Tampilkan postingan dengan label riwayat hidup nabi muhammad 10. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label riwayat hidup nabi muhammad 10. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

riwayat hidup nabi muhammad 10


  kedamaian dan ketenteraman 

rumah tangga senantiasa terganggu. Sayyidina Umar menerangkan hal 

itu kepada Rasulullah s.a.w., dan berkata bahwa kecuali jika kaum 

wanita kadang-kadang boleh dihukum, mereka akan menjadi susah 

diatur dan tidak ada yang mengendalikan lagi. sebab  ajaran Islam yang 

bertalian dengan perlakuan terhadap wanita-wanita belum diturunkan, 

Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa jika seorang wanita bertindak 

melampaui batas, ia boleh dihukum. Hal itu pada gilirannya menjadikan 

kaum pria, dalam beberapa hal, kembali ke pada kebiasaan-kebiasaan 

Arab kuno. Sekarang datang lagi giliran kepada kaum wanita untuk 

mengeluh dan mereka membentangkan kesusahan kepada istri-istri 

Rasulullah s.a.w.. Akibatnya, Rasulullah s.a.w. menyesali kaum pria dan 

mengatakan kepada mereka bahwa siapa yang memperlakukan wanita-

wanita secara tidak baik, tidak mungkin dapat menarik keridhaan Ilahi. 

Kemudian hak-hak wanita ditetapkan, dan untuk pertama kalinya wanita 

mulai diperlakukan sebagai pribadi-pribadi yang mandiri dengan hak 

mereka masing-masing (Abu Daud, Kitab al-Nikah). 

Mu'awiyah Al Qusyairi meriwayatkan, “Aku menanyakan 

kepada Rasulullah s.a.w., hak apa istriku dapat menuntut dari padaku?” 

dan beliau menjawab, “Berilah dia makan dari apa-apa yang Allah  telah 

merezekikan kepadamu dalam urusan makan, dan berilah dia pakaian 

yang Allah  telah menganugerahkannya kepadamu dalam urusan 

pakaian, dan janganlah menyiksa atau memaki-maki atau mengusirnya 

dari rumahmu.”  

Beliau begitu berhati-hati tentang perasaan wanita sehingga 

beliau senantiasa menganjurkan kepada orang-orang yang harus 

melakukan perjalanan supaya menyelesaikan urusan secepat-cepatnya 

dan pulang selekas mungkin sehingga wanita-wanita dan anak-anak 

mereka tidak akan menjadi resah sebab  pisah lebih daripada yang benar-

benar diperlukan. Jika beliau pulang dari perjalanan, beliau biasa datang 

siang hari. Jika beliau kembali dari perjalanan sedang hari hampir 

malam, beliau biasa berkemah dahulu di luar Medinah pada malam itu 

sebelum masuk kota di waktu pagi esok harinya. Beliau mengatakan juga 

kepada para Sahabat bahwa jika mereka pulang dari suatu perjalanan, 

mereka hendaknya tidak pulang secara tiba-tiba tanpa memberi khabar 

lebih dahulu tentang kedatangan mereka kembali (Bukhari dan Muslim). 

Dalam memberikan petunjuk-petunjuk, beliau ingat akan kenyataan 

bahwa hubungan antara dua jenis kelamin itu bagian besar dipengaruhi 

oleh perasaan. Dalam waktu suami tidak ada di rumah, seorang wanita 

mungkin sering lalai mengurus badan sendiri dan pakaiannya, dan jika 

suaminya tiba-tiba pulang tanpa diduga-duga, maka perasaan halus 

wanita mungkin akan tersinggung. Dengan memberi petunjuk bahwa jika 

seseorang pulang dari perjalanan hendaklah berusaha datang ke rumah 

pada siang hari dan lebih dahulu memberi kabar kepada anggota-anggota 

keluarga tentang kedatangannya, beliau meyakinkan bahwa anggota-

anggota keluarga akan siap menerima anggota keluarga yang pulang itu 

dengan cara yang layak. 

Sikap Terhadap Orang Yang Meninggal 

Beliau memerintahkan tiap-tiap orang supaya membuat surat 

wasiat tentang cara menyelesaikan urusannya sesudah ia meninggal 

dunia sehingga pihak yang bersangkutan tidak akan begitu disusahkan 

sepeninggalnya. Beliau menetapkan bahwa orang tidak boleh 

membicarakan keburukan seseorang yang telah meninggal melainkan 

hendaknya menekankan pada kebaikan apa saja yang dimiliki almarhum, 

sebab tidak ada faedahnya menyebut-nyebut kelemahan atau kejahatan 

orang yang sudah meninggal. namun , dengan mengemukakan kebaikan-

kebaikan almarhum orang akan cenderung mendoakan (Bukhari). Beliau 

menegaskan mengenai orang yang meninggal supaya utang-utangnya 

dibayar lunas sebelum ia dikuburkan. Beliau seringkali melunasi utang 

seseorang yang telah meninggal dari saku beliau sendiri, namun jika 

beliau tidak mampu berbuat seperti itu, beliau menganjurkan kepada para 

ahli waris dan sanak-saudara orang yang meninggal atau orang-orang 

lain untuk membereskan utang-utangnya dan beliau tidak mau 

mendirikan sembahyang jenazah untuk orang yang telah meninggal 

sebelum utang-utangnya diselesaikan. 

Perlakuan Terhadap Tetangga 

Beliau senantiasa memperlakukan tetangga-tetangga beliau 

dengan ramah dan penuh pengertian. Beliau sering mengatakan bahwa 

Malaikat Jibril telah menekankan begitu seringnya supaya kasih-sayang 

terhadap tetangga-tetangga, sehingga beliau kadang-kadang mulai 

menyangka bahwa seorang tetangga barangkali harus dimasukkan ke 

dalam kalangan ahli waris yang telah digariskan. Abu Dharr 

meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya, “Abu 

Dharr, jika kuah daging sedang dimasak untuk keluargamu, 

tambahkanlah lebih banyak air kepada masakan itu agar tetanggamu juga 

mendapat bagiannya.” Hal itu tidak berarti bahwa tetangga jangan 

diundang untuk menikmati masakan-masakan lain, namun oleh sebab  

kaum Arab pada umumnya yaitu  kaum kelana dan makanan yang 

paling digemari yaitu  gulai daging, Rasulullah s.a.w. menyebut 

makanan itu sebagai makanan istimewa, dan mengajarkan bahwa 

seseorang hendaknya jangan lebih mementingkan kelezatan makanan 

daripada kewajiban mengikutsertakan salah seorang tetangganya. 

Abu Hurairah meriwayatkan: “Sekali peristiwa Rasulullah s.a.w. 

berseru, “Aku bersumpah dengan nama Allah  bahwa ia bukan orang 

beriman. Aku bersumpah dengan nama Allah  bahwa ia bukan orang 

beriman! Aku bersumpah dengan nama Allah  bahwa ia bukan orang 

beriman!” Para Sahabat menanyakan, “Siapakah yang bukan orang 

beriman itu, ya Rasulullah?” dan beliau menjawab, “Orang yang 

tetangganya tidak selamat terhadap kemudaratan dan perlakuan buruk 

dari tangan mereka. Sekali peristiwa saat  beliau berbicara kepada 

kaum wanita, beliau bersabda, Jika seseorang hanya punya kaki kambing 

untuk dimasak, ia hendaknya membagi tetangganya. Beliau meminta 

orang-orang supaya jangan menaruh keberatan terhadap tetangganya 

memasang pasak ke dalam dinding rumahnya atau mempergunakan 

dinding untuk sesuatu keperluan lain yang tidak menimbulkan kerugian 

atau kerusakan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. 

bersabda, “Orang yang beriman kepada Allah  dan Hari Pembalasan 

hendaknya jangan mendatangkan kesusahan kepada tetangganya, orang 

yang beriman kepada Allah  dan Hari Pembalasan hendaknya jangan 

mendatangkan kesusahan kepada tamunya, dan orang yang beriman 

kepada Allah  dan Hari Pembalasan hendaknya mengucapkan kata-kata 

baik lagi berfaedah atau ia hendaknya tutup mulut saja” (Muslim). 

Perlakuan Terhadap Sanak-Saudara 

Kebanyakan orang mengalami kegagalan bahwa jika mereka 

menikah dan mendirikan rumah tangga sendiri, mereka berangsur 

mengabaikan orang tua. Oleh sebab  itu Rasulullah s.a.w. sangat 

menekankan ihwal pahala berbakti dan mengkhidmati orang-tua serta 

memperlakukan mereka dengan baik lagi kasih sayang. Abu Hurairah 

meriwayatkan, “Seorang laki-laki datang menghadap kepada Rasulullah 

s.a.w. dan menanyakan siapakah yang paling berhak atas perlakuan baik 

dari dia. Rasulullah s.a.w. menjawab: “Ibumu”. Orang itu menanyakan 

lagi, “Dan sesudah itu?” Rasulullah s.a.w. mengulangi lagi, “Ibumu.” 

Orang itu bertanya untuk ketiga kalinya, “Dan sesudah ibuku?” dan 

Rasulullah s.a.w. menjawab lagi, “Masih ibumu juga” dan saat  orang 

itu bertanya untuk keempat kalinya, beliau bersabda, “Sesudah ibumu, 

bapakmu dan sesudah dia keluarga terdekat dan sesudah itu keluarga 

yang lebih jauh”. 

Orang tua dan kakek Rasulullah s.a.w. meninggal dunia saat  

beliau masih kecil. namun beberapa orang tua istri-istri beliau masih 

hidup dan beliau senantiasa memperlakukan mereka dengan kasih-

sayang dan takzim. Pada peristiwa jatuhnya Mekkah, saat  Rasulullah 

s.a.w. memasuki kota sebagai panglima yang gagah perkasa, Abu Bakar 

membawa ayahnya menghadap. Beliau bersabda kepada Abu Bakar, 

“Mengapa anda menyusahkan ayah anda untuk datang kepadaku. Aku 

sendiri akan merasa berbahagia menghadap kepada beliau” (Halbiyya, 

Jilid 3, hlm. 99). Salah suatu sabda Rasulullah s.a.w. ialah, “Malang 

benar orang yang orang tuanya mencapai usia lanjut tapi ia gagal meraih 

surga juga”, artinya, mengkhidmati orang tua, terutama saat mereka 

mencapai usia lanjut, menarik ridha dan karunia Ilahi dan oleh sebab  itu 

seseorang yang terbuka kepadanya kesempatan mengkhidmati orang 

tuanya yang lanjut usia dan berusaha menggunakan kesempatan itu 

sepenuhnya, pasti akan menjadi kuat dalam jalan takwa dan menjadi 

penerima karunia Ilahi. 

Seseorang pada suatu saat  mengeluh kepada Rasulullah s.a.w., 

bahwa makin baik ia berbuat baik kepada sanak-saudaranya, makin tidak 

bersahabat pula mereka terhadap dirinya, dan makin mereka 

diperlakukan dengan kasih-sayang, makin mereka aniaya terhadap 

dirinya, dan makin ia memperlihatkan cinta kepada mereka, makin benci 

juga mereka terhadap dia. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Jika apa yang kau 

katakan itu benar, maka kamu sangat beruntung, sebab kamu senantiasa 

akan menjadi orang yang menerima perlindungan dan pertolongan Ilahi” 

(Muslim, Kitab al-Birr wal Sila). 

Pada suatu waktu saat  Rasulullah s.a.w. sedang menasihati 

orang-orang agar memberi sedekah, seorang dari para Sahabat, Abu 

Talha Anshari, menghadap kepada beliau dan menyerahkan sebuah 

kebun guna dipergunakan untuk tujuan menolong orang-orang miskin. 

Rasulullah s.a.w. sangat gembira dan berseru, “Alangkah bagusnya 

sedekah ini! Alangkah bagusnya sedekah ini!” dan menambahkan, 

“sesudah  menyerahkan kebun itu untuk mengkhidmati orang-orang 

miskin, aku minta kamu sekarang membagi-bagikannya di antara sanak-

saudaramu yang miskin.” (Bukhari, Kitab al-Tafsir). 

Pada suatu waktu seseorang datang menghadap kepada beliau 

dan berkata, “Ya, Rasulullah, aku bersedia berjanji akan berhijrah dan 

aku bersedia janji akan ikut berjihad, sebab aku sangat menghendaki 

ridha Ilahi.” Rasulullah s.a.w. bertanya, apakah salah seorang dari orang 

tuanya masih hidup dan orang itu menjawab bahwa kedua-duanya masih 

hidup. Maka beliau bertanya, “Apakah kamu sungguh-sungguh ingin 

mendapatkan ridha Ilahi?” Dan, atas jawaban orang itu bahwa ia 

sungguh-sungguh mendambakan hal itu, Rasulullah s.a.w. bersabda, 

“Kembalilah kepada orang tuamu dan khidmatilah mereka, dan khidmati 

mereka dengan sungguh-sungguh.” Beliau menegaskan bahwa sanak-

saudara seseorang yang belum masuk Islam sama-sama berhak atas 

perlakuan baik dari kasih-sayang seperti halnya sanak-saudaranya yang 

sudah menjadi Muslim. Salah seorang dari istri-istri Abu Bakar yang 

bukan-Muslim mengunjungi anaknya, Asma, dan anaknya itu bertanya 

kepada Rasulullah s.a.w., apakah boleh ia mengkhidmati ibunya dan 

memberi hadiah kepadanya; dijawab oleh Rasulullah s.a.w., “Tentu saja, 

sebab ia ibumu” (Bukhari, Kitab al-Adab). 

Beliau tidak saja memperlakukan sanak-saudara yang dekat 

dengan kasih-sayang, bahkan kerabat yang sudah jauh pun dan siapa pun 

yang memiliki  pertalian dengan mereka diberi perlakuan sangat baik. 

Bilamana beliau menyembelih korban seekor ternak, beliau biasa 

mengirimkan sebagian dagingnya kepada sahabat-sahabat Khadijah (istri 

beliau yang telah wafat) dan berpesan kepada istri-istri beliau agar tidak 

melupakan mereka dalam peristiwa-peristiwa semacam itu. Beberapa 

tahun sesudah wafat Khadijah r.a., saat  beliau bercengkerama dengan 

para Sahabat, saudara perempuan Khadijah, Halah, datang berkunjung 

dan meminta izin masuk. Suaranya sampai ke telinga Rasulullah s.a.w. 

layaknya seperti suara Khadijah r.a. dan saat  beliau mendengar beliau 

bersabda, “Ya Allah, itulah Halah, saudara Khadijah.” Sesungguhnya 

cinta yang sejati senantiasa menjelmakan diri demikian bahwa seseorang 

mencintai juga segala sesuatu yang ada pertaliannya dengan orang yang 

dicintai dan dihormati. 

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa dalam suatu perjalanan ia 

tahu-tahu sudah ada bersama-sama dengan Jarir bin Abdullah dan 

dirasakan olehnya bahwa kawannya ini menjaga dia seperti seorang 

budak menjaga tuannya. sebab  Jarir bin Abdullah lebih tua daripada 

Anas, Anas menjadi malu dan menegurnya supaya Jarir tidak bersusah-

payah. Jarir menjawab, “Aku biasa melihat bagaimana patuh dan 

rajinnya kaum Anshar melayani Rasulullah s.a.w. dan sebab  sangat 

terkesan oleh bakti dan cinta mereka terhadap Rasulullah s.a.w., aku 

telah mengambil keputusan dalam diriku sendiri bahwa bilamana aku 

kebetulan ada bersama-sama seorang Anshar, aku akan melayani sebagai 

pelayannya. Oleh sebab  itu, aku hanya melaksanakan keputusanku 

sendiri dan anda tidak usah melarang” (Muslim). Peristiwa itu 

menandakan bahwa kalau seseorang benar-benar mencintai orang lain, 

cintanya meliputi juga mereka yang sungguh-sungguh mengkhidmati 

sesuatu yang disayang orang itu. Begitu juga mereka yang benar-benar 

mencintai orang tua senantiasa menunjukkan hormat dan perhatian 

penuh terhadap mereka yang sedikit banyak ada hubungan dengan orang 

tua mereka dalam bentuk ikatan kasih sayang atau kekeluargaan. Pada 

suatu peristiwa Rasulullah s.a.w. menekankan bahwa menghormati 

sahabat-sahabat ayah merupakan kebajikan yang utama. Di antara orang-

orang yang mendengar, ada  Abdullah bin Umar. Beberapa tahun 

kemudian, pada masa ibadah Haji, ia berjumpa dengan seorang Badui 

dan Abdullah bin Umar menyerahkan keledainya sendiri kepadanya serta 

memberikan sorbannya. Seorang dari antara kawannya mengatakan 

bahwa Abdullah bin Umar terlalu royal, padahal seorang Badui akan 

gembira dan puas dengan pemberian sekedarnya. Abdullah bin Umar 

berkata, “Ayah orang itu yaitu  sahabat ayahku dan aku pernah 

mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa suatu amal utama 

seseorang yang saleh ialah menghormati dan memuliakan sahabat 

ayahnya.” 

Pergaulan Balk 

Beliau selamanya memilih pergaulan dengan orang-orang baik 

dan jika beliau melihat suatu kelemahan pada salah seorang dari para 

Sahabat, beliau menegurnya dengan ramah secara empat mata. Abu 

Musa Asy'ari meriwayatkan, “Rasulullah s.a.w. menggambarkan faedah 

yang dapat diraih dari teman-teman yang baik dan kawan yang saleh, dan 

kerugian yang dapat diterima dari sahabat-sahabat yang rawan susila dan 

kawan-kawan yang buruk dengan mengatakan, “Seseorang yang 

mengadakan pergaulan dengan orang-orang saleh yaitu  serupa orang 

yang membawa kesturi. Jika ia mempergunakannya ia mendapat faedah; 

jika menjualnya ia mendapat laba, dan jika ia hanya menyimpannya pun 

akan menikmati keharuman. Seseorang yang bergaul dengan orang 

rawan susila yaitu  serupa dengan orang yang meniup ke dalam tungku 

arang; apa yang dapat diharapkan hanya bunga api yang dapat hinggap di 

pakaiannya dan membakarnya atau asap yang keluar dari tungku itu akan 

memusingkan kepalanya.” Beliau biasa mengatakan bahwa watak 

seseorang dibentuk serupa dengan sifat pergaulannya dan bahwa oleh 

sebab  itu seseorang hendaknya berhati-hati dan mempergunakan 

waktunya bergaul dengan orang-orang baik (Bukhari dan Muslim). 

Menjaga Kepercayaan Orang 

Rasulullah s.a.w. sangat berhati-hati membawa diri agar tidak 

timbul kemungkinan adanya salah faham. Pada suatu peristiwa istri 

beliau, Safiyah, datang menjumpai beliau di mesjid. saat  waktu untuk 

pulang tiba, hari sudah menjadi gelap dan Rasulullah s.a.w mengambil 

keputusan untuk mengantarkannya pulang. Di jalan beliau berpapasan 

dengan dua orang dan sebab  hendak menghindarkan suatu persangkaan 

dari mereka terhadap orang yang bersama-sama dengan beliau, 

Rasulullah s.a.w. menyuruh mereka berhenti dan sambil menyingkap 

kerudung wajah istrinya, beliau bersabda, “Lihatlah, ini istriku, Safiyah.” 

Mereka memprotes “Ya Rasulullah, mengapa anda menyangka kami 

akan salah faham mengenai anda?” Rasulullah s.a.w. menjawab, 

“Syaitan sering menjalar melalui darah manusia. Aku khawatir 

kepercayaanmu ditularinya” (Bukhari, Abwab al-Itikaf). 

Menutupi Kesalahan Orang Laln 

Beliau tidak pernah mengemukakan kesalahan-kesalahan dan 

kelemahan-kelemahan orang lain dan menasihati orang-orang jangan 

mengumumkan kesalahan-kesalahan sendiri. Beliau biasa bersabda, 

“Jika seseorang menutupi kesalahan-kesalahan orang lain, Allah  akan 

menutupi kesalahan-kesalahannya pada Hari Pembalasan.” Dan, “Tiap-

tiap pengikutku dapat lepas dari akibat-akibat kesalahannya (artinya, 

dengan bertobat sungguh-sungguh dan membenahi diri), kecuali mereka 

yang menyebar-nyebar kesalahannya sendiri,” dan melukiskannya 

dengan perkataan, “Seseorang berbuat kejahatan di waktu malam dan 

membanggakan di hadapan mereka, 'Aku mengerjakan ini tadi malam,' 

jadi ia sendiri telah membukakan apa yang Allah  telah menutupinya” 

(Bukhari dan Muslim). 

Ada sementara orang menyangka, sebab  kebodohannya, bahwa 

pengakuan dosa membantu tobat; kenyataannya ialah hal itu bahkan 

memelihara ketidak-senonohan. Dosa itu kejahatan dan barangsiapa 

terjerumus ke dalamnya dan menjadi mangsa rasa malu, rasa penyesalan 

dapat membuka pintu harapan untuk kembali ke jalan yang suci dan 

ketakwaan dengan tobat. Keadaannya yaitu  seperti orang yang telah 

digoda oleh kejahatan, namun selalu dikejar-kejar oleh kesadaran 

bertakwa, dan begitu kesempatan ada, maka lenyaplah kejahatan itu dan 

orang berdosa itu diimbau kembali oleh ketakwaan. namun orang yang 

menyebar-nyebarkan perbuatan dosanya dan membanggakan perbuatan 

itu, ia kehilangan segala rasa malu dan kehilangan pengertian akan baik 

dan buruk, lalu menjadi tidak mampu untuk bertobat. 

Sekali peristiwa seseorang datang menghadap Rasulullah s.a.w. 

dan berkata, “Aku berdosa telah berbuat zina.” (Jika kesalahan itu 

dibuktikan oleh kesaksian maka merupakan pelanggaran yang dapat 

dikenakan hukuman menurut syariat Islam). Mendengar pengakuan 

orang itu Rasulullah s.a.w. berpaling dan menekuni kesibukan lain. 

Beliau bermaksud menyatakan bahwa obat yang tepat ialah tobat dan 

bukan pengakuan di muka umum. namun , orang itu tidak mengerti dan 

menyangka bahwa Rasulullah s.a.w. tidak mendengarnya, lalu pindah ke 

hadapan Rasulullah s.a.w. dan mengulangi pengakuannya. Rasulullah 

s.a.w. membalikkan badan lagi dan membelakanginya namun orang itu 

pindah lagi ke hadapan Rasulullah s.a.w. dan mengulang lagi 

pengakuannya. saat  ia telah berbuat serupa empat kali, Rasulullah s a 

w. bersabda, “Aku tadinya mengharap orang ini tidak mengatakan 

dosanya sebelum Allah  menunjukkan kehendak-Nya tentang dia, namun 

sebab  ia telah empat kali mengakui dosanya, aku sekarang terpaksa 

mengambil tindakan” (Tirmidhi). Kemudian beliau menambahkan, 

“Orang ini telah mengaku dan belum ada tuduhan dari wanita yang 

terlibat dalam pengakuannya. Wanita itu harus diperiksa dan jika ia 

menolak dosanya, wanita itu tidak boleh disiksa dan hanya laki-laki ini 

harus mendapat hukuman sesuai dengan pengakuannya; namun , jika 

wanita itu juga mengaku ia harus mendapat hukuman juga.” Memang 

menjadi kebiasaan Rasulullah s.a.w untuk mengikuti syariat Torat dalam 

hal-hal yang Al-Qur’an bungkam mengenainya, dan sebab  Torat 

menetapkan bahwa seorang pezina harus dirajam, beliau memutuskan 

terhadap orang itu sesuai dengan peraturan itu. saat  hukuman itu akan 

dilaksanakan, orang itu berusaha melarikan diri, namun orang-orang 

mengejarnya dan hukuman itu dilakukan. saat  Rasulullah s.a.w 

mendengar hal itu beliau tidak menyetujuinya. Beliau mengatakan 

bahwa orang itu telah dijatuhi hukuman berdasarkan pengakuannya 

sendiri. Percobaan melarikan diri yaitu  usaha membatalkan 

pengakuannya dan kemudian ia tidak boleh dihukum hanya atas alasan 

pengakuannya semata. 

Rasulullah s.a.w. menetapkan bahwa hukum hanya berlaku atas 

perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan. Dalam suatu 

peperangan, serombongan Muslim menjumpai seorang bukan-Muslim 

yang biasa bersembunyi menunggu di tempat yang sunyi dan jika ia 

melihat seorang Muslim seorang diri, ia menyerang dan membunuhnya. 

Pada peristiwa itu Usama bin Zaid mengejarnya dan sesudah  menyusul 

dan menangkapnya, Zaid menghunus pedang untuk membunuhnya. 

saat  orang itu melihat bahwa tidak ada jalan melarikan diri, ia 

mengucapkan bagian pertama Kalimah Syahadat, ialah “Asyhadu alla 

ilaha illallah” – “Tidak ada Dzat yang patut disembah kecuali Allah”, 

dengan demikian menunjukkan bahwa ia telah menerima Islam. Usama 

tak menghiraukan dan membunuhnya. saat  peristiwa itu, di antara 

sekian banyak peristiwa lain dalam pertempuran itu, diceriterakan 

kepada Rasulullah s.a.w., beliau memanggil Usama dan menanyakan hal 

itu. Atas pengakuan mengenai kebenaran ceritera itu Rasulullah s.a.w. 

bersabda, “Bagaimana halmu pada Hari Pembalasan jika pernyataan 

imannya membenarkan dia?” Usama menjawab, “Ya, Rasulullah, orang 

itu membunuh orang-orang Muslim dan syahadatnya hanya tipu muslihat 

belaka untuk melepaskan diri dari pembalasan.” namun Rasulullah s.a.w. 

mengulangi lagi “Usama, bagaimana hal kamu jika syahadat orang itu 

menjadi saksi terhadapmu pada Hari Pembalasan?” Artinya, Allah  akan 

menuntut pertanggung-jawaban dari Usama atas kematian orang itu, 

sebab walaupun ia telah berdosa membunuh orang-orang Muslim, 

pembacaan syahadatnya yaitu  bukti bahwa ia telah bertobat dari 

kejahatan-kejahatannya. Usama menyangkal dan mengatakan bahwa 

pembacaan Kalimah Syahadat itu hanya sebab  ia takut mati dan bukan 

ciri bertobat. Atas itu Rasulullah s.a.w. bersabda, “Adakah kamu melihat 

ke dalam hatinya untuk mengetahui bahwa apakah ia berkata benar atau 

tidak,” dan melanjutkan, “Bagai-mana kamu akan menjawab pada Hari 

Pembalasan, jika syahadatnya dibacakan sebagai bukti terhadap kamu?” 

Usama berkata, “Mendengar Rasulullah begitu sering mengatakan hal itu 

aku berharap bahwa aku masuk Islam baru sesudah saat itu sehingga aku 

tidak berdosa atas apa-apa yang dituduhkan terhadapku” (Muslim, Kitab 

al-Iman). 

Rasulullah s.a.w. selamanya bersedia memaafkan orang-orang 

dari kesalahan dan pelanggaran mereka. Seseorang dari antara mereka 

yang terlibat dalam fitnah terhadap istri beliau, Aisyah, yaitu  orang 

yang hidupnya bergantung pada kebajikan Abu Bakar (bapak Aisyah). 

saat  kepalsuan tuduhan terhadap Aisyah telah terbukti dengan sejelas-

jelasnya, Abu Bakar menghentikan bantuannya kepada orang itu. Hal ini 

pun menjadi bukti kesabaran dan ketabahan hati Abu Bakar yang terpuji. 

Orang kebanyakan akan menuntut sampai sejauh-jauhnya terhadap 

seorang bawahannya yang telah berdosa menghina anak perempuannya. 

saat  Rasulullah s.a.w. mengetahui tindakan Abu Bakar itu, beliau 

berbicara dengan Abu Bakar dan menjelaskan bahwa walaupun orang itu 

bersalah, yaitu  tidak pantas orang seperti Abu Bakar mencabut sumber 

penghidupannya sebab  kesalahannya itu. Atas nasihat itu Abu Bakar 

meneruskan lagi bantuannya terhadap orang itu (Bukhari, Kitab al-

Tafsir). 

Kesabaran Dalam Kesusahan 

Rasulullah s.a.w. biasa bersabda, “Untuk seorang Muslim, 

kehidupan ini sarat dengan kebaikan dan tidak ada orang lain kecuali 

orang beriman merasakan dirinya dalam keadaan ini sebab jika ia 

berjumpa dengan kesenangan, ia bersyukur kepada Allah  dan menjadi 

orang yang menerima lebih banyak rahmat dan berkat dari Dia. 

Sebaliknya, jika ia menderita kesusahan atau kemalangan, dipikulnya 

penderitaan dengan sabar dan dengan demikian lagi-lagi ia menjadi 

orang yang meraih rahmat dan berkat Ilahi.” 

saat  wafat beliau telah mendekat dan beliau dalam puncak 

penderitaan merintih-rintih, anak beliau, Fatimah, menjerit sebab  tidak 

tahan melihat ayahandanya dalam keadaan demikian. Beliau bersabda, 

“Bersabarlah, ayahmu tidak akan menderita lagi sesudah hari ini,” 

artinya, segala kesusahan hanya terbatas sampai di dunia ini dan saat 

beliau bebas dari kehidupan ini dan sampai di hadirat Al-Khalik, beliau 

tidak akan lagi menderita. Pada waktu wabah tengah berkecamuk, beliau 

tidak membenarkan orang-orang meninggalkan kota yang sedang 

dijangkiti, lalu masuk ke kota lain, sebab hal demikian akan memperluas 

daerah penularan wabah. Beliau biasa mengatakan bahwa pada waktu 

wabah berkecamuk, jika seseorang tinggal tetap di dalam kotanya sendiri 

dan mencegah penularan ke daerah yang belum terjangkit, lalu ia mati 

sebab  wabah itu, ia akan dimasukkan ke dalam golongan syuhada 

(Bukhari, Kitab-al Tibb). 

Bekerja Sama 

Beliau senantiasa mengajarkan bahwa salah satu ciri khas Islam 

yang terbaik ialah, orang hendaknya jangan mencampuri urusan yang 

tidak ada kaitan dengan dirinya dan jangan mengecam atau mencela 

orang lain dan mencampuri perkara-perkara yang tidak bertalian dengan 

dirinya. Itulah dasar yang jika dipakai dan dilaksanakan akan menjamin 

keamanan dan ketertiban di dunia. Sebagian besar kesukaran yang kita 

alami yaitu  bersumber pada kecenderungan mayoritas masyarakat 

menuruti hati untuk ikut campur yang tidak pada tempatnya, dan enggan 

memberikan kerja sama saat diperlukan dalam upaya mengurangi 

penderitaan orang-orang yang ada dalam kesusahan. Rasulullah s.a.w. 

sangat menekankan pada kerja sama. Beliau menjadikan kaidah bahwa 

jika seseorang dituntut membayar sejumlah uang sebagai hukuman dan 

ia tidak mampu membayar sepenuhnya, maka tetangga-tetangga atau 

kawan sebangsanya atau kawan sesukunya hendaknya mengumpulkan 

uang dengan menarik iuran. Orang-orang terkadang datang dan 

bermukim dekat Rasulullah s.a.w. dan menyisihkan waktu untuk 

mengkhidmati Islam dengan bermacam-macam cara. Beliau selalu 

menasihati sanak-saudara mereka guna memikul kewajiban memenuhi 

kebuAllah  mereka yang paling sederhana. Diriwayatkan oleh Anas 

bahwa sekali peristiwa dua orang bersaudara menerima Islam dan 

seorang diantaranya tinggal terus bersama Rasulullah s.a.w., sedang yang 

seorang lagi meneruskan usaha seperti sedia kala. Lama sesudah itu, 

saudara yang disebut terakhir itu mengadu kepada Rasulullah s.a.w. 

bahwa saudaranya telah mempergunakan waktunya bermalas-malasan. 

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Allah  telah mencukupi kebuAllah mu juga 

berkat adanya saudaramu, dan sebab  itu menjadi kewajibanmu 

mencukupi kebuAllah nya dan membiarkan dia bebas mengkhidmati 

agama” (Tirmidhi). 

Dalam perjalanan, saat  rombongan Rasulullah s.a.w. sampai 

ke tempat berkemah, para Sahabat segera sibuk dengan tugas masing-

masing mendirikan kemah untuk bermalam: Rasulullah s.a.w. bersabda, 

“Kamu tidak menugasiku suatu tugas. Aku akan pergi mengumpulkan 

bahan bakar untuk masak.” Para sahabat berkeberatan dan berkata, “Ya 

Rasulullah! Mengapa anda harus repot-repot, jika kami semua siap 

mengerjakan segala sesuatu yang perlu?” Beliau bersabda, “Tidak. 

Menjadi kewajibanku mengerjakan bagianku apa saja yang harus 

dikerjakan,” dan beliau mengumpulkan kayu bakar dari hutan untuk 

memasak makanan (Zurqani, Jilid 4, hlm. 306). 

Kejujuran 

Seperti telah diriwayatkan, Rasulullah s.a.w. sendiri begitu tegar 

dalam soal kejujuran sehingga beliau terkenal di antara kaum beliau 

sebagai "Orang Tepercaya" dan "Orang Benar". Begitu pula beliau 

sangat berhasrat agar orang-orang Muslim menjunjung tinggi nilai 

kebenaran seperti beliau sendiri menjunjungnya. Beliau memandang 

kebenaran sebagai dasar segala keluhuran budi, kebaikan, dan perilaku 

yang benar. Beliau mengajarkan bahwa seseorang yang Muttaqi yaitu  

orang yang teguh memegang kebenaran sehingga ia terhitung bertakwa 

oleh Allah . 

Pada suatu saat  seorang tawanan yang sudah banyak berdosa 

membunuh orang-orang Muslim dibawa ke hadapan Rasulullah s.a.w.. 

Umar yang juga hadir percaya bahwa orang ini pantas sekali dihukum 

mati dan memandang berkali-kali kepada Rasulullah s.a.w. 

mengharapkan bahwa Rasulullah s.a.w. pada suatu saat akan 

mengisyaratkan supaya orang itu dihukum mati. sesudah  Rasulullah 

s.a.w. menyuruh pergi orang itu, Umar menyatakan bahwa orang itu 

harus dihukum mati, sebab  hanya itulah hukuman yang setimpal. 

Rasulullah s.a.w. menjawab, “Jika demikian mengapa ia tidak 

kaubunuh?” Umar menjawab, "Ya Rasulullah! Jika anda memberi 

isyarat, sekalipun hanya dengan kedipan mata, tentu aku akan 

melaksanakannya." Atas itu Rasulullah s.a.w. menambahkan, "Seorang 

nabi tidak bertindak dengan mendua perasaan. Betapa aku dapat 

memakai mataku untuk memberi isyarat menjatuhkan hukuman mati 

kepada orang itu, sementara lidahku sedang dipakai berbicara dengan 

ramah kepadanya (Hisyam, Jilid 2, hlm. 217). Pada suatu waktu 

seseorang menghadap Rasulullah s.a.w. dan berkata, "Ya Rasulullah, aku 

memiliki  tiga kejahatan: dusta, kecanduan minum minuman keras, dan 

zina. Aku telah berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari kejahatan-

kejahatan itu, namun tidak berhasil. Dapatkah anda mengatakan apa yang 

harus kuperbuat?" Rasulullah s.a.w. menjawab, "Jika kamu mau berjanji 

sungguh-sungguh kepadaku untuk melepaskan satu dari antaranya, aku 

jamin kamu akan terlepas dari kedua kejahatan lainnya." Orang itu 

berjanji dan meminta kepada Rasulullah s.a.w. untuk diberi tahu, dosa 

yang mana dari ketiga macam dosa itu yang harus ditinggalkan. 

Rasulullah s.a.w. bersabda, "Tinggalkanlah dusta." Beberapa waktu 

kemudian orang itu kembali dan mengatakan kepada Rasulullah s.a.w. 

bahwa sesudah mengikuti nasihat beliau, ia sekarang bebas dari ketiga-

tiga dosa itu. Rasulullah s.a.w. bertanya kepadanya bagaimana 

perjuangannya mengatasi kelemahannya, dan orang itu pun berkata, 

"Pada suatu hari aku ingin minum arak dan hampir-hampir kulakukan, 

saat  itu aku teringat akan janjiku kepada anda dan menyadari bahwa 

jika salah seorang dari sahabat-sahabatku menanyakan apakah aku telah 

minum arak, aku akan terpaksa mengakuinya, sebab  aku tidak mungkin 

lagi mengucapkan sesuatu yang dusta. Hal itu berarti bahwa aku akan 

mendapat nama buruk di tengah sahabat-sahabatku dan mereka akan 

menjauhiku di kemudian hari. Dengan pikiran demikian kubujuk diriku 

untuk meninggalkan minum sampai kesempatan lain, dan aku dapat 

menahan keinginan pada waktu itu. Demikian pula pada waktu aku 

cenderung berbuat zina, aku berdebat dengan diriku sendiri bahwa 

mengikuti hati untuk melakukan kejahatan akan menjadikanku 

kehilangan penghargaan sahabat-sahabatku sebab  aku tidak mungkin 

berkata dusta jika ditanya oleh mereka, dan dengan demikian 

membatalkan janjiku kepada anda atau aku harus mengakui dosaku. 

Demikian pula aku terus berjuang antara tekad menyempurnakan janjiku 

kepada anda dan keinginan nafsuku minum minuman keras dan berzina. 

saat  beberapa waktu telah lewat, aku mulai terlepas dari mengikuti 

hawa nafsu dalam dosa itu dan bertekad untuk menjauhkan diri dari 

berdusta, itu sekarang telah membebaskanku dari kedua kejahatan 

lainnya juga." 

Ingin Tahu Tidak Pada Tempatnya 

Rasulullah s.a.w. senantiasa memperingatkan orang-orang 

terhadap ingin tahu yang tidak pada tempatnya dan supaya memiliki  

sangka baik terhadap orang lain. Abu Hurairah meriwayatkan: 

"Rasulullah s.a.w. bersabda, “Selamatkan dirimu dari buruk-sangka 

 262 

terhadap orang-orang lain, sebab hal itu yaitu  kepalsuan terbesar dan 

janganlah ingin tahu yang tidak pada tempatnya atau memberi nama-

nama cemoohan terhadap satu sama lain untuk menghina atau iri hati 

terhadap satu sama lain, dan jangan memelihara perasaan-perasaan buruk 

terhadap orang lain, hendaknya tiap-tiap orang di antara kamu 

memandang diri sebagai hamba Allah  dan memperlakukan orang-orang 

lain sebagai saudara sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah”, dan 

pula, ingatlah bahwa seorang Muslim itu saudara bagi tiap orang Muslim. 

Tidak boleh seorang Muslim melanggar hak orang Muslim lainnya atau 

menjauhi orang lain dalam masa-masa kesusahan atau menghina orang 

lain hanya sebab  tak punya barang atau ilmu atau hal apa saja yang 

lainnya. Kesucian yaitu  bersumber pada hati dan cukup mengotori hati 

seseorang kalau memandang hina saudaranya. Tiap-tiap Muslim harus 

memandang jiwa, kehormatan dan milik orang Muslim lainnya sebagai 

sesuatu yang suci dan tak boleh diganggu. Allah  tidak memandang 

jasmanimu atau wajahmu atau perbuatan-perbuatan lahirmu, namun 

memandang dan melihat ke dalam hati-mu" (Muslim, Kitab al-Birr wal-

Sila). 

Jual-Beli Secara Terus Terang 

Beliau sangat mendambakan orang-orang Muslim agar jangan 

mengikuti hati dalam melakukan segala bentuk kelicikan dalam transaksi 

atau jual-beli. Pada suatu waktu saat  beliau sedang lewat di pasar, 

beliau melihat setimbun gandum yang sedang dilelang. Beliau 

memasukkan tangan beliau ke dalam timbunan itu dan didapati bahwa 

walaupun lapisan luarnya kering, lapisan dalamnya basah. Beliau 

menanyakan kepada pemiliknya akan sebab-sebabnya. Orang itu 

menerangkan bahwa hujan yang turun tiba-tiba telah menjadikannya 

basah. Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa jika demikian ia hendaknya 

membiarkan lapisan yang basah gandum itu tetap ada di bagian luar 

sehingga para calon pembeli dapat menilai keadaan yang sebenarnya. 

Beliau bersabda, "Orang yang berdagang secara tidak jujur terhadap 

orang lain tidak akan menjadi anggota masyarakat yang berguna" 

(Muslim). Mengenai perdagangan beliau menuntut supaya sama sekali 

bebas dari tiap-tiap kecurigaan terhadap perbuatan serong. Beliau 

memperingatkan kepada tiap-tiap pembeli agar senantiasa memeriksa 

barang-barang yang akan mereka beli dan melarang siapa pun 

mengadakan rebut-tawar, padahal rebut-tawar dengan pihak lain masih 

belum selesai. Beliau melarang juga menimbun barang dagangan untuk 

menaikkan harga pasar dan menuntut agar pasar senantiasa mendapat 

persediaan secara teratur. 

Pesimis 

Beliau yaitu  musuh pesimisme atau keputus-asaan. Beliau 

senantiasa bersabda bahwa barangsiapa menyebarkan rasa pesimis 

dikalangan anggota-anggota masyarakat, ia bertanggung jawab atas 

kemunduran bangsa; sebab, pikiran-pikiran pesimis memiliki  

kecenderungan mengecutkan hati dan menghentikan laju kemajuan 

(Muslim, Bagian II, Jilid 2). Beliau memberi peringatan kepada kaum 

beliau terhadap kesombongan dan kecongkakan pada satu pihak dan 

terhadap pesimis di pihak lain. Beliau memperingatkan mereka supaya 

menempuh jalan tengah antara kedua ekstrim itu. Orang-orang Muslim 

harus bekerja rajin dan tekun dengan kepercayaan bahwa Allah  akan 

memberkati daya upaya mereka dengan hasil yang sebaik-baiknya. Tiap-

tiap orang harus berikhtiar untuk maju dan harus berusaha memajukan 

kesejahteraan dan meningkatkan kemajuan masyarakat, namun tiap-tiap 

orang hendaknya bebas dari perasaan sombong atau tiap-tiap 

kecenderungan kepada kecongkakan. 

Kekejaman Terhadap Hewan-Hewan 

Beliau memperingatkan kaum beliau terhadap kekejaman 

terhadap hewan dan memperingatkan agar memperlakukan hewan-

hewan dengan baik. Beliau seringkali menceriterakan contoh mengenai 

seorang wanita Yahudi yang dihukum oleh Allah Ta’ala sebab  

membiarkan kucingnya mati kelaparan. Juga beliau sering 

menceriterakan ihwal seorang wanita yang melihat anjing kehausan 

dekat sebuah perigi yang dalam. Ia menanggalkan sepatunya dan 

dipakainya untuk mengambil air. Air itu diberikan kepada anjing yang 

kehausan itu. Amal saleh itu menarik pengampunan Ilahi atas semua 

dosa yang dilakukannya di masa lampau. 

Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan: "Tengah kami berada dalam 

perjalanan bersama Rasulullah s.a.w., kami melihat dua ekor anak 

merpati dalam sarang dan kami menangkap dua ekor burung itu. Kedua 

burung itu masih kecil. saat  induknya datang kesarangnya dan tidak 

didapatinya anak-anaknya, ia terbang kian-kemari dengan sangat gelisah. 

saat  Rasulullah s.a.w. datang ke tempat itu, beliau melihat merpati itu 

dan bersabda, "Jika salah seorang dari antara kamu telah menangkap 

anak-anaknya, ia harus segera melepaskannya biar si induk jadi tenang" 

(Abu Daud). Abdullah bin Mas'ud menceriterakan juga bahwa sekali 

peristiwa mereka melihat sebuah sarang semut dan sesudah  

mengumpulkan daun-daun kering di atasnya, daun-daun itu dibakarnya. 

Atas perbuatan itu mereka disesali oleh Rasulullah s.a.w.. Sekali 

peristiwa Rasulullah s.a.w. melihat seekor keledai yang sedang dicap 

bakar mukanya. Beliau menanyakan bahwa orang-orang Romawi 

berbuat serupa itu untuk menandai dan mengenal binatang-binatang 

ternak mereka. Rasulullah bersabda bahwa muka merupakan bagian 

badan yang sangat peka, maka binatang itu tidak boleh diberi cap bakar 

di mukanya dan jika pun hal itu perlu dilakukan, membakarnya harus 

pada pahanya saja (Abu Daud dan Tirmidhi). Sejak itu kaum Muslim 

senantiasa menandai binatang-binatangnya pada pahanya dan dengan 

meniru perbuatan Muslim itu, orang-orang Eropa juga berbuat demikian. 

Toleransi Dalam Urusan Agama 

Rasulullah s.a.w. bukan saja menekankan pada kebaikan 

toleransi dalam urusan agama, namun memberikan contoh-contoh yang 

sangat tinggi dalam urusan ini. Suatu perutusan suku Kristen dari Najran 

menghadap kepada beliau di Medinah untuk bertukar pikiran mengenai 

masalah-masalah keagamaan. Di dalam rombongan itu ada  tokoh-

tokoh gereja. Percakapan diadakan di dalam mesjid dan berjalan selama 

beberapa jam. Pada suatu saat perutusan itu minta izin meninggalkan 

mesjid dan mengadakan upacara kebaktian di suatu tempat yang tenang. 

Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa mereka tidak perlu meninggalkan 

mesjid yang memang merupakan tempat khusus untuk kebaktian kepada 

Allah  dan mereka dapat melakukan ibadah mereka di situ (Zurqani). 

Keberanian 

Beberapa contoh mengenai keberanian dan kewiraan beliau telah 

diceriterakan dalam bagian riwayat hidup beliau. Cukuplah kiranya di 

sini mengemukakan sebuah contoh. Pada suatu saat , di Medinah 

tersebar luas desas-desus bahwa orang-orang Romawi sedang 

menyiapkan kesatuan lasykar yang besar untuk mengadakan 

pendudukan. Pada masa itu orang-orang Muslim selalu berjaga-jaga 

malam. Pada suatu malam suara gaduh datang dari arah padang pasir. 

Orang-orang Muslim berlari-lari keluar rumah mereka dan beberapa dari 

antara mereka berkumpul di mesjid dan menunggu kedatangan 

Rasulullah s.a.w. untuk mendapat perintah menghadapi segala 

kemungkinan. Segera mereka melihat Rasulullah s.a.w. datang berkuda, 

kembali dari arah suara-suara itu. Kemudian mereka mengetahui bahwa 

pada saat awal sekali suara tanda bahaya terdengar, Rasulullah s.a.w. 

telah menaiki kuda dan menuju arah datangnya suara itu untuk 

menyelidiki apa ada alasannya atas kekhawatiran itu. Beliau tidak 

menunggu orang-orang berkumpul untuk dapat berangkat bersama-sama. 

saat  beliau kembali, beliau menjelaskan kepada para Sahabat bahwa 

tidak ada alasan untuk khawatir dan bahwa mereka dapat pulang ke 

rumah masing-masing dan tidur lagi (Bukhari, Bab Syuja'ah fil Harb). 

 

Tenggang Rasa Terhadap Orang Yang Kurang 

Sopan 

Beliau sangat lunak terhadap mereka yang sebab  tidak punya 

ajaran sopan-santun maka tidak mengetahui bagaimana seyogyanya 

membawakan diri. Pada sekali peristiwa, seorang Bedui yang baru saja 

masuk Islam dan sedang duduk-duduk bersama Rasulullah s.a.w. di 

mesjid bangkit, berjalan beberapa langkah, berjongkok di sudut mesjid 

lalu membuang air seni. Beberapa Sahabat bangkit hendak melarangnya. 

Rasulullah s.a.w. menahan mereka dan menjelaskan bahwa kalau itu 

diganggu maka dapat menjadikan orang itu malu dan boleh jadi akan 

memudaratkannya. Beliau mengatakan kepada para Sahabat untuk 

membiarkannya dan membersihkan tempat itu kemudian. 

Menyempurnakan Perjanjian 

Rasulullah s.a.w. sangat menaruh penting ihwal asas 

menyempurnakan perjanjian. Sekali peristiwa seorang duta datang 

kepada beliau dengan tugas istimewa dan, sesudah ia tinggal beberapa 

hari bersama beliau, ia yakin akan kebenaran Islam dan mohon 

diperbolehkan bai’at, masuk Islam. Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa 

perbuatannya tidak tepat sebab  ia datang sebagai duta dan telah menjadi 

kewajibannya untuk pulang ke pusat pemerintahannya tanpa 

mengadakan hubungan baru. Jika sesudah pulang ia masih yakin akan 

kebenaran Islam, ia dapat kembali lagi sebagai orang bebas dan masuk 

Islam (Abu Daud, bab tentang Wafa bil-Ahd). 

Penghargaan Terhadap Abdi-Abdi Peri 

Kemanusiaan 

Beliau sangat menghargai mereka yang membaktikan waktunya 

dan harta bendanya untuk mengkhidmati umat manusia. Suku Arab, 

Banu Tai', mulai mengadakan permusuhan terhadap Rasulullah s.a.w. 

dan kekuatan mereka dikalahkan, dan beberapa orang ditawan dalam 

sebuah peperangan. Seseorang dari tawanan itu yaitu  anak perempuan 

Hatim Ta'i, seorang yang kemurahan dan kebaikannya telah menjadi 

buah bibir bangsa Arab. saat  anak Hatim menerangkan kepada 

Rasulullah s.a.w. mengenai silsilah keluarganya, beliau memperlakukan 

wanita itu dengan penghormatan yang besar dan sebagai hasil dari 

perantaraannya, beliau membatalkan semua hukuman yang tadinya akan 

dijatuhkan atas wanita itu sebagai tindak balasan terhadap serangan 

mereka 

Watak Rasulullah s.a.w. itu begitu beraneka segi sehingga tidak 

mungkin menceriterakan secara terinci dalam beberapa halaman. Oleh 

sebab  buku ini tidak bertujuan semata-mata membahas peri watak 

beliau, dan mengingat akan keterbatasan ruang dalam buku ini, kami 

tidak memiliki  pilihan lam kecuali membatasi uraian ini hanya sampai 

di sini. 

-------------------------------