inya.1 Pandangan ini secara jelas
menunjukkan bahwa sains yaitu lebih penting dan lebih tinggi
tingkatannya dibandingkan dengan agama.
Dalam sejarah perkembangan sains, perdebatan tentang
pola hubungan sains dan agama seolah-olah tidak berhenti.
Masing-masing pihak baik dari kalangan saintis maupun teolog,
termasuk juga filosof berupaya untuk memperkuat pola hubungan
relasi sains dan agama yang diyakini kebenarannya. Sebelum
renaisans
di Barat, agama begitu mendominasi sehingga
perkembangan sains cenderung terhambat. Sebaliknya, sejak
renaisans, perkembangan sains begitu pesat dan mendominasi
kehidupan manusia, khususnya di Barat, sehingga agama seolaholah terpinggirkan dan bahkan beberapa konsep agama, termasuk
Tuhan ditolak keberadaannya. Dalam konteks teologi dan filsafat,
pertentangan relasi agama dan sains di Barat menjadi salah satu
penyebab munculnya atheisme dan saintisme.
Dari sudut pandang epistemologi (filsafat pengetahuan),
sains bertolak dari pengetahuan empiris sehingga kebenaran sains dapat diukur dan dapat diverifikasi. Berbeda dengan sains, agama
memakai wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan
termasuk dalam memahami dan meyakini hal-hal yang bersifat
metafisik. Secara filosofis, empirisme menjadi dasar
berkembangnya aliran empirisme logis atau sering juga disebut
positivisme logis . Bagi aliran ini, sebuah pernyataan termasuk
pernyataan terkait pengetahuan dapat diterima dan bermakna
jika dapat diverifikasi secara empiris. Oleh karena itu, aliran
ini menolak pernyataan metafisika karena dianggap tidak
bermakna (meaningless).
John R. Staver berkesimpulan bahwa perdebatan antara
agama dan sains pada dasarnya hanya terjadi dalam pemikiran dan
praktek kehidupan sosial semata, dan tidak terjadi dalam tataran
logis dan epistemologis. Secara epistemologis, kebenaran sains
berbeda dengan kebenaran agama. Sains memakai metode
empiris, sedangkan kebenaran agama bersumber pada firman
Tuhan. Oleh karena itu, tidak ada konflik antara sains dan agama.
Agama dan sains itu sepenuhnya merupakan dua hal yang berbeda.
Keduanya memiliki kedudukan dan fungsi yang setara dan vital
dalam kehidupan manusia. Kesimpulan ini didasarkan pada
pendekatan atau teori konstruktivisme.
Pandangan ini
berpendapat bahwa konflik antara sains dan agama yaitu
merupakan konstruk sosial dan kultural.
Kesimpulan John R. Staver ini mendapat banyak
tanggapan, baik yang mendukung (memperkuat) maupun yang
menolak (mengkritik). Di antara yang mendukung yaitu John H. Evans and Michael S. Evans. Mereka berpendapat bahwa
perdebatan sains dan agama tidak ada kaitannya dengan persoalan
atau pertentangan epistemologi. Asumsi yang menyatakan bahwa
konflik sains dan agama merupakan pertentangan epistemologi
ini dibangun berdasarkan sejarah pemikiran Barat.
Pendapat ini tentu saja mendukung konstruktivisme relasi sains
dan agama.
Bridgida Morais Falcao menganggap bahwa posisi Staver
tentang debat antara sains dan agama merupakan sebuah
tantangan tersendiri untuk mendiskusikan persoalan ini
dengan mengombinasikan pendekatan metodologis teoretis,
kebebasan berfikir dan riset. Ia menganggap pemahaman yang
meletakkan sains dan agama sebagai suatu yang berbeda dapat
memberi ruang yang lebih luas dalam pengembangan sains.
Perdebatan sains dan agama di Barat telah berlangsung
sejak akhir masa kegelapan di Barat (the dark of middle age).
Untuk menegaskan kembali bahwa diskursus relasi sains dan
agama yang terjadi Barat tidak dapat disamakan dengan ada di
dunia Islam. Muzaffar Iqbal mendukung pandangan ini .
Model perdebatan relasi sains dan agama yang terjadi di dunia
Barat (Kristiani) tidak dapat digiring begitu saja ke dunia Islam
tanpa memberi penilaian dan catatan kritis. Hal itu disebabkan
oleh sifat (nature), dasar agama, epistemologi antara Barat
(Kristiani) dan Islam jauh berbeda.
Nasser Mansour merumuskan empat pandangan para guru
sains di Mesir terkait dengan hubungan agama (Islam) dan sains.
Keempat pandangan ini yaitu konflik dari sisi sains,
independensi dari dominasi agama, dialog di bawah otoritas
agama, dan integrasi dengan sains sebagai bagian dari agama.
Pandangan yang pertama berdasarkan alasan teori evolusi yang
bertentangan dengan konsep penciptaan. Pandangan kedua dengan
alasan bahwa metode sains dan agama berbeda, sains memberi
penjelasan ilmiah sedangkan agama merumuskan nilai, moral dan
etika. Pandangan yang ketiga didasarkan pada keterbatasan sains
untuk memecahkan dan menjawab segala persoalan, sedangkan
agama dapat memberi jawaban yang memungkinkan untuk
segala persoalan kehidupan manusia. Pandangan yang keempat
menyatakan bahwa sains dapat membantu membuktikan
kebenaran agama sehingga sains berdampak terhadap keyakinan
agama. Oleh karena itu, agama dan sains bukan sesuatu yang
bersifat dikotomis. Penelitian Nasser Mansour berkesimpulan
bahwa Personal Religious Belief (PRB) membentuk dan
memengaruhi Pedagogical Beliefs terkait dengan masalah
hubungan sains dan agama.
Pemahaman ontologis terhadap makna menentukan
pandangan seseorang tentang hubungan agama dan sains. Ontologi
monistik membangun makna teks sebagai fakta-fakta yang dapat
dibuktikan sendiri kebenarannya dan bersifat pasti. Oleh karena
itu, ketika sains dihubungkan dengan agama boleh jadi sains
membenarkan agama atau sebaliknya. Sementara ontologi
pluralistik membangun makna teks secara pluralistik, sehingga
pemahaman ini dapat diterima oleh kesadaran manusia dan sifat
kebenarannya tidak pasti. Pada tataran ini, sains dan agama
dipahami bukan sebagai sesuatu yang bersifat dikotomis.
Secara lebih tajam dan lugas, Fethullah Gulen, menurut
Osman Bakar, berprinsip bahwa sains tidak dapat lepas atau
terpisah dari agama. Menurut Bakar, bagi Gulen sains dan agama
tidak pernah dianggap sejajar dalam Islam, tapi sains harus
mengacu dan mengambil inspirasi dari Al-Quran dan Hadis. Ia
membagi kebenaran dalam dua bentuk yaitu kebenaran mutlak
(absolute truth) dan kebenaran relatif (relative truth). Kebenaran
mutlak ada pada al-Quran dan sifatnya tetap, sedangkan
kebenaran relatif ada pada sains yang sifatnya berubah. Kedua kebenaran itu tidak akan bertentangan jika sains secara
prinsipil mengacu kepada kebenaran mutlak yaitu al-Quran dan
Hadis. Islam yang berlandaskan tauhid semestinya dijadikan
sumber dan semangat pengembangan sains. Sains yang dimaksud
tidak hanya sains kealaman (natural sciences) tapi semua jenis
sains yang tidak dapat dipisahkan dari nilai, kesadaran religius dan
spiritual.
Uraian di atas menunjukkan kompleksnya diskursus relasi
sains dan agama yang berkembang baik dalam Islam maupun
Barat. Dari sisi epistemologi, epistemologi Barat dalam banyak
hal tidak tepat digunakan sebagai dasar dan alat untuk
mengembangkan epistemologi dan filsafat keilmuan Islam.
Modernisme dan sains modern khususnya sangat didominasi oleh
epistemologi Newtonian-Cartesian yang bersifat mekanistikrasionalis.
Dalam tataran praktis, relasi sains dan agama di dunia
Islam khususnya di negara kita lebih mengarah kepada persoalan
integrasi sains dan agama. Integrasi sains dan agama ini
diwujudkan dalam pengembangan akademik bagi Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yaitu dengan
bertransformasinya beberapa Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Transformasi IAIN
menjadi UIN ini pada umumnya menawarkan konsep
integrasi ilmu umum termasuk sains dengan ilmu agama dengan
model dan varian yang berbeda. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memakai istilah reintegrasi keilmuan,
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta memakai istilah integrasi-interkoneksi dengan konsep jaring laba-labanya, dan UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang dengan konsep integrasi pohon ilmu. Sampai saat ini,
sudah 1 IAIN menjadi UIN yang pada dasarnya sejalan dengan
konsep integrasi ilmu ataupun reintegrasi ilmu.
Berbeda dengan di negara kita , Malaysia lebih cenderung
memakai konsep Islamisasi sains seperti yang dikembangkan
oleh al-Faruqi, Naquib al-Attas, dan Osman Bakar. Pengembangan
konsep islamisasi sains ini terutama diwujudkan dengan
membentuk cabang International Institute for Islamic Thought
(IIIT) yang berpusat di Virginia, Amerika Serikat dan mendirikan
International Islamic University of Malaysia (IIUM).
Al-Faruqi
pada dasarnya tidak menentang sains modern. Ia hanya
mempersoalkan landasan aksiologi sains modern. Islam baginya
tidak hanya sebagai agama tapi juga sebagai pandangan dunia
(world view) dan bagian integral dari proses pengembangan
pengetahuan, sains serta teknologi.
Epistemologi modernisme Barat sangat didominasi oleh
epistemologi fondasionalisme. Fondasionalisme berarti bahwa
semua pengetahuan dan keyakinan dapat diterima dan diakui
kebenarannya jika memiliki dasar yang jelas, tidak dapat diragukan (indubtable), tidak dapat dibantah (undeniable), dan
tidak dapat dikoreksi (incorrigable). Epistemologi yang dipakai
oleh fondasionalisme teutama yaitu rasionalisme, empirisme, dan
kritisisme.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa model epistemologi
yang berkembang sejak Yunani kuno, filsafat Islam, dan filsafat
modern paling tidak memiliki kesamaan dari dasar dan metodenya
meskipun masing-masing mempunyai distingsinya. Dalam
pemikiran Islam dikenal dengan epistemologi baya>ni, burha>ni, dan
‘irfa>ni. Sedangkan di Barat dikenal dengan epistemologi
rasionalisme, empirisme, dan kritisisme dengan segala
derivasinya. Secara makna dan praktis, baik epistemologi Barat
maupun Islam memiliki kesamaan dan perbedaan.
Semua jenis epistemologi ini di atas baik di Barat
maupun di Islam telah berperan penting dalam membentuk world
view dan peradaban masing-masing, bahkan saling memengaruhi
satu sama lainnya. Modernisme di Barat sangat didominasi oleh
epistemologi Newtonian-Cartesian yang bersifat makanistikrasionalis, sementara epistemologi Islam pada dasarnya tidak
terlepas dari epistemologi baya>ni-irfa>ni-burha>ni.
Berbagai macam model epistemologi yang berkembang
dalam Islam dan Barat pada dasarnya memiliki distingsi yang
cukup jelas dalam konteks epistemologi. Epistemologi Islam
bersumber pada alam, wahyu, dan pikiran logis, sedangkan
epistemologi Barat cenderung mengabaikan wahyu.
Epistemologi monistik dalam Islam didasarkan pada keyakinan
teologis yang meyakini keesaan Tuhan, sementara epistemologi
Barat yang dualistik sangat dipengaruhi oleh filsafat dualismenya
Rene Descartes. Oleh karena itulah, penelitian tentang relasi sains
dan agama dari dasar epistemologi yang berbeda antara Islam dan
Barat menjadi penting dan menarik untuk diteliti. Dalam konteks
ini, relasi sains dan agama ditinjau dari pemikiran epistemologi
Nidhal Guessoum (Islam) dan Ken Wilber (Barat) menjadi fokus
kajian disertasi ini.
Kedua tokoh ini dipilih untuk diteliti berdasarkan
beberapa alasan. Pertama, keduanya yaitu ilmuwan dan filsuf
kontemporer yang banyak menulis tentang tema relasi sains dan
agama. Kedua, meski memiliki latar belakang sosio-kultural yang
berbeda, keduanya berupaya untuk menawarkan konsep relasi
sains dan agama. Ketiga, keduanya sama-sama memakai
analisis filosofis dan ilmiah dalam memahami relasi sains dan
agama. Terakhir, keduanya sama-sama tertarik untuk menulis dan
memakai istilah quantum.
Guessoum pada dasarnya mengkritik sains modern yang
mengabaikan landasan transendental. Landasan transendental
sains modern sebenarnya tidak terlepas dari kontribusi pemikiran
Ibn Rushd yang tidak mempertentangkan agama dan filsafat.
Dengan demikian, secara epistemologis, sains dan agama tidaklah
bertentangan. Konflik yang terjadi antara sains dan agama akibat
dari sains menafikan aspek metafisikanya. Rekonsiliasi sains dan
agama (Islam) yaitu merupakan suatu keharusan karena pada
dasarnya, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis,
sains dan Islam ini harmoni. Untuk mewujudkan rekonsiliasi
sains dan agama ini diperlukan rekonstruksi pemikiran
keislaman yang dilandaskan kepada prinsip-prinsip dasar ajaran
Islam, khasanah pemikiran Islam klasik, filsafat sains
kontemporer, tidak anti modernitas serta pendekatan beragam dan
berlapis dalam memahami agama.
Sama halnya dengan Guessoum, Wilber cenderung
berpandangan bahwa kehancuran dan kesalahan terbesar
modernitas akibat dari pereduksian ranah atau aspek esoteris atau
spiritual dari sains modern. Wilber memandang perlunya
pendekatan integral dalam menganalisis segala sesuatu termasuk
tentang sains dan agama. Oleh karena itu, integrasi sains dan
agama dapat dilakukan jika sains dipahami dalam makna dan
ranah yang luas melalui pendekatan integral serta menekankan kembali pentingnya aspek spiritual dalam agama.
Persamaan dan perbedaan pemikiran Guessoum dan
Wilber secara garis besar ini terkait dengan konsep relasi
sains dan agama menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih
jauh. Dalam tataran teoretis konseptual dan praktis institusional,
pemikiran kedua tokoh ini menjadi penting dan relevan
dengan perkembangan pemikiran filsafat sains di dunia Islam
secara umumnya dan di negara kita secara khususnya. Dalam
konteks pengembangan pendidikan tinggi keislaman di negara kita ,
integrasi sains dan agama dalam konteks ilmu-ilmu umum dan
ilmu-ilmu keislaman menjadi diskursus penting sejalan dengan
bertransformasinya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN).
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi
antara lain yaitu : (a) Masih penting dan hangatnya perdebatan
tentang relasi sains dan agama dalam pemikiran Islam dan Barat
sejak dari klasik sampai masa kontemporer, (b) Konstelasi dan
kontestasi perdebatan tentang relasi sains dan agama dalam
pemikiran Islam dan Barat hampir menyentuh seluruh aspek baik
filosofis, sosiologis, pendidikan, budaya, politik, maupun teologis,
(c) Adanya berbagai keengganan intelektual Muslim dan pemuka
agama lainnya untuk memperdebatkan relasi sains dan agama,
apalagi jika ditemukan hasil sains yang terkesan dianggap
bertentangan dengan ajaran agama, (d) Adanya upaya dari
beberapa lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan
keagamaan untuk mengintegrasikan sains dan ilmu agama,
sementara sebagian pihak menolak integrasi ilmu ini , (e)
Belum adanya titik temu yang dapat diterima oleh kalangan
saintis, filsuf, dan teolog tentang bagaimana sebenarnya konsep
relasi sains dan agama baik dalam Islam maupun Barat, termasuk
agama-agama lainnya, (f) Munculnya berbagai paham yang ada
kaitannya baik langsung maupun tidak langsung dengan
perdebatan sains dan agama seperti saintisme, positivisme logis,
agnotisisme, dan bahkan ateisme, (g) Adanya perdebatan
epistemologi baik langsung maupun tidak di antara pemikir dan
saintis Muslim dan Barat kontemporer yang memungkinkan
munculnya dialog dan titik temu meski dari latar belakangperadaban yang berbeda, (h) Konsep rekonsiliasi dan integrasi
sains dan agama Nidhal Guessoum dan Ken Wilber pada dasarnya
berjalan sendiri-sendiri, padahal sebagai sebuah konsep filosofis
(philosophical concept) tentu saja memiliki nuansa universalitas.
Dari beberapa masalah ini , maka dalam penelitian ini
akan dijabarkan relasi sains dan agama dalam perspektif
epistemologi Nidhal Guessoum dan Ken Wilber. Relasi sains dan
agama ini meliputi konsep epistemologi dalam pemikiran Nidhal
Guessoum dan Ken Wilber, persamaan dan perbedaan konsep
epistemologi Nidhal Guessoum dan Ken Wilber dan implikasinya
terhadap pandangan mereka tentang relasi sains dan agama. Selain
itu juga akan dijelaskan bagaimana dan dalam konteks apa
kemungkinan terjadinya dialog dan titik temu pemikiran
epistemologi Nidhal Guessoum dan Ken Wilber serta relevansinya
dengan diskursus relasi sains dan agama di dunia Islam umumnya
dan di negara kita khususnya.
Signifikansi dari penelitian ini yaitu dipahami dan
ditemukannya pandangan yang komprehensif tentang adanya
perbedaan pemahaman terhadap relasi sains dan agama yang
berkembang di dunia Islam dan Barat kontemporer yang
didasarkan atas perbedaan sudut pandang epistemologi khususnya
berdasarkan pemikiran Nidhal Guessoum sebagai seorang pemikir
dan saintis Muslim kontemporer dan pemikiran Ken Wilber
sebagai seorang pemikir dan saintis Barat kontemporer. Temuan
penelitian ini juga diharapkan dapat memberi kontribusi
terhadap perkembangan pemikiran Islam kontemporer khususnya
tentang eksistensi dan peran sains di lembaga pendidikan Islam di
negara kita khususnya dan dunia Islam umumnya.
Sebatas penelusuran dan pengetahuan penulis, belum ada
kajian yang secara khusus seperti yang penulis ungkapkan di atas,
namun penelitian yang sejenis yang mengkaji relasi sains dan
agama dari perspektif historis, praktis, dan konseptual dapat
penulis kemukakan sebagai berikut. Pertama, penelitian Benjamin
E. Zeller tentang interaksi tiga aliran keagamaan terkait dengan
relasi sains dan agama. Penelitian ini menyimpulkan adanya
perbedaan konsep interaksi sains dan agama pada tiga gerakan
keagamaan di Amerika yaitu the Hare Krishnas, Unification
Church, and Heaven’s Gate. Masing-masing mengklaim bahwa
konsep mereka tentang sains sangat penting dan menjadi dasar
dari konsep teologis dan posisi sosial mereka. Gerakan Unification
Church memandang bahwa sains terpisah dari agama, namun pada saat yang sama mereka mencoba merumuskan metode, wilayah
dan bahkan tujuan atau pengembangan sains harus dilandasi etika
agama yang mereka pahami. The Hare Khrisnas berupaya
mengganti sains Barat dengan alternative scientific religious
system sesuai dengan tradisi agama Hindu. Heaven’s Gate, ingin
menyerap sains dan beberapa elemen saintifik seperti materialisme
dan naturalisme yang secara metodologis dinilai sangat tepat
untuk digunakan dalam pemahaman keagamaan mereka. Objek
disertasi ini berbeda dengan penelitian ini . Objek disertasi ini
yaitu pemikiran tokoh, sedangkan objek penelitian ini
yaitu gerakan keagamaan. Persamaannya yaitu dalam hal tema
besar penelitian yaitu relasi sains dan agama.
Kedua, disertasi Humaidi tentang paradigma sains alFarabi serta hubungannya dengan agama dan filsafat. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa sains integratif universal al-Farabi
memiliki akar dan fondasi pada gagasan dan paradigma keesaan
(tauhid) sebagai prinsip dasar keimanan Islam. Disertasi ini
lebih mendalami pemikiran sains al-Farabi, sedangkan disertasi
penulis mendalami perbandingan dua tokoh yang berasal dari latar
belakang yang berbeda. Persamaannya yaitu sama-sama
mengkaji pemikiran tokoh tentang relasi sains dan agama.
Ketiga, disertasi David L. Carlson tentang relasi sains dan
agama menurut pemikiran Heidegger. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlunya mengkaji ulang konsep teologi
berdasarkan refleksi, pengalaman, dan keyakinan tentang
pentingnya dialog antara agama, sains, dan teologi. Penelitian
ini hanya fokus pada relasi sains dan agama menurut
Heidegger, sedangkan disertasi ini membandingkan dua tokoh
kontemporer. Persamaannya yaitu dari konteks tema penelitian
yang salah satunya terkait dengan aspek teologis.
Keempat, Penelitian Page Matthew Brooks tentang
perbandingan pemikiran Alistair Mc. Grath dan Sayyed Hossein
Nasr mengenai pengaruh posmodernisme terhadap metode teologi
kedua tokoh ini . Alistair Penelitian ini berkesimpulan
bahwa konsep posmodernisme dan modernism yang dipahami oleh
kedua tokoh memberi pengaruh yang kuat terhadap metode
teologi keduanya. McGrath memakai pendekatan realism
kritis terhadap perumusan teologi, sedangkan Nasr mengkritik
modernism dan posmodernisme yang cenderung menjauhkan
manusia dari spiritualitas dan wahyu.
Penelitian ini meski
tidak secara langsung membahas relasi sains dan agama, namun
persoalan yang dibahas memiliki keterkaitan dengan disertasi ini
karena membandingkan dua pemikir dari kalangan Islam dan
Kristen (Barat) terkait dengan posmodernisme yang juga menjadi
salah satu konsep penting penting dalam disertasi ini.
Kelima, disertasi Dorothy Ann Gioia tentang visi ilmiah
dan spiritual ilmuwan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa /
responden yaitu sebagai orang yang beragama, dan 1/ yaitu
tidak beragama. Saintis yang beragama sebanyak % mengakui
adanya Tuhan dan cenderung berpandangan bahwa sains dan
agama saling melengkapi. Sementara responden yang tidak
beragama cenderung berpandangan bahwa sains dan agama tidak
memiliki hubungan serta bagi mereka agama semakin tidak
penting dan semakin meningkat perannya. % saintis yang
beragama menghargai sains sesuai dengan keyakinan agamanya,
namun ketika ditanyakan apakah agama memberi kontribusi
terhadap perkembangan sains hanya 1/ yang setuju. %
responden manyatakan bahwa ada ajaran dan praktek tertentu
dalam agama yang dapat menghambat kemajuan sains.
Penelitian ini tentu saja berbeda dengan konsep integrasi
sains dan agama yang ditawarkan dalam disertasi ini meskipun
Ken Wilber yaitu berasal dari Amerika dan banyak mengamati dan menganalisis perkembangan sains dan spiritualitas di
Amerika. Tentu saja penelitian Gioia di atas menjadi bahan kajian
yang menarik dan penting, terutama tentang analisisnya terhadap
pengaruh berbagai filsuf dan ilmuwan besar. Ken Wilber, yang
menjadi salah satu tokoh dalam disertasi ini, juga banyak
melandaskan pemikirannya pada filsuf-filsuf besar yang
diungkapkan dalam penelitian Gioia ini .
Keenam, disertasi Christopher A. Furlow tentang
hubungan Islam, sains dan modernitas. Kesimpulan disertasi
ini yaitu perdebatan islamisasi ilmu pengetahuan dengan
konsep kunci Islam, pengetahuan, relevansi, dan autentisitas
dikonstruksi dan dikontestasi secara beragam. Perdebatan
indigenisasi dan nativisasi yang masing-masingnya memberi
jawaban yang berbeda terhadap perdebatan islamisasi ilmu
pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan secara epistemologis
agak sulit untuk didefinisikan. Kesimpulan yang paling penting
yaitu bahwa islamisasi ilmu pengetahuan dalam konteks
institusional dan nasional memberi dampak yang signifikan
terhadap penerapan sains secara filosofis.
Penelitian Furlow ini
lebih menitikberatkan pada kajian penerapan konsep relasi sains
dan agama dalam upaya islamisasi sains yang telah digagas oleh
beberapa pemikir seperti Ismail Raji al-Faruqi dan Nuquib alAttas. Islamisasi sains dengan segala varian pemikirannya dalam
konteks disertasi ini menjadi salah satu objek utama dan sasaran
kritik dari Nidhal Guessoum sebagai salah seorang tokoh yang
dibahas dalam disertasi ini.
Ketujuh, disertasi Ali Hassan Zaidi tentang pendekatan
dialog terhadap Islam, modernitas dan ilmu-ilmu kemanusiaan.
Penelitian ini menemukan adanya kesesuaian antara ilmu
sosial yang empiris dengan pandangan normatif keagamaan.
Penelitian ini memakai pendekatan komparatif-dialogis
yang dilandaskan pada hermeneutik dialog Hans-Georg Gadamer
mengenai pemikiran sosial keislaman dan pemikiran sosial
interpretatif Barat. Penulis memperkuat tesisnya dengan
menganalisis pemikiran Ibnu Khaldun. Dalam konteks ilmu sosial
yang berkembang di Barat, Zaidi menganalisis pemikiran Wilhelm
Dilthey dan Max Weber. Meskipun Dilthey menolak validitas pemikiran yang bersifat metafisik dan keagamaan, tapi konsep
hermeneutik Dilthey tentang Geisteswissenschaften sangat terkait
dengan masalah transenden-immanent. Seperti halnya Dilthey,
Weber memperkenalkan ilmu-ilmu kemanusiaan modern yang
memberi kontribusi terhadap konsep profan dan cenderung
menghindar dari metafisika Kesamaan penelitian ini
dengan disertasi ini yaitu sangat jelas. Disertasi ini berupaya
melakukan analisis komparatif dan dialogis dari dua epistemologi
yaitu Islam dan Barat. Beberapa pemikir yang menjadi rujukan
dari kedua kutub epistemologi ini juga sama dibahas baik
dalam penelitian Zaidi maupun disertasi ini di antara tokoh
ini al-Faruqi, Nasr, dan Weber.
Kedelapan, penelitian J. Micah Roos tentang penolakan
dan penerimaan adanya hubungan pengetahuan, sains, dan agama
di Amerika Serikat. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan
tingkat pemahaman sesesorang atau kelompok warga
terhadap sains dan agama sangat menentukan pandangan mereka
terhadap hubungan yang saling pengaruh memengaruhi antara
sains dan agama. Keterlibatan seseorang dalam kegiatan-kegiatan
keagamaan juga memengaruhi pandangannya terhadap sains
terkait dengan penolakan terhadap teori evolusi.
Dalam disertasi
ini, Guessoum dan Wilber berupaya mengemukakan konsep relasi
sains dan agama juga dipengaruhi oleh keterlibatan baik langsung
maupun tidak dalam beberapa organisasi dan komunitas
keagamaan.
Kesembilan, disertasi Walter Reagen White Jr. tentang
integrasi sains dan agama serta hubungannya dengan filsafat
proses dan ilmu fisika. Penelitian ini menyimpulkan adanya
potensi dan konflik antara sains dan agama merupakan ancaman
yang serius terhadap ontologi proses. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan dan digunakan pendekatan dialog yang dapat
mendorong sains dan agama untuk saling memberi informasi
sebagai bentuk interaksi tak langsung sains dan agama dalam
kaitannya dengan filsafat atau ontologi proses. Kesimpulan penelitian ini memberi inspirasi yang bernilai terhadap
disertasi ini. Dialog sains dan agama menjadi solusi penting bagi
keberlangsungan filsafat proses. Rekonsiliasi dan integrasi sains
dan agama yang ditawarkan dalam disertasi ini tentu sangat
relevan dengan penelitian di atas.
Kesepuluh, disertasi Josh Andrew Reeves tentang kritik
dua model relasi sains dan agama. Penelitian ini
mengasumsikan adanya hubungan yang erat antara metode ilmiah
dengan metode refleksi keagamaan dan berupaya untuk
memperkuat rasionalitas kayakinan agama. Penelitian ini diawali
dengan penelusuran terhadap bidang studi sains (science studies)
yang mengidentifikasikan tidak adanya metode tunggal dalam
sains karena keberagaman aktivitas ilmiah. Bagian kedua disertasi
ini menyimpulkan bahwa model rasionalitas teologi berdasarkan
pemikiran Murphy dan Hussyteen menunjukkan kesesuaian
dengan metode ilmiah khususnya program riset Lakatos.
Kesimpulan terakhir penelitian ini yaitu teologi dapat menjadi
rasional seperti halnya sains. Kesimpulan penelitian ini
tentang adanya kesesuaian teologi dan sains juga menjadi
pembahasan dan perdebatan dalam penelitian disertasi ini. Baik
Guessoum maupun Wilber mencoba menempatkan secara kritis
pandangan kesesuaian antara sains dan agama.
Penelitian ini memakai pendekatan filosofis
(philosophical approach), terutama konsep-konsep dan nuansa
epistemologi yang terkandung dalam pemikiran tokoh yang
dibahas. Pemikiran epistemologi ini tentu saja sangat
memengaruhi dan berperan besar dalam membentuk konsep dan
pandangan mereka terhadap relasi sains dan agama. Pendekatan
ini di atas juga dibantu oleh pendekatan yang ada
relevansinya dengan tema utama dan fokus kasus penelitian ini
yaitu pendekatan sejarah (historical approach) dan teologi
(theological approach).
Pendekatan historis digunakan untuk mempertajam
analisis karena semua tokoh yang dibahas yang sangat erat
kaitannya dengan latar belakang sejarah dan historisitas. Pendekatan teologis juga penulis gunakan karena fokus penelitian
ini yaitu melihat pandangan para tokoh tentang relasi sains dan
agama karena kedua keduanya memilki latar belakang dan tradisi
keagamaan yang kuat.
Dalam penelitian ini langkah pertama yang dilakukan
yaitu menetapkan fokus penelitian. Fokus penelitian ini yaitu
membuktikan bahwa konsep dan dasar epistemologi memiliki
peran yang sangat menentukan paradigma dan kerangka berfikir
dari seseorang atau aliran. Langkah kedua yaitu menetapkan
kerangka berfikir atau landasan teori. Kerangka berfikir ini
diawali dengan adanya perbedaan konsep dan implikasi dalam
epistemologi yang dibangun dalam pemikiran Islam dan Barat
kontemporer. Perbedaan Epistemologi disebabkan oleh berbagai
faktor baik itu pendekatan, aliran, religiusitas, dan etika yang
dianut, meskipun tentu saja tetap ada universalitas dan
kesamaan. Selanjutnya dengan memakai kerangka teori
ini barulah ditelusuri perbedaan dan persamaan konsep relasi
sains dan agama secara epistemologis dalam pemikiran Islam dan
Barat kontemporer. Langkah ketiga yaitu pengolahan data. Data
yang telah diklasifikasikan kemudian diteliti dengan
memakai metode hermeneutik filosofis (philosophical
hermeneutics) yaitu mengkaji teks-teks yang ada pada sumber
baik primer maupun sekunder secara filosofis.
Metode analisis yang digunakan yaitu interpretasi,
holistika, heuristik dan komparatif. Dalam interpretasi data
penelitian diselami sedalam mungkin agar dapat menangkap arti
dan makna serta nuansa uraian yang terkandung di dalamnya,
melihat konsep-konsep dan aspek-aspek menurut keselarasannya
satu sama lain sehingga dapat diperoleh interpresentasi yang tepat
dari sumber-sumber ini . Hal ini tentu saja dengan jalan
menetapkan ide utama (main idea), kerangka teoretis (theoritical
framework), dan nuansa serta gaya pengarang setiap sumber yang
dianalisis. Interpretasi juga menjadi sangat penting karena
masing-masing filosof memakai beberapa istilah filsafat
sedemikian rupa sehingga membutuhkan pemahaman yang utuh
dan jelas supaya tidak mengaburkan makna yang dimaksud oleh si
penulis.
Perbedaan latar belakang budaya, agama, dan pendidikan
dari kedua tokoh yang dibahas menjadi pertimbangan tersendiri
ldalam melakukan interpretasi terhadap pemikiran mereka. Di
samping itu, konteks dan kontestasi pemikiran kedua tokoh
ini perlu diperhatikan secara serius dan mendalam dalam
melakukan interpretasi.
Adapun analisis holistika yaitu memahami secara
menyeluruh isi sumber dengan cara melihat ide-idenya secara utuh
tentang hal-hal yang bersifat filosofis, sehingga konsep-konsep
filosofis (philosophical concepts) dari setiap sumber dapat
dipahami secara komprehensif dan akurat. Hal ini dilakukan
karena pemikiran dan ide-ide tentang objek penelitian ini dari
tokoh, percikannya tersebar dalam berbagai karyanya meskipun
ada satu atau dua karyanya yang lebih banyak mengulas objek
kajian penelitian ini. Dalam banyak hal, pemikiran kedua tokoh
ini tentang relasi sains dan agama ditemui tidak secara utuh
pada satu karya mereka, namun pada karya tertentu terlihat
pemikirannya yang terkait dengan tema disertasi ini cenderung
luas dan utuh. Oleh karena itulah, dibutuhkan kemampuan
tersendiri agar dapat menangkap distingsi dari berbagai karya
mereka sehingga didapatkan pemahaman yang holistik.
Selajutnya berdasarkan informasi baru dan interpretasi
baru, selanjutnya diusahakan untuk melihat dan menemukan
makna dan struktur baru dari setiap sumber. Setelah semua
langkah ini di atas dilaksanakan, barulah dilakukan suatu
analisis filosofis (philosophical analysis) terhadap hasil-hasilnya
sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang bisa diuji
kebenarannya.
Upaya mencari filsafat yang tersembunyi tentu
saja membutuhkan ketajaman analisis dan kemampuan untuk
memilah dan memilih dari berbagai sumber. Filsafat tersembunyi
yang dicari dari pemikiran Nidhal Guessoum dan Ken Wilber
tentang relasi sains dan agama dalam kerangka epistemologi boleh
jadi menjadi dasar bagi temuan baru dalam penelitian ini.
Heuristika juga dimaksudkan bagaimana upaya memahami
pemikiran para tokoh yang dalam banyak hal cenderung rumit dan
kompleks dapat dipahami secara sederhana dengan menemukan
inti dari pemikirannya.
Terakhir dilakukan analisis komparatif. Analisis
komparatif ini dimaksudkan menelusuri kesamaan dan perbedaan
geneologi pemikiran, dasar metodologi dan epistemologi dari
kedua tokoh ini serta konsep mereka tentang relasi sains dan
agama. Penelitian komparatif tidak mesti menemukan adanya
keterkaitan intelektual baik langsung maupun tidak langsung di
antara kedua tokoh, meskipun ternyata pemikirannya kedua tokoh
ini memiliki kesamaan bentuk, struktur, dan model.
Langkah-langkah analisis komparatif ini yaitu mendiskripsikan
secara kritis persamaan dan perbedaan epistemologi yang
mencakup dasar dan sumber pengetahuan, objek dan struktur
pengetahuan, serta model dan jenis epistemologi kedua tokoh.
Langkah ini juga membandingkan secara kritis persamaan dan
perbedaan konsep mereka tentang relasi sains dan agama.
Buku ini terdiri dari enam bab. Bab pertama yaitu bagian
pendahuluan. Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,
kajian-kajian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan. Bab pertama ini merupakan kerangka awal
dan dasar dari buku ini.
Bab kedua membahas konsep epistemologi yang
mencakup komponen dan jenis epistemologi. Pada bagian
berikutnya juga dilihat bagaimana konsep epistemologi dalam
peradaban Islam maupun Barat. Bagian ini juga menguraikan
makna, ranah, eksistensi perdebatan sains dan agama serta
dikaitkan dengan konteks modern dan kontemporer. Bab kedua ini
dimaksudkan untuk memberi konsep umum dan kerangka yang
jelas dan utuh tentang perdebatan akademik mengenai
epistemologi serta relasi sains dan agama pada peradaban Islam
dan peradaban Barat agar dapat menganalisis secara komprehensif
pemikiran kedua tokoh yang menjadi objek bahasan disertasi ini
dalam konteks persoalan relasi sains dan agama.
Bab Ketiga diawali dengan penelusuran latar belakang
sosio-kultural Nidhal Guessoum supaya dapat menemukan dan
merumuskan karakter dan fondasi epistemologis pemikirannya.
Bagian selanjutnya menguraikan kritik Guessoum terhadap sains
modern. Kemudian bab ini juga menganalisis beberapa tema
pokok tentang relasi sains dan Islam. Pada bagian selanjutnya,
penulis menguraikan konsep sains teistik Guessoum sebagai
sebuah tawaran rekonsiliasi sains dan Islam menurut Guessoum.
Pada bagian akhir diuraikan beberapa kelemahan dan kritik para
pemikir lain terhadap pemikiran Guessoum
Bab Keempat diawali dengan penelusuran latar belakang
sosio-kultural Ken Wilber supaya dapat merumuskan karakter dan
fondasi epistemologi pemikirannya. Pada bagian selanjutnya
penulis uraikan secara kritis pendekatan integral Wilber yang
menjadi sentral dalam pemikirannya. Bagian berikutnya uraian
tentang posmodernisme menurut Wilber beberapa konsep
pemikirannya yang relevan dengan tema disertasi ini. Bagian
selanjutnya diuraikan konsep integrasi sains dan agama menurut
Wilber. Bab ini ditutup dengan uraian kelemahan dan kritik
terhadap pemikiran Wilber
Bab Kelima mengkaji tentang analisis dialog dan
komparasi konsep epistemologi kedua tokoh meliputi komponen
dan jenis epistemologi mereka. Bagian selanjutnya menganalisis
secara komparatif konsep rekonsiliasi sains dan agama Guessoum
serta integrasi sains dan agama Wilber. Bagian akhir bab ini
mencoba menganalisis implikasi teoretis dan praktis konsep relasi
sains dan agama kedua tokoh serta relevansinya dengan
perkembangan sains di dunia Islam dan negara kita khususnya
terkait dengan integrasi keilmuan.
Bab keenam yaitu bab penutup yang terdiri dari
kesimpulan dan saran atau rekomendasi penelitian.
Konsep, Komponen dan Jenis Epistemologi
1. Definisi Epistemologi
Epistemologi atau filsafat pengetahuan merupakan sebuah
cabang filsafat yang sama tuanya dengan filsafat itu sendiri.
Sebagai sebuah bagian dari filsafat, epistemologi tidak dapat
dipisahkan dari filsafat. Menurut John Greco, epistemologi
didasarkan atas dua pertanyaan utama yaitu apa itu pengetahuan
dan apa yang dapat diketahui. jika manusia berfikir dapat
mengetahui tentang suatu hal, maka muncul pertanyaan
berikutnya yaitu bagaimana sesuatu itu diketahui dan apa yang
diketahui ini . Kajian epistemologi yang sangat erat kaitannya dengan pengetahuan manusia merupakan sesuatu yang
esensial bagi manusia itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh
manusia berasal dari hal yang sederhana dan sehari-hari (common
sense). Rasa ingin tahu (curiousity) manusia menjadi modal dasar
manusia untuk mengetahui.
Epistemologi secara etimologi berasal dari kata episteme
yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori sehingga
epistemologi memiliki arti teori tentang pengetahuan. Secara
terminologi, epistemologi merupakan cabang filsafat yang
membahas tentang dasar, sumber, objek, struktur, metode, dan
validitas pengetahuan. Epistemologi juga berarti kajian filosofis
tentang pengetahuan yang meliputi sifat pengetahuan (nature of
knowledge), syarat pengetahuan (requirements of knowledge), dan
batasan-batasan pengetahuan (limitations of knowledge). Definisi
epistemologi lainnya yaitu penyelidikan filosofis terhadap sifat
pengetahuan, apa yang membenarkan sebuah pengetahuan dan
kepercayaan, dan apa dasar dari sesuatu yang diklaim benar.
Definisi ini lebih jauh mencakup tentang sifat dan dasar
pembenaran pengetahuan, struktur pengetahuan, dan kriteria
kebenaran.
Epistemologi juga dapat dipahami sebagai cabang
filsafat yang mengkaji asal, validitas, reliabilitas dan batasan
pengetahuan.
Menurut Sudarminta, epistemologi yaitu suatu disiplin
ilmu yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Normatif artinya
bersifat menilai apakah suatu kepercayaan, sikap, pernyataan
pendapat, dan pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin
kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggung-
jawabkan secara nalar. Normatif memiliki arti menentukan norma
atau tolok ukur kebenaran pengetahuan. kritis berarti
mempertanyakan asumsi, cara kerja atau pendekatan dan
kesimpulan tentang pengetahuan manusia.
Lebih jauh
Sudarminta menjelaskan bahwa filsafat sains sesuai dengan
perkembangan sains modern menjadi salah satu cabang
epistemologi. Filsafat sains pada awalnya hanya terfokus pada
cara kerja (metode) keilmuan, namun dalam perkembangannya
filsafat sains tidak dapat mengabaikan temuan-temuan baru
seperti dalam sejarah sains, psikologi pengetahuan, dan sosiologi
pengetahuan.
Epistemologi yang dirumuskan oleh para ahli dan
pemikir yang pada intinya mengarah kepada dasar, sumber, objek,
struktur, batas, cara, dan validitas pengetahuan. Hal lain yang juga
sering dipersoalkan dalam kajian epistemologi yaitu masalah
subjektifitas dan objektifitas, kebenaran dan pembenaran,
pengalaman dan pemahaman, intersubjektifitas dan esensialisme,
pengetahuan ilmiah dan pengalaman estetis, dan seterusnya.
Dari beberapa definisi dan pemahaman tentang
epistemologi di atas, unsur-unsur atau komponen dalam
epistemologi paling tidak mencakup dasar, sumber, objek,
struktur, pembenaran atau validitas pengetahuan. Di samping itu,
teori kebenaran juga menjadi salah satu kajian penting dalam
epistemologi. Oleh karena itu, penulis akan menguraikan lebih
jauh tentang keempat unsur atau komponen epistemologi ini .
. Dasar dan Sumber Pengetahuan
Pertanyaan awal yang paling penting terkait dengan dasar
pengetahuan yaitu apa itu pengetahuan (what is knowledge).
Sebagian besar literatur tentang epistemologi menjawab
pertanyaan ini merujuk kepada pemikiran para filsuf besar
sejak masa klasik sampai modern. Menurut Descartes,
pengetahuan yaitu segala sesuatu kepercayaan tentang sesuatu
yang dapat diuji dengan rasio, logika, dan memiliki kejelasan.
Sudarminta merinci dasar-dasar pengetahuan yaitu
pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran
dan penalaran, logika, bahasa, dan kebutuhan hidup.
Pengalaman
yaitu hal pertama dan utama yang memungkinkan adanya
pengetahuan. Pengalaman yaitu segala peristiwa yang dialami manusia melalui interaksinya dengan alam, diri sendiri,
lingkungan sosial dan Tuhan. Ia membagi pengalaman menjadi
dua yaitu pengalaman primer dan sekunder. Yang pertama yaitu
pengalaman langsung melalui melalui panca indera, dan yang
kedua yaitu pengalaman tidak langsung atau pengalaman
reflektif. Pengalaman manusia memiliki tiga ciri pokok yaitu
adanya kesadaran, berkaitan dengan objek, dan bersifat
akumulatif.
Memori juga menjadi salah satu dasar pengetahuan.
Pengalaman inderawi dan memori memiliki keterkaitan satu sama
lain. Ingatan diperoleh karena adanya pengalaman inderawi baik
secara langsung maupun tidak langsung. Ingatan tidak mesti selalu
menjadi dasar pengetahuan karena ingatan tidak senantiasa benar.
Memori yang dapat dijadikan dasar pengetahuan harus memenuhi
dua syarat. Syarat ini yaitu adanya kesaksian diri sendiri
bahwa peristiwa yang ada dalam memori ini benar-benar
terjadi dan dialami atau disaksikan sendiri. Syarat berikutnya
yaitu adanya konsistensi dalam memori ini .1
Dasar pengetahuan yang ketiga yaitu kesaksian.
Kesaksian yaitu suatu penegasan tentang suatu peristiwa yang
diajukan kepada orang lain untuk dipercaya. Dalam kesaksian
dibutuhkan bukti tentang otoritas si pemberi kesaksian.1 Dasar
pengetahuan yang berikutnya yaitu rasa ingin tahu. Minat atau
rasa ingin tahu ini dapat dijadikan dasar pengetahuan karena tidak
semua pengalaman berkembang menjadi pengetahuan. Rasa ingin
tahu sangat terkait dengan kekaguman terhadap sesuatu.
Selanjutnya yaitu pikiran dan penalaran. Pikiran diperlukan
untuk menjelaskan apa yang dialami manusia. Dengan
kemampuannya dalam berfikir dan menalar, manusia mampu
mendapatkan dan mengembangkan pengetahuannya.1
Dasar pengetahuan selanjutnya yaitu logika, bahasa, dan
kebutuhan hidup manusia. Pikiran dan penalaran membutuhkan
logika. Penalaran deduktif mempunyai aturan kesahihan atau
validitas. Kesimpulan yang valid kalau premis-premisnya benar.
Deduktif biasanya digunakan dalam silogisme.1 Selain logika,
bahasa juga menjadi salah satu dasar pengetahuan. Proses berfikir
manusia sangat erat kaitannya dengan bahasa. Dasar pengetahuan
yang terakhir yaitu kebutuhan hidup manusia. Segala jenis
pengetahuan baik ilmiah maupun non- ilmiah berguna untuk
menunjang kebutuhan hidup manusia.
Persoalan sumber pengetahuan merupakan masalah yang
sangat penting dan mendasar dalam epistemologi. Hampir semua
buku epistemologi, baik klasik, modern, maupun kontemporer
membahas tentang sumber pengetahuan. Sumber pengetahuan
diperlukan untuk dapat menjustifikasi kebenaran suatu
pengetahuan apakah dapat diterima atau tidak.
Pada umumnya, persoalan sumber pengetahuan selalu
dibahas terkait dengan dua aliran utama yaitu eksternalisme dan
internalisme. Eksternalisme mempercayai kebenaran pengetahuan
bersumberkan dari hal eksternal seperti hasil pencerapan panca
indera manusia. Berbeda dengan eksternalisme, internalisme
meyakini kebenaran sebuah pengetahuan bersumberkan dari hal
internal berupa refleksi diri dan mental manusia. James Cargille
menilai bahwa perbedaan antara internalisme dan eksternalisme
yang paling menonjol yaitu masalah isi (content) ataupun makna
(meaning).1
Aliran eksternalisme mengandalkan proses penyebaban
pengetahuan berasal dari faktor-faktor eksternal yang berfungsi
secara normal dapat diandalkan seperti penglihatan. Selain itu
faktor eksternal sebagai penentu apakah pengetahuan itu dapat
diterima atau tidak dapat juga berupa lingkungan, sejarah, dan
konteks sosial.1 Oleh karena itu, empirisme termasuk ke dalam
aliran eksternalisme ini. Sumber pengetahuan yang diyakini dan
dipercaya oleh empirisme yaitu persepsi atau pengalaman
inderawi yang secara common sense dikenal dengan panca indera.
Persepsi bagi mereka yaitu hal yang penting dalam epistemologi.
Pertanyaan yang sering diajukan kepada kaum empiris yaitu apa
yang dapat dipersepsi oleh indera? Apakah sesuatu yang
dipersepsi dapat membangun kesadaran? Bagaimana persepsi
mencapai pengetahuan tentang dunia di sekitarnya?
Ada beberapa perdebatan yang berkembang terkait dengan
pertanyaan-pertanyaan ini di atas. Pertama yaitu aliran
representasionalisme atau yang juga dikenal dengan realisme tak
langsung. Bagi aliran ini, persepsi menyadari secara langsung
entitas internal ataupun pernyataan mental. John Locke1
menyebutnya dengan ide-ide, David Hume1 menyebutnya dengan
kesan atau impresi, Betrand Russell1 menyebutnya dengan data
inderawi. Aliran ini juga berprinsip bahwa pengetahuan atau
kepercayaan yang dapat diterima tentang dunia luar dengan cara
menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta dari gambaran mental.
Objek baginya harus terpisah dari fikiran dan fakta harus
dijelaskan dengan penjelasan yang memadai dari data inderawi.
Metode yang digunakan aliran empirisme yaitu metode induksi.
Pengalaman inderawi atau persepsi yaitu salah satu hal
yang penting dalam empirisme. Persepsi ini merupakan hasil
cerapan panca indera terhadap fenomena alam. Hampir semua
aliran filsafat baik di Barat maupun Islam menerima persepsi ini
sebagai sumber pengetahuan, meskipun kedudukannya berbeda.
Aliran empirisme berprinsip bahwa indera yaitu sumber utama
pengetahuan bukan rasio. Sedangkan aliran internalisme
mempercayai kebenaran sebuah pengetahuan dapat diterima bila
pengetahuan ini dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional baik dengan refleksi kognitif maupun penalaran.1 Dari
penjelasan ini , rasionalisme dan idealisme termasuk pada
aliran internalisme ini.
Rasionalisme mengakui akal sebagai sumber pengetahuan,
meskipun akal diakui sebagai sumber pengetahuan tidak hanya
oleh aliran rasionalisme tapi juga aliran-aliran lain. Perbedaannya
yaitu kapasitas dan prioritas dalam mengakui dan memakai
akal. Aliran rasionalisme berprinsip bahwa akal yaitu sumber
pengetahuan yang paling penting dan paling utama, meskipun
mereka juga mengakui dan memakai sumber lain seperti
indera. Aliran rasionalisme memakai metode deduksi dalam
proses pengetahuan dan pengambilan kesimpulan.
Di samping rasionalisme, idealisme juga termasuk ke
dalam aliran internalisme. Idealisme ini berprinsip bahwa tidak
ada yang disebut dunia eksternal, semuanya ada dalam ide dan ada
dalam fikiran. Dengan demikian, persepsi hanyalah sebuah proses
pengalaman terhadap yang tidak ada kaitannya dengan ide.
Pembahasan tentang sumber pengetahuan terkait dengan aliran
internalisme dan ekternalisme tentu saja dapat diperluas terkait
dengan beberapa sumber-sumber lain yang cukup banyak dibahas
dalam buku-buku epistemologi. Sumber-sumber lain ini
yaitu di antaranya intuisi, tradisi, memori, sejarah, dan otoritas
serta wahyu.
Intuisi ini telah dikenal sejak filsafat Yunani kuno pada
masa Plato dan Plotinus. Pada zaman modern, istilah intuisi sebagai sumber pengetahuan dikembangkan oleh Henry Bergson.
Intuisi berbeda dengan akal dan indera, ia lebih merupakan
kekuatan rohani dalam melihat dan mencari pengetahuan. Oleh
karena itu, tidak semua sepakat bahwa intuisi ini sebagai sumber
pengetahuan terutama bagi mereka yang memegang teguh aliran
empirisme dan rasionalisme. Dalam filsafat pengetahuan Islam,
intuisi ini lebih dekat kepada epistemologi irfa>ni.> Sedangkan
memori pada dasarnya memiliki peranan penting dalam
pengetahuan. Pertanyaan epistemologis terkait dengan memori
sering muncul yaitu bagaimana mengetahui kejadian yang
diingat benar-benar terjadi? Apa dasarnya mempercayai p ketika
ingat p? Adapun bagi Muthahari, sumber pengetahuan yaitu
alam, rasio, hati, dan sejarah. Sementara menurut Juhaya S.
Praja, sumber pengetahuan yaitu tradisi dan otoritas.
Dari berbagai pendapat dan aliran epistemologi yang
diuraikan di atas, dasar dan sumber pengetahuan meliputi indera,
rasio, intuisi, memori, tradisi, sejarah, otoritas, dan wahyu.
. Objek dan Struktur Pengetahuan
Secara sederhana, objek pengetahuan yaitu jawaban dari
pertanyaan yang dalam bahasa Inggris wh yaitu siapa (who), apa
(what), kapan(when), dimana (where) dan seterusnya. Secara
epistemologis, masalah objek pengetahuan harus dibedakan antara
objek kebenaran (object of truths) dan objek pengetahuan (object
of knowledge). Objek kebenaran berhubungan dengan proposisi
dan objek pengetahuan berhubungan dengan entitas. Perbedaan
keduanya sangat tergantung dengan aspek teoretis dan
filosofisnya. Pada aplikasinya, objek pengetahuan dalam bentuk
entitas ini dapat dianalisa dengan objek kebenaran dalam
bentuk proposisi. Jawaban mengapa dan bagaimana tentu saja
secara teoretis lebih kompleks dibandingkan dengan pertanyaan
apa, siapa, dimana, dan kapan. Objek kebenaran lebih dekat
kepada pengetahuan a priori, sedangkan objek pengetahuan lebih
dekat kepada a postriori.
Dengan kata lain, Objek pengetahuan
dapat ditangkap dengan panca indera dan objek kebenaran dapat
ditangkap dengan pikiran (objects of perceptible and
intelligible).
Objek pengetahuan yaitu hal atau materi yang menjadi
perhatian atau pembahasan dari pengetahuan. Yusuf Akhyar
dengan mengutip Honderich (1 ) menyebutkan enam objek
pengetahuan yaitu gejala alam fisis, masa lalu, masa depan, nilainilai, abstraksi, dan pikiran. Keenam objek ini oleh Popper
digabungkan menjadi tiga objek yaitu dunia I-III. Dunia I yaitu
berkaitan dengan fenomena alam fisis, dunia II berhubungan
dengan alam pikiran, dan dunia III yaitu segala hal terkait
dengan teori yang ada dalam buku, tulisan, dan budaya.
Dalam konteks struktur pengetahuan, epistemologi paling
tidak dibagi menjadi dua aliran yaitu fondasionalisme dan
koherentisme. Fondasionalisme menggambarkan pengetahuan
ibarat sebuah bangunan yang harus memiliki fondasi yang kokoh dan kuat agar dapat diterima kebenarannya. Berbeda dengan
fondasionalisme, aliran koherentisisme menggambarkan
pengetahuan seperti sebuah jaringan (web). Jaringan yang bagus
yaitu yang menghubungkan setiap titik tanpa terputus. Struktur
total pengetahuan dalam bentuk jaringan raksasa dilingkupi oleh
batas-batas pengetahuan yang diperoleh dengan observasi melalui
indera. Struktur pengetahuan lain yaitu struktur pengetahuan
dengan penjelasan logis atau deduktif.
. Jenis Pengetahuan
Berdasarkan perbedaan dasar, metode, struktur, dan
validitas pengetahuan paling tidak ada tiga jenis
pengetahuan. Tiga jenis pengetahuan ini yaitu pengetahuan
ilmiah, pengetahuan moral, dan pengetahuan agama. Pengetahuan
ilmiah yaitu pengetahuan yang diperoleh dan dipertanggungjawabkan kebenarannya sesuai dengan metode ilmiah. Fokus dan
dasar pengetahuan ilmiah yaitu berlaku umum, induktif,
percobaan dan penelitian. Pengetahuan ilmiah sangat tergantung
pada konteks penemuan dan konteks pembenarannya (context of
discovery and context of justification). Sifat kebenaran
pengetahuan ilmiah yaitu probabilitas yang berarti hanya
mendekati kebenaran.
Jenis pengetahuan yang kedua yaitu pengetahuan moral.
Pengetahuan ini cenderung diperdebatkan terutama terkait dengan
objektifitas dan universalitasnya. Berbagai pandangan dan aliran
berkembang terkait dengan pengetahuan moral ini. Aliran-aliran
ini antara lain objektivisme, subjektivisme, relativisme,
absolutisme, utilitarisme, dan intuisionisme. Selain pengetahuan
moral, pengetahuan agama yaitu jenis pengetahuan yang juga
sering diperdebatkan eksistensinya. Terlepas dari segala
perdebatan tentang pengetahuan agama, paling tidak sampai saat
ini belum tidak alasan yang kuat dan rasional untuk menyangkal adanya pengetahuan agama, termasuk juga terhadap pengetahuan
moral.
. Jenis dan Metode Epistemologi
Sudarminta menjelaskan ada tiga macam epistemologi
berdasarkan cara kerja atau metode pendekatannya. Pertama,
epistemologi metafisis yaitu epistemologi yang bertolak dari
pengandaian metafisika dengan membahas bagaimana manusia
mengetahui kenyataan seperti epistemologi Plato yang melihat
kenyataan sejati yaitu dalam dunia ide. Kedua, epistemologi
skeptis yaitu meragukan dahulu pengetahuan yang kita miliki dan
kemudian membuktikannya agar tidak ragu lagi akan
kebenarannya seperti epistemologi Descartes. Ketiga,
epistemologi kritis yaitu epistemologis yang beranjak dari asumsi,
prosedur dan kesimpulan akal sehat ataupun asumsi, prosedur dan
kesimpulan ilmiah.
Selain ketiga jenis epistemologi di atas, Akhyar Yusuf
menambahkan dua jenis epistemologi lagi berdasarkan
perkembangannya yaitu epistemologi individual dan epistemologi
sosial. Permasalahan pengetahuan tentang pengamatan (persepsi),
rasionalitas, dan justifikasi selalu dianggap berkaitan dengan
individu dan terlepas dari dimensi sosial. Sementara epistemologi
sosial selalu berkaitan dengan pengetahuan yang berdimensi
sosial. Epistemologi sosial berkembang terutama setelah
posmodernisme, pos-strukturalisme, dan pospositivisme.
Al-Jābirī menjelaskan tiga jenis metode epistemologi
dalam Islam atau epistemologi Arab. Ketiga metode epistemologi
ini yaitu demonstrasi (burhāni), penjelasan (bayāni), dan
illuminasi (ʿirfāni). Berrdasarkan ketiga metode inilah Al-Jābirī
membagi tiga jenis sains. Pertama yaitu ilmu-ilmu penjelasan
(ʿulūm al-bayān) meliputi tata bahasa, hukum (fiqh), teologi
dialektis (ka>la>m), dan retorika (balāgha). Masing-masing ilmu
ini didasarkan pada sebuah sistem epistemologi dengan cara
menganalogikan yang tidak dapat dilihat (ghāʾib) dengan yang
dapat diamati (shāhid) sebagai metode untuk menghasilkan
pengetahuan. Inilah yang disebut dengan ‚Arabic religious reason‛
(al-maʿqūl al-dīnī al-ʿarabī),‛ yang terikat oleh ranah diskursif (almajāl al-tadāwul). Kedua yaitu ilmu-ilmu illuminasi (ʿulūm al-
irfān) yang meliputi tasawuf, pemikiran Shi’ah, filsafat ismaili,
tafsir esoteris, filsafat illuminasi, alkimia, terapi spiritual, magis,
dan astrologi. Semua jenis ilmu ini didasarkan atas sistem
epistemologi tunggal yang metode pengungkapan dan penyatuan
(al-kashf wa al-wiṣāl)‛ dan simpati serta antipati (al-tajādhdhub
wa-al-tadāffuʿ). Ketiga yaitu ilmu-ilmu demonstratif (ʿulūm alburhān) yang meliputi logika, matematika, ilmu-ilmu alam,
filsafat ketuhanan, dan metafisika. Semua jenis ilmu ini
didasarkan pada sebuah sistem epistemologi tunggal yaitu
observasi dengan pengalaman inderawi dan deduksi.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa model epistemologi
yang berkembang sejak Yunani kuno, filsafat Islam, dan filsafat
modern paling tidak memiliki kesamaan dari dasar dan metodenya
meskipun masing-masing mempunyai distingsinya. Dalam
pemikiran Islam dikenal dengan epistemologi baya>ni, burha>ni, dan
‘irfa>ni. Epistemologi di Barat dikenal dengan epistemologi
rasionalisme, empirisme, dan kritisisme dengan segala
derivasinya. Secara makna dan penerapan baik epistemologi yang
di Barat maupun Islam memiliki kesamaan dan perbedaan.
Epistemologi Barat, rasionalisme, empirisme, dan kritisisme
dalam banyak hal tidak tepat digunakan sebagai dasar dan alat
dalam mengembangkan epistemologi dan filsafat keilmuan
Islam.
Pada dasarnya, epistemologi baya>ni, irfa>ni, dan burha>ni
lebih tepat untuk digunakan dalam memahami konsep-konsep
filosofis keilmuan Islam.
Semua jenis epistemologi ini di atas baik Barat
maupun Islam telah berperan penting dalam membentuk
pandangan dunia (world view) dan peradaban masing-masing,
bahkan saling memengaruhi satu sama lainnya. Modernisme di
Barat sangat didominasi oleh epistemologi Newtonian-Cartesian
yang bersifat mekanistik-rasionalis. Sementara epistemologi
Islam pada dasarnya tidak terlepas dari epistemologi baya>niirfa>ni-burha>ni. Dalam sejarah filsafat, diskursus epistemologi telah
berlangsung sejak filsafat Yunani Kuno. Filsafat Yunani Kuno
sebelum Socrates berupaya untuk menemukan sebuah
pertanyaan ontologis dari mana alam semesta ini berasal serta zat
apa yang paling utama dari segala yang ada. Pertanyaan ontologis
ini tentu saja dijawab sesuai dengan epistemologi yang
mereka pahami. Sebagian besar filsuf sebelum Socrates
memberi konsep bahwa asal mula semesta dan zat yang paling
utama merujuk kepada alam seperti air menurut Thales, udara
menurut Anaximenes, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, epistemologi pra Socrates ini dikenal sebagai epistemologi filsafat
alam. Berbeda dengan para filsuf alam Thales dan Anaximenes,
Anaximander memandang yang utama yaitu sesuatu yang tak
terbatas namun tetap dalam kerangka menjawab unsur utama dari
segalanya.
Epistemologi pada masa Socrates kemudian bergeser
menjadi epistemologi antroposentris (manusia sebagai sentral)
setelah sebelumnya ada masa sofisme antara filsafat pra Socrates
dan Socrates. Socrates kemudian merumuskan epistemologi yang
berpusat pada manusia yang terkenal dengan Gnothi Seathon
yaitu mengenal diri. Orientasi epistemologis ini ia
kembangkan dengan cara dialog. Epistemologi Socrates ini
kemudian dikembangkan lebih jauh oleh muridnya Plato yang
lebih menekankan pada idealisme. Aristoteles meski berbeda
dengan Socrates dan Plato, namun ia tetap berupaya membangun
sebuah epistemologi, bahkan pemikiran Aristoteles ini banyak
memengaruhi filsafat dan sains setelahnya termasuk filsafat Islam.
Dalam konteks ini, epistemologi Yunani Kuno sebagai
epistemologi yang banyak memengaruhi peradaban manusia sulit
untuk dibantah.
Pada masa keemasan Islam, epistemologi memainkan
peran yang sangat penting. Kemajuan Islam tidak terlepas dari
bagaimana umat Islam memahami dan memaknai epistemologi
pada masa itu. Dorongan secara teologis dalam ajaran Islam
seperti yang ada dalam al-Qur’an dan hadis serta diperkuat oleh keterbukaan terhadap nilai-nilai luar yang sesuai dengan
Islam menjadi faktor penting bagi perkembangan konsep
epistemologi di dunia Islam. Epistemologi yang didasarkan pada
wahyu dan pola pikir yang terbuka ini apalagi diperkuat
dengan kamauan politik dari khalifah pada masa itu menghasilkan
peradaban Islam yang maju, kuat, dan berpengaruh. Pada masa
ini muncul banyak filsuf, ilmuwan dan teolog yang memiliki
kemampuan luar biasa dan berpengaruh. Sebagian besar mereka
tidak hanya menguasai sains dan filsafat secara baik, tapi juga
memiliki pemahaman keislaman yang kuat dan baik pula. Pada
masa inilah, epistemologi Islam sebagai sebuah pandangan dunia
(world view) yang distingtif dan kokoh serta sangat berbeda
dengan epistemologi modern yang menghasilkan sains yang maju
sesuai zamannya.
Pada sisi lain, perkembangan pemikiran di Barat pada
abad pertengahan (masa patristik dan skolastik) yang
berkembang yaitu epistemologi teosentris yang menjadikan
kekuasaan Tuhan sebagai paradigma utama dalam segala aspek
kehidupan. Agama (Kristen) begitu mendominasi segala hal
sehingga perkembangan ilmu dan filsafat cenderung terhambat.
Epistemologi teosentris ini didobrak oleh para pemikir Barat pada
awal abad modern. Mereka yaitu Francis Bacon, Giodarno
Bruno, dan Nicollo Machiavelli. Salah satu yang mereka kritik
yaitu teori geosentris dan mendukung secara terbuka teori
heliosentris. Bacon melakukan gebrakan dalam bidang filsafat
ilmu, Bruno dalam filsafat ketuhanan, dan Machiavelli dalam
filsafat sosial dan politik.Perkem