Tampilkan postingan dengan label sejarah alquran 12. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah alquran 12. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Desember 2024

sejarah alquran 12


 titik di atasnya ( m ); sîn (s) tanpa titik ( < ), syîn (sy)

diberi tiga titik di atasnya ( ); dan seterusnya. Titik-titik diakritis

ini diwarnai dengan tinta yang sama untuk menulis huruf, sehingga

bisa dibedakan dari titik-titik yang diintroduksi al-Du‘ali untuk

vokalisasi teks.

Setelah melalui tahapan-tahapan penyempurnaan, terutama

yang dilakukan oleh al-Khalil, scriptio plena – seiring dengan

perkembangan ragam khat kufi dan naskhi – mencapai bentuk

seperti yang dikenal dewasa ini. Jadi, permasalahan yang dihadapi

dalam scriptio defectiva – seperti pemberian tanda vokal pendek

ataupun panjang (maddah), pembedaan konsonan-konsonan

bersimbol sama, pemberian tanda-tanda baca lain semisal syaddah,

sukûn, dan tanwîn – telah terselesaikan pada titik ini.

Sekalipun demikian, suatu catatan penting mesti dikemukakan

sehubungan dengan berbagai riwayat tentang penyempurnaan rasm

al-Quran di atas. Penjelasan-penjelasan tradisional tentang

pembabakan scriptio plena tidak bersesuaian antara satu dengan

lainnya, bahkan bertentangan dengan temuan-temuan paleografi.

Dari berbagai tinggalan historis, diketahui bahwa titik-titik

pembeda konsonan sebagiannya telah dikenal dan mungkin

diintroduksi pada periode pra-Islam, mengikuti model penulisan

Suryani (Siriak).41  Dapat dipastikan bahwa titik-titik diakritis

ini  telah digunakan pada abad pertama Islam, sekalipun tidak

tersebar luas sebagaimana yang terjadi pada masa belakangan. Dari

berbagai dokumen abad pertama, huruf-huruf berikut ini telah

memiliki titik-titik diakritis:   8 ,.  ,  , juga + , U ,    , C ,  -  kecuali

% ; dan  O , S , * , k , dan  huruf qãf (; ) yang diberi satu titik di

atas atau di bawahnya (h atau h). Huruf terakhir yang diberi titik

adalah tã’ marbûthah (  ), yang tampaknya tidak diberi tanda

semacam itu hingga abad ke-2H.

Pemberian titik diakritis terhadap huruf qãf ( ; ) dan fã’ ( h)

memperlihatkan beberapa  variasi yang menarik. Tampaknya,

pembedaan awal kedua huruf ini adalah bahwa fã’ tidak memiliki

titik apapun dan qãf hanya memiliki satu titik. Pembedaan ini

hanya diterapkan saat  huruf-huruf ini  muncul pada awal

atau di tengah suatu kata, sementara kemunculan keduanya di

penghujung kata bisa dibedakan dan tidak diberi titik pembeda.

Tempat penempatan titik untuk huruf qãf juga bervariasi. Di Mesir,

pada penghujung abad pertama dan permulaan abad ke-2H, titik

satu untuk huruf ini terkadang ditempatkan di atasnya, namun 

terkadang juga di bawahnya. Sementara di Palestina, titiknya

ditempatkan di bawah huruf ini . Pemberian titik terhadap

huruf fã’, barangkali baru dilakukan pada abad ke-2H, pertama

kali  dengan  menempatkan  satu  titik  di  bawahnya  ( h ) dan

belakangan  di atasnya ( h ). Kira-kira pada waktu yang sama,

huruf qãf diberi dua titik ( ; ) dan mencapai bentuk finalnya –

seperti yang dikenal sekarang – pada masa ini juga (abad ke-2H).

Sekalipun demikian, bentuk lama huruf fã’ tetap digunakan hingga

abad ke-5H.

Tanda-tanda vokal berupa titik-titik diakritis – kemungkinan

diadopsi dari aksara Suryani –  juga tampaknya sangat tua. namun ,

masa pengintroduksiannya ke dalam aksara Arab tidak dapat

ditetapkan secara pasti. Yang jelas, pada abad ke-2H. penggunaannya

dalam penulisan mushaf al-Quran belum mendapat justifikasi.

Malik ibn Anas (w. 795-6), misalnya, menuntut bahwa mushaf al-

Quran harus dibersihkan dari titik-titik vokal. Tanda-tanda vokal

ini kemudian diubah ke dalam bentuk huruf-huruf hidup –

menurut sumber-sumber Islam diperkenalkan oleh al-Khalil ibn

Ahmad. Pada tahap selanjutnya, tanda-tanda vokal ini 

disempurnakan dan mencapai bentuk yang dikenal dewasa ini.

Tanda-tanda ortografis lainnya diperkenalkan lebih belakangan

dari tanda-tanda vokal, namun  waktunya tidak dapat ditetapkan

secara pasti. Hamzah ( 6 ), yang merupakan salah satu tanda

ortografis terpenting, barangkali yang paling awal diperkenalkan.

Dalam manuskrip-manuskrip al-Quran tertua, tanda hamzah

diekspresikan dengan dua titik merah yang diletakkan

berdampingan. Belakangan, ia ditampilkan dengan satu titik

berwarna biru atau lingkaran kecil yang terkadang ditempatkan di

atas alif atau yã’  dan terkadang di bawahnya. Tanda-tanda ortografis

lainnya, menurut sumber-sumber Islam, diperkenalkan oleh al-

Khalil. Pengaitan ini, hingga taraf tertentu, didukung oleh

kenyataan bahwa tanda-tanda ini  juga diekspresikan dengan

huruf-huruf alfabet – hamzah direpresentasikan dengan 6 , dan

tasydîd atau syaddah dengan  – yang merupakan karakteristik

pembaruan aksara Arab yang diintroduksi al-Khalil.

Dengan demikian, dapat disimpulkan secara pasti bahwa

scriptio plena tidak muncul dalam sesaat , namun  diperkenalkan

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  325

secara bertahap melalui serangkaian perubahan yang bersifat

eksperimental. Manuskrip-manuskrip al-Quran yang awal,

sebagaimana diperlihatkan di awal bab ini, juga menunjukkan

penerapan berbagai macam metode untuk menghilangkan

ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan naskah.42  Tahap final

penyempurnaan ragam tulis ini diperkirakan selesai pada

penghujung abad ke-3H/9.

Introduksi scriptio plena dalam penulisan al-Quran juga tidak

berlangsung mulus, namun  penuh dengan kontroversi akut di kalangan

sarjana Muslim. Mayoritas sarjana Muslim memandang rasm

utsmani – yakni bentuk tulisan yang digunakan pada masa Utsman

untuk menyalin al-Quran – tidak tunduk kepada aturan-aturan yang

disusun  kecerdikan akal pikiran manusia. Menurut sudut pandang

ini, rasm ini  bersumber dari Nabi (tawqîfi),43  dan diakui sebagai

salah satu tradisi (sunnah) warga  muslim yang suci dan tidak

dapat diganggu-gugat. Kaum muslimin wajib menaatinya  dalam

situasi  apapun.  Imam  Malik  ibn  Anas, saat  ditanya tentang

kebolehan penggunaan scriptio plena dalam penulisan al-Quran,

menegaskan bahwa al-Quran “harus ditulis mengikuti tulisan

pertama”.44  Sementara Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 855)

menyatakan: “Haram hukumnya menyalahi tulisan utsmani, seperti

dalam penulisan wãw ( $ ), yã’  (  ), alif ( ), atau lainnya.”45

namun  gagasan-gagasan yang menekankan keilahian dan

karakter mengikat rasm utsmani ini ditentang para penganjur

pengintroduksian scriptio plena dalam penulisan al-Quran. Bagi

mereka, rasm utsmani sama sekali tidak bersifat tawqîfi, tapi hanya

merupakan suatu cara penulisan yang disetujui Utsman dan

diterima kaum Muslimin pada masa itu. Abu Bakr al-Baqillani (w.

403H), misalnya, menegaskan bahwa al-Quran maupun hadits tidak

mewajibkan cara tertentu untuk penulisan mushaf, dan sebab nya

penulis al-Quran bebas menggunakan bentuk tulisan apapun.

Demikian pula, tidak ada  konsensus umat (ijmã‘) yang

mewajibkannya. Bahkan, menurut al-Baqillani, sunnah

menunjukkan kebolehan penulisan al-Quran dalam cara yang

memudahkan pembacaannya. Nabi memerintahkan para sahabat

untuk menuliskan al-Quran, namun  tidak mengharuskan atau

melarang mereka menuliskannya dalam cara tertentu. sebab  itu,

mushaf sahabi – yakni mushaf-mushaf pra-utsmani – memiliki

perbedaan antara satu dengan lainnya: ada yang menuliskannya

menurut pengucapan lafal, ada yang menambah atau mengurangi.

Al-Baqillani selanjutnya menegaskan kebolehan penulisan mushaf

dengan berbagai cara, baik dengan tulisan dan ejaan  kuno ataupun

dengan tulisan dan ejaan baru, sebab  tulisan hanya merupakan

simbol-simbol yang berfungsi sebagai isyarat, lambang dan rumus

yang digunakan untuk memudahkan pembacaan.46

Pandangan al-Baqillani di atas, memiliki gaung yang cukup

luas hingga dewasa ini. Pada abad ke-7H., ‘Izz al-Din Abd al-Salam

(w. 660H), seorang faqîh dari Damaskus, melangkah lebih jauh

dengan melarang penggunaan rasm utsmani, bahkan di kalangan

sarjana, dengan alasan bahwa penggunaan tulisan ini  akan

membuka peluang terjadinya perubahan dan penyimpangan di

kalangan awam.47  Beberapa otoritas Muslim lainnya menegaskan

bahwa penggunaan tulisan utsmani hanya wajib pada masa awal

Islam, saat  pengetahuan langsung tentang al-Quran masih segar

dan kuat, namun  penggunaannya pada masa-masa sesudahnya telah

menebarkan kebingungan.48

beberapa  pemikir Islam modern menekankan kembali

argumen-argumen di atas dalam rangka menjadikan sistem

penulisan al-Quran akrab dengan warga  Muslim. Ahmad

Hasan al-Jayyat, misalnya, mengemukakan:

Tujuan tulisan al-Quran adalah memudahkan kita membacanya

secara tepat …. Jika kita menulisnya secara keliru, maka

bagaimana mungkin kita bisa membacanya secara tepat? Dan

kebijaksanaan apakah yang melatarbelakangi pemasungan

Kalam Allah pada suatu sistem penulisan yang tidak digunakan

satu penulispun dewasa ini?49

Beberapa sarjana Muslim lainnya bahkan mengklaim bahwa

rasm utsmani telah memutarbalikkan dan mendistorsi makna kata-

kata hingga ke taraf mendekati kekufuran, dan  bahwa rasm ini 

mengandung kontradiksi dan ketidaksesuaian yang tidak dapat

dijustifikasi ataupun dijelaskan.50  Abd al-Aziz Fahmi, mantan

anggota Akademi Bahasa Arab (Majma‘ al-Lugah al-‘Arabiyyah),

melangkah lebih jauh dengan mengajukan proposal penggantian

aksara Arab dengan aksara Latin dalam karyanya, al-Hurûf al-

Lãtiniyyah li-kitãbah al-Lugah al-‘Arabiyyah (1944). Menurutnya,

ortografi utsmani laksana “penyakit kanker yang telah menyebar

di wajah bahasa Arab dan mengaburkan kecantikannya, sehingga

baik teman dekat maupun peminang yang datang dari jauh

menghindarkan diri darinya.” sebab  itu, menurutnya,

pengadopsian aksara Latin untuk menggantikannya harus

dilakukan.

Dua sudut pandang yang bertentangan secara diametral di

atas telah menimbulkan sudut pandang ketiga yang berusaha 

mensintesiskan atau mengkompromikan keduanya. Menurut sudut

pandang ini, mushaf-mushaf al-Quran yang diperuntukkan bagi

awam bisa ditulis dengan scriptio plena, namun  penulisan al-Quran

dengan rasm utsmani mesti dipelihara dan dibatasi penggunaannya

di kalangan spesialis,  Pandangan  kompromistik semacam ini  –

yang  juga dianut beberapa  pakar keislaman di negara kita 53  –

tentunya didasarkan pada pertimbangan kepentingan generasi

muda Islam dan kaum Muslimin non-Arab yang tidak bisa

mengucapkan kata-kata secara tepat, berpijak pada suatu sistem

tulisan yang tidak mereka akrabi. namun , gagasan ini secara

sederhana bisa disepelekan sebab  bersifat diskriminatif dan akan

menciptakan jurang pemisah antara yang awam dan terpelajar.

Sehubungan dengan keabsahan rasm utsmani sebagai cara

penulisan al-Quran dan usaha  untuk mempertahankan dan 

melestarikannya, Labib al-Said mengumpulkan berbagai argumen

para sarjana muslim untuk membantai kedua pendapat yang

membolehkan introduksi scriptio plena ke dalam penyalinan al-

Quran dan yang berusaha  menengahi perselisihan itu lewat sintesis.

Argumen-argumen ini dapat diringkas sebagai berikut:

(i) Rasm utsmani bisa dikatakan mendapat persetujuan

Nabi, sebab  para sahabat menggunakan tulisan ini pada

saat kehadirannya dan di bawah supervisinya. Jadi, rasm

ini bersifat tawqîfi.

(ii) Kekhususan tulisan utsmani masuk ke dalam kategori

misteri ilahi, sama halnya dengan huruf-huruf potong

pada permulaan beberapa  surat al-Quran (fawãtih al-

suwar), yang  pemahaman atasnya tidak diberikan kepada

manusia, kecuali dalam keadaan-keadaan khusus lewat

inspirasi ilahi. Jadi, kekhususan tulisan al-Quran

merupakan karakter kemukjizatan al-Quran.

(iii) Kesucian rasm utsmani dikonfirmasi ijmã‘ para sahabat

dan dua generasi setelahnya. Dalam masa ini, tidak ada

catatan tentang eksisnya suatu usaha  untuk menggantikan

tulisan ini  dengan sistem tulisan yang lebih baru.

(iv) Para fuqahã’ besar dengan suara bulat, atau hampir

mendekati itu, menyepakati rasm utsmani.

(v) Gagasan yang menegasikan sifat tawqîfi tulisan utsmani

dan melecehkan konsensus kaum Muslimin yang awal

tentangnya sebagai suatu ijmã‘, merupakan gagasan yang

tidak dapat disetujui. Sudut pandang negatif ini tidak

konsisten dengan penegasan Tuhan sendiri bahwa Dia

menjamin terpeliharanya al-Quran. Jika keterpeliharaan

al-Quran merupakan suatu kenyataan, maka harus

ditegaskan bahwa sifat tawqîfi rasm utsmani juga

merupakan suatu kenyataan.

(vi) Pada tataran praktis, gagasan penafian karakter dogmatis

rasm utsmani di atas – butir kelima – juga mesti ditolak.

Jika ortografi al-Quran hanya merupakan preferensi

pribadi (istihsãn), maka berbagai inovasi akan terjadi.

Inovasi ini tidak hanya bertalian dengan ragam tulis,

namun  bahkan berhubungan dengan kata-kata al-Quran

sendiri. Dengan demikian, kitab suci itu akan tidak

terhindarkan dari perubahan dan penyimpangan.

(vii) Keberatan selanjutnya, yang juga masih didasarkan pada

pertimbangan praktis, adalah bahwa modifikasi dan

modernisasi tulisan al-Quran, dengan tujuan

membuatnya mudah dibaca kaum Muslimin, akan

merusak capaian-capaian tradisi oral bacaan al-Quran dan

ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya. Jika republikasi al-

Quran dengan tulisan yang up to date dibolehkan, maka

tidak ada lagi keberatan untuk menerbitkannya dalam

tulisan non-Arab. saat  rasm utsmani dikesampingkan

dan prinsip istihsãn diadopsi, maka berbagai

kemungkinan akan terbuka lebar. Tidak mengherankan

jika nantinya sebagian orang akan mengusaha kan

penerbitan suatu transliterasi al-Quran dalam aksara

Latin, sebagian lagi akan mengusaha kan penyingkatan-

nya, sementara lainnya akan menuntut eksistensi versi

al-Quran yang merakyat. Kesemuanya ini didasarkan pada

alasan untuk membuat al-Quran lebih mudah dibaca.

(viii)Mesti diingat bahwa edisi-edisi modern teks utsmani telah

dilengkapi dengan titik-titik diakritis dan catatan-catatan

penjelasan berkaitan dengan kata-kata yang tidak selaras

dengan ortografi konvensional – yang jumlahnya relatif

sedikit. Hal ini, hingga taraf tertentu, telah meminimal-

kan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pembacaan

al-Quran.

(ix) Para sarjana yang meneliti secara cermat kekhususan

ortografi utsmani telah menyimpulkan bahwa

kekhususan ini, dalam berbagai kasus, dapat

dirasionalisasikan sebagai ukuran-ukuran yang dipolakan

untuk membuat kata-kata tertentu dapat menyokong

keragaman bacaan atau untuk melindungi timbulnya

bacaan-bacaan yang tidak sejati.

(x) Dari sudut pandang filologis, rasm utsmani memiliki

beberapa  keunggulan: (a) ia sering menunjuk akar kata

yang tidak diindikasikan bentuk lazimnya, seperti kata

shalãt ( qA ) atau zakãt  ( m ), yang dalam rasm utsmani

menggunakan huruf wãw sebagai pengganti alif – yakni

)A dan  m . (b) Dalam beberapa  kasus, rasm utsmani

menjaga bentuk linguistik atau penggunaan dialek non-

Quraisy, seperti penggunaan tã’ biasa ( 5 ) ketimbang tã’

marbutha (  ) sebagai tanda jenis feminin yang

dipraktekkan di kalangan banu Tayy.

(xi) Dalam tulisan standar Arab, tidak disyaratkan bahwa

bentuk kata-kata yang ditulis mesti secara tepat

merefleksikan pengucapannya. Contohnya, kata dãwûd

ditulis dengan satu wãw (G$ G ), meskipun diucapkan

seakan-akan huruf wãw itu didobel. Demikian pula kata

‘amr ditulis dengan huruf wãw pada akhir kata ( $ L ),

namun  dalam pengucapannya tidak diartikulasikan.

(xii) Rasm utsmani secara tidak langsung membantu

memelihara eksistensi bacaan al-Quran sebagai tradisi oral

yang mandiri dari teks tertulis.

Argumen-argumen yang diajukan untuk mempertahankan

keabsahan rasm utsmani di atas, dalam kenyataannya, memiliki

kelemahan yang mendasar. Al-Baqillani, seperti telah disitir di atas,

menegaskan bahwa aksara itu tidaklah bersifat tawqîfi. Tidak ada

petunjuk dari al-Quran maupun Sunnah Nabi yang mewajibkan

penggunaannya. Bahkan, dalam pandangan al-Baqillani, tidak

ada  ijmã‘ tentangnya. Hasbi Ash-Shiddieqy menilai gagasan

al-Baqillani ini “sangat layak untuk dipegangi, hujjahnya nyata

dan tinjauannya jauh.”55  Ia bahkan menilai bahwa orang yang

memandang rasm utsmani memiliki sanksi ilahi (tawqîfi), “adalah

orang yang bertahkim kepada perasaan.”56

Penelusuran terhadap mushaf-mushaf pra-Utsman, seperti telah

dilakukan dalam bab 5, dengan jelas memperlihatkan penggunaan

berbagai bentuk tulisan dalam penyalinan mushaf yang awal. Jadi,

salah satu karakteristik yang menonjol dari ortografi mushaf Ibn

Mas‘ud, yang membedakannya dari ortografi utsmani, adalah

penulisan kata-kata tertentu, seperti kata kullamã (  ) ) yang

dipisahkan penulisannya dalam keseluruhan al-Quran – yakni

,  . Demikian pula, penyalinan kata syay’ (  bc  ) dalam kasus

marfû‘ dan majrûr dilakukan secara terpisah ( 3 c ). Sementara

ortografi mushaf Ubay ibn Ka‘b juga memperlihatkan

perbedaannya dalam kasus-kasus tertentu dengan ortografi utsmani.

Untuk kasus imãla (vokal ã panjang), misalnya, dalam mushaf

Ubay ditulis dengan yã’ ( - ). Contohnya, kata li-l-rijãli ( JO)

 )

disalin dengan  -O)

 ,  jã’a ( 6O ) disalin dengan -O , dan jã’at-hum

( N6O ) disalin dengan  N -O. Sebagaimana telah dikemukakan

dalam bab 5, Ibn Mas‘ud – demikian pula Abu Musa al-Asy‘ari –

dikabarkan telah menolak memusnahkan atau mengharmoniskan

mushafnya dengan teks resmi al-Quran yang diedarkan oleh

Utsman.

saat  beberapa  manuskrip kuno dari abad ke-2 Hijriah

dimasukkan ke dalam pertimbangan, dapat dipastikan bahwa tidak

ada  ijmã‘ tentang rasm utsmani. Seperti telah ditunjukkan,

khususnya dalam bagian karakteristik ortografi utsmani di atas,

tidak terlihat adanya keseragaman dalam penyalinan Mushaf-

mushaf Utsmani. Dalam kasus-kasus tertentu – misalnya penulisan

kata syay’ dalam mushaf utsmani dengan  bc , yang dalam mushaf

Ibn Mas‘ud dan beberapa  manuskrip utsmani disalin secara terpisah

( 3 c )57  – ortografi utsmani justeru tidak menunjukkan

kekhususannya, namun  lebih menampakkan adopsi jenis tulisan

yang pada umumnya tidak lagi digunakan saat  itu, namun telah

menyebar luas.

Demikian pula, karakteristik penulisan kata-kata tertentu –

misalnya penggunaan tã’ maftûhah ( 5 ) sebagai pengganti tã’

marbûthah (  ) dalam kata C  , C W7 , dll. –  penggantian alif

dengan wãw dalam kata-kata tertentu – misalnya )A ,  m , dll. –

dan  penghilangan atau penambahan alif, wãw dan yã’, yang dalam

sudut pandang tradisional dianggap sebagai misteri (i‘jãz) yang

tidak bisa dipahami akal manusia, sebenarnya secara logis bisa

dijelaskan. Penggunaan tã’ biasa ( 5 ) dalam kata-kata di atas,

misalnya, adalah praktek yang berjalan di kalangan banu Tayy.

Penggantian alif dengan wãw dalam kata-kata tertentu bisa dikaitkan

dengan artikulasi dalam dialek hijaz yang mengucapkan ã sebagai

ô – jadi, untuk kata )A diucapkan sebagai shalôt, yang menurut

Schwally dipengaruhi oleh kata dasar bahasa Arami (aramaik).58

namun , sebagaimana ditunjukkan di atas, penulisan vokal ã dalam

kata-kata itu terkadang juga disalin dengan    –  seperti dalam kata

qA , - , atau  8 –  dalam beberapa  manuskrip al-Quran awal

beraksara kufi.  Bentuk penyalinan terakhir ini terlihat lebih dekat

kepada cara penulisan gaya baru (scriptio plena).

Sementara bentuk-bentuk penambahan (ziyãdah, Gm ) atau

pengurangan (hadzf, h ) bisa dilihat sebagai usaha  penyalinan

dalam bentuk tertulis artikulasi dua vokal yang berdampingan.

Jadi, vokal a’i,  misalnya dalam kata  +7 (untuk  "+7 ,  6:34); atau

sebaliknya i’a, misalnya dalam kata , , M-8 (untuk M8 , 51:47),

atau dalam berbagai manuskrip C-8 (untuk  58 ); atau bahkan

î’a, misalnya dalam kata 3O (untuk 6%O , 39:69; 89:23), yang disalin

dengan  ; dan  saat  urutannya dibalik menjadi   (a’i  sebagai

ganti ai’) dalam kata b *

 (untuk b*

 , 18:23). Dalam kasus-kasus

tertentu, bentuk-bentuk semacam ini juga berkaitan dengan

konteksnya. Jadi, kata kerja   biasanya disalin dengan

penghilangan  , yakni  , kecuali dalam 53:11,18 disalin dengan

 . Khusus untuk 53:11, penyalinan ini – yakni   – dapat

dijelaskan sebagai penyesuaian dengan rima surat.

Sedangkan inkonsistensi – kalau bisa disebut demikian – dalam

penggabungan partikel-partikel tertentu, misalnya penulisan   , ,

yang di tiga tempat disalin terpisah ,4, , atau & , yang  di sepuluh

tempat ditulis terpisah &  , dapat dijelaskan dengan

menempatkannya ke dalam konteks pengumpulan al-Quran yang

sebagiannya menggunakan sumber tertulis dan  sebagian lagi

menggunakan sumber hafalan. Kasus-kasus ini juga bisa dijelaskan

dengan merujuk perkembangan ragam tulis Arab itu sendiri, yakni

proses transisinya dari scriptio defectiva ke scriptio plena.

Inkonsistensi semacam itu barangkali merupakan sisa-sisa dari

rekaman aksara Arab dalam berbagai stase perkembangannya, atau

mencerminkan bentuk kompromi dari berbagai kecenderungan yang

berbeda di dalam tubuh umat Islam.

Kalangan tertentu sarjana Muslim menduga bahwa berbagai

penyimpangan dari kaedah penulisan baku yang ada  di dalam

ortografi utsmani adalah kekeliruan penulisan yang tidak disengaja,

sebab  seni tulis-menulis masih merupakan hal yang baru di dunia

Islam saat  itu. Pandangan semacam ini barangkali bisa dijustifikasi

dengan merujuk riwayat-riwayat yang mengungkapkan

ditemukannya berbagai kesalahan penulisan dalam salinan mushaf

utsmani oleh Utsman sendiri atau oleh Aisyah59 . namun , tampaknya

dugaan itu tidak sejalan dengan kenyataan historis yang telah

ditunjukkan pada bagian permulaan bab 4. Berpijak pada paparan

yang telah dikemukakan di atas, dapat juga diasumsikan bahwa

berbagai “keistimewaan” ortografi utsmani  memperlihatkan usaha 

untuk mengakomodasikan berbagai perkembangan tradisi oral dan

tulisan al-Quran yang eksis di kalangan kaum Muslimin saat  itu.

Bila disepakati bahwa ragam tulis adalah produk budaya

manusia yang berkembang selaras dengan perkembangan manusia,

maka permasalahan tentang apakah suatu bentuk tulisan memiliki

sanksi ilahi atau mestikah ia dipertahankan sebab  merupakan

konsensus warga  dalam suatu kurun waktu, adalah

permasalahan yang terlalu sepele dan tidak perlu diperdebatkan

mengingat karakter asasi manusia yang selalu berkembang. usaha 

penekanan karakter ilahiah rasm utsmani atau penetapannya sebagai

tawqîfi jelas merupakan usaha  sakralisasi produk budaya manusia.

usaha  ini mirip dengan proses penempaan bahasa Arab klasik

sebagai lingua sacra, yang pada ujungnya telah mengalangi

perkembangannya dan membuatnya menetap dalam limbo sejarah.

Dengan demikian, ia tidak  lagi dapat berinteraksi dengan umat

Islam. Penempaan bahasa Arab telah berakibat tidak dibolehkannya

penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa-bahasa non-Arab yang

digunakan di dunia Islam – sekalipun ada  laporan bahwa salah

seorang sahabat Nabi, Salman al-Farisi, telah menerjemahkan al-

Quran ke dalam bahasa Persia, bahasa ibunya. Hal ini dengan jelas

menghambat pemahaman kaum Muslimin non-Arab terhadap al-

Quran. Baru pada masa belakangan penerjemahan dibolehkan, namun 

dengan syarat bahwa terjemahan itu harus didampingi teks Arabnya

– yakni terjemahan interlinear.

Argumen-argumen lainnya yang dikemukakan al-Said barangkali

bisa dikontraskan dengan realitas yang ada dalam sejarah umat Is-

lam. Sebagian besar teks utsmani, setelah selesainya usaha-usaha

penyempurnaan ortografis, telah mengalami perubahan besar-

besaran dengan diintroduksikannya scriptio plena dalam

penulisannya. Teks al-Quran tidak lagi disalin dengan scriptio

defectiva yang tanpa tanda baca. Hanya sebagian kecil dari ortografi

utsmani yang tetap bertahan atau dipertahankan dalam penulisan

al-Quran.61  Meskipun demikian, ragam tulis khas utsmani ini telah

mengalami peningkatan dengan pembubuhan tanda vokal dan

konsonan, dan  hanya bertahan dalam gaya penulisan.

Sekalipun al-Said merujuknya dengan nada penyesalan, namun

beberapa tahun menjelang diterbitkannya al-Jam‘ al-Shawtî al-Awwal

li-l-Qur’ãn al-Karîm, aw al-Mushhaf al-Murattal: Bawã‘itsuhu wa

Mukhaththathãhu – demikian judul karya al-Said – pada 1967,

naskah al-Quran yang disalin dalam aksara Latin diterbitkan di

negeri Turki.62  Demikian pula, untuk tujuan pengutipan dalam

berbagai buku keagamaan, bagian-bagian al-Quran telah disalin

dengan menggunakan pola penulisan gaya baru (rasm imlã’î),

terkadang bahkan dalam bentuk transliterasi latin. Di negara kita ,

misalnya, juga telah muncul penulisan surat-surat tertentu al-Quran

dalam bentuk transliterasi Latin – sekalipun tetap disandingkan

dengan  teks beraksara Arab dan terjemahannya.63

Jadi, meskipun dengan penuh kontroversi, scriptio plena – yang

mencapai bentuk finalnya pada penghujung abad ke-3H/9 – akhirnya

digunakan hampir seluruhnya dalam penyalinan textus receptus.

Bentuk teks “gado-gado” yang kita warisi dewasa ini, barangkali

merupakan hasil maksimal yang dapat dicapai dari tawar-menawar

atau kontroversi akut dan berkepanjangan dalam proses introduksi

scriptio plena untuk penyalinan al-Quran. namun , aplikasi rasm imlã’î

dalam penyalinan al-Quran, pada faktanya, telah membawa bentuk

keseragaman tekstual yang lebih luas, dibandingkan yang bisa dicapai

teks utsmani dalam aksara orisinalnya. usaha  penyeragaman ini,

secara berbarengan, juga telah mentransformasikan tradisi oral al-

Quran ke dalam teks dan, dengan demikian, melindunginya dari

bahaya penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan dalam

pembacaan al-Quran (tashhîf), hingga taraf tertentu, bisa

diminimalisasi dengan adanya teks yang lebih memadai. Dan

eksistensi teks semacam itu bahkan telah meletakkan pijakan yang

kukuh bagi serangkaian usaha  untuk menjamin suatu taraf

keseragaman dalam bacaan al-Quran pada permulaan abad ke-4H/

10, yang akan menjadi pokok bahasan bab mendatang.


Unifikasi Bacaan al-Quran

Asal-usul Keragaman Bacaan al-Quran

Dalam bab lalu telah dikemukakan bahwa salah satu sebabyang melatarbelakangi munculnya keragaman bacaan al-

Quran (variae lectiones) adalah ketidaksempurnaan aksara Arab –

yakni scriptio defectiva, yang tidak memiliki tanda-tanda vokal

dan titik-titik diakritis pembeda konsonan berlambang sama –  yang

digunakan saat  itu untuk menyalin teks al-Quran. Sekalipun

sudut pandang tradisional menafikan asumsi semacam ini, ada 

pijakan historis yang cukup solid untuk mengedepankannya.

Gagasan tentang latarbelakang kemunculan variae lectiones

semacam ini, dalam kenyataannya, bukanlah hal baru di dalam

Islam. Sebagaimana dikemukakankan al-Jaza’iri, Ibn Abi Hasyim

pernah mengungkapkan pandangan bahwa sebab terjadinya

perbedaan bacaan dalam tradisi kiraah tujuh dan tradisi-tradisi

bacaan di luarnya adalah bahwa di kawasan-kawasan utama Islam

yang memperoleh kiriman salinan mushaf utsmani telah berdiam

para sahabat Nabi. yang darinya warga  wilayah ini 

mempelajari bacaan al-Quran. sebab  salinan-salinan mushaf yang

dikirim Utsman ditulis dalam scriptio defectiva, maka warga 

di tiap wilayah itu tetap membaca mengikuti bacaan yang mereka

pelajari dari para sahabat Nabi, sepanjang bersesuaian dengan teks

utsmani. Sementara yang tidak bersesuaian dengannya ditinggalkan.

Dari sinilah muncul keragaman bacaan di kalangan qurrã’ dari

berbagai wilayah Islam.

namun , menurut sudut pandang tradisional, variae lectiones –

terutama dalam kategori mutawãtir dan masyhûr – bersumber dari

Nabi sendiri. Gagasan ini dipijakkan pada beberapa  hadits yang

menegaskan bahwa al-Quran diwahyukan dalam tujuh ahruf

( h W+ %)L ).2  Yang terkenal dari berbagai hadits ini, antara lain,

adalah riwayat dari Umar ibn Khaththab dan Hisyam ibn Hakim

berikut ini:

Dari Miswar ibn Makhramah dan  Abd al-Rahman ibn al-

Qari bahwasanya keduanya mendengar Umar ibn Khaththab

berkata: “Aku berjalan melewati Hisyam ibn Hakim ibn Hizam

yang tengah membaca surat al-Furqãn pada masa Rasulullah

SAW. Lalu dengan cermat kudengarkan bacaannya. Dia

membaca dalam ahruf yang banyak, yang tidak pernah

dibacakan Rasulullah kepadaku. Hampir saja kuserang dia

dalam shalatnya, namun  aku bersabar hingga ia menyudahi

shalatnya, kemudian aku tarik bajunya dan menanyainya:

‘Siapa yang membacakan kepadamu surat yang aku dengar

kau bacakan tadi?’ Jawabnya: ‘Rasulullah yang membacakannya

kepadaku.’ Aku berkata: ‘Bohong kamu, sesungguhnya

Rasulullah telah membacakan kepadaku lain dari yang kamu

bacakan.’ Lalu aku bawa dia ke Rasulullah dan meng-

adukannya: ‘Sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca

surat al-Furqãn dalam ahruf yang tidak pernah anda bacakan

kepadaku.’ Maka Rasulullah berkata: ‘Lepaskan dia. Bacalah

Hisyam.’ Lalu Hisyam membaca dengan bacaannya yang telah

kudengar tadi. Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Demikianlah

surat itu diturunkan.’ Kemudian ia berkata: ‘Bacalah wahai

Umar.’ Maka aku pun membacakan bacaan yang pernah

dibacakan Rasulullah kepadaku. Rasulullah lalu bersabda:

‘Demikianlah surat itu diturunkan. Sesungguhnya al-Quran

ini diwahyukan dalam tujuh ahruf. Bacalah yang termudah

darinya.’”

Demikian pula, diriwayatkan bahwa Ubay ibn Ka‘b suatu

saat  mendengar seseorang di dalam sebuah masjid membaca suatu

bacaan al-Quran yang tidak dikenalnya. Ubay menegurnya, namun 

orang lain setelah itu juga melakukan hal yang sama. Mereka

kemudian pergi menemui Rasulullah untuk mengklarifikasi bacaan-

bacaan yang berbeda, dan Nabi membenarkan bacaan-bacaan itu.

Hal ini membuat Ubay terpukul dan  berkeringat dingin dan

mencemaskan dirinya sebagai seorang pembohong. Melihat kondisi

Ubay, Nabi lalu menenangkannya dan bersabda:

Hai Ubay, aku diutus untuk membacakan al-Quran dalam

satu harf, namun  aku menolaknya dan meminta agar umatku

diberi keringanan. Kemudian diulangi lagi padaku yang kedua

kali: bacalah al-Quran dalam dua huruf (harfayn). Aku pun

menolak lagi dan memohon agar umatku diberi keringanan.

Lalu diulang lagi yang ketiga kalinya: Bacalah al-Quran dalam

tujuh ahruf ….

Sementara beberapa  hadits lainnya mengungkapkan

pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahruf, namun  tanpa merujuk

perselisihan tentang perbedaan bacaan di kalangan kaum Muslimin

generasi pertama. Jadi, Bukhari dan Muslim, misalnya,

meriwayatkan dari Ibn Abbas, yang berkata bahwa Nabi pernah

bersabda: “Jibril membacakan al-Quran kepadaku dalam satu harf,

namun  aku menolaknya. Dan aku terus memohon kepadanya agar

ditambahkan, maka dia menambahkannya hingga akhirnya

mencapai tujuh ahruf.”5  Demikian pula, dikabarkan Ubay ibn

Ka‘b meriwayatkan bahwa saat  Nabi tengah berada di kolam

banu Gaffar, Jibril datang kepadanya dan berkata: “Sesungguhnya

Allah memerintahkanmu membacakan al-Quran kepada umatmu

dalam satu harf.” Nabi lalu menjawab: “Saya memohon

perlindungan dan ampunan Allah, sesungguhnya umatku tidak

mampu melakukannya.” Kemudian Jibril mendatanginya lagi dan

berkata: “Sesungguhnya Allah  memerintahkanmu  membacakan

al-Quran  kepada  umatmu  dalam  dua  huruf (harfayn).” Nabi

memberikan jawaban yang sama, kemudian datang lagi Jibril untuk

ketiga kalinya dan berkata: “Sesungguhnya Allah memerintah-

kanmu membacakan al-Quran kepada umatmu dalam tiga ahruf.”

Nabi masih juga memberikan jawaban yang sama, kemudian datang

lagi Jibril untuk keempat kalinya dan berkata: “Sesungguhnya Al-

lah memerintahkanmu membacakan al-Quran kepada umatmu

dalam tujuh ahruf. Huruf apa saja yang mereka gunakan dalam

pembacaan al-Quran, maka mereka telah membacakannya secara

tepat.”6  Hadits-hadits semacam ini, seperti terlihat, mengaitkan

keragaman bacaan pada ketidakmampuan umat Islam untuk

membaca kitab sucinya dalam satu harf.

Beberapa riwayat yang dikemukakan di atas – juga berbagai

riwayat lainnya dalam kasus ini7  – menunjukkan bahwa perbedaan-

perbedaan dalam pembacaan al-Quran telah eksis di kalangan para

sahabat Nabi, sebab  al-Quran diwahyukan dalam tujuh ahruf.

Ini merupakan penjelasan paling sederhana yang bisa dikemukakan

di sini. namun , beberapa  besar sarjana Muslim, selama berabad-

abad, telah berusaha  menjelaskan apa yang dimaksud ungkapan

sab‘ah ahruf dalam riwayat-riwayat ini . Abu Hatim

Muhammad ibn Habban al-Busti (w. 354 H), misalnya, telah

mengumpulkan antara 35 hingga 40 macam penjelasan tentangnya

yang dapat ditemukan dalam berbagai buku. Abu Syamah (w.

665H),  sekitar 650H, bahkan menulis sebuah buku khusus tentang

berbagai penjelasan tujuh ahruf ini .8  Namun, sebagian besar

penjelasan ini tidak memiliki signifikansi yang nyata, bahkan

terlihat berseberangan dengan kata-kata aktual yang ada di dalam

berbagai Hadits. Beberapa ilustrasi berikut – yang dipilih dari

penjelasan-penjelasan paling populer di kalangan sarjana Muslim–

akan menunjukkan hal ini.

Sebagian sarjana Muslim menjelaskan pengertian sab‘ah ahruf

dengan al-abwãb al-sab‘ah (tujuh gerbang, atau segi) yang dengannya

al-Quran turun. Ketujuh segi ini bertalian dengan perintah, larangan,

janji, ancaman, perdebatan, kisah warga  terdahulu, dan

perumpamaan. Ketujuh segi itu juga diberi kandungan lain, yaitu

perintah, larangan, halal, haram, muhkam, mutasyãbih, dan

perumpamaan. Penjelasan ini, sekalipun didasarkan pada beberapa

riwayat, jelas bertabrakan dengan hadits-hadits tentang tujuh ahruf

yang menyiratkan perbedaan dalam pembacaan al-Quran sebagai

kemudahan bagi kaum Muslimin, lantaran ketidakmampuan mereka

membacanya dalam satu huruf. Jika perbedaan di kalangan sahabat

menyangkut hal-hal yang dijelaskan dalam kandungan abwãb al-

sab‘ah, maka adalah mustahil bagi Nabi untuk menjustifikasi

perbedaan-perbedaan ini , sebab  bisa berkontradiksi antara satu

dengan lainnya: yang halal bagi suatu bacaan bisa menjadi haram

bagi bacaan lain,   yang  diperintahkan bisa menjadi terlarang,  yang

muhkam  bisa menjadi mutasyãbih, atau sebaliknya, dan seterusnya.

Pemaknaan  tujuh ahruf berikutnya adalah tujuh dialek (lahjah)

yang berbeda, yakni dialek Quraisy, Huzhail, Tsaqif, Hawazin,

Kinanah, Tamim dan Yaman. Menurut penjelasan  ini, jika  ketujuh

dialek  ini  berbeda  dalam  mengungkapkan  suatu makna,

maka al-Quran diturunkan dengan beberapa  lafaz yang sesuai

dengan dialek-dialek ini . namun , bila tidak ada  perbedaan,

maka al-Quran hanya diturunkan dengan satu lafaz. Sebagian ulama

lain berpendapat bahwa pewahyuan dalam tujuh dialek bermakna

al-Quran secara keseluruhannya tidak keluar dari ketujuh dialek

ini , meskipun sebagian besarnya dalam dialek Quraisy,

sebagian lagi dalam dialek Huzhail, dan seterusnya. Penjelasan

semacam ini juga tidak cocok dengan riwayat dari Umar dan

Hisyam yang disitir di atas, sebab  keduanya adalah orang Quraisy

yang,  tentu saja, tidak perlu bertengkar atau berseberangan

pandangan mengenai pembacaan al-Quran dalam dialek mereka

sendiri. Demikian pula, jika dikatakan bahwa al-Quran

mencakupkan idiom-idiom dari dialek-dialek lain yang tidak

ada  dalam dialek Quraisy, maka hal ini akan bertabrakan

dengan hadits yang mengungkapkan bahwa pewahyuan dalam

tujuh ahruf dimaksudkan untuk memudahkan umat Islam dalam

pembacaan al-Quran. Lebih jauh, menurut suatu hadits yang

diriwayatkan berdasar  otoritas Abu Bakr al-Wasithi,  sarjana

Muslim terkemuka di Iran pada abad ke-9-10, disebutkan bahwa

di dalam al-Quran ada  lima puluh dialek.10  Jadi, pembatasan

ke dalam tujuh dialek jelas tidak memiliki pijakan apapun.

Pandangan lainnya yang cukup bermasalah adalah pemaknaan

tujuh ahruf sebagai al-qirã’ãt al-sab‘ (“tujuh bacaan”) –  khususnya

yang dihimpun Ibn Mujahid. Pandangan ini biasanya dinisbatkan

kepada orang awam, sebab  tidak satu ulama pun yang

memegangnya. Al-Suyuthi mengutip pandangan Abu Syamah yang

menegaskan bahwa pemaknaan semacam itu lebih menunjukkan

kepada kebodohan yang memalukan.11  Dalam kenyataannya, varian

bacaan yang eksis di kalangan kaum Muslimin melebihi angka

ini , sekalipun – sebagaimana akan ditunjukkan di bawah –

para sarjana Muslim tidak bersepakat tentang keabsahannya.

Sementara beberapa  sarjana Muslim lainnya memaknai tujuh

ahruf merujuk kepada suatu bilangan yang tidak tertentu

banyaknya. Jadi, tujuh ahruf di sini bermakna bahwa al-Quran

dapat dibaca dalam berbagai cara. Keberagaman cara pembacaan

al-Quran ini, yang juga diakui beberapa  sarjana Muslim,

membolehkan pembacanya mengganti suatu kata dengan kata-kata

lain yang memiliki makna senada, seperti  . namun , penggantian itu tentunya bisa mencakup jumlah yang

sangat banyak dan mungkin juga mencakup keseluruhan kata yang

ada di dalam suatu ayat. sebab  itu, pemaknaan tujuh ahruf

semacam ini terlihat tidak logis.

Lantaran berbagai argumen tidak meyakinkan yang

ditampilkan untuk menafsirkan tujuh ahruf, beberapa  otoritas

Syi‘ah akhirnya mempermudah masalah ini dengan menolak

keabsahan seluruh hadits yang bertalian dengannya. Al-Khu’i,

otoritas Syi‘ah Imamiyah abad ke-20, misalnya, secara panjang lebar

mengungkapkan kritisismenya terhadap hadits-hadits tentang

pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahruf, dan menjelaskan

ketidakabsahan penafsiran-penafsiran yang berkembang di seputar

makna hadits-hadits ini . Kontra argumen al-Khu‘i atas

pemaknaan tujuh ahruf, sebagiannya sejalan dengan paparan yang

telah dikemukakan di atas, dan sebab  itu tidak perlu disinggung

lagi di sini.

Sementara kritisisme al-Khu‘i terhadap riwayat-riwayat

pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahruf  terlihat dibingkainya

dalam nuansa Syi‘ah yang amat kental. Menurutnya, keseluruhan

riwayat ini  ditransmisikan melalui saluran Sunni yang

berkontradiksi dengan riwayat-riwayat yang beredar di kalangan

Syi‘ah bahwa al-Quran diwahyukan dalam satu harf. Di dalam

riwayat-riwayat Sunni ada  inkonsistensi, seperti riwayat yang

mengemukakan bahwa Jibril mengajarkan Nabi satu harf bacaan,

Nabi lalu memintanya untuk menambah lagi, yang diluluskannya,

hingga mencapai tujuh ahruf. Dengan demikian, harf berkembang

secara gradual. namun , dalam riwayat lainnya perkembangan ini

terjadi sekaligus pada permintaan ketiga, atau dengan kata lain

Tuhan memerintahkan Nabi pada kali ketiga untuk membacakan

al-Quran dalam tujuh ahruf.

Inkonsistensi lainnya bisa dilihat dalam beberapa hadits yang

menuturkan  pengalaman Ubay ibn Ka‘b tentang keragaman

bacaan. Dalam sebagian hadits diriwayatkan bahwa Ubay masuk

ke dalam masjid dan melihat seseorang membaca al-Quran yang

berbeda dari bacaannya. Namun, dalam hadits lainnya dituturkan

bahwa Ubay berada di dalam masjid saat  dua orang masuk secara

berturut-turut dan membacakan al-Quran yang berbeda dengan

bacaannya. Demikian pula, apa yang disabdakan Nabi kepada Ubay

– saat  mengadukan tentang keragaman bacaan – dalam riwayat-

riwayat ini bertabrakan antara satu dengan lain. Sementara

kontradiksi riwayat-riwayat ini  terlihat dalam sebagian hadits

yang mengindikasikan bahwa keseluruhan perkembangan harf

terjadi pada kali pertama, dan  bahwa permintaan Nabi untuk

menambah jumlah harf dilakukan atas saran malaikat Mikha’il,

dan Jibril menambahnya hingga mencapai jumlah tujuh ahruf.

namun , sebagian hadits memperlihatkan bahwa Jibril pergi setelah

mengajarkan satu harf, kemudian kembali lagi untuk memenuhi

permintaan penambahan satu harf dari Nabi.13

Demikian pula, menurut al-Khu‘i, ada  keganjilan antara

pertanyaan dan jawaban dalam hadits yang bersumber dari Ibn

Mas‘ud, di mana Ali dikabarkan berkata: “Rasulullah

memerintahkan kalian untuk membaca al-Quran sebagaimana telah

diajarkan.”14  Jawaban ini sama sekali tidak berkaitan dengan subyek

permasalahan yang diperdebatkan di kalangan sahabat Nabi tentang

jumlah ayat dalam suatu surat al-Quran. Lebih jauh, hadits ini 

secara logis tidak merujuk kepada tujuh ahruf ataupun memberikan

suatu pemahaman yang akurat tentangnya. Dapat juga

ditambahkan bahwa hadits ini jelas merupakan rekayasa belakangan

untuk menjustifikasi eksistensi keragaman bacaan, sebab 

penghitungan jumlah ayat adalah fenomena yang muncul

belakangan.

berdasar  argumen-argumen semacam itulah beberapa 

otoritas Syi‘ah menolak keabsahan hadits-hadits tentang pewahyuan

al-Quran dalam tujuh ahruf. Bagi mereka, al-Quran diwahyukan

hanya dalam satu harf dan berbagai perbedaan dalam pembacaan

kitab suci disebabkan para perawinya. Gagasan ini dipijakkan pada

pernyataan Imam Muhammad al-Baqir (w. 731) dan Imam Ja‘far

al-Shadiq. Al-Baqir, dikabarkan telah berujar: “Al-Quran itu satu,

diwahyukan oleh Yang Maha Satu. Sementara perbedaan-perbedaan

disebabkan oleh para perawi (kiraah).” Demikian juga, saat 

menjawab pertanyaan al-Fudlayl ibn Yasar tentang pernyataan

orang-orang bahwa al-Quran diwahyukan dalam tujuh ahruf, Ja‘far

al-Shadiq berkata: “Mereka bohong, mereka adalah musuh-musuh

Tuhan. Tidak diragukan bahwa al-Quran diwahyukan dalam satu

harf  dari Yang Maha Satu.”15

namun , penolakan kaum Syi‘ah di atas membawa konsekuensi

yang jauh menjangkau. Jika keragaman bacaan al-Quran disebabkan

para perawinya, maka yang menjadi masalah adalah bacaan mana

yang bisa disebut sebagai bacaan orisinal dari berbagai bacaan yang

ada dalam tradisi Islam. Jawaban yang diajukan untuk masalah

ini adalah bahwa al-Quran yang sejati akan dibawa kembali oleh

Imam Mahdi yang dinantikan kehadirannya. Kelompok Syi‘ah,

seperti ditunjukkan dalam bab 7, memang menghendaki eksisnya

bacaan al-Quran yang mengakomodasikan berbagai gagasan

keagamaan mereka – khususnya yang berkaitan dengan keutamaan

Ali dan  ahl al-bayt. Namun, hal ini tidak dapat ditemukan dalam

tradisi teks dan bacaan utsmani. Itulah sebabnya, beberapa mushaf

pra-utsmani mendapat tempat terhormat di kalangan Syi‘ah dan

telah dieksploitasi untuk tujuan-tujuan ini  – misalnya yang

dikenal secara teknis sebagai “ayat-ayat Syi‘ah” –  tanpa hasil yang

memuaskan.

Thaha Husayn, pemikir Muslim modern asal Mesir, dalam

esei terkenalnya, Fî-l-Adab al-Jãhilî, menisbatkan keragaman bacaan

al-Quran kepada perbedaan dialek di kalangan para pembaca awal,

yang berasal dari berbagai suku di Arabia. Menurutnya, al-Quran

pada mulanya dibaca dalam satu bahasa dan satu dialek, yaitu

dialek Quraisy. namun , saat  para qurrã’ dari berbagai suku mulai

melakukan pembacaan atas kitab suci ini , keragaman bacaan

pun muncul, yang merefleksikan perbedaan-perbedaan dialek di

kalangan mereka. Gagasan Husayn ini agak berbeda dari ide

pemaknaan tujuh ahruf sebagai keragaman dialek dalam pembacaan

al-Quran. Di sini, secara tegas dikemukakan penolakan terhadap

ragam-ragam bacaan yang bervariasi sebagai verbum dei atau bacaan

otentik dari Nabi. Bahkan, menurut Husayn, tujuh bacaan (al-

qirã’ãt al-sab‘), yang dipandang kalangan tradisional sebagai bacaan

mutawãtir, sama sekali tidak ada kaitannya dengan wahyu, namun 

dengan keragaman dialek suku-suku di kalangan kaum Muslimin

Arab yang awal. sebab  itu, setiap Muslim memiliki hak untuk

memperdebatkannya, menolak atau menerimanya secara

keseluruhan atau sebagian.

Gagasan Husayn di atas, sebagimana dengan gagasan yang

berkembang di kalangan Syi‘ah, juga menimbulkan implikasi

senada, yakni: bacaan manakah yang orisinal bersumber dari Nabi.

Pemikiran logis tentunya membolehkan seseorang melakukan

penyelidikan untuk menetapkan bacaan orisinal al-Quran –

sebagaimana diusaha kan beberapa  otoritas Muslim yang awal lewat

aplikasi ikhtiyãr, seperti akan ditunjukkan nanti, dan sebagian

orientalis16  – dengan mengekploitasi seluruh perbendaharaan

kiraah. Namun, apakah hasilnya bisa sebanding dengan usaha  yang

dilakukan atau akankah usaha  ini  diterima secara luas oleh

umat Islam, merupakan suatu pertanyaan yang sangat sulit dijawab.

usaha -usaha  semacam ini bisa dipastikan akan mengalami

tantangan serius dari ortodoksi Islam yang memiliki kecenderungan

sangat kuat ke arah tradisionalisme dan  keseragaman teks dan

bacaan al-Quran. Demikian pula, pernyataan Husayn bahwa al-

Quran pada mulanya hanya dibaca dalam dialek Quraisy, terlihat

terlalu memudahkan permasalahan. Penelitian-penelitian tentang

bahasa al-Quran justeru menghasilkan kesimpulan bahwa bahasa

yang digunakan kitab suci ini  merupakan bahasa sastra

artifisial yang dipahami seluruh suku di Arabia – semacam

hochsprache atau lingua franca17  – namun  bukan merupakan dialek

suku atau suku-suku tertentu.18  beberapa  informasi yang bersumber

dari sarjana Muslim sendiri bahkan cenderung menolak keyakinan

bahwa dialek suku Quraisy identik dengan hochsprache ini .19

Unifikasi Bacaan al-Quran

usaha  standardisasi teks al-Quran pada masa Utsman, dalam

kenyataannya, juga mengarah kepada unifikasi bacaan al-Quran.

Dengan eksisnya teks yang relatif seragam,20  pembacaan al-Quran

yang dipijakkan pada teks ini  tentunya akan meminimalkan

keragaman. namun , lantaran aksara yang digunakan saat  itu untuk

menyalin mushaf utsmani – yakni scriptio defectiva – belum

mencapai tingkatan yang sempurna, keragaman bacaan masih tetap

mewarnai sejarah awal kitab suci kaum Muslimin. Keragaman ini

juga bisa dikaitkan dengan hafalan materi-materi al-Quran lama

yang – saat  dilakukan standardisasi teks dan pemusnahan mushaf-

mushaf non-utsmani – tidak dapat dihilangkan begitu saja dari

benak para qurrã’, dan kemungkinannya baru bisa dicapai setelah

adanya pergantian atau alih generasi.

usaha  Utsman dalam menciptakan keseragaman teks, dengan

jalan standardisasi dan pemusnahan mushaf-mushaf non-utmani,

dilanjutkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi (w. 714). Informasi tentang

introduksi penulisan tanda-tanda vokal ke dalam teks al-Quran,

yang biasanya dikaitkan dengan al-Hajjaj, menyiratkan bahwa

eksistensi teks konsonantal al-Quran dalam bentuk tertulis

merupakan suatu kenyataan yang di atasnya dipijakkan usaha -

usaha  penyeragaman bacaan. Hal ini dapat dibuktikan dari situasi

periwayatan al-Quran, seperti terlihat jelas dalam kiraah Hasan al-

Basri – salah satu imam kiraah empat belas –  yang sezaman dengan

al-Hajjaj.21  Dilaporkan bahwa al-Hajjaj juga telah berusaha  memeras

keluar kiraah Ibn Mas‘ud dari peredarannya di kalangan kaum

Muslimin, dan  mengirim satu eksemplar mushaf  al-Quran  ke

Mesir.  Pengiriman  ini  menjelaskan  di  satu  sisi  bahwa  Kufah,

saat  itu jabatan gubernurnya dipegang oleh al-Hajjaj, merupakan

sentral para qurrã’ dan  tanah air al-Quran beraksara Kufi, dan di

sisi lain juga menjelaskan bahwa di Mesir saat  itu belum ada 

salinan orisinal mushaf utsmani.

Pemusnahan seluruh bentuk teks non-utsmani, hingga taraf

tertentu, tidak mungkin menghilangkan keseluruhan tradisi

pembacaannya. Hal ini hanya bisa menjadi kenyataan jika

pembacaan teks utsmani diakui memiliki karakter mengikat.

Namun,  pengakuan teoritis teks utsmani semacam itu tentunya

hanya bisa memiliki implikasi praktis jika kebebasan yang hampir

tidak mengenal batas dalam menangani teks – seperti terlihat di

masa sebelumnya dalam fenomena mashãhif pra-utsmani –

dihentikan, dan perhatian yang serius dikembangkan untuk

mereproduksi Kalam Ilahi secara tepat, bahkan dalam rincian-

rinciannya. Dan al-Hajjaj memberikan perhatian yang sungguh-

sungguh terhadap hal ini, seperti tercermin dalam berbagai

tindakannya, mulai dari pemusnahan mushaf-mushaf non-utsmani,

penyempurnaan ortografi al-Quran, pengiriman salinan-salinan teks

utsmani ke berbagai kota metropolitan Islam,23  sampai kepada

usaha  memeras keluar kiraah Ibn Mas‘ud dari peredarannya di

kalangan kaum Muslimin pada masanya.

usaha  standardisasi yang dilakukan Utsman, ataupun pada

masa berikutnya oleh al-Hajjaj, bukannya tanpa rintangan.

Sebagaimana telah ditunjukkan, dua sahabat  terkemuka Nabi  yang

kumpulan  al-Qurannya memiliki pengaruh sangat luas di kalangan

kaum Muslimin yang awal – yakni Ibn Mas‘ud dan Abu Musa al-

Asy‘ari – terlihat tidak menyepakati kebijakan Utsman dan menolak

memusnahkan mushaf mereka.24  Generasi Muslim berikutnya, yang

mengikuti jejak kedua sahabat Nabi ini , masih tetap

memelihara bacaan-bacaan non-utsmani. Bahkan hingga abad ke-

10, penulis Fihrist, Ibn al-Nadim, melaporkan bahwa ia telah

menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri salinan-salinan mushaf

Ubay ibn Ka’b dan ibn Mas‘ud.25  namun , lantaran tekanan politik

dan dengan berlalunya masa, rintangan-rintangan terhadap usaha 

standardisasi teks dan bacaan al-Quran berangsur-angsur melemah,

hingga akhirnya menghilang dari percaturan sejarah al-Quran.

saat  Utsman dan al-Hajjaj secara radikal mencabut akar

pertikaian keragaman teks dan bacaan al-Quran, penentang-

penentang standardisasi al-Quran mulai melemah dan beralih

kepada posisi yang toleran terhadap keragaman teks dan bacaan

kitab suci ini . Hadits-hadits tentang pewahyuan al-Quran

dalam tujuh ahruf (h W+ %)L), hingga taraf tertentu,

menjustifikasi – atau mungkin difabrikasi untuk menjustifikasi –

posisi ini. Di dalam hadits-hadits ini , seperti telah dikutip di

atas, diberitakan bahwa Nabi telah mengakui eksistensi bentuk-

bentuk bacaan al-Quran yang beragam.

Pada gilirannya, kedua gerakan di dalam tubuh umat Islam

ini sama-sama mencapai tujuannya dalam bentuk kompromi: pada

tataran praxis, teks utsmani berhasil memapankan diri sebagai satu-

satunya teks al-Quran yang disepakati (textus receptus); sementara

dalam teori, bentuk-bentuk riwayat bacaan non-utsmani juga diakui

keberadaannya sebagai bacaan al-Quran. Bentuk kompromi ini

bisa dilihat saat  Dlirar ibn Amr – pendiri sekte heretik Darariyah

pada permulaan abad ke-9 – dipersalahkan sebab  menolak secara

dogmatis mushaf Ibn Mas‘ud dan Ubay ibn Ka‘b.26  Bentuk

kompromi lainnya yang agak toleran dalam hal ini mengungkapkan

kebolehan memilih (ikhtiyãr) bacaan para sahabat Nabi yang

bersesuaian dengan salah satu harf mushaf utsmani yang disepakati

(ijmã‘) – yakni salah satu dari bacaan yang tujuh – atau paling

tidak memanfaatkan bacaan-bacaan non-utsmani itu sebagai tafsîr

terhadap teks kanonik utsmani, seperti ditunjukkan dalam

prakteknya oleh al-Thabari sehubungan dengan varian-varian

mushaf utsmani dan non-utsmani. Namun, belakangan pandangan

kompromistik ini dikembangkan lebih jauh dengan menegaskan

bahwa keragaman bacaan di luar tradisi teks utsmani hanya bisa

dianggap sebagai keterangan terhadap textus receptus. Yang agak

ekstrem dari bentuk kompromi ini muncul dari gagasan nãsikh-

mansûkh: bentuk teks dan bacaan non-utsmani dipandang masuk

ke dalam kategori mansûkhãt.27  Jadi, sekalipun bacaan non-utsmani

dalam kompromi ini  masih dinilai sebagai al-Quran,

eksistensinya tidak diperhitungkan lagi sebab  masuk ke dalam

kategori “yang terhapus.”

Berbagai bentuk kompromi yang dicapai di atas terlihat tidak

bertahan lama. Kecenderungan yang kuat ke arah unifikasi bacaan

al-Quran semakin mengental dengan penerimaan teks utsmani

sebagai satu-satunya teks al-Quran pada tataran praxis.   Pada   abad

ke-2H/8, pendiri mazhab Malikiyah, Imam Malik ibn Anas,

merupakan orang pertama yang dengan tegas menolak keabsahan

penggunaan bacaan Ibn Mas‘ud dalam shalat.28  Penolakan Malik

belakangan mempengaruhi para fuqahã’ yang memperluasnya

kepada permasalahan tentang apakah penyimpangan yang

dilakukan secara tidak sengaja atau sebaliknya terhadap textus

receptus utsmani bisa membatalkan shalat atau tidak. Dalam

menjawab permasalahan ini, para fuqahã’ mazhab Hanafiyah

terlihat lebih toleran dibandingkan mazhab lain. Menurut

pandangan mereka, shalat baru menjadi batal bila terjadi perubahan

dalam makna dari bagian al-Quran yang dibaca.29  Sementara

berbagai ragam bacaan non-utsmani pada umumnya belum

mengubah makna teks utsmani.

Pada paruhan pertama abad ke-2H juga muncul usaha  untuk

mempertegas keragaman bacaan al-Quran, yang biasanya dikaitkan

dengan nama  Isa ibn Umar al-Tsaqafi (w.149 H), pakar bahasa

dari Bashrah, guru al-Khalil ibn Ahmad. Al-Tsaqafi yang buta ini,

sebagaimana diberitakan, memiliki sistem bacaan al-Qurannya

sendiri.30  Dalam sistemnya, ia mengusaha kan pembacaan al-Quran

yang sangat puritanik, biasa disebut ‘alã qiyãs – atau madzãhib –

al-‘arabiyah, yang tentunya bermakna bahwa ia berusaha

memperkenalkan ragam bacaan yang lebih selaras dengan cita rasa

kebahasaan, sekalipun bacaan itu tidak ada  dalam tradisi kiraah

yang lazim. Namun, ia memperoleh tantangan keras, sebab  pada

abad itu mulai muncul gerakan yang sangat kuat untuk membatasi

kebebasan dalam pembacaan al-Quran yang dipelopori Imam Malik.

Pembatasan kebebasan dalam pembacaan al-Quran pada

gilirannya melahirkan berbagai usaha  untuk menghimpun ragam

bacaan yang ditransmisikan dari generasi-generasi sebelumnya.

Dikabarkan bahwa orang pertama yang meneliti dan  menguji secara

kritis jejak dan mata rantai periwayatan (isnãd) variae lectiones adalah

Harun ibn Musa (w. sekitar 170 atau 180H), seorang penganut paham

mu‘tazilah. Namun, otoritas pertama paling berpengaruh dalam

hal ini adalah Abu Ubayd al-Qasim ibn Salam (w. 838), yang

menghimpun sekitar tiga puluh dua sistem kiraah – termasuk kiraah

tujuh. Menyusul Ahmad ibn Zubayr  ibn Muhammad al-Kufi (w.

871), yang menyusun suatu kitab tentang lima bacaan yang ada di

kota-kota besar Islam saat  itu. Setelah itu, al-Qadli Isma‘il ibn

Ishaq al-Maliki (w. 895) menulis suatu kitab tentang kiraah yang

menghimpun dua puluh ragam bacaan, termasuk kiraah tujuh.

Khusus untuk kiraah tujuh, penghimpunnya yang termasyhur adalah

Ibn Mujahid (w. 935). Pada masa selanjutnya, Muhammad ibn Jarir

al-Thabari (w. 922), mufassir aliran “tradisional” paling terkemuka,

menyusun suatu kitab yang menghimpun lebih dari dua puluh sistem

bacaan. Tidak lama setelah al-Thabari, Abu Bakr Muhammad ibn

Ahmad ibn Umar al-Dajuni (w. 935) menyusun suatu kitab tentang

kiraah, di mana ia memasukkan al-Thabari sebagai salah satu dari

imam kiraah sepuluh.31

namun , dengan selesainya proses penyempurnaan aksara Arab

yang mencapai bentuk finalnya menjelang penghujung abad ke-

3H/9, aplikasinya dalam penyalinan textus receptus telah membawa

bentuk keseragaman tekstual dan bacaan yang lebih luas,

dibandingkan yang bisa dicapai teks utsmani dalam aksara

orisinalnya. Sekalipun telah muncul sebelumnya gerakan yang

mengusaha kan keseragaman bacaan al-Quran, khususnya setelah

promulgasi mushaf utsmani – sebagai antipoda gerakan yang

menghendaki keragamannya – namun  dengan teks atau naskah yang

belum memadai, hasil yang dicapai gerakan itu pun sangat terbatas.

Eksistensi teks al-Quran yang lebih memadai, setelah

diintroduksinya scriptio plena dalam penyalinan mushaf, telah

mendorong munculnya gerakan yang lebih kuat ke arah unifikasi

bacaan pada masa berikutnya – sekitar awal abad ke-4H/10. Berbagai

variae lectiones mulai disaring dengan textus receptus sebagai batu

uji – yakni keselarasan bacaan dengan teks mushaf utsmani – di

samping kriteria-kriteria utama lainnya, seperti keselarasan dengan

kaidah bahasa Arab, dan tawãtur, yakni prinsip tentang transmisi

suatu bacaan melalui mata rantai periwayatan (asãnîd) yang

independen dan otoritatif dalam suatu skala yang sangat luas,

sehingga menafikan kemungkinan terjadinya kesalahan atau

kekeliruan.32  Hasilnya, dengan dukungan penuh otoritas politik,

ortodoksi Islam membatasi dan menyepakati eksistensi kiraah tujuh

(al-qirã’ãt al-sab‘) yang dihimpun Abu Bakr Ahmad ibn Musa ibn

al-Abbas ibn Mujahid (w.935) – terkenal sebagai Ibn Mujahid, pakar

kiraah dan ilmu-ilmu al-Quran dari Bagdad – sebagai bacaan-bacaan

otentik atau lectio vulgata  bagi textus receptus.

Tujuh kiraah yang dihimpun Ibn Mujahid, dalam rangka

membantu program unifikasi bacaan al-Quran yang diusaha kan

para wazir dinasti Abbasiyah, Ibn Muqlah (w. 940) dan Ibn Isa (w.

946), pada faktanya bukanlah pilihan yang be