bahwa penciptaan langit dan bumi serta
pergantian siang dan malam hanya menjadi perhatian oleh orang-orang
yang berakal. Pembahasan ilmu falak dan mempelajari peredaran benda-
benda langit (matahari, bulan dan bintang-bintang) juga hanya dilakukan
oleh orang-orang yang mempunyai akal sehat dan mau berpikir tentang
kejadian dan perubahan alam ini .
Bangsa Arab jauh sebelum Islam sudah mengenal ilmu falak, tetapi
sebatas kajian nujum (astrologi). Ilmu ini merupakan ilmu penting, karena
dijadikan panduan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Arab
mengetahui dan mempelajari benda-benda langit (matahari, bulan dan
bintang) lebih banyak bersifat pengetahuan perbintangan praktis untuk
kepentingan pelaksanaan aktivitas kehidupan dan untuk kepentingan
petunjuk jalan di tengah padang pasir, terutama perjalanan di malam hari.30
Bangsa Arab lebih dekat hidup dengan dunia perdagangan, mereka
berdagang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain secara
berkelompok (kafilah) dengan melintasi waktu perjalanan berbulan-bulan
lamanya. Mereka melintasi padang pasir yang luas tanpa menggunakan alat
penentu waktu dan alat penunjuk arah tujuan. Mereka hanya berpedoman
kepada peredaran benda-benda langit, seperti matahari, bulan dan bintang-
bintang.
Pada siang hari mereka berpedoman kepada matahari, dan waktu
malam, mereka berpedoman kepada bulan dan bintang-bintang, karena
matahari, bulan dan bintang-bintang selalu terbit dan terbenam pada posisi
yang sama, sehingga dapat dijadikan pedoman. Selain berdagang, bangsa
Arab juga menekuni hidup sebagai petani, yang harus mengetahui
30Bangsa Arab sejak zaman Jahiliyah (sebelum Islam), telah mengetahui ilmu falak, namun
mereka menamakan dengan ilmu nujum (perbintangan). Mereka memperoleh ilmu nujum dari bangsa
Greek, Parsi dan India, serta warisan dari orang terdahulu meraka. Umat Islam mula terlibat secara
aktif dibidang ilmu falak pada masa Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Di zaman Umaiyah tokoh ilmu
falak yang terkenal ialah Khalid bin Yazid al-Amawi (meninggal 85 H). Beliau lebih dikenal dengan
nama Hakim Ali Marwan. Ia orang pertama yang menterjemahkan buku-buku ilmu perbintangan.
Menurut ahli sejarah (al-Mas’udi), Khalifah Malik bin Marwan sangat menyenangi ilmu perbintangan,
sampai sewaktu berperangpun belian membawa bersamanya ahli ilmu perbintangan.
49
pergantian musim. Pergantian musim sangat tergantung kepada peredaran
matahari dan perubahan waktu serta bulan.31
Pada awal Islam, ilmu falak berada pada pase pertumbuhan dan
pembinaan, belum mengalami perkembangan. Masyarakat Arab umumnya
dan umat Islam khususnya mempelajari benda-benda langit untuk
kepentingan petunjuk jalan di tengah padang pasir,32 dan untuk kegiatan
ibadah.
Pada waktu itu, bangsa Arab belum menguasai ilmu falak sehebat
bangsa-bangsa Babilonia, Yunani, India, Persi dan Cina dalam melakukan
perhitungan secara astronomis. Oleh karena itu, penentuan waktu-waktu
ibadah seperti penentuan waktu salat, awal Ramadan dan hari raya idul fitri
dan idul adha, didasarkan kepada melihat secara langsung benda-benda
langit (rukyat fisik), karena inilah cara yang tepat dan sesuai dilakukan pada
zaman itu.33 Pada masa itu sebenarnya persoalan rukyat sudah berkembang,
tetapi persoalan hisab belum terkenal atau masyhur. Hal itu ditegaskan Nabi
Muhammad saw. dalam bersabda;
Dari Ibn Umar ra. Nabi saw. bersabda sesungguhnya kami umat yang
ummi tidak bisa menulis dan menghitung. Bulan itu seperti ini dan seperti
ini, maksudnya (umur hari dalam sebulan) satu kali 29 hari dan satu kali
30 hari. (H.R. Muttafaqun ‘alaih).34
Walaupun Nabi saw. tidak bisa menulis dan menghitung akan tetapi
Nabi mempunyai imajinasi yang kuat dan dibimbing Allah swt dalam
menyelesaikan berbagai masalah, sehingga semua permasalahan dapat di
atasinya.
31Waktu tertentu yang bertalian dengan dengan keadaan iklim, atau peralihan musim selama satu
tahun seperti musim salju, musin semi (musin sesudah musim dingin atau sebelum musim
panas).Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
kempat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 943.
32Orang-orang Arab sejak zaman Jahiliyah (sebelum Islam), telah mengetahui ilmu falak, namun
mereka menamakan dengan ilmu nujum (perbintangan). Mereka memperoleh ilmu nujum dari bangsa
Greek, Parsi dan India, serta warisan dari orang terdahulu meraka. Umat Islam mula terlibat secara
aktif dibidang ilmu falak pada masa Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Di zaman Umaiyah tokoh ilmu
falak yang terkenal ialah Khalid bin Yazid al-Amawi (meninggal 85 H). Beliau lebih dikenal dengan
nama Hakim Ali Marwan. Ia orang pertama yang menterjemahkan buku-buku ilmu perbintangan.
Menurut ahli sejarah (al-Mas’udi), Khalifah Malik bin Marwan sangat menyenangi ilmu perbintangan,
sampai sewaktu berperangpun belian membawa bersamanya ahli ilmu perbintangan.
Ketika Islam mulai berkembang, kedudukan ilmu falak menjadi sangat
penting dan mempunyai fungsi ganda, pertama, sebagai pedoman
mengharungi padang pasir dalam kegiatan perdagangan dan kegiatan
lainnya, dan sebagai pedoman ketika pergantian musim. Kedua, pedoman
dalam kegiatan pelaksanaan ibadah seperti menentukan waktu shalat, awal
puasa Ramadan, hari raya idul fitri dan idul adha dan pelaksanaan ibadah
haji. Kedua fungsi ini terus berkembang sampai Rasulullah saw wafat.
Rasulullah saw telah meletakkan dasar-dasar ilmu falak sebagai pedoman
dalam berbagai kegiatan, terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan
kegiatan ritual keagamaan.
Setelah Rasulullah saw wafat, agama Islam mulai berkembang di
daerah-daerah kekuasaan Islam, dan di daerah-daerah itu bertemu dengan
berbagai pengetahuan baru dan peradaban bangsa lain yang lebih maju
menurut ukuran zaman ketika itu. Islam mengadopsi pengetahuan dan
peradaaban bangsa lain ini dan kemudian dikembangkan sehingga
Islam mengalami kemajuan dalam dunia pengetahuan dan peradaban,
termasuk ilmu falak.35
Kajian tentang ilmu falak sudah dimulai pada masa pemerintahan Bani
Umayyah, tepatnya pada masa Khalifah Yazid bin Muawiyah bin Abi
Sufyan (w.85 H/754 M).36 Perhatian Khalifah terhadap ilmu pengetahuan
sangat tinggi, terutama mengkaji ilmu pengetahuan sains, termasuk ilmu
falak (astronomi). Pada masa itu dilakukan penerjemahan buku-buku ilmu
falak (astronomi) dari berbagai bangsa luar Islam.37
Kehadiran lmu falak sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan
mendapat perhatian dari kalangan ulama. Pembahasan ilmu falak terus
mengalami kemajuan terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan
ibadah seperti penetapan waktu salat dan awal bulan. Kalau pada masa Nabi
saw penetapan awal bulan hanya dengan rukyat, tetapi pada abad pertama
Hijriah, ulama dari kalangan Tabi’in yang membolehkan penggunaan hisab
dalam menentukan awal bulan Kamariah, yaitu Mutarrif ibn Abdillah ibn
Asy-Syihkhir (w.45 H/714 M). Dengan demikian, studi ilmu falak sudah
mengalami perkembangan pada abad pertama Hijriah.38
Kegiatan usaha penerjemahan kitab-kitab karya bangsa Yunani, Persia
dan India dalam bidang ilmu falak (astronomi) dan ilmu nujum (astrologi)
51
mendapat perhatian khusus Khalifah Abasiyah. Penguasa bani Abasiyah
mengundang dan mendatangkan para ahli ilmu falak dan ilmu perbintangan
(astrologi) ke Istana, hal itu dilakukan untuk mendorong perkembangan
ilmu falak dalam dunia Islam. Pada masa itu ilmu falak lebih berorientasi
kepada teori ilmu falak India, Yunani dan Parsia.39
Pada tahun (156 H/773 M), seorang ahli falak India menyerahkan
sebuah buku ilmu falak (astronomi) yang berjudul “Sindhind” atau
“Sidhanta” yang dikalangan ahli falak Islam dikenal dengan “As-Sindhind”
kepada Khalifah Abu -a’far al-Mansur di Baghdad. Khalifah Abu -a’far al-
Mansur (w.158 H/775 M), memerintahkan agar buku itu diterjemahkan
kedalam bahasa Arab. Perintah ini dilaksanakan oleh Muhammad bin
Ibrahim al-Fazari (w.190/806 M).40
Prinsip-prinsip pokok yang terdapat dalam kitab “As- Sindhind”
menjadi acuan dan pegangan dalam kajian ilmu falak sampai zaman
Khalifah al-Makmun berkuasa (w.218 H/833 M). Atas usaha dan
kemampuan al-Fazari menerjemahkan buku ini membuat dirinya
menjadi terkenal sebagai ahli falak di dunia Islam.41 Kajian ilmu falak pada
masa Khalifah Abu -a’far al-Mansur,42 mendapat perhatian khusus, Khalifah
menyediakan dana yang besar untuk penelitian dan penerjemahan kitab-
kitab ilmu falak dari Parsia, Yunani dan India.43
Berikutnya, pada masa Khalifah al-Makmun, penerjemahan literatur
falak dalam bahasa asing kedalam bahasa Arab, terus dikembangkan dan
mendapat perhatian khusus dari Khalifah, seperti buku “Miftah al-1ujum”
yang ditulis oleh Hermes Agung di masa pemerintahan Daulah Umawiyah.
Buku Almagest Ptolomeus diterjemahkan oleh Yahya bin Khalid al-
Barmaky, kemudian disempurnakan oleh al-Hajjaj bin Muthar dan Tsabit
42Pada masa pemerintahan Abu -a’far al-Mansur, berjasa besar karena telah meletakkan ilmu
falak pada posisi istimewa, setelah ilmu Tauhid dan Fiqh. Ketika itu, ilmu falak tidak hanya dipelajari
dalam perspektif keperluan praktis ibadah saja, tetapi lebih dari itu, ilmu ini lebih dikembangkan
sebagai pondasi dasar terhadap perkembangan sains lain seperti, ilmu pelayaran, pertanian, pemetaan,
kelautan, dan kemiliteran. Tidak tanggung-tanggung, Khalifah al-Mansur membelanjakan uang negara
cukub besar dalam rangka mengembangkan kajian ilmu falak. Disisi lain ilmu falak ketika itu terus
berkembang hingga zaman pemerintahan berikutnya, dengan puncak perkembangannya pada masa
pemerintahan Khalifah al-Makmun. Pada masa ini kajian ilmu falak dikembangkan secara sistematik
dan intensif sehingga melahirkan ahli ilmu falak kenamaan. Di era peradaban Arab Islam inilah kajian
ilmu falak mulai berkembang secara alamiah dan ilmiah dengan berbagai pembahasan teori.
43Muhammad Farid Wajdi, Dairatu al-Maarif, juz. VII, (Mesir: 1342 H), h. 485. Dikutip dari,
Ahmad Izzuddin, Op cit., h. 44.
52
bin Qurrah (w.288 H/908 M). Yang menjadi catatan penting yaitu bahwa
perkembangan peradaban ilmu falak Islam tidak bisa dilepaskan dari
peradaban sebelumnya, dengan kata lain, bangsa Arab berhutang terhadap
peradaban sebelumnya.
Tetapi peradaban Arab mempunyai kelebihan dari peradaban
sebelumnya. Pertama, bangsa Arab mengambil ilmu astronomi dari
peradaban sebelumnya, kemudian dilakukan koreksi, penjelasan ulang,
penambahan, membuat karya-karya sendiri yang mempunyai ciri khas.
Kedua, ilmu falak Islam tidak hanya terhenti dalam sebatas tinjauan teoritis
saja, tetapi menemukan teori-teori baru yang berguna bagi manusia. Ketiga,
dalam ilmu falak (astronomi) Islam masih terdapat paham sebelumnya, dan
terus dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat sampai sekarang.
Perkembangan selanjutnya, ilmu falak menjadi salah satu cabang ilmu
keislaman yang berdiri sendiri,44 dan ditandai dengan lahir sejumlah ahli
falak Islam diberbagai daerah kekuasaan Islam.
Ilmu falak Islam tidak hanya dipengaruhi buku-buku falak India,
tetapi juga dipengaruhi buku-buku falak Yunani, yang diterjemahkan
kedalam bahasa Arab. Di antara buku ilmu falak Yunani yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yaitu “al-Kurrah al-Mutaharrikah”
karya Autolycus, seorang insiyur dan matematik bangsa Yunani yang
termasyhur.45 Karya bangsa Yunani lainnya yang penting dan berpengaruh
luas yaitu “Al-Majisti” (Almagest) karya Ptolomeus. Dengan dilakukan
penerjemahan beberapa buku ilmu falak karya Yunani, timbul arah baru
dalam pengkajian ilmu falak dengan mengkombinasikan metode falak India,
metode falak Persia dan metode falak Yunani.46
Al-Khawarizmi (w. 250 H/864 M) menyusun daftar ephemeris (Al-Zij)
berdasarkan metode falak India dan dinamakannya “Al- Sindhind al-
Saghir”, namun ia juga melakukan koreksi-koreksi terhadap buku falak
India berdasarkan kaidah Persia dan Yunani.47 Seiring dengan
perkembangan waktu dan tuntutan zaman akan ilmu falak serta diperkaya
i
oleh berbagai referensi ilmu falak dari Yunani, Persia, India, dan muncul
kesungguhan dari para ahli falak Islam untuk mengkaji dan mempelajarinya
secara konferehensip, dilain pihak perhatian dan dukungan yang besar dari
Khalifah Al-Mansur dan Al-Makmun. Usaha yang dilakukan ahli falak dan
perhatian dari penguasa yang besar, sehingga muncul karya-karya ilmu falak
dalam dunia Islam.
Muhammad al-Fazari yaitu ahli falak Islam yang menerjemahkan
kitab Zij al-Sindhind berasal dari India, atas perintah Khalifah al-Mansur. Ia
juga menerjemahkan kitab Zij al-Shal yang berasal dari Persia. Kitab ini
berisi kumpulan tebel astronomi yang menjadi pedoman bangsa Persia
selama dua abad.48
Ahli falak Islam tidak hanya mengabil teori falak Yunani, Persia dan
India, tetapi sudah mampu membuat penemuan-penemuan baru. Penemuan
teori-teori baru dan karya-karya ahli falak Islam, menjadi sebuah peradaban
yang tidak ternilai harganya dan sekaligus mengangkat citra Islam dalam
bidang sains astronomi sampai ketingkat kejayaan Islam, serta dicatat
sebagai khazanah ke ilmuan dalam dunia Islam.
Puncak kemajuan dan kejayaan ilmu falak yang dicapai umat Islam,
pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun. Al-Makmun sangat tertarik
dengan ilmu falak (astronomi), sehingga ia mengeluarkan dana dalam
jumlah besar untuk kemajuan ilmu falak (astronomi).49 Kemajuan bidang
ilmu falak (astronomi), dapat pula diasumsikan sebagai bagian untuk
mencapai masa kejayaan (zaman ke emasan) Islam. Oleh karena itu,
sumbangan ilmu falak Islam tidak hanya berkembang di dunia Islam, tetapi
juga berkembang di dunia barat. Pemikiran dan teori ilmu falak Islam terus
dipelajari dan dikembangkan di berbagai negara di belahan dunia. Ilmu
falak sebagai peradaban Islam dipandang sudah cukup maju, tetapi ahli
falak Islam masih melihat alam (bumi) mengikuti pandapat Ptolomeus yang
menganut paham Geosentris.50
Setelah emam abad kejayaan peradaban Islam berlangsung di bawah
pimpinan Islam. Ketika peradaban Islam mengalami kemunduran yang
diperkirakan dimulai sejak abad ke-15 M, kajian-kajian ilmu falak
(astronomi) dalam dunia Islam ikut mengalami kemunduran juga sampai
penghujung abad ke-19 M. Walaupun kemunduran ilmu falak (astronomi)
54
tidak mengalami penurunan drastis.51 Ilmu ini terus berkembang dari waktu-
kewaktu, karena diperlukan umat Islam dalam kegiatan ibadah
Pada awal abad ke-20 M, kajian ilmu falak (astronomi) mulai bangkit
kembali, ditandai dengan munculnya beberapa ahli falak (astronomi) Eropa
yang melakukan kajian tentang planet matahari, bulan dan bintang-bintang,
termasuk observasi hilal dan peredaran planet. Pada tahun 1900-an kajian
dalam bidang ilmu falak mendapat perhatian dari umat Islam, sehingga
muncul ahli falak baru, sebut saja seperti Sa’adoeddin Djambek,
Muhammad Manshur, Muhammad Nawawi al-Bantany, Zubir Umar (
Indonesia) dan Mohammad Ilyas (Malaysia).52
Sejak ilmu falak (astronomi) di dunia Islam mengalami
perkembangan kembali sering diselenggarakan konfrensi ilmu falak
Internasional. Pada tahun 1978 diadakankan Muktamar penyatuan kalender
Hijriah Internasional di Istambul, Turki (28 Nopember 1978) bekerjasama
dengan organisasi Islam Rabithah Alam Islami. Selain itu, dibagun lembaga
observasi hilal (Islamic Crescents Observation Project yang berkedudukan
di Yordania.53 Kemudian dibentuk pula Badan Hisab & Rukyah antar
Negara ASIAN yang diberi nama MABIMS (Malaysia, Indonesia, Berunai
dan Singapora).54 MABIMS menyelenggarakan pertemuan regional ahli
falak pada tahun 1992 (1-5 Juli 1992) dengan kegiatan pokok penetapan
takwim Hijriah 1414-1442 H/1993-2020 M, diadakan di Indonesia, dihadiri
utusan dari Malaysia dan Singapora bertempat di Jakarta, yang diperakarsai
oleh Departeman Agama Republik Indonesia.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Bani Umaiyah
dan Bani Abbasiyah, terjadi perluasan wilayah Islam. Negara-negara yang
ditaklukan umat Islam yaitu negara yang mempunyai peradaban yang
tinggi, seperti Babilonia, Persia dan Yunani. Kemudian terjadi integrasi
dalam bidang bahasa. Bahasa Arab dipakai sebagai bahasa resmi,
55
menggantikan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Bahasa Arab juga sebagai
bahasa ilmu pengetahuan.55 Integrasi dalam bidang kebudayaan, antara
kebudayaan Arab dengan kebudayaan daerah kekuasaan Islam, bahkan
terjadi integrasi dalam bidang peradaban. Pada waktu inilah terjadi kontak
antara Islam dengan peradaban barat, tegasnya dengan peradaban Yunani,
Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia.56 Pertemuan Islam dengan beberapa
peradaban bangsa besar membawa terjadinya integrasi ilmu pengetahuan,
sehingga lahir tokoh-tokoh terkemuka dalam berbagai disiplin ilmu
pengetahuan, termasuk ilmu falak. Lahirlah sejumlah tokoh ahli falak
diberbagai daerah kekuasaan Islam.
C. Sejarah Perkembangan Ilmu Falak di Eropa
Perkembangan ilmu falak (astronomi) pada masa kejayaan peradaban
Islam berpengaruh sampai keluar wilayah kekeuasaan Islam. Eropa yaitu
wilayah yang sangat terpengaruh dengan astronomi Islam. Sebelumnya
bangsa Arab banyak belajar ilmu falak dari bangsa Babilonia, Yunani,
Persia dan India dan mencapai kemajuan yang sangat pesat, bahkan menjadi
sebuah peradaban Islam. Kemudian ilmu falak (astronomi) berkembang ke
Eropa melalui Spanyol dan Sisilia, yang langsung dibawa oleh orang-orang
Eropa yang menuntut ilmu sosial dan sains di Spanyol.57
Pada Saat negera-negara Islam mencapai kejayaan, bangsa Eropa masih
berada dalam kegelapan. Sayangnya masa keemasan Islam tidak dapat
dipertahankan lebih lama. Umat Islam pada waktu itu memiliki pengetahun
yang luas dalam berbagai bidang ilmu, mereka mampu melakukan
pengembangan dan penemuan-penemuan baru di berbagai bidang cabang
ilmu pengetahuan. Bangsa Eropa belajar kepada orang Islam, dalam
bermacam bidang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu falak (astronomi).
Setelah mereka mengusai berbagai ilmu pengetahuan dari orang Islam di
Spanyol, kemudian mereka kembangkan di negeri asalnya masing-masing.
Bangsa Eropa mulai mengembangkan ilmu pengetahuan yang mereka
peroleh dari orang-orang Islam, ketika kejayaan peradaban Islam mulai
melemah, mereka mengambangkan pengetahuan yang diperoleh dari orang
Islam, terutama dalam bidang sains. Mereka bangun lembaga pendidikan
dari tingkat rendah, menengah sampai ke perguruan tinggi, perpustakaan
dan berbagai sarana pendidikan untuk mencerdaskan bangsanya.
Pengalaman yang telah dicapai umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan,
mereka pelajari dan ambil manfaatnya, karena menurut mereka hanya
dengan ilmu dan pendidikan suatu bangsa akan tampil sebagai bangsa yang
besar, berjaya dan mampu memimpin dunia.
Buku-buku ilmu falak karya orang Islam seperti buku karya Al-
Khawarizmi diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh Adelard of Bal dan
Gerard of Cremona.58 Karya Al-Khawarizmi yang sudah diterjemahkan itu,
disempurnakan dan dijadikan sebagai buku pegangan utama pada perguruan
tinggi di Eropa sampai abad ke-16 M. Dengan mempelajari teori-teori ilmu
falak Islam, lahir sejumlah ahli astronomi di Eropa.
D. Urgensi Ilmu Falak Dalam Islam
Dalam sejarah peradaban manusia disebutkan bahwa cikal-bakal ilmu
falak atau astronomi sudah pada masa Nabi Idris as. Hal ini menunjukkan
bahwa hisab rukyat sudah ada sejak dahulu kala, jauh sebelum tahun
Masehi. Ilmu ini muncul sebagai respon terhadap sebuah realitasa soisal
yang berkembang pada waktu itu. Oleh karena itu, persoalan hisab dan
rukyat sudah muncul secara praktis sebelum ilmu falak. Bahkan sekitar
abad ke-28 sebelum masehi eksestensi ilmu falak sebagai sarana untuk
menentukan waktu bagi penyembahan dewa-dewa menjadi maslah penting,
seperti di Mesir penyembahan dewa Orisis, Isis dan Amon, di Babilonia dan
Mesopotania penyembahan dewa Astoroth dan Baal.
Peritungan tahun Hijriyah pernah digunakan oleh Nabi saw. ketika
menulis surat kepada kaum Nasrani Najran dengan tertulis ke V Hijriyah,
akan tetapi di dunia Arab lebih mengnal peristiwa-peristiwa yang terjadi
sebagai penanggalan, seperti tahun gajah (peristiwa pasukan Abrahah
menyerang Ka’bah) dan tahun duka cita (peristiwa nabi ditinggalkan
Khadijah dan kakeknya).
Ilmu falak secara formal mulai berkembang sejak penetapan hijrah
Nabi dari Makah ke Yasrib (Madinah) sebagai standar dasar penetapan
kalender Hijriyah, pada waktu Umar Ibn al Khatthab menjadi Khalifah, pada
tahun ketujuh belas Hijriyah. Titik kulminasi perkembangan ilmu falak
terjadi pada masa kejayaan dunia Islam, yang ditandai dengan muncul
tokoh-tokoh teremuka di bidang ilmu falak, seperti al Khawarizmi (w.220
H/ 835 M), Jabir al Battani (w.319H/ 931 M), Abu Raihan al Biruni (363 H
– 440 H/ 973 M- 1048 M) dan Nashiruddin al Thusi (598 H- 673 H/1201 M-
57
1274 M), Abu Muhammad Jabir bin Aflah (w. 1150 M), Muhammad
Ibrahim al-Fazari (w. 796 M), Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H/1566 M dan
Muhammad Taragay Ulughbek (1394 M).
Pada abad ke-17 sampai abad ke-19 bahwa pelajar muslim dari Melayu
termasuk bangsa Indonesia menjadikan Makah dan Madinah (Haramain)
sebagai tumpuan rihlah ilmiah. Bahkan pada tahun 1920-an, para pelajar
dari Indonesia banyak bermukim di Makah, mereka merupakan kelompok
terbesar dari Asia Tenggara.
Berangkat dari hal ini , jelas bahwa kajian keislaman termasuk
kajian ilmu ilmu falak (astronomi) di sekitar Asia Tenggara termasuk
bangsa Indonesia, tidak lepas dari pengaruh hubungan ulama Timur
Tengah” khususnya Makah-Madinah (Haramain). Kontak ulama Timur
Tengah dengan Asia Tenggara tersbuat nampak dalam napak tilas ulama
Indonesia yang bermukim di Makah bertahun-tahun lamanya. Hal ini dapat
dilihat pula dari karya monumental K.H Mansur al Batawi kitab Sullam
Nayyirin dan kitab al Khulashah al Wafiyah karya K.H Zubaer Umar al
Jailani Salatiga, dan masih banyak karya ilmu falak yang ditulis pada masa
itu masih mengunakan metode tradisional.
Ilmu falak terus mengalami perkembangan yang luar biasa dan
puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah. Perhatian penguasa pada ilmu
falak sangat besar, seperti menterjamahkan kitab “Sindihind “ dari India
dengan sungguh-sungguh. Kemudian pada masa al Makmun dilakukan
penerjamahan kitab “Tabril al Magesthy” ke dalam bahasa Arab. Dengan
demikian, lahir istilah ilmu falak sebagai salah satu cabang ilmu keislaman
(Islamic Studies).
Fokus pembahasan ilmu falak yang dipelajari dalam Islam yaitu yang
ada kaitannya dengan waktu dan pelaksanaan ibadah, oleh karena itu, objek
utama pembahasan ilmu falak dalam Islam mempelajari empat masalah,
yaitu; penetapan Arah Kiblat, penetapan Waktu-waktu Salat, penetapan
Awal bulan, dan Gerhana bulan dan matahari. Untuk melakukan penelitian
di bidang ilmu falak yang sesuai dengan tuntutan zaman, dibangun
observation oleh Khalifah al Makmun di Sinyar dan Junde Shahfur
Baghdad, dengan tujuan menemukan teori baru dari hasil observasi benda-
benda langit, sehingga lahir teori sendiri dalam menghitung kulminasi
matahari. Salah satu hasil penelitian melahirkan karya yang terkenal dengan
judul “Tables of Makmun”.
Hasil seminar hisab dan rukyat pada tanggal 27 April 1992 di Tugu
Bogor disepakati tiga klasifikasi pemikiran hisab dan rukyat di Indonesia,
pertama hisab hakiki taqribi yaitu pemikiran hisab rukyat sangat rendah
58
keakurasiannya, seperti kitab Sullam Nayyirin karya Muhammad Manshur,
Tadzkirah al Ikhwan karya Ahmad Dahlan Semarang, al Qawaid al
Falakiyah karya KH. Abdul Fattah, al Syams wa al Qamar karya KH.
Anwar Katsir, Risalah Qamaraian karya KH. Nawawi Muhammad dan
Syams al Hialal karya KH. Noer Ahmad. kedua, hisab hakiki tahkiki yaitu
pemikiran hisab rukyat yang keakurasiannya tinggi tapi bersifat klasik,
seperti kitab al Khulashah al Wafiyah karya KH. Zubaer Umar al Jailany, al
Mathla’ al Said karya Husian =aid, Nur al Anwar karya KH. Noer Ahmad,
Almanak Menara Kudus karya K.H Turaihan Ajhuri dan Badi’atul Mitsal
karya KH. Ma’sum -ombang.
Perbedaan keduanya yaitu , metode hisab taqribi berpedoman pada
teori geosentris, sementara metode hisab hakiki tahkiki berdasarkan pada
teori heleosentris. Ketiga, hisab hakiki kontemporer yaitu pemikiran hisab
dan rukyat yang keakuransiannya tinggi dan kontemporer, seperti kitab
Almanak Nautika (TNI AL Dinas Hindro Oseanografi), Ephemeris (Depag
RI), Islamic Calender (Muhammad Ilyas) dan sebagainya. Dari deskripsi di
atas, ilmu falak memiliki dua aspek sejarah (historical aspect) dan aspek
fungsi keagamaan (function of religious aspect).
Dalam aspek sejarah bahwa ilmu falak memiliki mata rantai sejarah
yang panjang, berkesinambungan dan dinamis. Munculnya Ilmu falak di
berbagai negara sebagai respon terhadap problem sosial pada waktu itu. Jika
ulama dahulu mampu menciptakan ilmu falak secara sistematis dan ilmiah,
maka kita sekarang ini juga harus mampu mengembangkan bukan sebagai
pemakai (user) teori-teori yang hasil kerja keras mereka. Sedangkan aspek
fungsi keagamaan bahwa ilmu falak sebagai sarana untuk melakukan ibadah
kepada Allah swt dengan benar. Sarana sama kedudukannya dengan suatu
tujuan, dalam kaidah fiqh “li al wasail hukm al maqashid”.
Hasil penelitian membuktikan, di Semarang terdapat 70 persen masjid
dan mushalla yang tidak menghadap ke arah Kiblat dengan benar. Padahal
di kota ini masih banyak pakar ahli dalam bidang ilmu falak. Ilmu falak
merupakan bagian penting dari fikih yang berkaitan dengan waktu ibadah,
arah Kiblat, awal bulan, dan gerhana. Ilmu falak tidak jauh berbeda dengan
fikih mawaris yang ada hitungannya, maka ilmu falak lebih tepat disebut
dengan istilah fikih falak. Sehingga dengan istilah ini, fikih falak dalam
kajian keislaman mendapatkan perhatian yang serius.59
Patut diketahui bahwa ilmu falak (astronomi) dalam peradaban Islam
dipandang sudah cukup maju dan berkembang dengan pesat, tetapi
kelemahannya pandangan mereka (ahli falak) terhadap alam dan benda-
59 http://www.salafiyah.or.id, diakses 12 Juli 2012.
59
benda langit masih mengikuti paham Ptolomeus, dengan teori Geosentris.
Menurut teori ini bahwa bumi sebagai pusat peredaran planet-plenet
angkasa dan pusat kehidupan. Walaupun kemudian teori Geosentris di
bantah oleh al-Biruni dan Copernikus pada abad ke16 M. Al- Biruni dan
Copernikus membangun teori baru yang dimanakannya teori Heliosentris.
Menurut teori ini matahari yaitu pusat peredaran planet, dan bahkan
merupakan pusat kehidupan. Meskipun al-Biruni yang hidup pada abad ke 9
telah mengkeritik teori Geosentris,60 yang dicetus oleh Aristoteles (384-322
SM) dan kemudian dikembangkan oleh Claudius Ptolomeus (140 M). Ia
menulis buku untuk mengkritik teori Geosntris yang berjudul “Syntasis”.
Patut pula dicatat bahwa paham Geosentrisi berkembang sampai abad ke 9,
sampai lahir al-Biruni yang mengkritiknya.
Ilmu falak sejak dikenal manusia sebagai salah satu ilmu penting bagi
kehidupan manusia di muka bumi, terus mengalami perkembangan dan
kemajuan. Ilmu ini tidak hanya diperlukan oleh orang Islam, tetapi juga
diperlukan oleh setiap manusia, karena kajiannya terkait dengan peredaran
planet yang menyebabkan terjadi perubahan dan pergantian keadaan di
bumi, umpamanya dari malam berubah menjadi siang atau dari musim
panas berubah menjadi musim hujan. Perubahan itu ada hubungan dengan
aktivitas kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu, ilmu mempunyai arti
penting dan diperlukan oleh manusia sepanjang masa dan zaman.
BAB III
ILMU FALAK (ASTRONOMI) DI INDONESI A
A. Sejarah Perkembangan Ilmu Flak (Astronomi) di Indonesia.
Sejak agama Hindu masuk kewilayah Nusantara, masyarakat sudah
mengenal penanggalan dan menggunakannya, kemudian disusul masuknya
penanggalan Islam. Penanggalan Hindu dijadikan panduan dan pegangan
masyarakat Nusantara dalam beraktivitas. Pada waktu Sultan Agung
berkuasa di Kejaan Islam Demak,1 ia gabungkan penanggalan Hindu
menjadi penanggalan Islam. Apa yang dilakukan Sultan Agung merupakan
bukti bahwa penguasa (Sultan) mengetahui dan mengusai ilmu falak.2
Pada tahun 1314 H/1896 M, seorang Ulama dari Mesir yang bernama
Abdurrahman bin Ahmad al-Misri datang ke Jakarta, membawa zaj (tabe
astronomi) yang diciptakan Ulugh Bek (w. 798 H /1420 M), dan ia
langsung yang mengajarkannya kepada para ulama muda Nusantara.3
Di antara ulama muda yang belajar dengan Abdurrahman bin Ahmad
al-Misri yaitu Ahmad Dahlan as-Simarani atau dikenal dengan Ahmad
DahlanTermas (w. 1329 H/1911 M) dari Semarang dan menetap di
Termas, dan Usman bin Abdillah bin ‘Aqil bin Yahya yang dikenal dengan
1 Kalendar Hindu dikenal juga dengan Kalendar Jawa Kuno atau disebut jua kalender tahun Caka.
Tahun Caka merupakan penanggalan tua yang ada di Indonesia. Di Indonesia terdapat sekurangnya
empat kalender atau tahun yang menjadi pegangan dan pedoman dalam melaksankan baerbagai
kegiatan termasuk pelaksanaan ritual keagamaan. Keempat kalender tersebu, Kalender Cina (2055),
Kalender Caka (1933), Kalender Masehi (2011) dan Kalender Islam (1432). Tahun (kalender) China
penerapannya dihubungkan penentuan Sio seseorang. Menentukan Sio tanggal lahir dihubungkan
dengan tahun dan akan ditemukan sionya. Contoh orang yang lahir 31 Januari 1900-18 Pebruari
1901, sionya tikus. Orang yang memiliki sio tikus menjadi orang agresif , ambisius, pekerja keras,
ulet dan bisa menyesuaikan diri serta tegar dalam menghadapi kesulitan. Orang dengan sio tikus
dapat menjadi penasehat yang sempurna. Lihat, Sabrina Liao, Op cit., h. 11-29.
2 Diperkirakan sebelum Islam masuk ke Indonesia ilmu falak praktis sudah dikenal masyarakat.
Kemudian, ketika Islam masuk ke Indonesia antara abad ke 9-13 M. ilmu falak dijadikan pedoman
dalam penetapan ibadah. Berdasarkan suatu naskah, bahwa kesultanan Perlak (Aceh) telah berdiri
sejak tahun 225 H/ 840 M. Bahkan disebutkan dalam naskah itu tentang silsilah raja-raja Perlak serta
struktur pemerintahan Islam pertama.Taufik Abdullah dan Muhammad Hisyam, Sejarah Umat Islam
Indonesia, Jakarta, Yayasan Pustaka Umat, 2003, hlm. 9. Ketika orang masuk Islam, setelah
mengucapkan dua kalimat syahadat, ia melaksanakan rukum Islam seperti salat, puasa dan lainnya.
Untuk melaksanakan salat, tentu harus tahu kapan waktu salat zuhur, salat asar, salat magrib, salat
Isya’ dan salat Subuh, dan kapan dimulai puasa Ramadan. -awaban dari pertanyaan-pertanyaan
ini mengandung muatan pengatahuan ilmu falak, karena penggunaan ilmu falak dipisahkan
dengan pelaksanaan ibadah dalam Islam.
3
julukan Mufti Betawi. Kemudian kedua ulama ini mengajarkan ilmu falak
kepada masyarakat. Ahmad Dahlan as-Simarani mengajarkan ilmu falak di
daerah Termas, dan ia menyusun buku ilmu falak yang berjudul “Tazkiratu
al-Ikhwan fi Mabda’ Tawarikhi wa al-Amali al-Falakiyati bi Semarang”
(1321 H/1903 M). Kitab Tazkirah al-Ikhwan ini memuat perhitungan
tentang ijtima’ dan gerhana dengan mabda’ kota Semarang.
Sementara Usman bin Abdillah mengajarkan ilmu falak di daerah
Jakarta. Ilmu falak yang diajarkan Usman ini , dibukukan oleh salah
seorang muridnya yang bernama Muhammad Mansur bin Abdul Hamid
bin Muhammad Dumairi al-Batawi dalam sebuah kitab yang berjudul;
“Sulamun 1ayyirani fi Ma’rifatil Ijtima’ Za kusufaini”. Buku ini memuat
tiga masalah utama; Pertama membahas perhitungan Ijtima’,Irtifa’ hilal,
posisi hilal dan umur hilal. Kedua membahas tentang perhitungan gerhana
bulan, dan Ketiga membahas tantang perhitungan gerhana matahari.4
Kemudian, sekitar awal tahun 1900-an orang Islam dari berbagai
daerah di Nusantara ada yang melanjutkan studi ke Timur Tengah seperti
ke Mekah. Selain mendalami ilmu agama seperti Tafsir, Hadis, Fikih,
Tauhid dan Tasawuf, mereka juga mempelajari ilmu falak. Setelah
menyelesaikan pendidikan, mereka kembali ke Indonesia, ke daerah
asalnya. Mereka mengajarkan ilmu agama dan ilmu falak kepada para
santri di sekolah agama (pesantren) di wailayah Nusantara.
Ilmu falak merupakan salah satu ilmu penting bagi umat Islam,
karena ilmu ini terkait langsung dengan pelaksanaan ibadah dan penetapan
hari-hari besar Islam. Oleh karena itu, ilmu falak menjadi mata pelajaran di
sekolah Agama Islam dan di Pesantren, bahkan menjadi mata kuliah di
perguruan tinggi Agama Islam, khususnya pada Fakultas Syariah, sehingga
dari sana lahirlah Ulama’ yang handal, menguasai ilmu agama yang kuat
dan terampil dalam penguasaan ilmu falak (ahli falak).5
4 Muhammad Mansur bin Abdul Hamid, Sulam 1ayyirani fi Ma’rifatil Ijtima’ Za kusufaini,
t.tp.,Al--ami’ al-Mazkur, t.th, h. 1-3.
5 Setelah keluar SK. Tiga menteri tahun 1978 tentang kurikulum pendidikan pada sekolah agama
Islam dan Pesantren lmu falak tidak menjadi mata pelajaran yang diajarkan di Pesantren atau di
Sekolah Agama Islam. Kalau pada sekolah Agama Islam atau Pesantren melihat bahwa mata
pelajaran itu penting, diajarkan, tetapi melihat bahwa mata pelajaran itu tidak penting, tentu tidak
diajarkan. Dampak dari itu, yaitu terhenti atau tidak ada lagi generasi muda yang mengetahui
ilmu falak, disisi lain, persoalah ilmu falak semakin besar dan kompelek. Permasalahan klasik
muncul kepermukaan, seperti penentuan arah, kiblat, awal Puasa Ramadan, hari raya ( idul fitri
dan idul adha) diberbagai daerah. Di antara organisasi Islam (Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah,
Perti dan Majelis Ulama terlibat dalam persoalan klasik ini , Pemerintah, dalam hal ini
Departemen Agama RI. tidak dapat berbuat banyak, karena tidak mempunyai sumber daya
manusia yang handal dalam bidanga ilmu falak, dan umat Islam (orang awam) bingung. Melihat
62
Selain di Jawa, di Sumatera lahir pula tokoh-tokoh ilmu falak, di
antaranya Syekh Tahir djalaluddin dengan buku karyanya “3ati Kiraan”
dan Syekh Djamil Djambek dengan karyanya “Almanak Jamiliyah”.
Tokoh-Tokoh ilmu falak ini dengan penuh kesungguhan dan
keikhlasan mengajarkan dan mengembangkan ilmunya sehingga lahirlah
ahli falak diberbagai daerah di Nusantara. Buku-buku ilmu falak hasil
karya mereka pada umumnya menggunakan tabel astronomi Ulugh Beek
As-Samarkandi. Dalam melakukan perhitungan, mereka menggunakan
cara perhitungan biasa yaitu menggunakan tambah (+), kurang ( -), kali (x)
dan bagi (:). Begitu pula ketika menghitung ketinggian (irtifa’) matahari
dan hilal menggunakan cara yang sederhana, yaitu waktu terbenam
matahari dikurang dengan saat terjadi ijtimak dan kemudian dibagi dua.
Hasil perhitunngan perhitungan seperti itu, sering berbeda dengan
kenyataan di lapangan. Oleh sebab itu ahli falak modern
mengkalsifikasikan sistem hisab seperti itu sebagai “+isab hakiki taqribi”,
karena hasilnya menunjukkan tingkat akurasi yang lemah (perkiraan).6
Kegigihan tokoh-tokoh falak dalam mengembangkan ilmunya,
melahirkan generasi falak diberbagai daerah dengan membawa teori-teori
baru, di antaranya;
KH. Muhammad Maksum bin Ali dari Jombang Jawa Timur (w. 1351
H/1933 M) menyusun buku ilmu falak dengan judul “Badi’atul Misli fi
+isāb al-Sinin wa al-Hilal”. Perhitungan dalam buku ini menggunakan
rumus segitiga bola, dan data yang digunakan yaitu data astronomi,
hanya saja penyelesaiannya dengan menggunakan Rubu’ Mujayab,
sehingga hasil yang dicapai juga kurang akurat. Ketidak akuratan ini
disebabkan adanya kesulitan dalam mengoperasikan Rubu’Mujayab.7
Kemudian muncul nama KH. Zubair Umar al-Jailani dari Bojonegoro
(w.1401 H/1990 M). Ia menulis buku ilmu falak yang berjudul; “Al-
Khulasatu Wafiyyah fi Falak bijadZa lil /ugharitmiyyah”. Buku ini
dipandang cukup lengkap, di dalamnya memuat perhitungan penanggalan
secara urfi, pengetahuan teoritis falakiyah, pendapat para ahli falak
keadaan seperti demikian, pemerintah mengambil sikap, dengan membuat data ahli falak di
berbagai daerah yang masih hidup, dan diundang untuk memberikan ilmu kepada ormas Islam
melalui penetaran
6 Muhyiddin Khazin, Op cit., h. 22.
7 Menurut Husain Zaid bahwa perhitungan dengan menggunakan logaritma tidak diragukan akan
tingkat keakuratannya, sebab pada dasarnya sinus sama dengan jaib dan tangens sama dengan
Dhil. Menurutnya bahwa penggunaan logaritme tidak berbeda dengan perhitungan Rubu’
Mujayyab, karena keduanya menggunakan satu metode yaitu segitiga bola. Syekh Muhammad
Ma’sum bin Ali, Durusul Falakiyah ( diterjemah oleh Abdul Khaliq), ttp., tp., t.th., h. 1.
63
(astronomi) masa lalu, bumi dan geraknya, bulan dan geraknya, planet-
planet lain dan geraknya, perhitungan arah kiblat, perhitungan waktu
shalat, perhitungan awal bulan (ijtima, irtifa hilal, posisi dan umur hilal
dan perhitungan gerhana bulan dan gerhana matahari.8 Pembahasan dalam
buku ini dapat dikatakan lengkap, karena masalah pokok dalam kajian
ilmu falak dibahas dalam buku ini. Selain itu, perhitungan ketingian hilal
menggunakan rumus segitiga bola, dan penyelesaiannya menggunakan
logaritma, maka hasil yang dicapai dengan metode ini dipandang cukup
akurat. Buku-buku ilmu falak yang ditulis para ahli falak pada zaman itu
mendorong percepatan perkembangan ilmu falak di Indonesia. Oleh karena
itu, jasa ulama dan falaki sangat besar dalam meletakkan dasar-dasar ilmu
falak sebagai pedoman bagi generasi berikutnya.
Kuat dugaan bahwa kegiatan hisab dan rukyat sudah dimulai sejak
Islam masuk ke Nusantara. Ketika masyarakat menerima ajaran Islam
seperti shalat dan puasa, mereka bertanya tentang pelaksanaannya, kapan
masuk waktu shalat dan kemana menghadap ketika shalat serta kapan
masuk puasa Ramadan. Semua pertanyaan itu, isi jawabannya yaitu
muatan ilmu falak, karena menentukan masuk waktu shalat dan awal bulan
Kamariah (Ramadan dan Syawal) ditetapkan berdasarkan ilmu falak,
demikian pula penentuan arah kiblat.
Pada awalnya, penetapan waktu shalat dan awal bulan Kamariah
(Ramadan dan Syawal) dilakukan berdasarkan ketentuan fikih. Penetapan
waktu shalat dilakukan dengan berpedoman kepada bayangan matahari.
Shalat zuhur masuk ditandai dengan tergelincir matahari, shalat ashar
masuk ketika bayangan matahari melebihi panjang sebatang tongkat,
waktu maghrib masuk ketika matahari sempurna terbenam, waktu isya’
masuk ketika syafak mereh telah hilang dan waktu shubuh masuk ketika
terbit fajar sadik. Untuk menentukan awal Ramadan dan Syawal dengan
cara melihat hilal pada tanggal 29 Sya’ban dan 29 Ramadan.9
Pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara berkuasa, umat
Islam sudah terlibat dengan ilmu falak, hal itu ditandai dengan
penggunaan penaggalan kalender Hijriyah. Semula masyarakat Islam
Nusantara dalam menetapkan awal bulan Kamariah dilakukan dengan
sangat sederhana, umpamanya pada tanggal 29 Sya’ban atau 29 Ramadan
saat matahari terbenam, mereka pergi ketepi pantai atau kegunung atau ke
tempat yang tinggi untuk melihat langsung keberadaan hilal.
Setelah umat Islam mengenal ilmu falak dan mampu menghitung
posisi hilal dengan rumus yang dibuat para ahli, maka kegiatan
pelaksanaan rukyat secara bertahap mengalami perkembangan. Rukyat
tidak lagi didasarkan kepada perkiraan semata, tetapi sudah didasarkan
kepada perhitungan ahli hisab dengan menggunakan rumus dan kaedah
tertentu sepeti rumus matematika dan kaidah segitiga bola, dibantu dengan
alat seperti kalkulator, daftar logaretma, kompas dan rulbusur serta
dilengkapai dengan data koordinat Mekah (lintang dan bujur), koordinat
daerah (lintang dan bujur), deklinasi matahari dan matahari berada dititik
kulminasi.
Pada waktu akan berakhir kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam
diberbagai daerah di Nusantara, umat Islam menggunakan hisab sebagai
metode penetapan arah Kiblat, waktu shalat dan awal bulan Kamariah
(Ramadan, Syawal dan Zulhijah) serta penggunaan Kalender Hijriyah
sebagai Kalender resmi.10 Pada masa penjajahan Belanda, terjadi
perubahan penggunaan Kalender resmi Pemerintah, semula yang berlaku
Kalender Hijriyah diganti dengan Kalender Masehi.
Walaupun Pemerintah Belanda menggunakan Kalender Masehi
dalam kegiatan administerasi Pemerintahan, umat Islam tetap
diperkenankan menggunakan Kalender Hijriyah dalam kegiatan sehari-
hari, terutama di daerah-daerah kekuasaan kerajaan Islam. Penggunaan
penanggalan Islam pada kerajaan Islam tidak dilarang oleh Pemerintah
Colonial Belanda, penggunaan atau penetapannya diserahkan kepada
Sultan kerajaan-kerajaan Islam di berbagai daerah, terutama penetapan
hari-hari besar Islam dan yang ada hubungan dengan persoalan ibadah,
seperti penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah.11
Jadi, sebelum penanggalan Islam masuk ke Nusantara, sudah ada
penanggalan Hindu di wilayah Nusantara, kemudian disusul penanggalan
Islam, dan terakhir masuk penaggalan Masehi yang dibawa oleh Colonial
Belanda.
Pada waktu Sultan Agung berkuasa di kerajaan Islam Demak,12 ia
membuat kebijakan yaitu penaggalan Hindu dijadikan penanggalan Islam.
65
Kebijakan yang dilakukan Sultan Demak itu didasarkan kepada sistem
perhitungan ilmu falak.13 Keberanian Sultan Agung menggabungkan
penanggalan Hindu Jawa yang dikenal penaggalan tahun Caka dengan
penanggalan Islam (Hijriyah) merupakan peristiwa penting dan bersejarah
dalam penanggalan Kalender di Nusantara.
Penanggalan Hindu Jawa diubah sistemnya oleh Sultan Agung
menjadi penanggalan Jawa Islam. Usaha yang dilakukan Sultan Agung
menunjukkan betapa pentingnya penaggalan dalam kehidupan masyarakat.
Penanggalan tidak hanya sebagai pedoman untuk kegiatan ibadah dan hari-
hari besar Islam, tetapi lebih dari itu untuk panduan dalam beraktifitas.
Keberaniaan Sultan Agung merubah penaggalan Hindu menjadi
penaggalan Jawa Islam merupakan kemajuan besar penanggalan di
Nusantara yang dicatat sejarah.
Perkembangan ilmu falak di Sumatera, tidak terlepas dari pemikiran
Ahmad Khatib Minangkabau. Ahmad Khatib dilahirkan di Bukittinggi,
Sumatera Barat. Ia seorang ‘alim dalam ilmu fikih dan ahli dalam ilmu
falak yang menghasilkan kitab ilmu falak. Pada awalnya, Ahmad Khatib
bermukim di Mekah untuk belajar agama, tetapi karena kecerdasannya
dalam menguasai ilmu agama, ia diangkat sebagai imam besar Masjid al-
Haram di Mekah dalam mazhab Syafi’i.
Ahmad Khatib Minangkabau mengisi waktu hidupnya di Mekah
sebagai guru, imam besar Masjid al-Haram dan menulis kitab dalam
bidang fikih dan ilmu falak. Para pelajar Nusantara yang menuntut ilmu di
Mekah, mereka bertemu dengan Ahmad Khatib Minangkabau dan
menimba ilmu agama serta belajar ilmu falak dengannya. Di antara pelajar
Nusantara yang belajar dengan Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Taher
Jalaluddin, Syekh Jamil Jahol (pimpinan Persatuan Tarbiyah Islamiyah),
Syekh Muhammad Jamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa, H. Ahmad
Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri
Pondok Pesantre Tebuireng dan pimpinan Nahdhatul Ulama’).14
Pada awal abad ke 20-an muncul ahli falak di Sumatera yang
pemikirannya mendunia seperti Syekh Djamil Djahol, Syekh Djamil
Djambek, Syekh Ibrahim Musa dan Syekh Tahir Djalaluddin. Buku-buku
ilmu falak hasil karya mereka, pada umumnya masih menggunakan tabel
astronomi Ulugh Beek As-Samarkandi.
Dalam melakukan perhitungan, mereka tidak menggunakan rumus
segitiga bola, tetapi hanya dengan cara perhitungan biasa saja, yaitu
menggunakan tambah (+), kurang ( -), kali (x) dan bagi (:). Begitu pula
ketika menghitung ketinggian (irtifa’) hilal menggunakan cara yang
sederhana, yaitu waktu terbenam matahari dikurang dengan saat terjadi
ijtimak dan kemudian dibagi dua. Hasil perhitunngan seperti itu sering
berbeda dengan kenyataan di lapangan. Oleh itu, ahli falak modern
mengkalsifikasikan sistem hisab seperti itu sebagai “+isab hakiki taqribi”,
karena hasil perhitungannya menunjukkan tingkat akurasinya lemah
(perkiraan).15
Kerja keras dan kesungguhan para tokoh falak di Jawa dan Sumatera
membuahkan hasil. Pada tahun 1930-an lahir ahli falak diberbagai daerah
dengan membuat rumus dan teori-teori baru serta menulis kitab falak.
KH. Muhammad Maksum bin Ali dari Jombang Jawa Timur (w. 1351
H/1933 M) menyusun buku ilmu falak dengan judul “Badi’atul Misli fi
+isāb al-Sinin wa al-+ilal”. Perhitungan dalam buku ini menggunakan
rumus segitiga bola, dan data yang digunakan yaitu data astronomi, tetapi
penyelesaiannya dengan menggunakan Rubu’ Mujayab, sehingga hasil
yang dicapai kurang akurat. Ketidak akuratan ini disebabkan adanya
kesulitan dalam mengoperasikan Rubu’ Mujayab.16
Kemudian muncul KH. Zubair Umar al-Jailani dari Bojonegoro
(w.1401 H1990 M). Ia menulis buku ilmu falak yang berjudul “Al-
Khulasatu Wafiyyah fi Falak bijadwa lil Lugharitmiyyah”. Buku ini
dipandang cukup lengkap, karena menjelaskan perhitungan penanggalan
secara urfi, pengetahuan teoritis falakiyah, pendapat para ahli falak
(astronom) masa lalu, bumi dan geraknya, bulan dan geraknya, planet-
planet lain dan geraknya, perhitungan arah kiblat, perhitungan waktu salat,
perhitungan awal bulan Kamariah (ijtima, irtifa hilal, posisi dan umur hilal
dan perhitungan gerhana bulan dan gerhana matahari).17
Pembahasan dalam buku ini dapat dipandang lebih baik, karena
masalah pokok dalam kajian ilmu falak dibahas secara lengkap, seperti
menghitung ketingian hilal menggunakan rumus segitiga bola dan
menggunakan logaritma, maka hasil yang dicapa dipandang cukup akurat.
Buku-buku ilmu falak yang ditulis para ahli falak pada zaman ini
mendorong percepatan perkembangan ilmu falak di Indonesia. Jasa ulama
dan sumbangan pemikiran falaki sangat besar dalam meletakkan dasar-
dasar ilmu falak sebagai pedoman bagi generasi berikutnya. Perlu dicatat
bahwa tokoh-tokoh ilmu falak di Indonesia, juga ulama yang berpengaruh
dalam masyarakat, sehingga seorang falaki juga seorang ulama.
Perkembangan falak di Nusantara sampai abad ke 19 tidak terlepas dari
pengaruh falak negara-negara Islam lain. Di Sumatera pengaruh falak
Syekh Ahmad Khatib Minangkau sangat mendominasi pemikiran falak
genarasi berikutnya. Metode yang dikembangkan Syekh Ahmad Khatib
dalam menetapkan arah Kiblat, waktu shalat dan awal bulan Kamariah
(Ramadan’ Syawal dan Zulhijah) berdasarkan hisab. Hal itu dapat dilihat
metode yang digunakan Syekh Djamil Djambek, Syekh Taher Jalaluddin
dan KH. Ahmad Dahlan, mereka yaitu murid syekh Ahmad Khatib
Minangkau. Kemudian dari mereka lahir tokoh falak kenamaan di
Indonesia seperti Saadoe’ddin Djambek. Pemikiran falak negara-negara
Islam luar sangat terasa sampai awal abad ke duapuluh, seperti kitab
Sullamun Nayyirain karya Muhammad Mansur bin Abdul Hamid bin
Muhammad Damairy al-Batawi (tahun 1925) terpengaruh dengan sistem
hisab Ulugh Bek.18
Setelah mengalami kemunduran selama ratusan tahun, kemudian Ilmu
falak (astronomi Islam) di dunia Islam mulai berkembang yang ditandai
dengan lahirnya ahli falak di negara-negara Islam, walaupun secara jujur
diakui jumlah mereka sangat kecil dibanding dengan ahli ilmu-ilmu lain,
termasuk di Indonesia. Kemudian, di Indonesia dibentuk Badan Hisab &
Rukyat dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah (Provinsi dan
Kabupaten/Kota). Badan Hisab & Rukyat melakukan berbagai kegiatan
seperti pelatihan seminar dan konfrensi tentang ilmu falak, baik tingakat
daerah, tingkat pusat, tingkat asian maupun tingkat dunia.
Pada tahun 1978 diadakankan Muktamar penyatuan kalender Hijriah
Internasional di Istambul, Turki (28 Nopember 1978) bekerjasama dengan
organisasi Islam Rabithah Alam Islami. Selain itu dibagun lembaga
observasi hilal (Islamic Crescents Observation Project yang berkedudukan
di Yordania.19 Kemudian dibentuk pula suatu badan Hisab & Rukyah antar
Negara ASIAN yang diberi nama MABIMS (Malaysia, Indonesia, Berunai
dan Singapora).20 MABIMS menyelenggarakan pertemuan regional ahli
falak pada tahun 1992 (1-5 Juli 1992) dengan kegiatan pokok penetapan
takwim Hijriah 1414-1442 H/1993-2020 M, yang diadakan di Indonesia,
dihadiri utusan dari Malaysia dan Singapora bertempat di Jakarta, yang
diperakarsai oleh Departeman Agama Republik Indonesia. Peran Badan
Hisab & Rukyat sangat penting dan besar dalam mengembangkan ilmu
falak, khususnya di Indonesia.
B. Perkembangan Badan His ab dan Rukyat
1. Badan Hisab dan Rukyat Era Tahun 19 72 - 2004 .
Sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam berkuasa di Nusantara, umat
Islam sudah menggunakan penanggalan Islam (penanggalan Hijriah) yang
dijadikan sebagai penanggalan resmi. Setelah penjajah Colonial Belanda
masuk ke Nusantara, penanggalan Islam diganti dengan penanggalan
Masehi digunakan untuk kegiatan administrasi Pemerintah Belanda dan
dijadikan sebagai penanggalan resmi. Tetapi pemerintah Belanda
membolehkan penggunaan penaggalan Islam yang terkait dengan persoalan
ibadah dan hari besar Islam, dimana pengaturannya diserahkan kepada
sultan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah yang dilakukan oleh
para Sultan daerah pada daerah kekuasaan kerajaan Islam di Nusantara tidak
terjadi perbedaan dikalangan ahli falak. Pada kerajaan Islam, Sultan
memegang otoritas tertinggi dalam semua masalah, termasuk penetapan
awal bulan Kamariah (Ramadan, Syawal dan Zulhijah). Keputusan Sultan
yaitu muktamat, harus diikuti oleh semua orang dan tidak boleh diingkari.
Kepatuhan rakyat menerima dan melaksanakan keputusan Sultan
dalam penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah, sulit dipertahankan
pada masa kemerdekaan. Penyebabnya pertama, berbeda metode yang
digunakan ahli falak dalam penetapan awal bulan, sebagian falaki
menggunakan metode hisab dan falaki yang lain menggunakan metode
rukyat. Penggunaan metode yang berbeda, hasilnya sering tidak sama pula,
misalnya menurut hisab hilal sudah di atas ufuk, tetapi berdasarkan rukyat
bulan belum kelihatan. Kedua, metode yang digunakan ahli falak sama,
umpamanya menggunakan metode hisab, tetapi berbeda dalam menetapkan
ketinggian hilal di atas ufuk. Sebagian mereka menetapkan hilal minimal 20
di atas ufuk, tetapi sebagian ahli falak yang lain, menetapkan apabila hilal
sudah di atas ufuk, ditetapkan sudah bulan baru.
Kondisi seperti itulah yang berlaku di Indonesia dalam menetapkan
awal bulan Kamariah (Ramadan, Syawal dan Zulhijah). Masing-masing
pihak merasa benar dengan keputusannya dan harus dilaksanakan. Ketika
terjadi perselisihan seperti demikian, pemerintah tidak mengambil sikap
tegas, sehingga terjadi perbedan pelaksanaan puasa Ramadan, ada
masyarakat yang berpuasa lebih awal satu atau dua hari dari masyarakat
lain. Kondisi yang sama juga terjadi pada penetapan Syawal (idul fitri) dan
Zulhijah (idul adha).
2. Proses Pembentukan Badan Hisab dan Rukya
Setelah Indonesia merdeka, secara berangsur penentuan awal bulan
Kamariah mulai mengalami perubahan. Pada tanggal 3 Januari 1946
terbentuk Departemen Agama RI., maka persoalan penetapan awal bulan
Kamariah (1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijah) dan termasuk penetapan
hari-hari besar Islam diserahkan kepada Departemen Agama RI berdasarkan
Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 2/Um. 7/Um. 9/Um jo Keputusan
Preseden No. 25 tahun 1967, No. 148 tahun 1968 dan No. 10 tahun 1971.21
Pengaturan hari libur dan penetapan awal Ramadan, Syawal dan
Zulhijah berlaku untuk seluruh Indonesia. Meskipun pengaturan itu berada
dibawah kendali Pemerintah (Depertemen Agama RI), namun perbedaan
dalam penetapan awal bulan Kamariah masih terjadi, karena ada dua
metode yang digunakan dalam menentukan awal bulan Kamariah yaitu
metode hisab dan metode rukyat.
Kepatuhan rakyat menerima dan melaksanakan keputusan Sultan seperti
penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah, sulit dipertahankan pada
masa kemerdekaan. Penyebabnya yaitu bila penetapan awal bulan menurut
hisab dan rukyat berbeda (menurut hisab hilal sudah di atas ufuk, tetapi
berdasarkan rukyat bulan belum kelihatan), masing-masing merasa benar
dan harus dilaksanakan. Ketika terjadi perselisihan seperti demikian,
pemerintah tidak mengambil sikap tegas, sehingga terjadi perbedan
pelaksanaan puasa Ramadan, terdapat masyarakat yang lebih dulu berpuasa
dari masyarakat lainnya. Kondisi yang sama juga terjadi pada penetapan
Syawal (idul fitri) dan Zulhijah (idul adha).
Untuk menjaga persatuan dan ukhuwah umat Islam, Departemen
Agama berusaha selalu menjembatani dan menyatukan faham hisab dan
rukyat yang berkembang dalam masyarakat, terutama dikalangan ulama
dengan mengadakan pertemuan, musyawarah, konperensi untuk
membicarakan penetapan hari besar Islam terutama penentuan awal
Ramadan, Syawal dan Zulhijah.
Musyawarah itu dilakukan setiap tahun menjelang tiba bulan Ramadan.
Pada tanggal 12 Oktober 1971 diadakan musyawarah dengan mengundang
ahli hisab dan ahli rukyat yang ada di Indonesia, karena terjadi perbedaan
pendapat dalam penetuan jatuhnya tanggal 1 Ramadan 1391 H. Hasil
musyawarah memutuskan pertama penentuan tanggal 1 Ramadan dapat
disamakan antara ahli hisab dan ahli rukyat, dan kedua mendesak Menteri
Agama membentuk Lembaga Hisab dan Rukyat.22
Musyawarah berikutnya diadakan peda tanggal 20 Januari 1972, untuk
menghadapi penetapan tanggal 1 Zulhijah 1391 terdapat perbedaan.
Musyawarah dapat meredam suasana perbedaan di antara kalngan ahli hisab
dan ahli rukyat, dan anggota musyawarah mengulangi rekomudasinya
supaya Depertemen Agama merealisir dengan cepat terbentuknya Lembaga
Hisab dan Rukyat.23
Untuk mewujudkan keinginan hasil musyawarah itu, terbentuklah
Lembaga Hisab dan Rukyat, dan ditunjuk tim perumus sebanyak lima orang
yang terdiri dari tiga lembaga:
1). Departemen Agama
a) A. Wasit Aulawi, MA
b) H. Zaini Ahmad Noeh
c) Saadoe’ddin Djambek
2). Lembaga Metereologi dan Geofisika
Drs. Susanto
3). Planetarium
Drs. Santoso Nitisastro.24
Rapat tim perumus tanggal 23 Maret 1972 memutuskan:
1) Bahwa tujuan pembentukan Lembaga Hisab dan Rukyat ialah
mengusahakan agar umat Islam bersatu dalam menentukan tanggal 1
Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijah.
2) Bahwa status Badan Hisab dan Rukyat yaitu resmi dan berada di
bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
berkedudukan di Jakarta.
3) Bahwa tugas Badan Hisab dan Rukyat yaitu memberi advis (nasihat)
dalam penentuan awal bulan Kamariah kepada Pemerintah RI
(Menteri Agama).
4) Bahwa keanggotaan Badan Hisab dan Rukyat yaitu terdiri dari,
Aanggota tetap (inti) yang mencerminkan tiga unsur;
a) Unsur Departemen Agama
b) Unsur ahli falak/hisab
c) Unsur ahli hukum Islam (ulama).
Peralatan yang diperlukan Badan Hisab dan Rukyat untuk
melaksanakan tugasnya :
1) Mesin tik
2) Kalkulator
3) Theodolit
4) Alat pemotret
5) Teropong bintang
6) Kompas
7) Tongkat Istiwak
8) Buku-buku
9) Radio
10) Dan lai-lain25
Selanjutnya urusan Badan Hisab dan Rukyat ditangani oleh Direktorat
Peradilan Agama. Pada tanggal 2 April 1972 nama-nama yang ditunjuk
sebagai anggota tetap dan anggota tersebar Badan Hisab dan Rukyat
disampaikan oleh Direktur Peradilan Agama kepada Menteri Agama RI.
Pada tanggal 16 Agustus 1972 keluar SK. Menteri Agama RI. Nomor 76
tahun 1972 tentang Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat Depertemen
Agama yang dictum putusannya sebagai berikut:
Pertama : Membentuk Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI
Kedua : Tugas Badan Hisab dan Rukyat memberikan saran-saran
kepada Menteri Agama dalam penentuan permulaan tanggal
bulan Kamariah.
Ketiga : Kepengurusan Badan Hisab dan Rukyat terdiri dari; Ketua,
Wakil Ketua, Sekretaris, Anggota tetap dan anggota tersebar
(Associte members).
Keempat : Anggota tetap merupakan pengurus harian yang menangani
masalah sehari-hari, sedangkan anggota tersebar bersidang
dalam waktu tertentu menurut keperluan.
Kelima : Anggota tersebar diangkat dengan keputusan tersendiri oleh
Dirjen Bimas Islam.
Keenam : Badan Hisab dan Rukyat dalam melaksanakan tugasnya
bertenggung jawab kepada Direkturat Peradilan Agama.
Ketujuh : Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Anggota tetap diberi
honorarium menurut peraturan yang berlaku.
Kedelapan : Segala pengeluaran dan biaya-biaya dari Badan Hisab dan
Rukyat dibebankan pada Anggaran Belanja Departemen
Agama.
Kesembilan: Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.26
Berikutnya, Menteri Agama RI dengan SK. Nomor 77 tahun 1972
tanggal 16 Agustus 1972 menentukan susunan personalia Badan Hisab dan
Rukyat Departemen Agama RI sebagai berikut:
1) Saadoe’ddin Djambek, -akarta, ketua merangkap anggota.
2) A. Wasit Aulawi, MA, Jakarta, wakil ketua merangkap anggota
3) Drs. Djabir Manshur, Jakarta, sekretaris merangkap anggota.
4) H. Zaini Ahmad Noeh, Jakarta, sebagai anggota.
5) Drs. Susanto, Jakarta, sebagai anggota.
6) Drs. Santoso, Jakarta, sebagai anggota.
7) Rodi Saleh, Jakarta, sebagai anggota.
8) KH. Djunaidi, Jakarta, sebagai anggota.
9) Kapten Laut Muhadji, Jakarta, sebagai anggota.
10) Drs. Penuh Dali, Jakarta, sebagai anggota.
11) Syarifuddin, BA, Jakarta, sebagai anggota.27
Dirjin Bimas Islam dengan Surat Keputusannya Nomor D.I/96/P/1973
tanggal 28 Juni 1973 menetapkan anggota tersebar (tidak tetap) Badan
Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI sebagai berikut:
1) K.H. Muchtar dari PA. di Jakarta
2) K.H. Turaichan Adjhuri dari Kudus
3) KRB. Tang Sobari dari Sukabumi
4) K.H. Ali Yafi dari Ujung Pandang
5) K.H. Abdul Djalil dari Kudus
6) K.H. Wardan dari Yogyakarta
7) Drs. Abdur Rachim dari Yogyakarta
8) Ir. Bachit Wachid dari Yogyakarta
9) Ir. Muchlas Hamidi dari Yogyakarta
10) H. Aslam Z dari Yogyakarta
11) H. Bidran Hadi dari Yogyakarta
12) Drs. Bambang Hidayat dari Bandung/ITB
13) Ir. Hamran Wachid dari Bandung/ITB
14) K.H. KA. Aziz dari Jakarta
15) Ali Ghozali dari Cianjur
16) Banadji Aqil dari Jakarta
17) K. Zuhdi Usman dari PA. Nganjuk
Pada tanggal 23 September 1972, pengurus Badan Hisab dan Rukyat
Departemen Agama RI dilantik oleh Menteri Agama. Menteri Agama RI
dalam pidato pelantikan itu mengatakan, Badan Hisab dan Rukyat dibentuk
dengan pertimbangan bahwa:
Pertama, Masalah Hisab dan Rukyat awal bulan Kamariah merupakan
masalah penting dalam menentukan hari-hari besar umat Islam.
Kedua, Hari-hari besar itu erat hubungannya dengan peribadatan umat
Islam, hari libur, hari kerja, dengan kegiatan perekonomian dan
dengan pergaulan hidup kita, baik antar umat Islam sendiri
maupun antara umat Islam dengan saudara-saudara sebangsa dan
setanah air.
Ketiga, Persatuan umat Islam dalam melaksanakan ibadah perlu dijaga,
karena perbedaan pendapat dapat menimbulkan pertentangan
yang akhirnya dapat melumpuhkan umat Islam dalam
partisipasinya membangun bangsa dan negara.28
Keinginan organisasi dan masyarakat Islam membentuk sebuah badan
yang menangani masalah penetapan bulan Kamariah (Ramadan, Syawal
dan Zulhijah), sudah ada pada waktu terbentuk Departemen Agama RI,
baru terwujud keinginan itu pada tahun 1972, setelah melalui perjuangan
dan proses yang panjang, lebih kurang sselama 26 tahun.
Dua hari setelah Badan Hisab dan Rukyat terbentuk dan diresmikan
oleh Menteri Agama RI, yaitu pada tanggal 25 september, langsung
mengadakan rapat untuk menghadapi puasa Ramadan 1391 H. Pada rapat
pertama itu, yang diundang Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah,
Meteorlogi dan Geofisika, IAIN dan perorangan.29 Kemudian, pada
tanggal 14 Oktober 1972 Badan Hisab dan Rukyat mengadakan rapat
untuk membicarakan satu Syawal 1392 H.
3 . Perkembangan Badan Hisab dan Rukyat (1972 - 2004)
Setelah Badan Hisab dan Rukyat terbentuk dan dilantik oleh Menteri
Agama RI pada tanggal 23 September 1972, pengurus anggota tetap Badan
Hisab dan Rukyat yang diketuai Sa’aduddin Djambek menyusun program
dan melakukan kegiatan, terutama masalah penetapan awal Ramadan,
Syawal dan Zulhijah. Lngkah pertama yang dilakukan, mengadakan
pertemuan-pertemuan dengan anggota tetap, anggota tersebar, ormas
Islam, lembaga hisab, perguruan tinggi dan tokoh falak dari berbagai
daerah, untuk membicarakan perbedaan hasil perhitungan hisab dalam
penetapan awal Ramadan dan Syawal. Usaha yang dilakukan Badan Hisab
dan Rukyat dapat berjalan dengan lancar, tidak mengalami kesulitan,
karena perbedaan dapat disatukan.
Pada tahun 1972, Ketua Badan Hisab dan Rukyat, Sa’aduddin
Djambek menunaikan ibadah haji, sambil mengadakan pertemuan dengan
pengurus lembaga hisab dan Rukyat Arab Saudi, serta mengadakan
peninjauan untuk mempelajari cara pelaksanaan penetapan awal bulan
Kamariah.30 Pada kesempatan itu Sa’aduddin Djambek meneliti letak
georafi Ka’bah. Hasil yang diperoleh menunjukkan Ka’bah terletak pada
21o 25' lintang Utara dan 39 o 50' bujur Timu r.31
29 Rapat membicarakan penetapan awal Ramadan 1391 H, berdasarkan hasil perhitungan yang
disampaikan oleh para ahli, terdapat perbedaan derajat ketinggian hilal, namun akhirnya peserta
rapat sepakat bahwa hilal masih di bawah ufuk. Hasil rapat memutuskan bahwa penetapan awal
Ramadan 1391 H berdasarkan istikmal, yaitu dengan menggenapkan bilangan hari pada bulan
Sya’ban menjadi 30 hari (bilangan hari bulan Sya’ban 29 hari).
30 Departeman Agama RI, Almanak Hisab dan Rukyat, Op cit., h. 27.
31 Departeman Agama TI, Pedoman Penentuan Arah Kiblat, (Jakarta: Derektorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Isalam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994/1995), h.
16. Setelah pulang dari Mekah, Sa’aduddin Djambek memerintahkan kepada Drs. Abdur Rachim di
Yogyakarta dan kepada KH. Tangshoban di Sukabumi untuk merobah data lintang dan bujur
Ka’bah di daerah ini .
75
Pada tahun 1973, pengurus Badan Hisab dan Rukyat melakukan
kunjungan ke Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Pelembang,
Sumatera Barat dan Aceh untuk menemui dan mendata para Ahli hisab.
Kemudian pada tanggal 5-6 Juli 1974, Dirjen Peradilan Agama RI dan
Badan Hisab dan Rukyat menyelenggarakan musyawarah yang pesertanya
terdiri dari semua anggota Badan Hisab dan Rukyat pusat dan daerah serta
wakil dari Organisasi Islam, Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, Pimpinan
Muhammadiyah, Pengurus Besar al-Irsyad, Dewan Da’wah, Pimpinan
Besar al-Ittihadiyah, lembaga ilmu falak dan hisab HMI. Hasil
musyawarah merumuskan dan memutuskan;
Pertama, menyambut baik gagasan Menteri Agama RI, agar Badan Hisab
dan Rukyat melakukan penjajakan kerjasama dengan Malaysia
dan Singapora di bidang Hisab dan Rukyat.
Kedua, agar Badan Hisab dan Rukyat lebih disempurnakan dan
dikembangkan serta dilengkapi, antara lain:
1) Memodernisasi alat-alat yang diperlukan untuk melakukan observasi
(rukyat).
2) Melengkapi alat-alat yang diperlukan untuk melakukan hisab.
3) Melengkapi referensi perpustakaan.
4) Mengadakan pertemuan rutin dilakukan secara terjadwal, minimal satu
bulan sekali antara anggota tetap, minimal enam bulan sekali dengan
anggota tersebar dan satu tahun sekali dengan semua anggota Badan
Hisab dan Rukyat tetap dan tersebar, alim ulama dan ormas Islam.
5) Melakukan kaderisasi dan pendidikan.
6) Menerbitkan brosur.
Berikutnya, pada tanggal 9-11 Juli 1974 Badan Hisab dan Rukyat
mengadakan pertemuan dan musyawarah dengan pengurus Hisab dan
Rukyat negara Malaysia dan Singapura, dilaksanakan di Jakarta,
Indonesia sebagai tuan Rumah. Hasil keputusan musyawarah
menetapkan antara lain:
1) Mengadakan kerja sama antara Indonesia, Malaysia dan Singapura,
dalam bidang Hisab dan Rukyat.
2) Mengadakan pertukaran informasi mengenai Hisab dan Rukyat, kaidah-
kaidah yang digunakan dan istilah-istilah Falak syar’iy.
3) Mengadakan pertemuan lanjutan mengenai Hisab dan Rukyat antara
negara Indonesia, Malaysia dan Singapura secara bergilir.
76
4) Memperluas kerjasama dalam bidang Hisab dan Rukyat dengan negara-
negara Islam.32
Musyawarah ini sangat mengembirakan dan sekaligus
mengangkat citra Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI,
karena telah mampu memperluas jangkauaannya dengan negara Malaysia
dan Singapura, dibidang ilmu Hisab dan Rukyat untuk menentukan awal
bulan Ramadan, Syawal dan hari-hari besar Islam. Pertemuan tiga negara
itu terus berlajntut, bahkan pada pertemuan berikutnya diikuti oleh
beberapa lain.
Perkembangan selanjutnya, pada tanggal 26 April 1976, Badan Hisab
dan Rukyat mengirim surat kepada ahli hisab di daerah-daerah agar
mereka menghitung jatuh satu Syawal dan satu Zulhijat 1397 H (1977
M), dan dikirim ke Pengurus Badan Hisab dan Rukyat di Jakarta.
Hasil perhitungan ini dijadikan bahan dalam musyawarah Hisab
dan Rukyat yang diselenggarakan Direktorat Jinderal Bimbingan
Masyarakat Islam pada tanggal 9-11 Maret 1977 di Jakarta.
Tujuan diadakan musyawarah yaitu ;
Pertama, untuk membahas masalah hasil Hisab menghadapi penetapan
awal Syawal 1397 H, karena diperkirakan hilal pada saat itu
berada dalam kondisi kritis, membuka peluang terjadi
perbedaan penetapan awal Syawal 1439 H
Kedua, membahas masalah penetapan sepuluh Zulhijah, kaitannya
dengan wukuf di Arafah di Mekah dan hari raya Adha.
Ketiga, Meluruskan pemikiran dan pendapat sebagian masyarakat yang
menginginkan hari raya Adha di wilayah Indonesia disesuaikan
dengan hari raya Adha di Mekah, sehingga penetapan tanggal
satu dan Sembilan Zulhijah tidak lagi ditetapkan berdasarkan
hisab dan rukyat.
Keempat, diharapkan melalui musyawarah itu dapat menambah
pengetahuan, wawasan dan menyatukan pendapat yang berbeda
dikalangan ahli hisab dalam penetapan awal Syawal dan 10
Zulhijah 1439 H.
Peserta yang diundang dalam musyawarah ini terdiri dari unsur,
1) Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama.
2) Anggota Badan Hisab dan Rukyat Pusat.
3) Anggota Badan Hisab dan Rukyat Daerah.
4) Organisasi Islam, dan
5) Perorangan.
Hasil keputusan musyawarah menetapkan;
1) Pada tanggal 13 September dan 11 Nopember 1977, dilakukan rukyatul
hilal.
2) Menganjurkan kepada ahli hisab yang menetapkan awal Syawal
berdasarkan perhitungan dengan sistem ijtimak, supaya berhari raya
(idul fitri) pada hari Kamis tanggal 15 September 1977 M.
3) Hari raya Adha dilaksanakan berdasarkan keputusan Pemerintah
Indonesa.
Peserta musyawarah mengusulkan kepada Pengurus Badan Hisab dan
Rukyat pusat dan Pemerintah sebagai berikut;
a) Badan Hisab dan Rukyat meningkatkan kwalitas hasil hisab dan
rukyat, dan menemukan titik perbedaan antara keduanya.
b) Departemen Agama RI menyediakan Beasiswa untuk belajar
astronomi di Institut Tehnelogi Bandung (ITB).
c) Supaya Departemen Agama RI menjalin hubungan kerjasama dengan
negara-negara Islam dalam rangka tukar-menukar informasi,
khususnya dengan Kerajaan Arab Saudi tentang penetapan awal
bulan Kamariah.
d) Supaya Departemen Agama RI membentuk satu tim untuk
mempelajari keputusan majma’ al-Buhus al-Islamiyah tahun 1966.
e) Kebijakan Pemerintah supaya menghargai dan memberikan
kesempatan kepada orang atau kelompok masyarakat yang yang
berbeda penetapan hari rayanya dengan keputusan Pemerintah
(Departemen Agama RI).
Setelah berjalan beberapa tahun, susunan personalia Badan Hisab dan
Rukyat dilakukan perombakan. Pada awal terbentuk Badan Hisab dan
Rukyat, Sa’aduddin Djambek ditetapkan sebagai ketua dan Direktur
Peradilan Agama sebagai wakilnya. Padahal Badan Hisab dan Rukyat itu
dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Direktur
Peradilan Agama berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 76 tahun
1977. Artinya, secara tidak langsung ketua melapor kepada wakilnya. Untuk
menghilangkan kejanggalan itu, Menteri Agama dengan Surat
Keputusannya No. 10 tahun 1976, melakukan perubahan susunan personalia
Badan Hisab dan Rukyat yaitu Direktur Peradilan Agama menjadi ketua dan
Sa’aduddin Djambek sebagai wakilnya.
Kemudian, dengan pertimbangan telah wafat dan pindah tugas beberapa
orang personalia Badan Hisab dan Rukyat, maka dengan Keputusan Menteri
Agama No. 38 tahun 1980 diadakan perubahan dan tambahan susunan
78
personalia Badan Hisab dan Rukyat. Susunan personalia yang baru sebagai
berikut:
1) H. Ichtijanto, SA, SH : sebagai ketua merangkap anggota.
2) Drs. Abdur Rachim : Wakil merangkap anggota (IAIN)
3) Drs. Supangat : Sekretaris merangkap anggota (Depag)
4) H. Zaini Ahmad Noeh : Sebagai anggota (Depag)
5) H. A.Wasit Aulawi, MA : Sebagai anggota (IAIN)
6) Drs. Susanto : Sebagai anggota (Meteorologi)
7) Drs. Darsa : Sebagai anggota (Planetorium)
8) K. M. A. Djunaidi : Sebagai anggota (Hakim)
9) Mayor Laut Muhadji : Sebagai anggota (TNI)
10) Syarifuddin, Bc,Hk : Sebagai anggota (TNI)
11) H. Rodhi Saleh : Sebagai anggota (Guru Agama)
12) Banadji Aqil : Sebagai anggota (Hakim)
13) Drs. Wahyu Widiyana : Sebagai anggota (Peradilan Agama).
Setiap tahun Direktorat Pembinaan Badan Hisab dan Rukyat
Depertemen Agama, mengumpulkan ahli hisab untuk membantu menyusun
program kegiatan Badan Hisab dan Rukyat, dan untuk menyelesaikan
masalah yang terkait dengan hisab. Kegiatan ini berlangsung sejak
tahun 1978, dengan melakukan musyawarah dan mengevaluasi pelaksanaan
kegiatan hisab.
Hasil yang telah dicapai oleh Badan Hisab dan Rukyat Depertemen
Agama sebagai berikut:
1) Menentukan arah Kiblat ibu kota Provinsi seluruh Indonesia.
2) Menentukan arah Kiblat kota-kota besar tertentu di luar negeri.
3) Menentukan waktu terjadi bayangan benda searah dengan Kiblat,
dilakukan setiap tanggal satu bulan Syamsiah, untuk ibu kota Provinsi
seluruh Indonesia.
4) Membuat daftar imsakiyah Ramadan untuk ibu kota Provinsi seluruh
Indonesia.
5) Membuat jadwal waktu salat untuk ibu kota Provinsi seluruh Provinsi.
6) Membuat jadwal waktu salat kota-kota penting di luar negeri.
7) Menentukan saat terjadi ijtima’ dan tinggi hilal pada setiap awal bulan
Kamariah.
8) Membuat garis batas tanggal pada peta dunia setiap awal bulan Kamariah.
9) Menghitung ketinggian hilal setiap awal bulan Kamariah.
79
10) Melihat ketinggian hilal pada saat matahari terbenam selama bulan
Ramadan di pos observasi Pelabuhan Ratu.33
Pada bulan Nopember tahun 1978, ketua Badan Hisab dan Rukyat
menghadiri Konperensi penetapan awal bulan Kamariah di Istambul Turki.
Delegasi Indonesia dalam Konperensi itu menyampaikan kertas kerja yang
intinya, penetapan awal bulan Kamariah ditinjau dari segi hukum dan dari
astronomi.34 Hasil Konperensi menetapkan;
a). Penetapan awal bulan Kamariah menurut Syari’at Islam yaitu dengan
rukyat.
b). Ahli hisab yang mengitung posisi hilal pada setiap akhir bulan,
hendaknya dipekai pedoman posisi hilal di atas ufuk saat matahari
tenggelam (rukyat hukumiyah).
c). Syarat pokok hilal dapat diobservasi (dilihat), jarak titik pusat bulan dan
matahari tidak kurang dari 7o - 8o, dan tinggi hilal saat matahari
tenggelam tidak kurang 5o di atas ufuk.
d). Hasil rukyat pada suatu tempat, sama dengan di tempat lain.
e). Konperensi sepakat membuat Kalender Hijriyah Internasional yang
berlaku untuk umat Islam seluruh dunia.35
Kemudian, pada bulan April 1980, diselenggarakan Konperensi
Kalender Hijriyah di Istambul Turki. Delegasi Indonesia diwakili ketua
Badan Hisab dan Rukyat. Konperensi membahas tentang pemberlakuan
tahun Hijriyah yang terkait dengan ibadah di seluruh dunia. Menaggap hal
itu, anggota Konperensi terpecah menjadi tiga kelompok.
a). Delegasi dari Turki, al-Jazair dan Tunisia, berpegang pada hisab.
b).Delegasi dari Arab Saudi, berpegang kepada rukyat. Rukyat dipahami
sebagai rukyat bi al-fi’li yang diisbatkan oleh Pemerintah.
c). Delegasi dari Indonesia dan Banglades, melihat bawah sistem yang
dipandang tepat yaitu nash yang menyebutkan dengan rukyat diawal
dengan hisab. Karena kedua metode (rukyat dan hisab) sama-sama
berupaya untuk menentukan awal bulan dan waktu yang terkait dengan
ibadah.
Hasil konperensi menetapkan;
1). Merekomudasikan penyatuan hari raya dan penyeragaman penetapan
awal tahun Hijriyah diseluruh dunia Islam.
2). Dibuat peta hisab dan kendali observasi, sebagai langkah awal
penyatuan kalender Hijriyah di dunia Islam.36
Perkembangan selanjutnya, dibentuk Badan Hisab dan Rukyat di
Provinsi seluruh Indonesia yang dikoodinir oleh Pengadilan Tinggi Agama,
dengan tugas utama menghimpun ahli falak dan membinanya, menentukan
arah Kiblat, menyusun jadwal waktu salat dan mengisab awal bulan
Kamariah (Ramadan, Syawal dan Zulhijah) serta melaporkan hasil hisab dan
rukyat ke Badan Hisab dan Rukyat Pusat (Departemen Agama RI) di
Jakarta.
Kemudian, Badan Hisab dan Rukyat membangun lokasi observasi
benda-benda langit, terutama untuk mengobservasi hilal Ramadan, Syawal
dan Zulhijah, karena ketiga bulan ini ada kaitannya puasa Ramadan,
hari raya fitri dan hari raya adha serta puasa arafah. Tempat observasi
dibangun di Lembang Provisi Jawa Barat, di Sabang Provinsi Bnda Aceh, di
Ujung Pandang provinsi Sulawisi Selatan dan di Tanjung Kodok Provinsi
Jawa Timur. Selain itu, dibangun pula Laboratorium Hisab dan Rukyat di
Ciputat, yang dilengkapi dengan Astronomical Telescope serta kameranya.37
4 . Perkembangan Badan Hisab dan Rukyat 2004 Samp ai Sekarang
Sebelum tahun 2004, Badan Hisab dan Rukyat Pusat berada di bawah
pembinaan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI, dan Badan
Hisab dan Rukyat daerah (provinsi) berada di bawah pembinaan Pengadilan
Tinggi Agama. Setelah Undang-undang Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 18 Januari 2004,
sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14/1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang baru ini disebut
sebagai Undang-undang satu atap, yang menjadikan seluruh peradilan
berada di bawah pembinaan Mahkamah Agung, termasuk peradilan
Agama.38
Permasalahan yang muncul yaitu setelah peradilan agama pindah di
bawah pembinaan Mahkamah Agung, apakah Badan Hisab dan Rukyat juga
pindah kemahkamah Agung. Kewenangan menangani kegiatan hisab dan
rukyat yaitu Departeman Agama. Hal ini didasarkan kepada keputusan
Presiden mengenai tugas dan fungsi Departemen Agama yang telah
disempurnakan, terakhir Keppres Nomor 165 tahun 2000 tentang
81
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan, Organisasi da Tata
Kerja Departemen Agama.39 Keppres ini dijadikan pedoman dalam
Keputusan Menteri Agama Nomor 1 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Sususnan, Organisasi dan Tata Kerja Depertemen
Agama. Keppren Nomor 165 tahun 2000 dan KMA Nomor 1 tahun 2001,
sangat jelas bahwa penanganan dan pembinaan hisab dan rukyat secara
teknis dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan Agama dan
Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Kemudian
untuk penanganan hisab dan rukyat ditingkat Provinsi berada di bawah
kewenangan Pengadilan Tinggi Agama dan ditingkat Kabupaten/Kota
penanganan hisab dan rukyat berada di bawah kewenangan Pengadilan
Agama.
Ketika Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA)
menggunakan nomenklatur Kepaniteraan Perkara dan Kepaniteraan Tata
Usaha, penanganan hisab dan rukyat menjadi tugas Kepaniteraan yang
ditangani oleh sub. Kepaniteraan Hukum Syara’, Statistik dan Dokumentasi.
Hal ini didasarkan kepada Keputusan Menteri Agama Nomor 11 tahun 1978
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama
dan Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Agama.40
Kegiatan hisab dan rukyat yang berada di bawah pembinaan
Departeman Agama, baik di pusat maupun di daerah dalam menetapkan
awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah tidak dapat dilepaskan peran
hakim, karena kesaksian orang yang melihat hilal atau tidak melihat hilal,
diambil dari sumpah hakim. Nabi saw dalam menetapkan awal Ramadan
dengan kesaksian seseorang, baru diterima setelah dilakukan sumpah.
Dari Ibn Abbas ia berkata, seorang arab pedesaan datang menemui nabi
saw, lalu ia berkata, sesungguhnya saya telah melihat hilal, nabi saw.
bertanya, apakah kamu bersaksi tidak Tuhan selain Allah swt.? dan apakah
kamu bersaksi bahwa Muhammad saw yaitu Rasul Allah?, laki-laki itu
menjawab ya. Lalu nabi bersabda; Hai Bilal umumkan kepada manusia
untuk berpuasa besok hari (H.R. Abu Daud).41
BAB IV
TOKOH -TOKOH ILMU FALAK ( ASTRONOMI )
A. Tokoh -Tokoh Ilmu Falak ( Astronomi ) Sebelum Islam
Ilmu Falak merupakan warisan salah satu disiplin ilmu pengetahuan
tertua sejak manusia pertama kali membangun sebuah peradaban di
muka Bumi dan sampai saat ini terus dipelajari dan dikembangkan
dengan memadukan teknologi yang berkembang. Ilmu falak, bukan
hanya dipandang ilmu tertua dalam tataran khanazah dunia ilmu
pengetahun, tetapi ia dipandang penting dalam kehidupan umat manusia,
karena semua orang berhajat kepadanya. Sehubungan dengan itu, lahir
tokoh-tokoh falak sejak sebelum Masehi sampai sekarang, berikut
dikemukakan nama-nama tokoh falak ini :
1. Aristoteles (384 SM). 1
Aristoteles lahir di Stageira Semenanjung Kalkidike di Trasia
(Balkan) pada tahun 384 SM., dan meninggal di Kalkis pada tahun 322
SM.2 Ayahnya bernama Machoan seorang dokter yang bekerja pada
istana raja Macedonia Amyntas II. Sejak kecil Aristoteles senang dengan
ilmu alam, dan ia mendapat bimbingan belajar dari bapaknya sampai
berusia 18 tahun. Setelah ayahnya meninggal, ia pergi ke Atena dan
belajar dengan Plato di Akademia selama 20 tahun. Ia yaitu seorang
ilmuwan dan filosof yang tersohor di zamannya, bahkan hingga
sekarang. Aristoteles orang pintar dari Yunani dan dikagumi oleh
masyarakat, baik semasa ia hidup maupun setelah ia meninggal.
2. Thales (625-545 SM)
Tanggal lahir dan wafatnya tidak diketahui secara pasti, namun
banyak orang memperkirakanya, ia hidup antara tahun 625-545 SM.3
Thales termasuk orang pandai yang tujuh, yang kesohor di Yunani. Enam
orang selainnya, Solon, Bias, Pittakos, Chilon, Periandos, dan
Kleobulos.
Thales yaitu seorang saudagar yang sering berlayar ke Mesir,
seorang politikus yang terkenal dan seorang ahli astronomi (ilmu
bintang). Thales mempergunakan kepintaranya sebagai ahli nujum. Pada
suatu, ia diminta meramal gerhana dan ramalannya tepat, yaitu gerhana
matahari yang terjadi tahun 585 SM. Thales seorang filosof yang
mengatakan bahwa semua berasal dari air dan kembali ke air.
3. Pythagoras .
Pythagoras lahir sekitar tahun 580 SM. di Samos, kemudian pada
tahun 530 SM. ia menetap di kota Kroton. Di daerah ini dibangun
sebuah perkampungan agama yang sebut kaum Pythagoras. Sebenarnya
Pythagoras terpengaruh oleh ajaran mistik yang berkembang di Yunani.
Menurut Pythagoras angka satu itu genap, tetapi juga ganjil, angka
yang sebenarnya 1 sampai 10, dan hitungan selanjutnya hanya
merupakan pengulangan saja. Ia berpendapat bahwa planet venus pada
waktu senja dan pada waktu fajar sama. Pendapatnya itu, mengubah
pemahaman masyarakat yang mengaanggap bahwa planet venus terlihat
berbeda pada waktu senja dan pada waktu fajar.4
4. Aristarchus (300 SM).
Aristarchus yaitu seorang ilmuwan yang mengeluti ilmu falak
(astronomi), ia melakukan penelitian dengan mengukur jarak bumi ke
bulan dan jarak bumi ke mataharai. Kesimpulan hasil penelitiannya itu,
menyebutkan bahwa jarak bumi ke matahari lebih jauh dibandingkan
jarak bumi ke bulan.5 Aristarchus berpendapat bahwa matahri sebagai
pusat alam semesta, namun pendapatnya tidak mendapat dukungan,
karena tidak ada bukti yang kuat untuk mendukunga pendapatnya.
5. Hipparchus (190 SM).
Hipparchus yaitu seorang ilmuwan yang mendalami ilmu
astronomi dari pendahulunya. Teori yang dibuatnya yaitu matahari dan
bulan beredar. Teori ini dibuatnya berdasarkan hasil penelitiannya yang
dilakukan secara teliti, sehingga mendpatkan data yang akurat. Teori
yang dibuatnya itu menjadi landasan lahirnya teori geosentris.6
6. Claudius Ptolemeus (140 M).7
Claudius Ptolomeus yaitu seorang imuwan terkenal pada zamannya
hingga sekarang. Ia lahir pada tahun 85 M di Mesir, dan berasal Yunani
yang menjadi penduduk Romawi, tetapi tinggal di Mesir. Ptolomeus
terkenal sebagai seorang ahli falak (astronom) dan geografi. Salah satu
teori yang dibangunnya yaitu teori geosentris, yang mampu bertahan
hingga beberapa abad lamanya, kemudian dibantah oleh al-Birruni
dengan memunculkan teori baru yang dinamakan teori heleosentris.
Claudius Ptolomeus menulis buku tentang astronomi yang berjudul
the Almagest terdiri 13 jilid. Dalam buku ini ia mengatakan bahwa
bumi sebagai pusat alam semesta. Sedangkan matahari, bulan dan planet
lain berputar mengelilingi bumi.
7. Zhang Heng (78 SM)
Zhang Heng yaitu ahli falak (astronomi) Cina kuno yang hidup
antara tahun 78-139 M. Ia seorang ilmuwan yang banyak menghabiska