Tampilkan postingan dengan label ayub 25. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 25. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 25

 


n Allah beserta 

permohonan agar perkaranya didengar di sana. Dengan ini sepertinya 

ia hendak mengakhiri tuturannya. Namun ada lagi dosa tertentu, 

sehingga ia menganggap perlu untuk membela diri tidak bersalah. Ia 

membersihkan diri, 

I.   Dari tuduhan bersikap pura-pura dan munafik. Kejahatan umum 

yang dituduhkan para sahabat Ayub terhadap dirinya yaitu  

bahwa di balik topeng pengakuan beragama, ia telah menyem-

bunyikan sejumlah besar dosa tersembunyi, dan bahwa ia sebe-

narnya sama jahatnya dengan orang-orang lain, hanya saja ia me-

miliki keahlian untuk menutup-nutupinya. Zofar menyindirnya 

(20:12), menyembunyikan kesalahannya di bawah lidahnya. “Tidak,” 

kata Ayub, “aku tidak pernah melakukan itu (ay. 33), aku tidak 

pernah menutupi pelanggaranku seperti manusia (KJV: Adam), 

tidak pernah meringankan dosa dengan dalih-dalih tidak berarti, 

atau membuat rangkaian daun ara untuk menutupi kemaluanku. 

Aku juga tidak pernah menyembunyikan kesalahanku dalam hati-

ku bagaikan menyimpan benda kesayangan yang tidak mau aku 

lepaskan, atau bagaikan barang curian yang membuatku takut 

ketahuan.” Menutupi dosa kita merupakan sifat alami yang kita 

warisi dari orangtua pertama kita. Kita enggan mengakui kesalah-

an kita, mau meringankan dosa-dosa kita, dan berusaha sedapat 

mungkin untuk memindahkan kesalahan kepada orang-orang 

lain, seperti yang dilakukan Adam kepada istrinya, bukan tanpa 

memikirkan Allah dalam hatinya. Bagaimanapun, siapa menyem-

bunyikan pelanggarannya seperti itu tidak akan beruntung (Ams. 

28:13). Melalui sanggahannya ini, Ayub menyiratkan dua hal yang 

merupakan bukti nyata ketulusannya: 

1. Bahwa ia tidak bersalah melakukan pelanggaran atau kejahat-

an besar, atau tidak memelihara ketulusannya, seperti yang 

dituduhkan kepadanya dan ia yang ia sanggah mati-matian. 

Dalam sanggahannya ini Ayub bersikap adil. Walaupun me-

nyangkali beberapa dosa, ia tidak sadar diri sehingga bisa 

membuatnya melakukan dosa. 

2. Bahwa jika ada suatu pelanggaran atau kejahatan dilakukan-

nya sebab  tidak ada manusia yang tidak berdosa, ia senan-

tiasa siap mengakuinya. Begitu merasa bahwa apa yang dikata-

kan atau dilakukannya itu salah, ia selalu siap menarik kembali 

perkataannya atau membatalkannya sedapat mungkin dengan 

bertobat, mengakuinya baik di hadapan Allah maupun manu-

sia, dan meninggalkan dosa itu. Ini dilakukannya dengan terus 

terang. 

II. Dari tuduhan bersikap pengecut dan takut tanpa dasar. Keberani-

an dirinya terhadap apa yang baik dipakainya sebagai bukti 

tentang ketulusannya (ay. 34): Apakah aku takuti khalayak ramai 

... sehingga aku berdiam diri? Tidak, semua orang yang mengenal 

Ayub tahu bahwa ia orang yang memiliki tekad tanpa rasa takut 

dalam membela perkara yang benar. Ia berani tampil, berbicara, 

dan bertindak demi membela agama dan keadilan. Ia tidak takut 

kepada manusia dan tidak pernah merasa terancam atau digertak 

sehingga meninggalkan kewajibannya, namun  tetap tegar. Amati-

lah, 

1. Betapa tinggi kesadaran Ayub dalam melaksanakan tugas se-

bagai hakim, atau sebagai seorang pemuka, di lingkungan 

tempat ia tinggal. Ia tidak akan dan tidak berani berdiam diri 

saat  ia harus berbicara menangani perkara yang benar, atau 

tidak keluar dari pintu rumahnya saat ia harus ke luar untuk 

berbuat baik. Bisa saja terjadi bahwa kita justru berdosa saat 

berdiam diri dan mengundurkan diri pada waktu kita terpang-

gil untuk mencela dosa dan memberikan kesaksian kita untuk 

menentangnya, untuk mempertahankan kebenaran dan jalan-

jalan Allah, untuk membela keadilan orang-orang yang disakiti 

atau ditindas, untuk melayani masyarakat atau membela ke-

hormatan agama kita. 

2. Betapa Ayub tidak begitu mengindahkan hal-hal yang menge-

cilkan hati dalam melaksanakan tugasnya. Ia tidak peduli 

dengan teriakan-teriakan orang banyak, tidak takut kepada 

khalayak ramai, atau mundur akibat ancaman orang-orang 

kuat: tidak pernah penghinaan kaum keluarga mengagetkan-

nya. Ia tidak bisa dihalangi oleh jumlah ataupun kecakapan, 

cemooh ataupun penghinaan, atau bahaya yang dihadapi 

sebab  berlaku adil terhadap orang-orang yang disakiti. Tidak. 

Ia menolak untuk dipengaruhi dan bersikap berat sebelah oleh 

semua hal semacam itu, dan tidak pernah membiarkan per-

kara benar dikalahkan oleh suatu paksaan apa pun. Ia takut 

kepada Allah yang perkasa, bukan kepada orang banyak, ke-

pada kutuk, bukan kepada penghinaan kaum keluarga. 

III. Dari tuduhan telah melakukan penindasan, kekerasan, dan men-

jahati sesamanya yang miskin. Amatilah di sini, 

1. Isi pembelaan dirinya, bahwa tanahnya diperoleh dan diguna-

kannya dengan jujur, sehingga ladangnya tidak bisa berteriak 

sebab  dia dan alur bajaknya menangis bersama-sama (ay. 38), 

seperti yang dialami orang-orang yang mendapatkan harta 

tanahnya melalui penipuan dan pemerasan (Hab. 2:9-11). Di-

katakan bahwa seluruh ciptaan mengerang di bawah dosa 

manusia. Apa yang diperoleh dan disimpan dengan tidak adil, 

berteriak-teriak kepada manusia dan menuduh dia, mengu-

tuknya, dan menuntut keadilan darinya atas kerugian yang 

didatangkannya itu. Dosa penindasannya tidak akan lolos dari 

hukuman, sehingga ladang serta alur-alur bajaknya bangkit 

bersaksi melawan dia, dan menjadi penuntutnya. Ada dua hal 

yang disampaikan Ayub dengan rasa aman mengenai harta 

tanahnya: 

(1) Bahwa ia tidak pernah memakan habis hasilnya dengan 

tidak membayar (ay. 39). Apa yang dibelinya, pasti dibayar 

lunas olehnya, seperti yang dilakukan Abraham dengan 

tanah yang dibelinya (Kej. 23:16), dan juga Daud (2Sam. 

24:24). Para pekerja yang dipekerjakan Ayub menerima gaji 

seperti seharusnya, dan apabila ia memanfaatkan buah-

buah dari hasil ladang, ia membayar para penyewanya, 

atau memotongnya dari ongkos sewa mereka. 

(2) Bahwa Ayub tidak pernah menyebabkan para pemilik ta-

nah kehilangan nyawa mereka, tidak pernah mendapatkan 

tanah seperti Ahab mendapatkan kebun anggur Nabot 

dengan cara membunuh pewarisnya dan merampas waris-

annya. Ia tidak pernah membiarkan orang-orang yang me-

ngelola ladang-ladangnya itu mati kelaparan, atau membu-

nuh mereka dengan cara menawar dengan harga teramat 

murah serta memanfaatkan mereka dengan semena-mena. 

Tidak seorang pun penyewa, pekerja, atau hambanya dapat 

mengeluh tentang Ayub. 

2. Bagaimana Ayub meneguhkan pembelaannya. Seperti yang su-

dah sering terjadi, ia melakukannya dengan ucapan kutuk 

yang sesuai (ay. 40): “Andai kata aku telah memperoleh tanah-

ku dengan tidak adil, maka biarlah bukan gandum yang tum-

buh, namun  onak, gulma paling jahat dan bukannya gandum 

terbaik.” saat  manusia memperoleh tanah dengan cara tidak 

adil, maka sudah sepantasnya kenyamanan yang dihasilkan 

itu akan diambil dari mereka, sehingga pegharapan mereka di-

kecewakan. Mereka memang menabur benih di ladang mereka, 

namun  tidak menabur bakal tanaman yang seharusnya tum-

buh. Allah akan memberikan isi bagi benih. Yang ditaburkan 

mereka benih gandum, namun  yang tumbuh yaitu  semak 

duri. Apa yang diperoleh manusia dengan cara tidak jujur, 

tidak akan pernah membawa kebaikan bagi mereka. Menjelang 

akhir pembelaannya, Ayub naik banding ke kursi penghakim-

an Allah menyangkut kebenarannya (ay. 35-37): Ah, sekiranya 

ada yang mendengarkan aku! Bahkan, Hendaklah Yang Maha-

kuasa menjawab aku! Hal inilah yang dirindukannya dan se-

ring dikeluhkannya sebagai sesuatu yang tidak dapat diper-

olehnya. Sekarang, sesudah ia mengajukan pembelaan dengan 

begitu terperinci, ia meninggalkannya dalam bentuk catatan 

dengan harapan akan didengar. Ia seolah-olah membuat ber-

kasnya, sampai perkaranya ditangani. 

(1) Persidangan diajukan, didesak dengan sungguh: “Ah, sekira-

nya ada yang mendengarkan aku. Perkaraku begitu benar, 

dan buktiku begitu jelas, hingga aku bersedia menyerahkan-

nya kepada orang biasa sekalipun. Namun, aku ingin agar 

Yang Mahakuasa sendirilah yang akan menentukannya.” 

Hati yang tulus tidak takut diteliti. Orang yang tulus ber-

harap mempunyai jendela di dadanya, supaya semua orang 

bisa melihat maksud hatinya. Bagaimanapun, hati yang 

tulus terutama ingin agar segala sesuatu ditentukan oleh 

penghakiman Allah, yang kita yakini pasti sesuai dengan 

kebenaran. Inilah doa kudus Daud, Selidikilah aku, ya 

Allah, dan kenallah hatiku. Penghiburan Paulus yaitu , 

Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan. 

(2) Sang penuntut dipanggil, dan penggugat dihadirkan serta 

diperintahkan untuk memasukkan laporannya, untuk me-

nyampaikan apa yang perlu dikatakannya melawan sang 

pesakitan, sebab ia membela kebebasannya: “Sekiranya 

ada surat tuduhan yang ditulis lawanku. Sekiranya sahabat-

sahabatku yang telah menuduhku sebagai orang fasik mau 

mencatat tuduhan mereka dalam bentuk tertulis, supaya 

tuduhan itu dapat dipastikan, dan supaya kita bisa meng-

adili perkara itu dengan lebih baik.” Ayub akan sangat se-

nang melihat pernyataan tertulis, salinan dakwaan terhadap 

dirinya itu. Ia tidak akan menyembunyikannya di bawah 

ketiaknya, namun  akan dia pikul, supaya bisa dilihat dan 

dibaca semua orang, dan akan dia pakai bagaikan mahkota. 

Ia senang memandangnya sebagai perhiasannya, sebab, 

[1] Apabila surat itu mengungkapkan dosa yang telah di-

perbuat namun belum disadarinya, ia akan senang me-

ngetahuinya, supaya ia bisa menyesalinya dan beroleh 

pengampunan. Orang yang baik bersedia mengetahui 

hal terburuk pada dirinya, dan akan berterima kasih 

kepada orang-orang yang dengan jujur mau memberi-

tahukan kesalahannya kepadanya. 

[2] Apabila dakwaan itu ternyata palsu, ia tidak akan ragu 

menyangkal pernyataan tanpa bukti itu, supaya keti-

dakbersalahannya dapat dibersihkan dalam terang, se-

hingga ia  terbebas dengan kehormatan yang jauh lebih 

besar lagi. Namun, 

[3] Ayub percaya bahwa saat  para lawannya telah menu-

lis semua dakwaan mereka dan memeriksa perkara itu 

dengan begitu cermat seperti yang seharusnya mereka 

lakukan, maka semua tuduhan mereka itu pasti akan 

terbukti sepele dan kecil. Semua orang yang melihatnya 

akan berkata, “Bila hanya inilah yang bisa mereka kata-

kan melawan Ayub, maka sungguhlah memalukan bah-

wa mereka telah begitu menyusahkan dia.” 

(3) Sang terdakwa siap tampil dan mengikuti seluruh aturan 

main yang jujur seperti yang mereka inginkan. Setiap lang-

kahnya akan diberitahukannya kepada mereka (ay. 37). Ia 

akan mengajak mereka melihat sejarah kehidupannya sen-

diri. Ia akan menunjukkan kepada mereka semua tahap 

dan kejadian di dalamnya. Ia akan menguraikan perilaku-

nya, apa saja yang bisa melawan dia dan juga yang mendu-

kungnya, lalu membiarkan mereka menilainya sesuka hati 

mereka. Ayub begitu yakin akan ketulusannya, hingga 

bagaikan seorang raja yang akan dimahkotai dan bukan se-

orang tawanan yang hendak diadili, ia akan menghadap 

Dia, untuk mendengar tuduhan dari para pendakwanya 

maupun untuk mendengar hukuman yang akan dijatuh-

kan Sang Hakim. Demikianlah kesaksian hati nuraninya 

menjadi sukacitanya. 

Hic murus aheneus esto, nil conscire sibi – 

Kiranya ini menjadi benteng tembaga pertahananmu, 

Untuk memelihara ketulusan hati nuranimu. 

Orang-orang yang telah memelihara tangan mereka 

tanpa cela di dunia ini seperti yang dilakukan Ayub, dapat 

mengangkat wajah mereka tanpa cela kepada Allah, dan 

dapat menghibur diri mereka dengan pengharapan akan 

penghakiman-Nya saat  mereka dikecam dengan tidak adil 

oleh manusia. Jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka 

kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah. 

Sekianlah kata-kata Ayub. Yaitu, sekarang ia sudah 

menyampaikan segala sesuatu yang hendak dikatakannya 

untuk menjawab sahabat-sahabatnya. Sesudah itu ia me-

ngatakan sesuatu dengan nada mengecam dan menghu-

kum diri sendiri (40:4-5; 42:2 dst.), namun di sini ia meng-

akhiri apa yang hendak dikatakannya dengan nada mem-

bela dan membersihkan diri. Apabila ini masih belum cu-

kup juga, ia tidak akan berkata apa-apa lagi. Ayub tahu 

apabila ia sudah berkata cukup banyak, dan akan tunduk 

saja pada putusan pengadilan. Menurut beberapa penafsir, 

cara Ayub mengutarakan pendapatnya menyiratkan bahwa 

ia menutup tuturannya dengan nada yakin serta penuh 

kemenangan. Sekarang ia menguasai medan tempur dan 

tidak ragu akan memenangkannya. Siapakah yang akan 

menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang mem-

benarkan mereka. 

 

 

  

PASAL 32  

ekarang panggung kosong, sebab  Ayub dan tiga sahabatnya 

telah duduk, dan baik dia maupun para sahabatnya itu tidak 

punya apa-apa lagi untuk dikatakan. Maka tepatlah kini waktunya 

bagi seorang penengah untuk menyela, dan Elihulah orangnya. Da-

lam pasal ini, kita dapati, 

I. Sedikit keterangan mengenai Elihu, asal-usulnya, kehadiran-

nya di tengah perbantahan ini, serta pandangannya menge-

nai perdebatan ini (ay. 1-5). 

II. Permintaan maafnya sebab  berani angkat bicara mengenai 

topik yang telah dijabarkan secara cerdas dan panjang lebar 

oleh mereka yang lebih tua (ay. 6-10). Elihu memberi alasan-

nya bahwa, 

1. Meski belum berpengalaman seperti orang yang berumur 

tinggi, dirinya memiliki pengertian seorang manusia (ay. 

6-10). 

2. Ia telah menyimak seluruh perkataan mereka dengan sa-

bar (ay. 11-13). 

3. Ia memiliki sesuatu yang baru untuk diajukan (ay. 14-17). 

4. Pikirannya sangat penuh dengan masalah yang diperde-

batkan ini, dan ia akan lega bila dapat menyalurkannya 

(ay. 18-20). 

5. Ia bertekad untuk berbicara tanpa memihak (ay. 21-22). 

Dan, Elihu sungguh bertutur dengan amat baik hingga 

Ayub tidak menjawab dia. Allah pun tidak menghardik 

Elihu, saat  ia menegur Ayub dan ketiga sahabatnya. 

Tutur Kata Elihu 

(32:1-5) 

1 Maka ketiga orang itu menghentikan sanggahan mereka terhadap Ayub, 

sebab  ia menganggap dirinya benar. 2 Lalu marahlah Elihu bin Barakheel, 

orang Bus, dari kaum Ram; ia marah terhadap Ayub, sebab  ia menganggap 

dirinya lebih benar dari pada Allah, 3 dan ia juga marah terhadap ketiga orang 

sahabat itu, sebab  mereka mempersalahkan Ayub, meskipun tidak dapat 

memberikan sanggahan. 4 Elihu menangguhkan bicaranya dengan Ayub, ka-

rena mereka lebih tua dari pada dia. 5 namun  setelah dilihatnya, bahwa mulut 

ketiga orang itu tidak lagi memberi sanggahan, maka marahlah ia. 

Pada umumnya, orang-orang muda berbantah dan yang lanjut usia 

menengahi. Namun, dalam kasus ini, saat  orang-orang tua yang 

berbantah, seorang muda bangkit menjadi penengah, untuk menegur 

mereka sebab  menjadi panas hati, yang tidak patut bagi mereka. 

Ada macam-macam teman Ayub yang hadir saat itu, yang datang 

untuk menjenguk dia dan menerima pengajaran darinya. Nah, pada 

ayat-ayat di atas, kita temukan: 

I. Penyebab bungkamnya tiga sahabat Ayub. Ketiga orang itu meng-

hentikan sanggahan mereka terhadap Ayub, dan membiarkannya 

berbicara, sebab  ia menganggap dirinya benar. Inilah alasannya 

mereka berhenti berbicara, sebab percuma saja berbantah dengan 

orang yang keras kepala (ay. 1). Orang yang sok tahu memang 

sulit dibentuk. Ada lebih banyak harapan bagi orang yang bebal, 

sebab  perbuatan Allah, daripada bagi orang yang bebal yang 

membebalkan dirinya sendiri (Ams. 26:12). Namun, mereka ber-

tiga keliru menilai Ayub: ia memang sungguh benar di hadapan 

Allah, bukan semata benar di matanya sendiri. Jadi, sebenarnya 

demi menyelamatkan nama baik sendirilah mereka membuat 

alasan untuk berdiam diri. Hal ini biasanya dilakukan oleh pihak 

yang bertikai saat mereka sudah kehabisan kata-kata namun  tidak 

mau mengaku bahwa mereka tidak mampu berdebat lagi. 

II. Alasan Elihu, si orang keempat, berbicara. Nama Elihu artinya 

Allahku ialah Dia. Tiga orang lainnya telah sia-sia saja berusaha 

meyakinkan Ayub, namun  Allahku ialah Dia mampu dan akan me-

lakukannya, dan akhirnya berhasil pula. Hanya Dia yang dapat 

membuka pengertian manusia. Dikatakan bahwa Elihu yaitu  

orang Bus, putra kedua Nahor (Kej. 22:21), dan dari kaum Ram, 

yaitu Aram (menurut sebagian penafsir), bapa leluhur orang Aram 

sekaligus asal-usul nama bangsa itu (Kej. 22:21). Alkitab versi 

bahasa Kasdim menuliskan “dari kaum Abram,” sebab  menduga 

bahwa nama Abram mula-mula yaitu  Ram – artinya yang luhur, 

lalu berubah menjadi Abram – bapa yang luhur, dan terakhir men-

jadi Abraham – bapa yang luhur atas banyak bangsa. Elihu tidak 

begitu terkenal seperti yang lainnya sehingga ia perlu dijabarkan 

secara khusus. 

1. Elihu berbicara sebab dia marah dan merasa kemarahannya 

beralasan. Setelah menyimak perdebatan Ayub dan kawan-

kawannya, ia tidak pergi dari situ lalu memfitnah mereka di 

luar, membicarakan hal-hal yang buruk di belakang. Sebalik-

nya, ia merasa perlu menyampaikan apa yang ingin ia katakan 

langsung di hadapan mereka, supaya mereka dapat membela 

diri jika bisa.  

(1) Elihu marah kepada Ayub sebab menurutnya Ayub tidak 

berbicara dengan hormat tentang Allah sebagaimana mesti-

nya, dan hal itu memang benar (ay. 2): ia menganggap diri-

nya lebih benar dari pada Allah, yaitu, Ayub lebih meng-

utamakan untuk membersihkan dirinya dari tuduhan bah-

wa ia fasik sehingga tertimpa penderitaan, daripada mem-

bersihkan nama Allah dari tuduhan berlaku tidak adil 

dalam membuatnya menderita. Ayub tampak lebih peduli 

pada kehormatannya sendiri daripada kehormatan Allah, 

padahal seharusnya ia mengutamakan untuk membenar-

kan Allah dan memuliakan Dia, baru kemudian membiar-

kan nama baiknya pulih dengan sendirinya. Perhatikanlah, 

hati yang penuh anugerah akan mengutamakan kehormat-

an Allah dan marah bila kehormatan-Nya diabaikan, dike-

sampingkan, atau dinista. Kita tidak melanggar hukum 

kelemahlembutan bila marah kepada teman kita saat mere-

ka menghina Allah. “Enyahlah Iblis,” demikian kata Kristus 

kepada Simon. Elihu mengakui bahwa Ayub yaitu  se-

orang yang baik, namun  ia tidak akan menyetujui perkataan 

Ayub yang menurutnya keliru. Tidak menegur kesalahan 

teman yaitu  pujian yang keterlaluan.  

(2) Elihu marah kepada teman-teman Ayub, sebab menurut-

nya mereka tidak bermurah hati kepada Ayub sebagaimana 

seharusnya (ay. 3): mereka mempersalahkan Ayub, meski-

pun tidak dapat memberikan sanggahan. Mereka mengha-

kimi Ayub sebagai orang munafik, fasik, dan tidak mau me-

narik tuduhan itu. Ditambah lagi, mereka tidak dapat 

membuktikan tuduhan mereka ataupun menyanggah bukti-

bukti yang dikemukakan Ayub mengenai kesalehannya. 

Tiga orang itu tidak mampu membuktikan dasar pemikiran 

mereka, namun  berpegang teguh pada kesimpulan yang me-

reka buat. Mereka tidak dapat menjawab penjelasan Ayub, 

namun  tidak mau menyerah. Benar ataupun salah, mereka 

tetap menekan dia. Itu tidak adil. Jarang ada pertengkaran 

yang timbul dan berlangsung hingga lama seperti ini tanpa 

ada pihak yang salah. Sebagai penengah, Elihu tidak ber-

pihak kepada siapa pun, melainkan sama-sama kesal ter-

hadap kekeliruan dan tingkah laku kedua belah pihak. 

Barang siapa tulus hati mencari kebenaran, ia tidak boleh 

berpihak dalam penilaiannya mengenai pihak-pihak yang 

bertikai, serta tidak boleh menyangkal apa yang benar dan 

baik pada pihak mana pun demi menemukan apa yang sa-

lah. Ia juga tidak boleh menyetujui atau membela apa yang 

salah demi kepentingan kebenaran dan kebaikan. Ia harus 

belajar memisahkan yang baik dari yang jahat. 

2. Elihu berbicara sebab pikirnya itu waktu yang tepat, dan su-

dah tiba gilirannya untuk bersuara (ay. 4-5).  

(1) Ia telah menunggu Ayub berkata-kata, menyimaknya de-

ngan sabar hingga tutur kata Ayub selesai.  

(2) Ia telah menunggu sampai kawan-kawan Ayub diam, su-

paya tidak memotong dan menghalangi mereka, bukan ka-

rena orang-orang itu lebih bijak daripada Elihu, melainkan 

sebab  mereka lebih tua, maka sepantasnyalah mereka 

berbicara lebih dahulu. Elihu amat rendah hati, ia tidak 

mau mengurangi hak mereka. Ada aturan-aturan keutama-

an yang harus dijalankan demi terjaganya keteraturan. 

Meskipun kehormatan batin yang nyata akan selalu meng-

ikuti hikmat dan kelayakan yang sejati, namun sebab  

setiap orang merasa dirinya atau kawannya sendiri yang 

paling bijak dan paling layak, maka diperlukan aturan ter-

tentu untuk menjaga kehormatan lahiriah, sehingga diber-

lakukanlah keutamaan berdasarkan usia atau tingkat ke-

dudukan. Dengan cara itu, mereka yang senior lebih ber-

hak sebab mereka sudah menjalankan kewajiban yang 

sama semasa mereka masih muda atau masih menduduki 

jabatan lebih rendah. Sementara yang sekarang lebih muda 

atau rendah patut mengalah sebab nantinya mereka juga 

akan mendapatkan hak keutamaan itu saat menjadi senior. 

Tutur Kata Elihu 

(32:6-14) 

6 Lalu berbicaralah Elihu bin Barakheel, orang Bus itu: “Aku masih muda 

dan kamu sudah berumur tinggi; oleh sebab itu aku malu dan takut menge-

mukakan pendapatku kepadamu. 7 Pikirku: Biarlah yang sudah lanjut usia-

nya berbicara, dan yang sudah banyak jumlah tahunnya memaparkan hik-

mat. 8 namun  roh yang di dalam manusia, dan nafas Yang Mahakuasa, itulah 

yang memberi kepadanya pengertian. 9 Bukan orang yang lanjut umurnya 

yang mempunyai hikmat, bukan orang yang sudah tua yang mengerti keadil-

an. 10 Oleh sebab itu aku berkata: Dengarkanlah aku, akupun akan menge-

mukakan pendapatku. 11 Ketahuilah, aku telah menantikan kata-katamu, 

aku telah memperhatikan pemikiranmu, hingga kamu menemukan kata-kata 

yang tepat. 12 Kepadamulah kupusatkan perhatianku, namun  sesungguhnya, 

tiada seorangpun yang mengecam Ayub, tiada seorangpun di antara kamu 

menyanggah perkataannya. 13 Jangan berkata sekarang: Kami sudah men-

dapatkan hikmat; hanya Allah yang dapat mengalahkan dia, bukan manusia. 

14 Perkataannya tidak tertuju kepadaku, dan aku tidak akan menjawabnya 

dengan perkataanmu. 

Dalam ayat-ayat di atas tampaklah bahwa Elihu: 

I. Seorang yang sangat sopan dan rendah hati. Walaupun masih 

muda dan cakap, ia tidak berbuat semaunya sendiri, sombong, 

ataupun berlagak. Wajahnya bercahaya dan ia tidak menyadari-

nya, seperti Musa, sehingga lebih teranglah cahaya itu. Kiranya 

semua orang, terutama para pemuda, memperhatikan dan mene-

ladani hal ini.  

1. Elihu merendahkan dirinya dan penilaiannya sendiri (ay. 6): 

“Aku masih muda; oleh sebab itu aku malu dan takut mengemu-

kakan pendapatku kepadamu, sebab aku khawatir akan keliru 

atau melakukan sesuatu yang tidak pantas.” Ia sungguh-sung-

guh memperhatikan semua yang telah berlangsung dan memi-

kirkan dengan teliti segala yang didengarnya, sehingga ia 

dapat membangun penilaian tentang semua itu. Elihu tidak 

mengabaikannya sebagai gagasan pemikiran yang asing, tidak 

pula menolaknya sebab  dianggap rumit. Walaupun demikian, 

sejelas apa pun perkara itu baginya, ia takut menyampaikan 

pendapat, sebab pandangannya berbeda dengan mereka yang 

lebih tua. Perhatikanlah, kita wajib waspada menilai pemikiran 

kita mengenai hal-hal yang menjadi perdebatan, harus lebih 

cepat untuk mendengar pendapat orang lain dan lambat untuk 

menyampaikan pendapat kita sendiri, apalagi bila pendapat 

kita bertentangan dengan pandangan orang lain yang kita 

hormati sebab  lebih saleh dan berpengalaman. 

2. Elihu sangat menyegani orang yang lebih tua dan berharap 

banyak kepada mereka (ay. 7): Pikirku: Biarlah yang sudah 

lanjut usianya berbicara. Perhatikanlah, umur serta pengalam-

an memberikan orang wawasan besar untuk menilai berbagai 

hal. Kedua hal itu mengisi manusia dengan banyak bahan per-

timbangan yang mematangkan dan meningkatkan kemampu-

an berpikirnya. Itulah sebabnya orang-orang tua harus ber-

upaya untuk belajar sekaligus mengajar orang lain, bila tidak, 

maka tingginya umur hanya akan mempermalukan mereka. 

Itu pula sebabnya orang-orang muda harus mendengarkan 

pengarahan orang tua. yaitu  baik untuk menumpang di 

rumah orang yang sudah lama menjadi murid (Kis. 21:16; Tit. 

2:4). Kerendahan hati Elihu tampak dalam kesabarannya me-

nyimak perkataan orang-orang yang lebih tua itu (ay. 11-12). 

Ia menantikan ucapan mereka dengan penuh pengharapan. 

Didengarkannya pertimbangan mereka supaya dapat mema-

hami artinya serta mengerti alur pengajaran dan kekuatan pe-

maparan mereka. Elihu menyimak orang-orang tua itu dengan 

tekun dan teliti,  

(1) Sekalipun mereka lambat dan memerlukan waktu sangat 

lama untuk menemukan apa yang hendak dikatakan. Wa-

laupun mereka sering kali harus mencari penjelasan dan 

kata-kata yang tepat, berhenti sejenak dan ragu, serta 

kurang sigap dalam berbicara, Elihu mengabaikan semua 

itu dan memperhatikan pemikiran mereka. Bila pemikiran 

mereka benar-benar meyakinkan, Elihu tidak akan mere-

mehkannya sedikit pun hanya sebab  cara penyampaian-

nya yang kurang.  

(2) Meskipun mereka berbicara dengan sembarangan tanpa 

tujuan jelas, dan walau tidak seorang pun menyanggah 

Ayub ataupun mengucapkan sesuatu yang tepat untuk me-

yakinkannya, namun Elihu tetap mendengarkan mereka 

dengan harapan mereka akhirnya mencapai suatu kesepa-

katan. Sering kali kita harus mau mendengarkan apa yang 

tidak kita sukai, kalau tidak kita tidak dapat membuktikan 

apa-apa. Kesabaran Elihu dalam menyimak penuturan 

orang-orang itu menjadi dasar untuk  

[1] Memberi dirinya kebebasan berbicara pada gilirannya 

dan membuatnya berhak meminta perhatian mereka. 

Hanc veniam petimusque damusque vicissim – kita saling 

memberi dan meminta kebebasan. Siapa yang sudah 

mendengar boleh berbicara, dan yang sudah belajar 

boleh mengajar.  

[2] Membuat Elihu mampu menilai perkataan mereka. Ia 

telah memperhatikan maksud mereka sehingga tahu 

jawaban apa yang harus diberikan. Marilah kita meng-

hargai pandangan sesama kita sebelum mengkritik me-

reka. Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mende-

ngar, atau baru mendengar sebagian saja, itulah kebo-

dohan dan kecelaannya, dan itu membuktikan bahwa 

dia kurang sopan dan angkuh. 

II. Seorang yang berakal sehat sekaligus berani. Ia juga tahu kapan 

dan bagaimana harus berbicara, kapan dan bagaimana harus ber-

diam diri. Elihu sangat menghormati kawan-kawannya sehingga 

tidak mau memotong pembicaraan mereka, namun  ia juga sangat 

menghargai kebenaran dan keadilan (sahabatnya yang lebih baik) 

sehingga tidak mau tinggal diam membiarkan kebenaran itu di-

salahi. Dengan berani, Elihu menegaskan bahwa, 

1. Manusia yaitu  makhluk yang berakal budi. Jadi, setiap orang 

memiliki kebijaksanaan untuk menilai dan berhak mendapat-

kan kebebasan berbicara pada gilirannya. Ia punya maksud 

yang sama dengan Ayub, Aku pun mempunyai pengertian, 

sama seperti kamu (12:3), saat  berkata, “Roh yang di dalam 

manusia, itulah yang memberi kepadanya pengertian” (ay. 8). 

Hanya saja, Elihu mengutarakannya dengan lebih rendah hati, 

yakni bahwa setiap manusia memiliki pengertian sama seperti 

orang lain juga, dan tidak seorang pun bisa mengaku dirinya 

sebagai satu-satunya yang berakal budi ataupun menguasai 

semuanya. Seandainya maksud perkataan Elihu yaitu , “Aku 

juga mendapat pewahyuan, sama seperti kamu,” (demikian pe-

nafsiran sebagian orang), maka ia harus membuktikannya. 

Namun, jika maksudnya  hanyalah “Aku juga memiliki akal 

budi, sama seperti kamu,” maka mereka tidak dapat menyang-

kalnya, sebab akal budi yaitu  kehormatan milik semua ma-

nusia. Dan mengakuinya bukanlah suatu kesombongan, dan 

mereka pun tidak bisa membantahnya (ay. 10): Oleh sebab itu 

aku berkata: Dengarkanlah aku. Dari ayat ini, pelajarilah  

(1) Jiwa manusia yaitu  roh (ay. 8), bukan benda dan tidak 

bergantung kepada kebendaan, namun  mampu mengolah 

hal-hal yang rohani, yang tidak dapat dicerna oleh indra.  

(2) Jiwa itu yaitu  roh yang berpengertian. Ia mampu mene-

mukan dan menerima kebenaran, membicarakannya dan 

menelitinya, dan mengarahkan serta memimpin berdasar-

kan kebenaran itu.  

(3) Roh berpengertian itu ada dalam setiap manusia. Itulah 

terang yang menerangi setiap orang (Yoh. 1:9).  

(4) Wahyu dari Allah Yang Mahakuasalah yang memberi kita 

roh pengertian. Sebab Dialah Bapa segala roh dan sumber 

pengertian (Lih. Kej. 2:7; Pkh. 12:7; Za. 12:1). 

2. Orang yang lebih berhasil dan maju dalam hal kebesaran dan 

ketenaran tidak selalu lebih unggul dalam pengetahuan dan 

hikmat (ay. 9): Bukan orang yang lanjut umurnya (KJV: orang 

besar) yang mempunyai hikmat. Sungguh disayangkan me-

mang, namun  begitulah kenyataannya, supaya dengan demi-

kian mereka tidak akan pernah menyalahgunakan kebesaran 

dan akan lebih banyak berbuat kebaikan dengan hikmat mere-

ka. Manusia seharusnya lebih diutamakan sebab  hikmatnya, 

dan barang siapa memiliki kehormatan dan kuasa, merekalah 

yang paling memerlukan hikmat serta paling banyak berke-

sempatan untuk memanfaatkannya. Namun, tidak berarti 

bahwa orang-orang besar pasti selalu bijaksana. sebab  itu, 

yaitu  tindakan bodoh bila kita sepenuhnya tunduk mutlak 

pada perkataan mereka. Orang yang tua tidak selalu mengerti 

bagaimana menilai dengan benar, mereka pun bisa salah, jadi 

janganlah memaksakan setiap kepala untuk patuh kepada 

mereka. Malahan, oleh sebab itulah orang-orang tua tidak 

boleh merasa terhina bila ada yang menentang pendapatnya, 

melainkan menganggap ajaran orang muda sebagai kebaikan 

bagi mereka. Oleh sebab itu aku berkata: Dengarkanlah aku 

(ay. 10). Kita harus bersedia mendengarkan pemikiran orang-

orang yang lebih rendah daripada kita dalam hal apa pun serta 

menerimanya. Orang yang bermata sehat bisa melihat lebih 

jauh ke depan saat ia berdiri di tanah datar, daripada orang 

rabun yang melihat dari puncak gunung tertinggi. Lebih baik 

seorang muda miskin namun  berhikmat dari pada seorang raja 

tua namun  bodoh (Pkh. 4:13). 

3. Harus ada sesuatu yang dikatakan untuk menjernihkan seng-

keta tersebut, sebab sejauh ini, semua yang telah mereka 

ucapkan hanya menambah kerumitan dan membingungkan 

(ay. 13): “Aku harus berbicara. Jangan berkata sekarang: Kami 

sudah mendapatkan hikmat. Jangan beranggapan bahwa pen-

dapat kalian terhadap Ayub sudah mutlak dan tidak terban-

tahkan. Jangan pula berpikir bahwa Ayub hanya bisa diyakin-

kan dan ditundukkan oleh perkataanmu, bahwa hanya Allah 

yang dapat mengalahkan dia, bukan manusia. Janganlah ber-

anggapan bahwa penderitaan yang luar biasa ini bukti bahwa 

Allah memusuhinya, sehingga dengan demikian pastilah ia 

seorang yang fasik. Aku harus menunjukkan bahwa dugaan 

itu keliru dan Ayub dapat diyakinkan tanpa memaksakan pen-

dapat tersebut.” Atau, “Jangan berpikir bahwa kalian sudah 

menemukan cara yang paling bijak, untuk tidak perlu lagi 

berdebat dengan Ayub, melainkan menyerahkan kepada Allah 

yang akan mengalahkan dia.” Saat kita mendengar kekeliruan 

berkembang dan diperdebatkan, terutama dengan alasan un-

tuk membela perkara Allah, maka itulah waktunya kita angkat 

bicara. Saat keadilan Allah disebut-sebut untuk membenarkan 

keangkuhan dan amarah manusia, saat penghakiman Allah 

dibawa-bawa sebagai alasan demi mendukung tuduhan yang 

tidak adil terhadap sesama manusia, itulah waktunya kita 

harus berbicara bagi Allah. 

4. Elihu memiliki pemikiran baru untuk diajukan dan ia akan 

berusaha membereskan perbantahan itu dengan cara yang 

lebih baik daripada yang sudah dilakukan selama itu (ay. 14). 

Elihu merasa dirinya akan didengarkan dengan baik sebab:  

(1) Ia tidak akan menyanggah pernyataan Ayub tentang kesa-

lehannya, namun  menerima kebenaran pernyataan itu, dan 

sebab  itu tidak menempatkan diri sebagai lawan Ayub. 

“Perkataannya tidak tertuju kepadaku. Aku tidak hendak 

menyanggah topik utama penuturannya, dan aku pun se-

pendapat dengan prinsip-prinsipnya. Aku hanya ingin se-

dikit mengingatkan Ayub atas ucapannya yang penuh 

amarah.”  

(2) Elihu tidak akan mengulangi pendapat kawan-kawan Ayub 

ataupun mendukung prinsip mereka. “Aku tidak akan men-

jawabnya dengan perkataanmu, yaitu tidak dengan bahan 

pembicaraan yang sama, sebab bila aku hanya mengulangi 

apa yang sudah dikatakan, silakanlah menyuruhku diam 

sebab  ucapanku percuma saja. Aku tidak akan marah dan 

jengkel terhadap Ayub, seperti yang kalian lakukan terha-

dap Ayub, yang tidak kusukai pada diri kalian.” Orang 

bijak akan meninggalkan persoalan yang sudah selesai di-

tangani, kecuali bila ia dapat mengubah dan memperbaiki 

apa yang sudah dilakukan. Untuk apa dia actum agere – 

mengerjakan yang sudah selesai dikerjakan? 

Tutur Kata Elihu 

(32:15-22) 

15 Mereka bingung, mereka tidak dapat memberi sanggahan lagi, mereka 

tidak dapat berbicara lagi. 16 Haruskah aku menunggu, sebab  mereka putus 

bicara, sebab  mereka berdiri di sana dan tidak memberi sanggahan lagi?  

17 Akupun hendak memberi sanggahan pada giliranku, akupun akan menge-

mukakan pendapatku. 18 sebab  aku tumpat dengan kata-kata, semangat 

yang ada dalam diriku mendesak aku. 19 Sesungguhnya, batinku seperti ang-

gur yang tidak mendapat jalan hawa, seperti kirbat baru yang akan meletup. 

20 Aku harus berbicara, supaya merasa lega, aku harus membuka mulutku 

dan memberi sanggahan. 21 Aku tidak akan memihak kepada siapapun dan 

tidak akan menyanjung-nyanjung siapapun, 22 sebab  aku tidak tahu me-

nyanjung-nyanjung; jika demikian, maka segera Pembuatku akan mencabut 

nyawaku." 

Ada tiga hal yang dapat memaafkan tindakan Elihu yang menengahi 

perdebatan yang sudah sedemikian memanas oleh pihak-pihak ter-

pelajar ini:  

1. Panggung perdebatan sudah kosong, dan sebab  itu ia tidak me-

nyerobot pembicaraan pihak mana pun: Mereka bingung (ay. 15),

 mereka berdiri di sana dan tidak memberi sanggahan lagi (ay. 16). 

Mereka bukan hanya berhenti berbicara, namun  berdiri diam, 

menunggu bila ada yang hendak mengutarakan pendapat. Jadi, 

Elihu memiliki ruang dan giliran yang adil diberikan kepadanya. 

Teman-teman Ayub pun tampaknya tidak puas dengan perkataan 

mereka sendiri, seandainya mereka puas, tentu mereka sudah 

bubar, bukannya berdiri diam menanti apa yang mungkin diaju-

kan oleh orang lain. Itu sebabnya Elihu berkata (ay. 17), “Akupun 

hendak memberi sanggahan pada giliranku. Aku tidak berlagak 

dapat memberi putusan yang pasti. Tidak, penghakiman yaitu  

milik Tuhan, dan Dialah yang menentukan siapa yang benar dan 

siapa yang salah. Namun, sebab  kalian telah mengemukakan 

pendapat masing-masing, aku juga akan mengutarakan penda-

patku. Biarlah pendapatku ini dinilai bersama dengan yang lain-

nya.” saat  suatu hal diajukan dengan amat rendah hati, meski 

oleh orang yang paling rendah sekalipun, pendapat itu pantas 

didengar dan dipertimbangkan dengan adil. Menurut saya, patut 

diduga bahwa Elihulah penulis kitab ini, seperti dapat terlihat 

dari tuturannya. Dia menulis sebagai sejarawan yang mengung-

kapkan fakta, sehingga setelah ia meminta perhatian mereka 

seperti tertulis dalam ayat-ayat sebelumnya, mereka pun bingung, 

mereka berhenti berbisik-bisik, dan tidak membantah kebebasan 

berbicara yang diminta Elihu. Mereka hanya berdiri diam untuk 

mendengar apa yang hendak dia katakan sebab  terkesima 

dengan keberanian sekaligus kerendahan hati yang tampak dalam 

kata-kata pendahuluannya. 

2. Elihu gelisah, bahkan tertekan oleh pemikiran yang ingin dike-

luarkannya mengenai perkara tersebut. Mereka harus membiar-

kannya bicara, sebab ia tidak dapat menahannya. saat  ia me-

nyala seperti api, saat  berkeluh kesah (Mzm. 39:4, KJV: mere-

nungkannya, api membakarnya), terkurung dalam tulang-tulangnya 

(Yer. 20:9). Seperti wanita menyusui yang dibebat dadanya tidak 

akan tahan membiarkannya terlalu lama, demikianlah Elihu tidak 

tahan untuk mencurahkan pikirannya mengenai perkara Ayub 

(ay. 18-20). Bila pihak-pihak yang berbantah itu telah membahas 

pokok perkara yang dianggap tepat oleh Elihu, ia akan tinggal 

diam saja. Namun, sebab  pikirnya mereka semua melewatkan-

nya, ia pun ingin mencoba menggarapnya. Elihu mengemukakan,  

(1) Bahwa ada banyak sekali yang ingin disampaikannya, “Aku 

tumpat dengan kata-kata, penuh kepalaku dengan masalah 

yang diperdebatkan, setelah menyimak semua yang telah di-

bicarakan sejauh ini dan merenungkannya.” saat  orang-

orang yang tua telah kehabisan bahan pengajaran tentang 

Penyelenggaraan ilahi, Allah bisa membangkitkan orang lain, 

bahkan orang muda sekalipun, dan mengisi diri mereka de-

ngan bahan untuk mendidik jemaat-Nya. Sebab topik itu tidak 

akan pernah mati meski orang-orang yang mengajarkannya 

mati.  

(2) Bahwa ia wajib menyampaikannya, “Semangat yang ada dalam 

diriku bukan hanya menunjukkan apa yang harus dikatakan, 

namun  juga mendorongku untuk mengatakannya. Jadi, bila 

aku tidak mengeluarkannya (kepalaku seperti sedang diragi-

kan dan mengembang), aku seperti kirbat baru yang akan 

meletup (ay. 19). Lihatlah, seorang hamba Tuhan yang baik 

akan sangat berdukacita bila ia dibungkam dan dipaksa diam 

di sudut. Pikirannya penuh, penuh dengan Kristus, penuh de-

ngan sorga, dan ingin menyampaikan semua itu demi kebaik-

an orang lain, namun  tidak dapat.  

(3) Bahwa jika Elihu bisa menyampaikan pikirannya, ia akan me-

rasa lega dan puas (ay. 20). Aku harus berbicara, supaya me-

rasa lega, bukan hanya lega dari tekanan menahan isi pikir-

annya, namun  juga lega sebab  telah berusaha melakukan yang 

baik sesuai dengan posisi dan kemampuannya. Bagi orang 

saleh, kebebasan berbicara demi kemuliaan Allah dan pertum-

buhan sesama merupakan suatu kelegaan besar. 

3. Dengan sebebas dan setulus-tulusnya Elihu sudah membulatkan 

hati untuk mengucapkan apa yang menurutnya benar, bukan 

yang menurutnya bisa menyenangkan pendengar (ay. 21-22), 

“Aku tidak akan memihak kepada siapapun, seperti para hakim 

yang memihak dengan tujuan memperkaya diri, bukan menegak-

kan keadilan. Aku tidak akan menyanjung-nyanjung siapa pun.” Ia 

tidak akan mengucapkan selain apa yang dipikirkannya, sebab   

(1) Rasa kasihan kepada Ayub, sebab ia malang dan menderita. Ia 

tidak akan mengatakan bahwa keadaan Ayub lebih baik dari-

pada yang dipikirkannya hanya sebab  takut membuat Ayub 

semakin berduka. “Dia harus diberitahu kebenarannya, biar-


lah dia menanggung itu semampunya.” Orang yang sedang ke-

susahan tidak boleh disanjung-sanjung, ia harus mendengar 

apa yang benar. saat  masalah menimpa seseorang, yaitu  

tindakan bodoh bila kita menimpakan dosa kepada mereka 

sebab  kasihan (Im. 19:17), sebab tindakan itu sungguh me-

nambah hal yang terburuk atas persoalan mereka. Janganlah 

memihak kepada orang miskin dalam perkaranya, jangan pula 

menjatuhkannya (Kel. 23:3). Janganlah memihak kepada yang 

bertampang memelas lebih daripada yang bertampang som-

bong sehingga keadilan diperkosa, sebab itu namanya meman-

dang muka.  

(2) Atau juga sebab  hendak menyanjung teman-teman Ayub, 

sebab mereka makmur dan memiliki nama baik. Janganlah 

mereka berharap Elihu akan menyampaikan hal-hal yang 

mendukung perkataan mereka, sebab  ia hanya menerima apa 

yang dianggapnya benar. Elihu juga tidak akan memuji peng-

ajaran mereka hanya sebab  martabat mereka. Tidak. Meski-

pun Elihu masih muda, ia tidak akan menutupi kebenaran 

untuk menyanjung orang-orang besar demi kepentingannya 

sendiri. Keputusannya amatlah baik, “Aku tidak tahu menyan-

jung-nyanjung. Aku tidak pernah membiasakan diri dengan 

bahasa yang menyanjung-nyanjung.” Dan alasannya pun amat-

lah baik, “Jika demikian, maka segera Pembuatku akan men-

cabut nyawaku. Baiklah kita tetap gentar dengan rasa takut 

yang kudus terhadap penghakiman Allah. Dia yang menjadi-

kan kita akan menghempaskan kita dalam murka-Nya, bila 

kita tidak berperilaku sebagaimana mestinya. Dia membenci 

segala kepalsuan dan sanjungan, dan Dia akan segera menge-

rat segala bibir yang manis dan setiap lidah yang bercakap 

besar (Mzm. 12:4). Semakin dekat kita memandang kemuliaan 

Allah Sang Pencipta, dan semakin gentar kita akan murka 

serta keadilan-Nya, maka semakin terhindar pula kita dari ba-

haya dosa menyanjung manusia atau sikap takut akan manu-

sia. 

 

PASAL 33  

ata pengantar yang megah, seperti gunung kokoh, sering meng-

awali penampilan yang buruk. namun  tuturan Elihu di sini tidak 

mengecewakan harapan yang diangkat dalam kata pengantarnya. 

Tuturannya padat berisi, bersemangat, dan sangat sesuai dengan 

pokok bahasan. Dalam pasal sebelumnya dia telah mengatakan apa 

yang harus dikatakan kepada ketiga sahabat Ayub. Dan sekarang 

tiba gilirannya menghadapi Ayub sendiri dan menujukan perkataan-

nya kepadanya.  

I. Ia meminta Ayub untuk berkenan menerima apa yang akan di-

katakannya, dan berharap Ayub menerimanya sebagai orang 

yang sudah begitu sangat sering diharapkannya, yang mem-

bela perkaranya dan menerima pembelaannya atas nama Allah 

(ay. 1-7).  

II. Atas nama Allah Elihu menyanggah Ayub, sebab  kata-kata 

yang diucapkannya, di tengah panasnya perdebatan, menyin-

dir Allah telah beperkara secara keras dengannya (ay. 8-11).  

III. Elihu berusaha untuk meyakinkan Ayub akan kesalahan dan 

kebodohannya, dengan memperlihatkan kepadanya,  

1. Kedaulatan Allah atas manusia (ay. 12-13).  

2. Kepedulian Allah terhadap manusia dan berbagai cara dan 

sarana yang dipakai -Nya untuk melakukan kebaikan 

bagi jiwanya. Jadi beralasan bagi kita untuk merenungkan 

bahwa hal inilah juga untuk dirancangkan-Nya saat  Ia 

menimpakan penderitaan badan ke atas diri Ayub (ay. 14).  

(1) Ayub kadang-kadang mengeluh tentang mimpi-mimpi 

buruknya (7:14). “Mengapa,” tanya Elihu, “Allah ka-

dang-kadang menginsafkan dan mengajari manusia 

melalui mimpi-mimpi yang demikian,“ (ay. 15-18).  

(2) Ayub secara khusus mengeluh tentang penyakit dan 

rasa sakitnya. Dan, berkenaan dengan hal ini, Elihu 

menunjukkan bahwa semua sakit penyakit itu yaitu  

jauh dari sebagai tanda murka Allah, seperti yang di-

duga oleh Ayub. Juga, itu bukanlah bukti-bukti kemu-

nafikan Ayub, seperti yang dituduhkan oleh teman-

teman Ayub. Sebaliknya, sakit penyakit itu sungguh 

merupakan cara yang bijaksana dan penuh anugerah 

yang dipakai anugerah ilahi untuk meningkatkan pe-

ngenalan Ayub akan Allah, untuk menghasilkan kesa-

baran, pengalaman, dan pengharapan (ay. 19-30). Dan 

akhirnya, Elihu mengakhiri tuturannya dengan se-

buah permohonan kepada Ayub, untuk menjawabnya 

atau memberi dia izin untuk melanjutkan (ay. 31-33). 

Tutur Kata Elihu 

(33:1-7) 

1 “Akan namun  sekarang, hai Ayub, dengarkanlah bicaraku, dan bukalah te-

lingamu kepada segala perkataanku. 2 Ketahuilah, mulutku telah kubuka, 

lidahku di bawah langit-langitku berbicara. 3 Perkataanku keluar dari hati 

yang jujur, dan bibirku menyatakan dengan terang apa yang diketahui. 4 Roh 

Allah telah membuat aku, dan nafas Yang Mahakuasa membuat aku hidup.  

5 Jikalau engkau dapat, jawablah aku, bersiaplah engkau menghadapi aku, 

pertahankanlah dirimu. 6 Sesungguhnya, bagi Allah aku sama dengan eng-

kau, aku pun dibentuk dari tanah liat. 7 Jadi engkau tak usah ditimpa ke-

gentaran terhadap aku, tekananku terhadap engkau tidak akan berat. 

Beberapa alasan dipakai Elihu di sini untuk membujuk Ayub untuk 

tidak hanya mendengarkan dia dengan sabar, namun  juga untuk per-

caya bahwa dia bermaksud baik baginya dan sebab  itu kiranya mau 

berbaik hati menyambutnya. Juga Elihu meminta Ayub agar bersedia 

menerima petunjuk yang hendak diberikan kepadanya. Kiranya Ayub 

mempertimbangkan,  

1. Bahwa Elihu tidak ikut bersama dengan tiga sahabatnya untuk 

menentangnya. Dalam pasal sebelumnya Elihu telah menyatakan 

ketidaksenangannya terhadap tindakan mereka, menyanggah du-

gaan mereka, dan menolak cara yang mereka ambil untuk me-

nyembuhkan Ayub. “Akan namun  sekarang, hai Ayub, dengarkan-


lah bicaraku (ay. 1). Mereka semua memiliki nada lagu yang sama, 

semuanya berbicara dengan tekanan yang sama. namun  aku mau 

mencoba suatu perkataan yang baru, sebab  itu bukalah telinga-

mu kepada segala perkataanku, jangan sebagian saja.” Sebab kita 

tidak dapat menilai sebuah percakapan kecuali kita menerima 

seluruhnya dan mendengarkan semuanya.  

2. Bahwa Elihu bersungguh-sungguh dalam berkata-kata, tidak ha-

nya sekadar memasukkan kata-kata, atau memberikan pernyata-

an singkat, untuk memperlihatkan kecerdasannya. Sesudah lama 

berdiam, dia membuka mulutnya (ay. 2), dengan pertimbangan 

dan rancangan. Berdasarkan pertimbangan yang matang dia mu-

lai berbicara dan bersiap untuk melanjutkan jika Ayub memberi-

kan perhatiannya.  

3. Bahwa dia bertekad untuk mengatakan apa yang ada dalam pikir-

annya dan bukan yang lain (ay. 3): “Perkataanku keluar dari hati 

yang jujur, murni dari seluruh keyakinan dan perasaanku.” Ada 

alasan untuk mencurigai bahwa ketiga sahabat Ayub itu sung-

guh-sungguh tidak berpikir bahwa Ayub yaitu  seorang yang 

begitu jahat seperti yang mereka gambarkan dalam percakapan 

mereka. Mereka menggambarkan dia sebagai orang jahat semata-

mata untuk mendukung dugaan mereka mengenai penyebab pen-

deritaannya. Dan perbuatan seperti ini sungguh tidaklah adil. Me-

rupakan perbuatan yang hina untuk menuduh orang lain fasik 

dengan lidah kita hanya untuk suatu tujuan tertentu, padahal 

kita yakin betul bahwa orang itu sebenarnya seorang yang baik. 

Elihu yaitu  seorang yang jujur dan menolak untuk berbuat 

demikian.  

4. Bahwa apa yang akan dikatakannya nanti mudah saja untuk di-

pahami, dan tidaklah samar atau sukar: Bibirku menyatakan de-

ngan terang apa yang diketahui. Ayub pastilah mampu memahami 

dan menangkap maksudnya. Barang siapa berbicara tentang hal-

hal dari Tuhan, ia harus dengan hati-hati menghindari semua 

perkataan dan ungkapan yang tidak jelas dan membingungkan, 

dan berbicara dengan sejelas dan seterang mungkin. Sebab de-

ngan begitu, tampak bahwa mereka sungguh-sungguh memahami 

apa yang mereka bicarakan, bahwa mereka bermaksud jujur, dan 

berniat untuk membangun para pendengar.  

5. Bahwa dalam tuturannya, Elihu akan mempergunakan sebaik 

mungkin akal budi dan pemahaman yang telah Allah berikan 

kepadanya, yaitu hidup itu, jiwa berakal budi yang diterimanya 

dari Roh Allah dan nafas Yang Mahakuasa  (ay. 4). Elihu meng-

akui diri tidak pas untuk disejajarkan dengan para seniornya, 

namun dia ingin mereka tidak merendahkan usia mudanya, sebab 

dia juga yaitu  karya ciptaan Allah sama seperti mereka, yang 

dibuat oleh tangan yang sama, diberkati dengan kekuatan dan 

kemampuan yang sama, dan dirancang bagi tujuan agung yang 

sama. Oleh sebab  itu, mengapa tidak Allah yang telah menjadi-

kannya memakainya sebagai alat bagi kebaikan Ayub? Dengan 

pertimbangan ini pula kita harus menyemangati diri, dan mung-

kin Elihu memanfaatkan hal ini, untuk berbuat baik sesuai kedu-

dukan kita dan menurut kemampuan kita. Allah telah menjadi-

kan kita, dan memberi kita hidup, oleh sebab nya kita harus 

belajar mempergunakan hidup kita untuk tujuan yang baik. Kita 

harus menghabiskan hidup kita untuk memuliakan Allah dan 

melayani generasi kita menurut kehendak-Nya, supaya dengan 

begitu kita dapat memenuhi tujuan dari penciptaan kita dan tidak 

akan dikatakan bahwa kita diciptakan dengan sia-sia.  

6. Bahwa Elihu juga bersedia untuk mendengarkan keberatan Ayub 

terhadap apa yang dikatakannya (ay. 5): “Jikalau engkau dapat, 

jawablah aku. Jika engkau masih kuat dan bersemangat, dan 

tidak terkuras oleh rasa sakit dan perdebatan, bersiaplah engkau 

menghadapi aku, aturlah kata-katamu, dan aku pasti akan mem-

pertimbangkannya.” Orang-orang yang dapat berbicara dengan 

akal akan mendengar dengan akal pula.  

7. Bahwa ia sering mengharapkan seseorang akan tampil bagi Allah, 

yang dengannya dia dapat dengan bebas berdebat, dan kepada-

nya, sebagai penengah, dia dapat membawa perkaranya, dan se-

perti itulah Elihu  adanya (ay. 6): Sesungguhnya, bagi Allah aku 

sama dengan engkau. Betapa dengan sedihnya Ayub berharap 

(16:21), semoga ada orang yang memutuskan perkara antara 

manusia dengan Allah! dan (23:3), Ah, semoga aku tahu mendapat-

kan Dia. Hanya orang itu yang akan membuatnya tenang sehingga 

kegentaran terhadap Engkau janganlah menimpa aku (13:21). “Se-

karang,” kata Elihu, “pandanglah aku, untuk sekali ini, sebagai 

pengganti Allah. Aku akan berusaha untuk membela perkara-Nya 

dengan engkau dan menunjukkan kepadamu di mana engkau te-

lah menghina Dia dan mengapa Ia melawan engkau. Dan jika ada

 pembelaanmu atau keluhanmu terhadap Allah, tujukan itu ke-

padaku.”  

8. Bahwa dia sebanding dengan Ayub: “Aku pun dibentuk dari tanah 

liat. Aku juga, sama seperti manusia yang pertama (Kej. 2:7), Aku 

juga sama seperti engkau.” Ayub telah mengajukan hal ini kepada 

Allah sebagai suatu alasan mengapa Allah tidak seharusnya me-

nimpakan beban berat ke atasnya (10:9), Ingatlah, bahwa Engkau 

yang membuat aku dari tanah liat. “Aku,” kata Elihu, “dibentuk 

dari tanah liat sama seperti engkau,” dibentuk dari tanah liat yang 

sama, demikian dibaca oleh sebagian penafsir. Memang baik bagi 

kita semua untuk mempertimbangkan bahwa kita dibentuk dari 

tanah liat. Dan baik bagi kita bahwa orang-orang yang berbicara 

atas nama Allah juga demikian, bahwa Ia berbicara kepada kita 

melalui orang-orang seperti diri kita, sesuai dengan harapan Israel 

saat  mereka dicobai (Ul. 5:24). Allah dengan bijaksana menaruh 

harta mulia ke dalam bejana tanah liat seperti diri kita (2Kor. 4:7). 

9. Bahwa Ayub tidak perlu takut terhadap sanggahan Elihu (ay. 7): 

“Engkau tak usah ditimpa kegentaran terhadap aku,”  

(1) “Seperti yang telah diperbuat oleh teman-temanmu dengan 

perdebatan mereka. Aku tidak akan mencela engkau seperti 

yang mereka lakukan atau menjatuhkan dakwaan yang berat 

terhadap engkau, tidak,”  

(2) “Seperti yang akan Allah lakukan jika Ia harus tampil untuk 

beperkara dengan engkau. Aku berdiri sama tinggi dengan 

engkau, dibuat dari cetakan yang sama, dan sebab  itu aku 

tidak dapat mendatangkan kengerian itu ke atas dirimu, se-

perti engkau bisa alami jika Keagungan ilahi tampil melawan-

mu.” Jika kita mau menginsafkan orang dengan benar, kita 

harus melakukannya dengan memberi alasan yang masuk 

akal, bukan dengan menakut-nakuti, dengan perdebatan yang 

adil, bukan dengan tangan yang keras.  

Tutur Kata Elihu  

(33:8-13) 

8 namun  engkau telah berbicara dekat telingaku, dan ucapan-ucapanmu telah 

kudengar: 9 Aku bersih, aku tidak melakukan pelanggaran, aku suci, aku ti-

dak ada kesalahan. 10 namun  Ia mendapat alasan terhadap aku, Ia mengang-

gap aku sebagai musuh-Nya. 11 Ia memasukkan kakiku ke dalam pasung, Ia 

mengawasi segala jalanku. 12 Sesungguhnya, dalam hal itu