disebabkan pihak-pihak yang bernaung dalam perjanjian ini sepakat
untuk menghadapi musuh bersama; pihak-pihak itu akan tetap bersatu
baik dalam keadaan aman maupun dalam keadaan perang. Tidak ada
pihak yang akan mengadakan perdamaian secara tersendiri. namun tidak
ada suatu pihak yang bertindak melampaui batas dapat dibawahkan
kepada ancaman hukuman. Sesungguh-sungguhnya Allah itu pelindung
orang-orang yang benar dan orang-orang mukmin, dan Muhammad
yaitu Rasul-Nya (Hisyam).
Demikianlah perjanjian tersebut secara singkat disusun dari
carik-carik naskah yang diperoleh dari catatan sejarah. Perjanjian itu
menekankan, tanpa ragu-ragu lagi, bahwa dalam pemecahan
perselisihan-perselisihan dan perbelahan-perbelahan di antara golongan-
golongan di Medinah, dasar yang menjadi pedoman yaitu kejujuran,
kebenaran, dan keadilan. Mereka yang berbuat melampaui batas norma-
norma dipandang bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran itu.
Perjanjian itu menjelaskan bahwa Rasulullah s.a.w. telah bertekad bulat
untuk bertindak dengan hormat dan kasih sayang terhadap warga kota
Medinah lainnya dan untuk memandang serta memperlakukan mereka
sebagai saudara. Jika perselisihan dan pertentangan kemudian timbul,
maka tanggung jawabnya terletak pada kaum Yahudi.
Seperti telah kami katakan, dua atau tiga bulan telah berlalu
sebelum kaum Mekkah dapat memperbaharui permusuhan berencana
mereka terhadap Islam. Suatu peristiwa dialami oleh Sa’d bin Mu'adh,
pemimpin suku Aus dan Medinah yang datang ke Mekkah untuk thawaf
di Ka'bah. Abu Jahal melihatnya melakukan thawaf dan berkata,
"Sesudah memberi perlindungan kepada Muhammad, si pemberontak
itu, apakah kamu sangka bahwa kamu dapat datang ke Mekkah dan
mengadakan thawaf dengan damai? Apa kalian sangka dapat melindungi
dan menyelamatkannya? Aku bersumpah dengan nama Allah , jika tidak
sebab Abu Sufyan, kamu tidak akan pulang dengan selamat kepada
keluargamu".
Sa’d bin Mu'adh menjawab, "Percayalah, jika kalian, kaum
Mekkah, melarang kami mengunjungi dan berthawaf di Ka'bah, kalian
tidak akan aman dalam perjalanan ke Siria". Kira-kira pada saat itu
Walid bin Mughira, salah seorang pemimpin Mekkah, menderita sakit
keras. Para pemimpin Mekkah lainnya ada sama-sama duduk di situ.
Walid tak dapat menahan diri dan mulai menangis. Para pemuka Mekkah
merasa heran dan bertanya, mengapa ia menangis. "Apakah saudara-
saudara sangka aku takut mati? Tidak, bukan mati yang aku khawatirkan.
Aku sangat khawatir jangan-jangan agama Muhammad akan tersebar dan
Mekkah juga akan dikuasainya." Abu Sufyan menegaskan kepada Walid
bahwa selama mereka hidup, mereka akan mencegah tersebarnya Agama
itu dengan jiwa-raga mereka (Khamis, jilid 1).
KAUM MEKKAH MENGADAKAN PERSIAPAN
MENYERANG MEDINAH
Dan penuturan kejadian-kejadian itu jelas sekali bahwa
mengendurnya permusuhan kaum Mekkah hanya untuk sementara. Para
pemimpinnya sedang mengadakan persiapan untuk melancarkan
serangan baru terhadap Islam. Para pemuka yang akan melepaskan
nyawa meminta kepada yang masih hidup untuk bersumpah bahwa
mereka akan meneruskan perlawanan terhadap Rasulullah s.a.w. dan
para pengikut beliau. Kaum Medinah diajak untuk mengangkat senjata
melawan kaum Muslimin dan diberi peringatan bahwa jika mereka
menolak berbuat demikian, kaum Mekkah dan suku-suku sekitarnya
akan menyerang Medinah, membunuh semua pria dan semua wanita
mereka jadikan budak belian. Jika Rasulullah s.a.w. mengabaikan dan
tidak berbuat apa-apa untuk mempertahankan Medinah, beliau akan
memikul tanggung jawab yang sangat mengerikan. Oleh sebab itu
Rasulullah s.a.w. menerapkan suatu sistem pengintaian. Beliau
mengirimkan regu-regu ke tempat-tempat di sekitar Mekkah untuk
memberi laporan mengenai tanda-tanda kegiatan persiapan perang.
Kadang-kadang timbul berbagai peristiwa, bentrokan dan perkelahian
antara regu-regu itu dengan orang-orang Mekkah. Penulis-penulis Barat
mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa itu diprakarsai oleh Rasulullah
s.a.w. dan bahwa sebab itu dalam peperangan kemudian beliau menjadi
agressor. namun , kita melihat di hadapan kita, tiga belas tahun lamanya
berlangsung aniaya kaum Mekkah, kecurangan-kecurangan mereka
mengadu-domba kaum Medinah dengan kaum Muslimin dan serangan
yang diancamkan terhadap Medinah sendiri. Tak ada seorang pun yang
ingat akan hal itu semua dapat menuduh Rasulullah s.a.w. bertanggung
jawab memprakarsai peristiwa-peristiwa itu. Jika beliau mengirimkan
regu-regu penyelidik, maka hal itu hanya dalam rangka bela diri belaka.
Tiga belas tahun mengalami kezaliman cukup menjadi alasan
mempersiapkan langkah bela diri. Jika peperangan timbul akibat itu
antara mereka dan musuh mereka dari Mekkah, maka tanggung jawab
tidak terletak pada kaum Muslimin. Alasan-alasan yang tidak berarti
seperti dipakai oleh bangsa-bangsa Kristen dewasa ini untuk menyatakan
perang terhadap satu sama yang lain telah kita kenal baik. Jika setengah
dari perlakuan kaum Mekkah terhadap kaum Muslimin kini dilancarkan
terhadap suatu bangsa Eropa, mereka akan merasa beralasan untuk
memulai peperangan. Jika bangsa suatu negeri bersiasat melakukan
pembantaian besar-besaran terhadap bangsa lain, jika suatu kaum
memaksa kaum lain meninggalkan rumah mereka, adakah sebab itu si
teraniaya tak punya hak mengawali peperangan? Sesudah kaum
Muslimin berhijrah ke Medinah, maka alasan-alasan sudah cukup bagi
mereka untuk menyatakan perang kepada kaum Mekkah. namun
Rasulullah s.a.w. tidak menyatakan perang. Beliau tetap memperlihatkan
sikap toleransi dan membatasi kegiatan bela diri sejauh mengirim
penyelidik-penyelidik. namun kaum Mekkah terus-menerus mengganggu
dan menyerang kaum Muslimin. Mereka membakar hati kaum Medinah
supaya bersikap tidak bersahabat terhadap orang Islam, dan mereka
merintangi hak berziarah mereka itu. Mereka ubah jalan kafilah-kafilah
mereka dan mulai melalui daerah-daerah pemukiman suku di sekitar
Medinah untuk membangkitkan suku-suku itu melawan kaum Muslimin.
Keamanan di Medinah terancam; oleh sebab itu, kewajiban menjadi jelas
bagi kaum Muslimin untuk menerima tantangan perang yang dilancarkan
oleh kaum Mekkah terus-menerus selama empat belas tahun. Dalam
keadaan demikian tidak ada seorang pun dapat menggugat hak kaum
Muslimin menerima tantangan itu.
Sementara sibuk mengadakan pengintaian, Rasulullah s.a.w.
tidak mengabaikan kebuAllah -kebuAllah jasmani maupun rohani para
pengikut beliau di Medinah. Bagian terbesar kaum Medinah telah
menjadi Muslim, dengan pernyataan lisan dan pula dengan keimanan
dalam hati. Beberapa yang masuk hanya terbatas pada pernyataan lahir.
Oleh sebab itu Rasulullah s.a.w. mulai menegakkan pemerintahan
bercorak Islam di tengah-tengah para pengikut beliau yang masih kecil
bilangannya itu. Di masa-masa awal, kaum Arab menyelesaikan
sengketa mereka dengan pedang dan dengan kekerasan perseorangan.
Rasulullah s.a.w. mengadakan peraturan-peraturan hukum. Hakim-hakim
ditunjuk mengurus tuntutan-tuntutan pribadi atau tuntutan pihak yang
satu terhadap yang lain. Kecuali jika seorang hakim mengatakan
mengenai sesuatu tuntutan itu adil dan benar, tuntutan itu tidak diterima.
Dahulu kala menuntut ilmu dipandang dengan pandangan hina.
Rasulullah s.a.w. mengambil langkah-langkah untuk menggalakkan
kepandaian membaca dan menulis serta menyulut kecintaan akan ilmu
pengetahuan. Mereka yang dapat membaca dan menulis diminta
mengajarkan kecakapan itu kepada orang lain. Tindak ketidak-adilan dan
kekejaman diakhiri. Hak-hak wanita ditegakkan. Si kaya diwajibkan
menjamin kebuAllah si miskin dan diharuskan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Medinah. Kaum buruh dilindungi dari
pemerasan. Bagi ahli waris yang lemah lagi tidak mampu, peraturan-
peraturan diadakan untuk penunjukan wali. Transaksi pinjam-meminjam
mulai ditetapkan supaya harus ditulis. Pentingnya memenuhi segala
perjanjian mulai disadarkan. Tindakan-tindakan yang melampaui batas
norma-norma terhadap budak dilenyapkan. Ilmu kesehatan dan
kebersihan umum mulai mendapat perhatian. Sensus penduduk
dilakukan. Lorong-lorong dan jalan-jalan raya diperintahkan supaya
diperlebar. Dan langkah-langkah diambil untuk menjaga kebersihan.
Pendek kata, hukum-hukum ditetapkan untuk meningkatkan kehidupan
berkeluarga dan bermasyarakat yang ideal. Bangsa Arab yang tadinya
biadab, untuk pertama kali dalam sejarahnya diperkenalkan kepada tata
nilai kesopanan dan kehidupan yang beradab.
Perang Badar
Sementara Rasulullah s.a.w. merencanakan untuk
memberlakukan hukum praktis yang berguna bukan saja untuk kaum
Arab di generasi beliau sendiri, namun untuk seluruh umat manusia
seterusnya di zaman-zaman yang akan datang, kaum kufar Mekkah
mengadakan rencana untuk berperang. Rasulullah s.a.w. merencanakan
hukum yang akan membawa kaum beliau dan semua kaum lainnya
kepada keamanan, saling menghormati, dan kemajuan; namun, kaum
kufar Mekkah yang tidak bersahabat dengan beliau merencanakan
kebinasaan tertib hukum. Rencana-rencana kaum kufar Mekkah itu pada
akhirnya membuahkan perang Badar. Perang terjadi delapan belas bulan
sesudah Hijrah. Sebuah kafilah dagang, di bawah pimpinan Abu Sufyan,
tengah beradu dalam perjalanan pulang dari Siria. Dengan pura-pura
melindungi kafilah tersebut, kaum Mekkah membentuk suatu lasykar
besar dan ditetapkan untuk bergerak ke Medinah. Rasulullah s.a.w. dapat
mencium persiapan-persiapan itu. Beliau pun menerima wahyu dan
Allah yang mengatakan bahwa saat telah datang untuk membalas.
Beliau bertolak dari Medinah dengan sejumlah pengikut. Tak seorang
pun pada saat itu tahu, apakah sepasukan Muslimin itu akan berhadapan
dengan kafilah dari Siria ataukah dengan lasykar dari Mekkah. Pasukan
itu berjumlah kira-kira tiga ratus prajurit. Suatu kafilah dagang pada
zaman itu tidak hanya terdiri atas unta-unta bermuatan barang-barang
dagangan. Di dalamnya ada juga orang-orang bersenjata yang
menjaga dan mengawal kafilah itu dalam perjalanan. Sejak timbul
ketegangan antara kaum Mekkah dan kaum Muslimin di Medinah, para
pemimpin Mekkah mulai mempersenjatai pengawalnya dengan lebih
istimewa.
Sejarah mencatat kenyataan adanya dua kafilah lain yang
melalui jalan itu tak lama sebelum itu. Dalam salah satu kafilah itu ada
dua ratus orang bersenjata sebagai penjaga dan pengawal, dan dalam
kafilah yang satu lagi ada tiga ratus orang. Sangat keliru untuk
beranggapan seperti penulis-penulis Kristen bahwa Rasulullah s.a.w.
membawa tiga ratus pengikut beliau dan bertolak untuk menyerang suatu
kafilah dagang yang tak berkawal. Tuduhan serupa itu jahat dan tak
beralasan. Kafilah yang pada saat itu datang dari Siria yaitu kafilah
besar dan, mengingat ukurannya dan pengawalan bersenjatanya untuk
kafilah-kafilah lain, maka dapat diterima oleh akal bahwa kira-kira
empat sampai lima ratus penjaga bersenjata telah dipergunakan untuk
pengawalan itu. Untuk mengatakan bahwa pasukan Muslim itu tiga ratus
prajurit. yang sangat sederhana persenjataannya, dikerahkan oleh
Rasulullah s.a.w. untuk menyerang suatu kafilah yang begitu kuat
pengawalannya dengan tujuan hendak merampok yaitu sangat tidak
adil. Hanya purbasangka dan berburuk maksud terhadap Islam belaka
dapat melahirkan pikiran semacam itu. Jika pasukan Muslim keluar
untuk menghadapi kafilah ini, maka petualangan mereka dapat
dilukiskan sebagai petualangan perang, walaupun perang yang bersifat
bela diri, sebab pasukan Muslim dari Medinah itu pasukan kecil dan
sangat buruk persenjataannya, dan kafilah Mekkah itu besar dan
persenjataannya kuat, dan lagi pula lama mereka memendam rasa
permusuhan terhadap kaum Muslimin di Medinah.
Menilik hakikatnya, keadaan-keadaan saat pasukan Muslim
kecil yang diberangkatkan dari Medinah itu jauh lebih gawat dan
mengkhawatirkan. Seperti telah kami kemukakan, mereka sendiri tidak
tahu apakah kafilah dari Siria ataukah lasykar dari Mekkah yang akan
mereka hadapi. Tidak adanya kepastian mengenai tujuan keberangkatan
kaum Muslimin disinggung juga dalam Al-Qur’an. namun kaum Muslim
telah siap untuk menghadapi kedua-dua kemungkinan. Tidak adanya
kepastian untuk apa mereka berangkat dari Medinah itu membuktikan
kekuatan iman dan ketakwaan mereka yang luar biasa. Baru sesudah
mereka berangkat agak jauh dari Medinah, Rasulullah s.a.w. memberi
penjelasan bahwa mereka akan menghadapi lasykar Mekkah yang besar
dan bukan kafilah dari Siria yang kecil.
Dugaan-dugaan tentang besarnya kekuatan lasykar Mekkah telah
sampai kepada kaum Muslimin. Perkiraan terkecil menyebut jumlah
seribu prajurit, semua prajurit itu berpengalaman dalam olah senjata di
medan peperangan. Jumlah Sahabat yang menyertai Rasulullah s.a.w.
hanya ada tiga ratus tiga belas, dan banyak di antara mereka tidak terlatih
dan tidak berpengalaman, dan sebagian besar sangat buruk persenjataan
mereka. Kebanyakan mereka berjalan kaki, atau berkendaraan unta.
Dalam seluruh pasukan hanya dua ekor kuda. Pasukan yang sangat buruk
dan lemah perlengkapannya serta tidak punya pengalaman itu harus
menghadapi kekuatan musuh yang tiga kali lipat jumlahnya terutama
terdiri atas prajurit-prajurit berpengalaman. yaitu jelas bahwa gerakan
pasukan itu suatu gerakan paling berbahaya yang pernah terjadi dalam
catatan sejarah. Rasulullah s.a.w. cukup bijaksana untuk memperoleh
keyakinan bahwa tidak ada seorang pun yang ikut serta di dalam gerakan
pasukan itu tanpa berbekal pengetahuan yang cukup dan tanpa kemauan
dari hatinya sendiri di dalam gerakan pasukan itu. Beliau menjelaskan
bahwa bukan kafilah yang akan dihadapi, melainkan lasykar dari
Mekkah. Beliau mengadakan musyawarah. Seorang demi seorang, para
Muhajirin berdiri dan meyakinkan Rasulullah tentang kesetiaan dan
semangat serta tekad bulat mereka untuk bertempur menghadapi musuh
mereka dari Mekkah yang telah datang untuk menyerang kaum Muslimin
di Medinah, di rumah mereka sendiri. Tiap-tiap kali Rasulullah s.a.w.
mendengar seorang Muhajir mengatakan keteguhan hatinya untuk
berperang, beliau terus meminta pendapat dan usul lebih banyak lagi.
Para Anshar sampai pada saat itu masih tetap bungkam. Penyerang-
penyerang itu orang-orang dari Mekkah, masih sanak-saudara dan kaum-
kerabat kebanyakan para Muhajirin yang sekarang ada di tengah-tengah
mereka. Para Anshar khawatir jangan-jangan kehausan menggempur
musuh dari Mekkah itu akan menyakiti hati saudara-saudara mereka,
kaum Muhajirin. namun , saat Rasulullah s.a.w. mendesak untuk diberi
masukan lebih banyak lagi, bangkitlah seorang Anshar dan berkata,
“Ya Rasulullah, anda telah mendapatkan pendapat-pendapat yang
anda perlukan, namun anda masih terus meminta lebih banyak lagi.
Barangkali anda masih menunggu pendapat dari kami, kaum Anshar.
Benarkah demikian?”
“Benar”. jawab Rasulullah s.a.w.
“Anda menghendaki pendapat kami, sebab anda berpikir bahwa
saat anda datang kepada kami, kami bersedia berperang beserta anda
hanya dalam keadaan anda dan para Muhajirin lainnya mendapat
serangan di Medinah. Sekarang, kami sudah keluar dari Medinah dan
anda merasa bahwa perjanjian kami tidak meliputi keadaan kami hari ini.
namun , ya, Rasulullah, saat kami mengikat perjanjian, kami belum
mengenal anda seperti kami mengenal anda dewasa ini. Kami tahu
ketinggian martabat rohani anda. Kami tidak memperhatikan lagi
perjanjian kami. Kami siap menanti perintah apapun yang anda minta
dari kami. Kami tidak akan bersikap seperti para pengikut Nabi Musa a.s.
yang berkata, 'Pergilah engkau dan Allah engkau memerangi musuh,
kami akan menunggu di belakang sini. Jika kami harus bertempur, kami
akan bertempur di kanan anda, di kiri anda, di belakang anda. Sungguh,
musuh amat ingin menangkap anda. namun , kami bersumpah bahwa
mereka tidak akan berhasil tanpa melangkahi mayat-mayat kami. Ya
Rasulullah, anda mengajak kami berperang. Kami bersiap-sedia berbuat
lebih daripada itu. Tidak jauh dari sini terletak laut. Jika anda
perintahkan kami untuk menceburkan diri ke dalamnya, sedikit pun kami
tidak akan ragu-ragu berbuat demikian” (Bukhari, Kitab al-Maghazi, dan
Hisyam).
Itulah semangat pengabdian dan pengorbanan yang diperagakan
oleh kaum Muslimin di masa permulaan dan contoh serupa itu tidak ada
bandingannya di dalam sejarah dunia. Contoh para pengikut Nabi Musa
a.s. telah disebut di atas. Adapun tentang pengikut-pengikut Nabi Isa a.s
kita ketahui bahwa mereka meninggalkan beliau pada saat yang sangat
genting. Seorang di antara mereka telah menjual dengan harga yang tak
berarti. Yang lain mengutuk beliau, dan yang sepuluh orang lagi
melarikan diri. Sedangkan iman kaum Anshar yang baru bersahabat
dengan Rasulullah s.a.w. selama satu setengah tahun telah begitu kuat
membaja sehingga, sekiranya beliau memerintahkan, mereka bersedia
tanpa ragu-ragu menceburkan diri ke dalam laut. “Rasulullah s.a.w.
mengadakan musyawarah. namun beliau sedikit pun tidak ragu-ragu akan
pengabdian para Sahabat. Beliau berbuat demikian untuk menyaring
orang-orang yang lemah supaya beliau dapat menyuruh mereka pulang.
namun beliau menyaksikan bahwa para Muhajirin dan Anshar berlomba-
lomba dalam memperagakan pengabdian mereka. Kedua-duanya
bertekad tidak memperlihatkan punggung kepada musuh walaupun
musuh tiga kali lipat jumlahnya dan jauh lebih baik perlengkapannya,
persenjataannya, dan pengalamannya. Mereka lebih suka berpegang
kepada janji-janji Ilahi, menunjukkan rasa takzim mereka terhadap Islam
dan menyerahkan jiwa-raga mereka dalam membela dan
mempertahankannya. Yakin akan pengabdian para Muhajirin dan Anshar
ini Rasulullah s.a.w. bergerak maju. saat beliau sampai ke suatu
tempat yang disebut Badar, beliau menerima anjuran salah seorang dari
para pengikut beliau dan memerintahkan pasukan untuk mengambil
tempat dekat anak sungai Badar. Kaum Muslimin menduduki sumber air
itu, namun tanah yang mereka ambil untuk posisi mereka yaitu tanah
pasir belaka, dan oleh sebab itu tidak baik untuk kelincahan gerak
prajurit-prajurit. Para Sahabat menunjukkan kecemasan yang sewajarnya
atas kedudukan yang tidak menguntungkan itu. Rasulullah s.a.w. sendiri
pun ikut khawatir juga dan semalam suntuk beliau mendoa. Berulang-
ulang beliau bersabda,
Ya Allah -ku, di atas seluruh permukaan bumi pada saat ini hanya
ada tiga ratus orang inilah yang mengabdi kepada Engkau dan bertekad
menegakkan ibadah hanya kepada Engkau. Ya Allah -ku, jika ketiga
ratus orang ini pada hari ini gugur di tangan musuh dalam perang ini,
siapakah yang akan tinggal mengagungkan nama Engkau? (Tabari).
Allah mendengar doa Rasul-Nya. Hujan tiba-tiba turun. Bagian
pasir medan pertempuran yang diduduki lasykar Muslim menjadi basah
dan padat. Bagian medan yang tadinya kering dan diduduki oleh musuh
menjadi berlumpur dan licin. Mungkin musuh dari Mekkah itu sengaja
memilih bagian medan itu dan membiarkan lasykar Muslim menduduki
bagian yang lainnya sebab pandangan mata yang berpengalaman lebih
menyukai tanah kering untuk memudahkan gerakan prajurit-prajurit dan
pasukan kuda mereka. namun keadaannya sekarang telah sama sekali
terbalik, berkat tindakan Allah yang tepat pada waktunya. Hujan yang
turun tiba-tiba telah menjadikan bagian medan berpasir yang diduduki
lasykar Muslim keras dan medan yang keras, tempat berkemah lasykar
Mekkah menjadi licin. Pada malam hari Rasulullah s.a.w. menerima
kabar ghaib bahwa anggota-anggota penting dari musuh akan menemui
ajal mereka. Bahkan nama-nama orangnya pun diwahyukan kepada
beliau. Mereka mati sebagaimana telah disebut dalam kabar-ghaib.
Di dalam perang itu sendiri lasykar Muslim yang kecil itu telah
memperagakan keberanian dan pengabdian yang menakjubkan. Suatu
peristiwa telah membuktikan hal itu. Salah seorang dari beberapa gelintir
panglima Muslim bernama 'Abdur-Rahman bin 'Auf, salah seorang
pemimpin Mekkah dan prajurit yang berpengalaman. saat perang
mulai, ia menengok ke kiri dan ke kanan untuk melihat macam bantuan
apa yang dapat diperoleh. Ia heran bahwa ia hanya didampingi oleh dua
anak muda dari kaum Anshar. Ia merasa kecewa dan berkata dalam
hatinya, “Tiap-tiap panglima memerlukan dukungan di kanan-kirinya.
Apalagi aku di saat ini. namun di sini hanya ada dua anak yang masih
hijau. Apa yang dapat kuperbuat dengan mereka?” 'Abdur-Rahman
menceriterakan bahwa baru saja selesai berpikir demikian, saat salah
seorang dari pemuda-pemuda itu menyentuh rusuknya dengan sikut. Ia
membungkuk untuk menyimak kata pemuda itu. “Paman, kami telah
mendengar tentang seorang bernama Abu Jahal yang biasa mengganggu
dan berbuat kejam terhadap Rasulullah s.a.w.. Paman, saya akan
menggempurnya. Tunjukkanlah, mana orang itu”. 'Abdur-Rahman belum
sempat menjawab pertanyaan itu. saat perhatiannya sudah ditarik oleh
anak muda satu lagi yang menanyakan hal itu juga. 'Abdur-Rahman
sangat tercengang atas keberanian dan tekad bulat dua anak itu. Sebagai
seorang prajurit berpengalaman luas sekalipun, tak terbayang sepintas
juga dalam pikirannya untuk memilih panglima musuh sebagai
lawannya. 'Abdur-Rahman menunjuk dengan telunjuknya kepada Abu
Jahal yang bersenjatakan lengkap dan berdiri di bagian belakang barisan
yang dilindungi oleh dua panglima kawakan dengan pedang terhunus.
'Abdur-Rahman belum lagi menurunkan telunjuknya, saat kedua
pemuda itu menyerbu ke barisan musuh dengan kecepatan garuda
menyambar mangsa, langsung menuju sasaran yang telah dipilihnya.
Serangannya begitu tiba-tiba.
Prajurit-prajurit dan para pengawal terperangah. Kemudian
mereka menyerang pemuda-pemuda itu. Salah seorang anak itu
kehilangan lengannya. namun ia tetap tak gentar dan tak terkalahkan.
Mereka menyerang Abu Jahal dengan serbuan yang begitu dahsyat
sehingga panglima besar itu tersungkur dengan luka-luka yang
menewaskannya. Dan tekad yang menyala-nyala kedua pemuda itu dapat
kita mengerti betapa mendalamnya sakit hati dan marah para pengikut
Rasulullah s.a.w., tua-muda, disebabkan oleh tindakan aniaya lagi kejam
yang diderita mereka dan Rasulullah s.a.w. sampai saat itu. Kita hanya
membacanya dalam sejarah, namun hati kita pun sangat terenyuh. Para
penduduk Medinah mendengar tentang kekejaman-kekejaman itu dari
saksi-saksi mata. Perasaan-perasaan mereka dapat kita bayangkan.
Mereka mendengar tentang kekejaman-kekejaman kaum Mekkah di satu
pihak dan tentang kesabaran Rasulullah s.a.w. di pihak lain. Tidak
mengherankan jika tekad mereka bulat untuk mengadakan pembalasan
terhadap kejahatan mereka kepada Rasulullah s.a.w. dan para Muslimin
di Mekkah. Mereka hanya menunggu kesempatan untuk menyatakan
kepada penganiaya mereka dari Mekkah bahwa jika kaum Muslim tidak
mengadakan pembalasan, hal itu bukan disebabkan oleh kelemahan
mereka, namun oleh sebab mereka belum mendapat izin dan Allah s.w.t..
Bagaimana kebulatan tekad pasukan Muslim yang kecil itu untuk gugur
di medan laga dapat diukur juga dari peristiwa lain. Pertempuran belum
terjadi saat Abu Jahal mengirim seorang pemuka Badui sebagai
pengintai untuk mengetahui dan melaporkan jumlah lasykar Islam.
Pemuda Badui itu kembali dan melaporkan bahwa pasukan Muslim kira-
kira tiga ratus orang banyaknya. Abu Jahal dan para pengikutnya sangat
gembira. Mereka memandang pasukan Muslim sebagai mangsa yang
empuk. “namun ,” pemuda Badui itu meneruskan, “nasihatku kepada
kalian ialah: Jangan memerangi orang-orang itu, sebab tiap-tiap orang
dari antara mereka nampak bertekad bulat untuk mati. Aku tidak melihat
sosok-sosok manusia, melainkan malaikat maut berkendaraan unta”.
Pemuda Badui itu memang benar, mereka yang bersedia mati, tak mudah
mati.
Kabar Ghaib Agung Menjadi Sempurna
Saat berperang telah mendekat, Rasulullah s.a.w. keluar dari
kemah kecil, di sana beliau lama mendoa, lalu beliau mengumumkan:
“Musuh pasti akan binasa dan melarikan diri.”
Kata-kata itu diwahyukan kepada Rasulullah s.a.w. selang
beberapa waktu sebelum itu di Mekkah. Jelas wahyu itu berhubungan
dengan perang ini. saat kekejaman Mekkah mencapai puncaknya dan
kaum Muslimin sedang berhijrah ke tempat-tempat mereka dapat hidup
dengan aman dan damai, Rasulullah s.a.w. menerima wahyu dari Allah:
Dan, sesungguhnya telah datang kepada kaum Firaun, para pemberi
peringatan. Mereka mendustakan Tanda-tanda Kami semuanya, maka
Kami sergap mereka dengan sergapan Dzat Yang Maha Perkasa. Maha
Kuasa. Apakah orang-orang kafir kamu lebih baik daripada orang-orang
sebelum kamu? Atau apakah ada bagimu jaminan kebebasan di dalam
kitab-kitab terdahulu? Atau apakah mereka berkata, “Kami golongan
yang bersatu, yang menang?” Golongan itu akan segera dikalahkan dan
akan membalikkan punggung mereka, melarikan diri. Bahkan Saat itu
telah dijanjikan kepada mereka; dan Saat itu paling mengerikan dan
paling pahit. Sesungguhnya, orang-orang yang berdosa berada dalam
kesesatan dan mengidap penyakit gila. Pada hari saat mereka akan
diseret ke dalam Api bersama-sama pemuka mereka. Dikatakan kepada
mereka, “Rasakanlah senAllah azab neraka.” (54:42-49).
Ayat-ayat itu bagian dari Surah Al-Qamar dan menurut semua
riwayat, Surah itu diturunkan di Mekkah. Para alim-ulama Islam
menempatkan turunnya wahyu itu di antara tahun kelima dan sepuluh
Nabawi, yaitu, sekurang-kurangnya tiga tahun sebelum hijrah.
Kemungkinan besar wahyu itu diturunkan delapan tahun sebelum Hijrah.
Sarjana-sarjana Eropa juga sepakat dengan pendapat ini. Menurut
Noldeke, seluruh Surah ini diturunkan sesudah tahun kelima Nabawi.
65
Wherry memandang waktu itu agak terlalu dini. Menurut dia, Surah itu
termasuk tahun keenam atau ketujuh sebelum Hijrah atau sesudah
Nabawi. Pendek kata, para alim-ulama Islam dan sumber-sumber bukan-
Islam kedua-duanya bersepakat bahwa Surah ini diwahyukan selang
bertahun-tahun sebelum Rasulullah dan para Sahabat berhijrah dari
Mekkah ke Medinah. Nilai ayat-ayat Makiyyah sebagai ayat-ayat yang
mengandung kabar-ghaib sama sekali tidak dapat diragukan atau
dibantah. Dalam ayat-ayat ini ada isyarat-isyarat yang jelas mengenai
apa yang bakal terjadi pada kaum Mekkah di medan pertempuran Badar.
Nasib malang yang akan mereka alami jelas diramalkan. saat
Rasulullah s.a.w. keluar dari kemah, beliau menyatakan ulang kabar-
ghaib dalam Surah Makiyyah itu. Beliau agaknya ingat kepada ayat-ayat
Makiyyah itu waktu beliau berdoa di dalam kemah. Dengan membaca
satu dari antara ayat-ayat itu, beliau memperingatkan para Sahabat
bahwa saat yang dijanjikan dalam wahyu Makiyyah itu telah datang.
Dan, Saat itu sungguh-sungguh telah datang. Nabi Yesaya
(21:13-17) telah mengabar-ghaibkan perihal saat itu. Pertempuran mulai
berkecamuk meskipun kaum Muslim belum siap dan orang-orang kafir
telah mendengar nasihat agar jangan berperang. Tiga ratus tiga belas
orang-orang Islam, kebanyakan tidak punya pengalaman dan tidak
pandai berperang, dan hampir semuanya tanpa perlengkapan yang cukup,
menghadapi kekuatan yang tiga kali lipat dan semuanya prajurit yang
berpengalaman. Dalam beberapa jam saja banyak pemimpin Mekkah
terkemuka menemui ajal mereka. Sesuai dengan apa yang dikabar-
ghaibkan oleh Nabi Yesaya, habislah segala kemuliaan Kedar.
Balatentara Mekkah melarikan diri pontang-panting dan dalam keadaan
kacau-balau meninggalkan mereka yang tewas dan beberapa yang
tertawan. Di antara tawanan-tawanan itu ada paman Rasulullah
s.a.w., Abbas, yang biasanya melindungi Rasulullah s.a.w. di masa
beliau tinggal di Mekkah. Abbas terpaksa ikut serta dengan kaum
Mekkah dan memerangi Rasulullah s.a.w.. Tawanan lain bernama Abul
'As, mantu Rasulullah s.a.w.. Di antara mereka yang tewas ada Abu
Jahal, Panglima Tertinggi lasykar Mekkah dan, menurut segala riwayat,
merupakan musuh Islam yang terbesar. Kemenangan telah tiba, namun
menimbulkan rasa yang campur-baur pada Rasulullah s.a.w.. Beliau
gembira atas sempurnanya janji-janji Ilahi yang berulang-ulang
diturunkan selama jangka waktu empat belas tahun yang lampau. Janji-
janji yang telah tercatat dalam beberapa Kitab agama terdahulu. namun ,
pada saat itu juga beliau bersedih hati atas kemalangan kaum Mekkah.
Alangkah menyedihkannya nasib yang mereka jumpai! Jika kemenangan
itu diraih oleh orang lain selain beliau, ia akan melompat-lompat
kegirangan. namun melihat para tawanan di hadapan beliau, diikat dan
dibelenggu, mata beliau dan mata sahabat karib beliau, Abu Bakar,
digenangi airmata. Umar, yang di hari kemudian mengganti Abu Bakar
menjadi khalifah kedua Islam, menyaksikan hal itu, namun ia tidak dapat
memahami, mengapa Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakar menangisi
kemenangan? Umar menjadi bingung. Maka ia memberanikan diri
bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Ya Rasulullah, katakanlah
kepadaku, mengapa anda menangis jika Allah memberi kemenangan
yang begitu besar. Jika kita harus menangis, aku akan ikut menangis atau
sedikitnya memperlihatkan muka sedih.” Rasulullah s.a.w. menunjuk
kepada nasib malang tawanan-tawanan. Itulah akibat pembangkangan
terhadap Allah .
Nabi Yesaya berkali-kali menyebut keadilan Nabi itu; ia yang
keluar dengan kemenangan dari perang mati-matian. Ihwal keadilannya
telah terpamer pada peristiwa berikut ini. Dalam perjalanan pulang ke
Medinah, Rasulullah s.a.w. malam harinya beristirahat di perjalanan.
Para sahabat setia yang menjaga beliau dapat melihat, betapa Rasulullah
tampak resah dan tidak dapat tidur. Segera mereka menerka bahwa hal
itu disebabkan oleh sebab beliau mendengar rintihan paman beliau,
Abbas, yang berbaring di dekat situ diikat dengan kuatnya sebagai
tawanan perang. Mereka melonggarkan tali pengikat Abbas. Rintihan
Abbas berhenti. Rasulullah s.a.w., tidak terganggu lagi oleh rintihannya,
mulai tertidur. Tak lama kemudian beliau bangun dan merasa heran,
mengapa tidak lagi terdengar rintihan Abbas. Beliau setengah
menyangka bahwa Abbas telah pingsan. namun para sahabat yang
menjaga Abbas mengatakan bahwa mereka telah melonggarkan tali
pengikat Abbas supaya Rasulullah s.a.w. dapat tidur pulas. “Jangan,
jangan!” sabda Rasulullah s.a.w. “Tidak boleh ada ketidakadilan. Jika
Abbas masih keluargaku, tawanan-tawanan lainnya pun memiliki
ikatan kekeluargaan dengan orang-orang lain Longgarkan semua tali
pengikat mereka atau ikat kembali erat-erat tali pengikat Abbas juga.”
Para Sahabat mendengar teguran itu lalu mengambil keputusan untuk
melonggarkan ikatan semua tawanan dan mereka sendiri memikul
dengan penuh rasa tanggung jawab kewajiban penjagaan.
Kepada para tawanan yang pandai baca-tulis dijanjikan
kemerdekaan jika mereka dapat mengajar sepuluh anak laki-laki Mekkah
sebagai tebusan kemerdekaan. Mereka yang tak punya siapa-siapa yang
dapat membayar tebusan mereka, dapat meraih kemerdekaan mereka
atas permohonan sendiri. Dengan membebaskan para tawanan dengan
cara serupa itu Rasulullah s.a.w. menyudahi kebiasaan kejam, yaitu,
kebiasaan menjadikan tawanan perang sebagai budak belian.
Perang Uhud
Tatkala kaum Mekkah melarikan diri dari Badar, mereka
mengumumkan bahwa mereka akan menyerang Medinah lagi dan
membalas kaum Muslimin untuk apa-apa yang diderita kaum Mekkah
dalam perang; dan hanya setahun kemudian mereka benar-benar
menyerang Medinah lagi, sekarang dengan kekuatan penuh. Mereka
begitu merasa terhina dan jatuh kehormatan sebab kekalahan sehingga
para pemimpin Mekkah melarang keluarga mereka yang tinggal di garis
belakang mengisi mereka yang gugur dalam pertempuran. Mereka
menetapkan juga bahwa keuntungan dan kafilah-kafilah dagang akan
dikumpulkan menjadi suatu dana perang. Oleh sebab itu, dengan
persiapan yang lengkap suatu bala tentara terdiri atas tiga ribu prajurit di
bawah komando Abu Sufyan datang menyerang Medinah. Rasulullah
s.a.w. bermusyawarah dan menanyakan kepada para pengikut, apakah
mereka akan menghadapi musuh di dalam Medinah atau di luar kota
Medinah. Beliau sendiri cenderung kepada pilihan pertama. Beliau
memilih membiarkan kaum Muslim tetap di Medinah dan membiarkan
musuh masuk dan menyerang mereka di rumah mereka.
Beliau berpendapat bahwa hal itu akan memberikan peluang
untuk melakukan agresi dan serangan kepada pihak musuh. namun pada
musyawarah itu ada beberapa orang Muslim yang tidak mendapat
kesempatan ikut dalam Perang Badar dan sekarang mendambakan sekali
berperang di jalan Allah. Mereka mendesak untuk mendapat peluang
bertempur secara berhadapan lagi terbuka, dan meraih kesempatan mati
syahid. Rasulullah s.a.w. menerima musyawarah umum itu (Tabaqat).
Sementara pasal itu sedang diperdebatkan, Rasulullah s.a.w.
menerangkan kasyaf yang diterima beliau. Sabda beliau, “Aku melihat
kasyaf. Aku lihat seekor lembu dan kulihat juga pedangku patah
ujungnya. Lembu itu kulihat sedang disembelih dan aku telah
memasukkan tanganku ke dalam baju besi. Aku melihat diriku sendiri
juga sedang menaiki domba jantan.” Para Sahabat bertanya kepada
Rasulullah s.a.w. bagaimana beliau memberi arti kepada kasyaf itu.
“Penyembelihan lembu,” sabda Rasulullah s.a.w., “menunjukkan
bahwa ada beberapa Sahabat akan gugur di medan perang. Ujung
pedangku patah berarti, seorang yang penting dari antara sanak
saudaraku akan menemui ajal, atau aku sendiri akan menderita nyeri atau
semacam cedera. Memasukkan tanganku ke dalam baju besi agaknya
berarti bahwa jika tetap tinggal di dalam kota Medinah maka akan lebih
baik untuk kita. Peristiwa melihat diriku sendiri menaiki domba jantan
berarti, kita akan mengalahkan panglima kaum kufar, dan bahwa ia akan
mati di tangan kita” (Bukhari, Hisyam, dan Tabaqat).
Dijelaskan oleh kasyaf dan takwilnya bahwa bagi kaum
Muslimin yaitu lebih baik kalau tetap tinggal di dalam kota Medinah.
namun Rasulullah s.a.w. tidak mau memaksakannya, sebab tafsiran
kasyaf itu yaitu dari beliau sendiri, bukan sebagian dari pengetahuan
yang berdasarkan wahyu. Beliau menerima musyawarah mayoritas dan
memutuskan berangkat menghadapi musuh di luar kota Medinah. saat
beliau bertolak ke luar kota, sebagian para pengikut beliau yang lebih
mukhlis menyadari kekhilafan mereka, lalu menemui Rasulullah s.a.w.
dan berkata, “Ya Rasulullah, saran anda nampaknya lebih baik. Kita
harus tetap di Medinah dan menghadapi musuh dijalan-jalan kita.”
“Sekarang tidak,” sabda Rasulullah s.a.w.. “Sekarang Rasulullah
telah mengenakan baju besinya. Apapun yang akan terjadi, kita akan
terus maju. Jika kamu beristiqamah dan bertawakal, Allah akan
membantumu” (Bukhari dan Tabaqat).
Serenta berkata demikian beliau berangkat dengan kekuatan
terdiri atas seribu prajurit. Tidak jauh dari Medinah mereka mendirikan
kemah untuk istirahat malam. Kebiasaan Rasulullah s.a.w. ialah memberi
istirahat sebentar kepada pasukan beliau sebelum menghadapi musuh.
Menjelang shalat Subuh beliau meronda. Beliau melihat beberapa orang
Yahudi pun ikut serta dengan kaum Muslimin. Mereka berpura-pura
menaati perjanjian dengan suku-suku Medinah. Tatkala Rasulullah s.a.w.
telah mencium tipu muslihat kaum Yahudi, beliau menyuruh mereka
pulang. Baru saja beliau berbuat demikian, Abdullah bin Ubayyi ibnu
Salul, pemimpin kaum munafik menarik pasukannya sejumlah tiga ratus
orang pengikutnya. Ia mengatakan bahwa lasykar Muslim sekarang
bukan tandingan musuh. Ikut serta dalam peperangan sekarang berarti
pasti menemui ajal. Rasulullah s.a.w. telah berbuat kekeliruan menyuruh
pulang sekutunya sendiri. Akibat pembelotan pada saat genting itu ialah.
hanya tinggal tujuh ratus Muslim lagi di bawah pimpinan Rasulullah
s.a.w.. Tujuh ratus prajurit itu harus menghadapi lasykar yang empat kali
lipat besarnya dan beberapa kali jauh lebih baik perlengkapannya. Dalam
lasykar Mekkah ada tujuh ratus prajurit berbaju besi; dalam lasykar
Islam hanya seratus. Kaum Mekkah memiliki pasukan berkuda dua
ratus, kaum Muslim hanya memiliki dua ekor kuda. Rasulullah s.a.w.
tiba di Uhud. Di atas celah bukit-bukit beliau menempatkan penjaga-
penjaga terdiri atas lima puluh orang yang ditugasi memukul mundur
tiap-tiap serangan dari pihak musuh atau menggagalkan tiap-tiap usaha
menduduki posisi itu. Rasulullah s.a.w. menerangkan dengan jelas
kewajiban mereka. Mereka harus bertahan di tempat mereka ditempatkan
dan tidak bergerak dari tempat itu sampai mendapat perintah, apapun
yang terjadi dengan lasykar Muslim. Dengan sisa yang enam ratus lima
puluh orang, Rasulullah s.a.w. maju menghadapi lasykar musuh yang
kira-kira lima kali lipat besarnya. namun , dengan pertolongan Ilahi,
dalam waktu singkat lasykar Muslim yang hanya enam ratus lima puluh
prajurit itu telah menghalau tiga ribu prajurit Mekkah yang serba mahir
itu. Prajurit-prajurit Muslim berlari mengejar mereka. Celah bukit tempat
lima puluh prajurit Muslim ditempatkan, tertinggal di belakang. Seorang
prajurit di atas celah bukit berkata kepada pemimpinnya, “Musuh telah
kalah. Sekarang telah tiba waktunya untuk ikut dalam pertempuran dan
memperoleh tanda kemenangan di alam akhirat.” Pemimpin pasukan
melarangnya sambil memperingatkan mereka kepada perintah-perintah
yang jelas dari Rasulullah s.a.w.. namun , orang itu menerangkan bahwa
perintah Rasulullah s.a.w. itu harus ditaati menurut jiwanya dan tidak
menurut lahirnya. Tak ada artinya sedikit pun menjaga celah bukit itu
sementara musuh melarikan diri lintang pukang.
Kemenangan Berubah Jadi Kekalahan
Dengan alasan itu mereka meninggalkan celah itu dan ikut galau
dalam kancah pertempuran. Dalam lasykar Mekkah yang sedang
melarikan diri termasuk Khalid bin Walid yang kemudian menjadi
panglima Muslim besar. Matanya yang jeli jatuh pada celah sempit yang
tak terjaga lagi itu. Yang masih menjaganya hanya tinggal sedikit,
Khalid berseru memanggil panglima Mekkah lain, ialah Amr bin al-As,
dan menyuruhnya melempar pandangan ke celah di belakangnya. Amr
menengok ke belakang dan tahulah dia bahwa itulah kesempatan yang
paling indah. Kedua panglima itu menghentikan pasukan mereka dan
mendaki bukit itu. Mereka membunuh orang-orang Muslim yang tinggal
sedikit, menjaga celah itu, dan dari tempat yang tinggi itu mereka mulai
menyerbu kaum Muslim. Mendengar pekikan perang mereka, lasykar
Mekkah yang telah cerai-berai itu bergabungan lagi dan kembali ke
medan pertempuran. Serbuan kepada kaum Muslim itu sangat mendadak.
Dalam pengejaran lasykar Mekkah mereka itu terpencar-pencar ke
berbagai arah medan. Perlawanan Muslimin terhadap serangan baru itu
tidak dapat disatukan lagi. Hanya prajurit-prajurit Muslim secara
perorangan masih nampak mengadakan perlawanan terhadap musuh.
Banyak di antara mereka gugur. Lain-lainnya terdesak mundur.
Sekelompok kecil membuat formasi lingkaran di sekeliling Rasulullah
s.a.w. Seluruhnya tak lebih dan dua puluh orang.
Lasykar Mekkah menggempur lingkaran itu dengan ganasnya.
Satu demi satu orang-orang Muslim dalam lingkaran itu rebah sebab
tebasan-tebasan prajurit-prajurit berpedang Mekkah. Dari bukit itu
pemanah-pemanah melepaskan panah-panah. Pada saat itu Talha,
seorang Muhajir, melihat musuh melepas anak-anak panahnya ke arah
wajah Rasulullah s.a.w.. Ia merentangkan tangannya dan diangkatnya ke
atas, melindungi wajah Rasulullah s.a.w.. Panah-panah sebuah demi
sebuah mengenai tangan Talha, namun tangan itu tidak diturunkan
sungguhpun tiap panah menembus tangannya. Akibatnya, tangan itu
sama sekali terkutung (terpotong-potong). Talha kehilangan tangan dan
seumur hidupnya ia menjadi orang buntung. Di zaman Khalifah ke
empat, saat keretakan di dalam tubuh Islam mulai tampak, Talha
diejek oleh seorang musuh dengan menyebutnya Talha si Buntung.
Sahabat Talha menjawab, “Buntung, memang, namun tahukah kamu di
mana ia kehilangan tangannya? Di dalam Perang Uhud, saat ia
mengangkat tangannya memerisai wajah Rasulullah s.a.w. dari panah-
panah musuh.”
Lama sesudah Perang Uhud sahabat-sahabat Talha bertanya
kepadanya, “Apakah tanganmu tidak sakit saat jadi sasaran panah-panah
itu dan sakitnya tidak menyebabkan engkau memekik?” Talha
menjawab, “Sangat pedih dan hampir membuat aku menjerit, namun aku
tahan. sebab aku tahu bahwa apabila tanganku bergerak sedikit, wajah
Rasulullah s.a.w. akan menjadi bulan-bulanan panah musuh.” Regu kecil
yang tinggal di sekitar Rasulullah s.a.w. itu tak mungkin dapat menahan
lasykar yang mereka hadapi. Sepasukan musuh maju dan mendesak
mereka mundur. Rasulullah s.a.w. berdiri seorang diri laksana dinding
dan tiba-tiba sebuah batu mengenai dahi beliau dan meninggalkan lekuk
yang dalam. Hantaman yang kedua mendorong gelang-gelang rantai topi
baja masuk ke dalam pipi beliau. saat panah-panah menghujam
dengan gencarnya dan Rasulullah s.a.w. terluka, beliau mendoa, “Ya
Allah , ampunilah kaumku, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka
perbuat” (Muslim). Rasulullah s.a.w. jatuh di atas jenazah-jenazah para
syuhada yang gugur dalam membela beliau. Orang-orang Muslim
lainnya maju ke muka melindungi Rasulullah s.a.w. dari serangan-
serangan selanjutnya. Mereka pun gugur, Rasulullah s.a.w. terbaring tak
sadarkan diri di antara mayat-mayat itu. saat musuh menyaksikan
pemandangan itu mereka menyangka beliau pun telah syahid. Mereka
mengundurkan diri dengan keyakinan bahwa kemenangan telah tercapai
dan mulai mengatur lagi barisan. Di antara orang-orang Muslim yang
melindungi Rasulullah s.a.w. dan yang telah terdesak mundur oleh
gempuran kekuatan musuh ada juga Umar. Medan perang sekarang
telah sepi. Umar, yang mengamati keadaan, menjadi yakin bahwa
Rasulullah s.a.w. telah gugur. Umar yaitu orang gagah. Hal itu berkali-
kali dibuktikan; yang paling jelas kegagahan itu tampak dalam perang
menghadapi Roma dan Iran sekaligus. Beliau tak pernah nampak putus
asa di bawah beban kesukaran dan kesulitan. Umar pada saat itu duduk
di atas sebuah batu dengan semangatnya lumpuh, menangis seperti anak
kecil. Pada saat itu seorang Muslim lain, Anas bin Nadr namanya, datang
secara santai dengan persangkaan bahwa kaum Muslim telah berjaya. Ia
menyaksikan mereka mampu mengatasi kekuatan musuh, namun merasa
lapar, sebab tak makan apa-apa sejak malam sebelumnya, ia telah
meninggalkan medan laga dengan beberapa butir kurma di tangannya.
Segera sesudah ia melihat Umar menangis, ia bertanya keheran-heranan,
“Umar, apa gerangan yang terjadi atas dirimu sampai kamu menangis
dan bukan gembira atas kemenangan yang gilang-gemilang di pihak
kaum Muslim?”
Umar menjawab, “Anas, kau tak tahu apa yang telah terjadi.
Kamu hanya melihat bagian pertama. Kamu tidak mengetahui bahwa
musuh menduduki titik strategis di atas bukit dan menyerang kita dengan
dahsyatnya. Kaum Muslimin bubar dengan persangkaan telah mencapai
kemenangan. Gempuran musuh kali ini tak dapat ditahan lagi. Hanya
Rasulullah, dengan beberapa gelintir pengawal, menghadapi seluruh
kekuatan musuh dan semuanya telah rebah.”
“Jika hal itu benar,” jawab Anas, “apa guna duduk menangis di
sini? Ke mana saja junjungan kita yang tercinta pergi, ke sana pula kita
harus menuju.”
Anas masih memegang kurmanya yang terakhir dan hampir
dimasukkan ke mulut, namun daripada memasukkannya ke mulut,
dilemparkannya kurma itu jauh-jauh sambil berkata, “Hai kurma, kecuali
kau, adakah sesuatu yang menghalangi Anas dari surga?”
sesudah berkata demikian, dihunuslah pedangnya dan menyerbu
ke tengah-tengah barisan musuh seorang diri, seorang melawan tiga ribu.
Tak banyak yang dapat diperbuat, namun semangat seorang yang beriman
itu lebih unggul dari banyak orang. Mengamuk bagaikan banteng
ketaton, Anas akhirnya rebah dengan luka-luka, namun ia melawan terus.
sebab gemasnya pasukan musuh menyerbu dan menerkamnya dengan
ganas lagi keji. Diriwayatkan bahwa tatkala pertempuran telah usai dan
mereka yang gugur diperiksa siapa-siapanya, badan Anas tak dapat
dikenal lagi, sebab telah terputus putus menjadi tujuh puluh potong.
Akhirnya dapat dikenal oleh adik perempuan Anas dari jarinya yang
terkutung: berkatalah dia, “Inilah badan saudaraku!” (Bukhari).
Orang-orang Muslim yang membuat formasi lingkaran di sekitar
Rasulullah s.a.w., namun terdesak mundur, maju lagi dengan segera saat
mereka melihat musuh telah mengundurkan diri. Mereka mengangkat
tubuh Rasulullah s.a.w. dan antara jenazah-jenazah pahlawan yang
gugur. Abu Ubaida bin al-Jarrah menggigit gelang-gelang yang masuk
menusuk pipi Rasulullah s.a.w. dan mencabutnya. Dalam usaha itu dua
buah giginya tanggal.
Selang beberapa detik kemudian Rasulullah s.a.w. siuman
kembali. Pengawal-pengawal di sekitar beliau mengutus orang-orang
untuk menyuruh kaum Muslim berkumpul lagi. Lasykar yang kucar-kacir
itu mulai berkumpul lagi. Mereka mengawal Rasulullah s.a.w. ke kaki
bukit. Abu Sufyan, komandan musuh, saat melihat sisa pasukan
Muslim itu berteriak, “Kami telah membunuh Muhammad.” Rasulullah
s.a.w. mendengar pekikan yang sombong itu, namun melarang kaum
Muslimin menyahut, kalau-kalau musuh akan mengetahui kenyataan dan
menyerang lagi sehingga kaum Muslimin yang letih dan luka-luka itu
terpaksa berjuang lagi melawan pasukan yang buas itu. sebab tak
mendapat sambutan dari kaum Muslimin, Abu Sufyan menjadi yakin
bahwa Rasulullah s.a.w. telah gugur. Ia berteriak lagi, “Kami telah
membunuh Abu Bakar.” Rasulullah s.a.w. melarang Abu Bakar
menyahut. Abu Sufyan berseru untuk ketiga kalinya, “Kami juga telah
membunuh Umar.” Rasulullah s.a.w. melarang Umar juga menyahut.
Maka Abu Sufyan berteriak lagi bahwa mereka telah membunuh ketiga-
tiganya. Sekarang Umar tak dapat menahan diri lagi dan berseru, “Kami
semua masih hidup dan dengan karunia Ilahi siap sedia untuk berkelahi
dengan kamu dan memecahkan kepalamu.” Abu Sufyan memekikkan
semboyan kebangsaan, “Hidup Hubal. Hidup Hubal. Sebab, Hubal telah
melenyapkan Islam.” (Hubal yaitu berhala nasional kaum Mekkah).
Rasulullah s.a.w. tak dapat menelan kecongkakan terhadap Allah Yang
Maha Esa, Allah, demi Dia beliau dan kaum Muslimin bersedia
mengorbankan segala-gala yang mereka miliki. Beliau melarang
membetulkan pernyataan wafat beliau sendiri. Beliau melarang
membetulkan pernyataan kematian Abu Bakar dan Umar, demi siasat.
Hanya sisa-sisa lasykar kecil yang masih tinggal. Kekuatan musuh besar
dan dalam suasana bersuka cita. namun sekarang musuh telah menghina
Allah. Rasulullah s.a.w. tak dapat membiarkan penghinaan semacam itu.
Semangat beliau tersulut. Beliau memandang dengan berang kepada
orang-orang Muslim di sekitar beliau dan bersabda, “Mengapa berdiam
diri dan tidak menjawab terhadap penghinaan kepada Allah, Allah Yang
Maha Esa?”
Orang-orang Muslim bertanya, “Apa yang harus kami katakan,
ya Rasulullah?”
“Katakanlah, hanya Allah Maha Besar dan Maha Perkasa. Hanya
Allah Maha Besar dan Maha Perkasa. Hanya Dia Maha Luhur dan Maha
Mulia.”
Orang-orang Muslim berteriak seperti itu. Pekikan itu
mencengangkan musuh. Mereka patah hati saat mereka mengetahui
bahwa Rasulullah ternyata tidak gugur. Di hadapan mereka ada beberapa
gelintir orang Muslim, luka-luka dan letih. Untuk menghancurkan
mereka sangatlah mudah. namun mereka tidak berani menyerang lagi.
Puas dengan kemenangan yang telah mereka peroleh, mereka pulang
sambil meluapkan kegembiraan mereka. Dalam Perang Uhud
kemenangan kaum Muslimin telah berubah menjadi kekalahan.
Walaupun demikian, perang itu telah memberi bukti akan kebenaran
Rasulullah s.a.w.; sebab, dalam perang itu telah menjadi sempurnalah
kabar ghaib Rasulullah s.a.w. yang diceriterakan beliau sebelum bertolak
ke medan perang. Kaum Muslimin menang di bagian pertama. Paman
Rasulullah yang tercinta, Hamzah, syahid. Panglima musuh terbunuh
pada pemulaan sekali pertempuran. Rasulullah s.a.w. sendiri terluka dan
banyak orang Muslim gugur. Kesemuanya itu telah dikabar ghaibkan di
dalam kasyaf Rasulullah s.a.w.
Di samping peristiwa-peristiwa yang dikabarkan sebelumnya
telah menjadi kenyataan, perang itu memberikan banyak bukti
keikhlasan dan pengabdian orang-orang Muslim. Begitu menonjol
teladan perilaku mereka sehingga sejarah tidak berhasil mengemukakan
contoh yang sepadan dengan itu. Beberapa peristiwa sebagai bukti sudah
kami uraikan. Satu lagi tampaknya layak diceriterakan. Peristiwa itu
memperlihatkan keyakinan tekad dan kesetiaan yang diperagakan oleh
para Sahabat Rasulullah s.a.w.. Waktu Rasulullah s.a.w. mengundurkan
diri ke kaki bukit bersama segelintir orang-orang Muslim itu, beliau
mengutus beberapa Sahabat guna mengurusi prajurit-prajurit yang luka
dan terbaring di medan perang. Seorang Sahabat menemukan, sesudah
lama mencari, seorang Anshar yang luka parah. Ia sudah mendekati
ajalnya. Sahabat itu membungkuk dan mengatakan, “Assalamu'alaikum.”
Prajurit yang luka parah itu mengangkat tangan yang gemetar dan sambil
memegangi tangan pengunjungnya ia berkata, “Aku memang sedang
menunggu kedatangan seseorang.”
“Keadaan saudara sangat gawat.” kata pengunjung itu. “Adakah
pesan untuk disampaikan kepada sanak-saudaramu?”
“Ya, ya,” kata orang yang sedang mendekati ajal itu. “Salamku
sampaikan kepada sanak-saudaraku dan katakan kepada mereka bahwa
pada saat aku menghadapi maut, aku masih memiliki suatu titipan
berharga yang harus mereka junjung tinggi. Titipan itu yaitu
Rasulullah. Aku mengharapkan agar mereka menjaga keselamatan wujud
beliau dengan jiwa mereka dan ingat bahwa itulah satu-satunya pesanku
yang penghabisan” (Mu'atta dan Zurqani).
Orang-orang yang menghadapi maut banyak yang ingin
dikatakan oleh mereka kepada sanak-saudara mereka, namun orang-orang
Muslim dari masa permulaan itu, sekalipun pada detik-detik kematian
mereka tidak memikirkan keluarga, anak-anak, dan istri mereka, tidak
pula kekayaan; mereka hanya ingat kepada Rasulullah s.a.w.. Mereka
menghadapi maut dengan keyakinan bahwa Rasulullah s.a.w. itu Juru-
Selamat dunia. Anak-anak mereka, jika mereka selamat, hanya meraih
perolehan sedikit. Jika mereka mati dalam membela wujud Rasulullah
s.a.w. maka mereka telah berbakti kepada Allah dan kepada umat
manusia. Mereka yakin bahwa dengan mengorbankan keluarga, mereka
mengkhidmati umat manusia dan berbakti kepada Allah . Dengan
mendatangkan kematian kepada diri mereka sendiri, mereka menjamin
kehidupan kekal bagi seluruh umat manusia.
Rasulullah s.a.w. mengumpulkan orang-orang luka dan orang-
orang yang mati syahid. Penderita-penderita luka diberi pertolongan
pertama dan mereka yang gugur dikebumikan. Rasulullah s.a.w.
mengetahui bahwa musuh telah memperlakukan kaum Muslimin dengan
sangat kejam lagi biadab. Mereka itu merusak mayat orang-orang
Muslim dengan memotong hidung dan telinga. Salah satu dari mayat-
mayat yang dijadikan cacat itu ialah Hamzah, paman Rasulullah.
Rasulullah s.a.w. sangat terharu, lalu bersabda, “Perbuatan orang-orang
kufar sekarang membenarkan perlakuan-perlakuan yang kita pikir hingga
sejauh ini tidak kita benarkan”. sesudah beliau bersabda demikian, beliau
terus-menerus memperlihatkan kepada mereka sikap kasih sayang.
Kabar Wafat Rasulullah Sampai Ke Medinah
Desas-desus tentang wafatnya Rasulullah s.a.w. dan kabar ihwal
cerai-berainya lasykar Muslim tiba di Medinah sebelum sisa-sisa pasukan
Islam dapat kembali ke kota. Wanita-wanita dan anak-anak bagaikan gila
menghambur dan lari menuju Uhud. Banyak di antara mereka
mendengar kenyataan yang sebenarnya dari prajurit-prajurit yang pulang
dari medan perang, lalu mereka ini kembali lagi. Seorang wanita dari
suku Banu Dinar berjalan terus sampai akhirnya tiba di Uhud. Wanita itu
telah kehilangan suami, ayah, dan saudara dalam perang itu. Menurut
beberapa penutur, ia kehilangan pula seorang anaknya. Seorang prajurit
yang pulang berjumpa dengan dia dan memberitahukan kepadanya
bahwa ayahnya telah gugur. Ia menjawab, “Aku tak menanyakan
ayahku. Katakan, bagaimana keadaan Rasulullah.” Prajurit itu tahu
bahwa Rasulullah s.a.w. selamat, maka tidak segera menjawab
pertanyaan itu, namun mengatakan pula bahwa saudara dan suaminya pun
telah gugur. Tiap-tiap berita itu diterimanya dengan tenang, dan lagi-lagi
ia bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah?” Ungkapan itu
ungkapan yang sangat ganjil, namun jika kita perhatikan, kalau yang
mempergunakan ungkapan itu seorang wanita maka hal itu tak nampak
begitu ganjil lagi. Perasaan wanita sangat kuat. Wanita sering berkata-
kata kepada orang mati seolah-olah masih hidup. Jika orang itu
memiliki perhubungan kekeluargaan yang dekat, ia adakalanya
menyesali si mati dan bertanya, mengapa telah melalaikan dirinya dan
meninggalkannya tanpa perlindungan dan penjagaan. Sudah biasa pada
wanita menangisi buah hatinya yang hilang dengan cara demikian. Oleh
sebab itu, cara ungkapan yang dipakai oleh wanita ini juga wajar untuk
seorang wanita yang sedang bersedih hati tentang wafatnya Rasulullah
s.a.w. dan tak mau mengakui kenyataan kematian beliau, walaupun ia
telah mendengar tentang wafat beliau. Di samping ia tidak menolak
berita itu, namun tetap juga berkata, dengan kesedihan murni seorang
wanita, “Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah?” Dengan perkataan
itu ia berpura-pura seolah Rasulullah s.a.w. masih hidup dan menyesali
bahwa seorang pemimpin yang baik seperti beliau telah begitu tega
meninggalkan untuk mereka perasaan pedih sebagai akibat perpisahan.
saat prajurit yang baru kembali dari medan perang itu melihat
bahwa wanita itu tak mengindahkan kematian ayah, saudara, dan suami,
barulah ia mengerti betapa mendalamnya cinta wanita itu kepada
Rasulullah s.a.w., lalu memberitahukan, “Mengenai Rasulullah, beliau
masih hidup sebagaimana engkau harapkan.” Wanita itu meminta agar
kepadanya ditunjukkan tempat Rasulullah s.a.w.. Lalu prajurit itu
menunjuk ke suatu arah medan pertempuran. Wanita itu berlari-lari
menuju ke sana dan sesampainya di sana serta berjumpa dengan
Rasulullah, dipegangnya jubah beliau lalu diciumnya dan berkata, “Ayah
dan ibuku biar korban bagi anda, ya Rasulullah. Asalkan anda selamat,
tidak aku hirau siapa pun yang mati” (Hisyam).
Oleh sebab itu, kita menyaksikan keteguhan dan kesetiaan yang
diperagakan oleh kaum Muslimin - baik pria maupun wanita - di dalam
perang itu. Penulis-penulis Kristen meriwayatkan dengan megah ceritera
Maria Magdalena dan para sahabatnya, dan mengisahkan kesetiaan dan
keberanian mereka. Dikatakan bahwa pada pagi buta mereka menyelinap
di tengah-tengah orang Yahudi menuju ke pekuburan Yesus. namun ,
apakah arti kejadian ini dibanding dengan kesetiaan wanita Muslim dari
suku Dinar itu?
Suatu contoh lagi tercatat dalam sejarah. Sehabis mengubur
mayat-mayat yang gugur dan Rasulullah s.a.w. tengah dalam perjalanan
pulang ke Medinah, beliau melihat wanita-wanita dan anak-anak
mengelu-elukan beliau di luar kota Medinah. Tali kekang unta beliau
dipegang oleh Sa’d bin Mu'adh, seorang kepala suku Medinah. Sa’d
menuntun unta itu dengan bangganya. Ia seolah-olah menyatakan ke
seluruh dunia bahwa kaum Muslimin, pokoknya, berhasil membawa
pulang Rasulullah s.a.w. ke Medinah dalam keadaan sehat wal'afiat.
Waktu berjalan dilihatnya ibunya sendiri yang telah tua maju ke depan
menyambut rombongan Muslimin yang pulang itu. Wanita tua itu sudah
lemah penglihatannya. Sa’d melihatnya dan sambil menengok kepada
Rasulullah s.a.w. ia berkata, “Ya Rasulullah, ini ibuku.”
“Panggil kemari,” sabda Rasulullah s.a.w.. Wanita itu maju dan
dengan pandangan kosong dicobanya melihat wajah Rasulullah s.a.w..
Akhirnya, matanya dapat menampaknya dan ia sangat gembira.
Rasulullah s.a.w. bersabda sambil memandang kepadanya, “Ibu,
kusampaikan bela sungkawa atas kehilangan anak ibu.”
“namun ”. jawab wanita tua yang setia itu, “sesudah kulihat anda
selamat, aku telah menelan sendiri segala kemalanganku.” Ungkapan
dalam bahasa Arab yang dipakainya ialah, “Aku telah memanggang
kemalanganku dan menelannya”. (Halbiyya, Jilid 2, hlm. 210). Alangkah
dalamnya perasaan yang dinyatakan di dalam ungkapan itu. Pada
umumnya, kesedihan memakan hati manusia, namun di sini ada seorang
wanita tua yang telah kehilangan anaknya yang menjadi tumpuan
hidupnya di hari tua. namun ia mengatakan bahwa daripada membiarkan
kesedihan memakan hatinya, ia sendiri telah menelan kemalangannya.
Kenyataan bahwa anaknya telah gugur membela Rasulullah s.a.w. akan
menopang sisa kehidupannya.
Rasulullah s.a.w. tiba di Medinah. Dalam perang ini banyak
orang Muslim yang mati syahid dan banyak juga yang luka-luka. Namun
demikian, tidak dapat dikatakan bahwa perang sudah berakhir dengan
kekalahan di pihak kaum Muslimin. Peristiwa-peristiwa yang telah kami
uraikan di atas membuktikan sebaliknya. Semuanya itu menjadi bukti
bahwa Perang Uhud pun merupakan kemenangan yang agung bagi kaum
Muslim seperti juga tiap-tiap peperangan lainnya. Orang-orang Islam
yang menelaah kembali lembaran-lembaran sejarah permulaan agama
Islam dapat mengambil pelajaran dan inspirasi dari Perang Uhud.
Sepulang di Medinah, Rasulullah s.a.w. kembali kepada tugas
beliau. Beliau sibuk lagi dengan mendidik dan mengajar para Sahabat.
namun seperti yang sudah-sudah juga, pekerjaan beliau berjalan tidak
tanpa gangguan dan rintangan. Sesudah Perang Uhud, kaum Yahudi
menjadi semakin berani dan kaum munafik mengangkat kepala lagi.
Mereka mulai berpikir bahwa upaya pemberantasan Islam itu ada dalam
jangkauan kemampuan dan kekuasaan mereka. Hanya saja mereka harus
mengadakan upaya yang terpadu. Sesuai dengan itu, kaum Yahudi mulai
mempergunakan cara rongrongan yang baru. Mereka biasa menyiarkan
syair-syair cacian kotor, dan dengan cara demikian mereka mau
menghina Rasulullah s.a.w. dan keluarga. Pada suatu saat Rasulullah
s.a.w. dipanggil untuk mengambil keputusan dalam suatu perselisihan
faham dan untuk keperluan itu beliau harus masuk ke dalam benteng
kaum Yahudi. Orang-orang Yahudi telah merencanakan untuk
menjatuhkan sebuah balok batu ke atas beliau untuk menghabisi nyawa
Rasulullah s.a.w.. Beliau menerima peringatan lebih dahulu dari Allah
tentang rencana itu. Sudah biasa beliau menerima peringatan semacam
itu tepat pada waktunya. Rasulullah s.a.w. meninggalkan tempat duduk
beliau tanpa mengatakan sesuatu. Kaum Yahudi kemudian mengakui
tipu muslihat kotor mereka. Wanita-wanita Muslim dihina di jalan-jalan.
Dalam suatu peristiwa semacam itu seorang Muslim melayang jiwanya.
Pada peristiwa lain orang-orang Yahudi melempar batu kepada seorang
anak perempuan Muslim sehingga kemudian mati dalam penderitaan
yang hebat. Kelakuan orang-orang Yahudi itu menegangkan
perhubungan mereka dengan kaum Muslim dan memaksa mereka itu
memerangi orang-orang Yahudi. namun , kaum Muslim hanya mengusir
mereka keluar dari Medinah. Satu di antara dua suku Yahudi hijrah ke
Siria. Suku lain lagi, sebagian menuju ke Siria juga dan sebagian
menetap di Khaibar, sebuah benteng orang-orang Yahudi yang kuat di
sebelah Utara Medinah.
Dalam masa aman antara Perang Uhud dan perang berikutnya
dunia menyaksikan contoh istimewa dari pengaruh Islam atas para
pengikutnya. Kami menunjuk kepada larangan minum-minuman keras.
Dalam menggambarkan masyarakat Arab sebelum Islam, kami telah
menjelaskan bahwa orang-orang Arab itu pemabuk-pemabuk berat.
Minum lima kali sehari merupakan mode di tiap-tiap rumah orang Arab.
Kehilangan kesadaran di bawah pengaruh arak yaitu kejadian yang
lazim dan mereka tidak merasa malu sedikit pun. Bahkan hal itu
dipandang mereka sebagai perbuatan baik. Jika ada seorang tamu
berkunjung, menjadi kewajiban nyonya rumah menghidangkan minuman
keras. Untuk melepaskan kaum yang demikian dari kebiasaan sangat
berbahaya itu yaitu bukan soal yang gampang. namun pada tahun
keempat sesudah Hijrah. Rasulullah s.a.w. menerima perintah bahwa
minum minuman keras telah terlarang. Dengan perintah itu maka
kebiasaan minum arak lenyap dari masyarakat Islam. Konon, saat
wahyu yang mengharamkan arak itu turun, Rasulullah memanggil
seorang Sahabat dan mem