gantungkan kain untuk
digunakan sebagai kamar tamu yang terpisah dari bagian yang
dipergunakan oleh istri beliau. Kehidupan beliau begitu sederhananya
sehingga Siti Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa di masa hidup Rasulullah
s.a.w., mereka sering terpaksa hidup dari korma dan air saja dan pada
hari wafat beliau tidak ada makanan di dalam rumah kecuali beberapa
butir korma saja (Bukhari).
Perhubungan Dengan Allah
Tiap-tiap segi kehidupan Rasulullah s.a.w. jelas nampak diliputi
dan diwarnai oleh cinta dan bakti kepada Allah . Walaupun tanggung-
jawab yang sangat berat terletak di atas bahu beliau, bagian terbesar dari
waktu, siang dan malam, dipergunakan untuk beribadah dan berzikir
kepada Allah . Beliau biasa bangkit meninggalkan tempat tidur tengah
malam dan larut dalam beribadah kepada Allah sampai saat tiba untuk
pergi ke mesjid hendak sembahyang subuh. Kadang-kadang beliau
begitu lama berdiri dalam sembahyang tahajud sehingga kaki beliau
menjadi bengkak-bengkak, dan mereka yang menyaksikan beliau dalam
keadaan demikian sangat terharu. Sekali peristiwa Aisyah r.a. berkata
kepada beliau, “Allah telah memberi kehormatan kepada engkau dengan
cinta dan kedekatan-Nya. Mengapa engkau membebani diri sendiri
dengan menanggung begitu banyak kesusahan dan kesukaran?” Beliau
menjawab, “Jika Allah , atas kasih-sayang-Nya, mengaruniai cinta dan
kedekatan-Nya kepadaku, bukankah telah menjadi kewajiban pada
giliranku senantiasa menyampaikan terima kasih kepada Dia?
Bersyukurlah hendaknya sebanyak bertambahnya karunia yang
diterima.” (Bukhari, Kitab al-Kusuf).
Beliau tidak pernah melangkah untuk menyelesaikan suatu usaha
tanpa perintah Ilahi atau izin-Nya. Telah diriwayatkan dalam bab riwayat
hidup beliau bahwa kendati menderita sebab penindasan yang sangat
aniaya oleh kaum Mekkah, beliau tidak meninggalkan kota itu sebelum
mendapat perintah Ilahi. saat perlawanan memuncak dan beliau
mengizinkan para Sahabat mengungsi ke Abessinia, beberapa di antara
mereka menyatakan keinginan supaya beliau berangkat bersama mereka.
Beliau menolak atas dasar belum mendapat izin Ilahi. Jadi, di masa
percobaan dan penindasan juga, saat biasa orang suka kalau sahabat-
sahabat dan sanak saudaranya kumpul-kumpul di sekitarnya, beliau
menyarankan kepada para Sahabat untuk mencari perlindungan di
Abessinia dan beliau sendiri tetap tinggal di Mekkah, sebab Allah
belum memberi perintah.
Jika beliau mendengar Kalamullah dibacakan, beliau sangat
terharu dan air mata mulai menitik, terutama jika beliau mendengar ayat-
ayat yang menekankan pada kewajiban beliau sendiri. Abdullah bin
Mas'ud meriwayatkan bahwa ia sekali peristiwa disuruh Rasulullah
s.a.w. membaca beberapa ayat Al-Qur’an. Ia berkata, “Ya Rasulullah,
Al-Qur’an telah diturunkan kepada anda (artinya: Anda telah lebih
mengetahui dari pada siapa pun). Mengapa kemudian harus
membacakannya kepada anda?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Aku suka
juga mendengar Al-Qur’an dibaca oleh orang lain.” Maka Abdullah bin
Mas'ud mulai membacakan ayat-ayat dari Surah An-Nisa. saat
membaca:
Maka, bagaimana keadaan mereka saat Kami akan mendatangkan
seorang saksi dari setiap umat, dan Kami akan mendatangkan engkau
sebagai saksi terhadap mereka ini!” (4:42).
Rasulullah s.a.w. berseru, “Cukup!” Abdullah bin Mas'ud
melihat ke arah beliau dan melihat air mata mengalir dari mata
Rasulullah s.a.w. (Bukhari, Kitab Fada'il al-Qur’an).
Beliau begitu memandang penting ikut dalam sembahyang
berjamaah sehingga tengah sakit keras, saat dalam keadaan serupa itu
bukan saja diizinkan untuk shalat seorang diri di dalam kamar namun
bahkan diizinkan untuk mengerjakan shalat di atas tempat tidur sambil
berbaring, beliau memaksakan diri pergi ke mesjid untuk menjadi imam.
Sekali peristiwa, saat beliau tidak sempat pergi ke mesjid, beliau
menyuruh Sayyidina Abu Bakar untuk menjadi imam. namun , kemudian
beliau merasakan ada perbaikan dalam kesehatannya dan minta supaya
beliau dipapah berjalan ke mesjid. Beliau bersitopang pada pundak dua
orang, namun keadaan beliau begitu lemahnya sehingga menurut Siti
Aisyah r.a. kaki beliau terseret-seret (Bukhari).
Menurut kebiasaan umum dalam mengungkapkan kegembiraan
atau menarik perhatian kepada sesuatu ialah dengan bertepuk tangan -
dan orang Arab juga berbuat seperti itu. namun , Rasulullah s.a.w.
demikian suka berzikir Ilahi sehingga untuk keperluan pengungkapan
rasa gembira itu juga memuji dan berzikir Ilahi ditetapkan untuk alih-
alih tepuk tangan. Sekali peristiwa saat beliau sibuk dengan urusan
penting, waktu sembahyang pun mendekat dan beliau menyuruh
Sayyidina Abu Bakar untuk menjadi imam. Tak lama kemudian beliau
dapat menyelesaikan urusan beliau dan segera pergi ke mesjid. Abu
Bakar menjadi imam, namun saat jemaat melihat bahwa Rasulullah
s.a.w. telah tiba, mereka segera bertepuk tangan untuk menyatakan
kegembiraan atas kedatangan beliau dan menarik perhatian Abu Bakar
dan memberi tahu bahwa Rasulullah s.a.w. telah tiba. Maka Abu Bakar
undur dan memberi tempat kepada Rasulullah s.a.w. untuk mengimami
shalat. Sesudah sembahyang selesai, Rasulullah s.a.w. bertanya kepada
Abu Bakar, “Mengapa engkau undur sesudah aku menunjuk engkau
sebagai imam?” Abu Bakar menjawab, “Ya Rasulullah, bagaimana akan
pantas untuk anak Abu Quhafa menjadi imam sedang Rasulullah sendiri
hadir?” Maka Rasulullah bertanya kepada jemaat, “Mengapa kamu
sekalian bertepuk tangan? yaitu tidak pantas bila kalian sedang larut
dalam berzikir kepada Allah maka kalian bertepuk tangan. Jika kebetulan
dalam waktu shalat perhatian harus tercurah kepada sesuatu, daripada
bertepuk tangan kamu lebih baik menyebut 'Subhanallah' dengan suara
nyaring. Hal itu akan menunjukan perhatian kepada perkara yang harus
mendapat perhatian” (Bukhari).
Rasulullah s.a.w. tidak menyukai shalat dan beribadah sebagai
dilakukan sebagai hukuman atau sanksi atas diri sendiri untuk penebus
dosa. Sekali peristiwa beliau sampai ke rumah dan melihat tali terentang
antara dua tiang. Beliau menanyakan tujuannya dan mendapat
keterangan bahwa istri beliau, Zainab, biasa berdiri tegak dengan
bantuan tali jika dalam waktu mendirikan shalat ia menjadi letih dan
payah. Beliau memerintahkan supaya membuang tali tersebut dan
menerangkan bahwa shalat sebaiknya dilangsungkan selama dirasakan
mudah dan ringan, dan jika ia menjadi terlalu lelah seseorang hendaknya
ia duduk. Shalat itu bukan sanksi dan jika tetap diteruskan sesudah badan
menjadi letih, maka sembahyang itu menyalahi tujuannya (Bukhari,
Kitabal-Kusuf).
Beliau mencela sekali tiap-tiap tindakan dan perbuatan yang
berbau syirik walau sedikit. saat akhir hayat beliau telah mendekat
dan telah dicekam oleh derita sakratul maut, beliau dalam keresahan
menggeleng badan dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan sambil
berseru, “Terkutuklah orang-orang Yahudi dan Kristen yang telah
mengubah kuburan nabi-nabi mereka menjadi tempat ibadah” (Bukhari).
Beliau maksudkan, orang-orang Yahudi dan Kristen yang bersujud pada
kuburan nabi-nabi mereka dan orang-orang suci mereka dan mendoa
kepada mereka; dan beliau memaksudkan bahwa jika kaum Muslimin
terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan semacam itu, mereka tidak
berhak atas doa-doa beliau; namun sebaliknya, mereka telah memutuskan
perhubungan mereka dengan beliau.
Ghairat beliau akan kemuliaan Allah telah diceriterakan dalam
bab riwayat hidup beliau. Kaum Mekkah telah berusaha menyampaikan
segala macam bujukan dan mendesak beliau menghentikan perlawanan
terhadap penyembahan kepada berhala (Tabari). Pamannya, Abu Thalib,
juga mencoba mencegah beliau dengan membayangkan kekhawatirannya
bahwa jika beliau bersikeras melancarkan serangan terhadap
kemusyrikan, Abu Thalib akan terpaksa memilih antara berhenti
melindungi beliau atau ia siap menerima perlawanan hebat dari
kaumnya. Jawaban Rasulullah s.a.w. satu-satunya kepada pamannya
pada peristiwa itu, “Jika orang-orang itu meletakkan matahari di tangan
kananku dan bulan di tangan kiri, aku tidak akan berhenti
mengumumkan dan menablighkan ajaran Tauhid” (Zurqani). Di tengah
berkecamuknya Perang Uhud, saat sisa pasukan Muslim yang luka-
luka berkumpul di sekitar beliau di kaki bukit dan musuh melampiaskan
kegembiraan dengan teriakan-teriakan kemenangan sesudah mematahkan
barisan Muslim, dan pimpinan mereka, Abu Sufyan, berteriak: “Hidup
Hubal (satu dari antara berhala-berhala kaum Mekkah). Hidup Hubal!”
maka Rasulullah s.a.w., walaupun tahu dan sadar bahwa keselamatan
beliau dan keselamatan serombongan kecil kaum Muslim sekitar beliau
bergantung pada sikap tutup mulut, tidak dapat menahan kesabaran dan
memerintahkan kepada para Sahabat untuk menjawab dengan pekikan:
“Untuk Allah semata kemenangan dan kejayaan! Untuk Allah semata
kemenangan dan kejayaan!” (Bukhari).
Suatu salah pengertian yang sudah biasa ada pada para pengikut
bermacam-macam agama sebelum kedatangan Islam ialah, kejadian-
kejadian di langit dan di bumi nampak sebagai tanda ikut bergembira
atau bela sungkawa untuk nabi-nabi, wali-wali, dan orang-orang besar
lainnya; dan bahkan gerakan-gerakan benda langit dikendalikan oleh
mereka. Umpamanya, diriwayatkan tentang beberapa di antara mereka
bahwa mereka dapat membuat matahari berhenti beredar dan
menghentikan perjalanan bulan atau air berhenti mengalir. Islam
mengajarkan bahwa faham demikian sama sekali tak beralasan dan
bahwa ceritera keajaiban-keajaiban semacam itu dalam kitab-kitab suci
hanya dipergunakan sebagai perlambang, dan bukan ditafsirkan menurut
arti yang sebenarnya yang malah telah menimbulkan takhayul-takhayul.
Walaupun demikian, sebagian orang Muslim cenderung menghubungkan
keajaiban-keajaiban itu dengan kejadian-kejadian dalam kehidupan nabi-
nabi besar. Pada tahun-tahun terakhir kehidupan Rasulullah s.a.w. putera
beliau Ibrahim, meninggal dalam umur dua setengah tahun. Pada hari itu
terjadi gerhana matahari. Beberapa di antara orang-orang Muslim di
Medinah menyebarkan faham bahwa matahari telah menjadi gelap pada
peristiwa meninggalnya putera Rasulullah s.a.w. sebagai alamat bela
sungkawa samawi. saat hal itu diceriterakan kepada Rasulullah s.a.w.,
beliau nampak sangat kecewa dan sangat mencela faham itu. Beliau
menerangkan bahwa matahari, bulan dan benda-benda langit lainnya,
semuanya diatur oleh hukum-hukum Allah dan bahwa peredaran
matahari, bulan, dan gejala yang berkaitan dengan matahari dan bulan
tidak ada sangkut-paut dengan hidup dan mati seseorang (Bukhari).
Arabia yaitu daerah yang sangat tandus dan hujan selalu
disambut gembira. Bangsa Arab biasa menggambarkan dalam ingatan
mereka bahwa hujan itu diatur oleh peredaran bintang. saat seseorang
mengungkapkan pikiran itu, Rasulullah s.a.w. sangat bingung dan
memperingatkan kaumnya untuk tidak mengaitkan karunia yang mereka
terima dari Allah kepada sumber-sumber lain. Beliau menerangkan
bahwa hujan dan lain-lain gejala alam itu semuanya diatur oleh hukum-
hukum Ilahi, bukan dikendalikan oleh kesenangan atau ketidaksenangan
suatu dewa atau dewi atau suatu kekuatan lain (Muslim, Kitabal-Iman).
Beliau memiliki ketawakalan yang sempurna kepada Allah
dan tidak akan goyah oleh kemajemukan keadaan yang tidak bersahabat.
Sekali peristiwa seorang musuh melihat beliau tidur dan tidak berkawal;
ia berdiri di hadapan beliau dengan pedang terhunus dan bersiap
membunuh beliau dengan sesaat . Sebelum melakukan ia bertanya,
“Siapa dapat menyelamatkan kamu dari keadaanmu sekarang?”
Rasulullah s.a.w. menjawab dengan tenang, “Allah.” Beliau menyatakan
dengan keyakinan yang begitu sempurna sehingga bahkan hati musuh
yang kafir pun terpaksa mengakui keluhuran iman dan keikhlasan beliau
kepada Allah s.w.t. Pedangnya terlepas dan jatuh; dan ia, yang sejenak
sebelumnya telah siap membinasakan beliau, berdiri di hadapan beliau
seperti seorang penjahat yang menunggu keputusan hakim (Muslim,
Kitab al-Fada 'il dan Bukhari, Kitab al-Jihad).
Di pihak lain nampak sikap rasa merendahkan diri yang
sempurna di hadapan Allah -Nya. Abu Hurairah meriwayatkan: “Pada
suatu hari aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa tidak ada
manusia meraih keselamatan melalui amal salehnya sendiri, atas
keterangan itu aku berkata, “Ya Rasulullah, anda pasti masuk surga
melalui amal saleh anda.” Dijawab oleh Rasulullah s.a.w., “Tidak, aku
pun tidak dapat masuk surga dengan perantaraan amal baikku kecuali
oleh Kasih Sayang Allah “ (Bukhari, Kitab al Riqaq).
Beliau senantiasa menganjurkan orang-orang untuk memilih dan
menempuh jalan yang benar dan dengan rajin berikhtiar, dengan itu
mereka dapat mencapai Qurb Ilahi (kedekatan kepada Allah ). Beliau
mengajarkan bahwa jangan ada yang menginginkan kematian untuk
dirinya, sebab jika ia orang baik, maka dengan kehidupan yang lebih
lama dialami olehnya akan dapat meraih kebaikan yang lebih besar; dan
jika ia jahat, ia dapat bertobat dari perbuatan-perbuatan jahatnya
seandainya diberi waktu panjang dan memulai menempuh jalan yang
baik. Cinta beliau dan ibadah beliau kepada Allah nampak dalam
berbagai-bagai cara. Umpamanya, manakala sesudah musim kemarau
tetesan-tetesan hujan pertama mulai turun, beliau mengeluarkan lidah
untuk menangkap tetesan-tetesan hujan itu dan berseru, “Inilah karunia
rahmat terakhir dari Allah -ku.” Beliau senantiasa sibuk mendoa untuk
memohon ampunan dan rahmat Allah , terutama jika beliau duduk-
duduk di antara orang banyak supaya mereka yang beserta beliau atau
bergaul dengan beliau dan orang-orang Muslim pada umumnya akan
terhindar dari murka Allah dan menjadi layak meraih ampunan Allah.
Kesadaran bahwa beliau senantiasa ada di hadapan Allah tidak pernah
lepas dari beliau. Jika beliau berbaring untuk tidur, beliau bersabda, “Ya
Allah, matikan aku (tidurkan aku) dengan nama-Mu di bibirku, dan
dengan nama-Mu di bibirku bangkitkan lagi hamba-Mu ini.” Jika beliau
bangun, beliau biasa bersabda, “Segala puji bagi Allah Yang
menghidupkan diriku sesudah mati (tidur) dan pada suatu hari kita semua
akan dikumpulkan di hadapan Dia” (Bukhari).
Beliau senantiasa mendambakan Qurb Ilahi (kedekatan kepada
Allah ), dan salah sebuah doa yang sering beliau ulang ialah: “Ya Allah!
Penuhilah kiranya hatiku dengan nur-Mu dan penuhi mataku dengan nur-
Mu dan penuhi telingaku dengan nur-Mu dan letakkan nur-Mu di
kananku dan letakkan nur-Mu di kiriku dan letakkan nur-Mu di atasku
dan letakkan nur-Mu dibawahku dan letakkan nur-Mu dihadapanku dan
letakkan nur-Mu di belakangku, dan wahai Allah , jadikanlah seluruh
diriku nur” (Bukhari).
Ibnu Abbas meriwayatkan: “Tak lama sebelum wafat Rasulullah
s.a.w., Musailima (seorang nabi palsu) datang ke Medinah dan
menyatakan bahwa jika Nabi Muhammad s.a.w. mau menunjuk dia
sebagai pengganti beliau, ia bersedia menerima beliau. Musailima diikuti
oleh suatu rombongan pengiring yang berjumlah amat besar, dan
kabilahnya yaitu terbesar dari antara kabilah-kabilah yang ada di Arab.
saat Rasulullah s.a.w. diberitahu tentang kedatangannya, beliau
menjumpainya disertai oleh Tsabit bin Qais bin Syams. Beliau
memegang ranting pohon korma kering. saat beliau datang ke kemah
Musailima, beliau menuju kepadanya dan berdiri di hadapannya. Pada
waktu itu telah banyak sahabat-sahabat datang dan berdiri di sekitar
beliau. Beliau bersabda kepada Musailima, “Telah disampaikan
kepadaku bahwa anda telah mengatakan jika aku tunjuk anda sebagai
penggantiku, anda bersedia menjadi pengikutku, namun aku tidak akan
memberikan ranting pohon korma kering ini pun kepada anda jika
bertentangan dengan perintah Allah . Kesudahan anda akan menjadi
sebagaimana telah ditetapkan Allah . Jika anda berpaling dari padaku,
Allah akan memberi anda kegagalan. Aku melihat dengan jelas bahwa
Allah akan memperlakukan anda seperti yang telah diwahyukan
kepadaku.” Beliau kemudian meneruskan, “Sekarang aku akan pergi.
Jika anda ingin mengatakan sesuatu, anda dapat menghubungi Tsabit bin
Qais bin Syams yang akan bertindak sebagai wakilku.” Kemudian beliau
berangkat. Abu Hurairah juga beserta beliau. Salah seorang menanyakan
kepada Rasulullah s.a.w. apa maksud beliau dengan kata-kata “Allah
akan memperlakukan Musailima seperti yang telah diwahyukan kepada
beliau.” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Saya melihat dalam mimpi itu aku
disuruh Allah untuk meniup gelang-gelang itu. saat kutiup gelang-
gelang itu, kedua-duanya lenyap. Aku menantikan bahwa sesudahku
akan timbul dua pendakwa (nabi) palsu” (Bukhari, Kitab al-Maghazi).
Perisitiwa ini terjadi pada waktu mendekatnya wafat Rasulullah s.a.w..
Suku Arab terakhir dan terbesar yang sampai pada waktu itu belum
menerima beliau telah bersiap-siap untuk masuk Islam dan satu-satunya
syarat yang mereka ajukan ialah bahwa Rasulullah s.a.w. menunjuk
pemimpin mereka menjadi pengganti beliau. Jika Rasulullah s.a.w.
sedikit saja didorong oleh alasan-alasan pribadi, maka tidak ada lagi
yang menjadi rintangan untuk mempersatukan seluruh Arabia dengan
menjanjikan pengganti beliau kepada pemimpin suku yang terbesar dari
Arabia. Rasulullah s.a.w. tak punya putera dan tidak ada keinginan
mendirikan wangsa yang dapat merintangi pengaturan demikian, namun
beliau tidak pernah memandang barang sekecil-kecilnya pun sebagai hak
beliau dan menjadi milik beliau secara mutlak. Maka beliau tidak dapat
memandang kepemimpinan kaum Muslim itu seakan-akan hak beliau
untuk memberikannya menurut kehendak beliau sendiri. Beliau
memandangnya sebagai amanat Allah yang suci dan beranggapan
bahwa Allah akan memberikannya kepada siapa yang dipandang-Nya
layak. Maka beliau menolak usul Musailima dengan tegas dan
mengatakan bahwa jangankan kedudukan kepemimpinan kaum Muslim,
ranting pohon korma kering sekalipun tidak beliau bersedia memberikan
kepadanya.
Kapan saja Rasulullah s.a.w. menyinggung atau membicarakan
Allah , nampak kepada yang menyaksikan seolah-olah seluruh wujud
beliau ada dalam haribaan cinta dan pengabdian kepada Allah . Beliau
senantiasa menekankan kesederhanaan dalam beribadah. Mesjid yang
didirikan beliau dan di dalamnya beliau senantiasa mendirikan
sembahyang, lantainya dari tanah biasa tanpa alas atau tikar dan atapnya
yang dibuat dari dahan dan daun pohon korma, bocor jika hujan. Dalam
keadaan demikian Rasulullah s.a.w. dan para jemaah basah kuyup sebab
air hujan dan lumpur, namun beliau terus menyelesaikan sembahyang
sampai akhir dan tak pernah beliau memberi isyarat supaya menunda
sembahyang atau pindah ke tempat yang lebih terlindung (Bukhari, Kitab
al-Saum).
Beliau sangat waspada juga akan peri keadaan para Sahabat.
Abdullah bin Umar yaitu orang yang sangat bertakwa dan zuhud.
Mengenai dia Rasulullah s.a.w. bersabda pada sekali peristiwa,
“Abdullah bin Umar akan lebih baik lagi jika ia lebih dawam
sembahyang tahajud.” saat sabda itu disampaikan kepada Abdullah
bin Umar, maka sesudah itu tak pernah lagi ia meninggalkan
sembahyang tahajud. Diriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. saat
beliau ada di rumah puterinya, Fatimah, menanyakan apa Fatimah dan
suaminya, Ali, dawam menjalankan sembahyang tahajud mereka, Ali
menjawab, “Ya Rasulullah, kami berusaha bangun untuk sembahyang
tahajud, namun bila menurut kehendak Allah kami tidak dapat bangun,
kami meninggalkannya.” Beliau pulang dan dalam perjalanan beliau
mengulangi beberapa kali ayat Al-Qur’an yang mengandung arti bahwa
orang seringkali segan mengakui kesalahannya dan mencoba
menutupinya dengan macam-macam alasan (Bukhari, Kitab al-Kusuf).
Rasulullah s.a.w. bermaksud mengatakan bahwa Ali hendaknya tidak
melemparkan kesalahannya kepada Allah dengan mengatakan bahwa
jika Allah menghendaki mereka tidak bangun mereka tidak dapat
bangun pada waktunya, namun ia hendaknya mengakui kelemahannya
dalam hal ini.
Tidak Menyetujui Penghukuman Terhadap Diri
Sendiri Untuk Menebus Dosa
namun , Rasulullah s.a.w. sangat tidak menyetujui cara-cara yang
dibuat-buat dalam urusan ibadah dan mencela praktek penghukuman diri
sendiri untuk menebus dosa sebagai suatu bentuk ibadah. Beliau
mengajarkan bahwa ibadah terdiri atas penggunaan kemampuan-
kemampuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Allah telah
memberi mata untuk melihat; maka bukan ibadah namun aniaya namanya
kalau mata dibiarkan kejam atau dibuang. Bukan penggunaan
kemampuan melihat secara tepat yang dapat dipandang dosa, melainkan
penyalahgunaan daya itulah yang menjadi dosa. Orang yang
melenyapkan kemampuan mendengar dinilai sangat tidak berterimakasih
kepada Allah , walaupun penggunaan daya itu untuk mendengarkan
fitnah dan memburuk-burukkan orang lain akan merupakan perbuatan
dosa. Meninggalkan makan (kecuali pada saat-saat yang diperintahkan
atau dipandang baik) dapat dianggap bunuh diri dan dengan demikian
merupakan dosa yang tak dapat dimaafkan, walaupun juga menjadi dosa
untuk seseorang yang sangat mementingkan makanan dan minuman atau
mengasyikkan diri dalam makan-minum barang-barang terlarang atau
tidak layak. Itulah asas luhur yang diajarkan dan ditekankan oleh
Rasulullah s.a.w. dan yang belum diajarkan oleh nabi terdahulu
manapun.
Penggunaan tepat daya alami merupakan taraf akhlak yang
tinggi; menggagalkan kerja atau melumpuhkan daya itu merupakan
perbuatan yang bodoh. Penyalahgunaannya itulah yang merupakan
kejahatan dan dosa. Penggunaan tepat kemampuan-kemampuan itu
merupakan nilai akhlak yang sejati. Itulah inti ajaran akhlak yang
ditanamkan oleh Rasulullah s.a.w. Dan, pendek kata, itu semua
merupakan pula gambaran kehidupan dan perilaku beliau. Siti Aisyah
r.a. meriwayatkan: “Bilamana Rasulullah dihadapkan kepada pilihan
antara dua cara berbuat, beliau senantiasa memilih jalan yang termudah,
asalkan bebas dari segala kecurigaan bahwa itu salah satu dosa. Kalau
arah perbuatan itu membuka kemungkinan timbulnya kecurigaan serupa
itu, maka Rasulullah s.a.w. itulah orangnya, dari antara seluruh umat
manusia, yang paling menjauhinya” (Muslim, Kitab al-Fada'il). Hal itu
sungguh merupakan jalan yang paling luhur dan paling mengagumkan
untuk manusia. Beberapa orang dengan suka rela menderita sakit dan
berkekurangan, tidak dengan tujuan untuk mencari keridhaan Ilahi,
sebab ridha Ilahi tidak dapat dicapai dengan mencari sakit dan derita
bagi dirinya sendiri yang tak bertujuan apapun selain dengan tujuan
menipu umat manusia. Orang demikian memiliki sedikit kebaikan
dalam diri mereka namun mau menutupi kesalahan-kesalahan mereka dan
mendapat kehormatan dalam pandangan orang-orang lain dengan
menggunakan kebaikan semu. namun tujuan Rasulullah s.a.w. yaitu
untuk menggapai kebaikan yang sungguh-sungguh dan guna menarik
ridha Ilahi. Dengan demikian beliau sama sekali bebas dan kepalsuan
dan kepura-puraan. sebab itu beliau sama sekali bersih dari kepura-
puraan. Bahwa dunia akan memandang beliau jahat atau akan
memiliki penilaian baik yaitu soal yang beliau sama sekali tidak
menghiraukan. Apa yang penting untuk beliau yaitu bagaimana beliau
sendiri menilai diri sendiri dan bagaimana Allah akan menilainya. Jika
di samping kesaksian kata hati beliau sendiri dan ridha Ilahi, beliau
mendapat juga persaksian yang benar dari umat manusia, beliau sangat
bersyukur, namun jika orang memandang kepada beliau dengan
pandangan iri hati dan curiga, beliau merasa sayang terhadap nasib
mereka dan beliau tidak menghiraukan pendapat mereka.
Sikap Terhadap Istri-Istri Sendiri
Beliau sangat baik dan adil terhadap istri-istri sendiri. Jika pada
suatu saat salah seorang di antara mereka tidak dapat membawa diri
dengan hormat yang layak terhadap beliau, beliau hanya tersenyum dan
hal itu dilupakan beliau. Pada suatu hari beliau bersabda kepada Siti
Aisyah r.a., “Aisyah, jika kau sedang marah kepadaku, aku senantiasa
dapat mengetahuinya.” Aisyah r.a. bertanya, “Bagaimana?” Beliau
menjawab, “Aku perhatikan bahwa jika kau senang kepadaku dan dalam
percakapan kau menyebut nama Allah , kausebut Dia sebagai Allah
Muhammad. namun , jika kau tidak senang kepadaku, kausebut Dia
Allah Ibrahim.” Mendengar keterangan itu Aisyah r.a. tertawa dan
mengatakan bahwa beliau benar (Bukhari, Kitabun-Nikah). Siti Khadijah
r.a. yaitu istri beliau yang pertama dan telah mengadakan pengorbanan-
pengorbanan besar untuk kepentingan beliau. Ia jauh lebih tua daripada
Rasulullah s.a.w.. Sesudah ia wafat, beliau menikah dengan wanita-
wanita yang lebih muda, namun tidak pernah kenang-kenangan kepada
Khadijah r.a. itu menjadi luntur. Bila saja salah seorang dari sahabat-
sahabat Khadijah berkunjung kepada beliau, beliau biasa berdiri
menyambutnya (Muslim). Jika beliau kebetulan melihat sesuatu yang
dahulu menjadi milik atau ada kaitannya dengan Khadijah r.a., hati
beliau senantiasa terusik oleh rasa sendu.
Di antara tawanan-tawanan yang ditangkap oleh kaum Muslimin
dalam Perang Badar ada seorang mantu Rasulullah s.a.w.. Ia tak punya
apa-apa untuk dibayarkan sebagai penebus kemerdekaannya. Istrinya
yang bernama Zainab (puteri Rasulullah s.a.w.) mengirimkan ke
Medinah seuntai kalung perhiasan yang asalnya milik ibunya (Khadijah
r.a.) dan menyerahkannya sebagai penebus suaminya. saat Rasulullah
s.a.w. melihat kalung itu, beliau mengenalnya kembali dan beliau begitu
terharunya. Beliau bersabda kepada para Sahabat, “Aku tidak berhak
memberi petunjuk mengenai hal ini, namun aku tahu bahwa kalung ini
dicintai oleh Zainab sebagai tanda kenang-kenangan kepada ibunya yang
telah wafat. Maka, jika hal itu ada artinya untuk kalian, aku ingin
menganjurkan supaya Zainab tidak kehilangan barang ini, dan barang ini
dikembalikan kepadanya.” Mereka semua menegaskan bahwa tidak ada
kesenangan yang lebih besar daripada itu dan bersedia menerima anjuran
beliau (Halbiyya, jilid 2). Beliau sering memuji-muji Khadijah di
hadapan istri-istri beliau lainnya dan menekankan kebaikannya dan
pengorbanannya untuk kepentingan Islam. Pada suatu peristiwa
semacam itu, Aisyah r.a. merasa iri hati dan berkata, “Ya Rasulullah,
mengapa selalu membicarakan wanita tua itu? Allah telah
menganugerahkan istri-istri yang lebih baik, lebih muda, dan lebih
menarik kepada anda.” Rasulullah s.a.w. tersinggung perasaannya
mendengar kata-kata itu dan menukas, “Tidak Aisyah! Kau tidak tahu
betapa besar kebaikan Khadijah kepadaku” (Bukhari).
Ketinggian Akhlak
Beliau senantiasa sangat sabar dalam kesukaran dan kesusahan.
Beliau, dalam keadaan susah, tak pernah putus asa dan beliau tidak
pernah dikuasai oleh suatu keinginan pribadi. Telah diriwayatkan bahwa
ayah beliau meninggal dunia sebelum beliau dilahirkan dan ibu beliau
berpulang saat beliau masih kanak-kanak. Sampai usia delapan tahun
beliau dirawat oleh kakek beliau, dan sepeninggalnya, dirawat oleh
pamannya, Abu Thalib. Terdorong oleh cinta kasih pribadi dan juga atas
pesan ayahnya, Abu Thalib senantiasa membimbing anak kemenakannya
dengan sungguh-sungguh dan murah hati, namun istrinya tidak dihinggapi
oleh pertimbangan dan perasaan yang sama seperti suaminya. Seringkali
terjadi ia membagi-bagi sesuatu di antara anak-anaknya sendiri dan
mengabaikan anak kemenakan yang masih kecil itu. Jika Abu Thalib,
pada peristiwa serupa itu, kebetulan datang ke rumah lalu dilihatnya
kemenakan kecil itu duduk menyendiri, penuh komara, tanpa tanda
murung atau sedih di wajahnya, beliau atas dorongan rasa cinta dan
kesadaran atas kewajibannya, lantas melangkah menuju anak itu,
mendekapnya seraya berseru, “Perhatikan juga anakku yang satu ini!”
Peristiwa semacam itu tidak jarang, dan mereka yang menyaksikan
semuanya sepakat dalam persaksian mereka bahwa Muhammad sebagai
anak-anak, tidak pernah menampakkan gejala yang terpengaruh oleh
perlakuan-perlakuan itu dan iri hati terhadap saudara-saudara sepupunya.
Kemudian hari, saat beliau sudah mampu menolong dan merawat
sanak-saudaranya, beliau sendiri merawat dan mendidik putera-putera
pamannya, Ali dan Jafar, dan menjalankan kewajiban beliau dengan cara
yang sesempurna-sempurnanya.
Rasulullah s.a.w. sepanjang hidup dihadapkan kepada rentetan
pengalaman demi pengalaman yang pahit. Dilahirkan sebagai anak
yatim, ibu beliau wafat saat beliau masih kecil dan kehilangan kakek
pada usia delapan tahun. sesudah menikah, beliau harus menanggung
sedih oleh kehilangan beberapa anak, yang satu sesudah yang lain, dan
kemudian istri beliau, Khadijah, yang sangat dicintai dan dirasakan
pengabdiannya wafat. Beberapa istri beliau yang dinikah kemudian
meninggal dunia di masa hidup beliau. Menjelang akhir kehidupan
beliau menanggung derita akibat kehilangan putera beliau, Ibrahim.
Semua kehilangan dan malapetaka itu ditanggung beliau dengan tabah,
dan tak satu pun berpengaruh kepada kebulatan tekad beliau atau kepada
perangai yang ramah dari beliau itu. Kesedihan-kesedihan pribadi tak
pernah dipamerkan di muka umum dan beliau senantiasa menjumpai
tiap-tiap orang dengan wajah yang berseri dan dengan perlakuan yang
sama ramah dan sopan-santunnya. Sekali peristiwa beliau menjumpai
seorang wanita yang baru ditinggal mati oleh anaknya, dan melolong-
lolong dekat kuburan anaknya. Beliau menasihatkan agar bersabar dan
menerima takdir Allah dengan rela dan menyerahkan diri. Wanita itu
tidak mengetahui bahwa ia ditegur oleh Rasulullah s.a.w. dan menjawab,
“Andaikan engkau pernah mengalami sedih ditinggal mati oleh anak
seperti yang kualami, engkau akan mengetahui betapa sukar untuk
bersabar di bawah himpitan penderitaan serupa itu.” Rasulullah s.a.w.
menjawab, “Aku telah kehilangan bukan seorang namun tujuh anak” dan
beliau terus berlalu. Selain menyinggung kehilangan atau kemalangan
beliau dengan cara yang tidak langsung demikian, beliau tidak pernah
dihanyutkan perasaan sedih yang berlarut-larut atau membiarkan
kemalangan-kemalangan itu menghalangi pengabdian beliau yang tidak
ada henti-hentinya kepada seluruh umat manusia dan kebersamaan beliau
menanggung segala beban penderitaan mereka.
Menguasai Diri
Beliau senantiasa dapat menguasai diri. Bahkan saat beliau
sudah menjadi orang yang paling berkuasa sekalipun, selalu beliau
dengarkan dengan sabar kata tiap-tiap orang, dan jika seseorang
memperlakukan beliau dengan tidak sopan, beliau tetap melayaninya dan
tidak pernah mencoba mengadakan pembalasan. Kebiasaan orang Timur
235
dalam menunjukkan penghormatan terhadap orang lain yang diajak
bicara ialah dengan tidak memanggil dengan nama pribadinya. Kaum
Muslimin biasa memanggil Rasulullah s.a.w. dengan kata-kata, “Ya
Rasulullah,” dan kaum bukan-Muslim memanggil beliau, Abul Qasim
(artinya Bapak si Qasim, sebab salah seorang anak beliau bernama
Qasim). Sekali peristiwa seorang Yahudi datang kepada beliau di
Medinah dan mulai bertukar pikiran dengan beliau. Dalam percakapan
itu ia berulang-ulang memanggil, “Hai Muhammad, hai Muhammad.”
Rasulullah s.a.w. sendiri tidak menghiraukan cara sapaan itu dan terus
dengan tenangnya menerangkan soal yang dipercakapkan. namun para
Sahabat menjadi marah atas panggilan kurang sopan yang dipergunakan
oleh orang itu sampai akhirnya seorang di antara mereka tidak dapat
menguasai dirinya lagi dan memperingatkan agar tidak menyebut
Rasulullah s.a.w. dengan nama asli beliau, namun dengan sebutan Abul
Qasim. Orang Yahudi itu mengatakan bahwa ia akan menyebut beliau
dengan nama yang diberikan oleh orang tua beliau. Rasulullah s.a.w.
tersenyum dan bersabda, ”Ia benar, aku diberi nama Muhammad pada
saat aku dilahirkan, dan sama sekali tidak ada alasan untuk marah sebab
ia memanggilku dengan nama itu.” Kadang-kadang orang menghentikan
beliau di perjalanan dan mengajak bercakap-cakap, menerangkan
kebuAllah nya dan meminta pertolongan kepada beliau. Beliau selalu
mendengarkan dengan penuh sabar dan membiarkan mereka terus bicara
dan beliau baru meneruskan perjalanan kalau urusannya sudah selesai.
Pada waktu orang-orang berjumpa dan bersalam-salaman, orang kadang-
kadang memegang tangan beliau beberapa lama, dan walaupun beliau
beranggapan hal itu kurang enak dan membuang percuma waktu yang
berharga, tidak pernah beliau lebih dahulu melepaskan tangan. Orang
bergaul bebas dengan beliau dan memaparkan kesusahan dan kesukaran
mereka kepada beliau dan meminta pertolongan beliau. Jika beliau
mampu memberikannya, beliau tidak pernah menolak.
Terkadang beliau diusik orang-orang dengan aneka ragam
permintaan yang sangat berat dan mendesak, namun beliau selalu
mengabulkan dan melaksanakan sejauh yang dimungkinkan. Sekali
peristiwa, sesudah memenuhi suatu permintaan, beliau memberi nasihat
kepada orang yang bersangkutan agar lebih bertawakal kepada Allah
dan menjauhi kebiasaan meminta kepada orang lain untuk meringankan
bebannya.
Pada suatu hari seorang Muslim yang mukhlis minta uang untuk
kesekian kalinya kepada beliau dan permintaannya selalu diluluskan,
namun hari itu beliau bersabda, “Sebaiknya seseorang bertawakal kepada
Allah dan menjauhi kebiasaan meminta-minta.” Orang tersebut seorang
muttaqi. Untuk menjaga perasaan Rasulullah s.a.w., pemberian itu tidak
dikembalikannya namun ia bersumpah tidak akan meminta apa pun
kepada siapa pun juga pada hari-hari mendatang dalam keadaan
bagaimana juga. Beberapa tahun kemudian ia ikut serta dalam suatu
peperangan. Ia menunggang kuda dan saat pertempuran tengah
berkecamuk, saat riuh gemerincingnya senjata dengan senjata saling
beradu sampai di puncaknya dan ia dikepung musuh, cambuknya
terlepas dan jatuh. Seorang prajurit Muslim yang berjalan kaki melihat
keadaan itu dan membungkuk untuk mengambilkan cambuk itu, namun
orang berkendaraan itu melarangnya, lalu ia sendiri melompat dari
kudanya dan mengambil cambuk itu sambil berkata bahwa ia telah lama
berjanji kepada Rasulullah s.a.w. tidak akan meminta lagi pertolongan
kepada siapa pun sehingga kalau mengizinkan sang prajurit itu
mengambilkan cambuknya akan sama halnya seperti meminta
pertolongan secara tidak langsung dan dengan demikian telah berdosa,
melanggar janjinya kepada Rasulullah s.a.w..
Keadilan Dan Perlakuan Adil
Bangsa Arab sangat suka mengagumi pribadi-pribadi tertentu
dan menerapkan berbagai patokan kepada berbagai orang. Bahkan di
antara bangsa-bangsa yang disebut beradab dewasa ini kita menyaksikan
adanya keengganan mengadakan tuntutan terhadap orang-orang
terkemuka atau yang memiliki kedudukan atau jabatan yang tinggi
atas perbuatan mereka, walaupun hukum diberlakukan secara ketat
terhadap warga negara biasa. namun , Rasulullah s.a.w. yaitu mandiri
dalam menerapkan keadilan dan perlakuan adil. Sekali peristiwa, suatu
perkara dihadapkan kepada beliau tatkala seorang bangsawati terbukti
telah melakukan pencurian. Hal itu menggemparkan, sebab jika
hukuman yang berlaku dikenakan terhadap wanita muda usia itu,
martabat suatu keluarga yang sangat terhormat akan jatuh dan terhina.
Banyak yang ingin mendesak Rasulullah s.a.w., demi kepentingan orang
yang berdosa itu, namun tidak memiliki keberanian. Maka Usama
diserahi tugas melaksanakan itu. Usama menghadap Rasulullah s.a.w.
namun sesaat beliau mengerti maksud tugasnya itu, beliau sangat marah
dan bersabda, “Kamu sebaiknya menolak. Bangsa-bangsa telah celaka
sebab mengistimewakan orang-orang kelas tinggi tapi berlaku kejam
terhadap rakyat jelata. Islam tidak mengizinkan dan aku pun sekali-kali
tidak akan mengizinkan. Sesungguhnya, jika Fatimah, anakku sendiri,
melakukan kejahatan, aku tidak akan. segan-segan menjatuhkan
hukuman yang adil” (Bukhari, Kitab al-Hudud).
Telah diriwayatkan bahwa saat paman Rasulullah s.a.w.,
Abbas, menjadi tawanan Perang Badar, ia diikat erat-erat seperti
tawanan-tawanan lainnya dengan tali untuk mencegah usaha melarikan
diri. Tali itu begitu eratnya sehingga ia mengerang-erang kesakitan
sepanjang malam. Rasulullah s.a.w. mendengar erangan itu dan
sebab nya beliau tidak dapat tidur. Para Sahabat mengetahui hal itu dan
melonggarkan ikatan Abbas. saat Rasulullah s.a.w. mengetahuinya,
beliau memerintahkan supaya semua tawanan diperlakukan sama seperti
paman beliau dengan mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk
menunjukkan keistimewaan kepada keluarga beliau sendiri. Beliau
menuntut mereka supaya melonggarkan ikatan semua tawanan atau
kebalikannya memperkuat lagi ikatan Abbas seperti tawanan-tawanan
lain. sebab para Sahabat tidak menghendaki beliau gundah hanya
sebab paman beliau, mereka memutuskan untuk menjaga tawanan-
tawanan itu lebih keras lagi dan melonggarkan ikatan semua tawanan
(Zurqani, Jilid 3, hlm. 279).
Bahkan dalam keadaan bahaya perang pun beliau sangat cermat
dalam melaksanakan peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan yang
baku. Sekali peristiwa beliau mengirim serombongan sahabat-sahabat
pada sebuah ekspedisi penyelidikan. Mereka bertemu dengan beberapa
orang musuh pada hari akhir bulan suci Rajab. Berpikir bahwa akan
sangat berbahaya melepaskan mereka itu sehingga akan membawa berita
ke Mekkah tentang rombongan penyelidik yang begitu dekat, musuh itu
disergap oleh mereka dan dalam perkelahian itu, seorang di antaranya
terbunuh. sesudah rombongan penyelidik itu kembali ke Medinah, kaum
Mekkah mengajukan protes bahwa penyelidik-penyelidik Muslim telah
membunuh salah seorang dari orang-orang mereka. Orang-orang
Mekkah sendiri sering melanggar Bulan Suci dalam menghadapi orang-
orang Muslim, bila hal itu dipandang baik oleh mereka, dan sebenarnya
telah menjadi jawaban yang layak terhadap tuduhan mereka itu untuk
mengatakan bahwa sebab kaum Mekkah sendiri telah melanggar
perjanjian tentang Bulan Suci, maka mereka itu tidak berhak menuntut
supaya dipatuhi oleh kaum Muslimin. namun , Rasulullah s.a.w. tidak
memberikan jawaban demikian. Beliau sangat menyesali anggota-
anggota rombongan itu, menolak menerima harta rampasan perang, dan
menurut beberapa riwayat malah membayar uang darah untuk orang
yang terbunuh itu, sehingga ayat 2:218 menjernihkan seluruh keadaan
(Tabari dan Halbiyya).
Orang-orang pada umumnya berhati-hati supaya jangan
menyakiti perasaan sahabat-sahabat mereka dan sanak-saudara mereka,
namun Rasulullah s.a.w. sangat memperhatikan asas itu, malah terhadap
orang-orang yang memusuhi beliau sekalipun. Sekali peristiwa seorang
Yahudi datang kepada beliau dan menerangkan bahwa Abu Bakar telah
melukai perasaannya dengan mengatakan bahwa Allah telah memberi
kedudukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. lebih tinggi di atas Nabi
Musa a.s.. Rasulullah s.a.w. memanggil Abu Bakar dan menanyakan
kepadanya, apa yang telah dikatakannya. Abu Bakar menerangkan
bahwa orang Yahudi itu mulai lebih dahulu menyatakan bahwa ia
bersumpah dengan nama Musa a.s. yang menurut kata orang itu, Allah
telah memuliakannya di atas seluruh umat manusia dan bahwa Abu
Bakar menyambutnya dengan bersumpah atas nama Muhammad s.a.w.,
yang Allah telah mengangkatnya di atas Nabi Musa a.s.. Rasulullah
s.a.w. bersabda, “Anda seharusnya tidak mengatakan itu, sebab
perasaan orang-orang lain harus diperhatikan juga. Siapa pun tidak boleh
mengangkatku di atas Nabi Musa a.s.” (Bukhari, Kitab al-Tauhid). Hal
itu tidak berarti bahwa Rasulullah s.a.w. menurut kenyataannya tidak
memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada Nabi Musa a.s., namun
menyatakan hal itu kepada orang Yahudi dapat dengan mudah menyakiti
perasaannya dan hal itu harus dihindarkan.
Perhatian Terhadap Orang-Orang Miskin
Rasulullah s.a.w. senantiasa prihatin memikirkan untuk
memperbaiki keadaan golongan yang miskin dan mengangkat taraf hidup
mereka di tengah-tengah masyarakat. Sekali peristiwa, saat beliau
sedang duduk-duduk dengan para Sahabat, lewatlah seorang kaya,
Rasulullah s.a.w. menanyakan kepada salah seorang dari para Sahabat,
apa pendapatnya tentang orang itu. Ia menjawab, “Ia seorang berada lagi
terkenal. Jika ia meminang seorang gadis idamannya akan diterima
dengan baik dan jika ia menjadi perantara untuk kepentingan seseorang,
perantaraannya itu akan diterima.” Tak lama kemudian, lewatlah seorang
orang lain yang nampaknya miskin dan tidak mampu. Rasulullah s.a.w.
menanyakan kepada Sahabat tadi, bagaimana orang itu menurut
pendapatnya. Ia menjawab, “Ya Rasulullah! Ia seorang miskin. Jika ia
meminang seorang gadis, permintaannya tidak akan diterima dengan
baik dan jika ia menjadi perantara untuk seseorang, perantaraannya akan
ditolak dan jika ia berusaha mengajak bercakap-cakap dengan seseorang,
ia tidak akan mendapat perhatian.” sesudah mendengar jawaban itu
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Nilai orang miskin itu jauh lebih tinggi dari
nilai sejumlah emas yang cukup untuk mengisi sekalian alam” (Bukhari,
Kitabal-Riqaq).
Seorang wanita Muslim biasa membersihkan Mesjid Nabi di
Medinah. Rasulullah s.a.w. sudah beberapa hari tidak melihatnya lagi di
mesjid dan beliau menanyakan keadaannya. Disampaikan kepada beliau
bahwa ia sudah meninggal. Beliau bersabda, “Mengapa aku tidak diberi
tahu kalau ia meninggal? Aku pasti akan ikut dalam sembahyang
jenazahnya,” dan menambahkan, “Barangkali kalian tidak
memandangnya cukup penting sebab ia miskin. Anggapan itu salah.
Bawalah aku ke kuburannya.” Kemudian beliau pergi ke sana dan
mendoa untuk dia (Bukhari, Kitabal-Shalat). Beliau biasa bersabda
bahwa ada orang-orang dengan rambut kusut-masai, tubuhnya tertutup
dengan debu, dan mereka tidak disambut oleh orang-orang berada, namun
begitu tinggi dihargai Allah sehingga jika dengan bertawakal kepada
Allah mereka bersumpah atas nama Allah bahwa suatu hal akan
mengalami perubahan, Allah akan membantu mereka” (Muslim,
Kitabal-Bir wal Sila).
Sekali peristiwa beberapa Sahabat, bekas budak-budak tapi
sudah dimerdekakan, bersama-sama duduk saat Abu Sufyan (seorang
pemimpin Quraisy yang memerangi kaum Muslim sampai hari jatuhnya
Mekkah dan baru masuk Islam pada peristiwa itu) lewat disitu. Para
Sahabat menegurnya dan mengingatkannya kembali kepada kemenangan
yang dianugerahkan Allah kepada Islam. Abu Bakar mendengarnya dan
tidak berkenan di hatinya bahwa seorang pemimpin Quraisy
diperingatkan kepada penghinaan yang dideritanya, lalu kumpulan
Sahabat itu ditegurnya. Ia menghadap Rasulullah s.a.w. dan
menceriterakan peristiwa itu kepada beliau. Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Hai, Abu Bakar! Aku khawatir engkau telah melukai hati hamba-hamba
Allah itu. Jika demikian, Allah akan murka terhadapmu.” Abu Bakar
segera kembali kepada para Sahabat itu dan bertanya, “Wahai, saudara-
saudaraku! Apakah saudara-saudara sakit hati atas apa yang kukatakan
tadi?” Mereka menjawab, “Kami tidak mendendam atas perkataan anda.
Semoga Allah memaafkan anda“ (Muslim, Kitab al-Fada'il).
namun , sementara Rasulullah s.a.w. menuntut supaya kaum
miskin dihargai dan perasaan mereka tidak dilukai, dan memenuhi segala
kebuAllah mereka, beliau berusaha juga meresapkan rasa harga diri ke
dalam hati mereka dan mengajarkan agar tidak meminta-minta. Beliau
biasa mengatakan bahwa tidak pantas bagi seorang orang miskin merasa
puas dengan sebutir atau dua butir korma atau sesuap atau dua suap
makanan, namun ia harus menghindarkan diri dari meminta-minta,
betapapun beratnya cobaan yang dihadapinya (Bukhari, Kitab al-Kusuf).
Sebaliknya, beliau biasa mengatakan juga bahwa tidak ada suatu kenduri
mendapat berkah selama beberapa orang miskin juga tidak diundang.
Aisyah r.a. menceriterakan bahwa seorang wanita miskin pada suatu
saat datang kepada beliau disertai oleh dua anak perempuannya yang
masih kecil. Aisyah r.a. tak punya apa-apa pada saat itu, kecuali sebutir
korma yang dapat diberikan oleh beliau kepada wanita itu. Wanita itu
membagikannya kepada dua anaknya yang kecil itu dan kemudian
mereka itu berlalu. saat Rasulullah s.a.w. tiba di rumah, Aisyah r.a.
menceriterakan hal itu kepada beliau dan Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Jika seorang miskin memiliki anak-anak perempuan dan ia
memperlakukannya dengan baik, Allah akan menyelamatkan dia dari
api neraka,” dan menambahkan, “Allah akan menyediakan surga kepada
wanita itu disebabkan oleh perlakuan baiknya terhadap anak-anak
perempuan” (Muslim). Sekali peristiwa diceriterakan kepada beliau
bahwa seorang Sahabat bernama Said, seorang yang berada,
membanggakan diri tentang hasil usahanya kepada orang-orang lain.
saat Rasulullah s.a.w. mendengar hal itu, beliau bersabda, “Janganlah
seorang menyangka bahwa kekayaan atau kedudukan atau kekuasaannya
yaitu semata-mata buah usahanya sendiri. Keadaannya tidak demikian.
Kekuasaanmu dan kedudukanmu serta kekayaanmu, semuanya diperoleh
dengan perantaraan si miskin.”
Salah satu doa beliau ialah, “Ya Allah ! Buatlah hamba ini tetap
merendahkan diri selama hamba hidup, dan buatlah hamba merendahkan
diri jika hamba mati dan bangkitkanlah hamba pada Hari Pembalasan
bersama mereka yang merendahkan diri” (Tirmidhi, Abwab al-Zuhd).
Sekali peristiwa di musim panas, saat beliau berjalan melalui
suatu jalan raya dilihat beliau seorang Muslim yang sangat miskin sedang
memikul barang-barang berat dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ia
seorang dengan paras amat sederhana dan nampak lebih tidak menarik
lagi dengan baju yang kotor oleh keringat dan debu. Pandangannya sayu.
Rasulullah s.a.w. mendekatinya dengan diam-diam dari belakang dan
beliau seperti anak-anak kadang-kadang berbuat dalam senda gurau,
menjulurkan tangan beliau ke muka dan menutup mata kuli itu agar ia
menerka siapa beliau. Orang itu menjulurkan tangannya ke belakang dan
sambil meraba-raba badan Rasulullah s.a.w. ia mengetahui bahwa
Rasulullah s.a.w.- lah yang ada di belakangnya. Barangkali ia dapat
menerka juga bahwa tak ada orang lain yang memperlihatkan kecintaan
yang begitu mesra terhadap orang seperti dia. sebab hatinya senang dan
padanya timbul keberanian, ia merapatkan dirinya ke tubuh Rasulullah
s.a.w. serta menggosok-gosokkan badannya yang berdebu dan
berkeringat itu ke pakaian Rasulullah, barangkali hendak meyakinkan
dirinya sampai di mana Rasulullah s.a.w. mau membiarkan dirinya
diperlakukan serupa itu. Rasulullah s.a.w. tetap mengulum senyum dan
tidak menyuruhnya berhenti dari perbuatannya itu. saat orang itu telah
merasa puas dan juga merasa terharu, Rasulullah s.a.w. bertanya, “Aku
memiliki seorang budak. Adakah menurut pendapatmu, orang yang
mau membelinya?”
Orang itu menyadari bahwa barangkali tak ada seorang pun di
seluruh dunia kecuali Rasulullah s.a.w. sendiri yang berminat kepadanya
dan dengan menghela nafas sedih ia menjawab, “Ya Rasulullah. Tidak
ada seorang pun di bumi ini yang bersedia membeliku.”
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidak! Tidak! Kamu jangan berkata
demikian. Kamu sangat berharga dalam pandangan Ilahi” (Syarh al-
Sunnah).
Bukan saja beliau sangat prihatin akan kesejahteraan si miskin,
namun beliau senantiasa menganjurkan pula kepada orang-orang lain
untuk berbuat serupa.
Abu Musa Asy'ari meriwayatkan bahwa jika seorang miskin
menghadap Rasulullah s.a.w. dan mengajukan permintaan, beliau biasa
bersabda kepada orang di sekitar beliau, “Kamu juga hendaknya
memenuhi permintaannya itu sehingga mendapat pahala sebagai orang
yang berperan serta dalam menggalakkan perbuatan baik” (Bukhari dan
Muslim), dengan tujuan membangkitkan rasa cenderung untuk menolong
si miskin di satu pihak dalam hati para Sahabat, dan di pihak lain
menimbulkan kesadaran dalam hati kaum fakir-miskin adanya cinta dan
rasa kasih saudara-saudara mereka yang kaya.
Menjaga Kepentingan Si Miskin
saat Islam berangsur diterima secara umum oleh bagian
terbesar bangsa Arab, Rasulullah s.a.w. sering menerima barang dan
uang berlimpah-limpah, beliau segera membagi-bagikan hadiah-hadiah
itu di antara mereka yang sangat membutuhkan. Sekali peristiwa anak
beliau, Fatimah, datang mendapatkan beliau dan sambil memperlihatkan
telapak tangannya yang tebal dan keras akibat pekerjaan menepung
gandum dengan batu, memohon agar diberi seorang budak untuk
meringankan pekerjaannya. Rasulullah s.a.w. menjawab, “Aku akan
menceriterakan kepadamu sesuatu yang nanti akan terbukti jauh lebih
berharga dari pada seorang budak. Jika engkau mau tidur pada malam
hari, engkau hendaknya membaca Subhanallah tiga puluh tiga kali,
Alhamdulillah tiga puluh tiga kali, dan Allahu Akbar tiga puluh empat
kali. Hal itu akan jauh lebih banyak menolongmu daripada memelihara
seorang budak” (Bukhari).
Sekali peristiwa, saat sedang membagi-bagikan uang, sekeping
mata uang terjatuh, meluncur, dan menghilang. Sesudah selesai
membagi-bagikan uang itu beliau pergi ke mesjid untuk memimpin
sembahyang. Beliau biasa duduk-duduk sejenak selepas sembahyang
berzikir Ilahi. Sesudah itu orang-orang diberi kesempatan untuk
menghadap dan bertanya atau mengajukan permohonan. Tapi kali itu,
begitu usai sembahyang, beliau bangkit dan cepat-cepat pulang. Beliau
mencari mata uang yang hilang tadi dan sesudah ditemukannya kembali,
beliau kembali dan memberikan uang itu kepada orang yang
membutuhkannya. Beliau menerangkan bahwa mata uang itu jatuh
saat membagi-bagikan uang dan hal itu kemudian beliau lupakan,
namun saat dengan tiba-tiba pada waktu mengimani sembahyang
teringat kembali maka beliau menjadi gelisah sebab diusik pikiran
bahwa jika beliau wafat sebelum menemukan kembali uang itu dan
memberikannya kepada orang yang membutuhkan, beliau akan dituntut
pertanggung-jawaban di hadapan Allah , itulah sebabnya beliau
meninggalkan mesjid begitu tergesa-gesa untuk menemukan kembali
uang tersebut (Bukhari, Kitab al-Kusuf).
sebab besarnya minat beliau menjaga kepentingan kaum fakir-
miskin begitu jauh, sehingga beliau menetapkan bahwa untuk selama-
lamanya sedekah tidak boleh diberikan kepada keturunan beliau, sebab
khawatir jangan-jangan orang-orang Muslim, sebab cinta dan bakti
terhadap beliau, pada suatu waktu akan mengutamakan sedekah kepada
keturunan beliau dan dengan demikian merampas hak kaum fakir-
miskin. Sekali peristiwa seseorang membawa kepada beliau sejumlah
korma dan mempersembahkannya sebagai sedekah. Cucu beliau, Imam
Hassan, yang pada saat itu baru berusia dua setengah tahun, kebetulan
duduk-duduk bersama Rasulullah s.a.w.. Ia mengambil sebutir korma
dan memasukkan ke dalam mulut. Rasulullah s.a.w. segera memasukkan
jari ke dalam mulut si anak dan mengeluarkan korma itu dengan paksa
sambil bersabda, “Kita tidak berhak atas ini. Ini hak orang-orang miskin
dari antara makhluk Allah ” (Bukhari, Kitab al-Kusuf).
Perlakuan Terhadap Budak-Budak
Beliau senantiasa menganjurkan kepada mereka yang
memiliki budak-budak supaya memperlakukan mereka dengan baik
serta kasih sayang. Beliau menetapkan bahwa jika si pemilik memukul
budaknya atau memaki-makinya, maka satu-satunya perbaikan yang
dapat dilakukannya ialah memerdekakannya (Muslim, Kitab al-Iman).
Beliau membuat sarana untuk mendorong dan memerdekakan budak
pada tiap-tiap kesempatan. Beliau bersabda, “Jika seseorang memiliki
budak-budak lalu memerdekakan mereka, Allah akan membalasnya
dengan menyelamatkan tiap-tiap bagian tubuhnya sesuai dengan tiap-tiap
bagian tubuh budak itu, dari siksaan neraka.” Pula, beliau menetapkan
bahwa seorang budak hendaknya disuruh hanya melaksanakan tugas-
tugas yang ia dengan mudah dapat melakukannya dan bahwa jika ia telah
diberi tugas, tuannya hendaknya membantu melakukannya sehingga
budak itu tidak boleh mengalami perasaan dihina atau direndahkan
(Muslim). Jika tuannya bepergian dan diikuti oleh seorang budaknya,
maka menjadi kewajiban bagi tuannya untuk menaiki tunggangan baik
bersama-sama atau bergantian. Abu Hurairah yang biasa mengisi semua
waktunya, sesudah ia masuk Islam, dengan ikut bersama Rasulullah s.a.w.
dan acapkali mendengarkan fatwa Rasulullah s.a.w. mengenai perlakuan
terhadap budak-budak; ia berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah
Yang ditangan-Nya terletak kehidupanku bahwa seandainya tidak ada
kesempatan ikut berjihad dan naik Haji dan seandainya tidak memiliki
kesempatan mengkhidmati ibuku yang sudah tua, aku ingin mati sebagai
seorang budak, sebab Rasulullah s.a.w. senantiasa menuntut supaya
budak-budak diperlakukan dengan baik dan kasih sayang (Muslim).
Ma'rur bin Suwaid meriwayatkan, “Aku melihat Abu Dharr
Ghaffari (seorang Sahabat) mengenakan pakaian yang betul-betul sama
dengan pakaian yang dikenakan oleh budak-budaknya. Aku menanyakan
kepadanya alasan tentang itu dan ia berkata, “Di zaman Rasulullah s.a.w.
sekali peristiwa aku memaki-maki seorang laki-laki dan menghinanya
sebab ibunya seorang budak. Menyaksikan hal itu Rasulullah s.a.w.
menyesaliku dan bersabda, “Kamu agaknya masih terbiasa dengan
tingkah-laku jahiliah. Apakah budak itu? Mereka saudaramu dan sumber
kekuatanmu. Allah Yang Maha Bijaksana telah memberikan kepadamu,
untuk sementara waktu, kekuasaan di atas mereka. Yang memiliki
kekuasaan terhadap saudaranya, hendaknya memberi makan seperti ia
makan sendiri, memberi pakaian seperti yang dipakai sendiri dan
hendaknya tidak memberi tugas di luar kemampuannya dan
membantunya dalam melaksanakan tugasnya.” Pada peristiwa lain
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Jika pelayanmu memasak makanan untuk
kamu dan menghidangkannya kepadamu, kamu hendaknya mengajaknya
makan dan duduk bersama atau sekurang-kurangnya ikut makan
sebagian makanan itu bersama kamu, sebab ia telah membuat dirinya
berhak atas itu dengan bekerja menyiapkannya” (Muslim).
Perlakuan Terhadap Wanita
Rasulullah s.a.w. sangat berhasrat memperbaiki keadaan wanita
di tengah masyarakat, menjamin mereka mendapat kedudukan terhormat
dan perlakuan wajar lagi pantas. Islam yaitu agama pertama yang
memberikan hak waris kepada wanita. Al-Qur’an menjadikan anak-anak
perempuan, bersama-sama dengan anak-anak lelaki, ahli waris kekayaan
orang tua mereka. Demikian pula ibu menjadi ahli waris harta benda
peninggalan anak laki-laki atau anak perempuan; dan seorang istri jadi
ahli waris harta-benda suaminya. Jika seorang saudara laki-laki menjadi
ahli waris harta-benda saudaranya yang meninggal, maka saudara
perempuan juga jadi ahli waris harta-benda itu. Tidak ada agama
sebelum Islam begitu jelas dan tegas dalam menjamin hak waris wanita
dan hak memiliki harta kekayaan. Dalam Islam, seorang wanita menjadi
pemilik mutlak harta-bendanya sendiri dan suaminya tak dapat
memiliki hak sedikit pun mengendalikan harta-benda itu hanya
semata-mata sebab alasan ia suaminya. Seorang wanita bebas
sepenuhnya bertindak atas harta-bendanya menurut kehendaknya sendiri.
Rasulullah s.a.w. begitu berhati-hati mengenai perlakuan
terhadap wanita, sehingga mereka yang ada di sekitar beliau, yang
sebelumnya tidak biasa memandang kepada wanita sebagai kawan dan
mitra, merasa sukar untuk menyesuaikan diri pada standar yang
Rasulullah s.a.w. begitu menghendaki sekali supaya dilaksanakan dan
dipelihara. Sayyidina Umar meriwayatkan, “Istriku kadang-kadang
berusaha mencampuri urusanku dengan memberi saran dan usul, dan aku
biasa memarahinya dengan mengatakan bahwa bangsa Arab tidak pernah
mengizinkan istrinya mencampuri urusannya. Ia membantah, “Masa itu
telah lewat. Rasulullah s.a.w. mengizinkan istri-istri beliau memberi
saran dan usul dalam urusan beliau dan beliau tidak melarangnya.
Mengapa engkau tidak mengikuti contoh beliau?” Maka aku biasa
menjawab: Mengenai Aisyah, Rasulullah s.a.w. sangat senang
kepadanya, namun mengenai anakmu (Hafsah), jika ia berbuat demikian,
pada suatu hari ia akan menderita oleh kelancangannya. Telah terjadi
bahwa sekali peristiwa Rasulullah s.a.w. marah, sebab suatu sebab
memutuskan untuk hidup pisah dari istri-istri beliau, untuk sementara
waktu. saat aku mengetahui itu kukatakan kepada istriku: Apa yang
kutakutkan telah terjadi. Kemudian aku pergi ke rumah anakku, Hafsah,
dan mendapatkannya sedang menangis. Kutanyakan apa sebab-sebabnya,
dan apakah Rasulullah s.a.w. telah menceraikan. Ia menjawab, “Aku tak
tahu apa-apa tentang perceraian, namun Rasulullah s.a.w. telah
memutuskan untuk hidup pisah, untuk sementara waktu, dari kami
semua. “Aku katakan kepadanya, Bukankah aku telah sering mengatakan
bahwa kau jangan begitu lancang seperti Aisyah terhadap beliau, sebab
Rasulullah s.a.w. sangat mencintai Aisyah, namun kau agaknya telah
menerima akibat yang aku khawatirkan”. Kemudian aku menghadap
Rasulullah s.a.w. dan melihat beliau sedang berbaring di atas tikar kasar.
Beliau pada waktu itu tidak memakai kemeja dan pada tubuh beliau
nampak kesan tapak tikar. Aku duduk dekat beliau dan berkata, “Ya
Rasulullah! Kaisar dan Kisra tidak berhak menikmati karunia Ilahi
sedikit pun, namun walaupun demikian, mereka hidup dalam kemewahan;
sedangkan anda, sebagai Rasul Allah, begitu sengsara. Rasulullah s.a.w.
menjawab, “Itu tidak benar. Dan Utusan-utusan Allah tidak diharapkan
akan menggunakan waktunya dalam kesenangan. Kehidupan demikian
hanya pantas untuk raja-raja duniawi”. Kemudian aku menyampaikan
kepada Rasulullah apa yang terjadi antara istriku dan anakku. Mendengar
hal itu Rasulullah s.a.w. tertawa dan bersabda, “Tidak benar aku telah
menceraikan istri-istriku. Aku hanya memandang ada baiknya kalau
hidup untuk sementara waktu pisah dan mereka“ (Bukhari, Kitab al-
Nikah).
Beliau begitu hati-hati mengenai perasaan wanita-wanita
sehingga sekali peristiwa, saat beliau memimpin sembahyang dan
mendengar seorang anak menangis, beliau menyelesaikan shalat secepat
mungkin. Beliau menerangkan kemudian bahwa saat beliau
mendengar tangisan anak itu, beliau membayangkan bahwa ibu anak itu
tentu amat gelisah, dan oleh sebab itu beliau menyelesaikan shalat itu
dengan cepat sehingga ibu itu dapat pergi ke anaknya dan mengurusnya.
Jika dalam salah satu perjalanan beliau ada pula wanita-wanita
ikut serta, beliau senantiasa memberi petunjuk supaya kafilah bergerak
lambat dan berhenti secara bertahap. Pada suatu kesempatan serupa itu
saat orang-orang ingin sekali maju cepat, beliau bersabda, “Perhatikan
kaca! Perhatikan kaca!” dengan maksud mengatakan bahwa ada wanita-
wanita dalam rombongan dan bahwa jika unta-unta dan kuda-kuda
berlari cepat, mereka itu akan menderita dan bantingan-bantingan
binatang-binatang itu (Bukhari, Kitab al-Adab).
Pada suatu pertempuran timbul kekacauan di tengah barisan-
barisan berkuda dan binatang-binatang itu pun tidak terkendalikan.
Rasulullah s.a.w. jatuh dari kuda, begitu pula beberapa wanita jatuh dari
tunggangan mereka. Seorang dari antara sahabat-sahabat yang
mengendarai unta amat dekat di belakang Rasulullah s.a.w., turun
dengan meloncat dan berlari-lari kepada Rasulullah s.a.w. sambil
berteriak. “Biarlah aku berkorban untuk anda, ya Rasulullah.” Kaki
Rasulullah s.a.w. masih tersangkut di sanggurdi. Beliau melepaskan
dengan segera kaki itu dan bersabda, “Jangan perdulikan aku, lekas
tolong wanita-wanita itu.” Sesaat sebelum beliau wafat, salah satu dari
perintah yang ditujukan kepada kaum Muslimin dan sangat ditekankan
oleh beliau ialah, mereka hendaknya senantiasa memperlakukan wanita
dengan baik dan kasih sayang. Beliau seringkali dan berulang-ulang
mengatakan, jika seseorang memiliki anak-anak perempuan dan ia
telah berusaha agar mereka mendapat didikan dan ia berusaha keras
memelihara mereka, Allah akan menyelamatkannya dari siksaan neraka
(Tirmidhi).
Telah menjadi kebiasaan pada orang-orang Arab memberi
siksaan jasmani kepada wanita atas tiap-tiap kesalahan kecil. Rasulullah
s.a.w. mengajarkan bahwa wanita itu sama seperti pria selaku makhluk
Allah dan bukan budak kaum pria dan tidak boleh dipukul. Tatkala
wanita-wanita mengetahui hal itu, ulah mereka menjadi sama sekali
terbalik dan mulai berani membantah kaum pria dalam segala hal,
akibatnya ialah dalam beberapa rumah