Tampilkan postingan dengan label ayub 20. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 20. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 20


 atan yang besar, dan selalu 

berseru keras meminta pembalasan. Barang siapa tidak me-

nunjukkan belas kasihan kepada orang-orang yang demikian, 

akan dihukum tanpa belas kasihan pula. Contoh lain dari 

perlakuan keji orang fasik atas orang-orang yang mereka man-

faatkan yaitu  bahkan merampas dari orang-orang tersebut 

makanan dan pakaian yang menjadi keperluan mereka hidup 

mereka sehari-hari. Orang-orang itu diperas sedemikian rupa 

sehingga dengan telanjang mereka berkeliaran (ay. 10), sampai 

mati sendiri. Dan jika sebuah keluarga miskin yang kelaparan 

telah mengumpulkan setumpuk gandum, untuk membuat 

sedikit roti untuk dapat dimakannya dan kemudian mati, itu 

pun bahkan diambil dari mereka. Demikianlah orang fasik 

senang melihat mereka binasa sebab  kekurangan, sementara 

diri mereka sendiri mendapat makan sampai kenyang.  

4.  Orang fasik sangat menindas para pekerja yang bekerja untuk 

mereka. Mereka tidak hanya tidak memberi upah, kendati 

pekerja layak untuk mendapatkan upah (dan ini merupakan 

dosa yang berteriak-teriak, Yak. 5:4), namun  juga tidak memberi 

mereka cukup makanan dan minuman: Dengan kelaparan me-

reka memikul berkas-berkas gandum. Demikian yang dibaca 

oleh beberapa orang (ay. 10), dan memang sesuai dengan ayat 

11, bahwa mereka yang membuat minyak, dengan kerja keras 

di tempat-tempat pengirikan, namun menderita kehausan, 

yang lebih parah daripada memberangus mulut lembu yang 

sedang mengirik gandum. Tuan-tuan tersebut lupa bahwa me-

reka memiliki seorang Tuan di sorga yang tidak akan membiar-

kan mereka melalaikan kebutuhan hidup para hamba dan 

pekerja, yang tidak peduli apakah mereka dapat hidup dengan 

pekerjaan mereka atau tidak.  

5.  Tidak hanya di kalangan orang-orang desa yang miskin, namun  

juga di kota-kota, kita melihat air mata dari orang-orang yang 

tertindas (ay. 12): Dari dalam kota terdengar rintihan orang-

orang, di mana para pedagang dan pengusaha kaya berlaku 

sama kejamnya terhadap orang-orang yang berutang seperti 

yang dilakukan tuan-tuan tanah terhadap para penyewa tanah 

yang miskin di desa-desa. Di kota tindakan kejam demikian 

yang seperti ini lebih jelas terlihat daripada yang terjadi di 

sudut-sudut negeri yang jauh. Dan orang-orang yang dirugi-

kan di kota-kota memiliki jalan yang lebih mudah untuk men-

cari keadilan untuk membela diri, namun para penindas di 

sana tidak takut akan pengekangan hukum atau kecaman dari 

sesama mereka. Orang-orang yang ditindas tetap  saja menge-

rang dan berteriak-teriak seperti orang yang terluka, dan tidak 

dapat menjadi lebih tenang atau menolong diri sendiri, sebab 

para penindas tidak peduli dan tuli terhadap aduhan mereka.  

II. Ayub berbicara tentang para perampok, dan orang-orang yang 

berbuat kejahatan dengan memakai kekerasan, seperti gerombol-

an orang-orang Syeba dan Kasdim, yang baru-baru ini menjarah 

dirinya. Ia tidak menyebut mereka secara khusus, takut dia akan 

tampak berpihak pada kepentingannya sendiri, dan menilai ma-

nusia (seperti yang biasa kita lakukan) berdasarkan bagaimana 

sikap mereka terhadap kita. Namun di antara orang-orang Arab, 

anak-anak dari timur yaitu negeri Ayub, ada orang-orang yang 

hidup dengan rampasan dan curian, dengan menyergap para 

tetangga mereka dan merampok para pelancong. Lihatlah bagai-

mana mereka digambarkan di sini dan kejahatan yang mereka 

lakukan (ay. 5-8).  

1.  Sifat mereka yaitu  seperti keledai liar di padang gurun, tidak 

bisa jinak, tidak terlacak, tidak berpikiran sehat, semua sifat 

Ismael (Kej. 16:12), buas dan ganas, dan tidak hidup di bawah 

kekangan hukum atau pemerintahan (Yer. 2:23-24). Mereka 

memilih padang gurun sebagai tempat tinggal mereka, supaya 

mereka hidup tanpa hukum dan terisolir dari masyarakat, dan 

supaya mereka memiliki kesempatan untuk melakukan lebih 

banyak kejahatan. Padang gurun memang yaitu  tempat yang 

paling cocok bagi orang-orang liar seperti itu (39:6). namun  

tidak ada padang gurun yang dapat menjauhkan manusia dari 

jangkauan mata dan tangan Allah.  

2. Usaha mereka yaitu  mencuri dan memangsa semua orang 

yang ada di sekeliling mereka. Mereka  telah memilih perbuat-

an itu sebagai usaha dagang mereka. Itulah pekerjaan mereka, 

sebab  ada lebih banyak yang didapat melaluinya, dan didapat 

dengan lebih mudah, ketimbang melalui suatu usaha yang 

jujur. Mereka mengerjakannya terus sebagai usaha mereka, 

mengikutinya dengan saksama. Manusia keluarlah ke pekerja-

annya, seperti orang-orang ke usahanya (Mzm. 104:23). Mere-

ka rajin dan bersusah payah melakukannya: seperti keledai 

liar di padang gurun mereka keluar untuk bekerja mencari apa-

apa di padang belantara sebagai makanan bagi anak-anak me-

reka (KJV: mereka keluar mencari mangsa). Kalau seorang pe-

lancong keluar melakukan perjalanan pagi-pagi sekali, mereka 

akan segera keluar untuk merampoknya. Mereka hidup dengan 

cara itu seperti orang yang hidup dengan usaha dagangnya: Pa-

dang gurun (bukan tanah melainkan jalanan di sana) menjadi 

apa-apa sebagai makanan bagi anak-anak mereka. Mereka 

mempertahankan diri dan keluarga mereka dengan merampok 

di jalan raya, dan memberkati diri sendiri dengannya tanpa 

penyesalan, belas kasihan atau hati nurani, dengan rasa aman 

yang besar seperti seakan-akan yang didapat secara jujur. 

Seperti yang diperbuat Efraim (Hos. 12:7-8).  

3. Lihatlah kejahatan yang mereka lakukan terhadap negeri. Me-

reka tidak hanya merampok para pelancong, namun  juga me-

nyerbu para tetangga mereka, dan mengambil setiap hasil pa-

nen di ladang (ay. 6), yaitu, mereka masuk ke tanah rumah 

orang, mengambil panen gandum mereka, dan membawa ke-

luar dengan bebas seolah-olah milik sendiri. Bahkan mereka 

mengumpulkan hasil panen anggur, dan itulah kejahatan mere-

ka. Atau, sebagaimana kita baca, mereka mengumpulkan hasil 

panen anggur orang yang fasik, dan dengan demikian satu 

orang jahat menjadi momok bagi yang lain. Apa yang didapat 

orang fasik melalui kekerasan (yaitu dengan cara mencuri) 

didapat oleh para perampok ini dengan cara mencuri. Jadi 

sering kali para penjarah dijarah (Yes. 33:1).  

4.  Penderitaan orang-orang yang terjatuh ke dalam tangan mere-

ka (ay. 7-8): Mereka menyebabkan telanjang, siapa yang telah 

mereka lucuti, dengan tidak meninggalkan sehelai pakaian 

pun, untuk bermalam, di malam yang dingin, tanpa pakaian, 

sehingga oleh hujan lebat di pegunungan mereka basah kuyup, 

dan sebab  tidak ada tempat berlindung, mereka mengimpitkan 

badannya pada gunung batu, dan senang dengan sebuah gua 

atau ruang di dalamnya untuk menjaga diri dari buruknya 

cuaca. Elifas telah menuduh Ayub bertindak tidak manusiawi 

seperti ini, dan menyimpulkan bahwa Penyelenggaraan Allah 

tidak akan mengambil semua kemakmurannya seandainya dia 

tidak terlebih dahulu merampas pakaian orang-orang yang 

melarat (22:6). Ayub di sini memberi tahu dia bahwa ada

 orang-orang yang sungguh-sungguh bersalah atas kejahatan 

tersebut, yang dengannya dia dituduh secara tidak adil, na-

mun makmur dan berhasil dalam kejahatan mereka. Namun 

demikian mereka tetap hidup di bawah kutukan meskipun 

tidak tampak. Bagi Ayub, lebih baik berdebat dengan cara 

memberikan suatu contoh kejahatan besar lalu menyimpulkan 

bahwa ada hukuman yang tersembunyi di masa depan untuk 

kejahatan itu, daripada berlaku seperti Elifas, yang hanya me-

makai penderitaan sekarang lalu menyimpulkan bahwa orang 

telah melakukan suatu kejahatan tersembunyi di masa lalu 

sehingga mengakibatkan penderitaan itu. Para penindas dan 

penjarah seperti digambarkan di atas sepertinya kebal dari 

penghukuman, seperti diungkapkan dalam perkataan ini (ay. 

12): namun  Allah tidak mengindahkan doa mereka, yaitu, Ia 

tidak segera mendakwa mereka dengan hukuman atas keja-

hatan ini, atau menjadikan mereka contoh keadilan-Nya, dan 

sebab nya menunjukkan kebodohan mereka ke seluruh dunia. 

Ia yang menggaruk kekayaan secara tidak halal, pada kesu-

dahan usianya ia terkenal sebagai seorang bebal (Yer. 17:11). 

namun  sementara hidup makmur, ia menjadi orang bodoh, dan 

saat itulah Allah menertawakan kebodohannya, Hai engkau 

orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari 

padamu (Luk. 12:20). 

Kekebalan Hukum Para Pelanggar Sekarang Ini 

(24:13-17) 

13 Ada lagi golongan yang memusuhi terang, yang tidak mengenal jalannya 

dan tidak tetap tinggal pada lintasannya. 14 Pada parak siang bersiaplah si 

pembunuh, orang sengsara dan miskin dibunuhnya, dan waktu malam ia 

berlaku seperti pencuri. 15 Orang yang berzinah menunggu senja, pikirnya: 

Jangan seorang pun melihat aku; lalu dikenakannya tudung muka. 16 Di 

dalam gelap mereka membongkar rumah, pada siang hari mereka bersem-

bunyi; mereka tidak kenal terang, 17 sebab  kegelapan yaitu  pagi hari bagi 

mereka sekalian, dan mereka sudah biasa dengan kedahsyatan kegelapan. 

Ayat-ayat ini menjelaskan jenis lain dari para pendosa yang terus 

berjalan dalam kejahatan mereka tanpa dihukum, sebab  tidak ter-

ungkap. Ada lagi golongan uang memusuhi terang (ay. 13). Beberapa 

penafsir memahaminya secara kiasan: mereka berdosa terhadap te-

rang alam, terang hukum Allah, dan terang hati nurani mereka sen-

diri. Mereka mengaku mengenal Allah, namun  mereka memberontak 

terhadap pengetahuan yang mereka miliki tentang Dia, dan tidak 

mau dituntun dan diatur, diperintah dan dikendalikan olehnya. Pe-

nafsir lain memahaminya secara harfiah: mereka memiliki siang hari 

namun  memilih malam sebagai waktu yang paling menguntungkan 

bagi kejahatan mereka. Perbuatan dosa sebab nya disebut perbuatan 

kegelapan, sebab  barangsiapa berbuat jahat, membenci terang (Yoh. 

3:20), tidak mengenal jalannya, yaitu, menghindarinya, atau, jika 

kebetulan terlihat, tidak lagi berdiam di tempat yang dipikirkannya 

dia telah diketahui orang. sebab  itu di sini Ayub menjelaskan yang 

paling buruk dari para pendosa, yaitu orang-orang yang sengaja ber-

buat dosa, dan melawan keyakinan hati nuraninya sendiri, yang de-

ngan begitu menambah pemberontakan kepada dosa, yang melaku-

kannya dengan banyak rancangan dan akal, memakai ribuan cara 

untuk menyembunyikan kejahatan mereka, dan membayangkan bah-

wa, jika mereka dapat menyembunyikannya dari mata orang, maka 

mereka akan aman, mereka ini lupa bahwa tidak ada kegelapan atau-

pun kelam kabut di mana orang-orang yang melakukan kejahatan da-

pat bersembunyi dari mata Allah (34:22). Dalam ayat-ayat di atas Ayub 

menyebutkan tiga jenis orang berdosa yang menghindari terang:  

1. Pembunuh (ay. 14). Pada parak siang bersiaplah si pembunuh, 

yaitu mereka muncul segera sesudah fajar, untuk membunuh 

para pelancong malang yang pagi-pagi benar berangkat untuk be-

kerja, yang pergi ke pasar dengan bekal uang atau barang sedikit. 

Meskipun begitu sedikit uang mereka sehingga benar-benar dise-

but miskin dan berkekurangan, uang yang diperoleh dengan su-

sah payah, masih juga si pembunuh mau mengambil nyawa me-

reka dengan bertaruh nyawanya sendiri, lebih suka merampok 

kecil-kecilan seperti ini daripada tidak sama sekali. Bahkan dia 

membunuh sebab  mau membunuh, lebih haus akan darah dari-

pada barang rampasan. Lihatlah betapa dengan teliti dan susah 

payahnya orang fasik menjalankan rancangan jahat mereka. Ka-

rena itu kiranya pemandangan tersebut membuat kita malu de-

ngan kelalaian dan kelambanan kita dalam berbuat baik. 

Ut jugulent homines, surgunt de nocte latrones,  

Tuque ut te serves non expergisceris? –  

Penjahat muncul tengah malam untuk membunuh  

demi uang. Tidakkah engkau bangun untuk melindungi diri?  

2. Pezinah. Mata mereka penuh nafsu zinah (2Ptr. 2:14), mata yang 

najis dan cabul, menunggu senja (ay. 15). Mata pezinah berbuat 

demikian (Ams. 7:9). Perzinahan menyembunyikan kepalanya ka-

rena rasa malu. Orang-orang berdosa, bahkan yang paling kurang 

ajar, berbuat sebisa mungkin untuk menyembunyikan dosa me-

reka: si non caste, tamen caute – jika tidak dengan sopan, pasti 

dengan hati-hati. Namun sekalipun segala cara rendah sudah 

mereka lakukan untuk melenyapkan celaannya, tetap saja menye-

butkan saja pun apa yang dibuat oleh mereka di tempat-tempat 

yang tersembunyi telah memalukan (Ef. 5:12). Kepalanya pun 

disembunyikan sebab  takut, sebab  cemburu yaitu  geram 

seorang laki-laki, ia tidak kenal belas kasihan pada hari pembalas-

an dendam (Ams. 6:34). Lihatlah jerih payah orang-orang yang 

membuat persediaan makanan bagi daging mereka untuk meme-

nuhi hawa nafsunya, susah payah dalam mendapatkannya, lalu 

menyembunyikannya, yaitu persediaan tersebut, yang pada akhir-

nya akan mendatangkan kematian dan neraka. Sedikit susah 

payah sebenarnya mampu untuk mematikan dan menyalibkan 

kedagingan, yang akan menjadi kehidupan dan sorga pada akhir-

nya. Maka hendaklah orang berdosa mengubah hatinya, dan dia 

tidak perlu lagi menyamarkan wajahnya, melainkan dapat meng-

angkatnya tanpa malu.  

3. Pembongkar rumah (ay. 16). Orang-orang ini menandai rumah-

rumah di siang hari, menandai jalan-jalan ke sebuah rumah, dan 

dari sisi mana mereka paling mudah untuk dapat memaksa 

masuk, lalu di malam hari, menerobos masuk, entah untuk mem-

bunuh atau mencuri atau melakukan perzinahan. Malam hari 

menguntungkan penjahat, dan membuat pertahanan lebih sukar. 

Sebab, tuan rumah tidak tahu pukul berapa pencuri akan datang 

(Luk. 12:39), sehingga ia dan seisi rumahnya menghadapi bahaya. 

Di Inggris, untuk alasan inilah maka hukum menetapkan per-

buatan masuk rumah orang dengan paksa di malam hari dengan 

suatu niat jahat sebagai kejahatan yang tidak mendapat pendam-

pingan rohaniwan. 

Dan, akhirnya, Ayub mengamati (dan mungkin mengamatinya se-

bagai bagian dari hukuman (meskipun masih tersembunyi) yang se-

karang menimpa orang-orang berdosa seperti ini), yaitu bahwa me-

reka terus-menerus berada dalam ketakutan diketahui (ay. 17, KJV): 

Pagi hari bagi mereka bahkan seperti lembah bayang-bayang maut. 

Terang hari, yang disambut gembira oleh orang-orang baik dan jujur, 

merupakan suatu kengerian bagi orang jahat. Mereka mengutuk 

matahari, bukan seperti orang Moor di Afrika, sebab  menghangus-

kan mereka, melainkan sebab  membuat mereka ketahuan. Apabila 

seseorang mengetahui mereka, hati nurani mereka menghantam 

muka mereka, dan mereka menjadi penuduh diri sendiri. Sebab 

mereka ketakutan akan lembah bayang-bayang maut (KJV). Rasa malu 

masuk bersama dengan dosa, dan rasa malu abadi menanti di ujung-

nya. Lihatlah kesusahan orang-orang berdosa, mereka dihadapkan 

kepada ketakutan yang terus-menerus. Bahkan lihatlah kebodohan 

mereka, mereka takut diawasi orang, namun  tidak punya rasa takut 

terhadap mata Allah, yang selalu mengawasi mereka. Mereka tidak 

takut melakukan apa yang mereka paling takuti diketahui kalau me-

lakukannya.  

Kehancuran Akhir Orang Fasik  

(24:18-25) 

18 Mereka hanyut di permukaan air, bagian mereka terkutuk di bumi; mereka 

tidak lagi pergi ke kebun anggur mereka. 19 Air salju dihabiskan oleh kema-

rau dan panas, demikian juga dilakukan dunia orang mati terhadap mereka 

yang berbuat dosa. 20 Rahim ibu melupakan dia, berenga mengerumitnya, ia 

tidak diingat lagi: kecurangan dipatahkan seperti pohon kayu. 21 Ia menjarahi 

perempuan mandul, yang tidak beranak, dan tidak berbuat baik terhadap 

seorang janda, 22 bahkan menyeret orang-orang perkasa dengan kekuatan-

nya; ia bangun kembali, namun  hidupnya tidak terjamin. 23 Allah memberinya 

keamanan yang menjadi sandarannya, dan mengawasi jalan-jalannya.  

24 Hanya sebentar mereka meninggikan diri, lalu tidak ada lagi; mereka 

luruh, lalu menjadi lisut seperti segala sesuatu, mereka dikerat seperti hulu 

tangkai gandum. 25 Jikalau tidak demikian halnya, siapa berani menyanggah 

aku dan meniadakan perkataanku?” 

Ayub di sini, di bagian akhir dari percakapannya, 

I. Memberi contoh-contoh lebih lanjut tentang kejahatan orang-

orang kejam yang haus darah ini.  

1. Sebagian yaitu  para perompak dan perompak di lautan. Me-

nurut banyak penafsir terpelajar, orang-orang fasik inilah yang 

dimaksud dalam ayat 18, Mereka hanyut di permukaan air. 

Kapal-kapal mereka berlayar dengan para pelaut terbaik. De-

ngan kapal-kapal mereka yang cepat mereka berlayar dari satu 

pelabuhan ke pelabuhan yang lain, untuk menjemput upeti. 

Dan hal ini memberi mereka begitu banyak kekayaan sehing-

ga bagian mereka terkutuk di bumi, dan mereka tidak lagi pergi 

ke kebun anggur mereka, yaitu (seperti dijelaskan oleh Uskup 

Patrick), mereka memandang rendah pekerjaan orang-orang 

yang mengelola tanah dan menanam kebun anggur sebagai 

miskin dan tak menguntungkan. namun  sebagian penafsir lain 

mengartikan ayat ini sebagai penjelasan lebih lanjut tentang 

perilaku orang-orang berdosa yang takut akan terang: jika me-

reka diketemukan, mereka akan kabur secepat mungkin, dan 

memilih untuk bersembunyi, tidak di dalam kebun anggur, 

sebab  takut diketemukan, melainkan di dalam suatu tempat 

yang terkutuk, suatu tempat yang jauh dan terasing, yang 

tidak akan dicari orang.  

2. Sebagian orang fasik lagi melecehkan orang-orang yang ada di 

dalam masalah, dan menambahkan bencana kepada yang ter-

timpa bencana. Kemandulan dipandang sebagai suatu aib 

yang hebat, dan orang yang terjatuh di bawah bencana terse-

but dihina mereka, seperti Penina menghina Hana. Mereka se-

ngaja membuat orang-orang itu kesal dan resah, yang merupa-

kan perbuatan yang keji. Ini seperti menjarahi perempuan 

mandul (ay. 21), atau yang tidak beranak, yang tidak punya 

anak panah dalam tabung panahnya untuk menghadapi mu-

suh di pintu gerbang (Mzm. 127:5). Mereka mengambil keun-

tungan dari dan menindas mereka. Seperti anak-anak yatim, 

demikian pula ibu-ibu yang tidak beranak, di dalam hal terten-

tu mereka tidak berdaya. Untuk alasan yang sama, merupa-

kan suatu hal yang kejam untuk melukai janda, yang kepada-

nya kita harus berbuat baik. Dan tidak berbuat baik, padahal 

kita mampu, sama saja dengan menyakiti orang lain.  

3. Ada orang-orang yang, sebab  terbiasa melakukan kekejaman, 

akhirnya menjadi luar biasa semena-mena sehingga mereka 

menjadi ketakutan terhadap pahlawan-pahlawan … dunia 

orang-orang hidup (ay. 22): “Ia menyeret orang-orang perkasa 

ke dalam suatu perangkap dengan kekuatannya. Bahkan yang 

paling kuat pun tidak sanggup bertahan di hadapannya saat  

dia berada di puncak kemarahannya: saat  ia bangun dalam 

kemarahan, semua orang di sekelilingnya hidupnya tidak ter-

jamin. Namun di waktu yang sama, hidupnya sendiri juga 

tidak terjamin, sebab tangannya akan melawan tiap-tiap orang 

dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia” (Kej. 16:12). 

Orang akan bertanya-tanya bagaimana mungkin seseorang da-

pat hidup senang dengan membuat semua orang di sekitarnya 

takut kepadanya, namun memang ada juga orang-orang yang 

berbuat demikian.  

II. Ayub menunjukkan bahwa orang-orang berdosa pemberani ini 

menjadi makmur, dan tenang untuk sesaat, bahkan sering meng-

akhiri hari-hari mereka dengan damai, seperti Ismael, yang, ken-

dati kelakuannya yang luar biasa keras itu, namun mati dan 

dikumpulkan kepada kaum leluhurnya (Kej. 16:12; 25:18). Tentang 

orang-orang berdosa di sini dikatakan,  

1. Bahwa mereka diberikan keamanan (ay. 23). Mereka tampak-

nya berada di bawah perlindungan yang khusus dari Penye-

lenggaraan ilahi. Dan kita bertanya-tanya bagaimana mereka 

dapat luput hidup-hidup melalui begitu banyak bahaya.  

2. Bahwa mereka bersandar pada hal ini, pada keamaan yang 

mereka dapatkan itu, untuk menjamin semua kekerasan me-

reka. Oleh sebab  hukuman terhadap perbuatan jahat tidak se-

gera dilaksanakan, mereka berpikir tidak ada kejahatan besar 

di dalam perbuatan mereka, dan bahwa Allah tidak murka ter-

hadap mereka, dan tidak akan meminta pertanggungjawaban 

mereka. Kemakmuran mereka yaitu  keamanan mereka.  

3. Bahwa hanya sebentar mereka meninggikan diri. Mereka tam-

pak menjadi kesayangan sorga, dan menilai diri mereka seba-

gai tokoh besar di atas bumi ini. Mereka ditegakkan dalam ke-

hormatan, ditinggikan (seperti yang mereka pikirkan) jauh dari 

jangkauan bahaya, dan menjadi sombong.  

4. Bahwa, pada akhirnya, mereka dibawa keluar dari dunia de-

ngan sangat tenang dan lembut, dan tanpa kehinaan atau ke-

ngerian yang hebat. “Mereka turun ke kuburan semudah salju 

yang meleleh meresap ke dalam tanah kering.” Demikianlah 

penjelasan Uskup Patrick (ay. 19). Untuk maksud yang sama 

Ayub mengatakan (ay. 20), Rahim ibu melupakan dia, dst. 

“Allah tidak memberikan suatu tanda ketidaksenangan-Nya 

atas dia, namun  ibunya sendiri yang segera melupakan dia. 

Tangan keadilan tidak menggantungnya di tiang gantungan 

untuk dimakan burung. namun  dia dibawa ke kuburannya se-

perti halnya orang lain, untuk menjadi makanan yang lezat 

bagi cacing-cacing tanah. Di sana dia berbaring dengan te-


nang, dan ia atau kejahatannya tidak lagi diingat, seperti se-

buah pohon yang tumbang.” Ayat 24, mereka luruh, lalu men-

jadi lisut seperti segala sesuatu, yaitu, “mereka ditutup dalam 

kuburan mereka seperti orang lain. Bahkan mereka meninggal 

semudah (tanpa rasa sakit yang dialami sebagian orang) se-

bulir gandum dipetik.” Bandingkan hal ini dengan pengamatan 

Salomo (Pkh. 8:10), Aku melihat juga orang-orang fasik yang 

akan dikuburkan boleh masuk, sedangkan orang yang berlaku 

benar harus pergi dari tempat yang kudus dan dilupakan dalam 

kota (KJV: Aku melihat orang-orang fasik dikuburkan, yang da-

tang dan pergi dari tempat kudus, dan mereka dilupakan). 

III. Ayub dapat melihat kejatuhan orang fasik, bahwa kematian mere-

ka, kendati mereka mati dengan tenang dan hormat, akan men-

jadi keruntuhan mereka. Mata Allah mengawasi jalan-jalan me-

reka (ay. 23). Kendati Ia tetap diam, dan sepertinya berkomplot 

dengan mereka, namun Ia memperhatikan, dan menghitung se-

mua kejahatan mereka, dan akan segera mengungkapkan bahwa 

dosa-dosa mereka yang paling rahasia, yang mereka anggap tidak 

ada mata yang melihat (ay. 15), ada di bawah pengawasan mata-

Nya dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Di sini tidak 

disebutkan hukuman terhadap orang-orang berdosa ini di dunia 

yang akan datang, namun  segala akibat dari kematian mereka di-

isyaratkan, yaitu.  

1. Hancurnya tubuh mereka di dalam kubur, kendati umum bagi 

semua, namun bagi mereka merupakan hukuman bagi dosa 

mereka. Kuburan akan menghancurkan mereka yang berdosa. 

Negeri kegelapan itu akan menjadi nasib akhir dari mereka 

yang mencintai gelap daripada terang. Tubuh yang mereka 

manjakan akan menjadi santapan lezat bagi cacing-cacing, 

yang akan memakannya sama lezatnya seperti makanan yang 

mereka berikan kepada kesenangan dan keuntungan dosa-

dosa mereka.  

2. Kendati mereka berpikir untuk membuat diri ternama melalui 

kekayaan, kuasa, dan keberhasilan gemilang mereka, namun 

lenyaplah ingatan kepada mereka (Mzm. 9:7). Ia yang mem-

buat dirinya banyak dibicarakan, saat  dia mati, tidak akan 

lagi dikenang dengan hormat. Namanya menjadi busuk (Ams. 

10:7). Orang-orang yang tidak berani mencelanya selama dia 


hidup, tidak akan mengampuninya saat  dia mati. Demikian 

juga rahim yang melahirkannya, ibu kandungnya, akan melu-

pakan dia, yaitu, menghindari untuk menyebut namanya, 

demi kebaikannya sendiri, sebab  tidak ada hal-hal baik yang 

dapat dikatakan tentang dia. Kehormatan yang diperoleh mela-

lui dosa akan segera berubah menjadi rasa malu.  

3. Kejahatan yang mereka sangka dapat ditegakkan dalam ke-

luarga mereka, akan roboh seperti sebuah pohon. Semua ren-

cana jahat mereka akan dihancurkan, dan semua harapan 

jahat mereka dihempas dan dikuburkan bersama mereka.  

4. Kesombongan mereka akan dihancurkan dan digeletakkan ke 

dalam debu (ay. 24). Dan, demi belas kasihan kepada dunia, 

mereka akan dibawa keluar dari jalan, dan semua kekuatan 

dan kemakmuran mereka akan dihapuskan. Engkau mencari 

mereka namun  mereka tidak akan dapat ditemukan. Ayub 

mengakui bahwa orang fasik akan menderita pada akhirnya, 

menderita di sisi lain kematian, namun  sama sekali menyangkal 

apa yang dinyatakan para sahabatnya, bahwa biasanya mere-

ka menderita di dalam kehidupan sekarang ini. 

IV. Ia menyimpulkan dengan sebuah tantangan yang berani kepada 

semua yang hadir untuk menyangkal kebenaran apa yang telah 

dikatakannya jika mereka sanggup (ay. 25): “Jika tidak demikian 

halnya, seperti yang telah aku nyatakan, dan dengan demikian 

tidak membuktikan bahwa aku telah difitnah dengan tidak adil, 

maka coba silakan buktikan apakah semua tuturanku itu,  

1. Salah, dan dengan demikian membuktikan bahwa aku ini se-

orang pembohong. Atau,  

2. Aneh, dan tidak ada isinya, dan dengan demikian membukti-

kan bahwa pembicaraanku sembrono dan tidak berguna.” Ka-

rena memang apa yang salah juga tidak berguna. Di mana 

tidak ada kebenaran, bagaimana akan ada kebaikan? Namun, 

orang-orang yang menyampaikan kata-kata kebenaran dan 

penuh hikmat tidak perlu takut apa yang mereka katakan 

akan diuji, melainkan dengan senang hati bersedia diuji, se-

perti yang dilakukan Ayub di sini. 

 

 

  

PASAL  25  

alam pasal ini, Bildad memberikan jawaban sangat singkat ter-

hadap tutur kata Ayub yang terakhir, layaknya seorang yang 

mulai lelah berperkara. Ia meninggalkan pertanyaan utama mengenai 

kemakmuran orang fasik, sebab  tidak mampu menyanggah bukti-

bukti yang Ayub kemukakan pada pasal sebelumnya. Namun, sebab  

beranggapan bahwa Ayub terlalu berani terhadap keagungan ilahi 

dengan menuntut banding ke pengadilan ilahi (ps. 23), Bildad secara 

singkat menunjukkan jarak tak terbatas yang ada antara Allah dan 

manusia. Perkataannya mengajar kita, 

I. Untuk memiliki pikiran yang luhur dan hormat terhadap Allah 

(ay. 2-3, 5). 

II. Untuk memandang rendah diri kita sendiri (ay. 4, 6).  

Dua pemikiran di atas, meskipun tidak tepat diterapkan terhadap 

Ayub, namun merupakan pelajaran yang baik bagi kita semua. 

Tanggapan Bildad; 

Allah Ditinggikan dan Manusia Direndahkan 

(25:1-6) 

1 Maka Bildad, orang Suah, menjawab: 2 “Kekuasaan dan kedahsyatan ada 

pada Dia, yang menyelenggarakan damai di tempat-Nya yang tinggi. 3 Dapat-

kah dihitung pasukan-Nya? Dan siapakah yang tidak disinari terang-Nya?  

4 Bagaimana manusia benar di hadapan Allah, dan bagaimana orang yang di-

lahirkan perempuan itu bersih? 5 Sesungguhnya, bahkan bulanpun tidak 

terang dan bintang-bintangpun tidak cerah di mata-Nya. 6 Lebih-lebih lagi 

manusia, yang yaitu  berenga, anak manusia, yang yaitu  ulat!” 

Bildad patut dipuji di sini sebab  dua hal:  


1. Dia tidak lagi membahas pokok bahasan yang menjadi perbedaan 

antara Ayub dengan dirinya. Barangkali ia mulai berpikir bahwa 

Ayublah yang benar, maka adil untuk berhenti berbicara tentang 

perkara tersebut, sebagaimana layaknya orang yang berupaya 

mendapat kebenaran, bukan kemenangan, sehingga begitu mene-

mukan kebenaran, ia merasa puas, meskipun kalah dalam perde-

batan. Atau, kalaupun ia masih merasa dirinya yang benar, seti-

daknya dia tahu kapan harus berhenti bicara dan tidak berteng-

kar tanpa henti untuk memenangkan perdebatan. Kemungkinan, 

Bildad dan yang lainnya mengalah dalam perbantahan ini sebab  

mereka melihat bahwa pendapat Ayub dan pendapat mereka tidak 

terlalu jauh berbeda seperti sangkaan mereka sebelumnya: mere-

ka berpendapat bahwa orang fasik bisa makmur untuk semen-

tara, dan Ayub berpendapat bahwa orang fasik akan dimusnah-

kan pada akhirnya. Jadi, apa bedanya! Seandainya pihak-pihak 

yang berbantah mau lebih saling memahami, mungkin mereka 

akan mendapati bahwa mereka lebih dekat satu sama lain dari-

pada yang mereka bayangkan. 

2. Bildad mengemukakan dengan amat baik tentang hal yang dise-

pakati bersama oleh Ayub dan dirinya. Bila kita semua mau me-

menuhi hati kita dengan kekaguman akan Allah dan kerendahan 

diri sendiri, tentu kita tidak akan begitu mudah terlibat dalam 

perdebatan tentang hal-hal yang disangsikan, yang sifatnya sepele 

atau rumit. 

Dua cara yang dipakai Bildad untuk meninggikan Allah dan 

merendahkan manusia yaitu : 

I. Ia menunjukkan betapa agungnya Allah, dan dari situ menyim-

pulkan betapa manusia itu bersalah dan bercela di hadapan-Nya 

(ay. 2-4). Mari kita lihat: 

1. Hal-hal besar yang diucapkan Bildad tentang Allah, bertujuan 

agar Ayub menghormati Dia dan memeriksa kembali pemikir-

annya tentang Dia dan bagaimana harus membawa diri di ha-

dapan-Nya:  

(1) Allah yaitu  Tuhan yang berdaulat atas segala sesuatu, 

dan Dia diliputi oleh keagungan yang dahsyat (37:22). Ke-

kuasaan dan kedahsyatan ada pada Dia (ay.2). Dia yang 

memberi keberadaan, berkuasa penuh untuk memberi hu-

kum dan dapat memaksakan hukum yang diberikan-Nya. 

Dia yang menjadikan segala sesuatu berhak memakai  

segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya, dengan kedau-

latan yang mutlak. Apa pun yang Dia ingin lakukan, dila-

kukan-Nya, dan boleh Dia lakukan. Tidak seorang pun bisa 

berkata kepada-Nya, “Apa yang Kaubuat?” (Dan. 4:35) atau 

“Mengapa engkau berbuat demikian?” Memiliki kekuasaan 

(atau menjadi Dominus – Tuan) menyatakan bahwa Allah 

yaitu  pemilik sekaligus pengatur atas seluruh ciptaan. 

Mereka semua milik-Nya, dan mereka semua berada di 

bawah kendali serta jangkauan-Nya. Oleh sebab  itu, Dia 

patut ditakuti (artinya dihormati dan ditaati), Dia disegani 

oleh semua makhluk yang mengenal-Nya dan para serafim 

menutupi muka di hadapan-Nya. Baik kini maupun nanti, 

seluruh  makhluk akan dibuat takut kepada-Nya. Kekuasa-

an manusia kerap dipandang hina, sering diremehkan, 

namun  Allah senantiasa dahsyat.  

(2) Para penghuni sorga di dunia atas yang mulia sepenuhnya 

taat kepada Dia dan seutuhnya tunduk pada kehendak-

Nya, Dia menyelenggarakan damai di tempat-Nya yang ting-

gi. Allah menikmati diri-Nya sendiri dalam kedamaian sem-

purna. Para malaikat kudus tidak pernah berbantah de-

ngan-Nya maupun berselisih satu sama lain, sebaliknya 

mereka tunduk sama sekali pada kehendak-Nya dan me-

laksanakannya dengan suara bulat tanpa menggerutu atau 

berbantah-bantahan. Demikianlah kehendak Allah dilak-

sanakan di sorga, dan kita pun hendaknya berdoa supaya 

kehendak-Nya juga dilakukan di bumi oleh kita dan sesa-

ma. Matahari, bulan, juga bintang-bintang tetap pada ja-

lurnya dan tidak pernah bertabrakan satu sama lain. 

Bahkan, di dalam wilayah yang lebih rendah ini pun, yang 

sering digoncang oleh badai dan topan, saat  Allah 

berkenan, dan dibuat-Nyalah badai itu diam (Mzm. 107:29; 

65:8). Perhatikanlah, tempat-tempat tinggi yaitu  milik-Nya, 

sebab langit itu langit kepunyaan Tuhan (Mzm. 115:16) se-

cara khusus. Damai sejahtera yaitu  karya Allah. Di mana 

ada damai, Dialah yang menciptakannya (Yes. 57:19). Di 

sorga ada damai yang sempurna, sebab di sana ada ke-

kudusan sempurna dan ada Allah yang yaitu  kasih.  

(3) Allah memiliki kekuatan yang tidak terbendung: “Dapatkah 

dihitung pasukan-Nya?” (ay. 3). Kebesaran dan kekuasaan 

raja-raja diukur berdasarkan pasukan mereka. Allah sen-

diri bukan hanya Mahakuasa, namun  juga memiliki pasukan 

tak terhingga yang selalu siap di bawah perintah-Nya. Me-

reka semuanya tentara aktif yang tidak pernah dibubarkan, 

pasukan tetap, terdisiplin dengan baik, tidak pernah meng-

hilang, tidak pernah kalang kabut, tidak pernah membe-

rontak. Mereka semua tentara senior yang sudah lama 

mengabdi, tentara yang jaya, tidak pernah gagal meraih 

kemenangan atau terkalahkan. Seluruh ciptaan yaitu  

bala tentara-Nya, terutama para malaikat. Dialah Tuhan 

atas segala sesuatu, Tuhan semesta alam. Pasukannya 

tidak terhitung, namun  Dia menciptakan damai. Dia bisa 

saja memerangi kita, namun  rela berdamai dengan kita, bah-

kan bala tentara sorga diutus untuk mengumandangkan 

damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan 

kepada-Nya (Luk. 2:14).  

(4) Penyelenggaraan-Nya menjangkau seluruh ciptaan: “Siapa-

kah yang tidak disinari terang-Nya?” Cahaya matahari dipan-

carkan ke seluruh belahan dunia, selama setahun setiap ta-

hunnya, semua mendapat bagian yang sama (Lih. Mzm. 

19:7). Kira-kira seperti itulah gambaran bagaimana Allah 

memperhatikan dan memelihara seluruh ciptaan (Mat. 

5:45). Segala sesuatu diketahui-Nya dengan terang bende-

rang dan terbuka di hadapan-Nya. Segala sesuatu menda-

pat bagian dalam terang kebaikan-Nya. Dia baik kepada 

semua ciptaan. Bumi penuh dengan kebaikan-Nya. Dialah 

Deus optimus – Allah, pribadi yang terbaik, juga maximus – 

yang terbesar. Dia berkuasa untuk membinasakan, namun  

kesukaan-Nya ialah menyatakan belas kasihan. Semua 

ciptaan hidup sebab  kemurahan-Nya yang berlimpah. 

2. Bagaimana rendahnya manusia itu, dikatakan Bildad dengan 

sangat tepat dan sesuai (ay. 4): Bagaimana manusia benar di 

hadapan Allah, dan bagaimana orang yang dilahirkan perem-

puan itu bersih? Manusia itu bukan hanya hina, namun  juga 

jahat, bukan hanya fana, namun  juga najis. Ia tidak mungkin 

benar, ia tidak mungkin bersih,  

(1) Dibandingkan dengan Allah. Kebenaran dan kesucian se-

orang manusia, dalam keadaan terbaik pun, tidak ada apa-

apanya dibandingkan dengan kebenaran dan kesucian 

Allah (Mzm. 89:7).  

(2) Dalam berbantah dengan Allah. Barang siapa menyanggah 

firman dan penyelenggaraan Allah sudah pasti akan celaka. 

Allah akan dibenarkan, manusia akan dihukum (Mzm. 

51:6; Rm. 3:4). Penghakiman Allah tidak pernah salah, ka-

rena itu tiada perkecualian di dalamnya dan tidak mungkin 

naik banding menentangnya.  

(3) Dalam pandangan Allah. Bila Allah itu sedemikian dahsyat 

dan mulia, bagaimana manusia yang bersalah dan nista 

tampil di hadapan-Nya? Perhatikanlah,  

[1] Oleh sebab  pelanggarannya sendiri, manusia itu jahat 

di hadapan pengadilan Allah dan tidak dapat membe-

narkan dirinya sendiri di hadapan-Nya. Ia tidak dapat 

menyatakan dirinya tidak bersalah, tidak pula dapat 

mengajukan dirinya memiliki suatu jasa untuk mengim-

bangi atau meringankan kesalahannya. Kitab Suci telah 

menyatakan bahwa semua orang berdosa.  

[2] Oleh sebab  dosa atau kerusakan asalinya, sebab  dila-

hirkan oleh seorang perempuan, manusia itu keji di ha-

dapan kekudusan Allah dan tidak mungkin bersih di 

mata-Nya. Allah melihat kenajisannya, dan tentu oleh 

sebab  kenajisan itu, manusia dinyatakan tidak patut 

sama sekali untuk bersekutu dengan Allah dalam anu-

gerah di bumi ini, dan tidak patut pula untuk melihat-

Nya dan menikmati Dia pada masa mendatang. Oleh 

sebab itu, kita perlu dilahirkan kembali dari air dan Roh 

Kudus, dan dibasuh berulang kali dalam darah Kristus, 

mata air yang selalu terbuka itu. 

II. Bildad menunjukkan betapa benda-benda langit pun suram dan 

cela dalam pandangan Allah, dan dalam perbandingan dengan-

Nya, sehingga disimpulkannya betapa manusia itu kecil, hina, 

dan tidak bernilai.  

1. Terang benda-benda penerang di langit, sekalipun yaitu  cip-

taan yang indah, namun di hadapan Allah mereka sama 

seperti gumpalan tanah (ay. 5): Sesungguhnya, bahkan bulan 

pun yang bergerak dalam terang, dan bintang-bintang, pelita 

langit yang mulia itu, yang sinarnya begitu memesonakan 

bangsa-bangsa kafir hingga mereka memujanya, pun tidak 

benderang di hadapan Allah, dalam perbandingan dengan Dia. 

Mereka tidak murni, tidak ada keagungan pada mereka, se-

perti lilin, meskipun menyala, tidak bersinar saat ditempatkan 

di bawah terang cahaya matahari. Keagungan Allah yang ber-

cahaya lewat penyelenggaraan-penyelenggaraan-Nya memu-

darkan keagungan ciptaan yang paling terang sekalipun (Yes. 

24:23), Bulan purnama akan tersipu-sipu, dan matahari terik 

akan mendapat malu, sebab TUHAN semesta alam akan meme-

rintah di gunung Sion. Benda-benda langit sering kali tertutup 

awan. Kita bisa melihat jelas adanya bercak noda pada bulan, 

dan dengan bantuan lensa, terkadang kita dapat menemukan 

bercak pada matahari juga. Namun, Allah melihat pada mere-

ka noda yang tidak kita lihat. sebab  itu, betapa lancangnya 

Ayub berani menyanggah Allah yang mampu menemukan ke-

salahan dalam dirinya yang tidak disadarinya sendiri?  

2. Anak-anak manusia, sekalipun yaitu  ciptaan yang luhur, 

namun  di hadapan Allah tidak ubahnya seperti cacing-cacing 

tanah (ay. 6): Lebih-lebih lagi manusia, kehormatannya lebih 

redup, kebenarannya tidak murni, sebab dia yaitu  berenga, 

anak manusia, siapa pun orangnya, yaitu  ulat! Seekor hama 

(menurut sebagian versi), tidak hanya hina dan menjijikkan, 

namun  juga berbahaya dan najis. Seekor tungau (menurut versi 

lain), binatang terkecil yang tidak bisa dilihat dengan mata te-

lanjang, harus memakai  kaca pembesar. Demikianlah ma-

nusia itu.  

(1) Begitu hina, kecil, tidak patut diperhitungkan bila diban-

dingkan dengan Allah dan para malaikat kudus. Mereka 

tidak bernilai dan tercela, sebab  asalnya telah rusak, ber-

gegas menuju kebobrokan. Jadi, betapa tidak beralasan 

manusia itu untuk berbangga diri, malah sebaliknya sangat 

beralasan baginya untuk merendahkan diri!  

(2) Begitu lemah dan tidak berdaya, mudah sekali digilas, se-

hingga bukan tandingan yang sepadan bagi Allah Yang 

Mahakuasa. Masakan manusia dengan bodohnya hendak 

berbantah dengan Penciptanya yang bisa menginjaknya 

sampai remuk, dengan lebih mudah daripada kita mengin-

jak ulat?  

(3) Begitu kotor dan najis. Manusia itu tidak murni, sebab ia 

hanyalah belatung, menetas di tempat pembusukan, se-

hingga ia menjijikkan bagi Allah. Oleh sebab  itu, marilah 

kita mengagumi betapa agungnya Allah itu, yang mau me-

rendahkan diri-Nya untuk mengajak ulat-ulat seperti kita 

ini untuk masuk ke dalam ikatan kovenan dan persekutu-

an dengan diri-Nya sendiri. Terutama kita patut kagum 

terhadap Anak Allah yang mau merendahkan diri-Nya, me-

ngosongkan diri-Nya begitu rupa hingga berkata, “Aku ini 

ulat dan bukan orang” (Mzm. 22:7). 

 

 

  

PASAL  26  

ni yaitu  tanggapan singkat Ayub terhadap tuturan singkat Bil-

dad. Ayub sangat jauh dari menentang Bildad, malah menguatkan 

apa yang telah dikatakannya, dan lebih mengagungkan Allah lagi dan 

memperlihatkan kekuasaan-Nya, untuk menunjukkan alasan meng-

apa dia masih harus berbicara seperti yang dilakukannya (13:2), “Apa 

yang engkau ketahui yaitu  sama seperti yang aku ketahui.”  

I. Ia menunjukkan bahwa perkataan Bildad menyimpang dari 

pokok yang sedang dibicarakan, kendati sangat benar dan 

baik, namun tidak mencapai tujuan (ay. 2-4).  

II. Bahwa perkataan Bildad itu tidak diperlukan oleh orang yang 

sedang berbicara dengan dia, yaitu Ayub sendiri. Sebab Ayub 

tahu juga apa yang dikatakannya, dan mempercayainya, ser-

ta dapat berbicara tentang hal itu pula sebaik dirinya. Bah-

kan menurut Ayub, ia dapat berbicara tentang hal itu lebih 

baik daripada Bildad, dan dapat menambahkan bukti-bukti 

tentang kuasa dan kebesaran Allah, yang dilakukannya da-

lam sisa bagian pembicaraannya (ay. 5-13). Pada akhirnya 

Ayub menyimpulkan bahwa, semua yang mereka berdua telah 

sampaikan tentang kuasa dan kebesaran Allah itu, semuanya 

masih jauh dari sempurna, masih jauh dari lengkap (ay. 14). 

Jawaban Ayub Atas Tanggapan Bildad 

(26:1-4) 

1 namun  Ayub menjawab: 2 “Alangkah baiknya bantuanmu kepada yang tidak 

kuat, dan pertolonganmu kepada lengan yang tidak berdaya! 3 Alangkah 

baiknya nasihatmu kepada orang yang tidak mempunyai hikmat, dan peng-

ertian yang kauajarkan dengan limpahnya! 4 Atas anjuran siapakah engkau 

mengucapkan perkataan-perkataan itu, dan gagasan siapakah yang kaunya-

takan? 

Orang tidak akan menyangka bahwa Ayub, meskipun sedang begitu 

kesakitan dan sengsara, masih sempat juga mengolok-olok teman-

nya, seperti yang dilakukannya di sini, dan bergembira dengan sikap-

nya yang kurang hormat dalam menanggapi temannya. Bildad me-

nyangka telah membuat sebuah pidato yang baik, isinya sangat ber-

bobot, dan bahasanya sangat halus, dan berhasil sebagai seorang pem-

bicara dan seorang orator yang hebat. Namun Ayub dengan cukup 

kesal menunjukkan bahwa penampilan Bildad tidaklah sehebat yang 

dipikirkannya, dan mengejek Bildad sebab  hal itu. Ayub menunjuk-

kan, 

I. Bahwa tidak ada hal besar yang bisa ditemukan dalam perkataan 

Bildad (ay. 3): Alangkah baiknya pengertian yang kauajarkan de-

ngan limpahnya! Dengan ironis, ia mencela Bildad yang menyom-

bongkan diri dengan perkataannya.  

1. Bildad menyangka telah berbicara dengan sangat jelas, telah 

mengajarkan pengertian sebagaimana mestinya. Ia sangat bang-

ga (seperti kecenderungan kita semua) dengan pendapatnya 

sendiri, dan menganggap semuanya benar, baik, dan berhikmat, 

sedangkan semua pendapat lain salah, keliru, dan membi-

ngungkan. Padahal, saat  kita berbicara tentang kemuliaan 

Allah, kita tidak dapat menyatakan halnya yang sebenarnya, 

sebab kita melihatnya melalui sebuah cermin yang buram, 

atau lewat pantulan saja. Kita tidak akan melihat Dia sebagai-

mana adanya sampai kita sampai ke sorga. Di sini tak ada 

yang dapat kami paparkan oleh sebab  kegelapan (37:19).  

2. Bildad menyangka telah mengungkapkan seluruhnya, kendati 

dengan singkat, telah memaparkannya secara berlimpah! Na-

mun, aduh! Sesungguhnya yang ia paparkan itu benar-benar 

buruk dan hampir tidak cukup, dibandingkan dengan luas 

dan dalamnya pokok pembicaraan. 

II. Bahwa kecil sekali gunanya perkataan Bildad itu. Cui bono – Man-

faat apa yang telah engkau dapatkan dengan semua yang engkau 

katakan? Alangkah baiknyakah, dengan perkataanmu yang berbu-

nga-bunga itu, bantuanmu kepada yang tidak kuat? (ay. 2). Alang-

kah baiknyakah, dengan perkataanmu yang sangat dalam itu, na-

sihatmu kepada orang yang tidak mempunyai hikmat? (ay. 3). 

Ayub ingin meyakinkan Bildad,  

1. Bahwa Bildad tidak melakukan pelayanan apa-apa kepada Allah 

dengan hal itu, juga tidak membuat-Nya berutang budi kepada-

nya. Memang merupakan kewajiban kita, dan akan menjadi 

kehormatan kita, untuk berbicara atas nama Allah. Namun 

kita tidak boleh berpikir bahwa Allah butuh pelayanan kita, 

atau berutang kepada kita atas pelayanan kita itu, atau akan 

menerimanya, jika dilakukan dengan roh pertentangan dan 

perdebatan, dan jika tidak dengan maksud tulus untuk kemu-

liaan Allah.  

2. Bahwa Bildad tidak membantu apa-apa dengan perkara Ayub. 

Bildad berpikir teman-temannya sangat berutang budi kepada-

nya sebab  ia sudah menolong mereka dalam berurusan de-

ngan Ayub, saat  mereka semua sudah kehabisan akal, tidak 

berdaya lagi, dan habis hikmat. Memang saat  perdebatan 

memanas, orang-orang yang berdebat akan cenderung meng-

anggap kebenaran lebih berpihak kepada mereka, meskipun 

sebenarnya tidak begitu.  

3. Bahwa Bildad tidak melakukan kegunaan apa-apa kepada 

Ayub dengan semua perkataannya itu. Ia berpura-pura meng-

insafkan, menasihati, dan menghibur Ayub. namun  aduh! Apa 

yang dikatakannya jauh dari menjawab persoalannya, sehing-

ga tidak ada guna untuk memperbaiki kesalahan, atau untuk 

membantu Ayub dalam menanggung atau meringankan ke-

sengsaraannya. “Atas anjuran siapakah engkau mengucapkan 

perkataan-perkataan itu? (ay. 4). Kepadakukah engkau meng-

arahkan nasihatmu itu? Sangkamu aku ini seorang anak kecil 

sehingga membutuhkan petunjuk-petunjuk seperti itu? Atau 

pikirmu perkataanmu itu cocok untuk seseorang yang ada 

dalam kondisiku?” Segala sesuatu yang benar dan baik belum 

tentu cocok dan tepat waktunya. Orang yang direndahkan, 

hancur hati, dan berduka di dalam roh, seperti Ayub, seharus-

nya diberitakan tentang kabar anugerah dan belas kasihan 

Allah, daripada kebesaran dan keagungan-Nya. Untuk orang-

orang demikian lebih baik diberikan kata-kata penghiburan 

daripada kengerian dari Yang Mahakuasa. Kristus tahu bagai-

mana menyampaikan hal yang cocok kepada yang letih lesu 

(Yes. 50:4), dan para hamba-Nya harus belajar dengan benar 

untuk membagi firman kebenaran, dan tidak mendatangkan 

kesedihan kepada orang-orang yang Allah sendiri tidak ber-

maksud tidak membuat mereka bersedih, seperti yang dilaku-

kan oleh Bildad terhadap Ayub. Oleh sebab  itu Ayub bertanya 

kepada Bildad, Gagasan siapakah yang kaunyatakan? Yaitu, 

“Jiwa yang gundah mana yang dapat dibangkitkan, dan dilega-

kan, serta dipulihkan, dengan nasihat seperti ini?” Demikian-

lah betapa sering kita dikecewakan dalam harapan kita kepada 

teman-teman kita yang seharusnya menghibur kita. namun , 

Sang Penghibur, yaitu Roh Kudus, tidak pernah salah dalam 

tindakan-Nya atau meleset dalam tujuan-Nya. 

Hikmat dan Kuasa Allah 

(26:5-14) 

5 Roh-roh di bawah menggeletar, demikian juga air dan penghuninya. 6 Dunia 

orang mati terbuka di hadapan Allah, tempat kebinasaan pun tidak ada 

tutupnya. 7 Allah membentangkan utara di atas kekosongan, dan menggan-

tungkan bumi pada kehampaan. 8 Ia membungkus air di dalam awan-Nya, 

namun awan itu tidak robek. 9 Ia menutupi pemandangan takhta-Nya, me-

lingkupinya dengan awan-Nya. 10 Ia telah menarik garis pada permukaan air, 

sampai ujung perbatasan antara terang dan gelap; 11 tiang-tiang langit ber-

goyang-goyang, tercengang-cengang oleh hardik-Nya. 12 Ia telah meneduhkan 

laut dengan kuasa-Nya dan meremukkan Rahab dengan kebijaksanaan-Nya. 

13 Oleh nafas-Nya langit menjadi cerah, tangan-Nya menembus ular yang 

tangkas. 14 Sesungguhnya, semuanya itu hanya ujung-ujung jalan-Nya; beta-

pa lembutnya bisikan yang kita dengar dari pada-Nya! Siapa dapat mema-

hami guntur kuasa-Nya?” 

Kebenaran telah menerima banyak pencerahan dari perdebatan an-

tara Ayub dan para sahabatnya mengenai pokok-pokok perbedaan 

mereka. namun  sekarang mereka sampai pada sebuah pokok di mana 

mereka semua sepakat, yaitu kemuliaan dan kuasa yang tak terbatas 

dari Allah. Betapa kebenaran menang dan terang bersinar, saat  

tidak ada perselisihan lain di antara para pendebat itu selain hanya 

berbicara dengan teramat luhur dan hormat tentang Allah dan dengan 

berlimpah puji-pujian kepada-Nya! Alangkah baiknya jika semua per-

debatan tentang hal-hal keagamaan dapat berakhir demikian, dengan 

memuliakan Allah sebagai Tuhan atas semua, dan Tuhan kita, de-

ngan satu hati dan satu suara (Rm. 15:6). Sebab itulah tujuan kita 

dan yang membuat kita semua sepakat. 

I. Banyak contoh luar biasa diberikan di sini tentang hikmat dan 

kuasa Allah di dalam penciptaan dan pemeliharaan dunia. 

1.  Apabila kita memandang di sekeliling kita, kepada bumi dan air 

yang ada di bawah, kita akan melihat contoh yang memukau dari 

kemahakuasaan, yang dapat kita kumpulkan dari ayat-ayat ini.  

(1) Ia menggantungkan bumi pada kehampaan (ay. 7). Bumi 

yang sangat luas tidak bertumpu pada tiang apa pun atau 

bergantung pada suatu tiang poros, namun dengan kekuat-

an Allah Yang Mahakuasa dengan kokoh berdiri tetap di 

tempatnya, ditahan oleh beratnya sendiri. Keahlian manu-

sia tidak sanggup menggantung sehelai bulu pada keham-

paan, namun  hikmat ilahi menggantung bumi demikian. Bumi 

ponderibus librata suis – ditahan oleh beratnya sendiri, demi-

kian kata sang penyair. Bumi ditopang kuasa firman 

Allah, demikian kata sang rasul. Apa yang digantung pada 

kehampaan dapat menolong kita untuk menjejakkan kaki 

kita di atasnya, dan menanggung beban tubuh kita, namun  

hal tersebut tidak pernah akan menolong kita untuk meno-

pang hati kita kepadanya atau menanggung beban jiwa 

kita.  

(2) Ia telah menarik garis pada permukaan air, dan membatasi-

nya (ay. 10), sehingga air tidak dapat kembali menutupi 

bumi. Dan batasan ini akan tetap, tidak dapat digeser, di-

goncangkan, dirusakkan, sampai ujung perbatasan antara 

terang dan gelap berakhir, sampai waktu sudah tidak ada 

lagi. Di sinilah tampak kekuasaan dari Penyelenggaaraan 

Allah yang mengatasi air laut yang mengamuk, sehingga 

hal ini menjadi sebuah contoh dari kuasa-Nya (Yer. 5:22). 

Kita juga melihat kepedulian yang diberikan oleh Sang Pe-

nyelenggara atas para penduduk yang miskin dan berdosa 

di bumi, yang, kendati menjengkelkan bagi keadilan-Nya 

dan bergantung pada belas kasihan-Nya, namun tetap di-

lindungi-Nya dari kebinasaan, seperti yang pernah mereka 

alami melalui air bah, dan mereka akan tetap dipelihara-

Nya, sebab mereka disimpan untuk dibakar api kelak.  

(3) Ia menciptakan makhluk-makhluk yang mematikan di ba-

wah air. Makhluk-makhluk raksasa dibentuk di bawah air, 

yaitu makhluk-makhluk ciptaan yang sangat besar, luar 

biasa ukurannya, seperti ikan paus, makhluk-makhluk se-

perti raksasa, di antara penghuni lautan yang tak terbilang 

banyaknya. Demikian tutur Uskup Patrick.  

(4) Dengan badai dan prahara yang dahsyat ia mengguncang 

gunung-gunung, yang di sini disebut tiang-tiang langit (ay. 

11), dan bahkan meneduhkan laut dengan kuasa-Nya (ay. 

12). Di hadapan TUHAN laut melarikan diri dan gunung-

gunung melompat-lompat (Lih. Mzm. 114:3-4; Hab. 3:6, dst.). 

Sebuah badai menyapu laut, dan membelahnya. Lalu suatu 

ketenangan menerpa ombak dan membuatnya datar kem-

bali (Lih. Mzm. 89:10-11). Para penafsir yang menduga 

Ayub hidup di masa Musa atau sesudahnya, menghubung-

kan hal ini dengan pembelahan Laut Merah di hadapan 

anak-anak Israel, dan tenggelamnya orang-orang Mesir di 

dalamnya. Ia meremukkan Rahab dengan kebijaksanaan-

Nya. Demikian istilahnya, dan Rahab sering dilambangkan 

sebagai Mesir (Mzm. 87:4; Yes. 51:9). 

2. Apabila kita mempertimbangkan neraka di bawah, kendati 

tempat itu di luar jangkauan penglihatan kita, namun  kita ma-

sih dapat memahami kuasa Allah di sana. Kata dunia orang 

mati dan tempat kebinasaan (ay. 6) dapat dimengerti sebagai 

kuburan. Orang-orang yang dikubur di dalamnya berada di 

bawah pengawasan Allah, kendati terletak di luar jangkauan 

penglihatan kita, dan hal ini dapat menguatkan kepercayaan 

kita tentang kebangkitan orang mati. Allah tahu di mana me-

nemukan dan kapan menjemput semua serpihan yang ter-

serak dari tubuh yang membusuk dan hancur. Kita dapat pula 

memahami dunia orang mati dan tempat kebinasaan  sebagai 

merujuk kepada tempat yang terkutuk, di mana jiwa-jiwa 

orang fasik yang terpisah mengalami siksaan dan penderitaan. 

Itulah neraka dan kebinasaan, yang dikatakan berada di 

hadapan TUHAN (Ams. 15:11), dan di sini disebut terbuka di 

hadapan Dia, yang mungkin dirujuk dalam Kitab Wahyu 

14:10, di mana orang-orang berdosa akan disiksa di depan 

mata malaikat-malaikat kudus yang menghadap Takhta Suci, 

dan di depan mata Anak Domba. Dan hal ini dapat memberi 

terang kepada ayat 5, di mana beberapa versi kuno membaca-

nya demikian (dan saya pikir lebih dekat dengan arti makhluk 

raksasa): Roh-roh di ba