titik di atasnya ( m ); sîn (s) tanpa titik ( < ), syîn (sy)
diberi tiga titik di atasnya ( ); dan seterusnya. Titik-titik diakritis
ini diwarnai dengan tinta yang sama untuk menulis huruf, sehingga
bisa dibedakan dari titik-titik yang diintroduksi al-Du‘ali untuk
vokalisasi teks.
Setelah melalui tahapan-tahapan penyempurnaan, terutama
yang dilakukan oleh al-Khalil, scriptio plena – seiring dengan
perkembangan ragam khat kufi dan naskhi – mencapai bentuk
seperti yang dikenal dewasa ini. Jadi, permasalahan yang dihadapi
dalam scriptio defectiva – seperti pemberian tanda vokal pendek
ataupun panjang (maddah), pembedaan konsonan-konsonan
bersimbol sama, pemberian tanda-tanda baca lain semisal syaddah,
sukûn, dan tanwîn – telah terselesaikan pada titik ini.
Sekalipun demikian, suatu catatan penting mesti dikemukakan
sehubungan dengan berbagai riwayat tentang penyempurnaan rasm
al-Quran di atas. Penjelasan-penjelasan tradisional tentang
pembabakan scriptio plena tidak bersesuaian antara satu dengan
lainnya, bahkan bertentangan dengan temuan-temuan paleografi.
Dari berbagai tinggalan historis, diketahui bahwa titik-titik
pembeda konsonan sebagiannya telah dikenal dan mungkin
diintroduksi pada periode pra-Islam, mengikuti model penulisan
Suryani (Siriak).41 Dapat dipastikan bahwa titik-titik diakritis
ini telah digunakan pada abad pertama Islam, sekalipun tidak
tersebar luas sebagaimana yang terjadi pada masa belakangan. Dari
berbagai dokumen abad pertama, huruf-huruf berikut ini telah
memiliki titik-titik diakritis: 8 ,. , , juga + , U , , C , - kecuali
% ; dan O , S , * , k , dan huruf qãf (; ) yang diberi satu titik di
atas atau di bawahnya (h atau h). Huruf terakhir yang diberi titik
adalah tã’ marbûthah ( ), yang tampaknya tidak diberi tanda
semacam itu hingga abad ke-2H.
Pemberian titik diakritis terhadap huruf qãf ( ; ) dan fã’ ( h)
memperlihatkan beberapa variasi yang menarik. Tampaknya,
pembedaan awal kedua huruf ini adalah bahwa fã’ tidak memiliki
titik apapun dan qãf hanya memiliki satu titik. Pembedaan ini
hanya diterapkan saat huruf-huruf ini muncul pada awal
atau di tengah suatu kata, sementara kemunculan keduanya di
penghujung kata bisa dibedakan dan tidak diberi titik pembeda.
Tempat penempatan titik untuk huruf qãf juga bervariasi. Di Mesir,
pada penghujung abad pertama dan permulaan abad ke-2H, titik
satu untuk huruf ini terkadang ditempatkan di atasnya, namun
terkadang juga di bawahnya. Sementara di Palestina, titiknya
ditempatkan di bawah huruf ini . Pemberian titik terhadap
huruf fã’, barangkali baru dilakukan pada abad ke-2H, pertama
kali dengan menempatkan satu titik di bawahnya ( h ) dan
belakangan di atasnya ( h ). Kira-kira pada waktu yang sama,
huruf qãf diberi dua titik ( ; ) dan mencapai bentuk finalnya –
seperti yang dikenal sekarang – pada masa ini juga (abad ke-2H).
Sekalipun demikian, bentuk lama huruf fã’ tetap digunakan hingga
abad ke-5H.
Tanda-tanda vokal berupa titik-titik diakritis – kemungkinan
diadopsi dari aksara Suryani – juga tampaknya sangat tua. namun ,
masa pengintroduksiannya ke dalam aksara Arab tidak dapat
ditetapkan secara pasti. Yang jelas, pada abad ke-2H. penggunaannya
dalam penulisan mushaf al-Quran belum mendapat justifikasi.
Malik ibn Anas (w. 795-6), misalnya, menuntut bahwa mushaf al-
Quran harus dibersihkan dari titik-titik vokal. Tanda-tanda vokal
ini kemudian diubah ke dalam bentuk huruf-huruf hidup –
menurut sumber-sumber Islam diperkenalkan oleh al-Khalil ibn
Ahmad. Pada tahap selanjutnya, tanda-tanda vokal ini
disempurnakan dan mencapai bentuk yang dikenal dewasa ini.
Tanda-tanda ortografis lainnya diperkenalkan lebih belakangan
dari tanda-tanda vokal, namun waktunya tidak dapat ditetapkan
secara pasti. Hamzah ( 6 ), yang merupakan salah satu tanda
ortografis terpenting, barangkali yang paling awal diperkenalkan.
Dalam manuskrip-manuskrip al-Quran tertua, tanda hamzah
diekspresikan dengan dua titik merah yang diletakkan
berdampingan. Belakangan, ia ditampilkan dengan satu titik
berwarna biru atau lingkaran kecil yang terkadang ditempatkan di
atas alif atau yã’ dan terkadang di bawahnya. Tanda-tanda ortografis
lainnya, menurut sumber-sumber Islam, diperkenalkan oleh al-
Khalil. Pengaitan ini, hingga taraf tertentu, didukung oleh
kenyataan bahwa tanda-tanda ini juga diekspresikan dengan
huruf-huruf alfabet – hamzah direpresentasikan dengan 6 , dan
tasydîd atau syaddah dengan – yang merupakan karakteristik
pembaruan aksara Arab yang diintroduksi al-Khalil.
Dengan demikian, dapat disimpulkan secara pasti bahwa
scriptio plena tidak muncul dalam sesaat , namun diperkenalkan
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 325
secara bertahap melalui serangkaian perubahan yang bersifat
eksperimental. Manuskrip-manuskrip al-Quran yang awal,
sebagaimana diperlihatkan di awal bab ini, juga menunjukkan
penerapan berbagai macam metode untuk menghilangkan
ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan naskah.42 Tahap final
penyempurnaan ragam tulis ini diperkirakan selesai pada
penghujung abad ke-3H/9.
Introduksi scriptio plena dalam penulisan al-Quran juga tidak
berlangsung mulus, namun penuh dengan kontroversi akut di kalangan
sarjana Muslim. Mayoritas sarjana Muslim memandang rasm
utsmani – yakni bentuk tulisan yang digunakan pada masa Utsman
untuk menyalin al-Quran – tidak tunduk kepada aturan-aturan yang
disusun kecerdikan akal pikiran manusia. Menurut sudut pandang
ini, rasm ini bersumber dari Nabi (tawqîfi),43 dan diakui sebagai
salah satu tradisi (sunnah) warga muslim yang suci dan tidak
dapat diganggu-gugat. Kaum muslimin wajib menaatinya dalam
situasi apapun. Imam Malik ibn Anas, saat ditanya tentang
kebolehan penggunaan scriptio plena dalam penulisan al-Quran,
menegaskan bahwa al-Quran “harus ditulis mengikuti tulisan
pertama”.44 Sementara Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 855)
menyatakan: “Haram hukumnya menyalahi tulisan utsmani, seperti
dalam penulisan wãw ( $ ), yã’ ( ), alif ( ), atau lainnya.”45
namun gagasan-gagasan yang menekankan keilahian dan
karakter mengikat rasm utsmani ini ditentang para penganjur
pengintroduksian scriptio plena dalam penulisan al-Quran. Bagi
mereka, rasm utsmani sama sekali tidak bersifat tawqîfi, tapi hanya
merupakan suatu cara penulisan yang disetujui Utsman dan
diterima kaum Muslimin pada masa itu. Abu Bakr al-Baqillani (w.
403H), misalnya, menegaskan bahwa al-Quran maupun hadits tidak
mewajibkan cara tertentu untuk penulisan mushaf, dan sebab nya
penulis al-Quran bebas menggunakan bentuk tulisan apapun.
Demikian pula, tidak ada konsensus umat (ijmã‘) yang
mewajibkannya. Bahkan, menurut al-Baqillani, sunnah
menunjukkan kebolehan penulisan al-Quran dalam cara yang
memudahkan pembacaannya. Nabi memerintahkan para sahabat
untuk menuliskan al-Quran, namun tidak mengharuskan atau
melarang mereka menuliskannya dalam cara tertentu. sebab itu,
mushaf sahabi – yakni mushaf-mushaf pra-utsmani – memiliki
perbedaan antara satu dengan lainnya: ada yang menuliskannya
menurut pengucapan lafal, ada yang menambah atau mengurangi.
Al-Baqillani selanjutnya menegaskan kebolehan penulisan mushaf
dengan berbagai cara, baik dengan tulisan dan ejaan kuno ataupun
dengan tulisan dan ejaan baru, sebab tulisan hanya merupakan
simbol-simbol yang berfungsi sebagai isyarat, lambang dan rumus
yang digunakan untuk memudahkan pembacaan.46
Pandangan al-Baqillani di atas, memiliki gaung yang cukup
luas hingga dewasa ini. Pada abad ke-7H., ‘Izz al-Din Abd al-Salam
(w. 660H), seorang faqîh dari Damaskus, melangkah lebih jauh
dengan melarang penggunaan rasm utsmani, bahkan di kalangan
sarjana, dengan alasan bahwa penggunaan tulisan ini akan
membuka peluang terjadinya perubahan dan penyimpangan di
kalangan awam.47 Beberapa otoritas Muslim lainnya menegaskan
bahwa penggunaan tulisan utsmani hanya wajib pada masa awal
Islam, saat pengetahuan langsung tentang al-Quran masih segar
dan kuat, namun penggunaannya pada masa-masa sesudahnya telah
menebarkan kebingungan.48
beberapa pemikir Islam modern menekankan kembali
argumen-argumen di atas dalam rangka menjadikan sistem
penulisan al-Quran akrab dengan warga Muslim. Ahmad
Hasan al-Jayyat, misalnya, mengemukakan:
Tujuan tulisan al-Quran adalah memudahkan kita membacanya
secara tepat …. Jika kita menulisnya secara keliru, maka
bagaimana mungkin kita bisa membacanya secara tepat? Dan
kebijaksanaan apakah yang melatarbelakangi pemasungan
Kalam Allah pada suatu sistem penulisan yang tidak digunakan
satu penulispun dewasa ini?49
Beberapa sarjana Muslim lainnya bahkan mengklaim bahwa
rasm utsmani telah memutarbalikkan dan mendistorsi makna kata-
kata hingga ke taraf mendekati kekufuran, dan bahwa rasm ini
mengandung kontradiksi dan ketidaksesuaian yang tidak dapat
dijustifikasi ataupun dijelaskan.50 Abd al-Aziz Fahmi, mantan
anggota Akademi Bahasa Arab (Majma‘ al-Lugah al-‘Arabiyyah),
melangkah lebih jauh dengan mengajukan proposal penggantian
aksara Arab dengan aksara Latin dalam karyanya, al-Hurûf al-
Lãtiniyyah li-kitãbah al-Lugah al-‘Arabiyyah (1944). Menurutnya,
ortografi utsmani laksana “penyakit kanker yang telah menyebar
di wajah bahasa Arab dan mengaburkan kecantikannya, sehingga
baik teman dekat maupun peminang yang datang dari jauh
menghindarkan diri darinya.” sebab itu, menurutnya,
pengadopsian aksara Latin untuk menggantikannya harus
dilakukan.
Dua sudut pandang yang bertentangan secara diametral di
atas telah menimbulkan sudut pandang ketiga yang berusaha
mensintesiskan atau mengkompromikan keduanya. Menurut sudut
pandang ini, mushaf-mushaf al-Quran yang diperuntukkan bagi
awam bisa ditulis dengan scriptio plena, namun penulisan al-Quran
dengan rasm utsmani mesti dipelihara dan dibatasi penggunaannya
di kalangan spesialis, Pandangan kompromistik semacam ini –
yang juga dianut beberapa pakar keislaman di negara kita 53 –
tentunya didasarkan pada pertimbangan kepentingan generasi
muda Islam dan kaum Muslimin non-Arab yang tidak bisa
mengucapkan kata-kata secara tepat, berpijak pada suatu sistem
tulisan yang tidak mereka akrabi. namun , gagasan ini secara
sederhana bisa disepelekan sebab bersifat diskriminatif dan akan
menciptakan jurang pemisah antara yang awam dan terpelajar.
Sehubungan dengan keabsahan rasm utsmani sebagai cara
penulisan al-Quran dan usaha untuk mempertahankan dan
melestarikannya, Labib al-Said mengumpulkan berbagai argumen
para sarjana muslim untuk membantai kedua pendapat yang
membolehkan introduksi scriptio plena ke dalam penyalinan al-
Quran dan yang berusaha menengahi perselisihan itu lewat sintesis.
Argumen-argumen ini dapat diringkas sebagai berikut:
(i) Rasm utsmani bisa dikatakan mendapat persetujuan
Nabi, sebab para sahabat menggunakan tulisan ini pada
saat kehadirannya dan di bawah supervisinya. Jadi, rasm
ini bersifat tawqîfi.
(ii) Kekhususan tulisan utsmani masuk ke dalam kategori
misteri ilahi, sama halnya dengan huruf-huruf potong
pada permulaan beberapa surat al-Quran (fawãtih al-
suwar), yang pemahaman atasnya tidak diberikan kepada
manusia, kecuali dalam keadaan-keadaan khusus lewat
inspirasi ilahi. Jadi, kekhususan tulisan al-Quran
merupakan karakter kemukjizatan al-Quran.
(iii) Kesucian rasm utsmani dikonfirmasi ijmã‘ para sahabat
dan dua generasi setelahnya. Dalam masa ini, tidak ada
catatan tentang eksisnya suatu usaha untuk menggantikan
tulisan ini dengan sistem tulisan yang lebih baru.
(iv) Para fuqahã’ besar dengan suara bulat, atau hampir
mendekati itu, menyepakati rasm utsmani.
(v) Gagasan yang menegasikan sifat tawqîfi tulisan utsmani
dan melecehkan konsensus kaum Muslimin yang awal
tentangnya sebagai suatu ijmã‘, merupakan gagasan yang
tidak dapat disetujui. Sudut pandang negatif ini tidak
konsisten dengan penegasan Tuhan sendiri bahwa Dia
menjamin terpeliharanya al-Quran. Jika keterpeliharaan
al-Quran merupakan suatu kenyataan, maka harus
ditegaskan bahwa sifat tawqîfi rasm utsmani juga
merupakan suatu kenyataan.
(vi) Pada tataran praktis, gagasan penafian karakter dogmatis
rasm utsmani di atas – butir kelima – juga mesti ditolak.
Jika ortografi al-Quran hanya merupakan preferensi
pribadi (istihsãn), maka berbagai inovasi akan terjadi.
Inovasi ini tidak hanya bertalian dengan ragam tulis,
namun bahkan berhubungan dengan kata-kata al-Quran
sendiri. Dengan demikian, kitab suci itu akan tidak
terhindarkan dari perubahan dan penyimpangan.
(vii) Keberatan selanjutnya, yang juga masih didasarkan pada
pertimbangan praktis, adalah bahwa modifikasi dan
modernisasi tulisan al-Quran, dengan tujuan
membuatnya mudah dibaca kaum Muslimin, akan
merusak capaian-capaian tradisi oral bacaan al-Quran dan
ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya. Jika republikasi al-
Quran dengan tulisan yang up to date dibolehkan, maka
tidak ada lagi keberatan untuk menerbitkannya dalam
tulisan non-Arab. saat rasm utsmani dikesampingkan
dan prinsip istihsãn diadopsi, maka berbagai
kemungkinan akan terbuka lebar. Tidak mengherankan
jika nantinya sebagian orang akan mengusaha kan
penerbitan suatu transliterasi al-Quran dalam aksara
Latin, sebagian lagi akan mengusaha kan penyingkatan-
nya, sementara lainnya akan menuntut eksistensi versi
al-Quran yang merakyat. Kesemuanya ini didasarkan pada
alasan untuk membuat al-Quran lebih mudah dibaca.
(viii)Mesti diingat bahwa edisi-edisi modern teks utsmani telah
dilengkapi dengan titik-titik diakritis dan catatan-catatan
penjelasan berkaitan dengan kata-kata yang tidak selaras
dengan ortografi konvensional – yang jumlahnya relatif
sedikit. Hal ini, hingga taraf tertentu, telah meminimal-
kan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pembacaan
al-Quran.
(ix) Para sarjana yang meneliti secara cermat kekhususan
ortografi utsmani telah menyimpulkan bahwa
kekhususan ini, dalam berbagai kasus, dapat
dirasionalisasikan sebagai ukuran-ukuran yang dipolakan
untuk membuat kata-kata tertentu dapat menyokong
keragaman bacaan atau untuk melindungi timbulnya
bacaan-bacaan yang tidak sejati.
(x) Dari sudut pandang filologis, rasm utsmani memiliki
beberapa keunggulan: (a) ia sering menunjuk akar kata
yang tidak diindikasikan bentuk lazimnya, seperti kata
shalãt ( qA ) atau zakãt ( m ), yang dalam rasm utsmani
menggunakan huruf wãw sebagai pengganti alif – yakni
)A dan m . (b) Dalam beberapa kasus, rasm utsmani
menjaga bentuk linguistik atau penggunaan dialek non-
Quraisy, seperti penggunaan tã’ biasa ( 5 ) ketimbang tã’
marbutha ( ) sebagai tanda jenis feminin yang
dipraktekkan di kalangan banu Tayy.
(xi) Dalam tulisan standar Arab, tidak disyaratkan bahwa
bentuk kata-kata yang ditulis mesti secara tepat
merefleksikan pengucapannya. Contohnya, kata dãwûd
ditulis dengan satu wãw (G$G ), meskipun diucapkan
seakan-akan huruf wãw itu didobel. Demikian pula kata
‘amr ditulis dengan huruf wãw pada akhir kata ( $ L ),
namun dalam pengucapannya tidak diartikulasikan.
(xii) Rasm utsmani secara tidak langsung membantu
memelihara eksistensi bacaan al-Quran sebagai tradisi oral
yang mandiri dari teks tertulis.
Argumen-argumen yang diajukan untuk mempertahankan
keabsahan rasm utsmani di atas, dalam kenyataannya, memiliki
kelemahan yang mendasar. Al-Baqillani, seperti telah disitir di atas,
menegaskan bahwa aksara itu tidaklah bersifat tawqîfi. Tidak ada
petunjuk dari al-Quran maupun Sunnah Nabi yang mewajibkan
penggunaannya. Bahkan, dalam pandangan al-Baqillani, tidak
ada ijmã‘ tentangnya. Hasbi Ash-Shiddieqy menilai gagasan
al-Baqillani ini “sangat layak untuk dipegangi, hujjahnya nyata
dan tinjauannya jauh.”55 Ia bahkan menilai bahwa orang yang
memandang rasm utsmani memiliki sanksi ilahi (tawqîfi), “adalah
orang yang bertahkim kepada perasaan.”56
Penelusuran terhadap mushaf-mushaf pra-Utsman, seperti telah
dilakukan dalam bab 5, dengan jelas memperlihatkan penggunaan
berbagai bentuk tulisan dalam penyalinan mushaf yang awal. Jadi,
salah satu karakteristik yang menonjol dari ortografi mushaf Ibn
Mas‘ud, yang membedakannya dari ortografi utsmani, adalah
penulisan kata-kata tertentu, seperti kata kullamã ( ) ) yang
dipisahkan penulisannya dalam keseluruhan al-Quran – yakni
, . Demikian pula, penyalinan kata syay’ ( bc ) dalam kasus
marfû‘ dan majrûr dilakukan secara terpisah ( 3 c ). Sementara
ortografi mushaf Ubay ibn Ka‘b juga memperlihatkan
perbedaannya dalam kasus-kasus tertentu dengan ortografi utsmani.
Untuk kasus imãla (vokal ã panjang), misalnya, dalam mushaf
Ubay ditulis dengan yã’ ( - ). Contohnya, kata li-l-rijãli ( JO)
)
disalin dengan -O)
, jã’a ( 6O ) disalin dengan -O , dan jã’at-hum
( N6O ) disalin dengan N -O. Sebagaimana telah dikemukakan
dalam bab 5, Ibn Mas‘ud – demikian pula Abu Musa al-Asy‘ari –
dikabarkan telah menolak memusnahkan atau mengharmoniskan
mushafnya dengan teks resmi al-Quran yang diedarkan oleh
Utsman.
saat beberapa manuskrip kuno dari abad ke-2 Hijriah
dimasukkan ke dalam pertimbangan, dapat dipastikan bahwa tidak
ada ijmã‘ tentang rasm utsmani. Seperti telah ditunjukkan,
khususnya dalam bagian karakteristik ortografi utsmani di atas,
tidak terlihat adanya keseragaman dalam penyalinan Mushaf-
mushaf Utsmani. Dalam kasus-kasus tertentu – misalnya penulisan
kata syay’ dalam mushaf utsmani dengan bc , yang dalam mushaf
Ibn Mas‘ud dan beberapa manuskrip utsmani disalin secara terpisah
( 3 c )57 – ortografi utsmani justeru tidak menunjukkan
kekhususannya, namun lebih menampakkan adopsi jenis tulisan
yang pada umumnya tidak lagi digunakan saat itu, namun telah
menyebar luas.
Demikian pula, karakteristik penulisan kata-kata tertentu –
misalnya penggunaan tã’ maftûhah ( 5 ) sebagai pengganti tã’
marbûthah ( ) dalam kata C , C W7 , dll. – penggantian alif
dengan wãw dalam kata-kata tertentu – misalnya )A , m , dll. –
dan penghilangan atau penambahan alif, wãw dan yã’, yang dalam
sudut pandang tradisional dianggap sebagai misteri (i‘jãz) yang
tidak bisa dipahami akal manusia, sebenarnya secara logis bisa
dijelaskan. Penggunaan tã’ biasa ( 5 ) dalam kata-kata di atas,
misalnya, adalah praktek yang berjalan di kalangan banu Tayy.
Penggantian alif dengan wãw dalam kata-kata tertentu bisa dikaitkan
dengan artikulasi dalam dialek hijaz yang mengucapkan ã sebagai
ô – jadi, untuk kata )A diucapkan sebagai shalôt, yang menurut
Schwally dipengaruhi oleh kata dasar bahasa Arami (aramaik).58
namun , sebagaimana ditunjukkan di atas, penulisan vokal ã dalam
kata-kata itu terkadang juga disalin dengan – seperti dalam kata
qA , - , atau 8 – dalam beberapa manuskrip al-Quran awal
beraksara kufi. Bentuk penyalinan terakhir ini terlihat lebih dekat
kepada cara penulisan gaya baru (scriptio plena).
Sementara bentuk-bentuk penambahan (ziyãdah, Gm ) atau
pengurangan (hadzf, h ) bisa dilihat sebagai usaha penyalinan
dalam bentuk tertulis artikulasi dua vokal yang berdampingan.
Jadi, vokal a’i, misalnya dalam kata +7 (untuk "+7 , 6:34); atau
sebaliknya i’a, misalnya dalam kata , , M-8 (untuk M8 , 51:47),
atau dalam berbagai manuskrip C-8 (untuk 58 ); atau bahkan
î’a, misalnya dalam kata 3O (untuk 6%O , 39:69; 89:23), yang disalin
dengan ; dan saat urutannya dibalik menjadi (a’i sebagai
ganti ai’) dalam kata b *
(untuk b*
, 18:23). Dalam kasus-kasus
tertentu, bentuk-bentuk semacam ini juga berkaitan dengan
konteksnya. Jadi, kata kerja biasanya disalin dengan
penghilangan , yakni , kecuali dalam 53:11,18 disalin dengan
. Khusus untuk 53:11, penyalinan ini – yakni – dapat
dijelaskan sebagai penyesuaian dengan rima surat.
Sedangkan inkonsistensi – kalau bisa disebut demikian – dalam
penggabungan partikel-partikel tertentu, misalnya penulisan , ,
yang di tiga tempat disalin terpisah ,4, , atau & , yang di sepuluh
tempat ditulis terpisah & , dapat dijelaskan dengan
menempatkannya ke dalam konteks pengumpulan al-Quran yang
sebagiannya menggunakan sumber tertulis dan sebagian lagi
menggunakan sumber hafalan. Kasus-kasus ini juga bisa dijelaskan
dengan merujuk perkembangan ragam tulis Arab itu sendiri, yakni
proses transisinya dari scriptio defectiva ke scriptio plena.
Inkonsistensi semacam itu barangkali merupakan sisa-sisa dari
rekaman aksara Arab dalam berbagai stase perkembangannya, atau
mencerminkan bentuk kompromi dari berbagai kecenderungan yang
berbeda di dalam tubuh umat Islam.
Kalangan tertentu sarjana Muslim menduga bahwa berbagai
penyimpangan dari kaedah penulisan baku yang ada di dalam
ortografi utsmani adalah kekeliruan penulisan yang tidak disengaja,
sebab seni tulis-menulis masih merupakan hal yang baru di dunia
Islam saat itu. Pandangan semacam ini barangkali bisa dijustifikasi
dengan merujuk riwayat-riwayat yang mengungkapkan
ditemukannya berbagai kesalahan penulisan dalam salinan mushaf
utsmani oleh Utsman sendiri atau oleh Aisyah59 . namun , tampaknya
dugaan itu tidak sejalan dengan kenyataan historis yang telah
ditunjukkan pada bagian permulaan bab 4. Berpijak pada paparan
yang telah dikemukakan di atas, dapat juga diasumsikan bahwa
berbagai “keistimewaan” ortografi utsmani memperlihatkan usaha
untuk mengakomodasikan berbagai perkembangan tradisi oral dan
tulisan al-Quran yang eksis di kalangan kaum Muslimin saat itu.
Bila disepakati bahwa ragam tulis adalah produk budaya
manusia yang berkembang selaras dengan perkembangan manusia,
maka permasalahan tentang apakah suatu bentuk tulisan memiliki
sanksi ilahi atau mestikah ia dipertahankan sebab merupakan
konsensus warga dalam suatu kurun waktu, adalah
permasalahan yang terlalu sepele dan tidak perlu diperdebatkan
mengingat karakter asasi manusia yang selalu berkembang. usaha
penekanan karakter ilahiah rasm utsmani atau penetapannya sebagai
tawqîfi jelas merupakan usaha sakralisasi produk budaya manusia.
usaha ini mirip dengan proses penempaan bahasa Arab klasik
sebagai lingua sacra, yang pada ujungnya telah mengalangi
perkembangannya dan membuatnya menetap dalam limbo sejarah.
Dengan demikian, ia tidak lagi dapat berinteraksi dengan umat
Islam. Penempaan bahasa Arab telah berakibat tidak dibolehkannya
penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa-bahasa non-Arab yang
digunakan di dunia Islam – sekalipun ada laporan bahwa salah
seorang sahabat Nabi, Salman al-Farisi, telah menerjemahkan al-
Quran ke dalam bahasa Persia, bahasa ibunya. Hal ini dengan jelas
menghambat pemahaman kaum Muslimin non-Arab terhadap al-
Quran. Baru pada masa belakangan penerjemahan dibolehkan, namun
dengan syarat bahwa terjemahan itu harus didampingi teks Arabnya
– yakni terjemahan interlinear.
Argumen-argumen lainnya yang dikemukakan al-Said barangkali
bisa dikontraskan dengan realitas yang ada dalam sejarah umat Is-
lam. Sebagian besar teks utsmani, setelah selesainya usaha-usaha
penyempurnaan ortografis, telah mengalami perubahan besar-
besaran dengan diintroduksikannya scriptio plena dalam
penulisannya. Teks al-Quran tidak lagi disalin dengan scriptio
defectiva yang tanpa tanda baca. Hanya sebagian kecil dari ortografi
utsmani yang tetap bertahan atau dipertahankan dalam penulisan
al-Quran.61 Meskipun demikian, ragam tulis khas utsmani ini telah
mengalami peningkatan dengan pembubuhan tanda vokal dan
konsonan, dan hanya bertahan dalam gaya penulisan.
Sekalipun al-Said merujuknya dengan nada penyesalan, namun
beberapa tahun menjelang diterbitkannya al-Jam‘ al-Shawtî al-Awwal
li-l-Qur’ãn al-Karîm, aw al-Mushhaf al-Murattal: Bawã‘itsuhu wa
Mukhaththathãhu – demikian judul karya al-Said – pada 1967,
naskah al-Quran yang disalin dalam aksara Latin diterbitkan di
negeri Turki.62 Demikian pula, untuk tujuan pengutipan dalam
berbagai buku keagamaan, bagian-bagian al-Quran telah disalin
dengan menggunakan pola penulisan gaya baru (rasm imlã’î),
terkadang bahkan dalam bentuk transliterasi latin. Di negara kita ,
misalnya, juga telah muncul penulisan surat-surat tertentu al-Quran
dalam bentuk transliterasi Latin – sekalipun tetap disandingkan
dengan teks beraksara Arab dan terjemahannya.63
Jadi, meskipun dengan penuh kontroversi, scriptio plena – yang
mencapai bentuk finalnya pada penghujung abad ke-3H/9 – akhirnya
digunakan hampir seluruhnya dalam penyalinan textus receptus.
Bentuk teks “gado-gado” yang kita warisi dewasa ini, barangkali
merupakan hasil maksimal yang dapat dicapai dari tawar-menawar
atau kontroversi akut dan berkepanjangan dalam proses introduksi
scriptio plena untuk penyalinan al-Quran. namun , aplikasi rasm imlã’î
dalam penyalinan al-Quran, pada faktanya, telah membawa bentuk
keseragaman tekstual yang lebih luas, dibandingkan yang bisa dicapai
teks utsmani dalam aksara orisinalnya. usaha penyeragaman ini,
secara berbarengan, juga telah mentransformasikan tradisi oral al-
Quran ke dalam teks dan, dengan demikian, melindunginya dari
bahaya penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan dalam
pembacaan al-Quran (tashhîf), hingga taraf tertentu, bisa
diminimalisasi dengan adanya teks yang lebih memadai. Dan
eksistensi teks semacam itu bahkan telah meletakkan pijakan yang
kukuh bagi serangkaian usaha untuk menjamin suatu taraf
keseragaman dalam bacaan al-Quran pada permulaan abad ke-4H/
10, yang akan menjadi pokok bahasan bab mendatang.
Unifikasi Bacaan al-Quran
Asal-usul Keragaman Bacaan al-Quran
Dalam bab lalu telah dikemukakan bahwa salah satu sebabyang melatarbelakangi munculnya keragaman bacaan al-
Quran (variae lectiones) adalah ketidaksempurnaan aksara Arab –
yakni scriptio defectiva, yang tidak memiliki tanda-tanda vokal
dan titik-titik diakritis pembeda konsonan berlambang sama – yang
digunakan saat itu untuk menyalin teks al-Quran. Sekalipun
sudut pandang tradisional menafikan asumsi semacam ini, ada
pijakan historis yang cukup solid untuk mengedepankannya.
Gagasan tentang latarbelakang kemunculan variae lectiones
semacam ini, dalam kenyataannya, bukanlah hal baru di dalam
Islam. Sebagaimana dikemukakankan al-Jaza’iri, Ibn Abi Hasyim
pernah mengungkapkan pandangan bahwa sebab terjadinya
perbedaan bacaan dalam tradisi kiraah tujuh dan tradisi-tradisi
bacaan di luarnya adalah bahwa di kawasan-kawasan utama Islam
yang memperoleh kiriman salinan mushaf utsmani telah berdiam
para sahabat Nabi. yang darinya warga wilayah ini
mempelajari bacaan al-Quran. sebab salinan-salinan mushaf yang
dikirim Utsman ditulis dalam scriptio defectiva, maka warga
di tiap wilayah itu tetap membaca mengikuti bacaan yang mereka
pelajari dari para sahabat Nabi, sepanjang bersesuaian dengan teks
utsmani. Sementara yang tidak bersesuaian dengannya ditinggalkan.
Dari sinilah muncul keragaman bacaan di kalangan qurrã’ dari
berbagai wilayah Islam.
namun , menurut sudut pandang tradisional, variae lectiones –
terutama dalam kategori mutawãtir dan masyhûr – bersumber dari
Nabi sendiri. Gagasan ini dipijakkan pada beberapa hadits yang
menegaskan bahwa al-Quran diwahyukan dalam tujuh ahruf
( h W+ %)L ).2 Yang terkenal dari berbagai hadits ini, antara lain,
adalah riwayat dari Umar ibn Khaththab dan Hisyam ibn Hakim
berikut ini:
Dari Miswar ibn Makhramah dan Abd al-Rahman ibn al-
Qari bahwasanya keduanya mendengar Umar ibn Khaththab
berkata: “Aku berjalan melewati Hisyam ibn Hakim ibn Hizam
yang tengah membaca surat al-Furqãn pada masa Rasulullah
SAW. Lalu dengan cermat kudengarkan bacaannya. Dia
membaca dalam ahruf yang banyak, yang tidak pernah
dibacakan Rasulullah kepadaku. Hampir saja kuserang dia
dalam shalatnya, namun aku bersabar hingga ia menyudahi
shalatnya, kemudian aku tarik bajunya dan menanyainya:
‘Siapa yang membacakan kepadamu surat yang aku dengar
kau bacakan tadi?’ Jawabnya: ‘Rasulullah yang membacakannya
kepadaku.’ Aku berkata: ‘Bohong kamu, sesungguhnya
Rasulullah telah membacakan kepadaku lain dari yang kamu
bacakan.’ Lalu aku bawa dia ke Rasulullah dan meng-
adukannya: ‘Sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca
surat al-Furqãn dalam ahruf yang tidak pernah anda bacakan
kepadaku.’ Maka Rasulullah berkata: ‘Lepaskan dia. Bacalah
Hisyam.’ Lalu Hisyam membaca dengan bacaannya yang telah
kudengar tadi. Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Demikianlah
surat itu diturunkan.’ Kemudian ia berkata: ‘Bacalah wahai
Umar.’ Maka aku pun membacakan bacaan yang pernah
dibacakan Rasulullah kepadaku. Rasulullah lalu bersabda:
‘Demikianlah surat itu diturunkan. Sesungguhnya al-Quran
ini diwahyukan dalam tujuh ahruf. Bacalah yang termudah
darinya.’”
Demikian pula, diriwayatkan bahwa Ubay ibn Ka‘b suatu
saat mendengar seseorang di dalam sebuah masjid membaca suatu
bacaan al-Quran yang tidak dikenalnya. Ubay menegurnya, namun
orang lain setelah itu juga melakukan hal yang sama. Mereka
kemudian pergi menemui Rasulullah untuk mengklarifikasi bacaan-
bacaan yang berbeda, dan Nabi membenarkan bacaan-bacaan itu.
Hal ini membuat Ubay terpukul dan berkeringat dingin dan
mencemaskan dirinya sebagai seorang pembohong. Melihat kondisi
Ubay, Nabi lalu menenangkannya dan bersabda:
Hai Ubay, aku diutus untuk membacakan al-Quran dalam
satu harf, namun aku menolaknya dan meminta agar umatku
diberi keringanan. Kemudian diulangi lagi padaku yang kedua
kali: bacalah al-Quran dalam dua huruf (harfayn). Aku pun
menolak lagi dan memohon agar umatku diberi keringanan.
Lalu diulang lagi yang ketiga kalinya: Bacalah al-Quran dalam
tujuh ahruf ….
Sementara beberapa hadits lainnya mengungkapkan
pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahruf, namun tanpa merujuk
perselisihan tentang perbedaan bacaan di kalangan kaum Muslimin
generasi pertama. Jadi, Bukhari dan Muslim, misalnya,
meriwayatkan dari Ibn Abbas, yang berkata bahwa Nabi pernah
bersabda: “Jibril membacakan al-Quran kepadaku dalam satu harf,
namun aku menolaknya. Dan aku terus memohon kepadanya agar
ditambahkan, maka dia menambahkannya hingga akhirnya
mencapai tujuh ahruf.”5 Demikian pula, dikabarkan Ubay ibn
Ka‘b meriwayatkan bahwa saat Nabi tengah berada di kolam
banu Gaffar, Jibril datang kepadanya dan berkata: “Sesungguhnya
Allah memerintahkanmu membacakan al-Quran kepada umatmu
dalam satu harf.” Nabi lalu menjawab: “Saya memohon
perlindungan dan ampunan Allah, sesungguhnya umatku tidak
mampu melakukannya.” Kemudian Jibril mendatanginya lagi dan
berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu membacakan
al-Quran kepada umatmu dalam dua huruf (harfayn).” Nabi
memberikan jawaban yang sama, kemudian datang lagi Jibril untuk
ketiga kalinya dan berkata: “Sesungguhnya Allah memerintah-
kanmu membacakan al-Quran kepada umatmu dalam tiga ahruf.”
Nabi masih juga memberikan jawaban yang sama, kemudian datang
lagi Jibril untuk keempat kalinya dan berkata: “Sesungguhnya Al-
lah memerintahkanmu membacakan al-Quran kepada umatmu
dalam tujuh ahruf. Huruf apa saja yang mereka gunakan dalam
pembacaan al-Quran, maka mereka telah membacakannya secara
tepat.”6 Hadits-hadits semacam ini, seperti terlihat, mengaitkan
keragaman bacaan pada ketidakmampuan umat Islam untuk
membaca kitab sucinya dalam satu harf.
Beberapa riwayat yang dikemukakan di atas – juga berbagai
riwayat lainnya dalam kasus ini7 – menunjukkan bahwa perbedaan-
perbedaan dalam pembacaan al-Quran telah eksis di kalangan para
sahabat Nabi, sebab al-Quran diwahyukan dalam tujuh ahruf.
Ini merupakan penjelasan paling sederhana yang bisa dikemukakan
di sini. namun , beberapa besar sarjana Muslim, selama berabad-
abad, telah berusaha menjelaskan apa yang dimaksud ungkapan
sab‘ah ahruf dalam riwayat-riwayat ini . Abu Hatim
Muhammad ibn Habban al-Busti (w. 354 H), misalnya, telah
mengumpulkan antara 35 hingga 40 macam penjelasan tentangnya
yang dapat ditemukan dalam berbagai buku. Abu Syamah (w.
665H), sekitar 650H, bahkan menulis sebuah buku khusus tentang
berbagai penjelasan tujuh ahruf ini .8 Namun, sebagian besar
penjelasan ini tidak memiliki signifikansi yang nyata, bahkan
terlihat berseberangan dengan kata-kata aktual yang ada di dalam
berbagai Hadits. Beberapa ilustrasi berikut – yang dipilih dari
penjelasan-penjelasan paling populer di kalangan sarjana Muslim–
akan menunjukkan hal ini.
Sebagian sarjana Muslim menjelaskan pengertian sab‘ah ahruf
dengan al-abwãb al-sab‘ah (tujuh gerbang, atau segi) yang dengannya
al-Quran turun. Ketujuh segi ini bertalian dengan perintah, larangan,
janji, ancaman, perdebatan, kisah warga terdahulu, dan
perumpamaan. Ketujuh segi itu juga diberi kandungan lain, yaitu
perintah, larangan, halal, haram, muhkam, mutasyãbih, dan
perumpamaan. Penjelasan ini, sekalipun didasarkan pada beberapa
riwayat, jelas bertabrakan dengan hadits-hadits tentang tujuh ahruf
yang menyiratkan perbedaan dalam pembacaan al-Quran sebagai
kemudahan bagi kaum Muslimin, lantaran ketidakmampuan mereka
membacanya dalam satu huruf. Jika perbedaan di kalangan sahabat
menyangkut hal-hal yang dijelaskan dalam kandungan abwãb al-
sab‘ah, maka adalah mustahil bagi Nabi untuk menjustifikasi
perbedaan-perbedaan ini , sebab bisa berkontradiksi antara satu
dengan lainnya: yang halal bagi suatu bacaan bisa menjadi haram
bagi bacaan lain, yang diperintahkan bisa menjadi terlarang, yang
muhkam bisa menjadi mutasyãbih, atau sebaliknya, dan seterusnya.
Pemaknaan tujuh ahruf berikutnya adalah tujuh dialek (lahjah)
yang berbeda, yakni dialek Quraisy, Huzhail, Tsaqif, Hawazin,
Kinanah, Tamim dan Yaman. Menurut penjelasan ini, jika ketujuh
dialek ini berbeda dalam mengungkapkan suatu makna,
maka al-Quran diturunkan dengan beberapa lafaz yang sesuai
dengan dialek-dialek ini . namun , bila tidak ada perbedaan,
maka al-Quran hanya diturunkan dengan satu lafaz. Sebagian ulama
lain berpendapat bahwa pewahyuan dalam tujuh dialek bermakna
al-Quran secara keseluruhannya tidak keluar dari ketujuh dialek
ini , meskipun sebagian besarnya dalam dialek Quraisy,
sebagian lagi dalam dialek Huzhail, dan seterusnya. Penjelasan
semacam ini juga tidak cocok dengan riwayat dari Umar dan
Hisyam yang disitir di atas, sebab keduanya adalah orang Quraisy
yang, tentu saja, tidak perlu bertengkar atau berseberangan
pandangan mengenai pembacaan al-Quran dalam dialek mereka
sendiri. Demikian pula, jika dikatakan bahwa al-Quran
mencakupkan idiom-idiom dari dialek-dialek lain yang tidak
ada dalam dialek Quraisy, maka hal ini akan bertabrakan
dengan hadits yang mengungkapkan bahwa pewahyuan dalam
tujuh ahruf dimaksudkan untuk memudahkan umat Islam dalam
pembacaan al-Quran. Lebih jauh, menurut suatu hadits yang
diriwayatkan berdasar otoritas Abu Bakr al-Wasithi, sarjana
Muslim terkemuka di Iran pada abad ke-9-10, disebutkan bahwa
di dalam al-Quran ada lima puluh dialek.10 Jadi, pembatasan
ke dalam tujuh dialek jelas tidak memiliki pijakan apapun.
Pandangan lainnya yang cukup bermasalah adalah pemaknaan
tujuh ahruf sebagai al-qirã’ãt al-sab‘ (“tujuh bacaan”) – khususnya
yang dihimpun Ibn Mujahid. Pandangan ini biasanya dinisbatkan
kepada orang awam, sebab tidak satu ulama pun yang
memegangnya. Al-Suyuthi mengutip pandangan Abu Syamah yang
menegaskan bahwa pemaknaan semacam itu lebih menunjukkan
kepada kebodohan yang memalukan.11 Dalam kenyataannya, varian
bacaan yang eksis di kalangan kaum Muslimin melebihi angka
ini , sekalipun – sebagaimana akan ditunjukkan di bawah –
para sarjana Muslim tidak bersepakat tentang keabsahannya.
Sementara beberapa sarjana Muslim lainnya memaknai tujuh
ahruf merujuk kepada suatu bilangan yang tidak tertentu
banyaknya. Jadi, tujuh ahruf di sini bermakna bahwa al-Quran
dapat dibaca dalam berbagai cara. Keberagaman cara pembacaan
al-Quran ini, yang juga diakui beberapa sarjana Muslim,
membolehkan pembacanya mengganti suatu kata dengan kata-kata
lain yang memiliki makna senada, seperti . namun , penggantian itu tentunya bisa mencakup jumlah yang
sangat banyak dan mungkin juga mencakup keseluruhan kata yang
ada di dalam suatu ayat. sebab itu, pemaknaan tujuh ahruf
semacam ini terlihat tidak logis.
Lantaran berbagai argumen tidak meyakinkan yang
ditampilkan untuk menafsirkan tujuh ahruf, beberapa otoritas
Syi‘ah akhirnya mempermudah masalah ini dengan menolak
keabsahan seluruh hadits yang bertalian dengannya. Al-Khu’i,
otoritas Syi‘ah Imamiyah abad ke-20, misalnya, secara panjang lebar
mengungkapkan kritisismenya terhadap hadits-hadits tentang
pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahruf, dan menjelaskan
ketidakabsahan penafsiran-penafsiran yang berkembang di seputar
makna hadits-hadits ini . Kontra argumen al-Khu‘i atas
pemaknaan tujuh ahruf, sebagiannya sejalan dengan paparan yang
telah dikemukakan di atas, dan sebab itu tidak perlu disinggung
lagi di sini.
Sementara kritisisme al-Khu‘i terhadap riwayat-riwayat
pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahruf terlihat dibingkainya
dalam nuansa Syi‘ah yang amat kental. Menurutnya, keseluruhan
riwayat ini ditransmisikan melalui saluran Sunni yang
berkontradiksi dengan riwayat-riwayat yang beredar di kalangan
Syi‘ah bahwa al-Quran diwahyukan dalam satu harf. Di dalam
riwayat-riwayat Sunni ada inkonsistensi, seperti riwayat yang
mengemukakan bahwa Jibril mengajarkan Nabi satu harf bacaan,
Nabi lalu memintanya untuk menambah lagi, yang diluluskannya,
hingga mencapai tujuh ahruf. Dengan demikian, harf berkembang
secara gradual. namun , dalam riwayat lainnya perkembangan ini
terjadi sekaligus pada permintaan ketiga, atau dengan kata lain
Tuhan memerintahkan Nabi pada kali ketiga untuk membacakan
al-Quran dalam tujuh ahruf.
Inkonsistensi lainnya bisa dilihat dalam beberapa hadits yang
menuturkan pengalaman Ubay ibn Ka‘b tentang keragaman
bacaan. Dalam sebagian hadits diriwayatkan bahwa Ubay masuk
ke dalam masjid dan melihat seseorang membaca al-Quran yang
berbeda dari bacaannya. Namun, dalam hadits lainnya dituturkan
bahwa Ubay berada di dalam masjid saat dua orang masuk secara
berturut-turut dan membacakan al-Quran yang berbeda dengan
bacaannya. Demikian pula, apa yang disabdakan Nabi kepada Ubay
– saat mengadukan tentang keragaman bacaan – dalam riwayat-
riwayat ini bertabrakan antara satu dengan lain. Sementara
kontradiksi riwayat-riwayat ini terlihat dalam sebagian hadits
yang mengindikasikan bahwa keseluruhan perkembangan harf
terjadi pada kali pertama, dan bahwa permintaan Nabi untuk
menambah jumlah harf dilakukan atas saran malaikat Mikha’il,
dan Jibril menambahnya hingga mencapai jumlah tujuh ahruf.
namun , sebagian hadits memperlihatkan bahwa Jibril pergi setelah
mengajarkan satu harf, kemudian kembali lagi untuk memenuhi
permintaan penambahan satu harf dari Nabi.13
Demikian pula, menurut al-Khu‘i, ada keganjilan antara
pertanyaan dan jawaban dalam hadits yang bersumber dari Ibn
Mas‘ud, di mana Ali dikabarkan berkata: “Rasulullah
memerintahkan kalian untuk membaca al-Quran sebagaimana telah
diajarkan.”14 Jawaban ini sama sekali tidak berkaitan dengan subyek
permasalahan yang diperdebatkan di kalangan sahabat Nabi tentang
jumlah ayat dalam suatu surat al-Quran. Lebih jauh, hadits ini
secara logis tidak merujuk kepada tujuh ahruf ataupun memberikan
suatu pemahaman yang akurat tentangnya. Dapat juga
ditambahkan bahwa hadits ini jelas merupakan rekayasa belakangan
untuk menjustifikasi eksistensi keragaman bacaan, sebab
penghitungan jumlah ayat adalah fenomena yang muncul
belakangan.
berdasar argumen-argumen semacam itulah beberapa
otoritas Syi‘ah menolak keabsahan hadits-hadits tentang pewahyuan
al-Quran dalam tujuh ahruf. Bagi mereka, al-Quran diwahyukan
hanya dalam satu harf dan berbagai perbedaan dalam pembacaan
kitab suci disebabkan para perawinya. Gagasan ini dipijakkan pada
pernyataan Imam Muhammad al-Baqir (w. 731) dan Imam Ja‘far
al-Shadiq. Al-Baqir, dikabarkan telah berujar: “Al-Quran itu satu,
diwahyukan oleh Yang Maha Satu. Sementara perbedaan-perbedaan
disebabkan oleh para perawi (kiraah).” Demikian juga, saat
menjawab pertanyaan al-Fudlayl ibn Yasar tentang pernyataan
orang-orang bahwa al-Quran diwahyukan dalam tujuh ahruf, Ja‘far
al-Shadiq berkata: “Mereka bohong, mereka adalah musuh-musuh
Tuhan. Tidak diragukan bahwa al-Quran diwahyukan dalam satu
harf dari Yang Maha Satu.”15
namun , penolakan kaum Syi‘ah di atas membawa konsekuensi
yang jauh menjangkau. Jika keragaman bacaan al-Quran disebabkan
para perawinya, maka yang menjadi masalah adalah bacaan mana
yang bisa disebut sebagai bacaan orisinal dari berbagai bacaan yang
ada dalam tradisi Islam. Jawaban yang diajukan untuk masalah
ini adalah bahwa al-Quran yang sejati akan dibawa kembali oleh
Imam Mahdi yang dinantikan kehadirannya. Kelompok Syi‘ah,
seperti ditunjukkan dalam bab 7, memang menghendaki eksisnya
bacaan al-Quran yang mengakomodasikan berbagai gagasan
keagamaan mereka – khususnya yang berkaitan dengan keutamaan
Ali dan ahl al-bayt. Namun, hal ini tidak dapat ditemukan dalam
tradisi teks dan bacaan utsmani. Itulah sebabnya, beberapa mushaf
pra-utsmani mendapat tempat terhormat di kalangan Syi‘ah dan
telah dieksploitasi untuk tujuan-tujuan ini – misalnya yang
dikenal secara teknis sebagai “ayat-ayat Syi‘ah” – tanpa hasil yang
memuaskan.
Thaha Husayn, pemikir Muslim modern asal Mesir, dalam
esei terkenalnya, Fî-l-Adab al-Jãhilî, menisbatkan keragaman bacaan
al-Quran kepada perbedaan dialek di kalangan para pembaca awal,
yang berasal dari berbagai suku di Arabia. Menurutnya, al-Quran
pada mulanya dibaca dalam satu bahasa dan satu dialek, yaitu
dialek Quraisy. namun , saat para qurrã’ dari berbagai suku mulai
melakukan pembacaan atas kitab suci ini , keragaman bacaan
pun muncul, yang merefleksikan perbedaan-perbedaan dialek di
kalangan mereka. Gagasan Husayn ini agak berbeda dari ide
pemaknaan tujuh ahruf sebagai keragaman dialek dalam pembacaan
al-Quran. Di sini, secara tegas dikemukakan penolakan terhadap
ragam-ragam bacaan yang bervariasi sebagai verbum dei atau bacaan
otentik dari Nabi. Bahkan, menurut Husayn, tujuh bacaan (al-
qirã’ãt al-sab‘), yang dipandang kalangan tradisional sebagai bacaan
mutawãtir, sama sekali tidak ada kaitannya dengan wahyu, namun
dengan keragaman dialek suku-suku di kalangan kaum Muslimin
Arab yang awal. sebab itu, setiap Muslim memiliki hak untuk
memperdebatkannya, menolak atau menerimanya secara
keseluruhan atau sebagian.
Gagasan Husayn di atas, sebagimana dengan gagasan yang
berkembang di kalangan Syi‘ah, juga menimbulkan implikasi
senada, yakni: bacaan manakah yang orisinal bersumber dari Nabi.
Pemikiran logis tentunya membolehkan seseorang melakukan
penyelidikan untuk menetapkan bacaan orisinal al-Quran –
sebagaimana diusaha kan beberapa otoritas Muslim yang awal lewat
aplikasi ikhtiyãr, seperti akan ditunjukkan nanti, dan sebagian
orientalis16 – dengan mengekploitasi seluruh perbendaharaan
kiraah. Namun, apakah hasilnya bisa sebanding dengan usaha yang
dilakukan atau akankah usaha ini diterima secara luas oleh
umat Islam, merupakan suatu pertanyaan yang sangat sulit dijawab.
usaha -usaha semacam ini bisa dipastikan akan mengalami
tantangan serius dari ortodoksi Islam yang memiliki kecenderungan
sangat kuat ke arah tradisionalisme dan keseragaman teks dan
bacaan al-Quran. Demikian pula, pernyataan Husayn bahwa al-
Quran pada mulanya hanya dibaca dalam dialek Quraisy, terlihat
terlalu memudahkan permasalahan. Penelitian-penelitian tentang
bahasa al-Quran justeru menghasilkan kesimpulan bahwa bahasa
yang digunakan kitab suci ini merupakan bahasa sastra
artifisial yang dipahami seluruh suku di Arabia – semacam
hochsprache atau lingua franca17 – namun bukan merupakan dialek
suku atau suku-suku tertentu.18 beberapa informasi yang bersumber
dari sarjana Muslim sendiri bahkan cenderung menolak keyakinan
bahwa dialek suku Quraisy identik dengan hochsprache ini .19
Unifikasi Bacaan al-Quran
usaha standardisasi teks al-Quran pada masa Utsman, dalam
kenyataannya, juga mengarah kepada unifikasi bacaan al-Quran.
Dengan eksisnya teks yang relatif seragam,20 pembacaan al-Quran
yang dipijakkan pada teks ini tentunya akan meminimalkan
keragaman. namun , lantaran aksara yang digunakan saat itu untuk
menyalin mushaf utsmani – yakni scriptio defectiva – belum
mencapai tingkatan yang sempurna, keragaman bacaan masih tetap
mewarnai sejarah awal kitab suci kaum Muslimin. Keragaman ini
juga bisa dikaitkan dengan hafalan materi-materi al-Quran lama
yang – saat dilakukan standardisasi teks dan pemusnahan mushaf-
mushaf non-utsmani – tidak dapat dihilangkan begitu saja dari
benak para qurrã’, dan kemungkinannya baru bisa dicapai setelah
adanya pergantian atau alih generasi.
usaha Utsman dalam menciptakan keseragaman teks, dengan
jalan standardisasi dan pemusnahan mushaf-mushaf non-utmani,
dilanjutkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi (w. 714). Informasi tentang
introduksi penulisan tanda-tanda vokal ke dalam teks al-Quran,
yang biasanya dikaitkan dengan al-Hajjaj, menyiratkan bahwa
eksistensi teks konsonantal al-Quran dalam bentuk tertulis
merupakan suatu kenyataan yang di atasnya dipijakkan usaha -
usaha penyeragaman bacaan. Hal ini dapat dibuktikan dari situasi
periwayatan al-Quran, seperti terlihat jelas dalam kiraah Hasan al-
Basri – salah satu imam kiraah empat belas – yang sezaman dengan
al-Hajjaj.21 Dilaporkan bahwa al-Hajjaj juga telah berusaha memeras
keluar kiraah Ibn Mas‘ud dari peredarannya di kalangan kaum
Muslimin, dan mengirim satu eksemplar mushaf al-Quran ke
Mesir. Pengiriman ini menjelaskan di satu sisi bahwa Kufah,
saat itu jabatan gubernurnya dipegang oleh al-Hajjaj, merupakan
sentral para qurrã’ dan tanah air al-Quran beraksara Kufi, dan di
sisi lain juga menjelaskan bahwa di Mesir saat itu belum ada
salinan orisinal mushaf utsmani.
Pemusnahan seluruh bentuk teks non-utsmani, hingga taraf
tertentu, tidak mungkin menghilangkan keseluruhan tradisi
pembacaannya. Hal ini hanya bisa menjadi kenyataan jika
pembacaan teks utsmani diakui memiliki karakter mengikat.
Namun, pengakuan teoritis teks utsmani semacam itu tentunya
hanya bisa memiliki implikasi praktis jika kebebasan yang hampir
tidak mengenal batas dalam menangani teks – seperti terlihat di
masa sebelumnya dalam fenomena mashãhif pra-utsmani –
dihentikan, dan perhatian yang serius dikembangkan untuk
mereproduksi Kalam Ilahi secara tepat, bahkan dalam rincian-
rinciannya. Dan al-Hajjaj memberikan perhatian yang sungguh-
sungguh terhadap hal ini, seperti tercermin dalam berbagai
tindakannya, mulai dari pemusnahan mushaf-mushaf non-utsmani,
penyempurnaan ortografi al-Quran, pengiriman salinan-salinan teks
utsmani ke berbagai kota metropolitan Islam,23 sampai kepada
usaha memeras keluar kiraah Ibn Mas‘ud dari peredarannya di
kalangan kaum Muslimin pada masanya.
usaha standardisasi yang dilakukan Utsman, ataupun pada
masa berikutnya oleh al-Hajjaj, bukannya tanpa rintangan.
Sebagaimana telah ditunjukkan, dua sahabat terkemuka Nabi yang
kumpulan al-Qurannya memiliki pengaruh sangat luas di kalangan
kaum Muslimin yang awal – yakni Ibn Mas‘ud dan Abu Musa al-
Asy‘ari – terlihat tidak menyepakati kebijakan Utsman dan menolak
memusnahkan mushaf mereka.24 Generasi Muslim berikutnya, yang
mengikuti jejak kedua sahabat Nabi ini , masih tetap
memelihara bacaan-bacaan non-utsmani. Bahkan hingga abad ke-
10, penulis Fihrist, Ibn al-Nadim, melaporkan bahwa ia telah
menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri salinan-salinan mushaf
Ubay ibn Ka’b dan ibn Mas‘ud.25 namun , lantaran tekanan politik
dan dengan berlalunya masa, rintangan-rintangan terhadap usaha
standardisasi teks dan bacaan al-Quran berangsur-angsur melemah,
hingga akhirnya menghilang dari percaturan sejarah al-Quran.
saat Utsman dan al-Hajjaj secara radikal mencabut akar
pertikaian keragaman teks dan bacaan al-Quran, penentang-
penentang standardisasi al-Quran mulai melemah dan beralih
kepada posisi yang toleran terhadap keragaman teks dan bacaan
kitab suci ini . Hadits-hadits tentang pewahyuan al-Quran
dalam tujuh ahruf (h W+ %)L), hingga taraf tertentu,
menjustifikasi – atau mungkin difabrikasi untuk menjustifikasi –
posisi ini. Di dalam hadits-hadits ini , seperti telah dikutip di
atas, diberitakan bahwa Nabi telah mengakui eksistensi bentuk-
bentuk bacaan al-Quran yang beragam.
Pada gilirannya, kedua gerakan di dalam tubuh umat Islam
ini sama-sama mencapai tujuannya dalam bentuk kompromi: pada
tataran praxis, teks utsmani berhasil memapankan diri sebagai satu-
satunya teks al-Quran yang disepakati (textus receptus); sementara
dalam teori, bentuk-bentuk riwayat bacaan non-utsmani juga diakui
keberadaannya sebagai bacaan al-Quran. Bentuk kompromi ini
bisa dilihat saat Dlirar ibn Amr – pendiri sekte heretik Darariyah
pada permulaan abad ke-9 – dipersalahkan sebab menolak secara
dogmatis mushaf Ibn Mas‘ud dan Ubay ibn Ka‘b.26 Bentuk
kompromi lainnya yang agak toleran dalam hal ini mengungkapkan
kebolehan memilih (ikhtiyãr) bacaan para sahabat Nabi yang
bersesuaian dengan salah satu harf mushaf utsmani yang disepakati
(ijmã‘) – yakni salah satu dari bacaan yang tujuh – atau paling
tidak memanfaatkan bacaan-bacaan non-utsmani itu sebagai tafsîr
terhadap teks kanonik utsmani, seperti ditunjukkan dalam
prakteknya oleh al-Thabari sehubungan dengan varian-varian
mushaf utsmani dan non-utsmani. Namun, belakangan pandangan
kompromistik ini dikembangkan lebih jauh dengan menegaskan
bahwa keragaman bacaan di luar tradisi teks utsmani hanya bisa
dianggap sebagai keterangan terhadap textus receptus. Yang agak
ekstrem dari bentuk kompromi ini muncul dari gagasan nãsikh-
mansûkh: bentuk teks dan bacaan non-utsmani dipandang masuk
ke dalam kategori mansûkhãt.27 Jadi, sekalipun bacaan non-utsmani
dalam kompromi ini masih dinilai sebagai al-Quran,
eksistensinya tidak diperhitungkan lagi sebab masuk ke dalam
kategori “yang terhapus.”
Berbagai bentuk kompromi yang dicapai di atas terlihat tidak
bertahan lama. Kecenderungan yang kuat ke arah unifikasi bacaan
al-Quran semakin mengental dengan penerimaan teks utsmani
sebagai satu-satunya teks al-Quran pada tataran praxis. Pada abad
ke-2H/8, pendiri mazhab Malikiyah, Imam Malik ibn Anas,
merupakan orang pertama yang dengan tegas menolak keabsahan
penggunaan bacaan Ibn Mas‘ud dalam shalat.28 Penolakan Malik
belakangan mempengaruhi para fuqahã’ yang memperluasnya
kepada permasalahan tentang apakah penyimpangan yang
dilakukan secara tidak sengaja atau sebaliknya terhadap textus
receptus utsmani bisa membatalkan shalat atau tidak. Dalam
menjawab permasalahan ini, para fuqahã’ mazhab Hanafiyah
terlihat lebih toleran dibandingkan mazhab lain. Menurut
pandangan mereka, shalat baru menjadi batal bila terjadi perubahan
dalam makna dari bagian al-Quran yang dibaca.29 Sementara
berbagai ragam bacaan non-utsmani pada umumnya belum
mengubah makna teks utsmani.
Pada paruhan pertama abad ke-2H juga muncul usaha untuk
mempertegas keragaman bacaan al-Quran, yang biasanya dikaitkan
dengan nama Isa ibn Umar al-Tsaqafi (w.149 H), pakar bahasa
dari Bashrah, guru al-Khalil ibn Ahmad. Al-Tsaqafi yang buta ini,
sebagaimana diberitakan, memiliki sistem bacaan al-Qurannya
sendiri.30 Dalam sistemnya, ia mengusaha kan pembacaan al-Quran
yang sangat puritanik, biasa disebut ‘alã qiyãs – atau madzãhib –
al-‘arabiyah, yang tentunya bermakna bahwa ia berusaha
memperkenalkan ragam bacaan yang lebih selaras dengan cita rasa
kebahasaan, sekalipun bacaan itu tidak ada dalam tradisi kiraah
yang lazim. Namun, ia memperoleh tantangan keras, sebab pada
abad itu mulai muncul gerakan yang sangat kuat untuk membatasi
kebebasan dalam pembacaan al-Quran yang dipelopori Imam Malik.
Pembatasan kebebasan dalam pembacaan al-Quran pada
gilirannya melahirkan berbagai usaha untuk menghimpun ragam
bacaan yang ditransmisikan dari generasi-generasi sebelumnya.
Dikabarkan bahwa orang pertama yang meneliti dan menguji secara
kritis jejak dan mata rantai periwayatan (isnãd) variae lectiones adalah
Harun ibn Musa (w. sekitar 170 atau 180H), seorang penganut paham
mu‘tazilah. Namun, otoritas pertama paling berpengaruh dalam
hal ini adalah Abu Ubayd al-Qasim ibn Salam (w. 838), yang
menghimpun sekitar tiga puluh dua sistem kiraah – termasuk kiraah
tujuh. Menyusul Ahmad ibn Zubayr ibn Muhammad al-Kufi (w.
871), yang menyusun suatu kitab tentang lima bacaan yang ada di
kota-kota besar Islam saat itu. Setelah itu, al-Qadli Isma‘il ibn
Ishaq al-Maliki (w. 895) menulis suatu kitab tentang kiraah yang
menghimpun dua puluh ragam bacaan, termasuk kiraah tujuh.
Khusus untuk kiraah tujuh, penghimpunnya yang termasyhur adalah
Ibn Mujahid (w. 935). Pada masa selanjutnya, Muhammad ibn Jarir
al-Thabari (w. 922), mufassir aliran “tradisional” paling terkemuka,
menyusun suatu kitab yang menghimpun lebih dari dua puluh sistem
bacaan. Tidak lama setelah al-Thabari, Abu Bakr Muhammad ibn
Ahmad ibn Umar al-Dajuni (w. 935) menyusun suatu kitab tentang
kiraah, di mana ia memasukkan al-Thabari sebagai salah satu dari
imam kiraah sepuluh.31
namun , dengan selesainya proses penyempurnaan aksara Arab
yang mencapai bentuk finalnya menjelang penghujung abad ke-
3H/9, aplikasinya dalam penyalinan textus receptus telah membawa
bentuk keseragaman tekstual dan bacaan yang lebih luas,
dibandingkan yang bisa dicapai teks utsmani dalam aksara
orisinalnya. Sekalipun telah muncul sebelumnya gerakan yang
mengusaha kan keseragaman bacaan al-Quran, khususnya setelah
promulgasi mushaf utsmani – sebagai antipoda gerakan yang
menghendaki keragamannya – namun dengan teks atau naskah yang
belum memadai, hasil yang dicapai gerakan itu pun sangat terbatas.
Eksistensi teks al-Quran yang lebih memadai, setelah
diintroduksinya scriptio plena dalam penyalinan mushaf, telah
mendorong munculnya gerakan yang lebih kuat ke arah unifikasi
bacaan pada masa berikutnya – sekitar awal abad ke-4H/10. Berbagai
variae lectiones mulai disaring dengan textus receptus sebagai batu
uji – yakni keselarasan bacaan dengan teks mushaf utsmani – di
samping kriteria-kriteria utama lainnya, seperti keselarasan dengan
kaidah bahasa Arab, dan tawãtur, yakni prinsip tentang transmisi
suatu bacaan melalui mata rantai periwayatan (asãnîd) yang
independen dan otoritatif dalam suatu skala yang sangat luas,
sehingga menafikan kemungkinan terjadinya kesalahan atau
kekeliruan.32 Hasilnya, dengan dukungan penuh otoritas politik,
ortodoksi Islam membatasi dan menyepakati eksistensi kiraah tujuh
(al-qirã’ãt al-sab‘) yang dihimpun Abu Bakr Ahmad ibn Musa ibn
al-Abbas ibn Mujahid (w.935) – terkenal sebagai Ibn Mujahid, pakar
kiraah dan ilmu-ilmu al-Quran dari Bagdad – sebagai bacaan-bacaan
otentik atau lectio vulgata bagi textus receptus.
Tujuh kiraah yang dihimpun Ibn Mujahid, dalam rangka
membantu program unifikasi bacaan al-Quran yang diusaha kan
para wazir dinasti Abbasiyah, Ibn Muqlah (w. 940) dan Ibn Isa (w.
946), pada faktanya bukanlah pilihan yang be