tukan oleh pengetahuan apapun yang berasal
dari selain Diri-Nya atau melalui dari selain Diri-Nya. Kemudian memberikan
anugerah berupa wujud kepada seluruh kosmos sesuai dengan pengetahuan-
Nya tentang seluruh kosmos di dalam Diri-Nya sendiri dari keabadian - tanpa
– permulaan. Maka kosmos yaitu bentuk dan tempat dari penjelmaan
Pengetahaun-Nya dan Sang Real tidak akan pernah berhenti mengendalikan
semua perkara yang adda di dalam pengetahuan dan Wujud... segala hal
menjadi nyata, menjadi nyata dan hanya dari-Nya, sebab tidak ada wujud lain
yang boleh meyerupai wujud-Nya.”
3. Nafas Ar-Rahman: Dimensi Kalam Kun
Nafas yaitu sebuah “uap” yakni “melepaskan kepenatan dalam bernafas” dan
“menghembuskan kata-kata”; melalui cara yang sama, Nafas Sang Rahman
merupakan Awan, yang membebaskan kesempitan-kesempitan entitas-entitas abadi
(nama-nama Tuhan) – yang menyatakan diri melalui penampakan luar – dan –
menggerakkan firman-Nya, yakni kosmos.
Al-Haqq telah menisbahkan Nafas kepada nama-Nya Ar-Rahman sebagaimana
ungkapan Nabi “sesungguhnya aku mendapatkan Nafas Ar-Rahman dari sebelah
kanan.” Ibn ‘Arabi mengatakan:
َدايجاَنمَهيلهلإاَبسنلاَهتبلطَامَهبَمحرَهنلأَ,نحمرّلاَلىاَسفنّلاَبسنفَسفنتَبركلاَاذلهو
قلحارهاظَيهَانلقَتىلاَلماعلاَروص.111
“Dan sebab ketegangan maka ia bernafas, maka menisbatkan Nafas
kepada Ar-Rahman sebab Dia merahmati melalui apa yang dituntutnya oleh
relasi Ilahiyyah yakni menjadikan form-form alam yang kami katakana: “Dia
yaitu Dzahir al-Haqq”
Penyebab dari segala kehidupan dalam beragam bentuk “benda-benda yang
terlahirkan” (al-muwaladat) yaitu tiupan Ilahi. Seperti dalam Firman-Nya:
يَحورَنمَهيفَتخفنوَتيوّسَاذإف
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan penciptaan dan telah
Kutiupkan di dalam dirinya dari sebagian Roh-Ku” (QS. Al-Hijr [15]: 29).
Dari hembusan “Nafas” dengannya Allah Swt. memunculkan iman dan
menghidupkan mahluk. Dari “Nafas” tersebut juga terbentuk formasi hukum shari’at
dan bentuk keimanan dalam kalbu menjadi hidup. Segala bentuk kosmos yaitu
kalimah (firman) Tuhan. Ibn ‘Arabi sering mengutip ayat:
كوَلّلٱَلوسرَيمرْمَنبْٱَىسيعَحيسملْٱَانّّإَۖهنْمَّحٌوروَيمرْمَلىإَٓاهىقلْأَهٓتمل
“Sesungguhnya Al-Masih (Isa putra Maryam) tercipta melalui friman-Nya
yang disampaikan kepada maryam” (QS. Annisa[4]: 171).
Dua hadits yang menjadi sumber ungkapan Ibn ‘Arabi mengenai Nafas Ar-
Rahman yaitu :
112نحمرلاَسفنَنمَانَّإفَحيرلااوبستَلا
“Jangan engkau kutuki angin, sebab ia berasal dari Nafas Yang Maha
Pengasih.”
113نَميلاَلبقَنمَنييتيأَنحمرلاَسفنَدجلأَنا
“Aku dapati Nafas Yang Maha Pengasih menghampiriku dari arah
Yaman.”
Kedua Nafas dalam hadits di atas merujuk pada arti berhembus, menjadi riang,
menyenangkan, menghilangkan kesedihan. Pada hadits pertama Nabi merujuk pada
kenyataan bahwa angin yaitu s/ebuah sarana dari Tuhan untuk menghibur dan
menyenangkan mahluk-Nya, dalam hadits kedua untuk menghibur kepada sebagian
sabahatnya dalam menghadapi tantangan dari para keraabat mereka dalam
menjalankan misi kenabian.
Tuhan menciptakan segala yang ada di alam raya ini dengan kata Kun
(wujudlah), dengan kata Kun Tuhan mewujudkan segala yang diwujudkan, sehingga
tidak pernah ada apapun yang wujud kecuali keluar dari hakikat yang tersembunyi
dari kata Kun. Sementara tidak ada sesuatupun yang tersembunyi kecuali keluar dari
rahasianya yang selalu terjaga.115 Sebagaimana firman-Nya:
نَوكيفَ نْكَ هلَلوقنَ نْأَهن دْرأَاذإَء يْشلَانلوْقَا نّّإ
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu, apabila kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Kun (wujudlah),”
maka ia pun jadi (wujud).”(QS. An-Nahl [16]: 40).
Ibn ‘Arabi mengatakan:
“Saya merenungkan alam raya (kawn) dan pembentukannya,
memperhatikan apa yang tersimpan dan pembukuannya, maka saya melihat
bahwa alam raya (kosmos) ini seluruhnya yaitu suatu Pohon, sementara
pangkal cahayanya berasal dari satu benih Kun di mana Kaf al-Kauniyyah
(huruf Kaf dari Kun) dikawinkan dengan serbuk benih “Kami telah
menciptakan kalian.” (QS. Al-Waqi’ah: 57). Dari penyerbukan benih tersebut
muncul buah “sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukuran.” (QS. Al-Qamar: 49). Dari sini muncul dua dahan yang berbeda dari
satu akar yang sama. Akar tersebut yaitu al-Iradah (kehendak), sementara
cabangnya yaitu al-Qudrah (Kuasa). Dari jauhar (esensi) Kaf muncul dua
makna yang berbeda: pertama yaitu Kaf al-Kamaliyyah (kesempurnaan)
“pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu.” (QS. Al-Maidah: 3).
Dan kedua yaitu Kaf al-Kufriyyah (kekufuran) “maka diantara mereka ada
yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kufur.” (QS. Al-Baqarah:
253). Sementara dari jauhar (esensi) Nun dari kata Kun muncul Nun Nakirah
(ketidak tahuan) dan Nun ma’rifat (pengetahuan tentang Tuhan). “Pohon
kejadian (Alam)” (Shajaratul-Kawn) yang tumbuh dari benih Kun, ia akan
memiliki kebahagiaan yang ada dalam rahasia Kaf-nya sebagai gambaran
firman Tuhan: “Kalian yaitu umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.”
(QS. Ali-Imran: 110).
Qaysari menjelaskan bahwa Nafas ar-Rahman merupakan Sir al-Hayah yang
merupakan al-Huwiyat al-Ilahiyyah (The Devine Epsiety) yang menyebar dan
mengalir pada segala sesutu sebab rahasia ini yaitu keghaiban yang tersembunyi
dalam Nafas ar-Rahman. Qaisary mengaitkan Sir al-Hayah kepada al-Durrah al-
Bayda’ sebab telah mencairnya mutiara menjadi air dan api. Dikatakan air sebab
kebersihan dan kebeningannya sementara api sebab bersinar dan mengkilap. Saat air
dan api bercampur maka ia menjadi asap. Dari asaplah kemudian Tuhan menciptakan
langit dan sisanya bumi.
Segala firman mewujud di dalam Nafas, yang mana Allah melukiskan firman-
Nya yang tunggal berupa “Jadilah!” sekalipun firman ini ditunjukan pada setiap
“sesuatu” dalam keadaan noneksistensinya. Nafas manusia yang di analogikan
dengan Nafas yang Maha Pengasih merupakan dasar dari pandangan Ibn ‘Arabi
tentang kosmos. Melalui 28 huruf hijaiyah nama-nama segala sesuatu di ucapkan,
begitupula dengan kosmos yang memiliki perpaduan 28 abjad dan kemudian
menghasilkan sesuatu yang tercipta. Makhraj (tempat keluarnya huruf) yaitu
sebagai “sarana” setiap pengucapan abjad. Tergantung dari mana Nafas keluar;
melalui tenggorokan, langit-langit mulut, ujung gigi dan sebagainya. Begitupula
dengan kosmos, setiap huruf/realita kosmos menyatakan mewujud melalui cara yang
berbeda-beda.118 Disini Ibn ‘Arabi mengaitkan hubungan antar Nafas manusia
dengan Nafas Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan dalam Futuhat:
“Dari Nafas Yang Maha Pengasih, “abjad” segala yang tercipta serta
kosmos menjadi nyata sesuai dengan tingkatan makhraj yang melaluinya
manusia menghembuskan Nafas-Nya, sebab manusia yaitu mahluk yang
paling sempurna di dalam kosmos. Itulah makhraj huruf dari 28 abjad tersebut.
Setiap huruf memiliki sebuah nama yang dicirikan dengan maqtha’ (“tempat
vokalisasi huruf”). Yang pertama dari huruf-huruf tersebut yaitu ha’ dan
yang terakhir yaitu waw.”
C. Struktur Kosmos: Lima Derajat Realitas
Ibn ‘Arabi membangun struktur kosmologi dengan menggunakan Al-Hadrah Al-
Khamsah Al-Ilahiyyah (lima prinsip kehadiran Tuhan) yang bertitik tolak dari medan
Wujud (esensi Dzat ) - hingga alam materi (Mulk).
Berdasarkan lima prinsip kehadiran Wujud, struktur kosmologi dalam
pandangan Ibn ‘Arabi dijelaskan oleh Qaysari bahwa; setiap medan mewakili suatu
kehadiran atau ragam ontologis Realitas Mutlak dalam Manifestasi-Nya120 yaitu
maqam Ahadiyyah, maqam Wahidiyyah, alam Jabarut, alam Malakut dan alam Mulk.
Selanjutnya, Qaysari menjelaskan:
.
‘Pertama dari al-hadarat al-Kulliyyah yaitu hadrat al-Ghaib al-Mutlaq
dan alamnya yaitu alam al-a’yan al-thabitah di al-hadrat al-‘ilmiyyah.
Dan yang bertentangan dengannya yaitu hadrat al-shahadat al-mutlaqah
dan alamnya yaitu alam al-mulk.
Dan hadrat al-ghaib al-mudhof yang terbagi kepada yang lebih dekat pada
al-ghaib al-mutlaq dan alamnya yaitu alam al-arwah al-jabarutiyyah dan al-
malakutiyyah yakni alam al-‘uqul dan al-nufus al-mujarradah dan kepada
yang lebih dekat kepada al-shahadat , dan alamnya yaitu alam al-mithal.
Sesungguhnya al-ghaib al-mudhof terbagi kepada dua bagian sebab al-
arwah mempunyai form-form mithaliyyah yang sesuai dengan alam al-
shahadat al-mutlaqah dan (ia juga mempunyai) form-form yang ‘aqliyyah
mujarradah yang sesuai dengan al-ghaib al-mutlaq.
Dan kelima yaitu al-hadrat yang meliputi keempat-empat alam yang
disebut. Dan alamnya yaitu al-alam al-insani yang meliputi seluruh alam-
alam dan seisinya.
Maka itu alam al-mulk yaitu mazhar alam al-malakut dan ia yaitu al-
alam al-mithali al-mutlaq dan ia pula yaitu mazhar alam al-jabarut yaitu
alam al-mujarradat, dan ia pula yaitu mazhar alam al-a’yan al-thabitah, dan
ia yaitu al-asma al-Ilahiyyah dan al-hadrat al-wahidiyyah dan ia pula yaitu
mazhar al-hadrat al-ahadiyyah.’
Sebagian para Arifin menerangkan bahwa al-hadrat al-khams seperti halnya
yang dilansir oleh Izutsu seperti yang tertera pada skema berikut:
Hadrat pertama yaitu al-Haqqyang belum termanifestasi yaitu al-hadrat al-
ghaib al-mutlak. Kedua al-Uluhiyyah yaitu al-hadrat al-asma wa al-sifat. Ketiga
yaitu al-Rububiyyah (al-hadrat al-af’al). Keempat yaitu al-hadrat al-amsal wa l-
khayal. Kelima yaitu hadrat al-hisiyyah.122
Seperti yang dilansir oleh Muhammad Baqir dari penjelasan diatas, Qaysari
memisahkan antara al-hadrat dan al-alam bahwa setiap al-hadrat (kehadiran
didalamnya) memiliki alamnya sendiri. Qaysari menjelaskan bahwa al-hadrat
dimulai dari dua titik ekstrem yakni Hadrat al-ghaib al-mutlaq dan Hadrat al-Shahadat
al-mutlaq. Seperti skema di bawah ini123
Pertama yaitu yang tersembunyi (al-ghaib) dan yang paling nyata (al-shahadat).
Kehadiran pertama yaitu al-hadrat al-Kuliyyah, atau al-hadrat al-ghaib al-mutlaq
yang merupakan alam a’yan thabitah di maqam al-Wahidiyyah dan ini menunjukkan
bahwa a’yan thabitah merupakan kehadiran al-ghaib, al-mutlaq (kehadiran al-
Dzat ).124
Kedua yaitu al-hadrat al-shahadat al-mutlaqah dan alamnya yaitu alam al-
Mulk.
Kemudian al-hadarat al-ghaib al-mudhof terbagi menjadi dua kehadiran.
Pertama, yang dekat dengan al-ghaib al-mutlak. Kedua, yang dekat d engan al-
shahadat al-mutlaqah. Yang pertama yaitu alam al-uqul dan al-nufus al-
mujarradah. Dan alam kedua yaitu alam mithali.
Yang terakhir yaitu al-hadrat al-jami’ah (the all comprehensive presence)
yaitu kehadiran yang meliputi seluruh kehadiran dan alamnya yaitu alam al-insan
yang meliputi seluruh alam dan insan yaitu tanda kehadiran yang ‘all-
comprehensive’.125
Kemudian penjelasan lainnya bahwa kehadiran Tuhan juga kadang diistilahkan
dengan modus eksistensi-Nya melalui 4 tahapan.126 Tahap inti yaitu realitas tertinggi
bahwa Tuhan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri dibungkus dalam persembunyian
secara abadi tidak diketahui kecuali oleh diri-Nya sendiri. Tahap eksistensi umum
(wujud amm) bahwa eksistensi Absolut yang diidentifikasi Qur’an sebagai
kebenaran. Aspek swa-pengungkapan Tuhan melalui pancaran paling suci yang
didalamnya mengandung manifestasi aktif, niscaya, Ilahiyah, pasif, kontingen,
makhlukiyah. Manifestasi Esensi pada dirinya sendiri yang subjektif bagi Tuhan di
mana kesempurnaan esensial-Nya dan kecenderungan menjadi termanifestasi bagi-
Nya. Tahap eksistensi relatif (wujud idafi) bahwa eksistensi Absolut dikondisikan
oleh indeterminasi namun bebas untuk menghubungkan dirinya dengan sesuatu.
Tahapan terkahir yaitu tahap eksistensi komprehensif (wujud jami) bahwa dunia
empiris, dunia indera, pengalaman inderawi, di mana Realitas eksistensi terbagi
menjadi entitas-entitas partikular dan individual.
1. Ahadiyyah: Maqam Dzat
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa al-hadrat pertama yaitu al-Haqq
dalam al-hadrat al-Ghaib al-Mutlak yang kadang juga diistilahkan sebagai tajalli
ghaib. Haqiqat al-Ghaib juga dinamakan sebagai manifestasi tajalli pertama yang
disebut juga sebagai “at-tajalli al-ahadiy al-Dhati” juga sekaligus partikulasi
pertama atau al-ta’ayyun al-awwal -“the First Entification”127 dari haqiqat al-Wujud.
Ta’ayyun yaitu “ahadiyyat al-jam” atau “martabat al-ahadiyyah”. Pada martabat
ini semua Asma’ dan Sifat hilang (al-mustahlak) dan tenggelam, artinya tidak ada
distinct antara Asma’ dan Sifat. Dengan kata lain Asma’ dan Sifat belum menjadi
nyata. Semuanya berada di dalam martabat ini secara sintesis dalam wujud tunggal.
Qaysari menjelaskan:
“Haqiqat al-wujud ketika dilihat sebagai haqiqat yang disyaratkan tidak
bersama dengan apapun, maka ia dinamakan oleh kaum sufi sebagai “al-
martabat al-Ahadiyyah” yang mana seluruh Asma’ dan sifat hilang di
dalamnya. Dan ia juga dinamakan sebagai “jam’ al-jam” atau “haqiqat al-
Haqaiq” atau “al-‘Ama.”
Maqam al-Ahadiyyah disebut juga al-‘Ama’. Martabat al-‘Amaiyyah berasal
dari hadits Nabi ketika seorang Arab datang kepada Rasul dan bertanya:
“Di mana kah Rabb kami sebelum Dia mencipta Ciptaan? Nabi menjawab:
Dia berada di awan (al-‘Ama’) yang diatasnya tiada udara (al-hawa’) dan
dibawahnya juga tiada hawa’.(HR. Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad-Hasan).
Para Sufi memberikan tafsiran yang berbeda mengenai haqiqat al-‘Ama’.130
Mulla Abd al-Razzaq al-Qashani menyatakan bahwa al-‘Ama’ yaitu maqam al-
Ahadiyyah131 atau ta’ayyun al-awwal. sebab maqam al-Ahadiyyah berada dalam
hijab keagungan dan di langit transenden sehingga tidak ada akses sama sekali untuk
mengenalinya. Sebagian Urafa selainnya menyatakan, martabat al-‘Imaiyyah yaitu
maqam al-Wahidiyyah, sebab ia berada diantara langit kemutlakan dan bumi relatif.
Sebagaimana awan berada antara langit dan bumi, begitu juga maqam al-Wahidiyyah
yang merupakan barzakh diantara wahdat al-Haqq (ketunggalan al-Haqq) dan
kastrat al-khalq (ke-banyakan al-khalq).
Mulla ‘Abd al-Razzaq mengkritik pendapat kedua sebab menurut beliau,
pendapat itu tidak konsisten dengan hadith Nabi.133 Dalam hadith, orang A’rabi
bertanya kepada Nabi tentang Tuhan sebelum Dia mencipta ciptaan. Dan ketika Nabi
menjawab “Dia berada di ‘Ama’.” Jelas maqam ‘Ama’ seharusnya berada diatas dan
sebelum ciptaan. Sedangkan maqam al-wahidiyyah menurut Qashani, yaitu maqam
yang “muta’ayyan” yaitu determinasi dan manifestasi. Dan setiap yang “muta’ayyan”
yaitu mahluk (created). Maka maqam ‘Ama’ harus berada diatas maqam al-
Wahidiyyah, yaitu al-Ahadiyyah.134
Persoalan kritikan diatas sepertinya terfokus pada ukuran “makhuqiyyah”
(kemakhlukan) atau “ma’luliyyah” (al-ma’lul yaitu efek dari satu sebab). Apakah
yang menyebabkan sesuatu itu menjadi makhluk? Menurut sebagian guru ‘Irfan,
ukurannya yaitu ‘al-wujud al-khariji135 (external concrete existence) setiap haqiqat.
Al-Haqaiq dalam martabat al-Ahadiyyah136 dan al-Wahidiyyah semuanya disaksikan
al-Haqq namun masih berada dalam level wujud al-‘ilmi. Kemudian al-Haqq akan
mewujudkan mereka dalam level wujud al-khariji atau al-‘aini.137 Jika dalam
sebagian riwayat haqaiq yang berada dalam level “ilmi” dikatakan “al-khalq” atau
sebagian Asma dianggap makhluk, kata “khalq” disitu sebenarnya artinya yaitu
“taqdir” yaitu sesuatu yang ada kadarnya.
namun , sebenarnya kedua maqam: al-Ahadiyyah dan al-Wahidiyyah bisa
dikatakan sebagai “al-‘Ama’”. Para ‘Arifin seperti Qunawi terkadang menyatakan
bahwa al-Ahadiyyah yaitu “al-‘Ama’”, dan terkadang al-Wahidiyyah yaitu “al-
‘Ama’.”
Tajalli ini dinamakan “kamal al-Jala”-the perfectness of disclosure138- yaitu
“origin” tajalli selanjutnya dan sebab yang membangkitkan manifestasi berbeda
semua haqiqat dalam maqam al-Wahidiyyah. Tajalli dalam maqam al-Wahidiyyah ini
sebenarnya berasal dari “raqiqat al-‘ishqiyyah al-tanzihiyyah” - the subtle love which
causes incomparableness - yang menghubungkan antara dua kesempurnaan yaitu al-
Ahadiyyah dan al-Wahidiyyah. Tajalli dalam al-Ahadiyyah sebenarnya beserta
dengan cinta pada Dirinya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadth “..maka Aku cinta
agar Aku dikenali...”. Cinta inilah sumber semua “katsrah” yang tenggelam dalam
al-ahadiyyah termanifestasi dalam al-wahidiyyah. Dan ia dinamakan sebagai “kamal
al-istijla” 139- the perfectness of disclosureness.
Maka, raqiqat al-‘ishqiyyah di-ta’bir-kan sebagai “kamal al-istijla” yang
menyebabkan termanifesatsi haqiqat al-Wujud dalam form Asma dan Sifat secara
berbeda dalam maqam al-Wahidiyyah.
2. Wahidiyyah: Maqam Rububiyyah
Al-hadrat al-Wahidiyyah yaitu mazhar dari al-hadrat al-Ahadiyyah140
Martabat ini diistilahkan juga dengan maqam Rububiyyah. Pada martabat rububiyyah
atau dalam derajat wujud wahidiyyah semua nama termanifestasi. Seperti halnya
yang dijelaskan oleh Qaysari dalam Sharh Fusus al-Hikam bahwa dalam martabat
wahidiyyah, mazahirnya al-Asma dan al-Shifat yaitu al-a’yan yang dinamakan
sebagai martabat rububiyyah. 141
Di martabat ini, al-A’yan akan dimanifestasikan dari wujud ilmiyyah kepada
level wujud konkrit sesuai dengan level isti’dadd (kesiapan) mereka. Form atau
kualitas manifestasi disebut al-Shifat, sementara esensi dalam form yaitu kualitas
al-Ism seperti halnya ketika esensi termanifestasi dalam ar-Rahmah (sifat
kesayangan) akan terlihat sebagai ar-Rahman (Sang Penyayang) atau al-Qudrah
yaitu sifat kekuasaan akan terlihat sebagai al-Qodir yaitu sebagai Sang Penguasa.
Maka dari itu, beragam nama akan terjadi sebab adanya beragam Shifat.142
Penjelasan Qaysari terkait dengan al-Katsroh atau multivisitas terjadi perbedaan
pertama dalam Realitas.143
Penjelasan Qaysari mengenai nama (al-Asma) yaitu manifestasi Dzat al-Haqq.
Nama hanyalah indikasi kepada Realitas al-Rahman, al-Ghafur dan seterusnya. Jadi
nama yang disebut yaitu nama bagi nama yang secara metafisik yaitu Realitas atau
manifestasi al-Haqq. Yang berarti nama di sini bukanlah sebutan namun merupaka
manifestasi. Dengan kata lain, nama yaitu sesuatu yang mengindikasikan atau
merefleksikan objek yang dinamakan.
Selanjutnya Qaysari menerangkan bahwa al-Asma dan al-Shifat dalam derajat
rububiyyah atau wahidiyyah muncul dari maqam ahadiyyah yang diistilahkan sebagai
mafatih al-Ghaib. Di mana keberadaan mafatih al-Ghaib berada dalam batin Dzat
al-Wujud yang merupakan makna-makna Inteligible (al-ma’qulah).144 Qaysari juga
menjelaskan bahwa keberagaman al-Asma dari sisi al-Ilmu al-Dzat i, ilmu disini
bermakna kesaadaran Dzat terhadap diriNya yang diisyaratkan dalam hadis kanzan
makhfi. Kata kuntu yang bermakna “Aku” yaitu "Iam”. Kesadaran inilah yang
menyebabkan kesempurnaan diriNya dalam martabat Ahadiyyah. Nisbah terhadap
kesempurnaan Dzat -Nya adaalah sumber munculnya nama-nama yang diistilahkan
sebagai mafatih al-Ghaib al-Mudlof yakni mafatih ghaib yang memiliki relasi kepada
Dzat al-Haqq.145
Dalam maqam al-Wahidiyyah seluruh Asma dan Sifat akan termanifestasi secara
berbeda. Qasyari menyatakan:
“Ketika haqiqat al-wujud dilihat sebagai haqiqat yang disyaratkan
bersama sesuatu, baik ia disyaratkan dengan segala yang lazim bagiNya,
Universal (kulli) maupun partikular (juz’i), disini Ia dinamakan sebagai al-
Asma’ dan al-Sifat yaitu al-martabat al-Ilahiyyah yang diistilahkan disisi
mereka sebagai al-Wahidiyyah dan “maqam al-jam”.
Dan martabat yang sama ini ketika dilihat sebagai haqiqat yang
menyampaikan mazahir al-asma’ yaitu al-A’yan dan al-Haqaiq kepada
kesempurnaan yang layak untuknya sesuai dengan isti’dadd mereka dilevel
konkrit, ia dinamakan sebagai martabat al-Rububiyyah.”
Haqiqat al-Wujud ketika memanifestasikan Diri-Nya dalam form al-Asma dan
al-Sifat secara berbeda dalam maqam al-Wahidiyyah, juga dipanggil sebagai
martabat al-Ilahiyyah. Di martabat ini, al-Asma akan ternyata (mazahir al-Asma’)
dan termanifestasikan dalam form al-A’yan al-Thabitah atau al-Haqaiq. Al-‘A’yan
disini masih berada dalam wujud ‘ilmiyyah. Kemudian, al-‘A’yan akan
dimanifestasikan dari level wujud ‘ilmiyyah kepada level wujud konkrit sesuai
dengan isti’dadd 147 mereka. Dari sisi ini (yaitu mewujudkan al-‘A’yan dari level ilmu
kepada level konkrit), martabat ini diistilahkan sebagai martabat al-Rububiyyah.
Nama-nama dan sifat Ilahiyyah yang merupakan manifestasi dari esensi
dimaqam ini terlihat sebagai entitas eksistensial yang terpisah dan konkrit.148
Sampai disini, sudah dijelaskan “origin” manifestasi al-Asma dan al-Sifat secara
berbeda di maqam al-Wahidiyyah. Qasyari juga menjelaskan bahwa “origin”
merupakan multiplicity al-Asma.
Haqiqat al-Wujud dalam kemutlakan-Nya (Absolutness) yaitu haqiqat yang
tidak terbatas (Infinite). Dan dalam ketidakterbatasan-Nya Ia memanifestasikan
diriNya (Self-Disclosure).149 Manifestasi ini dalam istilah ‘Irfan yaitu “al-
Tajalliyat” dan “al-syu’unat”. Tajalli terjadi dalam berbagai rupa dan juga dalam
berbagai derajat atau al-maratib.150
Rupa atau kualitas manifestasi yaitu al-Sifat, sementara Essensi dalam rupa
atau kualitas yaitu al-Ism. Dengan kata lain, Esensi ketika termanifestasi dengan
satu sifat tertentu yaitu nama. Seperti, Esensi yang termanifestasi dengan al-
Rahmah (yaitu sifat kesayangan) akan terlihat sebagai al-Rahman (yaitu Penyayang),
atau al-Qudrah (yaitu sifat kekuasaan) akan terlihat sebagai al-Qadir (yaitu
Penguasa). Maka itu, banyaknya (multipicity) Nama akan terjadi sebab ada
banyaknya sifat. Dalam manifestasi inilah terjadinya “multiplicity” atau “al-katsrah”
berbeda yang pertama dalam Realitas151.
Qasyari menjelaskan, multiplicity al-Sifat sebenarnya terbangkit dari maratib al-
ghaibiyyah al-sifat.152 Ketika di maqam al-Ahadiyyah, al-Asma dan al-Sifat
sebenarnya belum ada secara berbeda, namun bisa dikatakan ia sudah ada secara
sintesis dalam keberadaan tunggal maqam tersebut. Al-‘Asma’ dan al-Sifat di maqam
itu masih ghaib, dan belum termanifestasi. Dalam keghaiban ini, al-‘Asma’ dan al-
Sifat diistilahkan sebagai Mafatih al-Ghaib.
Qaysari juga menerangkan bahwa keberadaan Mafatih al-Ghaib ini dalam batin
Dzat al-Wujud tidak berbeda dari keberadaan Dzat . Ia yaitu makna-makna yang
“intelligible” (al-ma’qulah) dalam ghaib al-wujud al-Haqq. Semua ‘al-ta’ayunat”
dan “al-syu’unat” Dzat akan menjadi “muta’ayyan” lewat Mafatih al-Ghaib ini. Dan
Ia sama sekali tidak akan menjadi maujud (existent) dengan keberadaan konkrit.
Maka itu, ia hanya maujud dengan keberadaan ilmiyyah dan ma’dum (non-existent)
dalam level wujud konkrit. Namun, ia tetap mempunyai “al-atsar” (effect) dan “al-
hukm” (property)
Qaysari menyatakan; multiplicity al-Asma dari satu sisi, berasal dari “al-‘ilm al-
Dzat i”. Ilmu ini yaitu ilmu atau kesadaran Dzat terhadap DiriNya, yang
diisyaratkan dalam hadith al-khanz al-makhfi dengan kata “Kuntu” yaitu “Aku
yaitu ” (I am). Kesadaran al-Haqq terhadap DiriNya yaitu sebab kesadaranNya
terhadap semua kesempurnaan diriNya dalam martabat al-Ahadiyyah. Dzat al-Haqq
nisbah kepada kesempurnaan tersebut yaitu sumber empat Nama-Nama. Dan empat
Nama ini diistilahkan sebagai “Mafatih al-Ghaib al-mudhof” yakni Mafatikh al-
Ghaib yang berelasi kepada Dzat al-Haqq. Dan empat nama ini yaitu “al-‘ilmi”
yaitu “al-zuhur” atau manifestasi “al-wujudi” yaitu “al-wijdan” atau penemuan, “al-
nuri” yaitu “al-izhar” atau menyatakan dan al-shuhudi yaitu al-hudur atau
kehadiran. Setelah kesadaran terhadap kesempurnaan tersebut, mahabbah dan ‘Ishq
Ilahi (Divine Love) akan melazimkan manifestasi Dzat dalam form al-Asma dan al-
Sifat secara berbeda.154
Nama-nama Tuhan bagi Ibn ‘Arabi juga disebut barzakh (perantara posisi atau
tengah) antara Tuhan dan alam. Penjelasan Ibn ‘Arabi dirujuk oleh Kautsar sebagai
berikut:
“Maka nama-nama Ilahi yaitu barzakh antara kita dan Objek Yang
Dinamai. Nama-nama itu mempunyai penglihatan kepada-Nya sebab mereka
yaitu nama-nama-Nya, dan nama-nama itu mempunyai penglihatan kepada
kita sebab mereka memberikan kepada kita akibat-akibat yang berasal dari
Objek Yang Dinamai. Maka nama-nama itu membuat Objek Yang Dinamai
diketahui dan membuat kita diketahui.”155
Setiap nama Tuhan dipahami sebagai hubungan antara Al-Haqq dan al-khalaq,
yang satu dan yang banyak. Asmaul Husna yang tidak terbatas jumlahnya dimaknai
sebagai penyebab yang berelasi dengan ciptaanNya.
Dari penjelasan di atas mengenai al-Asma tidak ragu lagi bahwa al-Asma yaitu
manifestasi Dzat al-Haqq, dan Ia bukanlah nama yang disebut, seperti sebutan al-
Rahman, atau al-Ghafur. sebab ia hanyalah sebutan yang mengindikasi kepada
realitas al-Rahman atau al-Ghafur. Maka itu Nama atau al-Ism dalam metafisika
yaitu realitas atau manifestasi al-Haqq. Jadi, nama yang disebut sebenarnya yaitu
nama bagi Nama156.
Sebenarnya Dzat Tuhan tidak terjangkau oleh pengetahuan manusia sebab Dzat
-Nya terbebas dari hubungan dengan nama-nama Tuhan dan alam. sebab hanya
Tuhan lah yang mengetahui Dzat Tuhan itu sendiri. Penjelasan Ibnu ‘Arabi yang
dikutip oleh Kautsar sebagai berikut:
“Dari segi dirinya, Dzat Tuhan tidak mempunyai nama, sebab Dzat itu
bukanlah lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada nama
yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan
pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan,
namun pintu [untuk mengetahui Dzat Tuhan] dilarang bagi siapa pun selain
Allah, sebab tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.”157
Ketidakbutuhan Dzat Tuhan kepada alam berarti pula ketidakbutuhannya
kepada nama-nama. Penjelasan Ibnu ‘Arabi yang dikutip oleh Kautsar sebagai
berikut:
“Apabila Dzat Tuhan tidak butuh pada alam semesta, ketidakbutuhan itu
sama dengan ketidakbutuhan-Nya kepada hubungan nama-nama-Nya, sebab
nama-nama itu tidak hanya menunjukkan Dzat -Nya, namun menunjukkan pada
obyek-obyek yang dinamakan yang berbeda dengan Dzat itu. Hal itu
dibutuhkan oleh akibat (efek) nama-nama itu”158
Pernyataan Ibn ‘Arabi sering bertentangan dan terkesan tidak konsisten antara
satu dengan yang lain. namun jika dianalisis dengan mendalam sebenarnya hanya
sebab Ibn ‘Arabi ingin menekankan sisi tanzih dan sisi tashbih.
Setiap ada Nama (al-Ism) pasti ada yang dinamakan (al-Musamma). Para ‘Arifin
sering menyatakan bahwa Nama yaitu identik dengan yang dinamakan. Dengan kata
lain, nama yaitu satu dengan yang dinamakan. Jelas maksud mereka dari Nama
dalam pernyataan ini, bukanlah nama sebutan namun Nama sebenarnya yaitu
manifestasi159.
Nama yaitu sesuatu yang mengindikasikan atau lebih tepat lagi mereflesikan
objek yang dinamakan. Setiap refleksi seperti yang ada pada cermin akan
merefleksikan seluruh objek refleksi. Ketika diletakkan satu bunga merah didepan
cermin, sudah pasti didalam cermin akan ada refleksi bunga merah yang persis identik
dengan bunga merah (objeknya). Dan jelas sekali bahwa refleksi itu tidak pernah
mempunyai identitas sendiri. Identitasnya yaitu identitas objek yang direflesikan.
Maka itu refleksi yaitu identik dengan objek refleksi. Namun, antara dua ini masih
ada perbedaan, sebab satu yaitu refleksi dan satu lagi yaitu objek refleksi,
Qaysari mengisyaratkan kepada pembagian Sifat. Ada Sifat al-Ijabiyyah161 dan
Sifat al-Salbiyyah.162 Dan Ijabiyyah terbagi kepada haqiqiyyah163 dan idafiyyah.164
Dan Idafiyyah pula terbagi kepada idafiyyah murni daan idafiyyah yang berelasi
dengan yang lain. Seperti yang tertera pada diagram berikut:
Muhammad Baqir selain menjelaskan pembagian sifat al-Ijabiyyah dan al-
Sabiyyah juga menjelaskan tentang sifat Jalaliyyah, sifat Al Muhith, serta Ummahat
Al-Asma. Sifat Jalaliyyah yaitu sifat yang berkaitan dengan al-Qahr yaitu
keagungan. Sementara sifat Jamaliyyah yaitu sifat-sifat yang berkaitan dengan al-
Rahmah dan al-Lutf yaitu kasih sayang dan kehalusan. Dengan kata lain, sifat Jalali
yaitu transendensi al-Haqq, dan ini berarti Dia akan terhijab dengan hijab
Keagungan. Dan sifat Jamali yaitu immanensi165 yang berarti Dia sangat dekat
sekali kepada segalanya, dan Dia akan mendekat.
namun di batin setiap sifat Jalal ada Jamal, begitu juga dalam batin setiap sifat
Jamal ada Jalal. Ketika Sifat Jalal yang tajalli dan termanifestasi, ini berarti yang
Maha Agung telah memanifestasi dan mendekatkan DiriNya. Seorang ‘arif yang
meyaksikan Keagungan ini akan menjadi hampir hancur kalau tidak sebab al-
Rahmah yang Jamali yang ada di batin al-Jalal166. Dan ketika sifat Jamal yang tajalli
dan termanifestasi, ini berarti yang Maha Indah namun sekaligus Maha Agung telah
menampakkan DiriNya. Seorang ‘arif yang menyaksikan Keindahan ini, ketika
mendekati al-Haqq akan semakin heran sebab tidak bisa meraihNya. Ibn ‘Arabi
menyimpulkan bahwa tajalli nama-nama sebagai representasi dari eksistensi
substansial-Nya tidak mudah dipahami, hal ini tergantung pada kadar pengetahuan
dan derajat keutamaan pada ‘arif.167
Al-Muhith yang berasal dari kata “al-ihathah” yaitu “encompassing” atau
meliputi. Sifat al-Muhith total berarti ia meliputi segala sesuatu dan tidak sesuatupun
yang keluar dari wilayahnya. Dan sifat ini yaitu induk dari sifat atau “al-ummahat”
(secara literal artinya ibu-ibu sifat), yang dinamakan sebagai “al-Aimmah al-Sab’ah”
(Tujuh Imam); al-hayat (kehidupan), al-‘ilm (ilmu), al-iradah (kehendak), al-qudrah
(kuasa), al-sam’ (pendengaran), al-bashar (penglihatan) dan al-kalam
(pembicaraan)168.
Walaupun sifat-sifat ini yaitu dasar bagi sifat-sifat selainnya, di antara tujuh
Sifat ini, ada yang tergantung pada sebagian lainnya. Seperti keberadaan al-‘ilm yang
tergantung atau bersyaratkan kepada al-hayat dan al-qudrah, begitu juga al-iradah
yang bersyaratkan kepada al-iradah yang bersyaratkan kepada al-hayat dan al-
qudrah. Namun al-sam’u, al-bashar dan al-kalam pula bersyaratkan kepada al-hayat,
al-qudrah, al-‘ilm dan al-iradah. Namun di antara tujuh Sifat ini, sifat al-hayat yaitu
yang paling universal, sebab semua enam sifat-sifat selainnya tidak termanifestasi
tanpanya169.
Ummahat al-Asma yaitu al-Awwal, al-Akhir, al-Zahir, al-Batin, al-Awwal, al-
Akhir, al-Zahir, al-Batin. Dan semua empat Nama ini berada dalam satu Nama yaitu
Nama Allah atau al-Rahman170. Seperti yang diisyaratkan dalam firman Ilahi:
وَعدْاَوأَاللهاوعدْاَلقنىسلحاءآسملأاَهلفَاوعدتَامّيّاأَنحمرّلاَا
“Katakan: serulah Allah atau al-Rahman. Yang mana saja kamu seru, maka
Dia mempunyai al-Asma al-Husna.”(QS. Al-Isra [17]: 110).
A. E. Afifi menjelaskan bagaimana Ibn ‘Arabi membahas Nama-Nama Tuhan
dan atribut-atribut-Nya di dalam Futuhat, bahwa Ibn ‘Arabi mengidentifikasikan
Nama-Nama Tuhan dengan apa yang ia namakan “al Hadarat“ kehadiran Tuhan
sebagai metode pertama yang diinterpretasikan dalam bentuk Nama-Nama. Bahwa
setiap Hadarat yaitu pengungkapan (mewahyukan) dua implikasi dari satu nama
Tuhan yakni aspek imanen-Nya dan transenden-Nya.171
Setiap satu dari Nama Allah dan al-Rahman mempunyai Nama-Nama dibawah
naunganNya. Dan setiap nama yaitu mazharnya (yaitu empat zohirnya) secara azali
dan abadi. Maka keazalianNya itu dari nama al-Awwal, dan keabadianNya dari nama
al-Akhir, zuhurNya dari nama al-Zohir dan kebatinNya dari nama al-Batin. Nama-
Nama yang berkaitan dengan al-Ibda’ (kreatifitas) dan al-ijad (mewujudkan) berada
dibawah naungan Nama al-Awwal, dan nama-nama yang berkaitan dengan al-i’adah
(mengembalikan) dan al-jaza’ (pengganjaran) berada dibawah Nama al-Akhir.
Nama-Nama yang berkaitan dengan kezahiran dan kebatinan berada dibawah
naungan al-Zahir dan al-Batin. Maka itu segala sesuatu tidak kosong dari empat
perkara ini; kezohiran, kebatinan, keawalan, dan keakhiran172.
Qaysari menjelaskan bahwa Dzat yang termanifestasi dalam Asma yaitu tajalli.
Tajalli Dzat i yaitu asma Dzat iyah. Tajalli Fi’ly yaitu asma af’al. Tajalli sifat
yaitu asma sifat. Semua itu termanifestasi dalam Al-fayd Al muqaddas.173 Jika al-
Asma al Dzat iyyah yang termanifestasi dalam mazhar, tajalli itu disebut sebagai al-
tajalli al-Dzat i. Jika al-Asma al-Sifatiyyah yang termanifestasi dalam mazhar, tajalli
itu dipanggil al-tajalli al-sifati. Dan jika al-Asma al-Af’aliyyah yang termanifestasi
dalam mazhar, tajalli itu diistilahkan sebagai al-tajalli al-fi’li174.
3. Tiga Derajat Kosmos
Menurut Ibn ‘Arabi kosmos ada dua jenis yaitu alam kabir dan alam soghir175.
Penjelasan lainnya bahwa kosmos yang berfungsi sebagai ayat dalam jiwa manusia
dan dalam horizon alam (QS. Fussilat [41]: 53), dengan demikian kosmos yang
merupakan ayat atau tanda keberadaan Ilahi menjadi dalil eksistensial dan bukti
(prove) tentang wujud Tuhan. Sehingga kosmos dalam pemahaman ini ada dalam dua
dimensi yakni dimensi makrokosmos (Jabarut–Malakut–Mulk) dan dimensi
mikrokosmos (Ruh–Jiwa–Raga), serta kesempurnaan manifestasi dalam dimensi
insan kamil seperti halnya yang akan dijelaskan berikut ini.
a. Dimensi Makrokosmos (Jabarut – Malakut – Mulk)
Kehadiran Ilahi dalam bentuk al-Kawn atau alam kabir dimanifestasikan dalam
beragam bentuk mulai dari alam ide hingga alam-alam yang dapat di indera (min al-
‘alam al ma’qul ila al-alam al-mahjuj). Segala potensi akan menjadi aktual dan
empiris mulai dari alam arwah (rohani), alam mitsal (barzakh), alam ajsam
(jasmaniah). Seperti halnya penjelasan Ibn ‘Arabi di bawah ini yang dirujuk oleh
Qaysari:
Setiap alam di derajat bawah yaitu mazhar dan tanda bagi alam di derajat
atasnya. Maka itu, alam mulk yaitu mazhar alam al-malakut yaitu al-‘alam
al-mithali al-mutlaq. Ini berarti bahwa alam al-mithali akan termanifestasi
didalam alam al-mulk. Dan alam al-mulk pula akan menjadi tanda kepada
alam al-malakut. Dan alam al-malakut yaitu alam al-mithali pula yaitu tanda
dan mazhar bagi alam al-jabarut yaitu alam al-mujarradat. Alam Jabarrut
yaitu mazhar bagi alam a’yan yaitu hadrat al asma di maqam Wahidiyyah.
Dan hadrat al-Wahadiyyah yaitu mazhar bagi al-hadrat al-Ahadiyyah.
Aspek eksterior dari arketip-arketip yaitu pengembang aktif dari aktualisasi
tentang potensialitas inheren dalam arketip permanen berdasarkan kebutuhan semua
kondisi masa depan mereka. Di mana masing-masing aktualisasi serupa, sesuatu yang
berbeda, sesuatu yang baru dari sebelumnya.177
Alam mitsal (barzakh) atau alam malakut.178 Alam yang di mana hal murni
materi dispiritualkan dan yang spiritual dimaterikan dalam bentuk huruf dan suara
sebagai keraguan sedikitpun. Alam Malakut atau alam mitsal yaitu tanda dan
mazhar bagi alam jabarut yaitu alam Mujarradat.179 Alam mitsal atau alam Malakut
(barzakh) yang posisinya berada diaantara dua dimensi maka menurut Qaysari ia
yaitu batas pemisah antara alam ruh (Jabarrut) dan alam jism (Mulk). Barzakh tidak
hanya sebagai pemisah namun juga sebagai penghubung antara alam ruh dan alam
jism. Esensi Alam mitsal ini yaitu esensi ruhani yang tidak memiliki substansi
material, ia juga tidak secara total imaterial seperti keberadaan intelektual, maka ia
berada di bawah intelektual ruhani. Dimensi Alam mitsal yaitu dimensi ruh yang
memiliki karakteristik jism atau corporeal. Definisi yang demikian terkesan
pardoksal sebab kata sensible atau quantified tidak sama dengan pemahaman yang
berlaku pada dimensi material. Maknanya yaitu wilayah alam mitsal bukan wilayah
indera lahiriah di mana sensibility immaterial-nya sesuai dengan substansi
keberadaannya.
Alam mitsal atau alam Malakut memiliki dua derajat yakni alam mitsal mutlak
dan alam mitsal al-muqayyad. Mitsal al-muqayyad yaitu al-quwwat al-
muthakayyalah insan. Kata ‘al-muqayyad’ (conditional atau restricted) artinya form-
form mithali ini tergantung pada takhayyul (ketika manusia mencipta imajinasi-
imajinasi dalam dimensi khayalnya). Maka itu keberadaannya hanya tertegak dengan
al-nufus al-juziyyah al-mutakhaliyyah (the particular imaginative souls). Imajinasi-
imajinasi yang dihasilkan fakultas khayal manusia.
Alam mitsal (barzakh) atau alam Malakut. Alam ini merupakan determinasi
yang keempat dari kehadiran Ilahi sebagai alam perantara, yaitu antara aspek interior
dan eksterior (barzakh). Aspek interior (alam spirit) merupakan penentu aktif semua
mawujud dalam hubungan dengan apa yang mungkin menjadi akibat bagi mereka.
Sedangkan aspek eksterior (alam jasad) merupakan penerima pasif yang mengandung
manifestasi pasif, kontingen, makhlukiyah dari Eksistensi absolut.180
Dalam realitas ada dua dimensi keberadaan yang berbeda antara satu dengan
yang lain yakni dimensi ruhani (immaterial) dan dimensi jasmani (material). Dimensi
material yaitu dimensi mater (maddah) yang memiliki form jasmani. Sementara
dimensi immaterial yaitu bersubstansikan intelek nurani yang esensinya diistilahkan
sebagai al-aql (intelektual). Diantara dua dimensi ini disebut dengan dimensi barzakh
atau kadang disebut juga sebagai alam mitsal di mana keberadaannya tidak
bersubstansikan mater dan juga tidak bersubstansikan immaterial. Seperti halnya
penjelasan Qaysari dibawah ini:
“Ketahuilah, sesungguhnya al-‘Alam al-Mithali yaitu alam ruhani dari
substans nurani yang mirip dengan substansi jasmani sebab keberadaannya
yang sensible dan “quantified”. Dan ia (juga mirip) dengan substansi al-
mujarrad al-aqli (immaterial intellect) sebab keberadaanya yang nurani. Dan
ia bukanlah jisim murakkab yang material (compound corporeal material) dan
juga bukan substans intelek yang mujarrad (intellectual immaterial
substance). sebab ia yaitu barzakh dan batas pemisah antara keduanya. Dan
setiap sesuatu yang merupakan barzakh diantara dua benda sudah pasti bukan
kedua-keduanya: namun ia akan mempunyai dua aspek yang mirip dengan
kedua-duanya yang sesuai dengan alamnya. Allahumma! Mungkin saja bisa
dikatakan bahwa sesungguhnya ia yaitu jisim nurani yang berada dalam
kehalusan yang paling mungkin (ia miliki) sehingga ia menjadi batas pemisah
antara al-jauhar al-mujarradah al-latifah (subtle immaterial substance) dan
al-jawahir al-jasmaniyah al-madiyyah al-kathifah (coarse material corporeal
substances).”
Setiap alam merupakan derajat dibawah dan tanda bagi alam dan derajat
diatasnya. Maka alam Mulk yaitu mazhar alam Malakut yaitu alam mitsal al-mutlak
yang berarti bahwa alam mithal akan termanifestasi di alam Mulk, dan alam Mulk
pula akan menjadi tanda kepada alam Malakut.182
Perwujudan alam ini terdapat dalam al-a’yan al-tsabitah183 sebagai wujud dari
ilmu-Nya setelah Nur Muhammad atau Akal pertama. Dalam arti lain alam diciptakan
dari sesuatu yang telah ada yang terapat dalam pengetahuan-Nya tentang diri-Nya
sendiri.184 Determinasi kelima yaitu dunia empiris (manifestasi dari derajat
sebelumnya), dunia indera, pengalaman inderawi yang didalamnya kontingensi
(imkan) merupakan kondisi yang tidak berubah.185 Nama-nama dan sifat-sifat
Ilahiyah membutuhkan dalam realitasnya untuk diwujudkan dalam bentuk
manifestasi mereka (mazhar) atau lokus manifestasi (menurut linguistik) dan bentuk
(menurut metafisik).186
b. Dimensi Mikrokosmos (Ruh – Jiwa – Raga)
Alam mikrokosmos merupakan hakikat insan secara ijma. Hakikat insan akan
termanifestasi didalam materi jasmani setelah termanifestasi di martabat intelek dan
barzakh. Dan keberadaan materinya akan mencapai kesempurnaan setelah melalui
penyempurnaan pergerakan substansial (substantial motion). Dari level ma’dani ke
level nabati kemudian ke level insani. Maka apapun yang ada didalam makrokosmos
secara tafsil juga berada dalam wujud insan secara ijmal dan kolektif. Hakikat insan
ini yaitu keberadaan yang didalamnya terkadang derajat realitas dari intelek,
barzakh dan fisik (ruh-jiwa-raga).
Seperti halnya penjelasan Qaysari dibawah ini:
“Sebagaimana kamu telah mengetahi sesungggunya haqiqat insan
mempunyai manifestasi-manifestasi di dalam alam (makrokosmos) secara
tafsil (detail and differentiated), ketahuilah; bahwa dia juga mempunyai
manifestasi-manifestasi di alam insani (mikrokosmos) secara ijmal
(undifferentiated), dan lokus (manifestasi) penampilan yang pertama dalam
alam insani yaitu bentuk (form) abstrak sesuai form rasional.”
Dengan demikian hakikat insan alam mikrokosmis paralel (correspondance)
dengan alam makrokosmos. Seperti yang dikatakan Imam Ali R.A yang dijelaskan
oleh Qaysari berikut ini:
Artinya: Apakah kamu mengira dalam dirimu tubuh kecil padahal dalam
dirimu terkandung keberadaan kolektif (alam besar).
Seperti halnya diagram berikut ini189
Ibn ‘Arabi menjelaskan al-kawn al-jami’ (insan kamil) merupakan insan dan
khalifah yang memiliki al-jami’yyah al-Ilahiyyah di mana insan merupakan refleksi
diri-Nya sebagai form al-jauhariyyah al-mutlaqah (form substansi absolut) sebagai
penerima substansi seluruh alam. Seperti yang dijelaskan pada ungkapan di bawah
ini:
“Dan dinamakan apa yang dibicarakan ini (yaitu al-kawn al-jami’) sebagai
insan dan khalifah. namun insaniyyat (keinsanan)nya yaitu sebab
keumuman dimensinya dan kekomprehensifannya terhadap seluruh hakikat.
Dan dia untuk al-Haqq yaitu sebagai insan al-‘ayn (yaitu seperti pupil untuk
mata). ‘Ayn yang dimaksudkan yaitu mata yang dengannya terjadi
penglihatan. Dan ia dipanggil sebagai al-basar. Maka itu ia dinamakan
sebagai insan.”191
Relasi antara kata insan dan al-kawn al-jami’ menurut Qaysari disebabkan oleh
dua alasan. Yang pertama dimensi insan yang luas dan komprehensif sebagai
keberadaan yang senantiasa berada dalam manifestasi baru (perpetual manifestation)
dan tidak akan terhenti di satu manifestasi. Yang kedua melalui al-kawn al-jami’ al-
Haqq akan melihat diri-Nya. Hal ini mengisyaratkan bahwa insan kamil yaitu
menjadi sebab bagi eksistensi alam (ijad al-’alam) dan substansi (baqa) serta
kesempurnaannya, secara azali dan abadi, dunia dan akhirat.192
Setelah penjelasan tentang correspondance antara hakikat insan yang ada sejajar
dengan mikrokosmos maka penjejelasan dibawah ini hakikat insan juga meliputi
martabat Ilahiyyah dan Rububiyyah sebab hakikat insan juga memiliki hakikat al-
khafi193 dan al-akhfa.194 Seperti Maqalah Imam Ali R.A
195ةعوملمجاَهذهَفيَعدوتسمََََََََََهفطلَوَههنكَ ءيشَلكَنم
“Dari segala sesuatu, terdapat esensi dan batinnya, sedangkan rahasia itu
tersimpan dalam himpunan ini”
Hakikat insan yaitu sumber tajalli semua al-a’yan di maqam ilmu dan di
maqam konkret. Hakikat insan yaitu al-a’yan al-tsabitah di maqam ilmu dan a’yan
kharijiyyah di maqam konkret. sebab azahir yaitu al-mazhar (penampakan) dan
sebab al-kull (the whole) dan al-juz (the part). Kesimpulannya yaitu seluruh alam
dalam berbagai derajatnya dan beragam lawazimnya yaitu manfestasi hakikat insan.
Penjelasan ini berbeda dengan penjelasan para Arifin yang mengatakan bawa
seluurh alam yaitu manifestasi Al-Haqqtapi penjelasan yang ini hakikat insan adlah
mazhar nama agung Allah dia juga termanifestasi dalam seluruh alam.197 Seperti
halnya penjelasan Qaysari:
“Ketika kamu sudah mengetahui haqiqat ini, kamu akan ketahui
sesungguhnya haqiqat-haqiqat al-alam dalam (martabat) ilmu dan konkrit,
semuanya yaitu mazahir bagi haqiqat insan yang ia sendiri yaitu mazhar
bagi Nama Allah. Dan arwah mereka juga yaitu “al-juz’iyyat” yaitu
partikular-partikular al-Ruh al-A’zam al-Insani, baik ia yaitu al-ruh al-falaki
atau al-ruh al-‘unsuri atau al-ruh al-haiwani. Dan form-formnya juga yaitu
form haqiqat tersebut dan lawazimnya yaitu lawazim insan. Berdasarkan ini,
al-alam al-mufassal (the detail and elaborate world) dinamakan sebagai al-
insan al-kabir disisi Ahlullah sebab manifestasi haqiqat insan dan
lawazimnya di dalam alam itu. Dan dengan ini, kekomprehensifan serta
manifestasi al-asrar al-Ilahiyyah (Divine secrets) semuanya ada didalamnya
(yaitu haqiqat insan) dan tidak pada selainnya. Maka itu teraktualisasi
(maqam) al-khilafah (pada insan) dianatara semua haqiqat-haqiqat.”
Manusia digambarkan melalui sifat-sifat yang dimiliki oleh kosmos. Manusia
sebagai mikrokosmos yang mencerminkan dunia makrokosmos yang bersifat
spiritual, imajinal, korporeal melalui ruh, jiwa (nafas), dan jasad (jism).199
Menurut Ibn ‘Arabi, ruh terbagi menjadi dua yaitu ruhul ya’i dan ruhul amri.
Yang dimaksud dengan ruhul ya’i yaitu berdasarkan ayat
“...dan aku telah meniupkan roh (ciptaan)-ku ke dalamnya” (QS Al Hijr
[15]: 29) .
Sementara ruhul amri berdasarkan ayat
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah
“Ruh itu termasuk urusan Tuhanku...”(QS Al-Isra [17]: 85).
Ruh manusia (al-ruh al-idhafi) merupakan kesadaran Tuhan. Ruh yaitu
sebuah term yang menggambarkan penyatuan dari sifat Tuhan sekaligus sifat
manusia. Hal ini merujuk pada ayat:
“Kemudian, Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh (ciptaan-Nya)
ke dalam rubuh (nya) dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan
dan hati bagimu, (namun ) sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. As-Sajadah
[32]: 9).
Sementara derajat jiwa didefinisikan oleh Ibn ‘Arabi sebagai alam barzakh di
mana setiap rahasia darinya menjelaskan maqam-maqam dan ilmu-ilmu. Secara
umum, terminologi nafas yaitu akibat (ma’lul) dari sifat-sfiat hamba dan juga
merupakan kelembutan insani. Nafas disebut barzakh sebab jiwa memiliki dua sisi
yaitu sisi yang satu menghadap ke ruh dan sisi yang lain menghadap ke jasad.201
Jiwa (nafas) merupakan kesadaran manusia yang merupakan term dari sifat
Ilahiah dan kosmis dari cahaya. Semua term setiap Nama-Nama Tuhan yang menyatu
dalam manusia dan tak terbedakan (majmal). Jiwa manusia secara gradual tumbuh
dan berkembang menjadi manusia. Jiwa manusia tumbuh melalui kegelapan menuju
cahaya, dari kematian menuju kehidupan (hayat), kebodohan menuju pengetahuan
(ilm), yang kemudian mencapai keselarasan secara total bersama ruh.
Alam jasmani (ajsam) atau dunia terdiri dari jasad (tubuh) yang memiliki
tingkatan-tingkatan.202 Manusia sebagai tajalli Allah (mikrokosmos)
menggambarkan seluruh unsur kosmos203 dan memiliki semua daya termasuk daya
nalar (roh) yang tidak dimiliki tumbuhan dan hewan. Manusia yaitu puncak alam
jasmani. Sifat dan asma Allah yang lengkap tercermin pada manusia (mikrokosmos).
Allah memberi tiupan nafas al-rahman (dengan belas kasih dan cinta) pada
penciptaannya. Hal ini merujuk pada (Qs. Al-A’raf [7]:156 dan At-Thalaq [65]:12).
c. Dimensi Alam Insani: Kesempurnaan Manifestasi
Su’ad Hakim menjelaskan beberapa istilah yang disamakan dengan insan kamil
dalam esensi dan metafisikanya yaitu al-imam al-mubin, al aqqul awwal, al-ruh al-
alam, Nur Muhammad, lauh al-mahfudz, arasy Tuhan, kalimah jami’ah, al-insan,
mar’ah al-haqqah wal haqiqah, al insan, dan al azali.204
Ibn ‘Arabi yaitu sufi pertama yang menggunakan istilah ini dalam wacana
tasawuf dan filsafat Islam.205 Secara tegas, Ibn ‘Arabi menjelaskan perbedaan insan
kamil pada tingkat universal dan pada tingkat partikular. Menurut Chittick, manusia
sempurna yaitu abadi dan permanen sedangkan pada tingkat partikular yaitu para
nabi dan waliyullah.206
Insan kamil dalam teori Ibn ‘Arabi, tidak disebut sempurna kecuali jika ia telah
menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, dimana kualitas-kualitas Tuhan ber-
tajalli pada jiwa sebagai wadah yang memiliki refleksi simbolik dalam bentuk
kebajikan ruhaniah. Sebagai pola dasar (blue print) kosmos dan arketipe bani Adam
yang secara potensial yaitu Insan kamil.207
Insan kamil disebut juga al-Jam’iyyat al-Ilahiyyah di mana semua nama dan
sifat akan terekspresi sebab insan kamil merupakan mazhar nama Allah yang
merupakan nama ‘All-Comprehensive’.208 Menurut Qaysari, Insan kamil yaitu Ruh
Muhammad yang berada pada martabat Ghaib al-ghuyyub (The Hidden of all the
hidden) di mana ke-Absolutan-Nya dan non-entifikasi Ilahi. Sementara martabat
keduanya yaitu al-Ahadiy al-Jam’iy (the comprehensive Oneness) yang mana
haqiqat esensial itu merealisasi untuk diri-Nya sendiri, martabat ini disebut juga
sebagai Al-Haqiqat Al-Haqaiq (the Reality of all realities).
“Sesungguhnya hikmahnya yaitu fardiyyah sebab ia yaitu keberadaan
yang paling sempurna dikalangan spesies manusia ini. Dan sebab itu, segala
sesuatu dimulai dengannya dan juga berakhir dengannnya. “Beliau
sudah menjadi nabi pada masa Adam berada di antara air dan tanah liat.
Kemudian, dengan dimensi unsuriyahnya dia yaitu penutup para nabi
(khatim al-anbiya)”
Hakikat insan ini disebut juga hakikat tunggal (fardiyyah) sebab menurut Ibn
‘Arabi , Muhammad yaitu individu yang paling sempurna di kalangan manusia yang
merupakan hakikat tunggal dan azali yang kadang juga disebut al-Ta’ayyun al-
Muhammadi maka dari itu, al-ayn al-thabith Muhammadi tampil sebagai al-fardiyah
al-mutlaqah (the absolute singularity) melalui al-fayd al-aqdas. Dengan kata lain,
bahwa hakikat Insani Ahadi merupakan barzakh atau perantara yang merupakan
keterpaduan antara Dzat Tuhan, martabat Ilahiyyah, dan insan kamil merupakan
barzakh kesempurnaan dari segi