Tampilkan postingan dengan label Ilmu Falak 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Falak 2. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Oktober 2025

Ilmu Falak 2

 


bahwa penciptaan langit dan bumi serta 

pergantian siang dan malam hanya menjadi  perhatian oleh orang-orang 

yang berakal. Pembahasan ilmu falak dan mempelajari peredaran benda-

benda langit (matahari, bulan dan bintang-bintang) juga hanya dilakukan 

oleh orang-orang yang mempunyai akal sehat dan mau berpikir tentang 

kejadian dan perubahan alam ini .  

            Bangsa Arab jauh sebelum Islam sudah mengenal ilmu falak, tetapi 

sebatas kajian nujum (astrologi). Ilmu ini merupakan ilmu penting, karena 

dijadikan panduan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Arab 

mengetahui dan mempelajari benda-benda langit (matahari, bulan dan 

bintang) lebih banyak bersifat pengetahuan perbintangan praktis untuk 

kepentingan pelaksanaan aktivitas kehidupan dan untuk kepentingan 

petunjuk jalan di tengah padang pasir, terutama perjalanan di malam hari.30   

       Bangsa Arab lebih dekat hidup dengan dunia perdagangan, mereka 

berdagang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain secara 

berkelompok (kafilah) dengan melintasi waktu perjalanan berbulan-bulan 

lamanya. Mereka melintasi padang pasir yang luas tanpa menggunakan alat   

penentu waktu dan alat penunjuk arah tujuan. Mereka hanya berpedoman 

kepada peredaran benda-benda langit, seperti matahari, bulan dan bintang-

bintang.  

        Pada siang hari mereka berpedoman kepada matahari, dan waktu 

malam, mereka berpedoman kepada bulan dan bintang-bintang, karena 

matahari, bulan dan bintang-bintang selalu terbit dan terbenam pada posisi 

yang sama, sehingga dapat dijadikan pedoman. Selain berdagang, bangsa 

Arab juga menekuni hidup sebagai petani, yang harus mengetahui 

                                                             

       

         30Bangsa Arab  sejak zaman Jahiliyah (sebelum Islam), telah mengetahui  ilmu falak, namun 

mereka menamakan dengan ilmu nujum (perbintangan). Mereka memperoleh ilmu nujum dari bangsa 

Greek, Parsi dan India, serta warisan dari orang terdahulu meraka. Umat Islam  mula terlibat secara 

aktif dibidang ilmu falak pada masa Daulah  Umaiyah dan Abbasiyah. Di zaman Umaiyah tokoh ilmu 

falak yang terkenal ialah Khalid bin Yazid al-Amawi  (meninggal 85 H). Beliau lebih dikenal dengan 

nama Hakim Ali Marwan. Ia orang pertama yang menterjemahkan buku-buku ilmu perbintangan. 

Menurut ahli sejarah (al-Mas’udi), Khalifah Malik bin Marwan sangat menyenangi ilmu perbintangan, 

sampai sewaktu berperangpun belian membawa bersamanya ahli ilmu perbintangan. 

49 

 

pergantian musim. Pergantian musim sangat tergantung kepada peredaran 

matahari dan perubahan waktu serta bulan.31 

             Pada awal Islam, ilmu falak berada pada pase pertumbuhan dan 

pembinaan, belum mengalami perkembangan. Masyarakat Arab umumnya 

dan umat Islam khususnya mempelajari benda-benda langit untuk 

kepentingan petunjuk jalan di tengah padang pasir,32 dan untuk kegiatan 

ibadah.   

        Pada waktu itu, bangsa Arab  belum menguasai ilmu falak sehebat 

bangsa-bangsa Babilonia, Yunani, India, Persi dan Cina dalam melakukan 

perhitungan secara astronomis. Oleh karena itu, penentuan waktu-waktu 

ibadah seperti penentuan waktu salat, awal Ramadan dan hari raya idul fitri 

dan idul adha, didasarkan kepada melihat secara langsung benda-benda 

langit (rukyat fisik), karena inilah cara yang tepat dan sesuai dilakukan pada 

zaman itu.33  Pada masa itu sebenarnya persoalan rukyat sudah berkembang, 

tetapi persoalan hisab belum terkenal atau masyhur. Hal itu ditegaskan Nabi 

Muhammad saw. dalam bersabda; 

    Dari Ibn Umar ra. Nabi saw. bersabda sesungguhnya kami umat yang 

ummi tidak bisa menulis dan menghitung. Bulan itu seperti ini dan seperti 

ini, maksudnya (umur hari dalam sebulan) satu kali 29 hari dan satu kali 

30 hari. (H.R. Muttafaqun ‘alaih).34 

            Walaupun Nabi saw. tidak bisa menulis dan menghitung akan tetapi 

Nabi mempunyai imajinasi yang kuat dan dibimbing Allah swt dalam 

menyelesaikan berbagai masalah, sehingga semua permasalahan dapat di 

atasinya. 

                                                             

         31Waktu tertentu yang bertalian dengan dengan keadaan iklim, atau peralihan musim selama satu 

tahun seperti musim salju, musin semi (musin sesudah musim dingin atau sebelum musim 

panas).Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi 

kempat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 943. 

        32Orang-orang Arab  sejak zaman Jahiliyah (sebelum Islam), telah mengetahui  ilmu falak, namun 

mereka menamakan dengan ilmu nujum (perbintangan). Mereka memperoleh ilmu nujum dari bangsa 

Greek, Parsi dan India, serta warisan dari orang terdahulu meraka. Umat Islam  mula terlibat secara 

aktif dibidang ilmu falak pada masa Daulah  Umaiyah dan Abbasiyah. Di zaman Umaiyah tokoh ilmu 

falak yang terkenal ialah Khalid bin Yazid al-Amawi  (meninggal 85 H). Beliau lebih dikenal dengan 

nama Hakim Ali Marwan. Ia orang pertama yang menterjemahkan buku-buku ilmu perbintangan. 

Menurut ahli sejarah (al-Mas’udi), Khalifah Malik bin Marwan sangat menyenangi ilmu perbintangan, 

sampai sewaktu berperangpun belian membawa bersamanya ahli ilmu perbintangan. 

        

 

        Ketika Islam mulai berkembang, kedudukan ilmu falak menjadi sangat 

penting dan mempunyai fungsi ganda, pertama,  sebagai pedoman  

mengharungi padang pasir dalam kegiatan perdagangan dan kegiatan 

lainnya, dan sebagai pedoman ketika pergantian musim. Kedua, pedoman 

dalam kegiatan pelaksanaan ibadah seperti menentukan waktu shalat, awal 

puasa Ramadan, hari raya idul fitri dan idul adha dan pelaksanaan ibadah 

haji. Kedua fungsi ini  terus berkembang sampai Rasulullah saw wafat. 

Rasulullah saw telah meletakkan dasar-dasar ilmu falak sebagai pedoman 

dalam berbagai kegiatan, terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan 

kegiatan ritual keagamaan. 

        Setelah Rasulullah saw wafat, agama Islam mulai berkembang di 

daerah-daerah kekuasaan Islam, dan di daerah-daerah itu bertemu dengan 

berbagai  pengetahuan baru dan peradaban bangsa lain yang lebih maju 

menurut ukuran zaman ketika itu. Islam mengadopsi pengetahuan dan 

peradaaban bangsa lain ini  dan kemudian dikembangkan sehingga 

Islam mengalami kemajuan dalam dunia pengetahuan dan  peradaban, 

termasuk ilmu falak.35  

         Kajian tentang ilmu falak sudah dimulai pada masa pemerintahan Bani 

Umayyah, tepatnya pada masa Khalifah Yazid bin Muawiyah bin Abi 

Sufyan (w.85 H/754 M).36 Perhatian Khalifah terhadap ilmu pengetahuan 

sangat tinggi, terutama mengkaji ilmu pengetahuan sains, termasuk ilmu 

falak (astronomi). Pada masa itu dilakukan penerjemahan buku-buku ilmu 

falak (astronomi) dari berbagai bangsa luar Islam.37  

         Kehadiran lmu falak sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan 

mendapat perhatian dari kalangan ulama. Pembahasan ilmu falak terus 

mengalami kemajuan terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan 

ibadah seperti penetapan waktu salat dan awal bulan. Kalau pada masa Nabi 

saw penetapan awal bulan hanya dengan rukyat, tetapi pada abad pertama 

Hijriah, ulama dari kalangan Tabi’in yang membolehkan penggunaan hisab 

dalam menentukan awal bulan Kamariah, yaitu Mutarrif ibn Abdillah ibn 

Asy-Syihkhir (w.45 H/714 M). Dengan demikian, studi ilmu falak sudah 

mengalami perkembangan pada abad pertama Hijriah.38 

         Kegiatan usaha penerjemahan kitab-kitab karya bangsa Yunani, Persia 

dan India dalam bidang ilmu falak (astronomi) dan ilmu nujum (astrologi) 

                                                             

51 

 

mendapat perhatian khusus Khalifah Abasiyah. Penguasa bani Abasiyah 

mengundang dan mendatangkan para ahli ilmu falak dan ilmu perbintangan 

(astrologi) ke Istana, hal itu dilakukan untuk mendorong perkembangan  

ilmu falak dalam dunia Islam. Pada masa itu ilmu falak lebih berorientasi 

kepada teori ilmu falak India, Yunani dan Parsia.39 

         Pada tahun (156 H/773 M), seorang ahli falak India  menyerahkan 

sebuah buku ilmu falak (astronomi) yang berjudul “Sindhind”  atau 

“Sidhanta” yang dikalangan ahli falak Islam dikenal dengan “As-Sindhind” 

kepada Khalifah Abu -a’far al-Mansur di Baghdad. Khalifah Abu -a’far al-

Mansur (w.158 H/775 M), memerintahkan agar buku itu diterjemahkan 

kedalam bahasa Arab. Perintah ini  dilaksanakan oleh Muhammad bin 

Ibrahim al-Fazari (w.190/806 M).40 

          Prinsip-prinsip pokok yang terdapat dalam kitab “As- Sindhind” 

menjadi acuan dan pegangan dalam kajian ilmu falak sampai zaman 

Khalifah al-Makmun berkuasa (w.218 H/833 M). Atas usaha dan 

kemampuan al-Fazari menerjemahkan buku ini  membuat dirinya 

menjadi terkenal sebagai ahli falak di dunia Islam.41 Kajian ilmu falak pada 

masa Khalifah Abu -a’far al-Mansur,42 mendapat perhatian khusus, Khalifah 

menyediakan dana yang besar untuk penelitian dan penerjemahan kitab-

kitab ilmu falak dari Parsia, Yunani dan India.43 

              Berikutnya, pada masa Khalifah al-Makmun, penerjemahan literatur 

falak dalam bahasa asing kedalam bahasa Arab, terus dikembangkan dan 

mendapat perhatian khusus dari Khalifah, seperti buku “Miftah al-1ujum” 

yang ditulis  oleh Hermes Agung di masa pemerintahan Daulah Umawiyah. 

Buku Almagest Ptolomeus  diterjemahkan oleh Yahya bin Khalid al-

Barmaky, kemudian disempurnakan oleh al-Hajjaj bin Muthar dan Tsabit 

                                                             

        42Pada masa pemerintahan Abu -a’far al-Mansur, berjasa besar karena telah meletakkan ilmu 

falak pada posisi istimewa, setelah ilmu Tauhid dan Fiqh. Ketika itu, ilmu falak tidak hanya dipelajari 

dalam perspektif keperluan praktis ibadah saja, tetapi lebih dari itu, ilmu ini lebih dikembangkan 

sebagai pondasi dasar terhadap perkembangan sains lain seperti, ilmu pelayaran, pertanian, pemetaan, 

kelautan, dan kemiliteran. Tidak tanggung-tanggung, Khalifah al-Mansur membelanjakan uang negara 

cukub besar dalam rangka mengembangkan kajian ilmu falak. Disisi lain ilmu falak ketika itu terus 

berkembang hingga zaman pemerintahan berikutnya, dengan puncak perkembangannya pada masa 

pemerintahan Khalifah al-Makmun. Pada masa ini kajian ilmu falak dikembangkan secara sistematik 

dan intensif sehingga melahirkan ahli ilmu falak kenamaan. Di era peradaban Arab Islam inilah kajian 

ilmu falak mulai berkembang secara alamiah dan ilmiah dengan berbagai pembahasan teori. 

        43Muhammad Farid Wajdi, Dairatu al-Maarif, juz. VII, (Mesir: 1342 H), h. 485. Dikutip dari, 

Ahmad Izzuddin, Op cit., h. 44.  

52 

 

bin Qurrah (w.288 H/908 M). Yang menjadi catatan penting yaitu  bahwa 

perkembangan peradaban ilmu falak Islam tidak bisa dilepaskan dari 

peradaban sebelumnya, dengan kata lain, bangsa Arab berhutang terhadap 

peradaban sebelumnya.  

             Tetapi peradaban Arab mempunyai kelebihan dari peradaban 

sebelumnya. Pertama, bangsa Arab mengambil ilmu astronomi dari 

peradaban sebelumnya, kemudian dilakukan koreksi, penjelasan ulang, 

penambahan, membuat karya-karya sendiri yang mempunyai ciri khas. 

Kedua, ilmu falak  Islam tidak hanya terhenti dalam sebatas  tinjauan teoritis 

saja, tetapi menemukan teori-teori baru yang berguna bagi manusia. Ketiga, 

dalam ilmu falak (astronomi)  Islam masih terdapat paham sebelumnya, dan  

terus dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat sampai sekarang. 

            Perkembangan selanjutnya, ilmu falak menjadi  salah satu cabang ilmu 

keislaman yang berdiri sendiri,44 dan ditandai dengan lahir sejumlah ahli  

falak Islam diberbagai daerah kekuasaan Islam. 

          Ilmu falak Islam tidak hanya dipengaruhi buku-buku  falak India, 

tetapi juga dipengaruhi buku-buku falak Yunani, yang diterjemahkan 

kedalam bahasa Arab. Di antara buku ilmu falak Yunani yang 

diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yaitu “al-Kurrah al-Mutaharrikah” 

karya Autolycus, seorang insiyur dan matematik bangsa Yunani yang 

termasyhur.45 Karya bangsa Yunani lainnya yang penting dan berpengaruh 

luas yaitu  “Al-Majisti”  (Almagest) karya Ptolomeus. Dengan dilakukan 

penerjemahan beberapa buku ilmu falak karya Yunani, timbul arah baru 

dalam pengkajian ilmu falak dengan mengkombinasikan metode falak India, 

metode falak Persia dan metode falak Yunani.46  

         Al-Khawarizmi (w. 250 H/864 M) menyusun daftar ephemeris (Al-Zij) 

berdasarkan metode falak India dan dinamakannya “Al- Sindhind al-

Saghir”, namun ia juga melakukan koreksi-koreksi terhadap buku falak 

India berdasarkan kaidah Persia dan Yunani.47 Seiring dengan 

perkembangan waktu dan tuntutan zaman akan ilmu falak serta diperkaya 

                                                             

         i

 

oleh berbagai referensi ilmu falak dari Yunani, Persia, India, dan muncul 

kesungguhan dari para ahli falak Islam untuk mengkaji dan mempelajarinya  

secara konferehensip, dilain pihak  perhatian dan dukungan yang besar dari 

Khalifah Al-Mansur dan Al-Makmun. Usaha yang dilakukan ahli falak dan 

perhatian dari penguasa yang besar, sehingga muncul karya-karya ilmu falak 

dalam dunia Islam. 

          Muhammad al-Fazari yaitu  ahli falak Islam yang menerjemahkan 

kitab Zij al-Sindhind  berasal dari India, atas perintah Khalifah al-Mansur. Ia 

juga menerjemahkan kitab Zij al-Shal yang berasal dari Persia. Kitab ini 

berisi kumpulan tebel astronomi yang menjadi pedoman bangsa Persia 

selama dua abad.48 

              Ahli falak Islam tidak hanya mengabil teori  falak Yunani, Persia dan 

India, tetapi sudah mampu membuat penemuan-penemuan baru. Penemuan 

teori-teori baru dan karya-karya ahli falak Islam, menjadi sebuah peradaban 

yang tidak ternilai harganya dan sekaligus mengangkat citra Islam dalam 

bidang sains astronomi sampai ketingkat kejayaan Islam, serta dicatat 

sebagai  khazanah ke ilmuan dalam dunia Islam. 

         Puncak kemajuan dan kejayaan  ilmu falak yang dicapai umat Islam, 

pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun. Al-Makmun sangat tertarik 

dengan ilmu falak (astronomi), sehingga ia mengeluarkan dana dalam 

jumlah besar untuk kemajuan ilmu falak (astronomi).49 Kemajuan bidang 

ilmu falak (astronomi), dapat pula diasumsikan sebagai bagian untuk 

mencapai masa kejayaan (zaman ke emasan) Islam. Oleh karena itu, 

sumbangan ilmu falak Islam tidak hanya berkembang di dunia Islam, tetapi 

juga berkembang di dunia barat. Pemikiran dan teori ilmu falak Islam terus 

dipelajari dan dikembangkan di berbagai negara di belahan dunia. Ilmu 

falak sebagai peradaban Islam dipandang sudah cukup maju, tetapi ahli 

falak Islam masih melihat alam (bumi) mengikuti pandapat Ptolomeus  yang 

menganut paham Geosentris.50  

            Setelah emam abad kejayaan peradaban Islam berlangsung di bawah 

pimpinan Islam. Ketika peradaban Islam mengalami kemunduran yang 

diperkirakan dimulai sejak abad ke-15 M, kajian-kajian ilmu falak 

(astronomi) dalam dunia Islam ikut mengalami kemunduran juga sampai 

penghujung abad ke-19 M. Walaupun kemunduran ilmu falak (astronomi)  

                                                             

        

54 

 

tidak mengalami penurunan drastis.51 Ilmu ini terus berkembang dari waktu-

kewaktu, karena diperlukan umat Islam dalam kegiatan ibadah 

               Pada awal abad ke-20 M, kajian ilmu falak (astronomi) mulai bangkit 

kembali, ditandai dengan munculnya beberapa ahli falak (astronomi) Eropa 

yang melakukan kajian tentang planet matahari, bulan dan bintang-bintang, 

termasuk observasi hilal dan peredaran planet. Pada tahun 1900-an kajian 

dalam bidang ilmu falak mendapat perhatian dari umat Islam, sehingga 

muncul ahli falak baru, sebut saja seperti Sa’adoeddin Djambek, 

Muhammad Manshur, Muhammad Nawawi al-Bantany, Zubir Umar ( 

Indonesia) dan Mohammad Ilyas  (Malaysia).52 

           Sejak ilmu falak (astronomi) di dunia Islam mengalami  

perkembangan kembali sering diselenggarakan konfrensi ilmu falak 

Internasional. Pada tahun 1978 diadakankan Muktamar penyatuan kalender 

Hijriah Internasional di Istambul, Turki (28 Nopember 1978) bekerjasama 

dengan organisasi Islam Rabithah Alam Islami. Selain itu, dibagun lembaga 

observasi hilal (Islamic Crescents Observation Project yang berkedudukan 

di Yordania.53 Kemudian dibentuk pula Badan Hisab & Rukyah antar 

Negara ASIAN yang diberi nama  MABIMS  (Malaysia, Indonesia, Berunai 

dan Singapora).54 MABIMS menyelenggarakan pertemuan regional ahli 

falak pada tahun 1992 (1-5 Juli 1992) dengan kegiatan pokok penetapan 

takwim Hijriah 1414-1442 H/1993-2020 M, diadakan di Indonesia, dihadiri 

utusan dari Malaysia dan Singapora bertempat di Jakarta, yang diperakarsai 

oleh Departeman Agama Republik Indonesia. 

            Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Bani Umaiyah 

dan Bani Abbasiyah, terjadi perluasan wilayah Islam. Negara-negara yang 

ditaklukan umat Islam yaitu  negara yang mempunyai peradaban yang 

tinggi, seperti Babilonia, Persia dan Yunani. Kemudian terjadi integrasi 

dalam bidang bahasa. Bahasa Arab dipakai sebagai bahasa resmi, 

                                                             

        

55 

 

menggantikan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Bahasa Arab juga sebagai 

bahasa ilmu pengetahuan.55 Integrasi dalam bidang kebudayaan, antara 

kebudayaan Arab dengan kebudayaan daerah kekuasaan Islam, bahkan 

terjadi integrasi dalam bidang peradaban. Pada waktu inilah terjadi kontak 

antara Islam dengan peradaban barat, tegasnya dengan peradaban Yunani, 

Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia.56 Pertemuan Islam dengan beberapa 

peradaban bangsa besar membawa terjadinya integrasi ilmu pengetahuan, 

sehingga lahir tokoh-tokoh terkemuka dalam berbagai disiplin ilmu 

pengetahuan, termasuk ilmu falak. Lahirlah sejumlah tokoh ahli falak 

diberbagai daerah kekuasaan Islam. 

C. Sejarah Perkembangan Ilmu Falak di Eropa 

        Perkembangan ilmu falak (astronomi) pada masa kejayaan peradaban 

Islam berpengaruh sampai keluar wilayah kekeuasaan Islam. Eropa yaitu  

wilayah yang sangat terpengaruh dengan astronomi Islam. Sebelumnya 

bangsa Arab banyak belajar ilmu falak dari bangsa Babilonia, Yunani, 

Persia dan India dan mencapai kemajuan yang sangat pesat, bahkan menjadi 

sebuah peradaban Islam. Kemudian ilmu falak (astronomi) berkembang ke 

Eropa melalui Spanyol dan Sisilia, yang langsung dibawa oleh orang-orang 

Eropa yang menuntut ilmu sosial dan sains di Spanyol.57 

       Pada Saat negera-negara Islam mencapai kejayaan, bangsa Eropa masih 

berada dalam kegelapan. Sayangnya masa keemasan Islam tidak dapat 

dipertahankan lebih lama. Umat Islam pada waktu itu memiliki pengetahun 

yang luas dalam berbagai bidang ilmu, mereka mampu melakukan 

pengembangan dan penemuan-penemuan baru di berbagai bidang cabang 

ilmu pengetahuan. Bangsa Eropa belajar kepada orang Islam, dalam 

bermacam bidang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu falak (astronomi). 

Setelah mereka mengusai berbagai ilmu pengetahuan dari orang Islam di 

Spanyol, kemudian mereka kembangkan di negeri asalnya masing-masing.  

              Bangsa Eropa mulai mengembangkan ilmu pengetahuan yang mereka 

peroleh dari orang-orang Islam, ketika kejayaan peradaban Islam mulai 

melemah, mereka mengambangkan pengetahuan yang diperoleh dari orang 

                                                             

        

 

Islam, terutama dalam bidang sains. Mereka bangun lembaga pendidikan 

dari tingkat rendah, menengah sampai ke perguruan tinggi, perpustakaan 

dan berbagai sarana pendidikan untuk mencerdaskan bangsanya. 

Pengalaman yang telah dicapai umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan, 

mereka pelajari dan ambil manfaatnya, karena menurut mereka hanya 

dengan ilmu dan pendidikan suatu bangsa akan tampil sebagai bangsa yang 

besar, berjaya dan mampu memimpin dunia.  

                Buku-buku ilmu falak karya orang Islam  seperti buku karya Al-

Khawarizmi diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh Adelard of Bal dan 

Gerard of Cremona.58 Karya Al-Khawarizmi yang sudah diterjemahkan itu, 

disempurnakan dan dijadikan sebagai buku pegangan utama pada perguruan 

tinggi di Eropa sampai abad ke-16 M. Dengan mempelajari teori-teori ilmu 

falak Islam, lahir sejumlah ahli astronomi di Eropa. 

D. Urgensi Ilmu Falak Dalam Islam  

               Dalam sejarah peradaban manusia disebutkan bahwa cikal-bakal ilmu 

falak atau astronomi sudah pada masa  Nabi Idris as. Hal ini menunjukkan 

bahwa hisab rukyat sudah ada sejak dahulu kala, jauh sebelum tahun 

Masehi. Ilmu ini muncul sebagai respon terhadap sebuah realitasa soisal 

yang berkembang pada waktu itu. Oleh karena itu, persoalan hisab dan 

rukyat sudah muncul  secara praktis sebelum ilmu falak. Bahkan sekitar 

abad ke-28 sebelum masehi eksestensi ilmu falak sebagai sarana untuk 

menentukan waktu bagi penyembahan dewa-dewa menjadi maslah penting, 

seperti di Mesir penyembahan dewa Orisis, Isis dan Amon, di Babilonia dan 

Mesopotania penyembahan dewa Astoroth dan Baal.     

               Peritungan tahun Hijriyah pernah digunakan oleh Nabi saw. ketika 

menulis surat kepada kaum Nasrani Najran dengan tertulis ke V Hijriyah, 

akan tetapi di dunia Arab lebih  mengnal peristiwa-peristiwa yang terjadi 

sebagai penanggalan, seperti tahun gajah (peristiwa pasukan Abrahah 

menyerang Ka’bah) dan tahun duka cita (peristiwa nabi ditinggalkan 

Khadijah dan kakeknya). 

             Ilmu falak secara formal mulai berkembang sejak penetapan hijrah 

Nabi dari Makah ke Yasrib (Madinah) sebagai standar dasar penetapan 

kalender Hijriyah, pada waktu Umar Ibn al Khatthab menjadi Khalifah, pada 

tahun ketujuh belas Hijriyah. Titik kulminasi perkembangan ilmu falak 

terjadi pada masa kejayaan dunia Islam, yang ditandai dengan muncul 

tokoh-tokoh teremuka di bidang ilmu falak, seperti al Khawarizmi (w.220 

H/ 835 M), Jabir al Battani (w.319H/ 931 M), Abu Raihan al Biruni (363 H 

– 440 H/ 973 M- 1048 M) dan Nashiruddin al Thusi (598 H- 673 H/1201 M-

                                                             

        

57 

 

1274 M), Abu Muhammad Jabir bin Aflah (w. 1150 M), Muhammad 

Ibrahim al-Fazari (w. 796 M), Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H/1566 M dan 

Muhammad Taragay Ulughbek (1394 M). 

            Pada abad ke-17 sampai abad ke-19 bahwa pelajar muslim dari Melayu 

termasuk bangsa Indonesia menjadikan Makah dan Madinah (Haramain) 

sebagai tumpuan rihlah ilmiah. Bahkan pada tahun 1920-an, para pelajar 

dari Indonesia banyak bermukim di Makah, mereka merupakan kelompok 

terbesar dari Asia Tenggara.    

                             Berangkat dari hal ini , jelas bahwa kajian keislaman termasuk 

kajian ilmu ilmu falak (astronomi) di sekitar Asia Tenggara termasuk 

bangsa Indonesia, tidak lepas dari pengaruh hubungan ulama Timur 

Tengah” khususnya Makah-Madinah (Haramain). Kontak ulama Timur 

Tengah dengan Asia Tenggara tersbuat nampak dalam napak tilas ulama 

Indonesia yang bermukim di Makah bertahun-tahun lamanya. Hal ini dapat 

dilihat pula dari karya monumental K.H Mansur al Batawi kitab Sullam 

Nayyirin  dan kitab al Khulashah al Wafiyah karya K.H Zubaer Umar al 

Jailani Salatiga, dan masih banyak karya ilmu falak yang ditulis pada masa 

itu masih mengunakan metode tradisional.  

            Ilmu falak terus mengalami perkembangan yang luar biasa dan 

puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah. Perhatian penguasa pada ilmu 

falak sangat besar, seperti  menterjamahkan kitab “Sindihind “ dari India 

dengan sungguh-sungguh. Kemudian pada masa al Makmun dilakukan 

penerjamahan kitab “Tabril al Magesthy” ke dalam bahasa Arab. Dengan 

demikian, lahir istilah ilmu falak sebagai salah satu cabang ilmu keislaman 

(Islamic Studies).  

            Fokus pembahasan ilmu falak yang dipelajari dalam Islam yaitu  yang 

ada kaitannya dengan waktu dan pelaksanaan ibadah, oleh karena itu,  objek 

utama pembahasan ilmu falak dalam Islam mempelajari empat masalah, 

yaitu; penetapan Arah Kiblat, penetapan Waktu-waktu Salat, penetapan 

Awal bulan, dan Gerhana bulan dan matahari. Untuk melakukan penelitian 

di bidang ilmu falak yang sesuai dengan tuntutan zaman, dibangun 

observation oleh Khalifah al Makmun di Sinyar dan Junde Shahfur 

Baghdad, dengan tujuan menemukan teori baru dari hasil observasi benda-

benda langit, sehingga lahir  teori sendiri dalam menghitung kulminasi 

matahari. Salah satu hasil penelitian melahirkan karya yang terkenal dengan 

judul “Tables of Makmun”.  

        Hasil seminar hisab dan rukyat pada tanggal 27 April 1992 di Tugu 

Bogor disepakati tiga klasifikasi pemikiran hisab dan rukyat di Indonesia, 

pertama hisab hakiki taqribi yaitu  pemikiran hisab rukyat sangat rendah 

58 

 

keakurasiannya, seperti kitab Sullam Nayyirin karya Muhammad Manshur, 

Tadzkirah al Ikhwan karya Ahmad Dahlan Semarang, al Qawaid al 

Falakiyah karya KH. Abdul Fattah, al Syams wa al Qamar karya KH. 

Anwar Katsir, Risalah Qamaraian karya KH. Nawawi Muhammad dan 

Syams al Hialal karya KH. Noer Ahmad. kedua, hisab hakiki tahkiki yaitu  

pemikiran hisab rukyat yang keakurasiannya tinggi tapi bersifat klasik, 

seperti kitab al Khulashah al Wafiyah karya KH. Zubaer Umar al Jailany, al 

Mathla’ al Said karya Husian =aid, Nur al Anwar karya KH. Noer Ahmad, 

Almanak Menara Kudus karya K.H Turaihan Ajhuri dan Badi’atul Mitsal 

karya KH.  Ma’sum -ombang.  

           Perbedaan keduanya yaitu , metode hisab taqribi berpedoman pada 

teori geosentris, sementara metode hisab hakiki tahkiki berdasarkan pada 

teori heleosentris. Ketiga, hisab hakiki kontemporer yaitu pemikiran hisab 

dan rukyat yang keakuransiannya tinggi dan kontemporer, seperti kitab 

Almanak Nautika (TNI AL Dinas Hindro Oseanografi), Ephemeris (Depag 

RI), Islamic Calender (Muhammad Ilyas) dan sebagainya. Dari deskripsi di 

atas, ilmu falak memiliki dua aspek sejarah (historical aspect) dan aspek 

fungsi keagamaan (function of religious aspect).         

          Dalam aspek sejarah bahwa ilmu falak memiliki mata rantai sejarah 

yang panjang, berkesinambungan dan  dinamis. Munculnya Ilmu falak di 

berbagai negara sebagai respon terhadap problem sosial pada waktu itu. Jika 

ulama dahulu mampu menciptakan ilmu falak secara sistematis dan ilmiah, 

maka kita sekarang ini juga harus mampu mengembangkan bukan sebagai 

pemakai (user) teori-teori yang hasil kerja keras mereka. Sedangkan aspek 

fungsi keagamaan bahwa ilmu falak sebagai sarana untuk melakukan ibadah 

kepada Allah swt dengan benar. Sarana sama kedudukannya dengan suatu 

tujuan, dalam kaidah fiqh “li al wasail hukm al maqashid”.  

              Hasil penelitian membuktikan, di Semarang terdapat 70 persen masjid 

dan mushalla yang tidak menghadap ke arah Kiblat dengan benar. Padahal 

di kota ini masih banyak pakar ahli dalam bidang ilmu falak. Ilmu falak 

merupakan bagian penting dari fikih yang berkaitan dengan waktu ibadah, 

arah Kiblat, awal bulan, dan gerhana. Ilmu falak tidak jauh berbeda dengan 

fikih mawaris yang ada hitungannya, maka ilmu falak lebih tepat disebut 

dengan istilah fikih falak. Sehingga dengan istilah ini, fikih falak dalam 

kajian keislaman mendapatkan perhatian yang serius.59 

      Patut diketahui bahwa ilmu falak (astronomi) dalam peradaban Islam 

dipandang sudah cukup maju dan berkembang dengan pesat, tetapi 

kelemahannya pandangan mereka (ahli falak) terhadap alam dan benda-

                                                             

        59 http://www.salafiyah.or.id, diakses 12 Juli 2012. 

59 

 

benda langit masih mengikuti paham Ptolomeus, dengan teori Geosentris. 

Menurut teori ini bahwa bumi sebagai pusat peredaran planet-plenet 

angkasa dan pusat kehidupan. Walaupun kemudian teori Geosentris di 

bantah oleh al-Biruni dan Copernikus pada abad ke16 M. Al- Biruni dan 

Copernikus membangun teori baru yang dimanakannya teori Heliosentris.   

    Menurut teori ini matahari yaitu  pusat peredaran planet, dan bahkan 

merupakan pusat kehidupan. Meskipun al-Biruni yang hidup pada abad ke 9 

telah mengkeritik teori Geosentris,60  yang dicetus oleh Aristoteles (384-322 

SM) dan kemudian dikembangkan oleh Claudius Ptolomeus (140 M). Ia 

menulis buku untuk mengkritik teori Geosntris yang berjudul “Syntasis”. 

Patut pula dicatat bahwa paham Geosentrisi berkembang sampai abad ke 9, 

sampai lahir al-Biruni yang mengkritiknya.  

      Ilmu falak sejak dikenal manusia sebagai salah satu ilmu penting bagi 

kehidupan manusia di muka bumi, terus mengalami perkembangan dan 

kemajuan. Ilmu ini  tidak hanya diperlukan oleh orang Islam, tetapi juga 

diperlukan oleh setiap manusia, karena kajiannya terkait dengan peredaran 

planet yang menyebabkan terjadi perubahan dan pergantian keadaan di 

bumi, umpamanya dari malam berubah menjadi siang atau dari musim 

panas berubah menjadi musim hujan. Perubahan itu ada hubungan dengan 

aktivitas kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu, ilmu mempunyai arti 

penting dan diperlukan oleh manusia sepanjang masa dan zaman. 

   

 

 

                                                             

                                                       

 

                                                        BAB  III 

     ILMU FALAK (ASTRONOMI) DI INDONESI A 

 

A. Sejarah Perkembangan Ilmu Flak (Astronomi) di Indonesia.      

       Sejak agama Hindu masuk kewilayah Nusantara, masyarakat sudah 

mengenal penanggalan dan menggunakannya, kemudian disusul masuknya 

penanggalan Islam. Penanggalan Hindu dijadikan panduan dan pegangan 

masyarakat Nusantara dalam beraktivitas. Pada waktu Sultan Agung 

berkuasa di Kejaan Islam Demak,1 ia gabungkan penanggalan Hindu 

menjadi penanggalan Islam. Apa yang dilakukan Sultan Agung merupakan 

bukti bahwa penguasa (Sultan) mengetahui dan mengusai ilmu falak.2 

       Pada tahun 1314 H/1896 M, seorang Ulama dari Mesir yang bernama 

Abdurrahman bin Ahmad al-Misri datang ke Jakarta, membawa zaj (tabe 

astronomi) yang diciptakan Ulugh Bek (w. 798 H /1420 M), dan ia 

langsung yang mengajarkannya kepada para ulama muda Nusantara.3 

        Di antara ulama muda yang belajar dengan Abdurrahman bin Ahmad 

al-Misri yaitu  Ahmad Dahlan as-Simarani atau dikenal dengan Ahmad 

DahlanTermas (w. 1329 H/1911 M) dari Semarang dan menetap di 

Termas, dan Usman bin Abdillah bin ‘Aqil bin Yahya yang dikenal dengan 

                                                             

1  Kalendar Hindu dikenal juga dengan Kalendar Jawa Kuno atau disebut jua kalender tahun Caka. 

Tahun Caka merupakan penanggalan tua yang ada di Indonesia. Di Indonesia terdapat sekurangnya 

empat kalender atau tahun yang menjadi pegangan dan pedoman dalam melaksankan baerbagai 

kegiatan termasuk pelaksanaan ritual keagamaan. Keempat kalender tersebu, Kalender Cina (2055), 

Kalender Caka (1933), Kalender Masehi (2011) dan Kalender Islam (1432). Tahun (kalender) China 

penerapannya dihubungkan penentuan Sio seseorang. Menentukan Sio tanggal lahir dihubungkan 

dengan tahun dan akan ditemukan sionya. Contoh  orang yang  lahir 31 Januari 1900-18 Pebruari 

1901, sionya  tikus. Orang yang memiliki sio tikus menjadi orang agresif , ambisius, pekerja keras, 

ulet dan bisa menyesuaikan diri serta tegar dalam menghadapi kesulitan. Orang dengan sio tikus 

dapat menjadi penasehat yang sempurna. Lihat, Sabrina Liao, Op cit., h. 11-29.  

2 Diperkirakan sebelum Islam masuk ke Indonesia ilmu falak praktis sudah dikenal masyarakat. 

Kemudian, ketika Islam masuk ke Indonesia antara abad ke 9-13 M. ilmu falak dijadikan pedoman 

dalam penetapan ibadah. Berdasarkan suatu naskah, bahwa kesultanan Perlak (Aceh) telah berdiri 

sejak tahun 225 H/ 840 M. Bahkan disebutkan  dalam naskah itu tentang silsilah raja-raja Perlak serta 

struktur pemerintahan Islam pertama.Taufik Abdullah dan Muhammad Hisyam, Sejarah Umat Islam 

Indonesia, Jakarta, Yayasan Pustaka Umat, 2003, hlm. 9. Ketika orang masuk Islam, setelah 

mengucapkan dua kalimat syahadat, ia melaksanakan rukum Islam seperti salat, puasa dan lainnya. 

Untuk melaksanakan salat, tentu harus tahu kapan waktu salat zuhur, salat asar, salat magrib, salat 

Isya’ dan salat Subuh, dan kapan dimulai puasa Ramadan. -awaban dari pertanyaan-pertanyaan 

ini  mengandung muatan  pengatahuan  ilmu falak, karena penggunaan ilmu falak dipisahkan 

dengan pelaksanaan ibadah dalam Islam.                                                                                       

 

julukan Mufti Betawi. Kemudian kedua ulama ini mengajarkan ilmu falak 

kepada masyarakat. Ahmad Dahlan as-Simarani mengajarkan ilmu falak di 

daerah Termas, dan ia menyusun buku ilmu falak yang berjudul “Tazkiratu 

al-Ikhwan fi Mabda’ Tawarikhi wa al-Amali al-Falakiyati bi Semarang” 

(1321 H/1903 M). Kitab Tazkirah al-Ikhwan ini memuat perhitungan 

tentang ijtima’ dan gerhana dengan mabda’ kota Semarang.  

       Sementara Usman bin Abdillah mengajarkan ilmu falak di daerah 

Jakarta. Ilmu falak yang diajarkan Usman  ini , dibukukan oleh salah 

seorang muridnya yang bernama Muhammad Mansur bin Abdul Hamid 

bin Muhammad Dumairi al-Batawi dalam sebuah kitab yang berjudul; 

“Sulamun 1ayyirani fi Ma’rifatil Ijtima’ Za kusufaini”. Buku ini memuat 

tiga masalah utama; Pertama membahas perhitungan Ijtima’,Irtifa’ hilal, 

posisi hilal dan umur hilal. Kedua membahas tentang perhitungan gerhana 

bulan, dan Ketiga membahas tantang perhitungan gerhana matahari.4 

       Kemudian, sekitar awal tahun 1900-an orang Islam dari berbagai 

daerah di Nusantara ada yang melanjutkan studi ke Timur Tengah seperti 

ke Mekah. Selain mendalami ilmu agama seperti Tafsir, Hadis, Fikih, 

Tauhid dan Tasawuf, mereka juga mempelajari ilmu falak. Setelah 

menyelesaikan pendidikan, mereka kembali ke Indonesia, ke daerah 

asalnya. Mereka mengajarkan ilmu agama dan ilmu falak kepada para 

santri di sekolah agama (pesantren) di wailayah Nusantara.       

         Ilmu falak merupakan salah satu ilmu penting bagi umat Islam, 

karena ilmu ini terkait langsung dengan pelaksanaan ibadah dan penetapan 

hari-hari besar Islam. Oleh karena itu, ilmu falak menjadi mata pelajaran di 

sekolah Agama Islam dan di Pesantren, bahkan menjadi mata kuliah di 

perguruan tinggi Agama Islam, khususnya pada Fakultas Syariah, sehingga 

dari sana lahirlah Ulama’ yang handal, menguasai ilmu agama yang kuat 

dan terampil dalam penguasaan ilmu falak  (ahli falak).5 

                                                             

4  Muhammad Mansur bin Abdul Hamid, Sulam 1ayyirani fi Ma’rifatil Ijtima’ Za kusufaini, 

    t.tp.,Al--ami’ al-Mazkur, t.th, h. 1-3.  

   5  Setelah keluar SK. Tiga menteri tahun 1978 tentang kurikulum pendidikan pada sekolah agama 

Islam dan Pesantren lmu falak tidak menjadi mata pelajaran yang diajarkan di Pesantren atau di 

Sekolah Agama Islam. Kalau pada sekolah Agama Islam atau Pesantren  melihat bahwa mata 

pelajaran itu penting, diajarkan, tetapi   melihat bahwa mata pelajaran itu  tidak penting, tentu tidak 

diajarkan. Dampak dari itu, yaitu  terhenti atau tidak ada lagi generasi muda yang mengetahui 

ilmu falak, disisi lain, persoalah ilmu falak semakin besar dan kompelek. Permasalahan klasik 

muncul kepermukaan, seperti penentuan arah, kiblat, awal Puasa Ramadan, hari raya ( idul fitri 

dan idul adha) diberbagai daerah. Di antara organisasi Islam  (Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, 

Perti dan Majelis Ulama terlibat dalam persoalan klasik ini , Pemerintah, dalam hal ini 

Departemen Agama RI. tidak dapat berbuat banyak, karena tidak mempunyai sumber daya 

manusia yang handal dalam bidanga ilmu falak, dan umat Islam (orang awam) bingung. Melihat 

62 

 

         Selain di Jawa, di Sumatera lahir pula tokoh-tokoh ilmu falak, di 

antaranya Syekh Tahir djalaluddin dengan buku karyanya “3ati Kiraan” 

dan Syekh Djamil Djambek dengan karyanya “Almanak Jamiliyah”. 

Tokoh-Tokoh ilmu falak ini  dengan penuh kesungguhan dan 

keikhlasan mengajarkan dan mengembangkan ilmunya sehingga lahirlah 

ahli falak diberbagai daerah di Nusantara. Buku-buku ilmu falak hasil 

karya mereka pada umumnya menggunakan tabel astronomi Ulugh Beek 

As-Samarkandi. Dalam melakukan perhitungan, mereka  menggunakan 

cara perhitungan biasa  yaitu menggunakan tambah (+), kurang ( -), kali (x) 

dan bagi (:). Begitu pula ketika menghitung ketinggian (irtifa’) matahari 

dan hilal menggunakan cara yang sederhana, yaitu waktu terbenam 

matahari dikurang dengan saat terjadi ijtimak dan kemudian dibagi dua. 

Hasil perhitunngan perhitungan seperti itu, sering berbeda dengan 

kenyataan di lapangan. Oleh sebab itu ahli falak modern 

mengkalsifikasikan sistem hisab seperti itu sebagai “+isab hakiki taqribi”, 

karena hasilnya menunjukkan tingkat akurasi yang lemah (perkiraan).6 

        Kegigihan tokoh-tokoh falak dalam mengembangkan ilmunya, 

melahirkan generasi falak diberbagai daerah dengan membawa teori-teori 

baru, di antaranya; 

        KH. Muhammad Maksum bin Ali dari Jombang Jawa Timur (w. 1351 

H/1933 M) menyusun buku ilmu falak dengan judul “Badi’atul Misli fi 

+isāb al-Sinin wa al-Hilal”. Perhitungan dalam buku ini menggunakan 

rumus segitiga bola, dan data yang digunakan yaitu  data astronomi, 

hanya saja penyelesaiannya dengan menggunakan Rubu’ Mujayab, 

sehingga hasil yang dicapai juga kurang akurat. Ketidak akuratan ini  

disebabkan adanya kesulitan dalam mengoperasikan Rubu’Mujayab.7           

        Kemudian muncul nama KH. Zubair Umar al-Jailani dari Bojonegoro 

(w.1401 H/1990 M). Ia menulis buku ilmu falak yang berjudul; “Al-

Khulasatu Wafiyyah fi Falak bijadZa lil /ugharitmiyyah”. Buku ini 

dipandang cukup lengkap, di dalamnya memuat perhitungan penanggalan 

secara urfi, pengetahuan teoritis falakiyah, pendapat para ahli falak 

                                                                                                                                                                              

keadaan seperti demikian, pemerintah mengambil sikap, dengan membuat data ahli falak di 

berbagai daerah yang masih hidup, dan diundang untuk memberikan ilmu kepada ormas Islam 

melalui penetaran                              

   6 Muhyiddin Khazin,  Op cit.,  h. 22. 

   7 Menurut Husain Zaid bahwa perhitungan dengan menggunakan logaritma tidak diragukan akan   

tingkat keakuratannya, sebab pada dasarnya sinus  sama dengan jaib dan tangens sama dengan 

Dhil. Menurutnya bahwa penggunaan logaritme tidak berbeda dengan perhitungan Rubu’ 

Mujayyab, karena keduanya menggunakan satu metode yaitu segitiga bola. Syekh Muhammad 

Ma’sum bin Ali, Durusul Falakiyah ( diterjemah oleh Abdul Khaliq), ttp., tp., t.th., h. 1. 

63 

 

(astronomi) masa lalu, bumi dan geraknya, bulan dan geraknya, planet-

planet lain dan geraknya, perhitungan arah kiblat, perhitungan waktu 

shalat, perhitungan awal bulan (ijtima, irtifa hilal, posisi dan umur hilal 

dan perhitungan gerhana bulan dan gerhana matahari.8 Pembahasan dalam 

buku ini dapat dikatakan lengkap, karena masalah pokok dalam kajian 

ilmu falak dibahas dalam buku ini. Selain itu, perhitungan ketingian hilal 

menggunakan  rumus segitiga bola,  dan penyelesaiannya menggunakan 

logaritma, maka hasil yang dicapai dengan metode ini dipandang cukup 

akurat. Buku-buku ilmu falak yang ditulis para ahli falak pada zaman itu 

mendorong percepatan perkembangan ilmu falak di Indonesia. Oleh karena 

itu, jasa ulama dan falaki sangat besar dalam meletakkan dasar-dasar ilmu 

falak sebagai pedoman bagi generasi berikutnya.     

    Kuat dugaan bahwa kegiatan hisab dan rukyat sudah dimulai sejak 

Islam masuk ke Nusantara. Ketika masyarakat menerima ajaran Islam 

seperti shalat dan puasa, mereka bertanya tentang pelaksanaannya, kapan 

masuk waktu shalat dan kemana menghadap ketika shalat serta kapan 

masuk puasa Ramadan. Semua pertanyaan itu, isi jawabannya yaitu  

muatan ilmu falak, karena menentukan masuk waktu shalat dan awal bulan 

Kamariah (Ramadan dan Syawal) ditetapkan berdasarkan ilmu falak, 

demikian pula penentuan arah kiblat. 

     Pada awalnya, penetapan waktu shalat dan awal bulan Kamariah 

(Ramadan dan Syawal) dilakukan berdasarkan ketentuan fikih. Penetapan 

waktu shalat dilakukan dengan berpedoman kepada bayangan matahari. 

Shalat zuhur masuk ditandai dengan tergelincir matahari, shalat ashar 

masuk ketika bayangan matahari melebihi panjang sebatang tongkat, 

waktu maghrib masuk ketika matahari sempurna terbenam, waktu isya’ 

masuk ketika syafak mereh telah hilang dan waktu shubuh masuk ketika 

terbit fajar sadik. Untuk menentukan awal Ramadan dan Syawal dengan 

cara melihat hilal pada tanggal 29 Sya’ban dan 29 Ramadan.9 

     Pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara berkuasa, umat 

Islam sudah terlibat  dengan ilmu falak, hal itu ditandai dengan 

penggunaan penaggalan kalender Hijriyah. Semula masyarakat Islam 

Nusantara dalam menetapkan awal bulan Kamariah  dilakukan dengan 

sangat sederhana, umpamanya pada tanggal 29 Sya’ban atau 29 Ramadan 

                                                             

 

saat matahari terbenam, mereka pergi ketepi pantai atau kegunung atau ke 

tempat yang tinggi untuk melihat langsung keberadaan hilal.  

     Setelah umat Islam mengenal ilmu falak dan mampu menghitung 

posisi hilal dengan rumus yang dibuat para ahli, maka kegiatan 

pelaksanaan rukyat secara bertahap mengalami perkembangan. Rukyat 

tidak lagi didasarkan kepada perkiraan semata, tetapi sudah didasarkan 

kepada perhitungan ahli hisab dengan menggunakan rumus dan kaedah 

tertentu sepeti rumus matematika dan kaidah segitiga bola, dibantu dengan 

alat seperti kalkulator, daftar logaretma, kompas dan rulbusur serta 

dilengkapai dengan data koordinat Mekah (lintang dan bujur), koordinat 

daerah (lintang dan bujur), deklinasi matahari dan matahari berada dititik 

kulminasi. 

      Pada waktu akan berakhir kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam 

diberbagai daerah di Nusantara, umat Islam menggunakan hisab sebagai 

metode  penetapan arah Kiblat, waktu shalat dan awal bulan Kamariah 

(Ramadan, Syawal dan Zulhijah) serta penggunaan Kalender Hijriyah 

sebagai Kalender resmi.10 Pada masa penjajahan Belanda, terjadi 

perubahan penggunaan Kalender resmi Pemerintah, semula yang berlaku 

Kalender Hijriyah diganti dengan Kalender Masehi.  

     Walaupun Pemerintah Belanda menggunakan Kalender Masehi 

dalam kegiatan administerasi Pemerintahan, umat Islam tetap 

diperkenankan menggunakan Kalender Hijriyah dalam kegiatan sehari-

hari, terutama di daerah-daerah kekuasaan kerajaan Islam. Penggunaan 

penanggalan Islam pada kerajaan Islam tidak dilarang oleh Pemerintah 

Colonial Belanda, penggunaan atau penetapannya diserahkan kepada 

Sultan kerajaan-kerajaan Islam di berbagai daerah, terutama penetapan 

hari-hari besar Islam dan yang ada hubungan dengan persoalan ibadah, 

seperti penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah.11 

   Jadi, sebelum penanggalan Islam masuk ke Nusantara, sudah ada 

penanggalan Hindu di wilayah Nusantara, kemudian disusul penanggalan 

Islam,  dan terakhir masuk penaggalan Masehi yang dibawa oleh Colonial 

Belanda.      

   Pada waktu Sultan Agung berkuasa di kerajaan Islam Demak,12 ia 

membuat kebijakan yaitu penaggalan Hindu dijadikan penanggalan Islam. 

                                                             

65 

 

Kebijakan yang dilakukan Sultan Demak itu didasarkan kepada sistem 

perhitungan ilmu falak.13 Keberanian Sultan Agung menggabungkan 

penanggalan Hindu Jawa yang dikenal penaggalan tahun Caka dengan 

penanggalan Islam (Hijriyah) merupakan peristiwa penting dan bersejarah 

dalam penanggalan Kalender di Nusantara.  

   Penanggalan Hindu Jawa diubah sistemnya oleh Sultan Agung 

menjadi penanggalan Jawa Islam. Usaha yang dilakukan Sultan Agung 

menunjukkan betapa pentingnya penaggalan dalam kehidupan masyarakat. 

Penanggalan tidak hanya sebagai pedoman untuk kegiatan ibadah dan hari-

hari besar Islam, tetapi lebih dari itu untuk panduan dalam beraktifitas. 

Keberaniaan Sultan Agung merubah penaggalan Hindu menjadi 

penaggalan Jawa Islam merupakan kemajuan besar penanggalan di 

Nusantara yang dicatat sejarah.         

      Perkembangan ilmu falak di Sumatera, tidak terlepas dari pemikiran 

Ahmad Khatib Minangkabau. Ahmad Khatib dilahirkan di Bukittinggi, 

Sumatera Barat. Ia seorang ‘alim dalam ilmu  fikih dan ahli dalam ilmu 

falak yang menghasilkan kitab ilmu falak. Pada awalnya, Ahmad Khatib 

bermukim  di Mekah untuk belajar agama, tetapi karena kecerdasannya 

dalam menguasai ilmu agama, ia diangkat sebagai imam besar Masjid al-

Haram di Mekah dalam mazhab Syafi’i. 

   Ahmad Khatib Minangkabau mengisi waktu hidupnya di Mekah 

sebagai guru, imam besar Masjid al-Haram dan menulis kitab dalam 

bidang fikih dan ilmu falak. Para pelajar Nusantara yang menuntut ilmu di 

Mekah, mereka bertemu dengan Ahmad Khatib Minangkabau dan 

                                                                                                                                                                              

 

menimba ilmu agama serta belajar ilmu falak dengannya. Di antara pelajar 

Nusantara yang belajar dengan Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Taher 

Jalaluddin, Syekh Jamil Jahol (pimpinan Persatuan Tarbiyah Islamiyah), 

Syekh Muhammad Jamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa, H. Ahmad 

Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri 

Pondok Pesantre Tebuireng dan pimpinan Nahdhatul Ulama’).14  

   Pada awal abad ke 20-an  muncul ahli falak di Sumatera yang 

pemikirannya mendunia seperti Syekh Djamil Djahol, Syekh Djamil 

Djambek, Syekh Ibrahim Musa dan Syekh Tahir Djalaluddin. Buku-buku 

ilmu falak hasil karya mereka, pada umumnya masih menggunakan tabel 

astronomi Ulugh Beek As-Samarkandi.   

   Dalam melakukan perhitungan, mereka tidak menggunakan rumus 

segitiga bola, tetapi hanya dengan cara perhitungan biasa saja, yaitu 

menggunakan tambah (+), kurang ( -), kali (x) dan bagi (:). Begitu pula 

ketika menghitung ketinggian (irtifa’) hilal menggunakan cara yang 

sederhana, yaitu waktu terbenam matahari dikurang dengan saat terjadi 

ijtimak dan kemudian dibagi dua. Hasil perhitunngan seperti itu sering 

berbeda dengan kenyataan di lapangan. Oleh itu, ahli falak modern 

mengkalsifikasikan sistem hisab seperti itu sebagai “+isab hakiki taqribi”, 

karena hasil perhitungannya menunjukkan tingkat akurasinya lemah 

(perkiraan).15 

   Kerja keras dan kesungguhan para tokoh falak di Jawa dan Sumatera 

membuahkan hasil. Pada tahun 1930-an lahir ahli falak diberbagai daerah 

dengan membuat rumus dan teori-teori baru serta menulis kitab falak.  

    KH. Muhammad Maksum bin Ali dari Jombang Jawa Timur (w. 1351 

H/1933 M) menyusun buku ilmu falak dengan judul “Badi’atul Misli fi 

+isāb al-Sinin wa al-+ilal”. Perhitungan dalam buku ini menggunakan 

rumus segitiga bola, dan data yang digunakan yaitu  data astronomi, tetapi 

penyelesaiannya dengan menggunakan Rubu’ Mujayab, sehingga hasil 

yang dicapai kurang akurat. Ketidak akuratan ini  disebabkan adanya 

kesulitan dalam mengoperasikan  Rubu’ Mujayab.16           

        Kemudian muncul KH. Zubair Umar al-Jailani dari Bojonegoro 

(w.1401 H1990 M). Ia menulis buku ilmu falak yang berjudul “Al-

                                                             

Khulasatu Wafiyyah fi Falak bijadwa lil Lugharitmiyyah”. Buku ini 

dipandang cukup lengkap, karena menjelaskan perhitungan penanggalan 

secara urfi, pengetahuan teoritis falakiyah, pendapat para ahli falak 

(astronom) masa lalu, bumi dan geraknya, bulan dan geraknya, planet-

planet lain dan geraknya, perhitungan arah kiblat, perhitungan waktu salat, 

perhitungan awal bulan Kamariah (ijtima, irtifa hilal, posisi dan umur hilal 

dan perhitungan gerhana bulan dan gerhana matahari).17         

                 Pembahasan dalam buku ini dapat dipandang lebih baik, karena 

masalah pokok dalam kajian ilmu falak dibahas secara lengkap, seperti 

menghitung ketingian hilal menggunakan  rumus segitiga bola dan 

menggunakan logaritma, maka hasil yang dicapa dipandang cukup akurat. 

Buku-buku ilmu falak yang ditulis para ahli falak pada zaman ini 

mendorong percepatan perkembangan ilmu falak di Indonesia. Jasa ulama 

dan sumbangan pemikiran falaki sangat besar dalam meletakkan dasar-

dasar ilmu falak sebagai pedoman bagi generasi berikutnya. Perlu dicatat 

bahwa tokoh-tokoh ilmu falak di Indonesia, juga ulama yang berpengaruh 

dalam masyarakat, sehingga seorang falaki juga seorang ulama.             

                 Perkembangan falak di Nusantara sampai abad ke 19 tidak terlepas dari 

pengaruh falak negara-negara Islam lain. Di Sumatera pengaruh falak 

Syekh Ahmad Khatib Minangkau sangat mendominasi pemikiran falak 

genarasi berikutnya. Metode yang dikembangkan Syekh Ahmad Khatib 

dalam menetapkan arah Kiblat, waktu shalat dan awal bulan Kamariah 

(Ramadan’ Syawal dan Zulhijah) berdasarkan hisab. Hal itu dapat dilihat 

metode yang digunakan Syekh Djamil Djambek, Syekh Taher Jalaluddin 

dan KH. Ahmad Dahlan, mereka yaitu  murid syekh Ahmad Khatib 

Minangkau. Kemudian dari mereka lahir tokoh  falak kenamaan  di 

Indonesia seperti Saadoe’ddin Djambek. Pemikiran falak negara-negara 

Islam luar sangat terasa sampai awal abad ke duapuluh, seperti kitab 

Sullamun Nayyirain karya Muhammad Mansur bin Abdul Hamid bin 

Muhammad Damairy al-Batawi (tahun 1925) terpengaruh dengan sistem 

hisab Ulugh Bek.18 

       Setelah mengalami kemunduran selama ratusan tahun, kemudian Ilmu 

falak (astronomi Islam) di dunia Islam mulai  berkembang yang ditandai 

dengan lahirnya ahli falak di negara-negara Islam, walaupun secara jujur 

diakui jumlah mereka sangat kecil dibanding dengan ahli ilmu-ilmu lain, 

                                                             


 

termasuk di Indonesia. Kemudian, di Indonesia dibentuk Badan Hisab & 

Rukyat dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah (Provinsi dan 

Kabupaten/Kota). Badan Hisab & Rukyat melakukan berbagai kegiatan 

seperti pelatihan seminar dan konfrensi tentang ilmu falak, baik tingakat 

daerah, tingkat pusat, tingkat asian maupun tingkat dunia.  

         Pada tahun 1978 diadakankan Muktamar penyatuan kalender Hijriah 

Internasional di Istambul, Turki (28 Nopember 1978) bekerjasama dengan 

organisasi Islam Rabithah Alam Islami. Selain itu dibagun lembaga 

observasi hilal (Islamic Crescents Observation Project yang berkedudukan 

di Yordania.19 Kemudian dibentuk pula suatu badan Hisab & Rukyah antar 

Negara ASIAN yang diberi nama  MABIMS  (Malaysia, Indonesia, Berunai 

dan Singapora).20 MABIMS menyelenggarakan pertemuan regional ahli 

falak pada tahun 1992 (1-5 Juli 1992) dengan kegiatan pokok penetapan 

takwim Hijriah 1414-1442 H/1993-2020 M, yang diadakan di Indonesia, 

dihadiri utusan dari Malaysia dan Singapora bertempat di Jakarta, yang 

diperakarsai oleh Departeman Agama Republik Indonesia. Peran Badan 

Hisab & Rukyat sangat penting dan besar dalam mengembangkan ilmu 

falak, khususnya di Indonesia.           

  B. Perkembangan Badan His ab dan Rukyat  

   1. Badan Hisab dan Rukyat Era Tahun 19 72 - 2004 . 

          Sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam berkuasa di Nusantara, umat 

Islam sudah menggunakan penanggalan Islam (penanggalan Hijriah) yang 

dijadikan sebagai penanggalan resmi. Setelah penjajah Colonial Belanda 

masuk ke Nusantara, penanggalan Islam diganti dengan  penanggalan 

Masehi digunakan untuk kegiatan administrasi Pemerintah Belanda dan 

dijadikan sebagai penanggalan resmi. Tetapi pemerintah Belanda 

membolehkan penggunaan penaggalan Islam yang terkait dengan persoalan 

ibadah dan hari besar Islam, dimana pengaturannya  diserahkan kepada 

sultan kerajaan-kerajaan Islam  di Nusantara.  

   Penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah yang dilakukan oleh 

para Sultan daerah pada daerah kekuasaan kerajaan Islam di Nusantara tidak 

terjadi perbedaan dikalangan ahli falak. Pada kerajaan Islam, Sultan 

memegang otoritas tertinggi dalam semua masalah, termasuk penetapan 

                                                             

awal bulan Kamariah (Ramadan, Syawal dan Zulhijah). Keputusan Sultan 

yaitu  muktamat, harus diikuti oleh semua orang dan tidak boleh diingkari.             

    Kepatuhan rakyat menerima dan melaksanakan keputusan Sultan 

dalam penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah, sulit dipertahankan 

pada masa kemerdekaan. Penyebabnya pertama, berbeda metode yang 

digunakan ahli falak dalam penetapan awal bulan, sebagian falaki 

menggunakan metode hisab dan falaki yang lain menggunakan metode 

rukyat. Penggunaan metode yang berbeda, hasilnya sering tidak sama pula, 

misalnya menurut hisab hilal sudah di atas ufuk, tetapi berdasarkan rukyat 

bulan belum kelihatan. Kedua, metode yang digunakan ahli falak sama, 

umpamanya menggunakan metode hisab, tetapi berbeda dalam menetapkan 

ketinggian hilal di atas ufuk. Sebagian mereka menetapkan hilal minimal 20 

di atas ufuk, tetapi sebagian ahli falak yang lain, menetapkan apabila hilal 

sudah di atas ufuk, ditetapkan sudah bulan baru.  

   Kondisi seperti itulah yang berlaku di Indonesia dalam menetapkan 

awal bulan Kamariah (Ramadan, Syawal dan Zulhijah). Masing-masing 

pihak merasa benar dengan keputusannya dan harus dilaksanakan. Ketika 

terjadi perselisihan seperti demikian, pemerintah tidak mengambil sikap 

tegas, sehingga terjadi perbedan pelaksanaan puasa Ramadan, ada 

masyarakat yang berpuasa lebih awal satu atau dua hari  dari masyarakat 

lain. Kondisi yang sama juga terjadi pada penetapan Syawal (idul fitri) dan 

Zulhijah (idul adha). 

2. Proses Pembentukan Badan Hisab dan Rukya  

   Setelah Indonesia merdeka, secara berangsur penentuan awal bulan 

Kamariah mulai mengalami perubahan. Pada tanggal 3 Januari 1946 

terbentuk Departemen Agama RI., maka persoalan penetapan awal bulan 

Kamariah (1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijah) dan termasuk penetapan 

hari-hari besar Islam diserahkan kepada Departemen Agama RI berdasarkan 

Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 2/Um. 7/Um. 9/Um jo Keputusan 

Preseden No. 25 tahun 1967, No. 148 tahun 1968 dan No. 10 tahun 1971.21  

   Pengaturan hari libur dan penetapan awal Ramadan, Syawal dan 

Zulhijah berlaku untuk seluruh Indonesia. Meskipun pengaturan itu berada 

dibawah kendali Pemerintah (Depertemen Agama RI), namun perbedaan 

dalam penetapan awal bulan Kamariah masih terjadi,  karena ada dua 

metode yang digunakan dalam  menentukan awal bulan Kamariah yaitu 

metode hisab  dan metode rukyat.            

                                                             

 

       Kepatuhan rakyat menerima dan melaksanakan keputusan Sultan seperti 

penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah, sulit dipertahankan pada 

masa kemerdekaan. Penyebabnya yaitu  bila penetapan awal bulan menurut 

hisab dan rukyat berbeda (menurut hisab hilal sudah di atas ufuk, tetapi 

berdasarkan rukyat bulan belum kelihatan), masing-masing merasa benar 

dan harus dilaksanakan. Ketika terjadi perselisihan seperti demikian, 

pemerintah tidak mengambil sikap tegas, sehingga terjadi perbedan 

pelaksanaan puasa Ramadan, terdapat masyarakat yang lebih dulu berpuasa 

dari masyarakat lainnya. Kondisi yang sama juga terjadi pada penetapan 

Syawal (idul fitri) dan Zulhijah (idul adha). 

   Untuk menjaga persatuan dan ukhuwah umat Islam, Departemen 

Agama berusaha selalu menjembatani dan menyatukan faham hisab dan 

rukyat yang berkembang dalam masyarakat, terutama dikalangan ulama 

dengan mengadakan pertemuan, musyawarah, konperensi untuk 

membicarakan penetapan hari besar Islam terutama penentuan awal 

Ramadan, Syawal dan Zulhijah.  

       Musyawarah itu dilakukan setiap tahun menjelang tiba bulan Ramadan. 

Pada tanggal 12 Oktober 1971 diadakan musyawarah dengan mengundang 

ahli hisab dan ahli rukyat yang ada di Indonesia, karena terjadi perbedaan 

pendapat dalam penetuan jatuhnya tanggal 1 Ramadan 1391 H. Hasil 

musyawarah memutuskan pertama penentuan tanggal 1 Ramadan dapat 

disamakan antara ahli hisab dan ahli rukyat, dan kedua  mendesak Menteri 

Agama membentuk Lembaga Hisab dan Rukyat.22 

   Musyawarah berikutnya diadakan peda tanggal 20 Januari 1972, untuk 

menghadapi penetapan tanggal 1 Zulhijah 1391 terdapat perbedaan. 

Musyawarah dapat meredam suasana perbedaan di antara kalngan ahli hisab 

dan ahli rukyat, dan anggota musyawarah mengulangi rekomudasinya 

supaya Depertemen Agama merealisir dengan cepat terbentuknya Lembaga 

Hisab dan Rukyat.23 

        Untuk mewujudkan keinginan hasil musyawarah itu, terbentuklah 

Lembaga Hisab dan Rukyat, dan  ditunjuk tim perumus sebanyak lima orang 

yang terdiri dari tiga lembaga: 

1). Departemen Agama 

 a) A. Wasit Aulawi, MA 

 b) H. Zaini Ahmad Noeh 

 c) Saadoe’ddin Djambek 

                                   

 

    2).  Lembaga Metereologi dan Geofisika 

  Drs. Susanto 

3).  Planetarium 

  Drs. Santoso Nitisastro.24 

Rapat tim perumus tanggal 23 Maret 1972 memutuskan: 

 1) Bahwa tujuan pembentukan Lembaga Hisab dan Rukyat ialah  

mengusahakan agar umat Islam bersatu dalam menentukan tanggal 1 

Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijah. 

 2) Bahwa status Badan Hisab dan Rukyat yaitu  resmi dan berada di 

bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan 

berkedudukan di Jakarta. 

3) Bahwa tugas Badan Hisab dan Rukyat yaitu  memberi advis (nasihat) 

dalam penentuan awal bulan Kamariah kepada Pemerintah RI 

(Menteri Agama). 

4) Bahwa keanggotaan Badan  Hisab dan Rukyat yaitu  terdiri dari,  

            Aanggota tetap (inti) yang mencerminkan tiga unsur; 

            a) Unsur Departemen Agama 

            b) Unsur ahli falak/hisab 

            c) Unsur ahli hukum Islam (ulama). 

      Peralatan yang diperlukan Badan Hisab dan Rukyat untuk 

melaksanakan tugasnya : 

        1) Mesin tik 

        2) Kalkulator 

        3) Theodolit 

        4) Alat pemotret 

        5) Teropong bintang 

        6) Kompas 

        7) Tongkat Istiwak 

        8)  Buku-buku 

        9) Radio 

        10) Dan lai-lain25 

   Selanjutnya urusan Badan Hisab dan Rukyat ditangani oleh Direktorat 

Peradilan Agama. Pada tanggal 2 April 1972 nama-nama yang ditunjuk 

sebagai anggota tetap dan anggota tersebar Badan Hisab dan Rukyat 

disampaikan oleh Direktur Peradilan Agama kepada Menteri Agama RI. 

Pada tanggal 16 Agustus 1972 keluar SK. Menteri Agama RI. Nomor 76 

                                                             

 

tahun 1972 tentang Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat Depertemen 

Agama yang dictum putusannya sebagai berikut: 

 

Pertama :  Membentuk Badan Hisab dan  Rukyat Departemen Agama RI 

Kedua : Tugas Badan Hisab dan Rukyat memberikan saran-saran 

kepada Menteri Agama dalam penentuan permulaan tanggal 

bulan Kamariah. 

Ketiga : Kepengurusan Badan Hisab dan Rukyat terdiri dari; Ketua, 

Wakil Ketua, Sekretaris, Anggota tetap  dan anggota tersebar 

(Associte members). 

Keempat : Anggota tetap merupakan pengurus harian yang menangani 

masalah sehari-hari, sedangkan anggota tersebar bersidang 

dalam waktu tertentu menurut keperluan. 

Kelima : Anggota tersebar diangkat dengan keputusan tersendiri oleh 

Dirjen Bimas Islam. 

Keenam : Badan Hisab dan Rukyat dalam melaksanakan tugasnya 

bertenggung jawab kepada Direkturat Peradilan Agama. 

Ketujuh : Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Anggota tetap diberi  

honorarium menurut peraturan yang berlaku. 

Kedelapan : Segala pengeluaran dan biaya-biaya dari Badan Hisab dan 

Rukyat dibebankan pada Anggaran Belanja Departemen 

Agama. 

Kesembilan:  Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.26 

          Berikutnya, Menteri Agama RI dengan SK. Nomor 77 tahun 1972 

tanggal 16 Agustus 1972 menentukan susunan personalia Badan Hisab dan 

Rukyat Departemen Agama RI sebagai berikut: 

    1) Saadoe’ddin Djambek, -akarta,  ketua merangkap anggota. 

    2)  A. Wasit Aulawi, MA, Jakarta, wakil ketua merangkap anggota 

    3) Drs. Djabir Manshur, Jakarta, sekretaris merangkap anggota. 

    4) H. Zaini Ahmad Noeh, Jakarta, sebagai anggota. 

    5) Drs. Susanto, Jakarta, sebagai anggota. 

    6) Drs. Santoso, Jakarta, sebagai anggota. 

    7) Rodi Saleh, Jakarta, sebagai anggota. 

    8) KH. Djunaidi, Jakarta, sebagai anggota. 

    9) Kapten Laut Muhadji, Jakarta, sebagai anggota. 

   10) Drs. Penuh Dali, Jakarta, sebagai anggota. 

   11) Syarifuddin, BA, Jakarta, sebagai anggota.27  

                         

 

         Dirjin Bimas Islam dengan Surat Keputusannya Nomor D.I/96/P/1973 

tanggal 28 Juni 1973 menetapkan anggota tersebar (tidak tetap) Badan 

Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI sebagai berikut: 

   1) K.H. Muchtar  dari PA. di Jakarta 

   2) K.H. Turaichan Adjhuri dari Kudus 

   3) KRB. Tang Sobari dari Sukabumi 

   4) K.H. Ali Yafi dari Ujung Pandang 

   5) K.H. Abdul Djalil dari Kudus 

   6) K.H. Wardan dari Yogyakarta 

   7) Drs. Abdur Rachim dari Yogyakarta 

   8) Ir. Bachit Wachid dari Yogyakarta 

   9) Ir. Muchlas Hamidi dari Yogyakarta 

  10) H. Aslam Z dari Yogyakarta 

  11) H. Bidran Hadi dari Yogyakarta 

  12) Drs. Bambang Hidayat dari Bandung/ITB 

  13) Ir. Hamran Wachid dari Bandung/ITB 

  14) K.H. KA. Aziz dari Jakarta 

  15) Ali Ghozali dari Cianjur 

  16) Banadji Aqil dari Jakarta 

  17) K. Zuhdi Usman dari PA. Nganjuk 

        Pada tanggal 23 September 1972, pengurus Badan Hisab dan Rukyat 

Departemen Agama RI dilantik oleh Menteri Agama. Menteri Agama RI 

dalam pidato pelantikan itu  mengatakan, Badan Hisab dan Rukyat dibentuk 

dengan pertimbangan bahwa: 

       Pertama, Masalah Hisab dan Rukyat awal bulan Kamariah merupakan 

masalah penting dalam menentukan hari-hari besar umat Islam. 

Kedua,   Hari-hari besar itu erat hubungannya dengan peribadatan umat 

Islam, hari libur, hari kerja, dengan kegiatan perekonomian dan 

dengan pergaulan hidup kita, baik antar umat Islam sendiri 

maupun antara umat Islam dengan saudara-saudara sebangsa dan 

setanah air. 

Ketiga,    Persatuan umat Islam dalam melaksanakan ibadah perlu dijaga, 

karena perbedaan pendapat dapat menimbulkan pertentangan 

yang akhirnya dapat melumpuhkan umat Islam dalam 

partisipasinya membangun bangsa dan negara.28   

           Keinginan organisasi dan masyarakat Islam membentuk sebuah badan 

yang menangani masalah penetapan bulan Kamariah (Ramadan, Syawal 

                                                                                                                                                                              

 

dan Zulhijah), sudah ada pada waktu terbentuk Departemen Agama RI, 

baru terwujud keinginan itu pada tahun 1972, setelah melalui perjuangan 

dan proses yang panjang, lebih kurang sselama 26 tahun. 

            Dua hari setelah Badan Hisab dan Rukyat terbentuk dan diresmikan 

oleh Menteri Agama RI, yaitu pada tanggal 25 september, langsung 

mengadakan rapat untuk menghadapi puasa Ramadan 1391 H. Pada rapat 

pertama itu, yang diundang Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, 

Meteorlogi dan Geofisika, IAIN dan perorangan.29 Kemudian, pada 

tanggal 14 Oktober 1972 Badan Hisab dan Rukyat mengadakan rapat 

untuk membicarakan satu Syawal 1392 H.              

  3 . Perkembangan Badan Hisab dan Rukyat (1972 - 2004)  

           Setelah  Badan Hisab dan Rukyat terbentuk dan dilantik oleh Menteri 

Agama RI pada tanggal 23 September 1972, pengurus anggota tetap Badan 

Hisab dan Rukyat yang diketuai Sa’aduddin Djambek menyusun program 

dan melakukan kegiatan, terutama masalah penetapan awal Ramadan, 

Syawal dan Zulhijah. Lngkah pertama yang dilakukan, mengadakan 

pertemuan-pertemuan dengan anggota tetap, anggota tersebar, ormas 

Islam, lembaga hisab, perguruan tinggi dan tokoh falak dari berbagai 

daerah, untuk membicarakan perbedaan hasil perhitungan hisab dalam 

penetapan awal Ramadan dan Syawal. Usaha yang dilakukan Badan Hisab 

dan Rukyat dapat berjalan dengan lancar, tidak mengalami kesulitan, 

karena perbedaan dapat disatukan. 

     Pada tahun 1972, Ketua Badan Hisab dan Rukyat, Sa’aduddin 

Djambek menunaikan ibadah haji, sambil mengadakan pertemuan dengan 

pengurus lembaga hisab dan Rukyat Arab Saudi, serta mengadakan 

peninjauan untuk mempelajari cara pelaksanaan penetapan awal bulan 

Kamariah.30 Pada kesempatan itu Sa’aduddin Djambek meneliti letak 

georafi Ka’bah. Hasil yang diperoleh menunjukkan Ka’bah terletak pada 

21o 25' lintang Utara dan 39 o 50' bujur Timu r.31  

                                                             

 29 Rapat membicarakan penetapan awal Ramadan 1391 H, berdasarkan hasil perhitungan yang 

disampaikan oleh para ahli, terdapat perbedaan derajat ketinggian hilal, namun akhirnya peserta 

rapat sepakat bahwa hilal masih di bawah ufuk. Hasil rapat memutuskan bahwa penetapan awal 

Ramadan 1391 H berdasarkan istikmal, yaitu dengan menggenapkan bilangan hari pada bulan 

Sya’ban menjadi 30 hari (bilangan hari bulan Sya’ban 29 hari). 

 30 Departeman Agama RI, Almanak Hisab dan Rukyat, Op cit., h. 27.  

 31 Departeman Agama TI, Pedoman Penentuan Arah Kiblat, (Jakarta: Derektorat Jenderal Pembinaan 

Kelembagaan Agama Isalam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994/1995), h. 

16. Setelah pulang dari Mekah, Sa’aduddin Djambek memerintahkan kepada Drs. Abdur Rachim di 

Yogyakarta dan kepada KH. Tangshoban di Sukabumi untuk merobah data lintang dan bujur 

Ka’bah di daerah ini .  

75 

 

          Pada tahun 1973, pengurus Badan Hisab dan Rukyat melakukan 

kunjungan ke Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Pelembang, 

Sumatera Barat dan Aceh untuk menemui dan mendata para Ahli hisab. 

          Kemudian pada tanggal 5-6 Juli 1974, Dirjen Peradilan Agama RI dan 

Badan Hisab dan Rukyat menyelenggarakan musyawarah yang pesertanya 

terdiri dari semua anggota Badan Hisab dan Rukyat pusat dan daerah serta 

wakil dari Organisasi Islam, Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, Pimpinan 

Muhammadiyah, Pengurus Besar al-Irsyad, Dewan Da’wah, Pimpinan 

Besar al-Ittihadiyah, lembaga ilmu falak dan hisab HMI. Hasil 

musyawarah merumuskan dan memutuskan; 

    Pertama, menyambut baik gagasan Menteri Agama RI, agar Badan Hisab 

dan Rukyat melakukan penjajakan kerjasama dengan  Malaysia 

dan Singapora di bidang Hisab dan Rukyat. 

    Kedua,  agar Badan Hisab dan Rukyat lebih disempurnakan  dan 

dikembangkan serta dilengkapi, antara lain:  

    1) Memodernisasi alat-alat yang diperlukan untuk melakukan  observasi 

(rukyat). 

    2)  Melengkapi alat-alat yang diperlukan untuk melakukan hisab.  

    3)  Melengkapi referensi perpustakaan.  

    4)  Mengadakan pertemuan rutin dilakukan secara terjadwal, minimal satu 

bulan sekali antara anggota tetap, minimal enam bulan sekali dengan 

anggota tersebar dan satu tahun sekali dengan semua anggota Badan 

Hisab dan Rukyat tetap dan tersebar, alim ulama dan ormas Islam.  

    5)  Melakukan kaderisasi dan pendidikan. 

    6)  Menerbitkan brosur. 

         Berikutnya, pada tanggal 9-11 Juli 1974 Badan Hisab dan Rukyat 

mengadakan pertemuan dan musyawarah dengan pengurus Hisab dan 

Rukyat negara Malaysia dan Singapura, dilaksanakan di Jakarta, 

Indonesia sebagai tuan Rumah. Hasil keputusan musyawarah 

menetapkan antara lain: 

    1) Mengadakan kerja sama antara Indonesia, Malaysia dan Singapura, 

dalam bidang Hisab dan Rukyat. 

    2)  Mengadakan pertukaran informasi mengenai Hisab dan Rukyat, kaidah-

kaidah yang digunakan dan istilah-istilah Falak syar’iy. 

    3) Mengadakan pertemuan lanjutan mengenai Hisab dan Rukyat antara 

negara Indonesia, Malaysia dan Singapura secara bergilir. 

76 

 

    4) Memperluas kerjasama dalam bidang Hisab dan Rukyat dengan negara-

negara Islam.32 

           Musyawarah ini  sangat mengembirakan dan sekaligus 

mengangkat citra Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI, 

karena telah mampu memperluas jangkauaannya dengan negara Malaysia 

dan Singapura, dibidang ilmu Hisab dan Rukyat untuk menentukan awal 

bulan Ramadan, Syawal dan hari-hari besar Islam. Pertemuan tiga negara 

itu terus berlajntut, bahkan pada pertemuan berikutnya diikuti oleh 

beberapa lain. 

             Perkembangan selanjutnya, pada tanggal 26 April 1976, Badan Hisab 

dan Rukyat mengirim surat kepada ahli hisab di daerah-daerah agar 

mereka menghitung jatuh satu Syawal dan satu Zulhijat 1397 H (1977 

M), dan dikirim ke Pengurus Badan Hisab dan Rukyat di Jakarta. 

             Hasil perhitungan ini  dijadikan bahan dalam musyawarah Hisab 

dan Rukyat yang diselenggarakan Direktorat Jinderal Bimbingan 

Masyarakat Islam pada tanggal 9-11 Maret 1977 di Jakarta. 

      Tujuan diadakan musyawarah yaitu ; 

      Pertama, untuk membahas masalah hasil Hisab menghadapi penetapan 

awal Syawal 1397 H, karena diperkirakan hilal pada saat itu 

berada dalam kondisi kritis, membuka peluang terjadi 

perbedaan penetapan awal Syawal 1439 H 

      Kedua,  membahas masalah penetapan sepuluh Zulhijah, kaitannya 

dengan wukuf di Arafah di Mekah dan hari raya Adha. 

      Ketiga, Meluruskan pemikiran dan pendapat sebagian masyarakat yang 

menginginkan hari raya Adha di wilayah Indonesia  disesuaikan 

dengan hari raya Adha di Mekah, sehingga penetapan tanggal 

satu dan Sembilan Zulhijah tidak lagi ditetapkan berdasarkan 

hisab dan rukyat. 

     Keempat, diharapkan melalui   musyawarah itu   dapat   menambah 

pengetahuan, wawasan dan menyatukan pendapat yang berbeda 

dikalangan ahli hisab dalam penetapan awal Syawal dan 10 

Zulhijah 1439 H. 

     Peserta yang diundang dalam musyawarah ini  terdiri dari unsur, 

     1) Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. 

     2) Anggota Badan Hisab dan Rukyat Pusat. 

     3) Anggota Badan Hisab dan Rukyat Daerah. 

     4) Organisasi Islam, dan 

                                                             

     5) Perorangan. 

     Hasil keputusan musyawarah menetapkan; 

       1) Pada tanggal 13 September dan 11 Nopember 1977, dilakukan rukyatul 

hilal. 

       2) Menganjurkan kepada ahli hisab yang menetapkan awal Syawal 

berdasarkan perhitungan dengan sistem ijtimak, supaya berhari raya 

(idul fitri) pada hari Kamis tanggal 15 September 1977 M. 

       3) Hari raya Adha dilaksanakan berdasarkan keputusan Pemerintah 

Indonesa. 

       Peserta musyawarah mengusulkan kepada Pengurus Badan Hisab dan 

Rukyat pusat  dan Pemerintah sebagai berikut; 

          a)  Badan Hisab dan Rukyat meningkatkan kwalitas hasil hisab dan 

rukyat, dan menemukan titik perbedaan antara keduanya. 

          b)  Departemen Agama RI menyediakan Beasiswa untuk belajar 

astronomi di Institut Tehnelogi Bandung (ITB). 

   c) Supaya Departemen Agama RI menjalin hubungan kerjasama dengan 

negara-negara Islam dalam rangka tukar-menukar informasi, 

khususnya dengan Kerajaan Arab Saudi tentang penetapan awal 

bulan Kamariah. 

          d) Supaya Departemen Agama RI membentuk satu tim untuk 

mempelajari keputusan majma’ al-Buhus al-Islamiyah tahun 1966. 

          e) Kebijakan Pemerintah supaya menghargai dan memberikan 

kesempatan kepada orang atau kelompok masyarakat yang yang 

berbeda penetapan hari rayanya dengan keputusan Pemerintah 

(Departemen Agama RI). 

           Setelah berjalan beberapa tahun, susunan personalia Badan Hisab dan 

Rukyat dilakukan perombakan. Pada awal terbentuk Badan Hisab dan 

Rukyat, Sa’aduddin Djambek ditetapkan sebagai ketua dan Direktur 

Peradilan Agama sebagai wakilnya. Padahal Badan Hisab dan Rukyat itu 

dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Direktur 

Peradilan Agama berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 76 tahun 

1977. Artinya, secara tidak langsung ketua melapor kepada wakilnya. Untuk 

menghilangkan kejanggalan itu, Menteri Agama dengan Surat 

Keputusannya No. 10 tahun 1976, melakukan perubahan susunan personalia 

Badan Hisab dan Rukyat yaitu Direktur Peradilan Agama menjadi ketua dan 

Sa’aduddin Djambek sebagai wakilnya. 

           Kemudian, dengan pertimbangan telah wafat dan pindah tugas beberapa 

orang personalia Badan Hisab dan Rukyat, maka dengan Keputusan Menteri 

Agama No. 38 tahun 1980 diadakan perubahan dan tambahan susunan 

78 

 

personalia Badan Hisab dan Rukyat. Susunan personalia yang baru sebagai 

berikut: 

   1) H. Ichtijanto, SA, SH      : sebagai ketua merangkap anggota. 

    2) Drs. Abdur Rachim        : Wakil merangkap anggota (IAIN)  

    3) Drs. Supangat                : Sekretaris merangkap anggota (Depag) 

    4) H. Zaini Ahmad Noeh    : Sebagai anggota (Depag) 

    5) H. A.Wasit Aulawi, MA : Sebagai anggota (IAIN) 

    6) Drs. Susanto                  : Sebagai anggota (Meteorologi) 

    7) Drs. Darsa                      : Sebagai anggota (Planetorium) 

    8) K. M. A. Djunaidi          : Sebagai anggota (Hakim) 

    9) Mayor Laut Muhadji      : Sebagai anggota (TNI) 

    10) Syarifuddin, Bc,Hk       : Sebagai anggota (TNI) 

    11) H. Rodhi Saleh             : Sebagai anggota (Guru Agama) 

    12) Banadji Aqil                 : Sebagai anggota (Hakim) 

    13) Drs. Wahyu Widiyana   : Sebagai anggota (Peradilan Agama). 

           Setiap tahun Direktorat Pembinaan Badan Hisab dan Rukyat 

Depertemen Agama, mengumpulkan  ahli hisab untuk membantu menyusun 

program kegiatan Badan Hisab dan Rukyat, dan untuk menyelesaikan 

masalah yang terkait dengan hisab. Kegiatan ini  berlangsung sejak 

tahun 1978, dengan melakukan musyawarah dan mengevaluasi pelaksanaan 

kegiatan hisab. 

           Hasil yang telah dicapai oleh Badan Hisab dan Rukyat Depertemen 

Agama sebagai berikut: 

    1) Menentukan arah Kiblat ibu kota Provinsi seluruh Indonesia. 

    2) Menentukan arah Kiblat kota-kota besar tertentu di luar negeri. 

    3) Menentukan waktu terjadi bayangan benda searah dengan Kiblat, 

dilakukan setiap tanggal satu bulan Syamsiah, untuk ibu kota Provinsi 

seluruh Indonesia. 

    4) Membuat daftar  imsakiyah Ramadan  untuk ibu kota Provinsi seluruh 

Indonesia. 

    5) Membuat jadwal waktu salat untuk ibu kota Provinsi seluruh Provinsi. 

    6)  Membuat jadwal waktu salat kota-kota penting di luar negeri. 

    7) Menentukan saat terjadi ijtima’ dan tinggi hilal pada setiap awal bulan 

Kamariah. 

    8) Membuat garis batas tanggal pada peta dunia setiap awal bulan Kamariah. 

    9)  Menghitung ketinggian hilal setiap awal bulan Kamariah. 

79 

 

   10) Melihat ketinggian hilal pada saat matahari terbenam selama bulan 

Ramadan di pos observasi Pelabuhan Ratu.33 

           Pada bulan Nopember tahun 1978, ketua Badan Hisab dan Rukyat 

menghadiri Konperensi penetapan awal bulan Kamariah di Istambul Turki. 

Delegasi Indonesia dalam Konperensi itu menyampaikan kertas kerja yang 

intinya, penetapan awal bulan Kamariah ditinjau dari segi hukum dan dari 

astronomi.34 Hasil Konperensi menetapkan; 

   a). Penetapan awal bulan Kamariah menurut Syari’at Islam yaitu  dengan 

rukyat. 

   b). Ahli hisab yang mengitung posisi hilal pada setiap akhir bulan, 

hendaknya dipekai pedoman posisi hilal di atas ufuk saat matahari 

tenggelam (rukyat hukumiyah). 

   c).  Syarat pokok hilal dapat diobservasi (dilihat), jarak titik pusat bulan dan 

matahari tidak kurang dari 7o - 8o, dan tinggi hilal saat matahari 

tenggelam tidak kurang 5o di atas ufuk. 

   d).  Hasil rukyat pada suatu tempat, sama dengan di tempat lain. 

   e).  Konperensi sepakat membuat Kalender Hijriyah Internasional yang 

berlaku untuk umat Islam seluruh dunia.35 

          Kemudian, pada bulan April 1980, diselenggarakan Konperensi 

  Kalender Hijriyah di Istambul Turki. Delegasi Indonesia diwakili  ketua 

Badan Hisab dan Rukyat. Konperensi membahas tentang pemberlakuan 

tahun Hijriyah yang terkait dengan ibadah di seluruh dunia. Menaggap hal 

itu, anggota Konperensi terpecah menjadi tiga kelompok. 

  a). Delegasi dari Turki, al-Jazair dan Tunisia, berpegang pada hisab. 

  b).Delegasi dari Arab Saudi, berpegang kepada rukyat. Rukyat dipahami 

sebagai rukyat bi al-fi’li yang diisbatkan oleh Pemerintah. 

  c). Delegasi dari Indonesia dan Banglades, melihat bawah sistem yang 

dipandang tepat yaitu  nash yang menyebutkan dengan rukyat diawal  

dengan hisab. Karena kedua metode (rukyat dan hisab) sama-sama 

berupaya untuk menentukan awal bulan dan waktu yang terkait dengan 

ibadah. 

       Hasil konperensi menetapkan; 

      1). Merekomudasikan  penyatuan hari raya dan penyeragaman penetapan 

awal tahun Hijriyah diseluruh dunia Islam. 

                                                             

 

      2). Dibuat peta hisab dan kendali observasi, sebagai langkah awal 

penyatuan kalender Hijriyah di dunia Islam.36 

            Perkembangan selanjutnya, dibentuk Badan Hisab dan Rukyat di 

Provinsi seluruh Indonesia yang dikoodinir oleh Pengadilan Tinggi Agama, 

dengan tugas utama menghimpun ahli falak dan membinanya, menentukan 

arah Kiblat, menyusun jadwal waktu salat dan mengisab awal bulan 

Kamariah (Ramadan, Syawal dan Zulhijah) serta melaporkan hasil hisab dan 

rukyat ke Badan Hisab dan Rukyat Pusat (Departemen Agama RI) di 

Jakarta. 

            Kemudian, Badan Hisab dan Rukyat membangun lokasi observasi 

benda-benda langit, terutama untuk mengobservasi hilal Ramadan, Syawal 

dan Zulhijah, karena ketiga bulan ini  ada kaitannya puasa Ramadan, 

hari raya fitri dan hari raya adha serta puasa arafah. Tempat observasi 

dibangun di Lembang Provisi Jawa Barat, di Sabang Provinsi Bnda Aceh, di 

Ujung Pandang provinsi Sulawisi Selatan dan di Tanjung Kodok Provinsi 

Jawa Timur. Selain itu, dibangun pula Laboratorium Hisab dan Rukyat di 

Ciputat, yang dilengkapi dengan Astronomical Telescope serta kameranya.37 

4 . Perkembangan Badan Hisab dan Rukyat 2004 Samp ai Sekarang 

            Sebelum tahun 2004, Badan Hisab dan Rukyat Pusat berada di bawah 

pembinaan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI, dan Badan 

Hisab dan Rukyat daerah (provinsi) berada di bawah pembinaan Pengadilan 

Tinggi Agama. Setelah Undang-undang Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan 

Kehakiman ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 18 Januari 2004, 

sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14/1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang baru ini disebut  

sebagai Undang-undang satu atap, yang menjadikan seluruh peradilan 

berada di bawah pembinaan Mahkamah Agung, termasuk peradilan 

Agama.38 

           Permasalahan yang muncul yaitu  setelah peradilan agama pindah di 

bawah pembinaan Mahkamah Agung, apakah Badan Hisab dan Rukyat juga 

pindah kemahkamah Agung. Kewenangan menangani kegiatan hisab dan 

rukyat yaitu  Departeman Agama. Hal ini didasarkan kepada keputusan 

Presiden mengenai tugas dan fungsi Departemen Agama yang telah 

disempurnakan, terakhir Keppres Nomor 165 tahun 2000 tentang 

                                   

81 

 

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan, Organisasi da Tata 

Kerja Departemen Agama.39 Keppres ini dijadikan pedoman dalam 

Keputusan Menteri Agama Nomor 1 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, 

Fungsi, Kewenangan, Sususnan, Organisasi dan Tata Kerja Depertemen 

Agama. Keppren Nomor 165 tahun 2000 dan KMA Nomor 1 tahun 2001, 

sangat jelas bahwa penanganan dan pembinaan hisab dan rukyat secara 

teknis dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan Agama dan 

Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Kemudian 

untuk penanganan hisab dan rukyat ditingkat Provinsi berada di bawah 

kewenangan Pengadilan Tinggi Agama dan ditingkat Kabupaten/Kota 

penanganan hisab dan rukyat berada di bawah kewenangan Pengadilan 

Agama. 

        Ketika Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) 

menggunakan nomenklatur Kepaniteraan Perkara dan Kepaniteraan Tata 

Usaha, penanganan hisab dan rukyat menjadi tugas Kepaniteraan yang 

ditangani oleh sub. Kepaniteraan Hukum Syara’, Statistik dan Dokumentasi. 

Hal ini didasarkan kepada Keputusan Menteri Agama Nomor 11 tahun 1978 

tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama 

dan Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Agama.40              

          Kegiatan hisab dan rukyat yang berada di bawah pembinaan 

Departeman Agama, baik di pusat maupun di daerah dalam menetapkan 

awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah tidak dapat dilepaskan peran 

hakim, karena kesaksian orang yang melihat hilal atau tidak melihat hilal, 

diambil dari sumpah hakim. Nabi saw dalam menetapkan awal Ramadan 

dengan kesaksian seseorang, baru diterima setelah dilakukan sumpah.  

 Dari Ibn Abbas ia berkata, seorang arab pedesaan datang menemui nabi 

saw, lalu ia berkata, sesungguhnya saya telah melihat hilal, nabi saw. 

bertanya, apakah kamu bersaksi tidak Tuhan selain Allah swt.? dan apakah 

kamu bersaksi bahwa Muhammad saw yaitu  Rasul Allah?, laki-laki itu 

                                                             

menjawab ya. Lalu nabi bersabda; Hai Bilal umumkan kepada manusia 

untuk berpuasa besok hari (H.R. Abu Daud).41 

 

                                                             

 

BAB IV  

TOKOH -TOKOH ILMU FALAK ( ASTRONOMI )  

 

A. Tokoh -Tokoh Ilmu Falak ( Astronomi ) Sebelum Islam  

        Ilmu Falak merupakan warisan salah satu disiplin ilmu pengetahuan 

tertua sejak manusia pertama kali membangun sebuah peradaban di 

muka Bumi dan sampai saat ini terus dipelajari dan dikembangkan 

dengan memadukan teknologi yang berkembang. Ilmu falak, bukan 

hanya dipandang ilmu tertua dalam tataran khanazah dunia ilmu 

pengetahun, tetapi ia dipandang penting dalam kehidupan umat manusia, 

karena semua orang berhajat kepadanya. Sehubungan dengan itu, lahir 

tokoh-tokoh falak sejak sebelum Masehi sampai sekarang, berikut 

dikemukakan nama-nama tokoh falak ini : 

1. Aristoteles (384 SM). 1 

       Aristoteles lahir di Stageira Semenanjung Kalkidike di Trasia 

(Balkan) pada tahun 384 SM., dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 

SM.2 Ayahnya bernama Machoan seorang dokter yang bekerja pada 

istana raja Macedonia Amyntas II. Sejak kecil Aristoteles senang dengan 

ilmu alam, dan ia mendapat bimbingan belajar dari bapaknya sampai 

berusia 18 tahun. Setelah ayahnya meninggal, ia pergi ke Atena dan 

belajar dengan Plato di Akademia selama 20 tahun. Ia  yaitu  seorang 

ilmuwan dan filosof yang tersohor di zamannya, bahkan hingga 

sekarang. Aristoteles orang pintar dari Yunani dan dikagumi oleh 

masyarakat, baik semasa ia hidup maupun setelah ia meninggal. 

2. Thales  (625-545 SM) 

         Tanggal lahir dan wafatnya tidak diketahui secara pasti, namun 

banyak orang memperkirakanya, ia hidup antara tahun 625-545 SM.3 

Thales termasuk orang pandai yang tujuh, yang kesohor di Yunani. Enam 

orang selainnya, Solon, Bias, Pittakos, Chilon, Periandos, dan 

Kleobulos. 

         Thales yaitu  seorang saudagar yang sering berlayar ke Mesir, 

seorang politikus yang terkenal dan seorang ahli astronomi (ilmu 

bintang). Thales mempergunakan kepintaranya sebagai ahli nujum. Pada 

suatu, ia diminta meramal gerhana dan ramalannya tepat, yaitu gerhana 

matahari yang terjadi tahun 585 SM. Thales seorang filosof yang 

mengatakan bahwa semua berasal dari air dan kembali ke air. 

                            

  3. Pythagoras . 

      Pythagoras lahir sekitar tahun 580 SM. di Samos, kemudian pada 

tahun 530 SM. ia menetap di kota Kroton. Di daerah ini  dibangun 

sebuah perkampungan agama yang sebut kaum Pythagoras. Sebenarnya 

Pythagoras terpengaruh oleh ajaran mistik yang berkembang di Yunani. 

          Menurut Pythagoras angka satu itu genap, tetapi juga ganjil, angka 

yang sebenarnya 1 sampai 10, dan hitungan selanjutnya hanya 

merupakan pengulangan saja. Ia berpendapat bahwa planet venus pada 

waktu senja dan pada waktu fajar sama. Pendapatnya itu, mengubah 

pemahaman masyarakat yang mengaanggap bahwa planet venus terlihat 

berbeda pada waktu senja dan pada waktu fajar.4 

4. Aristarchus  (300 SM). 

       Aristarchus yaitu  seorang ilmuwan yang mengeluti ilmu falak 

(astronomi), ia melakukan penelitian dengan mengukur jarak bumi ke 

bulan dan jarak bumi ke mataharai. Kesimpulan hasil penelitiannya itu, 

menyebutkan bahwa jarak bumi ke matahari lebih jauh dibandingkan 

jarak bumi ke bulan.5 Aristarchus berpendapat bahwa matahri sebagai 

pusat alam semesta, namun pendapatnya tidak mendapat dukungan, 

karena tidak ada bukti yang kuat untuk mendukunga pendapatnya. 

5. Hipparchus  (190 SM). 

       Hipparchus yaitu  seorang ilmuwan yang mendalami ilmu 

astronomi dari pendahulunya. Teori yang dibuatnya yaitu  matahari dan 

bulan beredar. Teori ini dibuatnya berdasarkan hasil penelitiannya yang 

dilakukan secara teliti, sehingga mendpatkan data yang akurat. Teori 

yang dibuatnya itu menjadi landasan lahirnya teori geosentris.6 

6. Claudius Ptolemeus  (140 M).7 

           Claudius Ptolomeus yaitu  seorang imuwan terkenal pada zamannya 

hingga sekarang. Ia lahir pada tahun 85 M di Mesir, dan berasal Yunani 

yang menjadi penduduk Romawi, tetapi tinggal di Mesir. Ptolomeus 

terkenal sebagai seorang ahli falak (astronom) dan geografi. Salah satu 

teori yang dibangunnya yaitu  teori geosentris, yang mampu bertahan 

hingga beberapa abad lamanya, kemudian dibantah oleh al-Birruni 

dengan memunculkan teori baru yang dinamakan teori heleosentris. 

           Claudius Ptolomeus menulis buku tentang astronomi  yang berjudul 

the Almagest terdiri 13 jilid. Dalam buku ini  ia mengatakan bahwa 

bumi sebagai pusat alam semesta. Sedangkan matahari, bulan dan planet 

lain berputar mengelilingi bumi.      

7. Zhang Heng  (78 SM) 

                    

        Zhang Heng yaitu  ahli falak (astronomi) Cina kuno yang hidup 

antara tahun 78-139 M. Ia seorang ilmuwan yang banyak menghabiska