kaum salaf hanya sebagai syarat sempurnanya 

iman .

Sementara itu kaum Murji’ah dan Karamiyah berpendapat bahwa iman 

itu hanyalah tasdiq bi al-lisan, sedangkan amal tidak merupakan bagian dan 

bukan cabang dari iman. Oleh sebab  itu, dalam pandangan mereka orang 

yang mengucapkan syahadat saja, seperti orang munafik, tanpa disertai 

amal sudah sempurna imannya.

Jahm ibn Sufyan dan Abu al-Hasan al-Salihi dari kalangan Qadariyah 

mengatakan bahwa iman itu yaitu   al-makrifah bi al-qalb, yaitu pengetahuan 

dalam hati. Pendapat seperti itu membawa pengertian bahwa Fir’aun dan 

kaumnya termasuk mukmin sebab mereka mengetahui kenabian Musa dan 

Harun itu benar, meskipun mereka tidak percaya kepada keduanya. Dalam 

konteks seperti itu tampaknya pendapat kaum Qadariyah mengandung 

kelemahan.

Di dalam al-Ibanat, al-Asy’ari mengatakan bahwa iman yaitu   qaul wa 

‘amal, yazid wa yangqus.58 Jadi iman merupakan perkataan dan perbuatan, 

bertambah dan berkurang. Dengan demikian al-Asy’ari juga mementingkan 

amal. namun  di dalam Kitab al-Luma‘ ia hanya menyebutkan bahwa iman 

ialah al-tasdiq bi Allah.59 Al-Syahrastani mengatakan dalam pandangan 

al-Asy’ari qaul dan amal hanyalah cabang dari iman. Al-Syahrastani juga 

mengatakan, dalam pandangan al-Asy’ari orang yang hanya membenarkan 

dalam hati bahwa Allah itu ada, dan rasul-rasulnya datang dari sisi-Nya 

sudah sah imannya sehingga jika  ia meninggal dunia dalam keadaan 

yang demikian, ia yaitu   mukmin yang selamat.Berkaitan dengan itu ada 

pendapat yang mengatakan bahwa iman bagi kaum Asy’ariyah hanyalah 

tasdiq bi Allah, yaitu menerima sebagai benar tentang adanya Tuhan,

sedangkan amal posisinya berada di luar iman atau cabang dari iman.

Sebagaimana al-Asy’ari, al-Baqillani juga berpendapat bahwa iman 

yaitu   al-tasdiq bi Allah, yaitu mengetahui dan membenarkan dalam 

hati bahwa Allah itu ada. Menurutnya sejak sebelum al-Qur’an turun dan 

sebelum Nabi Muhammad diutus, para ahli bahasa sepakat bahwa al-iman 

yaitu   al-tasdiq, sesuai dengan bunyi salah satu ayat al-Qur’an:

 نَيقِدِاصَ اَّنُك وَْلوَ انََل نٍمِؤْمُِب تَْنأَا امَوَ

“Dan kamu sekali-kali tidak percaya kepada kami, sekalipun kami 

orang-orang yang benar. (QS. 12:17).63

Bertitik-tolak dari pandangan ini  di atas, al-Baqillani mengatakan 

bahwa iman di dalam syari’at yaitu   iman menurut bahasa Arab sesuai 

dengan :

هِمِوْقَ نِاسَلِِب �َّلِإا لٍوسُرَ نْمِ انَلْسَرْأَا امَوَ

“kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa 

kaumnya.”(QS. 14: 4).64

Al-Baqillani membedakan antara iman dan Islam dengan mengatakan 

bahwa setiap mukmin yaitu   muslim namun  tidak setiap muslim berarti 

mukmin. Menurutnya pendapat ini  sesuai dengan firman Allah :

انَمْلَسْأَا اوُلوُق نْكَِٰلوَ اونُمِؤُْت مَْل لُْق ۖ اَّنمَآا بُارَعْأَ �لْا تَِلاقَ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata Kami telah beriman, “Katakanlah 

(kepada mereka) Kamu belum beriman, namun  katakanlah kami telah 

tunduk.”(QS. 49: 14). 

Iman yaitu   manifestasi dari Islam. Sebagaimana diisyaratkan 

dalam ayat ini , Allah tidak memandang orang-orang Badui beriman, 

meskipun mereka telah mengaku beriman sebab mereka baru Islam.65

Al-Baqillani menjelaskan pertentangan iman dan kafir dengan 

membagi kafir kepada tiga macam. Pertama, kafir i’tiqadi, kafir semacam 

ini tempatnya di hati. Umpamanya meniadakan sifat-sifat Allah, dan 

orang yang berkeyakinan bahwa Allah itu nur dalam pengertian cahaya 

atau sinar, atau roh, atau jism yang duduk di atas ‘arasy. Kedua, kafir fi’il, 

seperti melemparkan al-Qur’an kedalam kotoran. Ketiga, kafir qauli 

seperti menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, baik zat, sifat, maupun 

perbuatan. Termasuk juga orang yang mendustakan isi kandungan al-

Qur’an, atau ajaran Nabi Muhammad, seperti mengatakan surga dan neraka 

itu lenyap, surga bukan kesenangan jasmaniyah dan neraka yaitu   siksaan 

ma’nawiyah atau abstrak. Demikian juga orang yang mengingkari kewajiban 

shalat, puasa, dan zakat, mengharamkan talak dan menghalalkan khamar. 

Kafir yang paling berat yaitu   orang yang mengingkari Allah.66

Pembagian kafir di atas menunjukkan bahwa dalam konsep iman yang 

dikemukakan al-Baqillani, amal tetap dipentingkan sebab menurutnya 

perbuatan dapat membawa kepada kekafiran. Pernyataan ini  

menunjukkan bahwa amal tidak lepas dari iman. Ada pengecualian didalam 

kafir qauli di atas. Orang yang hilang akal atau terpaksa, sedang hatinya tetap 

beriman tidak termasuk didalamnya. Dalam memperkuat pendapatnya itu 

ia mengemukakan argumen berdasarkan ayat al-Qur’an:

 نْكَِٰلوَ نِامَي ِإ�لْاِب ٌّنئِمَطْمُ هُبُلْقَوَ هَرِكْأُا نْمَ �َّلِإا هِِنامَيِإا دِعْبَ نْمِ هَِّللاِب رَفَكَ نْمَ

مٌيظِعَ بٌاذَعَ مْهَُلوَ هَِّللا نَمِ بٌضَغَ مْهِيْلَعَفَ ارًدْصَ رِفْكُْلاِب حَرَشَ نْمَ

“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah beriman, ia mendapat 

kemurkaan Allah, kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya 

tetap beriman, namun  orang yang melapangkan dadanya untuk 

kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang 

besar”.(QS. 16: 106).67

Selanjutnya al-Baqillani mengatakan bahwa orang yang termasuk 

di antara macam-macam kafir di atas sia-sia semua kebaikannya. Tidak 

dihitung sedikit pun, baik puasa, shalatnya dan sebagainya. Sesuai dengan 

ayat: 

هُُلمَعَ طَبِحَ دْقَفَ نِامَي ِإ�لْاِب رْفُكْيَ نْمَوَ

“Barang siapa kafir sesudah  beriman maka hapuslah amalnya.”(QS. 5:5). 

Orang yang seperti itu sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat 

tetap berdosa, meskipun ia minta ampun kepada Allah, batal nikahnya 

dengan istrinya, hubungan keduanya sesudah  kekafiran yaitu   diluar syari’at, 

ia akan diampuni Allah sesudah  memperbaharui imannya.

84 |  ILMU TAUHID

A. Teologi Islam Tentang Perbuatan Manusia dan Perbuatan 

Tuhan 

1. Aliran Qadariah dan Aliran Jabariah

Aliran Qadariah yang pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-

Juhani (w. 80 H.) bersama dengan Gailan al-Dimasyqi (w. abad VIII M.) 

mengatakan, manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya 

dengan kemauan dan tenaganya. Manusia memiliki  kebebasan dalam 

kemauan dan kebebasan dalam perbuatan.1 Di sini tidak ada  paham 

yang mengatakan bahwa nasib telah ditentukan terlebih dahulu, dan 

bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut 

nasibnya yang telah ditentukan sejak azal.2 Jadi perbuatan-perbuatan yang 

dihasilkan manusia itu lepas atau bebas dari campur tangan Tuhan, manusia 

bebas dalam kehendaknya dan bebas dalam perbuatannya.

Sebaliknya dengan aliran Jabariah yang pertama kali ditonjolkan oleh 

al-Ja’d bin al-Dirhan (w. abad VIII M.) dan kemudian disebarkan oleh Jahm 

bin Sofwan (w. 131 H.), berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan 

Tuhan dalam diri manusia, manusia tidak memiliki  kemampuan dan 

daya untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia tak ubahnya seperti 

wayang bergerak bila digerakkan oleh dalang.3 Semua perbuatan manusia 

merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya, termasuk perbuatan-

perbuatan mengerjakan kewajiban, menerima pahala dan menanggung 

siksaan.4 Oleh sebab  itu menurut Harun Nasution, manusia dikatakan 

berbuat bukan dalam arti sebenarnya, namun  dalam arti majazi atau kiasan. 

Seluruh perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan manusia, tidak 

merupakan yang timbul dari kemauannya sendiri, namun  perbuatan yang 

dipaksakan atas dirinya.

Kedua pandangan ini  di atas, yakni antara paham Qadariah 

dan paham Jabariah nampaknya bertolak belakang, ibarat dua kutub yang 

berlawanan. Disatu pihak mengakui adanya kebebasan manusia dan dipihak 

lain, Tuhan berkuasa mutlak dalam terciptanya perbuatan manusia.

2. Aliran Mu’tazilah dan Aliran Asy’ariyah.

Aliran Mu’tazilah hampir sama dengan aliran Qadariah sebab  

ada persesuaian pendapat antara keduanya. Pendapatnya yaitu   bahwa 

manusia memiliki  kekuasaan atau daya (qudrah) untuk menciptakan 

perbuatannya secara mandiri dan merdeka tanpa keterlibatan Tuhan. Para 

penganutnya meniadakan anggapan bahwa segala sesuatunya terjadi sesuai 

apa yang sudah ditetapkan (Qada dan Qadar) Allah,

Sedangkan aliran Asy’ariyah yaitu   aliran yang condong kepada 

aliran Jabariah yaitu manusia dipandang lemah, banyak tergantung kepada 

kehendak dan kekuasaan Tuhan.7 Perbuatan itu tidak terjadi dengan 

sendirinya melainkan sebab  pencipta menciptakannya.

Adapun kaum Asy’ariyah menolak konsepsi bahwa Allah melakukan 

sesuatu sebab  satu atau beberapa maksud dan tujuan. Mereka menyatakan 

bahwa adanya maksud atau tujuan, itu hanya berlaku untuk manusia dan 

makhluk serupa lainnya. Namun Allah tak seperti itu, sebab  adanya maksud 

dan tujuan menunjukkan si pelaku berada di bawah kendali maksud dan 

tujuan itu. Allah tidak seperti itu. Allah tidak dibatasi apapun dan tidak di 

bawah kendali apapun, entah itu batas atau kendali yang berupa maksud 

dan tujuan

Berkaitan dengan penciptaan alam seisinya dan segala perbuatannya 

disertai dengan alasan dengan tujuan tertentu. Dalam hal ini, ulama 

mutakallimin memiliki  pandangan-pandangan yang berbeda. Mayoritas 

Mu’tazilah berpandangan bahwa perbuatan-perbuatan Allah berkaitan 

dengan tujuan-tujuan tertentu sebab  Dia Maha Bijaksana, yang tidak akan 

berbuat kecuali disertai tujuan. Tujuan-tujuan itu dalam bentuk pemberian 

manfaat kepada makhluknya. Allah tidak menciptakan sesuatu yang tidak 

memiliki  nilai manfaat, dan atau kebaikan bagi hamba-hamba-Nya

Menurut Ibrahim al-Nidam, Allah tidak mampu berbuat yang 

menyalahi kebaikan hamba-Nya, tidak mampu mengurangi sebutir 

kenikmatan penghuni Surga dan tidak mampu menambah atau mengurangi 

sedikitpun siksa penghuni Neraka. Hal ini, jika terjadi merupakan manifest 

kezaliman-Nya.

3. Aliran Maturidiyah 

Dalam sejarah aliran teologi Islam, dikenal dua aliran Maturidiyah, 

yaitu Maturidiyah Samarkhan dan Maturidiyah Bukhara. Penganut aliran 

Maturidiyah Samarkhan mendapat pengaruh dari Abu Hanifah (yang 

dikenal banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya) dibawah 

pimpinan al-Maturidi.11 Sedang kelompok Maturidiyah Bukhara yang 

dipimpin oleh al-Bazdawi banyak condong ke paham Asy’ariyah.

Dalam hal af ’al al-ibad, Abu Mansur al-Maturidi berusaha untuk 

mencari jalan tengah antara kandungan ayat-ayat al-Qu’ran (Q.S. 6:102) 

dan (Q.S.6:17) dengan (Q.S. 41: 46). Ayat-ayat ini merupakan sebahagian 

dari ayat-ayat yang membawa kepada paham Jabariyah dan Qadariyah. Al-

Maturidi mencoba merumuskan pemikirannya yang menetapkan bahwa 

Allah harus bersifat seperti yang diinginkannya dan manusia harus pula 

memiliki  bagian dalam perbuatannya. Menurutnya, Allah yaitu   satu-

satunya pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Adil, disamping itu manusia 

memiliki daya yang berpengaruh terhadap perbuatannya. Atas dasar inilah 

diberlakukan pemberian upah dan siksaan kepada manusia yang melakukan 

suatu perbuatan.

Al-Maturidi berkesimpulan bahwa terjadinya suatu perbuatan yaitu   

hasil dari perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan 

lain dari perbuatan manusia. Ia menegaskan bahwa pencipta perbuatan 

yaitu   Allah sebab  ia satu-satunya pencipta. Pencipta di sini dalam arti 

mewujudkan sesuatu dari tidak ada menjadi ada, disamping itu, manusia 

yaitu   fa’il. Manusia memiliki  daya untuk memilih tentang sesuatu yang 

dikerjakannya.

Adapun golongan Maturidi Bukhara yang dipelopori oleh al-Bazdawi 

berpendapat bahwa dalam perwujudan perbuatan ada  dua perbuatan, 

perbuatan Tuhan dan perbuatan manusi. Perbuatan Tuhan yaitu   

penciptaan perbuatan manusia dan bukan penciptaan daya. Perbuatan ini 

disebut maf ’ul. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang 

diciptakan itu, perbuatan ini disebut fa’il.

Dengan demikian, jelas bahwa perbuatan manusia yaitu   perbuatan 

Tuhan sebab  perbuatan Tuhan yaitu   penciptaan perbuatan itu. Jadi 

akhirnya paham al-Bazdawi sama dengan paham Asy’ari bahwa daya 

manusia tidak efektif dalam perwujudan perbuatannya.

Abu Mansur al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah dalam hal 

bahwa Allah tidak menciptakan makhluknya dengan sia-sia, perbuatan-

perbuatan-Nya selalu memiliki nilai hikmah, dan hikmah itulah yang 

dikehendakinya. Al-Maturidi sependapat dengan Muhammad Abduh, 

bahwa perbuatan-perbuatan Allah selalu mengandung hikmah, tidak sia-

sia dan tidak berbohong memenuhi janjinya.    


B. Analisis Pemikiran Tentang Perbuatan Manusia dan 

Perbuatan Tuhan

‘Abd al-Jabbar dari kalangan Mu’tazilah berpandangan bahwa 

manusia menciptakan sendiri perbuatannya, sebab  jika  Tuhan yang 

menciptakannya berarti manusia tidak berhak memperoleh pahala maupun 

siksa. Di samping itu, jika  semua perbuatan manusia terjadi berdasarkan 

qada’ dan qadar Tuhan, berarti Dia meridhai orang kafir menjadi kafir.

Menurut kaum Mu’tazilah secara hakiki manusialah yang menciptakan 

perbuatannya, sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya “Dan 

kamu membuat dusta “ .(QS. .29: 17); “Maka sucilah Allah pencipta yang 

paling baik .” (QS. 23; 14 ); “Diwaktu kamu membentuk sesuatu bentuk 

berupa burung dari tanah.”(QS.. 5: 110).

Di samping itu, jika  Allah yang menciptakan perbuatan manusia, 

maka perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan manusia, bukan 

merupakan perbuatan bagi mereka. Oleh sebab  itu batallah taklif, dan janji 

maupun ancaman Allah. Berkaitan dengan itu mereka berpendapat bahwa 

taklif di pandang baik jika  manusia mungkin melakukannya.17 

Bagaimana Allah akan menghisab hamba-hamba-Nya di akhirat 

jika perbuatan mereka merupakan ciptaan Allah. Bagaimana Allah akan 

memberi pahala dan siksa jika mereka tidak memiliki  andil dalam 

menciptakan perbuatan mereka.18

Sejalan dengan persoalan di atas, tampaknya dalam masalah perbuatan 

manusia hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, boleh jadi semua perbuatan 

manusia ciptaan Allah. tidak ada perbuatan bagi manusia. Oleh sebab  itu 

mereka tidak dapat pujian, celaan, pahala maupun siksaan. Kedua, boleh 

jadi Tuhan dan manusia sama-sama berbuat, sehingga pujian dan celaan 

berlaku bagi keduanya. Ketiga, boleh jadi perbuatan manusia yaitu   ciptaan 

manusia sendiri. Oleh sebab  itu manusia akan memperoleh pujian, celaan, 

pahala, dan siksaan. Kaum Mu’tazilah hanya menerima alternatif ketiga 

sebab sesuai dengan pendapat mereka yang memandang manusia bebas 

dalam melakukan perbuatan-perbuatannya.

Menurut pandangan Mu’tazilah jika Tuhan yang menciptakan 

perbuatan manusia, maka tidak ada gunanya dia mengutus rasul-Nya, 

sebab mereka tidak bebas di dalam mengikuti petunjuk-petujuknya .

Kaum Mu’tazilah berpendirian bahwa di dalam perbuatan manusia 

ada kekafiran, kebohongan dan kezaliman. Jika Allah yang menciptakan 

perbuatan manusia tentu perbuatan- perbuatan buruk merupakan 

perbuatan-Nya sebab siapa  yang berbuat sesuatu, maka perbuatan itu 

disandarkan kepada-Nya. Dengan demikian tidak dapat dikatakan Tuhan 

yang menciptakan perbuatan manusia 

Di samping itu menurut kaum Mu’tazilah, tidak dapat dikatakan 

Allah menciptakan perbuatan hamba-Nya kemudian dia menyiksa mereka. 

Sehubungan dengan itu merupakan perbuatan zalim jika Allah menyiksa 

orang yang terpaksa melakukan maksiat, dan Allah tidak dapat memberi 

pahala kepada orang yang berbuat zalim. Berdasarkan argumen itu mereka 

berpendapat bahwa perbuatan buruk seperti zalim tidak berasal dari 

Tuhan.

‘Abd al-Jabbar mengatakan bahwa Tuhan tidak mau berbuat zalim 

sebagaimana disebut dalam al-Qur’an “Tidaklah Tuhanmu menganiaya 

hamba-hamba-Nya. ( QS. 45: 46). Dalam ayat lain dikatakan “Sesungguhnya 

Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah.” (QS. 4: 40); 

“Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (QS. 18: 49).23 Kaum 

Mu’tazilah berpendirian bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-

perbuatan mereka. Tuhan tidak campur tangan di dalamnya.

Kaum Asy’ariyah menolak pandangan kaum Mu’tazilah di atas, sebab 

menurut al-Asy’ari pandangan yang demikian bertentangan dengan ayat 

“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” 

(QS. 11: 107). Tampaknya bagi al-Asy’ari manusia tidak memiliki  

pilihan di dalam perbuatannya sebab  semua yang dilakukan manusia 

yaitu   berdasarkan ketentuan Tuhan. Baginya Tuhan merupakan pencipta 

perbuatan manusia.Hakikatnya perbuatan tidak terjadi kecuali diciptakan 

oleh yang menciptakan-Nya. Oleh sebab  itu mesti ada yang menciptakan 

kekafiran dan keimanan secara hakiki. Allah yang menjadikan keimanan 

itu baik. Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, baik 

atau buruk. Sekiranya bukan Tuhan yang menciptakannya tentu orang 

kafir dapat menjadikan kekafiran itu buruk dan ia juga yang menjadikan 

keimanan itu baik. Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan 

manusia, baik atau buruk. Sekiranya bukan Tuhan yang menciptakan tentu 

orang kafir dapat menjadikan kekafiran dipandang baik sesuai dengan 

keinginan mereka. Perbuatan manusia menurut al-Asy’ari disebut kasb. 

Tidak ada fa’il bagi kasb kecuali Allah. Demikian pula tidak ada khaliq 

kecuali Allah. Menurutnya tidak ada yang mampu menciptakan secara 

hakiki kecuali Allah. Perbuatan mesti dari fa’il secara hakiki. Kasb mesti dari 

muktasib yang memberi kasb secara hakiki. Perbuatan baik seperti iman 

dan perbuatan jahat seperti kufr sebenarnya Allah yang menciptakannya. 

Pengertian manusia beriman menurutnya yaitu   manusia itu beriman 

dengan daya yang baru, bukan berarti manusia ini  yang membuat 

keimanan namun  yang membuat sebenarnya yaitu   Allah. Demikian pula 

dengan perbuatan dusta. Orang yang membuat dusta sebagai kitab bukanlah 

pencipta dusta yang sebenarnya. Gerakan yang terpaksa juga menunjukkan 

bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia.26 Pandangan yang 

demikian membawa pengertian, manusia terpaksa atau tidak memiliki  

pilihan didalam perbuatannya. 

Berbeda dengan al-Asy’ari, menurut al-Baqillani ada perbuatan yang 

terjadi berdasarkan pilihan manusia, dan ada perbuatan yang manusia 

terpaksa melakukannya. Berkaitan dengan itu, ia mengatakan bahwa 

manusia mampu berdiri, duduk, dan berbicara dengan keinginannya 

sendiri. namun  manusia tidak mampu bergerak saat  lumpuh dan sakit.2

Berdasarkan pendapat ini , tampaknya al-Baqillani mengakui adanya 

andil manusia didalam perbuatannya. Manusia memiliki kebebasan di-

dalam menentukan perbuatannya. Manusia memiliki kebebasan didalam 

menentukan perbuatan yang diinginkannya. namun  kebebasan manusia 

dalam pandangannya tidak sebesar kebebasan yang dipahami Mu’tazilah. 

Dalam masalah perbuatan manusia, al-Baqillani tidak sepenuhnya 

sependapat dengan al-Asy’ari.

Al-Baqillani selanjutnya mengatakan bahwa manusia hanya mampu 

berbuat dengan qudrat yang diciptakan Tuhan padanya, dengan alasan 

seseorang hanya dapat berbuat sesuatu pada suatu waktu. namun  tidak dapat 

berbuat yang serupa pada waktu yang lain. Di samping itu manusia tidak 

mampu berbuat saat  terjadi perbuatan (iktisab). Ia hanya mampu berbuat 

saat  terjadi perbuatan (fi hat iktisab) sebab ia tidak diberikan qudrat 

sebelumnya. 

Selanjutnya ia mengatakan bahwa qudrat yang ada pada manusia 

tidak tetap. Kemampuan manusia hanya ada kesamaan dengan perbuatan. 

jika  manusia telah memiliki  kemampuan sebelum terjadi perbuatan, 

maka pada waktu terjadi perbuatan ia tidak lagi membutuhkan bantuan 

Tuhan. Menurutnya yang demikan itu mustahil. Pandangan yang demikian 

menunjukkan bahwa dalam pemahamannya, Tuhanlah yang menciptakan 

daya pada manusia dan kebebasan manusia terletak pada penggunaan daya 

itu.

Qudrat manusia tidak tetap, jika  tetap maka tidak dapat tidak ia 

tetap sebab  dirinya sendiri, atau sebab  ada yang menyebabkannya. jika  

ia tetap dengan sendirinya mestilah ia tetap ada pada waktu yang sama 

atau pada waktu yang berlainan. Ini juga mustahil. Di samping itu kalau 

qudrat tetap sebab  ada sebab, mestilah ia merupakan jism atau jauhar. Ia 

juga menurutnya tidak benar.29 Pandangan yang demikian menunjukkan 

bahwa ia tidak setuju pada pendapat yang memandang qudrat sebagai sebab 

terjadinya perbuatan.

Di samping itu berpandangan Allah swt. memberikan qudrat tidak 

untuk dua perbuatan yang bertentangan atau yang sama, atau yang berbeda. 

Dengan kata lain, Allah memberikan satu qudrat untuk satu perbuatan.

Dia memberikan qudrat untuk berbuat kepada manusia yang sebelumnya 

tidak ada. Qudrat itu ada bersamaan dengan gerakan tangan. Air keluar 

bersamaan dengan masuknya batu ke dalam gelas. Seseorang mengetahui 

rasa sakit bersamaan dengan adanya sakit. Untuk memperkuat pendapatnya 

itu, ia mengemukakan ayat Al-Qur’an “Allah tidak membebani seseorang 

melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. 2: 286). “Allah tidak 

memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang diberikan 

Allah kepadanya.” (QS. 65: 7). Ayat ini  menurutnya menunjukkan 

bahwa tidak ada qudrat sebelum perbuatan. Pendapat ini  diperkuat 

ayat ”Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah.” 

(QS. 2: 184). Ayat ini  menurutnya jelas menunjukkan tidak adanya 

qudrat.

Al-Baqillani mengatakan bahwa pendapatnya yang menyebutkan 

satu qudrat untuk satu perbuatan tidak menunjukkan seseorang terpaksa 

dalam perbuatannya. Menurutnya orang yang terpaksa berbuat sesuatu 

yaitu   orang yang dibebani sesuatu yang tidak disukainya. Sementara 

orang yang dikatakan mampu berbuat yaitu   orang yang berbuat dengan 

kemampuannya sendiri. Orang yang terpaksa berbuat dan yang mampu 

berbuat berbeda dengan orang yang tidak mampu berbuat sama sekali. 

Orang yang tidak berbuat apa yang diperintahkan kepadanya yaitu   orang 

yang tidak mampu melakukannya.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa taklif mala yutaq itu ada sebagaimana 

Allah memerintahkan hamba-Nya berbuat adil kepada sesama manusia 

namun  Dia sendiri mengatakan manusia tidak mampu berbuat demikian. 

Sebagaimana diisyaratkan dalam ayat “Dan kamu sekali-kali tidak akan 

dapat berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin 

berbuat demikian.” (QS. 4: 129).

Ia berpendapat bahwa qudrat manusia tidak tetap dan bukan merupakan 

sebab terjadinya perbuatan. Satu qudrat hanya untuk satu perbuatan, satu 

qudrat tidak bisa untuk beberapa perbuatan yang serupa, berbeda atau 

bertentangan. Qudrat hanya ada pada saat terjadinya perbuatan, qudrat 

tidak ada sebelum maupun sesudah  terjadinya perbuatan.33 Pandangan di 

atas menunjukkan bahwa al-Baqillani lebih jauh dari al-Asy’ari, baginya 

manusia memiliki  kebebasan di dalam perbuatannya. Sebaliknya 

menurut al-Asy’ari manusia tidak memiliki  kebebasan.

 Di dalam menanggapi pandangan Mu’tazilah, al-Baqillani mengatakan 

bahwa Allah yaitu   pencipta semua perbuatan manusia sebab Dia berkuasa 

terhadap tiap-tiap yang mereka lakukan. Menurutnya firman Allah dalam 

ayat “Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”(QS. 

37: 96), menunjukkan bahwa Allahlah yang menciptakan manusia dan 

perbuatan-perbuatannya. Tidak ada pencipta selain Allah, sebagaimana 

diisyaratkan dalam ayat ”Adakah sesuatu pencipta selain Allah yang dapat 

memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain 

Dia.” (QS. 35: 3); “Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan 

malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya?.” (QS. 28: 72).34

 Al-Baqillani berpendapat bahwa memandang manusia sebagai 

pencipta sendiri perbuatannya bertentangan dengan ayat “Apakah mereka 

menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti 

ciptaan-Nya, sehingga kedua ciptaan itu serupa dalam pandangan mereka?” 

(QS.13: 16).

 Selanjutnya al-Baqillani berpendapat bahwa perbuatan manusia 

dikatakan perbuatan Tuhan, yaitu   sebab  manusia diberi Tuhan qudrat 

berbuat saat  terjadi perbuatan, dan Allah tidak meninggalkan perbuatan 

itu sebab perbuatan itu terjadi sebab  Dia, bukan sebab  manusia. Jika 

Dia meninggalkan-Nya, maka perbuatan itu tidak akan terjadi. Allahlah 

yang menciptakan perbuatan manusia dan Dia jugalah yang menciptakan 

keinginan manusia untuk melakukan perbuatan.

 Didalam menanggapi pendapat Mu’tazilah, Al-Baqillani mengatakan 

bahwa Tuhan tidak memerintahkan seorang pun dari hamba-Nya untuk 

menciptakan sesuatu. Dia juga tidak melarangnya. Dia juga tidak memberi 

pahala kepada seseorang yang menciptakan sesuatu, dan juga tidak 

memberi pahala kepada seseorang yang menciptakan sesuatu, dan juga tidak 

menyiksanya. Al-khalq (penciptaan) mustahil bagi manusia. Allah hanya 

memerintahkan hamba-Nya agar berusaha dengan sungguh-sungguh (al-

iktisab) untuk memperoleh ciptaan-Nya, atau melarangnya. Pahala, siksaan 

dan ancaman yaitu   berdasarkan perintah dan larangan-Nya. Namun 

Allah hanya akan memberikan pahala kepada orang yang disukai-Nya dan 

memberi siksa kepada orang yang tidak disukai-Nya.

 Al-Baqillani memandang al-kasb sebagai gerakan orang yang disertai 

qudrat pada waktu terjadi perbuatan, berbeda dengan orang yang lumpuh, 

yang tidak dapat bergerak. Ia membedakan antara gerakan tangan orang 

yang sehat, sebagai gerakan yang tidak terpaksa, dengan gerakan orang yang 

gemetar sebab  sakit, yaitu yang bergerak sebab  terpaksa. Kasb merupakan 

perbuatan dengan jalan ikhtiar, kasb bukan perbuatan yang terpaksa.

Dengan pandangan yang demikian, konsep kasb al-Baqillani mengandung 

paham kebebasan. Bagi al-Baqillani manusia memiliki  sumbangan yang 

efektif didalam perwujudan perbuatannya. Tuhan hanya menciptakan gerak 

di dalam diri manusia, sedangkan bentuk dari gerakan itu, yang kemudian 

disebut perbuatan, seperti duduk, berdiri, atau berbaring yaitu   perbuatan 

manusia.

 Sejalan dengan pandangannya, sebagaimana tampak pada uraian di 

atas, bahwa semua yang terjadi di alam ini yaitu   ciptaan Tuhan, maka 

ketaatan juga menurutnya yaitu   ciptaan Tuhan, bukan ciptaan manusia. 

Ia memahami ayat ”Dan kamu tidak mengutus seorang Rasul melainkan 

untuk ditaati dengan seizin Allah.” (QS. 4: 64), sebagai isyarat bahwa Tuhan 

tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk memerintahkan agar semua 

mukallaf menaati-Nya. Demikian pula dengan firman Allah “Dan aku tidak 

menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” 

(QS. 51: 56). Menurutnya ayat ini  memiliki  pengertian bahwa Allah 

tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk memerintahkan mereka 

beribadah kepada-Nya.

 Manusia memiliki  kasb bukan dalam pengertian terpaksa namun  

“usaha” untuk melakukan perbuatan, baik taat maupun maksiat. Oleh sebab  

itu di dalam al-Qur’an disebutkan “Ia mendapat pahala (dari kebijakan) 

yang diusahakannya.” (QS. 2: 286), maksudnya pahala dari perbuatan baik. 

Kemudian dikatakan pula “Dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang 

dikerjakannya.” (QS. 2: 286), maksudnya siksaan dari perbuatan jahat yang 

dikerjakan manusia.

Selanjutnya ia mengemukakan beberapa ayat al-Qur’an yang 

menunjukkan bahwa perbuatan manusia merupakan kasb bagi mereka, 

diantaranya “Disebabkan sebab  perbuatan tangan manusia.”(QS. 30: 

41); “yaitu   disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. 42: 30). 

Menurutnya akal dapat membedakan ikhtiar. Kasb yaitu   perbuatan ikhtiar 

bagi manusia dan ciptaan bagi Allah. Apa yang disifatkan kepada Allah 

tidak dapat disifatkan kepada ciptaannya. Dan apa yang disifatkan kepada 

ciptaannya tidak dapat disifatkan kepada Allah. Oleh sebab  itu, Allah tidak 

disebut sebagai muktasib dan manusia tidak dapat disebut sebagai khaliq.42

Al-Baqillani mengatakan bahwa sesuatu yang dikatakan pencipta yaitu   

jika ia mampu menciptakan sesuatu dan mampu juga meniadakannya. Jika 

ia mampu membuat sesuatu hidup, ia juga mesti mampu mematikannya. 

Jika ia mampu menghancurkan sesuatu, ia juga mesti mampu menyusunnya 

kembali sebagaimana aslinya. Manusia tidak mampu melakukan yang 

demikian. Dengan demikian tidak ada pencipta selain Allah sebab  Dialah 

yang mampu menciptakan sesuatu dan sebaliknya.

Hakikat penciptaan yaitu   mengeluarkan sesuatu dari tidak ada 

menjadi ada (ikhraj al-syai’ min al-‘adam ila al-wujud). Pandangan yang 

mengatakan bahwa manusia mampu menciptakan sesuatu dari tidak ada 

menjadi ada yaitu   menyamakan antara qudrat Allah dengan qudrat 

manusia. Pendapat seperti itu tidak memiliki  dasar sebagaimana 

diisyaratkan Allah dalam ayat “Bantahan mereka itu sia-sia saja disisi Tuhan 

mereka.”(QS. 42:16).


Al-Baqillani selanjutnya berpendapat bahwa ayat ”Sebagai balasan 

bagi apa yang telah mereka kerjakan.”(QS. 56: 24), tidak menunjukkan 

bahwa perbuatan manusia yaitu   sebenar-benarnya ciptaan bagi manusia. 

Menurutnya yang dimaksud dengan ya‘malun dalam ayat ini  yaitu   

yaksibun. Ia tidak menolak bahwa kasb disebut sebagai perbuatan bagi 

manusia. Ia hanya menolak untuk mengatakan manusia sebagai pencipta 

bagi perbuatannya dari tidak ada menjadi ada. Menurutnya tidak ada yang 

mampu melakukan penciptaan (al-khalaq wa al-ikhtira wa al-khuruj min 

al’adam ila al-‘wujud) kecuali Allah.

Ia mengatakan bahwa ayat ”Dan diwaktu kamu membentuk dari 

tanah.” (QS. 5: 110), hanya mengandung informasi bahwa Adam as. mampu 

membentuk tanah, bukan mengeluarkan bentuk dari tidak ada menjadi 

ada. Dalam pada itu ayat “Maka maha sucilah Allah, Pencipta yang paling 

baik.” (QS. 23:14) memberitahukan bahwa orang-orang kafir memandang 

ada pencipta selain Allah. Kemudian ayat ”Dan dialah yang menciptakan 

(manusia) dari permulaan.” (QS. 30: 27) merupakan penolakan Allah 

terhadap pendapat mereka ini .

Selanjutnya ia mengatakan bahwa pengaruh keinginan terhadap 

perbuatan manusia juga tidak menunjukkan bahwa manusia dapat 

menciptakan perbuatannya. Ia memberikan perumpamaan, bahwa 

tumbuhnya tanaman sesuai dengan kehendak penanamnya, namun bukan 

merupakan ciptaan baginya. Demikian pula ternak yang gemuk terjadi 

atas kehendak pemiliknya yang memberi makan dan minumnya. namun  

bukanlah al-alif dan al-saqi (pemberi makan dan pemberi minum ternak) 

yang menciptakan kegemukan pada ternak. Semua itu diciptakan Allah atas 

kehendak-Nya.

Menurut al-Baqillani perbuatan tidak menentukan keadaan seseorang 

di akhirat nanti. Dengan kata lain, pahala atau siksa bukanlah merupakan 

konsukuensi dari kebebasan manusia di dalam melakukan perbuatannya. 

Pahala dan siksa merupakan ketentuan dari Allah, sebagaimana wajib 

hukum denda (al-diyat) terhadap orang yang membunuh orang lain 

meskipun tidak dengan sengaja sebab  sudah ketentuan Allah. Begitu pula 

orang yang berpuasa lalu makan sebab  lupa, tidak batal puasanya dan 

tidak mendapat hukuman. 

Al-Baqillani tidak menghubungkan pahala dan siksa semata-mata 

dengan perbuatan manusia. namun  dapat dipahami bahwa Tuhan dalam 

pandangannya bukanlah sebagai raja absolut yang bertindak sewenang-

wenang, sebab  sesuai dengan konsep kasb-Nya ia juga mengakui Tuhan 

memberikan ikhtiar bagi manusia. Dalam konteks seperti itulah tampaknya 

al-Baqillani tidak lagi sepenuhnya mengikuti al-Asy’ari. Dalam masalah 

perbuatan manusia, al-Baqillani tidak lagi berpegang pada konsep kehendak 

dan kekuasaan mutlak Tuhan sebab  didalam pandangannya manusia bebas 

berkehendak dan menentukan perbuatannya.  


A. Janji dan Ancaman Tuhan

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa janji dan ancaman Allah pasti 

terjadi. Dia wajib memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan 

wajib menyiksa orang yang berbuat dosa besar kelak di akhirat jika tidak 

bertaubat.Bahkan pelaku dosa besar yang tidak bertaubat akan kekal di 

dalam neraka. Namun azab yang diterimanya lebih ringan dari azab yang 

diterima orang kafir. Dengan demikian jika  pelaku dosa besar bertaubat 

ia berhak memperoleh pahala.

Al-Asy’ari dan al-Baqillani membedakan antara syirik dan perbuatan-

perbuatan maksiat lainnya. Menurut mereka, Allah mengampuni semua 

perbuatan maksiat kecuali syirik. Mereka memperkuat pendapat ini  

dengan mengemukakan ayat al-Qur’an seperti ini: “Sesunguhnya Allah 

tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan Dia 

mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-

Nya.”(QS. 4:116).

Nabi Muhammad saw. pernah mengatakan sesuatu saat  Malaikat 

Jibril mendatanginya dan mengatakan jika  umatnya meninggal dunia 

dalam keadaan tidak musyrik meskipun melakukan dosa besar, seperti 

berzina dan mencuri akan masuk surga, sebagaimana disebutkan dalan 

hadis dibawah ini.

Nabi saw. mengatakan: “Jibril berkata kepadaku bahwa siapa meninggal 

dunia diantara umatmu sedangkan dia tidak mempersekutukan sesuatu 

terhadap Allah masuk surga atau tidak akan masuk neraka, Nabi bertanya, 

meskipun ia berzina dan mencuri? Jibril menjawab dengan mengatakan 

meskipun ia berzina dan mencuri.”

Al-Baqillani mengatakan bahwa Allah mengistimewakan orang 

mukmin dengan memberi mereka qudrat beriman dan beramal saleh di 

dunia. Kemudian memberi pahala atas perbuatan baik mereka di akhirat.

Berbeda dengan Mu’tazilah yang bertitik-tolak dari pertimbangan 

akal, al-Asy’ari maupun al-Baqillani berpandangan bahwa perbuatan baik 

tidak wajib mendapat pahala dari Allah. Dan orang yang berbuat maksiat 

tidak wajib menerima hukuman. jika  Allah menyiksa semua penduduk 

langit dan bumi, Dia tidak zalim terhadap mereka.

Berdasarkan uraian dan dalil-dalil di atas, mereka berpendapat bahwa 

memberikan pahala kepada hamba-Nya yang taat bukanlah kewajiban bagi 

Tuhan. Menurut al-Asy’ari, Allah yaitu   pemberi kewajiban maka tidak 

ada sesuatu pun yang wajib terhadap-Nya. Al-Asy’ari bependapat bahwa 

berdasarkan akal tidak dapat dikatakan Allah wajib menerima taubat orang 

yang berdosa besar. Selanjutnya ia berpandangan bahwa sesuai dengan 

petunjuk wahyu dan hadis, Allah akan mengabulkan taubat orang yang 

bertaubat dan mengabulkan doa orang yang dalam keadaan terpaksa.

Al-Baqillani memandang bahwa pendapat yang mengatakan 

pemberian pahala merupakan kewajiban Tuhan yaitu   buruk menurut 

akal. Menurutnya tidak mustahil Allah mengampuni dan memasukkan 

orang yang berbuat maksiat ke dalam surga. Kekafiran dan kejahatan 

mereka bukan merupakan alasan bagi-Nya untuk memasukkan mereka ke 

neraka. Siksaan Allah terjadi bukan kerena suatu sebab, siksaan yaitu   hak 

Allah swt. Dia boleh melaksanakannya dan boleh meninggalkannya.

Al-Baqillani berpandangan bahwa Allah tetap baik meskipun tidak 

menyiksa orang yang berbuat jahat. Kaum muslimin juga sepakat bahwa 

mengampuni orang yang berbuat jahat itu baik. Oleh sebab  itu, bukan 

suatu yang buruk bagi Allah tidak melaksanakan ancamannya. Dalam 

memperkuat pendapatnya itu, ia mengemukakan ayat ”Sesungguhnya Allah 

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS.64: 14).

Ayat ini  menunjukkan bahwa Allah boleh mengampuni semua 

atau sebagian orang yang berdosa dan menyiksa sebagian yang lain. Namun 

sesuai dengan ketentuan Nabi Muhammad dan ijma’ kaum Muslimin, ia 

berpendapat bahwa Allah tidak akan mengampuni seorang pun diantara 

orang kafir. Semua orang kafir masuk neraka. Demikian pula semua 

orang musyrik masuk neraka. Meskipun dikatakan “Sesungguhnya Allah 

mengampuni dosa-dosa semuanya”.(QS.39: 53), menurutnya didalamnya 

tidak termasuk musyrik dan kafir. Musyrik tidak mendapat ampunan Allah 

sesuai dengan salah satu ayat-Nya “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni 

dosa yang mempersekutukan sesuatu dengan Dia.” (QS. 4: 116) dan orang 

kafir tidak mendapat ampunan-Nya sesuai dengan ayat “Jika kamu menjauhi 

dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya 

niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu.”(Qs. 4: 31)

Pendapat di atas sejalan dengan pandangan al-Asy’ari bahwa pelaku 

dosa besar yang tidak bertaubat hukumnya terserah Allah. Ia boleh 

mengampuninya berdasarkan rahmat-Nya atau sebab  syafa’at dari nabi 

Muhammad saw. Ia juga boleh menghukumnya kemudian memasukkannya 

ke surga. Disamping itu, pelaku dosa besar tidak kekal dalam neraka 

bersama orang kafir,

Al-Baqillani mengatakan, bahwa lafaz al-kabair dalam ayat diatas 

maksudnya yaitu   al-kufr. Kemudian dengan mengemukakan ayat 

“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. 12: 87) dan 

“Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah”, (QS. 39:53), ia mengatakan 

bahwa yang dibicarakan dalam ayat-ayat ini  tidak termasuk kafir dan 

musyrik.

Bagi Al-Baqillani pelaku dosa besar atau fasiq tidak termasuk kafir 

atau musyrik. Oleh sebab  itu, Allah dapat mengampuninya. Perbuatan 

maksiat selain kufur dan syirik tidak bertentangan dengan iman dan ma’rifat 

kepada Allah. Ia berpandangan bahwa fasiq tetap mukmin, bukan kafir atau 

musyrik.Pendapatnya ini  sejalan dengan pendapat al-Asy’ari yang 

mengatakan bahwa orang yang memiliki  iman yaitu   mukmin. jika  

fasiq disebut tidak mukmin dan tidak kafir berarti dia tidak memiliki  

iman dan juga tidak memiliki  kekafiran. Menurut al-Asy’ari mustahil 

orang fasiq tidak mukmin dan tidak kafir. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa 

sebelum munculnya Wasil ibn Atha’ (pemuka Mu’tazilah) semua golongan 

dalam Islam sepakat mengatakan pelaku dosa besar sebagai mukmin, tidak 

kafir.

Berkaitan dengan penjelasan di atas, al-Baqillani mengemukakan ayat-

ayat di bawah ini: “Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan mendapat 

balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka 

seorang pelindung pun dari azab Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi 

dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Merekalah penghuni 

neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. 10:27). “Dan barang siapa yang 

mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginya neraka 

jahannam, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. (QS. 72: 23).

Menurutnya ayat-ayat seperti ini  ditujukan kepada orang kafir, 

yaitu orang yang tidak beriman dan tidak memiliki  kebaikan. Orang 

yang memiliki  satu kebaikan balasannya sepuluh kali lipat. Allah 

memberi kebaikan dan pertolongan yang besar di hari kiamat kepada orang 

mukmin,13 sesuai dengan ayat: “Barang siapa yang membawa kebaikan, maka 

ia memperoleh balasan yang lebih baik dari padanya, sedangkan mereka itu 

yaitu   orang-orang yang aman tentram dari padanya kejutan yang dahsyat 

pada hari itu.(QS. 27: 89). Ia juga berpendapat bahwa kebaikan yang paling 

besar ialah iman dan iman menghapus kejahatan sesuai firman Allah 

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus perbuatan-

perbuatan yang buruk.”(QS. 11: 114).

Selanjutnya, al-Baqillani mengatakan bahwa bagi orang yang beriman 

tidak ada kekhawatiran terhadap siksa Allah, sebagaimana disebutkan 

dalam firman-Nya “Hai hamba-hambaku tiada kekhawatiran terhadapmu 

pada hari ini dan tidak pula kamu bersedih hati.” (QS. 43: 68). Dalam pada 

itu Allah tidak menyia-nyiakan amal kebaikan seseorang sesuai dengan 

firman-Nya ”Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang 

yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan.” (QS. 3: 

195).”Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah pun, niscaya 

ia akan melihat balasan kebaikannya pula.” (QS. 99: 7).

Sesuai argumen di atas, amal serta kebaikannya tidak disia-siakan Allah. 

Orang fasiq menurutnya tidak kekal di dalam neraka. Dengan demikian 

pendapatnya sama dengan pendapat al-Asy’ari. Al-Baqillani berpandangan 

bahwa ayat yang berbunyi: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut 

apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu yaitu   orang-orang yang kafir.” 

(QS. 5: 44) tidak bermaksud menetapkan kaum muslimin sebagai kafir 

jika  mereka melalaikan hukum yang diturunkan Allah swt. Ayat ini  

hanya ditujukan kepada sebagian orang yang tidak berpedoman kepada al-

Qur’an yang diturunkan Allah. Kata man yang ada  pada ayat ini  

menurutnya di samping mengandung arti umum juga mengandung arti 

khusus.

Demikian pula dengan ayat “Dan sesungguhnya orang-orang yang 

durhaka benar-benar berada dalam neraka.”(QS. 82: 14), hanyalah ditujukan 

kepada sebagian orang yang durhaka bukan semuanya. Dengan demikian 

ia berpandangan, bahwa yang dimaksud dengan man pada ayat 44 surat al-

Maidah di atas yaitu   orang kafir.

Al-Baqillani mengatakan bahwa sesuai dengan ayat “Barang siapa 

yang datang dengan membawa kebaikan, maka baginya pahala yang lebih 


baik daripada kebaikannya itu.” (QS. 28: 84), maka pelaku dosa besar 

seperti membunuh orang mukmin dengan segaja atau kejahatan lainnya, 

sedang ia beriman dan melakukan perbuatan-perbuatan baik amalnya tetap 

mendapat pahala. Untuk memperkuat pendapatnya itu ia mengemukakan 

ayat “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang 

berbuat baik.”(QS. 9: 120) dan ayat “Sesungguhnya aku tidak menyia-

nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki 

maupun perempuan.” (QS.9: 195).

Menurutnya tidak ada kebaikan yang paling besar dari pada beriman 

kepada Allah, Rasul-Nya dan apa yang datang darinya. Dan Allah 

mengampuni mukmin yang melakukan dosa besar. Meskipun mereka 

masuk neraka mereka tidak kekal di dalamnya. Tidak ada yang kekal di 

neraka kecuali orang kafir dan musyrik, sesuai dengan firman Allah: “Dan 

sesungguhnya jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir”. 

(QS. 9: 49).

Berdasarkan argumen-argumen di atas, al-Baqillani mengatakan 

bahwa orang yang mengingkari kebangkitan di hari kiamat dan kufur 

terhadap Allah dan Rasul-Nyalah yang mesti masuk neraka bukan orang 

fasiq. Allah tidak memusuhi dan tidak menghukum orang fasiq jika  

mendapat ampunan dari-Nya, memperoleh syafa’at Nabi sebab  bertaubat 

dan menyesali perbuatannya. Namun tidak mustahil suatu saat  Allah 

menghukumnya dulu kemudian mengampuninya, lalu memberi ganjaran 

atas perbuatannya yang baik. Sebagaimana tidak mustahil seorang ayah 

menghukum anaknya kerena berbuat salah, kemudian menggembirakannya 

atas perbuatan-perbuatannya yang baik.

Allah mengatakan dalam al-Qur’an: “Dan Dia maha penyayang 

kepada orang-orang yang beriman “ (QS. 33: 43), maksudnya Allah swt. 

memberi pahala kepada orang mukmin di akhirat atas keimanan dan 

ketaatan mereka kepada-Nya. Allah memerintahkan untuk mendera orang 

yang berzina seperti dalam firman-Nya “Perempuan yang berzina dan laki-

laki yang berzina maka deralah masing-masing seratus kali dera” (QS. 24: 2) 

dan memotong tangan pencuri seperti dalam firman-Nya: “Laki-laki yang 

mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya.” (QS. 

5: 38) yaitu   merupakan ujian bagi mereka dan Allah akan mengampuni 

mereka di akhirat. Dengan kata lain Allah tidak memusuhi mukmin pelaku 

dosa besar.

Selanjutnya Al-Baqillani mengatakan bahwa pelaku dosa besar 

meskipun akan mendapat pengampunan dari Allah swt. di akhirat namun 

mereka tetap menerima hukuman (hudud) di dunia, sebab hukuman di 

dunia bukanlah siksaan (i‘qab) namun  hanya merupakan ujian dan berlaku 

bagi orang-orang yang bertaubat.

Dalam memahami janji dan ancaman Allah antara al-Asy’ari dan al-

Baqillani tampaknya tidak ada perbedaan pendapat. Mereka sepakat bahwa 

mukmin pelaku dosa besar tetap sebagai mukmin dan hukumnya terserah 

kepada Allah. Allah bisa menghukumnya sesuai dengan kesalahannya dan 

bisa juga mengampuninya. Kemudian Allah memasukkannya ke dalam 

surga dengan rahmat-Nya Al-Asy’ari dan Al-Baqillani sependapat bahwa 

pelaku dosa besar tidak kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir.

B. Konsep Keadilan Tuhan

Dalam teologi Islam, seperti telah disinggung terdahulu, persoalan 

keadilan Tuhan berkaitan dengan perbuatan-Nya. Kaum Mu’tazilah 

berpandangan bahwa Tuhan dikatakan adil sebab  semua perbuatan-Nya 

baik. Ia wajib berbuat baik, tidak berbuat yang buruk dan tidak mengambil 

hak orang lain.

Al-Asy’ari, sebab  berpegang pada konsep kehendak dan kekuasaan 

mutlak Tuhan berpandangan, bahwa Allah yang menjadikan orang berbuat 

baik maupun jahat, beriman atau kafir. Dengan kata lain Allah berbuat apa 

saja yang dikehendaki-Nya sesuai dengan ayat ”Sesungguhnya Tuhanmu 

Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.( QS. 11: 107).

Sejalan dengan pendapat di atas, al-Asy’ari selanjutnya mengatakan 

bahwa Allah menetapkan kesenangan dan rahmat-Nya khusus bagi orang 

mukmin, tidak bagi orang kafir. Ia juga mengatakan, bahwa orang kafir 

tidak memiliki  qudrat beriman. Allah menetapkan qudrat beriman 

khusus orang mukmin. Ia berpandangan, bahwa satu qudrat tidak bisa 

untuk dua perbuatan atau lebih. Satu qudrat hanya untuk satu perbuatan.

Oleh sebab  itu, qudrat kufur tidak untuk qudrat beriman sekaligus. 

Menurutnya, qudrat tidak tetap sebab  kadang-kadang manusia mampu 

kadang-kadang lemah. Manusia ada kalanya bergerak adakalanya tidak. 

Istita’at kemampuan manusia bukanlah diri manusia itu sendiri namun  lain 

dari itu.

Bagi al-Asy’ari qudrat beriman itu merupakan pemberian Allah. Orang 

yang diperintahkan Allah beriman namun  tidak diberi-Nya qudrat beriman 

berarti orang ini  tidak memperoleh pertolongan-Nya.

Di samping itu ia mengatakan, bahwa Allah hanya memelihara orang 

mukmin bukan orang kafir sesuai dengan ayat: ”Dan aku tidak menciptakan 

jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. 51: 56). 

sebab  Allah menjadikan kebanyakan dari ciptaan-Nya sebagai pengisi 

neraka. Dalam masalah taklif, ia berpendapat bahwa Allah membebani 

orang-orang kafir untuk mendengarkan dan menerima al-Qur’an serta 

beriman kepada Allah seperti diisyaratkan dalam ayat berikut ini: 

عَمْ َّسلا نَوعُيطِتَسْيَ اوُناكَ امَ

”Mereka selalu tidak dapat mendengar (kebenaran)”. (QS. 11: 20).

Dalam memperkuat pendapatnya di atas, al-Asy’ari mengemukakan 

ayat ”Dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak kuasa.”(QS. 

68: 42). Menurutnya, berdasarkan ayat ini  Allah memerintahkan orang 

yang tidak mampu bersujud untuk bersujud padahal tulang punggungnya 

lemah. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa tidak mesti beban atau 

perintah yang diberikan Allah harus sesuai dengan qudrat manusia.

Al-Asy’ari selanjutnya mengatakan, Allah tetap memerintahkan 

Abu Lahab untuk beriman meskipun Ia mengetahui Abu Lahab tidak 

memiliki  qudrat beriman. Pandangan ini  tampaknya kontradiksi 

dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa satu qudrat hanya untuk satu 

perbuatan, sebab pendapat yang demikian mengandung pengertian satu 

qudrat tidak dapat digunakan untuk dua perbuatan atau lebih dalam waktu 

yang bersamaan. Umpamanya orang yang bergerak dari suatu tempat itu 

juga pada waktu yang sama. Bagaimana orang kafir pada waktu yang sama 

sekaligus juga beriman?

Agar lepas dari persoalan di atas, al-Asy’ari membedakan antara orang 

kafir dan orang yang lemah. Menurutnya orang kafir bukan orang lemah 

sebab  jika ia lemah untuk beriman tentu ia juga tidak mampu menjadi 

kafir. Oleh sebab  itu menurutnya orang yang mampu menjadi kafir yaitu   

juga mampu beriman.30 Itulah tampaknya mengapa ia tidak memandang 

istita’at (kemampuan) manusia tetap, sehingga jika pada satu saat orang 

menjadi kafir tidak tertutup kemungkinan pada saat yang lain ia akan 

mampu beriman. Sejalan dengan itu, al-Asy’ari tidak menyamakan antara 

orang kafir dan orang-orang yang lemah. Oleh sebab  itu, tidak memandang 

taklif beriman terhadap orang kafir itu sebagai taklif ma la yutaq.

Dalam pandangannya, yang dimaksud dengan taklif ma la yutaq 

yaitu   taklif terhadap yang benar-benar tidak mampu sebagaimana Allah 

memerintahkan para malaikat untuk menyebut nama-nama ciptaan-Nya 

seperti difirmankan dalam ayat ”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda 

itu.”(QS. 2: 31) sedang mereka tidak mampu dan tidak mengetahuinya. 

Demikian pula perintah berbuat adil. ”Berlaku adil.”(QS. 5: 8) terhadap 

manusia namun  Allah sendiri mengatakan manusia tidak mampu berbuat 

adil seperti difirmankan dalam ayat Al-Qur’an ”Dan kamu sekali-kali tidak 

akan dapat berlaku adil diantara istri(mu) walaupun kamu ingin berbuat 

demikian.” (QS. 4: 129).32 Oleh sebab  dikemukakan dalam ayat-ayat 

ini , al-Asy’ari berpandangan bahwa taklif ma la yutaq juga baik.

Al-Asy’ari mengatakan, semua perbuatan Tuhan yaitu   adil. Ia adil 

dalam menjadikan orang beriman dan tetap adil meskipun Ia juga menjadikan 

orang kafir. Ia juga adil jika menyiksa mereka di akhirat. Menurutnya, 

Allah juga adil jika menyiksa orang mukmin dan memasukkan orang kafir 

ke dalam surga. Namun menurutnya Allah tidak berbuat demikian sebab  

ia mengataka