k akan berkurang esensinya. Sebaliknya, dengan kehadiran
bayang-bayang (ibadah) itu, iman semakin bertambah.
Kemudian terhadap pelaku dosa besar, aliran Maturidiyah baik
Samarkand maupun Bukhara keduanya menyatakan bahwa ia masih tetap
sebagai mukmin, sebab adanya keimanan dalam dirinya. Sedangkan
balasan yang diperoleh kelak di akhirat jika meninggal tanpa taubat
diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT.
B. Analisis Pemikiran Tentang Konsep Iman dan Kufur
Pembahasan terdahulu menunjukkan bahwa akal dan iman bagi kaum
Mu’tazilah tidak dapat dipisahkan. Seorang mukmin harus benar-benar
mengetahui adanya Tuhan melalui pembuktian akalnya. Oleh sebab itu,
iman bagi mereka tidak sekedar menyatakan bahwa yang dibawa rasul
benar (al-tasdiq).
Mayoritas dari mereka berpandangan bahwa iman itu mencakup
ketaatan lahir dan batin dengan mengerjakan semua yang wajib dan sunat.
Oleh sebab itu, posisi amal menjadi sangat sentral dalam akidah mereka.
Sehubungan dengan itu mereka tidak memandang pelaku dosa besar
sebagai tetap mukmin. Al-Nadzdzam sendiri mengatakan, bahwa iman
yaitu menjauhi dosa besar.
Iman bagi mereka yaitu ma’rifah yang dibarengi dengan amal saleh
dalam bentuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan
Tuhan. Amal bagi mereka merupakan syarat sahnya iman. Dalam konteks
itulah mereka berbeda dengan kaum salaf yang lupa memasukkan amal
dalam iman, namun amal bagi kaum salaf hanya sebagai syarat sempurnanya
iman .
Sementara itu kaum Murji’ah dan Karamiyah berpendapat bahwa iman
itu hanyalah tasdiq bi al-lisan, sedangkan amal tidak merupakan bagian dan
bukan cabang dari iman. Oleh sebab itu, dalam pandangan mereka orang
yang mengucapkan syahadat saja, seperti orang munafik, tanpa disertai
amal sudah sempurna imannya.
Jahm ibn Sufyan dan Abu al-Hasan al-Salihi dari kalangan Qadariyah
mengatakan bahwa iman itu yaitu al-makrifah bi al-qalb, yaitu pengetahuan
dalam hati. Pendapat seperti itu membawa pengertian bahwa Fir’aun dan
kaumnya termasuk mukmin sebab mereka mengetahui kenabian Musa dan
Harun itu benar, meskipun mereka tidak percaya kepada keduanya. Dalam
konteks seperti itu tampaknya pendapat kaum Qadariyah mengandung
kelemahan.
Di dalam al-Ibanat, al-Asy’ari mengatakan bahwa iman yaitu qaul wa
‘amal, yazid wa yangqus.58 Jadi iman merupakan perkataan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang. Dengan demikian al-Asy’ari juga mementingkan
amal. namun di dalam Kitab al-Luma‘ ia hanya menyebutkan bahwa iman
ialah al-tasdiq bi Allah.59 Al-Syahrastani mengatakan dalam pandangan
al-Asy’ari qaul dan amal hanyalah cabang dari iman. Al-Syahrastani juga
mengatakan, dalam pandangan al-Asy’ari orang yang hanya membenarkan
dalam hati bahwa Allah itu ada, dan rasul-rasulnya datang dari sisi-Nya
sudah sah imannya sehingga jika ia meninggal dunia dalam keadaan
yang demikian, ia yaitu mukmin yang selamat.Berkaitan dengan itu ada
pendapat yang mengatakan bahwa iman bagi kaum Asy’ariyah hanyalah
tasdiq bi Allah, yaitu menerima sebagai benar tentang adanya Tuhan,
sedangkan amal posisinya berada di luar iman atau cabang dari iman.
Sebagaimana al-Asy’ari, al-Baqillani juga berpendapat bahwa iman
yaitu al-tasdiq bi Allah, yaitu mengetahui dan membenarkan dalam
hati bahwa Allah itu ada. Menurutnya sejak sebelum al-Qur’an turun dan
sebelum Nabi Muhammad diutus, para ahli bahasa sepakat bahwa al-iman
yaitu al-tasdiq, sesuai dengan bunyi salah satu ayat al-Qur’an:
نَيقِدِاصَ اَّنُك وَْلوَ انََل نٍمِؤْمُِب تَْنأَا امَوَ
“Dan kamu sekali-kali tidak percaya kepada kami, sekalipun kami
orang-orang yang benar. (QS. 12:17).63
Bertitik-tolak dari pandangan ini di atas, al-Baqillani mengatakan
bahwa iman di dalam syari’at yaitu iman menurut bahasa Arab sesuai
dengan :
هِمِوْقَ نِاسَلِِب �َّلِإا لٍوسُرَ نْمِ انَلْسَرْأَا امَوَ
“kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa
kaumnya.”(QS. 14: 4).64
Al-Baqillani membedakan antara iman dan Islam dengan mengatakan
bahwa setiap mukmin yaitu muslim namun tidak setiap muslim berarti
mukmin. Menurutnya pendapat ini sesuai dengan firman Allah :
انَمْلَسْأَا اوُلوُق نْكَِٰلوَ اونُمِؤُْت مَْل لُْق ۖ اَّنمَآا بُارَعْأَ �لْا تَِلاقَ
“Orang-orang Arab Badui itu berkata Kami telah beriman, “Katakanlah
(kepada mereka) Kamu belum beriman, namun katakanlah kami telah
tunduk.”(QS. 49: 14).
Iman yaitu manifestasi dari Islam. Sebagaimana diisyaratkan
dalam ayat ini , Allah tidak memandang orang-orang Badui beriman,
meskipun mereka telah mengaku beriman sebab mereka baru Islam.65
Al-Baqillani menjelaskan pertentangan iman dan kafir dengan
membagi kafir kepada tiga macam. Pertama, kafir i’tiqadi, kafir semacam
ini tempatnya di hati. Umpamanya meniadakan sifat-sifat Allah, dan
orang yang berkeyakinan bahwa Allah itu nur dalam pengertian cahaya
atau sinar, atau roh, atau jism yang duduk di atas ‘arasy. Kedua, kafir fi’il,
seperti melemparkan al-Qur’an kedalam kotoran. Ketiga, kafir qauli
seperti menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, baik zat, sifat, maupun
perbuatan. Termasuk juga orang yang mendustakan isi kandungan al-
Qur’an, atau ajaran Nabi Muhammad, seperti mengatakan surga dan neraka
itu lenyap, surga bukan kesenangan jasmaniyah dan neraka yaitu siksaan
ma’nawiyah atau abstrak. Demikian juga orang yang mengingkari kewajiban
shalat, puasa, dan zakat, mengharamkan talak dan menghalalkan khamar.
Kafir yang paling berat yaitu orang yang mengingkari Allah.66
Pembagian kafir di atas menunjukkan bahwa dalam konsep iman yang
dikemukakan al-Baqillani, amal tetap dipentingkan sebab menurutnya
perbuatan dapat membawa kepada kekafiran. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa amal tidak lepas dari iman. Ada pengecualian didalam
kafir qauli di atas. Orang yang hilang akal atau terpaksa, sedang hatinya tetap
beriman tidak termasuk didalamnya. Dalam memperkuat pendapatnya itu
ia mengemukakan argumen berdasarkan ayat al-Qur’an:
نْكَِٰلوَ نِامَي ِإ�لْاِب ٌّنئِمَطْمُ هُبُلْقَوَ هَرِكْأُا نْمَ �َّلِإا هِِنامَيِإا دِعْبَ نْمِ هَِّللاِب رَفَكَ نْمَ
مٌيظِعَ بٌاذَعَ مْهَُلوَ هَِّللا نَمِ بٌضَغَ مْهِيْلَعَفَ ارًدْصَ رِفْكُْلاِب حَرَشَ نْمَ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah beriman, ia mendapat
kemurkaan Allah, kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap beriman, namun orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang
besar”.(QS. 16: 106).67
Selanjutnya al-Baqillani mengatakan bahwa orang yang termasuk
di antara macam-macam kafir di atas sia-sia semua kebaikannya. Tidak
dihitung sedikit pun, baik puasa, shalatnya dan sebagainya. Sesuai dengan
ayat:
هُُلمَعَ طَبِحَ دْقَفَ نِامَي ِإ�لْاِب رْفُكْيَ نْمَوَ
“Barang siapa kafir sesudah beriman maka hapuslah amalnya.”(QS. 5:5).
Orang yang seperti itu sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat
tetap berdosa, meskipun ia minta ampun kepada Allah, batal nikahnya
dengan istrinya, hubungan keduanya sesudah kekafiran yaitu diluar syari’at,
ia akan diampuni Allah sesudah memperbaharui imannya.
84 | ILMU TAUHID
A. Teologi Islam Tentang Perbuatan Manusia dan Perbuatan
Tuhan
1. Aliran Qadariah dan Aliran Jabariah
Aliran Qadariah yang pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-
Juhani (w. 80 H.) bersama dengan Gailan al-Dimasyqi (w. abad VIII M.)
mengatakan, manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya
dengan kemauan dan tenaganya. Manusia memiliki kebebasan dalam
kemauan dan kebebasan dalam perbuatan.1 Di sini tidak ada paham
yang mengatakan bahwa nasib telah ditentukan terlebih dahulu, dan
bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut
nasibnya yang telah ditentukan sejak azal.2 Jadi perbuatan-perbuatan yang
dihasilkan manusia itu lepas atau bebas dari campur tangan Tuhan, manusia
bebas dalam kehendaknya dan bebas dalam perbuatannya.
Sebaliknya dengan aliran Jabariah yang pertama kali ditonjolkan oleh
al-Ja’d bin al-Dirhan (w. abad VIII M.) dan kemudian disebarkan oleh Jahm
bin Sofwan (w. 131 H.), berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan
Tuhan dalam diri manusia, manusia tidak memiliki kemampuan dan
daya untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia tak ubahnya seperti
wayang bergerak bila digerakkan oleh dalang.3 Semua perbuatan manusia
merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya, termasuk perbuatan-
perbuatan mengerjakan kewajiban, menerima pahala dan menanggung
siksaan.4 Oleh sebab itu menurut Harun Nasution, manusia dikatakan
berbuat bukan dalam arti sebenarnya, namun dalam arti majazi atau kiasan.
Seluruh perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan manusia, tidak
merupakan yang timbul dari kemauannya sendiri, namun perbuatan yang
dipaksakan atas dirinya.
Kedua pandangan ini di atas, yakni antara paham Qadariah
dan paham Jabariah nampaknya bertolak belakang, ibarat dua kutub yang
berlawanan. Disatu pihak mengakui adanya kebebasan manusia dan dipihak
lain, Tuhan berkuasa mutlak dalam terciptanya perbuatan manusia.
2. Aliran Mu’tazilah dan Aliran Asy’ariyah.
Aliran Mu’tazilah hampir sama dengan aliran Qadariah sebab
ada persesuaian pendapat antara keduanya. Pendapatnya yaitu bahwa
manusia memiliki kekuasaan atau daya (qudrah) untuk menciptakan
perbuatannya secara mandiri dan merdeka tanpa keterlibatan Tuhan. Para
penganutnya meniadakan anggapan bahwa segala sesuatunya terjadi sesuai
apa yang sudah ditetapkan (Qada dan Qadar) Allah,
Sedangkan aliran Asy’ariyah yaitu aliran yang condong kepada
aliran Jabariah yaitu manusia dipandang lemah, banyak tergantung kepada
kehendak dan kekuasaan Tuhan.7 Perbuatan itu tidak terjadi dengan
sendirinya melainkan sebab pencipta menciptakannya.
Adapun kaum Asy’ariyah menolak konsepsi bahwa Allah melakukan
sesuatu sebab satu atau beberapa maksud dan tujuan. Mereka menyatakan
bahwa adanya maksud atau tujuan, itu hanya berlaku untuk manusia dan
makhluk serupa lainnya. Namun Allah tak seperti itu, sebab adanya maksud
dan tujuan menunjukkan si pelaku berada di bawah kendali maksud dan
tujuan itu. Allah tidak seperti itu. Allah tidak dibatasi apapun dan tidak di
bawah kendali apapun, entah itu batas atau kendali yang berupa maksud
dan tujuan
Berkaitan dengan penciptaan alam seisinya dan segala perbuatannya
disertai dengan alasan dengan tujuan tertentu. Dalam hal ini, ulama
mutakallimin memiliki pandangan-pandangan yang berbeda. Mayoritas
Mu’tazilah berpandangan bahwa perbuatan-perbuatan Allah berkaitan
dengan tujuan-tujuan tertentu sebab Dia Maha Bijaksana, yang tidak akan
berbuat kecuali disertai tujuan. Tujuan-tujuan itu dalam bentuk pemberian
manfaat kepada makhluknya. Allah tidak menciptakan sesuatu yang tidak
memiliki nilai manfaat, dan atau kebaikan bagi hamba-hamba-Nya
Menurut Ibrahim al-Nidam, Allah tidak mampu berbuat yang
menyalahi kebaikan hamba-Nya, tidak mampu mengurangi sebutir
kenikmatan penghuni Surga dan tidak mampu menambah atau mengurangi
sedikitpun siksa penghuni Neraka. Hal ini, jika terjadi merupakan manifest
kezaliman-Nya.
3. Aliran Maturidiyah
Dalam sejarah aliran teologi Islam, dikenal dua aliran Maturidiyah,
yaitu Maturidiyah Samarkhan dan Maturidiyah Bukhara. Penganut aliran
Maturidiyah Samarkhan mendapat pengaruh dari Abu Hanifah (yang
dikenal banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya) dibawah
pimpinan al-Maturidi.11 Sedang kelompok Maturidiyah Bukhara yang
dipimpin oleh al-Bazdawi banyak condong ke paham Asy’ariyah.
Dalam hal af ’al al-ibad, Abu Mansur al-Maturidi berusaha untuk
mencari jalan tengah antara kandungan ayat-ayat al-Qu’ran (Q.S. 6:102)
dan (Q.S.6:17) dengan (Q.S. 41: 46). Ayat-ayat ini merupakan sebahagian
dari ayat-ayat yang membawa kepada paham Jabariyah dan Qadariyah. Al-
Maturidi mencoba merumuskan pemikirannya yang menetapkan bahwa
Allah harus bersifat seperti yang diinginkannya dan manusia harus pula
memiliki bagian dalam perbuatannya. Menurutnya, Allah yaitu satu-
satunya pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Adil, disamping itu manusia
memiliki daya yang berpengaruh terhadap perbuatannya. Atas dasar inilah
diberlakukan pemberian upah dan siksaan kepada manusia yang melakukan
suatu perbuatan.
Al-Maturidi berkesimpulan bahwa terjadinya suatu perbuatan yaitu
hasil dari perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan
lain dari perbuatan manusia. Ia menegaskan bahwa pencipta perbuatan
yaitu Allah sebab ia satu-satunya pencipta. Pencipta di sini dalam arti
mewujudkan sesuatu dari tidak ada menjadi ada, disamping itu, manusia
yaitu fa’il. Manusia memiliki daya untuk memilih tentang sesuatu yang
dikerjakannya.
Adapun golongan Maturidi Bukhara yang dipelopori oleh al-Bazdawi
berpendapat bahwa dalam perwujudan perbuatan ada dua perbuatan,
perbuatan Tuhan dan perbuatan manusi. Perbuatan Tuhan yaitu
penciptaan perbuatan manusia dan bukan penciptaan daya. Perbuatan ini
disebut maf ’ul. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang
diciptakan itu, perbuatan ini disebut fa’il.
Dengan demikian, jelas bahwa perbuatan manusia yaitu perbuatan
Tuhan sebab perbuatan Tuhan yaitu penciptaan perbuatan itu. Jadi
akhirnya paham al-Bazdawi sama dengan paham Asy’ari bahwa daya
manusia tidak efektif dalam perwujudan perbuatannya.
Abu Mansur al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah dalam hal
bahwa Allah tidak menciptakan makhluknya dengan sia-sia, perbuatan-
perbuatan-Nya selalu memiliki nilai hikmah, dan hikmah itulah yang
dikehendakinya. Al-Maturidi sependapat dengan Muhammad Abduh,
bahwa perbuatan-perbuatan Allah selalu mengandung hikmah, tidak sia-
sia dan tidak berbohong memenuhi janjinya.
B. Analisis Pemikiran Tentang Perbuatan Manusia dan
Perbuatan Tuhan
‘Abd al-Jabbar dari kalangan Mu’tazilah berpandangan bahwa
manusia menciptakan sendiri perbuatannya, sebab jika Tuhan yang
menciptakannya berarti manusia tidak berhak memperoleh pahala maupun
siksa. Di samping itu, jika semua perbuatan manusia terjadi berdasarkan
qada’ dan qadar Tuhan, berarti Dia meridhai orang kafir menjadi kafir.
Menurut kaum Mu’tazilah secara hakiki manusialah yang menciptakan
perbuatannya, sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya “Dan
kamu membuat dusta “ .(QS. .29: 17); “Maka sucilah Allah pencipta yang
paling baik .” (QS. 23; 14 ); “Diwaktu kamu membentuk sesuatu bentuk
berupa burung dari tanah.”(QS.. 5: 110).
Di samping itu, jika Allah yang menciptakan perbuatan manusia,
maka perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan manusia, bukan
merupakan perbuatan bagi mereka. Oleh sebab itu batallah taklif, dan janji
maupun ancaman Allah. Berkaitan dengan itu mereka berpendapat bahwa
taklif di pandang baik jika manusia mungkin melakukannya.17
Bagaimana Allah akan menghisab hamba-hamba-Nya di akhirat
jika perbuatan mereka merupakan ciptaan Allah. Bagaimana Allah akan
memberi pahala dan siksa jika mereka tidak memiliki andil dalam
menciptakan perbuatan mereka.18
Sejalan dengan persoalan di atas, tampaknya dalam masalah perbuatan
manusia hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, boleh jadi semua perbuatan
manusia ciptaan Allah. tidak ada perbuatan bagi manusia. Oleh sebab itu
mereka tidak dapat pujian, celaan, pahala maupun siksaan. Kedua, boleh
jadi Tuhan dan manusia sama-sama berbuat, sehingga pujian dan celaan
berlaku bagi keduanya. Ketiga, boleh jadi perbuatan manusia yaitu ciptaan
manusia sendiri. Oleh sebab itu manusia akan memperoleh pujian, celaan,
pahala, dan siksaan. Kaum Mu’tazilah hanya menerima alternatif ketiga
sebab sesuai dengan pendapat mereka yang memandang manusia bebas
dalam melakukan perbuatan-perbuatannya.
Menurut pandangan Mu’tazilah jika Tuhan yang menciptakan
perbuatan manusia, maka tidak ada gunanya dia mengutus rasul-Nya,
sebab mereka tidak bebas di dalam mengikuti petunjuk-petujuknya .
Kaum Mu’tazilah berpendirian bahwa di dalam perbuatan manusia
ada kekafiran, kebohongan dan kezaliman. Jika Allah yang menciptakan
perbuatan manusia tentu perbuatan- perbuatan buruk merupakan
perbuatan-Nya sebab siapa yang berbuat sesuatu, maka perbuatan itu
disandarkan kepada-Nya. Dengan demikian tidak dapat dikatakan Tuhan
yang menciptakan perbuatan manusia
Di samping itu menurut kaum Mu’tazilah, tidak dapat dikatakan
Allah menciptakan perbuatan hamba-Nya kemudian dia menyiksa mereka.
Sehubungan dengan itu merupakan perbuatan zalim jika Allah menyiksa
orang yang terpaksa melakukan maksiat, dan Allah tidak dapat memberi
pahala kepada orang yang berbuat zalim. Berdasarkan argumen itu mereka
berpendapat bahwa perbuatan buruk seperti zalim tidak berasal dari
Tuhan.
‘Abd al-Jabbar mengatakan bahwa Tuhan tidak mau berbuat zalim
sebagaimana disebut dalam al-Qur’an “Tidaklah Tuhanmu menganiaya
hamba-hamba-Nya. ( QS. 45: 46). Dalam ayat lain dikatakan “Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah.” (QS. 4: 40);
“Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (QS. 18: 49).23 Kaum
Mu’tazilah berpendirian bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-
perbuatan mereka. Tuhan tidak campur tangan di dalamnya.
Kaum Asy’ariyah menolak pandangan kaum Mu’tazilah di atas, sebab
menurut al-Asy’ari pandangan yang demikian bertentangan dengan ayat
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.”
(QS. 11: 107). Tampaknya bagi al-Asy’ari manusia tidak memiliki
pilihan di dalam perbuatannya sebab semua yang dilakukan manusia
yaitu berdasarkan ketentuan Tuhan. Baginya Tuhan merupakan pencipta
perbuatan manusia.Hakikatnya perbuatan tidak terjadi kecuali diciptakan
oleh yang menciptakan-Nya. Oleh sebab itu mesti ada yang menciptakan
kekafiran dan keimanan secara hakiki. Allah yang menjadikan keimanan
itu baik. Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, baik
atau buruk. Sekiranya bukan Tuhan yang menciptakannya tentu orang
kafir dapat menjadikan kekafiran itu buruk dan ia juga yang menjadikan
keimanan itu baik. Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan
manusia, baik atau buruk. Sekiranya bukan Tuhan yang menciptakan tentu
orang kafir dapat menjadikan kekafiran dipandang baik sesuai dengan
keinginan mereka. Perbuatan manusia menurut al-Asy’ari disebut kasb.
Tidak ada fa’il bagi kasb kecuali Allah. Demikian pula tidak ada khaliq
kecuali Allah. Menurutnya tidak ada yang mampu menciptakan secara
hakiki kecuali Allah. Perbuatan mesti dari fa’il secara hakiki. Kasb mesti dari
muktasib yang memberi kasb secara hakiki. Perbuatan baik seperti iman
dan perbuatan jahat seperti kufr sebenarnya Allah yang menciptakannya.
Pengertian manusia beriman menurutnya yaitu manusia itu beriman
dengan daya yang baru, bukan berarti manusia ini yang membuat
keimanan namun yang membuat sebenarnya yaitu Allah. Demikian pula
dengan perbuatan dusta. Orang yang membuat dusta sebagai kitab bukanlah
pencipta dusta yang sebenarnya. Gerakan yang terpaksa juga menunjukkan
bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia.26 Pandangan yang
demikian membawa pengertian, manusia terpaksa atau tidak memiliki
pilihan didalam perbuatannya.
Berbeda dengan al-Asy’ari, menurut al-Baqillani ada perbuatan yang
terjadi berdasarkan pilihan manusia, dan ada perbuatan yang manusia
terpaksa melakukannya. Berkaitan dengan itu, ia mengatakan bahwa
manusia mampu berdiri, duduk, dan berbicara dengan keinginannya
sendiri. namun manusia tidak mampu bergerak saat lumpuh dan sakit.2
Berdasarkan pendapat ini , tampaknya al-Baqillani mengakui adanya
andil manusia didalam perbuatannya. Manusia memiliki kebebasan di-
dalam menentukan perbuatannya. Manusia memiliki kebebasan didalam
menentukan perbuatan yang diinginkannya. namun kebebasan manusia
dalam pandangannya tidak sebesar kebebasan yang dipahami Mu’tazilah.
Dalam masalah perbuatan manusia, al-Baqillani tidak sepenuhnya
sependapat dengan al-Asy’ari.
Al-Baqillani selanjutnya mengatakan bahwa manusia hanya mampu
berbuat dengan qudrat yang diciptakan Tuhan padanya, dengan alasan
seseorang hanya dapat berbuat sesuatu pada suatu waktu. namun tidak dapat
berbuat yang serupa pada waktu yang lain. Di samping itu manusia tidak
mampu berbuat saat terjadi perbuatan (iktisab). Ia hanya mampu berbuat
saat terjadi perbuatan (fi hat iktisab) sebab ia tidak diberikan qudrat
sebelumnya.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa qudrat yang ada pada manusia
tidak tetap. Kemampuan manusia hanya ada kesamaan dengan perbuatan.
jika manusia telah memiliki kemampuan sebelum terjadi perbuatan,
maka pada waktu terjadi perbuatan ia tidak lagi membutuhkan bantuan
Tuhan. Menurutnya yang demikan itu mustahil. Pandangan yang demikian
menunjukkan bahwa dalam pemahamannya, Tuhanlah yang menciptakan
daya pada manusia dan kebebasan manusia terletak pada penggunaan daya
itu.
Qudrat manusia tidak tetap, jika tetap maka tidak dapat tidak ia
tetap sebab dirinya sendiri, atau sebab ada yang menyebabkannya. jika
ia tetap dengan sendirinya mestilah ia tetap ada pada waktu yang sama
atau pada waktu yang berlainan. Ini juga mustahil. Di samping itu kalau
qudrat tetap sebab ada sebab, mestilah ia merupakan jism atau jauhar. Ia
juga menurutnya tidak benar.29 Pandangan yang demikian menunjukkan
bahwa ia tidak setuju pada pendapat yang memandang qudrat sebagai sebab
terjadinya perbuatan.
Di samping itu berpandangan Allah swt. memberikan qudrat tidak
untuk dua perbuatan yang bertentangan atau yang sama, atau yang berbeda.
Dengan kata lain, Allah memberikan satu qudrat untuk satu perbuatan.
Dia memberikan qudrat untuk berbuat kepada manusia yang sebelumnya
tidak ada. Qudrat itu ada bersamaan dengan gerakan tangan. Air keluar
bersamaan dengan masuknya batu ke dalam gelas. Seseorang mengetahui
rasa sakit bersamaan dengan adanya sakit. Untuk memperkuat pendapatnya
itu, ia mengemukakan ayat Al-Qur’an “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. 2: 286). “Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang diberikan
Allah kepadanya.” (QS. 65: 7). Ayat ini menurutnya menunjukkan
bahwa tidak ada qudrat sebelum perbuatan. Pendapat ini diperkuat
ayat ”Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah.”
(QS. 2: 184). Ayat ini menurutnya jelas menunjukkan tidak adanya
qudrat.
Al-Baqillani mengatakan bahwa pendapatnya yang menyebutkan
satu qudrat untuk satu perbuatan tidak menunjukkan seseorang terpaksa
dalam perbuatannya. Menurutnya orang yang terpaksa berbuat sesuatu
yaitu orang yang dibebani sesuatu yang tidak disukainya. Sementara
orang yang dikatakan mampu berbuat yaitu orang yang berbuat dengan
kemampuannya sendiri. Orang yang terpaksa berbuat dan yang mampu
berbuat berbeda dengan orang yang tidak mampu berbuat sama sekali.
Orang yang tidak berbuat apa yang diperintahkan kepadanya yaitu orang
yang tidak mampu melakukannya.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa taklif mala yutaq itu ada sebagaimana
Allah memerintahkan hamba-Nya berbuat adil kepada sesama manusia
namun Dia sendiri mengatakan manusia tidak mampu berbuat demikian.
Sebagaimana diisyaratkan dalam ayat “Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian.” (QS. 4: 129).
Ia berpendapat bahwa qudrat manusia tidak tetap dan bukan merupakan
sebab terjadinya perbuatan. Satu qudrat hanya untuk satu perbuatan, satu
qudrat tidak bisa untuk beberapa perbuatan yang serupa, berbeda atau
bertentangan. Qudrat hanya ada pada saat terjadinya perbuatan, qudrat
tidak ada sebelum maupun sesudah terjadinya perbuatan.33 Pandangan di
atas menunjukkan bahwa al-Baqillani lebih jauh dari al-Asy’ari, baginya
manusia memiliki kebebasan di dalam perbuatannya. Sebaliknya
menurut al-Asy’ari manusia tidak memiliki kebebasan.
Di dalam menanggapi pandangan Mu’tazilah, al-Baqillani mengatakan
bahwa Allah yaitu pencipta semua perbuatan manusia sebab Dia berkuasa
terhadap tiap-tiap yang mereka lakukan. Menurutnya firman Allah dalam
ayat “Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”(QS.
37: 96), menunjukkan bahwa Allahlah yang menciptakan manusia dan
perbuatan-perbuatannya. Tidak ada pencipta selain Allah, sebagaimana
diisyaratkan dalam ayat ”Adakah sesuatu pencipta selain Allah yang dapat
memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain
Dia.” (QS. 35: 3); “Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan
malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya?.” (QS. 28: 72).34
Al-Baqillani berpendapat bahwa memandang manusia sebagai
pencipta sendiri perbuatannya bertentangan dengan ayat “Apakah mereka
menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti
ciptaan-Nya, sehingga kedua ciptaan itu serupa dalam pandangan mereka?”
(QS.13: 16).
Selanjutnya al-Baqillani berpendapat bahwa perbuatan manusia
dikatakan perbuatan Tuhan, yaitu sebab manusia diberi Tuhan qudrat
berbuat saat terjadi perbuatan, dan Allah tidak meninggalkan perbuatan
itu sebab perbuatan itu terjadi sebab Dia, bukan sebab manusia. Jika
Dia meninggalkan-Nya, maka perbuatan itu tidak akan terjadi. Allahlah
yang menciptakan perbuatan manusia dan Dia jugalah yang menciptakan
keinginan manusia untuk melakukan perbuatan.
Didalam menanggapi pendapat Mu’tazilah, Al-Baqillani mengatakan
bahwa Tuhan tidak memerintahkan seorang pun dari hamba-Nya untuk
menciptakan sesuatu. Dia juga tidak melarangnya. Dia juga tidak memberi
pahala kepada seseorang yang menciptakan sesuatu, dan juga tidak
memberi pahala kepada seseorang yang menciptakan sesuatu, dan juga tidak
menyiksanya. Al-khalq (penciptaan) mustahil bagi manusia. Allah hanya
memerintahkan hamba-Nya agar berusaha dengan sungguh-sungguh (al-
iktisab) untuk memperoleh ciptaan-Nya, atau melarangnya. Pahala, siksaan
dan ancaman yaitu berdasarkan perintah dan larangan-Nya. Namun
Allah hanya akan memberikan pahala kepada orang yang disukai-Nya dan
memberi siksa kepada orang yang tidak disukai-Nya.
Al-Baqillani memandang al-kasb sebagai gerakan orang yang disertai
qudrat pada waktu terjadi perbuatan, berbeda dengan orang yang lumpuh,
yang tidak dapat bergerak. Ia membedakan antara gerakan tangan orang
yang sehat, sebagai gerakan yang tidak terpaksa, dengan gerakan orang yang
gemetar sebab sakit, yaitu yang bergerak sebab terpaksa. Kasb merupakan
perbuatan dengan jalan ikhtiar, kasb bukan perbuatan yang terpaksa.
Dengan pandangan yang demikian, konsep kasb al-Baqillani mengandung
paham kebebasan. Bagi al-Baqillani manusia memiliki sumbangan yang
efektif didalam perwujudan perbuatannya. Tuhan hanya menciptakan gerak
di dalam diri manusia, sedangkan bentuk dari gerakan itu, yang kemudian
disebut perbuatan, seperti duduk, berdiri, atau berbaring yaitu perbuatan
manusia.
Sejalan dengan pandangannya, sebagaimana tampak pada uraian di
atas, bahwa semua yang terjadi di alam ini yaitu ciptaan Tuhan, maka
ketaatan juga menurutnya yaitu ciptaan Tuhan, bukan ciptaan manusia.
Ia memahami ayat ”Dan kamu tidak mengutus seorang Rasul melainkan
untuk ditaati dengan seizin Allah.” (QS. 4: 64), sebagai isyarat bahwa Tuhan
tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk memerintahkan agar semua
mukallaf menaati-Nya. Demikian pula dengan firman Allah “Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(QS. 51: 56). Menurutnya ayat ini memiliki pengertian bahwa Allah
tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk memerintahkan mereka
beribadah kepada-Nya.
Manusia memiliki kasb bukan dalam pengertian terpaksa namun
“usaha” untuk melakukan perbuatan, baik taat maupun maksiat. Oleh sebab
itu di dalam al-Qur’an disebutkan “Ia mendapat pahala (dari kebijakan)
yang diusahakannya.” (QS. 2: 286), maksudnya pahala dari perbuatan baik.
Kemudian dikatakan pula “Dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya.” (QS. 2: 286), maksudnya siksaan dari perbuatan jahat yang
dikerjakan manusia.
Selanjutnya ia mengemukakan beberapa ayat al-Qur’an yang
menunjukkan bahwa perbuatan manusia merupakan kasb bagi mereka,
diantaranya “Disebabkan sebab perbuatan tangan manusia.”(QS. 30:
41); “yaitu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. 42: 30).
Menurutnya akal dapat membedakan ikhtiar. Kasb yaitu perbuatan ikhtiar
bagi manusia dan ciptaan bagi Allah. Apa yang disifatkan kepada Allah
tidak dapat disifatkan kepada ciptaannya. Dan apa yang disifatkan kepada
ciptaannya tidak dapat disifatkan kepada Allah. Oleh sebab itu, Allah tidak
disebut sebagai muktasib dan manusia tidak dapat disebut sebagai khaliq.42
Al-Baqillani mengatakan bahwa sesuatu yang dikatakan pencipta yaitu
jika ia mampu menciptakan sesuatu dan mampu juga meniadakannya. Jika
ia mampu membuat sesuatu hidup, ia juga mesti mampu mematikannya.
Jika ia mampu menghancurkan sesuatu, ia juga mesti mampu menyusunnya
kembali sebagaimana aslinya. Manusia tidak mampu melakukan yang
demikian. Dengan demikian tidak ada pencipta selain Allah sebab Dialah
yang mampu menciptakan sesuatu dan sebaliknya.
Hakikat penciptaan yaitu mengeluarkan sesuatu dari tidak ada
menjadi ada (ikhraj al-syai’ min al-‘adam ila al-wujud). Pandangan yang
mengatakan bahwa manusia mampu menciptakan sesuatu dari tidak ada
menjadi ada yaitu menyamakan antara qudrat Allah dengan qudrat
manusia. Pendapat seperti itu tidak memiliki dasar sebagaimana
diisyaratkan Allah dalam ayat “Bantahan mereka itu sia-sia saja disisi Tuhan
mereka.”(QS. 42:16).
Al-Baqillani selanjutnya berpendapat bahwa ayat ”Sebagai balasan
bagi apa yang telah mereka kerjakan.”(QS. 56: 24), tidak menunjukkan
bahwa perbuatan manusia yaitu sebenar-benarnya ciptaan bagi manusia.
Menurutnya yang dimaksud dengan ya‘malun dalam ayat ini yaitu
yaksibun. Ia tidak menolak bahwa kasb disebut sebagai perbuatan bagi
manusia. Ia hanya menolak untuk mengatakan manusia sebagai pencipta
bagi perbuatannya dari tidak ada menjadi ada. Menurutnya tidak ada yang
mampu melakukan penciptaan (al-khalaq wa al-ikhtira wa al-khuruj min
al’adam ila al-‘wujud) kecuali Allah.
Ia mengatakan bahwa ayat ”Dan diwaktu kamu membentuk dari
tanah.” (QS. 5: 110), hanya mengandung informasi bahwa Adam as. mampu
membentuk tanah, bukan mengeluarkan bentuk dari tidak ada menjadi
ada. Dalam pada itu ayat “Maka maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik.” (QS. 23:14) memberitahukan bahwa orang-orang kafir memandang
ada pencipta selain Allah. Kemudian ayat ”Dan dialah yang menciptakan
(manusia) dari permulaan.” (QS. 30: 27) merupakan penolakan Allah
terhadap pendapat mereka ini .
Selanjutnya ia mengatakan bahwa pengaruh keinginan terhadap
perbuatan manusia juga tidak menunjukkan bahwa manusia dapat
menciptakan perbuatannya. Ia memberikan perumpamaan, bahwa
tumbuhnya tanaman sesuai dengan kehendak penanamnya, namun bukan
merupakan ciptaan baginya. Demikian pula ternak yang gemuk terjadi
atas kehendak pemiliknya yang memberi makan dan minumnya. namun
bukanlah al-alif dan al-saqi (pemberi makan dan pemberi minum ternak)
yang menciptakan kegemukan pada ternak. Semua itu diciptakan Allah atas
kehendak-Nya.
Menurut al-Baqillani perbuatan tidak menentukan keadaan seseorang
di akhirat nanti. Dengan kata lain, pahala atau siksa bukanlah merupakan
konsukuensi dari kebebasan manusia di dalam melakukan perbuatannya.
Pahala dan siksa merupakan ketentuan dari Allah, sebagaimana wajib
hukum denda (al-diyat) terhadap orang yang membunuh orang lain
meskipun tidak dengan sengaja sebab sudah ketentuan Allah. Begitu pula
orang yang berpuasa lalu makan sebab lupa, tidak batal puasanya dan
tidak mendapat hukuman.
Al-Baqillani tidak menghubungkan pahala dan siksa semata-mata
dengan perbuatan manusia. namun dapat dipahami bahwa Tuhan dalam
pandangannya bukanlah sebagai raja absolut yang bertindak sewenang-
wenang, sebab sesuai dengan konsep kasb-Nya ia juga mengakui Tuhan
memberikan ikhtiar bagi manusia. Dalam konteks seperti itulah tampaknya
al-Baqillani tidak lagi sepenuhnya mengikuti al-Asy’ari. Dalam masalah
perbuatan manusia, al-Baqillani tidak lagi berpegang pada konsep kehendak
dan kekuasaan mutlak Tuhan sebab didalam pandangannya manusia bebas
berkehendak dan menentukan perbuatannya.
A. Janji dan Ancaman Tuhan
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa janji dan ancaman Allah pasti
terjadi. Dia wajib memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan
wajib menyiksa orang yang berbuat dosa besar kelak di akhirat jika tidak
bertaubat.Bahkan pelaku dosa besar yang tidak bertaubat akan kekal di
dalam neraka. Namun azab yang diterimanya lebih ringan dari azab yang
diterima orang kafir. Dengan demikian jika pelaku dosa besar bertaubat
ia berhak memperoleh pahala.
Al-Asy’ari dan al-Baqillani membedakan antara syirik dan perbuatan-
perbuatan maksiat lainnya. Menurut mereka, Allah mengampuni semua
perbuatan maksiat kecuali syirik. Mereka memperkuat pendapat ini
dengan mengemukakan ayat al-Qur’an seperti ini: “Sesunguhnya Allah
tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan Dia
mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-
Nya.”(QS. 4:116).
Nabi Muhammad saw. pernah mengatakan sesuatu saat Malaikat
Jibril mendatanginya dan mengatakan jika umatnya meninggal dunia
dalam keadaan tidak musyrik meskipun melakukan dosa besar, seperti
berzina dan mencuri akan masuk surga, sebagaimana disebutkan dalan
hadis dibawah ini.
Nabi saw. mengatakan: “Jibril berkata kepadaku bahwa siapa meninggal
dunia diantara umatmu sedangkan dia tidak mempersekutukan sesuatu
terhadap Allah masuk surga atau tidak akan masuk neraka, Nabi bertanya,
meskipun ia berzina dan mencuri? Jibril menjawab dengan mengatakan
meskipun ia berzina dan mencuri.”
Al-Baqillani mengatakan bahwa Allah mengistimewakan orang
mukmin dengan memberi mereka qudrat beriman dan beramal saleh di
dunia. Kemudian memberi pahala atas perbuatan baik mereka di akhirat.
Berbeda dengan Mu’tazilah yang bertitik-tolak dari pertimbangan
akal, al-Asy’ari maupun al-Baqillani berpandangan bahwa perbuatan baik
tidak wajib mendapat pahala dari Allah. Dan orang yang berbuat maksiat
tidak wajib menerima hukuman. jika Allah menyiksa semua penduduk
langit dan bumi, Dia tidak zalim terhadap mereka.
Berdasarkan uraian dan dalil-dalil di atas, mereka berpendapat bahwa
memberikan pahala kepada hamba-Nya yang taat bukanlah kewajiban bagi
Tuhan. Menurut al-Asy’ari, Allah yaitu pemberi kewajiban maka tidak
ada sesuatu pun yang wajib terhadap-Nya. Al-Asy’ari bependapat bahwa
berdasarkan akal tidak dapat dikatakan Allah wajib menerima taubat orang
yang berdosa besar. Selanjutnya ia berpandangan bahwa sesuai dengan
petunjuk wahyu dan hadis, Allah akan mengabulkan taubat orang yang
bertaubat dan mengabulkan doa orang yang dalam keadaan terpaksa.
Al-Baqillani memandang bahwa pendapat yang mengatakan
pemberian pahala merupakan kewajiban Tuhan yaitu buruk menurut
akal. Menurutnya tidak mustahil Allah mengampuni dan memasukkan
orang yang berbuat maksiat ke dalam surga. Kekafiran dan kejahatan
mereka bukan merupakan alasan bagi-Nya untuk memasukkan mereka ke
neraka. Siksaan Allah terjadi bukan kerena suatu sebab, siksaan yaitu hak
Allah swt. Dia boleh melaksanakannya dan boleh meninggalkannya.
Al-Baqillani berpandangan bahwa Allah tetap baik meskipun tidak
menyiksa orang yang berbuat jahat. Kaum muslimin juga sepakat bahwa
mengampuni orang yang berbuat jahat itu baik. Oleh sebab itu, bukan
suatu yang buruk bagi Allah tidak melaksanakan ancamannya. Dalam
memperkuat pendapatnya itu, ia mengemukakan ayat ”Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS.64: 14).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah boleh mengampuni semua
atau sebagian orang yang berdosa dan menyiksa sebagian yang lain. Namun
sesuai dengan ketentuan Nabi Muhammad dan ijma’ kaum Muslimin, ia
berpendapat bahwa Allah tidak akan mengampuni seorang pun diantara
orang kafir. Semua orang kafir masuk neraka. Demikian pula semua
orang musyrik masuk neraka. Meskipun dikatakan “Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya”.(QS.39: 53), menurutnya didalamnya
tidak termasuk musyrik dan kafir. Musyrik tidak mendapat ampunan Allah
sesuai dengan salah satu ayat-Nya “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni
dosa yang mempersekutukan sesuatu dengan Dia.” (QS. 4: 116) dan orang
kafir tidak mendapat ampunan-Nya sesuai dengan ayat “Jika kamu menjauhi
dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya
niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu.”(Qs. 4: 31)
Pendapat di atas sejalan dengan pandangan al-Asy’ari bahwa pelaku
dosa besar yang tidak bertaubat hukumnya terserah Allah. Ia boleh
mengampuninya berdasarkan rahmat-Nya atau sebab syafa’at dari nabi
Muhammad saw. Ia juga boleh menghukumnya kemudian memasukkannya
ke surga. Disamping itu, pelaku dosa besar tidak kekal dalam neraka
bersama orang kafir,
Al-Baqillani mengatakan, bahwa lafaz al-kabair dalam ayat diatas
maksudnya yaitu al-kufr. Kemudian dengan mengemukakan ayat
“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. 12: 87) dan
“Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah”, (QS. 39:53), ia mengatakan
bahwa yang dibicarakan dalam ayat-ayat ini tidak termasuk kafir dan
musyrik.
Bagi Al-Baqillani pelaku dosa besar atau fasiq tidak termasuk kafir
atau musyrik. Oleh sebab itu, Allah dapat mengampuninya. Perbuatan
maksiat selain kufur dan syirik tidak bertentangan dengan iman dan ma’rifat
kepada Allah. Ia berpandangan bahwa fasiq tetap mukmin, bukan kafir atau
musyrik.Pendapatnya ini sejalan dengan pendapat al-Asy’ari yang
mengatakan bahwa orang yang memiliki iman yaitu mukmin. jika
fasiq disebut tidak mukmin dan tidak kafir berarti dia tidak memiliki
iman dan juga tidak memiliki kekafiran. Menurut al-Asy’ari mustahil
orang fasiq tidak mukmin dan tidak kafir. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa
sebelum munculnya Wasil ibn Atha’ (pemuka Mu’tazilah) semua golongan
dalam Islam sepakat mengatakan pelaku dosa besar sebagai mukmin, tidak
kafir.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, al-Baqillani mengemukakan ayat-
ayat di bawah ini: “Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan mendapat
balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka
seorang pelindung pun dari azab Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi
dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Merekalah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. 10:27). “Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginya neraka
jahannam, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. (QS. 72: 23).
Menurutnya ayat-ayat seperti ini ditujukan kepada orang kafir,
yaitu orang yang tidak beriman dan tidak memiliki kebaikan. Orang
yang memiliki satu kebaikan balasannya sepuluh kali lipat. Allah
memberi kebaikan dan pertolongan yang besar di hari kiamat kepada orang
mukmin,13 sesuai dengan ayat: “Barang siapa yang membawa kebaikan, maka
ia memperoleh balasan yang lebih baik dari padanya, sedangkan mereka itu
yaitu orang-orang yang aman tentram dari padanya kejutan yang dahsyat
pada hari itu.(QS. 27: 89). Ia juga berpendapat bahwa kebaikan yang paling
besar ialah iman dan iman menghapus kejahatan sesuai firman Allah
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus perbuatan-
perbuatan yang buruk.”(QS. 11: 114).
Selanjutnya, al-Baqillani mengatakan bahwa bagi orang yang beriman
tidak ada kekhawatiran terhadap siksa Allah, sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya “Hai hamba-hambaku tiada kekhawatiran terhadapmu
pada hari ini dan tidak pula kamu bersedih hati.” (QS. 43: 68). Dalam pada
itu Allah tidak menyia-nyiakan amal kebaikan seseorang sesuai dengan
firman-Nya ”Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan.” (QS. 3:
195).”Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah pun, niscaya
ia akan melihat balasan kebaikannya pula.” (QS. 99: 7).
Sesuai argumen di atas, amal serta kebaikannya tidak disia-siakan Allah.
Orang fasiq menurutnya tidak kekal di dalam neraka. Dengan demikian
pendapatnya sama dengan pendapat al-Asy’ari. Al-Baqillani berpandangan
bahwa ayat yang berbunyi: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu yaitu orang-orang yang kafir.”
(QS. 5: 44) tidak bermaksud menetapkan kaum muslimin sebagai kafir
jika mereka melalaikan hukum yang diturunkan Allah swt. Ayat ini
hanya ditujukan kepada sebagian orang yang tidak berpedoman kepada al-
Qur’an yang diturunkan Allah. Kata man yang ada pada ayat ini
menurutnya di samping mengandung arti umum juga mengandung arti
khusus.
Demikian pula dengan ayat “Dan sesungguhnya orang-orang yang
durhaka benar-benar berada dalam neraka.”(QS. 82: 14), hanyalah ditujukan
kepada sebagian orang yang durhaka bukan semuanya. Dengan demikian
ia berpandangan, bahwa yang dimaksud dengan man pada ayat 44 surat al-
Maidah di atas yaitu orang kafir.
Al-Baqillani mengatakan bahwa sesuai dengan ayat “Barang siapa
yang datang dengan membawa kebaikan, maka baginya pahala yang lebih
baik daripada kebaikannya itu.” (QS. 28: 84), maka pelaku dosa besar
seperti membunuh orang mukmin dengan segaja atau kejahatan lainnya,
sedang ia beriman dan melakukan perbuatan-perbuatan baik amalnya tetap
mendapat pahala. Untuk memperkuat pendapatnya itu ia mengemukakan
ayat “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat baik.”(QS. 9: 120) dan ayat “Sesungguhnya aku tidak menyia-
nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki
maupun perempuan.” (QS.9: 195).
Menurutnya tidak ada kebaikan yang paling besar dari pada beriman
kepada Allah, Rasul-Nya dan apa yang datang darinya. Dan Allah
mengampuni mukmin yang melakukan dosa besar. Meskipun mereka
masuk neraka mereka tidak kekal di dalamnya. Tidak ada yang kekal di
neraka kecuali orang kafir dan musyrik, sesuai dengan firman Allah: “Dan
sesungguhnya jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir”.
(QS. 9: 49).
Berdasarkan argumen-argumen di atas, al-Baqillani mengatakan
bahwa orang yang mengingkari kebangkitan di hari kiamat dan kufur
terhadap Allah dan Rasul-Nyalah yang mesti masuk neraka bukan orang
fasiq. Allah tidak memusuhi dan tidak menghukum orang fasiq jika
mendapat ampunan dari-Nya, memperoleh syafa’at Nabi sebab bertaubat
dan menyesali perbuatannya. Namun tidak mustahil suatu saat Allah
menghukumnya dulu kemudian mengampuninya, lalu memberi ganjaran
atas perbuatannya yang baik. Sebagaimana tidak mustahil seorang ayah
menghukum anaknya kerena berbuat salah, kemudian menggembirakannya
atas perbuatan-perbuatannya yang baik.
Allah mengatakan dalam al-Qur’an: “Dan Dia maha penyayang
kepada orang-orang yang beriman “ (QS. 33: 43), maksudnya Allah swt.
memberi pahala kepada orang mukmin di akhirat atas keimanan dan
ketaatan mereka kepada-Nya. Allah memerintahkan untuk mendera orang
yang berzina seperti dalam firman-Nya “Perempuan yang berzina dan laki-
laki yang berzina maka deralah masing-masing seratus kali dera” (QS. 24: 2)
dan memotong tangan pencuri seperti dalam firman-Nya: “Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya.” (QS.
5: 38) yaitu merupakan ujian bagi mereka dan Allah akan mengampuni
mereka di akhirat. Dengan kata lain Allah tidak memusuhi mukmin pelaku
dosa besar.
Selanjutnya Al-Baqillani mengatakan bahwa pelaku dosa besar
meskipun akan mendapat pengampunan dari Allah swt. di akhirat namun
mereka tetap menerima hukuman (hudud) di dunia, sebab hukuman di
dunia bukanlah siksaan (i‘qab) namun hanya merupakan ujian dan berlaku
bagi orang-orang yang bertaubat.
Dalam memahami janji dan ancaman Allah antara al-Asy’ari dan al-
Baqillani tampaknya tidak ada perbedaan pendapat. Mereka sepakat bahwa
mukmin pelaku dosa besar tetap sebagai mukmin dan hukumnya terserah
kepada Allah. Allah bisa menghukumnya sesuai dengan kesalahannya dan
bisa juga mengampuninya. Kemudian Allah memasukkannya ke dalam
surga dengan rahmat-Nya Al-Asy’ari dan Al-Baqillani sependapat bahwa
pelaku dosa besar tidak kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir.
B. Konsep Keadilan Tuhan
Dalam teologi Islam, seperti telah disinggung terdahulu, persoalan
keadilan Tuhan berkaitan dengan perbuatan-Nya. Kaum Mu’tazilah
berpandangan bahwa Tuhan dikatakan adil sebab semua perbuatan-Nya
baik. Ia wajib berbuat baik, tidak berbuat yang buruk dan tidak mengambil
hak orang lain.
Al-Asy’ari, sebab berpegang pada konsep kehendak dan kekuasaan
mutlak Tuhan berpandangan, bahwa Allah yang menjadikan orang berbuat
baik maupun jahat, beriman atau kafir. Dengan kata lain Allah berbuat apa
saja yang dikehendaki-Nya sesuai dengan ayat ”Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.( QS. 11: 107).
Sejalan dengan pendapat di atas, al-Asy’ari selanjutnya mengatakan
bahwa Allah menetapkan kesenangan dan rahmat-Nya khusus bagi orang
mukmin, tidak bagi orang kafir. Ia juga mengatakan, bahwa orang kafir
tidak memiliki qudrat beriman. Allah menetapkan qudrat beriman
khusus orang mukmin. Ia berpandangan, bahwa satu qudrat tidak bisa
untuk dua perbuatan atau lebih. Satu qudrat hanya untuk satu perbuatan.
Oleh sebab itu, qudrat kufur tidak untuk qudrat beriman sekaligus.
Menurutnya, qudrat tidak tetap sebab kadang-kadang manusia mampu
kadang-kadang lemah. Manusia ada kalanya bergerak adakalanya tidak.
Istita’at kemampuan manusia bukanlah diri manusia itu sendiri namun lain
dari itu.
Bagi al-Asy’ari qudrat beriman itu merupakan pemberian Allah. Orang
yang diperintahkan Allah beriman namun tidak diberi-Nya qudrat beriman
berarti orang ini tidak memperoleh pertolongan-Nya.
Di samping itu ia mengatakan, bahwa Allah hanya memelihara orang
mukmin bukan orang kafir sesuai dengan ayat: ”Dan aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. 51: 56).
sebab Allah menjadikan kebanyakan dari ciptaan-Nya sebagai pengisi
neraka. Dalam masalah taklif, ia berpendapat bahwa Allah membebani
orang-orang kafir untuk mendengarkan dan menerima al-Qur’an serta
beriman kepada Allah seperti diisyaratkan dalam ayat berikut ini:
عَمْ َّسلا نَوعُيطِتَسْيَ اوُناكَ امَ
”Mereka selalu tidak dapat mendengar (kebenaran)”. (QS. 11: 20).
Dalam memperkuat pendapatnya di atas, al-Asy’ari mengemukakan
ayat ”Dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak kuasa.”(QS.
68: 42). Menurutnya, berdasarkan ayat ini Allah memerintahkan orang
yang tidak mampu bersujud untuk bersujud padahal tulang punggungnya
lemah. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa tidak mesti beban atau
perintah yang diberikan Allah harus sesuai dengan qudrat manusia.
Al-Asy’ari selanjutnya mengatakan, Allah tetap memerintahkan
Abu Lahab untuk beriman meskipun Ia mengetahui Abu Lahab tidak
memiliki qudrat beriman. Pandangan ini tampaknya kontradiksi
dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa satu qudrat hanya untuk satu
perbuatan, sebab pendapat yang demikian mengandung pengertian satu
qudrat tidak dapat digunakan untuk dua perbuatan atau lebih dalam waktu
yang bersamaan. Umpamanya orang yang bergerak dari suatu tempat itu
juga pada waktu yang sama. Bagaimana orang kafir pada waktu yang sama
sekaligus juga beriman?
Agar lepas dari persoalan di atas, al-Asy’ari membedakan antara orang
kafir dan orang yang lemah. Menurutnya orang kafir bukan orang lemah
sebab jika ia lemah untuk beriman tentu ia juga tidak mampu menjadi
kafir. Oleh sebab itu menurutnya orang yang mampu menjadi kafir yaitu
juga mampu beriman.30 Itulah tampaknya mengapa ia tidak memandang
istita’at (kemampuan) manusia tetap, sehingga jika pada satu saat orang
menjadi kafir tidak tertutup kemungkinan pada saat yang lain ia akan
mampu beriman. Sejalan dengan itu, al-Asy’ari tidak menyamakan antara
orang kafir dan orang-orang yang lemah. Oleh sebab itu, tidak memandang
taklif beriman terhadap orang kafir itu sebagai taklif ma la yutaq.
Dalam pandangannya, yang dimaksud dengan taklif ma la yutaq
yaitu taklif terhadap yang benar-benar tidak mampu sebagaimana Allah
memerintahkan para malaikat untuk menyebut nama-nama ciptaan-Nya
seperti difirmankan dalam ayat ”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda
itu.”(QS. 2: 31) sedang mereka tidak mampu dan tidak mengetahuinya.
Demikian pula perintah berbuat adil. ”Berlaku adil.”(QS. 5: 8) terhadap
manusia namun Allah sendiri mengatakan manusia tidak mampu berbuat
adil seperti difirmankan dalam ayat Al-Qur’an ”Dan kamu sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil diantara istri(mu) walaupun kamu ingin berbuat
demikian.” (QS. 4: 129).32 Oleh sebab dikemukakan dalam ayat-ayat
ini , al-Asy’ari berpandangan bahwa taklif ma la yutaq juga baik.
Al-Asy’ari mengatakan, semua perbuatan Tuhan yaitu adil. Ia adil
dalam menjadikan orang beriman dan tetap adil meskipun Ia juga menjadikan
orang kafir. Ia juga adil jika menyiksa mereka di akhirat. Menurutnya,
Allah juga adil jika menyiksa orang mukmin dan memasukkan orang kafir
ke dalam surga. Namun menurutnya Allah tidak berbuat demikian sebab
ia mengataka