Tampilkan postingan dengan label sahabat nabi muhammad 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sahabat nabi muhammad 5. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Desember 2024

sahabat nabi muhammad 5

 


ngannya; ada sebagian dari mereka yang menerima kebenaran ini 

dan ada sebagian lagi yang berpaling dari kebenaran dengan amat 

sombongnya. 

Sebagian berada di surga dan sebagian lagi di neraka. 

Sedangkan Zur bin Saduds begitu ia hampir saja melihat Rasulullah 

Saw yang sedang berada dalam posisinya yang amat bagus dan menyentuh 

setiap hati yang beriman dan terlihat oleh mata yang jatuh cinta. Hampir 

saja ia berimah hingga kedengkian merasuki hatinya dan rasa takut 

memenuhi sanubarinya. Ia lalu berkata kepada orang-orang yang ada di 

sekelilingnya: “Aku kini melihat seorang manusia yang akan menundukkan 

                                                     

43

 Yatsrib yaitu  Madinah Munawarah 

44

 Uzza yaitu  sebuah berhala besar milik bangsa Arab pada masa Jahiliyah… lihatlah proses 

penghancuran para berhala pada buku Hadatsa fi Ramadhan 

leher semua bangsa Arab. Demi Allah, aku tidak akan pernah membiarkan 

dia menundukkan leherku!” Lalu ia berangkat ke negeri Syam, mencukur 

rambutnya dan masuk ke dalam agama Nashrani. 

Sedangkan Zaid dan manusia yang tersisa lain lagi ceritanya. Begitu 

Rasulullah Saw mengakhiri khutbahnya, ia langsung berdiri di antara 

kumpulan muslimin –dia yaitu  orang yang paling tampan, berakhlak baik 

dan paling tinggi-sehingga meski ia berada di atas kuda maka kakinya akan 

menyentuh tanah seolah ia hanya mengendari seekor keledai saja. 

Ia berdiri dengan postur yang tegap dan berbicara dengan suara 

lantang: “Ya Muhammad, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan 

bahwa engkau yaitu  utusan Allah!” Rasul Saw membalas dengan 

pertanyaan: “Siapakah engkau?” Ia menjawab: “Saya yaitu  Zaid Al Khail 

bin Muhalhil.” Rasul langsung bersabda: “Engkau yaitu  Zaid al Khair 

bukan Zaid al Khail. Segala puji bagi Allah Yang telah membawamu dari 

perjalanan yang menyusuri pantai dan pegunungan, dan Yang telah 

membuat hatimu luluh menerima Islam.” 

Sejak itu, ia dikenal dengan sebutan Zaid Al Khair. 

lalu  ia mengikuti Rasulullah Saw ke rumah Beliau disertai 

dengan Umar bin Khattab dan beberapa orang sahabat lainnya. Begitu 

sampai di rumah Beliau, Rasulullah Saw membentangkan bangku sandaran 

buat Zaid. Zaid merasa segan dan menolak bangku sandaran ini . 

Rasul Saw terus saja mempersilahkannya dan Zaid masih saja menolak 

sebanyak tiga kali. 

 sesudah  lama majlis ini  berlangsung, Rasulullah bersabda kepada 

Zaid Al Khair: “Ya Zaid, Tidak ada orang yang diceritakan kepadaku 

lalu  aku melihatnya kecuali ia tidak sesuai dengan apa yang 

diceritakan kepadaku kecuali kamu.” Lalu Rasul bertanya kepada Zaid: 

“Bagaimana engkau bisa demikian, Ya Zaid?” Zaid menjawab: “Aku selalu 

mencintai kebaikan dan orang yang melaksanakannya. Jika aku mengerti 

akan kebaikan maka aku akan meyakini pahalanya. Jika aku tidak sempat 

melakukan kebaikan itu, maka aku akan merindukannya.” Rasulullah Saw 

lalu bersabda: “Inilah tanda Allah bagi siapa saja yang Ia inginkan.” Zaid 

lalu berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan aku sesuai 

dengan kehendak-Nya dan kehendak Rasul-Nya.” 

Ia lalu menoleh ke arah Nabi Saw sambil berkata: “Kirimkan kepadaku 

wahai Rasulullah 300 orang penunggang kuda. Aku jamin bahwa aku akan 

menyerang negeri Romawi bersama mereka dan aku akan 

mengalahkannya.” 

Maka Rasul Saw lalu membesarkan semangatnya ini dengan sabdanya: 

“Betapa banyak kebaikanmu, ya Zaid. Manusia seperti apa kau ini?” 

lalu  semua orang yang menemani Zaid dari kaumnya 

menyatakan diri masuk Islam. 

Saat Zaid hendak kembali bersama rombongannya menuju kampung 

mereka di Najd, Rasulullah Saw melepas mereka dengan bersabda: 

“Manusia seperti apa ini?! Betapa ia amat penting kalau saja ia selamat dari 

wabah di Madinah!!” 

Madinah Al Munawarah pada saat itu sedang mendapat wabah demam. 

Begitu Zaid Al Khair meninggalkan Madinah maka ia terserang demam. Ia 

pun berkata kepada rombongannya: “Jauhkan aku dari negeri Qais, sebab  

di antara kami ada dendam sejak masa jahiliah. Demi Allah aku tidak akan 

berperang melawan seorang muslim sehingga aku berjumpa dengan Allah 

Swt. 

  

Zaid Al Khair meneruskan perjalanannya menuju kampungnya di Najd 

meski serangan demam terus menggila pada dirinya dari waktu ke waktu; 

Ia berharap ia dapat berjumpa lagi dengan kaumnya dan agar Allah 

menetapkan keislaman pada mereka lewat dakwahnya. 

Tinggi cita-cita mulia yang hendak ia capai, namun belum juga ia dapat 

mewujudkannya, ia sudah terlebih dahulu menghembuskan nafasnya yang 

terakhir di tengah perjalanan. Sejak ia masuk Islam hingga ia wafat tidak 

ada kesempatan yang ia pergunakan hingga terjerumus dalam perbuatan 

dosa. 


Ady Bin Hatim Al Tha’i 

“Engkau Akan Aman Bila Mereka Kafir. Engkau Akan Paham Jika 

Mereka Ingkar. Engkau Akan Memenuhi Janji Jika Mereka 

Berkhianat. Engkau Akan Datang Jika Mereka Lari.”  (Umar Bin 

Khattab) 

 

Pada tahun ke-9 H seorang raja dari bangsa Arab masuk Islam  sesudah  

menolaknya sekian lama.  sesudah  sekian lama berpaling dan menghalangi 

orang lain, akhirnya ia beriman. Ia juga menjadi taat dan patuh kepada 

Rasulullah Saw  sesudah  sebelumnya begitu membangkang. 

Dialah Ady bin Hatim At Tha’i yang dijadikan perumpamaan sebagai 

kedermawanan ayahnya. 

  

Ady mewarisi kerajaan Tha’i dari ayahnya. Ia mewajibkan seperempat 

ghanimah yang didapat kaumnya untuk disetor kepadanya. Dan ia 

memegang kekuasaan tertinggi atas kaumnya. 

Begitu Rasulullah Saw melakukan dakwahnya secara terang-terangan, 

dan banyak bangsa Arab yang mau menerimanya daerah demi daerah. Ady 

melihat bahwa dalam dakwah Rasulullah ada kepemimpinan yang dapat 

mengambil alih kepemimpinannya. Ia pun lalu menentang Rasulullah Saw 

dengan keras –padahal ia sendiri belum mengenalnya- dan membenci 

Beliau sebelum melihatnya secara langsung. 

Permusuhannya dengan Islam berlangsung hampir selama 20 tahun 

sehingga Allah Swt melapangkan dadanya untuk menerima dakwah 

kebenaran dan petunjuk. 

  

Proses masuknya Ady bin Hatim ke dalam Islam memiliki cerita 

tersendiri... Kami akan membiarkan ia menceritakan hal ini sendiri; sebab 

dialah yang sepantasnya bercerita tentang hal ini. 

Ady berkata:  

Tidak ada seorangpun dari bangsa Arab yang melebihiku dalam 

membenci Rasulullah Saw saat aku mendengar namanya. Aku tadinya 

yaitu  seorang yang terpandang dan beragama Nashrani. Aku menetapkan 

kepada kaumku bahwa aku mendapatkan seperempat harta ghanimah 

sehingga aku pun mengambil seperempat harta ini  sebagaimana yang 

sering dilakukan oleh para raja Arab. Begitu aku mendengar Rasulullah 

Saw aku amat membencinya. 

Begitu dakwahnya semakin mantap, kekuatan pasukannya semakin 

bertambah, dan tentaranya sudah mampu menaklukan timur dan barat 

arab; aku katakan kepada seorang budak yang bertugas menggembala 

untaku: “Siapkan untukku seekor unta yang gemuk dan mudah dikendarai. 

Ikatkanlah ia di dekatku. Jika kau mendengar bahwa tentara atau pasukan 

Muhammad sudah masuk ke dalam negeri ini, beritahukan aku!” 

Pada suatu pagi, budakku datang menghadap sambil berkata: “Tuanku, 

Jika kau berniat untuk berangkat jika kuda pasukan Muhammad telah 

memasuki wilayahmu, maka lakukanlah sekarang!” 

Aku bertanya: “Memangnya kenapa?!” Ia berkata: “Aku telah melihat 

panji-panji di seluruh penjuru negeri. Aku bertanya apa maksudnya ini. 

Ada orang yang berkata kepadaku bahwa ini yaitu  pasukan Muhammad!” 

Langsung aku katakan padanya: “Siapkan unta yang pernah aku bilang dan 

bawa kepadaku!” 

lalu  aku bangkit; lalu aku mengajak istri dan anak-anakku untuk 

pergi ke suatu tempat yang aku senangi. Lalu aku berangkat segera menuju 

negeri Syam untuk bergabung dengan penganut agama Nashrani dan 

tinggal bersama mereka di sana. 

sebab  tergesa-gesa aku tidak memperhatikan semua keluargaku. 

Begitu aku melewati tempat yang berbahaya, aku memeriksa keluargaku, 

ternyata ada saudariku yang tertinggal di Najd bersama beberapa orang 

yang lain di Tha’i. 

Aku tidak sempat lagi kembali menjemput mereka. 

Aku pun meneruskan perjalanan bersama orang-orang yang 

menemaniku hingga tiba di Syam. Aku tinggal di sana bersama pengikut 

agama Nashrani yang lain. Sedangkan saudariku barangkali telah terkena 

sesuatu yang aku khawatirkan dan takutkan. 

  

Ketika di Syam aku mendengar bahwa tentara Muhammad telah 

menyerang negeri kami dan telah menawan saudariku bersama tawanan 

yang lain dan kini telah digiring ke Yatsrib. 

Di sana ia terikat bersama tawanan yang lain di sebuah pekarangan 

depan pintu mesjid. Lalu Rasulullah Saw melintas dihadapannya dan ia pun 

berdiri dan berkata kepada Rasul: “Ya Rasulullah, Ayahku telah mati dan 

penggantinya menghilang; kasihilah kami dan Allah akan mengasihimu!” 

Rasul bertanya: “Siapa pengganti ayahmu?” Ia menjawab: “Ady bin Hatim.” 

Rasul bertanya dengan nada keheranan: “Orang yang lari dari Allah 

dan Rasul-Nya?!” 

Lalu Rasulullah Saw pergi dan meninggalkannya. 

Keesokan harinya Rasul Saw melintas lagi dihadapan saudariku dan 

saudariku berkata kepadanya seperti apa yang ia ucapkan sebelumnya. Dan 

Rasul pun menjawabnya dengan ucapan seperti sebelumnya. Esok lusanya 

Rasul melintas lagi di hadapannya dan saudariku sudah putus asa dan tidak 

berkata apapun kali ini. Lalu ada seorang pria dari belakang Rasul yang 

memberi isyarat kepada saudariku untuk berdiri dan berbicara kepada 

Rasulullah Saw. Saudariku pun berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah, Ayahku 

telah mati dan penggantinya menghilang; kasihilah kami dan Allah akan 

mengasihimu!”  Rasul langsung menjawab: “Aku telah melakukannya.” Ia 

berkata lagi: “Aku ingin menyusul keluargaku di Syam.” Rasul bersabda: 

“Tidak usah terburu-buru pergi hingga engkau mendapati orang yang kau 

percaya untuk membawamu ke Syam. Jika kau telah menemukan orang 

yang tepat, beritahukan aku!” 

Begitu Rasul Saw berlalu, saudariku menanyakan tentang pria yang 

telah memberi isyarat kepadanya untuk berbicara kepada Rasul. Lalu ada 

yang mengatakan padanya bahwa pria tadi yaitu  Ali bin Abi Thalib ra. 

Saudariku lalu tinggal di sana hingga datang sebuah rombongan di 

mana salah seorang anggotanya dapat dipercaya oleh saudariku. Maka 

saudariku datang menghadap Rasulullah Saw dan berkata: “Ya Rasulullah, 

ada rombongan kaumku yang baru datang. Ada orang yang aku percaya di 

antara mereka dan mampu mengantarkan aku.” Maka Rasulullah Saw 

memberikan kepadanya pakaian dan unta yang dapat ditungganginya. Dan 

Beliau juga memberikan beberapa uang secukupnya. Dan akhirnya 

saudariku pergi bersama rombongan tadi. 

Ady meneruskan ceritanya: “ sesudah  itu, kami selalu mencari informasi 

tentang diri saudariku. Kami menunggu kedatangannya. Dan kami hampir 

saja tidak mempercayai kisah dirinya dengan Muhammad yang begitu baik 

memperlakukan saudariku tanpa pernah memandang sikapku kepadanya.” 

Demi Allah, saat itu aku sedang duduk bersama keluarga ketika aku 

melihat ada seorang perempuan yang berada di sekudupnya45 sedang 

menuju ke arah kami. 

Aku langsung berseru: “Putri Hatim. Itu dia. Itu dia!” 

Begitu ia sampai ia langsung berkata: “Dasar pemutus hubungan 

keluarga! Dasar zhalim! Engkau bisa membawa anak dan istrimu dan kau 

tinggalkan orang tua dan saudara-saudaramu!” 

Akupun berkata: “Saudariku, janganlah berkata apapun kecuali yang 

baik-baik saja!” Aku membujuknya terus hingga ia pun luluh. Ia lalu 

bercerita tentang kisahnya. Dan rupanya persis seperti yang pernah aku 

dengar. Aku bertanya kepadanya-dia yaitu  seorang wanita yang cerdas-: 

“Apa pendapatmu tentang pria itu (maksudnya Muhammad Saw)?” Ia 

menjawab: “Demi Allah, pendapatku lebih baik kau bergabung dengannya 

segera. Jika ia yaitu  seorang Nabi maka orang yang lebih cepat 

                                                     

45

 Kubah yang berada di atas punggung unta untuk membawa penunggang wanita. 

mengikutinya akan mendapatkan kemuliaan. Jika dia yaitu  seorang raja, 

maka engkau tidak akan menjadi hina bersamanya. Engkau akan tetap 

menjadi engkau.” 

  

Ady berkata: Akupun mempersiapkan bekalku lalu berangkat hingga 

aku menghadap Rasulullah Saw di Madinah tanpa membawa pengamanan 

dan tanpa surat apapun. Aku pernah mendengar bahwa ia berkata: “Aku 

berharap Allah menjadikan tangan Ady bersama tanganku.” Maka aku 

menghadapnya –saat itu Beliau sedang di Masjid- dan aku mengucapkan 

salam kepadanya. 

Beliau bertanya: “Siapakah orang ini?” Aku menjawab: “Saya yaitu  

Ady bin Hatim.” Beliau lalu menghampiriku dan menarik tanganku dan 

membawaku menuju rumahnya.  

Demi Allah, saat itu Beliau sedang menuju rumahnya saat ada seorang 

perempuan lemah dan tua bersama seorang anaknya yang masih kecil dan 

membuat Rasul berhenti sejenak. Perempuan tadi mengadukan hajatnya 

kepada Rasul. Rasul Saw menanggapi wanita dan anaknya tadi sehingga 

Beliau memberikan segala kebutuhannya dan aku berdiri menyaksikan hal 

itu. 

Aku berkata dalam diri: “Demi Allah, dia bukanlah seorang raja.” 

lalu  ia menggandeng tanganku lagi dan membawaku ke 

rumahnya. Ia mengambil bantal dari kulit yang diisi dengan  sabut. Beliau 

melemparkannya kepadaku dan bersabda: “Duduklah di atasnya!” Aku 

menjadi malu dan aku berkata: “Engkau saja yang duduk di atasnya!” Rasul 

berkata lagi: “Engkau saja!” Aku pun menuruti dan duduk di atasnya. Dan 

Nabi Saw duduk di atas tanah sebab  tidak ada alas lain di rumah Beliau. 

Aku berkata dalam diri: “Demi Allah, ini bukanlah kebiasaan seorang 

raja.” 

lalu  ia melihat ke arahku sambil bertanya: “Ada apa ya Ady bin 

Hatim. Bukankah engkau sudah memeluk sebuah agama antara Nashrani 

dan Shabi’ah?” Aku menjawab: “Ya!” 

Bukankah engkau mewajibkan seperempat harta ghanimah bagi dirimu 

pada kaummu padahal itu tidak diperbolehkan oleh agamamu?!” Aku 

menjawab: “Benar...” Aku mengerti bahwa dia yaitu  seorang Nabi yang 

diutus. Ia mengetahui apa yang tidak diketahui. 

lalu  Beliau bersabda kepadaku: “Mungkin wahai Ady, hal yang 

membuat kau terhalang untuk masuk ke dalam agama ini yaitu  hal yang 

kau lihat dari kebutuhan dan kefakiran kaum muslimin. Demi Allah, 

sebentar lagi harta berlimpah ruah untuk mereka sehingga tidak ada lagi 

orang yang akan membutuhkannya. 

Barangkali wahai Ady, hal yang membuatmu terhalang untuk masuk ke 

dalam agama ini yaitu  sebab  engkau melihat jumlah kaum muslimin 

yang sedikit dan musuh mereka yang banyak. Demi Allah sebentar lagi 

engkau akan mendengar seorang perempuan yang pergi dari Al Qadisiyah 

dengan mengendarai unta untuk berkunjung ke rumah ini, ia tidak takut 

kepada siapapun selain Allah. 

Barangkali hal yang menghalangimu masuk ke dalam agama ini yaitu  

engkau melihat bahwa kaum muslimin tidak akan mendapatkan 

kekuasaan. Demi Allah, sebentar lagi engkau akan mendengar bahwa 

istana putih di negeri Babylonia akan mereka taklukkan dan harta 

simpanan Kisra bin Hurmuz akan menjadi milik mereka.” 

Aku bertanya lagi: “Harta Kisra bin Hurmuz?!!” Beliau menjawab: 

“Benar, harta Kisra bin Hurmuz!” 

Mulai saat itu aku mengucapkan syahadat dan akupun masuk Islam. 

  

Ady bin Hatim dianugerahi usia yang panjang. Ia berkata: “Aku telah 

membuktikan 2 janji Rasul dan hanya 1 yang belum terwujud. Demi Allah, 

pasti janji yang ketiga juga akan terwujud. 

Aku telah melihat seorang wanita yang pergi dari Al Qadisiyah dengan 

mengendarai unta ia tidak takut kepada siapapun hingga sampai di rumah 

ini. Aku juga berada pada barisan berkuda pertama yang menyerang harta 

milik Kisra dan kami merebutnya. Aku bersumpah demi Allah, pasti akan 

terbukti janji yang ketiga.” 

  

Kehendak Allah berlaku untuk membuktikan sabda Nabi-Nya Saw 

maka janji yang ketiga pun terbukti pada zaman Khalifah Umar bin Abdul 

Aziz46, dimana harta begitu melimpah harta kaum muslimin sehingga ada 

orang yang berseru siapa yang mau mengambil harta zakat kaum 

muslimin, namun tidak ada seorang pun yang mengambilnya. 

Benar sekali sabda Rasulullah Saw dan Ady bin Hatim menyaksikan 

kebenaran sumpah Beliau.   


Abu Dzar Al Ghifary              

(Jundub Bin Junadah) 

““Bumi Tidak Pernah Mengandung & Langit Tidak Pernah Menaungi 

Orang yang Lebih Jujur Dari Abu Dzar.” (Muhammad Rasulullah) 

 

Di lembah Waddan yang menyambungkan Mekkah dengan dunia luar 

ada sebuah kabilah yang tinggal di sana bernama Ghifar. 

Suku Ghifar ini hidup dari uang setoran yang diberikan oleh para 

kafilah yang hendak melakukan perdagangan dari Quraisy ke Syam atau 

sebaliknya. 

Terkadang suku ini hidup dengan merampas para kafilah yang tidak 

memberikan uang yang mereka pinta. 

Jundub bin Junadah yang dikenal dengan Abu Dzar yaitu  salah 

seorang dari penduduk kabilah ini. Akan tetapi berbeda dengan lainnya, ia 

memiliki keberanian hati, otak yang cerdas dan wawasan yang luas. Dan ia 

merasa tidak suka sekali dengan berhala-berhala yang disembah kaumnya 

selain Allah Swt. Ia menolak kerusakan agama dan akidah yang terjadi 

pada kebanyakan bangsa Arab. Ia mencari tahu tentang munculnya 

seorang Nabi yang baru untuk mengisi akal manusia dan hati mereka serta 

mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. 

  

Lalu Abu Dzar-yang saat itu berada di kampungnya- mendengar kisah 

tentang seorang Nabi yang baru dan muncul di kota Mekkah. Ia lalu 

berkata kepada saudaranya bernama Anis: “Pergilah ke Mekkah dan carilah 

kisah tentang orang yang mengaku Nabi itu dan mengkau menerima 

wahyu dari langit. Dengarkanlah apa yang ia ucapkan dan sampaikan 

kepadaku!” 

  

Berangkatlah Anis ke Mekkah dan ia berjumpa dengan Rasulullah Saw. 

Ia pun mendengarkan beberapa sabda Beliau. lalu  Anis kembali ke 

desanya dan Abu Dzar lalu menghampirinya dengan penuh rasa ingin 

tahu. Ia menanyakan Anis tentang kisah Nabi yang baru dengan penasaran. 

Anis berkata: “Demi Allah, menurutku dia yaitu  seorang yang 

mengajak untuk memperbaiki akhlak. Ia mengucapkan beberapa kalimat 

yang bukan syair.” Abu Dzar bertanya: “Apa pendapat orang tentang 

dirinya?” Anis menjawab: “Mereka menyebutnya dengan penyihir, dukun 

dan penyair.” Abu Dzar lalu berkata: “Demi Allah, aku tidak akan merasa 

puas. Maukah kau menjaga keluargaku agar aku berangkat ke sana dan 

melihat dia dengan mata kepalaku sendiri?” 

Anis menjawab: “Baik, akan tetapi waspyaitu  terhadap penduduk 

Mekkah!” 

  

Abu Dzar mempersiapkan bekal untuk berangkat. Ia membawa tempat 

air kecil bersamanya. Keesokan harinya ia berangkat menuju Mekkah 

untuk bertemu dengan Nabi Saw dan mengetahui kisah kenabian Beliau 

langsung darinya. 

  

Abu Dzar tiba di Mekkah dengan diam-diam sebab  khawatir akan 

kejahatan penduduknya. Ia telah mendengar kemarahan Quraisy dalam 

membela tuhan-tuhan mereka dan penyiksaan mereka terhadap orang 

yang mengaku sebagai pengikut Muhammad Saw. 

Oleh sebab nya, ia enggan untuk bertanya tentang Muhammad Saw, 

sebab  ia sendiri tidak tahu apakah orang yang ia tanyakan nanti termasuk 

pendukung atau musuh Muhammad? 

  

Begitu malam tiba, Abu Dzar berbaring di dalam Masjid. Lalu Ali ra 

melintasi Abu Dzar dan Ali tahu bahwa Abu Dzar yaitu  seorang 

pendatang. Ali langsung berkata kepadanya: “Ikutilah kami, wahai 

saudara! Abu Dzar pun mengikutinya dan menginap di rumah Ali. Paginya, 

Abu Dzar membawa tempat air dan makanannya dan kembali datang ke 

Masjid tanpa keduanya saling bertanya tentang sesuatu. 

lalu  Abu Dzar menghabiskan hari yang ke dua di Masjid dan ia 

belum juga mengetahui kabar tentang Nabi Saw. Begitu petang menjelang, 

ia sudah hendak berbaring di dalam Masjid. Lalu datanglah Ali ra dan 

berkata kepadanya: “Apakah orang ini tidak tahu rumahnya?!” lalu  

Abu Dzar pergi ke rumah Ali dan menginap di sana pada malam yang 

kedua. Dan keduanya tidak saling bertanya tentang apapun juga. 

Pada malam ketiga Ali berkata kepada Abu Dzar: “Apakah engkau tidak 

mau bercerita kepadaku mengapa engkau datang ke Mekkah?” Abu Dzar 

menjawab: “Jika kau berjanji akan menunjukkan apa yang aku cari, maka 

aku akan mengatakannya.” Maka Ali berjanji untuk melakukannya. 

Abu Dzar lalu berkata: “Aku datang ke Mekkah dari tenpat yang jauh 

untuk berjumpa dengan seorang Nabi baru dan untuk mendengarkan 

sesuatu yang ia ucapkan.” 

Maka merebaklah kebahagiaan Ali ra lalu ia berkata: “Demi Allah, 

dialah Rasulullah, Dialah... Dialah... Besok pagi ikutilah aku kemana aku 

pergi. Jika aku melihat sesuatu yang mengkhawatirkan aku akan berhenti 

seolah sedang menuangkan air. Jika aku berjalan lagi maka ikutilah aku 

sehingga kau masuk ke sebuah pintu bersamaku!” 

  

Malam itu Abu Dzar tidak bisa tidur nyenyak sebab  rindu sekali ingin 

berjumpa dengan Nabi Saw, dan ingin sekali mendengarkan wahyu yang 

diturunkan kepadanya. 

Keesokan paginya, Ali berangkat bersama tamunya menuju rumah 

Rasulullah Saw. Abu Dzar mengikuti jejaknya dan ia tidak menoleh ke arah 

manapun hingga keduanya masuk ke rumah Nabi saw. Lalu Abu Dzar 

berkata: “Assalamu alaika, ya Rasulullah!” Rasul menjawab: “Wa alaika 

Salamullah wa rahmatuhu wa barakatuhu!” 

Abu Dzar menjadi orang pertama yang memberikan salam kepada 

Rasul Saw dengan tahiyat Islam. Lalu  sesudah  itu ucapan salam menjadi 

akrab dipakai orang. 

  

Rasulullah Saw mengajak Abu Dzar untuk masuk Islam dan 

membacakan kepadanya Al Qur’an. Begitu ia mengucapkan kalimatul haq 

dan masuk ke dalam agama yang baru, maka ia menjadi orang ke empat 

atau ke lima yang masuk ke dalam Islam. 

Sekarang, kita persilahkan Abu Dzar untuk menceritakan kisah 

selanjutnya sendiri: 

 sesudah  itu aku tinggal bersama Rasulullah Saw di Mekkah dan Beliau 

mengajarkan Islam kepadaku. Beliau juga mengajarkan aku beberapa ayat 

Al Qur’an. Beliau bersabda kepadaku: “Jangan kau beritahu siapapun 

tentang keislamanmu di Mekkah. Aku khawatir mereka akan 

membunuhmu!” Aku menjawab: “Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam 

kekuasaan-Nya. Aku tidak akan meninggalkan Mekkah sehingga aku 

datang ke Masjid dan aku akan meneriakkan dakwah kebenaran di 

hadapan suku Quraisy!” Rasul pun diam. 

Aku datang ke Masjid dan suku Quraisy sedang duduk berbincang-

bincang di sana. Aku lalu masuk ke tengah-tengah mereka. Aku berteriak 

dengan sekeras-kerasnya: “Wahai bangsa Quraisy, aku bersaksi bahwa 

tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu  Rasulullah.” 

Begitu ucapanku hinggap di telinga mereka, maka mereka semua 

bangun dari tempat duduknya. Mereka berkata: “Tangkaplah orang yang 

keluar dari agamanya ini!” Mereka pun menangkapku dan memukulku 

hingga aku hampir mati. Lalu Abbas bin Abdul Muthalib paman Nabi Saw 

menarikku, ia berusaha melindungiku dari pukulan suku Quraisy. 

lalu  ia berkata kepada mereka: “Celaka kalian!! Apakah kalian 

hendak membunuh seorang yang berasal dari Ghifar tempat berlalunya 

kafilah kalian?! Biarkan ia bersamaku!!” 

Begitu aku siuman aku datang menghadap Rasulullah Saw. Saat Beliau 

melihat apa yang aku alami, Beliau bersabda: “Bukankah aku telah 

melarangmu agar tidak mengumumkan keislamanmu?!” Aku menjawab: 

“Ya Rasulullah, itu merupakan keinginan hatiku dan aku telah 

memenuhinya.” 

Beliau bersabda: “Kembalilah ke kaummu dan beritahukan kepada 

mereka apa yang telah kau lihat dan kau dengar. Ajaklah mereka kembali 

kepada Allah. Semoga Allah Swt memberi manfaat buat mereka lewatmu 

dan memberimu balasan sebab  jasa baik yang kau lakukan kepada 

mereka. Jika kau mendengar bahwa aku sudah berdakwah secara terang-

terangan, maka datanglah kepadaku!” 

Abu Dzar meneruskan kisahnya: 

Aku pun berangkat hingga tiba di perkampungan kaumku. Lalu 

saudaraku Anis menanyakan: “Apa yang telah kau lakukan?” Aku 

menjawab: “Aku telah masuk Islam, dan aku telah meyakininya.” 

Tidak lama berselang, Allah pun melapangkan dadanya untuk 

menerima Islam. Ia berujar: “Aku tidak membenci agamamu. Aku kini 

masuk Islam dan meyakininya juga.” 

Lalu kami berdua mendatangi ibu kami, kami mengajaknya untuk 

masuk Islam. Ia menjawab: “Aku tidak membenci agama kalian berdua.” 

Dan ia pun masuk Islam. 

Sejak hari itu, keluarga ini telah masuk Islam dan berdakwah di jalan 

Allah pada daerah Ghifar. Mereka tidak pernah merasa bosan dan putus 

asa. Hingga banyak sekali dari penduduk Ghifar yang masuk Islam dan 

mendirikan shalat. 

Sebagian dari penduduk Ghifar mengatakan: “Kami akan terus 

menjalankan agama kami hingga Rasulullah Saw hijrah ke Madinah maka 

kami akan masuk Islam.” Begitu Rasul pindah ke Madinah, mereka pun 

masuk Islam. Rasulullah Saw bersabda: “Ghifar, Allah memberikan 

maghfirahnya kepada mereka. Ghifar telah masuk Islam dan Allah akan 

membuatnya senantiasa selamat.” 

  

Abu Dzar tinggal di kampungnya sehingga peristiwa Badr, Uhud dan 

Khandaq terlewatkan olehnya. lalu  ia datang ke Madinah dan ia 

mengkhususkan dirinya untuk berkhidmat kepada Rasulullah Saw. 

Rasulullah Saw mengizinkannya dan ia begitu gembira dapat mendampingi 

dan melayani Rasulullah Saw. 

Rasulullah Saw senantiasa memberikan penghormatan dan memuliakan 

Abu Dzar. Beliau tidak pernah berjumpa dengannya kecuali Beliau 

menjabat tangannya. Beliau juga senantiasa menampakan wajah ceria 

dihadapan Abu Dzar. 

  

Saat Rasulullah Saw kembali kepangkuan Tuhannya,Abu Dzar tidak 

sanggup lagi tinggal di Madinah Al Munawarah  sesudah  ditinggalkan 

pemimpinnya dan kehilangan petunjuknya. Ia pun pergi ke sebuah desa di 

Syam dan tinggal di sana selama pemerintahan Abu Bakar As Shiddiq dan 

Umar Al Faruq ra. 

  

Pada masa kekhalifahan Utsman, Abu Dzar yang tinggal di Damaskus 

mendapati kaum muslimin sudah begitu mencintai dunia dan hidup 

bermewah-mewahan. Hal ini membuat ia keheranan dan menolaknya. 

Utsman pun memintanya untuk datang ke Madinah dan ia pun datang. 

Akan tetapi ia merasa sumpek dengan manusia yang begitu cinta dunia, 

dan manusia pun menjadi benci kepadanya sebab  ia begitu saklek kepada 

mereka. Maka Utsman memerintahkannya untuk pindah ke Al Rabdzah, 

yaitu sebuah desa kecil yang ada di Madinah. Ia lalu berangkat ke sana dan 

tinggal di sana di sebuah tempat yang jauh dari keramaian manusia. Ia 

berzuhud dari hal yang manusia miliki, senantiasa dengan apa yang 

dijalankan Rasul dan kedua sahabatnya yang lebih mendahulukan akhirat 

dibandingkan  dunia. 

  

Suatu hari ada seseorang yang datang ke rumah Abu Dzar dan melihat 

ke sekeliling rumahnya, akan tetapi ia tidak menemukan barang apapun. 

Orang itu bertanya: “Wahai Abu Dzar, mana perabotanmu?! 

Ia menjawab: “Kami memiliki rumah di sana (maksudnya akhirat). 

Kami mengirimkan perabotan kami yang baik ke sana. 

Orang itupun mengerti maksud Abu Dzar dan berkata: “Akan tetapi 

engkau harus memiliki perabotan selagi engkau berada di sini (maksudnya 

dunia).” Ia menjawab: “Akan tetapi pemilik rumah ini tidak akan 

membiarkan kami tinggal di sini.” 

  

Amir (pemimpin Syam) mengirimkan 300 dinar kepada Abu Dzar dan 

berkata kepadanya: “Gunakanlah uang ini untuk mencukupi 

kebutuhanmu!” Abu Dzar menolaknya sambil berkata: “Apakah Amir 

negeri Syam Abdullah tidak menemukan orang yang lebih miskin dariku?” 

Pada tahun 32 Hijriyah ajal datang menjemput sang hamba yang taat 

beribadah dan hidup zuhud, yang disebut oleh Rasulullah Saw sebagai: 

“Bumi tidak pernah mengandung dan langit tidak pernah menaungi orang 

yang lebih jujur dari Abu Dzar.”  


Abdullah bin Ummi Maktum 

“Manusia Buta yang Allah Turunkan 16 Ayat yang Berkenaan 

tentang Dirinya. Ayat-Ayat ini  Senantiasa Dibaca dan Diulang-

Ulang Terus” (Para Ahli Tafsir) 

 

Siapakah orang yang telah membuat Nabi mendapatkan kecaman dari 

langit dan telah membuat Beliau gelisah?! 

Siapakah orang yang telah membuat Jibril al Amin turun dari langit 

untuk menyampaikan kepada hati Nabi Saw tentang sebuah wahyu yang 

berkenan dengan dirinya?! 

Dialah Abdullah bin Ummi Maktum yang menjadi muadzin (orang 

yang mengumandangkan adzan) Rasulullah Saw. 

  

Abdullah bin Ummi Maktum yaitu  penduduk asli Mekkah 

berkebangsaan Quraisy yang masih memiliki hubungan kerabat dengan 

Rasulullah Saw. Dia yaitu  sepupu Ummul Mukminini Khadijah binti 

Khuwailid ra. Ayahnya bernama Qais bin Zaidah. Ibunya bernama ‘Atikah 

binti Abdullah. Ia dipanggil dengan sebutan Ummu Maktum sebab saat 

ibunya melahirkan ia sebagai anak yang buta, ibunya melahirkannya 

dengan sembunyi-bunyi agar tidak diketahui orang. 

  

Abdullah bin Ummi Maktum menyaksikan terbitnya sebuah cahaya di 

Mekkah. Maka Allah Swt melapangkan dadanya untuk menerima iman. 

Dia termasuk orang pertama yang masuk Islam. 

Ibnu Ummi Maktum menjalani segala ujian yang dirasakan dan 

diderita oleh kaum muslimin di Mekkah dengan segala pengorbanan, 

keteguhan dan kesabaran. 

Ia merasakan siksaan bangsa Quraisy sebagaimana yang dialami oleh 

sahabatnya yang lain. Ia merasakan kebengisan dan kekejaman yang 

mereka lakukan. Meski demikian ia tidak pernah beringsut dan tidak 

pernah patah semangat. Imannya tidak akan goyah.  

Imannya mampu sedemikian sebab  ia berpegang teguh dengan ajaran 

agama Allah, senantiasa berpegang dengan Kitabullah, mempelajari dengan 

baik syariat Allah dan selalu datang dan bergaul dengan Rasulullah Saw. 

  

  

Ia begitu seringnya mendampingi Rasulullah dan begitu hapal akan Al 

Qur’an hingga ia tidak pernah melewatkan satu kesempatanpun untuk 

bersamanya, dan apabila ada kesempatan untuk melakukan itu, maka pasti 

dia menjadi yang pertama melakukannya. 

Bahkan keinginannya untuk melakukan hal ini membuat ia 

berkeinginan untuk mendapatkan jatah bagiannya dan jatah orang lain 

untuk dirinya agar ia bisa mendampingi Rasul dan mempelajari Al Qur’an 

sebanyak-banyaknya. 

Pada masa-masa itu Rasulullah Saw seringkali melakukan pertemuan 

dengan para pemuka Quraisy sebab  berharap mereka berkenan untuk 

masuk Islam. Suatu hari Beliau berjumpa dengan Utbah bin Rabiah dan 

saudaranya yang bernama Syaibah bin Rabiah. Turut bersama keduanya 

yaitu  ‘Amr bin Hisyam yang dikenal dengan Abu Jahl, Umayyah bin 

Khalaf dan Walid bin Al Mughirah orang tua Khalid bin Walid. Rasul 

melakukan pembicaraan kepada mereka, mengajak mereka serta 

memperkenalkan Islam kepadanya. Rasul amat berharap agar mereka mau 

menerima penawaran Rasul, atau menghentikan penyiksaan yang mereka 

lakukan terhadap para sahabat Rasul Saw. 

  

Saat Rasulullah Saw sedang mengadakan pembicaraan dengan mereka, 

tiba-tiba datanglah Abdullah bin Ummi Maktum yang meminta Rasul Saw 

untuk membacakan ayat-ayat Kitabullah kepadanya. Ia berkata: “Ya 

Rasulullah, ajarkan kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepadamu!” 

Rasul Saw lalu berpaling darinya, dan membuang wajahnya dari Ibnu 

Ummi Maktum. Ia lalu melanjutkan pembicaraan dengan para pembesar 

Quraisy tadi. Rasul masih berharap agar mereka mau menerima Islam, 

sehingga dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam maka agama ini 

akan semakin kokoh, dan dapat mendukung dakwah Rasulullah Saw. 

Begitu Rasulullah Saw selesai mengadakan pembicaraan dengan 

mereka, Beliau hendak kembali ke rumah. Tiba-tiba Allah Swt membuat 

mata Beliau menjadi kabur sehingga Beliau merasa pusing. Lalu turunlah 

beberapa ayat kepada Beliau:  

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, sebab  telah 

datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin 

membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan 

pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa'at kepadanya? 

Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu 

melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak 

membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang 

kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), 

sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-

kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu 

yaitu  suatu peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki, 

tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang 

dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis 

(malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (QS. Abasa [80] : 1-16) 

16 ayat yang dibawa turun oleh Jibril ke hati Nabi Saw tentang 

Abdullah bin Ummi Maktum. Ke 16 ayat ini  senantiasa dibaca sejak di 

turunkan hingga hari ini. Dan akan terus dibaca manusia sehingga Allah 

mengakhiri riwayat bumi ini. 

  

Sejak saat itu Rasulullah senantiasa memulyakan Abdullah bin Ummi 

Maktum ketika ia datang dan singgah di majlis Rasulullah. Beliau juga 

senantiasa menanyakan kondisi Abdullah dan memenuhi segala 

kebutuhannya.  

Hal ini tidak mengherankan, sebab sebab  Abdullah bin Ummi Maktum 

lah Rasulullah Saw mendapat kecaman keras dari langit! 

  

Begitu Quraisy semakin menggencarkan usaha mereka dalam 

menganiaya Rasul dan para pengikutnya, maka Rasulullah Saw 

mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah. Abdullah bin Ummi 

Maktum lah yang menjadi orang yang paling cepat meninggalkan tanah 

airnya dan berlari menyelamatkan agama. 

Dia dan Mus’ab bin Umair yaitu  orang pertama dari para sahabat 

Rasulullah Saw yang tiba di Madinah. 

Begitu Abdullah bin Ummi Maktum di di Yatsrib, ia dan sahabatnya 

selalu membacakan dan mengulang-ulang Al Qur’an kepada semua 

penduduk Madinah. Mereka berdua mengajarkan kepada penduduk 

Madinah ilmu tentang agama Allah. 

  

Saat Rasulullah Saw tiba di Madinah, ia menjadikan Abdullah bin 

Ummi Maktum dan Bilal bin Rabah sebagai dua orang muadzin yang 

menyerukan kalimat setiap hari sebanyak lima kali. Keduanya 

diperintahkan untuk menyeru manusia mengerjakan amal terbaik dan 

meraih kemberuntungan. 

Maka terkadang Bilal yang melakukan Adzan dan Ibnu Ummi Maktum 

yang membacakan Iqamat. Terkadang juga Ibnu Ummi Maktum yang 

Adzan, dan Bilal yang beriqamat. 

Bilal dan Ibnu Ummu Maktum juga memiliki tugas lain saat bulan 

Ramadhan. Kaum muslimin Madinah akan melakukan sahur apabila salah 

seorang dari mereka melakukan adzan, dan mereka akan berimsak saat 

satunya lagi mengumandangkan adzan kedua. 

Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari untuk 

membangunkan manusia. Sedangkan Ibnu Ummi Maktum bertugas untuk 

memperhatikan datangnya fajar, dan ia tidak pernah keliru melakukannya. 

Rasulullah Saw begitu memulyakan Ibnu Ummi Maktum sehingga 

pernah Beliau mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai penggantinya 

untuk menjaga Madinah lebih dari 10 kali, salah satunya yaitu  saat 

Rasulullah Saw berangkat untuk menaklukkan kota Mekkah. 

  

 sesudah  usai perang Badr, Allah menurunkan beberapa ayat Al Qur’an 

yang memuji para mujahidin, dan memulyakan orang yang berjihad 

dibandingkan  orang yang tidak berangkat agar memberikan stimulasi kepada 

para mujahid tadi, dan mengecam orang yang tidak berangkat. Hal itu 

membuat Ibnu Ummi Maktum menjadi kecil hati sebab  tidak bisa 

mendapatkan kemulyaan ini. Ia pun berkata: “Ya Rasulullah, bila aku 

mampu berjihad, maka pasti aku akan melakukannya.” lalu  Abdullah 

bin Ummi Maktum berdo’a kepada Allah dengan hati yang khusyuk agar Ia 

berkenan menurunkan ayat tentang orang sepertinya yang kekurangan 

dirinya menghalangi mereka untuk melakukan jihad. Ia berdo’a dengan 

begitu khusyuknya: “Ya Allah, turunkanlah ayat atas ketidakmampuanku… 

Ya Allah, turunkanlah ayat atas ketidakmampuanku!” 

Maka Allah dengan begitu cepatnya langsung menjawab do’a Abdullah 

bin Ummi Maktum.” 

Zaid bin Tsabit, penulis wahyu bagi Rasulullah Saw mengisahkan: “Saat 

itu aku sedang bersama Rasulullah Saw dan Beliau tiba-tiba hilang 

kesadaran. Maka paha Beliau di taruh di atas pahaku. Aku belum pernah 

merasakan ada paha yang seberat paha Rasulullah Saw. lalu  Beliau 

tersadarkan sebentar lalu bersabda: “Tuliskan, Ya Zaid!” Maka aku pun 

menuliskan: “Tidak sama orang mukmin yang duduk (tidak berangkat) 

dengan orang yang berjuang di jalan Allah.” 

Lalu Ibnu Ummi Maktum berdiri seraya berkata: “Bagaimana dengan 

orang yang tidak mampu berjihad?” Belum juga ia usai meneruskan 

ucapannya, maka Rasulullah Saw hilang kesadaran lagi. Lalu pahanya 

diletakkan di pahaku. Maka aku merasakan berat yang sama pada saat 

ketika pertama kali. lalu  ia tersadarkan diri, lalu bersabda: “Bacakan 

apa yang telah kau tulis, ya Zaid!” Akupun membacakan: “Tidak sama 

orang mukmin yang duduk…” lalu Beliau bersabda: “Tuliskan ‘Selain 

orang yang memiliki uzur” 

Maka turunlah pengecualian sebagaimana yang diharapkan oleh 

Abdullah bin Ummi Maktum. 

Meski Allah Swt telah memberikan maaf kepada Abdullah bin Ummi 

Maktum dan kepada orang-orang yang sepertinya dalam berjihad, namun 

ia tidak rela membiarkan dirinya berdiam diri dengan orang-orang yang 

tidak berangkat. Ia malah bertekad untuk berjihad di jalan Allah Swt. 

Hal itu disebab kan jiwa yang besar tidak akan pernah puas kecuali 

apabila melakukan pekerjaan-pekerjaan yang besar. 

Sejak saat itu ia bertekad tidak akan pernah ketinggalan perang. Ia telah 

menentukan tugasnya sendiri di medan peperangan. Ia berseru: 

“Tempatkan aku diantara dua barisan dan berikan kepadaku panji agar aku 

yang membawanya dan menjaganya untuk kalian! Sebab aku buta dan 

tidak mampu berlari.” 

  

Pada tahun 14 H, Umar bertekad untuk menyerang Persia dengan 

sebuah peperangan yang dapat mengalahkan mereka, meruntuhkan 

kerajaan Persia dan membuka jala bagi tentara muslimin. Ia menuliskan 

sebuah surat kepada para pembantunya yang berbunyi:  

“Jika ada orang yang memiliki senjata, kuda, pertolongan atau 

pendapat maka pilihlah mereka dan bawalah mereka menghadapku! 

Segera!” 

Maka kaum muslimin memenuhi panggilan Umar al Faruq, dan mereka 

berdatang ke Madinah sehingga memenuhi semua penjurunya. Salah 

seorang dari mereka yaitu  seorang buta yang bernama Abdullah bin 

Ummi Maktum. 

Umar ra menunjuk pemimpin pasukan besar ini yaitu  Sa’d bin Abi 

Waqash. Sebelum berangkat Umar memberikan wasiatnya kepada pasukan 

muslimin, lalu  melepas mereka. 

Begitu pasukan ini tiba di Al Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum 

mengenakan baju besinya juga perlengkapan perang lainnya. Ia rela 

membawakan panji kaum muslimin dan berjanji untuk menjaganya hingga 

mati. 

  

Kedua pasukan bertemu dan berperang selama 3 hari dengan begitu 

hebatnya. Keduanya saling menyerang dengan sangat dahsyat sehingga 

belum pernah ada sejarah penaklukan yang dialami kaum muslimin 

sehebat ini. Sehingga pada hari ketiga kaum muslimin mendapatkan 

kemenangan telak. Maka jatuhlah sebuah bangsa yang begitu besar saat itu, 

dan dikibarkanlah panji tauhid di negeri berhala. Dan sebagai harga 

pembelian kemenangan ini, gugurlah ratusan syahid dan salah satu dari 

para syuhada itu yaitu  Abdullah bin Ummi Maktum. Ia ditemukan telah 

tewas dengan berlumuran dara dan ia masih menggenggam panji pasukan 

muslimin. 


Catatan:  Ada perbedaan tentang nama Abdullah bin Ummi Maktum. 

Penduduk Madinah memanggilnya dengan Abdullah. Sedangkan penduduk 

Iraq memanggilnya dengan Umar. Sedangkan nama ayahnya yaitu  Qais 

bin Zaidah, dan tidak ada perbedaan pendapat tentang nama ayahnya. 

Majza’ah bin Tsaur al Sadusy 

“Majza’ah bin Tsaur yaitu  Seorang Patriot Pemberani yang Mampu 

Membunuh Seratus Orang Musyrikin. Apa Pendapatmu Tentang 

Orang yang Berani Membunuh Kaum Musyrikin di Medan Laga!!” 

 

Merekalah para patriot dan pahlawan jundullah yang telah 

mengibaskan debu Al Qadisiyah di wajah sebab  bergembira atas 

kemenangan yang Allah berikan kepada mereka. Mereka merasa iri kepada 

para sahabat yang telah mendapatkan pahala syahadah.  

Mereka berharap menjumpai peperangan yang begitu besar dan hebat 

seperti Al Qadisiyah. Mereka juga menanti-nanti perintah dari Khalifah 

Umar bin Khattab untuk meneruskan jihad demi merobohkan kekuasaan 

Kisra dari akarnya. 

  

Keinginan para pejuang ini tidak membutuhkan banyak waktu untuk 

terwujudkan.  

ini lah seorang utusan khalifah Umar yang berangkat dari 

Madinah ke Kufah dengan membawa perintah dari khalifah untuk wali 

(gubernur) Kufah yang bernama Abu Musa Al Asy’ari.47 Surat ini  

memerintahkan untuk menggerakkan pasukan Islam yang ada di sana dan 

bergabung dengan pasukan muslimin yang berasal dari Bashrah, lalu  

berangkat bersama menuju Ahwaz48 untuk mengejar Hurmuzan49 dan 

membunuhnya. Lalu membebaskan kota Tustar sebagai jantung negeri raja 

Kisra. 

Dalam surat khalifah Umar yang diperuntukkan kepada Abu Musa Al 

Asy’ari dinyatakan bahwa Abu Musa harus ditemani oleh seorang 

penunggang kuda yang gagah berani bernama Majza’ah bin Tsaur Al 

Sadusy seorang pemuka dan pemimpin Bani Bakr. 

                                                     

47

 Abu Musa Al Asy’ari: Dia yaitu  Abdullah bin Qais bin Salim Al Asy’ari. Beliau yaitu  seorang 

tokoh sahabat ternama berasal dari Yaman. Saat ia hendak berhijrah dari Yaman untuk menemui 

Rasulullah, ia membuang perahu yang dibawanya di daerah Habasyah dan lalu  ia berjumpa 

dengan kaum Muhajirin di sana. Rasul pernah memerintahkannya untuk memimpin wilayah Zubaid 

dan Adn, lalu Umar bin Khattab menjadikannya wali Basrah. Dia yaitu  salah seorang penengah dalam 

perselisihan antara Ali dan Muawiyah dan ia yaitu  utusan dari pihak Ali. 

48

 Ahwaz: Sebuah distrik di Persia yang terletak di teluk di sebelah barat Iran pada zaman 

sekarang. 

49

 Hurmuzan: yaitu  panglima perang pasukan Persia 

  

  

Abu Musa Al Asy’ari melaksanakan perintah khalifatul muslimin. Lalu 

ia mempersiapkan pasukannya. Sebagai panglima pasukan infantri yaitu  

Mazja’ah bin Tsaur Al Sadusy. lalu  pasukan Abu Musa bergabung 

dengan pasukan muslimin yang datang dari Basrah, lalu bersama-sama 

menuju ke medan peperangan sebagai pejuang di jalan Allah. 

Pasukan kaum muslimin terus menerus berhasil membebaskan berbagai 

kota, melepaskan belenggu pada para penduduknya dan Hurmuzan selalu 

berlari dari kaum muslimin sehingga ia berlindung di kota Tustar. 

  

Tustar yang dijadikan tempat berlindung Hurmuzan yaitu  sebuah 

kota yang paling indah dan kuat pertahanannya. 

Tustar juga merupakan kota bersejarah yang terletak di sebuah dataran 

tinggi dan dibangun dengan seni ala Persia. Tempat ini dialiri oleh sebuah 

sungai besar yang disebut dengan Dujail. 

Di bagian atas kota ini  ada sebuah pancuran yang dibangun oleh 

raja Sabur untuk mengangkat air sungai yang melintasi beberapa saluran 

yang ia gali di bawah bumi. 

Pancuran Tustar dan salurannya yaitu  hal yang paling menarik dari 

bangunan ini , sebab  ia diikat dengan batu besar, ditopang dengan 

tiang-tiang baja dan pancuran serta salurannya dilapisi dengan kapur. 

Di sekeliling Tustar dibangun tembok besar dan tinggi yang 

mengelilingi Tustar dengan begitu rapatnya. Para ahli sejarah mengatakan 

tentang kehebatan tembok ini: “Tembok ini yaitu  tembok pertama dan 

terbesar yang pernah dibangun di muka bumi.”  

Lalu Hurmuzan menggali sebuah parit besar di sekeliling tembok untuk 

menghalangi pasukan musuh yang ingin masuk, dan iapun menyiapkan 

barisan pasukan berkuda yang terbaik sebagai pendukungnya. 

  

Pasukan muslimin berkemah di sekeliling parit Tustar selama 18 bulan 

sebab  tidak bisa melewatinya. Dan mereka sudah melakukan perang 

selama masa ini  sebanyak 8 kali melawan pasukan Persia. 

Setiap peperangan ini  di mulai dengan duel antara pasukan 

berkuda, yang lalu  diteruskan dengan peperangan yang hebat antara 

kedua pasukan. 

Majza’ah bin Tsaur telah membuat sebuah aksi fantastis dan 

mengejutkan baik kawan maupun lawan pada saat yang sama. 

Ia telah mampu membunuh 100 orang pejuang berkuda pasukan 

musuh. sebab nya, nama Majza’ah membuat pasukan Persia menjadi 

gentar dan sebaliknya hal itu membuat pasukan muslimin semakin teguh 

dan tak gentar. 

Sejak saat itulah orang-orang yang belum mengerti sebelumnya 

menjadi mengerti mengapa Amirul Mukminin begitu berkeras agar 

Majza’ah yang gagah berani ini ditempatkan pada posisi terdepan pasukan 

muslimin. 

  

Pada akhir dari peperangan yang berjumlah delapan itu, pasukan 

muslimin telah berhasil mengalahkan pasukan Persia, sehingga Persia 

membuka pagar yang dibangun di atas parit dan akhirnya mereka 

berlindung di dalam kota. Sesampainya di kota, mereka menutup semua 

gerbang kota dengan begitu rapat. 

  

 Pasukan muslimin yang telah menjalani masa penantian yang begitu 

lama kini mengalami situasi yang lebih parah lagi. Hal itu disebabkan, 

sebab  pasukan Persia menghujani pasukan muslimin dengan anak panah 

yang mereka lesatkan dari ketinggian menara-menara. 

Mereka juga melemparkan rantai-rantai besi dari atas tembok. Di ujung 

setiap rantai terdapat penjepit yang begitu panas. 

Jika ada salah seorang dari pasukan muslimin hendak menaiki tembok 

tadi atau mendekatinya, maka pasukan Persia akan melemparkan rantai 

dan penjepit besi tadi dan menariknya ke arah mereka. sebab nya, badan 

yang terkena rantai besi yang amat panas tadi akan terbakar di buatnya, 

dan dagingnya akan terkelupas sehingga dapat menyebabkan kematian.

Kali ini kondisi pasukan muslimin amat sulit terasa. Mereka semua 

berdo’a dengan hati yang khusyuk kepada Allah sebab  khawatir mereka 

akan dikalahkan. Mereka juga meminta kepada-Nya agar diberikan 

kemenangan melawan musuh Allah dan musuh mereka. 

  

Ketika Abu Musa Al Asy’ari sedang merenungi kehebatan tembok Tustar 

yang besar dan hal itu membuatnya putus asa untuk dapat menembusnya. 

Lalu tiba-tiba ada sebuah anak panah yang jatuh dihadapannya yang 

berasal dari atas tembok. Ia lalu melihatnya dan ternyata anak panah 

ini  membawa sebuah surat yang berbunyi: “Aku percaya kepada 

kalian, wahai kaum muslimin. Aku meminta jaminan kepada kalian atas 

diriku, hartaku, keluargaku dan para pengikutku. Sebagai kompensasinya 

aku akan menunjukkan kepada kalian sebuah jalan rahasia menuju kota 

Tustar.” 

Maka Abu Musa memberikan jaminan keamanan kepada penulis surat 

tadi, dan ia langsung mengirimkannya lewat sebuah anak panah. 

Orang ini  lalu yakin dengan jaminan keamanan yang diberikan 

kaum muslimin sebab  sifat mereka yang terkenal dengan menepati janji 

dan menjaga perjanjian. Ia pun akhirnya menyusup ke barisan kaum 

muslimin pada saat kegelapan malam dan berbicara kepada Abu Musa 

dengan fakta yang dibawanya:  

“Kami yaitu  pembesar bangsa Persia. Hurmuzan pernah membunuh 

kakak tertuaku. Ia juga telah merampas harta dan keluarga kakakku. Ia 

juga hendak melakukan kejahatan kepadaku sehingga aku sudah tidak 

percaya kepadanya atas keamanan diriku dan keluargaku. 

Maka aku memilih kalian yang adil atas kezalimannya. Aku memilih 

kalian yang menepati janji dibandingkan  dia yang suka berkhianat. Aku berniat 

untuk memberitahukan kalian sebuah jalan rahasia yang dapat 

menghantarkan kalian menuju Tustar. 

Kirimkanlah kepadaku seorang yang pemberani, cerdas dan pandai 

berenang agar aku dapat menunjukkan kepadanya jalan ini !” 

  

Abu Musa Al Asy’ari lalu memanggil Majza’ah bin Tsaur al Sadusy. Ia 

lalu memberitahukan berita ini. Abu Musa berkata: “Kirimkan seorang dari 

kaummu yang cerdas dan pemberani, juga pandai berenang!”  

Majza’ah menjawab: “Biarkanlah aku yang melakukannya, wahai 

Amir!” 

Abu Musa berkata: “Jika kau menginginkannya, semoga engkau 

diberkati Allah!” 

lalu  Abu Musa berwasiat kepada Majza’ah untuk menghapal 

jalan, mengenali letak jalan ini , menginformasikan persembunyian 

Hurmuzan dan selalu mengawasinya dan jangan pernah melakukan 

apapun hal selain itu. 

Majza’ah lalu  berangkat di kegelapan malam bersama orang 

Persia yang menunjukkannya. lalu  orang ini  memasukkan 

Majza’ah ke dalam saluran di bawah tanah yang menyambungkan antara 

sungai dan kota Tustar. 

Saluran ini  terkadang akan menjadi luas sehingga Majza’ah dapat 

berjalan dengan kedua kakinya. Namun terkadang ia menjadi sempit  

sehingga membuat Majza’ah harus berenang di dalamnya. 

Sungai ini  terkadang bercabang dan meninggi, dan terkadang juga 

lurus. 

Demikianlah perjalanan Majza’ah di bawah saluran air sehingga ia tiba 

di sebuah lobang yang menuju kota. Orang Persia ini  memperlihatkan 

kepada Majza’ah Hurmuzan yang telah membunuh kakaknya dan tempat 

persembunyiannya. 

Begitu Majza’ah melihat Hurmuzan, ia langsung ingin melesatkan anak 

panah ke leher Hurmuzan. Akan tetapi ia teringat pesan Abu Musa 

kepadanya agar tidak melakukan apa-apa. Maka Majza’ah langsung 

menahan diri dan kembali lewat jalan yang ia lalui sebelum datangnya 

Fajar. 

Abu Musa lalu menyiapkan 300 orang pemberani, paling teguh dan 

cekatan dari pasukan muslimin. Pasukan ini dipimpin oleh Majza’ah bin 

Tsaur yang dilepas dan diberi wasiat langsung oleh Abu Musa. Abu Musa 

lalu  meneriakkan takbir sebagai tanda seruan kepada pasukan 

muslimin untuk menyerang kota Tustar. 

Majza’ah memerintahkan kepada pasukannya untuk mengenakan 

pakaian seringan mungkin agar tidak dirasuki air sehingga akan 

menyulitkan gerak mereka. Ia juga memperingatkan pasukannya agar tidak 

membawa apapun selain pedang dan mengikatkannya di bawah pakaian. 

Mereka pun berangkat pada pertiga malam pertama. 

  

Majza’aah dan pasukannya yang gagah berani mengarungi rintangan 

saluran air ini selama 2 jam berturut-turut. Terkadang mereka mampu 

mengarunginya dengan mudah dan kadang kala, air dalam saluran 

ini  menyulitkan gerak mereka. 

Saat mereka tiba di lobang saluran yang menuju kota, Majza’ah 

mendapati bahwa saluran air ini  telah merenggut 220 orang dari 

pasukkannya, dan yang tersisa hanyalah 80 orang saja. 

  

Begitu Majza’ah dan pasukkannya menginjakkan kaki mereka di kota 

ini , mereka langsung menghunuskan pedang dan mengalahkan para 

penjaga benteng. Mereka lalu meletakkan pedang di atas dada mereka. 

lalu  mereka melompat ke arah gerbang lalu  membukanya 

sambil meneriakkan takbir. 

Maka takbir mereka yang berada di dalam benteng disambut dengan 

takbir para sahabatnya yang masih berada di luar. 

Maka merangseklah pasukan kaum muslimin ke dalam kota Tustar saat 

fajar. 

Lalu berkecamuklah perang yang hebat di antara mereka dan musuh-

musuh Allah dimana jarang sekali terdapat dalam sejarah peperangan yang 

sehebat dan seganas serta yang paling banyak memakan korban seperti 

peperangan ini. 

  

Saat peperangan berlangsung dengan sengitnya, Majza’ah bin Tsaur 

lalu melihat Hurmuzan. Maka langsunglah Majza’ah menghampirinya dan 

melompat ke arahnya dengan men