Tampilkan postingan dengan label riwayat hidup nabi muhammad 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label riwayat hidup nabi muhammad 3. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

riwayat hidup nabi muhammad 3



disebabkan pihak-pihak yang bernaung dalam perjanjian ini sepakat 

untuk menghadapi musuh bersama; pihak-pihak itu akan tetap bersatu 

baik dalam keadaan aman maupun dalam keadaan perang. Tidak ada 

pihak yang akan mengadakan perdamaian secara tersendiri. namun tidak 

ada suatu pihak yang bertindak melampaui batas dapat dibawahkan 

kepada ancaman hukuman. Sesungguh-sungguhnya Allah  itu pelindung 

orang-orang yang benar dan orang-orang mukmin, dan Muhammad 

yaitu  Rasul-Nya (Hisyam). 

Demikianlah perjanjian tersebut secara singkat disusun dari 

carik-carik naskah yang diperoleh dari catatan sejarah. Perjanjian itu 

menekankan, tanpa ragu-ragu lagi, bahwa dalam pemecahan 

perselisihan-perselisihan dan perbelahan-perbelahan di antara golongan-

golongan di Medinah, dasar yang menjadi pedoman yaitu  kejujuran, 

kebenaran, dan keadilan. Mereka yang berbuat melampaui batas norma-

norma dipandang bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran itu. 

Perjanjian itu menjelaskan bahwa Rasulullah s.a.w. telah bertekad bulat 

untuk bertindak dengan hormat dan kasih sayang terhadap warga kota 

Medinah lainnya dan untuk memandang serta memperlakukan mereka 

sebagai saudara. Jika perselisihan dan pertentangan kemudian timbul, 

maka tanggung jawabnya terletak pada kaum Yahudi. 

Seperti telah kami katakan, dua atau tiga bulan telah berlalu 

sebelum kaum Mekkah dapat memperbaharui permusuhan berencana 

mereka terhadap Islam. Suatu peristiwa dialami oleh Sa’d bin Mu'adh, 

pemimpin suku Aus dan Medinah yang datang ke Mekkah untuk thawaf 

di Ka'bah. Abu Jahal melihatnya melakukan thawaf dan berkata, 

"Sesudah memberi perlindungan kepada Muhammad, si pemberontak 

itu, apakah kamu sangka bahwa kamu dapat datang ke Mekkah dan 

mengadakan thawaf dengan damai? Apa kalian sangka dapat melindungi 

dan menyelamatkannya? Aku bersumpah dengan nama Allah , jika tidak 

sebab  Abu Sufyan, kamu tidak akan pulang dengan selamat kepada 

keluargamu". 

Sa’d bin Mu'adh menjawab, "Percayalah, jika kalian, kaum 

Mekkah, melarang kami mengunjungi dan berthawaf di Ka'bah, kalian 

tidak akan aman dalam perjalanan ke Siria". Kira-kira pada saat itu 

Walid bin Mughira, salah seorang pemimpin Mekkah, menderita sakit 

keras. Para pemimpin Mekkah lainnya ada sama-sama duduk di situ. 

Walid tak dapat menahan diri dan mulai menangis. Para pemuka Mekkah 

merasa heran dan bertanya, mengapa ia menangis. "Apakah saudara-

saudara sangka aku takut mati? Tidak, bukan mati yang aku khawatirkan. 

Aku sangat khawatir jangan-jangan agama Muhammad akan tersebar dan 

Mekkah juga akan dikuasainya." Abu Sufyan menegaskan kepada Walid 

bahwa selama mereka hidup, mereka akan mencegah tersebarnya Agama 

itu dengan jiwa-raga mereka (Khamis, jilid 1).  

 

KAUM MEKKAH MENGADAKAN PERSIAPAN 

MENYERANG MEDINAH 

Dan penuturan kejadian-kejadian itu jelas sekali bahwa 

mengendurnya permusuhan kaum Mekkah hanya untuk sementara. Para 

pemimpinnya sedang mengadakan persiapan untuk melancarkan 

serangan baru terhadap Islam. Para pemuka yang akan melepaskan 

nyawa meminta kepada yang masih hidup untuk bersumpah bahwa 

mereka akan meneruskan perlawanan terhadap Rasulullah s.a.w. dan 

para pengikut beliau. Kaum Medinah diajak untuk mengangkat senjata 

melawan kaum Muslimin dan diberi peringatan bahwa jika mereka 

menolak berbuat demikian, kaum Mekkah dan suku-suku sekitarnya 

akan menyerang Medinah, membunuh semua pria dan semua wanita 

mereka jadikan budak belian. Jika Rasulullah s.a.w. mengabaikan dan 

tidak berbuat apa-apa untuk mempertahankan Medinah, beliau akan 

memikul tanggung jawab yang sangat mengerikan. Oleh sebab  itu 

Rasulullah s.a.w. menerapkan suatu sistem pengintaian. Beliau 

mengirimkan regu-regu ke tempat-tempat di sekitar Mekkah untuk 

memberi laporan mengenai tanda-tanda kegiatan persiapan perang. 

Kadang-kadang timbul berbagai peristiwa, bentrokan dan perkelahian 

antara regu-regu itu dengan orang-orang Mekkah. Penulis-penulis Barat 

mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa itu diprakarsai oleh Rasulullah 

s.a.w. dan bahwa sebab  itu dalam peperangan kemudian beliau menjadi 

agressor. namun , kita melihat di hadapan kita, tiga belas tahun lamanya 

berlangsung aniaya kaum Mekkah, kecurangan-kecurangan mereka 

mengadu-domba kaum Medinah dengan kaum Muslimin dan serangan 

yang diancamkan terhadap Medinah sendiri. Tak ada seorang pun yang 

ingat akan hal itu semua dapat menuduh Rasulullah s.a.w. bertanggung 

jawab memprakarsai peristiwa-peristiwa itu. Jika beliau mengirimkan 

regu-regu penyelidik, maka hal itu hanya dalam rangka bela diri belaka. 

Tiga belas tahun mengalami kezaliman cukup menjadi alasan 

mempersiapkan langkah bela diri. Jika peperangan timbul akibat itu 

antara mereka dan musuh mereka dari Mekkah, maka tanggung jawab 

tidak terletak pada kaum Muslimin. Alasan-alasan yang tidak berarti 

seperti dipakai oleh bangsa-bangsa Kristen dewasa ini untuk menyatakan 

perang terhadap satu sama yang lain telah kita kenal baik. Jika setengah 

dari perlakuan kaum Mekkah terhadap kaum Muslimin kini dilancarkan 

terhadap suatu bangsa Eropa, mereka akan merasa beralasan untuk 

memulai peperangan. Jika bangsa suatu negeri bersiasat melakukan 

pembantaian besar-besaran terhadap bangsa lain, jika suatu kaum 

memaksa kaum lain meninggalkan rumah mereka, adakah sebab  itu si 

teraniaya tak punya hak mengawali peperangan? Sesudah kaum 

Muslimin berhijrah ke Medinah, maka alasan-alasan sudah cukup bagi 

mereka untuk menyatakan perang kepada kaum Mekkah. namun 

Rasulullah s.a.w. tidak menyatakan perang. Beliau tetap memperlihatkan 

sikap toleransi dan membatasi kegiatan bela diri sejauh mengirim 

penyelidik-penyelidik. namun kaum Mekkah terus-menerus mengganggu 

dan menyerang kaum Muslimin. Mereka membakar hati kaum Medinah 

supaya bersikap tidak bersahabat terhadap orang Islam, dan mereka 

merintangi hak berziarah mereka itu. Mereka ubah jalan kafilah-kafilah 

mereka dan mulai melalui daerah-daerah pemukiman suku di sekitar 

Medinah untuk membangkitkan suku-suku itu melawan kaum Muslimin. 

Keamanan di Medinah terancam; oleh sebab itu, kewajiban menjadi jelas 

bagi kaum Muslimin untuk menerima tantangan perang yang dilancarkan 

oleh kaum Mekkah terus-menerus selama empat belas tahun. Dalam 

keadaan demikian tidak ada seorang pun dapat menggugat hak kaum 

Muslimin menerima tantangan itu. 

Sementara sibuk mengadakan pengintaian, Rasulullah s.a.w. 

tidak mengabaikan kebuAllah -kebuAllah  jasmani maupun rohani para 

pengikut beliau di Medinah. Bagian terbesar kaum Medinah telah 

menjadi Muslim, dengan pernyataan lisan dan pula dengan keimanan 

dalam hati. Beberapa yang masuk hanya terbatas pada pernyataan lahir. 

Oleh sebab  itu Rasulullah s.a.w. mulai menegakkan pemerintahan 

bercorak Islam di tengah-tengah para pengikut beliau yang masih kecil 

bilangannya itu. Di masa-masa awal, kaum Arab menyelesaikan 

sengketa mereka dengan pedang dan dengan kekerasan perseorangan. 

Rasulullah s.a.w. mengadakan peraturan-peraturan hukum. Hakim-hakim 

ditunjuk mengurus tuntutan-tuntutan pribadi atau tuntutan pihak yang 

satu terhadap yang lain. Kecuali jika seorang hakim mengatakan 

mengenai sesuatu tuntutan itu adil dan benar, tuntutan itu tidak diterima. 

Dahulu kala menuntut ilmu dipandang dengan pandangan hina. 

Rasulullah s.a.w. mengambil langkah-langkah untuk menggalakkan 

kepandaian membaca dan menulis serta menyulut kecintaan akan ilmu 

pengetahuan. Mereka yang dapat membaca dan menulis diminta 

mengajarkan kecakapan itu kepada orang lain. Tindak ketidak-adilan dan 

kekejaman diakhiri. Hak-hak wanita ditegakkan. Si kaya diwajibkan 

menjamin kebuAllah  si miskin dan diharuskan meningkatkan 

kesejahteraan masyarakat Medinah. Kaum buruh dilindungi dari 

pemerasan. Bagi ahli waris yang lemah lagi tidak mampu, peraturan-

peraturan diadakan untuk penunjukan wali. Transaksi pinjam-meminjam 

mulai ditetapkan supaya harus ditulis. Pentingnya memenuhi segala 

perjanjian mulai disadarkan. Tindakan-tindakan yang melampaui batas 

norma-norma terhadap budak dilenyapkan. Ilmu kesehatan dan 

kebersihan umum mulai mendapat perhatian. Sensus penduduk 

dilakukan. Lorong-lorong dan jalan-jalan raya diperintahkan supaya 

diperlebar. Dan langkah-langkah diambil untuk menjaga kebersihan. 

Pendek kata, hukum-hukum ditetapkan untuk meningkatkan kehidupan 

berkeluarga dan bermasyarakat yang ideal. Bangsa Arab yang tadinya 

biadab, untuk pertama kali dalam sejarahnya diperkenalkan kepada tata 

nilai kesopanan dan kehidupan yang beradab.  

Perang Badar 

Sementara Rasulullah s.a.w. merencanakan untuk 

memberlakukan hukum praktis yang berguna bukan saja untuk kaum 

Arab di generasi beliau sendiri, namun untuk seluruh umat manusia 

seterusnya di zaman-zaman yang akan datang, kaum kufar Mekkah 

mengadakan rencana untuk berperang. Rasulullah s.a.w. merencanakan 

hukum yang akan membawa kaum beliau dan semua kaum lainnya 

kepada keamanan, saling menghormati, dan kemajuan; namun, kaum 

kufar Mekkah yang tidak bersahabat dengan beliau merencanakan 

kebinasaan tertib hukum. Rencana-rencana kaum kufar Mekkah itu pada 

akhirnya membuahkan perang Badar. Perang terjadi delapan belas bulan 

sesudah Hijrah. Sebuah kafilah dagang, di bawah pimpinan Abu Sufyan, 

tengah beradu dalam perjalanan pulang dari Siria. Dengan pura-pura 

melindungi kafilah tersebut, kaum Mekkah membentuk suatu lasykar 

besar dan ditetapkan untuk bergerak ke Medinah. Rasulullah s.a.w. dapat 

mencium persiapan-persiapan itu. Beliau pun menerima wahyu dan 

Allah  yang mengatakan bahwa saat telah datang untuk membalas. 

Beliau bertolak dari Medinah dengan sejumlah pengikut. Tak seorang 

pun pada saat itu tahu, apakah sepasukan Muslimin itu akan berhadapan 

dengan kafilah dari Siria ataukah dengan lasykar dari Mekkah. Pasukan 

itu berjumlah kira-kira tiga ratus prajurit. Suatu kafilah dagang pada 

zaman itu tidak hanya terdiri atas unta-unta bermuatan barang-barang 

dagangan. Di dalamnya ada  juga orang-orang bersenjata yang 

menjaga dan mengawal kafilah itu dalam perjalanan. Sejak timbul 

ketegangan antara kaum Mekkah dan kaum Muslimin di Medinah, para 

pemimpin Mekkah mulai mempersenjatai pengawalnya dengan lebih 

istimewa. 

Sejarah mencatat kenyataan adanya dua kafilah lain yang 

melalui jalan itu tak lama sebelum itu. Dalam salah satu kafilah itu ada 

dua ratus orang bersenjata sebagai penjaga dan pengawal, dan dalam 

kafilah yang satu lagi ada tiga ratus orang. Sangat keliru untuk 

beranggapan seperti penulis-penulis Kristen bahwa Rasulullah s.a.w. 

membawa tiga ratus pengikut beliau dan bertolak untuk menyerang suatu 

kafilah dagang yang tak berkawal. Tuduhan serupa itu jahat dan tak 

beralasan. Kafilah yang pada saat itu datang dari Siria yaitu  kafilah 

besar dan, mengingat ukurannya dan pengawalan bersenjatanya untuk 

kafilah-kafilah lain, maka dapat diterima oleh akal bahwa kira-kira 

empat sampai lima ratus penjaga bersenjata telah dipergunakan untuk 

pengawalan itu. Untuk mengatakan bahwa pasukan Muslim itu tiga ratus 

prajurit. yang sangat sederhana persenjataannya, dikerahkan oleh 

Rasulullah s.a.w. untuk menyerang suatu kafilah yang begitu kuat 

pengawalannya dengan tujuan hendak merampok yaitu  sangat tidak 

adil. Hanya purbasangka dan berburuk maksud terhadap Islam belaka 

dapat melahirkan pikiran semacam itu. Jika pasukan Muslim keluar 

untuk menghadapi kafilah ini, maka petualangan mereka dapat 

dilukiskan sebagai petualangan perang, walaupun perang yang bersifat 

bela diri, sebab pasukan Muslim dari Medinah itu pasukan kecil dan 

sangat buruk persenjataannya, dan kafilah Mekkah itu besar dan 

persenjataannya kuat, dan lagi pula lama mereka memendam rasa 

permusuhan terhadap kaum Muslimin di Medinah. 

Menilik hakikatnya, keadaan-keadaan saat  pasukan Muslim 

kecil yang diberangkatkan dari Medinah itu jauh lebih gawat dan 

mengkhawatirkan. Seperti telah kami kemukakan, mereka sendiri tidak 

tahu apakah kafilah dari Siria ataukah lasykar dari Mekkah yang akan 

mereka hadapi. Tidak adanya kepastian mengenai tujuan keberangkatan 

kaum Muslimin disinggung juga dalam Al-Qur’an. namun kaum Muslim 

telah siap untuk menghadapi kedua-dua kemungkinan. Tidak adanya 

kepastian untuk apa mereka berangkat dari Medinah itu membuktikan 

kekuatan iman dan ketakwaan mereka yang luar biasa. Baru sesudah 

mereka berangkat agak jauh dari Medinah, Rasulullah s.a.w. memberi 

penjelasan bahwa mereka akan menghadapi lasykar Mekkah yang besar 

dan bukan kafilah dari Siria yang kecil. 

Dugaan-dugaan tentang besarnya kekuatan lasykar Mekkah telah 

sampai kepada kaum Muslimin. Perkiraan terkecil menyebut jumlah 

seribu prajurit, semua prajurit itu berpengalaman dalam olah senjata di 

medan peperangan. Jumlah Sahabat yang menyertai Rasulullah s.a.w. 

hanya ada tiga ratus tiga belas, dan banyak di antara mereka tidak terlatih 

dan tidak berpengalaman, dan sebagian besar sangat buruk persenjataan 

mereka. Kebanyakan mereka berjalan kaki, atau berkendaraan unta. 

Dalam seluruh pasukan hanya dua ekor kuda. Pasukan yang sangat buruk 

dan lemah perlengkapannya serta tidak punya pengalaman itu harus 

menghadapi kekuatan musuh yang tiga kali lipat jumlahnya terutama 

terdiri atas prajurit-prajurit berpengalaman. yaitu  jelas bahwa gerakan 

pasukan itu suatu gerakan paling berbahaya yang pernah terjadi dalam 

catatan sejarah. Rasulullah s.a.w. cukup bijaksana untuk memperoleh 

keyakinan bahwa tidak ada seorang pun yang ikut serta di dalam gerakan 

pasukan itu tanpa berbekal pengetahuan yang cukup dan tanpa kemauan 

dari hatinya sendiri di dalam gerakan pasukan itu. Beliau menjelaskan 

bahwa bukan kafilah yang akan dihadapi, melainkan lasykar dari 

Mekkah. Beliau mengadakan musyawarah. Seorang demi seorang, para 

Muhajirin berdiri dan meyakinkan Rasulullah tentang kesetiaan dan 

semangat serta tekad bulat mereka untuk bertempur menghadapi musuh 

mereka dari Mekkah yang telah datang untuk menyerang kaum Muslimin 

di Medinah, di rumah mereka sendiri. Tiap-tiap kali Rasulullah s.a.w. 

mendengar seorang Muhajir mengatakan keteguhan hatinya untuk 

berperang, beliau terus meminta pendapat dan usul lebih banyak lagi. 

Para Anshar sampai pada saat itu masih tetap bungkam. Penyerang-

penyerang itu orang-orang dari Mekkah, masih sanak-saudara dan kaum-

kerabat kebanyakan para Muhajirin yang sekarang ada di tengah-tengah 

mereka. Para Anshar khawatir jangan-jangan kehausan menggempur 

musuh dari Mekkah itu akan menyakiti hati saudara-saudara mereka, 

kaum Muhajirin. namun , saat  Rasulullah s.a.w. mendesak untuk diberi 

masukan lebih banyak lagi, bangkitlah seorang Anshar dan berkata, 

“Ya Rasulullah, anda telah mendapatkan pendapat-pendapat yang 

anda perlukan, namun anda masih terus meminta lebih banyak lagi. 

Barangkali anda masih menunggu pendapat dari kami, kaum Anshar. 

Benarkah demikian?”  

“Benar”. jawab Rasulullah s.a.w.  

“Anda menghendaki pendapat kami, sebab  anda berpikir bahwa 

saat  anda datang kepada kami, kami bersedia berperang beserta anda 

hanya dalam keadaan anda dan para Muhajirin lainnya mendapat 

serangan di Medinah. Sekarang, kami sudah keluar dari Medinah dan 

anda merasa bahwa perjanjian kami tidak meliputi keadaan kami hari ini. 

namun , ya, Rasulullah, saat  kami mengikat perjanjian, kami belum 

mengenal anda seperti kami mengenal anda dewasa ini. Kami tahu 

ketinggian martabat rohani anda. Kami tidak memperhatikan lagi 

perjanjian kami. Kami siap menanti perintah apapun yang anda minta 

dari kami. Kami tidak akan bersikap seperti para pengikut Nabi Musa a.s. 

yang berkata, 'Pergilah engkau dan Allah  engkau memerangi musuh, 

kami akan menunggu di belakang sini. Jika kami harus bertempur, kami 

akan bertempur di kanan anda, di kiri anda, di belakang anda. Sungguh, 

musuh amat ingin menangkap anda. namun , kami bersumpah bahwa 

mereka tidak akan berhasil tanpa melangkahi mayat-mayat kami. Ya 

Rasulullah, anda mengajak kami berperang. Kami bersiap-sedia berbuat 

lebih daripada itu. Tidak jauh dari sini terletak laut. Jika anda 

perintahkan kami untuk menceburkan diri ke dalamnya, sedikit pun kami 

tidak akan ragu-ragu berbuat demikian” (Bukhari, Kitab al-Maghazi, dan 

Hisyam). 

Itulah semangat pengabdian dan pengorbanan yang diperagakan 

oleh kaum Muslimin di masa permulaan dan contoh serupa itu tidak ada 

bandingannya di dalam sejarah dunia. Contoh para pengikut Nabi Musa 

a.s. telah disebut di atas. Adapun tentang pengikut-pengikut Nabi Isa a.s 

kita ketahui bahwa mereka meninggalkan beliau pada saat yang sangat 

genting. Seorang di antara mereka telah menjual dengan harga yang tak 

berarti. Yang lain mengutuk beliau, dan yang sepuluh orang lagi 

melarikan diri. Sedangkan iman kaum Anshar yang baru bersahabat 

dengan Rasulullah s.a.w. selama satu setengah tahun telah begitu kuat 

membaja sehingga, sekiranya beliau memerintahkan, mereka bersedia 

tanpa ragu-ragu menceburkan diri ke dalam laut. “Rasulullah s.a.w. 

mengadakan musyawarah. namun beliau sedikit pun tidak ragu-ragu akan 

pengabdian para Sahabat. Beliau berbuat demikian untuk menyaring 

orang-orang yang lemah supaya beliau dapat menyuruh mereka pulang. 

namun beliau menyaksikan bahwa para Muhajirin dan Anshar berlomba-

lomba dalam memperagakan pengabdian mereka. Kedua-duanya 

bertekad tidak memperlihatkan punggung kepada musuh walaupun 

musuh tiga kali lipat jumlahnya dan jauh lebih baik perlengkapannya, 

persenjataannya, dan pengalamannya. Mereka lebih suka berpegang 

kepada janji-janji Ilahi, menunjukkan rasa takzim mereka terhadap Islam 

dan menyerahkan jiwa-raga mereka dalam membela dan 

mempertahankannya. Yakin akan pengabdian para Muhajirin dan Anshar 

ini Rasulullah s.a.w. bergerak maju. saat  beliau sampai ke suatu 

tempat yang disebut Badar, beliau menerima anjuran salah seorang dari 

para pengikut beliau dan memerintahkan pasukan untuk mengambil 

tempat dekat anak sungai Badar. Kaum Muslimin menduduki sumber air 

itu, namun tanah yang mereka ambil untuk posisi mereka yaitu  tanah 

pasir belaka, dan oleh sebab  itu tidak baik untuk kelincahan gerak 

prajurit-prajurit. Para Sahabat menunjukkan kecemasan yang sewajarnya 

atas kedudukan yang tidak menguntungkan itu. Rasulullah s.a.w. sendiri 

pun ikut khawatir juga dan semalam suntuk beliau mendoa. Berulang-

ulang beliau bersabda, 

Ya Allah -ku, di atas seluruh permukaan bumi pada saat ini hanya 

ada tiga ratus orang inilah yang mengabdi kepada Engkau dan bertekad 

menegakkan ibadah hanya kepada Engkau. Ya Allah -ku, jika ketiga 

ratus orang ini pada hari ini gugur di tangan musuh dalam perang ini, 

siapakah yang akan tinggal mengagungkan nama Engkau? (Tabari).  

Allah  mendengar doa Rasul-Nya. Hujan tiba-tiba turun. Bagian 

pasir medan pertempuran yang diduduki lasykar Muslim menjadi basah 

dan padat. Bagian medan yang tadinya kering dan diduduki oleh musuh 

menjadi berlumpur dan licin. Mungkin musuh dari Mekkah itu sengaja 

memilih bagian medan itu dan membiarkan lasykar Muslim menduduki 

bagian yang lainnya sebab  pandangan mata yang berpengalaman lebih 

menyukai tanah kering untuk memudahkan gerakan prajurit-prajurit dan 

pasukan kuda mereka. namun keadaannya sekarang telah sama sekali 

terbalik, berkat tindakan Allah  yang tepat pada waktunya. Hujan yang 

turun tiba-tiba telah menjadikan bagian medan berpasir yang diduduki 

lasykar Muslim keras dan medan yang keras, tempat berkemah lasykar 

Mekkah menjadi licin. Pada malam hari Rasulullah s.a.w. menerima 

kabar ghaib bahwa anggota-anggota penting dari musuh akan menemui 

ajal mereka. Bahkan nama-nama orangnya pun diwahyukan kepada 

beliau. Mereka mati sebagaimana telah disebut dalam kabar-ghaib. 

Di dalam perang itu sendiri lasykar Muslim yang kecil itu telah 

memperagakan keberanian dan pengabdian yang menakjubkan. Suatu 

peristiwa telah membuktikan hal itu. Salah seorang dari beberapa gelintir 

panglima Muslim bernama 'Abdur-Rahman bin 'Auf, salah seorang 

pemimpin Mekkah dan prajurit yang berpengalaman. saat  perang 

mulai, ia menengok ke kiri dan ke kanan untuk melihat macam bantuan 

apa yang dapat diperoleh. Ia heran bahwa ia hanya didampingi oleh dua 

anak muda dari kaum Anshar. Ia merasa kecewa dan berkata dalam 

hatinya, “Tiap-tiap panglima memerlukan dukungan di kanan-kirinya. 

Apalagi aku di saat ini. namun di sini hanya ada dua anak yang masih 

hijau. Apa yang dapat kuperbuat dengan mereka?” 'Abdur-Rahman 

menceriterakan bahwa baru saja selesai berpikir demikian, saat  salah 

seorang dari pemuda-pemuda itu menyentuh rusuknya dengan sikut. Ia 

membungkuk untuk menyimak kata pemuda itu. “Paman, kami telah 

mendengar tentang seorang bernama Abu Jahal yang biasa mengganggu 

dan berbuat kejam terhadap Rasulullah s.a.w.. Paman, saya akan 

menggempurnya. Tunjukkanlah, mana orang itu”. 'Abdur-Rahman belum 

sempat menjawab pertanyaan itu. saat  perhatiannya sudah ditarik oleh 

anak muda satu lagi yang menanyakan hal itu juga. 'Abdur-Rahman 

sangat tercengang atas keberanian dan tekad bulat dua anak itu. Sebagai 

seorang prajurit berpengalaman luas sekalipun, tak terbayang sepintas 

juga dalam pikirannya untuk memilih panglima musuh sebagai 

lawannya. 'Abdur-Rahman menunjuk dengan telunjuknya kepada Abu 

Jahal yang bersenjatakan lengkap dan berdiri di bagian belakang barisan 

yang dilindungi oleh dua panglima kawakan dengan pedang terhunus. 

'Abdur-Rahman belum lagi menurunkan telunjuknya, saat  kedua 

pemuda itu menyerbu ke barisan musuh dengan kecepatan garuda 

menyambar mangsa, langsung menuju sasaran yang telah dipilihnya. 

Serangannya begitu tiba-tiba. 

Prajurit-prajurit dan para pengawal terperangah. Kemudian 

mereka menyerang pemuda-pemuda itu. Salah seorang anak itu 

kehilangan lengannya. namun ia tetap tak gentar dan tak terkalahkan. 

Mereka menyerang Abu Jahal dengan serbuan yang begitu dahsyat 

sehingga panglima besar itu tersungkur dengan luka-luka yang 

menewaskannya. Dan tekad yang menyala-nyala kedua pemuda itu dapat 

kita mengerti betapa mendalamnya sakit hati dan marah para pengikut 

Rasulullah s.a.w., tua-muda, disebabkan oleh tindakan aniaya lagi kejam 

yang diderita mereka dan Rasulullah s.a.w. sampai saat itu. Kita hanya 

membacanya dalam sejarah, namun hati kita pun sangat terenyuh. Para 

penduduk Medinah mendengar tentang kekejaman-kekejaman itu dari 

saksi-saksi mata. Perasaan-perasaan mereka dapat kita bayangkan. 

Mereka mendengar tentang kekejaman-kekejaman kaum Mekkah di satu 

pihak dan tentang kesabaran Rasulullah s.a.w. di pihak lain. Tidak 

mengherankan jika tekad mereka bulat untuk mengadakan pembalasan 

terhadap kejahatan mereka kepada Rasulullah s.a.w. dan para Muslimin 

di Mekkah. Mereka hanya menunggu kesempatan untuk menyatakan 

kepada penganiaya mereka dari Mekkah bahwa jika kaum Muslim tidak 

mengadakan pembalasan, hal itu bukan disebabkan oleh kelemahan 

mereka, namun oleh sebab  mereka belum mendapat izin dan Allah s.w.t.. 

Bagaimana kebulatan tekad pasukan Muslim yang kecil itu untuk gugur 

di medan laga dapat diukur juga dari peristiwa lain. Pertempuran belum 

terjadi saat  Abu Jahal mengirim seorang pemuka Badui sebagai 

pengintai untuk mengetahui dan melaporkan jumlah lasykar Islam. 

Pemuda Badui itu kembali dan melaporkan bahwa pasukan Muslim kira-

kira tiga ratus orang banyaknya. Abu Jahal dan para pengikutnya sangat 

gembira. Mereka memandang pasukan Muslim sebagai mangsa yang 

empuk. “namun ,” pemuda Badui itu meneruskan, “nasihatku kepada 

kalian ialah: Jangan memerangi orang-orang itu, sebab tiap-tiap orang 

dari antara mereka nampak bertekad bulat untuk mati. Aku tidak melihat 

sosok-sosok manusia, melainkan malaikat maut berkendaraan unta”. 

Pemuda Badui itu memang benar, mereka yang bersedia mati, tak mudah 

mati. 

Kabar Ghaib Agung Menjadi Sempurna 

Saat berperang telah mendekat, Rasulullah s.a.w. keluar dari 

kemah kecil, di sana beliau lama mendoa, lalu beliau mengumumkan: 

“Musuh pasti akan binasa dan melarikan diri.” 

Kata-kata itu diwahyukan kepada Rasulullah s.a.w. selang 

beberapa waktu sebelum itu di Mekkah. Jelas wahyu itu berhubungan 

dengan perang ini. saat  kekejaman Mekkah mencapai puncaknya dan 

kaum Muslimin sedang berhijrah ke tempat-tempat mereka dapat hidup 

dengan aman dan damai, Rasulullah s.a.w. menerima wahyu dari Allah: 

Dan, sesungguhnya telah datang kepada kaum Firaun, para pemberi 

peringatan. Mereka mendustakan Tanda-tanda Kami semuanya, maka 

Kami sergap mereka dengan sergapan Dzat Yang Maha Perkasa. Maha 

Kuasa. Apakah orang-orang kafir kamu lebih baik daripada orang-orang 

sebelum kamu? Atau apakah ada bagimu jaminan kebebasan di dalam 

kitab-kitab terdahulu? Atau apakah mereka berkata, “Kami golongan 

yang bersatu, yang menang?” Golongan itu akan segera dikalahkan dan 

akan membalikkan punggung mereka, melarikan diri. Bahkan Saat itu 

telah dijanjikan kepada mereka; dan Saat itu paling mengerikan dan 

paling pahit. Sesungguhnya, orang-orang yang berdosa berada dalam 

kesesatan dan mengidap penyakit gila. Pada hari saat  mereka akan 

diseret ke dalam Api bersama-sama pemuka mereka. Dikatakan kepada 

mereka, “Rasakanlah senAllah  azab neraka.” (54:42-49). 

Ayat-ayat itu bagian dari Surah Al-Qamar dan menurut semua 

riwayat, Surah itu diturunkan di Mekkah. Para alim-ulama Islam 

menempatkan turunnya wahyu itu di antara tahun kelima dan sepuluh 

Nabawi, yaitu, sekurang-kurangnya tiga tahun sebelum hijrah. 

Kemungkinan besar wahyu itu diturunkan delapan tahun sebelum Hijrah. 

Sarjana-sarjana Eropa juga sepakat dengan pendapat ini. Menurut 

Noldeke, seluruh Surah ini diturunkan sesudah tahun kelima Nabawi. 

 65 

Wherry memandang waktu itu agak terlalu dini. Menurut dia, Surah itu 

termasuk tahun keenam atau ketujuh sebelum Hijrah atau sesudah 

Nabawi. Pendek kata, para alim-ulama Islam dan sumber-sumber bukan-

Islam kedua-duanya bersepakat bahwa Surah ini diwahyukan selang 

bertahun-tahun sebelum Rasulullah dan para Sahabat berhijrah dari 

Mekkah ke Medinah. Nilai ayat-ayat Makiyyah sebagai ayat-ayat yang 

mengandung kabar-ghaib sama sekali tidak dapat diragukan atau 

dibantah. Dalam ayat-ayat ini ada isyarat-isyarat yang jelas mengenai 

apa yang bakal terjadi pada kaum Mekkah di medan pertempuran Badar. 

Nasib malang yang akan mereka alami jelas diramalkan. saat  

Rasulullah s.a.w. keluar dari kemah, beliau menyatakan ulang kabar-

ghaib dalam Surah Makiyyah itu. Beliau agaknya ingat kepada ayat-ayat 

Makiyyah itu waktu beliau berdoa di dalam kemah. Dengan membaca 

satu dari antara ayat-ayat itu, beliau memperingatkan para Sahabat 

bahwa saat yang dijanjikan dalam wahyu Makiyyah itu telah datang. 

Dan, Saat itu sungguh-sungguh telah datang. Nabi Yesaya 

(21:13-17) telah mengabar-ghaibkan perihal saat itu. Pertempuran mulai 

berkecamuk meskipun kaum Muslim belum siap dan orang-orang kafir 

telah mendengar nasihat agar jangan berperang. Tiga ratus tiga belas 

orang-orang Islam, kebanyakan tidak punya pengalaman dan tidak 

pandai berperang, dan hampir semuanya tanpa perlengkapan yang cukup, 

menghadapi kekuatan yang tiga kali lipat dan semuanya prajurit yang 

berpengalaman. Dalam beberapa jam saja banyak pemimpin Mekkah 

terkemuka menemui ajal mereka. Sesuai dengan apa yang dikabar-

ghaibkan oleh Nabi Yesaya, habislah segala kemuliaan Kedar. 

Balatentara Mekkah melarikan diri pontang-panting dan dalam keadaan 

kacau-balau meninggalkan mereka yang tewas dan beberapa yang 

tertawan. Di antara tawanan-tawanan itu ada  paman Rasulullah 

s.a.w., Abbas, yang biasanya melindungi Rasulullah s.a.w. di masa 

beliau tinggal di Mekkah. Abbas terpaksa ikut serta dengan kaum 

Mekkah dan memerangi Rasulullah s.a.w.. Tawanan lain bernama Abul 

'As, mantu Rasulullah s.a.w.. Di antara mereka yang tewas ada  Abu 

Jahal, Panglima Tertinggi lasykar Mekkah dan, menurut segala riwayat, 

merupakan musuh Islam yang terbesar. Kemenangan telah tiba, namun 

menimbulkan rasa yang campur-baur pada Rasulullah s.a.w.. Beliau 

gembira atas sempurnanya janji-janji Ilahi yang berulang-ulang 

diturunkan selama jangka waktu empat belas tahun yang lampau. Janji-

janji yang telah tercatat dalam beberapa Kitab agama terdahulu. namun , 

pada saat itu juga beliau bersedih hati atas kemalangan kaum Mekkah. 

Alangkah menyedihkannya nasib yang mereka jumpai! Jika kemenangan 

itu diraih oleh orang lain selain beliau, ia akan melompat-lompat 

kegirangan. namun melihat para tawanan di hadapan beliau, diikat dan 

dibelenggu, mata beliau dan mata sahabat karib beliau, Abu Bakar, 

digenangi airmata. Umar, yang di hari kemudian mengganti Abu Bakar 

menjadi khalifah kedua Islam, menyaksikan hal itu, namun ia tidak dapat 

memahami, mengapa Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakar menangisi 

kemenangan? Umar menjadi bingung. Maka ia memberanikan diri 

bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Ya Rasulullah, katakanlah 

kepadaku, mengapa anda menangis jika Allah  memberi kemenangan 

yang begitu besar. Jika kita harus menangis, aku akan ikut menangis atau 

sedikitnya memperlihatkan muka sedih.” Rasulullah s.a.w. menunjuk 

kepada nasib malang tawanan-tawanan. Itulah akibat pembangkangan 

terhadap Allah . 

Nabi Yesaya berkali-kali menyebut keadilan Nabi itu; ia yang 

keluar dengan kemenangan dari perang mati-matian. Ihwal keadilannya 

telah terpamer pada peristiwa berikut ini. Dalam perjalanan pulang ke 

Medinah, Rasulullah s.a.w. malam harinya beristirahat di perjalanan. 

Para sahabat setia yang menjaga beliau dapat melihat, betapa Rasulullah 

tampak resah dan tidak dapat tidur. Segera mereka menerka bahwa hal 

itu disebabkan oleh sebab  beliau mendengar rintihan paman beliau, 

Abbas, yang berbaring di dekat situ diikat dengan kuatnya sebagai 

tawanan perang. Mereka melonggarkan tali pengikat Abbas. Rintihan 

Abbas berhenti. Rasulullah s.a.w., tidak terganggu lagi oleh rintihannya, 

mulai tertidur. Tak lama kemudian beliau bangun dan merasa heran, 

mengapa tidak lagi terdengar rintihan Abbas. Beliau setengah 

menyangka bahwa Abbas telah pingsan. namun para sahabat yang 

menjaga Abbas mengatakan bahwa mereka telah melonggarkan tali 

pengikat Abbas supaya Rasulullah s.a.w. dapat tidur pulas. “Jangan, 

jangan!” sabda Rasulullah s.a.w. “Tidak boleh ada ketidakadilan. Jika 

Abbas masih keluargaku, tawanan-tawanan lainnya pun memiliki  

ikatan kekeluargaan dengan orang-orang lain Longgarkan semua tali 

pengikat mereka atau ikat kembali erat-erat tali pengikat Abbas juga.” 

Para Sahabat mendengar teguran itu lalu mengambil keputusan untuk 

melonggarkan ikatan semua tawanan dan mereka sendiri memikul 

dengan penuh rasa tanggung jawab kewajiban penjagaan. 

Kepada para tawanan yang pandai baca-tulis dijanjikan 

kemerdekaan jika mereka dapat mengajar sepuluh anak laki-laki Mekkah 

sebagai tebusan kemerdekaan. Mereka yang tak punya siapa-siapa yang 

dapat membayar tebusan mereka, dapat meraih kemerdekaan mereka 

atas permohonan sendiri. Dengan membebaskan para tawanan dengan 

cara serupa itu Rasulullah s.a.w. menyudahi kebiasaan kejam, yaitu, 

kebiasaan menjadikan tawanan perang sebagai budak belian. 

Perang Uhud 

Tatkala kaum Mekkah melarikan diri dari Badar, mereka 

mengumumkan bahwa mereka akan menyerang Medinah lagi dan 

membalas kaum Muslimin untuk apa-apa yang diderita kaum Mekkah 

dalam perang; dan hanya setahun kemudian mereka benar-benar 

menyerang Medinah lagi, sekarang dengan kekuatan penuh. Mereka 

begitu merasa terhina dan jatuh kehormatan sebab  kekalahan sehingga 

para pemimpin Mekkah melarang keluarga mereka yang tinggal di garis 

belakang mengisi mereka yang gugur dalam pertempuran. Mereka 

menetapkan juga bahwa keuntungan dan kafilah-kafilah dagang akan 

dikumpulkan menjadi suatu dana perang. Oleh sebab  itu, dengan 

persiapan yang lengkap suatu bala tentara terdiri atas tiga ribu prajurit di 

bawah komando Abu Sufyan datang menyerang Medinah. Rasulullah 

s.a.w. bermusyawarah dan menanyakan kepada para pengikut, apakah 

mereka akan menghadapi musuh di dalam Medinah atau di luar kota 

Medinah. Beliau sendiri cenderung kepada pilihan pertama. Beliau 

memilih membiarkan kaum Muslim tetap di Medinah dan membiarkan 

musuh masuk dan menyerang mereka di rumah mereka. 

Beliau berpendapat bahwa hal itu akan memberikan peluang 

untuk melakukan agresi dan serangan kepada pihak musuh. namun pada 

musyawarah itu ada beberapa orang Muslim yang tidak mendapat 

kesempatan ikut dalam Perang Badar dan sekarang mendambakan sekali 

berperang di jalan Allah. Mereka mendesak untuk mendapat peluang 

bertempur secara berhadapan lagi terbuka, dan meraih kesempatan mati 

syahid. Rasulullah s.a.w. menerima musyawarah umum itu (Tabaqat). 

Sementara pasal itu sedang diperdebatkan, Rasulullah s.a.w. 

menerangkan kasyaf yang diterima beliau. Sabda beliau, “Aku melihat 

kasyaf. Aku lihat seekor lembu dan kulihat juga pedangku patah 

ujungnya. Lembu itu kulihat sedang disembelih dan aku telah 

memasukkan tanganku ke dalam baju besi. Aku melihat diriku sendiri 

juga sedang menaiki domba jantan.” Para Sahabat bertanya kepada 

Rasulullah s.a.w. bagaimana beliau memberi arti kepada kasyaf itu. 

“Penyembelihan lembu,” sabda Rasulullah s.a.w., “menunjukkan 

bahwa ada beberapa Sahabat akan gugur di medan perang. Ujung 

pedangku patah berarti, seorang yang penting dari antara sanak 

saudaraku akan menemui ajal, atau aku sendiri akan menderita nyeri atau 

semacam cedera. Memasukkan tanganku ke dalam baju besi agaknya 

berarti bahwa jika tetap tinggal di dalam kota Medinah maka akan lebih 

baik untuk kita. Peristiwa melihat diriku sendiri menaiki domba jantan 

berarti, kita akan mengalahkan panglima kaum kufar, dan bahwa ia akan 

mati di tangan kita” (Bukhari, Hisyam, dan Tabaqat). 

Dijelaskan oleh kasyaf dan takwilnya bahwa bagi kaum 

Muslimin yaitu  lebih baik kalau tetap tinggal di dalam kota Medinah. 

namun Rasulullah s.a.w. tidak mau memaksakannya, sebab  tafsiran 

kasyaf itu yaitu  dari beliau sendiri, bukan sebagian dari pengetahuan 

yang berdasarkan wahyu. Beliau menerima musyawarah mayoritas dan 

memutuskan berangkat menghadapi musuh di luar kota Medinah. saat  

beliau bertolak ke luar kota, sebagian para pengikut beliau yang lebih 

mukhlis menyadari kekhilafan mereka, lalu menemui Rasulullah s.a.w. 

dan berkata, “Ya Rasulullah, saran anda nampaknya lebih baik. Kita 

harus tetap di Medinah dan menghadapi musuh dijalan-jalan kita.” 

“Sekarang tidak,” sabda Rasulullah s.a.w.. “Sekarang Rasulullah 

telah mengenakan baju besinya. Apapun yang akan terjadi, kita akan 

terus maju. Jika kamu beristiqamah dan bertawakal, Allah  akan 

membantumu” (Bukhari dan Tabaqat). 

Serenta berkata demikian beliau berangkat dengan kekuatan 

terdiri atas seribu prajurit. Tidak jauh dari Medinah mereka mendirikan 

kemah untuk istirahat malam. Kebiasaan Rasulullah s.a.w. ialah memberi 

istirahat sebentar kepada pasukan beliau sebelum menghadapi musuh. 

Menjelang shalat Subuh beliau meronda. Beliau melihat beberapa orang 

Yahudi pun ikut serta dengan kaum Muslimin. Mereka berpura-pura 

menaati perjanjian dengan suku-suku Medinah. Tatkala Rasulullah s.a.w. 

telah mencium tipu muslihat kaum Yahudi, beliau menyuruh mereka 

pulang. Baru saja beliau berbuat demikian, Abdullah bin Ubayyi ibnu 

Salul, pemimpin kaum munafik menarik pasukannya sejumlah tiga ratus 

orang pengikutnya. Ia mengatakan bahwa lasykar Muslim sekarang 

bukan tandingan musuh. Ikut serta dalam peperangan sekarang berarti 

pasti menemui ajal. Rasulullah s.a.w. telah berbuat kekeliruan menyuruh 

pulang sekutunya sendiri. Akibat pembelotan pada saat genting itu ialah. 

hanya tinggal tujuh ratus Muslim lagi di bawah pimpinan Rasulullah 

s.a.w.. Tujuh ratus prajurit itu harus menghadapi lasykar yang empat kali 

lipat besarnya dan beberapa kali jauh lebih baik perlengkapannya. Dalam 

lasykar Mekkah ada tujuh ratus prajurit berbaju besi; dalam lasykar 

Islam hanya seratus. Kaum Mekkah memiliki  pasukan berkuda dua 

ratus, kaum Muslim hanya memiliki dua ekor kuda. Rasulullah s.a.w. 

tiba di Uhud. Di atas celah bukit-bukit beliau menempatkan penjaga-

penjaga terdiri atas lima puluh orang yang ditugasi memukul mundur 

tiap-tiap serangan dari pihak musuh atau menggagalkan tiap-tiap usaha 

menduduki posisi itu. Rasulullah s.a.w. menerangkan dengan jelas 

kewajiban mereka. Mereka harus bertahan di tempat mereka ditempatkan 

dan tidak bergerak dari tempat itu sampai mendapat perintah, apapun 

yang terjadi dengan lasykar Muslim. Dengan sisa yang enam ratus lima 

puluh orang, Rasulullah s.a.w. maju menghadapi lasykar musuh yang 

kira-kira lima kali lipat besarnya. namun , dengan pertolongan Ilahi, 

dalam waktu singkat lasykar Muslim yang hanya enam ratus lima puluh 

prajurit itu telah menghalau tiga ribu prajurit Mekkah yang serba mahir 

itu. Prajurit-prajurit Muslim berlari mengejar mereka. Celah bukit tempat 

lima puluh prajurit Muslim ditempatkan, tertinggal di belakang. Seorang 

prajurit di atas celah bukit berkata kepada pemimpinnya, “Musuh telah 

kalah. Sekarang telah tiba waktunya untuk ikut dalam pertempuran dan 

memperoleh tanda kemenangan di alam akhirat.” Pemimpin pasukan 

melarangnya sambil memperingatkan mereka kepada perintah-perintah 

yang jelas dari Rasulullah s.a.w.. namun , orang itu menerangkan bahwa 

perintah Rasulullah s.a.w. itu harus ditaati menurut jiwanya dan tidak 

menurut lahirnya. Tak ada artinya sedikit pun menjaga celah bukit itu 

sementara musuh melarikan diri lintang pukang. 

Kemenangan Berubah Jadi Kekalahan 

Dengan alasan itu mereka meninggalkan celah itu dan ikut galau 

dalam kancah pertempuran. Dalam lasykar Mekkah yang sedang 

melarikan diri termasuk Khalid bin Walid yang kemudian menjadi 

panglima Muslim besar. Matanya yang jeli jatuh pada celah sempit yang 

tak terjaga lagi itu. Yang masih menjaganya hanya tinggal sedikit, 

Khalid berseru memanggil panglima Mekkah lain, ialah Amr bin al-As, 

dan menyuruhnya melempar pandangan ke celah di belakangnya. Amr 

menengok ke belakang dan tahulah dia bahwa itulah kesempatan yang 

paling indah. Kedua panglima itu menghentikan pasukan mereka dan 

mendaki bukit itu. Mereka membunuh orang-orang Muslim yang tinggal 

sedikit, menjaga celah itu, dan dari tempat yang tinggi itu mereka mulai 

menyerbu kaum Muslim. Mendengar pekikan perang mereka, lasykar 

Mekkah yang telah cerai-berai itu bergabungan lagi dan kembali ke 

medan pertempuran. Serbuan kepada kaum Muslim itu sangat mendadak. 

Dalam pengejaran lasykar Mekkah mereka itu terpencar-pencar ke 

berbagai arah medan. Perlawanan Muslimin terhadap serangan baru itu 

tidak dapat disatukan lagi. Hanya prajurit-prajurit Muslim secara 

perorangan masih nampak mengadakan perlawanan terhadap musuh. 

Banyak di antara mereka gugur. Lain-lainnya terdesak mundur. 

Sekelompok kecil membuat formasi lingkaran di sekeliling Rasulullah 

s.a.w. Seluruhnya tak lebih dan dua puluh orang. 

Lasykar Mekkah menggempur lingkaran itu dengan ganasnya. 

Satu demi satu orang-orang Muslim dalam lingkaran itu rebah sebab  

tebasan-tebasan prajurit-prajurit berpedang Mekkah. Dari bukit itu 

pemanah-pemanah melepaskan panah-panah. Pada saat itu Talha, 

seorang Muhajir, melihat musuh melepas anak-anak panahnya ke arah 

wajah Rasulullah s.a.w.. Ia merentangkan tangannya dan diangkatnya ke 

atas, melindungi wajah Rasulullah s.a.w.. Panah-panah sebuah demi 

sebuah mengenai tangan Talha, namun tangan itu tidak diturunkan 

sungguhpun tiap panah menembus tangannya. Akibatnya, tangan itu 

sama sekali terkutung (terpotong-potong). Talha kehilangan tangan dan 

seumur hidupnya ia menjadi orang buntung. Di zaman Khalifah ke 

empat, saat  keretakan di dalam tubuh Islam mulai tampak, Talha 

diejek oleh seorang musuh dengan menyebutnya Talha si Buntung. 

Sahabat Talha menjawab, “Buntung, memang, namun tahukah kamu di 

mana ia kehilangan tangannya? Di dalam Perang Uhud, saat ia 

mengangkat tangannya memerisai wajah Rasulullah s.a.w. dari panah-

panah musuh.” 

Lama sesudah Perang Uhud sahabat-sahabat Talha bertanya 

kepadanya, “Apakah tanganmu tidak sakit saat jadi sasaran panah-panah 

itu dan sakitnya tidak menyebabkan engkau memekik?” Talha 

menjawab, “Sangat pedih dan hampir membuat aku menjerit, namun aku 

tahan. sebab aku tahu bahwa apabila tanganku bergerak sedikit, wajah 

Rasulullah s.a.w. akan menjadi bulan-bulanan panah musuh.” Regu kecil 

yang tinggal di sekitar Rasulullah s.a.w. itu tak mungkin dapat menahan 

lasykar yang mereka hadapi. Sepasukan musuh maju dan mendesak 

mereka mundur. Rasulullah s.a.w. berdiri seorang diri laksana dinding 

dan tiba-tiba sebuah batu mengenai dahi beliau dan meninggalkan lekuk 

yang dalam. Hantaman yang kedua mendorong gelang-gelang rantai topi 

baja masuk ke dalam pipi beliau. saat  panah-panah menghujam 

dengan gencarnya dan Rasulullah s.a.w. terluka, beliau mendoa, “Ya 

Allah , ampunilah kaumku, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka 

perbuat” (Muslim). Rasulullah s.a.w. jatuh di atas jenazah-jenazah para 

syuhada yang gugur dalam membela beliau. Orang-orang Muslim 

lainnya maju ke muka melindungi Rasulullah s.a.w. dari serangan-

serangan selanjutnya. Mereka pun gugur, Rasulullah s.a.w. terbaring tak 

sadarkan diri di antara mayat-mayat itu. saat  musuh menyaksikan 

pemandangan itu mereka menyangka beliau pun telah syahid. Mereka 

mengundurkan diri dengan keyakinan bahwa kemenangan telah tercapai 

dan mulai mengatur lagi barisan. Di antara orang-orang Muslim yang 

melindungi Rasulullah s.a.w. dan yang telah terdesak mundur oleh 

gempuran kekuatan musuh ada  juga Umar. Medan perang sekarang 

telah sepi. Umar, yang mengamati keadaan, menjadi yakin bahwa 

Rasulullah s.a.w. telah gugur. Umar yaitu  orang gagah. Hal itu berkali-

kali dibuktikan; yang paling jelas kegagahan itu tampak dalam perang 

menghadapi Roma dan Iran sekaligus. Beliau tak pernah nampak putus 

asa di bawah beban kesukaran dan kesulitan. Umar pada saat itu duduk

di atas sebuah batu dengan semangatnya lumpuh, menangis seperti anak 

kecil. Pada saat itu seorang Muslim lain, Anas bin Nadr namanya, datang 

secara santai dengan persangkaan bahwa kaum Muslim telah berjaya. Ia 

menyaksikan mereka mampu mengatasi kekuatan musuh, namun merasa 

lapar, sebab  tak makan apa-apa sejak malam sebelumnya, ia telah 

meninggalkan medan laga dengan beberapa butir kurma di tangannya. 

Segera sesudah  ia melihat Umar menangis, ia bertanya keheran-heranan, 

“Umar, apa gerangan yang terjadi atas dirimu sampai kamu menangis 

dan bukan gembira atas kemenangan yang gilang-gemilang di pihak 

kaum Muslim?” 

Umar menjawab, “Anas, kau tak tahu apa yang telah terjadi. 

Kamu hanya melihat bagian pertama. Kamu tidak mengetahui bahwa 

musuh menduduki titik strategis di atas bukit dan menyerang kita dengan 

dahsyatnya. Kaum Muslimin bubar dengan persangkaan telah mencapai 

kemenangan. Gempuran musuh kali ini tak dapat ditahan lagi. Hanya 

Rasulullah, dengan beberapa gelintir pengawal, menghadapi seluruh 

kekuatan musuh dan semuanya telah rebah.” 

“Jika hal itu benar,” jawab Anas, “apa guna duduk menangis di 

sini? Ke mana saja junjungan kita yang tercinta pergi, ke sana pula kita 

harus menuju.” 

Anas masih memegang kurmanya yang terakhir dan hampir 

dimasukkan ke mulut, namun daripada memasukkannya ke mulut, 

dilemparkannya kurma itu jauh-jauh sambil berkata, “Hai kurma, kecuali  

kau, adakah sesuatu yang menghalangi Anas dari surga?” 

sesudah  berkata demikian, dihunuslah pedangnya dan menyerbu 

ke tengah-tengah barisan musuh seorang diri, seorang melawan tiga ribu. 

Tak banyak yang dapat diperbuat, namun semangat seorang yang beriman 

itu lebih unggul dari banyak orang. Mengamuk bagaikan banteng 

ketaton, Anas akhirnya rebah dengan luka-luka, namun ia melawan terus. 

sebab  gemasnya pasukan musuh menyerbu dan menerkamnya dengan 

ganas lagi keji. Diriwayatkan bahwa tatkala pertempuran telah usai dan 

mereka yang gugur diperiksa siapa-siapanya, badan Anas tak dapat 

dikenal lagi, sebab  telah terputus putus menjadi tujuh puluh potong. 

Akhirnya dapat dikenal oleh adik perempuan Anas dari jarinya yang 

terkutung: berkatalah dia, “Inilah badan saudaraku!” (Bukhari). 

Orang-orang Muslim yang membuat formasi lingkaran di sekitar 

Rasulullah s.a.w., namun terdesak mundur, maju lagi dengan segera saat  

mereka melihat musuh telah mengundurkan diri. Mereka mengangkat 

tubuh Rasulullah s.a.w. dan antara jenazah-jenazah pahlawan yang 

gugur. Abu Ubaida bin al-Jarrah menggigit gelang-gelang yang masuk 

menusuk pipi Rasulullah s.a.w. dan mencabutnya. Dalam usaha itu dua 

buah giginya tanggal. 

Selang beberapa detik kemudian Rasulullah s.a.w. siuman 

kembali. Pengawal-pengawal di sekitar beliau mengutus orang-orang 

untuk menyuruh kaum Muslim berkumpul lagi. Lasykar yang kucar-kacir 

itu mulai berkumpul lagi. Mereka mengawal Rasulullah s.a.w. ke kaki 

bukit. Abu Sufyan, komandan musuh, saat  melihat sisa pasukan 

Muslim itu berteriak, “Kami telah membunuh Muhammad.” Rasulullah 

s.a.w. mendengar pekikan yang sombong itu, namun melarang kaum 

Muslimin menyahut, kalau-kalau musuh akan mengetahui kenyataan dan 

menyerang lagi sehingga kaum Muslimin yang letih dan luka-luka itu 

terpaksa berjuang lagi melawan pasukan yang buas itu. sebab  tak 

mendapat sambutan dari kaum Muslimin, Abu Sufyan menjadi yakin 

bahwa Rasulullah s.a.w. telah gugur. Ia berteriak lagi, “Kami telah 

membunuh Abu Bakar.” Rasulullah s.a.w. melarang Abu Bakar 

menyahut. Abu Sufyan berseru untuk ketiga kalinya, “Kami juga telah 

membunuh Umar.” Rasulullah s.a.w. melarang Umar juga menyahut. 

Maka Abu Sufyan berteriak lagi bahwa mereka telah membunuh ketiga-

tiganya. Sekarang Umar tak dapat menahan diri lagi dan berseru, “Kami 

semua masih hidup dan dengan karunia Ilahi siap sedia untuk berkelahi 

dengan kamu dan memecahkan kepalamu.” Abu Sufyan memekikkan 

semboyan kebangsaan, “Hidup Hubal. Hidup Hubal. Sebab, Hubal telah 

melenyapkan Islam.” (Hubal yaitu  berhala nasional kaum Mekkah). 

Rasulullah s.a.w. tak dapat menelan kecongkakan terhadap Allah  Yang 

Maha Esa, Allah, demi Dia beliau dan kaum Muslimin bersedia 

mengorbankan segala-gala yang mereka miliki. Beliau melarang 

membetulkan pernyataan wafat beliau sendiri. Beliau melarang 

membetulkan pernyataan kematian Abu Bakar dan Umar, demi siasat. 

Hanya sisa-sisa lasykar kecil yang masih tinggal. Kekuatan musuh besar 

dan dalam suasana bersuka cita. namun sekarang musuh telah menghina 

Allah. Rasulullah s.a.w. tak dapat membiarkan penghinaan semacam itu. 

Semangat beliau tersulut. Beliau memandang dengan berang kepada 

orang-orang Muslim di sekitar beliau dan bersabda, “Mengapa berdiam 

diri dan tidak menjawab terhadap penghinaan kepada Allah, Allah  Yang 

Maha Esa?” 

Orang-orang Muslim bertanya, “Apa yang harus kami katakan, 

ya Rasulullah?” 

“Katakanlah, hanya Allah Maha Besar dan Maha Perkasa. Hanya 

Allah Maha Besar dan Maha Perkasa. Hanya Dia Maha Luhur dan Maha 

Mulia.” 

Orang-orang Muslim berteriak seperti itu. Pekikan itu 

mencengangkan musuh. Mereka patah hati saat  mereka mengetahui 

bahwa Rasulullah ternyata tidak gugur. Di hadapan mereka ada beberapa 

gelintir orang Muslim, luka-luka dan letih. Untuk menghancurkan 

mereka sangatlah mudah. namun mereka tidak berani menyerang lagi. 

Puas dengan kemenangan yang telah mereka peroleh, mereka pulang 

sambil meluapkan kegembiraan mereka. Dalam Perang Uhud 

kemenangan kaum Muslimin telah berubah menjadi kekalahan. 

Walaupun demikian, perang itu telah memberi bukti akan kebenaran 

Rasulullah s.a.w.; sebab, dalam perang itu telah menjadi sempurnalah 

kabar ghaib Rasulullah s.a.w. yang diceriterakan beliau sebelum bertolak 

ke medan perang. Kaum Muslimin menang di bagian pertama. Paman 

Rasulullah yang tercinta, Hamzah, syahid. Panglima musuh terbunuh 

pada pemulaan sekali pertempuran. Rasulullah s.a.w. sendiri terluka dan 

banyak orang Muslim gugur. Kesemuanya itu telah dikabar ghaibkan di 

dalam kasyaf Rasulullah s.a.w. 

Di samping peristiwa-peristiwa yang dikabarkan sebelumnya 

telah menjadi kenyataan, perang itu memberikan banyak bukti 

keikhlasan dan pengabdian orang-orang Muslim. Begitu menonjol 

teladan perilaku mereka sehingga sejarah tidak berhasil mengemukakan 

contoh yang sepadan dengan itu. Beberapa peristiwa sebagai bukti sudah 

kami uraikan. Satu lagi tampaknya layak diceriterakan. Peristiwa itu 

memperlihatkan keyakinan tekad dan kesetiaan yang diperagakan oleh 

para Sahabat Rasulullah s.a.w.. Waktu Rasulullah s.a.w. mengundurkan 

diri ke kaki bukit bersama segelintir orang-orang Muslim itu, beliau 

mengutus beberapa Sahabat guna mengurusi prajurit-prajurit yang luka 

dan terbaring di medan perang. Seorang Sahabat menemukan, sesudah 

lama mencari, seorang Anshar yang luka parah. Ia sudah mendekati 

ajalnya. Sahabat itu membungkuk dan mengatakan, “Assalamu'alaikum.” 

Prajurit yang luka parah itu mengangkat tangan yang gemetar dan sambil 

memegangi tangan pengunjungnya ia berkata, “Aku memang sedang 

menunggu kedatangan seseorang.” 

“Keadaan saudara sangat gawat.” kata pengunjung itu. “Adakah 

pesan untuk disampaikan kepada sanak-saudaramu?” 

“Ya, ya,” kata orang yang sedang mendekati ajal itu. “Salamku 

sampaikan kepada sanak-saudaraku dan katakan kepada mereka bahwa 

pada saat aku menghadapi maut, aku masih memiliki  suatu titipan 

berharga yang harus mereka junjung tinggi. Titipan itu yaitu  

Rasulullah. Aku mengharapkan agar mereka menjaga keselamatan wujud 

beliau dengan jiwa mereka dan ingat bahwa itulah satu-satunya pesanku 

yang penghabisan” (Mu'atta dan Zurqani). 

Orang-orang yang menghadapi maut banyak yang ingin 

dikatakan oleh mereka kepada sanak-saudara mereka, namun orang-orang 

Muslim dari masa permulaan itu, sekalipun pada detik-detik kematian 

mereka tidak memikirkan keluarga, anak-anak, dan istri mereka, tidak 

pula kekayaan; mereka hanya ingat kepada Rasulullah s.a.w.. Mereka 

menghadapi maut dengan keyakinan bahwa Rasulullah s.a.w. itu Juru-

Selamat dunia. Anak-anak mereka, jika mereka selamat, hanya meraih 

perolehan sedikit. Jika mereka mati dalam membela wujud Rasulullah 

s.a.w. maka mereka telah berbakti kepada Allah  dan kepada umat 

manusia. Mereka yakin bahwa dengan mengorbankan keluarga, mereka 

mengkhidmati umat manusia dan berbakti kepada Allah . Dengan 

mendatangkan kematian kepada diri mereka sendiri, mereka menjamin 

kehidupan kekal bagi seluruh umat manusia. 

Rasulullah s.a.w. mengumpulkan orang-orang luka dan orang-

orang yang mati syahid. Penderita-penderita luka diberi pertolongan 

pertama dan mereka yang gugur dikebumikan. Rasulullah s.a.w. 

mengetahui bahwa musuh telah memperlakukan kaum Muslimin dengan 

sangat kejam lagi biadab. Mereka itu merusak mayat orang-orang 

Muslim dengan memotong hidung dan telinga. Salah satu dari mayat-

mayat yang dijadikan cacat itu ialah Hamzah, paman Rasulullah. 

Rasulullah s.a.w. sangat terharu, lalu bersabda, “Perbuatan orang-orang 

kufar sekarang membenarkan perlakuan-perlakuan yang kita pikir hingga 

sejauh ini tidak kita benarkan”. sesudah  beliau bersabda demikian, beliau 

terus-menerus memperlihatkan kepada mereka sikap kasih sayang. 

Kabar Wafat Rasulullah Sampai Ke Medinah 

Desas-desus tentang wafatnya Rasulullah s.a.w. dan kabar ihwal 

cerai-berainya lasykar Muslim tiba di Medinah sebelum sisa-sisa pasukan 

Islam dapat kembali ke kota. Wanita-wanita dan anak-anak bagaikan gila 

menghambur dan lari menuju Uhud. Banyak di antara mereka 

mendengar kenyataan yang sebenarnya dari prajurit-prajurit yang pulang 

dari medan perang, lalu mereka ini kembali lagi. Seorang wanita dari 

suku Banu Dinar berjalan terus sampai akhirnya tiba di Uhud. Wanita itu 

telah kehilangan suami, ayah, dan saudara dalam perang itu. Menurut 

beberapa penutur, ia kehilangan pula seorang anaknya. Seorang prajurit 

yang pulang berjumpa dengan dia dan memberitahukan kepadanya 

bahwa ayahnya telah gugur. Ia menjawab, “Aku tak menanyakan 

ayahku. Katakan, bagaimana keadaan Rasulullah.” Prajurit itu tahu 

bahwa Rasulullah s.a.w. selamat, maka tidak segera menjawab 

pertanyaan itu, namun mengatakan pula bahwa saudara dan suaminya pun 

telah gugur. Tiap-tiap berita itu diterimanya dengan tenang, dan lagi-lagi 

ia bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah?” Ungkapan itu 

ungkapan yang sangat ganjil, namun jika kita perhatikan, kalau yang 

mempergunakan ungkapan itu seorang wanita maka hal itu tak nampak 

begitu ganjil lagi. Perasaan wanita sangat kuat. Wanita sering berkata-

kata kepada orang mati seolah-olah masih hidup. Jika orang itu 

memiliki  perhubungan kekeluargaan yang dekat, ia adakalanya 

menyesali si mati dan bertanya, mengapa telah melalaikan dirinya dan 

meninggalkannya tanpa perlindungan dan penjagaan. Sudah biasa pada 

wanita menangisi buah hatinya yang hilang dengan cara demikian. Oleh 

sebab  itu, cara ungkapan yang dipakai oleh wanita ini juga wajar untuk 

seorang wanita yang sedang bersedih hati tentang wafatnya Rasulullah 

s.a.w. dan tak mau mengakui kenyataan kematian beliau, walaupun ia 

telah mendengar tentang wafat beliau. Di samping ia tidak menolak 

berita itu, namun tetap juga berkata, dengan kesedihan murni seorang 

wanita, “Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah?” Dengan perkataan 

itu ia berpura-pura seolah Rasulullah s.a.w. masih hidup dan menyesali 

bahwa seorang pemimpin yang baik seperti beliau telah begitu tega 

meninggalkan untuk mereka perasaan pedih sebagai akibat perpisahan. 

saat  prajurit yang baru kembali dari medan perang itu melihat 

bahwa wanita itu tak mengindahkan kematian ayah, saudara, dan suami, 

barulah ia mengerti betapa mendalamnya cinta wanita itu kepada 

Rasulullah s.a.w., lalu memberitahukan, “Mengenai Rasulullah, beliau 

masih hidup sebagaimana engkau harapkan.” Wanita itu meminta agar 

kepadanya ditunjukkan tempat Rasulullah s.a.w.. Lalu prajurit itu 

menunjuk ke suatu arah medan pertempuran. Wanita itu berlari-lari 

menuju ke sana dan sesampainya di sana serta berjumpa dengan 

Rasulullah, dipegangnya jubah beliau lalu diciumnya dan berkata, “Ayah 

dan ibuku biar korban bagi anda, ya Rasulullah. Asalkan anda selamat, 

tidak aku hirau siapa pun yang mati” (Hisyam). 

Oleh sebab  itu, kita menyaksikan keteguhan dan kesetiaan yang 

diperagakan oleh kaum Muslimin - baik pria maupun wanita - di dalam 

perang itu. Penulis-penulis Kristen meriwayatkan dengan megah ceritera 

Maria Magdalena dan para sahabatnya, dan mengisahkan kesetiaan dan 

keberanian mereka. Dikatakan bahwa pada pagi buta mereka menyelinap 

di tengah-tengah orang Yahudi menuju ke pekuburan Yesus. namun , 

apakah arti kejadian ini dibanding dengan kesetiaan wanita Muslim dari 

suku Dinar itu? 

Suatu contoh lagi tercatat dalam sejarah. Sehabis mengubur 

mayat-mayat yang gugur dan Rasulullah s.a.w. tengah dalam perjalanan 

pulang ke Medinah, beliau melihat wanita-wanita dan anak-anak 

mengelu-elukan beliau di luar kota Medinah. Tali kekang unta beliau 

dipegang oleh Sa’d bin Mu'adh, seorang kepala suku Medinah. Sa’d 

menuntun unta itu dengan bangganya. Ia seolah-olah menyatakan ke 

seluruh dunia bahwa kaum Muslimin, pokoknya, berhasil membawa 

pulang Rasulullah s.a.w. ke Medinah dalam keadaan sehat wal'afiat. 

Waktu berjalan dilihatnya ibunya sendiri yang telah tua maju ke depan 

menyambut rombongan Muslimin yang pulang itu. Wanita tua itu sudah 

lemah penglihatannya. Sa’d melihatnya dan sambil menengok kepada 

Rasulullah s.a.w. ia berkata, “Ya Rasulullah, ini ibuku.” 

“Panggil kemari,” sabda Rasulullah s.a.w.. Wanita itu maju dan 

dengan pandangan kosong dicobanya melihat wajah Rasulullah s.a.w.. 

Akhirnya, matanya dapat menampaknya dan ia sangat gembira. 

Rasulullah s.a.w. bersabda sambil memandang kepadanya, “Ibu, 

kusampaikan bela sungkawa atas kehilangan anak ibu.”  

“namun ”. jawab wanita tua yang setia itu, “sesudah  kulihat anda 

selamat, aku telah menelan sendiri segala kemalanganku.” Ungkapan 

dalam bahasa Arab yang dipakainya ialah, “Aku telah memanggang 

kemalanganku dan menelannya”. (Halbiyya, Jilid 2, hlm. 210). Alangkah 

dalamnya perasaan yang dinyatakan di dalam ungkapan itu. Pada 

umumnya, kesedihan memakan hati manusia, namun di sini ada seorang 

wanita tua yang telah kehilangan anaknya yang menjadi tumpuan 

hidupnya di hari tua. namun ia mengatakan bahwa daripada membiarkan 

kesedihan memakan hatinya, ia sendiri telah menelan kemalangannya. 

Kenyataan bahwa anaknya telah gugur membela Rasulullah s.a.w. akan 

menopang sisa kehidupannya. 

Rasulullah s.a.w. tiba di Medinah. Dalam perang ini banyak 

orang Muslim yang mati syahid dan banyak juga yang luka-luka. Namun 

demikian, tidak dapat dikatakan bahwa perang sudah berakhir dengan 

kekalahan di pihak kaum Muslimin. Peristiwa-peristiwa yang telah kami 

uraikan di atas membuktikan sebaliknya. Semuanya itu menjadi bukti 

bahwa Perang Uhud pun merupakan kemenangan yang agung bagi kaum 

Muslim seperti juga tiap-tiap peperangan lainnya. Orang-orang Islam 

yang menelaah kembali lembaran-lembaran sejarah permulaan agama 

Islam dapat mengambil pelajaran dan inspirasi dari Perang Uhud. 

Sepulang di Medinah, Rasulullah s.a.w. kembali kepada tugas 

beliau. Beliau sibuk lagi dengan mendidik dan mengajar para Sahabat. 

namun seperti yang sudah-sudah juga, pekerjaan beliau berjalan tidak 

tanpa gangguan dan rintangan. Sesudah Perang Uhud, kaum Yahudi 

menjadi semakin berani dan kaum munafik mengangkat kepala lagi. 

Mereka mulai berpikir bahwa upaya pemberantasan Islam itu ada dalam 

jangkauan kemampuan dan kekuasaan mereka. Hanya saja mereka harus 

mengadakan upaya yang terpadu. Sesuai dengan itu, kaum Yahudi mulai 

mempergunakan cara rongrongan yang baru. Mereka biasa menyiarkan 

syair-syair cacian kotor, dan dengan cara demikian mereka mau 

menghina Rasulullah s.a.w. dan keluarga. Pada suatu saat  Rasulullah 

s.a.w. dipanggil untuk mengambil keputusan dalam suatu perselisihan 

faham dan untuk keperluan itu beliau harus masuk ke dalam benteng 

kaum Yahudi. Orang-orang Yahudi telah merencanakan untuk 

menjatuhkan sebuah balok batu ke atas beliau untuk menghabisi nyawa 

Rasulullah s.a.w.. Beliau menerima peringatan lebih dahulu dari Allah  

tentang rencana itu. Sudah biasa beliau menerima peringatan semacam 

itu tepat pada waktunya. Rasulullah s.a.w. meninggalkan tempat duduk 

beliau tanpa mengatakan sesuatu. Kaum Yahudi kemudian mengakui 

tipu muslihat kotor mereka. Wanita-wanita Muslim dihina di jalan-jalan. 

Dalam suatu peristiwa semacam itu seorang Muslim melayang jiwanya. 

Pada peristiwa lain orang-orang Yahudi melempar batu kepada seorang 

anak perempuan Muslim sehingga kemudian mati dalam penderitaan 

yang hebat. Kelakuan orang-orang Yahudi itu menegangkan 

perhubungan mereka dengan kaum Muslim dan memaksa mereka itu 

memerangi orang-orang Yahudi. namun , kaum Muslim hanya mengusir 

mereka keluar dari Medinah. Satu di antara dua suku Yahudi hijrah ke 

Siria. Suku lain lagi, sebagian menuju ke Siria juga dan sebagian 

menetap di Khaibar, sebuah benteng orang-orang Yahudi yang kuat di 

sebelah Utara Medinah. 

 Dalam masa aman antara Perang Uhud dan perang berikutnya 

dunia menyaksikan contoh istimewa dari pengaruh Islam atas para 

pengikutnya. Kami menunjuk kepada larangan minum-minuman keras. 

Dalam menggambarkan masyarakat Arab sebelum Islam, kami telah 

menjelaskan bahwa orang-orang Arab itu pemabuk-pemabuk berat. 

Minum lima kali sehari merupakan mode di tiap-tiap rumah orang Arab. 

Kehilangan kesadaran di bawah pengaruh arak yaitu  kejadian yang 

lazim dan mereka tidak merasa malu sedikit pun. Bahkan hal itu 

dipandang mereka sebagai perbuatan baik. Jika ada seorang tamu 

berkunjung, menjadi kewajiban nyonya rumah menghidangkan minuman 

keras. Untuk melepaskan kaum yang demikian dari kebiasaan sangat 

berbahaya itu yaitu  bukan soal yang gampang. namun pada tahun 

keempat sesudah Hijrah. Rasulullah s.a.w. menerima perintah bahwa 

minum minuman keras telah terlarang. Dengan perintah itu maka 

kebiasaan minum arak lenyap dari masyarakat Islam. Konon, saat  

wahyu yang mengharamkan arak itu turun, Rasulullah memanggil 

seorang Sahabat dan mem