ngannya; ada sebagian dari mereka yang menerima kebenaran ini
dan ada sebagian lagi yang berpaling dari kebenaran dengan amat
sombongnya.
Sebagian berada di surga dan sebagian lagi di neraka.
Sedangkan Zur bin Saduds begitu ia hampir saja melihat Rasulullah
Saw yang sedang berada dalam posisinya yang amat bagus dan menyentuh
setiap hati yang beriman dan terlihat oleh mata yang jatuh cinta. Hampir
saja ia berimah hingga kedengkian merasuki hatinya dan rasa takut
memenuhi sanubarinya. Ia lalu berkata kepada orang-orang yang ada di
sekelilingnya: “Aku kini melihat seorang manusia yang akan menundukkan
43
Yatsrib yaitu Madinah Munawarah
44
Uzza yaitu sebuah berhala besar milik bangsa Arab pada masa Jahiliyah… lihatlah proses
penghancuran para berhala pada buku Hadatsa fi Ramadhan
leher semua bangsa Arab. Demi Allah, aku tidak akan pernah membiarkan
dia menundukkan leherku!” Lalu ia berangkat ke negeri Syam, mencukur
rambutnya dan masuk ke dalam agama Nashrani.
Sedangkan Zaid dan manusia yang tersisa lain lagi ceritanya. Begitu
Rasulullah Saw mengakhiri khutbahnya, ia langsung berdiri di antara
kumpulan muslimin –dia yaitu orang yang paling tampan, berakhlak baik
dan paling tinggi-sehingga meski ia berada di atas kuda maka kakinya akan
menyentuh tanah seolah ia hanya mengendari seekor keledai saja.
Ia berdiri dengan postur yang tegap dan berbicara dengan suara
lantang: “Ya Muhammad, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa engkau yaitu utusan Allah!” Rasul Saw membalas dengan
pertanyaan: “Siapakah engkau?” Ia menjawab: “Saya yaitu Zaid Al Khail
bin Muhalhil.” Rasul langsung bersabda: “Engkau yaitu Zaid al Khair
bukan Zaid al Khail. Segala puji bagi Allah Yang telah membawamu dari
perjalanan yang menyusuri pantai dan pegunungan, dan Yang telah
membuat hatimu luluh menerima Islam.”
Sejak itu, ia dikenal dengan sebutan Zaid Al Khair.
lalu ia mengikuti Rasulullah Saw ke rumah Beliau disertai
dengan Umar bin Khattab dan beberapa orang sahabat lainnya. Begitu
sampai di rumah Beliau, Rasulullah Saw membentangkan bangku sandaran
buat Zaid. Zaid merasa segan dan menolak bangku sandaran ini .
Rasul Saw terus saja mempersilahkannya dan Zaid masih saja menolak
sebanyak tiga kali.
sesudah lama majlis ini berlangsung, Rasulullah bersabda kepada
Zaid Al Khair: “Ya Zaid, Tidak ada orang yang diceritakan kepadaku
lalu aku melihatnya kecuali ia tidak sesuai dengan apa yang
diceritakan kepadaku kecuali kamu.” Lalu Rasul bertanya kepada Zaid:
“Bagaimana engkau bisa demikian, Ya Zaid?” Zaid menjawab: “Aku selalu
mencintai kebaikan dan orang yang melaksanakannya. Jika aku mengerti
akan kebaikan maka aku akan meyakini pahalanya. Jika aku tidak sempat
melakukan kebaikan itu, maka aku akan merindukannya.” Rasulullah Saw
lalu bersabda: “Inilah tanda Allah bagi siapa saja yang Ia inginkan.” Zaid
lalu berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan aku sesuai
dengan kehendak-Nya dan kehendak Rasul-Nya.”
Ia lalu menoleh ke arah Nabi Saw sambil berkata: “Kirimkan kepadaku
wahai Rasulullah 300 orang penunggang kuda. Aku jamin bahwa aku akan
menyerang negeri Romawi bersama mereka dan aku akan
mengalahkannya.”
Maka Rasul Saw lalu membesarkan semangatnya ini dengan sabdanya:
“Betapa banyak kebaikanmu, ya Zaid. Manusia seperti apa kau ini?”
lalu semua orang yang menemani Zaid dari kaumnya
menyatakan diri masuk Islam.
Saat Zaid hendak kembali bersama rombongannya menuju kampung
mereka di Najd, Rasulullah Saw melepas mereka dengan bersabda:
“Manusia seperti apa ini?! Betapa ia amat penting kalau saja ia selamat dari
wabah di Madinah!!”
Madinah Al Munawarah pada saat itu sedang mendapat wabah demam.
Begitu Zaid Al Khair meninggalkan Madinah maka ia terserang demam. Ia
pun berkata kepada rombongannya: “Jauhkan aku dari negeri Qais, sebab
di antara kami ada dendam sejak masa jahiliah. Demi Allah aku tidak akan
berperang melawan seorang muslim sehingga aku berjumpa dengan Allah
Swt.
Zaid Al Khair meneruskan perjalanannya menuju kampungnya di Najd
meski serangan demam terus menggila pada dirinya dari waktu ke waktu;
Ia berharap ia dapat berjumpa lagi dengan kaumnya dan agar Allah
menetapkan keislaman pada mereka lewat dakwahnya.
Tinggi cita-cita mulia yang hendak ia capai, namun belum juga ia dapat
mewujudkannya, ia sudah terlebih dahulu menghembuskan nafasnya yang
terakhir di tengah perjalanan. Sejak ia masuk Islam hingga ia wafat tidak
ada kesempatan yang ia pergunakan hingga terjerumus dalam perbuatan
dosa.
Ady Bin Hatim Al Tha’i
“Engkau Akan Aman Bila Mereka Kafir. Engkau Akan Paham Jika
Mereka Ingkar. Engkau Akan Memenuhi Janji Jika Mereka
Berkhianat. Engkau Akan Datang Jika Mereka Lari.” (Umar Bin
Khattab)
Pada tahun ke-9 H seorang raja dari bangsa Arab masuk Islam sesudah
menolaknya sekian lama. sesudah sekian lama berpaling dan menghalangi
orang lain, akhirnya ia beriman. Ia juga menjadi taat dan patuh kepada
Rasulullah Saw sesudah sebelumnya begitu membangkang.
Dialah Ady bin Hatim At Tha’i yang dijadikan perumpamaan sebagai
kedermawanan ayahnya.
Ady mewarisi kerajaan Tha’i dari ayahnya. Ia mewajibkan seperempat
ghanimah yang didapat kaumnya untuk disetor kepadanya. Dan ia
memegang kekuasaan tertinggi atas kaumnya.
Begitu Rasulullah Saw melakukan dakwahnya secara terang-terangan,
dan banyak bangsa Arab yang mau menerimanya daerah demi daerah. Ady
melihat bahwa dalam dakwah Rasulullah ada kepemimpinan yang dapat
mengambil alih kepemimpinannya. Ia pun lalu menentang Rasulullah Saw
dengan keras –padahal ia sendiri belum mengenalnya- dan membenci
Beliau sebelum melihatnya secara langsung.
Permusuhannya dengan Islam berlangsung hampir selama 20 tahun
sehingga Allah Swt melapangkan dadanya untuk menerima dakwah
kebenaran dan petunjuk.
Proses masuknya Ady bin Hatim ke dalam Islam memiliki cerita
tersendiri... Kami akan membiarkan ia menceritakan hal ini sendiri; sebab
dialah yang sepantasnya bercerita tentang hal ini.
Ady berkata:
Tidak ada seorangpun dari bangsa Arab yang melebihiku dalam
membenci Rasulullah Saw saat aku mendengar namanya. Aku tadinya
yaitu seorang yang terpandang dan beragama Nashrani. Aku menetapkan
kepada kaumku bahwa aku mendapatkan seperempat harta ghanimah
sehingga aku pun mengambil seperempat harta ini sebagaimana yang
sering dilakukan oleh para raja Arab. Begitu aku mendengar Rasulullah
Saw aku amat membencinya.
Begitu dakwahnya semakin mantap, kekuatan pasukannya semakin
bertambah, dan tentaranya sudah mampu menaklukan timur dan barat
arab; aku katakan kepada seorang budak yang bertugas menggembala
untaku: “Siapkan untukku seekor unta yang gemuk dan mudah dikendarai.
Ikatkanlah ia di dekatku. Jika kau mendengar bahwa tentara atau pasukan
Muhammad sudah masuk ke dalam negeri ini, beritahukan aku!”
Pada suatu pagi, budakku datang menghadap sambil berkata: “Tuanku,
Jika kau berniat untuk berangkat jika kuda pasukan Muhammad telah
memasuki wilayahmu, maka lakukanlah sekarang!”
Aku bertanya: “Memangnya kenapa?!” Ia berkata: “Aku telah melihat
panji-panji di seluruh penjuru negeri. Aku bertanya apa maksudnya ini.
Ada orang yang berkata kepadaku bahwa ini yaitu pasukan Muhammad!”
Langsung aku katakan padanya: “Siapkan unta yang pernah aku bilang dan
bawa kepadaku!”
lalu aku bangkit; lalu aku mengajak istri dan anak-anakku untuk
pergi ke suatu tempat yang aku senangi. Lalu aku berangkat segera menuju
negeri Syam untuk bergabung dengan penganut agama Nashrani dan
tinggal bersama mereka di sana.
sebab tergesa-gesa aku tidak memperhatikan semua keluargaku.
Begitu aku melewati tempat yang berbahaya, aku memeriksa keluargaku,
ternyata ada saudariku yang tertinggal di Najd bersama beberapa orang
yang lain di Tha’i.
Aku tidak sempat lagi kembali menjemput mereka.
Aku pun meneruskan perjalanan bersama orang-orang yang
menemaniku hingga tiba di Syam. Aku tinggal di sana bersama pengikut
agama Nashrani yang lain. Sedangkan saudariku barangkali telah terkena
sesuatu yang aku khawatirkan dan takutkan.
Ketika di Syam aku mendengar bahwa tentara Muhammad telah
menyerang negeri kami dan telah menawan saudariku bersama tawanan
yang lain dan kini telah digiring ke Yatsrib.
Di sana ia terikat bersama tawanan yang lain di sebuah pekarangan
depan pintu mesjid. Lalu Rasulullah Saw melintas dihadapannya dan ia pun
berdiri dan berkata kepada Rasul: “Ya Rasulullah, Ayahku telah mati dan
penggantinya menghilang; kasihilah kami dan Allah akan mengasihimu!”
Rasul bertanya: “Siapa pengganti ayahmu?” Ia menjawab: “Ady bin Hatim.”
Rasul bertanya dengan nada keheranan: “Orang yang lari dari Allah
dan Rasul-Nya?!”
Lalu Rasulullah Saw pergi dan meninggalkannya.
Keesokan harinya Rasul Saw melintas lagi dihadapan saudariku dan
saudariku berkata kepadanya seperti apa yang ia ucapkan sebelumnya. Dan
Rasul pun menjawabnya dengan ucapan seperti sebelumnya. Esok lusanya
Rasul melintas lagi di hadapannya dan saudariku sudah putus asa dan tidak
berkata apapun kali ini. Lalu ada seorang pria dari belakang Rasul yang
memberi isyarat kepada saudariku untuk berdiri dan berbicara kepada
Rasulullah Saw. Saudariku pun berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah, Ayahku
telah mati dan penggantinya menghilang; kasihilah kami dan Allah akan
mengasihimu!” Rasul langsung menjawab: “Aku telah melakukannya.” Ia
berkata lagi: “Aku ingin menyusul keluargaku di Syam.” Rasul bersabda:
“Tidak usah terburu-buru pergi hingga engkau mendapati orang yang kau
percaya untuk membawamu ke Syam. Jika kau telah menemukan orang
yang tepat, beritahukan aku!”
Begitu Rasul Saw berlalu, saudariku menanyakan tentang pria yang
telah memberi isyarat kepadanya untuk berbicara kepada Rasul. Lalu ada
yang mengatakan padanya bahwa pria tadi yaitu Ali bin Abi Thalib ra.
Saudariku lalu tinggal di sana hingga datang sebuah rombongan di
mana salah seorang anggotanya dapat dipercaya oleh saudariku. Maka
saudariku datang menghadap Rasulullah Saw dan berkata: “Ya Rasulullah,
ada rombongan kaumku yang baru datang. Ada orang yang aku percaya di
antara mereka dan mampu mengantarkan aku.” Maka Rasulullah Saw
memberikan kepadanya pakaian dan unta yang dapat ditungganginya. Dan
Beliau juga memberikan beberapa uang secukupnya. Dan akhirnya
saudariku pergi bersama rombongan tadi.
Ady meneruskan ceritanya: “ sesudah itu, kami selalu mencari informasi
tentang diri saudariku. Kami menunggu kedatangannya. Dan kami hampir
saja tidak mempercayai kisah dirinya dengan Muhammad yang begitu baik
memperlakukan saudariku tanpa pernah memandang sikapku kepadanya.”
Demi Allah, saat itu aku sedang duduk bersama keluarga ketika aku
melihat ada seorang perempuan yang berada di sekudupnya45 sedang
menuju ke arah kami.
Aku langsung berseru: “Putri Hatim. Itu dia. Itu dia!”
Begitu ia sampai ia langsung berkata: “Dasar pemutus hubungan
keluarga! Dasar zhalim! Engkau bisa membawa anak dan istrimu dan kau
tinggalkan orang tua dan saudara-saudaramu!”
Akupun berkata: “Saudariku, janganlah berkata apapun kecuali yang
baik-baik saja!” Aku membujuknya terus hingga ia pun luluh. Ia lalu
bercerita tentang kisahnya. Dan rupanya persis seperti yang pernah aku
dengar. Aku bertanya kepadanya-dia yaitu seorang wanita yang cerdas-:
“Apa pendapatmu tentang pria itu (maksudnya Muhammad Saw)?” Ia
menjawab: “Demi Allah, pendapatku lebih baik kau bergabung dengannya
segera. Jika ia yaitu seorang Nabi maka orang yang lebih cepat
45
Kubah yang berada di atas punggung unta untuk membawa penunggang wanita.
mengikutinya akan mendapatkan kemuliaan. Jika dia yaitu seorang raja,
maka engkau tidak akan menjadi hina bersamanya. Engkau akan tetap
menjadi engkau.”
Ady berkata: Akupun mempersiapkan bekalku lalu berangkat hingga
aku menghadap Rasulullah Saw di Madinah tanpa membawa pengamanan
dan tanpa surat apapun. Aku pernah mendengar bahwa ia berkata: “Aku
berharap Allah menjadikan tangan Ady bersama tanganku.” Maka aku
menghadapnya –saat itu Beliau sedang di Masjid- dan aku mengucapkan
salam kepadanya.
Beliau bertanya: “Siapakah orang ini?” Aku menjawab: “Saya yaitu
Ady bin Hatim.” Beliau lalu menghampiriku dan menarik tanganku dan
membawaku menuju rumahnya.
Demi Allah, saat itu Beliau sedang menuju rumahnya saat ada seorang
perempuan lemah dan tua bersama seorang anaknya yang masih kecil dan
membuat Rasul berhenti sejenak. Perempuan tadi mengadukan hajatnya
kepada Rasul. Rasul Saw menanggapi wanita dan anaknya tadi sehingga
Beliau memberikan segala kebutuhannya dan aku berdiri menyaksikan hal
itu.
Aku berkata dalam diri: “Demi Allah, dia bukanlah seorang raja.”
lalu ia menggandeng tanganku lagi dan membawaku ke
rumahnya. Ia mengambil bantal dari kulit yang diisi dengan sabut. Beliau
melemparkannya kepadaku dan bersabda: “Duduklah di atasnya!” Aku
menjadi malu dan aku berkata: “Engkau saja yang duduk di atasnya!” Rasul
berkata lagi: “Engkau saja!” Aku pun menuruti dan duduk di atasnya. Dan
Nabi Saw duduk di atas tanah sebab tidak ada alas lain di rumah Beliau.
Aku berkata dalam diri: “Demi Allah, ini bukanlah kebiasaan seorang
raja.”
lalu ia melihat ke arahku sambil bertanya: “Ada apa ya Ady bin
Hatim. Bukankah engkau sudah memeluk sebuah agama antara Nashrani
dan Shabi’ah?” Aku menjawab: “Ya!”
Bukankah engkau mewajibkan seperempat harta ghanimah bagi dirimu
pada kaummu padahal itu tidak diperbolehkan oleh agamamu?!” Aku
menjawab: “Benar...” Aku mengerti bahwa dia yaitu seorang Nabi yang
diutus. Ia mengetahui apa yang tidak diketahui.
lalu Beliau bersabda kepadaku: “Mungkin wahai Ady, hal yang
membuat kau terhalang untuk masuk ke dalam agama ini yaitu hal yang
kau lihat dari kebutuhan dan kefakiran kaum muslimin. Demi Allah,
sebentar lagi harta berlimpah ruah untuk mereka sehingga tidak ada lagi
orang yang akan membutuhkannya.
Barangkali wahai Ady, hal yang membuatmu terhalang untuk masuk ke
dalam agama ini yaitu sebab engkau melihat jumlah kaum muslimin
yang sedikit dan musuh mereka yang banyak. Demi Allah sebentar lagi
engkau akan mendengar seorang perempuan yang pergi dari Al Qadisiyah
dengan mengendarai unta untuk berkunjung ke rumah ini, ia tidak takut
kepada siapapun selain Allah.
Barangkali hal yang menghalangimu masuk ke dalam agama ini yaitu
engkau melihat bahwa kaum muslimin tidak akan mendapatkan
kekuasaan. Demi Allah, sebentar lagi engkau akan mendengar bahwa
istana putih di negeri Babylonia akan mereka taklukkan dan harta
simpanan Kisra bin Hurmuz akan menjadi milik mereka.”
Aku bertanya lagi: “Harta Kisra bin Hurmuz?!!” Beliau menjawab:
“Benar, harta Kisra bin Hurmuz!”
Mulai saat itu aku mengucapkan syahadat dan akupun masuk Islam.
Ady bin Hatim dianugerahi usia yang panjang. Ia berkata: “Aku telah
membuktikan 2 janji Rasul dan hanya 1 yang belum terwujud. Demi Allah,
pasti janji yang ketiga juga akan terwujud.
Aku telah melihat seorang wanita yang pergi dari Al Qadisiyah dengan
mengendarai unta ia tidak takut kepada siapapun hingga sampai di rumah
ini. Aku juga berada pada barisan berkuda pertama yang menyerang harta
milik Kisra dan kami merebutnya. Aku bersumpah demi Allah, pasti akan
terbukti janji yang ketiga.”
Kehendak Allah berlaku untuk membuktikan sabda Nabi-Nya Saw
maka janji yang ketiga pun terbukti pada zaman Khalifah Umar bin Abdul
Aziz46, dimana harta begitu melimpah harta kaum muslimin sehingga ada
orang yang berseru siapa yang mau mengambil harta zakat kaum
muslimin, namun tidak ada seorang pun yang mengambilnya.
Benar sekali sabda Rasulullah Saw dan Ady bin Hatim menyaksikan
kebenaran sumpah Beliau.
Abu Dzar Al Ghifary
(Jundub Bin Junadah)
““Bumi Tidak Pernah Mengandung & Langit Tidak Pernah Menaungi
Orang yang Lebih Jujur Dari Abu Dzar.” (Muhammad Rasulullah)
Di lembah Waddan yang menyambungkan Mekkah dengan dunia luar
ada sebuah kabilah yang tinggal di sana bernama Ghifar.
Suku Ghifar ini hidup dari uang setoran yang diberikan oleh para
kafilah yang hendak melakukan perdagangan dari Quraisy ke Syam atau
sebaliknya.
Terkadang suku ini hidup dengan merampas para kafilah yang tidak
memberikan uang yang mereka pinta.
Jundub bin Junadah yang dikenal dengan Abu Dzar yaitu salah
seorang dari penduduk kabilah ini. Akan tetapi berbeda dengan lainnya, ia
memiliki keberanian hati, otak yang cerdas dan wawasan yang luas. Dan ia
merasa tidak suka sekali dengan berhala-berhala yang disembah kaumnya
selain Allah Swt. Ia menolak kerusakan agama dan akidah yang terjadi
pada kebanyakan bangsa Arab. Ia mencari tahu tentang munculnya
seorang Nabi yang baru untuk mengisi akal manusia dan hati mereka serta
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Lalu Abu Dzar-yang saat itu berada di kampungnya- mendengar kisah
tentang seorang Nabi yang baru dan muncul di kota Mekkah. Ia lalu
berkata kepada saudaranya bernama Anis: “Pergilah ke Mekkah dan carilah
kisah tentang orang yang mengaku Nabi itu dan mengkau menerima
wahyu dari langit. Dengarkanlah apa yang ia ucapkan dan sampaikan
kepadaku!”
Berangkatlah Anis ke Mekkah dan ia berjumpa dengan Rasulullah Saw.
Ia pun mendengarkan beberapa sabda Beliau. lalu Anis kembali ke
desanya dan Abu Dzar lalu menghampirinya dengan penuh rasa ingin
tahu. Ia menanyakan Anis tentang kisah Nabi yang baru dengan penasaran.
Anis berkata: “Demi Allah, menurutku dia yaitu seorang yang
mengajak untuk memperbaiki akhlak. Ia mengucapkan beberapa kalimat
yang bukan syair.” Abu Dzar bertanya: “Apa pendapat orang tentang
dirinya?” Anis menjawab: “Mereka menyebutnya dengan penyihir, dukun
dan penyair.” Abu Dzar lalu berkata: “Demi Allah, aku tidak akan merasa
puas. Maukah kau menjaga keluargaku agar aku berangkat ke sana dan
melihat dia dengan mata kepalaku sendiri?”
Anis menjawab: “Baik, akan tetapi waspyaitu terhadap penduduk
Mekkah!”
Abu Dzar mempersiapkan bekal untuk berangkat. Ia membawa tempat
air kecil bersamanya. Keesokan harinya ia berangkat menuju Mekkah
untuk bertemu dengan Nabi Saw dan mengetahui kisah kenabian Beliau
langsung darinya.
Abu Dzar tiba di Mekkah dengan diam-diam sebab khawatir akan
kejahatan penduduknya. Ia telah mendengar kemarahan Quraisy dalam
membela tuhan-tuhan mereka dan penyiksaan mereka terhadap orang
yang mengaku sebagai pengikut Muhammad Saw.
Oleh sebab nya, ia enggan untuk bertanya tentang Muhammad Saw,
sebab ia sendiri tidak tahu apakah orang yang ia tanyakan nanti termasuk
pendukung atau musuh Muhammad?
Begitu malam tiba, Abu Dzar berbaring di dalam Masjid. Lalu Ali ra
melintasi Abu Dzar dan Ali tahu bahwa Abu Dzar yaitu seorang
pendatang. Ali langsung berkata kepadanya: “Ikutilah kami, wahai
saudara! Abu Dzar pun mengikutinya dan menginap di rumah Ali. Paginya,
Abu Dzar membawa tempat air dan makanannya dan kembali datang ke
Masjid tanpa keduanya saling bertanya tentang sesuatu.
lalu Abu Dzar menghabiskan hari yang ke dua di Masjid dan ia
belum juga mengetahui kabar tentang Nabi Saw. Begitu petang menjelang,
ia sudah hendak berbaring di dalam Masjid. Lalu datanglah Ali ra dan
berkata kepadanya: “Apakah orang ini tidak tahu rumahnya?!” lalu
Abu Dzar pergi ke rumah Ali dan menginap di sana pada malam yang
kedua. Dan keduanya tidak saling bertanya tentang apapun juga.
Pada malam ketiga Ali berkata kepada Abu Dzar: “Apakah engkau tidak
mau bercerita kepadaku mengapa engkau datang ke Mekkah?” Abu Dzar
menjawab: “Jika kau berjanji akan menunjukkan apa yang aku cari, maka
aku akan mengatakannya.” Maka Ali berjanji untuk melakukannya.
Abu Dzar lalu berkata: “Aku datang ke Mekkah dari tenpat yang jauh
untuk berjumpa dengan seorang Nabi baru dan untuk mendengarkan
sesuatu yang ia ucapkan.”
Maka merebaklah kebahagiaan Ali ra lalu ia berkata: “Demi Allah,
dialah Rasulullah, Dialah... Dialah... Besok pagi ikutilah aku kemana aku
pergi. Jika aku melihat sesuatu yang mengkhawatirkan aku akan berhenti
seolah sedang menuangkan air. Jika aku berjalan lagi maka ikutilah aku
sehingga kau masuk ke sebuah pintu bersamaku!”
Malam itu Abu Dzar tidak bisa tidur nyenyak sebab rindu sekali ingin
berjumpa dengan Nabi Saw, dan ingin sekali mendengarkan wahyu yang
diturunkan kepadanya.
Keesokan paginya, Ali berangkat bersama tamunya menuju rumah
Rasulullah Saw. Abu Dzar mengikuti jejaknya dan ia tidak menoleh ke arah
manapun hingga keduanya masuk ke rumah Nabi saw. Lalu Abu Dzar
berkata: “Assalamu alaika, ya Rasulullah!” Rasul menjawab: “Wa alaika
Salamullah wa rahmatuhu wa barakatuhu!”
Abu Dzar menjadi orang pertama yang memberikan salam kepada
Rasul Saw dengan tahiyat Islam. Lalu sesudah itu ucapan salam menjadi
akrab dipakai orang.
Rasulullah Saw mengajak Abu Dzar untuk masuk Islam dan
membacakan kepadanya Al Qur’an. Begitu ia mengucapkan kalimatul haq
dan masuk ke dalam agama yang baru, maka ia menjadi orang ke empat
atau ke lima yang masuk ke dalam Islam.
Sekarang, kita persilahkan Abu Dzar untuk menceritakan kisah
selanjutnya sendiri:
sesudah itu aku tinggal bersama Rasulullah Saw di Mekkah dan Beliau
mengajarkan Islam kepadaku. Beliau juga mengajarkan aku beberapa ayat
Al Qur’an. Beliau bersabda kepadaku: “Jangan kau beritahu siapapun
tentang keislamanmu di Mekkah. Aku khawatir mereka akan
membunuhmu!” Aku menjawab: “Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam
kekuasaan-Nya. Aku tidak akan meninggalkan Mekkah sehingga aku
datang ke Masjid dan aku akan meneriakkan dakwah kebenaran di
hadapan suku Quraisy!” Rasul pun diam.
Aku datang ke Masjid dan suku Quraisy sedang duduk berbincang-
bincang di sana. Aku lalu masuk ke tengah-tengah mereka. Aku berteriak
dengan sekeras-kerasnya: “Wahai bangsa Quraisy, aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu Rasulullah.”
Begitu ucapanku hinggap di telinga mereka, maka mereka semua
bangun dari tempat duduknya. Mereka berkata: “Tangkaplah orang yang
keluar dari agamanya ini!” Mereka pun menangkapku dan memukulku
hingga aku hampir mati. Lalu Abbas bin Abdul Muthalib paman Nabi Saw
menarikku, ia berusaha melindungiku dari pukulan suku Quraisy.
lalu ia berkata kepada mereka: “Celaka kalian!! Apakah kalian
hendak membunuh seorang yang berasal dari Ghifar tempat berlalunya
kafilah kalian?! Biarkan ia bersamaku!!”
Begitu aku siuman aku datang menghadap Rasulullah Saw. Saat Beliau
melihat apa yang aku alami, Beliau bersabda: “Bukankah aku telah
melarangmu agar tidak mengumumkan keislamanmu?!” Aku menjawab:
“Ya Rasulullah, itu merupakan keinginan hatiku dan aku telah
memenuhinya.”
Beliau bersabda: “Kembalilah ke kaummu dan beritahukan kepada
mereka apa yang telah kau lihat dan kau dengar. Ajaklah mereka kembali
kepada Allah. Semoga Allah Swt memberi manfaat buat mereka lewatmu
dan memberimu balasan sebab jasa baik yang kau lakukan kepada
mereka. Jika kau mendengar bahwa aku sudah berdakwah secara terang-
terangan, maka datanglah kepadaku!”
Abu Dzar meneruskan kisahnya:
Aku pun berangkat hingga tiba di perkampungan kaumku. Lalu
saudaraku Anis menanyakan: “Apa yang telah kau lakukan?” Aku
menjawab: “Aku telah masuk Islam, dan aku telah meyakininya.”
Tidak lama berselang, Allah pun melapangkan dadanya untuk
menerima Islam. Ia berujar: “Aku tidak membenci agamamu. Aku kini
masuk Islam dan meyakininya juga.”
Lalu kami berdua mendatangi ibu kami, kami mengajaknya untuk
masuk Islam. Ia menjawab: “Aku tidak membenci agama kalian berdua.”
Dan ia pun masuk Islam.
Sejak hari itu, keluarga ini telah masuk Islam dan berdakwah di jalan
Allah pada daerah Ghifar. Mereka tidak pernah merasa bosan dan putus
asa. Hingga banyak sekali dari penduduk Ghifar yang masuk Islam dan
mendirikan shalat.
Sebagian dari penduduk Ghifar mengatakan: “Kami akan terus
menjalankan agama kami hingga Rasulullah Saw hijrah ke Madinah maka
kami akan masuk Islam.” Begitu Rasul pindah ke Madinah, mereka pun
masuk Islam. Rasulullah Saw bersabda: “Ghifar, Allah memberikan
maghfirahnya kepada mereka. Ghifar telah masuk Islam dan Allah akan
membuatnya senantiasa selamat.”
Abu Dzar tinggal di kampungnya sehingga peristiwa Badr, Uhud dan
Khandaq terlewatkan olehnya. lalu ia datang ke Madinah dan ia
mengkhususkan dirinya untuk berkhidmat kepada Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw mengizinkannya dan ia begitu gembira dapat mendampingi
dan melayani Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw senantiasa memberikan penghormatan dan memuliakan
Abu Dzar. Beliau tidak pernah berjumpa dengannya kecuali Beliau
menjabat tangannya. Beliau juga senantiasa menampakan wajah ceria
dihadapan Abu Dzar.
Saat Rasulullah Saw kembali kepangkuan Tuhannya,Abu Dzar tidak
sanggup lagi tinggal di Madinah Al Munawarah sesudah ditinggalkan
pemimpinnya dan kehilangan petunjuknya. Ia pun pergi ke sebuah desa di
Syam dan tinggal di sana selama pemerintahan Abu Bakar As Shiddiq dan
Umar Al Faruq ra.
Pada masa kekhalifahan Utsman, Abu Dzar yang tinggal di Damaskus
mendapati kaum muslimin sudah begitu mencintai dunia dan hidup
bermewah-mewahan. Hal ini membuat ia keheranan dan menolaknya.
Utsman pun memintanya untuk datang ke Madinah dan ia pun datang.
Akan tetapi ia merasa sumpek dengan manusia yang begitu cinta dunia,
dan manusia pun menjadi benci kepadanya sebab ia begitu saklek kepada
mereka. Maka Utsman memerintahkannya untuk pindah ke Al Rabdzah,
yaitu sebuah desa kecil yang ada di Madinah. Ia lalu berangkat ke sana dan
tinggal di sana di sebuah tempat yang jauh dari keramaian manusia. Ia
berzuhud dari hal yang manusia miliki, senantiasa dengan apa yang
dijalankan Rasul dan kedua sahabatnya yang lebih mendahulukan akhirat
dibandingkan dunia.
Suatu hari ada seseorang yang datang ke rumah Abu Dzar dan melihat
ke sekeliling rumahnya, akan tetapi ia tidak menemukan barang apapun.
Orang itu bertanya: “Wahai Abu Dzar, mana perabotanmu?!
Ia menjawab: “Kami memiliki rumah di sana (maksudnya akhirat).
Kami mengirimkan perabotan kami yang baik ke sana.
Orang itupun mengerti maksud Abu Dzar dan berkata: “Akan tetapi
engkau harus memiliki perabotan selagi engkau berada di sini (maksudnya
dunia).” Ia menjawab: “Akan tetapi pemilik rumah ini tidak akan
membiarkan kami tinggal di sini.”
Amir (pemimpin Syam) mengirimkan 300 dinar kepada Abu Dzar dan
berkata kepadanya: “Gunakanlah uang ini untuk mencukupi
kebutuhanmu!” Abu Dzar menolaknya sambil berkata: “Apakah Amir
negeri Syam Abdullah tidak menemukan orang yang lebih miskin dariku?”
Pada tahun 32 Hijriyah ajal datang menjemput sang hamba yang taat
beribadah dan hidup zuhud, yang disebut oleh Rasulullah Saw sebagai:
“Bumi tidak pernah mengandung dan langit tidak pernah menaungi orang
yang lebih jujur dari Abu Dzar.”
Abdullah bin Ummi Maktum
“Manusia Buta yang Allah Turunkan 16 Ayat yang Berkenaan
tentang Dirinya. Ayat-Ayat ini Senantiasa Dibaca dan Diulang-
Ulang Terus” (Para Ahli Tafsir)
Siapakah orang yang telah membuat Nabi mendapatkan kecaman dari
langit dan telah membuat Beliau gelisah?!
Siapakah orang yang telah membuat Jibril al Amin turun dari langit
untuk menyampaikan kepada hati Nabi Saw tentang sebuah wahyu yang
berkenan dengan dirinya?!
Dialah Abdullah bin Ummi Maktum yang menjadi muadzin (orang
yang mengumandangkan adzan) Rasulullah Saw.
Abdullah bin Ummi Maktum yaitu penduduk asli Mekkah
berkebangsaan Quraisy yang masih memiliki hubungan kerabat dengan
Rasulullah Saw. Dia yaitu sepupu Ummul Mukminini Khadijah binti
Khuwailid ra. Ayahnya bernama Qais bin Zaidah. Ibunya bernama ‘Atikah
binti Abdullah. Ia dipanggil dengan sebutan Ummu Maktum sebab saat
ibunya melahirkan ia sebagai anak yang buta, ibunya melahirkannya
dengan sembunyi-bunyi agar tidak diketahui orang.
Abdullah bin Ummi Maktum menyaksikan terbitnya sebuah cahaya di
Mekkah. Maka Allah Swt melapangkan dadanya untuk menerima iman.
Dia termasuk orang pertama yang masuk Islam.
Ibnu Ummi Maktum menjalani segala ujian yang dirasakan dan
diderita oleh kaum muslimin di Mekkah dengan segala pengorbanan,
keteguhan dan kesabaran.
Ia merasakan siksaan bangsa Quraisy sebagaimana yang dialami oleh
sahabatnya yang lain. Ia merasakan kebengisan dan kekejaman yang
mereka lakukan. Meski demikian ia tidak pernah beringsut dan tidak
pernah patah semangat. Imannya tidak akan goyah.
Imannya mampu sedemikian sebab ia berpegang teguh dengan ajaran
agama Allah, senantiasa berpegang dengan Kitabullah, mempelajari dengan
baik syariat Allah dan selalu datang dan bergaul dengan Rasulullah Saw.
Ia begitu seringnya mendampingi Rasulullah dan begitu hapal akan Al
Qur’an hingga ia tidak pernah melewatkan satu kesempatanpun untuk
bersamanya, dan apabila ada kesempatan untuk melakukan itu, maka pasti
dia menjadi yang pertama melakukannya.
Bahkan keinginannya untuk melakukan hal ini membuat ia
berkeinginan untuk mendapatkan jatah bagiannya dan jatah orang lain
untuk dirinya agar ia bisa mendampingi Rasul dan mempelajari Al Qur’an
sebanyak-banyaknya.
Pada masa-masa itu Rasulullah Saw seringkali melakukan pertemuan
dengan para pemuka Quraisy sebab berharap mereka berkenan untuk
masuk Islam. Suatu hari Beliau berjumpa dengan Utbah bin Rabiah dan
saudaranya yang bernama Syaibah bin Rabiah. Turut bersama keduanya
yaitu ‘Amr bin Hisyam yang dikenal dengan Abu Jahl, Umayyah bin
Khalaf dan Walid bin Al Mughirah orang tua Khalid bin Walid. Rasul
melakukan pembicaraan kepada mereka, mengajak mereka serta
memperkenalkan Islam kepadanya. Rasul amat berharap agar mereka mau
menerima penawaran Rasul, atau menghentikan penyiksaan yang mereka
lakukan terhadap para sahabat Rasul Saw.
Saat Rasulullah Saw sedang mengadakan pembicaraan dengan mereka,
tiba-tiba datanglah Abdullah bin Ummi Maktum yang meminta Rasul Saw
untuk membacakan ayat-ayat Kitabullah kepadanya. Ia berkata: “Ya
Rasulullah, ajarkan kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepadamu!”
Rasul Saw lalu berpaling darinya, dan membuang wajahnya dari Ibnu
Ummi Maktum. Ia lalu melanjutkan pembicaraan dengan para pembesar
Quraisy tadi. Rasul masih berharap agar mereka mau menerima Islam,
sehingga dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam maka agama ini
akan semakin kokoh, dan dapat mendukung dakwah Rasulullah Saw.
Begitu Rasulullah Saw selesai mengadakan pembicaraan dengan
mereka, Beliau hendak kembali ke rumah. Tiba-tiba Allah Swt membuat
mata Beliau menjadi kabur sehingga Beliau merasa pusing. Lalu turunlah
beberapa ayat kepada Beliau:
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, sebab telah
datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin
membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan
pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa'at kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu
melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak
membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang
kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-
kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu
yaitu suatu peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki,
tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang
dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis
(malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (QS. Abasa [80] : 1-16)
16 ayat yang dibawa turun oleh Jibril ke hati Nabi Saw tentang
Abdullah bin Ummi Maktum. Ke 16 ayat ini senantiasa dibaca sejak di
turunkan hingga hari ini. Dan akan terus dibaca manusia sehingga Allah
mengakhiri riwayat bumi ini.
Sejak saat itu Rasulullah senantiasa memulyakan Abdullah bin Ummi
Maktum ketika ia datang dan singgah di majlis Rasulullah. Beliau juga
senantiasa menanyakan kondisi Abdullah dan memenuhi segala
kebutuhannya.
Hal ini tidak mengherankan, sebab sebab Abdullah bin Ummi Maktum
lah Rasulullah Saw mendapat kecaman keras dari langit!
Begitu Quraisy semakin menggencarkan usaha mereka dalam
menganiaya Rasul dan para pengikutnya, maka Rasulullah Saw
mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah. Abdullah bin Ummi
Maktum lah yang menjadi orang yang paling cepat meninggalkan tanah
airnya dan berlari menyelamatkan agama.
Dia dan Mus’ab bin Umair yaitu orang pertama dari para sahabat
Rasulullah Saw yang tiba di Madinah.
Begitu Abdullah bin Ummi Maktum di di Yatsrib, ia dan sahabatnya
selalu membacakan dan mengulang-ulang Al Qur’an kepada semua
penduduk Madinah. Mereka berdua mengajarkan kepada penduduk
Madinah ilmu tentang agama Allah.
Saat Rasulullah Saw tiba di Madinah, ia menjadikan Abdullah bin
Ummi Maktum dan Bilal bin Rabah sebagai dua orang muadzin yang
menyerukan kalimat setiap hari sebanyak lima kali. Keduanya
diperintahkan untuk menyeru manusia mengerjakan amal terbaik dan
meraih kemberuntungan.
Maka terkadang Bilal yang melakukan Adzan dan Ibnu Ummi Maktum
yang membacakan Iqamat. Terkadang juga Ibnu Ummi Maktum yang
Adzan, dan Bilal yang beriqamat.
Bilal dan Ibnu Ummu Maktum juga memiliki tugas lain saat bulan
Ramadhan. Kaum muslimin Madinah akan melakukan sahur apabila salah
seorang dari mereka melakukan adzan, dan mereka akan berimsak saat
satunya lagi mengumandangkan adzan kedua.
Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari untuk
membangunkan manusia. Sedangkan Ibnu Ummi Maktum bertugas untuk
memperhatikan datangnya fajar, dan ia tidak pernah keliru melakukannya.
Rasulullah Saw begitu memulyakan Ibnu Ummi Maktum sehingga
pernah Beliau mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai penggantinya
untuk menjaga Madinah lebih dari 10 kali, salah satunya yaitu saat
Rasulullah Saw berangkat untuk menaklukkan kota Mekkah.
sesudah usai perang Badr, Allah menurunkan beberapa ayat Al Qur’an
yang memuji para mujahidin, dan memulyakan orang yang berjihad
dibandingkan orang yang tidak berangkat agar memberikan stimulasi kepada
para mujahid tadi, dan mengecam orang yang tidak berangkat. Hal itu
membuat Ibnu Ummi Maktum menjadi kecil hati sebab tidak bisa
mendapatkan kemulyaan ini. Ia pun berkata: “Ya Rasulullah, bila aku
mampu berjihad, maka pasti aku akan melakukannya.” lalu Abdullah
bin Ummi Maktum berdo’a kepada Allah dengan hati yang khusyuk agar Ia
berkenan menurunkan ayat tentang orang sepertinya yang kekurangan
dirinya menghalangi mereka untuk melakukan jihad. Ia berdo’a dengan
begitu khusyuknya: “Ya Allah, turunkanlah ayat atas ketidakmampuanku…
Ya Allah, turunkanlah ayat atas ketidakmampuanku!”
Maka Allah dengan begitu cepatnya langsung menjawab do’a Abdullah
bin Ummi Maktum.”
Zaid bin Tsabit, penulis wahyu bagi Rasulullah Saw mengisahkan: “Saat
itu aku sedang bersama Rasulullah Saw dan Beliau tiba-tiba hilang
kesadaran. Maka paha Beliau di taruh di atas pahaku. Aku belum pernah
merasakan ada paha yang seberat paha Rasulullah Saw. lalu Beliau
tersadarkan sebentar lalu bersabda: “Tuliskan, Ya Zaid!” Maka aku pun
menuliskan: “Tidak sama orang mukmin yang duduk (tidak berangkat)
dengan orang yang berjuang di jalan Allah.”
Lalu Ibnu Ummi Maktum berdiri seraya berkata: “Bagaimana dengan
orang yang tidak mampu berjihad?” Belum juga ia usai meneruskan
ucapannya, maka Rasulullah Saw hilang kesadaran lagi. Lalu pahanya
diletakkan di pahaku. Maka aku merasakan berat yang sama pada saat
ketika pertama kali. lalu ia tersadarkan diri, lalu bersabda: “Bacakan
apa yang telah kau tulis, ya Zaid!” Akupun membacakan: “Tidak sama
orang mukmin yang duduk…” lalu Beliau bersabda: “Tuliskan ‘Selain
orang yang memiliki uzur”
Maka turunlah pengecualian sebagaimana yang diharapkan oleh
Abdullah bin Ummi Maktum.
Meski Allah Swt telah memberikan maaf kepada Abdullah bin Ummi
Maktum dan kepada orang-orang yang sepertinya dalam berjihad, namun
ia tidak rela membiarkan dirinya berdiam diri dengan orang-orang yang
tidak berangkat. Ia malah bertekad untuk berjihad di jalan Allah Swt.
Hal itu disebab kan jiwa yang besar tidak akan pernah puas kecuali
apabila melakukan pekerjaan-pekerjaan yang besar.
Sejak saat itu ia bertekad tidak akan pernah ketinggalan perang. Ia telah
menentukan tugasnya sendiri di medan peperangan. Ia berseru:
“Tempatkan aku diantara dua barisan dan berikan kepadaku panji agar aku
yang membawanya dan menjaganya untuk kalian! Sebab aku buta dan
tidak mampu berlari.”
Pada tahun 14 H, Umar bertekad untuk menyerang Persia dengan
sebuah peperangan yang dapat mengalahkan mereka, meruntuhkan
kerajaan Persia dan membuka jala bagi tentara muslimin. Ia menuliskan
sebuah surat kepada para pembantunya yang berbunyi:
“Jika ada orang yang memiliki senjata, kuda, pertolongan atau
pendapat maka pilihlah mereka dan bawalah mereka menghadapku!
Segera!”
Maka kaum muslimin memenuhi panggilan Umar al Faruq, dan mereka
berdatang ke Madinah sehingga memenuhi semua penjurunya. Salah
seorang dari mereka yaitu seorang buta yang bernama Abdullah bin
Ummi Maktum.
Umar ra menunjuk pemimpin pasukan besar ini yaitu Sa’d bin Abi
Waqash. Sebelum berangkat Umar memberikan wasiatnya kepada pasukan
muslimin, lalu melepas mereka.
Begitu pasukan ini tiba di Al Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum
mengenakan baju besinya juga perlengkapan perang lainnya. Ia rela
membawakan panji kaum muslimin dan berjanji untuk menjaganya hingga
mati.
Kedua pasukan bertemu dan berperang selama 3 hari dengan begitu
hebatnya. Keduanya saling menyerang dengan sangat dahsyat sehingga
belum pernah ada sejarah penaklukan yang dialami kaum muslimin
sehebat ini. Sehingga pada hari ketiga kaum muslimin mendapatkan
kemenangan telak. Maka jatuhlah sebuah bangsa yang begitu besar saat itu,
dan dikibarkanlah panji tauhid di negeri berhala. Dan sebagai harga
pembelian kemenangan ini, gugurlah ratusan syahid dan salah satu dari
para syuhada itu yaitu Abdullah bin Ummi Maktum. Ia ditemukan telah
tewas dengan berlumuran dara dan ia masih menggenggam panji pasukan
muslimin.
Catatan: Ada perbedaan tentang nama Abdullah bin Ummi Maktum.
Penduduk Madinah memanggilnya dengan Abdullah. Sedangkan penduduk
Iraq memanggilnya dengan Umar. Sedangkan nama ayahnya yaitu Qais
bin Zaidah, dan tidak ada perbedaan pendapat tentang nama ayahnya.
Majza’ah bin Tsaur al Sadusy
“Majza’ah bin Tsaur yaitu Seorang Patriot Pemberani yang Mampu
Membunuh Seratus Orang Musyrikin. Apa Pendapatmu Tentang
Orang yang Berani Membunuh Kaum Musyrikin di Medan Laga!!”
Merekalah para patriot dan pahlawan jundullah yang telah
mengibaskan debu Al Qadisiyah di wajah sebab bergembira atas
kemenangan yang Allah berikan kepada mereka. Mereka merasa iri kepada
para sahabat yang telah mendapatkan pahala syahadah.
Mereka berharap menjumpai peperangan yang begitu besar dan hebat
seperti Al Qadisiyah. Mereka juga menanti-nanti perintah dari Khalifah
Umar bin Khattab untuk meneruskan jihad demi merobohkan kekuasaan
Kisra dari akarnya.
Keinginan para pejuang ini tidak membutuhkan banyak waktu untuk
terwujudkan.
ini lah seorang utusan khalifah Umar yang berangkat dari
Madinah ke Kufah dengan membawa perintah dari khalifah untuk wali
(gubernur) Kufah yang bernama Abu Musa Al Asy’ari.47 Surat ini
memerintahkan untuk menggerakkan pasukan Islam yang ada di sana dan
bergabung dengan pasukan muslimin yang berasal dari Bashrah, lalu
berangkat bersama menuju Ahwaz48 untuk mengejar Hurmuzan49 dan
membunuhnya. Lalu membebaskan kota Tustar sebagai jantung negeri raja
Kisra.
Dalam surat khalifah Umar yang diperuntukkan kepada Abu Musa Al
Asy’ari dinyatakan bahwa Abu Musa harus ditemani oleh seorang
penunggang kuda yang gagah berani bernama Majza’ah bin Tsaur Al
Sadusy seorang pemuka dan pemimpin Bani Bakr.
47
Abu Musa Al Asy’ari: Dia yaitu Abdullah bin Qais bin Salim Al Asy’ari. Beliau yaitu seorang
tokoh sahabat ternama berasal dari Yaman. Saat ia hendak berhijrah dari Yaman untuk menemui
Rasulullah, ia membuang perahu yang dibawanya di daerah Habasyah dan lalu ia berjumpa
dengan kaum Muhajirin di sana. Rasul pernah memerintahkannya untuk memimpin wilayah Zubaid
dan Adn, lalu Umar bin Khattab menjadikannya wali Basrah. Dia yaitu salah seorang penengah dalam
perselisihan antara Ali dan Muawiyah dan ia yaitu utusan dari pihak Ali.
48
Ahwaz: Sebuah distrik di Persia yang terletak di teluk di sebelah barat Iran pada zaman
sekarang.
49
Hurmuzan: yaitu panglima perang pasukan Persia
Abu Musa Al Asy’ari melaksanakan perintah khalifatul muslimin. Lalu
ia mempersiapkan pasukannya. Sebagai panglima pasukan infantri yaitu
Mazja’ah bin Tsaur Al Sadusy. lalu pasukan Abu Musa bergabung
dengan pasukan muslimin yang datang dari Basrah, lalu bersama-sama
menuju ke medan peperangan sebagai pejuang di jalan Allah.
Pasukan kaum muslimin terus menerus berhasil membebaskan berbagai
kota, melepaskan belenggu pada para penduduknya dan Hurmuzan selalu
berlari dari kaum muslimin sehingga ia berlindung di kota Tustar.
Tustar yang dijadikan tempat berlindung Hurmuzan yaitu sebuah
kota yang paling indah dan kuat pertahanannya.
Tustar juga merupakan kota bersejarah yang terletak di sebuah dataran
tinggi dan dibangun dengan seni ala Persia. Tempat ini dialiri oleh sebuah
sungai besar yang disebut dengan Dujail.
Di bagian atas kota ini ada sebuah pancuran yang dibangun oleh
raja Sabur untuk mengangkat air sungai yang melintasi beberapa saluran
yang ia gali di bawah bumi.
Pancuran Tustar dan salurannya yaitu hal yang paling menarik dari
bangunan ini , sebab ia diikat dengan batu besar, ditopang dengan
tiang-tiang baja dan pancuran serta salurannya dilapisi dengan kapur.
Di sekeliling Tustar dibangun tembok besar dan tinggi yang
mengelilingi Tustar dengan begitu rapatnya. Para ahli sejarah mengatakan
tentang kehebatan tembok ini: “Tembok ini yaitu tembok pertama dan
terbesar yang pernah dibangun di muka bumi.”
Lalu Hurmuzan menggali sebuah parit besar di sekeliling tembok untuk
menghalangi pasukan musuh yang ingin masuk, dan iapun menyiapkan
barisan pasukan berkuda yang terbaik sebagai pendukungnya.
Pasukan muslimin berkemah di sekeliling parit Tustar selama 18 bulan
sebab tidak bisa melewatinya. Dan mereka sudah melakukan perang
selama masa ini sebanyak 8 kali melawan pasukan Persia.
Setiap peperangan ini di mulai dengan duel antara pasukan
berkuda, yang lalu diteruskan dengan peperangan yang hebat antara
kedua pasukan.
Majza’ah bin Tsaur telah membuat sebuah aksi fantastis dan
mengejutkan baik kawan maupun lawan pada saat yang sama.
Ia telah mampu membunuh 100 orang pejuang berkuda pasukan
musuh. sebab nya, nama Majza’ah membuat pasukan Persia menjadi
gentar dan sebaliknya hal itu membuat pasukan muslimin semakin teguh
dan tak gentar.
Sejak saat itulah orang-orang yang belum mengerti sebelumnya
menjadi mengerti mengapa Amirul Mukminin begitu berkeras agar
Majza’ah yang gagah berani ini ditempatkan pada posisi terdepan pasukan
muslimin.
Pada akhir dari peperangan yang berjumlah delapan itu, pasukan
muslimin telah berhasil mengalahkan pasukan Persia, sehingga Persia
membuka pagar yang dibangun di atas parit dan akhirnya mereka
berlindung di dalam kota. Sesampainya di kota, mereka menutup semua
gerbang kota dengan begitu rapat.
Pasukan muslimin yang telah menjalani masa penantian yang begitu
lama kini mengalami situasi yang lebih parah lagi. Hal itu disebabkan,
sebab pasukan Persia menghujani pasukan muslimin dengan anak panah
yang mereka lesatkan dari ketinggian menara-menara.
Mereka juga melemparkan rantai-rantai besi dari atas tembok. Di ujung
setiap rantai terdapat penjepit yang begitu panas.
Jika ada salah seorang dari pasukan muslimin hendak menaiki tembok
tadi atau mendekatinya, maka pasukan Persia akan melemparkan rantai
dan penjepit besi tadi dan menariknya ke arah mereka. sebab nya, badan
yang terkena rantai besi yang amat panas tadi akan terbakar di buatnya,
dan dagingnya akan terkelupas sehingga dapat menyebabkan kematian.
Kali ini kondisi pasukan muslimin amat sulit terasa. Mereka semua
berdo’a dengan hati yang khusyuk kepada Allah sebab khawatir mereka
akan dikalahkan. Mereka juga meminta kepada-Nya agar diberikan
kemenangan melawan musuh Allah dan musuh mereka.
Ketika Abu Musa Al Asy’ari sedang merenungi kehebatan tembok Tustar
yang besar dan hal itu membuatnya putus asa untuk dapat menembusnya.
Lalu tiba-tiba ada sebuah anak panah yang jatuh dihadapannya yang
berasal dari atas tembok. Ia lalu melihatnya dan ternyata anak panah
ini membawa sebuah surat yang berbunyi: “Aku percaya kepada
kalian, wahai kaum muslimin. Aku meminta jaminan kepada kalian atas
diriku, hartaku, keluargaku dan para pengikutku. Sebagai kompensasinya
aku akan menunjukkan kepada kalian sebuah jalan rahasia menuju kota
Tustar.”
Maka Abu Musa memberikan jaminan keamanan kepada penulis surat
tadi, dan ia langsung mengirimkannya lewat sebuah anak panah.
Orang ini lalu yakin dengan jaminan keamanan yang diberikan
kaum muslimin sebab sifat mereka yang terkenal dengan menepati janji
dan menjaga perjanjian. Ia pun akhirnya menyusup ke barisan kaum
muslimin pada saat kegelapan malam dan berbicara kepada Abu Musa
dengan fakta yang dibawanya:
“Kami yaitu pembesar bangsa Persia. Hurmuzan pernah membunuh
kakak tertuaku. Ia juga telah merampas harta dan keluarga kakakku. Ia
juga hendak melakukan kejahatan kepadaku sehingga aku sudah tidak
percaya kepadanya atas keamanan diriku dan keluargaku.
Maka aku memilih kalian yang adil atas kezalimannya. Aku memilih
kalian yang menepati janji dibandingkan dia yang suka berkhianat. Aku berniat
untuk memberitahukan kalian sebuah jalan rahasia yang dapat
menghantarkan kalian menuju Tustar.
Kirimkanlah kepadaku seorang yang pemberani, cerdas dan pandai
berenang agar aku dapat menunjukkan kepadanya jalan ini !”
Abu Musa Al Asy’ari lalu memanggil Majza’ah bin Tsaur al Sadusy. Ia
lalu memberitahukan berita ini. Abu Musa berkata: “Kirimkan seorang dari
kaummu yang cerdas dan pemberani, juga pandai berenang!”
Majza’ah menjawab: “Biarkanlah aku yang melakukannya, wahai
Amir!”
Abu Musa berkata: “Jika kau menginginkannya, semoga engkau
diberkati Allah!”
lalu Abu Musa berwasiat kepada Majza’ah untuk menghapal
jalan, mengenali letak jalan ini , menginformasikan persembunyian
Hurmuzan dan selalu mengawasinya dan jangan pernah melakukan
apapun hal selain itu.
Majza’ah lalu berangkat di kegelapan malam bersama orang
Persia yang menunjukkannya. lalu orang ini memasukkan
Majza’ah ke dalam saluran di bawah tanah yang menyambungkan antara
sungai dan kota Tustar.
Saluran ini terkadang akan menjadi luas sehingga Majza’ah dapat
berjalan dengan kedua kakinya. Namun terkadang ia menjadi sempit
sehingga membuat Majza’ah harus berenang di dalamnya.
Sungai ini terkadang bercabang dan meninggi, dan terkadang juga
lurus.
Demikianlah perjalanan Majza’ah di bawah saluran air sehingga ia tiba
di sebuah lobang yang menuju kota. Orang Persia ini memperlihatkan
kepada Majza’ah Hurmuzan yang telah membunuh kakaknya dan tempat
persembunyiannya.
Begitu Majza’ah melihat Hurmuzan, ia langsung ingin melesatkan anak
panah ke leher Hurmuzan. Akan tetapi ia teringat pesan Abu Musa
kepadanya agar tidak melakukan apa-apa. Maka Majza’ah langsung
menahan diri dan kembali lewat jalan yang ia lalui sebelum datangnya
Fajar.
Abu Musa lalu menyiapkan 300 orang pemberani, paling teguh dan
cekatan dari pasukan muslimin. Pasukan ini dipimpin oleh Majza’ah bin
Tsaur yang dilepas dan diberi wasiat langsung oleh Abu Musa. Abu Musa
lalu meneriakkan takbir sebagai tanda seruan kepada pasukan
muslimin untuk menyerang kota Tustar.
Majza’ah memerintahkan kepada pasukannya untuk mengenakan
pakaian seringan mungkin agar tidak dirasuki air sehingga akan
menyulitkan gerak mereka. Ia juga memperingatkan pasukannya agar tidak
membawa apapun selain pedang dan mengikatkannya di bawah pakaian.
Mereka pun berangkat pada pertiga malam pertama.
Majza’aah dan pasukannya yang gagah berani mengarungi rintangan
saluran air ini selama 2 jam berturut-turut. Terkadang mereka mampu
mengarunginya dengan mudah dan kadang kala, air dalam saluran
ini menyulitkan gerak mereka.
Saat mereka tiba di lobang saluran yang menuju kota, Majza’ah
mendapati bahwa saluran air ini telah merenggut 220 orang dari
pasukkannya, dan yang tersisa hanyalah 80 orang saja.
Begitu Majza’ah dan pasukkannya menginjakkan kaki mereka di kota
ini , mereka langsung menghunuskan pedang dan mengalahkan para
penjaga benteng. Mereka lalu meletakkan pedang di atas dada mereka.
lalu mereka melompat ke arah gerbang lalu membukanya
sambil meneriakkan takbir.
Maka takbir mereka yang berada di dalam benteng disambut dengan
takbir para sahabatnya yang masih berada di luar.
Maka merangseklah pasukan kaum muslimin ke dalam kota Tustar saat
fajar.
Lalu berkecamuklah perang yang hebat di antara mereka dan musuh-
musuh Allah dimana jarang sekali terdapat dalam sejarah peperangan yang
sehebat dan seganas serta yang paling banyak memakan korban seperti
peperangan ini.
Saat peperangan berlangsung dengan sengitnya, Majza’ah bin Tsaur
lalu melihat Hurmuzan. Maka langsunglah Majza’ah menghampirinya dan
melompat ke arahnya dengan men