Tampilkan postingan dengan label sain Alquran 10. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sain Alquran 10. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 November 2024

sain Alquran 10


 inya.1  Pandangan ini  secara jelas 

menunjukkan bahwa sains yaitu  lebih penting dan lebih tinggi 

tingkatannya dibandingkan dengan agama.

Dalam sejarah perkembangan sains, perdebatan tentang 

pola hubungan sains dan agama seolah-olah tidak berhenti. 

Masing-masing pihak baik dari kalangan saintis maupun teolog, 

termasuk juga filosof berupaya untuk memperkuat pola hubungan 

relasi sains dan agama yang diyakini kebenarannya. Sebelum 

renaisans

  

di Barat, agama begitu mendominasi sehingga 

perkembangan sains cenderung terhambat. Sebaliknya, sejak 

renaisans, perkembangan sains begitu pesat dan mendominasi 

kehidupan manusia, khususnya di Barat, sehingga agama seolah￾olah terpinggirkan dan bahkan beberapa konsep agama, termasuk 

Tuhan ditolak keberadaannya. Dalam konteks teologi dan filsafat, 

pertentangan relasi agama dan sains di Barat menjadi salah satu 

penyebab munculnya atheisme  dan saintisme.

  

Dari sudut pandang epistemologi (filsafat pengetahuan), 

sains bertolak dari pengetahuan empiris sehingga kebenaran sains dapat diukur dan dapat diverifikasi. Berbeda dengan sains, agama 

memakai  wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan 

termasuk dalam memahami dan meyakini hal-hal yang bersifat 

metafisik. Secara filosofis, empirisme menjadi dasar 

berkembangnya aliran empirisme logis atau sering juga disebut 

positivisme logis  . Bagi aliran ini, sebuah pernyataan termasuk 

pernyataan terkait pengetahuan dapat diterima dan bermakna 

jika  dapat diverifikasi secara empiris. Oleh karena itu, aliran 

ini menolak pernyataan metafisika karena dianggap tidak 

bermakna (meaningless).

John R. Staver berkesimpulan bahwa perdebatan antara 

agama dan sains pada dasarnya hanya terjadi dalam pemikiran dan 

praktek kehidupan sosial semata, dan tidak terjadi dalam tataran 

logis dan epistemologis. Secara epistemologis, kebenaran sains 

berbeda dengan kebenaran agama. Sains memakai  metode 

empiris, sedangkan kebenaran agama bersumber pada firman 

Tuhan. Oleh karena itu, tidak ada konflik antara sains dan agama. 

Agama dan sains itu sepenuhnya merupakan dua hal yang berbeda.

Keduanya memiliki kedudukan dan fungsi yang setara dan vital 

dalam kehidupan manusia. Kesimpulan ini  didasarkan pada 

pendekatan atau teori konstruktivisme.

   Pandangan ini 

berpendapat bahwa konflik antara sains dan agama yaitu  

merupakan konstruk sosial dan kultural.  

Kesimpulan John R. Staver ini  mendapat banyak 

tanggapan, baik yang mendukung (memperkuat) maupun yang 

menolak (mengkritik). Di antara yang mendukung yaitu  John H. Evans and Michael S. Evans. Mereka berpendapat bahwa 

perdebatan sains dan agama tidak ada kaitannya dengan persoalan 

atau pertentangan epistemologi. Asumsi yang menyatakan bahwa 

konflik sains dan agama merupakan pertentangan epistemologi 

ini  dibangun berdasarkan sejarah pemikiran Barat.  

Pendapat ini tentu saja mendukung konstruktivisme relasi sains 

dan agama.

Bridgida Morais Falcao menganggap bahwa posisi Staver 

tentang debat antara sains dan agama merupakan sebuah 

tantangan tersendiri untuk mendiskusikan persoalan ini  

dengan mengombinasikan pendekatan metodologis teoretis, 

kebebasan berfikir dan riset. Ia menganggap pemahaman yang 

meletakkan sains dan agama sebagai suatu yang berbeda dapat 

memberi  ruang yang lebih luas dalam pengembangan sains.  

Perdebatan sains dan agama di Barat telah berlangsung 

sejak akhir masa kegelapan di Barat (the dark of middle age). 

Untuk menegaskan kembali bahwa diskursus relasi sains dan 

agama yang terjadi Barat tidak dapat disamakan dengan ada di 

dunia Islam. Muzaffar Iqbal mendukung pandangan ini . 

Model perdebatan relasi sains dan agama yang terjadi di dunia 

Barat (Kristiani) tidak dapat digiring begitu saja ke dunia Islam 

tanpa memberi  penilaian dan catatan kritis. Hal itu disebabkan 

oleh sifat (nature), dasar agama, epistemologi antara Barat 

(Kristiani) dan Islam jauh berbeda.  

Nasser Mansour merumuskan empat pandangan para guru 

sains di Mesir terkait dengan hubungan agama (Islam) dan sains. 

Keempat pandangan ini  yaitu  konflik dari sisi sains, 

independensi dari dominasi agama, dialog di bawah otoritas

agama, dan integrasi dengan sains sebagai bagian dari agama. 

Pandangan yang pertama berdasarkan alasan teori evolusi yang 

bertentangan dengan konsep penciptaan. Pandangan kedua dengan  

alasan bahwa metode sains dan agama berbeda, sains memberi  

penjelasan ilmiah sedangkan agama merumuskan nilai, moral dan 

etika. Pandangan yang ketiga didasarkan pada keterbatasan sains 

untuk memecahkan dan menjawab segala persoalan, sedangkan 

agama dapat memberi  jawaban yang memungkinkan untuk 

segala persoalan kehidupan manusia. Pandangan yang keempat 

menyatakan bahwa sains dapat membantu membuktikan 

kebenaran agama sehingga sains berdampak terhadap keyakinan 

agama. Oleh karena itu, agama dan sains bukan sesuatu yang 

bersifat dikotomis. Penelitian Nasser Mansour berkesimpulan 

bahwa Personal Religious Belief (PRB) membentuk dan 

memengaruhi Pedagogical Beliefs terkait dengan masalah 

hubungan sains dan agama.  

Pemahaman ontologis terhadap makna menentukan 

pandangan seseorang tentang hubungan agama dan sains. Ontologi

monistik membangun makna teks sebagai fakta-fakta yang dapat 

dibuktikan sendiri kebenarannya dan bersifat pasti. Oleh karena 

itu, ketika sains dihubungkan dengan agama boleh jadi sains 

membenarkan agama atau sebaliknya. Sementara ontologi

pluralistik membangun makna teks secara pluralistik, sehingga 

pemahaman ini dapat diterima oleh kesadaran manusia dan sifat 

kebenarannya tidak pasti. Pada tataran ini, sains dan agama 

dipahami bukan sebagai sesuatu yang bersifat dikotomis.

  

Secara lebih tajam dan lugas, Fethullah Gulen, menurut 

Osman Bakar, berprinsip bahwa sains tidak dapat lepas atau 

terpisah dari agama. Menurut Bakar, bagi Gulen sains dan agama

tidak pernah dianggap sejajar dalam Islam, tapi sains harus 

mengacu dan mengambil inspirasi dari Al-Quran dan Hadis. Ia 

membagi kebenaran dalam dua bentuk yaitu kebenaran mutlak

(absolute truth) dan kebenaran relatif (relative truth). Kebenaran 

mutlak ada  pada al-Quran dan sifatnya tetap, sedangkan

kebenaran relatif ada  pada sains yang sifatnya berubah. Kedua kebenaran itu tidak akan bertentangan jika sains secara 

prinsipil mengacu kepada kebenaran mutlak yaitu al-Quran dan 

Hadis.  Islam yang berlandaskan tauhid semestinya dijadikan 

sumber dan semangat pengembangan sains. Sains yang dimaksud 

tidak hanya sains kealaman (natural sciences) tapi semua jenis 

sains yang tidak dapat dipisahkan dari nilai, kesadaran religius dan 

spiritual.

  

Uraian di atas menunjukkan kompleksnya diskursus relasi 

sains dan agama yang berkembang baik dalam Islam maupun 

Barat. Dari sisi epistemologi, epistemologi Barat dalam banyak 

hal tidak tepat digunakan sebagai dasar dan alat untuk

mengembangkan epistemologi dan filsafat keilmuan Islam.  

Modernisme dan sains modern khususnya sangat didominasi oleh 

epistemologi Newtonian-Cartesian yang bersifat mekanistik￾rasionalis.  

Dalam tataran praktis, relasi sains dan agama di dunia 

Islam khususnya di negara kita  lebih mengarah kepada persoalan 

integrasi sains dan agama. Integrasi sains dan agama ini 

diwujudkan dalam pengembangan akademik bagi Perguruan 

Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yaitu dengan 

bertransformasinya beberapa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) 

menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Transformasi IAIN 

menjadi UIN ini  pada umumnya menawarkan konsep 

integrasi ilmu umum termasuk sains dengan ilmu agama dengan 

model dan varian yang berbeda. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

memakai istilah reintegrasi keilmuan,

   UIN Sunan Kalijaga 

Yogyakarta memakai  istilah integrasi-interkoneksi dengan konsep jaring laba-labanya, dan UIN Maulana Malik Ibrahim 

Malang dengan konsep integrasi pohon ilmu. Sampai saat ini, 

sudah 1  IAIN menjadi UIN yang pada dasarnya sejalan dengan 

konsep integrasi ilmu ataupun reintegrasi ilmu.

Berbeda dengan di negara kita , Malaysia lebih cenderung 

memakai  konsep Islamisasi sains seperti yang dikembangkan 

oleh al-Faruqi, Naquib al-Attas, dan Osman Bakar. Pengembangan 

konsep islamisasi sains ini terutama diwujudkan dengan 

membentuk cabang International Institute for Islamic Thought

(IIIT) yang berpusat di Virginia, Amerika Serikat dan mendirikan 

International Islamic University of Malaysia (IIUM).

   Al-Faruqi 

pada dasarnya tidak menentang sains modern. Ia hanya 

mempersoalkan landasan aksiologi sains modern. Islam baginya 

tidak hanya sebagai agama tapi juga sebagai pandangan dunia 

(world view) dan bagian integral dari proses pengembangan 

pengetahuan, sains serta teknologi. 

  

Epistemologi modernisme Barat sangat didominasi oleh 

epistemologi fondasionalisme. Fondasionalisme berarti bahwa 

semua pengetahuan dan keyakinan dapat diterima dan diakui 

kebenarannya jika  memiliki dasar yang jelas, tidak dapat diragukan (indubtable), tidak dapat dibantah (undeniable), dan 

tidak dapat dikoreksi (incorrigable). Epistemologi yang dipakai 

oleh fondasionalisme teutama yaitu  rasionalisme, empirisme, dan 

kritisisme.

  

Secara singkat dapat dikatakan bahwa model epistemologi 

yang berkembang sejak Yunani kuno, filsafat Islam, dan filsafat 

modern paling tidak memiliki kesamaan dari dasar dan metodenya 

meskipun masing-masing mempunyai distingsinya. Dalam 

pemikiran Islam dikenal dengan epistemologi baya>ni, burha>ni, dan 

‘irfa>ni. Sedangkan di Barat dikenal dengan epistemologi 

rasionalisme, empirisme, dan kritisisme dengan segala 

derivasinya. Secara makna dan praktis, baik epistemologi Barat 

maupun Islam memiliki kesamaan dan perbedaan. 

Semua jenis epistemologi ini  di atas baik di Barat 

maupun di Islam telah berperan penting dalam membentuk world 

view dan peradaban masing-masing, bahkan saling memengaruhi 

satu sama lainnya. Modernisme di Barat sangat didominasi oleh 

epistemologi Newtonian-Cartesian yang bersifat makanistik￾rasionalis, sementara epistemologi Islam pada dasarnya tidak 

terlepas dari epistemologi baya>ni-irfa>ni-burha>ni. 

Berbagai macam model epistemologi yang berkembang 

dalam Islam dan Barat pada dasarnya memiliki distingsi yang 

cukup jelas dalam konteks epistemologi. Epistemologi Islam 

bersumber pada alam, wahyu, dan pikiran logis, sedangkan 

epistemologi Barat cenderung mengabaikan wahyu.  

Epistemologi monistik dalam Islam didasarkan pada keyakinan 

teologis yang meyakini keesaan Tuhan, sementara epistemologi 

Barat yang dualistik sangat dipengaruhi oleh filsafat dualismenya 

Rene Descartes. Oleh karena itulah, penelitian tentang relasi sains

dan agama dari dasar epistemologi yang berbeda antara Islam dan 

Barat menjadi penting dan menarik untuk diteliti. Dalam konteks 

ini, relasi sains dan agama ditinjau dari pemikiran epistemologi 

Nidhal Guessoum (Islam) dan Ken Wilber (Barat) menjadi fokus

kajian disertasi ini. 

Kedua tokoh ini  dipilih untuk diteliti berdasarkan 

beberapa alasan. Pertama, keduanya yaitu  ilmuwan dan filsuf

kontemporer yang banyak menulis tentang tema relasi sains dan 

agama. Kedua, meski memiliki latar belakang sosio-kultural yang 

berbeda, keduanya berupaya untuk menawarkan konsep relasi

sains dan agama. Ketiga, keduanya sama-sama memakai  

analisis filosofis dan ilmiah dalam memahami relasi sains dan 

agama. Terakhir, keduanya sama-sama tertarik untuk menulis dan 

memakai  istilah quantum.

  

Guessoum pada dasarnya mengkritik sains modern yang 

mengabaikan landasan transendental.  Landasan transendental 

sains modern sebenarnya tidak terlepas dari kontribusi pemikiran 

Ibn Rushd yang tidak mempertentangkan agama dan filsafat. 

Dengan demikian, secara epistemologis, sains dan agama tidaklah 

bertentangan. Konflik yang terjadi antara sains dan agama akibat 

dari sains menafikan aspek metafisikanya. Rekonsiliasi sains dan 

agama (Islam) yaitu  merupakan suatu keharusan karena pada 

dasarnya, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis,

sains dan Islam ini  harmoni. Untuk mewujudkan rekonsiliasi 

sains dan agama ini  diperlukan rekonstruksi pemikiran 

keislaman yang dilandaskan kepada prinsip-prinsip dasar ajaran 

Islam, khasanah pemikiran Islam klasik, filsafat sains 

kontemporer, tidak anti modernitas serta pendekatan beragam dan 

berlapis dalam memahami agama.  

Sama halnya dengan Guessoum, Wilber cenderung 

berpandangan bahwa kehancuran dan kesalahan terbesar 

modernitas akibat dari pereduksian ranah atau aspek esoteris atau 

spiritual dari sains modern.   Wilber memandang perlunya 

pendekatan integral dalam menganalisis segala sesuatu termasuk 

tentang sains dan agama. Oleh karena itu, integrasi sains dan 

agama dapat dilakukan jika  sains dipahami dalam makna dan 

ranah yang luas melalui pendekatan integral serta menekankan kembali pentingnya aspek spiritual dalam agama.  

Persamaan dan perbedaan pemikiran Guessoum dan 

Wilber secara garis besar ini  terkait dengan konsep relasi 

sains dan agama menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih 

jauh. Dalam tataran teoretis konseptual dan praktis institusional, 

pemikiran kedua tokoh ini  menjadi penting dan relevan 

dengan perkembangan pemikiran filsafat sains di dunia Islam 

secara umumnya dan di negara kita  secara khususnya. Dalam 

konteks pengembangan pendidikan tinggi keislaman di negara kita , 

integrasi sains dan agama dalam konteks ilmu-ilmu umum dan 

ilmu-ilmu keislaman menjadi diskursus penting sejalan dengan 

bertransformasinya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan 

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) menjadi 

Universitas Islam Negeri (UIN). 

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan 

sebelumnya, ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi 

antara lain yaitu : (a) Masih penting dan hangatnya perdebatan 

tentang relasi sains dan agama dalam pemikiran Islam dan Barat 

sejak dari klasik sampai masa kontemporer, (b) Konstelasi dan 

kontestasi perdebatan tentang relasi sains dan agama dalam 

pemikiran Islam dan Barat hampir menyentuh seluruh aspek baik 

filosofis, sosiologis, pendidikan, budaya, politik, maupun teologis, 

(c) Adanya berbagai keengganan intelektual Muslim dan pemuka 

agama lainnya untuk memperdebatkan relasi sains dan agama, 

apalagi jika ditemukan hasil sains yang terkesan dianggap 

bertentangan dengan ajaran agama, (d) Adanya upaya dari 

beberapa lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan 

keagamaan untuk mengintegrasikan sains dan ilmu agama, 

sementara sebagian pihak menolak integrasi ilmu ini , (e) 

Belum adanya titik temu yang dapat diterima oleh kalangan 

saintis, filsuf, dan teolog tentang bagaimana sebenarnya konsep 

relasi sains dan agama baik dalam Islam maupun Barat, termasuk 

agama-agama lainnya, (f) Munculnya berbagai paham yang ada 

kaitannya baik langsung maupun tidak langsung dengan 

perdebatan sains dan agama seperti saintisme, positivisme logis, 

agnotisisme, dan bahkan ateisme, (g) Adanya perdebatan 

epistemologi baik langsung maupun tidak di antara pemikir dan 

saintis Muslim dan Barat kontemporer yang memungkinkan 

munculnya dialog dan titik temu meski dari latar belakangperadaban yang berbeda, (h) Konsep rekonsiliasi dan integrasi

sains dan agama Nidhal Guessoum dan Ken Wilber pada dasarnya 

berjalan sendiri-sendiri, padahal sebagai sebuah konsep filosofis

(philosophical concept) tentu saja memiliki nuansa universalitas.

Dari beberapa masalah ini , maka dalam penelitian ini 

akan dijabarkan relasi sains dan agama dalam perspektif

epistemologi Nidhal Guessoum dan Ken Wilber. Relasi sains dan 

agama ini meliputi konsep epistemologi dalam pemikiran Nidhal 

Guessoum dan Ken Wilber, persamaan dan perbedaan konsep 

epistemologi Nidhal Guessoum dan Ken Wilber dan implikasinya 

terhadap pandangan mereka tentang relasi sains dan agama. Selain 

itu juga akan dijelaskan bagaimana dan dalam konteks apa 

kemungkinan terjadinya dialog dan titik temu pemikiran 

epistemologi Nidhal Guessoum dan Ken Wilber serta relevansinya 

dengan diskursus relasi sains dan agama di dunia Islam umumnya 

dan di negara kita  khususnya.

Signifikansi dari penelitian ini yaitu  dipahami dan 

ditemukannya pandangan yang komprehensif tentang adanya 

perbedaan pemahaman terhadap relasi sains dan agama yang 

berkembang di dunia Islam dan Barat kontemporer yang 

didasarkan atas perbedaan sudut pandang epistemologi khususnya 

berdasarkan pemikiran Nidhal Guessoum sebagai seorang pemikir 

dan saintis Muslim kontemporer dan pemikiran Ken Wilber

sebagai seorang pemikir dan saintis Barat kontemporer. Temuan 

penelitian ini juga diharapkan dapat memberi  kontribusi 

terhadap perkembangan pemikiran Islam kontemporer khususnya 

tentang eksistensi dan peran sains di lembaga pendidikan Islam di 

negara kita  khususnya dan dunia Islam umumnya. 

Sebatas penelusuran dan pengetahuan penulis, belum ada 

kajian yang secara khusus seperti yang penulis ungkapkan di atas, 

namun penelitian yang sejenis yang mengkaji relasi sains dan 

agama dari perspektif historis, praktis, dan konseptual dapat 

penulis kemukakan sebagai berikut. Pertama, penelitian Benjamin 

E. Zeller tentang interaksi tiga aliran keagamaan terkait dengan 

relasi sains dan agama. Penelitian ini  menyimpulkan adanya 

perbedaan konsep interaksi sains dan agama pada tiga gerakan 

keagamaan di Amerika yaitu the Hare Krishnas, Unification 

Church, and Heaven’s Gate. Masing-masing mengklaim bahwa 

konsep mereka tentang sains sangat penting dan menjadi dasar 

dari konsep teologis dan posisi sosial mereka. Gerakan Unification 

Church memandang bahwa sains terpisah dari agama, namun pada saat yang sama mereka mencoba merumuskan metode, wilayah 

dan bahkan tujuan atau pengembangan sains harus dilandasi etika 

agama yang mereka pahami. The Hare Khrisnas berupaya 

mengganti sains Barat dengan alternative scientific religious 

system sesuai dengan tradisi agama Hindu. Heaven’s Gate, ingin 

menyerap sains dan beberapa elemen saintifik seperti materialisme 

dan naturalisme yang secara metodologis dinilai sangat tepat

untuk digunakan dalam pemahaman keagamaan mereka.   Objek 

disertasi ini berbeda dengan penelitian ini . Objek disertasi ini 

yaitu  pemikiran tokoh, sedangkan objek penelitian ini  

yaitu  gerakan keagamaan. Persamaannya yaitu  dalam hal tema 

besar penelitian yaitu relasi sains dan agama.

Kedua, disertasi Humaidi tentang paradigma sains al￾Farabi serta hubungannya dengan agama dan filsafat. Penelitian 

ini  menyimpulkan bahwa sains integratif universal al-Farabi 

memiliki akar dan fondasi pada gagasan dan paradigma keesaan

(tauhid) sebagai prinsip dasar keimanan Islam.   Disertasi ini  

lebih mendalami pemikiran sains al-Farabi, sedangkan disertasi 

penulis mendalami perbandingan dua tokoh yang berasal dari latar 

belakang yang berbeda. Persamaannya yaitu  sama-sama 

mengkaji pemikiran tokoh tentang relasi sains dan agama.

Ketiga, disertasi David L. Carlson tentang relasi sains dan 

agama menurut pemikiran Heidegger. Hasil penelitian 

menunjukkan bahwa perlunya mengkaji ulang konsep teologi 

berdasarkan refleksi, pengalaman, dan keyakinan tentang 

pentingnya dialog antara agama, sains, dan teologi.   Penelitian 

ini  hanya fokus pada relasi sains dan agama menurut 

Heidegger, sedangkan disertasi ini membandingkan dua tokoh 

kontemporer. Persamaannya yaitu  dari konteks tema penelitian 

yang salah satunya terkait dengan aspek teologis.

Keempat, Penelitian Page Matthew Brooks tentang 

perbandingan pemikiran Alistair Mc. Grath dan Sayyed Hossein 

Nasr mengenai pengaruh posmodernisme terhadap metode teologi 

kedua tokoh ini . Alistair Penelitian ini  berkesimpulan 

bahwa konsep posmodernisme dan modernism yang dipahami oleh 

kedua tokoh memberi  pengaruh yang kuat terhadap metode 

teologi keduanya. McGrath memakai  pendekatan realism 

kritis terhadap perumusan teologi, sedangkan Nasr mengkritik 

modernism dan posmodernisme yang cenderung menjauhkan 

manusia dari spiritualitas dan wahyu.

   Penelitian ini  meski 

tidak secara langsung membahas relasi sains dan agama, namun 

persoalan yang dibahas memiliki keterkaitan dengan disertasi ini 

karena membandingkan dua pemikir dari kalangan Islam dan 

Kristen (Barat) terkait dengan posmodernisme yang juga menjadi 

salah satu konsep penting penting dalam disertasi ini. 

Kelima, disertasi Dorothy Ann Gioia tentang visi ilmiah

dan spiritual ilmuwan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa  /  

responden yaitu  sebagai orang yang beragama, dan 1/  yaitu  

tidak beragama. Saintis yang beragama sebanyak   % mengakui 

adanya Tuhan dan cenderung berpandangan bahwa sains dan 

agama saling melengkapi. Sementara responden yang tidak 

beragama cenderung berpandangan bahwa sains dan agama tidak 

memiliki hubungan serta bagi mereka agama semakin tidak 

penting dan semakin meningkat perannya.   % saintis yang 

beragama menghargai sains sesuai dengan keyakinan agamanya, 

namun ketika ditanyakan apakah agama memberi  kontribusi 

terhadap perkembangan sains hanya 1/  yang setuju.   % 

responden manyatakan bahwa ada  ajaran dan praktek tertentu 

dalam agama yang dapat menghambat kemajuan sains.  

Penelitian ini  tentu saja berbeda dengan konsep integrasi

sains dan agama yang ditawarkan dalam disertasi ini meskipun 

Ken Wilber yaitu  berasal dari Amerika dan banyak mengamati dan menganalisis perkembangan sains dan spiritualitas di 

Amerika. Tentu saja penelitian Gioia di atas menjadi bahan kajian 

yang menarik dan penting, terutama tentang analisisnya terhadap 

pengaruh berbagai filsuf dan ilmuwan besar. Ken Wilber, yang 

menjadi salah satu tokoh dalam disertasi ini, juga banyak 

melandaskan pemikirannya pada filsuf-filsuf besar yang 

diungkapkan dalam penelitian Gioia ini . 

Keenam, disertasi Christopher A. Furlow tentang 

hubungan Islam, sains dan modernitas. Kesimpulan disertasi 

ini  yaitu  perdebatan islamisasi ilmu pengetahuan dengan 

konsep kunci Islam, pengetahuan, relevansi, dan autentisitas 

dikonstruksi dan dikontestasi secara beragam. Perdebatan 

indigenisasi dan nativisasi yang masing-masingnya memberi 

jawaban yang berbeda terhadap perdebatan islamisasi ilmu 

pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan secara epistemologis 

agak sulit untuk didefinisikan. Kesimpulan yang paling penting 

yaitu  bahwa islamisasi ilmu pengetahuan dalam konteks 

institusional dan nasional memberi  dampak yang signifikan 

terhadap penerapan sains secara filosofis.

   Penelitian Furlow ini 

lebih menitikberatkan pada kajian penerapan konsep relasi sains 

dan agama dalam upaya islamisasi sains yang telah digagas oleh 

beberapa pemikir seperti Ismail Raji al-Faruqi dan Nuquib al￾Attas. Islamisasi sains dengan segala varian pemikirannya dalam 

konteks disertasi ini menjadi salah satu objek utama dan sasaran 

kritik dari Nidhal Guessoum sebagai salah seorang tokoh yang 

dibahas dalam disertasi ini.

Ketujuh, disertasi Ali Hassan Zaidi tentang pendekatan 

dialog terhadap Islam, modernitas dan ilmu-ilmu kemanusiaan.

Penelitian ini  menemukan adanya kesesuaian antara ilmu 

sosial yang empiris dengan pandangan normatif keagamaan.

Penelitian ini  memakai  pendekatan komparatif-dialogis 

yang dilandaskan pada hermeneutik dialog Hans-Georg Gadamer

mengenai pemikiran sosial keislaman dan pemikiran sosial 

interpretatif Barat. Penulis memperkuat tesisnya dengan 

menganalisis pemikiran Ibnu Khaldun. Dalam konteks ilmu sosial

yang berkembang di Barat, Zaidi menganalisis pemikiran Wilhelm 

Dilthey dan Max Weber. Meskipun Dilthey menolak validitas pemikiran yang bersifat metafisik dan keagamaan, tapi konsep 

hermeneutik Dilthey tentang Geisteswissenschaften sangat terkait 

dengan masalah transenden-immanent. Seperti halnya Dilthey, 

Weber memperkenalkan ilmu-ilmu kemanusiaan modern yang 

memberi  kontribusi terhadap konsep profan dan cenderung 

menghindar dari metafisika  Kesamaan penelitian ini  

dengan disertasi ini yaitu  sangat jelas. Disertasi ini berupaya 

melakukan analisis komparatif dan dialogis dari dua epistemologi

yaitu Islam dan Barat. Beberapa pemikir yang menjadi rujukan 

dari kedua kutub epistemologi ini  juga sama dibahas baik 

dalam penelitian Zaidi maupun disertasi ini di antara tokoh 

ini  al-Faruqi, Nasr, dan Weber.

Kedelapan, penelitian J. Micah Roos tentang penolakan 

dan penerimaan adanya hubungan pengetahuan, sains, dan agama

di Amerika Serikat. Kesimpulan penelitian ini  menunjukkan 

tingkat pemahaman sesesorang atau kelompok warga  

terhadap sains dan agama sangat menentukan pandangan mereka

terhadap hubungan yang saling pengaruh memengaruhi antara 

sains dan agama. Keterlibatan seseorang dalam kegiatan-kegiatan 

keagamaan juga memengaruhi pandangannya terhadap sains 

terkait dengan penolakan terhadap teori evolusi.

   Dalam disertasi 

ini, Guessoum dan Wilber berupaya mengemukakan konsep relasi

sains dan agama juga dipengaruhi oleh keterlibatan baik langsung 

maupun tidak dalam beberapa organisasi dan komunitas 

keagamaan.

Kesembilan, disertasi Walter Reagen White Jr. tentang 

integrasi sains dan agama serta hubungannya dengan filsafat 

proses dan ilmu fisika. Penelitian ini  menyimpulkan adanya 

potensi dan konflik antara sains dan agama merupakan ancaman 

yang serius terhadap ontologi proses. Oleh karena itu, perlu 

dikembangkan dan digunakan pendekatan dialog yang dapat 

mendorong sains dan agama untuk saling memberi  informasi 

sebagai bentuk interaksi tak langsung sains dan agama dalam 

kaitannya dengan filsafat atau ontologi proses.   Kesimpulan penelitian ini  memberi  inspirasi yang bernilai terhadap 

disertasi ini. Dialog sains dan agama menjadi solusi penting bagi 

keberlangsungan filsafat proses. Rekonsiliasi dan integrasi sains 

dan agama yang ditawarkan dalam disertasi ini tentu sangat 

relevan dengan penelitian di atas. 

Kesepuluh, disertasi Josh Andrew Reeves tentang kritik 

dua model relasi sains dan agama. Penelitian ini  

mengasumsikan adanya hubungan yang erat antara metode ilmiah

dengan metode refleksi keagamaan dan berupaya untuk 

memperkuat rasionalitas kayakinan agama. Penelitian ini diawali 

dengan penelusuran terhadap bidang studi sains (science studies) 

yang mengidentifikasikan tidak adanya metode tunggal dalam 

sains karena keberagaman aktivitas ilmiah. Bagian kedua disertasi 

ini menyimpulkan bahwa model rasionalitas teologi berdasarkan 

pemikiran Murphy dan Hussyteen menunjukkan kesesuaian 

dengan metode ilmiah khususnya program riset Lakatos. 

Kesimpulan terakhir penelitian ini yaitu  teologi dapat menjadi 

rasional seperti halnya sains.   Kesimpulan penelitian ini  

tentang adanya kesesuaian teologi dan sains juga menjadi 

pembahasan dan perdebatan dalam penelitian disertasi ini. Baik 

Guessoum maupun Wilber mencoba menempatkan secara kritis

pandangan kesesuaian antara sains dan agama. 

Penelitian ini memakai  pendekatan filosofis

(philosophical approach), terutama konsep-konsep dan nuansa 

epistemologi yang terkandung dalam pemikiran tokoh yang 

dibahas. Pemikiran epistemologi ini  tentu saja sangat 

memengaruhi dan berperan besar dalam membentuk konsep dan 

pandangan mereka terhadap relasi sains dan agama. Pendekatan 

ini  di atas juga dibantu oleh pendekatan yang ada 

relevansinya dengan tema utama dan fokus kasus penelitian ini 

yaitu pendekatan sejarah (historical approach) dan teologi

(theological approach).

Pendekatan historis digunakan untuk mempertajam 

analisis karena semua tokoh yang dibahas yang sangat erat 

kaitannya dengan latar belakang sejarah dan historisitas. Pendekatan teologis juga penulis gunakan karena fokus penelitian 

ini yaitu  melihat pandangan para tokoh tentang relasi sains dan 

agama karena kedua keduanya memilki latar belakang dan tradisi

keagamaan yang kuat. 

Dalam penelitian ini langkah pertama yang dilakukan 

yaitu  menetapkan fokus penelitian. Fokus penelitian ini yaitu  

membuktikan bahwa konsep dan dasar epistemologi memiliki 

peran yang sangat menentukan paradigma dan kerangka berfikir 

dari seseorang atau aliran. Langkah kedua yaitu  menetapkan 

kerangka berfikir atau landasan teori. Kerangka berfikir ini  

diawali dengan adanya perbedaan konsep dan implikasi dalam

epistemologi yang dibangun dalam pemikiran Islam dan Barat 

kontemporer. Perbedaan Epistemologi disebabkan oleh berbagai 

faktor baik itu pendekatan, aliran, religiusitas, dan etika yang 

dianut, meskipun tentu saja tetap ada  universalitas dan 

kesamaan. Selanjutnya dengan memakai  kerangka teori 

ini  barulah ditelusuri perbedaan dan persamaan konsep relasi

sains dan agama secara epistemologis dalam pemikiran Islam dan 

Barat kontemporer. Langkah ketiga yaitu  pengolahan data. Data 

yang telah diklasifikasikan kemudian diteliti dengan 

memakai  metode hermeneutik filosofis (philosophical 

hermeneutics) yaitu mengkaji teks-teks yang ada pada sumber 

baik primer maupun sekunder secara filosofis.

Metode analisis yang digunakan yaitu  interpretasi, 

holistika, heuristik dan komparatif. Dalam interpretasi data 

penelitian diselami sedalam mungkin agar dapat menangkap arti 

dan makna serta nuansa uraian yang terkandung di dalamnya, 

melihat konsep-konsep dan aspek-aspek menurut keselarasannya 

satu sama lain sehingga dapat diperoleh interpresentasi yang tepat 

dari sumber-sumber ini . Hal ini  tentu saja dengan jalan 

menetapkan ide utama (main idea), kerangka teoretis (theoritical 

framework), dan nuansa serta gaya pengarang setiap sumber yang 

dianalisis.   Interpretasi juga menjadi sangat penting karena 

masing-masing filosof memakai  beberapa istilah filsafat

sedemikian rupa sehingga membutuhkan pemahaman yang utuh 

dan jelas supaya tidak mengaburkan makna yang dimaksud oleh si 

penulis. 

Perbedaan latar belakang budaya, agama, dan pendidikan 

dari kedua tokoh yang dibahas menjadi pertimbangan tersendiri

ldalam melakukan interpretasi terhadap pemikiran mereka. Di 

samping itu, konteks dan kontestasi pemikiran kedua tokoh 

ini  perlu diperhatikan secara serius dan mendalam dalam 

melakukan interpretasi. 

Adapun analisis holistika yaitu  memahami secara 

menyeluruh isi sumber dengan cara melihat ide-idenya secara utuh 

tentang hal-hal yang bersifat filosofis, sehingga konsep-konsep 

filosofis (philosophical concepts) dari setiap sumber dapat 

dipahami secara komprehensif dan akurat.   Hal ini dilakukan 

karena pemikiran dan ide-ide tentang objek penelitian ini dari 

tokoh, percikannya tersebar dalam berbagai karyanya meskipun 

ada satu atau dua karyanya yang lebih banyak mengulas objek 

kajian penelitian ini. Dalam banyak hal, pemikiran kedua tokoh 

ini  tentang relasi sains dan agama ditemui tidak secara utuh 

pada satu karya mereka, namun pada karya tertentu terlihat 

pemikirannya yang terkait dengan tema disertasi ini cenderung 

luas dan utuh. Oleh karena itulah, dibutuhkan kemampuan 

tersendiri agar dapat menangkap distingsi dari berbagai karya 

mereka sehingga didapatkan pemahaman yang holistik. 

Selajutnya berdasarkan informasi baru dan interpretasi 

baru, selanjutnya diusahakan untuk melihat dan menemukan 

makna dan struktur baru dari setiap sumber. Setelah semua 

langkah ini  di atas dilaksanakan, barulah dilakukan suatu 

analisis filosofis (philosophical analysis) terhadap hasil-hasilnya 

sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang bisa diuji 

kebenarannya.

   Upaya mencari filsafat yang tersembunyi tentu 

saja membutuhkan ketajaman analisis dan kemampuan untuk 

memilah dan memilih dari berbagai sumber. Filsafat tersembunyi 

yang dicari dari pemikiran Nidhal Guessoum dan Ken Wilber

tentang relasi sains dan agama dalam kerangka epistemologi boleh 

jadi menjadi dasar bagi temuan baru dalam penelitian ini.

Heuristika juga dimaksudkan bagaimana upaya memahami 

pemikiran para tokoh yang dalam banyak hal cenderung rumit dan 

kompleks dapat dipahami secara sederhana dengan menemukan 

inti dari pemikirannya.

Terakhir dilakukan analisis komparatif. Analisis

komparatif ini dimaksudkan menelusuri kesamaan dan perbedaan

geneologi pemikiran, dasar metodologi dan epistemologi dari 

kedua tokoh ini  serta konsep mereka tentang relasi sains dan 

agama. Penelitian komparatif tidak mesti menemukan adanya 

keterkaitan intelektual baik langsung maupun tidak langsung di 

antara kedua tokoh, meskipun ternyata pemikirannya kedua tokoh 

ini  memiliki kesamaan bentuk, struktur, dan model.

Langkah-langkah analisis komparatif ini yaitu  mendiskripsikan 

secara kritis persamaan dan perbedaan epistemologi yang 

mencakup dasar dan sumber pengetahuan, objek dan struktur 

pengetahuan, serta model dan jenis epistemologi kedua tokoh. 

Langkah ini juga membandingkan secara kritis persamaan dan 

perbedaan konsep mereka tentang relasi sains dan agama.

Buku ini terdiri dari enam bab. Bab pertama yaitu  bagian 

pendahuluan. Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah, 

identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, 

kajian-kajian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian, dan 

sistematika penulisan. Bab pertama ini merupakan kerangka awal 

dan dasar dari buku ini.

Bab kedua membahas konsep epistemologi yang 

mencakup komponen dan jenis epistemologi. Pada bagian 

berikutnya juga dilihat bagaimana konsep epistemologi dalam 

peradaban Islam maupun Barat. Bagian ini juga menguraikan 

makna, ranah, eksistensi perdebatan sains dan agama serta 

dikaitkan dengan konteks modern dan kontemporer. Bab kedua ini 

dimaksudkan untuk memberi  konsep umum dan kerangka yang 

jelas dan utuh tentang perdebatan akademik mengenai 

epistemologi serta relasi sains dan agama pada peradaban Islam 

dan peradaban Barat agar dapat menganalisis secara komprehensif

pemikiran kedua tokoh yang menjadi objek bahasan disertasi ini 

dalam konteks persoalan relasi sains dan agama.

Bab Ketiga diawali dengan penelusuran latar belakang 

sosio-kultural Nidhal Guessoum supaya dapat menemukan dan 

merumuskan karakter dan fondasi epistemologis pemikirannya. 

Bagian selanjutnya menguraikan kritik Guessoum terhadap sains

modern. Kemudian bab ini juga menganalisis beberapa tema 

pokok tentang relasi sains dan Islam. Pada bagian selanjutnya, 

penulis menguraikan konsep sains teistik Guessoum sebagai

sebuah tawaran rekonsiliasi sains dan Islam menurut Guessoum. 

Pada bagian akhir diuraikan beberapa kelemahan dan kritik para 

pemikir lain terhadap pemikiran Guessoum

Bab Keempat diawali dengan penelusuran latar belakang 

sosio-kultural Ken Wilber supaya dapat merumuskan karakter dan 

fondasi epistemologi pemikirannya. Pada bagian selanjutnya 

penulis uraikan secara kritis pendekatan integral Wilber yang 

menjadi sentral dalam pemikirannya. Bagian berikutnya uraian 

tentang posmodernisme menurut Wilber beberapa konsep 

pemikirannya yang relevan dengan tema disertasi ini. Bagian 

selanjutnya diuraikan konsep integrasi sains dan agama menurut 

Wilber. Bab ini ditutup dengan uraian kelemahan dan kritik 

terhadap pemikiran Wilber

Bab Kelima mengkaji tentang analisis dialog dan 

komparasi konsep epistemologi kedua tokoh meliputi komponen 

dan jenis epistemologi mereka. Bagian selanjutnya menganalisis 

secara komparatif konsep rekonsiliasi sains dan agama Guessoum

serta integrasi sains dan agama Wilber. Bagian akhir bab ini 

mencoba menganalisis implikasi teoretis dan praktis konsep relasi

sains dan agama kedua tokoh serta relevansinya dengan 

perkembangan sains di dunia Islam dan negara kita  khususnya

terkait dengan integrasi keilmuan. 

Bab keenam yaitu  bab penutup yang terdiri dari

kesimpulan dan saran atau rekomendasi penelitian.


Konsep, Komponen dan Jenis Epistemologi 

 

1. Definisi Epistemologi

Epistemologi atau filsafat pengetahuan merupakan sebuah 

cabang filsafat yang sama tuanya dengan filsafat itu sendiri. 

Sebagai sebuah bagian dari filsafat, epistemologi tidak dapat 

dipisahkan dari filsafat. Menurut John Greco, epistemologi 

didasarkan atas dua pertanyaan utama yaitu apa itu pengetahuan 

dan apa yang dapat diketahui. jika  manusia berfikir dapat 

mengetahui tentang suatu hal, maka muncul pertanyaan 

berikutnya yaitu bagaimana sesuatu itu diketahui dan apa yang 

diketahui ini . Kajian epistemologi yang sangat erat kaitannya dengan pengetahuan manusia merupakan sesuatu yang 

esensial bagi manusia itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh 

manusia berasal dari hal yang sederhana dan sehari-hari (common 

sense). Rasa ingin tahu (curiousity) manusia menjadi modal dasar 

manusia untuk mengetahui.

Epistemologi secara etimologi berasal dari kata episteme 

yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori sehingga 

epistemologi memiliki arti teori tentang pengetahuan. Secara 

terminologi, epistemologi merupakan cabang filsafat yang 

membahas tentang dasar, sumber, objek, struktur, metode, dan 

validitas pengetahuan.  Epistemologi juga berarti kajian filosofis

tentang pengetahuan yang meliputi sifat pengetahuan (nature of 

knowledge), syarat pengetahuan (requirements of knowledge), dan 

batasan-batasan pengetahuan (limitations of knowledge).  Definisi 

epistemologi lainnya yaitu  penyelidikan filosofis terhadap sifat 

pengetahuan, apa yang membenarkan sebuah pengetahuan dan 

kepercayaan, dan apa dasar dari sesuatu yang diklaim benar. 

Definisi ini lebih jauh mencakup tentang sifat dan dasar 

pembenaran pengetahuan, struktur pengetahuan, dan kriteria 

kebenaran. 

Epistemologi juga dapat dipahami sebagai cabang 

filsafat yang mengkaji asal, validitas, reliabilitas dan batasan 

pengetahuan. 

Menurut Sudarminta, epistemologi yaitu  suatu disiplin 

ilmu yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Normatif artinya 

bersifat menilai apakah suatu kepercayaan, sikap, pernyataan 

pendapat, dan pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin 

kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggung-

jawabkan secara nalar. Normatif memiliki arti menentukan norma 

atau tolok ukur kebenaran pengetahuan. kritis berarti 

mempertanyakan asumsi, cara kerja atau pendekatan dan 

kesimpulan tentang pengetahuan manusia. 

 Lebih jauh 

Sudarminta menjelaskan bahwa filsafat sains sesuai dengan 

perkembangan sains modern menjadi salah satu cabang 

epistemologi. Filsafat sains pada awalnya hanya terfokus pada 

cara kerja (metode) keilmuan, namun dalam perkembangannya 

filsafat sains tidak dapat mengabaikan temuan-temuan baru 

seperti dalam sejarah sains, psikologi pengetahuan, dan sosiologi 

pengetahuan. 

 Epistemologi yang dirumuskan oleh para ahli dan 

pemikir yang pada intinya mengarah kepada dasar, sumber, objek, 

struktur, batas, cara, dan validitas pengetahuan. Hal lain yang juga 

sering dipersoalkan dalam kajian epistemologi yaitu  masalah 

subjektifitas dan objektifitas, kebenaran dan pembenaran, 

pengalaman dan pemahaman, intersubjektifitas dan esensialisme, 

pengetahuan ilmiah dan pengalaman estetis, dan seterusnya. 

Dari beberapa definisi dan pemahaman tentang 

epistemologi di atas, unsur-unsur atau komponen dalam 

epistemologi paling tidak mencakup dasar, sumber, objek, 

struktur, pembenaran atau validitas pengetahuan. Di samping itu, 

teori kebenaran juga menjadi salah satu kajian penting dalam 

epistemologi. Oleh karena itu, penulis akan menguraikan lebih 

jauh tentang keempat unsur atau komponen epistemologi ini . 

 . Dasar dan Sumber Pengetahuan 

Pertanyaan awal yang paling penting terkait dengan dasar 

pengetahuan yaitu  apa itu pengetahuan (what is knowledge). 

Sebagian besar literatur tentang epistemologi menjawab 

pertanyaan ini  merujuk kepada pemikiran para filsuf besar 

sejak masa klasik sampai modern. Menurut Descartes, 

pengetahuan yaitu  segala sesuatu kepercayaan tentang sesuatu 

yang dapat diuji dengan rasio, logika, dan memiliki kejelasan. 

Sudarminta merinci dasar-dasar pengetahuan yaitu 

pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran 

dan penalaran, logika, bahasa, dan kebutuhan hidup. 

Pengalaman 

yaitu  hal pertama dan utama yang memungkinkan adanya 

pengetahuan. Pengalaman yaitu  segala peristiwa yang dialami manusia melalui interaksinya dengan alam, diri sendiri, 

lingkungan sosial dan Tuhan. Ia membagi pengalaman menjadi 

dua yaitu pengalaman primer dan sekunder. Yang pertama yaitu  

pengalaman langsung melalui melalui panca indera, dan yang 

kedua yaitu  pengalaman tidak langsung atau pengalaman 

reflektif. Pengalaman manusia memiliki tiga ciri pokok yaitu 

adanya kesadaran, berkaitan dengan objek, dan bersifat 

akumulatif. 

Memori juga menjadi salah satu dasar pengetahuan. 

Pengalaman inderawi dan memori memiliki keterkaitan satu sama 

lain. Ingatan diperoleh karena adanya pengalaman inderawi baik 

secara langsung maupun tidak langsung. Ingatan tidak mesti selalu 

menjadi dasar pengetahuan karena ingatan tidak senantiasa benar. 

Memori yang dapat dijadikan dasar pengetahuan harus memenuhi 

dua syarat. Syarat ini  yaitu  adanya kesaksian diri sendiri 

bahwa peristiwa yang ada dalam memori ini  benar-benar 

terjadi dan dialami atau disaksikan sendiri. Syarat berikutnya 

yaitu  adanya konsistensi dalam memori ini .1 

Dasar pengetahuan yang ketiga yaitu  kesaksian. 

Kesaksian yaitu  suatu penegasan tentang suatu peristiwa yang 

diajukan kepada orang lain untuk dipercaya. Dalam kesaksian 

dibutuhkan bukti tentang otoritas si pemberi kesaksian.1 Dasar 

pengetahuan yang berikutnya yaitu  rasa ingin tahu. Minat atau 

rasa ingin tahu ini dapat dijadikan dasar pengetahuan karena tidak 

semua pengalaman berkembang menjadi pengetahuan. Rasa ingin 

tahu sangat terkait dengan kekaguman terhadap sesuatu. 

Selanjutnya yaitu  pikiran dan penalaran. Pikiran diperlukan 

untuk menjelaskan apa yang dialami manusia. Dengan 

kemampuannya dalam berfikir dan menalar, manusia mampu 

mendapatkan dan mengembangkan pengetahuannya.1 

Dasar pengetahuan selanjutnya yaitu  logika, bahasa, dan 

kebutuhan hidup manusia. Pikiran dan penalaran membutuhkan 

logika. Penalaran deduktif mempunyai aturan kesahihan atau 

validitas. Kesimpulan yang valid kalau premis-premisnya benar. 

Deduktif biasanya digunakan dalam silogisme.1  Selain logika, 

bahasa juga menjadi salah satu dasar pengetahuan. Proses berfikir 

manusia sangat erat kaitannya dengan bahasa. Dasar pengetahuan 

yang terakhir yaitu  kebutuhan hidup manusia. Segala jenis 

pengetahuan baik ilmiah maupun non- ilmiah berguna untuk 

menunjang kebutuhan hidup manusia. 

Persoalan sumber pengetahuan merupakan masalah yang 

sangat penting dan mendasar dalam epistemologi. Hampir semua 

buku epistemologi, baik klasik, modern, maupun kontemporer 

membahas tentang sumber pengetahuan. Sumber pengetahuan 

diperlukan untuk dapat menjustifikasi kebenaran suatu 

pengetahuan apakah dapat diterima atau tidak. 

Pada umumnya, persoalan sumber pengetahuan selalu 

dibahas terkait dengan dua aliran utama yaitu eksternalisme dan 

internalisme. Eksternalisme mempercayai kebenaran pengetahuan 

bersumberkan dari hal eksternal seperti hasil pencerapan panca 

indera manusia. Berbeda dengan eksternalisme, internalisme 

meyakini kebenaran sebuah pengetahuan bersumberkan dari hal 

internal berupa refleksi diri dan mental manusia. James Cargille 

menilai bahwa perbedaan antara internalisme dan eksternalisme 

yang paling menonjol yaitu  masalah isi (content) ataupun makna

(meaning).1 

Aliran eksternalisme mengandalkan proses penyebaban 

pengetahuan berasal dari faktor-faktor eksternal yang berfungsi 

secara normal dapat diandalkan seperti penglihatan. Selain itu 

faktor eksternal sebagai penentu apakah pengetahuan itu dapat 

diterima atau tidak dapat juga berupa lingkungan, sejarah, dan 

konteks sosial.1  Oleh karena itu, empirisme termasuk ke dalam 

aliran eksternalisme ini. Sumber pengetahuan yang diyakini dan 

dipercaya oleh empirisme yaitu  persepsi atau pengalaman 

inderawi yang secara common sense dikenal dengan panca indera. 

Persepsi bagi mereka yaitu  hal yang penting dalam epistemologi. 

Pertanyaan yang sering diajukan kepada kaum empiris yaitu  apa 

yang dapat dipersepsi oleh indera? Apakah sesuatu yang 

dipersepsi dapat membangun kesadaran? Bagaimana persepsi 

mencapai pengetahuan tentang dunia di sekitarnya? 

Ada beberapa perdebatan yang berkembang terkait dengan 

pertanyaan-pertanyaan ini  di atas. Pertama yaitu  aliran 

representasionalisme atau yang juga dikenal dengan realisme tak 

langsung. Bagi aliran ini, persepsi menyadari secara langsung 

entitas internal ataupun pernyataan mental. John Locke1 

menyebutnya dengan ide-ide, David Hume1  menyebutnya dengan 

kesan atau impresi, Betrand Russell1  menyebutnya dengan data 

inderawi. Aliran ini juga berprinsip bahwa pengetahuan atau 

kepercayaan yang dapat diterima tentang dunia luar dengan cara 

menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta dari gambaran mental. 

Objek baginya harus terpisah dari fikiran dan fakta harus 

dijelaskan dengan penjelasan yang memadai dari data inderawi. 

Metode yang digunakan aliran empirisme yaitu  metode induksi.

Pengalaman inderawi atau persepsi yaitu  salah satu hal 

yang penting dalam empirisme. Persepsi ini merupakan hasil 

cerapan panca indera terhadap fenomena alam. Hampir semua 

aliran filsafat baik di Barat maupun Islam menerima persepsi ini 

sebagai sumber pengetahuan, meskipun kedudukannya berbeda. 

Aliran empirisme berprinsip bahwa indera yaitu  sumber utama 

pengetahuan bukan rasio. Sedangkan aliran internalisme

mempercayai kebenaran sebuah pengetahuan dapat diterima bila 

pengetahuan ini  dapat dipertanggungjawabkan secara 

rasional baik dengan refleksi kognitif maupun penalaran.1  Dari 

penjelasan ini , rasionalisme dan idealisme termasuk pada 

aliran internalisme ini.

Rasionalisme mengakui akal sebagai sumber pengetahuan, 

meskipun akal diakui sebagai sumber pengetahuan tidak hanya

oleh aliran rasionalisme tapi juga aliran-aliran lain. Perbedaannya 

yaitu  kapasitas dan prioritas dalam mengakui dan memakai  

akal. Aliran rasionalisme berprinsip bahwa akal yaitu  sumber 

pengetahuan yang paling penting dan paling utama, meskipun 

mereka juga mengakui dan memakai  sumber lain seperti 

indera. Aliran rasionalisme memakai  metode deduksi dalam 

proses pengetahuan dan pengambilan kesimpulan.

Di samping rasionalisme, idealisme juga termasuk ke 

dalam aliran internalisme. Idealisme ini berprinsip bahwa tidak 

ada yang disebut dunia eksternal, semuanya ada dalam ide dan ada 

dalam fikiran. Dengan demikian, persepsi hanyalah sebuah proses 

pengalaman terhadap yang tidak ada kaitannya dengan ide.

Pembahasan tentang sumber pengetahuan terkait dengan aliran 

internalisme dan ekternalisme tentu saja dapat diperluas terkait 

dengan beberapa sumber-sumber lain yang cukup banyak dibahas 

dalam buku-buku epistemologi. Sumber-sumber lain ini  

yaitu  di antaranya intuisi, tradisi, memori, sejarah, dan otoritas

serta wahyu.

Intuisi ini telah dikenal sejak filsafat Yunani kuno pada 

masa Plato   dan Plotinus.  Pada zaman modern, istilah intuisi sebagai sumber pengetahuan dikembangkan oleh Henry Bergson.  

Intuisi berbeda dengan akal dan indera, ia lebih merupakan 

kekuatan rohani dalam melihat dan mencari pengetahuan. Oleh 

karena itu, tidak semua sepakat bahwa intuisi ini sebagai sumber 

pengetahuan terutama bagi mereka yang memegang teguh aliran 

empirisme dan rasionalisme. Dalam filsafat pengetahuan Islam, 

intuisi ini lebih dekat kepada epistemologi irfa>ni.> Sedangkan 

memori pada dasarnya memiliki peranan penting dalam 

pengetahuan. Pertanyaan epistemologis terkait dengan memori 

sering muncul yaitu  bagaimana mengetahui kejadian yang 

diingat benar-benar terjadi? Apa dasarnya mempercayai p ketika 

ingat p? Adapun bagi Muthahari, sumber pengetahuan yaitu  

alam, rasio, hati, dan sejarah.   Sementara menurut Juhaya S. 

Praja, sumber pengetahuan yaitu  tradisi dan otoritas.

  

Dari berbagai pendapat dan aliran epistemologi yang 

diuraikan di atas, dasar dan sumber pengetahuan meliputi indera, 

rasio, intuisi, memori, tradisi, sejarah, otoritas, dan wahyu.

. Objek dan Struktur Pengetahuan

Secara sederhana, objek pengetahuan yaitu  jawaban dari 

pertanyaan yang dalam bahasa Inggris wh yaitu siapa (who), apa 

(what), kapan(when), dimana (where) dan seterusnya. Secara 

epistemologis, masalah objek pengetahuan harus dibedakan antara 

objek kebenaran (object of truths) dan objek pengetahuan (object 

of knowledge). Objek kebenaran berhubungan dengan proposisi 

dan objek pengetahuan berhubungan dengan entitas. Perbedaan 

keduanya sangat tergantung dengan aspek teoretis dan 

filosofisnya. Pada aplikasinya, objek pengetahuan dalam bentuk 

entitas ini  dapat dianalisa dengan objek kebenaran dalam 

bentuk proposisi. Jawaban mengapa dan bagaimana tentu saja 

secara teoretis lebih kompleks dibandingkan dengan pertanyaan 

apa, siapa, dimana, dan kapan. Objek kebenaran lebih dekat 

kepada pengetahuan a priori, sedangkan objek pengetahuan lebih 

dekat kepada a postriori.

   Dengan kata lain, Objek pengetahuan 

dapat ditangkap dengan panca indera dan objek kebenaran dapat 

ditangkap dengan pikiran (objects of perceptible and 

intelligible).  

Objek pengetahuan yaitu  hal atau materi yang menjadi 

perhatian atau pembahasan dari pengetahuan. Yusuf Akhyar 

dengan mengutip Honderich (1   ) menyebutkan enam objek 

pengetahuan yaitu gejala alam fisis, masa lalu, masa depan, nilai￾nilai, abstraksi, dan pikiran. Keenam objek ini  oleh Popper

digabungkan menjadi tiga objek yaitu dunia I-III. Dunia I yaitu  

berkaitan dengan fenomena alam fisis, dunia II berhubungan 

dengan alam pikiran, dan dunia III yaitu  segala hal terkait 

dengan teori yang ada dalam buku, tulisan, dan budaya.

  

Dalam konteks struktur pengetahuan, epistemologi paling 

tidak dibagi menjadi dua aliran yaitu fondasionalisme dan 

koherentisme.   Fondasionalisme menggambarkan pengetahuan 

ibarat sebuah bangunan yang harus memiliki fondasi yang kokoh dan kuat agar dapat diterima kebenarannya.   Berbeda dengan 

fondasionalisme, aliran koherentisisme menggambarkan 

pengetahuan seperti sebuah jaringan (web). Jaringan yang bagus 

yaitu  yang menghubungkan setiap titik tanpa terputus.   Struktur 

total pengetahuan dalam bentuk jaringan raksasa dilingkupi oleh 

batas-batas pengetahuan yang diperoleh dengan observasi melalui 

indera.  Struktur pengetahuan lain yaitu  struktur pengetahuan 

dengan penjelasan logis atau deduktif.  

 . Jenis Pengetahuan 

Berdasarkan perbedaan dasar, metode, struktur, dan 

validitas pengetahuan paling tidak ada  tiga jenis 

pengetahuan. Tiga jenis pengetahuan ini  yaitu  pengetahuan 

ilmiah, pengetahuan moral, dan pengetahuan agama. Pengetahuan 

ilmiah yaitu  pengetahuan yang diperoleh dan dipertanggung￾jawabkan kebenarannya sesuai dengan metode ilmiah. Fokus dan 

dasar pengetahuan ilmiah yaitu  berlaku umum, induktif, 

percobaan dan penelitian. Pengetahuan ilmiah sangat tergantung 

pada konteks penemuan dan konteks pembenarannya (context of 

discovery and context of justification). Sifat kebenaran 

pengetahuan ilmiah yaitu  probabilitas yang berarti hanya 

mendekati kebenaran.  

Jenis pengetahuan yang kedua yaitu  pengetahuan moral. 

Pengetahuan ini cenderung diperdebatkan terutama terkait dengan 

objektifitas dan universalitasnya. Berbagai pandangan dan aliran 

berkembang terkait dengan pengetahuan moral ini. Aliran-aliran 

ini  antara lain objektivisme, subjektivisme, relativisme, 

absolutisme, utilitarisme, dan intuisionisme.   Selain pengetahuan 

moral, pengetahuan agama yaitu  jenis pengetahuan yang juga 

sering diperdebatkan eksistensinya. Terlepas dari segala 

perdebatan tentang pengetahuan agama, paling tidak sampai saat 

ini belum tidak alasan yang kuat dan rasional untuk menyangkal adanya pengetahuan agama, termasuk juga terhadap pengetahuan 

moral.  

 . Jenis dan Metode Epistemologi 

Sudarminta menjelaskan ada tiga macam epistemologi 

berdasarkan cara kerja atau metode pendekatannya. Pertama, 

epistemologi metafisis yaitu epistemologi yang bertolak dari 

pengandaian metafisika dengan membahas bagaimana manusia 

mengetahui kenyataan seperti epistemologi Plato yang melihat 

kenyataan sejati yaitu  dalam dunia ide. Kedua, epistemologi 

skeptis yaitu meragukan dahulu pengetahuan yang kita miliki dan 

kemudian membuktikannya agar tidak ragu lagi akan 

kebenarannya seperti epistemologi Descartes. Ketiga, 

epistemologi kritis yaitu epistemologis yang beranjak dari asumsi, 

prosedur dan kesimpulan akal sehat ataupun asumsi, prosedur dan 

kesimpulan ilmiah.  

 

Selain ketiga jenis epistemologi di atas, Akhyar Yusuf 

menambahkan dua jenis epistemologi lagi berdasarkan 

perkembangannya yaitu epistemologi individual dan epistemologi 

sosial. Permasalahan pengetahuan tentang pengamatan (persepsi), 

rasionalitas, dan justifikasi selalu dianggap berkaitan dengan 

individu dan terlepas dari dimensi sosial. Sementara epistemologi 

sosial selalu berkaitan dengan pengetahuan yang berdimensi 

sosial. Epistemologi sosial berkembang terutama setelah 

posmodernisme, pos-strukturalisme, dan pospositivisme.  

 

Al-Jābirī menjelaskan tiga jenis metode epistemologi

dalam Islam atau epistemologi Arab. Ketiga metode epistemologi 

ini  yaitu  demonstrasi (burhāni), penjelasan (bayāni), dan 

illuminasi (ʿirfāni). Berrdasarkan ketiga metode inilah Al-Jābirī

membagi tiga jenis sains. Pertama yaitu  ilmu-ilmu penjelasan 

(ʿulūm al-bayān) meliputi tata bahasa, hukum (fiqh), teologi

dialektis (ka>la>m), dan retorika (balāgha). Masing-masing ilmu 

ini  didasarkan pada sebuah sistem epistemologi dengan cara 

menganalogikan yang tidak dapat dilihat (ghāʾib) dengan yang 

dapat diamati (shāhid) sebagai metode untuk menghasilkan 

pengetahuan. Inilah yang disebut dengan ‚Arabic religious reason‛ 

(al-maʿqūl al-dīnī al-ʿarabī),‛ yang terikat oleh ranah diskursif (al￾majāl al-tadāwul). Kedua yaitu  ilmu-ilmu illuminasi (ʿulūm al-

irfān) yang meliputi tasawuf, pemikiran Shi’ah, filsafat ismaili, 

tafsir esoteris, filsafat illuminasi, alkimia, terapi spiritual, magis, 

dan astrologi. Semua jenis ilmu ini didasarkan atas sistem 

epistemologi tunggal yang metode pengungkapan dan penyatuan 

(al-kashf wa al-wiṣāl)‛ dan simpati serta antipati (al-tajādhdhub 

wa-al-tadāffuʿ). Ketiga yaitu  ilmu-ilmu demonstratif (ʿulūm al￾burhān) yang meliputi logika, matematika, ilmu-ilmu alam, 

filsafat ketuhanan, dan metafisika. Semua jenis ilmu ini  

didasarkan pada sebuah sistem epistemologi tunggal yaitu 

observasi dengan pengalaman inderawi dan deduksi.

  

Secara singkat dapat dikatakan bahwa model epistemologi 

yang berkembang sejak Yunani kuno, filsafat Islam, dan filsafat 

modern paling tidak memiliki kesamaan dari dasar dan metodenya 

meskipun masing-masing mempunyai distingsinya. Dalam 

pemikiran Islam dikenal dengan epistemologi baya>ni, burha>ni, dan 

‘irfa>ni. Epistemologi di Barat dikenal dengan epistemologi 

rasionalisme, empirisme, dan kritisisme dengan segala 

derivasinya. Secara makna dan penerapan baik epistemologi yang 

di Barat maupun Islam memiliki kesamaan dan perbedaan.

Epistemologi Barat, rasionalisme, empirisme, dan kritisisme

dalam banyak hal tidak tepat digunakan sebagai dasar dan alat 

dalam mengembangkan epistemologi dan filsafat keilmuan 

Islam.

   Pada dasarnya, epistemologi baya>ni, irfa>ni, dan burha>ni

lebih tepat untuk digunakan dalam memahami konsep-konsep 

filosofis keilmuan Islam.

Semua jenis epistemologi ini  di atas baik Barat 

maupun Islam telah berperan penting dalam membentuk

pandangan dunia (world view) dan peradaban masing-masing, 

bahkan saling memengaruhi satu sama lainnya. Modernisme di 

Barat sangat didominasi oleh epistemologi Newtonian-Cartesian

yang bersifat mekanistik-rasionalis.   Sementara epistemologi 

Islam pada dasarnya tidak terlepas dari epistemologi baya>ni￾irfa>ni-burha>ni. Dalam sejarah filsafat, diskursus epistemologi telah 

berlangsung sejak filsafat Yunani Kuno.  Filsafat Yunani Kuno 

sebelum Socrates   berupaya untuk menemukan sebuah 

pertanyaan ontologis dari mana alam semesta ini berasal serta zat 

apa yang paling utama dari segala yang ada. Pertanyaan ontologis 

ini  tentu saja dijawab sesuai dengan epistemologi yang 

mereka pahami. Sebagian besar filsuf sebelum Socrates 

memberi  konsep bahwa asal mula semesta dan zat yang paling 

utama merujuk kepada alam seperti air menurut Thales,   udara 

menurut Anaximenes,   dan lain sebagainya. Oleh karena itu, epistemologi pra Socrates ini dikenal sebagai epistemologi filsafat 

alam.   Berbeda dengan para filsuf alam Thales dan Anaximenes, 

Anaximander   memandang yang utama yaitu  sesuatu yang tak 

terbatas namun tetap dalam kerangka menjawab unsur utama dari 

segalanya.

Epistemologi pada masa Socrates kemudian bergeser 

menjadi epistemologi antroposentris (manusia sebagai sentral) 

setelah sebelumnya ada masa sofisme   antara filsafat pra Socrates 

dan Socrates. Socrates kemudian merumuskan epistemologi yang 

berpusat pada manusia yang terkenal dengan Gnothi Seathon 

yaitu mengenal diri. Orientasi epistemologis ini  ia 

kembangkan dengan cara dialog. Epistemologi Socrates ini 

kemudian dikembangkan lebih jauh oleh muridnya Plato yang 

lebih menekankan pada idealisme. Aristoteles meski berbeda 

dengan Socrates dan Plato, namun ia tetap berupaya membangun 

sebuah epistemologi, bahkan pemikiran Aristoteles ini banyak 

memengaruhi filsafat dan sains setelahnya termasuk filsafat Islam. 

Dalam konteks ini, epistemologi Yunani Kuno sebagai 

epistemologi yang banyak memengaruhi peradaban manusia sulit 

untuk dibantah.

Pada masa keemasan Islam, epistemologi memainkan 

peran yang sangat penting. Kemajuan Islam tidak terlepas dari 

bagaimana umat Islam memahami dan memaknai epistemologi 

pada masa itu. Dorongan secara teologis dalam ajaran Islam 

seperti yang ada  dalam al-Qur’an dan hadis serta diperkuat oleh keterbukaan terhadap nilai-nilai luar yang sesuai dengan 

Islam menjadi faktor penting bagi perkembangan konsep 

epistemologi di dunia Islam. Epistemologi yang didasarkan pada 

wahyu dan pola pikir yang terbuka ini  apalagi diperkuat 

dengan kamauan politik dari khalifah pada masa itu menghasilkan 

peradaban Islam yang maju, kuat, dan berpengaruh. Pada masa 

ini  muncul banyak filsuf, ilmuwan dan teolog yang memiliki 

kemampuan luar biasa dan berpengaruh. Sebagian besar mereka 

tidak hanya menguasai sains dan filsafat secara baik, tapi juga 

memiliki pemahaman keislaman yang kuat dan baik pula. Pada 

masa inilah, epistemologi Islam sebagai sebuah pandangan dunia 

(world view) yang distingtif dan kokoh serta sangat berbeda 

dengan epistemologi modern yang menghasilkan sains yang maju 

sesuai zamannya. 

Pada sisi lain, perkembangan pemikiran di Barat pada 

abad pertengahan (masa patristik dan skolastik)   yang 

berkembang yaitu  epistemologi teosentris yang menjadikan 

kekuasaan Tuhan sebagai paradigma utama dalam segala aspek 

kehidupan. Agama (Kristen) begitu mendominasi segala hal

sehingga perkembangan ilmu dan filsafat cenderung terhambat.

Epistemologi teosentris ini didobrak oleh para pemikir Barat pada 

awal abad modern. Mereka yaitu  Francis Bacon, Giodarno 

Bruno, dan Nicollo Machiavelli. Salah satu yang mereka kritik 

yaitu  teori geosentris dan mendukung secara terbuka teori 

heliosentris. Bacon melakukan gebrakan dalam bidang filsafat

ilmu, Bruno dalam filsafat ketuhanan, dan Machiavelli dalam 

filsafat sosial dan politik.Perkem