atan yang besar, dan selalu
berseru keras meminta pembalasan. Barang siapa tidak me-
nunjukkan belas kasihan kepada orang-orang yang demikian,
akan dihukum tanpa belas kasihan pula. Contoh lain dari
perlakuan keji orang fasik atas orang-orang yang mereka man-
faatkan yaitu bahkan merampas dari orang-orang tersebut
makanan dan pakaian yang menjadi keperluan mereka hidup
mereka sehari-hari. Orang-orang itu diperas sedemikian rupa
sehingga dengan telanjang mereka berkeliaran (ay. 10), sampai
mati sendiri. Dan jika sebuah keluarga miskin yang kelaparan
telah mengumpulkan setumpuk gandum, untuk membuat
sedikit roti untuk dapat dimakannya dan kemudian mati, itu
pun bahkan diambil dari mereka. Demikianlah orang fasik
senang melihat mereka binasa sebab kekurangan, sementara
diri mereka sendiri mendapat makan sampai kenyang.
4. Orang fasik sangat menindas para pekerja yang bekerja untuk
mereka. Mereka tidak hanya tidak memberi upah, kendati
pekerja layak untuk mendapatkan upah (dan ini merupakan
dosa yang berteriak-teriak, Yak. 5:4), namun juga tidak memberi
mereka cukup makanan dan minuman: Dengan kelaparan me-
reka memikul berkas-berkas gandum. Demikian yang dibaca
oleh beberapa orang (ay. 10), dan memang sesuai dengan ayat
11, bahwa mereka yang membuat minyak, dengan kerja keras
di tempat-tempat pengirikan, namun menderita kehausan,
yang lebih parah daripada memberangus mulut lembu yang
sedang mengirik gandum. Tuan-tuan tersebut lupa bahwa me-
reka memiliki seorang Tuan di sorga yang tidak akan membiar-
kan mereka melalaikan kebutuhan hidup para hamba dan
pekerja, yang tidak peduli apakah mereka dapat hidup dengan
pekerjaan mereka atau tidak.
5. Tidak hanya di kalangan orang-orang desa yang miskin, namun
juga di kota-kota, kita melihat air mata dari orang-orang yang
tertindas (ay. 12): Dari dalam kota terdengar rintihan orang-
orang, di mana para pedagang dan pengusaha kaya berlaku
sama kejamnya terhadap orang-orang yang berutang seperti
yang dilakukan tuan-tuan tanah terhadap para penyewa tanah
yang miskin di desa-desa. Di kota tindakan kejam demikian
yang seperti ini lebih jelas terlihat daripada yang terjadi di
sudut-sudut negeri yang jauh. Dan orang-orang yang dirugi-
kan di kota-kota memiliki jalan yang lebih mudah untuk men-
cari keadilan untuk membela diri, namun para penindas di
sana tidak takut akan pengekangan hukum atau kecaman dari
sesama mereka. Orang-orang yang ditindas tetap saja menge-
rang dan berteriak-teriak seperti orang yang terluka, dan tidak
dapat menjadi lebih tenang atau menolong diri sendiri, sebab
para penindas tidak peduli dan tuli terhadap aduhan mereka.
II. Ayub berbicara tentang para perampok, dan orang-orang yang
berbuat kejahatan dengan memakai kekerasan, seperti gerombol-
an orang-orang Syeba dan Kasdim, yang baru-baru ini menjarah
dirinya. Ia tidak menyebut mereka secara khusus, takut dia akan
tampak berpihak pada kepentingannya sendiri, dan menilai ma-
nusia (seperti yang biasa kita lakukan) berdasarkan bagaimana
sikap mereka terhadap kita. Namun di antara orang-orang Arab,
anak-anak dari timur yaitu negeri Ayub, ada orang-orang yang
hidup dengan rampasan dan curian, dengan menyergap para
tetangga mereka dan merampok para pelancong. Lihatlah bagai-
mana mereka digambarkan di sini dan kejahatan yang mereka
lakukan (ay. 5-8).
1. Sifat mereka yaitu seperti keledai liar di padang gurun, tidak
bisa jinak, tidak terlacak, tidak berpikiran sehat, semua sifat
Ismael (Kej. 16:12), buas dan ganas, dan tidak hidup di bawah
kekangan hukum atau pemerintahan (Yer. 2:23-24). Mereka
memilih padang gurun sebagai tempat tinggal mereka, supaya
mereka hidup tanpa hukum dan terisolir dari masyarakat, dan
supaya mereka memiliki kesempatan untuk melakukan lebih
banyak kejahatan. Padang gurun memang yaitu tempat yang
paling cocok bagi orang-orang liar seperti itu (39:6). namun
tidak ada padang gurun yang dapat menjauhkan manusia dari
jangkauan mata dan tangan Allah.
2. Usaha mereka yaitu mencuri dan memangsa semua orang
yang ada di sekeliling mereka. Mereka telah memilih perbuat-
an itu sebagai usaha dagang mereka. Itulah pekerjaan mereka,
sebab ada lebih banyak yang didapat melaluinya, dan didapat
dengan lebih mudah, ketimbang melalui suatu usaha yang
jujur. Mereka mengerjakannya terus sebagai usaha mereka,
mengikutinya dengan saksama. Manusia keluarlah ke pekerja-
annya, seperti orang-orang ke usahanya (Mzm. 104:23). Mere-
ka rajin dan bersusah payah melakukannya: seperti keledai
liar di padang gurun mereka keluar untuk bekerja mencari apa-
apa di padang belantara sebagai makanan bagi anak-anak me-
reka (KJV: mereka keluar mencari mangsa). Kalau seorang pe-
lancong keluar melakukan perjalanan pagi-pagi sekali, mereka
akan segera keluar untuk merampoknya. Mereka hidup dengan
cara itu seperti orang yang hidup dengan usaha dagangnya: Pa-
dang gurun (bukan tanah melainkan jalanan di sana) menjadi
apa-apa sebagai makanan bagi anak-anak mereka. Mereka
mempertahankan diri dan keluarga mereka dengan merampok
di jalan raya, dan memberkati diri sendiri dengannya tanpa
penyesalan, belas kasihan atau hati nurani, dengan rasa aman
yang besar seperti seakan-akan yang didapat secara jujur.
Seperti yang diperbuat Efraim (Hos. 12:7-8).
3. Lihatlah kejahatan yang mereka lakukan terhadap negeri. Me-
reka tidak hanya merampok para pelancong, namun juga me-
nyerbu para tetangga mereka, dan mengambil setiap hasil pa-
nen di ladang (ay. 6), yaitu, mereka masuk ke tanah rumah
orang, mengambil panen gandum mereka, dan membawa ke-
luar dengan bebas seolah-olah milik sendiri. Bahkan mereka
mengumpulkan hasil panen anggur, dan itulah kejahatan mere-
ka. Atau, sebagaimana kita baca, mereka mengumpulkan hasil
panen anggur orang yang fasik, dan dengan demikian satu
orang jahat menjadi momok bagi yang lain. Apa yang didapat
orang fasik melalui kekerasan (yaitu dengan cara mencuri)
didapat oleh para perampok ini dengan cara mencuri. Jadi
sering kali para penjarah dijarah (Yes. 33:1).
4. Penderitaan orang-orang yang terjatuh ke dalam tangan mere-
ka (ay. 7-8): Mereka menyebabkan telanjang, siapa yang telah
mereka lucuti, dengan tidak meninggalkan sehelai pakaian
pun, untuk bermalam, di malam yang dingin, tanpa pakaian,
sehingga oleh hujan lebat di pegunungan mereka basah kuyup,
dan sebab tidak ada tempat berlindung, mereka mengimpitkan
badannya pada gunung batu, dan senang dengan sebuah gua
atau ruang di dalamnya untuk menjaga diri dari buruknya
cuaca. Elifas telah menuduh Ayub bertindak tidak manusiawi
seperti ini, dan menyimpulkan bahwa Penyelenggaraan Allah
tidak akan mengambil semua kemakmurannya seandainya dia
tidak terlebih dahulu merampas pakaian orang-orang yang
melarat (22:6). Ayub di sini memberi tahu dia bahwa ada
orang-orang yang sungguh-sungguh bersalah atas kejahatan
tersebut, yang dengannya dia dituduh secara tidak adil, na-
mun makmur dan berhasil dalam kejahatan mereka. Namun
demikian mereka tetap hidup di bawah kutukan meskipun
tidak tampak. Bagi Ayub, lebih baik berdebat dengan cara
memberikan suatu contoh kejahatan besar lalu menyimpulkan
bahwa ada hukuman yang tersembunyi di masa depan untuk
kejahatan itu, daripada berlaku seperti Elifas, yang hanya me-
makai penderitaan sekarang lalu menyimpulkan bahwa orang
telah melakukan suatu kejahatan tersembunyi di masa lalu
sehingga mengakibatkan penderitaan itu. Para penindas dan
penjarah seperti digambarkan di atas sepertinya kebal dari
penghukuman, seperti diungkapkan dalam perkataan ini (ay.
12): namun Allah tidak mengindahkan doa mereka, yaitu, Ia
tidak segera mendakwa mereka dengan hukuman atas keja-
hatan ini, atau menjadikan mereka contoh keadilan-Nya, dan
sebab nya menunjukkan kebodohan mereka ke seluruh dunia.
Ia yang menggaruk kekayaan secara tidak halal, pada kesu-
dahan usianya ia terkenal sebagai seorang bebal (Yer. 17:11).
namun sementara hidup makmur, ia menjadi orang bodoh, dan
saat itulah Allah menertawakan kebodohannya, Hai engkau
orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari
padamu (Luk. 12:20).
Kekebalan Hukum Para Pelanggar Sekarang Ini
(24:13-17)
13 Ada lagi golongan yang memusuhi terang, yang tidak mengenal jalannya
dan tidak tetap tinggal pada lintasannya. 14 Pada parak siang bersiaplah si
pembunuh, orang sengsara dan miskin dibunuhnya, dan waktu malam ia
berlaku seperti pencuri. 15 Orang yang berzinah menunggu senja, pikirnya:
Jangan seorang pun melihat aku; lalu dikenakannya tudung muka. 16 Di
dalam gelap mereka membongkar rumah, pada siang hari mereka bersem-
bunyi; mereka tidak kenal terang, 17 sebab kegelapan yaitu pagi hari bagi
mereka sekalian, dan mereka sudah biasa dengan kedahsyatan kegelapan.
Ayat-ayat ini menjelaskan jenis lain dari para pendosa yang terus
berjalan dalam kejahatan mereka tanpa dihukum, sebab tidak ter-
ungkap. Ada lagi golongan uang memusuhi terang (ay. 13). Beberapa
penafsir memahaminya secara kiasan: mereka berdosa terhadap te-
rang alam, terang hukum Allah, dan terang hati nurani mereka sen-
diri. Mereka mengaku mengenal Allah, namun mereka memberontak
terhadap pengetahuan yang mereka miliki tentang Dia, dan tidak
mau dituntun dan diatur, diperintah dan dikendalikan olehnya. Pe-
nafsir lain memahaminya secara harfiah: mereka memiliki siang hari
namun memilih malam sebagai waktu yang paling menguntungkan
bagi kejahatan mereka. Perbuatan dosa sebab nya disebut perbuatan
kegelapan, sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang (Yoh.
3:20), tidak mengenal jalannya, yaitu, menghindarinya, atau, jika
kebetulan terlihat, tidak lagi berdiam di tempat yang dipikirkannya
dia telah diketahui orang. sebab itu di sini Ayub menjelaskan yang
paling buruk dari para pendosa, yaitu orang-orang yang sengaja ber-
buat dosa, dan melawan keyakinan hati nuraninya sendiri, yang de-
ngan begitu menambah pemberontakan kepada dosa, yang melaku-
kannya dengan banyak rancangan dan akal, memakai ribuan cara
untuk menyembunyikan kejahatan mereka, dan membayangkan bah-
wa, jika mereka dapat menyembunyikannya dari mata orang, maka
mereka akan aman, mereka ini lupa bahwa tidak ada kegelapan atau-
pun kelam kabut di mana orang-orang yang melakukan kejahatan da-
pat bersembunyi dari mata Allah (34:22). Dalam ayat-ayat di atas Ayub
menyebutkan tiga jenis orang berdosa yang menghindari terang:
1. Pembunuh (ay. 14). Pada parak siang bersiaplah si pembunuh,
yaitu mereka muncul segera sesudah fajar, untuk membunuh
para pelancong malang yang pagi-pagi benar berangkat untuk be-
kerja, yang pergi ke pasar dengan bekal uang atau barang sedikit.
Meskipun begitu sedikit uang mereka sehingga benar-benar dise-
but miskin dan berkekurangan, uang yang diperoleh dengan su-
sah payah, masih juga si pembunuh mau mengambil nyawa me-
reka dengan bertaruh nyawanya sendiri, lebih suka merampok
kecil-kecilan seperti ini daripada tidak sama sekali. Bahkan dia
membunuh sebab mau membunuh, lebih haus akan darah dari-
pada barang rampasan. Lihatlah betapa dengan teliti dan susah
payahnya orang fasik menjalankan rancangan jahat mereka. Ka-
rena itu kiranya pemandangan tersebut membuat kita malu de-
ngan kelalaian dan kelambanan kita dalam berbuat baik.
Ut jugulent homines, surgunt de nocte latrones,
Tuque ut te serves non expergisceris? –
Penjahat muncul tengah malam untuk membunuh
demi uang. Tidakkah engkau bangun untuk melindungi diri?
2. Pezinah. Mata mereka penuh nafsu zinah (2Ptr. 2:14), mata yang
najis dan cabul, menunggu senja (ay. 15). Mata pezinah berbuat
demikian (Ams. 7:9). Perzinahan menyembunyikan kepalanya ka-
rena rasa malu. Orang-orang berdosa, bahkan yang paling kurang
ajar, berbuat sebisa mungkin untuk menyembunyikan dosa me-
reka: si non caste, tamen caute – jika tidak dengan sopan, pasti
dengan hati-hati. Namun sekalipun segala cara rendah sudah
mereka lakukan untuk melenyapkan celaannya, tetap saja menye-
butkan saja pun apa yang dibuat oleh mereka di tempat-tempat
yang tersembunyi telah memalukan (Ef. 5:12). Kepalanya pun
disembunyikan sebab takut, sebab cemburu yaitu geram
seorang laki-laki, ia tidak kenal belas kasihan pada hari pembalas-
an dendam (Ams. 6:34). Lihatlah jerih payah orang-orang yang
membuat persediaan makanan bagi daging mereka untuk meme-
nuhi hawa nafsunya, susah payah dalam mendapatkannya, lalu
menyembunyikannya, yaitu persediaan tersebut, yang pada akhir-
nya akan mendatangkan kematian dan neraka. Sedikit susah
payah sebenarnya mampu untuk mematikan dan menyalibkan
kedagingan, yang akan menjadi kehidupan dan sorga pada akhir-
nya. Maka hendaklah orang berdosa mengubah hatinya, dan dia
tidak perlu lagi menyamarkan wajahnya, melainkan dapat meng-
angkatnya tanpa malu.
3. Pembongkar rumah (ay. 16). Orang-orang ini menandai rumah-
rumah di siang hari, menandai jalan-jalan ke sebuah rumah, dan
dari sisi mana mereka paling mudah untuk dapat memaksa
masuk, lalu di malam hari, menerobos masuk, entah untuk mem-
bunuh atau mencuri atau melakukan perzinahan. Malam hari
menguntungkan penjahat, dan membuat pertahanan lebih sukar.
Sebab, tuan rumah tidak tahu pukul berapa pencuri akan datang
(Luk. 12:39), sehingga ia dan seisi rumahnya menghadapi bahaya.
Di Inggris, untuk alasan inilah maka hukum menetapkan per-
buatan masuk rumah orang dengan paksa di malam hari dengan
suatu niat jahat sebagai kejahatan yang tidak mendapat pendam-
pingan rohaniwan.
Dan, akhirnya, Ayub mengamati (dan mungkin mengamatinya se-
bagai bagian dari hukuman (meskipun masih tersembunyi) yang se-
karang menimpa orang-orang berdosa seperti ini), yaitu bahwa me-
reka terus-menerus berada dalam ketakutan diketahui (ay. 17, KJV):
Pagi hari bagi mereka bahkan seperti lembah bayang-bayang maut.
Terang hari, yang disambut gembira oleh orang-orang baik dan jujur,
merupakan suatu kengerian bagi orang jahat. Mereka mengutuk
matahari, bukan seperti orang Moor di Afrika, sebab menghangus-
kan mereka, melainkan sebab membuat mereka ketahuan. Apabila
seseorang mengetahui mereka, hati nurani mereka menghantam
muka mereka, dan mereka menjadi penuduh diri sendiri. Sebab
mereka ketakutan akan lembah bayang-bayang maut (KJV). Rasa malu
masuk bersama dengan dosa, dan rasa malu abadi menanti di ujung-
nya. Lihatlah kesusahan orang-orang berdosa, mereka dihadapkan
kepada ketakutan yang terus-menerus. Bahkan lihatlah kebodohan
mereka, mereka takut diawasi orang, namun tidak punya rasa takut
terhadap mata Allah, yang selalu mengawasi mereka. Mereka tidak
takut melakukan apa yang mereka paling takuti diketahui kalau me-
lakukannya.
Kehancuran Akhir Orang Fasik
(24:18-25)
18 Mereka hanyut di permukaan air, bagian mereka terkutuk di bumi; mereka
tidak lagi pergi ke kebun anggur mereka. 19 Air salju dihabiskan oleh kema-
rau dan panas, demikian juga dilakukan dunia orang mati terhadap mereka
yang berbuat dosa. 20 Rahim ibu melupakan dia, berenga mengerumitnya, ia
tidak diingat lagi: kecurangan dipatahkan seperti pohon kayu. 21 Ia menjarahi
perempuan mandul, yang tidak beranak, dan tidak berbuat baik terhadap
seorang janda, 22 bahkan menyeret orang-orang perkasa dengan kekuatan-
nya; ia bangun kembali, namun hidupnya tidak terjamin. 23 Allah memberinya
keamanan yang menjadi sandarannya, dan mengawasi jalan-jalannya.
24 Hanya sebentar mereka meninggikan diri, lalu tidak ada lagi; mereka
luruh, lalu menjadi lisut seperti segala sesuatu, mereka dikerat seperti hulu
tangkai gandum. 25 Jikalau tidak demikian halnya, siapa berani menyanggah
aku dan meniadakan perkataanku?”
Ayub di sini, di bagian akhir dari percakapannya,
I. Memberi contoh-contoh lebih lanjut tentang kejahatan orang-
orang kejam yang haus darah ini.
1. Sebagian yaitu para perompak dan perompak di lautan. Me-
nurut banyak penafsir terpelajar, orang-orang fasik inilah yang
dimaksud dalam ayat 18, Mereka hanyut di permukaan air.
Kapal-kapal mereka berlayar dengan para pelaut terbaik. De-
ngan kapal-kapal mereka yang cepat mereka berlayar dari satu
pelabuhan ke pelabuhan yang lain, untuk menjemput upeti.
Dan hal ini memberi mereka begitu banyak kekayaan sehing-
ga bagian mereka terkutuk di bumi, dan mereka tidak lagi pergi
ke kebun anggur mereka, yaitu (seperti dijelaskan oleh Uskup
Patrick), mereka memandang rendah pekerjaan orang-orang
yang mengelola tanah dan menanam kebun anggur sebagai
miskin dan tak menguntungkan. namun sebagian penafsir lain
mengartikan ayat ini sebagai penjelasan lebih lanjut tentang
perilaku orang-orang berdosa yang takut akan terang: jika me-
reka diketemukan, mereka akan kabur secepat mungkin, dan
memilih untuk bersembunyi, tidak di dalam kebun anggur,
sebab takut diketemukan, melainkan di dalam suatu tempat
yang terkutuk, suatu tempat yang jauh dan terasing, yang
tidak akan dicari orang.
2. Sebagian orang fasik lagi melecehkan orang-orang yang ada di
dalam masalah, dan menambahkan bencana kepada yang ter-
timpa bencana. Kemandulan dipandang sebagai suatu aib
yang hebat, dan orang yang terjatuh di bawah bencana terse-
but dihina mereka, seperti Penina menghina Hana. Mereka se-
ngaja membuat orang-orang itu kesal dan resah, yang merupa-
kan perbuatan yang keji. Ini seperti menjarahi perempuan
mandul (ay. 21), atau yang tidak beranak, yang tidak punya
anak panah dalam tabung panahnya untuk menghadapi mu-
suh di pintu gerbang (Mzm. 127:5). Mereka mengambil keun-
tungan dari dan menindas mereka. Seperti anak-anak yatim,
demikian pula ibu-ibu yang tidak beranak, di dalam hal terten-
tu mereka tidak berdaya. Untuk alasan yang sama, merupa-
kan suatu hal yang kejam untuk melukai janda, yang kepada-
nya kita harus berbuat baik. Dan tidak berbuat baik, padahal
kita mampu, sama saja dengan menyakiti orang lain.
3. Ada orang-orang yang, sebab terbiasa melakukan kekejaman,
akhirnya menjadi luar biasa semena-mena sehingga mereka
menjadi ketakutan terhadap pahlawan-pahlawan … dunia
orang-orang hidup (ay. 22): “Ia menyeret orang-orang perkasa
ke dalam suatu perangkap dengan kekuatannya. Bahkan yang
paling kuat pun tidak sanggup bertahan di hadapannya saat
dia berada di puncak kemarahannya: saat ia bangun dalam
kemarahan, semua orang di sekelilingnya hidupnya tidak ter-
jamin. Namun di waktu yang sama, hidupnya sendiri juga
tidak terjamin, sebab tangannya akan melawan tiap-tiap orang
dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia” (Kej. 16:12).
Orang akan bertanya-tanya bagaimana mungkin seseorang da-
pat hidup senang dengan membuat semua orang di sekitarnya
takut kepadanya, namun memang ada juga orang-orang yang
berbuat demikian.
II. Ayub menunjukkan bahwa orang-orang berdosa pemberani ini
menjadi makmur, dan tenang untuk sesaat, bahkan sering meng-
akhiri hari-hari mereka dengan damai, seperti Ismael, yang, ken-
dati kelakuannya yang luar biasa keras itu, namun mati dan
dikumpulkan kepada kaum leluhurnya (Kej. 16:12; 25:18). Tentang
orang-orang berdosa di sini dikatakan,
1. Bahwa mereka diberikan keamanan (ay. 23). Mereka tampak-
nya berada di bawah perlindungan yang khusus dari Penye-
lenggaraan ilahi. Dan kita bertanya-tanya bagaimana mereka
dapat luput hidup-hidup melalui begitu banyak bahaya.
2. Bahwa mereka bersandar pada hal ini, pada keamaan yang
mereka dapatkan itu, untuk menjamin semua kekerasan me-
reka. Oleh sebab hukuman terhadap perbuatan jahat tidak se-
gera dilaksanakan, mereka berpikir tidak ada kejahatan besar
di dalam perbuatan mereka, dan bahwa Allah tidak murka ter-
hadap mereka, dan tidak akan meminta pertanggungjawaban
mereka. Kemakmuran mereka yaitu keamanan mereka.
3. Bahwa hanya sebentar mereka meninggikan diri. Mereka tam-
pak menjadi kesayangan sorga, dan menilai diri mereka seba-
gai tokoh besar di atas bumi ini. Mereka ditegakkan dalam ke-
hormatan, ditinggikan (seperti yang mereka pikirkan) jauh dari
jangkauan bahaya, dan menjadi sombong.
4. Bahwa, pada akhirnya, mereka dibawa keluar dari dunia de-
ngan sangat tenang dan lembut, dan tanpa kehinaan atau ke-
ngerian yang hebat. “Mereka turun ke kuburan semudah salju
yang meleleh meresap ke dalam tanah kering.” Demikianlah
penjelasan Uskup Patrick (ay. 19). Untuk maksud yang sama
Ayub mengatakan (ay. 20), Rahim ibu melupakan dia, dst.
“Allah tidak memberikan suatu tanda ketidaksenangan-Nya
atas dia, namun ibunya sendiri yang segera melupakan dia.
Tangan keadilan tidak menggantungnya di tiang gantungan
untuk dimakan burung. namun dia dibawa ke kuburannya se-
perti halnya orang lain, untuk menjadi makanan yang lezat
bagi cacing-cacing tanah. Di sana dia berbaring dengan te-
nang, dan ia atau kejahatannya tidak lagi diingat, seperti se-
buah pohon yang tumbang.” Ayat 24, mereka luruh, lalu men-
jadi lisut seperti segala sesuatu, yaitu, “mereka ditutup dalam
kuburan mereka seperti orang lain. Bahkan mereka meninggal
semudah (tanpa rasa sakit yang dialami sebagian orang) se-
bulir gandum dipetik.” Bandingkan hal ini dengan pengamatan
Salomo (Pkh. 8:10), Aku melihat juga orang-orang fasik yang
akan dikuburkan boleh masuk, sedangkan orang yang berlaku
benar harus pergi dari tempat yang kudus dan dilupakan dalam
kota (KJV: Aku melihat orang-orang fasik dikuburkan, yang da-
tang dan pergi dari tempat kudus, dan mereka dilupakan).
III. Ayub dapat melihat kejatuhan orang fasik, bahwa kematian mere-
ka, kendati mereka mati dengan tenang dan hormat, akan men-
jadi keruntuhan mereka. Mata Allah mengawasi jalan-jalan me-
reka (ay. 23). Kendati Ia tetap diam, dan sepertinya berkomplot
dengan mereka, namun Ia memperhatikan, dan menghitung se-
mua kejahatan mereka, dan akan segera mengungkapkan bahwa
dosa-dosa mereka yang paling rahasia, yang mereka anggap tidak
ada mata yang melihat (ay. 15), ada di bawah pengawasan mata-
Nya dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Di sini tidak
disebutkan hukuman terhadap orang-orang berdosa ini di dunia
yang akan datang, namun segala akibat dari kematian mereka di-
isyaratkan, yaitu.
1. Hancurnya tubuh mereka di dalam kubur, kendati umum bagi
semua, namun bagi mereka merupakan hukuman bagi dosa
mereka. Kuburan akan menghancurkan mereka yang berdosa.
Negeri kegelapan itu akan menjadi nasib akhir dari mereka
yang mencintai gelap daripada terang. Tubuh yang mereka
manjakan akan menjadi santapan lezat bagi cacing-cacing,
yang akan memakannya sama lezatnya seperti makanan yang
mereka berikan kepada kesenangan dan keuntungan dosa-
dosa mereka.
2. Kendati mereka berpikir untuk membuat diri ternama melalui
kekayaan, kuasa, dan keberhasilan gemilang mereka, namun
lenyaplah ingatan kepada mereka (Mzm. 9:7). Ia yang mem-
buat dirinya banyak dibicarakan, saat dia mati, tidak akan
lagi dikenang dengan hormat. Namanya menjadi busuk (Ams.
10:7). Orang-orang yang tidak berani mencelanya selama dia
hidup, tidak akan mengampuninya saat dia mati. Demikian
juga rahim yang melahirkannya, ibu kandungnya, akan melu-
pakan dia, yaitu, menghindari untuk menyebut namanya,
demi kebaikannya sendiri, sebab tidak ada hal-hal baik yang
dapat dikatakan tentang dia. Kehormatan yang diperoleh mela-
lui dosa akan segera berubah menjadi rasa malu.
3. Kejahatan yang mereka sangka dapat ditegakkan dalam ke-
luarga mereka, akan roboh seperti sebuah pohon. Semua ren-
cana jahat mereka akan dihancurkan, dan semua harapan
jahat mereka dihempas dan dikuburkan bersama mereka.
4. Kesombongan mereka akan dihancurkan dan digeletakkan ke
dalam debu (ay. 24). Dan, demi belas kasihan kepada dunia,
mereka akan dibawa keluar dari jalan, dan semua kekuatan
dan kemakmuran mereka akan dihapuskan. Engkau mencari
mereka namun mereka tidak akan dapat ditemukan. Ayub
mengakui bahwa orang fasik akan menderita pada akhirnya,
menderita di sisi lain kematian, namun sama sekali menyangkal
apa yang dinyatakan para sahabatnya, bahwa biasanya mere-
ka menderita di dalam kehidupan sekarang ini.
IV. Ia menyimpulkan dengan sebuah tantangan yang berani kepada
semua yang hadir untuk menyangkal kebenaran apa yang telah
dikatakannya jika mereka sanggup (ay. 25): “Jika tidak demikian
halnya, seperti yang telah aku nyatakan, dan dengan demikian
tidak membuktikan bahwa aku telah difitnah dengan tidak adil,
maka coba silakan buktikan apakah semua tuturanku itu,
1. Salah, dan dengan demikian membuktikan bahwa aku ini se-
orang pembohong. Atau,
2. Aneh, dan tidak ada isinya, dan dengan demikian membukti-
kan bahwa pembicaraanku sembrono dan tidak berguna.” Ka-
rena memang apa yang salah juga tidak berguna. Di mana
tidak ada kebenaran, bagaimana akan ada kebaikan? Namun,
orang-orang yang menyampaikan kata-kata kebenaran dan
penuh hikmat tidak perlu takut apa yang mereka katakan
akan diuji, melainkan dengan senang hati bersedia diuji, se-
perti yang dilakukan Ayub di sini.
PASAL 25
alam pasal ini, Bildad memberikan jawaban sangat singkat ter-
hadap tutur kata Ayub yang terakhir, layaknya seorang yang
mulai lelah berperkara. Ia meninggalkan pertanyaan utama mengenai
kemakmuran orang fasik, sebab tidak mampu menyanggah bukti-
bukti yang Ayub kemukakan pada pasal sebelumnya. Namun, sebab
beranggapan bahwa Ayub terlalu berani terhadap keagungan ilahi
dengan menuntut banding ke pengadilan ilahi (ps. 23), Bildad secara
singkat menunjukkan jarak tak terbatas yang ada antara Allah dan
manusia. Perkataannya mengajar kita,
I. Untuk memiliki pikiran yang luhur dan hormat terhadap Allah
(ay. 2-3, 5).
II. Untuk memandang rendah diri kita sendiri (ay. 4, 6).
Dua pemikiran di atas, meskipun tidak tepat diterapkan terhadap
Ayub, namun merupakan pelajaran yang baik bagi kita semua.
Tanggapan Bildad;
Allah Ditinggikan dan Manusia Direndahkan
(25:1-6)
1 Maka Bildad, orang Suah, menjawab: 2 “Kekuasaan dan kedahsyatan ada
pada Dia, yang menyelenggarakan damai di tempat-Nya yang tinggi. 3 Dapat-
kah dihitung pasukan-Nya? Dan siapakah yang tidak disinari terang-Nya?
4 Bagaimana manusia benar di hadapan Allah, dan bagaimana orang yang di-
lahirkan perempuan itu bersih? 5 Sesungguhnya, bahkan bulanpun tidak
terang dan bintang-bintangpun tidak cerah di mata-Nya. 6 Lebih-lebih lagi
manusia, yang yaitu berenga, anak manusia, yang yaitu ulat!”
Bildad patut dipuji di sini sebab dua hal:
1. Dia tidak lagi membahas pokok bahasan yang menjadi perbedaan
antara Ayub dengan dirinya. Barangkali ia mulai berpikir bahwa
Ayublah yang benar, maka adil untuk berhenti berbicara tentang
perkara tersebut, sebagaimana layaknya orang yang berupaya
mendapat kebenaran, bukan kemenangan, sehingga begitu mene-
mukan kebenaran, ia merasa puas, meskipun kalah dalam perde-
batan. Atau, kalaupun ia masih merasa dirinya yang benar, seti-
daknya dia tahu kapan harus berhenti bicara dan tidak berteng-
kar tanpa henti untuk memenangkan perdebatan. Kemungkinan,
Bildad dan yang lainnya mengalah dalam perbantahan ini sebab
mereka melihat bahwa pendapat Ayub dan pendapat mereka tidak
terlalu jauh berbeda seperti sangkaan mereka sebelumnya: mere-
ka berpendapat bahwa orang fasik bisa makmur untuk semen-
tara, dan Ayub berpendapat bahwa orang fasik akan dimusnah-
kan pada akhirnya. Jadi, apa bedanya! Seandainya pihak-pihak
yang berbantah mau lebih saling memahami, mungkin mereka
akan mendapati bahwa mereka lebih dekat satu sama lain dari-
pada yang mereka bayangkan.
2. Bildad mengemukakan dengan amat baik tentang hal yang dise-
pakati bersama oleh Ayub dan dirinya. Bila kita semua mau me-
menuhi hati kita dengan kekaguman akan Allah dan kerendahan
diri sendiri, tentu kita tidak akan begitu mudah terlibat dalam
perdebatan tentang hal-hal yang disangsikan, yang sifatnya sepele
atau rumit.
Dua cara yang dipakai Bildad untuk meninggikan Allah dan
merendahkan manusia yaitu :
I. Ia menunjukkan betapa agungnya Allah, dan dari situ menyim-
pulkan betapa manusia itu bersalah dan bercela di hadapan-Nya
(ay. 2-4). Mari kita lihat:
1. Hal-hal besar yang diucapkan Bildad tentang Allah, bertujuan
agar Ayub menghormati Dia dan memeriksa kembali pemikir-
annya tentang Dia dan bagaimana harus membawa diri di ha-
dapan-Nya:
(1) Allah yaitu Tuhan yang berdaulat atas segala sesuatu,
dan Dia diliputi oleh keagungan yang dahsyat (37:22). Ke-
kuasaan dan kedahsyatan ada pada Dia (ay.2). Dia yang
memberi keberadaan, berkuasa penuh untuk memberi hu-
kum dan dapat memaksakan hukum yang diberikan-Nya.
Dia yang menjadikan segala sesuatu berhak memakai
segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya, dengan kedau-
latan yang mutlak. Apa pun yang Dia ingin lakukan, dila-
kukan-Nya, dan boleh Dia lakukan. Tidak seorang pun bisa
berkata kepada-Nya, “Apa yang Kaubuat?” (Dan. 4:35) atau
“Mengapa engkau berbuat demikian?” Memiliki kekuasaan
(atau menjadi Dominus – Tuan) menyatakan bahwa Allah
yaitu pemilik sekaligus pengatur atas seluruh ciptaan.
Mereka semua milik-Nya, dan mereka semua berada di
bawah kendali serta jangkauan-Nya. Oleh sebab itu, Dia
patut ditakuti (artinya dihormati dan ditaati), Dia disegani
oleh semua makhluk yang mengenal-Nya dan para serafim
menutupi muka di hadapan-Nya. Baik kini maupun nanti,
seluruh makhluk akan dibuat takut kepada-Nya. Kekuasa-
an manusia kerap dipandang hina, sering diremehkan,
namun Allah senantiasa dahsyat.
(2) Para penghuni sorga di dunia atas yang mulia sepenuhnya
taat kepada Dia dan seutuhnya tunduk pada kehendak-
Nya, Dia menyelenggarakan damai di tempat-Nya yang ting-
gi. Allah menikmati diri-Nya sendiri dalam kedamaian sem-
purna. Para malaikat kudus tidak pernah berbantah de-
ngan-Nya maupun berselisih satu sama lain, sebaliknya
mereka tunduk sama sekali pada kehendak-Nya dan me-
laksanakannya dengan suara bulat tanpa menggerutu atau
berbantah-bantahan. Demikianlah kehendak Allah dilak-
sanakan di sorga, dan kita pun hendaknya berdoa supaya
kehendak-Nya juga dilakukan di bumi oleh kita dan sesa-
ma. Matahari, bulan, juga bintang-bintang tetap pada ja-
lurnya dan tidak pernah bertabrakan satu sama lain.
Bahkan, di dalam wilayah yang lebih rendah ini pun, yang
sering digoncang oleh badai dan topan, saat Allah
berkenan, dan dibuat-Nyalah badai itu diam (Mzm. 107:29;
65:8). Perhatikanlah, tempat-tempat tinggi yaitu milik-Nya,
sebab langit itu langit kepunyaan Tuhan (Mzm. 115:16) se-
cara khusus. Damai sejahtera yaitu karya Allah. Di mana
ada damai, Dialah yang menciptakannya (Yes. 57:19). Di
sorga ada damai yang sempurna, sebab di sana ada ke-
kudusan sempurna dan ada Allah yang yaitu kasih.
(3) Allah memiliki kekuatan yang tidak terbendung: “Dapatkah
dihitung pasukan-Nya?” (ay. 3). Kebesaran dan kekuasaan
raja-raja diukur berdasarkan pasukan mereka. Allah sen-
diri bukan hanya Mahakuasa, namun juga memiliki pasukan
tak terhingga yang selalu siap di bawah perintah-Nya. Me-
reka semuanya tentara aktif yang tidak pernah dibubarkan,
pasukan tetap, terdisiplin dengan baik, tidak pernah meng-
hilang, tidak pernah kalang kabut, tidak pernah membe-
rontak. Mereka semua tentara senior yang sudah lama
mengabdi, tentara yang jaya, tidak pernah gagal meraih
kemenangan atau terkalahkan. Seluruh ciptaan yaitu
bala tentara-Nya, terutama para malaikat. Dialah Tuhan
atas segala sesuatu, Tuhan semesta alam. Pasukannya
tidak terhitung, namun Dia menciptakan damai. Dia bisa
saja memerangi kita, namun rela berdamai dengan kita, bah-
kan bala tentara sorga diutus untuk mengumandangkan
damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan
kepada-Nya (Luk. 2:14).
(4) Penyelenggaraan-Nya menjangkau seluruh ciptaan: “Siapa-
kah yang tidak disinari terang-Nya?” Cahaya matahari dipan-
carkan ke seluruh belahan dunia, selama setahun setiap ta-
hunnya, semua mendapat bagian yang sama (Lih. Mzm.
19:7). Kira-kira seperti itulah gambaran bagaimana Allah
memperhatikan dan memelihara seluruh ciptaan (Mat.
5:45). Segala sesuatu diketahui-Nya dengan terang bende-
rang dan terbuka di hadapan-Nya. Segala sesuatu menda-
pat bagian dalam terang kebaikan-Nya. Dia baik kepada
semua ciptaan. Bumi penuh dengan kebaikan-Nya. Dialah
Deus optimus – Allah, pribadi yang terbaik, juga maximus –
yang terbesar. Dia berkuasa untuk membinasakan, namun
kesukaan-Nya ialah menyatakan belas kasihan. Semua
ciptaan hidup sebab kemurahan-Nya yang berlimpah.
2. Bagaimana rendahnya manusia itu, dikatakan Bildad dengan
sangat tepat dan sesuai (ay. 4): Bagaimana manusia benar di
hadapan Allah, dan bagaimana orang yang dilahirkan perem-
puan itu bersih? Manusia itu bukan hanya hina, namun juga
jahat, bukan hanya fana, namun juga najis. Ia tidak mungkin
benar, ia tidak mungkin bersih,
(1) Dibandingkan dengan Allah. Kebenaran dan kesucian se-
orang manusia, dalam keadaan terbaik pun, tidak ada apa-
apanya dibandingkan dengan kebenaran dan kesucian
Allah (Mzm. 89:7).
(2) Dalam berbantah dengan Allah. Barang siapa menyanggah
firman dan penyelenggaraan Allah sudah pasti akan celaka.
Allah akan dibenarkan, manusia akan dihukum (Mzm.
51:6; Rm. 3:4). Penghakiman Allah tidak pernah salah, ka-
rena itu tiada perkecualian di dalamnya dan tidak mungkin
naik banding menentangnya.
(3) Dalam pandangan Allah. Bila Allah itu sedemikian dahsyat
dan mulia, bagaimana manusia yang bersalah dan nista
tampil di hadapan-Nya? Perhatikanlah,
[1] Oleh sebab pelanggarannya sendiri, manusia itu jahat
di hadapan pengadilan Allah dan tidak dapat membe-
narkan dirinya sendiri di hadapan-Nya. Ia tidak dapat
menyatakan dirinya tidak bersalah, tidak pula dapat
mengajukan dirinya memiliki suatu jasa untuk mengim-
bangi atau meringankan kesalahannya. Kitab Suci telah
menyatakan bahwa semua orang berdosa.
[2] Oleh sebab dosa atau kerusakan asalinya, sebab dila-
hirkan oleh seorang perempuan, manusia itu keji di ha-
dapan kekudusan Allah dan tidak mungkin bersih di
mata-Nya. Allah melihat kenajisannya, dan tentu oleh
sebab kenajisan itu, manusia dinyatakan tidak patut
sama sekali untuk bersekutu dengan Allah dalam anu-
gerah di bumi ini, dan tidak patut pula untuk melihat-
Nya dan menikmati Dia pada masa mendatang. Oleh
sebab itu, kita perlu dilahirkan kembali dari air dan Roh
Kudus, dan dibasuh berulang kali dalam darah Kristus,
mata air yang selalu terbuka itu.
II. Bildad menunjukkan betapa benda-benda langit pun suram dan
cela dalam pandangan Allah, dan dalam perbandingan dengan-
Nya, sehingga disimpulkannya betapa manusia itu kecil, hina,
dan tidak bernilai.
1. Terang benda-benda penerang di langit, sekalipun yaitu cip-
taan yang indah, namun di hadapan Allah mereka sama
seperti gumpalan tanah (ay. 5): Sesungguhnya, bahkan bulan
pun yang bergerak dalam terang, dan bintang-bintang, pelita
langit yang mulia itu, yang sinarnya begitu memesonakan
bangsa-bangsa kafir hingga mereka memujanya, pun tidak
benderang di hadapan Allah, dalam perbandingan dengan Dia.
Mereka tidak murni, tidak ada keagungan pada mereka, se-
perti lilin, meskipun menyala, tidak bersinar saat ditempatkan
di bawah terang cahaya matahari. Keagungan Allah yang ber-
cahaya lewat penyelenggaraan-penyelenggaraan-Nya memu-
darkan keagungan ciptaan yang paling terang sekalipun (Yes.
24:23), Bulan purnama akan tersipu-sipu, dan matahari terik
akan mendapat malu, sebab TUHAN semesta alam akan meme-
rintah di gunung Sion. Benda-benda langit sering kali tertutup
awan. Kita bisa melihat jelas adanya bercak noda pada bulan,
dan dengan bantuan lensa, terkadang kita dapat menemukan
bercak pada matahari juga. Namun, Allah melihat pada mere-
ka noda yang tidak kita lihat. sebab itu, betapa lancangnya
Ayub berani menyanggah Allah yang mampu menemukan ke-
salahan dalam dirinya yang tidak disadarinya sendiri?
2. Anak-anak manusia, sekalipun yaitu ciptaan yang luhur,
namun di hadapan Allah tidak ubahnya seperti cacing-cacing
tanah (ay. 6): Lebih-lebih lagi manusia, kehormatannya lebih
redup, kebenarannya tidak murni, sebab dia yaitu berenga,
anak manusia, siapa pun orangnya, yaitu ulat! Seekor hama
(menurut sebagian versi), tidak hanya hina dan menjijikkan,
namun juga berbahaya dan najis. Seekor tungau (menurut versi
lain), binatang terkecil yang tidak bisa dilihat dengan mata te-
lanjang, harus memakai kaca pembesar. Demikianlah ma-
nusia itu.
(1) Begitu hina, kecil, tidak patut diperhitungkan bila diban-
dingkan dengan Allah dan para malaikat kudus. Mereka
tidak bernilai dan tercela, sebab asalnya telah rusak, ber-
gegas menuju kebobrokan. Jadi, betapa tidak beralasan
manusia itu untuk berbangga diri, malah sebaliknya sangat
beralasan baginya untuk merendahkan diri!
(2) Begitu lemah dan tidak berdaya, mudah sekali digilas, se-
hingga bukan tandingan yang sepadan bagi Allah Yang
Mahakuasa. Masakan manusia dengan bodohnya hendak
berbantah dengan Penciptanya yang bisa menginjaknya
sampai remuk, dengan lebih mudah daripada kita mengin-
jak ulat?
(3) Begitu kotor dan najis. Manusia itu tidak murni, sebab ia
hanyalah belatung, menetas di tempat pembusukan, se-
hingga ia menjijikkan bagi Allah. Oleh sebab itu, marilah
kita mengagumi betapa agungnya Allah itu, yang mau me-
rendahkan diri-Nya untuk mengajak ulat-ulat seperti kita
ini untuk masuk ke dalam ikatan kovenan dan persekutu-
an dengan diri-Nya sendiri. Terutama kita patut kagum
terhadap Anak Allah yang mau merendahkan diri-Nya, me-
ngosongkan diri-Nya begitu rupa hingga berkata, “Aku ini
ulat dan bukan orang” (Mzm. 22:7).
PASAL 26
ni yaitu tanggapan singkat Ayub terhadap tuturan singkat Bil-
dad. Ayub sangat jauh dari menentang Bildad, malah menguatkan
apa yang telah dikatakannya, dan lebih mengagungkan Allah lagi dan
memperlihatkan kekuasaan-Nya, untuk menunjukkan alasan meng-
apa dia masih harus berbicara seperti yang dilakukannya (13:2), “Apa
yang engkau ketahui yaitu sama seperti yang aku ketahui.”
I. Ia menunjukkan bahwa perkataan Bildad menyimpang dari
pokok yang sedang dibicarakan, kendati sangat benar dan
baik, namun tidak mencapai tujuan (ay. 2-4).
II. Bahwa perkataan Bildad itu tidak diperlukan oleh orang yang
sedang berbicara dengan dia, yaitu Ayub sendiri. Sebab Ayub
tahu juga apa yang dikatakannya, dan mempercayainya, ser-
ta dapat berbicara tentang hal itu pula sebaik dirinya. Bah-
kan menurut Ayub, ia dapat berbicara tentang hal itu lebih
baik daripada Bildad, dan dapat menambahkan bukti-bukti
tentang kuasa dan kebesaran Allah, yang dilakukannya da-
lam sisa bagian pembicaraannya (ay. 5-13). Pada akhirnya
Ayub menyimpulkan bahwa, semua yang mereka berdua telah
sampaikan tentang kuasa dan kebesaran Allah itu, semuanya
masih jauh dari sempurna, masih jauh dari lengkap (ay. 14).
Jawaban Ayub Atas Tanggapan Bildad
(26:1-4)
1 namun Ayub menjawab: 2 “Alangkah baiknya bantuanmu kepada yang tidak
kuat, dan pertolonganmu kepada lengan yang tidak berdaya! 3 Alangkah
baiknya nasihatmu kepada orang yang tidak mempunyai hikmat, dan peng-
ertian yang kauajarkan dengan limpahnya! 4 Atas anjuran siapakah engkau
mengucapkan perkataan-perkataan itu, dan gagasan siapakah yang kaunya-
takan?
Orang tidak akan menyangka bahwa Ayub, meskipun sedang begitu
kesakitan dan sengsara, masih sempat juga mengolok-olok teman-
nya, seperti yang dilakukannya di sini, dan bergembira dengan sikap-
nya yang kurang hormat dalam menanggapi temannya. Bildad me-
nyangka telah membuat sebuah pidato yang baik, isinya sangat ber-
bobot, dan bahasanya sangat halus, dan berhasil sebagai seorang pem-
bicara dan seorang orator yang hebat. Namun Ayub dengan cukup
kesal menunjukkan bahwa penampilan Bildad tidaklah sehebat yang
dipikirkannya, dan mengejek Bildad sebab hal itu. Ayub menunjuk-
kan,
I. Bahwa tidak ada hal besar yang bisa ditemukan dalam perkataan
Bildad (ay. 3): Alangkah baiknya pengertian yang kauajarkan de-
ngan limpahnya! Dengan ironis, ia mencela Bildad yang menyom-
bongkan diri dengan perkataannya.
1. Bildad menyangka telah berbicara dengan sangat jelas, telah
mengajarkan pengertian sebagaimana mestinya. Ia sangat bang-
ga (seperti kecenderungan kita semua) dengan pendapatnya
sendiri, dan menganggap semuanya benar, baik, dan berhikmat,
sedangkan semua pendapat lain salah, keliru, dan membi-
ngungkan. Padahal, saat kita berbicara tentang kemuliaan
Allah, kita tidak dapat menyatakan halnya yang sebenarnya,
sebab kita melihatnya melalui sebuah cermin yang buram,
atau lewat pantulan saja. Kita tidak akan melihat Dia sebagai-
mana adanya sampai kita sampai ke sorga. Di sini tak ada
yang dapat kami paparkan oleh sebab kegelapan (37:19).
2. Bildad menyangka telah mengungkapkan seluruhnya, kendati
dengan singkat, telah memaparkannya secara berlimpah! Na-
mun, aduh! Sesungguhnya yang ia paparkan itu benar-benar
buruk dan hampir tidak cukup, dibandingkan dengan luas
dan dalamnya pokok pembicaraan.
II. Bahwa kecil sekali gunanya perkataan Bildad itu. Cui bono – Man-
faat apa yang telah engkau dapatkan dengan semua yang engkau
katakan? Alangkah baiknyakah, dengan perkataanmu yang berbu-
nga-bunga itu, bantuanmu kepada yang tidak kuat? (ay. 2). Alang-
kah baiknyakah, dengan perkataanmu yang sangat dalam itu, na-
sihatmu kepada orang yang tidak mempunyai hikmat? (ay. 3).
Ayub ingin meyakinkan Bildad,
1. Bahwa Bildad tidak melakukan pelayanan apa-apa kepada Allah
dengan hal itu, juga tidak membuat-Nya berutang budi kepada-
nya. Memang merupakan kewajiban kita, dan akan menjadi
kehormatan kita, untuk berbicara atas nama Allah. Namun
kita tidak boleh berpikir bahwa Allah butuh pelayanan kita,
atau berutang kepada kita atas pelayanan kita itu, atau akan
menerimanya, jika dilakukan dengan roh pertentangan dan
perdebatan, dan jika tidak dengan maksud tulus untuk kemu-
liaan Allah.
2. Bahwa Bildad tidak membantu apa-apa dengan perkara Ayub.
Bildad berpikir teman-temannya sangat berutang budi kepada-
nya sebab ia sudah menolong mereka dalam berurusan de-
ngan Ayub, saat mereka semua sudah kehabisan akal, tidak
berdaya lagi, dan habis hikmat. Memang saat perdebatan
memanas, orang-orang yang berdebat akan cenderung meng-
anggap kebenaran lebih berpihak kepada mereka, meskipun
sebenarnya tidak begitu.
3. Bahwa Bildad tidak melakukan kegunaan apa-apa kepada
Ayub dengan semua perkataannya itu. Ia berpura-pura meng-
insafkan, menasihati, dan menghibur Ayub. namun aduh! Apa
yang dikatakannya jauh dari menjawab persoalannya, sehing-
ga tidak ada guna untuk memperbaiki kesalahan, atau untuk
membantu Ayub dalam menanggung atau meringankan ke-
sengsaraannya. “Atas anjuran siapakah engkau mengucapkan
perkataan-perkataan itu? (ay. 4). Kepadakukah engkau meng-
arahkan nasihatmu itu? Sangkamu aku ini seorang anak kecil
sehingga membutuhkan petunjuk-petunjuk seperti itu? Atau
pikirmu perkataanmu itu cocok untuk seseorang yang ada
dalam kondisiku?” Segala sesuatu yang benar dan baik belum
tentu cocok dan tepat waktunya. Orang yang direndahkan,
hancur hati, dan berduka di dalam roh, seperti Ayub, seharus-
nya diberitakan tentang kabar anugerah dan belas kasihan
Allah, daripada kebesaran dan keagungan-Nya. Untuk orang-
orang demikian lebih baik diberikan kata-kata penghiburan
daripada kengerian dari Yang Mahakuasa. Kristus tahu bagai-
mana menyampaikan hal yang cocok kepada yang letih lesu
(Yes. 50:4), dan para hamba-Nya harus belajar dengan benar
untuk membagi firman kebenaran, dan tidak mendatangkan
kesedihan kepada orang-orang yang Allah sendiri tidak ber-
maksud tidak membuat mereka bersedih, seperti yang dilaku-
kan oleh Bildad terhadap Ayub. Oleh sebab itu Ayub bertanya
kepada Bildad, Gagasan siapakah yang kaunyatakan? Yaitu,
“Jiwa yang gundah mana yang dapat dibangkitkan, dan dilega-
kan, serta dipulihkan, dengan nasihat seperti ini?” Demikian-
lah betapa sering kita dikecewakan dalam harapan kita kepada
teman-teman kita yang seharusnya menghibur kita. namun ,
Sang Penghibur, yaitu Roh Kudus, tidak pernah salah dalam
tindakan-Nya atau meleset dalam tujuan-Nya.
Hikmat dan Kuasa Allah
(26:5-14)
5 Roh-roh di bawah menggeletar, demikian juga air dan penghuninya. 6 Dunia
orang mati terbuka di hadapan Allah, tempat kebinasaan pun tidak ada
tutupnya. 7 Allah membentangkan utara di atas kekosongan, dan menggan-
tungkan bumi pada kehampaan. 8 Ia membungkus air di dalam awan-Nya,
namun awan itu tidak robek. 9 Ia menutupi pemandangan takhta-Nya, me-
lingkupinya dengan awan-Nya. 10 Ia telah menarik garis pada permukaan air,
sampai ujung perbatasan antara terang dan gelap; 11 tiang-tiang langit ber-
goyang-goyang, tercengang-cengang oleh hardik-Nya. 12 Ia telah meneduhkan
laut dengan kuasa-Nya dan meremukkan Rahab dengan kebijaksanaan-Nya.
13 Oleh nafas-Nya langit menjadi cerah, tangan-Nya menembus ular yang
tangkas. 14 Sesungguhnya, semuanya itu hanya ujung-ujung jalan-Nya; beta-
pa lembutnya bisikan yang kita dengar dari pada-Nya! Siapa dapat mema-
hami guntur kuasa-Nya?”
Kebenaran telah menerima banyak pencerahan dari perdebatan an-
tara Ayub dan para sahabatnya mengenai pokok-pokok perbedaan
mereka. namun sekarang mereka sampai pada sebuah pokok di mana
mereka semua sepakat, yaitu kemuliaan dan kuasa yang tak terbatas
dari Allah. Betapa kebenaran menang dan terang bersinar, saat
tidak ada perselisihan lain di antara para pendebat itu selain hanya
berbicara dengan teramat luhur dan hormat tentang Allah dan dengan
berlimpah puji-pujian kepada-Nya! Alangkah baiknya jika semua per-
debatan tentang hal-hal keagamaan dapat berakhir demikian, dengan
memuliakan Allah sebagai Tuhan atas semua, dan Tuhan kita, de-
ngan satu hati dan satu suara (Rm. 15:6). Sebab itulah tujuan kita
dan yang membuat kita semua sepakat.
I. Banyak contoh luar biasa diberikan di sini tentang hikmat dan
kuasa Allah di dalam penciptaan dan pemeliharaan dunia.
1. Apabila kita memandang di sekeliling kita, kepada bumi dan air
yang ada di bawah, kita akan melihat contoh yang memukau dari
kemahakuasaan, yang dapat kita kumpulkan dari ayat-ayat ini.
(1) Ia menggantungkan bumi pada kehampaan (ay. 7). Bumi
yang sangat luas tidak bertumpu pada tiang apa pun atau
bergantung pada suatu tiang poros, namun dengan kekuat-
an Allah Yang Mahakuasa dengan kokoh berdiri tetap di
tempatnya, ditahan oleh beratnya sendiri. Keahlian manu-
sia tidak sanggup menggantung sehelai bulu pada keham-
paan, namun hikmat ilahi menggantung bumi demikian. Bumi
ponderibus librata suis – ditahan oleh beratnya sendiri, demi-
kian kata sang penyair. Bumi ditopang kuasa firman
Allah, demikian kata sang rasul. Apa yang digantung pada
kehampaan dapat menolong kita untuk menjejakkan kaki
kita di atasnya, dan menanggung beban tubuh kita, namun
hal tersebut tidak pernah akan menolong kita untuk meno-
pang hati kita kepadanya atau menanggung beban jiwa
kita.
(2) Ia telah menarik garis pada permukaan air, dan membatasi-
nya (ay. 10), sehingga air tidak dapat kembali menutupi
bumi. Dan batasan ini akan tetap, tidak dapat digeser, di-
goncangkan, dirusakkan, sampai ujung perbatasan antara
terang dan gelap berakhir, sampai waktu sudah tidak ada
lagi. Di sinilah tampak kekuasaan dari Penyelenggaaraan
Allah yang mengatasi air laut yang mengamuk, sehingga
hal ini menjadi sebuah contoh dari kuasa-Nya (Yer. 5:22).
Kita juga melihat kepedulian yang diberikan oleh Sang Pe-
nyelenggara atas para penduduk yang miskin dan berdosa
di bumi, yang, kendati menjengkelkan bagi keadilan-Nya
dan bergantung pada belas kasihan-Nya, namun tetap di-
lindungi-Nya dari kebinasaan, seperti yang pernah mereka
alami melalui air bah, dan mereka akan tetap dipelihara-
Nya, sebab mereka disimpan untuk dibakar api kelak.
(3) Ia menciptakan makhluk-makhluk yang mematikan di ba-
wah air. Makhluk-makhluk raksasa dibentuk di bawah air,
yaitu makhluk-makhluk ciptaan yang sangat besar, luar
biasa ukurannya, seperti ikan paus, makhluk-makhluk se-
perti raksasa, di antara penghuni lautan yang tak terbilang
banyaknya. Demikian tutur Uskup Patrick.
(4) Dengan badai dan prahara yang dahsyat ia mengguncang
gunung-gunung, yang di sini disebut tiang-tiang langit (ay.
11), dan bahkan meneduhkan laut dengan kuasa-Nya (ay.
12). Di hadapan TUHAN laut melarikan diri dan gunung-
gunung melompat-lompat (Lih. Mzm. 114:3-4; Hab. 3:6, dst.).
Sebuah badai menyapu laut, dan membelahnya. Lalu suatu
ketenangan menerpa ombak dan membuatnya datar kem-
bali (Lih. Mzm. 89:10-11). Para penafsir yang menduga
Ayub hidup di masa Musa atau sesudahnya, menghubung-
kan hal ini dengan pembelahan Laut Merah di hadapan
anak-anak Israel, dan tenggelamnya orang-orang Mesir di
dalamnya. Ia meremukkan Rahab dengan kebijaksanaan-
Nya. Demikian istilahnya, dan Rahab sering dilambangkan
sebagai Mesir (Mzm. 87:4; Yes. 51:9).
2. Apabila kita mempertimbangkan neraka di bawah, kendati
tempat itu di luar jangkauan penglihatan kita, namun kita ma-
sih dapat memahami kuasa Allah di sana. Kata dunia orang
mati dan tempat kebinasaan (ay. 6) dapat dimengerti sebagai
kuburan. Orang-orang yang dikubur di dalamnya berada di
bawah pengawasan Allah, kendati terletak di luar jangkauan
penglihatan kita, dan hal ini dapat menguatkan kepercayaan
kita tentang kebangkitan orang mati. Allah tahu di mana me-
nemukan dan kapan menjemput semua serpihan yang ter-
serak dari tubuh yang membusuk dan hancur. Kita dapat pula
memahami dunia orang mati dan tempat kebinasaan sebagai
merujuk kepada tempat yang terkutuk, di mana jiwa-jiwa
orang fasik yang terpisah mengalami siksaan dan penderitaan.
Itulah neraka dan kebinasaan, yang dikatakan berada di
hadapan TUHAN (Ams. 15:11), dan di sini disebut terbuka di
hadapan Dia, yang mungkin dirujuk dalam Kitab Wahyu
14:10, di mana orang-orang berdosa akan disiksa di depan
mata malaikat-malaikat kudus yang menghadap Takhta Suci,
dan di depan mata Anak Domba. Dan hal ini dapat memberi
terang kepada ayat 5, di mana beberapa versi kuno membaca-
nya demikian (dan saya pikir lebih dekat dengan arti makhluk
raksasa): Roh-roh di ba