Senin, 30 Desember 2024

sejarah alquran 11


 meragukan keaslian 3:144, yang

berbicara tentang kemungkinan wafatnya Nabi. Dalam riwayat

terkenal dikatakan bahwa ayat inilah yang dikutip Abu Bakr saat 

Umar menolak berita mengenai wafatnya Nabi yang baru saja

terjadi.

Gustav Weil kemudian memperluas skeptisisme ini kepada

beberapa  bagian al-Quran lainnya (3:185; 21:35; 29:57; 39:30), yang

menyiratkan makna kemungkinan wafatnya Nabi. Ia menuduh

interpolasi ini berasal dari Abu Bakr, yang melakukan usaha 

pengumpulan pertama al-Quran. Sebagai bukti utama, Weil

mengemukakan riwayat di atas – berita tentang wafatnya Nabi.

Namun, secara historis, Abu Bakr tidak mungkin merekayasa ayat

ini , sebab  kesesuaiannya dengan konteks kesejarahannya. Ayat

3:144 merupakan rujukan kepada suatu peristiwa dalam perang

Uhud, yang muncul dalam konteks itu untuk membantah kabar

bohong yang menyebar luas selama pertempuran bahwa Nabi telah

wafat. Sementara ayat-ayat lain yang menyiratkan makna

kemungkinan wafatnya Nabi, seperti ditunjukkan Schwally, juga

sangat cocok dengan konteks-konteksnya dan betul-betul selaras

dengan sisa keseluruhan al-Quran, sehingga asumsi Weil tidak

memiliki alasan yang kuat.

Weil juga mempermasalahkan otentisitas bagian al-Quran yang

merujuk perjalanan malam Nabi ke Yerusalem (17:1). Ia  mendesak

bahwa tidak ada  rujukan lainnya di dalam al-Quran kepada

perjalanan ini , dan  bahwa ayat ini bertentangan dengan klaim

umum Muhammad sebagai sekedar seorang rasul, bukan pembuat

mukjizat (13:7). Ia juga menilai bahwa ayat itu tidak memiliki kaitan

dengan ayat-ayat selanjutnya (17:2 ff.).75  Argumen-argumen Weil ini

bisa dibenarkan, namun  hampir-hampir tidak mendukung kesimpulan

yang didasarkan padanya. Jika perhatian hanya ditujukan kepada

ayat itu sendiri, tanpa memasukkan struktur legenda yang dibangun

di atasnya, maka tidak ada sesuatupun dalam ayat ini yang tidak

sejalan dengan klaim-klaim Nabi. Di samping itu, banyak ayat-ayat

yang tidak berkelindan di dalam al-Quran, sehingga argumen yang

dibangun berdasar  karakteristik ketidakberjalinan al-Quran pada

dasarnya bukanlah argumen yang konklusif.

Bagian al-Quran lainnya yang dipermasalahkan Weil adalah

46:15, yang menurut riwayat merujuk kepada Abu Bakr, dan

kemungkinannya – menurut Weil – direkayasa untuk menghormati

khalifah pertama itu.76  namun , orang yang mengakrabi tafsir

tradisional tidak akan menaruh perhatian pada pernyataan Weil.

Riwayat-riwayat penuh dengan terkaan mengenai pribadi-pribadi

tertentu di kalangan sahabat Nabi yang dirujuk bagian-bagian

tertentu al-Quran. Ayat yang dipermasalahkan di sini bersifat sangat

umum, dan secara sederhana mengungkapkan perintah berbuat

baik kepada kedua orang tua yang muncul di beberapa  tempat

lainnya di dalam al-Quran.

Sarjana Jerman lainnya, H. Hirschfeld juga telah

mempermasalahkan keaslian beberapa  bagian al-Quran.

Menurutnya, 3:144 dan  beberapa bagian al-Quran lainnya, yang

memuat nama Muhammad (33:40; 47:2; dan 48:29), merupakan

interpolasi dan bukan bagian al-Quran yang sejati.77  Dengan

bersandar pada pandangan A. Sprenger dan Fr. Bethge, ia

mengemukakan bahwa Muhammad bukanlah nama yang

sebenarnya, namun  sekedar suatu terminus mesianik. Mungkin

ada  hal yang mencurigakan dalam nama semacam itu, namun 

nama Muhammad – berarti “yang terpuji” – telah disandang Nabi

seumur hidupnya. Nama ini tidak hanya muncul dalam bagian-

bagian al-Quran yang telah disebutkan, namun juga dalam

dokumen-dokumen yang diriwayatkan dalam hadits, seperti dalam

Piagam Madinah dan Perjanjian al-Hudaibiyah.78  Bahkan, nama

diri ini  – dalam kenyataannya – telah digunakan orang-orang

Arab sebelum datangnya Islam.  Dengan demikian, skeptisisme

Hirschfeld terhadap bagian-bagian al-Quran ini  sama sekali

tidak memiliki pijakan yang kukuh.

Serangan terhadap otentisitas dan integritas al-Quran yang ada

di tangan kita dewasa ini datang dari sarjana Perancis, Paul

Casanova, dalam karyanya, Mohammed et la Fin du Monde (1911-

1924). Tesisnya merupakan pengembangan gagasan bahwa Nabi

tergerak menjalankan misinya lantaran terkesan dengan ide

pengadilan akhirat. Ia memandang bahwa Nabi berada di bawah

pengaruh beberapa  sekte Kristen yang sangat menekankan ide

ini . Pengaruh ini kemudian membentuk tema utama

pekabarannya yang awal dan merupakan bagian penting pesan

ketuhanan yang didakwahkan Nabi hingga penghujung aktivitas

kenabiannya. namun , saat  tidak ada peristiwa yang terjadi untuk

menyokong nujumannya, Muhammad lalu memanipulasi al-Quran

secara masif untuk menghilangkan doktrin itu dari kitab suci

ini , atau setidak-tidaknya menyembunyikan kemencolok-

annya. Tesis Casanova ini tidak begitu diterima di kalangan sarjana

Barat sendiri, sebab  kurang didasarkan pada studi mendalam

terhadap al-Quran ataupun beberapa aspek Islam yang awal.

Pernyataan-pernyataannya sering memperlihatkan misinterpretasi

dan kegagalan dalam mengapresiasi perkembangan historis ajaran

al-Quran.

Huruf-huruf misterius (fawãtih al-suwar atau al-hurûf al-

muqaththa‘ah/ãt) yang ada pada permulaan 29 surat al-Quran juga

pernah diragukan eksistensinya sebagai bagian al-Quran di kalangan

tertentu sarjana Barat pada masa tertentu.81  Theodor Noeldeke

dapat dipandang sebagai sarjana Barat pertama yang mengajukan

gagasan spekulatif mengenai huruf-huruf misterius di dalam al-

Quran, dengan mengembangkan gagasan klasik kaum Muslim

tentangnya sebagai singkatan. Dalam edisi pertama karya

monumentalnya, Geschichte des Qorãns, Noeldeke mengemukakan

penyesalannya bahwa makna huruf-huruf ini  yang agak pasti

belum berhasil diungkapkan, padahal ia merupakan kunci penting

untuk memahami komposisi al-Quran. Huruf-huruf ini,

menurutnya, tidak berasal dari Nabi, sebab  tentunya sangat aneh

bila ia menempatkan huruf-huruf yang tidak dapat dipahami itu

hanya dalam wahyu-wahyu tertentu. Huruf-huruf  atau kelompok

huruf potong, baginya, lebih mencerminkan inisial atau mono-

gram pemilik-pemilik (Eigentumsmarken) naskah al-Quran yang

digunakan Zayd ibn Tsabit  saat  pertama kali “mengumpulkan”

al-Quran pada masa kekhalifahan Abu Bakr. Inisial atau mono-

gram ini, menurutnya, secara aksidental masuk ke dalam teks

definitif al-Quran, saat  kaum Muslimin yang belakangan tidak

mengetahui lagi makna huruf-huruf ini . Noeldeke

mengemukakan beberapa  alternatif tentang kepanjangan huruf-

huruf itu sebagai nama pemilik naskah. Jadi 

(a-l-r), menurutnya,

mungkin merupakan inisial dari al-Zubayr;  

(a-l-m-r), dari al-

Mughirah; (= (th-h), dari Thalhah atau Thalhah ibn ‘Ubaydillah;

 (h-m) dan  (n), dari ‘Abd al-Rahman; huruf tengah dari

kelompok huruf PW-N (k-h-y-‘-sh) merupakan singkatan dari kata

ibn, sedangkan dua huruf terakhir adalah singkatan dari al-‘Ash;

dan lain-lain.82

namun , berbagai kemungkinan untuk mengajukan nama-nama

alternatif lain sebagai kepanjangan yang ditunjuk oleh huruf-huruf

itu membuat gagasan Noeldeke menjadi absurd. Demikian pula,

adalah sulit membayangkan bahwa Zayd hanya bergantung pada

satu sumber untuk kasus surat-surat panjang yang diawali fawãtih.

Sementara untuk surat-surat yang tidak diawali dengan huruf-huruf

ini , yang jauh lebih banyak dari segi kuantitas, tidak ada 

kejelasan dari mana Zayd “mengumpulkannya.” Lebih jauh,

gagasan ini dengan pasti membabat prasangka dogmatik kaum

Muslimin yang paling mendasar bahwa fawãtih merupakan bagian

dari wahyu Ilahi atau al-Quran yang diterima Muhammad.

Sekalipun demikian, asumsi Noeldeke tentang huruf-huruf

misterius di atas mendapat sambutan dan diterima secara luas di

Barat untuk suatu waktu. Belakangan Hirschfeld berusaha 

mempertahankan dan mengembangkan asumsi-asumsi Noeldeke

tentang huruf-huruf itu sebagai inisial atau monogram nama

pemilik mushaf. Ia juga sepakat dengan Noeldeke dalam

memandang bahwa huruf-huruf ini  tidak berasal dari Nabi.

Namun, ia melangkah lebih jauh dengan memandang bahwa setiap

huruf  fawãtih merupakan inisial nama pemilik mushaf. Solusi

yang diajukannya tentang inisial nama pemilik mushaf ini dapat

diringkas sebagai berikut:

(al)   adalah kata sandang tertentu

- f (m)   adalah inisial untuk Mughirah

- s (sh)   adalah inisial untuk Hafshah

-  (r atau z) adalah inisial untuk Zubayr

- z (k)   adalah inisial untuk Abu Bakr

- F (h)   adalah inisial untuk Abu Hurairah

-  (n)   adalah inisial untuk Utsman

- = (th)   adalah inisial untuk Thalhah

- < (s)   adalah inisial untuk Sa‘d (ibn Abi Waqqash)

-  (h)   adalah inisial untuk Hudzaifah

- E (‘ )   adalah inisial untuk Umar atau Ali, atau

                      Ibn  ‘Abbas, atau Aisyah

- ; (q)   adalah inisial untuk Qasim ibn Rabi‘ah.

Gagasan Hirschfeld di atas mengalami kelemahan yang sama

dengan gagasan Noeldeke, sebagaimana telah diutarakan di atas;

dan Noeldeke meninggalkan pandangan lamanya itu beberapa saat

sebelum Hirschfeld mempublikasikan karyanya. Dalam gagasan

barunya, Noeldeke mengemukakan dugaan bahwa lewat “huruf-

huruf potong” itu Muhammad hendak mengungkapkan petunjuk

mistis terhadap teks samawi yang asli. Dengan kata lain, huruf-

huruf misterius merupakan simbol-simbol mistik atau tiruan-tiruan

dari tulisan kitab samawi yang disampaikan kepada Nabi.84

Gagasan baru Noeldeke ini belakangan dikembangkan oleh

Alan Jones. berdasar  pernyataan-pernyataan Ibn Hisyam dan

lainnya dalam hadits yang menjelaskan bahwa pada beberapa

kesempatan kaum Muslimin menggunakan semboyan atau

teriakan-perang “Hã’mîm, mereka tidak akan dibantu,” Jones

menekankan bahwa huruf-huruf misterius merupakan simbol-

simbol mistik yang memberi kesan bahwa kaum Muslimin

mendapat bantuan Tuhan.85  Gagasan Noeldeke dan Jones ini tentu

saja berbeda jauh dari pandangan sebelumnya, sebab  di sini

ditegaskan bahwa huruf-huruf misterius merupakan bagian dari

wahyu Ilahi yang disampaikan kepada Muhammad.

Perubahan radikal dalam gagasan Noeldeke sebenarnya

dipengaruhi pandangan O. Loth. Dalam kajiannya tentang karya

tafsir al-Thabari, Loth termotivasi oleh uraian ringkas yang

dikemukakan mufassir agung itu tentang makna fawãtih dalam

pengantar kitab tafsirnya, khususnya penjelasan Ikrimah bahwa

ketiga monogram a-l-r,  h-m, dan n secara bersama-sama membentuk

kata al-rahmãn. Berpijak pada gagasan klasik Islam ini, ia

mengemukakan dugaan bahwa monogram-monogram lainnya juga

memberi petunjuk kepada “slogan-slogan tertentu” al-Quran. Loth

juga menyitir dugaan Aloys Sprengers bahwa sebagian “huruf-huruf

potong” itu dapat dibaca dalam susunan terbalik, sehingga a-l-m-

sh, misalnya, bisa dipandang sebagai singkatan dari shirãth al-

mustaqîm; sh dari shirãth; q dari qur’ãn; monogram-monogram

th-h, th-s-m, th-s dan juga mungkin y-s bisa dikaitkan dengan

ungkapan yang ada  dalam 56:79, lã yamassuhû illã-l-

muthahharûn; demikian pula kelompok huruf ‘-s-q bisa dikaitkan

dengan ungkapan la‘alla-l-sã‘ata qarîb.

Lebih jauh, Loth menyerang gagasan awal Noeldeke bahwaL

huruf-huruf ini  bukan merupakan bagian dari wahyu Ilahi

atau al-Quran yang diterima Muhammad. Menurut Loth, seluruh

huruf misterius merupakan bagian dari wahyu yang diterima Nabi

pada periode Makkah akhir dan Madinah awal, saat  Muhammad

bergerak mendekati agama Yahudi, sehingga huruf-huruf itu bisa

saja merupakan simbol-simbol kabalistik. Di samping itu, Loth

menekankan bahwa, dalam kebanyakan kasus, ada  petunjuk

pada ayat-ayat permulaan terhadap huruf-huruf ini . Yang

terutama dimaksudkannya di sini adalah ungkapan-ungkapan

pembuka yang sering muncul menyertai huruf-huruf misterius itu,

yakni “Inilah ãyãt dari Kitab …” (tilka ãyãt al-kitãb)86 . Ia

memandang kata ãyãt dalam ungkapan ini  bisa diterjemahkan

dengan “simbol-simbol,” dan bagian alfabet ini  – yakni huruf-

huruf misterius – bisa dilihat sebagai simbol wahyu.87

namun  gagasan Loth ditolak dengan tegas oleh Friedrich

Schwally, salah seorang murid Noeldeke yang merevisi karya monu-

mental gurunya, Geschichte des Qorâns. Menurut Schwally, teori

tentang huruf misterius sebagai singkatan terlalu bersifat arbitrer.88

Sekalipun mengeritik argumen-argumen utama Loth, Schwally

memandang sarjana ini  benar dalam pengamatannya bahwa

hampir pada setiap bagian permulaan surat-surat yang diawali

dengan fawâtih selalu ada  penunjukkan kepada kandungannya

sebagai kalam Ilahi yang diwahyukan.89  Schwally juga

menambahkan bahwa ada  beberapa  surat di dalam al-Quran

dengan ungkapan pembuka senada yang tidak diawali dengan

huruf-huruf misterius (misalnya permulaan surat-surat l8; 24; 25;

39; 52; 55; 97), sementara dua surat lainnya yang diawali dengan

fawâtih (29 dan 30) memiliki ungkapan pembuka sangat berbeda.90

Sehubungan dengan gagasan baru gurunya, Noeldeke, Schwally

menilainya sebagai sangat meragukan (zweifelhaft), dan

mengemukakan dugaan bahwa huruf-huruf misterius agaknya

bertalian erat dengan penyusunan (redaksi) surat-surat al-Quran. Ia

juga mengemukakan dugaan bahwa surat-surat yang diawali dengan

huruf-huruf hijaiyah itu mencerminkan usaha  Nabi saat 

menggabungkan wahyu-wahyu berkandungan senada dari berbagai

periode pewahyuan. Namun, Schwally mengakui bahwa gagasan-

gagasannya ini sama sekali tidak menyentuh permasalahan mendasar

tentang makna huruf-huruf ini . Bahkan, lewat gagasan ini ,

Schwally secara jelas telah mementahkan kembali signifikansi huruf-

huruf misterius sebagai bagian al-Quran.

Gagasan terakhir Noeldeke tentang huruf-huruf misterius di

atas, sebagaimana terlihat, memang telah membawa perubahan

yang sangat signifikan di dunia orientalisme Barat dalam

memandang bahwa fawãtih merupakan bagian al-Quran yang sejati.

Kajian-kajian belakangan tentang huruf-huruf potong, tidak lagi

mempermasalahkan otentisitasnya sebagai bagian al-Quran.

Sebaliknya, perkembangan terakhir di Barat justeru telah mengarah

kepada pengakuan bahwa fawãtih merupakan bagian dari wahyu

Ilahi.91  Walaupun demikian, karakter spekulatif dari solusi-solusi

yang diajukan untuk mengungkap misteri huruf-huruf potong al-

Quran itu tetap eksis.

Serangan paling serius terhadap otentisitas dan integritas al-

Quran dewasa ini datang dari John Wansbrough dalam salah satu

kajiannya, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural

Interpretation (1977). Selain tesisnya tentang kompilasi utsmani

sebagai fiksi, seperti telah disinggung dalam bab 6, Wansbrough

menduga bahwa redaksi final al-Quran belum ditetapkan secara

definitf sebelum abad ke-3H/9. Ia juga memandang bahwa dalam

proses formasi redaksi definitif al-Quran, kaum Muslimin yang

awal telah mengadopsi berbagai gagasan Yahudi, dan hingga taraf

tertentu Kristen, sehingga asal-usul al-Quran berada sepenuhnya

dalam tradisi ini .

Metode yang digunakan untuk membuktikan tesis-tesisnya

adalah kajian kritis terhadap bentuk sastera (form-criticism) dan

kajian kritis terhadap redaksi (redaction-criticism) al-Quran, atau

juga disebutnya sebagai metode analisis sastera (method of liter-

ary analysis). Metode ini merupakan importasi dari teknik-teknik

kritik Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya digunakan

para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian modern

tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama.92  Kajian semacam

ini berangkat dari proposisi bahwa rekaman-rekaman sastera sejarah

keselamatan (salvation history), meskipun menampilkan diri

seakan-akan semasa dengan peristiwa yang dilukiskan, pada

faktanya berasal dari periode setelah itu.

Dalam aplikasinya, Wansbrough “menemukan” bahwa al-

Quran merupakan kreasi pasca-kenabian dengan terlihatnya

berbagai pengaruh Yahudi dan kemunculan  beberapa   ayat

“duplikat.”  Bagian awal surat  17,  misalnya,  sama  sekali tidak

membahas tentang isrã’ Nabi, namun  eksodus Musa dan kaumnya

dari Mesir ke Israel. Menurut Wansbrough, penggunaan konstruksi

asrã bi ‘abdihi laylan (17:1) – atau yang mirip dengannya – di

dalam al-Quran, semuanya berkaitan dengan eksodus Musa (20:77;

26:52; 44:23), dan ini terbukti dengan konteks selanjutnya (17:2

ff.) yang berceritera tentang Musa dan  kaumnya. Ungkapan min

al-masjid al-harãm ilã al-masjid al-aqshã, yang mengidentifikasi

Muhammad sebagai pelaku isrã’, dipandang Wansbrough sebagai

tambahan dari masa belakangan “untuk mengakomodasi episode

evangelium Islam dalam teks resmi (al-Quran).” Penambahan ini,

menurutnya, berada sepenuhnya di bawah pengaruh Perjanjian

Lama atau Tawrat.94

Ilustrasi untuk ayat-ayat “duplikat” adalah analisis Wansbrough

terhadap 55:46-67. Menurutnya bagian al-Quran ini berisi dua versi

jannatãni yang identik. Versi pertama (A) terdiri dari 55:46-61, dan

versi kedua (B) terdiri dari 55:62-76. Dalam kedua versi ini, setiap

rangkaian ayat diselingi dengan semacam refrain – ayat-ayat

47,49,51,53,55,57,59,61 untuk versi pertama, dan ayat-ayat

63,65,67,69,71,73,75 untuk versi kedua – yaitu: fabiayyi ãlã’i

rabbikumã tukadzdzibãn, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah

yang kalian berdua dustakan?” Kedua versi jannatãni ini  dapat

ditampilkan sebagai berikut:95

Dua Versi Jannatãni dalam surat 55

              Versi A (55:46-61)              Versi B (55:62-76)

 46. Tapi bagi orang yang takut akan saat,           62.  Selain yang dua itu ada lagi

       ia berdiri di depan Tuhannya.                 dua sorga.

      Ada dua sorga tersedia.

 48. Dalam keduanya tumbuh aneka macam           64.  Hijau tua warnanya

      pohonan.                 (sebab  daun yang rimbun).

 50. Dalam keduanya mengalir dua mata air.                 66.  Dalam (masing-masing dari)

                keduanya. Ada mata air memancar

                 berlimpah.

 52. Dalam keduanya berpasang-pasangan.           68.  Dalam keduanya ada buah-

       Setiap macam buah-buahan.                 buahan, pohon korma dan

                 delima.

 54. Mereka berbaring atas permadani.                    70.  Dalam (semua) sorga itu ada

      Yang sebelah dalamnya dari sutera             hauri-hauri yang baik dan

      yang tebal. Buah-buahan kedua sorga             rupawan.

      bergantung rendah (mudah dicapai).

 56. Dalam keduanya (gadis-gadis) yang                    72.  Hauri-hauri yang jelita dan

      suci menundukkan pandang.             sopan diri. Dipingit di

      Tiada manusia maupun jin.             rumah-rumah peranginan.

      Sebelum mereka pernah menjamah.

 58. Mereka laksana permata batu delima                  74.  Tiada manusia maupun jin.

      dan merjan.             Sebelum mereka pernah

            menjamah

 60. Apakah ada balasan kebaikan selain                     76. Mereka bersandar pada bantal-bantal

      kebaikan?             yang hijau. Dan permadani yang

            indah-indah.

Wansbrough merujuk pandangan Zamakhsyari (w. 1143) bahwa

gambaran versi B tidak sebagus versi A, dan mendesak bahwa versi

A merupakan elaborasi versi B dengan memanfaatkan instrumen

retorik dan tambahan tafsir. Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa

kedua versi itu merupakan dua “tradisi” berbeda yang dimasukkan

ke dalam teks definitif al-Quran: “Namun, yang lebih kuat

tampaknya adalah penjejeran dua tradisi berbeda yang bertalian

erat di dalam mushaf, dikontaminasi oleh bacaan dalam konteks-

konteks yang identik, atau dihasilkan dari tradisi-tradisi tunggal

lewat transmisi lisan.”96

Dari beberapa ilustrasi yang telah dikemukakan, tampak

Wansbrough memandang transmisi al-Quran dari generasi pertama

Islam ke generasi-generasi berikutnya hingga menjelang munculnya

redaksi final al-Quran pada abad ke-3H/9 adalah dalam cara yang

sangat bebas atau “cair.” Kaum Muslimin dari berbagai generasi

yang awal selalu berusaha  “menyempurnakan” al-Quran dengan

berbagai cara. Penyempurnaan ini, menurutnya, berada di bawah

pengaruh tradisi Yahudi. saat  terjadi pembakuan al-Quran,

keseluruhan “tradisi” dari berbagai stase perkembangan umat Is-

lam tetap dipertahankan eksistensinya dalam teks final al-Quran.

Pengaruh Yahudi dan “duplikasi” atau repetisi yang ada  di

dalam al-Quran, dalam pandangan Wansbrough, dengan  gamblang

menunjukkan hal ini . Jadi al-Quran, menurut sudut pandang

ini, bisa dikatakan sebagai karya patungan Muhammad dan

generasi-generasi awal Islam.

Sekalipun mulai memperoleh dukungan di kalangan tertentu

sarjana Barat,97  pijakan-pijakan Wansbrough untuk memunculkan

tesisnya memiliki beberapa  kelemahan mendasar. Tentang

permulaan surat 17 yang dijadikan Wansbrough sebagai basis

tesisnya mengenai pengaruh Yahudi, misalnya, sebelumnya

memang telah dipermasalahkan Weil.98  Argumentasi Weil yang

identik dengan Wansbrough telah dikritik di atas, sebab 

ketidakberjalinan memang merupakan salah satu karakteristik al-

Quran yang paling menonjol, dan tidak dapat dijadikan sebagai

argumen. Sementara tentang duplikasi atau repetisi – yang

menyampaikan Wansbrough kepada kesimpulan bahwa al-Quran

itu merupakan karya patungan Muhammad dan pengikut-

pengikutnya yang awal – dapat dikemukakan bahwa hal ini juga

merupakan karakteristik lain yang paling menonjol dari al-Quran,

dan  mesti dipahami secara utuh dalam terma-terma kronologis

dan perkembangan misi kenabian Muhammad. Wansbrough

terlihat kurang memiliki data kesejarahan menganai asal-usul,

karakter, evaluasi, dan orang-orang yang terlibat dalam

pengembangan “tradisi-tradisi.”99  saat  meresensi karya

Wansbrough, Isa J. Boullata mempertanyakan keabsahan metode

dan bahan-bahannya yang selektif.100  Bahkan, seluruh peresensi

Wansbrough telah menolak secara keras metode dan berbagai

tesisnya, kecuali Josep van Ess yang memandang metodenya itu

mungkin bermanfaat.101  Meskipun demikian, van Ess tetap tidak

dapat menerima tesis-tesis Wansbrough.102

Karya Wansbrough, yang secara jelas menghantam otentisitas

dan integritas mushaf utsmani, mewakili secara sepenuhnya

babakan baru dalam kajian-kajian Islam di Barat. Dukungan dan

penerimaan metode dan  tesis-tesisnya jelas akan mengarahkan

orientalisme kepada titik balik. Kalau karya-karya Ignaz Goldziher

dan Joseph Schacht telah membawa pengaruh nyata dalam bentuk

skeptisisme hadits, maka penerimaan terhadap gagasan Wansbrough

akan menimbulkan kecenderungan serupa dalam bentuk

skeptisisme al-Quran.


Stabilisasi Teks dan Bacaan

al-Quran

Bagian ini, terdiri dari dua bab, akan mengungkap-

kan berbagai proses yang mengarah dan berujung

pada stabilisasi teks dan bacaan al-Quran. Proses

stabilisasi teks al-Quran diawali dengan standardisasi

mushaf utsmani dan dicapai dengan serangkaian

usaha  eksperimental untuk menyempurnakan aksara

Arab. usaha  ini mencapai puncaknya pada

penghujung abad ke-3H/9 dan berhasil memapan-

kan bentuk teks al-Quran yang lebih memadai. Bab

kedelapan dipusatkan untuk menelaah proses

penyempurnaan aksara ini . Sementara proses

stabilisasi bacaan al-Quran, yang merupakan

kelanjutan logis dari usaha -usaha  sebelumnya,  juga

dicapai melalui serangkaian unifikasi bacaan yang

berjalan berdampingan dengan penyempurnaan

aksara Arab setelah dipromulgasikan dan diterima-

nya mushaf utsmani sebagai textus receptus. Proses

ini mencapai kemajuan sangat berarti pada

permulaan abad ke-4H/10 – dengan diterimanya

gagasan Ibn Mujahid mengenai kiraah tujuh – dan

berkulminasi pada 1923 dengan terbitnya al-Quran

edisi standar Mesir yang menjadi panutan mayoritas

umat Islam. Proses unifikasi bacaan ini dibahas

dalam bab kesembilan.


Karakteristik Ortografi Utsmani

Ortografi (imlã’) lama, atau scriptio defectiva, yang digunakandalam salinan-salinan al-Quran memiliki makna yang penting

untuk sejarah teks kitab suci ini , sekalipun sebagian besarnya

hanya merupakan hal-hal yang bersifat teknis. Dari bentuk ortografi

inilah simpulan-simpulan tentang bahasa al-Quran dan munculnya

ortografi baru (scriptio plena) bisa ditarik. Dalam karyanya, al-

Muqni‘ fî Ma‘rifah Marsûm Mashãhif Ahl al-Amshãr, Abu Amr al-

Dani telah mendokumentasikan karakteristik-karakteristik ortografi

mushaf utsmani yang menyimpang dari kaidah-kaidah ortografi

yang lazim dikenal di kalangan sarjana bahasa Arab. berdasar 

dokumentasi al-Dani, ditambah beberapa  sumber klasik lainnya,

terutama dari temuan-temuan paleografis atau manuskrip-manuskrip

al-Quran yang awal, G. Bergstraesser menyusun suatu daftar tentang

ciri khas ortografi teks utsmani. Uraian dalam paragraf-paragraf

berikut sebagian besarnya didasarkan pada daftar Bergstraesser

ini .1

Dalam ortografi Arab, kata-kata pada umumnya muncul tidak

dalam bentuk saat  ditempatkan dalam suatu konteks (siyãq,

qarînah), melainkan dalam bentuk pausa.  namun , dalam ortografi

al-Quran, bentuk konteks juga digunakan. 

Dalam manuskrip-manuskrip al-Quran tulisan tangan

beraksara kufi yang awal, penggantian  dengan   juga terjadi,

misalnya kata  dalam 15:99 untuk % , kata qL dalam 8:49 untuk

%)L , kata H dalam 26:207 untuk %H , kata Q,$ dalam 43:8 untuk

%Q,$ , dan lainnya.21  Penulisan semacam ini terutama dapat

dijelaskan lewat cara pengartikulasi yang lain dari ortografi yang

diriwayatkan. Belakangan, hal senada juga ditemukan dalam

manuskrip-manuskrip tulisan tangan Magribi.

Penggantian tanda vokal   dengan % di tengah-tengah kata

bisa ditelusuri dalam beberapa kasus. Ashim al-Jahdari, misalnya,

mengabarkan bahwa dalam mushaf  imãm kata  = (4:3) disalin

dengan U-=.  Sementara Abu Hatim al-Sijistani melaporkan bahwa

dalam manuskrip Makkah kata 6O ditulis dengan -O . Penulisan

semacam ini, seperti ditunjukkan dalam bab 5, juga digunakan

dalam mushaf Ubay ibn Ka‘b.

Kasus penulisan dengan untuk vokal panjang ã bisa

ditemukan, misalnya,  dalam kata shalãh  ( )A ), zakãh ( m ),

hayãh ( - ), misykãh  ( *, ),  najãh ( 27 ), manãh ( , ),

gadãh   ( $MH), dan al-ribã  ( 8

). Penulisan tanda vokal dengan $

ini hanya berlaku bila kata-kata ini  tidak dibubuhi sufiks

(lãhiqah). Apabila dibubuhi sufiks, maka tanda vokal itu disalin

dengan  atau disalin secara defektif (nãqish). namun , dalam

manuskrip mushaf utsmani beraksara kufi yang awal, juga

ditemukan penyalinan vokal ã dengan alif ( ), misalnya  -  dan

 qA.22

Setiap kata yang berakhir dengan $ dalam penulisan biasanya

diikuti (alif), seperti  dalam  penulisan kata  al-ribã ( 8

).23   Hal

ini  terlihat  hanya  bertalian  dengan penampakan grafis bahwa $

biasanya dihubungkan dengan kata berikutnya. beberapa 

pengecualian terhadap aturan ini bisa dijelaskan, seperti penulisan

r8 , rO, dan r dalam 2:226, di mana alif dihilangkan lantaran

diartikulasikan pendek. Demikian pula, alif dalam ungkapan

tabawwa’u-l-dãr (  M

r+ , 59:9) dihilangkan lantaran langsung

diikuti dengan alif pada kata al-dãr, dan sebagainya.

Kesulitan besar dihadapi berkaitan dengan kata-kata yang

memiliki huruf hamzah ( 6 ). Terkadang pengungkapannya berubah,

terkadang lagi diartikulasikan sebagai konsonan penuh. Dalam

ortografi al-Quran lama, hamzah jarang diartikulasikan, bahkan

310  /  TAUFIK ADNAN AMAL

dalam kebanyakan kasus dihilangkan atau diganti dengan % atau

$. Hal ini sejalan dengan dialek Quraisy dan Hijaz pada umumnya.

Beberapa ilustrasi bisa dikemukakan sehubungan dengan masalah

hamzah ini. Setelah konsonan mati, hamzah dihilangkan, seperti

dalam kata  (untuk Ji ), ,  (untuk  6, , mil’un atau mil’in),

(Vc  ( untuk  `iVc dalam 48:29), dan lain-lain. Yang paling populer

adalah  penghilangan hamzah ( 6 ) dalam kata  

 , dan alif ( ) di

sini hanya diperlakukan sebagai huruf vokal.24  Sementara

perubahan hamzah menjadi $ atau % bisa dilihat dalam 33:51 dan

70:13,  " (diartikulasikan tûwî) untuk $Z , atau dalam 19:74, 

(diartikulasikan rîyan) untuk " -I. Masih banyak lagi varian

penulisan hamzah dalam ortografi  lama  al-Quran,  yang dalam

kitab-kitab  kiraah  biasanya dibahas dalam bab-bab tersulit. namun ,

asumsi bahwa pijakan ragam tulis al-Quran bisa ditemukan dalam

kiraah Hijaz pada bab-bab ini  tidak terbukti secara

meyakinkan, dibandingkan pada kasus îmãla untuk akhiran vokal

-î dan -û.

Karakteristik penulisan lain yang menonjol adalah

penyingkatan atau reduksi kata %27 menjadi %27 dalam 12:110 (%2)

dan 21:88 ( (-27$ ). Menurut riwayat lainnya, dalam salinan mushaf

Madinah juga ada  penyingkatan Š

"  menjadi Š

" (10:14) dan

T

 menjadi T

 (40:51). namun , al-Dani menegaskan tidak

menemukan adanya reduksi semacam itu dalam salinan mushaf

manapun. Jenis penyingkatan semacam ini barangkali merupakan

kekeliruan yang dilakukan secara tidak sengaja dalam penyalinan

al-Quran.

Huruf alif dalam kata sandang ( 

) tidak hanya diberi

penekanan dalam kasus relatif pronomina (dlamîr mawshûl) –

misalnya 

" ,  

, dll. – namun  juga dalam kata-kata tertentu seperti

-

untuk " -)

. Sementara dalam kebanyakan kasus, alif

penghubung dihilangkan, seperti dalam formula basmalah ( 8

untuk 8 ), di depan kata sandang (misalnya 4)

 untuk 4

 & ),

setelah kata tanya (a) (misalnya dalam 2:80, ‹ ), dalam ungkapan

d$ (untuk  Ji $ ), dan lain-lain.

Dalam penulisan beberapa  konsonan yang diartikulasikan

dalam bunyi desis, ada  beberapa  ketidakberaturan, di mana

dalam kasus-kasus asimilasi terjadi pertukaran konsonan. Dalam

beberapa  kasus, konsonan <  menggantikan s , seperti dalam kata

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  311

= A  yang menjadi  =  ,25   kata VT+  menjadi V+ dalam 2:245 ,

kata  VT8  menjadi V8 dalam 7:69, dan  kata V-T, menjadi V-,

dalam 52:37 dan 88:22. Sementara dalam kasus lainnya konsonan

k  berubah menjadi ƒ dalam penyalinannya, seperti dalam 81:24,

kata 4-Q8 menjadi 4-]8 .

Hal lain yang patut disimak adalah pengubahan artikulasi

akhiran rima di penghujung ayat,  yang sebagian besar dilakukan

secara tertulis, seperti kata 7]

di penghujung 33:10, kata &

di penghujung 33:66, kata q-+

  di penghujung 33:67, kata (-7V)

di akhir 69:29, dan lainnya. namun , aturan ini tampaknya tidak

diterapkan secara konsisten. Dalam beberapa  kasus, penambahan

untuk menyesuaikan suatu ungkapan dengan akhiran rima di

penghujung suatu ayat tidak dilakukan. Contohnya adalah kata

Mm di penghujung 74:15, yang tetap dipertahankan dan tidak

disesuaikan dengan rima ayat.

Apabila ke dalam penyimpangan-penyimpangan yang telah

diuraikan sejauh ini ditambahkan ragam tulis aksara Arab yang

digunakan saat  itu – yang tidak mengenal perbedaan antara

konsonan-konsonan b ( 8 ), t (  ), ts ( Y ), n ( 7 ) dan y (  ) pada

permulaan dan di tengah-tengah suatu kata, atau b ( U ), t ( C ), ts

(^ ) pada penghujung kata, atau f (  ) dan q ( 

 ) pada permulaan

dan di tengah-tengah kata, dan  konsonan-konsonan j ( t ), h ( 

) dan kh  ( Œ ), d  ( G ) dan dz (  ),  r  (  ) dan z  (m ), s ( < ) dan sy

(  ),  sh ( s ) dan dl ( k ), th ( = ) dan zh ( ƒ ), ‘ ( E ) dan g ( Ž ),

dan  ketiadaan tanda vokal – maka kesimpulan yang akan diperoleh

dalam hal ini adalah pengungkapan tertulis teks al-Quran saat 

itu masih bersifat primitif.

Secara teknis aksara primitif yang digunakan untuk menyalin

al-Quran ini disebut sebagai scriptio defectiva – dikontraskan

dengan scriptio plena, yakni aksara Arab yang kemudian telah

mengalami proses penyempurnaan pada tahapan sejarah

selanjutnya, sebagaimana akan dibahas dalam bagian berikut.

Penggunaan jenis tulisan yang belum sempurna di dalam mushaf-

mushaf utsmani yang awal, sebagaimana terlihat, tampaknya juga

turut berpartisipasi dalam melahirkan varian-varian bacaan di

dalam tradisi teks ini .

312  /  TAUFIK ADNAN AMAL

Latar Belakang Penyempurnaan Rasm al-Quran

Langkah penyeragaman teks yang dilakukan oleh Khalifah

Ketiga, Utsman ibn Affan, lewat pengumpulan resmi al-Qurannya,

terutama sekali dapat dilihat sebagai tonggak awal usaha 

standardisasi teks maupun bacaan al-Quran. Alasan utama yang

berada di balik kodifikasi ini  – yakni perbedaan tradisi teks

dan bacaan yang mengarah kepada perpecahan politik umat Is-

lam, seperti dikemukakan dalam bab 6 – dengan gamblang

memperlihatkan hal ini. Namun, lantaran ketidaksempurnaan

aksara Arab yang saat  itu digunakan untuk menyalin al-Quran

langkah ini  belum dapat mencapai hasil yang dihajatkan.

Bentuk scriptio defectiva yang digunakan untuk menyalin al-

Quran saat  itu masih membuka peluang bagi seseorang untuk

membaca teks kitab suci secara beragam.26  Selain non-eksistensi

tanda-tanda vokal, beberapa  konsonan yang berbeda dalam aksara

ini dilambangkan dengan simbol-simbol yang sama, sebagaimana

telah ditunjukkan pada bagian lalu. Kekeliruan pembacaan teks

al-Quran (tashhîf) yang disalin dalam aksara semacam ini tentu

saja bisa diminimalisasi atau dihindari jika seseorang mempunyai

tradisi hafal al-Quran yang kuat atau paling tidak memiliki tingkat

keakraban yang tinggi terhadap teks kitab suci. Kalau tidak

demikian, sangat mungkin baginya terjebak dalam kekeliruan

pembacaan. Fungsi tulisan saat  itu memang hanya merupakan

alat untuk memudahkan hafalan; dan hafalan – sebagaimana

diketahui secara umum – merupakan tradisi bangsa Arab paling

menonjol sejak beberapa generasi sebelumnya.

Bahwa bentuk aksara primitif Arab yang digunakan untuk

menyalin mushaf utsmani telah membuka peluang untuk

pembacaan teks mushaf  ini  secara beragam, barangkali bisa

dilacak pada berbagai perbedaan bacaan yang eksis dalam bacaan

(qirã’ãt) yang tujuh ataupun berbagai bacaaan non-utsmani lainnya.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa ilustrasi – secara purposif

dipilih dua bacaan dari tujuh kiraah paling otoritatif  (qirã’ãt al-

sab‘), yakni kiraah Imam Ashim riwayat Hafsh dan kiraah Imam

Nafi‘ riwayat Warsy27  – yang barangkali bisa menjelaskan

kemungkinan yang telah dikemukakan.28

Kerangka konsonantal atau bentuk grafis $F*7 dalam 2:259,

misalnya, telah dibaca dalam kiraah Ashim yang diriwayatkan

Hafsh sebagai F*7 (nunsyizuhã); sementara dalam kiraah Nafi‘

yang diriwayatkan Warsy dibaca F*7 (nunsyiruhã). Perbedaan

pemberian titik diaktritis ini sama sekali tidak mempengaruhi arti

keseluruhan ayat, sebab  kedua kata itu memiliki makna senada,

yakni “membangkitkan.” Demikian pula, kerangka konsonantal

M dalam 5:54, terbaca dalam kiraah pertama sebagai yartadda

( M ); sementara dalam kiraah kedua dibaca yartadid ( GM ).

Mengenai perbedaan ini , Zamakhsyari mengemukakan bahwa

keduanya adalah bacaan yang tepat, dan menambahkan bacaan

terakhir – yakni yartadid – ada  di dalam mushaf induk (al-

imãm).29  Perbedaan ini pun tidak memiliki efek terhadap makna

ayat atau memperlihatkan divergensi tekstualnya, namun  lebih

merupakan masalah asimilasi (mumãtsalah) kebahasaan. Sementara

kerangka grafis 3:81, - , dalam kiraah pertama dibaca ãtaytukum

( - ), sedangkan dalam kiraah kedua dibaca ãtaynãkum ( - ).

Sebagaimana sebelumnya, kedua bacaan ini juga tidak memiliki

efek apapun terhadap makna. Subyek keduanya sama, yakni Tuhan,

dan barangkali hanya merupakan pilihan untuk menggunakan

bentuk orang pertama tunggal atau jamak – dalam hal ini “Aku”

atau “Kami” – yang  memang sering muncul dalam penggunaan

al-Quran.

Ketiga ilustrasi di atas semata-mata menyangkut perbedaan

pemberian titik-titik diakritis terhadap kerangka konsonantal yang

sama. Dari segi perbedaan vokalisasi, dua ilustrasi berikut bisa

dikemukakan. Yang pertama menyangkut vokalisasi  $y $  dalam

2:125. Dalam riwayat Hafsh terbaca wattakhidzû, sedangkan dalam

riwayat warsy terbaca wattakhadzû. Dalam kasus ini pun tidak

terjadi perbedaan makna yang mendasar, selain masalah pernyataan

langsung (kalãm mubãsyir, “kalimat langsung”) atau pelaporan

suatu tindakan (kalãm gayr mubãsyir, “kalimat tidak langsung”).

Ilustrasi kedua menyangkut vokalisasi J  dalam 2:214. Kiraah

pertama membacanya yaqûla, sedangkan kiraah kedua membacanya

yaqûlu. Dalam kasus ini juga tidak terjadi pebedaan makna, kecuali

masalah aturan gramatikal menyangkut penggunaan kata hattã

( % ) yang mendahului kata J  .

Contoh-contoh di atas memang memperlihatkan bahwa

perbedaan pemberian titik-titik diakritis untuk berbagai kerangka

konsonantal dan vokalisasi dalam tradisi teks utsmani ternyata

tidak mengakibatkan munculnya perbedaan makna yang signifikan.

namun  dalam berbagai kasus lainnya, perbedaan-perbedaan makna

yang cukup berarti – khususnya dalam penyimpulan hukum –

bisa dihasilkan dari perbedaan-perbedaan semacam itu. Beberapa

ilustrasi dari kiraah tujuh berikut ini bisa menjelaskannya.

Rangkaian konsonan  NV  dalam 2:222, oleh Hamzah, al-Kisa’i

dan Ashim (riwayat Syu‘bah) dibaca sebagai yaththahharna,

sedangkan Ibn Katsir, Nafi‘, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir dan Ashim

(riwayat Hafsh) membacanya sebagai yathhurna. Makna bacaan

pertama adalah “bersuci” – yakni larangan mencampuri isteri yang

haid hingga mereka mandi (bersuci) setelah haid. Sementara makna

bacaan kedua adalah “suci” – yakni larangan menggauli isteri yang

sedang haid hingga darah haid berhenti.30

Ilustrasi lainnya adalah rangkaian konsonan )O $ dalam 5:6.

Ibn Katsir, Hamzah, Abu Amr dan Ashim (riwayat Syu‘bah)

membacanya wa arjulikum. Sementara Nafi‘, Ibn ‘Amir, al-Kisa’i

dan Ashim (riwayat Hafsh) membacanya wa arjulakum.31  Bacaan

pertama menghasilkan makna bahwa dalam berwudlu kaki hanya

wajib diusap dengan air, seperti pada pengusapan kepala, yang

menjadi pandangan kelompok Syi‘ah Imamiyah. Sedangkan bacaan

kedua mengharuskan kaki dibasuh, sebagaimana membasuh muka

dan tangan, yang merupakan pandangan mayoritas kalangan

Sunni.

saat  bacaan-bacaan non-utsmani dan  yang dikenal secara

teknis sebagai tashhîf33  dimasukkan ke dalam pertimbangan, maka

perbedaan vokalisasi dan pemberian titik-titik diakritis untuk

kerangka grafis senada yang mengakibatkan munculnya perbedaan-

perbedaan makna yang cukup signifikan akan terlihat jelas. Dalam

bab 4 dan 5, saat  membahas beberapa mushaf pra-utsmani,

masalah yang bertalian dengan perbedaan vokalisasi dan pemberian

titik diakritis ini telah dikemukakan secara panjang lebar dan,

sebab  itu, tidak perlu dibahas lagi di sini. Bahkan, dalam kedua

bab ini  juga telah diungkapkan berbagai penyimpangan

tekstual – berupa penambahan atau pengurangan kata, kalimat,

ayat dan juga surat dan  lainnya – yang pada gilirannya

membedakan berbagai mushaf pra-utsmani ini  dengan teks

dan bacaan dalam tradisi mushaf utsmani. namun , tentu saja, yang

disebut belakangan itu tidak memiliki relevansi nyata dengan tujuan

pembahasan bab ini.

Sehubungan dengan tashhîf atau kekeliruan pembacaan

terhadap textus receptus yang disalin dalam scriptio defectiva,

ilustrasi berikut bisa dikemukakan untuk menggambarkannya.

Dikabarkan bahwa seseorang ilmuwan bernama Utsman ibn Abi

Syaibah (w. 851), salah seorang guru ahli hadits terkenal, Bukhari,

membaca kerangka konsonantal = dalam 2:265 – dalam lectio

vulgata dibaca thall, “hujan gerimis” – sebagai zhill, “naungan.”

Kerangka grafis  dalam 5:4 – dalam teks utsmani dibaca jawãrih

, “binatang buas dan burung pemakan daging” – dibaca sebagai

khawãrij, “yang keluar.” Kerangka konsonantal R+ dalam 26:130

– dalam bacaan resmi terbaca jabbãrîn ,“tiran” – dibaca sebagai

khabbãzîn, “tukang roti.” Terakhir, bentuk grafis  dalam 12:70

– dalam mushaf utsmani dibaca rahl, “pelana atau bagasi (kantung

muatan)” – dibaca sebagai rijl, “kaki.”

Dari berbagai ilustrasi yang telah diutarakan, ditambah

berbagai ilustrasi yang dikemukakan di awal bab ini tentang

karakteristik ortografi utsmani, terlihat sangat memungkinkan

untuk mengemukakan asumsi bahwa salah satu penyebab

timbulnya perbedaan bacaan al-Quran adalah tulisan yang

digunakan saat  itu untuk menyalin mushaf resmi – yakni scriptio

defectiva, aksara primitif yang belum memiliki tanda-tanda  vokal

dan titik-titik diakritis pembeda konsonan bersimbol sama. namun ,

kesimpulan semacam ini, tentu saja, tidak dapat diterima mayoritas

sarjana Islam, sekalipun ilustrasi tentang tashhîf secara jelas

memperlihatkan bahwa kesalahan membaca teks al-Quran yang

disalin dengan aksara lama itu betul-betul terjadi. Bagi mereka,

berbagai perbedaan bacaan – terutama dalam tradisi teks utsmani,

khususnya dalam kategori kiraat mutawãtir dan, hingga taraf

tertentu, kiraat masyhûr – merupakan ragam bacaan yang

bersumber dari Nabi Muhammad, dan sebab  itu memiliki otoritas

ilahiyah. Berbagai bacaan resmi atau lectio vulgata itu

ditransmisikan secara oral dari generasi ke generasi, mulai dari

mulut Nabi sendiri yang menerimanya melalui wahyu. sebab 

itu, bacaan-bacaan aktual al-Quran ini  merupakan tradisi oral

otonom yang terpisah dari teks-teks tertulis.

Setiap bacaan resmi dalam tradisi utsmani, menurut sudut

pandang ini, telah ditransmisikan melalui mata rantai periwayatan

(asãnîd) yang independen dan otoritatif dalam suatu skala yang

sangat luas, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan atau

kekeliruan secara sederhana bisa dikesampingkan. Prinsip yang

dikedepankan di sini adalah bahwa beberapa  besar pembaca al-

Quran (qurrã’) yang tersebar di berbagai wilayah Islam tidak

mungkin bersepakat pada suatu kekeliruan atau merekayasa bacaan

al-Quran. Prinsip inilah yang dalam literatur Islam diistilahkan

sebagai tawãtur. Dengan demikian, teks tertulis hanya memiliki

peran yang sangat terbatas.35  namun , sebagaimana akan ditunjukkan

dalam bab mendatang, prinsip tawãtur dalam kiraah ini masih

layak dipertanyakan.

Dalam rangka menjamin independensi bacaan al-Quran

sebagai suatu tradisi oral, para sarjana Muslim selama berabad-

abad telah melarang penyandaran diri semata-mata pada teks tertulis

saat  mempelajari al-Quran. Badr al-Din Muhammad Ibrahim

Sa‘d Allah al-Kinani Ibn Jama‘a, misalnya, mengemukakan:

“Merupakan kekeliruan yang menyedihkan jika anda menjadikan

halaman-halaman tertulis sebagai syaikh (guru – pen.).”36  Bahkan,

penghargaan yang tinggi terhadap tradisi oral telah membuat para

ulama mengembangkan metode yang sangat cermat untuk menjaga

tradisi ini . Bagi mereka, mulut manusia laksana tempat

penyimpanan hakiki ilmu pengetahuan. Para sarjana Muslim ini

selalu memandang transmisi lisan sebagai satu-satunya cara

periwayatan yang paling sahih, seakan-akan hanya cara ini yang

bisa meniadakan kekeliruan dan kesalahan. Lebih jauh, introduksi

scriptio plena pada masa belakangan ternyata tidak mengurangi

munculnya tashhîf. sebab  itu, tradisi oral mesti tetap

dipertahankan secara independen dari teks tertulis, sebab hanya

dengan cara semacam inilah tradisi itu dapat dipandang sebagai

tradisi oral dalam pengertian yang sebenarnya.

Paling tidak ada  tiga alasan utama yang dikemukakan

untuk mempertahankan sikap tradisional ini. Pertama, titik-titik

diakritis dan tanda-tanda vokal, sebagaimana yang ada dalam

scriptio plena, tidak pernah mencapai taraf otoritas yang setara

dengan teks utsmani yang tertulis dalam scriptio defectiva. Titik-

titik diakritis dan tanda-tanda vokal dalam scriptio plena bukanlah

bagian mushaf utsmani. Tanda-tanda baca itu hanya merupakan

suatu metode penyalinan yang dengannya lectio vulgata dapat

direkam. Tanda-tanda ini  tidak pernah dimaksudkan

mengganti transmisi oral bacaan-bacaan resmi. Tradisi oral, asalkan

memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam konsep tawãtur,

seperti dikemukakan di atas, dipandang sebagai bukti pamungkas

wahana transmisi yang sebenarnya. Kedua, hanya melalui tradisi

oral-lah karakter asasi al-Quran sebagai sesuatu yang dibaca, sesuatu

yang secara oral disampaikan, dapat dipelihara. Kaum Muslimin

meyakini bahwa al-Quran disampaikan secara oral kepada manusia

oleh Nabi, persis seperti penyampaiannya secara oral dari malaikat

kepada Nabi. Dalam cara yang sama, kaum Muslimin juga telah

mentransmisikan al-Quran secara oral dari abad ke abad, persis

seperti yang mereka terima dari Nabi. Ketiga, seni baca al-Quran –

secara teknis disebut tajwîd – tidak dapat disampaikan kecuali lewat

tradisi oral. Sementara tajwîd, menurut sudut pandang ini,

merupakan suatu unsur integral dalam pembacaan al-Quran yang

pada hakikatnya berasal dari Nabi sendiri.

Labib as-Said, saat  menolak asumsi tentang scriptio defectiva

sebagai salah satu penyebab munculnya perbedaan-perbedaan

bacaan, mengemukakan sepuluh butir keberatan yang dapat

diringkas sebagai berikut:

(i) Jika bacaan aktual al-Quran itu disusun lewat inisiatif

individual manusia, maka hal ini akan bermakna bahwa

Tuhan telah membolehkan gagasan-gagasan agung-Nya

diekspresikan – paling tidak sebagiannya – dalam

rangkaian kata manusia; dengan perkataan lain, manusia

memiliki saham dalam komposisi al-Quran. Namun,

sebab  manusia tidak memiliki karakter ilahiah Tuhan,

yang maha unik dalam segala hal, adalah mustahil

memandang bahwa manusia turut berpartisipasi dalam

mengekspresikan gagasan-gagasan ilahi.

(ii) Keyakinan-keyakinan keagamaan kaum Muslimin,

khususnya kepercayaan terhadap karakter  i‘jãz dan

kesucian al-Quran dan  terhadap perhitungan di Hari

Kemudian yang menanti orang-orang yang merusaknya,

akan merupakan pencegah utama terhadap setiap usaha 

untuk merekayasa dan memapankan bacaan-bacaan al-

Quran lewat inisiatif perorangan. sebab  itu, pelik

membayangkan bahwa seorang Muslim yang saleh secara

pribadi akan berinisiatif untuk menetapkan huruf-huruf

hidup dan konsonan-konsonan untuk bacaan al-

Qurannya sendiri, sebab  hal ini akan mengakhiri

totalitas al-Quran sebagai mukjizat.

(iii) Dengan mempertimbangkan ketertarikan kaum

Muslimin yang sangat kuat terhadap tradisi oral dan

ketidakpercayaan mereka terhadap kata-kata tertulis,

maka asumsi tentang scriptio plena sebagai “biang kerok”

munculnya berbagai perbedaan bacaan  jelas tidak dapat

dipertahankan.

(iv) Merupakan fakta empiris bahwa tidak satu kitab suci

pun selain al-Quran yang telah ditransmisikan dalam

suatu skala yang sangat luas dan berkesinambungan dari

generasi ke generasi lewat mata rantai perawi yang

otoritatif dan sangat qualified menurut penilaian orang-

orang yang sezaman dengan mereka. Sama sekali tidak

ada alasan bagi generasi-generasi Muslim yang

belakangan untuk merekayasa bacaan-bacaan al-Quran,

sebab  mereka memiliki tradisi bacaan al-Quran yang

kaya, yang ditransmisikan dari para sahabat Nabi yang

menerimanya langsung dari Nabi.

(v) Hadits-hadits yang teruji kesahihannya mengenai tujuh

ragam dialektal al-Quran juga merupakan bukti bahwa

keragaman bacaan mesti dikembalikan kepada

keragaman bacaan-bacaan otentik  pada masa Nabi,

bukan kepada usaha -usaha  belakangan untuk mengisi

kekosongan dalam mushaf utsmani yang tidak bertanda

baca.

(vi) Pada berbagai kasus, saat  teks primitif utsmani bisa

dibaca dalam cara yang beragam, ternyata para qurrã’

justeru sepakat membacanya dalam satu bacaan.

Kesepakatan ini menunjukkan bahwa ada  suatu basis

yang kukuh tentang  tradisi oral bacaan yang mapan.

Contohnya adalah bentuk  turja‘ûna ( WO ) dan

yurja‘ûna (WO ) – untuk kasus prefiks kata kerja ta

dan ya atau tu dan yu –  yang dalam teks primitif

ditampilkan dengan simbol senada. Bentuk pertama

(turja‘ûna) digunakan seluruh qurrã’ dalam 2:245; 10:56;

28:88; 36:22,83; 39:44; 41:21; dan 43:85. Sementara bentuk

kedua (yurja‘ûna) disepakati penggunaannya dalam 6:36

dan 19:40. Demikian pula, kata kerja khathifa-yakhthafu

(?Vy - ?VS "), yang ada  dalam 2:20; 22:31; dan

37:10, secara tepat bisa juga dibaca khathafa-yakhthifu.

namun , seluruh bacaan menyepakati pembacaan bentuk

yang pertama.

(vii) Merupakan kenyataan bahwa para qurrã’ yang berasal

dari suatu mazhab gramatik tertentu merasa terpaksa

mengikuti bacaan yang diajarkan kepada mereka,

sekalipun bacaan ini  bertentangan dengan prinsip-

prinsip gramatik mazhabnya.

(viii) Kasus-kasus di mana ortografi teks mushaf tidak secara

tepat berkaitan dengan bacaan-bacaan yang mapan, jika

dinilai dari aturan-aturan standar ortografi, juga

menunjukkan eksistensi tradisi oral yang kuat, yang lepas

dari teks tertulis. Contohnya adalah penggunaan huruf

wãw ( $ ) sebagai tempat pembubuhan hamzah ( 6 ), yakni

r , dalam  kata-kata di mana hamzah didahului oleh

vokal panjang ã – contohnya abnã’ ( Z8 ) dan jazã’ (r O)

dalam 5:18,33.

(ix) Asumsi tentang scriptio defectiva sebagai penyebab

munculnya keragaman bacaan mensyaratkan bahwa

sebelum introduksi ragam tulis ini  – yakni sepanjang

periode Nabi, para sahabatnya dan generasi berikutnya

– al-Quran berada dalam keadaan yang tidak pasti atau

tidak tetap, semacam limbo. Bentuk konkret kitab suci

itu baru dihasilkan setelah penambahan titik-titik

diakritis dan tanda-tanda vokal, yang terjadi jauh berabad-

abad setelah masa pewahyuannya.

(x) Kaum Muslimin selama berabad-abad menyepakati

(ijmã‘ ) bahwa manusia tidak memiliki kontribusi secuil

pun terhadap al-Quran. Jadi, sepanjang menyangkut

umat Islam, konsensus ini  merupakan bukti

pamungkas dalam masalah ini.


Argumen-argumen yang diajukan as-Said untuk menegasikan

kemungkinan benarnya asumsi yang melihat scriptio defectiva

sebagai salah satu penyebab munculnya variae lectiones (keragaman

bacaan), hingga taraf yang jauh, terlihat sangat meyakinkan. namun ,

seperti ditunjukkan sebelumnya, kemungkinan terjadinya salah

baca (tashhîf ) terhadap teks al-Quran yang disalin dengan scriptio

defectiva merupakan suatu kenyataan sejarah yang tidak dapat

dipungkiri. Demikian pula, uraian dalam bagian ortografi mushaf

utsmani di atas, juga mengarahkan kepada asumsi tentang scriptio

defectiva sebagai salah satu penyebab terjadi keragaman bacaan.

Bahkan, dalam berbagai riwayat tentang latar belakang timbulnya

inisiatif untuk menyempurnakan rasm al-Quran, kekeliruan

pembacaan teks tertulis disebutkan sebagai salah satu sebab utama

yang memunculkan usaha  ini .

Penyempurnaan Rasm al-Quran

saat  domain politik Islam semakin meluas dan semakin

banyak orang non-Arab memeluk Islam, berbagai kekeliruan dalam

pembacaan teks al-Quran – yang disalin dengan scriptio defectiva

– di kalangan pemeluk baru Islam semakin merebak. Akhirnya,

penguasa politik Islam mengambil keputusan untuk melakukan

penyempurnaan terhadap rasm al-Quran, dan langkah aktual

penyempurnaannya dikabarkan telah dilakukan oleh beberapa  ahli

bahasa.

Sumber-sumber Islam yang menuturkan tentang usaha 

penyempurnaan scriptio defectiva tidak bersepakat tentang pelaku-

pelaku aktualnya.39  namun , pada umumnya disebutkan bahwa pada

masa kekhalifahan Mu‘awiyah ibn Abi Sufyan (661-680) langkah

ini  mulai dilakukan. Ziyad ibn Samiyah (w. 673), yang saat 

itu menjabat sebagai Gubernur Basrah, meminta Abu al-Aswad al-

Du‘ali (c. 605-688) agar menciptakan tanda-tanda baca dan

membubuhkannya ke dalam mushaf untuk menghindari berbagai

kekeliruan pembacaan yang saat  itu semakin masif.40  Al-Du‘ali

tidak langsung mengabulkan permintaan Ziyad, sebab  –

sebagaimana kisah-kisah yang bertalian dengan  introduksi hal-

hal baru terhadap al-Quran, misalnya pada kisah pengumpulan

pertama al-Quran oleh Zayd ibn Tsabit –  takut berbuat bidah.

Namun, suatu saat  al-Du‘ali mendengar sendiri orang keliru

membaca bagian al-Quran (9:3) berikut:

Kekeliruan pembacaan dalam ayat ini terletak pada vokalisasi

kata rasûluhu menjadi rasûlihi, yang mengakibatkan perubahan

makna sangat substansial terhadap bagian al-Quran di atas. saat 

bagian al-Quran itu dibaca secara benar sebagai rasûluhu, maka

maknanya adalah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas

diri dari orang-orang yang musyrik.” namun , saat  kata itu

dipelintir menjadi rasûlihi,  maka maknanya akan berubah menjadi:

“Sesungguhnya  Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan

dari rasulnya.”

Melihat kekeliruan yang sangat fatal ini, al-Du‘ali lalu

menghadap Ziyad dan menyanggupi permintaannya untuk

melakukan penyempurnaan terhadap rasm al-Quran. Ia kemudian

memperkenalkan tanda-tanda vokal yang penting, yakni titik di

atas huruf ( . ) untuk vokal a (fathah), titik di bawah huruf (-.-)

untuk vokal i (kasrah), titik di sela-sela atau di depan huruf ( ._ )

untuk vokal u (dlammah), dua titik untuk vokal rangkap (tanwîn),

dan untuk konsonan mati (sukûn) tidak dibubuhkan tanda apapun.

Tanda-tanda vokal ini, dalam penulisan mushaf, diberi warna yang

berbeda dari warna huruf-hurufnya. Menurut sebagian riwayat,

tidak seluruh huruf dalam mushaf diberi tanda vokal. Tanda-tanda

ini hanya dicantumkan pada huruf-huruf terakhir tiap kata, atau

pada huruf-huruf tertentu yang memungkinkan terjadinya

kekeliruan bacaan.

Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, dikabarkan bahwa tanda-

tanda vokal yang diciptakan al-Du‘ali kemudian disempurnakan

lebih jauh oleh al-Khalil ibn Ahmad (c. 718-786), pakar bahasa

yang tinggal di Basrah dan merupakan sarjana pertama yang

menyusun kamus bahasa Arab dan  pengembang aturan-aturan

persajakan. Penyempurnaan yang dilakukan al-Khalil adalah

membubuhkan huruf alif ( ) kecil di atas huruf untuk tanda

vokal a, huruf yã’ (  ) kecil di bawah untuk vokal i, huruf wãw

( $ ) kecil di depan huruf untuk tanda vokal u, menggandakan

tanda-tanda vokal ini untuk melambangkan vokal rangkap (tanwîn),

membubuhkan kepala huruf hã’ ( % ) di atas huruf untuk tanda

sukûn. Sementara untuk tanda konsonan rangkap (syaddah),

ditempatkan kepala huruf sîn ( & ) di atasnya. Dari tanda-tanda

vokal yang diintroduksi al-Khalil inilah kemudian dilakukan

penyempurnaan akhir sehingga mengambil bentuk yang dikenal

dewasa ini.

Sehubungan dengan tanda-tanda pembeda konsonan,

dikabarkan bahwa usaha  pengintroduksiannya mulai dilakukan

pada masa pemerintahan Abd al-Malik ibn Marwan (685-705) dari

dinasti Umaiyah. Gubernur Irak, al-Hajjaj ibn Yusuf (w. 714), demi

melihat berbagai kekeliruan pembacaan al-Quran yang terjadi di

dalam warga  Islam, menugaskan dua ahli bahasa terkenal

saat  itu, Nashr ibn Ashim (w. 708) dan Yahya ibn Ya‘mur (w.

747) – keduanya adalah murid al-Du‘ali – untuk melanjutkan

pekerjaan gurunya menyempurnakan aksara Arab, khususnya

dalam mengusaha kan pembedaan konsonan-konsonan bersimbol

sama di dalam bahasa Arab. Kedua ahli bahasa ini kemudian

mengintroduksi titik-titik diakritis untuk pembedaan ini .

usaha  pemberian titik-titik diakritis untuk membedakan

simbol-simbol konsonan yang memiliki perlambangan senada ini

bisa diilustrasikan sebagai berikut: kerangka konsonan  susaha 

bisa dibaca sebagai khã’ (kh), diberi satu titik di atasnya ( Œ ),  atau

satu titik di bawahnya ( t ) untuk melambangkan konsonan jîm

( j ), dan konsonan dasar yang tidak bertitik (  ) merepresentasikan

konsonan hã’ (h). Simbol  konsonan 'G diberi satu titik di atasnya

( 7 ) untuk melambangkan konsonan nûn (n), atau dua titik di

atasnya (  ) untuk huruf mati tã’ (t), atau tiga titik di atasnya ( Y )

untuk konsonan tsã’ (ts), dan  satu titik di bawahnya ( 8 ) untuk

konsonan bã’  (b), atau dua titik di bawahnya (  ) untuk huruf yã’

(y). Simbol konsonan $ diberi satu titik di atasnya  ( h ) untuk

melambangkan konsonan fã’ (f ), atau dua titik di atasnya ( ; )

untuk konsonan qãf (q), sementara konsonan wãw (w) tidak diberi

titik ($). Demikian pula, dua huruf mati yang berbeda namun 

dilambangkan dengan simbol senada, salah satunya dibubuhi titik-

titik diakritis untuk membedakannya: dãl (d) tanpa titik ( G ), dzãl

(dz) diberi satu titik di atasnya  (  ); rã’ (r) tanpa titik  (  ),  zã’ (z)

diberi satu